You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002<br />
Tentang Hak Cipta<br />
Lingkup Hak Cipta<br />
Pasal 2:<br />
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta<br />
untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara<br />
oto matis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan<br />
me nu rut peraturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan yang berlaku.<br />
Ketentuan Pi<strong>dan</strong>a:<br />
Pasal 72:<br />
1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar <strong>dan</strong> tanpa hak melakukan perbuatan<br />
se bagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) <strong>dan</strong><br />
Ayat (2) dipi<strong>dan</strong>a dengan pi<strong>dan</strong>a penjara masing-masing paling singkat 1<br />
(satu) bulan <strong>dan</strong>/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah),<br />
atau pi<strong>dan</strong>a penjara paling lama 7 (tujuh) tahun <strong>dan</strong>/atau denda paling<br />
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).<br />
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau<br />
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta<br />
atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipi<strong>dan</strong>a dengan pi<strong>dan</strong>a<br />
penjara pa ling lama 5 (lima) tahun <strong>dan</strong>/atau denda paling banyak<br />
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Dee
SUPERNOVA<br />
EPISODE: KESATRIA, PUTRI, DAN BINTANG JATUH<br />
Karya Dee/Dewi Lestari<br />
Cetakan Pertama, Maret 2012<br />
Penyunting: Dhewiberta<br />
Perancang sampul: Fahmi Ilmansyah<br />
Penata aksara: Irevitari & Bowo<br />
Pemeriksa aksara: Intan & Pritameani<br />
Foto penulis: Reza Gunawan<br />
Simbol sampul: <strong>Supernova</strong> Web<br />
Pernah diterbitkan dengan judul yang sama pada 2001<br />
© 2012, Dee/Dewi Lestari<br />
Diterbitkan oleh Penerbit Bentang<br />
(PT Bentang Pustaka)<br />
Anggota Ikapi<br />
Jln. Kalimantan G-9A Sinduadi, Mlati, Sleman, D.I. Yogyakarta 55204<br />
Telp. (0274) 886010 - Fax. (0274) 541441<br />
Email: bentangpustaka@yahoo.com<br />
http://www.mizan.com<br />
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)<br />
Dee<br />
<strong>Supernova</strong>/Dee; pe nyunting; Dhewiberta. —Yogyakarta: Bentang, 2012.<br />
x + 322 hlm; 20 cm<br />
ISBN 978-602-8811-72-9<br />
I. Judul. II. Dhewiberta.<br />
Didistribusikan oleh:<br />
Mizan Media Utama<br />
Jln. Cinambo (Cisaranten Wetan) No. 146<br />
Ujungberung, Bandung 40294<br />
Telp. (022) 7815500 – Faks. (022) 7802288<br />
Email: mizanmu@bdg.centrin.net.id<br />
899.221 3<br />
Perwakilan:<br />
Jakarta: Telp.: 021-7874455, 021-78891213, Faks.: 021-7864272, Email: mmujkt@<br />
gmail.com – Surabaya: Telp.: 031-8281857, 031-60050079, Faks.: 031-8289318,<br />
Email: mizanmu_sby@yahoo.com – Pekanbaru: Telp.: 0761-20716, 0761-29811,<br />
Faks.: 0761-20716, Email: mmupku@gmail.com – Me<strong>dan</strong>: Telp./Faks.:<br />
061-7360841,Email: mmume<strong>dan</strong>@hotmail.com – Makassar: Telp./Faks.: 0411-<br />
873655, Email: mznmks@yahoo.com – Malang: Telp./Faks.: 0341-567853, Email:<br />
mizan_mlg@yahoo.com – Palembang: Telp./Faks.: 0711- 413936, mizanmu_<br />
palembang@yahoo.co.id – Yogyakarta: Telp.: 0274-885485, Faks.: 0274-885527,<br />
Email: mizanmediautama@yahoo.com – Bali: Telp./Faks.: 0361-482826, Email:<br />
mizanbali@yahoo.com – Bogor: Telp.: 0251-8363017, Faks.: 0251-8363017<br />
– Banjarmasin: Telp.: 0511-3252374
SUPERNOVA<br />
menurut mereka<br />
...<br />
“Sebuah petualangan intelektual yang menerabas segala sekat disipliner;<br />
semacam perselingkuhan visioner yang memesona antara fisika, psiko logi,<br />
religi, mitos, <strong>dan</strong> fiksi. Tak hanya menggoda, novel ini mungkin bahkan<br />
penting.”<br />
[Dr. I. Bambang Sugiharto]<br />
“Kehangatan yang menyengat yang ditawarkan novel ini unik, baru, <strong>dan</strong><br />
me mukau. Dengan pengalaman menulis sendiri <strong>dan</strong> juga membaca karyakarya<br />
sastra selama puluhan tahun, saya bukan hanya merasakan, melainkan<br />
juga terseret di dalamnya.”<br />
[Arswendo Atmowiloto]<br />
“Novel ini, terutama penyusunan dialog <strong>dan</strong> komposisinya, merupakan perwuju<strong>dan</strong><br />
dari kebudayaan kita yang sekarang diguncang oleh tidak ada nya<br />
makna yang bisa dijadikan pegangan. Sangat menarik.”<br />
[Sapardi Djoko Damono]<br />
“Mereka yang karena kebiasaan lama terlalu membedakan fiksi <strong>dan</strong> non fiksi,<br />
mungkin kecewa dengan buku ini. Tapi, tidak bagi yang selalu bergairah<br />
menyongsong segala hal yang tumbuh.”<br />
[Sujiwo Tejo]<br />
“Sebuah novel yang menarik dari angkatan muda kita. Inilah karya sastra<br />
intelektual bergaya pop art yang sepenuhnya bermain di dunia hakiki. Menentang<br />
nilai-nilai lama dengan mengajukan argumentasi-argumentasi baru,<br />
agar pembaca memiliki persepsi baru tentang keber adaannya.”<br />
[Jakob Sumardjo]<br />
“Di tebing akhir <strong>Supernova</strong> akan muncul sebuah kalimat besar yang bisa jadi<br />
kunci segala macam fanatisme yang kini tengah mengoyak negeri ini: Matilah<br />
terhadap segala yang kau tahu.”<br />
[Putu Wijaya]<br />
“Salah satu kesegaran baru yang muncul dalam sastra Indonesia tiga tahun<br />
terakhir ini. Penelusuran nilai lewat sains, spiritualitas, <strong>dan</strong> percintaan yang<br />
cerdas, unik, <strong>dan</strong> mengguncang.”<br />
[Taufiq Ismail]
Daftar Isi<br />
Keping 1 Yang Ada Hanyalah ADA 1<br />
Keping 2 <strong>Kesatria</strong> 21<br />
Keping 3 Keresahan yang Terabaikan 45<br />
Keping 4 <strong>Putri</strong> 48<br />
Keping 5 Tanda Tanya Agung 57<br />
Keping 6 “Reversed Order Mechanism” 63<br />
Keping 7 <strong>Bintang</strong> <strong>Jatuh</strong> 70<br />
Keping 8 “Such a Small World, eh?” 99<br />
Keping 9 Cinta Tidak Butuh Tali 103<br />
Keping 10 Kekekalan Adalah Chaos 117<br />
Keping 11 Si Pencinta Alam 129<br />
Keping 12 Un Sol Em Noite 134<br />
Keping 13 Tuhan Maha Tidak Romantis 142<br />
Keping 14 Sebesar Cinta Itu Sendiri 150<br />
Keping 15 Ia Se<strong>dan</strong>g Kasmaran 161<br />
Keping 16 Ia Menangis 171<br />
Keping 17 Dua Idiot Abad ke-21 179<br />
Keping 18 Cyber Avatar 191<br />
Keping 19 Tsunami Hati 203<br />
Keping 20 Di Celah Pikiran 209
Keping 21 Titik Bifurkasi 215<br />
Keping 22 Pelajaran Terbang 224<br />
Keping 23 Kiamat Personal 232<br />
Keping 24 <strong>Kesatria</strong> Schrödinger 236<br />
Keping 25 Di Dasar Jurang 248<br />
Keping 26 Opto, Ergo Sum 255<br />
Keping 27 Semesta Memutuskannya 260<br />
Keping 28 Selamat Pagi, Koevolusi 268<br />
Keping 29 Pernahkah, <strong>Supernova</strong>? 283<br />
Keping 30 Cermin yang Hidup 290<br />
Keping 31 Jaring Laba-Laba 299<br />
Keping 32 Individu Hanyalah Ilusi 308<br />
Keping 33 Segalanya Ada Padamu 313<br />
viii
Engkaulah getar pertama yang meruntuhkan gerbang tak<br />
berujungku mengenal hidup.<br />
Engkaulah tetes embun pertama yang menyesatkan dahagaku<br />
dalam cinta tak bermuara.<br />
Engkaulah matahari Firdausku yang menyinari kata pertama<br />
di cakrawala aksara.<br />
Kau hadir dengan ketiadaan. Sederhana dalam<br />
ketidakmengertian.<br />
Gerakmu tiada pasti. Namun, aku terus di sini.<br />
Mencintaimu.<br />
Entah kenapa.<br />
(catatan pada suatu pagi buta di atas atap rumah tetangga)
KEPING 1<br />
Yang Ada Hanyalah ADA<br />
Kedua pria itu duduk berhadapan. Kehangatan terpancar<br />
dari mata mereka. Rasa itu memang masih<br />
ada. Masa sepuluh tahun tidak mengarat kan esensi,<br />
sekalipun menyusutkan bara. Tidak lagi ber gejolak, tapi<br />
hangat. Hangat yang tampaknya kekal. Bu kankah itu yang<br />
semua orang cari?<br />
Sepuluh tahun yang lalu, mereka bertemu di George town,<br />
tepat di bawah plang Wisconsin Avenue, bermandi teriknya<br />
matahari musim panas Washington, D.C. Ma sing-masing<br />
bersama rombongan teman yang berbeda, banyak yang tidak<br />
saling kenal, <strong>dan</strong> perkenalan keduanya pun berlangsung<br />
datar-datar saja. Tidak ada yang spesial.
