31.10.2014 Views

otobiografi-valentino-rossi

otobiografi-valentino-rossi

otobiografi-valentino-rossi

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Otobiografi Valentino Rossi<br />

(Andai aku tak pernah mencobanya...)<br />

Diterjemahkan dari<br />

The Autobiography of Valentino Rossi<br />

What if I had never tried it<br />

karya Valentino Rossi<br />

Copyright © 2005 by Valentino Rossi<br />

© Hak cipta dilindungi undang-undang<br />

All rights reserved<br />

Dilarang memproduksi buku ini dalam bentuk apa pun<br />

tanpa izin teitulis dari penerbit<br />

Penerjemah : Doni Suseno<br />

Penyunting : Santi Sasono<br />

Desain Ulang Sampul : Eja-creative14<br />

Pewajah Isi : creative14<br />

Cetakan III : Juni 2006<br />

ISBN : 979-333-003-1<br />

UFUK PRESS<br />

PT. Cahaya Insan Suci<br />

Jl. Warga 23A, Pejaten Barat, Pasar Minggu,<br />

Jakarta Selatan 12510, Indonesia<br />

Phone. +62-21-7976587, 79192866<br />

Fax. +62-21-79190995<br />

Homepage: www.ufukpress.com<br />

Blog : http://ufukpress.blogspot.com<br />

Email : info@ufukpress.com


1<br />

CAPITOLO UNO<br />

KAMI membanting setir ke kiri sekaligus melesat miring<br />

masuk gigi tiga penuh dengan kecepatan 170km/jam. Dari<br />

motor Hondaku, aku cuma bisa melihat bagian atas<br />

knalpot motor Yamahanya. la masih di depanku, bahkan<br />

hingga pada tikungan di atas bukit itu yang kalau cakrawala<br />

mulai menghilang, kamu akan segera lenyap juga di<br />

baliknya. Aku masih ketat menempel di belakangnya.<br />

Itulah saat paling menentukan bagi delapan pembalap<br />

yang kemudian tinggal karni berdua: aku dan Max Biaggi.<br />

Memang saat paling menentukan dalam kejuaraan<br />

tahun 2001 itu. Putaran terakhir. Sirkuit terakhir yang<br />

berat. Aksi terakhir untuk menang. Kesempatan terakhir...<br />

untukku.<br />

Tikungan yang memanjang beraspal tersebut terlihat<br />

seperti olesan mentega pada permukaan bukit hijau yang<br />

tak terlalu curam itu. Tikungan yang tampak bergantung<br />

dan selaras dengan setiap permukaan bukit itu mirip huruf<br />

'S', ke kiri, lalu ke kanan, dan berakhir tepat di<br />

puncaknya. Sebelum kamu bisa mencapainya, kamu harus<br />

bergerak naik dulu, setelah itu menuruninya.<br />

Saat kamu tiba pada bagian sudutnya, kamu pasti<br />

takkan bisa melihat apa-apa. Kamu hanya bisa membayangkannya.<br />

Kamu juga tak tahu kapan harus mengerem;<br />

yang bisa kamu lakukan hanyalah menyadari kalau di<br />

sudut itulah kamu harus bisa mengambil posisi yang<br />

tepat, atau semua akan terlambat karena kamu memang<br />

tak bisa melakukan apa-apa.<br />

Aku berpikir untuk mengambil posisi di sebelah luar;


dengan demikian, aku bisa berada di sebelah kanan Biaggi<br />

saat menuruni trek pendek, lalu berada di sebelah dalam<br />

pada tikungan berikutnya. Satu-satunya cara untuk<br />

mengatasi tikungan tersebut adalah langsung beralih ke<br />

gigi satu setelah dari gigi empat.<br />

Jika kamu bisa Iebih dulu keluar dari sana, semua<br />

pasti berakhir. Artinya, kamulah yang menang. Rasarasanya,<br />

saat itu juga sikuku menggores Yamaha yang dikendarainya:<br />

pertama-tama kurasakan knalpotnya, lalu<br />

ban belakangnya. Aku memang telah mengambil risiko<br />

yang besar, dan aku memang harus melakukannya. Itulah<br />

satu-satunya cara untuk mendahuluinya, tepat saat mengerem.<br />

Itulah yang kulakukan. Dan saat aku mulai<br />

berada di sampingnyalah dia baru menyadari apa yang<br />

sebenarnya sedang terjadi. Ia memang terlambat mengantisipasinya<br />

saat kami meluncur turun berdampingan.<br />

Akulah yang Iebih dulu sampai pada tikungan tajam ke<br />

kanan itu, lalu berhasil memimpin di tikungan panjang ke<br />

kiri, dan akhirnya benar-benar berhasil Iebih dulu<br />

menembus garis finish.<br />

Itulah awal kisah kemenanganku pada kejuaraan<br />

Australian Grand Prix 2001 yang menobatkanku menjadi<br />

juara dunia baru motor 500cc.<br />

Tiga tahun kemudian, aku dan Sete Gibernau kebetulan<br />

bertarung di sirkuit dan trek yang sama. Ia sepertinya<br />

berharap aku melakukan hal serupa seperti yang<br />

terjadi pada Biaggi. Ia juga tampaknya tahu apa yang<br />

akan terjadi di putaran terakhir saat aku mencoba men<br />

dahuluinya pada beberapa tikungan sebelumnya. Namun,<br />

aku ternyata telah membuat satu kesalahan fatal, akibatnya<br />

Gibernau berhasil mendahuluiku lagi. Kemudian,<br />

aku putuskan untuk mengambil posisi di sebelah dalam<br />

saat mulai menuju tikungan yang menanjak; dengan<br />

demikian, aku akan bisa mendahuluinya persis saat kami


meluncur ke bawah. Aku ingin lekas-lekas mendahuluinya<br />

sebelum melintasi trek menurun yang panjang itu. Aku<br />

memang berhasil melakukannya ketika kami memasuki<br />

tikungan panjang dan sudut tanjakan berubah.<br />

"Aku berhasil," demikian teriakku dalam hati.<br />

Namun, kegembiraan itu ternyata hanya sementara. Ada<br />

yang tidak kuduga sama sekali. Gibernau menahan<br />

remnya lalu segera menempel rapat di sebelahku hingga<br />

kami berpacu naik ke arah bukit bersamaan. Motor Honda<br />

nya terasa seperti sedikit membentur ujung rods depan<br />

Yamaha yang kukendarai. Tiba-tiba saja aku melihatnya<br />

mulai bergerak melebar dan terlalu melebar. la ternyata<br />

tak mampu menyelesaikan tikungan itu.<br />

"Oh, kau akan melebar kan..yeah, kau benar-benar<br />

melebar..ya, ya, kau tak bisa menghindarinya...kau terlalu<br />

melebar...aku mampu melaluinya!" demikian sorakku<br />

dalam hati begitu aku mulai menekan gas dan segera<br />

melesat jauh mendahuluinya.<br />

Pada trek seperti itu, kamu melaju sangat cepat dalam<br />

posisi miring. Kamu takkan bisa menyentuh rem, juga<br />

menegakkan badan. Sekali berada dalam situasi itu, kamu<br />

takkan bisa ke mana-mana lagi. Kesalahan sekecil apa<br />

pun, terutama saat berada dalam kecepatan yang tak<br />

tepat, membuat riwayatmu tamat.<br />

Gibernau melaju terlalu kencang saat memasuki<br />

tikungan, sedangkan aku melaju dengan kecepatan ideal.<br />

Aku berhasil mendahuluinya, melaju terus hingga<br />

menyelesaikan putaran terakhir, menikung pelan ke kanan<br />

sama persis dengan apa yang pernah kulakukan tiga<br />

tahun sebelumnya.<br />

Itulah kemenanganku pada kejuaraan Australian<br />

Grand Prix 2004. Aku menang bersama Yamaha, mengalahkan<br />

Honda. Dan aku berhasil meraih kembali predikat<br />

juara dunia MotoGP.


Itulah dua buah gebrakan gemilangku yang terjadi<br />

dalam puncak dua balapan bergengsi pada dua musim<br />

yang hebat. Pertama pada kelas 500cc, kedua di MotoGP.<br />

Aku kadang merasa itu kebetulan saja. Dua prestasi<br />

gemilang di tempat yang sama, selang tiga tahun. Ajaib<br />

sekali, pikirku. Gelar juara tahun 2001 dan 2004 adalah<br />

yang paling berat untuk dimenangkan sekaligus paling<br />

berarti dari semua gelar yang pernah kuperoleh. Aku<br />

memenangkan kedua gelar itu di trek yang sama, Philip<br />

Island, membuat dua manuver mengejutkan di tempat<br />

yang sama, di dua musim penting yang sama pula. Aku<br />

ingin menyelesaikan masing-masing kejuaraan itu hingga<br />

titik terakhir dan memenangi perlombaan.<br />

Tikungan ke kiri yang panjang, tempat aku<br />

membuat dua gebrakan mendahului lawanku, mungkin<br />

merupakan satu-satunya trek pendek paling menegangkan<br />

dari keseluruhan trek fantastis yang selalu ada<br />

dalam hatiku. Di Philip Island tersebut terdapat jalur lurus<br />

yang sangat panjang, dan sesudahnya, kamu akan<br />

mencapai pantai setelah serangkaian tikungan—beberapa<br />

di antaranya agak lebar, yang lainnya agak rapat,<br />

membuat kamu cukup repot mengatur kecepatan dan<br />

tingkat kemiringan. Kamu mencapai pantai, kemudian<br />

menjauhinya, begitu dua kali, sebelum sampai pada jalur<br />

yang cukup curam yang akan membawa kamu lurus<br />

hingga menuju tikungan ke kiri yang sudah tak asing lagi.<br />

Namun, persis sebelum itu, ada chicane yang amat cepat;<br />

kamu harus masuk ke gigi empat dan melaju dengan<br />

kecepatan 200km/jam, lalu melambat pindah ke gigi tiga<br />

dengan kecepatan 170km/jam agar bisa mengatasi<br />

tikungan "kiri-kanan" yang berpindah cepat, dan akhirnya<br />

kamu menuju tikungan panjang menanjak. Di tikungan<br />

panjang itu, kamu terus menerus bergerak miring sambil<br />

tetap melaju kencang, susah melihat apa yang ada di


depan sana. Itulah salah satu tikungan paling hebat,<br />

paling cepat, dan paling berat dalam event MotoGP. Kamu<br />

dituntut untuk mampu bertindak akurat dan tahu persis<br />

bagaimana mengatasi setiap tantangan saat melewatinya;<br />

di sanalah kualitas setiap pembalap menentukan. Hal yang<br />

sama terjadi padaku; tak peduli putaran terakhir atau<br />

bukan, tikungan itu menentukan.<br />

Satu hal yang paling kusukai adalah mengalahkan<br />

la- wan tepat di putaran terakhir. Itulah cara paling<br />

menyenangkan untuk memenangi pertandingan. Memang<br />

kita perlu menghindari masalah, melaju mendahului yang<br />

lain lalu tetap memimpin di depan, namun ada kalanya<br />

kita sadar tak mampu melakukannya sehingga lebih baik<br />

menunggu momen yang tepat, yaitu saat berada pada<br />

putaran terakhir. Inilah pertarungan hidup-mati. Kamu<br />

mesti siap, putaran demi putaran. Kamu mesti<br />

mempelajari posisi lawan, caranya menikung; tahu<br />

kelebihan dan kelemahannya, tahu titik lemahnya yang<br />

sewaktu-waktu bisa kamu manfaatkan. Itulah hal yang<br />

benar-benar penting. Saat putaran terakhir. Saat kamu<br />

mungkin cuma bisa memiliki kesempatan sekali saja untuk<br />

mengejutkan lawan, sekali saja. Lawan kamu tidak akan<br />

peduli apa-apa lagi sesudah itu karena persaingan akan<br />

menjadi semakin sengit.<br />

Mengingat apa yang pernah terjadi pada tahun 2001<br />

dan 2004, aku merasa Biaggi dan Gibernau telah berusaha<br />

maksimal. Aku yakin itu karena aku sendiri juga pernah<br />

mengalaminya. Itulah saat paling menentukan, taruhannya<br />

sangat besar, bukan sekadar gelar juara dunia,<br />

melainkan karier balapan di masa depan<br />

Pada tahun 2001 itu, aku dan Biaggi bertarung<br />

bukan hanya untuk mengejar predikat juara kelas 500cc,<br />

melainkan juga gelar terakhir untuk kategori tersebut.<br />

Musim berikutnya, MotoGP mulai menggantikan kelas


500cc. Waktu itu, aku cuma balapan untuk satu musim<br />

kompetisi saja, jadi, itulah kesempatan pertama sekaligus<br />

satu-satunya bagiku untuk memenangi gelar juara yang<br />

kuidam-idamkan. Aku hanya memiliki satu kesempatan<br />

saja dan sekaranglah saatnya. Biaggi juga berambisi sama<br />

denganku, namun aku tetap berharap menjadi juara<br />

kategori kelas 500cc yang diadakan untuk kali terakhir ini.<br />

Kupilih Yamaha, tim yang sedang berada dalam<br />

kesulitan serius sehingga tantangannya makin besar. ini<br />

bukan soal memenangi satu lagi gelar juara; ini soal<br />

kemarahan dan kebanggaan, kepahitan dan kehormatan.<br />

Aku juga sadar jika musim kompetisi 2004 bisa menjadi<br />

berita besar sehingga bebannya pun tambah besar. Aku<br />

juga sadar bahwa kalau aku bisa memenanginya, aku bisa<br />

mengubah dunia balap motor selama-lamanya. Dan itulah<br />

yang benar-benar terjadi pada kejuaraan di Australia, di<br />

perbukitan Philip Island, tempat aku menyelesaikan<br />

dengan gemilang petualangan yang dimulai di Afrika<br />

Selatan ini.<br />

Ya, Afrika Selatan,Welkom, kota baru yang berlokasi<br />

di Free state. Tanggalnya 18 April 2004, hari yang<br />

bersejarah dalam balap motor dunia. Aku memenangi<br />

balapan pertama bersama Yamaha. Balapan itu juga<br />

merupakan yang pertama dari Kejuaraan Dunia 2004.<br />

Benar-benar tak pernah terlintas dalam benakku.<br />

Kamu mungkin waktu itu melihatku berhenti sesaat<br />

di pinggir trek, turun dari Yamaha kerenku, duduk di sampingnya<br />

sambil melingkarkan kedua lengan pada kedua<br />

lututku, dan menundukkan kepala. Kamu mungkin ingin<br />

tahu apa yang sebenarnya terjadi; barangkali kamu<br />

berpikir aku sedang berusaha mengendalikan emosiku dan<br />

tengah menahan isak tangis. Padahal, itu tidaklah benar.<br />

Di balik klep kaca depanku yang berwarna hitam, aku<br />

sebenarnya tertawa senang dalam hati. Hanya aku dan


Yamaha ku saat itu : aku membungkuk di atas rumput di<br />

samping Yamaha ku, bersandar santai pada roda-rodanya.<br />

Aku tertawa senang karena hatiku diliputi rasa bangga,<br />

lega, dan bahagia.<br />

"Dan pada akhirnya aku berhasil," demikian ujarku<br />

dalam hati. "Sungguh susah dipercaya, aku telah<br />

memorak-porandakan mereka semua...pertunjukan yang<br />

hebat !"<br />

Aku jadi teringat dulu saat aku berkata perlu motor<br />

untuk memenangi sirkuit di Welkom. Ketika itu aku<br />

sedang mengadakan pertemuan dengan Davide Brivio,<br />

direktur tim Yamaha MotoGP, dan Lin Jarvis, managing<br />

director Yamaha Motor Racing, dan saat itulah aku<br />

memutuskan untuk ikut balapan dengan Yamaha pada<br />

musim kompetisi 2004. Aku juga bilang pada mereka<br />

bahwa aku memerlukan motor yang bisa menang di Afrika<br />

Selatan. Dengan kata lain langsung menang dengan<br />

mudah. Mereka kelihatannya agak kaget. Kadang-kadang,<br />

saat menga dakan pertemuan dengan orang-orang<br />

Yamaha, menjelang akhir tahun 2003, aku mengatakan<br />

hal-hal yang membuat mereka bingung, terkejut, mungkin<br />

juga takut. Aku sebenarnya hanya ingin memotivasi<br />

mereka.<br />

Masao Furusawa, Jarvis, dan Brivio selalu menerangkan<br />

apa saja yang direncanakan tim Yamaha supaya aku<br />

yakin akan apa yang mereka lakukan. Aku ingat mereka<br />

pernah berkata tentang adanya beberapa perubahan pada<br />

tim balapan di Jepang. Mereka mengatakan akan<br />

mempekerjakan beberapa insinyur baru, orang ini dan itu.<br />

mereka terus mengulangi apa yang mereka katakan dan<br />

agak memaksakan diri : "Tenang saja, kami bisa<br />

menyulap motor ini menjadi hebat, kami bisa<br />

melakukannya!".<br />

Aku hanya menyimak; jujur saja, sepertinya mereka


sangat berambisi. Waktu itu aku tak terlalu yakin apa<br />

mereka akan berhasil mewujudkan ambisi mereka itu. Itu<br />

masih di tahun 2003. Medan MotoGP tentu sangat<br />

berbeda. Catatan terbaik Yamaha masih satu detik perputaran<br />

tertinggal di belakang Honda. Jika pada level ini<br />

kamu tertinggal satu detik per-putaran, itu artinya kamu<br />

tertinggal selama setahun penuh...<br />

Karena itulah aku terduduk saat itu sambil<br />

merenung dan sesekali berkomentar pada Brivio, "Kamu<br />

sadar 'kan bahwa kalau motor ini tak bisa dibuat lebih<br />

baik lagi, aku pasti menyalahkanmu, kamu sendiri! Karena<br />

aku cuma kenal kamu. Aku tak kenal Jarvis dan<br />

Furusawa—kamulah satu-satunya orang yang kukenal dan<br />

kamu jugalah yang akan menerima akibatnya!"<br />

Brivio hanya duduk terdiam mendengarocehanku.<br />

"Jika motor ini tak bisa seperti yang kita harapkan,<br />

itu adalah salahmu!" aku berujar dan ia menatapku aneh,<br />

mungkin agak khawatir dan tertekan.<br />

Jujur saja, kami semua merasa khawatir sebelum<br />

mulai bekerja sama, namun sudah menjadi tugasnya<br />

untuk tetap optimis. la memang harus lebih optimis<br />

ketimbang aku.<br />

Kembali ke saat aku bilang memerlukan motor yang<br />

bisa menang di sirkuit Welkom, well, itu sebenarnya cara<br />

untuk memacu rasa percaya diri, juga membangun<br />

impian. Kamu tak mungkin menuntut hal seperti itu. Dan<br />

kalaupun bisa, tak ada jaminan kamu bakal menang.<br />

Tetapi sekali lagi, kami para pembalap memang kerap<br />

mengatakan hal-hal seperti tadi. Kadang-kadang, kami<br />

yakin akan apa yang kami katakan, meski terdengar tak<br />

masuk akal; kali lain, kami hanya bisa berharap,<br />

sementara di lain kesempatan kami merasa diuji untuk<br />

tetap realistis. Kami berusaha meyakini sesuatu karena<br />

bagaimanapun juga kata-kata tak penting lagi jika kita


erada di trek sesungguhnya; cuma ada kamu dan<br />

lawanmu di sana.<br />

Pada kenyataannya, itulah satu-satunya saat ketika<br />

segalanya menjadi jelas bagimu. Saat kamu berada di trek<br />

balapan, berpacu dengan lawanmu. Saat kamu tahu<br />

posisimu dan posisi lawan-lawanmu. Kamu tahu apa yang<br />

tengah terjadi pada motormu, juga apa yang tengah<br />

dilakukan lawan-lawanmu. Saat itulah semuanya menjadi<br />

jelas. Setelah itu, kamu bisa sesumbar apa saja ke semua<br />

orang: ke kepala mekanikmu, ibumu, kekasihmu, ke<br />

media ...namun jauh di balik itu, kamu sendirilah yang<br />

tahu persis apa yang sebenarnya terjadi waktu itu. Kamu<br />

bisa bilang ke semua orang kalau kamu terjatuh akibat<br />

motornya keluar dari lintasan; kamu juga bisa bilang<br />

kalau kamu sudah melaju cepat, motornya saja yang<br />

kurang maksimal kinerjanya. Tetapi, dalam hati kecilmu,<br />

kamu tahu pasti mana yang sebenarnya terjadi. Kamu<br />

tahu bahwa kamu jatuh akibat kesalahanmu sendiri, atau<br />

karena lawanmu memang lebih cepat darimu.<br />

Sebaliknya juga demikian. Jauh di lubuk hatimu, kamu<br />

sebenarnya tahu apakah kemenangan itu layak<br />

bagimu atau tidak. Kamu juga tahu bahwa kalau kamu<br />

menang di trek yang penuh tikungan, itu semata karena<br />

keahlianmu sebagai pengendara motor; kalau kebetulan<br />

treknya lurus panjang, itu soal keandalan mesin motormu.<br />

Kamu juga tahu kalau lawan-lawanmu akan mencari-cari<br />

alasan yang masuk akal saat kamu mengatakan kalau<br />

motormu lebih hebat dibanding milik mereka. Aku selalu<br />

tahu kebenaran di balik setiap kemenangan dan<br />

kekalahanku. Aku tahu persis mengapa dan bagaimana<br />

aku bisa menang atau kalah. Demikian juga saat aku<br />

memenangi kompetisi pada akhir tahun 2003 bersama<br />

Honda, saat itu aku merasa yakin bisa menang lagi<br />

dengan motor lainnya. Namun, tentu saja aku baru bisa


merasa yakin kalau benar-benar telah melakukannya.<br />

Begitulah, aku memulai perjalananku, mencari titik temu<br />

antara keyakinan dan kenyataan.<br />

Semua orang beranggapan kalau di tahun 2004 aku<br />

akan mengalami kegagalan dan kekecewaan bersama<br />

Yamaha. Dugaan kalau aku bisa meraih gelar juara dunia<br />

dengan sekali saja berlaga memang tampak sulit<br />

diwujudkan.<br />

Seorang temanku pernah mengatakan ini—di salah<br />

satu balapan terakhir tahun 2003, saat gebrakanku pindah<br />

ke Yamaha jadi bahan pembicaraan di mana-mana ia<br />

menemui Gibernau yang sedang memperhatikanku yang<br />

tengah tertawa dalam video monitomya.<br />

"Ingatlah ini, ia takkan bisa tertawa lagi tahun depan<br />

kalau tergelincir jatuh dan terjungkal ke samping saat<br />

menunggang Yamahanya."<br />

Ketika cerita itu sampai ke telingaku, aku sama sekali<br />

tak menduga kalau akan memenangi jumlah balapan<br />

yang sama sembilan dengan tahun lalu bersama Honda.<br />

Aku juga tak menduga akan bertahan di puncak selama<br />

setahun penuh, meninggalkan yang lainnya.<br />

Aku cuma yakin satu hal: aku akan melakukan sesuatu<br />

yang kelak menjadi sejarah dalam olahraga balap ini.<br />

Itulah sebabnya balapan pertama di Welkom merupakan<br />

yang terpenting dalam karierku. Karena itu kali<br />

pertamaku bersama Yamaha. Karena aku bertarung ketat<br />

dengan Biaggi hingga pada tikungan terakhir. Karena aku<br />

dan dia sama-sama cepat; tak ketinggalan Gibernau, yang<br />

berada pada posisi ketiga, mungkin juga sedang<br />

mengincar gelar kehormatan kelas dunia itu di kejuaraan<br />

balap berikutnya.<br />

Sedangkan orang yang berada pada posisi keempat<br />

sebenarnya sudah tamat. Pada akhirnya, aku bisa


membuktikan apa yang telah kurencanakan: pentingnya<br />

penguasaan terhadap motor. Hanya itu intinya, dan<br />

kemenanganku di Welkom telah menjadi bukti pernyataanku<br />

tadi.<br />

Kami meninggalkan arena kota Welkom beberapa<br />

jam setelah kami bertarung di sana, lalu kami bergegas<br />

menuju bandara untuk kembali ke London dengan British<br />

Airways. Sebenarnya, kami telah berencana untuk<br />

langsung berangkat saja sehingga aku bisa segera tiba di<br />

Eropa hari Seninnya. Perjalanan dari Welkom ke Johannesburg<br />

naik mobil memakan waktu tiga jam. Kami naik<br />

mobil VW waktu itu. Aku mencoba duduk senyaman<br />

mungkin di kursi belakangnya. Sementara dalam mobil<br />

itu, aku ditemani manajerku sendiri, Gibo [nama<br />

sebenarnya adalah Luigino Badioli], yang kebetulan<br />

memegang kemudi, juga teman baikku Alessio Salucci,<br />

yang biasa dipanggil Uccio.<br />

Aku berbaring santai sambil menikmati kemenangan<br />

yang baru saja kuraih. Sementara itu teleponku selalu ber<br />

dering, isinya kebanyakan ucapan selamat dari teman<br />

teman dan kerabat di Italia. Suara mereka sepertinya<br />

menjadi agak lain. Mereka sedikit berubah. Beberapa kali<br />

mereka berhenti bicara dan tampak susah bernafas.<br />

Tampaknya, mereka susah sekali menyampaikan apa<br />

yang ingin mereka katakan.<br />

Aku merasakan getaran menjalari punggung dan lenganku,<br />

bulu romaku berdiri. Aku bisa merasakan<br />

ketakjuban, kegembiraan, dan empati mereka. Banyak<br />

sekali peristiwa mengharukan yang kualami, namun sore<br />

itu aku benar-benar merasakan sesuatu yang lain dari<br />

yang lain begitu mendengar reaksi spontan teman<br />

temanku. Saat itulah aku sadar kalau telah melakukan hal<br />

yang sangat istimewa: aku berhasil mengukir sejarah<br />

dalam dunia balap motor.


Dalam hal-hal tertentu, dunia balap motor tidaklah<br />

selalu sama.<br />

Aku ingat betul ada pemeo yang sudah tidak asing di<br />

kalangan pembalap: "Jika mau menang, pakailah Honda."<br />

Aku juga masih ingat siapa-siapa saja yang pernah<br />

berkata kepadaku kalau beralih dari Honda ke Yamaha<br />

adalah perbuatan nekad, tak masuk akal, dan tak punya<br />

kesempatan untuk menang. Aku juga ingat komentar para<br />

mekanik tim Honda yang mengatakan mereka bisa<br />

membuat motor yang hebat tanpa saran atau masukan<br />

sedikit pun dari pembalapnya.<br />

Keyakinan tersebut hanya sementara ternyata.<br />

Jujur saja, aku sebenarnya juga tak yakin akan hal<br />

itu, namun event di Afrika Selatan membuktikan kalau<br />

faktor pembalapnya sendiri juga sensitivitasnya terhadap<br />

motor dan medan yang dihadapinya memegang peranan<br />

penting.<br />

Menjelang akhir tahun 2003, aku berusaha membuktikan<br />

hal tersebut dan aku langsung berhasil pada usaha<br />

pertama. Karena itulah aku bisa mengatakan dengan<br />

penuh percaya diri jika hari yang bersejarah di Welkom itu<br />

telah mengubah pandangan yang selama ini diyakini<br />

dalam dunia balap motor.<br />

Semakin aku memikirkan fakta itu, semakin aku<br />

yakin kebenarannya. Para pembalap memang tak perlu<br />

mencari cari alasan kalau kalah. Dan tak seorang mekanik<br />

pun yang benar 100 persen, apalagi tanpa<br />

mempertimbangkan pendapat dari pembalapnya. Intinya,<br />

pembalap seperti kami perlu dihormati dan didengar<br />

pendapatnya seputar apa saja, baik trek yang kami<br />

tempuh, juga apa yang kami rasakan terhadap motor<br />

yang sedang kami pakai. Aku mengatakan itu bukan untuk<br />

kepentinganku semata, melainkan jugs demi para anak


muda di mana pun berada agar mereka bisa mengambil<br />

pelajaran dari hal ini.<br />

Semalam sebelum balapan di Welkom, persis seperti<br />

semalam sebelum balapan di Philip Island enam bulan<br />

kemudian, memang tak jauh berbeda dari semalam<br />

sebelum balapan lainnya yang pemah kuikuti. Aku tak<br />

pemah memikirkan hasil yang akan kucapai nantinya. Ini<br />

hal yang wajar bagiku karena aku tak mau terlalu<br />

membebani diri dengan balapan atau gebrakan yang akan<br />

mengubah karier dan kehidupanku.<br />

Malam sebelum balapan itu, aku berpikir keras tentang<br />

detail yang perlu kupertimbangkan menstabilkan mo<br />

torku, memilih roda apa yang mesti dipakai, mengantisipasi<br />

medan yang akan kulalui dan bagaimana lawan<br />

lawanku akan mengatasinya sehingga aku tak punya<br />

banyak waktu untuk mencemaskannya. Aku lebih memikirkan<br />

bagaimana mengatur kecepatan sehingga nantinya<br />

aku bisa berada pada waktu dan tempat yang tepat, atau<br />

bagaimana aku mengatur kopling, atau aku harus<br />

mengatasi tikungan pertama sedemikian rupa, bisa jadi<br />

setengah meter di belakang, kalau aku tak ketinggalan<br />

per sepuluh detik. Singkatnya, aku hanya berpikir<br />

bagaimana melaju dengan baik.<br />

Ketika mengenakan kostumku, menaiki motorku,<br />

lalu langsung bersiap di garis start, aku terbebas dari<br />

beban apa pun kecuali pikiran untuk mengendarai<br />

motorku. Aku bisa mengesampingkan segala hal dalam<br />

kepalaku, aku tak merasa cemas; bahkan begitu aku<br />

menarik turun pelindung mata pada helm yang<br />

kukenakan, aku tak sekali pun memedulikan reputasi,<br />

gelar, dan karierku nanti.<br />

Tak seorang pun yang membuatku berpikir seperti<br />

itu, tak seorang pun yang mengajariku untuk meyakini hal<br />

itu, balapan bagiku adalah sesuatu yang alamiah saja.


Mungkin karena itulah orang jarang melihatku bercanda<br />

atau tertawa pada menit-menit menjelang balapan<br />

dimulai. Bagiku, sikap mental adalah harga mati. Ake tak<br />

pernah berpikir hal lain selain bertarung dengan motorku,<br />

sebab jika kamu terlalu banyak berpikir, kamu akan<br />

menemui kegagalan. Itu sama halnya dengan apa yang<br />

dirasakan para pemain sepak bola saat mereka hendak<br />

melakukan tendangan penalti. Begitu terbersit dalam<br />

benak mereka kemungkinan melakukan kesalahan,<br />

mereka akan benar-benar gaga! memasukkan bola.<br />

Pemain yang tak pernah egois berpikir dan mengatakan,<br />

"Tenda ngan ini akan mengubah karierku." Yang mereka<br />

pikirkan hanyalah cara memasukkan bola ke gawang<br />

lawan.<br />

Dalam hal apa pun di dunia balap motor, saat kamu<br />

akan memulai sebuah balapan dengan lima hingga enam<br />

ratus tikungan yang harus kamu taklukkan, dengan kadang-kadang<br />

sebanyak tiga puluh putaran, masingmasingnya<br />

begitu riskan, sehingga kesalahan sedikit saja<br />

akan menghancurkan apa pun yang kamu persiapkan<br />

dengan matang; wel, kalau kamu berada dalam situasi<br />

tersebut, kamu mesti bisa menghilangkan beban apa pun<br />

dalam benakmu. Kalau tidak, kamu bisa terperangkap<br />

ketegangan yang makin lama membuat kamu tidak tahan.<br />

Itulah sebabnya begitu aku siap berlaga di garis<br />

start arena Welkom, aku tidak berpikir bahwa "Aku<br />

bersama Yamaha, aku dalam posisi puncak, kalau aku<br />

memenangi balapan ini, maka aku akan mengubah<br />

karierku sekaligus membuat sejarah baru dalam olahraga<br />

ini..."<br />

Aku memikirkan itu nanti, di saat yang benar-benar<br />

berbeda. Saat duduk di atas hamparan rumput di samping<br />

motor Yamahaku. Saat kembali masuk pit kelak bersama<br />

tim baruku. Dalam perjalananku ke Johannesburg.


Meninggalkan Philip Island. Merebahkan diri di kursi pesawat<br />

yang membawaku pulang kembali ke London.


2<br />

CAPITOLO DUE<br />

PETUALANGAN yang dimulai dengan satu pertemuan<br />

rahasia di Ibiza sama sekali tak berakhir menyenangkan.<br />

Hari ini aku baru tahu kalau itu benar, namun jika kembali<br />

ke Februari 2003 saat Davide Brivio kali pertama<br />

memberitahuku tentang proyeknya, pikiran itu tak pernah<br />

terlintas di benakku. Aku baru saja membeli sebuah<br />

rumah di sana dan lebih terfokus dengan rencana<br />

mengubah lagi dan merenovasi tempat peristirahatanku di<br />

Ibiza itu. Saat musim dingin tiba, Ibiza berubah menjadi<br />

pulau hantu karena memang tak pernah ada banyak orang<br />

di sana, makanya aku dan Gibo merasa itu tempat yang<br />

sempurna untuk bertemu dengan direktur tim Yamaha.<br />

"Ayo kita dengar saja apa yang mesti is katakan"<br />

ujarku kepada Gibo "Bagaimanapun juga, mereka adalah<br />

perusahaan penghasil sepeda motor terbesar kedua di<br />

dunia. Jika Yamaha benar-benar tertarik kepada kita, sudah<br />

semestinya kita mendengarkan mereka."<br />

Seperti yang pernah aku utarakan kepadanya,<br />

persoalan sebenarnya adalah aku sama sekali tak punya<br />

maksud apa-apa saat meninggalkan Honda. Sejujurnya,<br />

aku merasa tak begitu nyaman lagi, namun tidak benarbenar<br />

merasa ringan itu cuma satu hal saja; siap untuk<br />

pergi itu hal lain lagi. Aku bahkan belum berpikir jauh soal<br />

kemungkinan untuk pindah.<br />

Aku masih tertidur pulas saat Brivio tiba kira-kira<br />

tengah hari. Gibo bertemu dengannya dan mereka<br />

bermaksud membangunkanku. Segera aku tersadar akan<br />

apa yang sedang terjadi: waktunya makan siang! Jadi,


setelah mandi cepat-cepat, aku berpakaian lalu bergegas<br />

keluar. Kami memilih sebuah restoran di dekat pantai Las<br />

Salinas. Tempat itu adalah salah satu tempat terindah di<br />

Ibiza dan, layaknya pemandu wisata profesional, aku<br />

menunjukkan atraksi-atraksi yang menarik bagi<br />

pengunjung sepanjang perjalanan.<br />

Meski mengenal baik Davide, aku tak pernah membicarakan<br />

bisnis dengannya. Atau setidaknya, aku tak<br />

pernah mengatakan apa-apa tentang kemungkinan pindah<br />

ke Yamaha. Baru-baru ini saja aku tahu itulah alasannya<br />

datang menemuiku. Aku tahu persahabatan kami bisa saja<br />

berubah. Dan itulah sebabnya aku bersikap netral saja<br />

dalam pertemuan di Ibiza itu. Tempat itu memang tepat<br />

untuk mengasingkan diri fisik maupun mental dari dunia<br />

MotoGP. Sejauh ini, Gibolah yang lebih banyak berbicara<br />

dengan Brivio. Kali pertama pada September 2002 di Rio<br />

de Janeiro, beberapa jam setelah keberhasilan-ku meraih<br />

gelar juara dunia. Balapan di tengah curahan hujan itu<br />

adalah peristiwa bersejarah bukan saja bagi karierku,<br />

namun juga bagi olahraga balap motor: aku berhasil<br />

menjadi pembalap pertama yang menjuarai setiap kelas:<br />

125cc, 250cc, 500cc, dan MotoGP. Brivio telah mendekati<br />

kami dan meminta Gibo untuk mengadakan pertemuan<br />

meski ia tahu betul kalau kontrakku dengan Honda baru<br />

berakhir tahun 2003.<br />

Saat makan siang itu kami membicarakan banyak<br />

hal: pulau itu, rumah baruku, dan, memang, sedikit<br />

menyangkut motoGP! Selalu saja berkisar di masalah itu<br />

yang tampaknya menjadi alasan kuat mengapa Brivio mau<br />

jauh-jauh datang. Kami hanya sedikit bicara tentang<br />

masalah itu begitu makan siang selesai dan hendak<br />

berpisah.<br />

"Kami menginginkanmu," Brivio segera berkata.<br />

Aku terdiam. Aku memang mengharapkan situasi


itu, meski apa yang baru saja dikatakannya terdengar<br />

sedikit aneh di telingaku, agak tak wajar.<br />

Ia melanjutkan: "Kamulah satu-satunya alasan kami<br />

tak bisa mengalahkan Honda," ujarnya. "Selama kamu<br />

menjadi pembalap mereka, kami tak bisa mengalahkan<br />

mereka."<br />

Kemudian ia menjelaskan maksudnya: "Ini memang<br />

pendapatku sendiri untuk saat ini, bukan bagian dari<br />

rencana Yamaha ...Aku ke sini karena ingin tahu kamu<br />

tertarik atau tidak. Jika kamu bersedia, aku siap<br />

berangkat ke Jepang untuk menyampaikan proyekku<br />

kepada mereka. Jika tidak, cukup sampai di sini saja<br />

urusannya."<br />

Brivio langsung pada intinya dan jujur kepadaku.<br />

Baru kemudian aku tahu kalau semuanya tadi adalah<br />

idenya sendiri. Yamaha belum memikirkan kemungkinan<br />

tersebut.<br />

"Begini, orang-orang Jepang itu tahu aku di sini bicara<br />

denganmu, tapi sekarang ini mereka tampaknya tak<br />

terlalu tertarik," ia menambahkan.<br />

Aku tetap menyimak meski sejujumya dalam pertemuan<br />

itu tak seorang pun yang betul-betul beniat. Tidak<br />

kami, juga dia. Namun, aku tertarik akan cara Davide<br />

bicara tentang Yamaha, tentang timnya, tentang pekerjaannya.<br />

Ia begitu bersemangat, begitu meyakinkan. Dan<br />

hal itu sangat membuatku penasaran.<br />

"Itu menarik, nanti kita perlu bicarakan lebih lanjut<br />

lagi," ujarku. Kelihatannya aku berbasa-basi saja, namun<br />

tidaklah demikian. Aku memang benar-benar tertarik. Aku<br />

tak mau mengatakan hal yang muluk-muluk kepadanya,<br />

namun aku juga tak ingin membuatnya putus asa. Dan<br />

akhirnya ia menjadi optimis. Saat pulang, ia langsung<br />

berbicara kepada atasannya, orang Jepang. Sedangkan


aku sendiri mulai memerhatikan Yamaha, meski sedikit<br />

mengambil jarak. Aku mulai memandang mereka dengan<br />

sedikit berbeda.<br />

Sebelumnya, sejauh yang aku ketahui, Yamaha hanyalah<br />

tim lawan: timnya Biaggi pada tahun 2001 dan<br />

2002. Tahun 2002, musim pertama MotoGP, Yamaha berhasil<br />

memenangi dua lomba bersama Biaggi. Yang<br />

pertama di Brno, saat aku mengalarni masalah dengan<br />

roda motorku, namun sebenarnya Biaggi memang sangat<br />

cepat. Yang kedua di Malaysia saat aku kalah waktu dari<br />

Alex Barros, sementara Biaggi memimpin di depan.<br />

Namun di tahun 2003, menurutku Yamaha adalah<br />

tim yang tak memiliki pembalap handal yang bisa memaksimalkan<br />

motor mereka. Menjelang tahun 2002, kantorkantor<br />

Yamaha Iwata memutuskan tak lagi memperpanjang<br />

kontrak dengan Biaggi. Hubungan mereka merenggang<br />

selama beberapa waktu dan tak baik lagi.<br />

Karena itu mereka memutuskan untuk mulai lagi dengan<br />

tetap memakai Carlos Checa dan merekrut Barros untuk<br />

mengimbanginya. Di atas kertas, mereka berdua memang<br />

bukan kombinasi yang buruk. Checa cepat dan Barros<br />

telah beberapa kali mengalahkanku di tahun 2002, saat ia<br />

mengendarai RCV. Saat itu jelas terlihat kalau kedua<br />

pembalap itu sebagai tim tak mampu memaksimalkan<br />

kinerja motor mereka. Beberapa orang mengatakan masalahnya<br />

ada pada mesin, sasisnya baik-baik saja;<br />

sementara yang lainnya mengatakan kalau masalahnya<br />

ada pada sasis, bukan pada mesinnya. Para insinyur dan<br />

mekanik juga tak tahu persis apa yang mesti dilakukan.<br />

Karena itulah motor tersebut tak banyak mengalami<br />

kemajuan. Karena itu juga pada awal musim tahun 2003<br />

Yamaha memandang semua orang termasuk saya sendiri<br />

tentunya seperti penyakit. Dan memang itulah yang<br />

terjadi.


