Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
KEPING 35<br />
“Kenapa Bong? Bukan Bing, atau Bang, atau Bung?” tanyaku<br />
waktu itu.<br />
Bong tertawa seraya mengambil teh kotak kosong dari tanganku,<br />
menyobek satu ujungnya, lalu menyobek kertas ti mah<br />
dari dus rokok, dilipat dan dibuat kerucut dengan ujung<br />
sedikit membuka, ditancapkan ke lubang sedotan. Terakhir,<br />
menyodorkannya balik kepadaku. “Karena ini,” ucapnya.<br />
“Apa ini?” aku bertanya.<br />
“Lo suka nyimeng?” ia bertanya balik.<br />
Aku menggeleng.<br />
“Daunnya ditaruh di sini,” Bong menunjuk wadah ke rucut.<br />
“Bakar, terus asapnya diisap dari sini,” lanjutnya sambil menunjuk<br />
sobekan di ujung. “Kotak ini sekarang resmi jadi<br />
bong. Gue juga bikin bong dari dus rokok, Aqua bekas,<br />
semangka, pepaya, batok kelapa, apa saja—lo ting gal kasih,<br />
entar gue oprek,” jelasnya lagi. “Kenapa Bodhi? Bukan Budi,<br />
bukan Bude, atau Bodo?” ia membalas per tanyaanku.<br />
Aku tertawa, dan karena sore itu indah, aku pun mulai<br />
ber cerita tentang satu “kenapa” yang bercabang menjadi<br />
ratusan “apa?!”.<br />
Sesudahnya, Bong berkata sambil menatapku tepat di bola<br />
mata. “Anarki yang sejati ada di dalam sini.” Ia me nunjuk dadaku.<br />
“Lo itu guru gue, Bodhi. Punk in the heart.” Ia lantas mengambil<br />
cutter, memotong satu “tan duk” rambutnya dan menyimpankannya<br />
dalam geng gamanku. Sejak itu ada bundaran kosong<br />
di kepalanya yang mem buat ia seperti domba cacat. Bong pun<br />
28