KEPING 1<br />
1 9 9 1 <br />
Washington, D.C.<br />
“Dimas, George Washington University,” Dimas memperkenalkan<br />
diri. Wajahnya yang manis membuat ia selalu tampak<br />
tersipu-sipu.<br />
Reuben menyambut tangan itu, terasa halus, sehalus pa ras<br />
<strong>dan</strong> penampilan orangnya yang terawat. Berbeda dengan<br />
dirinya, guratan wajah yang tegas, setegas jabat tangannya.<br />
“Reuben, Johns Hopkins Medical School.”<br />
“Bagaimana perjalanan dari Baltimore tadi?”<br />
“Yah, lancar-lancar.”<br />
“Saya dengar 295 North dari arah New York Ave ditutup.”<br />
“Kami lewat G.W. Park.”<br />
Nada itu terdengar angkuh. Dimas langsung tahu kalau<br />
Reuben termasuk geng anak beasiswa; orang-orang sinis <strong>dan</strong><br />
kuper yang cuma cocok bersosialisasi dengan buku. Se mentara<br />
dari gayanya, Reuben pun langsung tahu kalau Dimas<br />
termasuk geng anak orang kaya; kalangan maha siswa Indonesia<br />
berlebih harta yang tidak pernah ia suka.<br />
Namun, hari itu memang berbeda. Semangat musim<br />
panas sanggup membuat seseorang berbuat di luar ke biasaan<br />
nya. Malam itu, kedua rombongan yang tidak per nah<br />
bergabung sebelumnya, akhirnya sama-sama terdam par di<br />
2
Yang ada HanYalaH ada<br />
Watergate Condominium, dalam satu unit aparte men me wah<br />
milik kawan Dimas. Dimulai dengan makan ma lam hingga<br />
ber-“pesta-kimia” kecil-kecilan.<br />
Semua orang terkapar tanpa terkecuali, di sofa, di atas<br />
karpet, di kasur, bahkan di kamar mandi. Tinggal alunan<br />
sayup-sayup musik trance ditambah suara dua orang bercakap-cakap.<br />
“Ini badai serotonin 1 pertamaku. Gila, rasanya luar bi asa,”<br />
ujar Reuben. Sorot matanya menyeberang jauh.<br />
“Badai serotonin,” Dimas menyahut dengan senyum tolol,<br />
“istilah yang bagus.”<br />
“Saya nggak mengerti. Kok, ada orang-orang yang m a lah<br />
tidur? Ini adalah momen yang nggak ada duanya. A<br />
milestone.”<br />
“Apa yang kamu lihat?”<br />
Reuben melihat sekeliling. Bagaimana ia mampu menjelaskan<br />
ini semua? Ia baru saja menemukan cermin yang<br />
selama ini ia cari-cari, <strong>dan</strong> sekarang se<strong>dan</strong>g menikmati reflek<br />
sinya. Jangan suruh bicara dulu.<br />
Sejak kali pertama Reuben membaca ulasan Benoit<br />
Mandelbrot, seorang matematikawan Prancis yang de ngan<br />
1<br />
Senyawa amino yang terdapat antara lain pada darah <strong>dan</strong> otak, berfungsi sebagai<br />
hormon <strong>dan</strong> juga neuro-transmitter. Kekurangan serotonin berimplikasi kuat<br />
pada depresi <strong>dan</strong> beragam penyimpangan emosional. Sebaliknya, serotonin pun<br />
ber peran penting dalam penciptaan rasa damai <strong>dan</strong> tenang. Obat-obatan re kreasional<br />
seperti LSD, Mescaline, Psilocybin, <strong>dan</strong> Ecstasy, bekerja langsung pada<br />
reseptor serotonin otak.<br />
3
KEPING 1<br />
re volusioner membuka gerbang baru untuk memahami ilmu<br />
turbulensi, ia langsung merasakan secercah ke in dah an harmoni<br />
antara dua sisi cermin kehidupan, antara keter aturan<br />
<strong>dan</strong> ketidakteraturan, yang tertebak <strong>dan</strong> tidak ter tebak.<br />
Order <strong>dan</strong> chaos. 2<br />
Sesempurna apa pun sebuah tatanan, dapat dipastikan<br />
chaos selalu ada, membayangi seperti siluman abadi. Begitu<br />
sistem mencapai titik kritisnya, ia pun lepas meng ubrakabrik.<br />
Bahkan, dalam keadaan yang tam pak nya ekui li bri um<br />
atau seimbang, sesungguhnya chaos <strong>dan</strong> order hadir ber sa maan,<br />
seperti kue lapis, yang di antaranya terdapat oles an selai<br />
sebagai perekat. Selai itu adalah zona kuan tum; rimba infinit<br />
di mana segalanya relatif; kumpulan potensi <strong>dan</strong> probabilitas.<br />
Dalam kehidupan sehari-hari, kehadirannya dapat te rasa<br />
dalam bentuk intermittency atau ketidaksinambungan. Keterputus-putusan.<br />
Paradigma reduksionisme, yang telah berabad-abad<br />
mendominasi dunia sains, tidak pernah mem berikan<br />
perhatian pada fenomena ini. Dan, bagi ma nusia yang<br />
melihat dunia hanya hitam <strong>dan</strong> putih, maka ia harus siapsiap<br />
terguncang setiap kali memasuki area abu-abu di mensi<br />
kuantum. Karenanya, relativitas bagaikan ki amat bagi yang<br />
mengagung-agungkan objektivitas. Sains ternyata tidak selama<br />
nya objektif. Sains, sering kali, harus subjektif.<br />
2<br />
Teori tentang sistem deterministik, tetapi pergerakannya sangat sensitif terhadap<br />
kondisi-kondisi inisial sehingga tidak memungkinkan a<strong>dan</strong>ya prediksi<br />
jangka panjang.<br />
4
Yang ada HanYalaH ada<br />
[Lalu, apakah sebenarnya dirimu, wahai turbulensi? Di<br />
mana engkau sembunyikan wajahmu?]<br />
Turbulensi dapat dianalogikan sebagai pigura hitam yang<br />
membingkai setiap kepingan gambar dalam reel film, yang<br />
ketika diputar dengan kecepatan 24 frame per detik, mata<br />
kita tidak akan melihat bahwa sebenarnya film tak lebih dari<br />
potongan-potongan gambar <strong>dan</strong> bukannya kon tinuitas. Dalam<br />
realitas, turbulensi ibarat sebuah “Dapur Agung” yang<br />
transenden. Tak terikat ruang <strong>dan</strong> waktu, berinteraksi dengan<br />
sinyal-sinyal nonlokal. Tempat di ra cik nya semua probabilitas,<br />
potensi, serta loncatan ku an tum. Lalu, dari dapur<br />
tersebut tersajilah sup kehidupan yang nyata <strong>dan</strong> terukur,<br />
realitas yang bisa dicicip ataupun di hirup baunya.<br />
Turbulensi hadir di mana-mana, dalam hidup organis me<br />
sesederhana bakteri sampai ke interaksi antarplanet di Bima<br />
Sakti. Tapi, kehadirannya selalu dianggap sekadar keberisikan,<br />
tak lebih signifikan dari bunyi “kresek-kresek” gelombang<br />
radio yang tak pas atau gambar statis sesudah acara<br />
televisi habis. Namun, sekarang sudah saatnya dunia sains<br />
mengalami turbulensi yang sesungguhnya, bahwa cara pan<strong>dan</strong>g<br />
reduksionis <strong>dan</strong> fisika klasik para Newtonian tidak<br />
akan sanggup memblokir refleksi dari cermin ke hidupan.<br />
Keteraturan mau tak mau harus berkaca, mene mukan diri nya<br />
ternyata berasal dari sebuah Maha Ketidak teraturan. Sama<br />
halnya dengan otak yang merupakan organ nonlinear tulen,<br />
5
KEPING 1<br />
ataupun denyut jantung yang tak beraturan, telah men cip takan<br />
order untuk seorang manu sia dapat hidup.<br />
Terciptanya sebuah sistem pada dasarnya diakibatkan<br />
atraktor 3 yang terus-menerus melakukan feedback atas diri nya<br />
sendiri. Proses arus-balik itu kemudian menyebabkan sistem<br />
teramplifikasi, hingga tiba di titik di mana ia meng alami<br />
fluks, atau disodori “pilihan” untuk berubah. Fase pe nuh kebimbangan<br />
itu lalu mencapai kulminasinya, sam pai terjadilah<br />
apa yang dinamakan bifurkasi. 4 Tonggak se ja rah bagi sebuah<br />
sistem untuk berevolusi.<br />
Malam itu, terjadi fluks hebat yang mengocok-ngocok<br />
solar plexus 5 Reuben. Ia dapat merasakannya. Ia berada di<br />
titik bifurkasi.<br />
3<br />
Pengertian tentang “atraktor” secara sederhana kurang lebih dapat digambarkan<br />
melalui ayunan pendulum yang pada akhirnya akan berhenti di satu titik. Titik<br />
istirahat si pendulum itulah yang disebut para matematikawan sebagai titik<br />
atrak tor atau titik baku. Lebih tepatnya, atraktor adalah region magnetis yang<br />
me miliki kekuatan dahsyat untuk menarik seluruh sistem ke dalam dirinya.<br />
4<br />
Secara etimologis, bifurkasi berarti tempat percabangan. Ilya Prigogine—salah<br />
satu ilmuwan kontemporer yang menjadi pionir dalam penelusuran tentang sifat<br />
alamiah chaos dalam sistem—menempatkan bifurkasi sebagai konsep esensial.<br />
Bifurkasi dapat membawa sistem memfragmentasi dirinya menuju chaos,<br />
atau justru menstabilisasi sistem melalui perubahan yang dibawanya. Sesudah<br />
menjadi stabil, sistem yang telah melewati bifurkasi menjadi resisten terhadap<br />
perubahan hingga periode yang teramat panjang, sampai akhirnya muncul lagi<br />
titik-titik kri tis yang mampu mengamplifikasi feedback <strong>dan</strong> menghadirkan bifurkasi<br />
baru.<br />
5<br />
Jaringan saraf dalam rongga abdomen, berlokasi tepat di depan aorta <strong>dan</strong> di<br />
bela kang perut, terdiri atas ganglion yang mengirimkan impuls saraf. Beberapa<br />
pen da pat mengatakan bahwa yang disebut “hati” atau pusat perasaan pada manusia<br />
sesungguhnya terdapat di solar plexus.<br />
6
Yang ada HanYalaH ada<br />
Inspirasi halus yang hinggap di sukmanya telah mengamplifikasi<br />
seluruh sistem pemahaman yang ia miliki, m enjadikan<br />
keping-keping teori yang selama ini terpecah-pecah<br />
tiba-tiba terekat menjadi satu. Dan, di tengah ruang tamu<br />
itu, sekelumit rahasia semesta terungkap di depan matanya.<br />
Perlahan Reuben melihat selimut kabut yang meliputi semua<br />
benda <strong>dan</strong> sudut. Bagaikan pixel televisi yang mem bentuk<br />
citra warna-warni, ia menyaksikan bagaima na Ge lap <strong>dan</strong><br />
Terang telah bekerja sama menghadirkan re alitas, dunia materi<br />
ini. Dan, ketika pan<strong>dan</strong>gannya me nyeberangi selimut itu,<br />
batas-batas terangkat. Pola-pola me<strong>dan</strong> energi mendadak<br />
mun cul dari bi<strong>dan</strong>g dinding, <strong>dan</strong> pixel itu ber gerak meng arus.<br />
Reuben tertawa lebar. Ternyata, hidup ini cair. Terus berjalan<br />
tanpa putus bagaikan ombak soliton 6 meng arungi samudra,<br />
<strong>dan</strong> ia berada di tengah-tengahnya. Mata Badai.<br />
Perlahan, Reuben mengangkat kedua tangannya, <strong>dan</strong> ia<br />
pun tercekat. Ternyata, dirinya pun diselimuti kabut itu.<br />
