Petir

02.11.2014 Views

KEPiNG 38 winiku waktu itu karena sejak kesetrum, satu ke aneh an muncul: aku jadi senang menontoni kilatan petir. Kalau langit mulai ditumpuki awan gelap, aku yang paling dulu berlari keluar. Cras! Ia muncul. Aku gembira. Lalu, langit seperti serdawa gede-gedean. Kaca jendela bergetar dan Watti me me kik ngeri. Cras! Cras! Cras! Bentuknya seperti ameba. Aku makin bahagia. Angkasa pun terbahak. Geledek yang lebih besar datang dan Watti menutup kupingnya. Be berapa saat ke mu dian, karyawan Dedi tergopoh-gopoh keluar meng gi ring ku masuk rumah. Sekujur tubuh ini basah kuyup. Menon toni petir sering bikin aku linglung. Air hujan lewat saja tanpa dirasa. Kejadian itu berulang terus, sampai-sampai mereka berinisiatif mengurungku dalam kamar kalau musim hujan datang. Aku cuma bisa berdiri di tepi jendela, memejamkan mata nikmat setiap geledek besar menggetarkan kaca. Sementara, sayup-sayup terdengar pekikan kaget kakakku di ruang tengah. Watti yang senantiasa mendamba drama keluarga mulai mengangkat isu itu ke permukaan. Suatu malam di meja ma kan—ralat, di setengah meja pingpong tanpa kaki kiri yang tidak mau dibuang Dedi hingga diganjallah oleh dus kulkas dan alakazam! Jadilah meja makan!—Watti membuka per kara, “Ded, Etra kena kuasa gelap.” Aku tak mengerti maksudnya. Namun, kulihat alis Dedi mengangkat dan mulutnya membentuk bundaran kecil. “Kuasa gelap?” tanyanya, “Apaan itu?” 18

PEtir Ya. Aku juga ingin tahu apa itu. Watti menegakkan tulang belakangnya, berdehem. “Watti tahu dari persekutuan doa, Ded. Kuasa gelap itu artinya kuasa iblis. Dedi nggak tahu saja, si Etra kayak anak ke su rupan tiap ada petir, suka ketawa sendiri, bengong ke lamaan, hujan-hujanan.” “Masa?” Dedi menoleh menatapku. Waktu itu umurku sembilan tahun lebih seminggu. Jangan salah kan aku kalau tidak mampu membela diri. “Jadi, harus diapain, dong?” Dedi bertanya lagi kepada Watti yang senyam-senyum kecil tanda puas. Kalau bicara kuasa iblis, mau tidak mau kita harus bicara kuasa Tuhan, sebuah topik yang membuat Dedi kehilangan rasa percaya dirinya. Bertahun-tahun, tepatnya setelah Mami meninggal, Dedi berhenti ke gereja. Cuma dua kali setahun: Paskah dan Natal. Lain dengan Watti yang aktif mengikuti persekutuan doa, bahkan sudah bisa menginjili dan mem promosikan kuasa Yesus ke orang-orang tak dikenal. “Etra harus lahir baru.” Watti berkata mantap. “Ha?” Dedi mengernyit. Matanya lenyap dari pandangan. Dengan patriotik Watti menjelaskan misi mulianya. “Selasa besok, Watti mau bawa Etra ke persekutuan, nanti dia dibantu sama kakak-kakak di sana. Cuma dengan tangan Tuhan, Ded, Etra bisa sembuh.” Aku menatap Dedi. Berharap akan ada satu argumentasi. Namun, kata “Tuhan” betul-betul memegang kunci. Dedi 19

PEtir<br />

Ya. Aku juga ingin tahu apa itu.<br />

Watti menegakkan tulang belakangnya, berdehem. “Watti<br />

tahu dari persekutuan doa, Ded. Kuasa gelap itu artinya kuasa<br />

iblis. Dedi nggak tahu saja, si Etra kayak anak ke su rupan<br />

tiap ada petir, suka ketawa sendiri, bengong ke lamaan,<br />

hujan-hujanan.”<br />

“Masa?” Dedi menoleh menatapku.<br />

Waktu itu umurku sembilan tahun lebih seminggu. Jangan<br />

salah kan aku kalau tidak mampu membela diri.<br />

“Jadi, harus diapain, dong?” Dedi bertanya lagi kepada<br />

Watti yang senyam-senyum kecil tanda puas.<br />

Kalau bicara kuasa iblis, mau tidak mau kita harus bicara<br />

kuasa Tuhan, sebuah topik yang membuat Dedi kehilangan<br />

rasa percaya dirinya. Bertahun-tahun, tepatnya setelah Mami<br />

meninggal, Dedi berhenti ke gereja. Cuma dua kali setahun:<br />

Paskah dan Natal. Lain dengan Watti yang aktif mengikuti<br />

persekutuan doa, bahkan sudah bisa menginjili dan mem promosikan<br />

kuasa Yesus ke orang-orang tak dikenal.<br />

“Etra harus lahir baru.” Watti berkata mantap.<br />

“Ha?” Dedi mengernyit. Matanya lenyap dari pandangan.<br />

Dengan patriotik Watti menjelaskan misi mulianya. “Selasa<br />

besok, Watti mau bawa Etra ke persekutuan, nanti dia<br />

dibantu sama kakak-kakak di sana. Cuma dengan tangan<br />

Tuhan, Ded, Etra bisa sembuh.”<br />

Aku menatap Dedi. Berharap akan ada satu argumentasi.<br />

Namun, kata “Tuhan” betul-betul memegang kunci. Dedi<br />

19

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!