You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
aKar<br />
“Terpaksa Mas Bodhi harus cari tempat indekos lain,”<br />
ujarnya prihatin sambil mengembuskan napas. Aroma rokok<br />
keretek campur halitosis.<br />
Siapa bilang cuma kata-kata yang lebih kejam dari pedang?<br />
Napas bisa lebih sadis. Senjata biologis. Dan, detonatornya<br />
cuma mulut yang membuka. “Lusa datang lagi, ya?”<br />
Aku tersenyum. “Setengah delapan? Nanti saya ba yar.”<br />
Ia menunduk sedikit, lalu mengejangkan lehernya seper<br />
ti karet ketepel. “Permisi, Mas Bodhi. Selamat pagi<br />
[sua ranya selip lagi]—Ehm!”<br />
Aku tahu ia tidak akan muncul-muncul sampai bulan<br />
depan.<br />
Semua anak sudah berdiri di pintu kamarnya masingmasing.<br />
Ini sudah jadi semacam ritual kami, di samping main<br />
gaple sepuluh ronde sebelum menonton Liga Inggris di ruang<br />
tengah, tempat televisi inventaris yang remote-nya gagang raket<br />
bulu tangkis atau jempol kaki si Agus yang bertungkai jenjang.<br />
Ketika centeng linglung itu tak lagi kelihatan, tawa kami pun<br />
ambruk berantakan.<br />
Bulan keenam, dan selalu lolos. Tinggal gratis dari pertama<br />
masuk. Sampai sekarang anak-anak masih pe nasaran<br />
apa rahasia keberuntunganku. Namun, untung, mereka rela<br />
menikmatinya tetap sebagai misteri.<br />
“Pergi siaran, Bod?” Gun, salah seorang fans fanatikku,<br />
menyapa.<br />
“Iya, dan sudah telat sejam, mau titip lagu?” tanyaku sambil<br />
19