Fisiknya adalah gambar proyeksi semata. Dan, apabila ia<br />
mampu mengidentifikasikan dirinya dengan pixel-pixel itu,<br />
bukan tubuh seorang pria bernama Reuben, maka berarti<br />
dirinya... immortal.<br />
Tidak ada awal <strong>dan</strong> akhir. Tidak ada sebab <strong>dan</strong> akibat.<br />
Tidak ada ruang <strong>dan</strong> waktu. Yang ada hanyalah Ada. Te rus<br />
6<br />
Ombak penyendiri yang mengarungi lautan dengan bentuk <strong>dan</strong> kecepatan<br />
konstan, tanpa pernah melebar <strong>dan</strong> terurai seperti ombak normal lainnya. Persamaan<br />
matematis yang digunakan untuk meneliti fenomena ombak soliton<br />
juga dimanfaatkan pada riset fusi nuklir <strong>dan</strong> superkonduktor.<br />
7
KEPING 1<br />
bergerak, berekspansi, berevolusi. Sia-sialah orang yang berusaha<br />
menjadi batu di arus ini, yang meng ingin kan kepastian<br />
ataupun ramalan masa depan karena se sungguh nya justru<br />
dalam ketidakpastian manusia dapat berjaya, menggunakan<br />
potensinya untuk berkreasi.<br />
Reuben ingin meledak rasanya, dalam tangis <strong>dan</strong> tawa.<br />
“Saya melihat kejernihan. Clarity. Semua sekat <strong>dan</strong> ke rangkeng<br />
pikiran terbuka. Tidak ingin ke mana-mana. Semuanya<br />
hadir di sini...,” ia berusaha menjelaskan, ter bata.<br />
Dimas menanggapi, “Tidak ada lagi pertanyaan soal waktu,<br />
kapan lulus kuliah, tugas, kuis—”<br />
“Itu semuanya debu,” potong Reuben keras, “saya melewati<br />
itu semua. Saya me-ma-ha-mi. Mengerti? Paradoks<br />
Einstein-Podolsky-Rosen, Kupu-Kupu Lorenz, Dualitas<br />
Elektron, Paradoks Kucing Schrödinger—”<br />
“Kucing setengah hidup setengah mati itu?”<br />
“Saya akan merekonsiliasi pertentangan para materi alis<br />
<strong>dan</strong> idealis! Materi <strong>dan</strong> nonmateri! Sains <strong>dan</strong> mitos! Se muanya<br />
terbayang jelas!” Reuben terus mencerocos.<br />
“Semua gara-gara serotonin.”<br />
“Semua karena kejernihan. Kamu tahu kalau orang-orang<br />
yang se<strong>dan</strong>g bermeditasi itu kadar serotonin di otak nya langsung<br />
meningkat?”<br />
“Jadi, kita lagi meditasi? Enak juga. Gampang. Tinggal<br />
telan. Nggak usah susah-susah atur napas.”<br />
8
Yang ada HanYalaH ada<br />
“Tapi, mereka memproduksi serotoninnya dengan alami,<br />
nggak pakai bantuan eksternal macam begini. Ingat, sebenarnya<br />
nggak ada yang namanya jalan pintas. Sekarang kita<br />
boleh menganggapnya hal kecil, padahal ini ibarat utang<br />
besar yang harus dibayar tubuh kita.”<br />
“Jangan bikin jadi bad-trip, dong.”<br />
“Serotonin agaknya semacam detergen otak, ya?”<br />
“Mana saya tahu? Kamu yang kuliahnya di Johns<br />
Hopkins. Saya, kan, bukan calon dokter.”<br />
“Seharusnya malam ini kamu bisa jadi apa saja.”<br />
“Saya ini seorang pujangga.”<br />
“Seorang kapiten juga boleh.”<br />
“Jika terlintas hasratmu menatap keindahan yang kami<br />
puja / Lihat ke dalam hatimu <strong>dan</strong> bayangnya pun kan nyata<br />
/ Jadikan hatimu cermin <strong>dan</strong> berkacalah di sana / Te mukan<br />
keagungan sahabat nan mulia.”<br />
Sorot mata Reuben yang tadi terbang mendadak jatuh. Ia<br />
menatap Dimas tak percaya, “Kamu pernah belajar teori chaos?”<br />
“Excuse me? Teori chaos? Itu puisinya Attar, salah satu<br />
mis tik Sufi.”<br />
“Ah, ya. Sufisme, teori chaos, teori relativitas, fisika kuantum.<br />
Ka<strong>dan</strong>g-ka<strong>dan</strong>g saya berpikir semua itu berasal dari<br />
satu Kotak Pandora, hanya beda zaman, beda bahasa. Kamu<br />
sadar betapa indahnya puisi itu? Dan, betapa re levannya<br />
dengan apa yang kubilang tadi?”<br />
“Memangnya kamu bilang apa?”<br />
9
KEPING 1<br />
“Bahwa kebenaran yang utuh baru kamu dapatkan se telah<br />
melihat kedua sisi cermin kehidupan. Tidak cuma sebelah.<br />
Dan, cermin itu sangat dekat.”<br />
“Dalam hati kita sendiri?”<br />
“Saya lebih suka, dalam setiap atom tubuh kita.”<br />
“Mengagumkan. Cuma masalahnya, dari tadi kamu belum<br />
ngomong soal itu. Mengigau, ya?”<br />
Reuben terperanjat. “Mana mungkin? Bukannya tadi saya<br />
menerangkan konsep Mandelbrot? Turbulensi?”<br />
Dimas menggeleng <strong>dan</strong> tertawa kecil. “Ternyata, lebih<br />
parah lagi, kamu barusan mimpi.”<br />
“Wow!” Reuben malah berdecak kagum. “Jangan-ja ngan,<br />
tadi cuma percakapan dalam otakku, ya? Tapi, kok, rasanya<br />
sangat riil? Luar biasa! Oh, serotonin, kamu ba gian terindah<br />
dari tubuhku!”<br />
Dimas sekilas melirik Reuben yang terkapar di sebe lahnya.<br />
“Saya salut. Kamu bisa-bisanya mengapresiasi sebegitu<br />
tinggi. Kebanyakan orang cuma menganggap be ginian ini<br />
rekreasi <strong>dan</strong>gkal.”<br />
“Kalian kebanyakan duit, sih. Begitu stok habis tinggal<br />
telepon Mami-Papi, beres. Orang terlalu banyak uang dengan<br />
orang yang terlalu miskin akan bertemu di titik yang<br />
sama. Sama-sama krisis apresiasi.”<br />
“Jangan belagu. Mentang-mentang dapat sponsorship.”<br />
“Berani taruhan, kamu pasti anak konglomerat, atau anak<br />
jenderal, atau anak orang konsulat. Ambil major Marketing<br />
10
Yang ada HanYalaH ada<br />
atau Business Administration. Setiap summer atau winter bisa<br />
pulang ke Indonesia. Dan, punya stok Indomie berdus-dus.”<br />
“English Literature,” potong Dimas, “<strong>dan</strong>, nggak per nah<br />
pulang waktu summer karena saya pasti ikut summer class atau<br />
ambil course. Jangan asal pukul rata, dong.”<br />
“Oh, sorry.”<br />
“Eh, Reuben, katamu tadi, serotonin adalah detergen<br />
otak?”<br />
“Itu baru hipotesis atau cuma metafora. Kenapa?”<br />
“Bisa jadi kamu benar. Kepalaku juga rasanya jernih. Saya<br />
jadi ingin jujur tentang sesuatu. Tentang diriku,” ter dengar<br />
suara menelan ludah, “saya sebenarnya—”<br />
“Gay?”<br />
Dimas melongo. “Lho, gimana kamu bisa...?”<br />
Reuben tertawa keras. “It was so obvious. Dari temanteman<br />
hang-out kamu, apartemen kamu yang katanya di<br />
Dupont Circle, <strong>dan</strong> kamu harus fly dulu untuk mengaku?”<br />
Dimas ikut terbahak. Merasa konyol.<br />
“Tenang saja. Memangnya saya bukan?” Reuben ber kata<br />
enteng.<br />
Untuk kali kedua Dimas melongo. “Nggak mung kin. Kamu<br />
kelihatannya sangat—”<br />
“Sangat laki? Siapa bilang jadi gay harus klemak-klemek<br />
atau ngomong pakai bahasa bencong? Gini-gini, saya su dah<br />
“coming out” dari setahun yang lalu. Orangtuaku juga sudah<br />
tahu. Malah mereka sudah kompak, katanya kalau sampai<br />
11
KEPING 1<br />
saya dipanggang di neraka bersama para pemburit seperti<br />
nasib Sodom <strong>dan</strong> Gomorah, mereka bakal minta ke Yahweh<br />
un tuk ikut dibakar. Soalnya, kalau saya di anggap produk<br />
ga gal, berarti mereka juga. Hebat, ya?”<br />
Dimas tidak mampu berkata-kata lagi. Ia serasa me nemukan<br />
pahlawan sejati.<br />
“Saya ingin membuat ikrar. Tolong jadi saksinya, ya.”<br />
Reuben sudah berhenti melayang. Pikirannya kini men jejak<br />
kukuh ke tanah.<br />
“Ikrar apa?”<br />
“Sepuluh tahun dari sekarang, saya harus membuat sa tu<br />
karya. Satu masterpiece. Satu tulisan atau riset yang membantu<br />
menjembatani semua percabangan sains.”<br />
“Sepuluh tahun? Lama amat.”<br />
“Time flies, my friend.”<br />
“Fine. Sepuluh tahun buatmu, sepuluh tahun juga bu at ku.<br />
Satu masterpiece. Roman sastra berdimensi luas yang mampu<br />
menggerakkan hati banyak orang.”<br />
“So help us God.”<br />
Keduanya langsung memulai kembara imajinasi ma singmasing.<br />
Lama mereka terdiam.<br />
Dimas tiba-tiba menceletuk, “Katanya, zat keparat ini<br />
akan mengendap di sel lemak sampai bertahun-tahun.”<br />
“Berarti, suatu waktu kita akan kembali ke momen ini<br />
lagi? Haleluya!”<br />
12
Yang ada HanYalaH ada<br />
“Dan, semoga, kalau saat itu datang, kita bisa mengalami<br />
nya bersama-sama lagi.”<br />
Mendengar itu, kepala Reuben otomatis menoleh. Menda<br />
patkan Dimas yang se<strong>dan</strong>g tersenyum tulus me natapnya.<br />
Sepuluh tahun berlalu, <strong>dan</strong> senyum itu tetap sama. Senyum<br />
yang mengantarkannya naik ke podium <strong>dan</strong> ber pidato<br />
saat diwisuda dengan predikat cum laude. Senyum yang menyuruhnya<br />
tidur saat ia keseringan bega<strong>dan</strong>g ka rena menyusun<br />
makalah seminar. Senyum yang tabah mengiringi suka<br />
dukanya selama jadi dosen.<br />
Dan, Reuben pun masih tetap pahlawan Dimas yang dulu.<br />
Si Indo-Yahudi bersemangat tinggi yang selalu sibuk<br />
menggabung-gabungkan ilmu psikologi dengan teori-teori<br />
kosmologi yang cuma bisa ia mengerti sendiri. Reuben yang<br />
selalu menyebut dirinya sang Psikolog Kuantum. Kobaran<br />
semangatnya mampu menyalakan tungku banyak orang. Dengan<br />
ide-idenya yang segar, Reuben menjadi inspirator sekaligus<br />
kritikus paling sempurna buat Dimas. Tak ada tulisan<br />
ataupun naskahnya yang tidak lebih dulu terplonco diskusi<br />
panjang dengan Reuben.<br />
Malam di Watergate Condominium adalah badai serotonin<br />
mereka terakhir. Tiga bulan <strong>dan</strong> dua puluh satu hari<br />
berikutnya, mereka dilanda badai baru. Badai en dor fin.<br />
Hormon cinta.<br />
Uniknya, sekalipun sudah sekian lama mereka resmi menjadi<br />
pasangan, Reuben <strong>dan</strong> Dimas tidak pernah ting gal<br />
13
KEPING 1<br />
seatap sebagaimana biasanya pasangan gay lain. Kalau ditanya<br />
kenapa, jawabannya: supaya bisa tetap kangen. Tetap<br />
dibutuhkan usaha bila ingin bertemu satu sama lain.<br />
Sepuluh tahun pun bagaikan sekedip mata.<br />
2 0 0 1 <br />
Jakarta<br />
“Happy 10 th Anniversary, Dimas.”<br />
“Happy Anniversary to you, too, My dear soul mate.”<br />
Semilir angin Ibu Kota yang hangat menyusup masuk<br />
