02.11.2014 Views

Petir

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

KEPiNG 38<br />

pertama aku mendengar Dedi marah-marah. Ayahku, yang<br />

seumur hidupnya irit-irit pita suara itu, mendadak ber kata-kata<br />

banyak dengan nada relatif tinggi. Ia mengomeli Watti.<br />

“Kamu gimana, sih! Kenapa malah didiamkan lama,<br />

nggak cepetan ditolong?”<br />

Watti, dengan suara setengah merengek, membela diri.<br />

“Ya, habis, Watti, kan, lupa, Ded.”<br />

“Adik sendiri, kok, bisa lupa!” sentak Dedi lagi.<br />

Bang Nelson mencoba menengahi. “Sebentar dulu, Om.<br />

Pelepasan kuasa gelap memang bukannya tanpa risiko. Barangkali<br />

iblis yang membuat Etra sakit juga ikut lepas—”<br />

“Dia itu punya epilepsi!” potong Dedi keras. “Lha, ini,<br />

kakaknya yang tahu, kok, malah nggak cepat nolongin. Itu<br />

dia yang saya heran! Orang yang ayannya kambuh itu harus<br />

ce pat dibantu, untung lidah si Etra nggak kegigit. Sampai<br />

mulutnya berbusa kalian juga masih nggak melakukan apaapa!<br />

Kalian apain, sih, dia? Lima tahun dia nggak pernah<br />

kena serangan. Kok, bisa tiba-tiba kena lagi?”<br />

“Ya, itulah, Om. Iblis epilepsi yang—”<br />

“Itu penyakit! PENYAKIT! Kalau mau sembuh, ya, ke<br />

dokter!”<br />

Hari itu, Dedi menemukan kembali rasa percaya diri atas<br />

perihal keimanannya. Bukan lagi urusan siapa yang unggul<br />

di atas siapa. Dedi menerima bahwa ia dan Nelson cs. memang<br />

berdiri di tataran yang berbeda. Bagi Dedi, hidup<br />

adalah sir kuit listrik yang bisa diurai dan dirangkai. Rusak<br />

24

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!