Orang-orang Yamaha terbaik dan tercerdas berkumpul<br />

semua di Suzuka dalam rangka pembukaan musim<br />

Grand Prix. Semua ada di sana, para anggota dewan,<br />

presiden dan segenap pembantunya, para mekanik, dan<br />

para insinyurnya. Semua hadir untuk melihat kegagalan<br />

total. Checa yang mulai di pole terhenti di urutan<br />

kesepuluh. Yang lainnya justru lebih parah lagi. Dan<br />

menyangkut kecelakaan, Barros mengalami luka-luka<br />

yang sangat serius di lututnya saat sedang melakukan<br />

beberapa putaran pemanasan.<br />

Hari itu Yamaha benar-benar mengalami pukulan<br />

hebat. Dan bukan hanya dariku, meski aku berhasil<br />

mengalahkan Biaggi dan Loris Capi<strong>rossi</strong> [yang sedang<br />

merintis debutnya untuk Ducati] hingga garis finish. Saat<br />

para pejabat Yamaha kembali ke lwata, mereka langsung<br />

mengadakan pertemuan besar, di sana mereka sepakat<br />

melakukan perombakan besar-besaran.<br />

"Kita tak boleh dipermalukan seperti itu lagi," ujar<br />

mereka. "Kita harus berubah."<br />

Hari itu juga mereka memutuskan untuk melakukan<br />

restrukturisasi menyeluruh di racing department, serta<br />

meluncurkan sebuah proyek baru untuk mengganti M1i.<br />

Para pengurus yang terkena kebijakan baru itu menurutku<br />

menjadi putus asa; mereka membutuhkan suntikan energi<br />

dan ide-ide baru. Para insinyurnya berasal dari generasi<br />

yang berbeda dan mereka hanya memiliki sedikit penga<br />

laman dengan teknologi baru, terutama dengan mesin 4-<br />

tak. Selain itu, menurutku, mereka sendiri menjadi kurang<br />

bersemangat dan tak termotivasi.<br />

Sementara aku tak punya masalah dengan Honda.<br />

Lawan-lawanku juga tak memberiku masalah berarti saat<br />

berlaga. Namun, aku mulai merasakan adanya keinginan<br />

untuk mengubah beberapa hal. Katakanlah aku merasa<br />

sedikit gelisah, aku juga membutuhkan gebrakan dan


perubahan dalam hidupku. Dan sampai batas tertentu, itu<br />

juga terkait dengan kenyataan bahwa hubunganku dengan<br />

Honda tak sebaik dulu. Kami mulai memandang beberapa<br />

hal secara berbeda. Bagaimanapun juga, mungkin sudah<br />

tepat waktunya untuk melirik berbagai tawaran yang ada.<br />

Di sisi lain, aku juga tak melihat satu motor pun yang<br />

kompetitif. Karena itulah aku tak ingin Brivio terlalu jauh<br />

berangan-angan seputar niatku bergabung dengan<br />

mereka. Begitu juga halnya dengan Yamaha.<br />

Namun, Brivio telah melakukan tugasnya setelah<br />

pertemuan di Ibiza itu. Demikian pula dengan utusan<br />

orang orang Jepang di Iwata. Dan sebelum dimulainya<br />

Grand Prix Italia pada awal Juni, kepala bagian teknologi<br />

Yamaha, Masao Furusawa, bertemu Brivio lalu membahas<br />

rencananya untuk merekrutku.<br />

"Ada sebagian dari pimpinan tertinggi kami yang<br />

meragukan rencanamu," Furusawa memperingatkannya.<br />

Sudah jelas kalau semua orang di Iwata itu setuju akan<br />

adanya gebrakan dalam program MotoGP mereka, namun<br />

tak ada yang menganggap akulah orang yang tepat untuk<br />

program itu. Furusawa sendiri meragukan hal itu.<br />

Di arena Mugello, para pembalap tim Yamaha sekali<br />

lagi tampil mengecewakan. Catatan terbaik mereka<br />

mungkin hanya di urutan kedelapan. Brivio melihat<br />

peluang itu untuk mendesakkan rencananya ke Furusawa<br />

yang kembali ke Iwata.<br />

"Pembalap adalah faktor penting dalam proses pembaharuan<br />

yang akan kita lakukan," tulisnya dalam email<br />

yang ditujukan kepada Furusawa. "Karena itu, menurutku,<br />

kalau kita ingin menang kita harus mendapatkan Valentino<br />

Rossi."<br />

Dia menambahkan kalau aku tampaknya bersedia<br />

bertemu dengannya di Barcelona, beberapa hari<br />

kemudian. Itu memang benar, bukan masalah kalau aku


harus bicara dengan Furusawa asalkan dia mau<br />

menemuiku di Eropa. Furusawa menyambut undangan itu.<br />

Dia langsung berangkat dari Tokyo ke Barcelona. Kami<br />

akhirnya bertemu di sebuah hotel dekat trek Montmelo.<br />

Furusawa hampir tak percaya kalau aku berniat meninggalkan<br />

Honda. Keputusan semacam itu benar-benar<br />

tak bisa dipahami, bahkan tak masuk akal untuknya.<br />

Namun sekali lagi, itu memang tak masuk akal bagi sebagian<br />

besar manajemen Yamaha, kembali lagi ke Iwata.<br />

Tentu saja aku belum benar-benar mantap untuk meninggalkan<br />

Honda, tidak juga bergabung segera dengan<br />

Yamaha, hanya saja hal itu terus mengusikku. Dan Furusawa<br />

juga tampak penasaran, terutama soal mengapa aku<br />

bisa sampai berpikir seperti itu.<br />

"Adakah alasan tertentu mengapa kamu mau,<br />

datang ke Yamaha?" ia bertanya tanpa basa-basi.<br />

"Jika aku mau, aku akan tetap bersama Honda, dan<br />

jika semuanya baik-baik saja, aku masih bisa meraih dua<br />

gelar juara dunia lagi," jawabku. "Tapi itu sudah kuraih<br />

semua. Dan karena itulah, sebelum karierku berakhir, aku<br />

masih ingin menang lagi dengan motor lain."<br />

Aku berkata sejujurnya. Tak perlu melebih-lebihkan.<br />

Furusawa dan aku telah saling memahami. Saat itu<br />

kami telah menemukan jawaban atas apa yang sedang<br />

kami cari. Ketika ia pergi, Furusawa tampak yakin jika<br />

kami memang serius dan ia berjanji akan kembali ke<br />

Jepang untuk membawa tim Yamaha lainnya.<br />

Masalah dengan pucuk pimpinan Yamaha adalah karena<br />

mereka jauh dari dunia MotoGP, mereka tak pernah<br />

berpikir aku punya peluang untuk mengalahkan Honda<br />

bersama tim mereka. Itulah sebabnya mereka<br />

menanggapi usulan itu biasa-biasa saja: mereka merasa<br />

hal itu mustahil dilakukan. Dan sejujurnya, aku mengakui


kalau aku masih lebih berat ke Honda. Aku senang<br />

memiliki kesempatan bicara dengan Yamaha sekaligus<br />

mengembangkan beberapa pilihan, namun aku belum<br />

memutuskan apa pun juga saat itu. Meski demikian,<br />

masih perlu mempertimbangkan kesempatan di luar sana<br />

karena sikap Honda kepadaku mulai agak aneh.<br />

Setiap kali Gibo bertemu para pimpinan HRC [Honda<br />

Racing Corporation], ia selalu datang membawa berita<br />

aneh. Salah satunya adalah, "Mereka menawari kamu<br />

kontrak yang sama seperti yang di Ukawa."<br />

Aku rasa itu mustahil. Aku pikir akulah pembalap u-<br />

tamanya. Dan Gibo belum yakin juga, karena aku masih<br />

belum mantap, ia memintaku ikut serta pada pertemuan<br />

selanjutnya dengan HRC di Grand Prix Assen, Belanda,<br />

pada akhir Juni.<br />

Dalam pertemuan itu, HRC tidak saja diwakili oleh<br />

direkturnya, Koji Nakajima, orang yang sudah beberapa<br />

tahun berhubungan dengan kami, tetapi juga bosnya<br />

sendiri, presiden HRC, Suguru Kanazawa. Kedua orang itu<br />

terbang ke Holland mengingat semuanya telah berjalan<br />

lancar. Aku pikir tim itu telah memberitahu mereka kalau<br />

semuanya telah beres sehingga Kanazawa buru-buru<br />

mengatakan akan langsung kembali ke Jepang begitu<br />

kontrak yang telah ditandatangani didapatkannya. Semuanya<br />

menjadi terkesan agak tak wajar selama<br />

pertemuan itu. Posisi para eksekutif HRC seputar MotoGP<br />

itu sangat jauh dari tempatku berpijak. Dan itu membuatku<br />

bingung. Aku jadi merasa kalau mengambil beberapa<br />

kesempatan yang ditawarkan, mencoba tantangantantangan<br />

baru, bahkan bisa jadi memenangi balapan<br />

dengan motor yang berbeda adalah hal yang tepat<br />

dilakukan.<br />

Para eksekutif HRC itu bersikukuh, tetap bergeming.<br />

Aku rasa mereka tak mau berkompromi, mereka pasti tak


ersedia kalau aku masih ragu-ragu. Mungkin sudah saatnya<br />

untuk pindah ke tempat lain. Karena itulah beberapa<br />

hari kemudian Gibo dan aku memutuskan untuk sungguhsungguh<br />

mempertimbangkan musim balapan berikutnya<br />

dan itu berarti harus serius membicarakannya dengan tim<br />

lain, bukan hanya dengan Yamaha. Gibo ingin sekali<br />

bertemu kembali dengan Yamaha.<br />

"Begini, bersama Honda, kamu 'kan sudah membuktikan<br />

kalau kamu lebih baik dari yang lain dan kamu akan<br />

mengalahkan mereka meski dengan motor lain," ujarnya.<br />

Aku masih belum begitu yakin. Mungkin aku terpengaruh<br />

berita-berita di media yang menyatakan jika<br />

memakai motor lain selain Honda tak mungkin bisa<br />

menang siapa pun orangnya. Namun, Gibo tak khawatir<br />

akan hal itu.<br />

"Sekarang begini, menaiki Honda, kamu akan<br />

menang telak, jauh lebih hebat dari yang sekarang, kalau<br />

kamu berusaha maksimal," ujarnya. "Nah, berpegang<br />

pada asumsi itu, menaiki Yamaha, bisa jadi membuatmu<br />

kehilangan beberapa kesempatan meski kamu sedikit<br />

lebih keras berusaha, namun kamu masih punya peluang<br />

besar untuk menang."<br />

Hampir semua orang dalam rombonganku berpandangan<br />

sama dengannya. Aku jadi ingat sesaat setelah<br />

balapan di Barcelona, Flavio Fratesi ('teman baikku' dalam<br />

urusan menjahili orang, juga dalam urusan klab penggemar,<br />

bersama Rino Salucci, ayah Uccio) mengatakan:<br />

"Aku sudah jelas-jelas melihat dalam balapan itu dan<br />

yakin betul. Kamu memang sangat potensial untuk<br />

memenangi balapan dengan motor lain! Dengan Yamaha<br />

sekalipun!"<br />

Tak dapat dipungkiri, Grand Prix Catalan 2003<br />

adalah event yang hebat. Aku berada di belakang<br />

Capi<strong>rossi</strong>, dan aku membuat kesalahan, keluar trek dan


akibatnya jauh tertinggal di urutan belakang. Saat kembali<br />

lagi, aku mulai dengan kecepatan stabil, memacu lebih<br />

cepat dalam beberapa putaran dan beberapa kali<br />

memimpin hingga mencapai satu detik per lapnya dari<br />

sisa putaran yang ada. Aku mencapai finish di belakang<br />

Capi<strong>rossi</strong>, namun aku berhasil memperkecil kekalahanku.<br />

Hal yang lucu terjadi saat Flavio berkata aku bisa<br />

menang "Dengan Yamaha sekalipun," ia tak sadar jika<br />

sebenarnya kami mulai bicara tentang Yamaha semata.<br />

Yang justru melegakan adalah ia tanpa sadar berada pada<br />

kesimpulan yang sama denganku dan Gibo: menang<br />

bersama Yamaha bukannya tak mungkin.<br />

Waktu berlalu, dan aku masih menganggap itu sekadar<br />

obrolan musim semi. Namun, Lin Jarvis dan Brivio<br />

minta untuk bertemu denganku lagi. Mereka ingin tahu<br />

apa aku benar-benar serius dengan tawaran mereka dan<br />

aku sebenarnya masih berjanji untuk bertemu sekali lagi.<br />

Masalahnya adalah aku tak punya waktu saat itu. Aku<br />

sangat sibuk; selain balapan, aku mesti terbang dari<br />

London ke Ibiza lalu ke mana saja. Aku masih punya<br />

banyak hal untuk dilakukan dan, anehnya, satu-satunya<br />

cara untuk bisa bertemu denganku hanyalah pada akhir<br />

pekan balapan diadakan. Dan itulah yang mereka lakukan.<br />

Yang pasti, bertemu di tempat terbuka kelihatannya<br />

bukan pilihan yang masuk akal karena kami semua akan<br />

menanggung risiko, dan itu cukup beralasan. Jika ada<br />

yang mendengar apa yang kami bicarakan, semua bisa<br />

kacau. Tetapi, kalau kami bertemu di tempat terbuka,<br />

orang tidak akan berpikir kami membicarakan sesuatu<br />

yang serius. Begitulah, itu menjadi pertemuan "rahasia"<br />

yang tak terlalu tertutup, dan pembicaraan terpentingnya<br />

terjadi di Donington dan Brno.<br />

Di Donington itulah Honda mulai menekan kami. Mereka<br />

tak canggung lagi mengungkapkan tujuan-tujuan


mereka: mereka ingin segera mencapai kesepakatan atau<br />

paling tidak mendapat kejelasan tentang prosedurnya<br />

nanti. Yang pasti Kanazawa akan kecewa kalau mesti<br />

kembali ke Tokyo dari Barcelona tanpa membawa kontrak<br />

di sakunya, sebagaimana pernah dijelaskan Nakajima<br />

kepada kami.<br />

"Kamu mesti menjelaskan apa yang ingin kamu<br />

lakukan dan kamu punya waktu sampai hari Minggu," ujar<br />

Nakajima. "Kalau tidak, pada balapan yang akan datang<br />

kamu mungkin tak bisa berbuat banyak dengan<br />

motormu."<br />

Seperti yang kamu ketahui, ia gamblang saja dan<br />

tak berbasa-basi. Aku tak pernah berharap mendapat<br />

tekanan semacam itu. Sebenarnya, tahun itu banyak<br />

pembalap yang mencoba terobosan baru dan sering kali<br />

mengganti timnya. Wajar saja bagi para pembalap dan<br />

tim mereka untuk mengevaluasi lagi beberapa hal,<br />

mungkin juga meluaskan pandangan dan bertukar pikiran.<br />

Namun, aku merasa sikapnya agak menekan. Memang<br />

benar aku sedang mengembangkan wawasan baru, juga<br />

hal lainnya, tantangan baru, proyek baru. Dan aku<br />

memang sedang mempertimbangkan tawaran dari tempat<br />

lain. Namun, aku juga belum berniat untuk betul-betul<br />

meninggalkan Honda. Aku adalah pembalap Honda, dan<br />

itu sepertinya takkan berubah.<br />

Di masa-masa itu, aku mulai merasa aneh begitu<br />

harus membuat sebuah keputusan tegas. Setiap kali<br />

berpikir untuk memperbarui kontrak dengan Honda, aku<br />

merasa tak gembira. Sensasi perasaan semacam itu susah<br />

aku hilangkan dan cukup lama aku rasakan. Itu makin<br />

membebani pikiranku.<br />

Masih di akhir pekan yang sama, sesuatu terjadi<br />

lagi, sesuatu yang sangat penting dan rahasia. Aku<br />

mengendarai M1. Dan tentu saja itu merupakan sebuah


operasi rahasia di tengah kegelapan malam dalam pit<br />

Yamaha. Itu persis seperti yang kulakukan empat tahun<br />

sebelumnya saat Honda memasukkanku diam-diam ke pit<br />

HRC di Philip Island. Saat itu juga telah larut malam. Aku<br />

masih naik Aprilia 250cc dan aku teringat sensasi<br />

perasaanku saat menunggangi NSR 500. Sekarang, aku<br />

tampaknya mengalami deja vu.<br />

Kali ini, hal itu berlangsung di Inggris, tepatnya di<br />

Donington. Kami bertemu tepat di tengah malam. Aku<br />

mengenakan sweater berpenutup kepala sehingga<br />

wajahku jadi tak kelihatan lalu menyelinap diam-diam<br />

masuk ke pit Yamaha, sementara pintunya perlahan<br />

menutup sendiri di belakangku.<br />

Kubuka penutup wajahku dan pandanganku membentur<br />

Ichiro Yoda, kepala perancang M1. Aku bisa me<br />

lihat kalau ia tampak lelah: matanya merah dan baginya,<br />

itu sudah terlalu malam, terlalu malam. Ia menyuruhku<br />

menaiki M1 Checa ...salah satu kendaraan resmi M1.<br />

Aku tidak begitu terkesan. Aku bisa langsung mengatakan<br />

kalau M1 2003 masih jauh tertinggal di belakang<br />

Honda. Tak bisa dibandingkan dengan RC211V milikku. M1<br />

sungguh jelek, lemah. Benar-benar motor yang rumit,<br />

kamu juga bisa bilang begitu kalau terlalu banyak orang<br />

yang campur tangan mengutak-atik motor itu, ibarat<br />

pepatah terlalu banyak koki akan merusak rasa sup yang<br />

dimasak. Aku juga memerhatikan kalau motor itu<br />

memang tak selaras pengerjaannya, terlalu banyak kabel<br />

di sana sini, dan ada bagian-bagian yang terpasang tak<br />

semestinya. Penempatan setang dan tangki gas juga tidak<br />

pas. Aku bahkan tak perlu menyalakannya hanya untuk<br />

mengetahui kalau motor ini jauh lebih tak masuk akal<br />

dibanding Honda. Karena Honda, seperti Mary Poppins,<br />

praktis sempurna dalam segalanya. Rasanya seperti motor<br />

jalanan biasa, bukan motor balap. Semuanya pas. Rapi,


teratur. Itu mencerminkan karakter para perancang<br />

Honda.<br />

Meskipun demikian, ada beberapa bagian M1 yang<br />

sebenarnya menarik bagiku. Masalah M1 2003 itu hanya<br />

terletak pada rakitannya yang sembarangan. Pada satu<br />

sisi, aku memerhatikan kalau Yamaha ternyata telah<br />

memakai tampilan digital pada dasbornya. Honda sendiri<br />

masih menggunakan model analog tradisional. Yamaha<br />

bukan sekadar berbasis elektronik, tetapi juga dilengkapi<br />

sistem informasi dan data yang penuh dan besar.<br />

Yoda melihatku tertarik pada bagian dasbor itu. Ia<br />

lalu menghampiriku, menyalakannya sambil menunjukkan<br />

beberapa fungsi yang tersedia. Terus terang, Honda tak<br />

banyak memiliki fungsi tersebut.<br />

"Bagus sekali," ujarku.<br />

"Kami memang sengaja membuatnya nyaman dan<br />

besar, dengan demikian saat balapan pun kamu bisa<br />

duduk di atasnya sambil menonton DVD," ujarnya dingin,<br />

tanpa menoleh sedikit pun.<br />

Kami terdiam. Gibo, Uccio, dan aku saling memandang<br />

beberapa saat lalu kami meledak tertawa. Yoda pun<br />

akhirnya ikut tertawa. Aku senang sekali. Peristiwa itu<br />

menunjukkan kalau para insinyur dan segenap tim<br />

Yamaha mempunyai semangat tertentu, semangat<br />

keceriaan. Mereka tertawa, bercanda, dan begitu<br />

menikmatinya. Sikap seperti itu tak mungkin ada di<br />

Honda, karena semua orang di sana terkesan serius dan<br />

disiplin, selalu menjunjung tinggi superioritas kerajaan<br />

Honda.<br />

Pengalaman kali pertama melihat langsung M1, juga<br />

berkelakar bersama tim mereka sudah menunjukkan akan<br />

jadi seperti apa tim kami nantinya: tidak saja bersama<br />

orang-orang yang setia dan pekerja keras, namun juga


lingkungan yang tenang, santai, dan menyenangkan. Aku<br />

tak akan bicara terlalu banyak karena memang kenyataannya<br />

peluang bergabung dengan Yamaha telah melintas<br />

jelas di benakku. Aku hanya bisa mengatakan kalau mereka<br />

telah membuatku terkesan.<br />

Meskipun demikian, pejabat tinggi Yamaha<br />

menganggap merekalah yang mengendalikan situasi saat<br />

menanggapi pembicaraan kami ketika itu. Mereka kelihatannya<br />

menyangka aku melakukan itu hanya untuk membuat<br />

Honda cemburu, mungkin semata agar aku lebih<br />

diuntungkan, mereka belum benar-benar percaya kalau<br />

aku tak main-main dalam hal itu. Namun, saat itu masih<br />

awal bulan Juli, dan aku masih bebas menentukan pilihan.<br />

Sekarang sebenarnya telah ada pemain baru,<br />

Ducati, dan dengan demikian, jadi ada tiga pilihan besar.<br />

Aku sebenarnya telah mempertimbangkan peluang<br />

bersama Ducati. Saat terjadi penurunan dalam beberapa<br />

hal di Honda, aku mulai berpikir mungkin layak mencoba<br />

apa yang mereka tawarkan. Meski aku telah bicara<br />

dengan Yamaha, tak ada salahnya bicara juga dengan<br />

Ducati. Terutama karena sejak awal aku tertarik memakai<br />

Ducati. Kebetulan dua orang insinyur mereka yang<br />

memiliki latar belakang Superbike, Massimo Bracconi dan<br />

Bruno Leoni, adalah teman-temanku sendiri dan kami<br />

sering bercanda juga.<br />

"Ayolah bergabung dengan kita di sini!" demikian<br />

ujar mereka.<br />

Tentu maksud mereka baik, tapi masing-masing<br />

kami punya pendapat sendiri. memang itu semacam<br />

rayuan dan pasti akan segera sampai ke telinga pimpinan<br />

Ducati, juga sponsor utama mereka yang akan senang<br />

sekali melihatku bergabung dengan mereka.<br />

Lalu pada malam bulan Juli itu, aku dan Gibo pergi


ke Borgo Panigale melalui Bologna, tempat asal Ducati<br />

dan tim balap mereka. Saat itu cuaca panas sekali dan tak<br />

banyak terlihat orang di sana. Kami lalu bertemu Livio<br />

Suppo yang waktu itu menjadi direktur tim, dan Claudio<br />

Domenicali sebagai kepala eksekutifnya. mereka pasti<br />

telah menunggu-nunggu kedatangan kami.<br />

Aku agak terbawa suasana pabrik itu. Sambil berjalan<br />

berkeliling kamu akan merasakan nuansa sejarah dan<br />

tradisinya. Dinding-dindingnya kuno, tak ada yang terlihat<br />

baru. Ya, tak ada yang baru kecuali yang ada di dalam<br />

sana, segalanya tentang masa depan teknologi, gagasan,<br />

semangat, kamu bisa merasakan daya cipta mengalir di<br />

tempat itu.<br />

Hari telah larut malam, seperti yang aku bilang, kebanyakan<br />

orang telah pulang ke rumah. Kami mengobrol<br />

sebentar, utamanya tentang balapan dan kemungkinan<br />

aku bergabung dengan mereka. Mereka mengajakku ke<br />

pabrik itu, meski aku tak berpikir melihat sesuatu yang<br />

lebih dari yang dilihat seorang pengunjung biasa dalam<br />

wisata resmi. Intinya aku masih bersama Honda, artinya<br />

akulah sang lawan.<br />

Kupikir memang masuk akal menurut sudut pandang<br />

mereka. Mereka baru saja masuk MotoGP, mereka<br />

memiliki banyak rencana dan sedang mengembangkan<br />

motor yang hebat, yaitu Desmosedici. Capi<strong>rossi</strong> juga baru<br />

memenangi balapan di Barcelona dengan motor itu dan<br />

selalu mendapat tempat di podium. Ada sedikit masalah<br />

waktu itu, Ducati berada di depan Yamaha.<br />

Aku bangga terhadap mereka, bukan hanya karena<br />

mereka tim Italia dan aku senang berbicara dengan<br />

mereka. Waktu itu hanya pertemuan biasa untuk saling<br />

mengenal; tak ada kesepakatan apa pun. Tak seperti<br />

pertemuanku dengan Honda dan Yamaha yang berlangsung<br />

lama dan panjang lebar, pertemuan kali ini jauh


lebih langsung pada persoalannya. Kami membandingkan<br />

rencana dan hal-hal yang perlu dilihat lagi: masalah teknis<br />

motor dan balapan, hubungan dengan sponsor, dan tugastugas<br />

promosi. Makin lama kami berbincang-bincang,<br />

makin aku merasa kalau, saat kami sama-sama siap<br />

untuk sebuah tantangan, pandanganku agak berbeda<br />

dengan mereka.<br />

Tentu kami sama bersemangatnya dalam olahraga<br />

itu, juga sama-sama ingin menang, namun ada beberapa<br />

pandangan yang berbeda di antara kami. Dan hal itulah<br />

yang membuatku berpikir bahwa mengejar Ducati<br />

bukanlah ide yang baik. mungkin ini masalah filosofis; apa<br />

pun itu, aku paham kalau misi mereka memang berbeda<br />

denganku, setidaknya begitu kenyataannya saat itu. Lagi<br />

pula, saat itu tahun 2003 dan semuanya menjadi mudah<br />

bagi Honda. Kami didukung perusahaan yang tangguh,<br />

sebuah tradisi kemenangan, mungkin sedikit<br />

kesombongan juga. Honda tak mengalami masalah<br />

dengan waktu yang ditetapkannya dan lagi teknologinya<br />

lebih baik dari yang lainnya. Hal itulah yang menjadi<br />

sebab utama Honda berada di posisi pertama. Mereka tak<br />

pemah menyimpan rahasia. Mereka berlomba untuk<br />

menunjukkan kalau motor dan perusahaan mereka lebih<br />

baik. Aku merasa agak terjebak dengan sikap, cara<br />

berpikir, dan tindakan seperti itu. Sebagaimana yang aku<br />

bilang, aku ingin menunjukkan kalau manusialah yang<br />

lebih penting dibanding mesin, pembalaplah yang utama<br />

dalam memaksimalkan kinerja motomya. Itulah prinsip<br />

yang kuyakini.<br />

Mungkin itu juga sebabnya kenapa hubunganku dengan<br />

para eksekutif Honda menjadi agak tegang. Para<br />

eksekutif Jepang itu berseberangan pandangan denganku,<br />

khususnya seputar obsesi baruku untuk membuktikan<br />

bahwa faktor pembalaplah yang lebih penting alih-alih


motornya.<br />

Kamu boleh menyebut itu ego kalau mau. Dan jelas<br />

buatku kalau egoku dalam hal tertentu mulai bertentangan<br />

dengan ego para eksekutif Honda tersebut.<br />

Kembali ke pembicaraan tentang Ducati, aku melihat<br />

rencana mereka sedikit berlebihan, persis seperti Honda.<br />

Mereka berjuang membangun motor mereka, juga teknologinya,<br />

dan itulah prioritas utamanya. Ducati terlahir sebagai<br />

pejuang dan aku suka sifat agresif semacam itu,<br />

cara mereka yang tak takut menantang tim-tim Jepang<br />

yang besar. Ambisi semacam itu bagaimanapun membuat<br />

mereka dalam hal tertentu bertindak menurutku mirip<br />

Honda. Dengan kata lain, mereka adalah tim yang tujuan<br />

utamanya mengibarkan bendera perusahaan mereka<br />

sendiri.<br />

Tentu tak ada yang salah dengan pandangan seperti<br />

itu, meski membuatku takut. Itulah sebabnya mengapa<br />

aku dan Honda menjadi semakin renggang.<br />

Aku berada dalam sebuah misi. Aku ingin menepis<br />

segala keraguan seputar kemampuanku, dan untuk<br />

membuktian itu, aku membutuhkan sebuah tantangan<br />

baru. Aku perlu menguji keyakinanku, caraku melakukan<br />

sesuatu, caraku berpikir tentang balapan, motor, bahkan<br />

tim. Ducati dan aku memiliki ambisi yang berbeda, kami<br />

berbeda pendapat seputar peran seorang pembalap dalam<br />

mengembangkan motornya. Bagiku, kuncinya adalah<br />

pembalap itu sendiri; ia mesti memandu timnya; ia adalah<br />

orang yang mesti membawa motornya menang. Dan<br />

karena itulah motor yang akan dipakainya mesti dibuat<br />

sesuai kebutuhan dan karakter orang yang menaikinya.<br />

Bagi Ducati, peran pembalap tidaklah terlalu penting<br />

dalam proses pengembangannya, mereka adalah<br />

perusahaan yang sangat percaya pada teknologi. Mereka<br />

terpaku pada banyak hal lewat data dan informasi yang


diolah komputer. Filosofi dan metodologi mereka lebih<br />

mirip tim Formula One. Aku bisa menghargainya dari sisi<br />

teknologi, namun tentunya itu cukup mengganggu pikiranku.<br />

Aku khawatir mendapat tekanan yang sama<br />

dengan yang aku alami di Honda, sebuah tim yang cara<br />

pandangnya tak berbeda. Honda memerlukan orang untuk<br />

menaiki motor mereka, namun tak penting siapa<br />

orangnya. Karena semuanya adalah soal motor itu sendiri.<br />

Motor merekalah yang menang atau kalah, bukan<br />

pembalapnya.<br />

Malam itu di Bologna, markas besar Ducati, kami semua<br />

sadar kalau pertemuan itu tak menghasilkan apa-apa<br />

kecuali pembicaraan awal saja. Dan belum satu pun dari<br />

kedua belah pihak menuntut adanya komitmen atau<br />

kesepakatan-kesepakatan. Minggu berganti minggu, begitu<br />

aku mencoba merasionalkan apa yang kurasakan, aku<br />

mulai menyadari kalau Ducati benar-benar berada dalam<br />

situasi yang berbeda dengan Yamaha.<br />

"Bukan itu tantangan yang sedang kucari," ujarku<br />

tiba-tiba.<br />

Aku merasa Ducati takkan mau menuruti keinginanku,<br />

juga mendengarkanku seperti halnya Yamaha. Aku<br />

meyakinkan diriku kalau tim balap Ducati pasti akan terus<br />

mencoba memaksakan ide-ide dan solusi-solusi mereka<br />

sendiri. Aku bisa mengerti hal itu kalau menggunakan<br />

kacamata mereka, namun aku juga tahu kalau aku takkan<br />

bisa membangun tim dan hubungan yang baik seperti<br />

yang aku harap bisa terwujud di Yamaha.<br />

Akan kuberikan sebuah contoh. Beberapa bulan<br />

kemudian, aku berada di pit pada Grand Prix Afrika<br />

Selatan sembari melihat aksi Capi<strong>rossi</strong> di layar televisi.<br />

Aku melihat ia seperti sedang berusaha keras<br />

menjinakkan kuda liar motor yang dikendarainya,<br />

Desmosedici yang terkenal itu. Jeremy Burgess


menghampiriku, melihat monitor lalu berkata, "Dan kamu<br />

lihat sendiri ‘kan apa yang sedang terjadi, padahal<br />

menurut komputer mereka, Desmosedici dalam keadaan<br />

prima!"<br />

la tidak bermaksud kasar. Mungkin itu humor ala<br />

Anglo Saxonnya, dan ia menang tak sedang merendahkan<br />

Ducati. Namun bagiku, komentarnya menunjukkan kalau<br />

ia memang tahu apa yang ingin kulakukan dan aku ingin<br />

berbicara kepadanya tentang pandanganku seputar<br />

balapan. Aku menginginkan sebuah tim yang mementingkan<br />

peran pembalapnya, dan yang lebih memercayai<br />

pengalaman dan sensitivitas manusia daripada data<br />

komputer semata. Sebuah tim yang tenang dan santai.<br />

Sebuah tim yang memberiku, jugs kepala insinyurku,<br />

Jeremy, kesempatan untuk mengembangkan motornya.<br />

Bukan hal mudah tentunya menemukan tim yang<br />

melimpahkan begitu banyak kewajiban hanya ke seorang<br />

pembalap dan seorang insinyurnya. Ducati setidaknya<br />

telah memberi sinyal jelas kalau mereka tak mau atau tak<br />

mampu melakukan itu. Itulah sebabnya aku menyadari<br />

kalau Yamahalah yang mungkin paling bisa memenuhi<br />

segenap keinginanku.<br />

Terus terang, ada juga alasan kuat menyangkut hal<br />

tersebut. Saat itu Yamaha sedang dalam keadaan yang<br />

sulit, jauh lebih parah dibanding Ducati. Mereka<br />

membutuhkan gebrakan baru, membutuhkan sesuatu<br />

yang baru, sama seperti diriku. Dan sudah jelas bagiku<br />

kalau Yamaha akan bisa memberikan apa yang paling<br />

kuinginkan: peranan terbesar untuk mengembangkan<br />

motor sendiri.<br />

Itu saja. Aku menginginkan kebebasan. Dalam hal<br />

ini, Ducati tak ada bedanya dengan Honda tak bersedia<br />

memberi kebebasan itu. Sementara itu, Yamaha justru<br />

lebih terbuka. Aku mesti mempertimbangkan ini


mengingat secara obyektif Ducati memiliki motor yang<br />

lebih baik.<br />

"Jika aku meninggalkan Honda, aku harus<br />

melakukan itu demi sebuah tantangan yang nyata, hebat,<br />

dan tampak tak masuk akal," ujarku dalam hati.<br />

"Jika tidak, tak ada gunanya, aku mungkin tak jadi<br />

pindah."<br />

Dan Yamaha adalah tantangan terbesar.<br />

Aku ingin mengubah keseluruhan mentalitas<br />

mereka, merombak racing department mereka. Aku ingin<br />

memperbaiki motor yang secara teknis telah jauh<br />

ketinggalan jaman. Aku ingin menciptakan sebuah<br />

kelompok insinyur, perancang, dan pengembang yang<br />

telah melewati banyak kekecewaan yang tak seorang pun<br />

percaya bisa berhasil dan memimpin mereka menuju<br />

kemenangan.<br />

Pada saat itu, Ducati terlihat bagai sebuah fenomena<br />

mengejutkan di motoGP; terus terang, mereka cukup<br />

meyakinkan sejak awal muncul di arena dengan gaya<br />

bersemangat dan agresif. Sebaliknya Yamaha, jatuh dan<br />

tak mampu berbuat banyak. Mereka membutuhkanku<br />

lebih dari Ducati.<br />

Lalu menjelang akhir bulan Juli, aku mulai<br />

menentukan pilihanku.<br />

Aku juga tertarik dengan sejarah terakhir Yamaha,<br />

juga oleh para pembalap legendarisnya di masa lalu<br />

seperti Kenny Roberts, Snr, Wayne Rainey, Giacomo<br />

Agostini, dan Eddie Lawson. Semuanya menang bersama<br />

Yamaha. Memang belum menjadi perusahaan yang baik<br />

karena tak memiliki banyak juara dunia akhir-akhir ini dan<br />

di sanalah tercipta tantangan bagiku untuk membangunkan<br />

raksasa yang tertidur itu<br />

Saatnya bagi racing department untuk melakukan


sesuatu. Sebenarnya, Yamaha tidak saja memiliki sejarah<br />

yang hebat, tetapi juga menggawangi beberapa bidang<br />

hebat lainnya saat ini, misalnya off-road dan roadbike.<br />

Namun di MotoGP, mereka adalah malapetaka. Saat<br />

bertemu para eksekutif Yamaha, aku bisa bilang kalau<br />

mereka ingin aku memahami semangat Yamaha. Dalam<br />

masing-masing pertemuan itu, mereka mengatakan kepadaku<br />

dan Gibo kalau perombakan besar-besaran dalam<br />

proses restrukturisasi telah berlangsung di Jepang, dan<br />

pada awal 2004, bedanya pasti telah terlihat.<br />

Program-program mereka memang terdengar menarik,<br />

namun sebenarnya situasinya masih jauh dari optimis.<br />

Motor-motor Yamaha banyak yang kandas di setiap<br />

balapan, tertinggal bermil-mil di belakang yang lainnya.<br />

mereka rata-rata tertinggal dua puluh menit dalam setiap<br />

Grand Prix. Tentu saja aku terpengaruh setiap pembicaraan<br />

mereka, namun aku merasa ragu saat benar-benar<br />

duduk sambil menganalisis fakta-fakta yang terjadi di<br />

lapangan. Aku perlu berpikir serius, itulah mengapa pada<br />

akhir Juli itu, saat kami libur seminggu, aku diam-diam<br />

pergi ke Ibiza, jauh dari hiruk-pikuk motor dan balapan.<br />

Aku berada dalam banyak tekanan, aku mengasingkan diri<br />

di pulau itu untuk sedikit bersantai, mencari waktu dan<br />

suasana yang tepat agar bisa berpikir tenang. Aku<br />

bersama teman-temanku dan kami bisa menikmati musim<br />

panas di sana: mataharinya, lautnya, pasirnya. Dan di<br />

sanalah aku bisa membuat keputusan: sebuah keputusan<br />

yang pada waktu itu terdengar gila, namun sekaligus<br />

sangat menantang.<br />

"Aku akan bergabung dengan Yamaha, kita lihat saja<br />

nanti apa yang akan terjadi!" ujarku dalam hati.<br />

Saat itu musim panas tahun 2003. Aku berada di<br />

Ibiza dan memutuskan untuk melepas segala ikatan<br />

dengan Honda, lalu pindah ke Yamaha.


Kebetulan yang sangat aneh, bukan? Di Ibiza juga<br />

kali pertama Brivio mengatakan kepada kami soal rencana<br />

pindah ke Yamaha dan aku mendengarkan ucapannya<br />

dengan baik, namun masih agak kurang yakin. Begitulah,<br />

lima bulan kemudian, aku telah siap menjawab<br />

tantangannya. Setelah sempat tergiur oleh Ducati, juga<br />

kemungkinan berlaga untuk Honda sekali lagi, aku<br />

memilih bersama Yamaha.<br />

"Aku mau sebuah tantangan yang berat, sebuah<br />

tantangan yang gila-gilaan. Yang tergila dan terberat yang<br />

mungkin bisa kudapatkan. Dan jawabannya adalah<br />

YAMAHA!" ujarku dalam hati.<br />

Dan aku masih merahasiakan hal itu. Tak ada waktu<br />

dan tempat yang tepat untuk mengumumkannya. Namun,<br />

aku tahu pasti dan percaya pada naluriku; perasaan<br />

bahwa Yamaha akan berjaya di masa depan benar-benar<br />

terasa dalam hati kecilku, semakin dalam dan semakin<br />

kuat hari demi hari, meski itu bisa dibilang gila, sebuah<br />

langkah yang gila. Setelah istirahat, musim MotoGP kembali<br />

lagi dan aku merasa lebih mantap dari biasanya. Aku<br />

juga mulai merasakan adanya tekanan mental. Bukan<br />

hanya demi gelar itu sendiri. Lebih dari sekadar hal itu,<br />

Honda ku sempuma, tak ada seorang pun yang akan<br />

menghalangiku. Bukan, bukan itu masalahnya.<br />

Masalahnya adalah masa depan. Apa yang akan kualami<br />

tahun depan?<br />

Balapan selanjutnya berlangsung di republik Ceko,<br />

tepatnya di Brno. Semua perusahaan yang terlibat<br />

denganku Honda, Ducati, Yamaha sedang menunggu<br />

keputusanku. Sebenarnya, Yamahalah yang paling meyakinkan<br />

karena mereka lebih banyak bertemu denganku<br />

beberapa minggu sebelumnya.<br />

Di Brno, aku dan Gibo menjadwalkan pertemuan lagi<br />

dengan Brivio. Pertemuan rahasia, sebenamya. Kali ini,


kami mesti berhati-hati. Kami harus menemukan tempat<br />

yang tepat, yang jelas dan aman. Kami memilih Mobile<br />

Clinic yang letaknya di ujung arena balapan, sejauh<br />

mungkin dari pit-nya, menjelang tikungan terakhir.<br />

Mobile Clinic adalah tempat yang didatangi para<br />

pembalap kalau perlu bantuan atau perawatan medis.<br />

Bagi kami, tempat itu adalah tempat persembunyian, jauh<br />

dari tim kami, wartawan, dan para penggemar. Aku yakin<br />

dokter-dokter di sana, terutama temanku sendiri dokter<br />

Costa, tak keberatan kami memakai tempat itu asalkan<br />

kami memintanya dengan baik. Masalahnya, saat kami<br />

merencanakan pertemuan itu, hari sudah terlalu malam<br />

dan tak ada siapa pun di sana, apalagi dokter-dokter di<br />

Mobile Clinic. Karena itu kami memutuskan untuk sedikit<br />

melanggar, masuk tanpa permisi ...well, apa pun<br />

istilahnya. Aku mengusulkan agar kami masuk diam-diam<br />

ke sana, tidak secara resmi.<br />

Kami tiba di sana naik sekuter. Kami berempat: aku,<br />

Gibo, Uccio, dan Nello, teman dekat dan juga anggota<br />

geng kami. Gerbangnya terbuka. Tendanya tertutup,<br />

namun resletingnya yang besar-besar itu tak dikunci.<br />

Kami membukanya dan langsung masuk. Tepat saat kami<br />

melakukan itu, datanglah dua orang Yamaha, Jarvis dan<br />

Brivio. Mereka berdua juga datang dari balik kegelapan<br />

mengendarai sekuter. Mereka mengarnbil jalan pintas,<br />

sama seperti yang kami lakukan.<br />

Kami seperti pasangan kekasih yang sedang<br />

bertemu di tempat rahasia.<br />

"Siapa dia?" Jarvis bertanya tiba-tiba sambil menunjuk<br />

pada Nello.<br />

"Teman kami," ujarku. "Jangan khawatir, dia akan<br />

tutup mulut."<br />

Nello bisa diajak bekerja sama. Kami memintanya


erjaga di luar saja, sebagai pengawas. Tugasnya mem<br />

beritahu kami kalau ada orang yang mendekat. Sebenarnya,<br />

Nello bukan pengawas yang ideal karena matanya<br />

rabun, tapi kami tak punya banyak pilihan. Seperti<br />

biasanya, Nello menerima tugas itu dengan sungguhsungguh<br />

dan setia, bersembunyi di luar tenda.<br />

Sementara di dalam tenda, aku tak membuang-buang<br />

waktu lagi untuk segera memberitahukan keputusanku<br />

kepada Brivio dan Jarvis.<br />

"Aku bergabung dengan kalian!" ujarku.<br />

Mereka berdua saling memandang, tak yakin.<br />

"Ya, aku bilang aku mau bergabung dengan kalian!"<br />

ujarku lagi.<br />

"Tunggu dulu, maksudmu, kamu mau bergabung dengan<br />

Yamaha tahun 2004 yang akan datang?" Brivio bertanya<br />

lagi dengan nada pelan seolah masih tak percaya.<br />

"Kalau tidak, kenapa aku repot-repot ke sini?" ujarku.<br />

Aku mulai senang dengan keadaan malam itu.<br />

Beberapa saat, kami terdiam. Sebenarnya cuma<br />

beberapa detik saja, namun seperti sudah bermenit-menit<br />

lamanya. Mereka terbawa pikiran masing-rnasing, mencoba<br />

mencerna apa yang baru saja kukatakan. Keheningan<br />

terpecah saat terdengar suara Nello yang sedang<br />

mengawasi di luar.<br />

"Ada sekuter datang!" ujarnya. la melihat sorotan<br />

lampu depannya makin mendekat, ia menjadi takut lalu<br />

segera memperingatkan kami.<br />

"Cepat, cepat, kita harus sembunyi!" ujar kami<br />

bersamaan. Kami semua panik mencari tempat persembunyian<br />

yang aman. Kami tak mungkin jalan keluar<br />

karena pasti terlihat seperti kawanan pencuri yang sedang<br />

berusaha kabur dari tempat kejadian. Satu-satunya<br />

tempat yang kami pikirkan adalah bersembunyi di bawah


meja. Meja tempat orang-orang yang bekerja di Mobile<br />

Clinic menaruh kopi mereka, biskuit, gula, dan sejenisnya.<br />

Kami semua merangkak menuju meja itu. Sulit dipercaya,<br />

aneh rasanya. Aku tak tahu apa yang mereka pikirkan,<br />

tapi aku sendiri merasa senang. Rasa senang di balik<br />

risiko kalau tertangkap basah.<br />

Sernentara itu Nello masih terlihat panik.<br />

Kami lalu terduduk dan kemudian berbisik.<br />

"Maaf teman-teman sekalian, kalau orang itu ke sini<br />

lalu memergoki kita sedang bersembunyi di bawah meja<br />

ini, apa yang mesti kita katakan padanya?".<br />

Gibo dan Uccio merasa pertanyaan itu masuk akal.<br />

Bersembunyi di bawah meja memang ide yang bagus saat<br />

itu, namun terus terang saja kami merasa konyol jadinya:<br />

bayangkan ada lima laki-laki dewasa saling berhimpitan di<br />

bawah sebuah meja yang begitu kecil.<br />

Kemudian, tiga dari kami berdiri menutupi depan<br />

meja. Kami pura-pura sedang mengobrol sambil<br />

menguyah biskuit yang tersedia. Jarvis dan Brivio aman<br />

jadinya, tetap ada di kolong meja.<br />

Lalu, penjaga malam yang lampunya membuat takut<br />

Nello tadi masuk karena curiga.<br />

"Semua baik-baik saja?" tanyanya, ada sedikit kecurigaan<br />

dari nada bicaranya.<br />

"Tentu, kenapa, ya, semuanya baik-baik saja!" kami<br />

meyakinkannya.<br />

la menatap kami dari atas ke bawah lalu matanya<br />

memeriksa ke sudut-sudut ruangan.<br />

"Ya sudah, selamat malam!" ujarnya.<br />

"Selarnat malam juga!" kami serempak menyahut.<br />

Begitu ia keluar, kepala Brivio dan Jarvis muncul dari balik<br />

meja. Kami saling memandang, menyadari tadi hampir


saja kepergok.<br />

Kami mulai lagi membicarakan bisnis. Rasa takut telah<br />

sirna. Namun, tak banyak lagi yang bisa kukatakan.<br />

Aku sudah mengutarakan maksudku. Meskipun demikian,<br />

mereka masih memandangku penuh keraguan. Kupikir<br />

mereka belum siap dengan kemungkinan kalau aku menjawab<br />

"ya" atas permohonan mereka. Karena itu, untuk<br />

menunjukkan kesungguhanku, aku memutuskan menangani<br />

masalahnya sendiri. Lalu aku mendekat dan menjabat<br />

tangan Brivio dengan mantap. Jabat tangan itu<br />

berarti tanda setuju.<br />

Aku tak menandatangani kontrak, karena memang<br />

tak perlu. Keputusan telah kutetapkan. Segera setelah itu,<br />

kami berpisah dan masing-masing kembali dari tempat<br />

semula kami datang. Kami lenyap ditelan kegelapan malam,<br />

dalam keheningan paddock.<br />

Kalau kamu penasaran, kuberitahu, orang-orang Mobile<br />

Clinic tak pernah tahu apa yang terjadi malam itu<br />

...hingga sekarang, titik.<br />

Rasa legaku tak berlangsung lama. Menjelang awal<br />

September, tekanan makin meningkat. Honda menginginkanku<br />

memperbarui kontraknya. Aku sudah sepakat secara<br />

lisan dengan Yamaha, namun kami masih perlu<br />

membicarakan hal yang lebih rinci lagi, hal yang praktis,<br />

bagaimana membentuk tim baruku. Karena aku begitu<br />

menginginkan Jeremy dan krunya bergabung denganku di<br />

Yamaha.<br />

Bagian yang sulit adalah bagaimana bermain cantik.<br />

Aku tak ingin terjadi kebocoran dan menuai badai<br />

kontroversi. Aku merasa perlu menjelaskan keputusanku<br />

pada Ducati dan aku butuh waktu untuk melakukannya.<br />

Aku juga tak mau, merusak hubungan baik dengan Honda<br />

persis saat kita nyaris menjadi juara dunia lagi. Kenapa<br />

mesti merusak persahabatan?


Jika kupikirkan lagi, aku mestinya tersenyum. Aku<br />

tersenyum karena sekarang aku menyadari kalau sikapku<br />

berlebihan. Aku terlampau khawatir soal apa saja. Namun,<br />

itu memang hari-hari yang berat. Aku tahu betapa<br />

pentingnya kehatian-hatian kalau kita terlibat dalam<br />

proses perundingan yang penting dan menentukan itu.<br />

Diam adalah salah satu strateginya. Aku yakin Honda juga<br />

takkan bisa berbuat banyak kalau mereka mengetahui<br />

rencanaku. Itu karena etos Honda adalah menjadi kuat<br />

namun terhormat. Dalam hal ini, Honda serius. meski<br />

mereka tahu aku akan pindah, mereka tak akan pernah<br />

mengutak-atik motorku. Aku selalu memiliki motor yang<br />

hebat dan segala yang kuinginkan, hingga putaran<br />

terakhir di Grand Prix terakhir. meski aku akan pindah,<br />

mereka tetap memperlakukanku dengan baik.<br />

Saat itu, karena tingginya ketegangan, aku tak bisa<br />

berpikir rasional. Banyak hal yang masih samar, terlalu<br />

banyak tekanan. Dan aku masih belum menandatangani<br />

kesepakatan apa-apa, artinya, secara teoritis belum<br />

terjadi apa-apa.<br />

Pada pertengahan September, aku tiba di Rio de<br />

Janeiro, dan Nakajima langsung menekanku. Menurutnya,<br />

itulah yang tepat untuk dilakukan. Aku masih punya<br />

banyak waktu, namun sadar kalau harus segera bicara<br />

dengan Jeremy dan krunya. Dan segera saja kulakukan di<br />

sana, di Rio. Kupanggil semua dalam sebuah kamar. Saat<br />

terlintas pikiran untuk pindah dari Honda, aku merasa<br />

penting mengajak Jeremy bergabung.<br />

"Itu langkah yang besar, namun jika aku bisa mengajak<br />

Jeremy bergabung, semuanya bakal berubah,"<br />

ujarku dalam hati.<br />

Terus terang aku tak pernah menduga adanya kemungkinan<br />

Jeremy bakal mengecewakanku. Juga karena,<br />

saat gosip mengenai kepindahanku merebak, ia sepertinya


memberi sinyal kalau aku pindah, ia juga akan pindah.<br />

"Jika kamu mau pergi, beritahu aku, karena aku<br />

mau ikut kamu," mungkin demikian ujarnya. "Aku tak<br />

peduli kalau tak ada lowongan kerja di sana, apa pun akan<br />

kulakukan. Aku bahkan tak keberatan bekerja membersihkan<br />

fairing."<br />

Kupikir, seperti kebanyakan orang, Jeremy tak bakal<br />

percaya aku akan keluar dari Honda. Namun, ia masih<br />

berhati-hati, memantau berita koran dan gosip sekitar<br />

paddock. Setelah minggu demi minggu terlewati, ia<br />

semakin menertawakan hal itu. la tak berbasa-basi soal<br />

itu, dan biasanya jadi sangat lucu. Aku teringat suatu<br />

ketika merebak gosip kalau aku bertemu Ducati [sebenarnya<br />

memang demikian], ia datang dan mengatakan<br />

kepadaku: "Ingat, aku cinta Italia, wanita Italia, dan<br />

tortellini!" Tortellini tentu saja, makanan khas Bologna.<br />

Aku terhibur oleh leluconnya karena aku merasa itu<br />

berarti tanda Jeremy akan ikut aku.<br />

"Aku ingin bicara denganmu, tapi aku ingin<br />

melakukannya di depan semua anggota tim," ujarku. "Bisa<br />

kamu panggil semuanya?"<br />

Saat itu Jumat sore, di paddock Rio. Aku ingin<br />

semua mekanik berkumpul di sana karena Jeremy selalu<br />

mengatakan kalau tim kami berhasil berkat adanya<br />

kekompakan, berkat adanya orang-orang yang bekerja<br />

berdampingan bertahun-tahun lamanya, dan berkat<br />

adanya pengertian satu sama lain. Aku tahu ia benar dan<br />

itulah kenapa aku ingin mengumpulkan semuanya.<br />

Kami bertemu di lantai satu gedung panjang yang<br />

memisahkan dua paddock di trek Jacarepagua, Rio. Di<br />

satu sisi, kamu akan melihat pit-nya tim-tim besar. Dan<br />

sisi yang lain ditempati tim-tim khusus, 125cc dan 250cc.<br />

Perkantorannya ada di tengah-tengah. Untuk bisa


mencapainya, kamu mesti naik tangga besi curam yang<br />

membawamu ke ruang balkon yang lebar. Di balkon itu<br />

ada kostum para pembalap yang sedang dijemur. Kantorkantornya<br />

kecil, namun nyaman. Begitu aku masuk,<br />

semua telah menunggu di sana: Jeremy dan anak<br />

buahnya. Semua datang.<br />

Aku mencoba membaca ekspresi mereka. Aku merasa<br />

mereka penasaran soal apa yang akan kukatakan.<br />

Semuanya ingin tahu dan menunggu diam. Lalu<br />

kukatakan saja langsung.<br />

"Aku sedang menimbang-nimbang untuk pindah,"<br />

ujarku. "Aku ingin pindah ke Yamaha, dan penting bagiku<br />

mengajak kalian semua ikut serta denganku."<br />

Ruangan itu menjadi hening.<br />

"Ini tidak main-main, aku memang mau pindah,"<br />

ujarku, berpaling ke Jeremy. Bisa kulihat syok dan<br />

keraguan yang dalam pada wajah mereka. Itu reaksi yang<br />

umumnya terjadi pada orang yang mengatakan, "Kita<br />

akan ikut kamu ke mana saja," namun sebenamya tak<br />

pernah mengharapkan kamu pindah.<br />

Jeremy pernah mengalami hal ini sebelumnya, dengan<br />

Mick Doohan. Dalam beberapa kesempatan, Mick<br />

punya peluang untuk pindah ke Yamaha atau tetap di<br />

Honda. Akhimya ia memilih tak jadi pindah. Menurutku,<br />

Doohan bisa saja menang dengan motor lainnya,<br />

masalahnya ia tak mau mencobanya: Jeremy merasa<br />

situasiku sama dengan Doohan. la bahkan yakin aku<br />

akhirnya tak jadi pindah. Tak ada lagi yang perlu<br />

dikatakannya, bisa kulihat dari wajahnya. Dia diam saja,<br />

namun ekspresi wajahnya berbicara banyak.<br />

"Maaf, aku tak bermaksud membebani kalian semua,<br />

namun aku perlu jawaban sebelum balapan berikutnya<br />

berlangsung," ujarku kepada mereka semua.