lewat celah jendela ruang tengah Reuben. Sebuah rumah<br />
simpel di daerah selatan Jakarta. Tak banyak detail estetis<br />
dalam tata interiornya. Bisa dibilang, ornamen utama ru mah<br />
itu adalah buku. Jajaran rak buku dari dinding ke dinding.<br />
Padat. Alfabetis. Reuben tidak menamakan ru mahnya perpustakaan<br />
hanya karena ingin terdengar lebih manusiawi.<br />
Tidak pula ada bunga. Tidak juga boks cokelat di atas<br />
meja bundar itu. Saat hari jadi mereka yang ke-10, yang ada<br />
malah kertas <strong>dan</strong> bolpoin.<br />
“So,” Dimas memasang kacamatanya, “kita sudah se pakat<br />
kalau masterpiece ini akan menjadi karya berdua. Dan, tidak<br />
dalam bentuk jurnal ilmiah, tetapi sebuah ce rita.”<br />
Muka Reuben langsung bereaksi, memancarkan ke tidakrelaan.<br />
14
Yang ada HanYalaH ada<br />
“Reuben, sudahlah. Ide kamu kemarin itu terlalu ma hal,<br />
butuh riset lama, <strong>dan</strong>, maaf, tidak akan menarik. Bisa jadi<br />
hand-out kuliah saja sudah bagus. Kita butuh ke masan yang<br />
populis supaya karya ini bisa dibaca banyak orang. Sebuah<br />
roman sains, yang romantis, sekaligus puitis. Sepa kat?”<br />
Reuben cuma mengangkat alis, menyusul memasang<br />
kacamatanya. Siap menulis catatan.<br />
“Baik,” Dimas kembali memulai, “kita akan membungkusnya<br />
dalam kisah cinta yang bukan biasa-biasa, kontroversial,<br />
ada pertentangan nilai moral <strong>dan</strong> sosial.”<br />
“Let me guess, pasangan homoseksual?”<br />
“Bukan. Isu itu masih terlalu minor untuk masyarakat<br />
kita. Aku ingin mengambil pasangan hetero, tapi memi liki<br />
rintangan besar, misal, yang satu sudah menikah.”<br />
“Klise. Tapi, harus kuakui, banyak dimensi di sana. Agama,<br />
moralitas, institusi. Hmmm. Okelah, aku setuju.”<br />
“Menurutmu, yang sudah menikahnya lebih baik si pria<br />
atau si wanita?”<br />
“Wanita,” jawab Reuben tegas. “Kalau pria, orang de ngan<br />
gampang menyudutkan dengan dalih “laki-laki bu aya” atau<br />
“ceweknya kegatelan”. Poligami juga bisa da pat pembenaran<br />
agama. Nggak ada konflik.”<br />
“A/S/L?” 7<br />
7<br />
Age, sex, location.<br />
15
KEPING 1<br />
“Di bawah empat puluh tahunlah. Aku ingin tokoh-to koh<br />
kita semuanya muda, usia produktif, urban, metropo lis, punya<br />
akses teknologi <strong>dan</strong> informasi yang baik. Per cuma pakai<br />
tokoh gelan<strong>dan</strong>gan atau setting desa dengan sok-sok pakai<br />
aksesori kebudayaan daerah. Kenyataannya, para yuppies tadi<br />
yang bakal jadi corong bangsa, yang mampu mem bangun<br />
sekaligus paling potensial untuk me rusak.”<br />
“Usia 20-an akhir sampai 30-an awal, lokasi Jakarta,<br />
intelek, profesional,” Dimas sibuk mencatat.<br />
“Jakarta. Aku setuju. Kota ini biangnya dualisme. An tara<br />
ingin Timur <strong>dan</strong> berlagak Timur, sembari terdesak habis<br />
oleh Barat sekaligus paling keras mengutuk-ngutuk.”<br />
Mendadak Dimas tertawa kecil. “Lalu, bagaimana de ngan<br />
kita? Look who’s talking, dude. Kita juga muda, orang-orang<br />
urban, besar di metropolitan, kuliah di luar negeri, di Amerika<br />
pula. Biangnya kapitalis. Tidakkah kita patut di golongkan<br />
ke kategori yang sama?”<br />
“Sarana kita boleh sama, tapi tidak menjadikan ini ikut<br />
tipikal.” Reuben menunjuk kepalanya dengan penuh per caya<br />
diri. “Mereka itu sebenarnya manusia-manusia yang beruntung<br />
karena punya kesempatan komparasi <strong>dan</strong> kon tak<br />
lang sung dengan budaya global, bergelut di dalamnya, mencari<br />
ilmu dalam sistem <strong>dan</strong> iklim yang sama sekali lain.<br />
Tapi, berapa gelintir yang menjalaninya dengan mak na? Di<br />
mataku, yang gagal <strong>dan</strong> cuma ngabis-ngabisin duit ortu de-<br />
16
Yang ada HanYalaH ada<br />
ngan yang selesai tapi cuma jadi mesin, sama-sama saja.”<br />
Lidah Reuben yang pedas mulai berpostulasi.<br />
“Lalu, kenapa cerita itu harus menampilkan seorang Avatar?<br />
8 Aku khawatir konsep itu terlalu mewah. Avatar ada lah<br />
semacam Yang Mahakudus mengambil wujud ma nusia biasa.<br />
Untuk sebuah konflik kisah cinta, haruskah ka pasitas seorang<br />
Avatar yang turun tangan?”<br />
“Ingat, di dalam sistem sekompleks semesta, tidak ada<br />
perkara yang insignifikan. Skala besar-kecil hanyalah minatnya<br />
pikiran mayoritas manusia yang masih tergila-gila de ngan<br />
ukuran. Pada titik tertentu, kisah cinta me rupakan cerminan<br />
kisah masyarakat yang lebih luas <strong>dan</strong> kolektif. In dividu selalu<br />
dibangun oleh lingkungannya, bukan begitu?”<br />
“Jadi, sang Avatar adalah pihak netral yang akan merekonsiliasi<br />
semuanya.”<br />
“Pihak di titik nol. Netral yang bersikap,” tambah Reuben<br />
lagi.<br />
Dimas langsung bersemangat, “Menarik! Mari kita ba has<br />
tokoh satu ini.”<br />
“Nanti dulu. Dia harus kita simpan paling belakang.<br />
Kembali ke pasangan hetero kita, si pria. Kita mulai dari si<br />
pria.”<br />
“Dia harus ganteng,” sela Dimas cepat, “supaya aku se mangat<br />
nulisnya.”<br />
8<br />
Dalam mitologi Hindu, Avatar berarti inkarnasi dari Yang Mahatunggal. Istilah<br />
ini juga biasa disinonimkan dengan konsep “Juru Selamat” <strong>dan</strong> sejenisnya.<br />
17
KEPING 1<br />
“Yang jelas, dia harus pintar <strong>dan</strong> sukses. Bukan sukses<br />
pemberian. Dan, dia juga harus diberi suasana pekerjaan<br />
yang berkonflik. Sesuatu yang menekan.”<br />
“Multinational corporation. Apa lagi?” Dimas mengang kat<br />
bahu. “Sesukses apa dia?”<br />
“Sukses dengan ‘S’ kapital! Cream of the crop. Kasih dia<br />
jabatan tertinggi. Tekanannya lebih besar lagi, kan?”<br />
“Padahal, sesungguhnya dia berjiwa pujangga.”<br />
“Dimas!” protes Reuben.<br />
“Sebentar dulu, itu justru akan membuat segalanya menarik.<br />
Katakanlah, sebuah konflik masa kecil akhirnya memi<br />
sahkan dia dengan talenta alamiahnya, menjadikan dia<br />
robot sukses tapi hampa. Sampai akhirnya, semua ber balik<br />
ketika dia menemukan sang putri. Di situlah esensi cinta<br />
akan dipertanyakan! Bayangkan sebuah kom puter canggih<br />
yang superteratur, tiba-tiba kacau akibat disusupi virus alien.<br />
Sementara mereka terjebak kondisi yang tidak memung kinkan<br />
pula. Tidak juga tersedia Nor ton Anti Virus. Siapa yang<br />
harus disalahkan? Tidakkah se mua per tanyaan mengenai<br />
ham pir segalanya akan ter godok sampai mendidih? Lalu meledak?”<br />
papar Dimas menggebu-gebu.<br />
Reuben langsung tertarik. Ia tahu persis, sebuah sis tem<br />
yang overloaded akan mencapai titik bifurkasi di mana ca bang<br />
baru akan terbuka. Persis seperti cerita klasik tentang Epime<br />
nides, seorang Kreta, yang memberi per nyataan, “Semua<br />
orang Kreta pembohong.” Dan, ketika di mun cul kan per ta-<br />
18
Yang ada HanYalaH ada<br />
nyaan, “Apakah Epimenides berkata sebenarnya?” komputer<br />
supercanggih pun akan terjebak dalam paradoks logika tak<br />
berakhir. Bingung antara me milih jawaban “ya” atau “tidak”<br />
karena keduanya jawaban yang valid.<br />
Namun, tidak demikian dengan manusia. Karena itu,<br />
Reuben tidak pernah setuju dengan paradigma fung si onalisme<br />
yang berpaham bahwa pikiran manusia satu ba ngun dengan<br />
komputer. Otak sebagai peranti keras, <strong>dan</strong> pikiran atau<br />
mind sebagai peranti lunaknya. Kalau betul demikian, tidak<br />
ada satu orang pun sanggup meng hadapi Epimenides tanpa<br />
jadi gila. Satu-satunya cara un tuk me nyelesaikan paradoks<br />
tadi adalah meloncat keluar dari sistem. Manuver kuantum.<br />
Sesuatu yang hanya dapat di lakukan sebuah sistem berkesadaran,<br />
tidak cuma me kanis.<br />
Reuben mengangguk-angguk kecil sambil tersenyum<br />
puas, ia melihat gerbang kuantumnya dalam kondisi yang<br />
di tawarkan Dimas. “Baiklah, seorang Pujangga. Walau pun,<br />
aku tidak punya imajinasi cukup untuk mengait kan nya dengan<br />
sosok eksekutif perusahaan multinasional.”<br />
“Tenang saja. Itu urusanku.”<br />
“Kita namakan siapa dia?”<br />
“Jangan ditentukan sekarang. Kita pasti bakalan debat<br />
panjang soal itu. Sementara sebut saja dia ‘<strong>Kesatria</strong>’.”<br />
“<strong>Kesatria</strong> yang memperjuangkan cinta sang putri. Berusaha<br />
melawan rintangan kasta, harus membunuh naga, oh,<br />
sungguh romantis,” sahut Reuben setengah mengolok.<br />
19
KEPING 1<br />
Dimas cuma tersenyum. “<strong>Kesatria</strong> <strong>dan</strong> putri. Klasik, kan?”<br />
“Lalu, adakah tempat buat pasangan seperti kita di ne geri<br />
dongeng, my love?” Reuben meneruskan olok-olok nya.<br />
“Ya, nggaklah. Cuma sejarah yang layak memuat kita<br />
berdua, pengikut-pengikut Socrates. Buat apa lagi negeri dongeng?”<br />
Kedua pria itu duduk berhadapan. Kehangatan terpan car<br />
dari mata mereka. Tidak lagi bergejolak, tetapi hangat. Hangat<br />
yang tampaknya kekal. Bukankah itu yang semua orang<br />
cari? •<br />
20
KEPING 2<br />
<strong>Kesatria</strong><br />
Seusai memasuki garasi rumah, ia tidak langsung turun<br />
dari mobil. Dicermatinya semua barang satu per<br />
satu. Diambilinya dengan penuh kesaksamaan. Ia<br />
tidak mau ada yang ketinggalan. Tas, kertas-kertas, Harvard<br />
Business Review, charger ponselnya, <strong>dan</strong> tempat kacamata. Ia<br />
masih mencari. Barang kecil itu. Ia menyesal tidak langsung<br />
memasukkannya ke tempat yang aman. Terlalu banyak yang<br />
harus ia pikirkan sehingga tak mam pu lagi memungut<br />
detail-detail kecil.<br />
Perlahan, ia meraba kantong kemejanya. Ternyata, ada di<br />
sana. Ia tersenyum, meman<strong>dan</strong>gi pensil kecil <strong>dan</strong> jelek itu.<br />
Seolah-olah menemui wajah itu sekali lagi.
