Petir
KEPiNG 38 Elektra. Jarang ada yang tahu alasan sebenarnya. Ayahku seorang tukang listrik, atau, ehm, ahli elektronik, bernama Wijaya. Tertuliskan besar-besar di plang depan rumah kami dulu: Wijaya Elektronik – Servis dan Reparasi. Tinggal di Bandung membuat namaku tidak indah. Aku berharap pengucapan “Elektra” dapat bergulir anggun bagai kaki jenjang pemain ski di atas sungai beku, dengan huruf “a” yang menganga sempurna seperti kita mengucap “angsa”. Na mun, namaku terucapkan segaring keripik emping mentah dengan huruf “k” yang tergantung malu-malu di ujung. Elek tra’. Seperti “kakak”. Kalau namaku Elektra dan ayahku tukang listrik, bisakah kalian tebak siapa nama kakakku? Watti. Ya. Dengan dua “t”. Tak ada yang lebih membahagiakan seorang tukang listrik ketika anaknya datang menangis karena mainan elek troniknya rusak. “Daddy, musiknya nggak mau jalan,” rengek Watti sembari menyetorkan mainan plastik berbentuk radio dengan kenop oranye yang apabila diputar akan mendendang kan lagu tunggal “Hickory, Dickory, Dock”. Maka, Daddy—atau lebih sesuainya “Dedi” karena ada juga huruf “k” yang terdengar samar di ujung kata—akan segera tengge lam dalam perkakas nya. Kemudian, timbul lagi seperti tu kang sulap yang bangkit dari peti dibelah dua. Simsalabim! Mainan kami kembali baru. Begitulah seterusnya hingga kami sadar bahwa tak pernah ada mainan baru. Dedi selalu berhasil memperbaiki sega la- 14
PEtir nya. Yang kami miliki hanyalah manula-manula berjiwa mu da. Kabel baru, IC baru, baterai baru. Gambarnya sendiri pudar. Warna oranye menghilang, berganti menjadi krem pucat da lam waktu dua puluh tahun, tetapi lagu itu terus ber den dang... hickory, dickory, dock, the mouse ran up the clock, the clock strucked one, the mouse ran down... sampai hari ini. Oleh-oleh dari Tante Yu Lien, kerabat kami yang paling kaya raya, dari Amerika, 1981. Aku sering kangen Dedi. Masih terbayang gerak geriknya dalam kaus singlet putih dan celana tenis, suara gesekan sandal jepitnya pada ubin. Dan, masih bisa kubaui aroma solder campur debu yang selalu bertumpuk akibat diundang medan statis. Wijaya Elektronik tutup sejak dua tahun yang lalu. Se menjak Dedi meninggal dunia karena stroke, tidak ada yang sanggup atau bahkan berminat meneruskan tempat ini. Ke dua anak perempuannya tak suka listrik, ogah mengatur para karyawan, apalagi mengurus pembukuan. Watti lebih suka ikut suaminya yang bertugas jadi staf me dis di Freeport. Ia selalu bicara soal Tembagapura. Tembagapura memang tempat ideal bagi wanita domestik seperti Watti yang masih menunggui suami pulang sambil merajut baju hangat di sofa ruang keluarga. Kota Amerika kecil berketinggian 2000-an meter di atas laut itu menyediakan kegi atan, dari mulai kursus bahasa asing sampai fitness club. Persembahan dari perusahaan bagi ibu-ibu rumah tangga su paya mereka tidak merepotkan suaminya dengan ketidak- 15
- Page 2 and 3: Undang-undang Republik Indonesia No
- Page 4 and 5: SUPERNOVA, EPISODE: PETIR Karya Dee
- Page 7: ELEKTRA berterima kasih kepada: AKP
- Page 11 and 12: KEPING 37 Kado Hari Jadi 2 0 0 3
- Page 13 and 14: Kado Hari Jadi mun, ia belum mau me
- Page 15 and 16: Kado Hari Jadi “Dan, men-defrag o
- Page 17 and 18: Kado Hari Jadi Bukannya orang justr
- Page 19: Kado Hari Jadi Diva dinyatakan hila
- Page 23: 2 0 0 1 Bandung “Maaf, siapa nam
- Page 27 and 28: PEtir pen ke tubuhnya, dan percaya
- Page 29 and 30: PEtir Ya. Aku juga ingin tahu apa i
- Page 31 and 32: PEtir nasan dibakar ayat-ayat suci
- Page 33 and 34: PEtir Bang Nelson tiba-tiba merepet
- Page 35 and 36: PEtir atau tidak hanyalah masalah t
- Page 37 and 38: PEtir sihan, ya. Kecil-kecil sudah
- Page 39 and 40: PEtir “Kenapa, sih, Dedi jadi tuk
- Page 41 and 42: PEtir pun masih tidak apa-apa, belu
- Page 43 and 44: PEtir di pasar, kek, atau di jalan,
- Page 45 and 46: PEtir Watti menimpali, galak, “De
- Page 47: PEtir an. Sementara, kalau kulihat-
KEPiNG 38<br />
Elektra. Jarang ada yang tahu alasan sebenarnya. Ayahku<br />
seorang tukang listrik, atau, ehm, ahli elektronik, bernama<br />
Wijaya. Tertuliskan besar-besar di plang depan rumah kami<br />
dulu: Wijaya Elektronik – Servis dan Reparasi.<br />
Tinggal di Bandung membuat namaku tidak indah. Aku<br />
berharap pengucapan “Elektra” dapat bergulir anggun bagai<br />
kaki jenjang pemain ski di atas sungai beku, dengan huruf<br />
“a” yang menganga sempurna seperti kita mengucap “angsa”.<br />
Na mun, namaku terucapkan segaring keripik emping mentah<br />
dengan huruf “k” yang tergantung malu-malu di ujung.<br />
Elek tra’. Seperti “kakak”.<br />
Kalau namaku Elektra dan ayahku tukang listrik, bisakah<br />
kalian tebak siapa nama kakakku? Watti. Ya. Dengan dua “t”.<br />
Tak ada yang lebih membahagiakan seorang tukang listrik<br />
ketika anaknya datang menangis karena mainan elek troniknya<br />
rusak. “Daddy, musiknya nggak mau jalan,” rengek<br />
Watti sembari menyetorkan mainan plastik berbentuk radio<br />
dengan kenop oranye yang apabila diputar akan mendendang<br />
kan lagu tunggal “Hickory, Dickory, Dock”. Maka,<br />
Daddy—atau lebih sesuainya “Dedi” karena ada juga huruf<br />
“k” yang terdengar samar di ujung kata—akan segera tengge<br />
lam dalam perkakas nya. Kemudian, timbul lagi seperti<br />
tu kang sulap yang bangkit dari peti dibelah dua. Simsalabim!<br />
Mainan kami kembali baru.<br />
Begitulah seterusnya hingga kami sadar bahwa tak pernah<br />
ada mainan baru. Dedi selalu berhasil memperbaiki sega la-<br />
14