Waktu buat mereka tak banyak, sepuluh hari, bahkan<br />

kurang. Sedangkan aku juga tak punya banyak<br />

waktu.<br />

Sementara itu, Gibo telah bicara dengan Yamaha,<br />

menerangkan kalau aku perlu Jeremy dan krunya ikut<br />

denganku. Masalah itu menjadi jauh lebih sulit dibanding<br />

yang pertama. Bukan karena Jeremy sepertinya enggan,<br />

namun juga karena pihak Yamaha ingin mempertahankan<br />

kru mereka yang masih aktif.<br />

Lagipula, merekalah yang mengenal baik motor M1l.<br />

Aku juga sadar waktunya kian dekat. Honda ingin<br />

jawabanku. Demikian juga Ducati. Itulah kenapa aku juga<br />

ingin jawaban dari Jeremy dan krunya. Aku ingin jawaban<br />

secepatnya.<br />

Menjelang kami kembali ke Jepang untuk ikut balapan<br />

di Motegi, ketegangan begitu terasa. Sepanjang musim<br />

panas itu, Gibo dan aku mengadakan rapat rutin dengan<br />

para petinggi HRC. Mereka selalu mengubah dan merevisi<br />

kontrak menyangkut hal-hal yang belum kami sepakati.<br />

Begitu aku tiba di Jepang, aku diberi ultimatum.<br />

"Ini kontrak yang sudah jadi," ujar Nakajima segera<br />

setelah aku tiba di Motegi, hari Kamis menjelang balapan.<br />

"Jika kamu tak menandatanganinya sampai hari Minggu<br />

pagi, berarti kamu tak mau berlaga untuk Honda pada<br />

musim yang akan datang."<br />

Aku tahu itulah saatnya untuk segera menyelesaikan<br />

masalahnya.<br />

"Terima kasih," ujarku "Akan kubaca dulu di kamar."<br />

Aku keluar mencari Jeremy. Saatnya untuk mendapatkan<br />

keputusan.<br />

Aku perhatikan kalau, sejak aku tiba di trek itu, tak<br />

seorang pun dari mereka ingin membicarakan hal<br />

tersebut. Demikian juga Jeremy, ia sepertinya sedang


erusaha menghindariku. Aku pun menunggu kesempatan<br />

hari berikutnya. Namun, ia masih saja menghindari<br />

pembicaraan masalah itu. Aku tak punya pilihan. Sabtu<br />

sorenya aku langsung menemuinya dan menanyakan hal<br />

tersebut.<br />

"Bagaimana?" tanyaku.<br />

Jeremy tahu apa yang aku maksudkan. Tak perlu<br />

kujelaskan lagi.<br />

"Maafkan aku, kami semua meminta maaf," ujarnya.<br />

"Kami terpaksa tak ikut denganmu."<br />

Itu bagai sebuah pukulan. Kekecewaan yang dalam.<br />

Dan aku merasa sangat kacau. Mengejutkan sekali<br />

mereka tak jadi ikut denganku. Apalagi Jeremy telah<br />

mengecewakanku.<br />

Menurutnya, aku akan membuatnya mati kutu kalau<br />

bergabung dengan Yamaha. Sebenarnya, penolakan<br />

Yamaha untuk memakai Jeremy dan krunya membuatku<br />

sangat marah, dan aku membelanya mati-matian. Pihak<br />

Yamaha merasa skeptis saat kami mengatakan betapa<br />

pentingnya timku bagi diriku. Dan di satu sisi, aku<br />

membela dua kubu. Aku mesti meyakinkan Yamaha agar<br />

memakai timku alih-alih memakai tim terdahulu, dan aku<br />

juga mesti meyakinkan Jeremy dan yang lainnya untuk<br />

ikut bersamaku pindah ke Yamaha.<br />

Tetapi, saat berada di Motegi itulah Jeremy membuatku<br />

paham akan rencananya sesungguhnya: ia dan krunya<br />

menginginkanku tak jadi pindah. Dengan demikian,<br />

mereka tak perlu repot lagi. Hal termudah bagi mereka<br />

adalah tetap mempertahankanku bersama Honda.<br />

"Memang kamu mau ke mana?" ujar Jeremy. "<br />

Honda lebih berpengalaman, terutama soal mesin.<br />

Yamaha tak akan bisa menandinginya, mereka tak<br />

memiliki teknologi dan insinyur handal seperti Honda."


Aku mulai bisa melihat permasalahannya dengan<br />

lebih jelas. Jeremy dan krunya dihadapkan pada sebuah<br />

dilema. Mereka tak punya nyali untuk memilih, dan<br />

mereka tak mau juga bersama Honda tanpa diriku. Aku<br />

juga tahu kalau pihak manajemen Honda pernah<br />

mengatakan kepada Jeremy seandainya aku pindah,<br />

mereka menginginkannya bekerjasama dengan Nicky<br />

Hayden, rekan satu timku pada musim itu, yang sedang<br />

mengawali prestasinya setelah memenangi event<br />

Superbike AMA di Amerika Serikat. Idenya adalah<br />

menggabungkan seorang pembalap muda semacam Nicky<br />

dengan seorang veteran seperti Jeremy. Jadi, dari<br />

kacamatanya, itu berarti apa pun yang kelak terjadi,<br />

Jeremy memiliki prospek yang cerah bersama Honda.<br />

Hal itu tak membuatku merasa lega. Setelah mendengar<br />

komentar Jeremy yang secara teknis kuanggap<br />

sebagai penasihat pribadiku tentang Yamaha, aku justru<br />

merasa muak. Kutinggalkan dia dan kupikir sebaiknya aku<br />

kembali saja ke hotelku. Sementara itu, kontrak dari<br />

Honda masih tergeletak di sana, belum kuapa-apakan.<br />

Kuraih sekuterku dan segera meninggalkan tempat<br />

itu, meluncur naik menuju hotel di atas bukit itu.<br />

Setibanya di "Twin Ring" Motegi, kamu bisa jalan kaki<br />

atau naik sekuter. masing-masing tim telah menyediakan<br />

sekuter bagi masing-masing pembalap. Dan mereka<br />

memarkirnya di luar hotel. Hotel di Motegi itu berada di<br />

atas bukit, benar-benar terpencil. Tempat yang agak<br />

mengusikku karena mengingatkanku pada sebuah tempat<br />

bernama Overlook Hotel dalam film klasiknya Stanley<br />

Kubrick The Shinning. Memang mirip sekali. Setiap kali<br />

berada di sana, aku membayangkan Jack Nicholson yang<br />

didera tekanan jiwa di hotel itu. Dan aku tahu kenapa bisa<br />

seperti itu. Di Motegi, selama empat hari kamu<br />

mengerjakan hal-hal yang sama persis dalam waktu yang


tepat sama juga, semua berdasarkan aturan yang tegas<br />

dan tak bisa diganggu gugat. Setiap pagi kamu keluar dari<br />

kamarmu, menemui orang-orang di paddock, dan menuju<br />

mejamu. Ya, meja "milikmu", karena tiap meja memang<br />

"untukmu", kamu mesti memberi tahu seberapa lama<br />

kamu mau tinggal di sana, tak seperti di restoran biasa<br />

yang setiap kali kamu datang, kamu langsung bisa<br />

memesan meja. Jika para pelayan restoran itu tak<br />

mendapati namamu dalam daftar pemesan, kamu pasti<br />

akan kelaparan, bahkan saat restoran sedang sepi<br />

pengunjung sekalipun.<br />

Begitulah, kamu keluar, menemui orang-orang yang<br />

sama, makan di meja yang sama, meraih sekutermu,<br />

menyusuri jalan yang sama, berangkat ke kantor yang<br />

sama, melakukan beberapa tes, dan pada akhirnya naik<br />

sekuter yang sama lagi, kembali ke hotel, kembali ke<br />

kamarmu, dan kemudian ke bawah untuk makan malam<br />

di meja yang sama juga (tentunya, selama mereka tahu<br />

kamu telah memesan tempat sebelumnya). Seperti itulah<br />

empat hari di Motegi.<br />

Malam itu aku merasa kacau. Kesempatan untuk<br />

membuat keputusan yang diberikan Honda tinggal<br />

beberapa jam lagi, apalagi kepala insinyurku tak menemaniku.<br />

Aku benar-benar kesepian. Kali ini aku mesti<br />

menguji diriku sendiri. aku merasa terperangkap dan tak<br />

tahu bagaimana jalan keluarnya. Kenyataan soal waktu<br />

balapan yang kian dekat dan pertaruhan gelar juara dunia<br />

sangat sukar dihilangkan. Aku memutuskan untuk mengadakan<br />

pertemuan lagi dengan Yamaha dan, itu berarti<br />

rahasia besar juga. Aku memesan sebuah kamar hotel dan<br />

ditemani oleh Gibo.<br />

Kali ini situasinya sangat menegangkan, pertemuan<br />

yang sangat menentukan. Untuk menunjukkan seriusnya<br />

tujuan itu, orang-orang Yamaha datang bersama wakil


kepala dewan olahraganya, namanya Kitagawa. Aku<br />

segera memberitahu mereka soal pertemuanku dengan<br />

Jeremy dan menjelaskan kalau ia dan krunya tak akan<br />

ikut kami. Lalu aku bertanya kepada Furusawa tentang<br />

hal-hal yang sifatnya teknis: aku ingin dia menjawab<br />

beberapa pertanyaaanku soal proyek mereka dan apa<br />

mereka sanggup mewujudkannya sebagaimana yang<br />

mereka janjikan. Namun kata-kata Jeremy membuatku<br />

kaget: Yamaha masih harus berusaha keras. Tak bisakah<br />

mereka menjembatani-gap antara mereka sendiri dan<br />

Honda?<br />

Furusawa memintaku percaya akan programnya. la<br />

punya banyak rencana besar untuk Yamaha, demikian<br />

katanya. Kata-kata yang indah, namun sebenarnya cuma<br />

kata-kata. Aku menyimaknya, aku pandangi wajahnya<br />

untuk mencoba menemukan apa yang sedang ia pikirkan,<br />

namun semua kusimpan saja dalam hati.<br />

Tiba-tiba di tengah diskusi itu kami mendapati<br />

Kitagawa tidur.<br />

Mernang demikian. DIA BENAR-BENAR TIDUR.<br />

"Apa-apaan ini?" ujarku dalam hati. "Saat kami sedang<br />

membicarakan masa depan dan hal-hal penting<br />

lainnya untuk diriku sendiri juga buat mereka, orang ini<br />

seenaknya saja tidur?"<br />

Aku bisa melihatnya di ranjang itu, tertidur pulas, lalu<br />

aku mulai merasa panik. Kami sedang memutuskan<br />

masa depanku, Furusawa mencoba meyakinkanku untuk<br />

menerima tawaran mereka, semuanya jadi serba menegangkan<br />

dan menentukan, semuanya menjadi makin<br />

intens dan orang itu tiba-tiba TIDUR BEGITU SAJA! Baru<br />

kemudian aku menyadari kalau kebanyakan orang Jepang<br />

tak biasa begadang. Mereka tidur lebih awal karena<br />

mereka juga bangun pagi-pagi sekali. Dan memang waktu<br />

itu malam telah larut. Awalnya aku memang tak tahu soal


itu. Dan melihat orang itu tidur sementara kami<br />

membicarakan masa depanku, membuatku merasa aneh<br />

dan agak sedikit muAk. Namun aku diam Saja. Aku masih<br />

memikirkan hal-hal lain yang jauh lebih penting.<br />

Saat kernbali ke kamarku, aku jadi susah tidur. Malam<br />

itu, malam balapan pada hari Minggunya, aku<br />

menatap ke luar jendela kamar hotelku, menerawang jauh<br />

ke atas bukit itu. Dan perlahan-lahan aku mulai<br />

memutuskan untuk bergabung dengan Yamaha, tanpa<br />

Jeremy sekalipun.<br />

"Semuanya selesai sampai di sini saja!" ujarku<br />

dalam hati. "Inilah keputusan kami. Aku melepaskan<br />

semuanya dan akan bergabung dengan Yamaha. Biarpun<br />

tanpa Jeremy di sisiku. Aku mesti maju terus tanpa dia.<br />

Akan kupertimbangkan lagi." Aku akhirnya bisa<br />

memutuskannya. Kali ini pasti sudah. Tak akan kujilat<br />

ludahku sendiri.<br />

Pada bulan Agustus, Brivio dan aku saling berjabat<br />

tangan. Sebelumnya tak pernah ada orang sepertiku yang<br />

memutuskan meninggalkan tim yang hebat dan sukses di<br />

dunia yang sedang berada dalam masa keemasan<br />

teknologi lalu pindah ke tim yang benar-benar putus asa<br />

yang sedang mengalami masa terburuk sepanjang<br />

sejarah. Meski aku telah menetapkan keputusanku sendiri,<br />

aku masih belum lega. Akibatnya, malam itu aku jadi<br />

susah tidur.<br />

Menjelang dini hari, aku masih punya beberapa jam<br />

untuk tidur dengan nyaman. Dan itulah yang kulakukan.<br />

Baru kali pertama dalam karierku balapan itu sendiri<br />

bukan menjadi hal terpenting dalam agenda hari itu. Yang<br />

terpenting adalah keluar kamar saat terdengar dering<br />

telepon. Ternyata dari Carlo Fiorani yang menanyakan<br />

apakah semuanya baik-baik saja.<br />

"Jangan lupa memberikannya kepada para bos besar


mereka, hanya untuk meyakinkan mereka kalau<br />

kontrakmu telah beres semuanya," ujarnya.<br />

"Pasti, aku takkan lupa hal itu," jawabku meyakinkannya.<br />

Aku melompat ke sekuterku dan berangkat dari<br />

hotel menuju paddock dalam beberapa menit saja. Fiorani<br />

sedang menungguku. Para eksekutif Honda juga sedang<br />

menungguku, bersama para pengacara mereka.<br />

Semuanya telah siap. Namun, mereka kemudian sadar<br />

kalau aku belum menandatanganinya. Dan memang aku<br />

tak akan menandatanganinya. Kemudian air muka mereka<br />

berubah gelap. Mereka jelas sangat kecewa.<br />

Yang hebat dari pertemuan itu adalah, selain fakta<br />

bahwa itu momen yang penting dan bermakna, kami<br />

berbicara sedikit saja. Tak ada pertemuan formal. Mereka<br />

tertunduk dengan kontrak kosong itu, lalu bisa segera<br />

memahaminya. Aku tetap terdiam, begitu juga mereka.<br />

Tak ada diskusi, tak ada yang meminta penjelasan, tak<br />

ada yang berniat memulai pembicaraan. mereka tahu tak<br />

ada lagi yang perlu dikatakan.<br />

Selain itu, memang tak ada waktu untuk<br />

membicarakan hal itu. Di depanku menunggu gelar yang<br />

mesti kudapatkan. Dan waktu pemanasan pun akan<br />

segera dimulai. Kami lalu mengucapkan selamat tinggal<br />

dan aku segera menuju kantor tim baruku untuk berganti<br />

pakaian. Beberapa menit kemudian Fiorani datang dengan<br />

gemetar.<br />

"Mereka tak paham!" ujarnya. "Mereka tak mengerti<br />

maksudmu ...mereka tak tahu kalau itu sebenarnya cuma<br />

taktik bemegosiasi ...mereka tak seperti itu, kamu mesti<br />

menjelaskannya kepada mereka!"<br />

Aku menatapnya.<br />

"Kupikir tak ada yang perlu dijelaskan lagi, mereka


telah memahaminya dengan baik," ujarku. "Mereka<br />

bahkan lebih memahamiku dibanding dirimu. Mereka tahu<br />

kalau aku ingin membuat perubahan, mencoba sesuatu<br />

yang baru, mengalami tantangan baru."<br />

la tak bereaksi. Lalu aku memakai kostum dan sepatu<br />

boot-ku, mengambil helm, lalu memakai sarung<br />

tangan, kemudian bergegas ke tempat pemanasan. Aku<br />

cukup beruntung dan menempati urutan kedua; sedikit<br />

kecewa sebenarnya karena kalau bisa sedikit santai, aku<br />

pasti bisa menang. Aku tahu tujuh hari kemudian, saat di<br />

Malaysia, aku bisa menang. Saat itu segala tekanan akan<br />

hilang.<br />

Seusai balapan, aku masih merasa harus menyelesaikan<br />

beberapa urusan lagi hari itu. Aku ingin<br />

menjelaskan kepada Jeremy. Kulihat dia, lalu kuajak dia<br />

ke sebelah.<br />

"Aku ikut Yamaha," ujarku. "Aku tetap akan pindah<br />

ke sana meski sendirian saja. Dan maafkan aku soal ini."<br />

Kupikir, apa yang kukatakan telah begitu jelas.<br />

Mungkin aku agak sedikit terburu-buru, namun aku tak<br />

bisa berbasa-basi lebih baik lagi. Aku mencurahkan apa<br />

pun yang kurasakan: rasa kecewa, sakit hati, dan marah.<br />

Hal itu membuat hubungan kami berubah menjadi<br />

canggung: ada rasa segan, kami tak bisa lagi bicara santai<br />

dan terbuka. Jeremy pasti jengkel karena dia pernah<br />

berusaha keras meyakinkanku namun gagal. Singkatnya,<br />

dia merasa kecewa karena dia mendapatiku menemukan<br />

keberanian untuk meninggalkan Honda, satu hal yang tak<br />

sanggup dilakukannya.<br />

Setidaknya aku telah menanamkan benih keraguan<br />

dalam pikirannya.<br />

Dari Jepang kami langsung terbang ke Malaysia.<br />

Kami memenangi balapan dan meraih gelar di Sepang.


Itulah kemenanganku tiga kali berturut-turut bersama<br />

Honda: pertama di kelas 500cc, yang dua lainnya di event<br />

MotoGP. Dan itu adalah keberhasilanku meraih juara dunia<br />

untuk kali kelima sepanjang karierku.<br />

Setelah balapan itu, Jeremy menarikku dan dengan<br />

tenangnya berkata kepadaku: "Aku ingin bicara dengan<br />

Yamaha."<br />

"Bagus sekali!" ujarku sambil tersenyum lega. "Akan<br />

kusiapkan waktu untuk bertemu mereka."<br />

Segera setelah balapan itu, Jeremy dan teman-temannya<br />

pergi ke Australia untuk berlibur selama beberapa<br />

hari sebelum balapan selanjutnya di Philip Island<br />

berlangsung. Begitu aku mendengar apa yang dikatakan<br />

Jeremy, aku melihat ada sesuatu yang berubah pada dirinya.<br />

Ia benar-benar memanfaatkan masa liburan beberapa<br />

hari selang balapan di Jepang dan di Malaysia untuk<br />

merenung dalam-dalam. Ia telah mantap dengan keputusannya<br />

sendiri: ia memutuskan ikut denganku.<br />

Aku belum berangkat ke Sydney hingga sore<br />

keesokan harinya. Itu karena aku harus menandatangani<br />

kontrak awal dengan Yamaha. Sungguh, mereka<br />

memercayaiku malam itu di Brno dalam Mobile Clinic, saat<br />

kami meyakinkan mereka kalau aku akan bergabung<br />

dengan mereka. Namun kali ini, mereka masih perlu<br />

merasa lebih yakin lagi. Aku bisa mengerti hal itu. Karena<br />

kalau nantinya aku berbuat curang atau sekadar berubah<br />

pikiran, mungkin terjangkit rasa cemas mendadak atau<br />

apa pun itu, mereka pasti akan mendapat masalah serius.<br />

Kalau aku telah memutuskan sesuatu, aku biasanya tak<br />

berubah pikiran lagi, namun mereka tak mungkin tahu hal<br />

tersebut, mereka tak kenal diriku sedalam itu. Dengan<br />

demikian, dalam pandangan mereka, aku bisa memenuhi<br />

harapan mereka.<br />

Kami merasa takut juga, meski takutnya sangat ber-


eda. Kami sedikit khawatir kalau kami menandatangani<br />

kontraknya, seseorang karena ceroboh atau ingin berniat<br />

jahat bisa saja membocorkan rahasia itu. Karena satu hal<br />

yang perlu diketahui adalah adanya negosiasi yang sedang<br />

berjalan, bukannya kepastian kalau kontraknya sudah<br />

ditandatangani. Kami tak tahu perusahaan Yamaha<br />

sedalam itu. Kami hanya khawatir kalau ada kebocoran<br />

yang tercium media massa.<br />

Karena itulah aku selalu mengatakan: "Aku tak akan<br />

menanda-tangani apa pun juga sampai aku meraih gelar<br />

juara."<br />

Sejak Minggu sore di Sepang itu, ketika aku berhasil<br />

menjadi juara dunia, pihak Yamaha memintaku menandatangani<br />

kontraknya. Dengan demikian, Honda bisa tahu<br />

kalau aku tak mungkin lagi bergabung dengan mereka.<br />

Dan kami juga telah memberitahu pihak Ducati kalau aku<br />

tak bisa memenuhi tawaran mereka.Yang pasti, kami<br />

telah terikat kontrak dengan Yamaha. Kamu pasti membayangkan<br />

kalau, mengingat risiko dan situasinya, kontrak<br />

sedemikian penting tersebut akan dilakukan di sebuah<br />

kamar mewah hotel berbintang lima, di hadapan beberapa<br />

pengacara dan notaris, mungkin memakai pena<br />

bertangkai emas ataupun permata. Kamu mungkin juga<br />

menduga kalau aku memakai setelan Savile Row yang<br />

mahal, tampil serius dan profesional.<br />

Lupakan saja semua itu karena memang bukan<br />

begitu kenyataannya.<br />

Tahukah kamu kalau pada Minggu malam itu kami<br />

keluar merayakannya bersama orang-orang Honda di<br />

sebuah bar di lantai atas gedung pencakar langit di Kuala<br />

Lumpur. Begitu kembali ke hotel, kami menemui Angel<br />

Nieto yang mulai berceloteh tentang kisah-kisah hebat<br />

kemenangan-kemenangan yang pernah diraihnya,<br />

petualangan-petualangannya, dan pertarungan-perarung-


an seru dengan pembalap-pembalap lawannya. Kami<br />

senang mendengarkannya hingga tak terasa jarum jam<br />

menunjukkan pukul 5 pagi. Akibatnya, kami ketiduran<br />

keesokan harinya. Itu hanyalah salah satu peristiwa yang<br />

terjadi. Aku tahu kalau aku harus bisa bangun pagi,<br />

namun berat sekali rasanya bagiku untuk bangun pagi.<br />

Sudah kuusahakan, kucoba lagi, namun aku tertidur lagi,<br />

tak bergerak sampai terjaga beberapa saat kemudian dan<br />

hal itu terulang lagi.<br />

Aku jadi bangun kesiangan, sangat terlambat untuk<br />

bisa bertemu para eksekutif Yamaha. Mereka telah<br />

menungguku di kamar hotel, semakin lama, semakin<br />

resah mereka menunggu kedatanganku. Mereka tahu aku<br />

harus segera terbang ke Sydney dan ketika waktu hampir<br />

habis, mereka mulai berpikir kalau aku bisa jadi batal<br />

datang. Tiba-tiba aku muncul seketika, tanpa mereka<br />

duga. Dengan tas ransel di punggungku sambil menyeret<br />

sebuah koper.<br />

"Aku datang," teriakku dalam kamar itu sambil<br />

sedikit membetulkan letak tas di punggungku. "Aku rnasih<br />

punya waktu lima belas menit. Ayo kita segera selesaikan<br />

urusannya. Aku juga mesti cepat-cepat ke bandara!"<br />

Mereka tak percaya melihat kedatanganku. Aku hanya<br />

ingin menyemangati mereka, meredakan ketegangan<br />

yang ada. Dan aku berhasil melakukannya. Saat kamu<br />

membuat kesalahan, benar-benar di pihak yang bersalah,<br />

kamu bisa menempuh cara ofensif sebelum mereka<br />

menolakmu.<br />

"Tunggu apa lagi, kita bisa terlambat nanti, kita<br />

akan ketinggalan pesawat, mana itu kontraknya ...Bagus,<br />

bagus sekali! Bagus!" ujarku terburu-buru. "Ayo kita<br />

tanda tangani kontraknya."<br />

Lalu aku menandatangani salah satu kontrak paling<br />

penting sepanjang hidupku, yang kulakukan dalam situasi


yang sama persis: di menit-menit terakhir. Kamu sudah<br />

tahu 'kan kalau aku suka ngaret. Itu mungkin sudah jadi<br />

salah satu kelebihanku. Aku hanya bisa fokus dan bisa<br />

bekerja maksimal kalau waktunya mendesak; kalau ada<br />

dalam situasi darurat, kita semua mesti cepat bertindak.<br />

Kalau banyak waktunya, kalau kita bisa melakukan<br />

sesuatu dengan tenang dan santai, aku malah nggak bisa<br />

kerja.<br />

Sebelum kembali, aku telah memberitahu para eksekutif<br />

Yamaha kalau Jeremy masih pikir-pikir dulu, jadi<br />

bisa saja ia berubah pikiran.<br />

"Jeremy ingin bertemu kalian," ujarku. "Masih ada<br />

waktu. Tolong lakukan apa saja supaya ia mau bergabung<br />

dengan kita."<br />

Kami lalu sepakat untuk bertemu lagi di Philip Island<br />

beberapa hari kemudian. Kuambil kesempatan cuti satu<br />

setengah hari di Sydney sebelum berangkat ke Philip<br />

Island lewat Melbourne. Aku telah meraih gelar juara<br />

dunia itu, selesai sudah, dan secara mental beban beratku<br />

terhadap Honda juga sirna. Kuingin bersantai dan berpikir<br />

tenang mengenai masa depanku nanti.<br />

Aku tiba di Philip Island hari Rabu sore. Jeremy dan<br />

aku mesti bertemu dengan pihak Yamaha malam itu juga,<br />

karena itu aku bergegas menjemputnya. Sialnya, seperti<br />

yang selalu terjadi sebelumnya, aku datang terlambat.<br />

Jam telah menunjukkan pukul sebelas malam lewat, dan<br />

ia belum muncul juga, Jeremy sendiri mengira aku akan<br />

menemuinya keesokan harinya. Karena itu ia pergi<br />

menemui teman-temannya. Dan ia belum juga kembali<br />

hingga beberapa gelas bir telah habis kuminum.<br />

Ketika kulihat dia, ia katakanlah terlihat agak...<br />

gembira (agak mabuk tepatnya). Kubawa dia ke dalam<br />

mobil dan mengatakan kepadanya kalau aku akan<br />

mengajaknya menemui Furusawa dan semua jajaran


eksekutif Yamaha. Saat tahu tentang hal itu, ia melakukan<br />

hal yang sangat hebat: dalam lima menit kami telah<br />

sampai di tempat yang kami sepakati, Jeremy sudah sadar<br />

total. Hebat sekali. Ia tampak seperti sebuah komputer<br />

yang di-reboot hard drive-nya. Ia kembali tampil<br />

menawan karena begitu mulai bicara dengan Furusawa, ia<br />

segera berhasil meyakinkannya.<br />

Menurutku, keberhasilan Jeremy adalah karena<br />

Furusawa salah menilai pembawaan Jeremy. Kupikir<br />

Furusawa mengira Jeremy akan berlagak sedikit angkuh,<br />

sedikit menyombongkan kehebatan karier dan<br />

kemenangan-kemenangan yang pernah dicapainya<br />

memenangi 9 kejuaraan dunia dalam rentang waktu 10<br />

tahun bersama Honda). Furusawa menduga Jeremy akan<br />

merendahkannya, menganggapnya kurang cakap.<br />

Furusawa akhirnya sadar siapa sebenamya Jeremy<br />

Burgess itu: ia adalah orang yang memiliki karakter,<br />

kecerdasan, dan sikap yang menawan.<br />

"Tak kukira ia bisa begitu rendah hati, bisa menahan<br />

diri, dan bersedia menerima tantangan," ujar Furusawa<br />

seusai pertemuan itu.<br />

Jeremy tak banyak berbasa-basi.<br />

"Honda adalah tim yang hebat, namun apa yang mereka<br />

lakukan bukanlah sulap," ujarnya.<br />

"Jika kamu lakukan apa yang Valentino katakan, semua<br />

akan berjalan mulus."<br />

Semua orang Yamaha yang ada di situ, termasuk<br />

Furusawa, Jarvis, dan Brivio terdiam kagum akan ketenangan<br />

dan kepiawaian kata-kata Jeremy.<br />

"Supaya jangan terjadi kesalahpahaman, sebaiknya<br />

para insinyurnya nanti langsung saja bicara dengan<br />

Valentino, sebab kalau aku yang harus menerjemahkan<br />

dan terlibat di dalamnya, pasti ada saja yang kurang pas,"


ujarnya. "Dan para insinyur itu mesti banyak bicara<br />

supaya keinginan mereka didengar. Merekalah yang<br />

bertugas mengutak-atik motornya, sementara Valentino<br />

mengendarainya; singkatnya, diperlukan adanya komunikasi<br />

yang baik antara kedua belah pihak. Jika kalian<br />

melaksanakan ketentuan ini, tak akan ada masalah apapun<br />

nantinya."<br />

Akurat, ringkas, dan menyenangkan, itulah gaya<br />

Jeremy seperti biasanya.<br />

la menandatangani kontrak tersebut malam<br />

keesokan harinya, Sabtu, menjelang balapan. Minggu<br />

malam kami mengumpulkan semua mekanik, masingmasing<br />

bicara dengan pihak Yamaha. Sebagian besar<br />

mereka menandatangani kontrak seminggu kemudian, di<br />

Valencia. Mereka yang bergabung dengan kami antara lain<br />

Alex Briggs, Bernard Ansieau, dan Gary Coleman, plus<br />

Bren, mekanik asal Selandia Baru yang tinggal di Australia<br />

dan pernah bekerja di Yamaha. la tahu banyak tentang<br />

motor, selain itu ia juga cocok bekerja sama dengan orang<br />

Australia lainnya. Matteo Flamigni menjadi telemetrist-nya<br />

karena ia telah memahami sistem peranti lunak dan<br />

elektronik pada M1 hingga detail-detailnya.<br />

Selanjutnya tinggal Dickie dan Peter yang belum kebagian<br />

tugas. Mereka terpaksa tetap bekerja pada Honda<br />

karena tak ada lagi tempat di Yamaha. Sungguh aneh<br />

memang melihat banyaknya perubahan yang terjadi.<br />

Padahal dua minggu sebelumnya, tak satu orang pun mau<br />

ikut denganku, lalu sekarang kenapa tiba-tiba saja ada<br />

begitu banyak orang yang ingin bergabung denganku<br />

hingga tak ada lagi posisi yang tersisa dalam pekerjaan.<br />

Jumpa pers Honda di Valencia berlangsung menegangkan.<br />

Ada sesuatu yang janggal. Kami memutuskan<br />

untuk mengadakan jumpa pers setelah balapan selesai,<br />

namun kenyataannya, semuanya masih belum pasti


hingga menit-menit terakhir. Nakajima ingin segera<br />

membuat pengumuman untuk memberitahu semua orang<br />

tentang kepindahanku. Lalu tiba-tiba, ia berubah pikiran<br />

mengingat apa yang pernah terjadi di Jepang; mereka tak<br />

mau mengumumkannya, setelah balapan terakhir sekalipun.<br />

Buat kami, yang penting semua orang tahu apa yang<br />

sebenarnya terjadi.<br />

Sabtu sorenya aku menemui Gibernau di paddock.<br />

"Dengar-dengar besok HRC mau mengadakan jumpa<br />

pers," ujarnya.<br />

"Memang benar, tepat setelah balapan selesai,"<br />

jawabku.<br />

"Kamu akan bilang kalau kamu tetap ikut Honda,<br />

‘kan?" tanyanya.<br />

"Salah, aku akan mengumumkan kalau aku pindah<br />

ke Yamaha," jawabku.<br />

Kulihat kilatan di matanya. Pertama ketidakpercayaan,<br />

setelah itu kebahagiaan. Aku bisa bilang kalau ia telah<br />

berpikir cepat dan menganggap itu hal yang baik baginya.<br />

Ia pernah mengatakan kalau aku tak akan berhasil di<br />

Yamaha. Bisa kubaca ekspresi wajahnya: wajah<br />

kebanyakan orang yang pernah meragukanku dan<br />

pilihanku.<br />

Jumpa pers waktu itu juga menjadi hari perpisahan<br />

dengan Honda. Setelah itu, aku memeluk mantan rekanrekan<br />

satu tim yang telah menemani karierku bertahuntahun<br />

lamanya: Fiorani, Florenzano, Peter, Dickie, Roger.<br />

Sepanjang akhir pekan itu, saat aku pergi ke sekitar pit<br />

atau saat kukemasi barang-barang dari markas Honda,<br />

kurasakan kesedihan menyelimuti diriku. Ada keharuan<br />

yang dalam karena aku menyadari bahwa masa gemilang<br />

karierku akan segera hilang. Aku telah mantap untuk<br />

menetapkan sebuah pilihan, meski belum kutahu pasti


dan terlihat asing. Menyenangkan, tentu saja.<br />

Mengasyikkan, juga ya. Tetapi tetap saja tak pasti.<br />

Aku perhatikan kalau tim yang kutinggalkan merasa<br />

patah semangat atas kepergianku. Semua anggota tim<br />

Honda sangat yakin kalau pada tahun 2004 mereka akan<br />

mampu mengalahkanku dan tak ada yang perlu mereka<br />

khawatirkan. Mereka yakin kalau mereka akan menang<br />

meski tanpa diriku. Bagi mereka, aku hanya seorang<br />

pembalap biasa. Aku ibarat sebuah sekrup kecil dalam<br />

mesin besar yang mudah diganti kapan saja. Itu berarti<br />

mereka akan memberikan motor "kebesaran" Honda<br />

kepada Barros, Biaggi, atau Gibernau. Mereka akan<br />

tenang-tenang saja.<br />

Justru akulah yang merasa cemas. Sabtu malam itu<br />

aku memotret sendiri fotoku yang sedang memeluk dan<br />

merangkul RC211V. Aku ingin mengucapkan selamat<br />

tinggal pada motorku itu karena besok adalah hari<br />

terakhir kami berlaga. Meninggalkan RC211V begitu<br />

terasa berat. Mungkin itu sebabnya aku perlu waktu cukup<br />

lama untuk berkata "ya" pada tawaran Yamaha, karena<br />

aku ternyata sangat terikat pada motor itu.<br />

Seraya memandang RC211V dan membayangkan<br />

kami akan segera berpisah, aku menjadi takut kalau nanti<br />

akan butuh waktu relatif lama untuk kembali merasakan<br />

kemenangan. Itulah sebabnya aku berusaha keras<br />

memenangi balapan terakhir musim 2003. Memang tak<br />

sulit mengucapkan selamat tinggal, namun aku masih<br />

ingin meraih banyak kemenangan lagi, aku ingin sensasi<br />

menjadi juara terasa dan tetap hadir dalam benakku<br />

karena siapa yang tahu kapan aku bisa menang lagi<br />

bersama Yamaha?<br />

Ternyata keraguanku meleset. Aku tak perlu<br />

menunggu lama, hanya hingga balapan pertama musim<br />

berikutnya. Tentu, itu tak pernah kuduga sama sekali


sebelumnya.


3<br />

CAPITOLO TRE<br />

TAHUN 2003 merupakan masa yang panjang dan berat<br />

yang membuatku meninggalkan Honda dan pindah ke<br />

Yamaha. Secara pribadi, masa itu juga merupakan<br />

perjalanan mental yang penuh tantangan bagiku. Sebuah<br />

perjalanan panjang untuk menemukan jati diriku, sebuah<br />

proses pengembaraan dan refleksi terdalam diriku. Aku<br />

mencoba menilai diriku sendiri. Dan berkat proses itu aku<br />

bisa mengatakan bahwa aku mungkin sudah berhenti<br />

menjadi pembalap sebelum ulang tahunku yang ke-25<br />

kalau bukan karena tim hebat yang kami bentuk antara<br />

akhir tahun 2003 dan awal tahun 2004.<br />

Takkan pernah bisa kulupakan masa enam bulan itu,<br />

saat kutemukan apa yang sedang kucari: ketenangan dan<br />

kebahagiaan. Aku ingin memiliki teman-teman yang<br />

menyenangkan baik dalam pit maupun di luar. Aku<br />

membutuhkan mereka sehingga aku bisa merasakan<br />

kehidupan yang utuh di samping soal motor. Selain itu,<br />

aku juga sedang mencari hal lainnya: motivasi. Mungkin<br />

itulah masalahnya bagi orang-orang yang seperti aku,<br />

meraih banyak prestasi dalam usia relatif muda. Ya,<br />

karena semuanya terjadi begitu cepat di depan mataku.<br />

Aku genap berusia 24 tahun pada bulan Februari 2003 dan<br />

aku sudah meraih apa yang kuimpikan. Namun, aku<br />

mendapati kalau ada banyak hal yang tak bisa lagi<br />

kunikmati, banyak situasi yang tak bisa kudiamkan saja.<br />

Tentu, aku tak lagi merasa senang bersama Honda.<br />

Kutahu hal itu beberapa saat. Namun, belum juga<br />

kusadari kalau dalam beberapa bulan di tahun 2003, aku<br />

bisa melakukan semuanya dengan mudah tanpa Honda.


Saat Davide Brivio datang ke Ibiza dan bicara denganku<br />

tentang Yamaha, aku belum bisa memahami kalau<br />

tawarannya itu sebenarnya tantangan besar: melanglang<br />

ke tempat-tempat yang belum pernah diinjak manusia<br />

setidaknya dunia sepeda motor modern. .Aku juga tak<br />

benar-benar mengerti kalau hanya dengan menerima<br />

tantangan lain, tantangan yang lebih berat, aku bisa<br />

meniti karier lebih tinggi, menemukan kekuatan diriku dan<br />

akan semakin maju, menjadi lebih baik lagi. Lebih baik<br />

dalam pengertian sebagai seorang pembalap tentunya,<br />

namun bisa berarti juga dalam pengertian sebagai<br />

seorang manusia. Perlu waktu cukup lama untuk<br />

memahami hal tersebut dan hal-hal lainnya. Namun, aku<br />

telah sampai pada titik itu.<br />

Meninggalkan Honda demi pindah ke Yamaha, tim<br />

yang mengalami masa paling berat sepanjang sejarahnya<br />

waktu itu, adalah pengalaman tak masuk akal bagiku.<br />

Meski tak terlalu senang bersama HRC meski saat setiap<br />

pembalap, terutama lawan-lawanku, memimpikan menjadi<br />

pembalap Honda sangat sulit memang membayangkan<br />

persaingan di masa depan tanpa Honda. Aku tinggal dan<br />

hidup bersama Honda sejak tahun 1999, saat itu aku<br />

bergabung dengan impian untuk berjaya, terutama karena<br />

aku mengendarai motor yang kuimpikan sungguh motor<br />

terindah di dunia, NSR 500.<br />

Dan setelah tiga musim kemenangan yang mencetak<br />

rekor dunia, begitu aku mulai mempersiapkan event tahun<br />

2003 dan gelar juara dunia kelimaku, yang ketiga<br />

bersama Honda, ada perasaan yang tumbuh dalam diriku.<br />

Perasaan itu berkembang dan keluar menjadi sebuah<br />

dorongan yang mampu mengubah semua hal.<br />

Pada awal musim tahun 2003, hanya ada satu hal<br />

yang pasti: Aku tak senang bersama Honda. Kutegaskan<br />

lagi, aku hanya tak merasa senang. Alasan utamanya


adalah karena pandangan filosofis mereka yang sangat<br />

berbeda dengan pandanganku. Aku tak mau lagi hidup<br />

dalam lingkungan seperti itu dan aku tak tahan lagi<br />

dengan situasi yang tak menghargai kemampuanku,<br />

lingkungan yang menegangkan dan penuh tekanan. Orang<br />

seperti aku adalah tipe yang selalu berusaha mengerti<br />

perasaan sesama anggota tim, yang akrab merangkul satu<br />

sama lain, yang sama-sama mau menanggung suka dan<br />

duka, namun "semangat tim" semacam itu tak pernah ada<br />

dalam budaya Honda.<br />

Aku ingin menjadi bagian dari sebuah kelompok, namun<br />

di Honda tak ada lagi yang disebut kelompok.<br />

Situasinya menjadi sedemikian buruk sehingga hal-hal<br />

yang tak terduga pun terjadi: Aku tak lagi merasa<br />

menikmati balapan. Tak masuk akal bagiku. Mustahil dan<br />

tak terbayangkan. Dan memang itulah yang terjadi.<br />

Kuingat aku duduk sambil memikirkan kontrak awal yang<br />

ditawarkan Honda. Aku merasa benar-benar tak nyaman.<br />

Kupikirkan orang-orang yang mesti bangun pagi dan<br />

berangkat kerja setiap harinya, menggesekkan kartu<br />

identitas, tertekan oleh jam kerja, oleh bos mereka, rekan<br />

sekerja, terjebak dalam pekerjaan yang tak mereka sukai<br />

dan kehidupan yang tak mereka cintai. Kamu tak mungkin<br />

hidup dengan kondisi seperti itu; itu bukan gaya hidup<br />

seorang pembalap MotoGP.<br />

Prioritasku adalah kelompok. Maksudku, orangorang<br />

yang kukenal termasuk pekerjaan sejak di kelas<br />

125cc. Di pit-ku, aku ingin bersama orang-orang yang<br />

bisa kucintai, orang-orang yang bisa kuajak ngobrol apa<br />

saja selain urusan motor, orang-orang yang selalu<br />

tersenyum. Salah satu alasan aku tak suka dengan HRC<br />

adalah karena gaya hidup tim mereka. Ada semacam<br />

kekakuan dan disiplin yang menghalangi dorongan untuk<br />

tertawa dan bercanda. Dan aku tak cocok dengan


lingkungan seperti itu, lingkungan tempat orang bahkan<br />

tak bisa tersenyum.<br />

Aku ingin berada dalam kelompok orang normal<br />

yang bisa mengekspresikan emosi dengan wajar seperti<br />

rasa terima kasih dan partisipasi. Kegembiraan,<br />

antusiasme, berbagi pengalaman. Kalau tidak, berarti aku<br />

tidak benar-benar berada dalam tim yang menyenangkan.<br />

Kami adalah para pemenang; mungkin itu cukup<br />

memuaskan para manajer Jepang, namun tidak bagiku.<br />

Aku ingin melakukan sesuatu sambil menikmatinya.<br />

Artinya, aku ingin menang, juga ingin menikmati<br />

kemenangan itu. Kalau bisa kupadukan dua hal itu, maka<br />

aku bisa meraih apa saja.<br />

Di Honda, akulah yang nomor satu. Namun, aku<br />

sendiri dan manajemen Honda punya pemahaman yang<br />

sangat berbeda tentang definisi "nomor satu". Bagi<br />

mereka, itu berarti aku harus mencoba technical upgrade<br />

beberapa minggu sebelum yang lainnya: barang baru<br />

akan segera tiba. Aku yang mengujinya,<br />

mengembangkannya, lalu kalau sudah siap, orang lain<br />

yang mendapatkannya. Hal yang tak pernah bisa mereka<br />

mengerti apalagi rival-rivalku sesama pembalap Honda<br />

yang membesar-besarkan berita adalah kabar bahwa<br />

motorku tak akan pernah bisa lebih baik daripada motor<br />

Honda lainnya. Menjelang akhir tahun 2003, motor RCVku,<br />

dibanding milik Gibernau dan Biaggi, ternyata berhasil<br />

membuat 250 lap lebih banyak. Itu saja. Tak kurang tak<br />

lebih.<br />

Aku tahu pasti tentang hal itu: di Honda, yang paling<br />

penting adalah membuktikan kalau in-house<br />

technology-nya lebih baik, sehingga dengan demikian,<br />

mereka bisa mentransfernya dari motor balap menjadi<br />

motor biasa. Di Honda, kemenangan dipercaya ditentukan<br />

lebih banyak oleh motornya. Karena itu, penting untuk


menduduki posisi pertama, kedua, atau ketiga. Itu juga<br />

sebabnya motor-motor Honda lainnya sebaik kualitasnya<br />

dengan milikku. Selalu begitu keadaannya dan tak<br />

berubah bahkan setelah aku meninggalkan mereka.<br />

Hingga tahun 2003, Honda memasuki siklus<br />

melingkar: jika kamu menang terus-menerus setiap<br />

tahun, memenangi lomba tidak akan cukup lagi: kamu<br />

harus bisa mendominasi. Terbiasa menang, memiliki<br />

budaya kemenangan, memang memiliki banyak nilai<br />

positif, namun kupikir justru ada sesuatu yang<br />

menyedihkan. Pada tahun 2003 itu, puncak kesuksesan<br />

kami, saat kami benar-benar tak terkalahkan, aku mulai<br />

merasa kalau menang hanyalah menjalankan tugas biasa<br />

saja. Itu saja. Tak seorang pun yang akan merayakan<br />

kemenangan itu, tak ada histeria. Karena kemenangan itu<br />

sudah terlalu biasa terjadi.<br />

Dan tak jadi soal siapa yang menang nantinya, apakah<br />

aku atau Biaggi atau Gibernau, karena kami semua<br />

adalah pembalap Honda. Jika mereka menang, bisa jadi<br />

malah lebih baik karena mereka bisa menunjukkan bahwa<br />

motor "bukan unggulan" mereka ternyata hebat juga. Aku<br />

sudah mengira hal itu, namun aku masih belum yakin<br />

sebelum bertanya langsung kepada mereka. Dan<br />

kudengar langsung dari pihak manajemen Honda.<br />

"Memang demikian, tujuan kami adalah menang<br />

menduduki nomor satu, dua, dan tiga dalam setiap<br />

event," Aku kemudian diberi tahu lagi."Kami ingin ada tiga<br />

Honda di atas podium, harus selalu begitu!"<br />

Dan mereka mengatakan itu datar saja, seolah-olah<br />

itu hal biasa. Hal seperti itu cukup sering terjadi di Honda.<br />

Mungkin pembalap-pembalap Honda lainnya tak terlalu<br />

tertarik dengan sikap seperti itu. Biaggi dan Gibernau<br />

tampaknya terobsesi untuk membuktikan kalau motorku<br />

lebih baik dari milik mereka dan itulah sebabnya aku bisa


menang. Mereka mestinya tahu kalau perbedaannya<br />

Cuma terletak pada selisih 250 lap itu, namun mereka tak<br />

bisa menjelaskan masalah itu, dan sebenarnya tak mau<br />

mengakuinya.<br />

Hal lain yang menjengkelkanku adalah kecenderungan<br />

Honda untuk tak mau menghargai pilihan, saran, dan<br />

sedikit masukan yang diberikan tim insinyur kami kepada<br />

racing department mereka. Mereka dingin-dingin saja<br />

menanggapi. Sangat efisien. Mereka memang sangat<br />

efisien. Namun secara manusiawi, mereka sungguh tak<br />

ramah, dingin seperti es.<br />

Saat aku bergabung dengan HRC pada awal tahun<br />

2002, aku mulai merasakan seperti apa dunia Honda<br />

sebenarnya. Dua tahun sebelumnya di tim Mastro Azzuro<br />

semuanya terlihat berbeda. Kami punya seorang anggota<br />

dari Jepang benama Sato yang bertugas di bagian<br />

telemetri. Selain dengan dia, kami tak ada hubungan<br />

langsung dengan orang-orang HRC. Kamilah yang<br />

menentukan semuanya, Jeremy dan aku senang-senang<br />

saja, kami punya motor unggulan, namun kami juga yang<br />

menanganinya dengan bantuan kelompok kami, orangorang<br />

Italia dan krunya Jeremy.<br />

Namun, pada akhir 2001 saat mulai berlangsungnya<br />

MotoGP, keadaaan berubah, membawaku langsung ke tim<br />

Honda. Ke kru in-house mereka, tim HRC. Hanya tim inti<br />

saja yang boleh mengutak-atik motor HRC 4-tak tersebut.<br />

Tahun 2002 keluar prototipnya, namun tak seorang pun<br />

dalam tim satelit mereka yang memiliki pengetahuan dan<br />

kecakapan bagaimana mengoperasikannya. Kucoba<br />

generasi pertama RC211V di Suzuka setelah "delapan jam<br />

balapan" di bulan Agustus 2001. Aku merasa sangat aneh.<br />

motor itu kecil sekali, bahkan tanpa proteksi fairing.<br />

Sangat kecil; kelihatannya seperti barang mainan saja.<br />

Bagian support-nya juga aneh sekali, terlalu tinggi di


elakang, lalu menurun tajam ke depan, sehingga terlihat<br />

sangat pendek. Saat benar-benar kunaiki, motor itu<br />

bahkan terasa jauh lebih kecil.<br />

Waktu itu prioritasnya adalah pada mesin dan sasis.<br />

Namun begitu kucoba, ternyata masih terdapat banyak<br />

masalah besar. Begitu roda belakangnya mulai panas,<br />

RCV itu pasti akan tergelincir jatuh; kurangnya daya<br />

cengkeram begitu besar sehingga roda belakangnya akan<br />

selip dan tergelincir bahkan saat berada di jalur pit<br />

sekalipun.<br />

Mesinnya memang besar, kamu bisa langsung tahu<br />

hal itu. Benar-benar besar dan ukuran margin-nya juga<br />

sangat besar, sangat bertenaga meski versi pertamanya<br />

belum benar-benar bisa mengontrol tenaga yang<br />

sedemikian besarnya itu. Itulahh sebabnya aku pernah<br />

mengatakan ingin balapan di kelas 500cc saja, di tahun<br />

2002 sekalipun, tahun awal mulanya MotoGP. Aku agak<br />

khawatir, aku merasa Honda 4-tak kurang kompetitif<br />

dibanding motor 2-tak 500cc. Lalu kami membicarakan<br />

masalah Honda di sana. Kemudian pada uji coba kedua<br />

pada bulan November di Jerez, mereka telah memeriksa<br />

semua bagian motor itu dan performanya makin bagus.<br />

Honda memang memiliki kekurangan, namun<br />

mereka mampu mengoptimalkan performa motor. Saat<br />

bersama tim HRC, memang telah terjadi pergantian tim<br />

manajemen-nya. Dengan demikian, lingkungan kerja dan<br />

budaya kantornya juga berubah, apalagi kalau dibanding<br />

tahun-tahun sebelumnya. Tim baru itu justru lebih terlihat<br />

formal, lebih dingin, lebih menjaga jarak. Segera kusadari<br />

kenyataan itu begitu menandatangani kontrak untuk<br />

periode 2002-2003.<br />

Saat aku sedang asyik main ski di sebuah<br />

pegunungan, ponselku berbunyi. Ternyata dari Gibo yang<br />

ingin agar aku mempertimbangkan lagi negosiasinya.