KEPIng 2<br />
Telepon rumahnya berdering. Tergopoh-gopoh ia berlari<br />
ke dalam.<br />
“Halo? Yah, Alé lagi. Kirain siapa.”<br />
Sahabatnya, Rafael, yang selalu Re panggil dengan nama<br />
kecilnya, Alé, tertawa di ujung sana. “Halo, Re. Mau jalan<br />
malam ini?”<br />
“Nggak, makasih. Kerjaan banyak. Aku malas kalau harus<br />
berurusan lagi dengan dia minggu ini.”<br />
“Si Kunyuk Bule?”<br />
“Yup. Mantan Vice President-mu itu. Kena kutuk apa, ya,<br />
perusahaan ini? Kok, bisa-bisanya dia direkrut jadi Regional<br />
President. Aku harus report ke dia langsung lagi, every fucking<br />
month.”<br />
“But, thank God tomorrow’s Friday. Right?”<br />
“Apa be<strong>dan</strong>ya? Bakal ada Senin sampai Jumat lagi. Kans<br />
bertemu Kunyuk Albino itu tetap sama. Dia masih ba kalan<br />
di sini seminggu penuh,” tutur Re setengah menggerutu.<br />
“Aku iri denganmu. Ka<strong>dan</strong>g-ka<strong>dan</strong>g aku berpikir untuk keluar<br />
saja, lalu buka bengkel juga. Tidak ada lagi hierarki.<br />
Tidak ada lagi rapat-rapat panjang.”<br />
“Tahi kambing. Omong kosong besar! Akui saja, Re,<br />
kamu menikmati kesibukanmu. Dan, kamu memang profesional<br />
sejati. Kamu itu kutu loncat MNC, sama kayak si<br />
Kunyuk. Taruhan, begitu kamu menempati posisiku, aku<br />
ya kin kamu malah kangen ingin balik ke kantor. Ke rapatrapat<br />
panjang itu.”<br />
22
KEsatrIa<br />
“Aku nggak yakin,” Re terkekeh.<br />
“Yang jelas, besok kita bebas clubbing kalau kamu berminat.”<br />
“Lihat besok. Oke?”<br />
Re cepat menyudahi pembicaraan itu. Ia ingin buru-buru<br />
bersantai.<br />
Berada di bawah kucuran shower, Re berdiri, meman<strong>dan</strong>gi<br />
tetesan-tetesan air yang bercahaya keperakan. Melamun. Satu<br />
hal yang dulu tidak pernah dilakukannya. Tidak de ngan<br />
pikirannya yang selalu padat <strong>dan</strong> terfokus. Namun, malam<br />
ini sudah lain. Begitu juga malam-malam terakhir selama<br />
sebulan ini. Alé pasti tertawa kalau tahu ia sudah bisa melamun<br />
lagi.<br />
Rana. Re menuliskan nama itu di pintu kaca yang pe nuh<br />
uap. Mendapati dirinya seperti anak remaja yang ja tuh cinta<br />
<strong>dan</strong> selalu ingin menuliskan nama pujaannya di mana-mana.<br />
Ia bohong pada Alé. Ia tak menyentuh pekerjaannya sama<br />
sekali. Karena Rana, secara tidak langsung, ia kem bali<br />
menghargai betapa nyamannya berdiam dalam kaus oblong<br />
<strong>dan</strong> celana pendek, menonton acara televisi, mem buat teh<br />
ha ngat, sekali-kali memainkan dumbbell sambil baca majalah.<br />
Ba<strong>dan</strong> yang santai, pikiran yang santai, me mampukannya<br />
un tuk melamunkan Rana lebih intensif.<br />
23
KEPIng 2<br />
Re melirik jam, hampir pukul satu malam. Jelaslah ia tak<br />
akan bisa menghubungi Rana ke ponselnya, apalagi ke rumah<br />
nya. Itulah gunanya melamun. Untuk membangkit kan<br />
apa-apa yang tak mampu disentuhnya langsung, membiarkan<br />
pikirannya terstimulasi dalam simulakrum 9 , <strong>dan</strong> puas ka renanya.<br />
Re sadar, ia berlari dalam pelarian monoton. Betapapun<br />
dalamnya kebahagiaan itu, selalu ada kekecewaan yang sama<br />
dalam, membayanginya terus-menerus. Oh, <strong>Putri</strong>ku. Se<strong>dan</strong>g<br />
apa kau sekarang?<br />
Malam yang melarut pun membawanya ke pos terakhir<br />
sebelum tidur. Kamar kerja.<br />
“Love is real, real is Love / Love is wanting to be loved /<br />
Love is you / You and me / Love is knowing / You can be....”<br />
Piringan hitam album John Lennon-nya yang sudah belasan<br />
tahun kembali diputar.<br />
Re menengadah, berputar-putar di kursi. Di meja kerjanya<br />
terdapat carikan-carikan kertas. Carikan-carikan yang<br />
sama setiap malam selama sebulan ini.<br />
9<br />
Simulakrum adalah ruang yang disarati oleh duplikasi <strong>dan</strong> daur ulang berbagai<br />
fragmen yang berbeda-beda di dalam satu ruang <strong>dan</strong> waktu yang sama (Baudrillard).<br />
Dalam konteks ini, bisa diartikan juga bahwa alam simulakrum adalah<br />
alam tempat meleburnya realitas <strong>dan</strong> ilusi, diakibatkan oleh fantasi yang diduplikasi<br />
berulang-ulang <strong>dan</strong> berlipat-lipat ganda, hingga akhirnya objek yang<br />
nyata pun tak jelas lagi.<br />
24
KEsatrIa<br />
<strong>Putri</strong>,<br />
Kembalilah ke puri ini.<br />
Satu semesta mungil yang mampu melumat bumi<br />
kalau aku mau membentangkannya.<br />
Inilah nirwana yang mampu menampung perasaan kita.<br />
Bumi punya langit sebagai jendela terhadap galaksi mahaluas<br />
yang berjaya dalam misteri.<br />
Jendelaku adalah carik-carik kertas—<br />
berisi daftar pertanyaan tentang dunia<br />
yang tak akan habis dimengerti.<br />
Bumi menggetarkan nyali dengan palung-palung dalam.<br />
Aku cuma punya beberapa piringan hitam—<br />
laut pribadiku yang di dalamnya selalu ada kamu,<br />
<strong>dan</strong> kamu lagi.<br />
Samudra kata terbelit musik <strong>dan</strong> diudarai kenangan.<br />
Di dalamnya aku bisa berenang selama ikan.<br />
Bumi adalah sebuah kumparan besar<br />
yang melingkarkan semua makhluk dalam kefanaannya.<br />
Melingkarkan engkau <strong>dan</strong> aku.<br />
Surat pertamanya untuk Rana. Tak ada yang tahu keberadaan<br />
surat-surat itu, tidak Alé, <strong>dan</strong> tidak juga Rana<br />
sen diri. Tapi, itu tidak penting. Yang penting adalah evolusi<br />
yang kembali menjadikannya seorang pujangga. Untuk kali<br />
pertama pula Re mengerti. Ia telah memilih jalan hidup<br />
yang sederhana. Rana.<br />
25
KEPIng 2<br />
Aku kangen kamu. Kangen ketidakpercayaanmu.<br />
Pesimismemu.<br />
Namun, kau pilihanku.<br />
Dan, Re sanggup menghabiskan berjam-jam hanya un tuk<br />
kembali mengenang. Pertemuan itu. Merunuti satu demi satu<br />
rantai waktu yang membelitnya hingga kini.<br />
Untung saja ia menerima permohonan wawancara itu.<br />
Ka lau tidak? Untung saja jadwal hari itu kosong. Kalau<br />
tidak? Untung saja ia bekerja di kantornya yang sekarang.<br />
Ka lau tidak? Untung saja ia hidup. Kalau tidak?<br />
Semua berawal dari satu gerakan. Semua berawal dari<br />
satu ide. Semua berawal dari satu getar sel abu-abu.<br />
Re tidak pernah mau diwawancara. Deretan majalah <strong>dan</strong><br />
surat kabar berburu untuk memuat artikel tentang dirinya.<br />
Dari mulai majalah bisnis betulan sampai majalah wanita<br />
yang ingin menjadikannya Pria Bulan Ini. Ia me mang sukses,<br />
setidaknya menurut standar umum. Baru ulang tahun<br />
ke-29, tapi sudah jadi Managing Director. Tam pangnya jauh<br />
dari kategori jelek. Sampai sekarang masih banyak biro iklan<br />
yang menawarinya jadi bintang iklan. Tapi, menurut Re,<br />
yang lebih gila adalah rumah-rumah produksi yang menginginkannya<br />
main sinetron. Agaknya mereka benar-benar<br />
ti dak tahu kehidupan seperti apa yang dijalani seorang Mana<br />
ging Director sebuah per usahaan multinasional.<br />
26
KEsatrIa<br />
Banyak yang mengira ia menjalani kehidupan jet set, bergelimang<br />
perempuan cantik <strong>dan</strong> pesta-pesta gila. Apa yang<br />
dibayangkan kebanyakan orang jauh berbeda dengan apa<br />
yang sesungguhnya ia jalani.<br />
Ia selalu mendapatkan fasilitas nomor satu. Terbang dengan<br />
first class, mobil dinas setidaknya harga lima ratus jutaan,<br />
<strong>dan</strong> akomodasinya hampir selalu bintang lima. Na mun, ia<br />
melewati semuanya dalam keadaan berpikir, membuka-buka<br />
lembaran faks, menerima laporan ini-itu, telepon dari sana<br />
sini yang tak mengizinkannya menikmati peman<strong>dan</strong>gan jalan.<br />
Perempuan cantik ada di mana-mana. Lebih dari tiga<br />
lusin yang pernah ditawarkan untuk “dipakai”. Ia menyapa<br />
semuanya dengan ramah atau hanya meman<strong>dan</strong>gi dari jauh.<br />
Terlalu banyak pekerjaan yang tak bisa ditunda.<br />
Pesta-pesta gila. Mungkin ada. Dan, ia sudah mengunjungi<br />
puluhan pesta. Tapi, sebelum pesta-pesta itu menjadi<br />
benar-benar gila, ia sudah tidak ada di sana. Re harus mengatur<br />
energinya untuk hari esok.<br />
Namun, dari semua pagi yang ia jalani di kantor, Re harus<br />
