Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Kado Hari Jadi<br />
“Dan, men-defrag otak sekalian,” timpal Dimas ketus,<br />
“dinner-nya besok.”<br />
Reuben terdiam. Begitu juga Dimas. Lama keduanya membisu,<br />
menunggu sengalan napas itu reda. Ada segelom bang<br />
ba dai bening yang mereka rasakan. Dan, sampai napas Reuben<br />
kembali tenang pun, gelombang itu tak kunjung susut.<br />
Perlahan, Dimas bangkit berdiri. Tanpa suara.<br />
Reuben mengatupkan mata, frustrasi. Kenapa ia selalu<br />
lu pa? Kenapa tidak pernah bisa ingat? Bukan hari ini saja.<br />
Sudah puluhan janji tak tertampung oleh memorinya. Dimas<br />
patut diberi medali karena masih belum meledak mengamuk<br />
sampai hari ini. Padahal, Dimas pantas marah. Amat sangat<br />
pantas. Namun, ia selalu memilih diam.<br />
“Dimas... sori,” pelan, Reuben berkata. Ia tahu kalimat<br />
itu percuma. Dimas akan berjalan masuk ke kamarnya, menu<br />
tup pintu. Tidak keluar sampai pagi, kecuali kalau ada<br />
ke ba karan.<br />
Begitu pintu itu tertutup, Reuben pun pasrah. Mencopot<br />
sepatu dan menyelonjorkan kaki. Berusaha menyatu dengan<br />
so fa yang akan jadi alas tidurnya sampai esok hari. Namun,<br />
tiba-tiba, matanya menemukan sesuatu. Bantal bulu angsa<br />
ke sayangan Dimas, tertinggal di salah satu kursi. Kalau situasi<br />
sudah begini, pasti ia tidak akan dijemput pemiliknya.<br />
Reuben beranjak, meraih bantal kesepian itu, lalu mendekapnya.<br />
Aro ma yang ia hafal. Campuran bau sampo, keringat,<br />
dan sisa parfum.<br />
5