"Sekarang terserah kita sendiri," ujarnya.<br />

"Maksudmu?" ujarku. "Bukankah semuanya sudah<br />

beres ..."<br />

"Memang, awalnya memang begitu ...tapi sekarang<br />

lagi." ujarnya mengejutkanku. Sebaiknya kita ketemu<br />

secepatnya."<br />

Honda telah memutuskan untuk tak terburu-buru<br />

menyelesaikan kontrak baru mereka. Hal itu membuat<br />

posisi kami cukup riskan. Kami harus bisa memutuskan<br />

untuk tetap bersama mereka atau pindah ke tempat lain.<br />

Akibatnya saat itu, aku jadi sendirian tanpa kontrak<br />

dan tanpa ditemani timku. Aku agak enggan<br />

meninggalkan teman-teman dan kegiatan bermain ski<br />

hanya untuk terburu-buru pergi ke Roma, markas besar<br />

Honda di benua Eropa, tempat Gibo telah menjadwalkan<br />

sebuah pertemuan penting.<br />

Benar-benar tak menyenangkan.<br />

Kami mencoba menjelaskan kepada mereka, menjelaskan<br />

setiap detail rencananya, setiap kemungkinan yang<br />

ada, dengan harapan segera terjadi kesepakatan. Akhir<br />

nya, setelah pembicaraan yang intens itu, kami berhasil<br />

mendapatkan persetujuan. Aku memperbarui kontrak<br />

terbaruku dengan Honda, berlalu hingga dua musim<br />

berikutnya. Namun, aku masih merasa tak nyaman.<br />

Begitu keluar dari ruangan itu, badanku gemetaran.<br />

Benar-benar kejadian yang tak masuk akal.<br />

"Oke, sekarang para kru kamera akan segera keluar<br />

dari tempat persembunyian mereka, lalu bilang kita<br />

masuk dalam acara Sherzi a parte," candaku, berusaha<br />

menghibur diri. Sherzi a parte adalah acara serial TV Italia<br />

yang menayangkan adegan-adegan lucu hasil bidikan<br />

kamera tersembunyi, mirip acara Beadle's About di Inggris<br />

atau Candid Camera.


Sayang sekali, semua yang terjadi memang kenyataan<br />

sebenarnya. Namun, aku berusaha berpikir positif<br />

dan tak patah semangat. Musim tahun 2002 akan segera<br />

tiba, dan banyak tugas yang harus dikerjakan. Beberapa<br />

bulan terakhir itu, aku sibuk mempersiapkan RC211V<br />

bersama para insinyur Jepang itu. Masih baru sekali<br />

memang dan setelah uji coba yang kedua, hasilnya sangat<br />

bagus meski tugas-tugas lain masih menumpuk. Waktu<br />

berjalan kian cepat. Di tengah kesibukanku bekerja, aku<br />

tetap tak bisa melupakan pembicaraan-pembicaraan<br />

seputar kontrak tersebut. Waktu itu hubunganku dengan<br />

Honda mulai merenggang. Dan itu bukan satu-satunya<br />

kejadian yang menyedihkan.<br />

Satu hal yang tak akan pernah bisa kumaafkan adalah<br />

Honda tak menepati janjinya untuk memberiku<br />

NSR500, motor yang pernah kupakai memenangi musim<br />

tahun 2001.<br />

Itu benar-benar mengecewakanku karena aku begitu<br />

terikat secara emosional dengan motor yang satu itu.<br />

Bukan sekadar motor sebenarnya, namun cara<br />

mereka menangani masalah. Aku sudah pernah<br />

memintanya baik-baik sebelum akhir tahun 2001 dulu,<br />

dalam tim, mereka selalu meyakinkan kalau aku akan<br />

segera memilikinya. Namun, hal itu tak pernah terbukti.<br />

"Nanti pasti akan tiba saatnya," ujar mereka<br />

berulang kali.<br />

"Jangan khawatir," mereka menegaskan.<br />

Lalu aku menjadi tenang lagi.<br />

Namun anehnya, mereka tak pernah sekalipun<br />

bilang "tidak". Mereka selalu bilang tak masalah, namun<br />

tak pernah bilang kapan mau diserahkan kepadaku.<br />

mereka bilang akan menyerahkannya kepadaku di satu<br />

acara yang akan dihadiri banyak orang, tapi mereka tak


pernah bisa mendapat sponsor dan acara yang tepat<br />

untuk melakukannya.<br />

"Masih ditangani pihak pabean kok, tenang saja," u-<br />

jar mereka lagi.<br />

"Baguslah, akan kutunggu," ujarku. Apa lagi yang<br />

bisa kulakukan?<br />

"Knalpotnya hilang dan ada beberapa bagian lainnya<br />

juga, kita bereskan dulu ya," ujar rnereka lagi.<br />

"Oke, kutunggu disini," ujarku.<br />

Mereka berhasil menipuku dengan petugas pabean<br />

fiktif dan tugas mereka yang tak pernah ada serta<br />

beberapa bagian motor yang hilang. Tahun demi tahun<br />

berganti dari 2001 ke 2002, lalu masuk 2003. Akhirnya<br />

pada musim dingin tahun 2003 itu, aku sudah tak tahan<br />

lagi, aku jadi semakin agresif. Kumulai saja dengan<br />

Fiorani, kelihatannya ia berusaha menghindar dari<br />

masalah tersebut.<br />

"Hmm, sebenarnya apa yang terjadi dengan motor<br />

500cc itu," tanyaku suatu hari.<br />

"Aku tak tahu apalagi yang bisa kulakukan. Sebaiknya<br />

kamu bicara langsung saja kepada orang-orang<br />

Jepang itu," ujarnya mengalihkan pembicaraan ke para<br />

eksekutif HRC tersebut.<br />

"Baiklah kalau begitu," ujarku jengkel sekali. Aku<br />

hanya menginginkan motor itu!<br />

Namun, lambat-laun semuanya jelas bagiku. Aku<br />

mulai sadar kalau aku tak akan pernah bisa lagi memiliki<br />

NSR yang kusayangi itu. Dan itulah yang terjadi. Dan aku<br />

jugs memang menemui orang-orang Jepang itu. Dan<br />

mereka beralasan ini-itu dan lainnya kepadaku. Mereka<br />

tak mau berterus terang, mereka memang tak berniat<br />

memberikan motor itu kepadaku. Hal itu berlanjut<br />

sedemikian lamanya hingga aku lama-lama bosan juga,


tak lagi menanyakan masalah motor itu. Dan keputusan<br />

itu sebenarnya cukup berat bagiku.<br />

Sekali lagi, aku rnempertanyakan diri sendiri kenapa<br />

mereka bersikap seperti itu. Aku merasa layak mendapatkan<br />

motor itu. Selain itu, aku memenangi kejuaraan<br />

dunia, juga dengan motor itu. Kupikir aku perlu mendapatkan<br />

sedikit penghargaan atas prestasi-prestasi yang<br />

kuraih. Aku menang dalam event Balapan Delapan Jam,<br />

gelar juara dunia kelas 500cc (berhasil mencatatkan itu<br />

sebagai kemenangan kelimaratusnya Honda pada kelas<br />

500cc), juga gelar juara MotoGP pertama tahun 2002<br />

(dengan sebelas kali menang). Kupikir dengan prestasiprestasi<br />

tersebut cukuplah untuk mendapatkan sesuatu<br />

sebagai tanda terima kasih mereka. Mungkin aku salah.<br />

Tak dapat kupungkiri, hingga hari ini juga, aku tak<br />

mengerti kenapa bisa begitu.<br />

Kejadian tak menyenangkan lagi terjadi pada akhir<br />

musim tahun 2001, saat Honda menjadwalkan uji coba<br />

dengan NSR 500. Pernah kuminta mereka memakai<br />

Graziano, ayahku sendiri dan beberapa temanku untuk<br />

mencoba motor itu. Jadi kutanya apa mereka setuju ide<br />

itu dan akan menjalankannya selama beberapa hari uji<br />

coba yang ditetapkan Honda di Jerez pada akhir musim<br />

balapan. Mereka waktu itu bilang tak jadi masalah.<br />

Namun, sehari sebelum uji coba berlangsung, mereka<br />

mengatakan, "Kami tak bisa melakukannya, karena besok<br />

para wartawan akan datang mencoba sendiri kemampuan<br />

motor itu."<br />

"Maksud kalian para wartawan akan mencoba sendiri<br />

motor itu?" ujarku.<br />

"Kalian membiarkan para wartawan itu menaiki motorku,<br />

lalu kalian bilang dalam dua hari uji coba itu kalian<br />

tak memberikan kesempatan sekalipun, bahkan kepada<br />

ayahku sendiri yang pernah menjadi juara dunia?"


Ya, demikianlah keputusan mereka. Dan mereka<br />

memang selalu begitu seperti yang sudah-sudah.<br />

Dalam satu tahun masa pencarian diriku itu, aku<br />

juga mencoba merenungkan hal-hal lainnya. Dulu banyak<br />

hal yang jauh lebih mudah. Dalam hal tertentu, aku<br />

bertanya kepada diriku sendiri apa sebenarnya yang<br />

kuinginkan di masa yang akan datang. Di luar masalah<br />

hubungan kemanusiaan, aku jelas terikat dua tahun<br />

kontrak dengan Honda. Prediksi terbaiknya adalah aku<br />

akan mengulang kemenangan yang sama persis dengan<br />

yang kuraih dua tahun sebelumnya. Aku pasti akan<br />

menang lagi.<br />

Mungkin hal itu tak terlalu menarik, namun bagiku<br />

itu adalah bagian yang penting. Mungkin yang paling<br />

penting. Aku jadi jengkel kalau orang selalu mengatakan<br />

hidupku paling hebat hanya dalam dunia motor, dan tak<br />

heran kalau aku sering menang. Dalam kaitannya dengan<br />

tahun pertamaku di MotoGP, saat hanya aku dan Ukawa<br />

yang menaiki RC211V, semua orang bilang bahwa motor<br />

yang kami naiki memang terlalu hebat sehingga siapa pun<br />

juga pasti akan menang kalau memakainya.<br />

Tahun berikutnya, 2003, Honda RC211V diberikan<br />

kepada beberapa pembalap, antara lain kepada Biaggi,<br />

yang pada tahun sebelumnya sempat mengeluhkan<br />

performa Yamaha-nya yang tak maksimal. Begitu ia<br />

mencoba RC211V, ia langsung mengeluh kalau motor itu<br />

tak sebaik yang dulu pernah kunaiki, dan Gibernau juga<br />

setuju dengan pendapatnya. Orang boleh bilang kalau<br />

motorku lebih bagus dua kali lipat dibanding milik mereka!<br />

Lalu, kalau aku menempati posisi kedua, berarti aku kalah<br />

total. Tak seorang pun yang berpikir kalau aku mungkin<br />

telah melakukan yang terbaik dan mungkin juga lawanlawanku<br />

tampil jauh lebih baik dariku saat itu. Kalah ya<br />

kalah. Dan aku harus malu dengan kekalahan itu. Namun,


jika aku menang, itu hal yang biasa, tak terlalu istimewa.<br />

Jika aku kalah, berarti aku benar-benar gagal total.<br />

Kutahu motorku memang bagus. Tapi aku juga<br />

sadar kalau aku juga yang mengembangkannya bersama<br />

para insinyur Honda itu. Karena aku sendiri juga turut<br />

serta mengutak-atiknya, maka aku tahu persis kalau<br />

motor RC211V lainnya juga memiliki kemampuan yang tak<br />

berbeda. Dalam balapan, hanya ada dua kemungkinan<br />

kalau terjadi sesuatu, aku sendiri atau motor yang<br />

kunaiki; aku kalah dari pembalap-pembalap RC211V<br />

lainnya, bukan oleh mereka yang memakai motor lainnya.<br />

Adanya anggapan aura magis pada motorku atau<br />

karena memang sudah hebat dari sananya, lalu fungsiku<br />

hanya sebagai pelengkap tambahan saja, membuatku<br />

benar-benar jengkel. Belum lagi tekanan-tekanan berat<br />

yang kuhadapi.<br />

Apa yang kualami mirip dengan apa yang pernah kusaksikan<br />

secara tak langsung, yaitu kasus Mick Doohan<br />

yang dimuat di koran, dan gosip yang berkembang di<br />

paddock. Sepertinya dalam kariernya, ia telah memiliki<br />

motor terhebat di dunia; lawan-lawannya tak pernah bisa<br />

membayangkan untuk memiliki motor seperti itu. Mereka<br />

selalu membicarakan hal itu sekaligus memengaruhi<br />

pendapat pers dan orang-orang lainnya. Bahkan aku, yang<br />

mestinya tahu lebih banyak tentang masalah itu, mulai<br />

penasaran seberapa hebatnya motor itu dan apa ia benarbenar<br />

memiliki motor yang dianggap hebat itu.<br />

Karena itu, begitu bergabung dengan Honda, aku<br />

langsung menemui Jeremy yang pernah menjadi kepala<br />

insinyur tim-nya Doohan, lalu kutanyakan hal tersebut.<br />

"Apa sih kelebihan motor itu dibanding motor lainnya?"<br />

tanyaku.<br />

"Nggak ada." ujarnya. "motor itu sama saja seperti


motor lainnya, mungkin ada satu atau dua bagian yang<br />

berbeda, itu saja. Faktanya, motor itu lebih cepat<br />

dibanding yang lainnya."<br />

Sejarah yang lucu terulang lagi. Aku mengalami situasi<br />

yang sama seperti yang terjadi pada Doohan,<br />

menghadapi masalah yang sama persis seperti yang<br />

dialaminya.<br />

Aku tahu kalau aku bisa menang dengan motor yag<br />

dipakai Biaggi ataupun Gibernau. Namun, aku tak pernah<br />

merasa nyaman setiap kali balapan: aku tertekan<br />

sepanjang waktu, membayangkan saat lawan-lawanku<br />

berkomentar, "Tak susah baginya untuk menang, karena<br />

motornya memang yang terbaik!" Saat kamu siap berlaga<br />

dan hanya ada satu pilihan saja yaitu menang, lalu setelah<br />

kamu benar-benar menang, semua orang menganggap<br />

hal itu tak terlalu istimewa, biasa saja, karena kamu<br />

memiliki motor yang lebih hebat ...itu sangat<br />

menjengkelkan.<br />

Aku menjadi agak paranoid. Suatu ketika aku<br />

berpikir untuk saling tukar motor. Makanya kudekati<br />

Biaggi dan Gibernau untuk saling bertukar motor dalam<br />

beberapa balapan. Aku akan mencoba motor mereka,<br />

sebaliknya mereka boleh menaiki motorku. Kutanyakan<br />

pada Gibo apa kira-kira Honda tak keberatan dengan<br />

usulan tersebut.<br />

"Ini mudah sekali," ujarku. "Hari Kamis nanti aku<br />

siap maju balapan, akan kupinjamkan motorku dan<br />

sebaliknya, aku akan memakai salah satu dari motor<br />

mereka. Tentu kita juga harus setuju akan<br />

konsekuensinya—apa pun itu. Tapi, kita lihat saja<br />

hasilnya."<br />

Kupikir itu adalah ide yang hebat. Kupikir aku bisa<br />

serta-merta menukar motornya pada saat balapan<br />

berlangsung, aku tinggal bilang pada Gibernau atau


Biaggi: "Hei, cepat turun dari motormu, kita tukar ya<br />

motornya ...nanti kita kembalikan lagi setelah balapan<br />

selesai!" Namun, pasti itu tak akan terjadi. Honda tak<br />

akan menyetujui ide semacam itu, tidak juga para sponsor<br />

mereka.<br />

Pada musim panas tahun 2003, HRC mengirim knalpot<br />

baru. Aku tak memakainya karena aku sedang muak<br />

dan bosan mendengarkan komentar-komentar mereka.<br />

Tapi karena adanya tekanan mental, juga karena pusing<br />

dengan bermacam-macam negosiasi dengan tiga pihak<br />

sekaligus, Yamaha, Honda dan Ducati, aku benar-benar<br />

kacau. Kadang-kadang aku tak sadar lalu membuat ke<br />

salahan. Pernah aku keluar trek saat balapan di Barcelona,<br />

itu semua hanya gara-gara menguntit di belakang<br />

Capi<strong>rossi</strong>. Kejadian itu, dan yang lain-lainnya, membuat<br />

orang mengatakan kalau motorku jauh lebih baik sehingga<br />

aku hanya tenang-tenang saja duduk di atasnya dan baru<br />

pada lap terakhir aku akan menghabisi semua lawanlawanku.<br />

Sebenarnya bukan begitu masalahnya. Kalau ada<br />

kesempatan untuk tak meneruskan balapan, maka akan<br />

kulakukan. Karena kalau kamu hanya ngotot ingin<br />

menang pada lap terakhir, artinya kamu mengambil risiko<br />

yang sangat besar: kamu akan berakhir di posisi kedua!<br />

Namun, kalau kamu bisa mendahului lawan-lawanmu<br />

sejak awal, kelak kamu bisa menghindari banyak masalah.<br />

Aku hanya akan diam kalau menang tak ada alternatif<br />

lagi. Karena itu adalah salah satu taktik dan cara<br />

yang bagus untuk bisa menang. Waktu di Jerman,<br />

misalnya, aku sempat membuat kesalahan pada lap<br />

terakhir, dan Gibernau berhasil memperdayaiku. Bukan<br />

karena aku telah berencana menunggu kesempatan<br />

terakhir sebagai cara untuk mempermalukan lawanlawanku,<br />

melainkan karena aku membuat kesalahan fatal


tak mendahuluinya dari awal kalau itu terjadi, aku berarti<br />

bisa menciptakan jarak yang ideal. Memang sudah salah<br />

taktiknya. Setelah kekalahan itu, akibat terkecoh, aku<br />

menjadi sangat marah sehingga mengoceh sepanjang<br />

perjalananku pulang, "Cukup sudah! Mulai sekarang aku<br />

tak akan berspekulasi!" Sejak saat itu setiap kali balapan,<br />

aku berusaha untuk mendominasi di setiap lap-nya dan<br />

hasilnya aku memenangi lima dari enam balapan pada<br />

musim waktu itu. Satu-satunya urutan kedua yang pernah<br />

kutempati adalah waktu di Grand Prix Pacific di Motegi.<br />

Namun, asal tahu saja, itu akibat aku kurang tidur pada<br />

malam harinya, malam saat pikiranku terkuras untuk<br />

meninggalkan Honda. Begitulah, kamu bisa menyimpulkan<br />

kalau aku memang kurang konsentrasi waktu itu, dan<br />

memang begitu kenyataannya.<br />

Segenap peristiwa dengan Honda tersebut kembali<br />

mengganggu pikiranku, tahun 2003 itu saat aku menimbang-nimbang<br />

pilihan yang ada untuk masa depanku<br />

nanti. Pada satu sisi, aku mendapati diriku begitu<br />

penasaran. Makin lama kurenungi alasan-alasan untuk<br />

tetap bersama Honda, makin sedikit sebenarnya alasan<br />

yang kuat untuk tetap bertahan bersama mereka. Dan<br />

pada suatu hari, aku menyadari kalau Honda-lah yang<br />

selama ini membelengguku.<br />

Agak aneh mungkin dan aku perlu waktu agak lama<br />

untuk memahaminya, dan memang jelas kalau Honda-lah<br />

yang menjadi tembok penghalang bagiku untuk melihat<br />

dunia luar dan menjelajahi hal-hal baru. Sebuah pertanyaan<br />

tentang motivasi. Memang Honda telah memberi<br />

apa yang kami minta terutama soal keuangan setelah<br />

negosiasi-negosiasi antara kami dengan mereka. Saat<br />

kuterima rancangan terakhir kontraknya di Jepang waktu<br />

itu, tak ada masalah apa pun: pihak Honda menerima<br />

setiap ketentuan yang kami minta, mereka benar-benar


ingin mempertahankanku. Namun, aku telah memutuskan<br />

hal lain pada bulan Oktober 2003: aku tak akan bertahan<br />

dengan mereka lagi. Keputusan itu adalah hasil perenunganku<br />

yang lama dan dalam. Keputusan sebagai hasil<br />

dari pertimbangan yang matang.<br />

Tentu saja Brivio dan para eksekutif Yamaha lainnya<br />

yang baik-baik itu ikut memudahkan keputusanku.<br />

Kukenal Brivio cukup lama. Dia adalah salah satu dari<br />

kelompok itu yang paling sering kuajak bincang-bincang.<br />

Kami bertemu pada tahun 1995, saat kami berdua ikut<br />

kejuaraan Italia. Aku kebetulan menjadi pembalap di kelas<br />

125cc, sementara ia menjabat manajer di Yamaha yang<br />

menangani superbike. Aku suka penampilan motor<br />

mereka, juga lingkungan kerja mereka yang ramah. Itulah<br />

sebabnya aku suka berlama-lama mengobrol dengan<br />

mereka.<br />

Akhirnya kupilih Yamaha karena aku merasa tertarik<br />

oleh tantangan mereka dan menghargai orang-orang yang<br />

bekerja di tempat itu. Aku tahu kalau aku akan memiliki<br />

kesempatan untuk membentuk lagi tim yang solid, kelompok<br />

orang Italia juga orang asing lainnya yang kukenal<br />

baik, yang sebagian besar telah bekerja sama denganku di<br />

Honda. Yang kucari adalah lingkungan yang santai,<br />

kelompok yang kompak yang bisa kuajak bercanda,<br />

orang-orang yang bisa kuajak bersantai seolah sedang<br />

berada di rumah sendiri, tanpa perasaan diperas atau<br />

terancam, tanpa terpaku aturan superioritas yang menjadi<br />

ciri khas Honda. Aku sudah bosan dengan keotoriteran<br />

dan tekanan-tekanan. Lalu begitu aku paham kalau<br />

nantinya akan ada sedikit kesulitan juga menemukan<br />

lingkungan yang santai di Ducati, aku juga menyadari<br />

kalau para eksekutif Yamaha mengerti apa yang sedang<br />

kucari-cari. Selanjutnya, orang-orang dari Yamaha<br />

mendekatiku dengan sopan, tanpa ada masalah. Bagiku,


Yamaha pada satu sisi bisa mewujudkan lingkungan yang<br />

kudambakan. Dengan adanya kelebihan sebagai tim<br />

terbesar kedua di dunia, kepindahanku tersebut menjadi<br />

pilihan yang tak ada ruginya.<br />

Pihak manajemen Yamaha, dari tingkat kepala<br />

hingga pada racing department-nya telah menegaskan<br />

kepadaku kalau Yamaha memang menginginkanku.<br />

Mereka meminta bantuanku, mereka membuatku merasa<br />

penting dan menjadi bagian tak terpisahkan dalam proses<br />

pengembangan motor mereka, juga hasil yang dicapai<br />

dalam uji cobanya. Dengan demikian, pengalaman yang<br />

kudapat dari proses negosiasi dengan Ducati, meskipun<br />

sangat singkat, ternyata begitu bermanfaat. Hal itu<br />

membuatku mampu menghilangkan ketergantungan<br />

psikologisku dengan Honda.<br />

Sambil memikirkan peluang di Ducati, sebenarnya<br />

aku sudah lebih dulu mempertimbangkan untuk tidak<br />

bersama Honda lagi menjalani persaingan ke depan.<br />

Sehingga dari awal, aku sudah cenderung pada pilihan<br />

Ducati atau Yamaha. Begitu kutahu kalau mentalitas<br />

lingkungan Ducati tak cocok untukku, saat itu juga aku<br />

bisa langsung melepaskan beban psikologis dengan<br />

Honda.<br />

"Kalau kamu bersedia pindah ke Ducati, kamu juga<br />

pasti bersedia pindah ke Yamaha," ujarku dalam hati."Dan<br />

itu berarti kamu bisa melakukannya tanpa Honda."<br />

Tahap demi tahap kusadari kalau masalahnya adalah<br />

ikut balapan di luar Honda. Itu adalah titik penting dalam<br />

proses berpikirku. aku takkan berpikir mengenai<br />

kemungkinan pindah ke Ducati, demikian juga ke Yamaha,<br />

kalau saja waktu itu aku tak berniat meninggalkan Honda.<br />

Di musim panas itu, ketika aku memutuskan untuk pindah<br />

ke Yamaha, aku bisa memahaminya. Aku ternyata hanya<br />

memakai argumen logis yang awalnya tak begitu jelas


agiku.<br />

"Honda tak memperlakukanku sebagaimana yang<br />

aku harapkan," ujarku dalam hati. "Yamaha, perusahaan<br />

otomotif nomor dua di dunia, datang menemuiku lalu<br />

mengatakan kalau aku bisa mendapatkan apa pun yang<br />

kuinginkan, tinggal minta saja. Benar-benar sangat jauh<br />

bedanyar.<br />

Dengan Yamaha, kami awalnya saling menghargai<br />

meski memang ada sedikit ketegangan, namun itu wajar<br />

saja dalam proses negosiasi yang relatif panjang. Dalam<br />

setiap tahapnya, aku kagum akan semangat kerja<br />

mereka. Ya, memang benar kalau mereka juga memiliki<br />

mentalitas ala Jepang, namun untungnya mereka jauh<br />

lebih terbuka dibanding orang-orang Honda. Orang-orang<br />

di Yamaha adalah orang-orang yang memberi apa saja<br />

yang mereka punya, yang mengorbankan apa saja demi<br />

tujuan mereka: membuatku menandatangani kontrak. Itu<br />

memperlihatkan semangat yang luar biasa.<br />

Memang ada kalanya terjadi ketegangan. Yang paling<br />

parah adalah saat Jeremy dan krunya mengatakan<br />

kalau mereka tak akan ikut aku pindah ke Yamaha. Aku<br />

dihadapkan pada beberapa situasi berat, aku menjadi<br />

tegang karena berbagai alasan, lalu begitu Jeremy<br />

mengatakan "tidak" Aku berkata dalam hati: "Bagus<br />

sekali, aku capek-capek kerja keras supaya kamu ikut<br />

aku, meyakinkan Yamaha kalau mereka perlu bantuanmu,<br />

lalu begini balasanmu kepadaku!" Itu membuat<br />

hubunganku dan Jeremy tegang dan kami saling merasa<br />

tak enak hingga berhari-hari lamanya. Orang-orang<br />

Yamaha sendiri juga sempat mengusik ketenanganku. Aku<br />

yakin kalau Jeremy akan jadi bagian paling menentukan<br />

dari keberhasilan kami di Yamaha, namun aku tak bisa<br />

mengerti alasan Yamaha meragukan hal itu, meragukan<br />

Jeremy sendiri juga krunya.


Bisa kurasakan memang kalau Jeremy dan krunyalah<br />

yang ragu ikut Yamaha, bukan sebaliknya. Apalagi<br />

Jeremy, aku berusaha memahami situasi yang dihadapinya.<br />

la mendekati masa pensiun, usianya sudah lewat<br />

kepala lima, dan ia akan meninggalkan perusahaan<br />

terbaik di dunia setelah masa pengabdian lebih dari dua<br />

puluh tahun lamanya, justru saat situasinya mulai<br />

menyenangkan dan penuh keakraban. Maksudku, aku<br />

ingin dia mempertimbangkan lagi, berani mengambil risiko<br />

dan menantang nasibnya. Kalau kamu berusia 24 tahun,<br />

memang mudah membuat keputusan semacam itu,<br />

namun jika kamu di atas 50 tahun, pasti akan lebih berat<br />

memutuskannya<br />

Meski bisa memahami situasi Jeremy, aku masih<br />

merasa kecewa. Sebab pada saat yang bersamaan, aku<br />

kira Jeremy dan timku sepakat soal keyakinanku untuk<br />

membuktikan mana yang benar. Anehnya, orang-orang<br />

yang bilang Honda hebat juga mengatakan kalau timnya<br />

biasa-biasa saja, apalagi karena mereka mengira semua<br />

bahannya dikirim dari Jepang, siap pakai, yang perlu<br />

mereka lakukan hanya merakit dan memasangnya, selesai<br />

sudah, tak lebih dari itu.<br />

Aku tahu pembicaraan semacam ini akan<br />

mengganggu ketenangan mereka. Aku tahu persis hal itu.<br />

Memang aku belum bisa memengaruhi mereka untuk<br />

berubah, untuk berani mengambil kesempatan. Tanpa<br />

mesti kehilangan ketenangan, berbicara dan menganalisis<br />

situasi yang berkembang, kami pasti bisa mencapai<br />

kesepakatan dalam hal apa pun juga. Jangan membuat<br />

kesalahan, sepanjang waktu itu akhir musim panas benarbenar<br />

masa yang tak menyenangkan. Singkatnya,<br />

sepanjang musim panas itu aku berada dalam masa yang<br />

sulit. Ketegangan juga memuncak minggu demi minggu.<br />

Dan memanas.


Musim panas itu aku tak lagi balapan dengan perasaan<br />

tenang, namun tak seorang pun yang memerhatikannya<br />

karena di tahun 2003 itu kami melaju sangat<br />

cepat. Sebenarnya, di tahun itulah aku mencetak rekor<br />

tercepat bersama Honda. Memang motornya tak mengalami<br />

perkembangan. Suatu kesalahan besar,<br />

kesalahan yang besar sekali bagiku kalau tak memenangi<br />

balapan. Sementara bagi pembalap lainnya, memenangi<br />

balapan sangatlah berat.<br />

Kupikir-pikir, itulah yang membuatku bisa mencatat<br />

tingkat tertinggi seraya mempersiapkan sepanjang musim<br />

itu sebuah proyek ambisius sebagai gebrakanku dari<br />

Honda ke Yamaha. Namun, sepertinya masih belum cukup<br />

juga, di musim panas tahun 2003 itu, teori lama bahwa<br />

kemenanganku semata berkat motorku yang hebat dan<br />

bukan faktor lainnya, tiba-tiba menjadi terbalik. Begitu<br />

banyak orang yang menyatakan kalau aku sudah tak bisa<br />

lagi mengendalikan motor itu.<br />

"Tahukah kamu, satu-satunya cara supaya orangorang<br />

itu tutup mulut adalah pindah ke Yamaha," ujarku<br />

lagi dalam hati. "Tapi apa aku memiliki keberanian<br />

melakukannya?"<br />

Aku mendapatkan jawaban hanya sepotongsepotong.<br />

"Aku tahu aku bisa menang meski tanpa Honda,"<br />

pikirku. "Yang artinya aku bisa bergabung dengan<br />

Yamaha, namun aku tak berani pindah ke sana."<br />

"Keberanian, keberanian, apa aku berani?" aku bertanya<br />

terus kepada diriku. "Apa aku memiliki keberanian<br />

melakukan hal itu?"<br />

Begitu aku bisa mantap berkata "Ya, ya aku bisa<br />

melakukannya!" barulah aku mampu keluar dari masalah<br />

itu. Setelah itu, aku merasa terbebas dari ketegangan.


Pagi harinya, saat terbangun, kukatakan kepada<br />

diriku: "Aku akan melakukannya!"<br />

Lalu aku merasa benar-benar bebas.<br />

Tak bisa kulupakan Sabtu malam dan Minggu pagi di<br />

Motegi itu: ada ketegangan yang paling hebat, terberat,<br />

saat-saat menentukan bagi karierku. Ada bagian paling<br />

sulit dari keseluruhan proses negosiasi itu. Dan aku<br />

menjadi susah tidur sepanjang hari-hari tersebut. Kamis,<br />

Jumat, dan Sabtu-nya menandai awal mulainya realisasi<br />

keinginanku. Kubebaskan diriku begitu aku mulai terlepas<br />

dari beban mental yang membelenggu pikiranku. Triknya<br />

adalah membayangkan diriku harus menjalani dua musim<br />

lagi bersama Honda. Itu cukup membuatku paham kalau<br />

aku mesti membuat keputusan.<br />

Segenap pikiran baik dan buruk bercampur-aduk di<br />

kepalaku. Di satu sisi aku berkata sendiri, "Dua tahun lagi<br />

bersama Honda berarti bertemu lagi dengan orang-orang<br />

yang tak menghargaiku, mereka yang lebih percaya kalau<br />

motor mereka lebih penting dibanding diriku ...apa aku<br />

mesti memilih hal itu? Apa aku benar-benar harus<br />

menjalani dua tahun lagi bersama orang-orang yang<br />

selalu mengatakan bahwa satu-satunya alasan aku<br />

menang adalah karena motor yang kunaiki? Tidak, kupikir<br />

tidak!"<br />

Kemudian aku benar-benar merasa lega. Namun,<br />

aku masih harus mengatasi satu masalah lagi, satu<br />

masalah yang menghantuiku sejak dulu. Ada bagian<br />

dalam diriku yang masih meragukan nasibku setelah<br />

meninggalkan Honda, tempat aku dulu bekerja keras<br />

membangun motor yang hebat, lalu menyerahkannya<br />

kepada lawanku. Apalagi mengingat aku akan pindah ke<br />

Yamaha, dengan motor yang sepertinya tak akan mampu<br />

bersaing untuk sementara waktu. Rasanya aku telah<br />

banyak memberi kemudahan kepada lawan-lawanku.


Namun tiba-tiba, hal itu hilang begitu saja dan aku tak<br />

merasa ragu lagi.<br />

Menjadi tak peduli lagi akan apa yang kelak terjadi<br />

pada Honda. Sebaliknya, meninggalkan motor terbaikku<br />

untuk lawan-lawanku sementara aku memakai motor yang<br />

kelihatannya tak diunggulkan bisa menjadi cara terbaik<br />

mengakhiri pembicaraan tentang apa yang disebut<br />

fasilitas yang seharusnya kudapatkan selama bertahuntahun.<br />

Memang insentif yang sangat besar nilainya.<br />

"Ayo kita pindah ke Yamaha dan kita lihat apa yang<br />

akan terjadi nanti," ujarku kepada Gibo. Dengan begitu,<br />

aku hanya mencemaskan diriku sendiri dan tugas-tugas<br />

yang akan kuhadapi.<br />

Dan Jeremy mengalami masalah yang sama. Segera<br />

setelah ia menandatangani kontrak dengan Yamaha, ia<br />

berubah drastis. Kulihat ia juga mengalami cobaan mental<br />

yang panjang, penalaran yang sama, proses berpikir yang<br />

sama yang pernah aku alami. Kulihat ada keingintahuan<br />

sekaligus keraguan pada dirinya. Kemudian kulihat tahap<br />

berikutnya: ketidakpastian, ketakutan, kebingungan. Lalu<br />

tahap terakhir, saat ia berkata pada dirinya sendiri, "Kalau<br />

aku tak melakukannya, aku takkan bisa memaafkan diriku<br />

selama-lamanya."<br />

Tahap itu juga pernah kualami.<br />

Dalam situasi yang kritis itu, tak ada jalan lagi, aku<br />

selalu mengatakan kepada diriku, "Kalau kamu tak<br />

melakukannya, kamu tak akan pernah tahu apa yang akan<br />

terjadi nantinya, kamu takkan pernah tahu apa kamu bisa<br />

memenangi balapan dengan motor lain atau tidak."<br />

Kulihat beban dilematis yang sama pada Jeremy. Namun,<br />

kulihat ia berubah cepat sebagaimana yang pernah<br />

kualami dulu. Beberapa hari berikutnya, kurasakan<br />

ketegangan mulai mereda dan aku tidak hanya merasa<br />

lega, tetapi juga merasa sangat bersemangat. Bukan


suatu kebetulan juga kalau tiga balapan yang berlangsung<br />

setelah Honda mengumumkan aku akan pindah : Grand<br />

Prix Malaysia, Australia, dan Valencia berhasil kumenangi<br />

dengan mudah. Bagi Jeremy, kurang lebihnya sama. Ia<br />

bersemangat ingin memulai tantangan baru. Lalu kami<br />

mulai bisa bekerja sama, bertekad untuk tetap maju,<br />

saling membantu. Bagiku pribadi, mengalami langsung<br />

proses keputusan penting itu justru membuatku makin<br />

tegar. Mental yang lebih tegar.<br />

Karena Honda tak mengizinkanku melakukan uji<br />

coba dengan Yamaha hingga akhir 2003, aku bisa<br />

menikmati liburan terpanjang selama hidupku, yaitu<br />

musim dingin 2003-2004. Hampir tiga bulan penuh. Harihari<br />

ketika kamu bisa bangun pada pukul 3 sore, karena<br />

mulai tidur begitu pagi tiba. Aku banyak menghabiskan<br />

waktu bermain ski dan berkumpul dengan teman-teman.<br />

Aku bersantai dan bersenang-senang. Hal itu<br />

membantuku memulihkan ketenangan yang sudah lamans<br />

tak lagi kurasakan.<br />

Kalau membuat keputusan baik bagi kesehatan<br />

mental, maka liburan panjang itu penting bagi kesehatan<br />

fisik. Dan aku senang sekali saat pertama mencoba motor<br />

M1. Aku senang memulai petualangan baru bersama<br />

Jeremy dan orang-orang di timku, senang sekali bisa<br />

bekerja sama dengan Brivio juga orang-orang Jepang di<br />

Yamaha, apalagi dengan Furusawa, kepala bagian<br />

penelitian dan pengembangan, orang yang begitu terbuka<br />

dan pengertian, yang mau menerima masukan baru dan<br />

suka berpikir kreatif; ia adalah salah satu dari orangorang<br />

Yamaha yang bisa kamu ajak bicara tentang apa<br />

saja. Bagiku, ia melambangkan semangat kerja Yamaha.<br />

Ia memimpin tim yang sungguh-sungguh mencurahkan<br />

segalanya pada motor yang mereka kembangkan. Dan<br />

itulah salah satu alasan mengapa banyak orang terpesona


oleh Yamaha. Baru kali pertama itulah aku merasa cocok<br />

dengan orang yang mempekerjakanku. Merasa sangat<br />

bangga berada di tengah-tengah mereka. Karena apa pun<br />

yang dimiliki Yamaha memang indah: logonya,<br />

sejarahnya, semangatnya, motor yang mereka ciptakan,<br />

para pembalapnya. Siapa yang tak kenal nama-nama<br />

seperti Agostini, Roberts, Lawson, Rainey, dan saya<br />

tentunya. Hebat lho, menurutku...


4<br />

CAPITOLO QUATTRO<br />

AKU selalu suka naik motor, meski sering ikut balapan<br />

go-kart. Bahkan saat masih berumur dua-setengah tahun,<br />

waktu aku belum bisa naik sepeda, aku sudah ingin sekali<br />

bisa naik motor.<br />

Ayahku, Graziano, dulu membelikanku minicross.<br />

Waktu itu tahun 1982 saat aku masih berumur duasetengah<br />

tahun. Ayahku sendiri adalah pembalap roda<br />

empat; ia berhenti menjadi pembalap motor setelah mengalami<br />

kecelakaan serius di Imola. Minicross yang<br />

kumiliki adalah satu-satunya motor balap mini yang ada<br />

pada masa itu, dan biasanya kupakai rumahku sendiri dan<br />

kebunku sebagai sirkuitnya. Semuanya berawal dari motor<br />

mungil itu. Dari situlah awal timbulnya keinginan kuat<br />

untuk balapan, untuk bersaing, untuk menguji kemampuanku<br />

melawan orang lain, perasaan kuat yang sudah<br />

kumiliki bahkan sejak aku masih sangat kecil.<br />

Pada hari natal 1989, saat usiaku genap sepuluh<br />

tahun, muncul produksi perdana motor balap mini yang<br />

menyerupai motor aslinya, motor Grand Prix, yang dibuat<br />

untuk pasar Italia. Aku sudah jatuh cinta begitu melihatnya<br />

untuk kali pertama. Aku langsung minta orang<br />

tuaku membelikanku, lalu aku mulai ikut balapan sungguhan.<br />

Aku ikut balapan secara rutin. masa minibike itu<br />

adalah masa yang sangat indah sepanjang kenanganku.<br />

Meski aku sudah kenal cukup lama dengan mesin roda<br />

dua, kehadiran minibike itu merupakan masa awal dimulainya<br />

pendidikan yang nantinya merintis karierku di<br />

MotoGP. Memang aku ikut balapan kali pertama dalam<br />

event go-kart. Sebabnya, anak seusiaku kala itu memang


hanya diperbolehkan balapan go-kart saja. Aku pikir aku<br />

bisa saja ikut balapan minicross, namun saat itu aku lebih<br />

tertarik dengan sirkuit beraspal. Itulah sebabnya aku<br />

pertama balapan go-kart dulu, baru kemudian ikut<br />

balapan minibike.<br />

Selama dua tahun waktu itu, aku ikut kedua-duanya.<br />

Go-kart lebih bersifat serius karena di tingkat pemula<br />

sekalipun harus tampil profesional. Berlaga di kendaraan<br />

roda empat, alih-alih roda dua, membuat kamu terlihat<br />

lebih bergaya apalagi kalau kamu masih muda belia. Aku<br />

tak tahu persis mengapa bisa begitu, namun aku serius<br />

mengikuti go-kart, sementara minibike waktu itu terkesan<br />

main-main saja. Demikianlah, aku balapan go-kart dan<br />

minibike hanya untuk senang-senang saja. Begitu aku<br />

beranjak dewasa, aku mulai meninggalkan dunia go-kart,<br />

lalu jatuh cinta pada sepeda motor. Kalau disuruh<br />

memilih, aku akan langsung memilih sepeda motor.<br />

Musim dingin tahun 1992, saat aku berusia 13 tahun, aku<br />

semobil dengan ayahku, Graziano, melintasi San Giovanni<br />

di Marignano, kota berpenduduk 8000 jiwa yang berada di<br />

antara Tavullia dan Cattolica di The Valle della Conca.<br />

"Kenapa kita tidak ikut balapan motor saja," tanyaku<br />

tiba-tiba.<br />

Mendengar itu, ekspresi wajah ayahku tak bisa kulupakan.<br />

Ada rasa bahagia karena motor roda dua adalah<br />

hobinya, sekaligus rasa takut karena roda dua jauh lebih<br />

berbahaya dibanding go-kart. Ibuku, Stefania, juga<br />

sependapat akan hal itu.<br />

Bagaimanapun, kami harus menentukan pilihan,<br />

kami harus tahu pilihan mana yang akan ditetapkan. Gokart<br />

atau roda dua?<br />

Bagiku, itu tak terlalu susah. Keinginanku sudah jelas.<br />

Aku merasakan dorongan kuat dalam diriku ke arah<br />

motor roda dua. Selain itu, go-kart membutuhkan lebih


anyak biaya. Kami setidaknya perlu dana 100 juta lira<br />

(kurang lebih 50 ribu euro). Karena sudah besar, aku tak<br />

bisa ikut kategori minikart 60, sedangkan kalau masuk ke<br />

kelas 100, aku mesti menyiapkan dana 100 juta lira.<br />

Lagipula, kami tak punya sponsor, karena tak seorang pun<br />

yang mau menginvestasikan uang sebanyak itu di kelas<br />

100, tak ada yang bersedia, pembalapnya sendiri,<br />

keluarga, maupun temannya.<br />

Karena itu, kedua orangtuaku harus mengusahakan<br />

sejumlah uang. Ayahku, Graziano, dan ibuku, Stefania,<br />

sudah memikirkannya sejak lama, berusaha memahami<br />

kalau dana yang dibutuhkan memang sebesar itu.<br />

Bisa kurasakan mereka bingung, tak bisa memutuskan,<br />

lalu kuputuskan sendiri pilihannya demi mereka.<br />

"Kita coba saja sepeda motor," ujarku kepada ayah,<br />

lalu kukatakan lagi kepada ibuku. Sepertinya keputusan<br />

yang tepat, yang datang dengan sendirinya. Begitu aku<br />

ada di persimpangan jalan, mudah saja kuputuskan ke<br />

arah mana kupergi, balap motor, yang sangat sesuai<br />

dengan karakterku sendiri. Dana besar yang diperlukan<br />

dalam kelas 100 go-kart itulah yang yang membuatku<br />

memilih sepeda motor saja, juga karena impianku menjadi<br />

pembalap motoGP.<br />

Dulu waktu aku masih kecil, aku selalu bilang<br />

kepada semua orang kalau aku ingin menjadi pembalap<br />

Formula One; itu karena aku belum melihat kendaraan<br />

bermotor lainnya selain go-kart. Kendaraan itulah yang<br />

membuatku turun ikut balapan. Aku senang go-kart, aku<br />

suka mengendalikan mesin, mengontrolnya, meskipun di<br />

kemudian hari aku lebih suka naik mesin beroda dua<br />

dibanding roda empat. Dan sejujurnya, kalau saja dana<br />

dan uang tak menjadi masalah, aku akan senang ikut<br />

balapan kedua-duanya, bergantian, mobil lalu motor,<br />

begitu sebaliknya. Namun, tentu saja itu mustahil terjadi.