mengakui pagi satu itu memang lain. Ia sudah me rasakannya.<br />
Pagi yang menjadi kunci pertemuan pertama nya<br />
dengan Rana.<br />
Re agak kaget ketika mendapati jadwal tiga jam per ta ma nya<br />
pagi itu kosong. Ia bertanya lagi kepada sekretaris nya, “Irma,<br />
kamu yakin saya nggak ada appointment apa-apa pagi ini?”<br />
“Tidak ada, Pak.”<br />
27
KEPIng 2<br />
Re otomatis mengetuk-ngetukkan bolpoin. Sebelah ka kinya<br />
bergetar gelisah. Tidak banyak telepon. Tidak ba nyak<br />
surel. Tidak banyak laporan baru di meja. Re merasa ada<br />
yang salah.<br />
Tanpa ada alasan yang jelas, ia menghampiri jendela<br />
ruang kerjanya, membukanya sedikit. Di gedung perkan toran<br />
setinggi ini, hampir tak ada jendela ruangan yang bisa<br />
dibuka. Ruangan Re adalah perkecualian. Ia jadi meng anggap<br />
itu semacam kemewahan meski udara di luar sana pun<br />
hampir selalu tak segar.<br />
Tak lama kemudian, suara Irma muncul dari speaker te leponnya.<br />
“Pak, ada lagi majalah yang minta wawancara.<br />
Majalah baru. Dia menanyakan kesediaan Bapak.”<br />
“Nggak ada kapoknya itu orang-orang,” gumam Re. Cukup<br />
terkesan akan sikapnya yang tidak langsung me nolak<br />
mentah. Ia lebih memperhatikan seekor kupu-kupu yang terbang<br />
di dekat jendela. Sungguh ganjil ada kupu-kupu mungil<br />
berwarna putih terbang di ketinggian ge dung seperti ini.<br />
“Majalah apa itu?”<br />
“Majalah wanita.”<br />
Tawa kecil spontan menyembur dari mulutnya.<br />
“Kemarin sore mereka datang <strong>dan</strong> mengantarkan sam pelnya.<br />
Itu, sudah saya taruh di meja Bapak.”<br />
Ia membongkari tumpukan di ujung kiri mejanya. “Oh,<br />
ya, ini dia.” Re membuka-buka sekilas. Tak ada yang menarik.<br />
Program otaknya siap menolak. “Irma....”<br />
28
KEsatrIa<br />
Kalimat itu menggantung. Perhatian Re teralih pada<br />
kupu-kupu mungil yang terbang memasuki ruang ker ja nya,<br />
menari lincah <strong>dan</strong> dengan polos hinggap di meja. Dekat majalah<br />
itu. Mendadak Re memperhatikan sesuatu. Logo majalah<br />
itu adalah kupu-kupu.<br />
Untuk kali pertama setelah sekian lama, timbul keheningan<br />
dalam pikirannya. Re tercenung.<br />
“Pak? Saya tolak saja, ya?”<br />
“Nanti, nanti dulu,” Re sadar, ia akan melakukan se buah<br />
keputusan intuitif, “kasih tahu mereka kalau saya bersedia.<br />
Tapi, ....”<br />
Kupu-kupu mungil itu terbang lagi. Berputar-putar di<br />
jendela, <strong>dan</strong> kembali menemukan jalan keluarnya. Re ter cenung<br />
untuk kali kedua.<br />
“Tapi, kenapa, Pak?”<br />
Programnya dengan cepat menormal. “Tapi, mereka ha nya<br />
punya tiga jam ke depan ini. Lebih cepat mereka bisa datang<br />
lebih banyak waktu yang mereka punya. Kalau tidak bisa, ya,<br />
sudah.”<br />
Intuisi. Sudah lama Re tidak menerapkan konsep itu. Pikir<br />
annya setajam <strong>dan</strong> serapi komputer berprosesor Pen tium.<br />
Komputer tidak pernah memberikan ruang pada intuisi.<br />
Kurang dari dua jam, seorang perempuan tergopoh-go poh<br />
sampai di lantai gedung itu. Napasnya masih ter engah-engah.<br />
“Saya belum terlambat, kan?” tanyanya setengah panik.<br />
Re porter itu cepat-cepat mengatur napas. Ia tidak punya ba-<br />
29
KEPIng 2<br />
nyak waktu untuk menenangkan diri. Menyusun kon sep<br />
wawancaranya saja belum sempat. Tidak tahu apa jadinya<br />
nanti, sementara ia tahu persis kaliber seperti apa yang bakal<br />
dihadapi.<br />
“Silakan.” Irma membukakan pintu.<br />
Perempuan itu berusaha setengah mati untuk tampak<br />
tenang. Tidak menyangka dirinya akan langsung disambut<br />
dengan gerakan melihat jam tangan.<br />
“Selamat siang. Anda punya waktu satu jam sepuluh<br />
menit. Ferre,” Re menjabat tangan perempuan itu. Terasa<br />
di ngin. “Panggil saya ‘Pak’ atau ‘Re’, terserah.”<br />
“Rana,” suaranya bergetar. Perlahan, ia mengeluarkan peralatannya:<br />
buku catatan, bolpoin, <strong>dan</strong> alat perekam. Ia memberanikan<br />
untuk melirik sedikit. Ternyata, pria ini lebih<br />
tampan dari yang dibicarakan orang, <strong>dan</strong> ia pasti ti dak tahu<br />
sosoknya sudah nyaris menjadi mitos. Hasil pub lisitas mulut<br />
ke mulut akan sangat dahsyat bila beredar di segmen yang<br />
tepat, <strong>dan</strong> kepenasaranan akan profil pria ini bukan cuma<br />
lingkup antarkantor lagi, melainkan sudah men jadi kepe nasaranan<br />
massa. Bahan rumpian di salon atau klub kebugaran.<br />
Rana termasuk salah satu yang ter makan.<br />
“Ada lagi yang kita tunggu?” Re mengusik lamunan singkatnya.<br />
Saking gugupnya, Rana malah mengeluarkan gumamangumaman<br />
aneh. Ia sungguh tidak tahu harus memulai dari<br />
mana. Ini sangat memalukan.<br />
30
KEsatrIa<br />
“Maaf, kalau boleh tahu, umur Anda berapa?”<br />
Keningnya langsung berkerut. “Dua puluh delapan.<br />
Kenapa?”<br />
Re tertawa renyah. “Sori, sori. Bukan kenapa-kenapa. Saya<br />
kira saya akan diwawancarai reporter senior yang umurnya<br />
setidaknya 35, 40 tahun.”<br />
Rana mulai terusik. “Saya Wakil Pemred. Mungkin fenomenanya<br />
sama seperti Anda, hanya beda skala, beda bi<strong>dan</strong>g,”<br />
ia menjawab lugas. Sikap duduknya berubah santai. Suaranya<br />
memantap, pan<strong>dan</strong>gannya berani. “Jujur saja, akibat pem beritahuan<br />
Anda yang mendadak, saya nggak sempat mempersiapkan<br />
apa-apa. Saya hanya mem bawa biodata standar untuk<br />
diisi, yang bisa juga dijadikan bahan. Atau, kita bisa mulai<br />
dari udara.”<br />
“Udara?” Ba<strong>dan</strong> Re langsung condong ke depan. Per tanda<br />
ia mulai tertarik. Dan, perempuan ini memang jadi menarik.<br />
“Itu istilah saya pribadi. Maksudnya, kita bisa mulai dari<br />
mana-mana. Pembicaraan yang tidak berskema ka <strong>dan</strong>gka<strong>dan</strong>g<br />
malah lebih punya bobot daripada yang di rencanakan.”<br />
“Saya setuju,” Re tersenyum, “ngomong-ngomong, ini<br />
untuk rubrik apa, ya?”<br />
“Mungkin nggak akan menantang buat Anda sama se kali.<br />
Rubriknya berjudul ‘Impian Siang Hari’. Terje mahan harfiah<br />
dari daydreaming. Memang kenyataannya, figur se perti<br />
Anda lah yang sering dijadikan impian siang bolong para<br />
31
KEPIng 2<br />
perempuan. Artikel ini ingin menambahkan bahan bagi<br />
mereka untuk bermimpi. Mendekatkan mereka pada impiannya.<br />
Itu saja,” jelas Rana diiringi tawa kecil.<br />
“Oh, jadi di tengah masyarakat yang krisis produktivi tas<br />
ini, Anda <strong>dan</strong> majalah Anda malah mendorong orang-orang<br />
untuk bermimpi siang bolong?”<br />
Wajah lucu itu langsung mengeras. “Di antara kepa datan<br />
aktivitas Anda, pernahkah Anda menyempatkan diri untuk<br />
berkhayal, melamun?” Rana balik bertanya, garang.<br />
“Syukurnya, tidak.”<br />
“Manusia bermimpi tidak hanya waktu ia tidur. Me nurut<br />
saya, mimpi merupakan bentuk lain dari kreativitas. Menjadi<br />
kreatif tidak kenal siang atau malam. Ada banyak pekerjaan<br />
yang masih punya ruang untuk inspirasi, tapi banyak juga<br />
pekerjaan yang menyita segalanya. Pekerjaan tanpa mimpi,<br />
atau tanpa waktu untuk bermimpi, adalah pekerjaan robot.<br />
Bukan manusia,” tandas Rana berapi-api.<br />
Wajah Re tidak menunjukkan reaksi, lain dengan hati nya<br />
yang tertusuk. “Barusan pertanyaan pertama Anda?” tanyanya<br />
datar.<br />
Diam-diam Rana menyesal. Begitu cepatnya ia terpan cing.<br />
“Mengapa kupu-kupu?”<br />
Lagi-lagi Rana tidak siap. Ia mulai bingung, siapa me wawancarai<br />
siapa. Bahkan, alat perekamnya belum dinyala kan.<br />
Di balik penampilannya yang serba-charming, orang ini<br />
begitu provokatif.<br />
32
KEsatrIa<br />
“Logo majalah Anda, mengapa pilih kupu-kupu?”<br />
Rana tidak pernah tahu persis, “Mungkin karena kupukupu<br />
adalah lambang metamorfosis bagi semua orang? Atau<br />
bisa juga karena, ehm, di masyarakat kita, kupu-kupu merupakan<br />
pertanda kedatangan tamu? Dan, ma jalah saya ingin<br />
menjadi tamu yang diinginkan di setiap rumah.”<br />
“Tadi pagi saya kedatangan kupu-kupu. Bayangkan, di<br />
gedung setinggi ini, ada kupu-kupu kecil yang masuk le wat<br />
celah jendela.”<br />
“Mungkin itu artinya Anda akan kedatangan saya, kupukupu<br />
