You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Kabut taK tergenggam<br />
yang dapat menarik Gio pergi bila sudah duduk diam meman<br />
dangi kabut malam menciumi wajah sungai.<br />
Barangkali, kecintaan itulah yang dilihat seorang pe man du<br />
tua di tepian Sungai Yuat, Papua Nugini, dua be las tahun lalu,<br />
saat Gio menghadiahi dirinya sendiri arung jeram kelas lima<br />
pertama, di luar Indonesia. Tepat pada hari ulang tahunnya<br />
yang kedelapan belas, laki-laki itu mendatanginya dan ber kata,<br />
“Hidupmu ada di urat bumi. Selalu kembali ke buih.” Detik berikut,<br />
sorot mata Gio membentur peta yang ia genggam dan<br />
se ketika pula diri nya mengerti. Sejak itu, tak pernah berhenti ia<br />
mengen darai buih, menyusuri urat-urat bumi. Lewat kayuhan<br />
da yung, atau terawangan mata belaka, tak ada bedanya. Sungai<br />
menjadi jalan pulangnya ke rumah tak berwadak, tetapi ia<br />
selalu tahu ke mana harus mengetuk pintu.<br />
Perjalanannya ke Bolivia kali ini merupakan kali ke enam<br />
Gio mengunjungi Rio Tuichi, tepat dalam jantung Taman<br />
Nasional M adidi yang melingkup dari Andes sam pai Ama zon.<br />
Setelah bertolak dari Desa San José de Uchu piamonas nan<br />
senyap, ia masih memilih tinggal dulu di Rurrenabaque, demi<br />
menatapi gu lungan kabut pekat yang mencium wajah sungai<br />
pada malam hari. Le nyap dalam serat udara yang tersisir lariklarik<br />
sinar bulan. Ia bisa duduk di tepi sungai berjam-jam<br />
lamanya. Ter senyum. Entah kepada siapa.<br />
Pada suatu malam dingin tanpa angin di Vallegrande,<br />
Chas ka pernah berbisik kepadanya, sungai yang diarungi<br />
membuat seseorang bertambah kuat, tetapi sungai yang<br />
5