Singkatnya, faktor keuangan memang penting, tapi<br />

tak mendesak. Aku yakin kalau saja aku bisa mencintai<br />

roda empat sebagaimana aku mencintai roda dua, kami<br />

akan mendapat solusinya. Namun, aku mencintai sepeda<br />

motor. Karena itulah bisa kukatakan kalau keputusan itu<br />

adalah keputusanku sendiri.<br />

"Kita bisa mencoba balapan yang sebenarnya, di<br />

Misano, mencoba motor Aprilia 125 milik temanku,"<br />

ujarku kepada ayah, begitu kami melintasi San Givanni di<br />

Marignano, beberapa kilometer dari Misano. "Beri aku<br />

kesempatan untuk mencobanya dan kita lihat saja nanti."<br />

Telah kupikirkan semuanya dan tengah kususun<br />

rencanaku waktu itu.<br />

"Begini, temanku pasti mau meminjamkan motor<br />

Aprilia 125 itu," ujarku menegaskan. "Namanya Maurizio<br />

Pagano, aku yakin is pasti bersedia meminjamkannya."<br />

Banyak kuhabiskan waktu bersama Maurizio dan<br />

saudaranya, Marco, dua remaja dari Gatteo a Mare yang<br />

juga suka minibike sama sepertiku. Mereka punya motor<br />

sungguhan, motor dari Sport Production, dan mereka juga<br />

memiliki Aprilia125.<br />

"Baiklah kalau begitu," ujar ayah.<br />

Lalu aku merasa senang. Senang sekali.<br />

Kemudian tahun 1992, saat hari agak dingin, pada<br />

pertengahan akhir pekan, dalam sirkuit umum (masih<br />

kosong waktu itu), kucoba untuk kali pertama merasakan<br />

jalur sirkuit. Dan itu kulakukan dengan Aprilia Futura 125.<br />

Memang bukan motor yang dirancang khusus untuk cuaca<br />

tertentu, tapi aku tak mengalami masalah dengan kondisi<br />

cuaca saat itu. Kupakai salah satu kostum ayah, a<br />

Dainese. Warnanya kuning dan merah, dan beliau<br />

mendapatkannya saat melakukan uji coba beberapa tahun<br />

yang lalu. Helm yang kukenakan berlabel Arai Schwantc


Replica, yang pernah kupakai di event minibike. Aku<br />

memang selalu memakai helm itu karena sedari kecil aku<br />

penggemar beratnya.<br />

Aku tak begitu deg-degan saat menyelesaikan putaran<br />

pertama. Memang cukup seru rasanya, namun aku<br />

berkeringat saja dibuatnya. Segalanya berubah begitu<br />

kamu berada di sirkuit. Aku hanya tertuju pada pemandangan<br />

di depan yang berubah-ubah, pada jalinan<br />

panjang beraspal yang kamu susuri dengan matamu, pada<br />

pemandangan di kanan-kirimu yang terlewatkan. Kulihat<br />

kerikilnya, bebukitan di belakangnya, tempat duduk para<br />

penonton ...semuanya terasa begitu jauh,meskipun<br />

sebenarnya dekat, sangat dekat. Aku tak mencoba juga<br />

tidak berpura-pura kalau yang kulakukan adalah balapan<br />

sesungguhnya yang di dalamnya ada puluhan ribu<br />

penonton yang mengamati setiap gerakanku. Karena<br />

memang cukup sulit mengendalikan motor Aprilia 125 itu.<br />

Di usia 13 tahun, aku masih agak kurusan dan ringan.<br />

Motor itu terasa begitu besar dan berat. Memang<br />

begitulah yang kurasakan. Motor-motor "sport production"<br />

itu sebenarnya adalah motor jalanan, bukan motor Grand<br />

Prix. Motor 125cc itu beratnya 150 kilogram, seberat<br />

MotoGP.<br />

Kutelusuri jalur itu perlahan sambil melihat-lihat sekitarnya.<br />

Aku merasa cukup aman. Mendekati tikungan<br />

Tramonto, kukurangi gas 250 meter sebelumnya biasanya<br />

kamu akan melakukannya pada jarak 150 meter sebelum<br />

mencapai tikungan itu. Aku terkejut begitu sadar kalau<br />

pengalaman bersama minibike selama beberapa tahun<br />

sebelumnya bisa berguna saat itu. Memang tak mudah<br />

melihat perbedaan ukuran dan beratnya. Lagipula, aku<br />

baru kali pertama naik motor dengan perseneling, itu<br />

berarti aku juga mesti belajar menggunakan kopling.<br />

Namun, masalah itu bukannya mustahil diatasi.


Aku jadi cepat melupakan go-kart dan mulai terfokus<br />

pada sepeda motor. Aku belum tahu waktu itu kalau<br />

itulah awal perjalanan yang benar-benar mengubah<br />

hidupku. Namun, aku menegaskan lagi kalau sepeda<br />

motor bukanlah pilihan kedua. Masalah uanglah yang<br />

menjadi alasan, meski itu bukan faktor yang utama.<br />

Memang ayahku Graziano selalu enggan menghamburkan<br />

uang dan beliau sedikit keberatan dengan sejumlah dana<br />

yang diperlukan demi balapan go-kart. Kupikir,<br />

keuntungan dari balap motor dibanding go-kart bisa<br />

menghilangkan ketakutan beliau. Namun, kedua<br />

orangtuaku merasa ngeri dengan pilihan sepeda motor.<br />

Dan itulah masalah sebenarnya yang kuhadapi waktu itu.<br />

Karier ayahku sedang terancam. Beliau sering terluka.<br />

Dan beliau sempat beberapa kali terluka, benar-benar<br />

terluka parah. Saat aku berumur tiga tahun, ayah<br />

mengalami kecelakaan fatal di Imola, kepalanya terluka<br />

parah. Untungnya ayah bisa selamat, dan untungnya lagi,<br />

tim paramedis yang datang melakukan tugas mereka<br />

dengan baik, demikian juga saat dibawa ke Mobile Clinic<br />

dan Doctor Costa. Ayah bisa selamat saat itu meskipun<br />

benturan yang dialami sangat keras hingga beliau<br />

kehilangan ingatan. Tak terlalu dramatis memang, hanya<br />

kadang-kadang beliau suka lupa kalau tidak diingatkan.<br />

Setelah kecelakaan tersebut, ayah berhenti balapan<br />

motor, beliau mulai menekuni balap mobil sebagai<br />

gantinya. Sementara ibuku begitu setia mendampingi<br />

ayah dalam suka maupun duka, dan ibu tak suka dengan<br />

ideku menjadi pembalap motor. Itu juga menjadi alasan<br />

kenapa waktu aku ingin ikut balapan, ayah dan ibu<br />

mengarahkanku pada pilihan "roda empat" karena mereka<br />

yakin kalau mobil jauh lebih aman dibanding motor.<br />

Ayah tahu persis resiko apa saja yang akan dihadapi<br />

seorang pembalap motor. Dan aku bisa mengerti keta-


kutan beliau itu, sebagaimana aku juga bisa memahami<br />

ketakutan ibuku. Motor memang berbahaya, namun tak<br />

begitu berbahaya seperti yang sebagian orang bayangkan,<br />

hanya saja memang cukup berbahaya.<br />

Ayah menyukai motor. Lagipula, dulu beliau seorang<br />

pembalap motor. Sementara itu ibuku, mesti tinggal di<br />

paddock karena mereka menikah saat masih terlalu muda.<br />

Kupikir mereka sudah terbiasa dengan seluk-beluk dunia<br />

motor.<br />

Dan masih ada satu faktor lagi. Aku tak mungkin<br />

bisa melupakan motor. Ya, aku selalu punya hubungan<br />

emosional dengan motor. Perasaan cinta yang tumbuh<br />

saat aku berusia dua-setengah tahun, saat ayah mengajakku<br />

naik minicross bahkan sebelum aku memiliki<br />

sepeda. Saat aku yakinkan kedua orangtuaku untuk<br />

mengizinkanku ikut balapan motor, ayah dan aku segera<br />

memikirkan keuntungan yang bisa didapat. Dan memang<br />

benar, kalau menyangkut motor, aku bisa mengatasinya.<br />

Ayah punya banyak kenalan yang siap membantu.<br />

Kesempatan selalu terbuka. Setelah berhasil<br />

meyakinkan ayah untuk menemui Misano dalam rangka<br />

uji coba motor Aprilia 125cc milik temanku, aku<br />

memutuskan akan ikut balapan. Beberapa bulan<br />

berikutnya, Februari 1993, aku akan genap berusia 14<br />

tahun, usia minimum untuk bisa ikut balapan kelas 125cc.<br />

Ayah harus segera bekerja. Beliau memanggil<br />

Virginio Ferrari, saling bicara sebagai teman sejati, hingga<br />

berakhir pada Cagiva.<br />

"Kami perlu motor buat Valentino, kamu bisa bantu<br />

nggak?" ayah bertanya kepada Virginio.<br />

"Tentu, aku akan membantumu," ujar Virginio yang<br />

langsung bicara kepada Castiglioni, pemilik Cagiva.<br />

"Kita mesti bantu anaknya Graziano itu," ujar


Virginio kepadanya.<br />

"Oke, akan kuusahakan nanti," jawab Castiglioni.<br />

la menempatkanku di timnya Claudio Lusuardi, tim<br />

inti motor Cagiva Sport Production. Lusuardi tak melarang<br />

anak kecil ikut balapan dengan timnya asalkan bersedia<br />

membayar sebagian pengeluarannya. Aku sangat<br />

berterima kasih kepada ayahku, Ferrari, Castiglioni dan<br />

Lusuardi, kami berhasil melakukan kesepakatan yang<br />

hebat. Kami membayar para mekaniknya juga biaya<br />

transportasi, sementara itu Cagiva bersedia menyiapkan<br />

motor dan suku cadangnya.<br />

Bagiku, hal itu merupakan solusi terbaik karena<br />

kejuaraan seri Sport Production adalah kompetisi yang<br />

penting, dari dulu memang demikian. Dan aku merasa<br />

begitu dihargai. Kembali ke soal motor 125cc yang mirip<br />

motor balap itu, itulah motor terbaik yang paling<br />

diharapkan seorang anak remaja. Suasana begitu meriah,<br />

jalan-jalan dan halaman parkir di sekolah-sekolah dipadati<br />

manusia, begitu juga jalur yang dipakai balapan karena<br />

kejuaraan Italian Sport Production memang sangat<br />

terkenal.<br />

Uji coba pertama dengan Cagiva 125, kami semua<br />

berkumpul di Niagione. Karena aku dilahirkan di Urbino,<br />

maka aku ditempatkan di zona C. Waktu itu ada begitu<br />

banyak pembalap yang ikut sehingga diperlukan<br />

pembagian menurut zona tersendiri. Terdapat empat<br />

zona: 0 meliputi daerah kepulauan, C untuk daerah<br />

selatan, B untuk Misano dan Mugello, sedangkan A<br />

mencakup Monza dan Varano. Aku tak keberatan berada<br />

di zona C karena levelnya tak setinggi di zona B, yang<br />

meliputi semua pembalap dari Emilia Romagna, dan zona<br />

A, dari belahan utara.<br />

Hari pertama balapan adalah awal dari peristiwa<br />

yang selalu akan kamu ingat secara detail. Demikian juga


diriku waktu itu, sebab sejujurnya, debutku memang tak<br />

mungkin terlupakan. Tidak aku tidak cepat. Dan aku tak<br />

bisa bercerita lebih banyak lagi tentang pertarungan<br />

dengan anak-anak lain saat itu, karena aku lebih<br />

disibukkan oleh masalah mengendalikan motorku sendiri.<br />

The Cagiva di Niagione itu lebih menyerupai The<br />

Aprilia di Misano. Besar dan berat. Kukenakan kostumku,<br />

sepatu boot, dan helm serta swung tangannya. Aku<br />

melompat di atas Cagiva, meninggalkan garasi, lewat jalur<br />

pit, lalu masuk jalur balapan. Sejauh itu, semuanya baikbaik<br />

saja. Kecuali aku sempat terjatuh begitu<br />

meninggalkan pit. Ada tikungan sempit ke kiri yang<br />

membuatku terjatuh. Di awal balapan yang sebenarnya,<br />

aku pernah jatuh saat berada di tikungan pertama pada<br />

lap awal (tak terhitung berapa lap yang telah kulewati<br />

bersama Aprilia). Saat itu ban-nya masih baru, masih<br />

dingin, lalu tiba-tiba aku terjatuh begitu saja.<br />

"Ya, ternyata lebih keras dari kelihatannya," ujarku<br />

dalam hati sembari menuju pit.<br />

Aku menjadi sedikit takut; sebenarnya, aku kecewa.<br />

Begitu teman-teman satu timku melihatku kembali ke pit<br />

dengan kepala tertunduk, bahu terkulai, fairing motor<br />

penyok semua, jelas bagiku apa yang sedang mereka<br />

pikirkan. Sambil membetulkan motor yang penyok itu,<br />

mereka biasanya mengatakan "Hati-hati!"<br />

Ayah juga merasa khawatir, sama seperti semua<br />

yang ada dalam tim. Aku kembali ke trek lagi, mengatasi<br />

rintangan pada tikungan pertama tadi, mulai mengatur<br />

gigi dan menekan gas. Namun, setelah enam putaran<br />

berikutnya, aku jatuh lagi. Ya, sekali lagi. Dan sebabnya<br />

juga sama seperti sebelumnya: setirnya tak bisa<br />

digerakkan.<br />

Begitulah, aku mempermalukan diriku sendiri sekali


lagi.<br />

"Jatuh dua kali dalam enam putaran!" hanya itu<br />

yang kuingat begitu kami pulang.<br />

Aku bisa cukup merasakan kalau timku mulai meragukan<br />

kemampuanku. Dan terus terang, memang<br />

demikian. Tak banyak lagi yang bisa kamu katakan selain<br />

awal yang payah.<br />

Masalahnya begitu kusadari beberapa tahun kemudian<br />

sepanjang karier awalku aku cenderung cepat<br />

memaksakan diri dan motorku diluar kewajaran, juga terburu-buru<br />

sebelum aku benar-benar bisa mengendalikan<br />

motornya dengan baik. Akibatnya, aku segera tersingkir<br />

dari trek. Hal itu juga terjadi pada debutku di kelas 250cc<br />

dan 500cc, juga waktu reli di Inggris, reli dunia<br />

pertamaku, aku tersingkir cepat. Lalu saat mencoba<br />

Ferrari F1, kami sempat selip pada tikungan awal. Jadi,<br />

aku kira memang begitulah awal-awal karierku meskipun<br />

sekarang ini aku tak tahu akan hal itu!<br />

Kami sering bertanya sendiri apa itu akan tetap terjadi<br />

lagi. Namun, semuanya telah disiapkan untuk musim<br />

balapan itu, kami punya jadwal dan program yang harus<br />

dilakukan, jadi kami tinggal jalan saja.<br />

Meskipun demikian, kalau kamu menduga aku<br />

terlalu cepat berubah, itu tidak benar. Hampir sepanjang<br />

musim pertama itu berlalu sebelum aku sempat melemah.<br />

Aku menempati urutan kesembilan pada balapan pertama<br />

di Magione. Dan begitu musim berlanjut, aku biasanya<br />

masuk sepuluh besar. Aku mulai bisa lebih cepat pada<br />

akhir musim itu, dalam balapan kualifikasi final untuk bisa<br />

masuk kejuaraan The Italian Production.<br />

Waktu itu diadakan di Binetto. Aku masuk babak<br />

kualifikasi, sehingga aku lebih fokus pada balapan itu<br />

sendiri. Aku menempati urutan keenam, cukup untuk


masuk babak final di Misano, dan itu sangat hebat<br />

menurutku: mungkin aku bisa diuntungkan karena berada<br />

di kandang sendiri...<br />

Rekan satu timku, Andrea Ballerini, naik motor inti<br />

Cagiva, sementara Roberto Locatelli, yang berebut gelar<br />

juara dengannya, memakai motor unggulan Aprilia.<br />

Mereka semua akan habis-habisan di balapan itu. Ballerini<br />

sebenarnya punya dua motor: yang pertama disiapkan<br />

oleh Lusuardi, yang kedua oleh Cagiva di Varese. Kedua<br />

motor tersebut dianggap motor "unggulan". Aku sendiri<br />

hanya punya satu motor, dan kebetulan sangat berbeda,<br />

tidak hanya dalam soal warna saja.<br />

Aku merasa Lusuardi suka denganku karena ia<br />

mengatakan kepada Ballerini untuk memilih motor mana<br />

yang akan dipakainya dari dua motor "unggulan" itu. Ia<br />

lebih memilih motor yang di tune-up di Varese, lalu Lusuardi<br />

menawariku memakai yang satunya lagi. Dengan<br />

demikian, aku memperoleh kesempatan. Aku akan memakai<br />

motor "unggulan". Dengan motor itu, aku memenangi<br />

pole position. Tak bisa kupercaya karena pada kualifikasi<br />

sebelumnya, aku lebih lambat dibanding saat balapannya<br />

sendiri. Lalu aku menempati pole position, di atas Locatelli<br />

yang menempati urutan kedua, dan Ballerini di tempat<br />

ketiga, dua orang pesaingku. Dan aku akan akan<br />

mengalahkan mereka!<br />

Namun, bukan itu yang terjadi kemudian. Aku<br />

terlalu bersemangat sampai-sampai mengacaukan startnya<br />

sehingga aku jatuh di urutan kedua puluh. Tapi, aku<br />

bisa memenangi balapan yang hebat itu meski berada di<br />

urutan ketiga. Aku tak bisa mengalahkan Locatelli dan<br />

Ballerini, namun aku masih bisa naik ke podium bersama<br />

mereka. Aku benar-benar senang. Bagiku, balapan waktu<br />

itu merupakan pengalaman pertama yang sangat mendebarkan.<br />

Aku bersyukur atas apa yang telah kulakukan


di sana, di Misano, tempat yang selalu menakjubkan<br />

bagiku. Musim berikutnya, dari pengalaman di Misano,<br />

aku bisa memenangi balapan. Memang perlu beberapa<br />

saat bagiku untuk bisa cepat. Namun, begitu aku tahu<br />

caranya, aku bisa langsung menjadi cepat. Sangat cepat.<br />

Seperti itulah awal-awal karierku.<br />

Dulu aku tak pernah menyangka hal itu bisa menjadi<br />

sebuah karier, namun begitu selesai balapan di Misano<br />

tahun 1993, aku menjadi pembalap resmi Cagiva untuk<br />

musim tahun 1994. Dan prospeknya memang sangat baik,<br />

terutama ketika tiga orang pembalap pesaingku dulu<br />

pindah ke kejuaraan GP. Dan meskipun aku ikut balapan<br />

hanya untuk senang-senang, ayahku, Graziano memprogramkan<br />

kegiatanku secara profesional. Hal itu bagus<br />

karena banyak sekali membantuku. Dalam hal tertentu,<br />

ayah bisa terlihat menonjol. Beliau memiliki ide yang cemerlang:<br />

mendaftarkan diriku pada event Italian GP dan<br />

kejuaraan Sport Production. Aku bersaing di dua kejuaraan<br />

sekaligus.<br />

Karena kejuaraan Sport Production hanya bersifat<br />

roadbike, sangat berbeda dengan balapan GP, ayah<br />

berpikir aku akan buang waktu saja ikut sendirian setahun<br />

lagi di seri Sport Production. Beliau mau aku mencoba<br />

pengalaman di motor GP, motor yang beberapa tahun<br />

kemudian aku naiki. Begitulah harapan kami.<br />

Ayah telah ikut beberapa kejuraan dunia, hal itu<br />

membuat visinya ke depan tajam. Beliau telah mempertimbangkan<br />

semuanya. Aku akan rnernakai motor<br />

Sandroni 125. Motor yang sebagian besar hasil polesan<br />

tangan penggemar motor dari Pesaro dan Tavullia, yang<br />

dikomandani Peppino Sandroni, orang yang bisa menggalang<br />

sponsor lokal.<br />

Tim Sandroni tersebut punya mesin Rotax-Aprilia,<br />

sementara kerangkanya dirancang oleh Guido Mancini,


mekanik dari Pesaro yang pernah bekerja untuk ayahku.<br />

la dan ayah berteman baik dan bersama-sama merencanakan<br />

karier balapku. Memang agak menyita banyak<br />

waktu karena aku mesti ikut empat balapan regional<br />

ditambah empat lagi di seri Sport Production, juga lima<br />

event lagi di kejuaraan GP. Kejuaraan GP waktu itu<br />

kebetulan berlangsung pada awal tahun sehingga kami<br />

bisa lebih berkonsentrasi padanya.<br />

Motor-motor yang dipakai sangat berbeda satu sama<br />

lain; aku bisa tahu itu karena begitu aku terbiasa dengan<br />

salah satunya, aku langsung kehilangan sensitivitas<br />

terhadap yang lainnya. Lusuardi menjadi kurang senang.<br />

la merasa aku akan mendapat masalah serius nantinya.<br />

Namun akhirnya kami berhasil.<br />

Semua targetku tercapai: menang dalam seri Sport<br />

Production sembari belajar di event GP. Gagasan ayah<br />

memang berhasil gemilang. Aku berhasil bersaing dengan<br />

Locatelli, Ballerini, Ornarini, Cremonini, dan pembalap<br />

ternama Sport Production lainnya yang pindah ke GP. Lalu<br />

di tahun 1995 saat aku pindah ke kejuaraan Eropa, aku<br />

menjadi terbiasa dengan motor sejenis itu. Aku memang<br />

baru mulai, namun aku sudah pakar dalam hal itu.<br />

Memang aku sempat beberapa kali mengalami<br />

masalah dengan motor Sandroni itu. Di Monza, aku<br />

berada di urutan keempat belas; di Vallelunga aku sempat<br />

terjatuh; namun begitu mencapai final, kami menjadi lebih<br />

baik berkat Aprilia yang mendongkrak kinerjaku. Di<br />

Misano, balapan yang keernpat, tim Italia menjadi<br />

benchmark-nya. Locatelli, Ballerini, dan Cremonini<br />

bergerak cepat dan mereka punya motor yang hebat juga.<br />

Mereka diunggulkan, namun aku bisa menempel ketat di<br />

belakang mereka, di urutan keempat, setidaknya sebelum<br />

motorku mogok. Kemudian di Mugello, kami bersaing<br />

dengan para juara dunia, termasuk Gabriele Debbia.


Sepanjang balapan itu, aku selalu berada di dekatnya dan<br />

berakhir di urutan kelima. Bagiku, saat itu, kesempatan<br />

ikut balapan bersama juara dunia bagaikan mimpi saja.<br />

Seri Sport Production tahun itu memang berat di<br />

dalam sirkuit namun menyenangkan begitu berada di<br />

luarnya. Akhirnya kumenangi gelar Italia, meski aku harus<br />

berjuang mati-matian hingga mencapai finish. Musuh<br />

terberatku waktu itu adalah Paolo Tessari, baik di kategori<br />

regional maupun final.<br />

Pada awal balap regional, aku dan Tessari bertarung<br />

dalam babak yang akan selalu kuingat dalam karier balapku<br />

yang menyenangkan, meskipun waktu itu aku kalah.<br />

Aku dan dia saat itu berada di depan meninggalkan yang<br />

lainnya, dalam dua lap terakhir, kami kejar-mengejar<br />

bergantian. Dia memakai Aprilia, sedangkan aku naik<br />

Cagiva. Sebelum finish, aku sempat mendahuluinya pada<br />

tikungan terakhir, namun tiba-tiba setangnya macet, lalu<br />

aku terjatuh! Aku sebenarnya sudah tahu kalau akan<br />

gagal. Kusadari hal itu begitu aku menyalipnya. Aku<br />

terlampau memaksakan diri sehingga terhempas keluar<br />

dari lintasan. Namun, sudah kucoba semua karena itu<br />

adalah persaingan yang sehat; kami berdua berusaha<br />

melakukan yang terbaik.<br />

Kemudian aku mendapatkan Cagiva baru (pada a-<br />

walnya kami masih menggunakan model tahun sebelumnya),<br />

lalu aku berhasil menang pada kejuaraan regional<br />

kedua di Misano. Dan itulah kemenangan perdanaku pada<br />

kejuaraan balap motor. Aku mengenakan nomor 26.<br />

Sementara itu Tessari memenangi dua kejuaraan regional<br />

sisanya, dan kami maju ke babak final. Namun, akhirnya<br />

akulah yang menang, menyusul balapan terakhir dan<br />

debat dengan Cruciani, yang berlangsung berbulan-bulan.<br />

Dunia Sport Production memang menyenangkan<br />

meski kecil ruang lingkupnya. Aku selalu mengingatnya.


Lingkungan yang agresif kami semua menjadi hiperaktif<br />

namun semua itu benar-benar "nyata". Babak finalnya<br />

begitu intens karena kamu harus mengeluarkan segala<br />

kemampuanmu hingga balapan berakhir dan pesta<br />

kemenangan dimulai. Semuanya perlu perhitungan<br />

matang. Setiap babak adalah pertarungan.<br />

Meskipun demikian, kami santai saja di paddock.<br />

Memang begitulah kami waktu itu: bersahabat baik.<br />

Mungkin tak dalam segala hal, namun apa yang kami<br />

lakukan lebih mirip dengan sahabat baik. Bukan hanya<br />

kebetulan kalau hingga hari ini pun tetap kuingat<br />

keakraban itu dan aku bernostalgia tentang balapanbalapan<br />

yang pernah kami lewati, juga petualanganpetualangan<br />

bersama mereka, baik sebagai lawan di trek<br />

balapan maupun teman di luar sirkuit.<br />

Tak perlu dikatakan lagi kalau kejuaraan dunia<br />

tidaklah seperti itu. Aku sendiri tak tahu apa aku telah<br />

berubah, namun hubungan dengan sesama pembalap<br />

sekarang ini berbeda. Paddock sudah kosong jam 11<br />

malam. Tak seorang pun terlihat di sana, kami semua<br />

mengurung diri di motorhomes, tak ada yang keluar,<br />

bicara pun tidak. Rasanya mustahil menjalin persahabatan<br />

antara sesama pembalap di sana, mau bercanda atau<br />

bicara pun susah. Semua dibatasi; paling-paling kami<br />

hanya bisa menggangguk atau menyapa hello. Tak lebih<br />

dari itu, meski kami tinggal berdekatan, meski kami sudah<br />

saling kenal bertahun-tahun, meski pernah saling bertemu<br />

dalam banyak kesempatan yang menyenangkan.<br />

Sport Production benar-benar berbeda. Dan jauh<br />

lebih baik lagi. Aku ingat betul saat-saat final di sana,<br />

karena kami begitu istimewa. Kamu akan melihat berbagai<br />

pembalap dengan bermacam gaya, dan kamu bisa<br />

langsung tahu siapa-siapa yang datang dari lain daerah.<br />

Mereka yang dari Zona A, Lombardia, cenderung lebih


percaya diri dan tampil modis.<br />

Pada babak finalnya, aku ketemu Marco Dellino dari<br />

Bari, lalu kami jadi akrab, sama akrabnya dengan Diego<br />

Giugovaz dari Milan. Dia juga teman baikku. Dan tak<br />

ketinggalan Paolo Tessari: kami bertarung dalam<br />

beberapa kesempatan, namun kami tetap berteman baik.<br />

Ke mana pun pergi, kami sering membuat ulah. Akulah<br />

yang paling muda, namun itu tak jadi masalah. Malamnya,<br />

pada musim panas itu, kami berperang dengan bom air.<br />

Lalu menjelang dini hari, kami berdua naik sekuter<br />

(dengan mesin yang sudah dimodifikasi tentunya) kejarkejaran<br />

di trek balapan, semacam balapan pada malam<br />

hari.<br />

Kami balapan tanpa lampu motor karena takut<br />

ketahuan. Hanya sinar rembulan yang menerangi kami.<br />

Dan malam itu, langit sedang mendung sebenarnya,<br />

namun tak masalah karena kami ‘kan sudah tahu selukbeluk<br />

sirkuit itu. Kami adalah kelompok pembalap hebat<br />

yang memenangi kejuaraan Eropa, pergi ke luar negeri<br />

dengan cara yang aneh. Makan-makan di restoran lalu<br />

pergi begitu saja tanpa membayar, begitu juga kalau kami<br />

menyewa mobil.<br />

Begitu pagi menjelang, kami mulai bersiap; segalanya<br />

berubah. Kami jadi menjaga jarak dan individualis.<br />

Tak ada yang dapat diskon, tak ada yang dapat bonus.<br />

Kamu harus bertarung sendiri. Pada final pertama,<br />

mesinku mogok hingga Tessari-lah yang menang. Piston<br />

pada Cagiva itu bermasalah, tetapi berhasil kami perbaiki<br />

kemudian. Aku masih beruntung sebenarnya karena,<br />

selain Tessari, semua pembalap sempat terjatuh.<br />

Di Mugello, balapannya terlihat lebih sengit. Ada lima<br />

belas pembalap, semua bersaing ketat, dari start<br />

hingga finish, antara lain Tessari, Cruciani, Dellino, Goi,<br />

Giugovaz. Hingga di garis finish, setelah banyak yang


erjatuhan dan bertabrakan, Borsoi-lah yang menang,<br />

sementara aku ada di posisi kedua. Balapan selanjutnya di<br />

Monza, aku berhasil menang, yang artinya masuk final di<br />

Misano dalam persaingan empat pembalap: Tessari,<br />

Cruciani, Borsoi, dan aku sendiri. Aku diuntungkan karena<br />

berada di kandang sendiri. Pada lap terakhir, aku berhasil<br />

masuk urutan kedua saat berada di tikungan Brutapela.<br />

Aku sebenarnya bisa menang total, namun tanpa<br />

kusadari, Cruciani yang menempelku ketat tak mengerem<br />

sama sekali begitu sampai di tikungan itu, akibatnya<br />

motor kami saling bersenggolan, oleng, namun ia berhasil<br />

melaju stabil lagi di depanku hingga berhasil masuk<br />

urutan kedua, sedangkan aku berada di tempat ketiga. Itu<br />

berarti, dialah yang merebut gelar juara.<br />

Kejuaraan Sport Production tersebut tak berakhir<br />

begitu saja. Begitu selesai balapan, terjadi perkelahian:<br />

saling mendorong, mencaci, saling menyalahkan. Akhirnya<br />

Cruciani terpaksa didiskualifikasi.<br />

Hasilnya, akulah yang dinobatkan sebagai juara<br />

Italian Sport Production.


5<br />

CAPITOLO CINQUE<br />

DI SEKOLAH, guru-guru paling suka membuat<br />

pernyataan yang memojokkan, sejenis pernyataan yang<br />

berat dan susah-susah. Mereka suka menilai dirimu,<br />

terutama kalau kamu masih sangat muda dan belum<br />

percaya diri atau merasa yakin akan dirimu sendiri.<br />

Sejujurnya, waktu aku kecil, aku tak memiliki masalah<br />

dengan rasa percaya diri, namun dunia sekolah dan aku<br />

tidak berjalan selaras. Aku tak tertarik berada di sana.<br />

Guru-guru sudah tahu hal itu sejak awal, sehingga<br />

mereka seenaknya menilai dan meramalkan hari depanku<br />

yang buruk, yang di kemudian hari ternyata tak berbukti<br />

sama sekali dan meleset jauh. Aku sangat bersyukur akan<br />

hal itu.<br />

Komentar paling keras salah satunya datang dari guru<br />

sejarah kesenianku, ia mengatakan: "Kamu yakin kalau<br />

berkutat terus dengan motor konyol itu kelak kamu bisa<br />

cari makan?"<br />

Pertanyaan yang sinis waktu itu kini malah membuatku<br />

tersenyum. Sudah kupikirkan masak-masak hal itu<br />

sepanjang karierku. Sebab, kupikir ada satu hal yang<br />

mungkin bisa disepakati oleh para pengkritikku: aku pasti<br />

susah payah mencari nafkah dengan ikut balapan, bukan?<br />

Masih saja kupikirkan apa yang pernah dikatakan guru<br />

sejarahku dulu pada bulan Mei 2005, saat aku meraih<br />

gelar kehormatan dalam bidang komunikasi di Universitas<br />

Urbino.<br />

Aku pikir komentar guruku menggambarkan<br />

sebagian kecil saja dari diriku. Pelajaran kesenian


mungkin bidang yang kurang kusukai, sama seperti<br />

matematika. Bukan salah gurunya, namun aku memang<br />

tak tahan belajar sejarah kesenian. Akibatnya, aku tak<br />

bisa menjadi murid terbaik dan aku memang bukan yang<br />

terbaik dalam hal memerhatikan pelajaran di kelas. Lalu<br />

guru sejarahku itu menjadi marah begitu ia tahu aku tak<br />

tertarik oleh pelajarannya. Karena begitu jengkelnya, ia<br />

lalu serta-merta memprediksikan hal yang tak akurat<br />

sama sekali.<br />

Memang itulah gayaku. Aku berusaha membela diri<br />

dari tekanan guruku yang tak pernah senang menyambut<br />

"selamat datang di rumah!" begitu aku kembali dari balapan<br />

di luar negeri, biasanya setelah bolos beberapa hari.<br />

"Kemana kamu selama seminggu ini?" salah seorang<br />

guru bertanya kepadaku, sekembalinya aku dari<br />

perjalanan panjang di Spanyol.<br />

"Aku ikut balapan di Spanyol!" jawabku, berusaha<br />

mengatakan dengan penuh semangat. "Aku berhasil<br />

menjadi juara tiga di Jarama."<br />

Sebenannya, balapan di sana itu hebat sekali.<br />

Bagian dari seri kejuaraan terbuka Ducados, seri utama di<br />

Spanyol. Ikut balapan di sana merupakan kesempatan<br />

emas karena melibatkan banyak pembalap Spanyol<br />

ternama, termasuk mereka yang pernah menjadi juara<br />

dunia. Banyak hal kupelajari dari seri Ducados itu dan aku<br />

begitu bangga bisa naik ke podium pada akhirnya, karena<br />

memang sangat cepat. Juara pertamanya Alzarnora,<br />

kedua ditempati Marinez, dan ketiga aku sendiri, membanggakan<br />

sekali karena aku masih muda dan belum<br />

berpengalaman dibanding kedua pembalap kelas dunia<br />

itu.<br />

Namun, guruku masih saja belum terkesan. Kurasakan<br />

hal itu dari nada bicaranya yang terkesan kasar.


"Oh...hebat sekaliii!" ujarnya. "Teruskan saja<br />

liburanmu, terus saja ikut balapan...teruskan saja<br />

bersenang-senang, gak usah mikirin belajar!"<br />

Untungnya, tak satu pun ramalan guru-guru sekolah<br />

menengahku menjadi kenyataan. Aku berhasil meraih<br />

prestasi dalam satu atau dua bidang studi. Meski aku sadar<br />

juga kalau di sekolah aku memang bukan murid<br />

teladan.<br />

Salahku sendiri kenapa suka motor. Itulah yang makin<br />

membuatku jarang masuk sekolah. Dalam beberapa<br />

tahun itu, aku sempat ikut balapan di Italia dan Eropa.<br />

Maksudku musim tahun 1994 hingga 1995. Aku balapan<br />

motor dan sesekali jalan-jalan naik sekuter. Tahun 1995<br />

itulah awalku memulai kompetisi di luar negeri dan bolos<br />

sekolah cukup lama jauh dari rumah juga sekolahku<br />

dalam waktu yang relatif lama, seminggu penuh.<br />

Aku juga tak jarang terjatuh, lalu kembali dengan<br />

badan babak belur. Sekitar tahun itu juga, aku mendapat<br />

lawan yang tangguh, Lucio Cecchinello. Ia memakai Honda<br />

dengan perangkat HRC: ia cepat, namun kuakui juga<br />

kalau ia memang terampil naik motor, gayanya berbeda<br />

dariku. Untuk mengimbanginya, aku berani mengambil<br />

risiko besar dan nekad. Ia telah banyak memenangi<br />

balapan. Sebaliknya, aku hanya sempat naik podium<br />

beberapa kali saja, dan aku tak pernah menempati juara<br />

pertama pada musim itu.<br />

Aku tak akan bisa lupa saat aku sempat terjatuh<br />

karena ingin menempelnya. Waktu itu di Assen, Belanda,<br />

dan kelingking kiriku terluka, tak pernah sembuh total<br />

sebenarnya. Waktu itu, aku rnelesat lebih cepat dibanding<br />

dia, dan pada satu kesempatan, kulibas dia, namun ia<br />

memotongku tiba-tiba, lalu kami berbenturan sehingga<br />

aku terjatuh. Demikianlah, tiap kali kulihat luka di jari itu,<br />

aku akan langsung teringat Cecchinello. Dan aku juga jadi


ingat komentar yang selalu sama dari guru-guruku begitu<br />

mereka melihatku kembali dari balapan di luar negeri<br />

penuh dengan bekas luka.<br />

"Apa kamu tak pernah sadar telah melukai dirimu<br />

sendiri gara-gara motor konyol itu?" ujar mereka senada.<br />

"Sudahlah, berhenti balapan, fokus ke sekolahmu saja, itu<br />

pilihan yang lebih baik."<br />

Aku bukan anak yang populer waktu itu. Aku anak<br />

Graziano Rossi, yang kebetulan suka motor. Hanya itu.<br />

Lucu juga sebenarnya karena di kelasku ada juga seorang<br />

anak yang sehari-harinya main bola terus. Sedemikian<br />

sibuknya sehingga dia sering bolos sekolah, namun tak<br />

seorang guru pun berkomentar apa-apa atas ulahnya...tak<br />

seorang pun yang melarang atau menyuruhnya berhenti<br />

main bola kemudian memintanya lebih giat belajar.<br />

Kupikir balapan motor memang olahraga yang dipandang<br />

lebih "rendah"...<br />

Aku sempat sekolah di Liceo Marniano, di Pesaro,<br />

sekolah menengah khusus bahasa asing. Tiap minggu<br />

para siswanya berkesempatan satu hingga dua jam<br />

mengikuti konsultasi bebas tentang masalah yang mereka<br />

hadapi di sekolah. Terus terang saja, aku tak tertarik<br />

dengan apa yang kualami di sekolah. Aku tak peduli sama<br />

sekali. Namun, aku berupaya keras meyakinkan mereka<br />

semua untuk membuat perkumpulan mingguan setiap hari<br />

Rabu. Kenapa mesti hari Rabu? Karena pada hari itu terbit<br />

majalah kesukaaanku MotoSprint. Sehingga saat kami<br />

membicarakan makan siang, kamar mandi, atau<br />

kurikulum, aku diam-diam menikmati majalah itu,<br />

halaman demi halaman.<br />

Cukup jelaslah kalau aku tak akan berlama-lama<br />

mengejar karier akedemik. Aku orangnya lambat dan<br />

cepat bosan. Lalu begitu aku mulai ikut balapan dan<br />

menjadi semakin sibuk, semakin sering berbenturan


dengan tugas sekolah, aku merasa harus segera membuat<br />

keputusan. Dan aku memilih ikut balapan. Aku memilih<br />

dunia olahraga. Aku sudah mantap dengan pilihan itu.<br />

Selain itu, musim awal tiga balapan berlangsung di<br />

kawasan Timur Jauh: Malaysia, Indonesia, dan Jepang.<br />

Waktunya seminggu berturut-turut dan aku sadar kalau<br />

dampaknya aku tak bisa masuk sekolah hingga sebulan<br />

atau lebih. Guruku sudah membuat ketentuan yang tegas<br />

kalau takkan bisa menoleransi absen untuk jangka waktu<br />

selama itu, apalagi untuk sepanjang musim semi. Karena<br />

itu aku ingin membicarakannya dengan kedua orangtuaku.<br />

Kami lalu memutuskan masalah itu bersama karena aku<br />

sudah sering absen sekolah, sehingga pada akhir tahunnya<br />

aku akan mengulang lagi. Karena itu aku<br />

memutuskan untuk berhenti sekolah saja.<br />

Memalukan juga sebenarnya karena aku tak pernah<br />

bisa mendapat ijasah sekolah menengah. Namun, aku tak<br />

begitu merasa kehilangan karena keputusan itu. Lucu<br />

memang, bahkan setelah berhenti sekolah, tiga atau<br />

empat tahun kemudian, aku tiba-tiba suka bangun pagi,<br />

dan seolah-olah tak mendengar weker berbunyi, aku<br />

bergegas-gegas untuk pergi ke sekolah.<br />

Begitu aku memutuskan untuk terjun dalam dunia<br />

balapan, aku juga ingin total berkonsentrasi, setidaknya<br />

dalam hal berjuang. Pengalaman pertamaku dengan event<br />

kejuaraan dunia dimulai di awal tahun 1996, dalam se<br />

rangkaian uji coba di Jerez. Aku terkesan oleh beberapa<br />

pembalap di sana. Mereka begitu cepat. Kazuto Sakata<br />

sungguh menakjubkan, namun pembalap lainnya ketat<br />

menguntit di belakangnya.<br />

Itu memang sangat berat bagiku. Selama uji coba<br />

musim dingin itu aku bisa mengerti sebaik apa kualitas<br />

para pembalap kelas dunia tersebut. Dunia yang berbeda.<br />

Bagaimanapun juga, ikut balapan dalam kejuaraan


Eropa tahun 1995 sangat membantuku. Itulah kali<br />

terakhir balapan itu berlangsung, bersamaan dengan<br />

kejuaraan dunia European Grand Prix, dan itu membawa<br />

dua keuntungan besar bagiku. Pertama, aku bisa tahu<br />

trek yang dipakai dan tak ada masalah. Kedua, aku bisa<br />

berhadapan langsung dengan pembalap kelas dunia,<br />

mempelajari gaya mereka, keputusan penting yang<br />

mereka ambil selama dalam trek balapan, dan cara<br />

mereka menghadapi tikungan. Pendek kata, aku mencoba<br />

memahami mengapa mereka lebih cepat daripada kami<br />

para pembalap sirkuit Eropa. Memang agak repot karena<br />

aku mesti memerhatikan catatan waktu mereka, lalu aku<br />

membandingkannya dengan catatan waktuku sendiri,<br />

kemudian melihat seberapa jauh aku tertinggal. Beberapa<br />

kali aku bahkan lebih lambat empat detik per lap-nya.<br />

Namun sekarang aku punya standar acuan, target yang<br />

mesti kucapai.<br />

Musim tahun 1995 itu, aku melaju cepat sekali dalam<br />

kejuaraan Italia, yang dengan mudah kumenangi.<br />

Sirkuit Eropa bagaimanapun juga jauh lebih berat. Aku<br />

sempat terjatuh beberapa kali, dan terpaksa sedikit<br />

lambat akibat cidera pada pergelangan tanganku saat<br />

latihan motocross. Akhirnya aku menempati urutan ketiga.<br />

Dan modal itu cukup untuk ikut kejuaraan dunia.<br />

Musim gugur saat itu, direktur olahraga Aprilia<br />

mengontakku melalui Carlo Pernat. Mereka punya<br />

beberapa sponsor dan siap dengan tim mereka untuk<br />

musim 1996. la menginginkan dua motor dalam dua kelas<br />

berbeda: Luca Boscoscuro dipercaya membawa 250cc,<br />

sedangkan yang 125cc diberikan kepadaku. Sacchi<br />

memang jago mengorganisasikan banyak hal dan ia<br />

mempunyai kelompok yang handal. Kami dikenal sebagai<br />

tim AGV karena itulah sponsor utamanya. Aldo Drudi yang<br />

berbakat menangani seragam yang mengesankan:


wamanya kuning, biru, dan hitam. Aprilia memberiku<br />

motor "unggulan"-nya dari tahun sebelumnya, sama<br />

seperti yang pernah dipakai Perugini. Mauro Noccioli,<br />

insinyurku, yakin bisa membuat motor itu "terbang". Kami<br />

tim yang hebat. Dan kami merasa senang pada musim<br />

tahun 1996 itu. Aku benar-benar senang waktu itu. Akulah<br />

yang paling ugal-ugalan waktu itu. Aku menjadi seperti<br />

hama yang paling merugikan. Aku tak menghormati siapa<br />

pun begitu ada di trek balapan. Bagiku semuanya sama<br />

saja, tak ada bedanya mantan juara yang berebut gelar<br />

juara, atau orang yang baru merintis karier seperti diriku<br />

ini. Aku hanya ingin melesat cepat, sangat cepat, dan<br />

kalau aku melihat peluang, masuklah aku ke situ. Aku<br />

ingin mendahului siapa pun juga, dengan segala<br />

konsekuensinya. Dengan kata lain, aku membuat orang<br />

menjadi tak tenang.<br />

Aku memang cepat, namun aku membuat<br />

kesalahan. Terlampau sering aku kehilangan kesempatan<br />

menempati urutan yang layak. Kupikir aku telah jatuh<br />

lima belas kali atau lebih pada musim waktu itu. Pada<br />

awal balapan, aku sempat adu mulut dengan Jorge<br />

Martinez. Waktu itu kami ada di Shah Alam, Malaysia.<br />

Aku mengawali debutku dan menempati baris ketiga. Aku<br />

mulai bergerak bagus dan entah bagaimana, aku berada<br />

bersama pembalap lain di depan. Melaju dengan<br />

kecepatan sedang antara posisi ketujuh dan kedelapan.<br />

Dirk Raudies berada di depanku dan Martinez tepat di<br />

belakangku. mesin Raudies tiba-tiba mogok, dan karena<br />

ingin menghindarinya, aku mengerem mendadak,<br />

bergerak menghindar. Martinez tak bisa menghindariku, ia<br />

menabrakku, lalu terjatuh.<br />

Tahun itu, Martinez yang mengendarai motor "unggulan"<br />

Aprilia memang sangat dijagokan meraih juara.<br />

Aku hanya mengecewakan satu dari jagoan-jagoan itu,


salah satu "momok" kejuaraan dunia. Aku hanya masuk<br />

urutan keenam, namun aku sudah cukup puas. Semua<br />

temanku juga puas, kami lalu merayakannya.<br />

Lalu tiba-tiba muncul di depanku Martinez dan Angel<br />

Nieto.<br />

"Brengsek kamu!" mereka berteriak. "Kami akan<br />

menghajarmu."<br />

Kupikir mereka tak suka denganku. Lalu aku berlindung<br />

di balik salah seorang mekanik berbadan besar<br />

dan menjadikannya perisai yang aman. Kedua orang<br />

Spanyol yang terlihat sangat marah itu seolah siap<br />

memukulku, untung badan mekanik yang besar itu<br />

berguna melindungiku dari kemarahan dua orang itu.<br />

Tetapi, aku malah jadi menikmati peristiwa itu, tak takut<br />

lagi. Dua orang tadi benar-benar geram, namun mereka<br />

justru terlihat lucu, orang yang pendek badannya akan<br />

terlihat sangat lucu saat mereka marah. Keduanya<br />

memang berbadan kecil pendek, tak menakutkan sama<br />

sekali. Aku tak khawatir sama sekali terhadap mereka.<br />

Aku masih saja berbuat salah dan tak<br />

menyelesaikan target sebagaimana harapanku. Namun,<br />

aku berhasil meraih juara dunia pada musim itu, di Brno,<br />

Republik Czech. Waktu itu situasinya berbalik karena<br />

keterampilan balapku semakin terkendali.<br />

Tentu tidaklah secepat membalikkan telapak tangan.<br />

Masih sempat terjadi juga masalah dengan anggota tim<br />

lainnya, khususnya soal gaya balapanku. Aku ingat<br />

kejadian di event Assen, yaitu Grand Prix Belanda, saat<br />

aku mulai dengan ban tipe menengah di urutan kedua<br />

puluh; sesaat setelah start, aku melaju kencang seperti<br />

orang kesetanan, menyalip setiap orang pada setiap<br />

tikungan tunggal, lalu menjelang akhir lap kedua, aku<br />

menempati urutan ketiga. Aku masih belum puas juga,<br />

aku ingin posisi nomor satu. Lalu aku memaksakan


motorku melesat sekuat dan secepat mungkin. Namun,<br />

pada satu kesempatan terakhir di "trek berbentuk S",<br />

rodaku selip ke garis batas putih, dan terjungkal.<br />

Sacchi dan Noccioli sudah memerhatikan hal itu.<br />

Mereka memanggilku masuk ke kantor Sacchi.<br />

"Begini ya, kita tak bisa lagi memakai cara seperti<br />

tadi," Sacchi mulai bicara, aku terdiam hanya<br />

menyimaknya. "Jika kamu disiplin, kamu bisa berhasil<br />

sebab kamu 'kan tahu bagaimana bergerak cepat, tapi<br />

kamu harus bisa menahan diri.”<br />

Kupikir sudah selesai masalahnya, namun ternyata<br />

ia belum selesai bicara.<br />

"Kamu mesti bisa memilih ingin menjadi seperti<br />

apa," tambah Sacchi."Kalau kamu teruskan gaya seperti<br />

itu, paling banter kamu akan menjadi seperti [Kevin]<br />

Schwantz...tapi kalau kamu bisa sedikit tenang dan<br />

disiplin, well, kamu bisa jadi akan seperti Biaggi!"<br />

Aku merasa tak enak, namun aku diam saja. Aku<br />

hanya berpikir sendiri: "Seperti Biaggi? Mana mungkinlah!<br />

Aku lebih suka menjadi seperti Schwantz..."<br />

Namun tentu saja aku tak mengatakan hal itu<br />

kepadanya.<br />

Saat itu, diplomasi masih berupa barang asing bagiku.<br />

Aku mengatakan apa pun yang ada di benakku. Aku<br />

bicara terus-terang terutama dalam hal-hal tertentu. Dan<br />

aku tak mampu membedakan-nya. Misalnya, aku tak tahu<br />

mesti bagaimana menghadapi media sehingga aku<br />

dihadapkan pada situasi yang memalukan. Aku menilai<br />

orang tanpa benar-benar berpikir hati-hati terlebih dulu.<br />

Kadang-kadang para wartawan datang berkata kepadaku,<br />

"Hey, apa kamu tak tahu kalau pembalap ini dan itu<br />

menjelek-jelekanmu?"<br />

Dan aku tak bisa diam saja. Aku selalu cepat


menanggapinya. Mereka tertawa dan suka dengan<br />

komentarku sebab reaksiku selalu menjadi bahan yang<br />

penting bagi mereka. Aku jadi ikut tertawa juga. Namun,<br />

begitu mereka selesai tertawa, mereka pergi begitu saja<br />

dan segera menulis di komputer mereka apa pun yang<br />

pernah kukatakan tadi, lalu segera terbit beritanya di<br />

koran.<br />

Aku terlalu spontan. Terlalu blak-blakan. Itulah awal<br />

dari perseteruan panjangku dengan Biaggi.