sebesar orang berbaju putih.” Dengan jenaka, Rana<br />
mengacungkan ujung kerah kemeja putihnya.<br />
“Aneh. Kupu-kupu tadi juga putih,” Re menggumam, ini<br />
semua terlalu naif untuk disebut kebetulan, “<strong>dan</strong>, pasti Anda<br />
juga yang memilih nama rubrik itu.”<br />
“Memang betul. Kok, bisa tahu?” Rana terkesan.<br />
“Kamu baru di ruangan ini sepuluh menit, tapi semua nya<br />
seperti jelas. Mungkin kamu memang orang yang berke pribadian<br />
kuat, signifikan. Bagus.” Re tersenyum. Hangat.<br />
Senyum <strong>dan</strong> kata “kamu” terasa mencairkan sesuatu. Dan,<br />
Rana mulai merasa nyaman berada di hadapan sang Mitos.<br />
“Oke, saya mulai dari awal. Rumah. Keluarga.” Rana menyalakan<br />
tombol record. “Sebesar apa peran orangtua kamu<br />
dalam pembentukan karakter atau karier?”<br />
“Ibu saya meninggal sejak umur saya lima tahun. Saya<br />
sendiri belum pernah bertemu ayah saya. Akhirnya, saya<br />
33
KEPIng 2<br />
tinggal dengan kakek <strong>dan</strong> nenek. Waktu umur saya sebelas<br />
tahun, keduanya meninggal dunia. Dan, mereka telah meninggalkan<br />
wasiat untuk menitipkan saya di keluarga sa habat<br />
kakek di San Francisco, berikut semua biaya hidup <strong>dan</strong> sekolah<br />
saya sampai selesai. Kakek saya persiapannya luar<br />
biasa, ya?” Re menarik napas sebentar. “Jadi, kalau ada figur<br />
orangtua yang paling berperan, mereka adalah kakek-nenek<br />
saya. Dan, tentu saja, Gregory Tanner, sa habat Opa yang<br />
sudah seperti ayah saya sendiri.” Wajah itu datar. Seolah tidak<br />
ada secuil pun unsur dramatis dari cerita masa kecilnya.<br />
Malah, Rana yang tercenung. Dalam kamusnya, tidak ada<br />
air muka sebrilian itu selain ekspresi Mr. Bean saat di belakang<br />
setir mobil Morris-nya.<br />
“Re...?” ia menyebutkan nama itu seolah-olah memin ta<br />
izin. “Apa cita-cita kamu waktu kecil? Dokter? Insinyur?<br />
Ingin seperti Pak Habibie?”<br />
Pria itu tertawa. Teringat daftar cita-cita klasik yang jadi<br />
pedoman anak-anak SD dulu.<br />
“Kamu sendiri, Rana?”<br />
“<strong>Bintang</strong> film,” Rana nyengir. “Kalau kamu?”<br />
Tidak ada yang tahu betapa sulitnya pertanyaan itu. Re<br />
dipaksa untuk menyusuri kelamnya gua masa kecil yang penuh<br />
lumpur. Mungkin inilah gorong-gorong saluran sekresi<br />
psikologis. Tidak heran Freud tergila-gila. Tak ada yang<br />
lebih menarik daripada menyaksikan seseorang me nyelam ke<br />
septic tank kotorannya sendiri.<br />
34
KEsatrIa<br />
Cita-citanya adalah getarannya yang pertama. Ia alami<br />
ketika se<strong>dan</strong>g membereskan rak-rak taman bacaan tua mi lik<br />
Opa. Di sana, Re menemukan carikan kertas per<strong>dan</strong>a nya.<br />
Sebuah potongan komik. Ada gambar seorang ke satria <strong>dan</strong><br />
seorang putri.<br />
<strong>Kesatria</strong> jatuh cinta pada putri bungsu<br />
dari Kerajaan Bidadari.<br />
Sang <strong>Putri</strong> naik ke langit.<br />
<strong>Kesatria</strong> kebingungan.<br />
<strong>Kesatria</strong> pintar naik kuda <strong>dan</strong> bermain pe<strong>dan</strong>g,<br />
tapi tidak tahu caranya terbang.<br />
<strong>Kesatria</strong> keluar dari kastel untuk belajar terbang<br />
pada kupu-kupu.<br />
Tetapi, kupu-kupu hanya bisa menempatkannya<br />
di pucuk pohon.<br />
<strong>Kesatria</strong> lalu belajar pada burung gereja.<br />
Burung gereja hanya mampu mengajarinya<br />
sampai ke atas menara.<br />
<strong>Kesatria</strong> kemudian berguru pada burung elang.<br />
Burung elang hanya mampu membawanya<br />
ke puncak gunung.<br />
Tak ada unggas bersayap yang mampu terbang<br />
lebih tinggi lagi.<br />
<strong>Kesatria</strong> sedih, tapi tak putus asa.<br />
<strong>Kesatria</strong> memohon pada angin.<br />
35
KEPIng 2<br />
Angin mengajarinya berkeliling mengitari bumi,<br />
lebih tinggi dari gunung <strong>dan</strong> awan.<br />
Namun, sang <strong>Putri</strong> masih jauh di awang-awang,<br />
<strong>dan</strong> tak ada angin yang mampu menusuk langit.<br />
<strong>Kesatria</strong> sedih <strong>dan</strong> kali ini ia putus asa.<br />
Sampai satu malam, ada <strong>Bintang</strong> <strong>Jatuh</strong> yang berhenti<br />
mendengar tangis dukanya.<br />
Ia menawari <strong>Kesatria</strong> untuk mampu melesat secepat cahaya.<br />
Melesat lebih cepat dari kilat <strong>dan</strong> setinggi sejuta langit<br />
dijadikan satu.<br />
Namun, kalau <strong>Kesatria</strong> tak mampu mendarat tepat di<br />
<strong>Putri</strong>nya, ia akan mati.<br />
Hancur dalam kecepatan yang membahayakan,<br />
menjadi serbuk yang membedaki langit, <strong>dan</strong> tamat.<br />
<strong>Kesatria</strong> setuju. Ia relakan seluruh kepercayaannya pada<br />
<strong>Bintang</strong> <strong>Jatuh</strong> menjadi sebuah nyawa.<br />
Dan, ia relakan nyawa itu bergantung hanya pada<br />
serpih detik yang mematikan.<br />
<strong>Bintang</strong> <strong>Jatuh</strong> menggenggam tangannya. “Inilah perjalanan<br />
sebuah cinta sejati,” ia berbisik,<br />
“tutuplah matamu, <strong>Kesatria</strong>. Katakan untuk berhenti begitu<br />
hatimu merasakan keberadaannya.”<br />
Melesatlah mereka berdua. Dingin yang tak terhingga serasa<br />
merobek hati <strong>Kesatria</strong> mungil,<br />
tapi hangat jiwanya diterangi rasa cinta.<br />
Dan, ia merasakannya. “Berhenti!”<br />
36
KEsatrIa<br />
<strong>Bintang</strong> <strong>Jatuh</strong> melongok ke bawah,<br />
<strong>dan</strong> ia pun melihat sesosok putri cantik yang kesepian.<br />
Bersinar bagaikan gugus Orion di tengah kelamnya galaksi.<br />
Ia pun jatuh hati.<br />
Dilepaskannya genggaman itu. Sewujud nyawa<br />
yang terbentuk atas cinta <strong>dan</strong> percaya.<br />
<strong>Kesatria</strong> melesat menuju kehancuran.<br />
Sementara sang <strong>Bintang</strong> mendarat turun<br />
untuk dapatkan sang <strong>Putri</strong>.<br />
<strong>Kesatria</strong> yang malang.<br />
Sebagai balasannya, di langit kutub dilukiskan aurora.<br />
Untuk mengenang kehalusan <strong>dan</strong> ketulusan hati <strong>Kesatria</strong>.<br />
Mata Re berkaca-kaca, ada kepedihan yang tak bisa dijelaskan.<br />
Untuk kali pertama ia menangis bukan karena<br />
jatuh dari sepeda atau pohon jambu. Bukan karena digigit<br />
anjing atau semut rangrang.<br />
Malam itu, ia berkeluh kesah kepada neneknya, berceloteh<br />
mengenai ketidakadilan cerita itu. Bagaimana mungkin<br />
ketu lusan <strong>Kesatria</strong> dihargai hanya dengan aurora. Me mangnya<br />
aurora itu apa? Sebagus apa pula ia?<br />
Neneknya menenangkan. “Itu hanya dongeng,” bujuknya.<br />
“Satu dongeng sedih yang tak sengaja kamu temukan. Ma sih<br />
banyak dongeng-dongeng lain yang berakhir bahagia.”<br />
Sayangnya, Re tak cepat percaya. Sampai akhirnya, Oma<br />
terpaksa menceritakan puluhan dongeng yang ber akhir<br />
bahagia, semalam suntuk.<br />
37
KEPIng 2<br />
Lagi-lagi, Re tak cepat puas. Ia menanyakan mengenai<br />
dongeng lain yang lebih sedih lagi. Ternyata tidak ada, atau<br />
Oma yang tidak tahu. Opa juga tidak.<br />
Cerita mengenai serdadu timpang yang jatuh cinta kepada<br />
penari balet? Tidak, keduanya saling mencintai. Ti dak ada<br />
pengkhianatan. Ia jatuh ke api karena kehi langan keseimbangan.<br />
Cerita putri duyung yang akhirnya berubah jadi<br />
buih? Tidak, ia termakan sumpahnya sendiri. Pa nge ran yang<br />
dicintainya pun tidak lantas direbut oleh si Penyihir.<br />
Suara kecilnya berkata lirih, “Aku ingin jadi <strong>Kesatria</strong>,<br />
Oma.” Namun, ketika ditanya, untuk apa? Re tidak bisa<br />
men jawab. Pada usianya, begitu banyak keterbatasan kata<br />
yang menghambatnya bercerita. Ia ingin membalikkan ki sah<br />
itu. Membuat <strong>Bintang</strong> <strong>Jatuh</strong> benar-benar jatuh ke jurang<br />
galaksi yang paling dalam. Ia ingin <strong>Putri</strong> itu me nyadari<br />
bahwa sang <strong>Kesatria</strong>lah yang terbaik, yang telah keluar dari<br />
kastelnya yang nyaman demi bisa terbang, yang mau mempertaruhkan<br />
nyawa sekadar untuk ber temu.<br />
Tidakkah ada yang melihat? Betapa ketulusan bisa menjadi<br />
