SupernovaAkar.pdf
KEPING 35 bisa menggantikan Bono dan bernyanyi. I have climbed the highest mountain / I have run through the field / I have held the hand of the devil / I have—lupa—but, only to be with you, hai, kau Malaikat Maut... El Diablo... Dewa Kematian... Hades... Pluto... Osiris... Xibalba... akan ku hadapi kalian semua! Sendirian! Namun, kok, malah ka lian yang pengecut? Oke, oke, mungkin bukan dengan cara dipanggang dalam oven beton. Baik. Aku akan meng elus dada dan bersabar. Namun, jangan lama-lama. Selama ini aku menghargai peran kalian dengan tidak melakukan nya atas inisiatif pribadi. Jangan salah sangka dulu. Aku mencintai ke hidupan. Aku menikmati setiap hela napas, setiap per gerakan ter kecil semua sendi dan ototku, dan aku sepakat tidak ada yang lebih merdu dari suara detak jantung. Namun, se perti kalimat klise yang berbunyi “setiap manusia punya batas”, aku juga punya. Nah, lucunya, eksistensi bodohku selalu mendorong batas itu sehingga apa yang kukira ba tasku hari ini ternyata masih punya ujung baru esok hari nya. Sama liciknya dengan stiker di angkot “hari ini bayar, besok gratis”. Manusia yang selalu hidup di benang perbatasan antara waras dan gila, antara kata mutiara dan umpatan durjana adalah manusia yang paling kesepian. Lautan manusia lain hidup nyaman di area “wajar-wajar saja”. Bukan aku. Aku hanya bisa me mandanginya macam gelandangan di bukit sampah menatap gedung apartemen mewah. Seperti Pluto nan beku memandangi bumi nan biru. Namun, kita sama-sama manusia atau... bukan? 26
aKar Syukur, Bong kembali menyadarkanku. “Bod, lo di tunggu sama anak-anak entar sore. Program orientasi lagi. Bisa, kan?” “Bisa,” aku mengangguk. Sekalipun status manusiaku dira gukan, tetapi minimal aku masih punya guna untuk manusia lain. Itu cukup untuk hari ini. Besok aku sudah jadi kodok. Siapa yang tahu? Bong membangun punk scene yang tidak bisa dibilang kecil. Meski paling benci disebut ketua geng dan meng anut prinsip rhizoma dalam membina jaringan, ia tetap dituakan dan dihormati seluruh scene di negeri ini karena dialah yang paling cerdas dan berwawasan. Banyak anak yang bergabung garagara ingin gotong royong mabuk murah atau menyalurkan kekesalan mere ka kepada anak-anak borjuis yang selalu berhasil menggaet cewek cantik. Mereka tegakkan rambut pakai lem Fox, lalu diwarnai se perti dinding TK, kemudian joget pogo seperti kawanan kanguru berahi, memakai jins nyaris setipis tisu yang tak pernah tersentuh air kecuali oleh keringat atau hujan. Me reka pikir itu satu bentuk per lawanan. Namun, Bong lain. Ia membaca. Ia tahu se jarah. Ia membuka mata terhadap dunia. Ia tahu ujung-pangkal luar-dalam kenapa ia memi lih jalan hidup seperti itu. Ia punya pandangan X-Ray yang me nembus permukaan. Mungkin karena itulah ia langsung me nyambut hangat kehadiranku dulu. Pada suatu sore cerah di Kota Bandung, tiga tahun si lam, sehabis menonton pertunjukan musik di lapangan yang kelak kutahu disebut “Saparua”, berdua kami duduk di jongko mi rebus di Jalan Sumatra. 27
- Page 2 and 3: Undang-undang Republik Indonesia No
- Page 4 and 5: SUPERNOVA EPISODE: AKAR Karya Dee/D
- Page 7 and 8: BODHI berterima kasih kepada: Budi
- Page 9: Engkaulah gulita yang memupuskan se
- Page 12 and 13: KEPING 34 rango, que na, dan sepera
- Page 14 and 15: KEPING 34 sedagunya, dengan badan s
- Page 16 and 17: KEPING 34 dipandangi cuma akan mele
- Page 18 and 19: KEPING 34 mata hari. Dunia pun berb
- Page 20 and 21: KEPING 34 bernama belakang Anastasi
- Page 22 and 23: KEPING 34 “Mamá, saya akan baik-
- Page 24 and 25: KEPING 34 ancho tidak kembali, aku
- Page 27 and 28: 2 0 0 2 Jakarta Tolong, yang di ka
- Page 29 and 30: aKar “Terpaksa Mas Bodhi harus ca
- Page 31 and 32: aKar The Alan Parsons Project, pref
- Page 33 and 34: aKar rumah bagiku adalah kotak. Bok
- Page 35: aKar “Tadi lo diantar ojek si Kim
- Page 39 and 40: aKar terpaksa potong pendek. Sampai
- Page 41 and 42: aKar kadang tidak. Sering juga aku
- Page 43 and 44: aKar Dua anting di alis kirinya iku
- Page 45 and 46: aKar volume tubuh kami berlima. Den
- Page 47: aKar “Sakit sekali.” Tawaku mel
aKar<br />
Syukur, Bong kembali menyadarkanku. “Bod, lo di tunggu<br />
sama anak-anak entar sore. Program orientasi lagi. Bisa, kan?”<br />
“Bisa,” aku mengangguk. Sekalipun status manusiaku<br />
dira gukan, tetapi minimal aku masih punya guna untuk manusia<br />
lain. Itu cukup untuk hari ini. Besok aku sudah jadi<br />
kodok. Siapa yang tahu?<br />
Bong membangun punk scene yang tidak bisa dibilang kecil.<br />
Meski paling benci disebut ketua geng dan meng anut prinsip<br />
rhizoma dalam membina jaringan, ia tetap dituakan dan dihormati<br />
seluruh scene di negeri ini karena dialah yang paling<br />
cerdas dan berwawasan. Banyak anak yang bergabung garagara<br />
ingin gotong royong mabuk murah atau menyalurkan<br />
kekesalan mere ka kepada anak-anak borjuis yang selalu<br />
berhasil menggaet cewek cantik. Mereka tegakkan rambut<br />
pakai lem Fox, lalu diwarnai se perti dinding TK, kemudian<br />
joget pogo seperti kawanan kanguru berahi, memakai jins nyaris<br />
setipis tisu yang tak pernah tersentuh air kecuali oleh keringat<br />
atau hujan. Me reka pikir itu satu bentuk per lawanan. Namun,<br />
Bong lain. Ia membaca. Ia tahu se jarah. Ia membuka mata<br />
terhadap dunia. Ia tahu ujung-pangkal luar-dalam kenapa ia<br />
memi lih jalan hidup seperti itu. Ia punya pandangan X-Ray<br />
yang me nembus permukaan. Mungkin karena itulah ia<br />
langsung me nyambut hangat kehadiranku dulu.<br />
Pada suatu sore cerah di Kota Bandung, tiga tahun si lam,<br />
sehabis menonton pertunjukan musik di lapangan yang kelak<br />
kutahu disebut “Saparua”, berdua kami duduk di jongko mi<br />
rebus di Jalan Sumatra.<br />
27