6<br />

CAPITOLO SEI<br />

PERSETERUANKU dengan Max Biaggi berawal di tahun<br />

2000, begitu aku naik di kategori 500cc. Lebih tepatnya,<br />

perseteruanku dalam trek balapan dengan Biaggi berawal<br />

di tahun 2000. Sebenarnya, kejadiannya bermula pada<br />

tahun 1996, di paddock. Namun, sejak tahun 2000 kami<br />

bersaing sengit, dalam setiap balapan yang kami ikuti.<br />

Biaggi dan aku jarang sekali bicara. Maksudku, kami<br />

memang tak pernah mengobrol, sebaliknya kami biasa<br />

saling mengejek dan menjelekkan dengan cara apa pun.<br />

Aku sebenarnya tak membencinya. Kami memang bukan<br />

dua orang sahabat, namun rasa tak suka adalah hal yang<br />

berbeda, dan itu sangat mencerminkan hubungan kami<br />

berdua. Memang seperti itulah. Kami saling bersikap<br />

antipati. Tak bisa dielakkan lagi kalau itu akibat dari cara<br />

kami mencari penghasilan, juga kenyataan adanya<br />

persaingan untuk selalu menang dalam setiap kesempatan.<br />

Dan bisa jadi itu karena kami memiliki kepribadian<br />

yang berbeda dan pandangan yang tak sama dalam<br />

menilai sesuatu. Bagaimanapun juga, aku tak setuju itu<br />

menjadi alasan kami saling membenci seperti yang sering<br />

diberitakan para wartawan. Kupikir aku baru akan benarbenar<br />

membenci seseorang kalau ia melakukan tindakan<br />

yang lebih buruk dari yang Biaggi pernah lakukan.<br />

Misalnya, kalau ada yang mengkhianatiku, barulah aku<br />

akan membencinya.<br />

Namun, Biaggi tak akan mengkhianati persahabatan<br />

kami karena alasan sepele, yaitu karena kami bukan dua<br />

orang sahabat. Hubungan kami sudah jelas: kami<br />

bersaing di trek balapan di luar itu lain lagi ceritanya.


Kamu bisa mengatakan kami baik-baik saja. Tak selalu<br />

sebaik itu sebenarnya, karena kami pernah harus<br />

berkelahi betulan.<br />

Hal itu terjadi di Barcelona tahun 2001, tahun saat<br />

hubungan kami memburuk. Komentar pedas dan sedikit<br />

cemooh menjadi bahan utama perseteruan, lalu saat aku<br />

ikut kelas 500cc, persaingan kami terbawa hingga di trek<br />

balapan. Kami berusaha saling memancing emosi.<br />

Kalau kamu ingin tahu siapa duluan yang mulai,<br />

akulah yang kali pertama memulainya. Namun, dialah<br />

yang tak mau menghentikannya, bahkan semakin sengit.<br />

Aku memang dikenal sebagai orang yang suka berbuat<br />

onar, suka berkelahi, fisik maupun nonfisik. Perangaiku<br />

semacam itu timbul terutama karena saat mengawali<br />

karierku di kejuaraan dunia, aku selalu memanasi-manasi<br />

Biaggi. Dan waktu itu, Biaggi adalah pembalap yang tak<br />

terkalahkan, rajanya balap motor, sementara aku bukan<br />

apa-apa.<br />

Lucunya, beberapa tahun sebelumnya, saat umurku<br />

empat belas tahun, di kamarku terpampang poster Biaggi.<br />

Salah satu dari sekian banyak poster di kamarku: poster<br />

Biaggi dengan Honda 250cc-nya. Tak ada yang aneh<br />

sebenarnya: ia orang Italia dan aku suka semua pembalap<br />

Italia. Selain itu, ia adalah pembalap yang agresif dan aku<br />

selalu salut dengan pembalap-pembalap yang agresif.<br />

Namun, waktu itu aku belum kenal dekat dengannya.<br />

Hanya mendengar wawancara dan membaca<br />

beritanya di Koran, semua itu menjadikanku berpendapat<br />

lain tentang dirinya. Biaggi, tak jadi soal apa pun yang<br />

terjadi, tak mau disalahkan, yang salah pasti motor atau<br />

rodanya.<br />

Kupikir, ia terlalu banyak bicara dan bagiku<br />

semuanya bohong. Begitu aku ikut kejuaraan dunia, aku<br />

mulai berani bicara tentang pribadinya. Dalam salah satu


wawancara, aku mengatakan kalau aku tak suka Biaggi,<br />

aku sangat antipati terhadapnya. Aku merasa tak ada<br />

masalah waktu itu, mungkin belum saja. Namun,<br />

komentarku dimanipulasi para wartawan dalam berita<br />

utama mereka untuk menciptakan sebuah kesan<br />

permusuhan sehingga laku keras korannya. Kesan<br />

permusuhan itu sengaja dibuat semata demi sensasi dari<br />

dunia sirkuit. Jadi sebenamya, permusuhan kami dipicu<br />

oleh berita di Koran. Perseteruan sengit itu memang<br />

memuat berbagai kepentingan. Kepentingan penggemar,<br />

media massa, juga dunia balapan umumnya. Dengan<br />

demikian, mereka bisa menjual berita, lembar demi<br />

lembar, dan memancing rasa penasaran para penggemar<br />

dunia balapan.<br />

Aku memang kurang diplomatis dalam<br />

menyampaikan seperti apa pribadi Biaggi itu, namun<br />

semua berubah begitu cepat. Tahun 1999 di Malaysia, di<br />

Sepang tepatnya, aku terjatuh sangat parah dari motor<br />

250cc-ku. Motornya rusak berat dan aku mesti berjalan<br />

menuju pit-nya. Lalu tiba-tiba Biaggi melintas dan<br />

berhenti beberapa meter di depanku.<br />

"Ayo naik" ujarnya, dengan kepala mengangguk.<br />

Aku terima tawarannya dan dibawanya aku ke pit.<br />

Waktu itu aku memang masih naif. Kupikir niatnya baik,<br />

niat yang tulus. Namun, peristiwa itu dibelokkan pers<br />

seolah aku tak pernah berterima kasih atas kebaikannya.<br />

Seolah para wartawan itu mengatakan: coba lihat, Biaggi<br />

menolong Rossi dan membantunya menuju pit, lalu sekarang<br />

Rossi seenaknya saja memperlakukan Biaggi seperti<br />

sampah...<br />

Kupandangi lembar koran berwarna biru mengilat<br />

yang terkesan mengada-ada. Aku mesti mengatakan yang<br />

sebenarnya, setidaknya demikianlah keinginanku. Benarbenar<br />

suatu kesalahan. Aku mulai menyadari kalau


mungkin tak perlu jujur, setidaknya dalam dunia balapan.<br />

Namun, aku memang seperti itu. Aku cenderung mengatakan<br />

apa saja yang kupikirkan. Aku masih yakin sikap itu<br />

baik, namun kemudian aku menyadari kalau jujur bisa jadi<br />

sikap yang buruk. Biaggi menjadi idola orang di<br />

pertengahan tahun 1990. la selalu nomor satu dalam<br />

segala hal, di mata pers Italia. Aku bisa mengerti<br />

kemudian bagaimana jengkelnya dia waktu mendengar<br />

komentar pembalap pendatang baru yang merendahkan<br />

nama besarnya. Namun, saat itu aku masih berumur 17<br />

tahun dan tak peduli apa pun juga.<br />

Awal konflik kami "resminya" bermula saat berlangsungnya<br />

Grand Prix Malaysia tahun 1997. Tahun<br />

kedua keterlibatanku dalam kejuaraan dunia. Kami<br />

bertarung di sirkuit Shah Alam, di pinggiran kota Kuala<br />

Lumpur. Hari Sabtunya, aku memenangi pole position,<br />

Minggunya aku berhasil menang di kelas 125cc, sementara<br />

itu Biaggi menang di kelas 250cc. la sedang merintis<br />

kariemya dengan Honda setelah memenangi tiga gelar<br />

juara dunia dengan motor Aprilia, dan sedang dalam<br />

masalah dengan tim Noale, akibatnya kemenangannya<br />

menjadi berita besar di Italia. Dan media juga mulai<br />

melirikku.<br />

"Apa kamu ingin menjadi Biaggi versi 125cc?" tanya<br />

mereka kepadaku, tahu persis kalau pertanyaan itu akan<br />

mendatangkan kontroversi, apa pun jawaban yang akan<br />

kuberikan.<br />

"Maaf, sepertinya justru dialah yang bermimpi ingin<br />

menjadi Rossi dengan motor 250cc-nya" ujarku, memanaskan<br />

situasi.<br />

Para wartawan suka dengan komentar itu dan berlalu<br />

dengan berita itu. Akibatnya terjadilah perseteruan,<br />

karena Biaggi merasa tersinggung. Selesai balapan di<br />

sana, kami berangkat ke Jepang. Sehari sebelum uji coba,


aku nongkrong di salah satu restoran di Suzuka, ditemani<br />

beberapa wartawan Italia. Lalu muncullah Biaggi, kemudian<br />

begitu ia melihatku, ia berjalan mendekatiku seolah<br />

hendak mengintimidasiku.<br />

"Sebelum berkomentar tentang diriku, sebaiknya<br />

cuci dulu tuh mulutmu ujarnya. Demikianlah yang dikatakannya.<br />

Untuk sementara waktu, aku tenang saja, menjadi<br />

anak baik dan tutup mulut. Dialah yang mulai mencari<br />

gara-gara. Aku tak berharap ia bereaksi seperti tadi.<br />

Kupandang dia, tapi aku masih diam saja. Waktu itu aku<br />

masih berumur 18 tahun, sementara dia sudah 26 tahun.<br />

Dari peristiwa itulah semuanya menjadi semakin parah<br />

kemudian. Pada awal musim balapan tahun 2000, saat<br />

musim dingin tiba, aku sudah bisa ikut kelas 500cc, lalu<br />

Biaggi dalam sebuah wawancara mengatakam "Rossi<br />

bersama orang-orang dewasa sekarang, ia maju di kelas<br />

500cc, ia harus bisa bersaing dengan para pembalap<br />

sungguhan sekarang."<br />

Ya, kupikir dia sudah lupa akan catatan waktu Rossi<br />

di kelas 250cc, saat dia bertarung dengan lawan-lawan<br />

"imajinatif-nyal<br />

Dia lalu menambahkan: "Sekarang ia mesti<br />

mencopot dan menyimpan semua barang-barang<br />

mainannya ke lemari, karena ia bukan badut kecil lagi<br />

saat ini."<br />

Kurasakan hubungan kami tak pernah berubah.<br />

Menjelang tahun 2001, semuanya menjadi makin kacau.<br />

Mungkin karena semua orang berharap hanya kami<br />

berdua yang bersaing memperebutkan gelar juara. Hanya<br />

kami berdua saja, Biaggi dan Rossi. Di Suzuka, Biaggi<br />

sempat menyikutku sembari melesat 220 km/jam.<br />

Tindakan yang benar-benar kasar, tak akan bisa<br />

kumaafkan.


Suzuka bukan sirkuit untuk main-main. Treknya sangat<br />

beresiko meski kamu berhati-hati sekalipun, eh...ini<br />

malah main-main menyikut seseorang dengan kecepatan<br />

220 km/jam. Trek Suzuka sangat cepat sepanjang<br />

jalurnya. Trek tikungan tajamnya memang sengaja<br />

dirancang menurun tajam dengan kata lain, bukan<br />

tikungan tajamnya yang membuatmu lamban, melainkan<br />

sebaliknya.<br />

Biaggi berada di depanku begitu kami tiba di tikungan<br />

tajamnya. la tak ingin membiarkanku menyalipnya<br />

begitu keluar dari jalur berbentuk "S" itu, sehingga ia tak<br />

mengerem sama sekali motornya karena takut aku akan<br />

mencuri kesempatan mendahuluinya. Dengan cara<br />

menunda pengereman tadi, ia berharap bisa mengunciku.<br />

Sebaliknya, aku malah bisa memotongnya, lalu membuka<br />

kunciannya, kemudian lepas melesat. Aku bisa melakukan<br />

manuver itu karena ia terlalu lama menunggu mengerem<br />

motornya sehingga mengalami kesulitan begitu keluar dari<br />

lintasan "S" tersebut. Kemudian, begitu berada di jalur<br />

lurus, aku nyaris mendahuluinya.<br />

la mendengar raungan mesinku datang dari<br />

samping. Begitu aku menempel di sisinya, ia<br />

memandangku, lalu menyikutku. Aku selalu yakin ia<br />

melakukan itu agar aku terhempas ke luar lintasan. Aku<br />

masih bisa mengendalikan diri, namun untuk meluncur<br />

cepat pada jalur lurus berumput itu, apalagi dengan<br />

kecepatan 220 km/jam, bukanlah hal yang mudah karena<br />

gampang tergelincir jatuh kalau kehilangan kendali.<br />

Aku memang kalah dalam beberapa kesempatan,<br />

namun satu-satunya yang kupikirkan adalah rasa<br />

marahku atas apa yang telah diperbuatnya dalam<br />

kecepatan tinggi seperti itu. Dalam balapan kamu boleh<br />

agresif, namun tetap saja ada batasnya.<br />

Aku masih berusaha untuk tetap tenang. Setelah


kejadian yang memompa adrenalin tadi, ditambah lagi<br />

aliran cepat darah ke otakku, aku kembali ke trek balapan,<br />

melewati beberapa pembalap lainnya, dan tiba-tiba<br />

sudah berada di belakang Biaggi. Aku menyalipnya pada<br />

salah satu tikungan tajam ke kanan, begitu keluar dari<br />

jalur itu, kulepaskan tangan kiriku dari setang yang kupegang,<br />

lalu kuacungkan jari tengahku ke arahnya. Itulah<br />

caraku mengatakan kepadanya betapa jengkelnya aku<br />

atas apa yang tadi diperbuatnya.<br />

Aku memenangi balapan itu; begitu lepas mendahuluinya,<br />

aku sudah mantap tak akan mengalah sedikit<br />

pun kepadanya. namun, kontroversi masih berlanjut di<br />

garis finish.<br />

"Memangnya apa salahku?" ujarnya begitu aku<br />

mulai beradu mulut dengannya.<br />

"Nggak merasa salah? Tadi ‘kan kamu menyikutku<br />

saat melaju 200 km/jam!" teriakku.<br />

"Kamu ngomong apa sih?" tanyanya.<br />

"Hei, lain kali nggak usah berbuat seperti itu lagi,<br />

tembak aja aku pakai pistol," balasku. "Biar lebih cepat<br />

selesai urusannya."<br />

Kejadian itu berlanjut hingga saat berada di ruang<br />

jumpa pers; ketegangan kami kian memuncak di sana.<br />

Kemudian kami keluar sendiri-sendiri.<br />

Hari itu, seperti yang telah terjadi, aku merasa tak<br />

ada yang salah dengan apa yang kulakukan tadi. Memang<br />

benar, tindakan mengacungkan jari tengah tidaklah<br />

sopan, namun hal itu terjadi karena aku menganggap<br />

Biaggi telah membahayakan nyawaku. Akibatnya, aku<br />

menjadi begitu tegang dan geram. Kalau kupikir-pikir lagi,<br />

insiden itu adalah salah satu pengalaman paling berkesan<br />

sepanjang karierku.<br />

Di sisi lain, pers Italia begitu antusias memberitakan


insiden "acungan jari tengahku", juga intimidasi yang<br />

dilakukan Biaggi terhadapku. Sebagian memberitakan<br />

kalau diriku seperti orang kesetanan, seperti preman.<br />

Moralitas semacam itu bagiku tidaklah pada tempatnya.<br />

Dua hal tersebut tak bisa dibandingkan begitu<br />

saja. Yang satu mungkin saja tidak sopan, namun tidaklah<br />

membahayakan jiwa. Alih-alih mempertanyakan apa<br />

perbuatan Biaggi sah atau tidak, apa ulahnya layak<br />

dikecam atau tidak, koran-koran sebaliknya malah<br />

mendramatisasi insiden "acungan jari tengah". Mereka<br />

tetap saja menganggap tindakan Biaggi bisa diterima, dan<br />

akulah yang cenderung dikambinghitamkan. Mereka<br />

berdalih tindakan Biaggi didasari alasan demi keselamatan<br />

jiwanya. Sementara tindakanku menyalipnya dianggap<br />

membahayakan dirinya, sehingga ia mesti bertindak cepat<br />

demi keselamatan dirinya. Hebat 'kan!<br />

Itu tadi di Suzuka, awal musim balapan. Kamu bisa<br />

membayangkan ketegangan yang terjadi begitu tiba di<br />

Barcelona. Kami saling bersengketa, baik di dalam<br />

maupun di luar sirkuit. Kami bahkan sempat berdekatan<br />

satu meja, meski ia ada di seberangku. Aku memenangi<br />

tiga balapan awal: di Jepang, Afrika Selatan (Welkom) dan<br />

di Spanyol (Jerez). Sedangkan dia menang di sirkuit<br />

Prancis. Saat di Mugello aku sempat terjatuh akibat trek<br />

yang basah, pada lap terakhir. la menempati urutan<br />

ketiga dengan skor tinggi. Tak diragukan lagi kalau sirkuit<br />

Barcelona akan susah diprediksi. Hanya saja, aku tak mau<br />

berbuat kesalahan lagi.<br />

Aku menang masuk pole position. Itu karena aku<br />

cepat, dan kurasa tak akan ada masalah berarti sepanjang<br />

balapan berlangsung. Aduh, ternyata aku salah. Aku<br />

menciptakan kesalahan sendiri. Waktu start aku kurang<br />

mantap, sehingga baru mulai tikungan pertama saja aku<br />

terpaksa tertinggal di posisi kesepuluh, bergumul dengan


pembalap-pembalap liar itu. Gibernau berusaha menyalip<br />

Alex Criville yang juga berusaha bertahan supaya tidak<br />

terjatuh. Sialnya, Criville juga ingin mencuri peluang di<br />

sisi kiriku. Akibatnya, kami berdua saling beradu<br />

kecepatan berusaha mendahului, begitu selesai tikungan<br />

pertama, kami baru sadar kalau yang terpenting adalah<br />

menjaga keseimbangan supaya tak jatuh. Sekedar<br />

gambaran saja bagaimana kacaunya situasi waktu itu,<br />

begitu kami berdua keluar dari tikungan itu, tiba-tiba saja<br />

Sabre telah berada di depanku!<br />

"Sialan, koq jadi begini balapannya?" ujarku dalam<br />

hati, mengutuki diriku sendiri, karena tak ada lagi yang<br />

bisa kusalahkan.<br />

Namun, aku tetap bertekad untuk menang dan tak<br />

ingin kalah hanya gara-gara salah start-nya. Setelah<br />

beberapa kali mengerem, tikungan demi tikungan, aku<br />

bisa melewati semua itu, satu demi satu hingga sampai<br />

pada Biaggi. Akhirnya, aku bisa menyalipnya dengan<br />

mudah, namun aku membuat kesalahan pada salah satu<br />

tikungan yang menentukan. Aku bergerak agak melebar,<br />

sehingga ada celah terbuka lebar yang dimanfaatkannya<br />

untuk menyalipku. Begitu dua lap terlewati, aku baru bisa<br />

balas menyalipnya. Saat itu aku bertindak tepat. Dia telah<br />

tertinggal di belakangku dan aku berhasil menang.<br />

Grand Prix yang menakjubkan bagiku, dan menyedihkan<br />

bagi Biaggi. Dia telah menuai kecerobohannya.<br />

Selesai balapan, kami langsung berkumpul di dekat garis<br />

finish, di luar trek balapan. Di tempat itu, para pembalap<br />

biasa memarkir motor mereka. Biaggi tampak begitu<br />

jengkel, sementara aku begitu bahagia, senang sekali.<br />

Begitu senangnya sehingga aku langsung merayakannya<br />

bersama teman-temanku dan orang-orang yang ada di<br />

dekatku.<br />

Hal seperti itu tak akan terjadi lagi. Saat itu juga,


tiga juaranya akan ditempatkan dalam ruang khusus oleh<br />

panitia lomba dan akan diumumkan saat acara penobatan<br />

juara. Waktu itu kami bertiga ditempatkan dalam ruang<br />

yang dipadati ratusan orang, jauh lebih banyak dibanding<br />

yang diperbolehkan sekarang ini. Susunan acaranya juga<br />

mendadak berubah akibat insiden di Montmelo. Aku<br />

benar-benar dikerumuni banyak orang: para mekanik,<br />

manajer, teman, kameramen. Semakin banyak orang<br />

yang datang, semakin terasa bisingnya suasana. Begitu<br />

kulihat Gibo, langsung saja kurayakan kemenanganku.<br />

Kemudian, petugas Dorna mengatakan kepada kami untuk<br />

bersiap naik podium. Kami mesti naik podiumnya lewat<br />

tangga yang agak sempit. Biaggi kelihatan ingin segera<br />

naik ke sana secepat mungkin, namun kerumunan orang<br />

itu merepotkannya. Jalannya terhalangi salah seorang<br />

kameramen, Biaggi berhasil melewatinya untuk mengejar<br />

Gibo yang telah duluan di depan, membelakanginya. Lalu<br />

Biaggi dengan keras menyikutnya ke samping hingga bisa<br />

berada di depannya. Gibo berteriak marah karena merasa<br />

didorong keras lagi.<br />

"Apa-apaan nih'?" teriakku begitu Biaggi naik<br />

tangga.<br />

"Oh, kamu mau juga ya?" ujarnya, berbalik ke a-<br />

rahku. "Naik aja ke sini, masih banyak tempat kok!"<br />

"Tunggu ya!" ujarku, menanggapi tantangannya.<br />

Dan semuanya telanjur sudah. Aku segera naik<br />

tangga itu. Biaggi menungguku di atasnya. Matanya<br />

merah penuh kemarahan, belum pernah kulihat dia<br />

sekalap itu. Lalu terjadilah baku tampar dan baku hantam.<br />

Orang-orang menjadi panik, Carlo Fiorani, yang waktu itu<br />

kebetulan menjadi manajer timku, bergegas memisahkan<br />

kami.<br />

Lalu insiden itu berakhir begitu panitia Dorna menarik<br />

kami turun dari podium. Agak terlambat memang


karena begitu kami keluar dari kerumunan, kami semua<br />

gemetaran dan tersengal-sengal, wajah memerah dan<br />

rambut acak-acakan. Namun, kami mesti bisa tetap<br />

tenang. Seusai acara pengumuman juara, kami mesti<br />

menerima para wartawan. Kami berdua berusaha keras<br />

untuk tetap tenang, seolah tak terjadi apa-apa. Begitu<br />

kami mendekatkan diri pada mik, semua bisa melihat jelas<br />

muka kami yang merah padam.<br />

"Balapan yang berat ya?" celetuk salah seorang<br />

wartawan, sembari menatap kami berdua.<br />

"Oh, ya memang sangat berat!" ujarku sembari<br />

mengangguk. Sambil tertunduk dan sesekali mengangkat<br />

muka, aku berkata dalam hati, "Lupakan saja soal balapan<br />

tadi, masalahnya kami baru saja berkelahi!"<br />

Tak seorang pun di ruangan itu yang sadar akan<br />

kenyataan itu. Mestinya sebagian dari mereka bisa<br />

merasakan adanya kejanggalan, karena kami tadi<br />

membuat keributan. Namun, sepertinya mereka tak tahu<br />

apa yang telah terjadi.<br />

"Kenapa itu?" salah seorang wartawan bertanya<br />

kepada Biaggi, sembari menunjuk tanda merah di pipinya.<br />

"Bekas digigit nyamuk," ujarnya cepat, singkat saja.<br />

Jumps pers itu berlangsung lancar tanpa ada masalah,<br />

tak ada lagi yang bertanya tentang kondisi kami, dan<br />

kami juga tak ingin memancing perdebatan. Tak lama<br />

kemudian kami, Biaggi dan aku, bersama manajer kami<br />

masing-masing dipanggil oleh ketua panitia balapan. Aku<br />

ditemani Fiorani, sementara Biaggi didampingi Lin Jarvis.<br />

"Oke, sekarang tolong ceritakan apa yang tadi<br />

sebenarnya terjadi," ujarnya kepada kami.<br />

Mereka ingin mendengar kejadiannya. Kami berdua<br />

menceritakannya menurut versi kami masing-masing.<br />

Kemudian, mereka mengatakan kalau akan memutuskan


apa ada konsekuensi hukuman bagi kami atau tidak, kalau<br />

ya sanksi apa yang akan kami terima. Lalu mereka<br />

meninggalkan kami berempat di ruangan itu. Kami saling<br />

memandang dan diam seribu bahasa, tak ada yang berani<br />

membuka mulut. Situasi yang benar-benar aneh.<br />

Keheningan yang menyiksa di tengah ketegangan<br />

yang siap meledak. Tiba-tiba Fiorani mencoba meredakan<br />

ketegangan dengan mengajak Biaggi bicara tentang sepak<br />

bola.<br />

"Hmm..." tanyanya."Gimana penampilan Roma hari<br />

ini?"<br />

"Mana kutahu!" jawab Biaggi ketus, tanpa melihat ke<br />

arah Fiorani.<br />

"Wah, hebat kalau begitu!" ujar Fiorani, kemudian<br />

hening lagi.<br />

Aku tak tahan untuk meledak tertawa, namun aku<br />

kira hal itu tak mungkin kulakukan. Aku berusaha<br />

menutupi rasa ingin tertawa itu. Supaya tak terdengar<br />

tawaku, sengaja kututup mulutku rapat-rapat dengan<br />

tangan sehingga rahangku juga tak bergerak sama sekali.<br />

Apa-apaan sih si Biaggi ini? Masak sih nggak tahu<br />

tentang kesebelasan AS Roma! Hari itu Roma 'kan<br />

menang meraih Scudetto. Aku saja tahu hal itu. Bukannya<br />

Biaggi tadi naik podium dengan seutas kain berwarna<br />

merah-kuning di lehernya, warna kebesaran kesebelasan<br />

Roma dalam kejuaraan Seri A. Dan sekarang pun<br />

selendang itu masih dipakainya juga! Jelas sudah kalau<br />

Biaggi memang tak berselera bicara dengan Fiorani,<br />

namun untunglah kebisuan suasana waktu itu segera<br />

berakhir begitu panitia datang siap dengan keputusan soal<br />

sanksi yang mungkin akan kami dapatkan.<br />

"Baiklah , kali ini kalian tak jadi mendapat sanksi<br />

apa pun," ujar mereka. "Namun, jangan bilang hal ini


kepada wartawan. Kita harus merahasiakannya. Kalau ada<br />

yang tanya, pura-pura saja tak tahu. Dan kali lain, jangan<br />

diulangi lagi ya!"<br />

"Terirnakasih, Pak," ujar kami berdua. Kami sepakat<br />

tak akan membocorkannya kepada pers.<br />

Sementara itu, para wartawan telah menunggununggu<br />

kami di luar. Mereka bergerombol tak sabar<br />

seolah sedang haus berita baru dan anekdot. Mereka ingin<br />

cerita terbaru berikut komentar-komentarnya.<br />

Sebenarnya, saat itu semuanya bisa jelas terlihat. Mereka<br />

memang sudah tahu apa yang terjadi, hanya saja tidak<br />

tahu persis detailnya. Kru RAI sendiri, yang kebetulan<br />

berada di dekat kami, tak melihat apa-apa saat insiden itu<br />

terjadi, namun mereka sempat mendengar adanya<br />

keributan itu dan mereka punya rekaman kasetnya.<br />

"Well, kami hanya bertukar pandangan dan<br />

pendapat, dan kami sedikit terbawa, itu saja, tak ada<br />

yang serius," ujarku kepada pers. Dengan kata lain, aku<br />

mengatakan seperti yang telah dipesankan, aku pura-pura<br />

saja, menyembunyikan kejadian yang sebenarnya.<br />

Biaggi, sebaliknya, justru mengatakan semuanya secara<br />

rinci. la mengatakan kalau aku telah mendorongnya,<br />

lalu menyerangnya. Dan untuk kesekian kalinya, akulah<br />

yang jadi pihak yang bersalah, semuanya kesalahanku. Di<br />

mata pers Italia, aku tak ubahnya anak kecil yang tak bisa<br />

apa-apa selain berkelahi.<br />

Namun, kejadian di Barcelona itu bukan satusatunya<br />

alasan kuat berakhirnya hubunganku dengan<br />

Biaggi. Yang paling merusak hubungan kami adalah<br />

kejadian di Belanda, pada musim balapan berikutnya.<br />

Begitu tiba di Assen, Honda singkatnya memaksa kami<br />

untuk saling memaafkan. Mereka menginginkan insiden di<br />

Barcelona dilupakan saja, selama-lamanya. Lalu mereka<br />

menjadwalkan pertemuan tempat aku dan Biaggi mesti


erjabat tangan di depan semua orang. Itu berarti kami<br />

sepakat berdamai di depan para wartawan dan fotografer.<br />

Baik dia maupun aku tak mau melakukannya.<br />

Namun, pihak panitia Dorna benar-benar ngotot bicara<br />

langsung hingga aku berkata dalam hati, "Well, kalau<br />

mereka tetap memaksaku seperti ini, aku tak keberatan<br />

berjabat tangan dengannya supaya mereka senang dan<br />

tak mengganggu kami berdua lagi. Lagipula, kami bisa<br />

melanjutkan perseteruan itu diam-diam saja."<br />

Saat aku menjabat tangannya, aku merasa agak<br />

kurang tulus; dia sebaliknya begitu terlihat manis dan<br />

ramah dan mengatakan yang baik-baik begitu ada di<br />

depan pers, namun begitu tiba waktunya berjabat tangan,<br />

ia bahkan tak menatapku sama sekali. "Terserahlah, tak<br />

terlalu penting juga," ujarku dalam hati.<br />

Keesokan harinya, kami berpapasan di trek balapan.<br />

Kami kebetulan hanya berdua jalan kaki.<br />

"Hello!" sapaku.<br />

Dia cuek saja.<br />

"Ya sudah, nggak apa-apa," ujarku sendiri. "Kalau<br />

memang itu yang kamu inginkan, kurasa selesai urusannya.<br />

Kita tak ada urusan lagi, kamu dan aku."<br />

Dan begitulah akhirnya.<br />

Waktu itu, kupikir itu bukan masalah berarti. Sesudahnya,<br />

kami tak lagi berhubungan, tak lagi dekat, tak<br />

ada yang banyak berubah. Kupikir tak ada salahnya. Siapa<br />

yang bilang kamu mesti berhubungan dengan semua<br />

orang? Antipati wajar-wajar saja, itu sekadar perasaan<br />

manusia, dan bukan hanya di balapan saja.<br />

Cukup lama kami masih belum bisa berdamai. Kami<br />

berdua sama-sama keras kepala. Meski aku pernah mengoloknya,<br />

dialah yang paling banyak bicara, mengolokku<br />

lebih banyak dibanding yang kulakukan terhadapnya.


Tentu saja, di trek balapan kami masih saling bermusuhan.<br />

Puncaknya terjadi pada tahun 2000 dan 2001.<br />

Benar memang kalau kami berkelahi setelah itu, namun<br />

tak separah dan sesering yang terjadi dalam dua musim<br />

saat kami balapan dalam kelas 500cc.<br />

Kadang kala hanya masalah sepele, kadang-kadang<br />

juga cukup serius. Sering kali kami melakukannya demi<br />

mengintimidasi dan membuat marah yang lain. Dia selalu<br />

menjadi salah satu dari sekian pembalap yang tiba-tiba<br />

mendekat dengan kecepatan tinggi, hal yang tak kamu<br />

harapkan. Saat kamu sedang naik motor perlahan,<br />

mungkin karena kamu sedang menuju pit, tiba-tiba ia<br />

melesat menghampirimu dengan kecepatan 200 km/jam.<br />

Dia selalu melakukan hal itu. Dan ia melakukannya<br />

terhadap semua orang, bukan hanya terhadap diriku. Hal<br />

itu sangat menjengkelkan. Dia sangat suka melakukannya<br />

dengan cepat, terutama saat kamu kembali dari uji coba<br />

lap-nya, dan kamu tak siap. Di Donington, tahun 2001, ia<br />

bahkan melakukannya saat aku mengitari lap dengan<br />

santai sehabis memenangi balapan. Aku menang dan<br />

sedang merayakannya sembari duduk menyamping di<br />

atas motorku, tiba-tiba saja ia melesat kencang di<br />

sampingku. Dia suka melakukan tindakan konyol itu, dan<br />

dia bukan satu-satunya pembalap yang menganggap<br />

provokasi semacam itu perlu. Masalahnya, tindakan bodoh<br />

seperti itu tak memengaruhiku sama sekali. Mungkin<br />

menjengkelkan bagi pembalap lainnya, tidak bagiku. Dan<br />

bisa kubuktikan hal itu padanya di Suzuka, di sana tak<br />

seorang pun bisa mengintimidasiku.<br />

Beberapa kali kubuktikan hal itu saat melakukan uji<br />

coba. Sering kali aku tak memedulikannya, kadangkadang<br />

kutanggapi juga tantangannya. Dan sekali, selama<br />

musim tahun 2000, aku begitu senang bisa<br />

melakukannya. Kami ada di Jepang, di Motegi. Setelah


eberapa kali uji coba, ia melakukan kebiasaannya: begitu<br />

aku kembali ke pit, ia mendadak melesat cepat ke arahku.<br />

Tak kubiarkan dia lepas, kali itu kugeber gas motorku,<br />

lalu kususul dia. Kulihat dia berada agak jauh di<br />

depanku. la berhenti karena ingin mencoba mekanisme<br />

start-nya. Kukurangi kecepatan, hingga turun netral, dan<br />

aku tak kedengaran, lalu diam-diam kuhantam ia dari<br />

belakang. Ban depanku menabrak ban belakangnya.<br />

Bagus sekali, hantaman yang keras dan tak terduga.<br />

Motornya terputar, lalu ia menatapku. Aku diam saja,<br />

tangan kuangkat, telapak tangan kubuka, lalu<br />

kulambaikan ke arahnya, seolah berkata "daaa...".<br />

Ia berlalu dan kuikuti ia. Kudapati ia di trek lurus,<br />

sebelum masuk terowongan. Sekali lagi, ia ingin menguji<br />

mekanisme start-nya, tanpa terganggu siapa pun.<br />

Aku bergerak perlahan dan brakk! kutabrak ban<br />

belakangnya sekali lagi, sama seperti sebelumnya. Ia<br />

terputar, lalu aku melambaikan tanganku. Ia tak bereaksi,<br />

kami kembali ke pit dan begitulah kejadiannya. Kalau ada<br />

yang ingin bercanda, dengan senang hati akan kutanggapi.<br />

Aku bisa mengimbanginya, karena aku tak<br />

pernah menarik diri, baik di dalam atau di luar trek. Kalau<br />

Biaggi menikmati permainan itu, aku juga bisa<br />

memainkannya.<br />

Apa lagi, sepertinya ia tak membatasi trik dan permainan<br />

di dalam trek saja. Oh, tidak! Dia juga suka<br />

melakukannya di paddock, dengan sekuternya. Tak bisa<br />

kulupakan kejadian di Jerez tahun 2001, saat aku berboncengan<br />

satu sekuter dengan Alby, sahabatku, Alberto<br />

Tebaldi, dan kami mengambil satu kotak penuh fairings<br />

yang sudah dicat dari rumah. Pada musim itu, fairing-nya<br />

dicat oleh Aldo Drudi dan Roby. Kubawa barang itu ke trek<br />

motorhome lalu kuberikan kepada Jeremy, dialah yang<br />

menyuruh mekanik memasangnya. Berdua naik dalam


sekuter saat itu cukup berbahaya. Aku di depan membawa<br />

banyak barang dan asesoris. Biaggi melihat kami lalu<br />

mendekat dengan kecepatan tinggi. Ia begitu dekat, kami<br />

oleng beberapa meter namun kami tidak jatuh meski<br />

memegangi barang-barang itu. Kami berhasil menghindari<br />

kemungkinan bahaya.<br />

Seperti yang pernah kukatakan, banyak pembalap<br />

yang suka permainan semacam itu. Aku belajar dari Jorge<br />

Martinez. Dia dan aku adalah rival besar di kelas 125cc.<br />

Martinez memang hebat juga cerdik. Ia punya banyak trik.<br />

Awalnya kami saling membenci. Aku baru mulai<br />

menghormatinya setelah ia pensiun. Martinez jauh lebih<br />

senior dari aku, aku hanya anak kecil yang belum<br />

berpengalaman, sementara ia seorang veteran yang<br />

sudah ubanan.<br />

Salah satu hal yang paling kubenci dari permainannya<br />

adalah kebiasaannya menghalang-halangiku pada lap<br />

cepat. Ia akan melakukan apa saja untuk memblokirku.<br />

Pada kejuaraan Ducados Terbuka tahun 1995, kami<br />

berada di Cartagena, beberapa hail setelah balapan<br />

bersejarah di Jerez, saat aku sempat memimpin, namun<br />

terpaksa ketinggalan lagi karena banku copot. Martinezlah<br />

yang menyelamatkanku keluar dari trek, sebelum<br />

memenangi balapan.<br />

Di Cartagena, kami berdampingan dalam baris<br />

ketiga. Ia berkata, "Oke, pelan saja, jangan sampai jatuh<br />

lagi ..."<br />

"Akan kutunjukkan," ujarku setengah berbisik.<br />

Kami memulai start dengan buruk. Kami tertinggal,<br />

namun bisa bangkit lagi. Aku berhasil menyalip tiga<br />

pembalap lain dan bisa memimpin setelah tiga lap.<br />

Beberapa saat kemudian, aku terjatuh mengejutkan<br />

Martinez akhirnya yang menang.


Balapan berikutnya di Misano, daerahku sendiri. Aku<br />

melakukan sama persis seperti yang pernah dilakukannya<br />

di Cartagena.<br />

"Semoga sukses ya!" ujarku. "Asal jangan sampai<br />

kebablasan."<br />

Kukatakan hal itu saat berada di garis start, setelah<br />

memberinya dukungan. Ia memandangku jengkel. Dan<br />

kumenangi balapan. Tak ada lagi yang istimewa di sana.


