Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
KEPiNG 38<br />
menyumpal mulutnya sendiri dengan suapan telur ceplok,<br />
lalu manggut-manggut pasrah.<br />
Pada Selasa yang dimaksud, aku dan Watti naik becak ke<br />
tempat persekutuan. Tubuh kami wangi sabun sesudah mandi<br />
sore, muka cemong-cemong putih sebab bedak tak rata,<br />
Alkitab di tangan. Watti membawa yang besar dan komplet,<br />
aku bawa yang kecil—yang isinya hanya Perjanjian Baru.<br />
Yang kukejar memang cuma kecilnya, percuma bawa beratberat,<br />
aku selalu kalah cepat dari semua orang dalam perkara<br />
buka firman. Rasanya seperti lomba lari. Peluit ditiup ketika<br />
pemimpin kebaktian berkata, “Mari kita buka firman Tuhan<br />
dari... priiit!” Semua orang pun melesat lari ke garis finis.<br />
Entah bagaimana mereka melakukannya. Sementara aku tersuruk-suruk<br />
gontai, jauh di belakang. Begitu kutemukan ayat<br />
yang dimaksud, seluruh jemaat sudah selesai membaca, ditutup<br />
dengan bunyi keresek-keresek kertas yang kuhasilkan.<br />
Bunyi simbolis dari kakiku yang terseok-seok.<br />
Hati ini menciut begitu melepas sandal dan memasuki<br />
ru angan bergelar-gelar tikar itu. Aku teringat satu video<br />
yang pernah diputar Dedi. Filmnya Ateng dan Iskak. Cerita<br />
nya, mereka itu dua tuyul yang tinggal di dalam televisi.<br />
Ateng pakai baju putih, Iskak pakai baju hitam. Namun,<br />
ten tu ke duanya tetap dianggap “hitam” karena mereka sebang<br />
sa tuyul. Pada akhir film, riwayat mereka tamat saat<br />
si ar an azan Magrib berkumandang. Ateng dan Iskak ke pa-<br />
20