Petir
Keping 37 “Tambah ocha-nya lagi, Pak Dimas?” Pria itu mendongak. Ada ribuan pilihan tempat untuk ma kan siang di Kota Jakarta, tetapi ia selalu memilih makan sushi di tempat sama, hampir empat kali seminggu, dan pelayan ini sudah dikenalnya lima tahun lebih, tetapi masih memanggilnya dengan sebutan “Pak”. Tiap kali tanpa jera Dimas mengingatkan, panggil “Mas”, jangan “Pak”. Dan, semakin diingatkan semakin ia melanggar. “Heru, kalau kamu sudah pacaran dengan orang dua belas tahun, kamu mau kasih kado apa?” Dimas bertanya. Pelayan bernama Heru memandang langit-langit, ber usaha lari dari pertanyaan aneh itu. “Dua belas tahun, Pak?” “Dan jangan panggil saya ‘Pak’.” “Saya belum pernah pacaran sampai selama itu, Pa— maaf.” “Dikira-kira saja.” Heru mengernyitkan kening. Pertanyaan ini terlampau pe lik untuk pukul 12 siang. “Mmm. Kalau sudah dua be las tahun, harusnya semuanya sudah dikasih, ya.” “Jadi, nggak perlu kasih apa-apa lagi?” Heru mengangguk kilat. Malas membahas. “Ocha satu pot lagi.” “Baik, Pak.” Dimas memandangi Heru berlalu sambil berpikir, mungkin sudah saatnya ia menyerah. Berhenti mengoreksi. Na- 2
Kado Hari Jadi mun, ia belum mau menyerah untuk yang satu ini. Semes tinya ada yang bisa dipersembahkan, atau dilakukan, sekalipun telah ia kenali Reuben sebaik dirinya sendiri, dan dirinya tidak butuh apa-apa. Hanya cinta. Dua belas tahun bukan waktu yang singkat. Tidak untuk pasangan gay. Akan lebih mudah bagi mereka jika punya cin cin emas tanda pengikat, yang merangkap fungsi sebagai stiker “Awas Anjing Galak!” karena apabila ada apa-apa dengan ikatan keduanya maka keluarga, negara, bahkan mungkin Tuhan siap merangsak mengamuk. Namun, jendela hidup mereka polos tanpa stiker. Barangkali cuma cinta. Dan, Cinta tak butuh aksara. Dimas meraih ponsel. Hanya satu tombol un tuk menghu bungkannya dengan Reuben. Hanya satu nada panggil, te lepon itu diangkat. “... ya!” “Halo, Reuben—” “... tapi, kan, saya sudah bilang, kalau mau memakai pendekatan kualitatif, Anda tidak bisa menganalisisnya dengan cara begini, dong!” “Reuben—” “Bubarkan saja ini penelitian! Ngapain saya ikut susah!” “Ben!” “Ya?” “Kamu ngomong sama siapa, sih?” 3
- Page 2 and 3: Undang-undang Republik Indonesia No
- Page 4 and 5: SUPERNOVA, EPISODE: PETIR Karya Dee
- Page 7: ELEKTRA berterima kasih kepada: AKP
- Page 11: KEPING 37 Kado Hari Jadi 2 0 0 3
- Page 15 and 16: Kado Hari Jadi “Dan, men-defrag o
- Page 17 and 18: Kado Hari Jadi Bukannya orang justr
- Page 19: Kado Hari Jadi Diva dinyatakan hila
- Page 23 and 24: 2 0 0 1 Bandung “Maaf, siapa nam
- Page 25 and 26: PEtir nya. Yang kami miliki hanyala
- Page 27 and 28: PEtir pen ke tubuhnya, dan percaya
- Page 29 and 30: PEtir Ya. Aku juga ingin tahu apa i
- Page 31 and 32: PEtir nasan dibakar ayat-ayat suci
- Page 33 and 34: PEtir Bang Nelson tiba-tiba merepet
- Page 35 and 36: PEtir atau tidak hanyalah masalah t
- Page 37 and 38: PEtir sihan, ya. Kecil-kecil sudah
- Page 39 and 40: PEtir “Kenapa, sih, Dedi jadi tuk
- Page 41 and 42: PEtir pun masih tidak apa-apa, belu
- Page 43 and 44: PEtir di pasar, kek, atau di jalan,
- Page 45 and 46: PEtir Watti menimpali, galak, “De
- Page 47: PEtir an. Sementara, kalau kulihat-
Keping 37<br />
“Tambah ocha-nya lagi, Pak Dimas?”<br />
Pria itu mendongak. Ada ribuan pilihan tempat untuk<br />
ma kan siang di Kota Jakarta, tetapi ia selalu memilih makan<br />
sushi di tempat sama, hampir empat kali seminggu, dan pelayan<br />
ini sudah dikenalnya lima tahun lebih, tetapi masih memanggilnya<br />
dengan sebutan “Pak”. Tiap kali tanpa jera<br />
Dimas mengingatkan, panggil “Mas”, jangan “Pak”. Dan,<br />
semakin diingatkan semakin ia melanggar.<br />
“Heru, kalau kamu sudah pacaran dengan orang dua belas<br />
tahun, kamu mau kasih kado apa?” Dimas bertanya.<br />
Pelayan bernama Heru memandang langit-langit, ber usaha<br />
lari dari pertanyaan aneh itu. “Dua belas tahun, Pak?”<br />
“Dan jangan panggil saya ‘Pak’.”<br />
“Saya belum pernah pacaran sampai selama itu, Pa—<br />
maaf.”<br />
“Dikira-kira saja.”<br />
Heru mengernyitkan kening. Pertanyaan ini terlampau<br />
pe lik untuk pukul 12 siang. “Mmm. Kalau sudah dua be las<br />
tahun, harusnya semuanya sudah dikasih, ya.”<br />
“Jadi, nggak perlu kasih apa-apa lagi?”<br />
Heru mengangguk kilat. Malas membahas.<br />
“Ocha satu pot lagi.”<br />
“Baik, Pak.”<br />
Dimas memandangi Heru berlalu sambil berpikir, mungkin<br />
sudah saatnya ia menyerah. Berhenti mengoreksi. Na-<br />
2