7<br />

CAPITOLO SETTE<br />

SEPANJANG Kejuaraan Dunia 1996, aku belajar banyak<br />

hal. Khususnya, aku belajar kalau aku menang, pada<br />

kenyataannya, memiliki kemampuan untuk akhirnya berjaya<br />

dan menang dalam kejuaraan itu. Dan kutahu, itulah<br />

yang ingin kulakukan lebih dari segalanya. Aku suka<br />

motor 125cc dan aku benar-benar terjun mendalaminya,<br />

menyelesaikan perjalanan yang berawal dari kejuaraan<br />

Sport Production. Setelah tahun 1996, Carlo Pernat<br />

memutuskan untuk mendukungku sekali lagi. la ingin aku<br />

mendapat motor terbaik yang ada, sehingga kami<br />

bergabung dengan tim AGV bersama Sacchi dan Noccioli,<br />

meski Pernat bisa rnencarikanku motor "unggulan" Aprilia.<br />

Aku bisa merasakan kalau tahun itu adalah tahun<br />

keberuntunganku. Itulah sebabnya aku tak berpikir untuk<br />

pindah langsung ke kelas 250cc (padahal Aprilia<br />

menawariku tempat di kelas 250cc, termasuk motor<br />

"unggulannya").<br />

"Badanmu tinggi, fisikmu cukup kuat, kamu lebih cocok<br />

di kelas 250cc," ujar Pernat. "Kenapa tak kamu<br />

tinggalkan saja kelas 125cc, lalu langsung naik di kelas<br />

250cc ikut balapan tahun depan?"<br />

Ayah setuju dengannya, namun aku berpikir lain.<br />

Dan kujelaskan juga kenapa aku tak berniat pindah kelas.<br />

"Begini, aku telah memenangi balapan internasional<br />

musim lalu, dan sekarang kamu ingin aku pindah?"<br />

ujarku, menegaskan alasan, sekaligus sedikit<br />

menantangnya.<br />

"Kamu benar, namun kalau kamu setahun ikut di


kelas 250cc, kamu bisa mendapat motor unggulan di<br />

tahun 1998, dan kamu bisa meraih juara di kelas 250cc,"<br />

jawab Pernat, menerangkan rencana Aprilia.<br />

"Ya, tapi kenapa aku mesti melakukannya?" ujarku.<br />

"Aku ingin memenangi kelas 125cc dulu. Aku tak akan<br />

pindah ke 250cc sebelum menjadi juara dunia di kelas<br />

125cc."<br />

Sudah kujelaskan tak ada kemungkinan lain dalam<br />

hal itu; aku sudah mantap. Aku tak mau membicarakan<br />

hal itu lagi, dan aku tetap bergeming. Kurasa seorang<br />

pembalap perlu menetapkan langkahnya dalam situasi<br />

tertentu. Kalau kamu punya peluang untuk menang, kamu<br />

mesti mencobanya, gigih demi meraih tujuan itu, sebelum<br />

berlanjut ke tahap berikutnya. Setidaknya, demikianlah<br />

aku ingin bersikap. Dan aku tetap konsisten karena<br />

beberapa tahun setelah itu, yaitu saat Honda ingin aku<br />

pindah ke 500cc sedangkan aku belum memenangi gelar<br />

250cc, aku tetap pada prinsipku: aku mau naik ke kelas<br />

berikutnya hanya setelah aku bisa menang di kelas yang<br />

sedang kutekuni.<br />

Lalu aku tetap bertahan di 125cc. Dan itu pilihan<br />

yang tepat. Musim selanjutnya, aku benar-benar mendominasi.<br />

Kumenangi trek kering, basah, trek apa saja.<br />

Salah satu balapan terhebat tahun itu, bayangkan saja,<br />

balapan paling bergengsi di kelas 125cc adalah Grand Prix<br />

Belanda di Assen. Cuaca cukup dingin sebelum balapan<br />

berlangsung, sehingga aku mulai dengan rem model karbon.<br />

Lalu suhunya berubah menjadi hangat, sehingga<br />

remnya menjadi "naik" sedemikian rupa sampai-sampai<br />

tuasnya menyentuh gagangnya.<br />

Keseimbangan remnya tidak persis pada gagangnya,<br />

tetapi ditempatkan di daerah dasbor. Aku tak ingin mengendorkan<br />

gas karena tak ingin tertinggal dari lawanlawanku<br />

lalu aku berusaha memperbaiki register-nya


dengan tangan kiri. Kulakukan hal itu dalam tiga hingga<br />

empat lap, namun gaga!. Dalam salah satu usahaku itu,<br />

sarung tanganku lengket di dasbor, hingga pada tikungan<br />

selanjutnya aku berada dalam situasi berbahaya akibat<br />

kehilangan keseimbangan. Hal itu membuat usahaku<br />

terhenti. Kukurangi gas, tiba-tiba melambat, melepaskan<br />

tangan dari pegangan gas, lalu memperbaiki tuas remnya.<br />

Aku jelas kehilangan banyak waktu, hampir benar-benar<br />

lambat dan terhenti, namun begitu aku mencoba lagi, aku<br />

jadi seperti orang yang liar. Pertengahan lap terakhir, aku<br />

bisa menyusul kelompok pembalap lawanku, menempati<br />

urutan keempat, mendahului setiap pembalap, lalu<br />

melintasi garis finish sebelum pembalap yang lainnya. Aku<br />

menang!<br />

Semuanya jadi serba mudah di tahun 1997. Aku bisa<br />

memetik pelajaran, aku bisa mengatasi motorku dengan<br />

baik, dan terutama, aku bisa mengendalikan diri<br />

sepanjang balapan berlangsung. Sejak musim itu, aku<br />

mulai terkenal di Italia. Kamu bisa menyebutnya Rossimania.<br />

Kupikir hal itu karena kemenanganku, karena<br />

caraku merayakan kemenangan itu juga. Aku telah menjadi...Valentino<br />

Rossi, sang bintang. Itulah saat leluconku,<br />

cerita-ceritaku yang bisa mencerahkan dunia yang kerap<br />

terlalu serius mulai terlihat. Perlu kuberitahukan kalau<br />

semuanya bisa terjadi secara spontan, setiap ceritanya<br />

telah terencana dengan rapi, tepat, dan sempurna.<br />

Banyak yang berasal dari diriku sendiri, lainnya datang<br />

dari teman-temanku. Saat kami merencanakan sedikit<br />

lelucon, kami memikirkan setiap kemungkinan: andaikan<br />

aku menang, kami bisa ketemu di sana atau di sini pada<br />

jam sekian, kalau aku hanya menjadi juara kedua, kami<br />

tak melakukan apa-apa.<br />

Banyak yang berubah selama beberapa tahun ini.<br />

Dulu kami mengobrol di sport bar di Tavulia. Waktu itu


kami masih muda, dan bar di desa itu seperti rumah<br />

kedua bagi kami. Kami selalu bertemu di sana dan dari<br />

tempat itulah kisah-kisah lucu berawal. Tiap malam, saat<br />

barnya kosong, kami ngobrol soal apa saja. Setiap idenya<br />

tumbuh dari sana. Di sanalah, misalnya, ide boneka tiup<br />

tercetus. Namun begitu beranjak dewasa, konsep dan<br />

rencananya aku tangani sendiri bersama Flavio Fratesi,<br />

sahabat dekatku dalam soal merayakan kejutan, juga soal<br />

T-shirt yang kami pakai. Semua temanku bisa<br />

mengusulkan suatu konsep, namun hanya kami berdua<br />

yang sebenarnya berani melakukannya.<br />

Tahun-tahun awal dalam dunia balapan, kami sering<br />

melakukannya, dan kemudian lambat-laun menjadi<br />

semakin jarang. Kupikir, saat kamu beranjak dewasa,<br />

kamu akan mulai berubah. Apalagi seiring berlalunya<br />

waktu, sulit memang bisa menghasilkan ide-ide hebat<br />

yang bisa membuat tertawa orang lain. Bermula dari<br />

sebuah ide, sebuah intuisi, yang tak akan bisa kamu ambil<br />

dan beli dari toko atau dari buku katalog. Terjadi begitu<br />

saja padamu. Dan tak juga datang dari setiap balapan.<br />

Itulah sebabnya aku memutuskan hanya melakukan halhal<br />

yang memiliki simbol-simbol tersendiri. Apalagi, aku<br />

hanya akan melakukannya begitu selesai memenangi<br />

balapan. Hal itu sudah kuputuskan setelah ikut Grand Prix<br />

tahun 1998. Di Mugello aku ikut kelas 250cc; Marcellino<br />

Lucchi yang jadi juaranya. Sebelum balapan berlangsung,<br />

aku merencanakan naik podium seperti orang yang mau<br />

pergi ke pantai: baju renang, kacamata berjemur, dengan<br />

handuk melilit di leherku. Satu kesalahan besar karena<br />

aku akhirnya tak jadi menang seperti yang kuharapkan.<br />

Waktu itu tak kusadari hal tersebut karena aku terlalu<br />

gembira telah berhasil mengalahkan Capi<strong>rossi</strong> dan<br />

Tetsuya Harada, musuh bebuyutanku. Dan kurasa akan<br />

menyenangkan kalau bisa kurayakan, dan kulakukan


kegiatan rutin itu, naik podium dengan busana orang yang<br />

mau pergi ke pantai.<br />

Keesokan harinya, saat kubaca koran, banyak yang<br />

kecewa terhadapku. Mereka mengatakan aku bertindak<br />

tak adil terhadap Lucchi. la sudah berumur 43 tahun dan<br />

tak banyak memenangi balapan. Waktu itu adalah hari<br />

besarnya. Aku tak bermaksud kurang ajar terhadapnya.<br />

Tentu saja, aku tak sengaja melakukannya. Dalam<br />

benakku, aku hanya ingin merayakan dan membuat orang<br />

tertawa. Tetapi, koran-koran memberitakan kalau karena<br />

aku harus selalu menjadi pusat perhatian—aku seenaknya<br />

merampas momen berharga yang dimiliki Lucchi.<br />

"Cukup sudah, aku akan melakukan hal seperti itu<br />

hanya kalau benar-benar menang balapan," ujarku dalam<br />

hati. Aku jengkel sekali melihat kenyataan kalau pers<br />

selalu mengungkit-ungkit peristiwa itu.<br />

Sebelum kejuaraan dunia tahun 2004, aku telah<br />

merencanakan sebuah pesta, atau kejutan baru,<br />

seandainya aku langsung menang pada balapan awal.<br />

Namun, aku tak jadi melakukannya. Dengan demikian,<br />

apa yang terjadi di Welkom bukanlah suatu kesengajaan.<br />

Kalau kamu kebetulan membaca buku ini, mungkin kamu<br />

bisa melihat apa yang kulakukan. Aku turun dari motorku,<br />

menyandarkannya pada tembok, lalu aku duduk di atas<br />

rerumputan. Kemudian aku bangkit mencium motorku,<br />

maksudku dalam "khayalan". Benar-benar terjadi begitu<br />

saja.<br />

Mestinya aku tak menceritakan kejadian itu dalam<br />

buku ini, dari sekian banyak kejutan dan pesta perayaan<br />

yang pernah ada. Karena hal itu sangat menegangkan dan<br />

bersifat pribadi. Begitu beratnya tekanan dan beban yang<br />

ada sehingga begitu selesai aku merasa seperti terbebas<br />

dari semua emosi yang mengganggu diriku. Nalurikulah<br />

yang membuatku berhenti lalu mencium motor itu.


Peristiwa yang luar biasa dalam kesempatan yang luar<br />

biasa juga. Kejutan dan kejutan, memang berbeda namun<br />

semuanya telah direncanakan dan dilakukan hingga detail;<br />

tak ada ruang improvisasi. Kami tiba di trek balapan dan<br />

tahu pasti apa yang akan kami lakukan. Itulash kenapa<br />

sirkuit Welkom lain dibanding Sepang atau Philip Island.<br />

Di tempat itu, aku benar-benar tahu persis apa yang<br />

kuinginkan, apa yang ingin kutunjukkan. "La Rapida" di<br />

Malaysia, adalah salah satu cara mengungkapkan sindiran<br />

yang...kurang sopan. Juga t-shirt dengan tulisan "Che<br />

spettacolo!" ("Aksi yang luar biasa") adalah simbol sebuah<br />

ujian besar yang...spektakuler.<br />

T-shirt semacam itu tak mudah dibuat karena bisa<br />

jadi tak menarik, aku tak ingin tarnpil tak menarik. Di sisi<br />

lain, tak mudah selalu menjadi yang orisinal. Namun,<br />

lambang pada kaos itu adalah buah dari sebuah impian,<br />

boleh percaya atau tidak. Hal yang belum pernah terbersit<br />

dalam pikiranku. Datang begitu saja dalam tidurku. Waktu<br />

itu tahun 2004, menjelang akhir musim panas, saat aku<br />

yakin benar bisa memenangi gelar juara dunia. Malamnya<br />

aku tidur di rumah, dalam mimpiku aku melihat podium di<br />

Grand Prix Australia mendekatiku, aku disana,<br />

merayakannya, dan aku mengenakan t-shirt bertuliskan<br />

“CHe spettacolo!”. Mimpi membawa pengaruh besar pada<br />

diriku karena nyaris jarang sekali aku bermimpi tentang<br />

motor atau balapan. Aku tak menceritakan mimpi itu<br />

kepada siapa pun. Namun, seusai Grand Prix Malaysia,<br />

saat bersama Gibo dan Uccio, aku berkata : “Aku sudah<br />

mendapat ide tentang kaos yang akan kukenakan begitu<br />

menjadi juara dunia nanti.”<br />

Kata-kataku terbukti. Karena saat kamu berada<br />

dalam kondisi seperti itu, akmu bias mulai merencankan<br />

apa yang akan kau lakukan kalau menang; kamu dalam<br />

keadaan mantap dan kuat sekali. Aku telah menang di


Sepang, saat kami dalam perjalan ke Australia dan sangat<br />

bersemangat. Gibo dan Uccio tahu maksudku. Lalu kami<br />

benar-benar menang di sirkuit Philip Island.<br />

Flavio langsung terbang kembali ke Italia. Ia hanya<br />

punya waktu beberapa hari untuk menyelesaikan kaos itu,<br />

sebelum menyiapkan semuanya untuk kembali ke<br />

Melbourne. Perjalanan yang melelahkan memang, namun<br />

cukup layak. Dan teman-teman di Fan Club bersedia<br />

melakukan apa saja, apalagi soal mengadakan event<br />

penting seperti itu.<br />

Fan Club itu mulai ada sejak balapan pertamaku di<br />

kejuaraan Italia 125cc tahun 1995 di Misano. Untuk kali<br />

pertama serombongan orang berangkat Tavullia ke<br />

tempat balapan melihatku beraksi. Bukan sekadar jalanjalan.<br />

Misano bias ditempuh dalam waktu sepuluh menit<br />

naik kendaraan dari Tavullia, namun bagiku itu masih<br />

istimewa. Selain itu, balapan itu takkan pernah kulupakan.<br />

Pada awal start aku membuat kesalahan hingga berada di<br />

urutan terakhir pada lap paling awal. Dengan penuh<br />

percaya diri, aku melesat hingga berhasil menyalip<br />

semuanya sampai tepat berada di belakang Lucio<br />

Cecchinello yang sementara memimpin di depan. la<br />

terjatuh dan aku berhasil menang. Kemenangan yang<br />

hebat bagiku dan bagi mereka yang berangkat ramairamai<br />

dari Tavullia menonton aksiku. Mereka sangat<br />

gembira sehingga terbentuklah Fan Club itu.<br />

Setelah balapan di Sepang, aku mulai menjelaskan<br />

pada Uccio dan Gibo tentang kaos yang akan kukenakan<br />

di Philip Island.<br />

"Harus berwarna putih dengan tulisan "Che spettacolo,"<br />

ujarku. "Cukup itu saja, tanpa logo, tanpa desain<br />

apa-apa, selain fakta akulah juara dunianya. Cukup dua<br />

kata."<br />

Mereka menatapku sedikit heran, tanpa berkata


sepatah pun.<br />

"Tak ada yang menduga 'kan kalau aku keluar<br />

mengenakan kaos semacam itu!" ujarku seolah<br />

menjelaskan. Mereka sudah tahu apa yang kumaksudkan.<br />

Meski agak kaget (dan sedikit kecewa awalnya), mereka<br />

segera memahami apa yang ingin kulakukan. Terus<br />

terang, aku tak pernah minta nomor 46 tercetak di kaos<br />

itu, namun akhirnya tercetak juga. Lagipula, memang<br />

itulah nomorku, tak mungkin kutolak.<br />

Lelucon "La Rapida", saat kami berpura-pura<br />

menjadi kru cleaning service, tercetus beberapa jam<br />

setelah mengikuti Grand Prix Qatar. Aku masih di hotel<br />

bersama Uccio. Kami sedang menonton acara televisi<br />

Italia via satelit, sambil menunggu ke bandara untuk<br />

pulang. Saat kami pergi ke Doha, aku tak pernah<br />

menyangka kalau akan segera kembali. Namun, aku<br />

sangat marah dan kecewa atas apa yang terjadi: Honda<br />

mengajukan tuntutan karena Jeremy telah membersihkan<br />

jalur start-ku, dan aku ikut-ikutan. Aku masih punya dua<br />

event balapan lagi menungguku Grand Prix Malaysia dan<br />

Australia sehingga aku memutuskan pulang saja kembali<br />

ke Italia, istirahat dan siap-siap. Dan ide "La Rapida" itu<br />

muncul seketika saat kami duduk di hotel menyaksikan<br />

televisi untuk mengisi waktu.<br />

"Nah ini dia, kalau aku menang di Sepang minggu<br />

depan, aku akan membersihkan trek balapan!" ujarku<br />

dalam hati.<br />

Tanganku terluka saat balapan di Qatar, dan aku<br />

perlu perawatan. Begitu sembuh, di Italia aku meraih<br />

telepon dan menghubungi Drudi.<br />

"Aku ingin bertemu denganmu," ujarku.<br />

Bisa kurasakan ia mencurigai sesuatu. Sebelum aku<br />

mengatakan masalahnya, ia sudah langsung mengatakan,


"Aku juga punya ide. Ayo kita bandingkan idenya dan kita<br />

lihat mana yang lebih baik."<br />

Kemudian kami makan malam, menyantap ikan di<br />

restoran pantai Romagna. Hebatnya, kami berdua<br />

mempunyai ide yang sama. Ide kami nyaris sama. Itulah<br />

awal mula tercetusnya ide "La Rapida". Seperti biasa,<br />

kupanggil Flavio Fratesi, sahabat dekatku yang juga<br />

kepala koreografi. Kami selalu melatih dulu lelucon yang<br />

akan kami mainkan sebelumnya, kami berdua saja. Ialah<br />

satu-satunya yang bisa memahami munculnya kaos itu,<br />

baik grafis dan isinya. Tentu saja melegakan punya teman<br />

yang bisa melakukan pekerjaan itu membuat kaos. Kaos<br />

"La Rapida" itu dirancang oleh Aldo, temanku, namun<br />

Flavio-lah sebenarnya yang membuatnya. Hanya dua<br />

potong, satu buatku, satunya lagi untuk Jeremy. Oh,<br />

menurut kepercayaan kami, tak seorang pun boleh<br />

melihatnya sebelum saatnya tiba, kecuali aku dan Flavio<br />

saja. Kalau dilanggar, kami yakin akan kacau, bukan saja<br />

leluconnya akan gagal, aku bahkan bisa kalah balapan.<br />

Aku punya masalah pribadi menyangkut kejutan podium.<br />

Tanpa banyak tanya, Polio Osvaldo (Osvaldo "Sang<br />

Ayam") mesti ada di tempat itu. Sebenarnya, toilet di pit<br />

stop sirkuit Jerez mungkin pilihan terbaik, namun aku<br />

tempatkan Osvaldo "Sang Ayam" dan beberapa polisi lalu<br />

lintas Tavullia tepat di sepanjang area itu. Dan<br />

kenyataannya, aku juga merasa senang dengan kejutan<br />

pertama, yaitu boneka tiup. Darimana ide boneka tiup itu<br />

kalau tidak berawal dari sport bar di Tavullia. Kami perlu<br />

memikirkan masalah perayaan kemenanganku yang<br />

mungkin terjadi nanti pada Grand Prix Imola 125cc (tahun<br />

1996). Dan sejujurnya, aku punya peluang besar untuk<br />

memenangi kejuaraan ImoIa. Namun, karena aku kalah,<br />

ide boneka tiup itu batal kami lakukan. Tahun 1996 itu<br />

adalah debutku pada kejuaraan balapan dunia dan aku


ersama teman-temanku selalu mengikuti perkembangan<br />

yang terjadi dalam dunia balapan. Kami pelajari pembalap<br />

lainnya, gaya mereka saat balapan, dan cara mereka<br />

bergaul dengan sesama pembalap, para wartawan,<br />

ataupun para penggemar. Semakin lama kami pikirkan<br />

masalah itu, semakin sadar kami kalau sebagian besar<br />

dari mereka adalah orang-orang yang membosankan, tak<br />

hebat, dan kuno.<br />

"Membosankan sekali, begitu menang mereka hanya<br />

berkeliling dengan bendera negara mereka!" ujar kami.<br />

"Kenapa tak kita lakukan sesuatu yang belum pernah<br />

dilihat orang sebelumnya dalam olahraga balap motor?"<br />

Lalu kami memikirkan hal-hal yang aneh, hal-hal<br />

yang sangat jarang kamu lihat. Dan salah satu dari kami<br />

mengemukakan gagasannya, lalu kami langsung sepakat<br />

akan idenya.<br />

Kemudian kami melakukannya. Kami langsung<br />

menuju toko mainan orang dewasa. Kami agak malu-malu<br />

saat masuk, meskipun kami sebenarnya sudah cukup<br />

dewasa (sebagian dari kami masih ada yang di bawah<br />

umur: aku sendiri masih berumur 17 tahun saat itu).<br />

Begitu kami ada di dalam, kami baru sadar kalau kami<br />

semua menjadi agak malu.<br />

"Permisi Pak, kami mau membeli boneka seks tiup,"<br />

ujar salah seorang dari kami, berusaha sesopan mungkin,<br />

berkata sebaik mungkin dan terlihat dewasa.<br />

"ya, kami hanya mau membuat lelucon saja dan...,"<br />

sambungku, berusaha mendukung temanku tadi.<br />

"Oh ya, tentu saja," ujar yang punya toko sambil<br />

memandang kasihan.<br />

"Lucu ya karena banyak juga yang mengatakan<br />

demikian. Okelah, terserah kalian mau dipakai buat<br />

apa...kalian bilang mau dipakai untuk membuat lelucon..."


Jelas orang itu tak memercayai kami, ia berpikir<br />

kami sekumpulan anak muda yang kacau yang ingin<br />

memakai boneka itu demi tujuan lainnya.<br />

"Maaf Pak, kami menang hanya mau, memakainya<br />

buat lelucon saja," jawab kami, semuanya merasa<br />

jengkel. "Bapak salah sangka, kami hanya ingin membuat<br />

lelucon dan..."<br />

"Tentu saja, lelucon ya, belum pernah kudengar<br />

yang begitu itu," ia mengulang kalimatnya. "Tapi terserahlah!<br />

Aku tak berhak melarang. Ini bonekanya...nikmati<br />

saja!"<br />

Kupikir dia tak terlalu peduli pada rencana kami dengan<br />

boneka itu. Kami meninggalkan toko mainan orang<br />

dewasa itu dengan boneka tiup baru. Boneka itu akan<br />

memulai kejutannya di sirkuit Mugello tahun 1997 dan<br />

akan cukup menghebohkan, apalagi karena media<br />

mengira kami mau mengerjai Biaggi yang baru-baru itu<br />

terlihat berdua dengan Naomi Campbell.<br />

Yang membuat bingung adalah nama yang kami pilih<br />

untuk boneka itu: Claudia Schiffer. Dalam hal pengucapan,<br />

kamu mesti melafalkannya "Skiffer". Di Italia,<br />

"skiffer" terdengar mirip "schifo" yang artinya "vulgar"<br />

atau "menjijikkan". Itu suatu kesalahan, karena banyak<br />

yang salah menafsirkan plesetan kami. Kami tak<br />

bermaksud apa-apa dengan hal itu, tetapi media langsung<br />

menghubungkan Schiffer ke Biaggi, khususnya karena ia<br />

telah mengumumkan kalau Naomi Campbell masuk dalam<br />

daftar salah satu tamu undangannya di Niugello. Begitu<br />

pers bertanya padaku tentang hal itu, kukatakan:<br />

Claudia Schiffer akan menjadi salah satu tamu<br />

undangan kami!" Sebenarnya, itu tidak ada kaitannya<br />

sama sekali dengan masalah hubunganku dengan Biaggi.<br />

Kejutan paling hebat dalam hidupku. Bagiku, itu


menjadi berita besar dalam podium, mungkin karena itu<br />

satu-satunya lelucon yang tak direncanakan dan tak<br />

dirancang lebih dulu. Semua terjadi begitu saja, di Jerez<br />

pada Grand Prix tahun 1999.<br />

Lelucon toilet-portable adalah gagasanku. Tercetus<br />

waktu aku sedang main bola. Ya benar, sepak bola. Waktu<br />

itu aku biasa keliling santai naik motor atau menggunakan<br />

roller skates pada hari Kamis menjelang balapan. Dalam<br />

kesempatan itu, bersama Michele, Uccio, dan Albi, aku<br />

memutuskan main bola di sekitar trek balapan. Kami<br />

melakukan passing, c<strong>rossi</strong>ng, dan dribbling di sana hingga<br />

sampai pada satu tempat di mana treknya terlihat seperti<br />

stadium sepak bola, dengan beberapa tempat menyerupai<br />

tempat duduk penonton. Tepat di tengah-tengahnya, di<br />

tengah trek tersebut, terdapat sebuah Portaloo, atau toilet<br />

portabel, sejenis toilet yang bisa kamu temukan di gedung<br />

perkantoran. Kupikir aneh, karena benar-benar terkesan<br />

tak pada tempatnya. Ada sebuah bukit di atasnya dan dua<br />

jalan kecil di tepiannya, dan toilet portable itu semestinya<br />

bukan di situ tempatnya. Namun, aku kemudian<br />

membayangkan orang-orang memadati tempat itu,<br />

berkerumun di tiga sisi jalan, memandang ke bawah ke<br />

toilet itu, dan aku berkata dalam hati: "Ini dia, nanti hari<br />

Minggu aku akan berhenti di sini lalu masuk ke sana."<br />

Tak kuceritakan hal itu pada siapa pun, aku hanya<br />

berkonsentrasi pada persiapan menjelang balapan.<br />

Dan, hari Minggu itu aku menang. Selesai balapan,<br />

dalam lap kemenanganku, aku berhenti tepat di dekat<br />

toilet itu, lalu menyandarkan motor di tembok. Penonton<br />

bertepuk tangan dan berteriak, sangat keras, kupikir<br />

mereka mengira aku akan naik ke bukit, cara yang biasa<br />

dilakukan pemain sepakbola mendekati para<br />

penggemarnya begitu mencetak gol. Sebaliknya, aku<br />

justru berbalik dan berjalan ke arah toilet itu. Penonton


makin heboh, mereka bingung memikirkan apa yang<br />

sedang aku lakukan. Lalu aku masuk ke dalam.<br />

Keheningan segera terasa seolah Tuhan memencet tombol<br />

bisu atas keramaian dunia. Di toilet itu, aku tak bisa<br />

mendengar apa-apa. Hal itu sungguh hebat. Mungkin tak<br />

lama, namun benar-benar luar biasa. Begitu aku keluar,<br />

sekali lagi, mereka menjadi semakin histeris dari<br />

sebelumnya.<br />

Indah memang. Tak terlupakan. Itu adalah ide terhebat<br />

yang pernah kualami. Begitu banyak orang dari<br />

berbagai penjuru dunia, yang barangkali bukan<br />

penggemar berat balap motor membicarakan-nya hari itu.<br />

Dan mereka masih membicarakannya hingga kini, dan<br />

tahun-tahun selanjutnya.<br />

Kamu tahu, itulah semangat leluconku: membuat<br />

orang tertawa, membantu mereka merasa senang. Karena<br />

itulah aku memilih melakukan hal-hal yang sederhana,<br />

yang mudah dipahami dan langsung memancing reaksi.<br />

Aturannya, lelucon atau kejutan semacam itu mesti<br />

berlangsung singkat dan langsung membuat orang<br />

tertawa. Demikian juga, mesti ada hubungan mendasar:<br />

berhubungan dengan event yang mudah dimengerti<br />

orang. Sebagai contohnya, di event Mugello 2004, aku<br />

muncul dengan helm bermotif seperti medali kayu. Tak<br />

seperti yang kami rencanakan hasilnya, namun cukup<br />

sukses. Aku masuk urutan keempat dalam dua balapan,<br />

yang bagiku tak seperti biasanya. Banyak yang mulai<br />

mengatakan aku adalah "pembalap dalam masa krisis"<br />

dan berbagai masalah yang diramalkan para pengamat<br />

atas kepindahanku ke Yamaha saat itu menarik<br />

perhatianku. Tak ada yang spesial di sana, gosip biasa,<br />

penilaian yang terburu-buru, komentar tak jelas. Itulah<br />

sebabnya kucat helmku dengan warna motif kayu, karena<br />

aku ingat pepatah kuno yang menyatakan kalau di event


olimpiade, juara keempat mendapatkan medali kayu, di<br />

bawah juara satu, dua, dan tiga yang memperoleh emas,<br />

perak, dan perunggu.<br />

Dengan cara yang sama, tahun 2003 aku memilih<br />

motif bola dan rantai. Lagipula aku "harus selalu menang".<br />

Kalau hanya berada di urutan dua, orang langsung bilang<br />

tamatlah riwayatku. Aku terpenjara kesuksesanku sendiri,<br />

motif bola dan rantai menggambarkan beban itu.<br />

Osvaldo "Sang Ayam" sebaliknya terulang lagi. Terjadi<br />

saat berlangsungnya pertandingan sepak bola, dan<br />

tentu tak ada hubungannya sama sekali dengan dunia<br />

balapan. Setiap tahun di Tavullia diadakan pertandingan<br />

antara "orang yang sudah menikah versus bujangan".<br />

Kami bermain tiap tahunnya bersama Fan Club. Gengku,<br />

yang sebagian besar masih bujangan karena memang<br />

masih muda, akan menantang tim orang-orang yang agak<br />

tua dan sudah menikah. Anak-anak melawan orang<br />

dewasa, demikian ide dasarnya. Kami serius bermain.<br />

Kami bahkan memiliki manajer sendiri. Suatu ketika,<br />

Flavio Fratesi menemui kami dan berkata: "Hai semuanya,<br />

tahun ini kita punya sponsor! Satu-satunya yang ia minta<br />

hanyalah ia diperbolehkan untuk memilih seragamnya ..."<br />

"Oke, lagipula dia bagus bisa menjadi sponsor kita,<br />

tuntutannya tak berlebihan," ujar kami.<br />

Begitu siap mau masuk lapangan, Fratesi memberi<br />

kami kaos seragam. Tulisannya berbunyi "Polleria<br />

Osvaldo" yang artinya "Toko Ayam Osvaldo".<br />

"Kita sudah tak mau main-main dengan itu lagi!"<br />

banyak dari kami yang memprotesnya. Kami sebenarnya<br />

agak tersinggung karena kami terlihat konyol. Sebagian<br />

tetap main dengan memakai kaos itu secara terbalik.<br />

Tahun itu adalah debutku di kelas 250cc. Tahun<br />

1998 merupakan musim yang sangat berat. Tahun itu aku


menjadi "ayam" namun hanya dalam pengertian orang<br />

Italia, yang sangat berbeda artinya dalam bahasa Inggris.<br />

Dalam bahasa Italia, "ayam" atau "pollo" berarti orang<br />

yang belum berpengalaman atau naif. Dan terus terang<br />

saja, pada musim itu aku menjadi "pollo" lebih dari sekali.<br />

Aku cepat, namun Capi<strong>rossi</strong> dan Harada selalu bisa<br />

mengalahkanku saat aku mengira bisa mudah memenangi<br />

balapan. Dalam konteks itu, aku adalah "pollo"—apalagi<br />

kalau berhadapan dengan Harada. Itulah kenapa Fratesi<br />

mulai berpikir kalau kaos Polleria Osvaldo bisa bermanfaat<br />

di trek balapan.<br />

Dan seperti itulah kejadiannya. Di Imola, bulan<br />

September, kostum Aprilia-ku diubah menjadi warna<br />

negara Italia. Merah, putih, dan hijau. Aku bahkan<br />

mengecat warna rambutku menjadi tiga warna tersebut.<br />

Aku merasa mantap, bersemangat, fokus, dan tenang<br />

setelah cuti musim panas. Dan aku menang. Begitu aku<br />

berhenti di depan tempat Fan Club berkumpul, tepat<br />

sebelum masuk tikungan tajam menurun, Flavio<br />

menghampiriku.<br />

"Pakai ini," ujarnya menyodorkan selembar kaos."Ini<br />

kaos pertandingan bola."<br />

"Buat apa sih kaos ini?" ujarku.<br />

"Nggak tahu, simpan dulu saja, sudah pergi sana!"<br />

ujarnya.<br />

Aku meluncur menuruni trek dengan kaos melekat di<br />

balik kostumku. Begitu aku menang, aku bertanya dalam<br />

hati: "mau kuapakan kaos Polleria Osvaldo ini? Aku perlu<br />

ide cemerlang, secepatnya!"<br />

Saat kulihat para wartawan dan kameramen televisi<br />

berdatangan, aku masih bingung belum mendapat ide<br />

mau bilang apa nanti. Namun, tiba-tiba aku mendapat ide.<br />

"Baiklah, aku ingin mengucapkan terima kasih pada


sponsorku, Osvaldo, karena ia telah bersamaku sejak awal<br />

karierku, saat aku ikut balapan minibike," ujarku dengan<br />

ekspresi wajah percaya diri. "la selalu memercayaiku,<br />

selalu mendukungku, bahkan dalam event seperti ini, saat<br />

aku belum banyak memenangi balapan. Dan begitulah<br />

semestinya menyebutkan siapa teman sejatiku. Dengan<br />

demikian, pada kesempatan yang berbahagia ini, aku<br />

ingin mengungkapkan rasa terima kasihku yang sedalamdalamnya!"<br />

"Siapa itu Osvaldo?" kudengar ada yang bertanyatanya.<br />

Sebagian terlihat ragu-ragu, yang lainnya bingung,<br />

dan banyak yang tenggelam termakan umpan lelucon itu.<br />

Merekalah yang membuatku senang.<br />

"Selamat ya Valentino!" ujar mereka. "Sungguh baik<br />

hati seorang superstar mau menunjukkan rasa terima<br />

kasihnya kepada orang kecil!"<br />

Tentu saja kamu mestinya bertanya-tanya siapa<br />

orang-orang yang memberiku ucapan selamat. Tak<br />

terpikirkah dalam benak mereka betapa anehnya tak<br />

seorang pun pernah melihat sponsor bernama Osvaldo?<br />

Kami bahkan punya slogan di kaos itu. Di satu sisi<br />

bertuliskan "Polleria Osvaldo" dan di bagian lain berbunyi<br />

"tiap ayam kenal Osvaldo". Setelah peristiwa itu, kami tak<br />

tahu lagi apa yang akan terjadi nanti. Beberapa hari<br />

kemudian, Fan Club-ku mendapat telepon dari orang yang<br />

mendesain maskot seragam tim bola basket.<br />

"Kudengar Valentino disponsori toko ayam," ujarnya.<br />

"Well, aku kebetulan mendesain maskot ayam untuk<br />

seragam tim bola basket, namun mereka tak mau<br />

memakainya. Aku ingin tahu apa kalian mungkin tertarik<br />

memakainya?"<br />

"Apa kami tertarik? Tunggu apa lagi? Cepat bawa ke<br />

sini!"


Dan dia membawanya. Dan maskot ayam raksasa<br />

itu benar-benar bagus sehingga kami memutuskan akan<br />

mengajaknya ikut ke Barcelona, Grand Prix selanjutnya. la<br />

ikut dalam arak-arakan, yang berarti salah satu dari<br />

teman baikku mesti merangkak seperti ayam dengan<br />

seragam ayam tentunya. Dan begitulah, kisah Osvaldo<br />

mulai menghebohkan.<br />

Beberapa wartawan bahkan percaya aku disponsori<br />

Polleria Osvaldo. Sebenarnya, semua orang juga begitu<br />

saat melihatnya beberapa menit. Namun, selalu ada<br />

pengecualian.<br />

Suatu hari aku didatangi jurnalis RAI, stasiun TV<br />

nasional Italia.<br />

"Valentino, ayo cerita-cerita tentang Osvaldo untuk<br />

acara berita malam," ujarnya. "Pasti akan menarik, karena<br />

ia punya karakter positif."<br />

Tentu saja hal itu jadi agak bermasalah karena<br />

Osvaldo hanya tokoh fiktif . Ia hanyalah kostum ayam<br />

raksasa.<br />

"Aduh, kita mesti bilang apa nanti?" tanyaku sendiri.<br />

Aku senang juga karena ada orang yang begitu mudahnya<br />

tertipu lelucon itu, benar-benar salah paham, dan kini<br />

kebohongan itu bisa saja ketahuan nantinya.<br />

Kami mencoba membujuk jurnalis TV tadi.<br />

"Osvaldo sebenarnya pribadi yang agak aneh," ujar<br />

kami. "Orangnya mudah marah, agak pemalu, dan cepat<br />

tersinggung. Ia tak mau bicara di depan pers, ia tak mau<br />

melakukannya. Buang-buang waktu saja, lupakan saja."<br />

Namun, urusannya tak selesai sampai di situ saja.<br />

Pihak TV ingin bertemu Osvaldo. Mereka selalu mendesak<br />

setiap kali bertemu kami.<br />

"Oke kalau begitu kita undang wartawan dan kru<br />

kamera mereka, dan kita perlu seseorang yang berpura-


pura menjadi Osvaldo," kami bersepakat. Hanya itu satusatunya<br />

jalan keluar.<br />

Dan sekali lagi, tim handal kami cepat bergerak.<br />

Kami perlu orang yang bisa memerankan karakter<br />

Osvaldo. Kami membayangkan Osvaldo orangnya mesti<br />

agak gemuk dan mungkin brewokan. Kemudian kami<br />

memilih Stefano Sordoni dari Rimini, yang bekerja sebagai<br />

petugas tiket tol. Orangnya besar dan brewoken, pilihan<br />

yang sempurna bagi kami. Untuk menyamarkan tokoh<br />

Osvaldo itu, kami juga perlu membuat toko ayam palsu,<br />

tempat Osvaldo menyimpan ayam-ayam dagangannya.<br />

Palazzi, salah seorang anggota Fan Club-ku, ingat kalau<br />

ayahnya punya lahan di pedesaan, lengkap dengan rumah<br />

khas pedesaan yang tak terawat. Kami bergegas pergi ke<br />

sana, membersihkan tempat itu, lalu mengisinya dengan<br />

ayam. Banyak sekali ayamnya. Kami juga memasang<br />

plang, dengan logo sama persis seperti di kaos, dengan<br />

slogan "setiap ayam kenal Osvaldo"—di samping rumah<br />

itu.<br />

Kemudian kami menyadari kalau Osvaldo<br />

membutuhkan alat angkutan yang cocok. Kami memilih<br />

kendaraan Apecar dan...Oke, waktunya sudah habis,<br />

kamu mungkin tak tahu apa itu Apecar, sebaiknya<br />

kujelaskan sekalian. Apecar berasal dari kata "ape" yang<br />

artinya lebah. Dengan demikian, Apecar sebenamya<br />

gabungan antara sepeda motor dan truk. Bak belakangnya<br />

rata, bagian depannya ada ruang kecil tempat sopir,<br />

namun tidak pakai setir atau dasbor model kendaraan<br />

roda empat, melainkan hanya setang ala sepeda motor.<br />

Kendaraan semacam itu cukup dikenal di wilayah<br />

pertanian atau pedesaan karena bak belakangnya cukup<br />

besar. Kurasa kendaraan khas Italia itu mirip pick-up di<br />

Texas dan tempat lainnya di Amerika. Kami mesti<br />

merubah Apecar itu menjadi mobil pengangkut ayam.


Sempurna. Osvaldo terlihat cukup meyakinkan.<br />

"Oke, kalau kamu benar-benar matu ketemu<br />

Osvaldo, kami akan usahakan," ujarku kepada salah<br />

seorang wartawan saat kebetulan bertemu dengannya.<br />

Tentu saja ia langsung setuju dan kami mesti menentukan<br />

harinya.<br />

Begitu wartawan itu datang ke toko ayam sesuai<br />

jadwal yang telah disepakati, kami menunggunya. Aksi<br />

sandiwara segera dimulai.<br />

"Maaf, kami merasa menyesal kamu datang jauhjauh,<br />

tapi Osvaldo membatalkan pertemuan hari ini," ujar<br />

kami. "la tak bersedia ditemui wartawan, orangnya sangat<br />

tertutup".<br />

Tiba-tiba dari arah kiri kami muncullah mobil Apecar<br />

pengangkut ayam, berderu kencang melintasi jalan<br />

pedesaan itu.<br />

"Itu dia!" kami berteriak. "Itu dia, si Osvaldo!"<br />

Kameramen itu segera menyalakan kameranya, siap<br />

merekam.<br />

"Ayo kita ikuti dia!" ujar para wartawan memerintahkan<br />

kru mereka.<br />

"Jangan, tolong jangan lakukan itu!" kami<br />

memohon. "Osvaldo orangnya sangat tertutup, ia bakal<br />

marah besar kepada kami!"<br />

"Apa sith maksudmu? Ayo, kejar dia!" kru TV itu<br />

mendesak.<br />

"Oke, baiklah kalau begitu!" ujar kami, berusaha<br />

tampak serius. "Tapi, kalau ia sampai marah, jangan<br />

salahkan kami."<br />

"Terserah, ayo cepat!"<br />

"Baiklah, terserah kamu juga, jangan salahkan kami<br />

nanti..."


Singkatnya, kami segera berlarian di hamparan<br />

tanah pertanian mengejar Osvaldo yang sedang menyetir<br />

mobil ayamnya.<br />

Begitu kami dekat dengannya, Osvaldo palsu itu<br />

tampil meyakinkan.<br />

"Siapa kalian?" ia berkata dengan suara keras sekali.<br />

"Mau apa kalian disini? Pergi sana! Pergi! Bagaimana<br />

ceritanya sampai kalian bisa menemuiku?"<br />

"Tenang, tenang dulu Osvaldo, tolong tenang dulu!"<br />

kami memohon.<br />

"Pergi dari sini. Cepaaaaattttttttttt!" ia tetap<br />

berteriak.<br />

Perlu profesionalisme tertentu untuk bisa<br />

memainkan lelucon yang membuat kami tak bisa<br />

menahan tawa.<br />

"Aku akan bicara membujuknya dulu, mungkin aku<br />

bisa membuatnya tenang," ujarku.<br />

Aku mendekatinya dan berpura-pura sedang bicara<br />

serius dengannya, sementara para wartawan dan<br />

rombongannya terlihat begitu tegang.<br />

Aku segera kembali ke kru kamera yang sudah<br />

menunggu dan mengatakan, "Oke, ia bersedia diwawancarai."<br />

Semuanya berjalan baik! Wawancara berlangsung<br />

sekitar lima belas menit dan Osvaldo mengatakan hal-hal<br />

yang hebat. Atau tebih tepatnya, si Stefano yang berperan<br />

sebagai Osvaldo mengatakan banyak hal yang hebat.<br />

Skenarionya berjalan sempurna. Liputan beritanya<br />

benar-benar ditayangkan malam harinya di chanel dan<br />

mereka tak curiga sedikit pun.<br />

Leluconku yang lainnya melibatkan polisi lalu lintas.<br />

Tahun 2002, musim pertamaku di motoGP, seperti yang


pernah kukatakan, semua orang merasa yakin kalau aku<br />

selalu menang karena kehebatan motor yang kunaiki.<br />

Motor Honda-ku, semuanya bilang, memang begitu<br />

kencang.<br />

Dan aku punya rencana lagi. Di Grand Prix Italia,<br />

setelah trek lurus Mugello, tempat kamu bisa mencapai<br />

kecepatan 340 km/jam, aku akan berhenti persis setelah<br />

melintasi garis finish, saat mengitari lap kehormatan<br />

(seandainya aku menang nanti, tentunya, namun<br />

kejanggalan itu terasa cukup bagus). Dan di sanalah aku<br />

akan didekati oleh polisi lalu lintas, lengkap dengan alat<br />

deteksi kecepatannya yang biasa dipakai mendeteksi<br />

pengemudi yang ngebut. Dan mereka akan menilangku<br />

karena ngebut!<br />

Idenya datang dari salah seorang anggota Fan Clubku,<br />

Stefano Franca. la akan memerankan salah satu dari<br />

polisi palsu itu, padahal sebenarnya, ia seorang guru<br />

biola. Aku dan teman-temanku tahu beberapa hal tentang<br />

perilaku polisi, karena waktu masih muda kami sering<br />

berusaha menghindari kejaran mereka. Dan kami selalu<br />

kepergok mereka, biasanya karena kami kebut-kebutan<br />

naik sekuter. Dan aku tahu persis kalau mereka biasanya<br />

datang berdua. Sama seperti carabinieri, polisi militer<br />

Italia yang sering jadi bahan lelucon. Yang satunya<br />

biasanya berbadan kurus, dan yang satunya lagi gemuk.<br />

Dan yang kurus aku tak tahu kenapa biasanya galak, tak<br />

pernah memberi kami kesempatan mengutarakan alasan,<br />

polisi yang jahat. Yang gemuk, sebaliknya, biasanya selalu<br />

mulai menegur "Ayo, kalian menepi perlahan, bahaya<br />

sekali di tengah sana." Dan yang kurus biasanya yang<br />

memberi surat tilangnya. Seperti yang pernah kukatakan,<br />

mirip skenario polisi balk dan jahat. Setidaknya, itulah<br />

sebagian kisah sebelum kami menjadi dewasa.<br />

Singkatnya, kami membutuhkan tokoh polisi kurus


dan gemuk. Stefano cocok untuk peran polisi kurus. Dan<br />

ayah Uccio, Rino, bersedia berpura-pura menjadi polisi<br />

gemuk. Seragam yang dipakai memang asli kami meminjamnya<br />

dari kantor polisi Tavullia. Bahkan kami menandatangani<br />

surat pernyataan tidak akan menyalahgunakan<br />

seragam itu untuk "tujuan tertentu".<br />

Kami minta Dorna sebagai pihak penyelenggara<br />

kejuaraan dunia balapan itu mengijinkan kami menempatkan<br />

dua polisi palsu setelah garis finish.<br />

Mereka senang-senang saja. Dan begitu aku<br />

menang melintas garis ngebut, aku langsung kena tilang<br />

karena ngebut.<br />

Tapi, untungnya bohong-bohongan. Tak seperti tilang<br />

sesungguhnya yang dulu sering kuterima!


8<br />

CAPITOLO OTTO<br />

SEPERTI yang telah kuungkapkan sebelumnya, Jeremy<br />

memutuskan untuk meninggalkan Honda hanya setelah<br />

aku sendiri memutuskan untuk meninggalkannya. Namun,<br />

ketika dihadapkan pada kemungkinan apakah kami dapat<br />

menang musim pertama bersama Yamaha, Jeremy-lah<br />

yang kali pertama meyakini kalau itu bisa jadi kenyataan.<br />

Aku menyadari ini untuk kali pertama pada November<br />

2003, dalam sebuah uji coba bersama Yamaha di<br />

Malaysia. Aku tidak diperbolehkan hadir di sana karena<br />

Honda tidak mengizinkan aku untuk uji coba bersama tim<br />

lain sebelum kontrakku dengan mereka berakhir pada 31<br />

Desember 2003. Kami memutuskan bahwa aku tinggal di<br />

rumah sementara Jeremy pergi ke Malaysia untuk<br />

mempelajari motor tersebut lebih jauh.<br />

Pendapat Jeremy sangat penting bagiku dan aku pikir<br />

keberadaannya di sana sangat diperlukan untuk<br />

memahami situasi lapangan.<br />

"Ia sudah dua puluh tahun sukses bersama Honda.<br />

Ia akan segera tahu apa yang dibutuhkan Yamaha untuk<br />

menang," pikirku.<br />

Ia juga sadar kalau di sana ada kesulitan-kesulitan<br />

penting yang harus dihadapi. Selain antusiasmenya,<br />

Jeremy tak menutup-nutupi kenyataan kalau masih<br />

banyak yang harus dilakukan pada motor itu. Masalahmasalah<br />

ini sangat serius dan itulah sebabnya ia harus<br />

ada di sana. la ingin tahu apa yang akan aku hadapi di<br />

sana.<br />

Pada waktu itu, Yamaha bukanlah tim pemenang.


Itu sudah kami sadari sebelumnya. Namun, kami<br />

terdorong untuk mengetahui secara persis mengapa itu<br />

sampai terjadi. Kami ingin tahu apa yang kurang. Itulah<br />

prioritas kami selama bulan November itu, sebelum aku<br />

akhirnya menggunakan M1 perdanaku. Itulah sebabnya<br />

keberadaan Jeremy di sana begitu penting bagiku.<br />

"Yang perlu ia lakukan hanyalah mengatakan<br />

kepadaku kalau motor itu sudah punya modal dasar yang<br />

cukup untuk memenangi balapan," aku berkata dalam hati<br />

ketika berpisah dengannya pada malam<br />

keberangkatannya menuju Sepang.<br />

"Jangan khawatir akan hal itu," ia meyakinkan aku.<br />

"Aku akan lihat kinerjanya dan akan kulaporkan segera."<br />

Tetapi, aku tetap saja khawatir. Setiap hari, aku<br />

dengan antusias menunggu perkembanganperkembangan<br />

yang disampaikan Jeremy dari Malaysia.<br />

Kami berkomunikasi melalui telepon dua kali sehari.<br />

"Jangan khawatir, kami baik-baik saja," ujar Jeremy pada<br />

hari terakhirnya di Malaysia. "Aku dapat katakan kalau<br />

Yamaha memiliki apa yang kamu butuhkan."<br />

Itulah kata-kata yang aku tunggu-tunggu. Ketika ia<br />

menghubungi-ku, aku sedang mengemudi di sekitar<br />

London. Aku sangat tertarik. "Bagus sekali! Ini fantastis!"<br />

ujarku penuh rasa ingin tahu, dan dengan tidak sabar aku<br />

segera melanjutkan: "Katakan padaku, apa yang kamu<br />

tahu tentang motor itu!"<br />

"Well, aku bisa bilang kalau, dan aku yakin aku<br />

harus meneliti lebih dalam lagi, gas ada di sebelah kanan,<br />

kopling di kiri, rem depan di kanan..." ujarnya datar,<br />

dengan gaya bicara seperti biasanya. Itulah ciri khas<br />

Jeremy: selalu melemparkan humor di saat yang tidak<br />

terduga. Kami berdua meledak dalam tawa, aku di London<br />

dan dia di Sepang. Aku tahu persis maksud Jeremy dan ia<br />

senang karena aku mengerti maksudnya itu.