teramat konyol. Hasrat yang berlebih tanpa per siapan<br />
bisa berakibat fatal. Percaya membabi buta pada pihak asing<br />
bisa jadi senjata makan tuan. Strategi. Keman dirian. Itu dia<br />
kuncinya.<br />
Re melihat itu semua tanpa bisa mengungkapkan.<br />
Oma lalu membelai rambutnya. “Re yang manis, umurmu<br />
masih sepuluh tahun,” katanya. “Kamu belum cukup besar<br />
38
KEsatrIa<br />
untuk jadi <strong>Kesatria</strong>. Kapan-kapan saja, ya? Kalau kamu sudah<br />
gede.”<br />
Tak sampai setahun, Oma meninggal. Disusul Opa setahun<br />
kemudian. Malaikat-malaikat berambut putih yang<br />
telah merawat <strong>dan</strong> membesarkannya, yang mengajarinya<br />
huruf <strong>dan</strong> angka, membacakan untuknya cerita, <strong>dan</strong> mengajaknya<br />
berdoa.<br />
Re menganggap kejadian itu adalah konsekuensi citacitanya.<br />
Rupanya Tuhan mendengar ikrarnya waktu itu.<br />
Ber tahun-tahun, ia telah memusingkan mereka dengan pertanyaannya<br />
yang tak ada habis <strong>dan</strong> kehausannya akan kisahkisah.<br />
Kali ini, ia harus membuat kisahnya sendiri.<br />
Tidak. Ia tidak sempat diajari untuk ingin jadi insinyur,<br />
jadi pilot, atau jadi seperti Pak Habibie. Satu-satunya citacita<br />
yang ia ingat <strong>dan</strong> terus ia lakoni adalah menjadi <strong>Kesatria</strong>.<br />
Dengan kisah yang sama sekali berbeda. Tak termakan<br />
cinta <strong>dan</strong> percaya. Mampu belajar terbang tanpa dibantu<br />
siapa-siapa.<br />
Berawal dari satu getar sel abu-abu.<br />
Lama-lama, Rana menyadari jeda kosong yang tidak lagi<br />
wajar. “Maaf, cita-cita waktu kecil?” ia mengulang hati-hati.<br />
Re mendongak. Wajah yang satu ini mengun<strong>dan</strong>g kejujuran.<br />
Tidak tahu kenapa. Konon, kita memang tidak pernah<br />
tahu akan bertemu dengan siapa hari ini atau esok lusa. Dan,<br />
siang hari ini, ia menemukan seseorang yang memaksanya<br />
39
KEPIng 2<br />
kembali ke masa lalu. Hidup memang aneh. Banyak penjelasan<br />
dalam ketidakjelasannya.<br />
“Saya ingin jadi <strong>Kesatria</strong>,” ia menjawab pelan. Dan, masih<br />
betapa jauhnya ia dari cita-cita itu.<br />
“Maksud kamu, jadi ABRI, begitu? Atau pendekar si lat?”<br />
“Yah, kira-kira.”<br />
Rana geleng-geleng kepala. “Sudah saya duga. Jawaban<br />
pertanyaan ini pasti penuh kejutan.”<br />
“Bagi saya, pertanyaan kamulah yang mengejutkan.”<br />
Rana menatap pria itu. Ada intensitas dalam adu pan <strong>dan</strong>g<br />
mereka yang hanya dua detik. Inilah saat suara piano akustik<br />
biasanya muncul sebagai ilustrasi.<br />
Rana langsung salah tingkah. Saat itu, ia belum sepe nuhnya<br />
sadar, sebenarnya ia tidak sendirian.<br />
“Kamu punya waktu sampai makan siang, kan?” Re bertanya.<br />
Inilah saatnya sekawanan biola biasanya mengalun ma suk.<br />
Rana mengangguk. Terlalu cepat. Tak ada yang bisa disembunyikan.<br />
Termasuk cincin emas polos yang meling kar<br />
di jari manisnya.<br />
Re baru menyadari keberadaan cincin itu ketika mereka<br />
pergi makan siang berdua. “Kamu menikah?”<br />
“Iya.” Suara Rana mengambang seperti awan.<br />
“Sudah berapa lama?”<br />
“Tiga tahun.”<br />
40
KEsatrIa<br />
“Berarti, waktu kamu masih 25 tahun? Relatif cepat juga,<br />
ya? Untuk ukuran modern yang saya tahu sekarang. Ada<br />
alasan khusus?”<br />
“Orangtua. Terutama mertua saya. Daripada membuka<br />
kemungkinan berzina, katanya, lebih baik disuruh nikah<br />
cepat-cepat. Toh, sudah pada lulus kuliah, sudah bisa ker ja.”<br />
Mata Re membelalak tak percaya. “Oh, ya? Saya, kok,<br />
baru dengar alasan seperti itu.”<br />
“Buat seseorang yang dari SMP sudah pergi sekolah ke<br />
San Francisco, mungkin jadi hal baru,” sahut Rana. Getir.<br />
Rana tak menceritakan bagian di mana ia benar-benar<br />
mabuk cinta. Mabuk akan imaji cinta yang terwujud da lam<br />
bahtera rumah tangga; pasangan muda, rumah milik bersama<br />
di real estate baru, kredit mobil ditanggung ber dua,<br />
men dorong kereta belanja sambil bergandengan ta ngan di<br />
supermarket, berdebat soal detergen merek apa, mi instan<br />
apa, <strong>dan</strong> sambal botol keluaran pabrik mana.<br />
“Bagaimana rasanya menikah? Menyenangkan?” Kali ini,<br />
Re menyempatkan diri untuk menatap mata Rana. Sorot<br />
yang tak kunjung berpijak.<br />
“Yah, begitulah,” Rana mencoba bersikap santai, “memang,<br />
sih, nggak terlalu mirip dengan apa yang saya ba yangkan<br />
dulu, tapi oke-oke saja.”<br />
“Sori, mungkin nggak pada tempatnya saya bertanyatanya<br />
seperti itu. Cuma saya selalu terkesan pada orang-<br />
41
KEPIng 2<br />
orang yang mampu berkomitmen tinggi soal cinta karena<br />
saya sendiri nggak pernah punya hubungan serius.”<br />
“Nggak sempat, maksud kamu?”<br />
“Tepat! Itu faktor utama!” Re tergelak.<br />
“Separah itukah?”<br />
Tawanya menghilang seketika. “Sepatutnyakah itu di sebut<br />
parah?” Re bertanya sungguh-sungguh.<br />
“Bukannya gitu?” Rana pun terheran-heran. “Dengan pekerjaan<br />
yang rawan stres, masa kamu nggak kepingin punya<br />
seseorang yang bisa bikin kamu nyaman? Seseorang yang<br />
bisa memasakkan kamu makan malam, diajak ke bioskop,<br />
jalan-jalan, shopping—”<br />
“Sebentar, sebentar,” potong Re, “satu-satu dulu. Per tama,<br />
saya nggak suka shopping. Untuk jalan-jalan atau nonton,<br />
saya punya beberapa sahabat yang bisa diajak per gi. Saya punya<br />
pembantu di rumah yang jago masak, well, saya sendiri<br />
lebih sering makan di luar. Dan, saya pikir saya punya kemampuan<br />
independen untuk menciptakan rasa nyaman.<br />
Tapi, TAPI, kalau ternyata ada satu orang yang bisa menjalankan<br />
semua fungsi itu sekaligus, hmmm, boleh juga.” Ia<br />
tersenyum. “Itukah alasan kamu menikah, Rana? Karena<br />
menemukan paket all in one?”<br />
“Kira-kira, iya.” Nada bicaranya semakin mirip balon gas<br />
lepas. Mengapung tanpa arah.<br />
“Tapi, nggak seperti apa yang kamu bayangkan?”<br />
42
KEsatrIa<br />
Rana menghela napas. “Banyak sisi yang ikut muncul, sisi<br />
yang sebenarnya pasti ada, tapi nggak pernah di harapkan.<br />
Nah, di sanalah gunanya komitmen.”<br />
“Komitmen memang alasan paling bagus untuk ber kompensasi.”<br />
Rana benar-benar tidak suka pembicaraan ini.<br />
“Mungkin itu salah satu alasan kenapa saya tidak per nah<br />
mau serius berkomitmen. Kompromi di pekerjaan bisa dihitung<br />
harganya. Tapi, untuk urusan hati, saya pikir siapa pun<br />
setuju harganya tidak ternilai,” ujar Re dengan ringannya.<br />
“Cinta, kan, butuh pengorbanan,” sahut Rana pelan.<br />
“Lalu, idiot mana yang menulis ‘Love shall set you free’?<br />
Tadinya, saya pikir, cinta seharusnya menjadi tiket menuju<br />
kebebasan, bukan pengorbanan. Agaknya konsep itu ter lalu<br />
utopis, ya.”<br />
Lama mereka berdua terdiam. Terlalu lama sehingga menyiratkan<br />
segalanya.<br />
“Wawancara yang sangat menarik, terima kasih. Bukti<br />
terbitnya akan saya kirim.” Rana bangkit berdiri.<br />
“Nggak ada kartu nama?”<br />
“Oh, ya. Sebentar.” Sigap, Rana mengambil selembar,<br />
menuliskan nomor ponselnya, <strong>dan</strong> merasa lega. Ia ingin mening<br />
galkan jejak.<br />
“Ini kartu nama saya.” Re langsung menuliskan nomor<br />
ponselnya.<br />
Rana benar-benar lega.<br />
43
KEPING 2<br />
Inilah saat suara piano biasanya kembali mengalun.<br />
Meng iringi langkah-langkah kaki yang ringan <strong>dan</strong> penuh<br />
sukacita.<br />
“Rana....”<br />
Gadis itu menoleh, bola matanya bersinar indah. Tak ada<br />
yang bisa memungkiri, ternyata di sanalah hati Re tertambat.<br />
Di sinar mata yang siap mendobrak kung kungan demi mimpi<br />
yang setinggi langit. Sinar mata yang mengingatkan kepa<br />
da dirinya sendiri.<br />
“Kamu anak bungsu?”<br />
“Kok, tahu?”<br />
Re cuma tersenyum kecil, mengangkat bahu. <strong>Putri</strong> Bungsu<br />
dari Kerajaan Bidadari. Tak kusangka akan me nemukanmu secepat<br />
ini.<br />
Di sinilah momen alunan biola biasanya kembali terdengar.<br />
Sampai sekarang, Re pun masih bisa mendengar nya.<br />
Namun, terka<strong>dan</strong>g bunyinya amat sumbang. Me ngoyak <strong>dan</strong><br />
menyayat.<br />
Ia ingin tidur. •<br />
44