"Yamaha itu 'kan hanya sebuah motor. Semua<br />

tergantung pada siapa yang mengembangkan dan<br />

mengendarainya," itulah pesan Jeremy. Dan beberapa<br />

bulan kemudian, aku akhirnya membuktikan apa yang<br />

telah aku ketahui: Jeremy benar untuk kesekian kalinya.<br />

Walau begitu, dalam perbincangan terakhir di telepon<br />

sewaktu ia menenangkan aku, Jeremy mungkin tidak<br />

benar-benar berterus-terang kepadaku soal motor itu.<br />

Tidak ada hal besar, aku hanya sedikit khawatir. meski<br />

begitu, sikapnya tidak mengangguku karena aku tahu<br />

semuanya ini demi tujuan akhir kami: sukses. Jeremy<br />

mencoba berpikir positif, menyadari kalau memang ada<br />

masalah. Tetapi, ia sekaligus percaya kalau kami dapat<br />

menanganinya. Tidak ada alasan untuk berkecil hati. Aku<br />

menyadari ini dan karenanya menghargai upaya Jeremy;<br />

aku tahu Jeremy dengan baik. Aku tahu taktiknya: yang<br />

paling penting baginya adalah menyebarkan optimisme<br />

dan keyakinan positif terhadap tim baru ini. Ini dilakukannya<br />

karena tahu kalau saat itu adalah masa-masa awal<br />

petualangan kami. Ketenangan, kepercayaan dan<br />

antusiasme sangatlah penting. Itu adalah titik awal yang<br />

sudah siap kami jalani dan memang itulah yang kami<br />

butuhkan. Dan aku setuju dengannya. Lagipula, ia adalah<br />

Jeremy Burgess. Begitulah dia. Seperti itulah dia. Dan<br />

begitulah caranya menangani balapan juga kerjanya di pit.<br />

Ketenangan, perenungan, sikap positif, dan nalurilah yang<br />

menjadi kekuatannya. Aku sangat menyukai sifatnya<br />

karena aku paling tidak suka pesimisme. Apalagi kalau<br />

seseorang mulai gugup. Orang-orang yang menganalisis<br />

situasi dengan berpikir soal sisi negatifnya terlebih dulu<br />

bisa membuatku marah. Orang-orang itu membuatku<br />

jengkel.<br />

Jeremy kebalikannya. Kalau suatu balapan tidak berjalan<br />

baik, analisisnya selalu didasarkan pada optimisme.


Jeremy bukanlah tukang khayal ataupun tipikal romantis.<br />

la tidak mencari-cari kesalahan. Sebaliknya, ia secara<br />

tulus terus mencari sisi-sisi positif agar dapat digunakan<br />

untuk mengatasi sisi-sisi negatif. Aku setuju dengannya<br />

dalam melihat berbagai hal. Itulah mengapa aku dan<br />

Jeremy dapat berkerja sama dengan baik.<br />

Saat aku memikirkan mentalitas Jeremy, aku selalu<br />

ingat Grand Prix Jerman tahun 2001. Aku masih mengacu<br />

event itu sebagai contoh dalam berproses belajar. Event<br />

itu juga menjadi hikmah bagi orang-orang lainnya.<br />

Itu adalah saat-saat yang menegangkan. Aku menyelesaikan<br />

balapan ketujuh di Sachsenring. Biaggi yang<br />

memenangi balapan itu, sementara aku masih di posisi<br />

pertama dalam urutan keseluruhan, lead-ku mengecil<br />

hanya sepuluh poin. Aku sadar kalau aku mengalami<br />

balapan yang jelek. Setelah itu aku duduk di atas peti<br />

kayu berisi suku cadang. Mentalku jatuh. Di sekelilingku,<br />

orang-orang sangat sedih dan aku dapat merasakan<br />

elang-elang mengelilingi kami, menunggu waktu memangsa<br />

korbannya: aku sendiri. Aku melihat wartawanwartawan<br />

dari Italia dan aku tahu kalau mereka bisa<br />

mengendus korban yang sudah luka, yang siap dimangsa<br />

di hadapan publik. Mereka ingin berbicara denganku,<br />

tetapi aku tidak tertarik untuk berbicara dengan mereka.<br />

Tentu saja, aku sedang memikirkan berbagai hal, tetapi<br />

aku ingin menyimpan itu untukku saja. Aku sedang<br />

membicarakan hal-hal yang kurasakan sangat penting<br />

dengan Jeremy, jadi kami mengatakan kepada pers kalau<br />

kami bersedia berbicara nanti. Dan saat itulah hal-hal<br />

terburuk menjadi kenyataan.<br />

Ini bukan kali pertama kami mengundur wawancara<br />

paska-balapan dengan alasan serupa, namun kali ini para<br />

wartawan mulai tidak menyenangkan dan mengatakan<br />

hal-hal yang paling tidak masuk akal.


"Bagus sekali! Sekarang saat mulai kalah dalam<br />

balapan, Valentino tidak ingin bicara! Kamu memang<br />

contoh luar biasa dalam sportivitas olahraga."<br />

Aku sedang berada di dalam pit sewaktu mereka<br />

mengatakan itu. Tetapi, aku dapat mendengar mereka<br />

dengan jelas karena hanya ada tembok tipis yang<br />

memisahkan kami. Aku duduk saja di sana, mengongkang<br />

kaki di peti kayu, menyangga kepala dengan kedua<br />

tanganku, sementara siku-sikuku ada di atas kedua<br />

lututku. Aku sangat kecewa, marah, dan terganggu.<br />

Ketika itu aku berumur 22 tahun dan saat itu adalah<br />

musim kedua balapan di kelas 500cc. Memang benar aku<br />

masih perlu mendapatkan pengalaman lagi, tetapi aku<br />

juga ada di peringkat pertama. Jeremy menghampiriku<br />

dan kami mulai berdiskusi.<br />

Ia mulai menganalisis balapan itu, mencoba menemukan<br />

alasan-alasan di balik masalah-masalah kami<br />

dan ia menyimpulkan situasi yang sedang kami hadapi. Ia<br />

tampak sangat bersemangat. Aku menyadari bahwa<br />

keseluruhan analisisnya itu berdasarkan optimisme.<br />

"Aku rasa ini bukan saatnya melihat sisi positif<br />

permasalahan kali ini," ujarku. Jeremy tersenyum. Ia<br />

seolah-olah menikmati keadaan ini. Aku tidak tahu,<br />

mungkin ia menganggap ini lucu dan bagi pihak luar, hal<br />

ini bisa jadi tampak lucu. Tetapi, kenyataannya, aku sama<br />

sekali tidak dapat menerima kekalahan. Aku tidak tahan<br />

kalau harus kalah. Aku selalu sangat marah setiap aku<br />

kalah. Sering kali aku menjadi marah kalau hanya berhasil<br />

menempati urutan kedua, jadi bisa kamu bayangkan<br />

bagaimana perasaanku ketika tiba di garis finish di urutan<br />

ketujuh.<br />

"Kamu tidak pernah suka trek ini," ujar Jeremy.<br />

"Kita baru tiba dari Jepang, setelah mencoba Suzuka Eight<br />

Hour Race, uji coba yang kamu juga tidak pernah ingin


lakukan. Tetapi, Honda memaksamu, sehingga kamu tiba<br />

dengan mood yang jelek. Apalagi ketika kamu baru<br />

sampai di sini, kamu sangat lelah, belum lagi terkena jet<br />

lag. Semua ini memengaruhi kondisi psikologis. Kamu<br />

tidak datang ke tempat ini dengan tenang dan bahagia,<br />

artinya kamu belum siap untuk berlomba di Grand Prix<br />

ini."<br />

Kata-katanya membuatku berpikir.<br />

"Lagipula dalam balapan ini kamu masuk garis finish<br />

di belakang lima Yamaha dan hal itu hampir tidak pernah<br />

terjadi," ia menambah-kan. "Artinya, ini adalah situasi<br />

yang tidak biasa. Ada sesuatu yang keliru dalam balapan<br />

ini, tidak seperti biasanya. Kenyataannya, situasinya juga<br />

berbeda. Faktanya, kitalah yang tercepat."<br />

Di titik ini ia memengaruhi pandanganku.<br />

"Lagi pula, kita masih di urutan pertama," ujarnya.<br />

"Dan kita memimpin sepuluh angka. Sepuluh angka 'kan<br />

cukup banyak. Coba kamu pikir...apa masalahnya?"<br />

Aku memandang Jeremy dengan tatapan berbeda.<br />

"Well, kalau kamu berpikir seperti itu, aku rasa<br />

kamu benar... apa masalahnya?" ujarku dengan mata<br />

bertanya-tanya. Aku telah menemukan kembali rasa<br />

humorku dan itu karena aku mulai melihat berbagai hal<br />

dari sudut pandang Jeremy dengan sisi positifnya, dan aku<br />

menemukan jalan untuk melihat berbagai permasalahan<br />

dunia. Sewaktu meneliti peristiwa ini, aku belajar kalau<br />

kami dapat melihat segala permasalahan dari sisi positif<br />

atau negatif, dan akan selalu lebih baik kalau memilih sisi<br />

positif.<br />

Itulah yang kulakukan. Aku mulai berbenah diri demi<br />

masa depan, memikirkan apa yang belum kami lakukan<br />

pada balapan-balapan yang masih belum diselenggarakan.<br />

Balapan berikutnya adalah Grand Prix Ceko di Brno. Ada


satu bulan penuh jeda antara Grand Prix Sachsenring dan<br />

Brno. Tetapi, aku tahu kalau aku tidak punya banyak<br />

waktu luang untuk berlatih. Segera setelah balapan di<br />

Brno, aku bersiap-siap untuk "Eight Hours of Suzuka".<br />

walaupun sebenarnya aku tidak menginginkannya, aku<br />

memenangi balapan itu.<br />

Sewaktu kembali dari Jepang, aku mencoba untuk<br />

beristirahat, tetapi aku tidak dapat beristirahat lama<br />

karena harus meneliti semua artikel dan tulisan di<br />

beberapa surat kabar bulan itu. Di situ disebutkan kalau<br />

setiap orang mengatakan bahwa Biaggi berhasil<br />

menyusulku, tertinggal sepuluh poin tidaklah sukar, dan<br />

bahwa kali ini Biaggi akan memberiku pelajaran. Inilah<br />

pendapat sebagian besar media dan banyak penggemar.<br />

Selain itu, Brno adalah trek kesukaan Biaggi karena<br />

ia telah menang beberapa kali di sana dan selalu<br />

bertanding dengan baik. Itulah kenapa masuk akal untuk<br />

menganggap kalau Biaggi akan berlomba secara agresif,<br />

sementara aku bermain lebih defensif. Dan, seperti<br />

banyak cerita duel klasik, proses sebelum pertandingan<br />

biasanya jadi kisah menarik.<br />

Kelompok yang dulu tidak pernah terkenal yang ada<br />

jauh dari kota Tavullia membentuk "Max Biaggi Fan Club"<br />

untuk menandingi Fan Club milikku. Tentu saja, semua ini<br />

adalah bagian dari permainan, tetapi dalam kasusku,<br />

mereka membuat hubungan yang jauh lebih menekan.<br />

Aku mencoba untuk low-profile di Brno pada a-<br />

walnya. Pada konferensi pers hari Kamis, aku tetap<br />

tenang. Aku biarkan yang lain saja yang berbicara. Aku<br />

tetap memakai kacamata hitam dan duduk diam,<br />

walaupun aku duduk persis di sebelah Biaggi!<br />

"Kami belum pernah melihatmu begitu pendiam,"<br />

seseorang bertanya kepadaku. "Kamu tampak memikirkan<br />

banyak hal. Kamu tertekan oleh perlombaan ini ya?"


"Bukan, aku seperti ini karena aku tidak menikmati<br />

perusahaan itu," jawabku. Semua orang tahu siapa yang<br />

kumaksud.<br />

Biaggi begitu luar biasa saat uji coba pada hari<br />

Jumat-nya. la yang tercepat dan aku hanya di urutan<br />

ketujuh, satu setengah detik di belakangnya. Pada hari<br />

Sabtu-nya, ia memenangi pole, namun aku berada di<br />

urutan kedua dan sekarang menjadi sepersepuluh detik di<br />

belakangnya. Aku mengalami kemajuan pesat.<br />

Biaggi sangat baik mengawali start-nya, berusaha<br />

memacu motornya dengan kecepatan penuh, tetapi aku<br />

berhasil menempel ketat di belakangnya. Anehnya, di<br />

waktu-waktu itu, aku mengawali start dengan baik, hal<br />

yang sebenarnya tidak biasa bagiku karena aku cenderung<br />

mengawali start dengan jelek. Bagian pertama balapan<br />

berpola sama. Biaggi mulai meluncur cepat dan aku<br />

menempel di belakangnya. Kemudian ia meluncur cepat<br />

lagi dan aku menempel lagi di belakangnya. Hal seperti itu<br />

terjadi berulang-ulang. Ini seperti balapan di Welkom. la<br />

harus merebut gelar juara di musim itu dan ketika itu ia<br />

harus menerima perlawanan dariku. la harus mengalahkan<br />

aku. Aku berjuang untuk mengimbangi karena ia benarbenar<br />

cepat. Aku berusaha habis-habisan, fisik maupun<br />

mental, untuk sekadar bertahan di sana. Kami berdua<br />

mengambil risiko besar. Walau begitu, aku harus<br />

mengimbanginya.<br />

Ada satu kelebihan dari trek itu yaitu di ujung<br />

tikungan tajam kiri-kanan tempat ia akan selalu menoleh<br />

untuk melihat di mana aku berada. Aku mencoba berada<br />

sedekat mungkin dengannya tiap kali kami melewati<br />

tempat itu. Dan tiap kali ia menoleh, aku mengangkat<br />

tangan kiriku dan melambai kepadanya. Itu caraku<br />

memberitahu dia kalau balapan ini bisa kujalani dengan<br />

mudah, dan aku benar-benar menempelnya ketat.


Kami berdua memacu motor kami sangat cepat,<br />

menggeber kinerja motor-motor tersebut sebisa mungkin.<br />

Dan karena Biaggi memacu terlalu keras, ia akhirnya<br />

terjatuh. Kami sampai pada suatu tikungan ke kiri, ia<br />

miring begitu tajam hingga Yamaha-nya tidak menyentuh<br />

aspal dan selip. Proses jatuhnya begitu perlahan seperti<br />

slow-motion. Tidak seperti mega-spill yang kalian lihat<br />

dengan 500cc. Motornya seolah memutuskan untuk<br />

berbaring saja di aspal.<br />

Aku berada dalam kondisi emosional yang aneh saat<br />

itu. Aku tidak menyadari atau mungkin tidak mau<br />

menyadari kalau Biaggi sudah jatuh. Aku begitu<br />

terkonsentrasi pada tujuanku untuk tidak membiarkannya<br />

melaju cepat dan membuat jarak yang terlalu jauh<br />

denganku. Dan waktu ia jatuh, aku amat menyesali<br />

kejatuhannya.<br />

"Ah, itu 'kan nggak benar-benar terjadi, oke, kita<br />

hat sebentar lagi," ujarku dalam hati. Kemudian pada lap<br />

berikutnya, aku melihat bekas selipnya di aspal.<br />

"Ya ampun, ia benar-benar jatuh," ujarku dalam<br />

hati. Dan aku tetap saja memacu motorku semaksimal<br />

mungkin, meski aku sudah begitu memimpin dan masih<br />

ada sepuluh lap lagi untuk dilalui. Di sisi lain, aku<br />

mendengar bunyi NSR-ku. bisa dengar suara bergetar<br />

seolah sesuatu akan lepas. Aku belum pernah mengalami<br />

yang seperti ini. Tidak pada Honda. Tetapi, sebetulnya<br />

tidak terjadi apa-apa. Konsentrasiku begitu terganggu<br />

sampai-sampai aku berimajinasi mendengar sesuatu.<br />

Tidak ada suara-suara aneh yang keluar dari motorku.<br />

Brno adalah pertunjukan terakhir kami. Kami berdua<br />

sadar kalau pemenangnya akan merebut gelar juara<br />

dunia. Itulah mengapa kami begitu habis-habisan.<br />

Sebelum balapan, aku berbicara kepada Jeremy:<br />

"Baik. Kalau memang ia menang dan aku berada di urutan


kedua, ia mendapat lima poin dan aku tetap memimpin<br />

lima poin. Beberapa balapan masih menanti, artinya<br />

masih ada banyak celah untuk dimainkan."<br />

Aku rasa, alasan semacam itu membuktikan kalau<br />

kami cukup relaks, meski dalam hati kami tahu kalau kami<br />

tidaklah setenang yang kami harapkan. Balapan itu sendiri<br />

begitu menekan.<br />

Terlepas dari soal masih memimpinnya aku dalam<br />

perolehan poin, setelah jatuhnya Biaggi, posisi itu semakin<br />

kuat. Yang penting, aku sudah bereaksi benar dan sudah<br />

memberi respons yang baik terhadap berbagai<br />

permasalahan yang kuhadapi di Sachsenring.<br />

Dan semua ini berkat Jeremy. Kombinasi dari apa<br />

yang terjadi pada Suzuka tempat aku memenangi balapan<br />

yang sangat sukar dengan berupaya keras—dan bincangbincangku<br />

dengan Jeremy telah menghasilkan efek yang<br />

sangat positif. Sikap Jeremy menular ke seluruh tim<br />

Yamaha sejak kedatangannya di Sepang untuk melakukan<br />

serangkaian uji coba pada bulan November 2003. Berpikir<br />

lagi soal itu, aku rasa Jeremy bisa saja mulai dengan<br />

bercerita soal masalah-masalah yang ada di motor itu<br />

dan, sebenarnya, ada banyak masalah di tahap awal itu.<br />

Ada begitu banyak yang harus dilakukan dan beberapa di<br />

antaranya perlu segera diselesaikan.<br />

Jujur saja, ketika aku berbicara dengan Jeremy<br />

melalui telepon, aku berharap ia mengatakan hal-hal yang<br />

berbeda. Aku membayangkan ia mengatakan hal-hal<br />

seperti, "Wah, keempat silinder motor ini tidak bekerja<br />

maksimal, motor ini tidak punya cukup daya, kita perlu<br />

membentuk-ulang rangka motornya, roda-rodanya juga<br />

terlalu cepat bergerak...". Aku berharap ia mengatakan<br />

hal-hal ini yang, sialnya, ternyata benar setelah aku<br />

kemudian mencobanya. Kalau Jeremy berbicara soal itu,<br />

aku tidak akan terkejut. Komentar semacam itu sah-sah


saja. Memang, aku akan diingatkan untuk lebih berhatihati,<br />

tetapi aku tidak akan terkejut.<br />

Aku juga menghargai sifat Jeremy yang bertanggung<br />

jawab terhadap setiap hal. la tidak pernah mengecilkan<br />

arti suatu tantangan. Membuat daftar masalah atas<br />

Yamaha sama saja dengan melempar tanggung jawab itu<br />

ke orang lain. Ini sama artinya dengan mengatakan: "Yah,<br />

begitu banyak masalah seperti yang sudah kukatakan.<br />

Kalau ada yang tidak berjalan sebagaimana mestinya, itu<br />

bukan salah kami. Lagipula, Yamaha ya Yamaha..."<br />

Sebaliknya, ia hanya berkata, "Yah, itu tergantung<br />

cara kami mengatasi permasalahan-permasalahan yang<br />

ada!”<br />

Itulah yang sangat aku suka dari Jeremy. Ia selalu<br />

berpikir objektif, tenang, optimis, terukur: saat motor<br />

yang digunakan bekerja baik atau gaga!. Cara kerja<br />

seperti itulah yang kusukai.<br />

Sebelum Yamaha, kurasa Jeremy sedikit<br />

terpengaruh oleh mentalitas Honda. Jeremy, pada bulanbulan<br />

terakhirnya di Honda, mulai berpikir sama seperti<br />

tim HRC memenangi perlombaan adalah hal biasa, bukan<br />

hal yang perlu dirayakan, meski memang diharapkan.<br />

Jeremy sama sekali tidak membiarkan dirinya terjebak<br />

dalam hal itu, tetapi ia tetap konsisten. Namun, ketika ia<br />

di Yamaha, beberapa hal berubah. Agaknya, ia kembali<br />

jadi tipe orang sebelum bulan-bulan terakhir di Honda. Ia<br />

santai dan tenang, tetapi juga penuh konsentrasi dan<br />

gigih.<br />

Jeremy bukanlah tipe orang yang suka datang,<br />

berteriak-teriak, dan menimbulkan kekacauan. Ia selalu<br />

tersenyum, bahagia, dan tidak menyembunyikan suka<br />

citanya. Dengan kata lain, ia begitu menikmati hidupnya<br />

yang tenang. Begitulah, gaya Jeremy sejalan dengan<br />

penampilan dan pendekatanku yang kalem pada olahraga


yang kutekuni ini. Aku butuh orang-orang yang tenang di<br />

sekelilingku. Orang-orang yang akan bersikap santai dan<br />

positif di dalam dan di luar pit karena pada dasarnya aku<br />

memiliki sikap seperti itu.<br />

Hal lain yang membuatku langsung suka pada Jeremy,<br />

yang membantu kami untuk saling memahami,<br />

adalah ia terus terang dan apa adanya, seperti aku juga.<br />

Kami bebas berbicara dan berbagi hal-hal paling penting<br />

sekalipun. Itulah yang utama. Kami tidak buang-buang<br />

waktu satu jam untuk hal-hal yang sebenarnya bisa<br />

dibicarakan dalam sepuluh menit. Kami juga tidak suka<br />

buang-buang waktu membicarakan omong kosong yang<br />

sebetulnya tidak penting. Jeremy bukanlah seorang yang<br />

suka menghabiskan waktu di pit hingga pukul 10 malam,<br />

untuk berjaga-jaga kalau terjadi sesuatu. Ia mengungkapkan<br />

pendapatnya, lalu bekerja keras setelah itu, dan<br />

kalau tidak ada masalah serius, semua dapat diselesaikannya.<br />

Ia tahu bagaimana menjalankan tanggung<br />

jawabnya. Pandangannya betul-betul seimbang. Itu hal<br />

yang selalu aku hargai darinya maupun anak buahnya<br />

yang kemudian bergabung dalam timku sebagai mekanik.<br />

Jeremy itu tipe pekerja yang metodenya bagus, apalagi<br />

ia tahu persis apa yang ia butuhkan. Itulah mengapa<br />

rapat teknis kami selalu sangat singkat. Kami selalu tahu<br />

apa yang perlu kami perbincangkan dan sudah terbiasa<br />

berkonsentrasi pada hal-hal yang menjadi prioritas. Kami<br />

mengidentifikasi masalah-masalah paling serius terlebih<br />

dulu agar kami dapat menyelesaikannya tanpa terganggu<br />

isu-isu lain yang tidak terlalu penting. Kami meneliti<br />

faktor-faktor menentukan: memeriksa roda-roda, setelan,<br />

kami membandingkan banyak hal dan akhirnya<br />

memutuskan apa yang harus diperbuat. Begitulah<br />

caranya. Sisanya hanyalah omongan berbelit-belit yang<br />

ada gunanya. Konsep kami tentang balapan motor


didasarkan pada kesederhanaan, keakuratan, dan<br />

konsentrasi pada hal-hal penting.<br />

Ide-ide Jeremy selalu jelas. Ia memikirkan,<br />

mengerti, dan mengamati berbagai hal. Tidak ada yang<br />

beres sebelum ia menyatakan ungkapan khasnya: Let’s do<br />

this! Aku mendengarkan setiap penilaiannya. Aku juga<br />

mempelajari hal-hal tersebut dan sewaktu aku<br />

memutuskan "OK", kami langsung bertindak cepat karena<br />

memang kami berdua bekerja serasi. kami tidak pernah<br />

meragukan pendapat masing-masing, karena memang<br />

saling memercayai. Di luar masalah pekerjaan, kami<br />

santai bersama dan bersenang-senang baik di dalam atau<br />

di luar pit.<br />

Kadang-kadang, selama pertemuan-pertemuan<br />

teknis kami, aku memerhatikan kalau pada saat tertentu,<br />

Jeremy berhenti mendengarkan. Ia akan ikut mengangguk<br />

tetapi memikirkan jalan keluar dari masalah-masalah yang<br />

terungkap, dan mengevaluasi pilihan-pilihan solusinya. Ia<br />

telah seratus persen berkonsentrasi pada pekerjaannya<br />

saat itu juga. Aku tahu Jeremy melakukan ini, dengan<br />

hanya melihatnya aku tahu apa yang ia sedang pikirkan.<br />

Juga sebaliknya. Aku dan Jeremy dapat berkomunikasi<br />

hanya dengan melihat ekspresi wajah kami masingmasing.<br />

Kemudian, setelah salah satu dari kami ingin<br />

menyampaikan hal yang penting, kami akan mengutarakannya<br />

dalam bahasa Inggris. Memakai bahasa itu<br />

bukanlah mau kami; itu karena terpaksa.<br />

"Kamu semestinya mempelajari istilah-istilah teknis<br />

dalam bahasa Inggris dengan lebih baik, sementara itu<br />

aku akan coba belajar bahasa Italia." Itulah yang ia<br />

katakan kepadaku sewaktu aku tiba di Honda pada akhir<br />

tahun 1999. Aku mempelajari seluruh istilah teknis<br />

tersebut, tetapi Jeremy tidak pernah belajar sepatah kata<br />

pun bahasa Italia. Pada awalnya ia mencoba, tetapi


upayanya itu nampaknya tidak berhasil baginya. Sekali ia<br />

menyadari kalau aku telah mempelajari istilah-istilah<br />

teknis dalam bahasa Inggris, bahasa Italia jadi tidak<br />

terlalu penting untuk karier maupun kehidupannya. Ia lalu<br />

berhenti mempelajari bahasa Italia. Ia bersumpah, yang<br />

pastinya ia pelajari dariku atau salah satu temanku, kalau<br />

sama sekali tidak bisa berbicara bahasa Italia. Terkadang,<br />

aku menggoda Jeremy karena keterbatasannya berbahasa<br />

Italia. Dan inilah satu-satunya janji Jeremy padaku yang<br />

belum ia penuhi. Tapi jujur saja, hal yang sama terjadi<br />

ketika aku berbicara bahasa Inggris. Kadang apa yang<br />

kubicarakan tidaklah jelas atau terdengar keliru. Jeremy<br />

tidak membuat keterbatasanku berbahasa Inggris menjadi<br />

lelucon, ia hanya mencoba mengerti apa yang telah<br />

kusampaikan padanya. Aku rasa, ia melakukan ini karena<br />

kalau ia mulai menertawai kemampuan bahasa Inggrisku,<br />

aku akan melakukan hal serupa atas ketidak<br />

berdayaannya berbahasa Italia.<br />

Anak-anak tim Yamaha telah mengambil prinsip<br />

hidup Jeremy. Tim itu sudah terbiasa dengan cara pikir<br />

dan gaya kerjanya. Mereka sangat piawai dalam<br />

pekerjaan, mereka juga akurat dan sederhana dalam<br />

memberitahu hal-hal yang perlu mereka sampaikan.<br />

Jeremy juga mempraktikkan filosofi yang kerap<br />

disampaikannya. Bahkan dalam tim kami, ia mulai<br />

dipanggil "the wise man". Kalau aku harus merujuk pada<br />

ucapan Jeremy, aku akan berkata "seperti yang the wise<br />

man bilang..."<br />

Hal lain yang yang kusukai dari Jeremy, ia mendengar<br />

dengan sabar apa yang dikatakan orang lain, dan<br />

beberapa menit kemudian meringkas poin-poin pentingnya,<br />

kerap kali disertai sindiran. Ialah pemenangnya.<br />

Ia haus kemenangan (kadang malah lebih haus dari aku<br />

sendiri). Ia ingin menang di tiap balapan. Seluruh


alapan. Ia tidak peduli dengan masalah yang ada. Ia<br />

hanya ingin menang.<br />

Kalau aku kalah, ia tidak akan mengeluhkanku atau<br />

berkata aku seharusnya berbuat lagi. Ia tidak akan ikutikutan<br />

mempermasalahkan gaya balapanku. Tapi, itu juga<br />

tidak lazim. Biasanya, semua orang memberi nasihat<br />

kepada pembalap motor. Semua orang ingin<br />

mengemukakan masalah yang seharusnya menjadi urusan<br />

pembalap itu sendiri, bukan urusan orang lain. Sering kali<br />

campur tangan sia-sia ini menimbulkan banyak masalah<br />

baru.<br />

Bagiku, ada satu peraturan yang sangat penting.<br />

Tiap orang harus melakukan pekerjaannya masing-masing<br />

dan tugas pembalap adalah memacu motornya sebaikbaiknya.<br />

Kalau Jeremy percaya kepadaku, kami dapat<br />

memecahkan masalah dengan baik, seperti yang ia bilang<br />

(dan ia akan melakukannya dengan gayanya yang unik:<br />

kalem dan santai, tanpa kehilangan tujuannya). Yang<br />

tidak ingin ia lakukan adalah menekanku seperti yang<br />

banyak orang lain lakukan. Ia tidak pernah ikut-ikutan<br />

menekan dan membebaniku. Dan ini sangat penting.<br />

Kalau ia mulai percaya pada suatu proyek, ia akan<br />

setia mencurahkan segala kemampuannya untuk<br />

melaksanakannya.<br />

"Kita punya waktu dua tahun," ujarku begitu kami<br />

berkumpul untuk merancang master plan kami. "Jelas<br />

tidak mungkin menang di musim pertama, tetapi di musim<br />

kedua kami bisa menang." Jeremy melihatku dengan<br />

pandangan tidak setuju. Ia terlihat agak bingung.<br />

"Ayo kita perbaiki motornya dan mungkin dalam<br />

balapan ketujuh atau kedelapan, kita akan berada di<br />

depan pembalap-pembalap lainnya," ujarku melanjutkan<br />

sambil menekankan harapanku.


Jeremy mendengarkan dengan sabar, menatap<br />

mataku selama aku berbicara. Kemudian ia<br />

mengemukakan pendapatnya tentang master plan kami.<br />

"Tentu saja kita bisa menjalankan itu," ujarnya.<br />

"Tetapi kurasa, kita dapat langsung menang."<br />

"Langsung? Maksudmu di musim pertama?"<br />

tanyaku. Kali ini akulah yang sangat terkejut. Aku tidak<br />

pernah membayangkan kalau seorang insinyur akan<br />

mengungkapkan pendapat yang begitu eksplisit dan<br />

ambisius, apalagi saat tugas-tugasnya begitu<br />

menegangkan.<br />

"Ya, langsung" ujarnya.<br />

"Sebaiknya kaujelaskan ini kepadaku," ujarku. Aku<br />

dipenuhi rasa tidak percaya akan apa yang ia katakan.<br />

"Yah, aku tidak pernah pergi ke suatu musim tanpa<br />

berupaya memenangi kejuaraan dunia," ujarnya. "Aku<br />

tidak punya rencana untuk berhenti berupaya di musim<br />

pertama ini."<br />

Tak diragukan lagi, ini hal yang menarik. Katakatanya<br />

masuk akal bagiku.<br />

"Dengar, kita tidak boleh melakukan kesalahan yang<br />

telah kita lakukan pada tahun 2000," kata Jeremy. "Kamu<br />

masih ingat ‘kan?"<br />

"Tentu saja aku ingat!" sahutku agak kesal.<br />

"Itu takkan terjadi lagi!" Jeremy mengingatkan,<br />

mengakhiri diskusi kami.<br />

Dulu di tahun 2000, kami melakukan kesalahan besar.<br />

Kami tidak percaya pada kesempatan yang kami<br />

miliki di awal musim. Kami berpikir gelar itu tidak<br />

mungkin diraih. Itu adalah musim pertamaku di kelas<br />

500cc dan tahun pertama kami bekerja sama. Waktu itu<br />

aku berumur 21 tahun. Kami beranggapan tidaklah


mungkin meraih gelar itu pada rnusirn pertarna karni.<br />

Pada akhirnya, anggapan itu salah. Karena, meski kami<br />

tidak berusaha sekeras itu, Kenny Roberts, sang juara<br />

dunia, tidak terlalu jauh di depan kami.<br />

Pada akhirnya, dia berhasil memimpin, tetapi aku<br />

balapan untuk menang, aku balapan untuk mendapatkan<br />

pengalaman. Aku tidak berencana memenangi gelar itu.<br />

Dengan menganalisis penampilanku dan pembalappembalap<br />

lainnya, kami yakin bahwa kami bisa langsung<br />

menang.<br />

Nah, kembali ke tahun 2000 itu, Jeremy mengingatkanku<br />

untuk benar-benar berusaha memenangi<br />

balapan pertama di musim pertama bersama Yamaha.<br />

"Kita harus memperbaiki motornya agar kami bisa<br />

menang segera," ujar Jeremy. "Mulai dari Grand Prix<br />

pertama.<br />

Dan ide itu memberiku semangat. Jeremy pantas dipuji<br />

karena membuatku seperti itu. Benar, aku telah<br />

memberitahu Brivio dalam beberapa perundingan kami<br />

kalau aku ingin menang segera dan aku menginginkan<br />

motor seperti yang kugunakan di Welkom, tempat aku<br />

memenangi lomba pada balapan pertama. Lambat tapi<br />

pasti, Jeremy mulai bekerja sama dengan setiap orang di<br />

Yamaha. Satu demi satu, ia mendekati semua orang dan<br />

menjelaskan ide-idenya. Ia memberi semangat setiap<br />

individu yang berperan dalam proyek itu.<br />

Dan itulah yang terjadi. Ia terbukti benar. Ia bekerja<br />

keras selama uji coba di musim dingin dan kami langsung<br />

menang, sejak balapan pertama di bulan April.<br />

Aku sangat dimanjakan selama liburan ski musim<br />

dingin di bulan Januari. Tetapi, hari demi hari aku menjadi<br />

tidak sabar. Aku ingin segera mulai balapan.<br />

"Mengapa kamu tidak coba balapan sejauh 200 km


tambahan di Monza," saran Brivio di telepon suatu hari.<br />

"Motormu baru saja tiba dari Jepang. Lagipula, Jeremy<br />

akan ke sana bersama krunya, dan mereka akan segera<br />

bekerja."<br />

Tidak perlu kukatakan apa reaksiku. Segera setelah<br />

liburan selesai, aku segera bekerja keras, mengikat papan<br />

ski ke atap mobil dan langsung melaju di Monza. Karena<br />

markas Yamaha Italia ada di sana, di Gerno di Lesmo,<br />

sebelah lintasan Monza yang terkenal. Dan di sana juga<br />

ada markas tim-tim lain.<br />

Aku tiba bersama beberapa teman. Kami berjalan<br />

masuk dengan gembira lewat pintu masuk dan turun<br />

sampai ke garasi. Di sana aku melihat Jeremy dan<br />

beberapa teman dari tim yang telah bekerja keras<br />

mengelilingi M1. Tidak seperti M1 yang kulihat di<br />

Donington. Ini adalah M1-ku.<br />

Suasana langsung terasa panas karena dipenuhi<br />

berbagai harapan. Aku sadar akan hal ini segera setelah<br />

aku memasuki ruangan itu. Umumnya, musim dingin<br />

adalah waktu yang sepi bagi racing department. Namun,<br />

yang satu ini berbeda. Motor-motor sudah ada di display,<br />

auranya jadi berbeda karena itu. Bahkan, ketika para<br />

teknisi mengelilingi motor-motor itu, menganalisis dan<br />

menjajal, aku bisa merasakan suasana yang berbeda di<br />

tempat itu.<br />

Seolah-olah tersedot atraksi yang menarik, aku<br />

langsung pergi dan menaiki M1-ku. Aku langsung meraih<br />

setang, kudorong tuas rem, kurasakan kopling di jarijariku,<br />

kutempatkan kakiku di posisinya, kududuki sadel<br />

dan kulingkarkan kaki-kakiku di tangki bensin. Semua<br />

nampak normal, gerakan yang sudah kulakukan beriburibu<br />

kali. Meski begitu, hanya kesunyian yang terdengar<br />

kali ini di ruangan itu. Semua orang menghentikan<br />

kegiatan mereka. Mereka tidak bergerak, hanya melihat


semua tindakan yang aku lakukan, sambil tetap hening.<br />

Mereka menontonku.<br />

Aku minta untuk membenahi beberapa hal, aku<br />

minta mereka sedikit menaikkan tuas rem dan aku duduk<br />

di sana tanpa bersuara. Hanya aku dan motor baruku, M1-<br />

ku. Itulah saat khusus yang berbeda. Begitu berbeda<br />

sehingga saat aku turun, aku tahu kalau semua orang<br />

mengharapkanku mengatakan sesuatu. Aku menunggu<br />

beberapa detik dan menatap sekeliling ruangan. Aku<br />

berkata "Yah, dari posisiku di atas motor yang tidak<br />

bergerak di tengah-tengah ruangan itu, semuanya tampak<br />

baik-baik saja!"<br />

Sunyi seketika itu juga, kemudian seluruh penontonku<br />

itu meledak dalam tawa. Tentu saja mereka sadar<br />

kalau harapan yang ada beberapa menit sebelumnya itu<br />

tak jelas. Apa yang dapat kukatakan mengenai sebuah<br />

motor yang tidak bergerak, sedangkan aku juga hanya<br />

duduk di sana? Tetapi kejadian ini penting. Itu adalah<br />

pengalaman berharga, saat ketika kontak awal dilakukan<br />

antara pembalap dan motornya. Itu adalah ikatan pertama<br />

antara kami yang baru pindah dari Honda dan tim baru<br />

kami: teman-teman Yamaha yang tetap bertahan.<br />

M1-ku sangat cantik. Ini tidaklah mengherankan<br />

karena motor-motor Yamaha memang selalu seperti itu.<br />

Tetapi, ini adalah M1-ku. Dan yang satu ini berbeda,<br />

karena memiliki pesona tersendiri. Meski aku tahu kalau<br />

kami harus memodifikasinya besar-besaran, motor itu<br />

betul-betul agung bagiku dan mengandung potensi luar<br />

biasa.<br />

Debut kami dijadwalkan beberapa hari kemudian.<br />

Karena tidak sabar memperlihatkan betapa senangnya<br />

aku, aku setuju berangkat ke Malaysia satu hari lebih<br />

cepat. Biasanya, aku hanya muncul di malam sebelum uji<br />

coba, terkadang satu malam sebelumnya. Tapi, aku tidak


sabar karena aku begitu antusias. Walau demikian, aku<br />

jadi lebih sadar betapa besarnya event ini saat aku tiba di<br />

Sepang. Biasanya tidak ada banyak orang pada uji coba di<br />

bulan Januari di Malaysia. Biasanya hanya ada beberapa<br />

fotografer dan wartawan. Begitu kamu memasuki<br />

kompleks trek Sepang, kamu akan merasa sangat sendiri.<br />

Yang kamu lihat hanyalah tim-tim lain, tak ada yang lain.<br />

Kamu bisa lihat beberapa orang di pintu masuk yang<br />

melirikmu dan menduga-duga apakah mereka mengenal<br />

mu.<br />

Kali ini, semua ada di sana. Seluruh wartawan yang<br />

terus mengikuti perkembangan kejuaraan dunia juga di<br />

sana. Ini seolah Grand Prix itu sendiri, bukan uji coba<br />

musim dingin. Ada begitu banyak orang dan fotografer di<br />

sana. Dan biasanya ada masalah besar. Aku melihat<br />

kamera dan mikropon tersebar di mana-mana, termasuk<br />

wartawan-wartawan Italia yang terus mendesakku<br />

mengadakan konferensi pers dadakan.<br />

Hal ini membuatku jengkel. Aku tidak ingin menghadapi<br />

situasi seperti itu. Setidaknya, pada uji coba<br />

pertamaku. Lagipula, tidak ada yang bisa kukatakan<br />

tentang Yamaha karena aku sendiri belum mencoba motor<br />

itu. Dan yang pasti, aku tidak ingin bicara tentang Honda<br />

karena bagiku itu adalah masa lalu. Aku hanya ingin<br />

memikirkan masa depan. Apalagi aku baru saja<br />

menyelesaikan liburanku selama enam minggu<br />

belakangan ini. Oleh karenanya, aku mengasingkan diri,<br />

fisik dan mental, dari dunia motor. Aku tidak memiliki apa<br />

pun untuk dikemukakan.<br />

Aku bahkan kaget beberapa hari lalu ketika mendengar<br />

Brivio berbicara kepada Gibo. Brivio mengatakan<br />

beberapa hal yang menurutku aneh. "Trek itu akan<br />

ditutup, kami dapat menggunakannya secara eksklusif<br />

selama tiga hari mulai dari Sabtu, Minggu, dan Senin,"


ujarnya menjelaskan. "Kita akan menutup pit-pit ini dan<br />

menahan semua orang di luar. "Kita juga akan atur<br />

supaya kita jauh dari pintu masuk kompleks. Dengan<br />

begitu, kita memiliki privasi lebih banyak lagi."<br />

Percakapan ini sedikit mengejutkanku.<br />

"Ada apa ini?" tanyaku dalam hati. "Apa yang<br />

mereka khawatirkan? lni ‘kan uji coba musim<br />

dingin...tidak akan pernah ada orang di uji coba macam<br />

itu..."<br />

Setibanya di Malaysia, aku sadar kalau Brivio begitu<br />

khawatir. Aku memecahkan masalahku dengan pers Italia<br />

dengan cara tutup mulut. Kemudian aku menuju pit<br />

Yamaha. Aku mengenakan baju Yamahaku yang berwarna<br />

hitam dengan tulisan Yamaha pada saku sebelah kirinya.<br />

Aku juga memakai celana (yang sebenarnya mirip<br />

piyama) yang biasanya kupakai kalau aku tidur siang di<br />

motorhome-ku dan sepasang sandal jepit. Memang, aku<br />

tampil sangat santai seakan mau pergi ke pantai. Tapi,<br />

memang itulah pakaian standar untuk uji coba di Malaysia<br />

yang suhunya sering kali mencapai 40 derajat Celcius.<br />

Begitu aku memasuki pit, aku memandangi M1-ku<br />

beberapa waktu lamanya. Kemudian aku mulai menempel<br />

semua stikerku, termasuk tentu saja nomer 46. Brivio<br />

telah menjelaskan kepada para mekanik dari Jepang<br />

(yang belum sempat bertemu denganku) untuk tidak<br />

khawatir kalau melihatku berada di sekitar motorku. Aku<br />

pembalap yang membutuhkan waktu sejenak untuk<br />

bersama motornya.<br />

Tentu saja orang-orangku yang berasal dari Honda<br />

tahu persis kebiasaanku. Aku suka menempel stiker. Ada<br />

anggapan hanya aku yang bisa melakukannya.<br />

Tentu saja semua telah kusiapkan dari rumah.<br />

Selain nomorku, aku juga menyertakan nomor pajak,


asuransi, sebuah logo dengan tulisan "The Doctor" dan<br />

gambar anjingku Guido. Dan terakhir adalah tulisan "Go,<br />

Rossifumi!" dalam bahasa Jepang.<br />

Panggilan Rossifumi ada sejak tahun 1994 silam.<br />

Aku yang menciptakannya, mengombinasikan nama<br />

terakhirku dengan nama awal Abe, Norifumi (Norifumi Abe<br />

adalah pembalap yang sangat populer dari Jepang), dan<br />

itulah obsesi awalku sebelum jadi pembalap. Di hari-hari<br />

itu, aku sepertinya menghabiskan waktu hanya untuk<br />

memikirkan motor dan menonton balapan-balapan lewat<br />

TV. Aku selalu seperti itu, tetapi pada musim-musim<br />

tertentu musim tahun 1994 obsesiku menjadi semakin<br />

liar. Sudah jadi hal biasa bagiku untuk menonton Grand<br />

Prix yang sama hingga lima atau enam kali melalui kaset<br />

video.<br />

Suatu hari aku bangun subuh dan menonton Grand<br />

Prix Jepang langsung dari Suzuka. Segera aku terkesan<br />

dengan seorang yang memperoleh wild card bernama<br />

Norifumi Abe (juga dikenal sebagai Norick Abe). Ia<br />

berumur delapan belas tahun dan balapan dengan Honda<br />

NSR 500. Motornya sangat cantik: berwarna orange<br />

dengan lingkaran-lingkaran kecil berwarna hijau dan<br />

nomornya. Itu adalah warna sponsor. Rambut Abe lurus<br />

panjang; bahkan saat berdiri diam, ia tampak memiliki<br />

karakter kuat. Hebatnya, ia mengendarai motornya<br />

seperti orang gila. Ia benar-benar tidak kenal takut. Aku<br />

menduga balapan hari itu adalah yang tercepat yang<br />

pernah ia lakukan seumur hidupnya.<br />

Suzuka adalah trek yang tidak biasa. Pertama-tama<br />

trek itu indah, sangat teknis, dan penuh rahasia. Itu<br />

bukan salah satu trek hasil desain komputer. Kamu dapat<br />

melaju cepat hanya kalau kamu mengenal jalanmu: kalau<br />

kamu sudah mulai menjalani beberapa kilometer. Tapi,<br />

kamu perlu mengetahui aspalnya inci demi inci, mem-


pelajari setiap tikungan, setiap proses pengereman, apa<br />

pun juga. lni seperti yang ada di Philip Island, namun<br />

Suzuka lebih sukar. Jelas bagiku kalau Abe tahu trek itu<br />

dengan baik, karena ia balapan sangat cepat, meski ia<br />

hanya ikut lewat wild card. la tidak sama dengan<br />

Schwantz, Doohan, dan Itoh.<br />

Gaya balapannya membuatku berpikir kalau ia<br />

adalah orang gila sejati. Ia menikung dengan setir<br />

terkunci, dan ia kerap menahan dirinya dengan lututnya.<br />

Pakaiannya biasanya berasap dan ia mengatasi semuanya<br />

dengan cara yang paling berani. Ia seolah melakukan<br />

balapan ini untuk kali terakhir. Padahal, ini adalah balapan<br />

pertamanya. Tiga lap sebelum lap terakhir, setirnya tidak<br />

bekerja baik dan akhirnya ia terjatuh. Sebetulnya itu<br />

sudah dapat diduga. la melaju begitu cepat sehingga<br />

ketika ia jatuh, motornya berguling cukup jauh dan<br />

menabrak papan iklan di pinggir trek. Namun, bagiku, Abe<br />

adalah seorang pahlawan.<br />

Tahun itu, dari bulan April hingga Juni, aku bangun<br />

pukul 7 pagi untuk melihat adegan ulang balapan itu di<br />

Suzuka. Itu kulakukan setiap pagi selama dua bulan<br />

penuh. Aku menonton balapan itu dulu baru kemudian<br />

pergi ke sekolah. Itulah awal kekagumanku pada<br />

pembalap-pembalap Jepang.<br />

Seperti yang kukatakan, pada motorku tertulis<br />

"Rossifumi Gambatte!" dalam bahasa Jepang yang artinya<br />

"Go, Rossifumi!". Itu karena sewaktu aku pertama kali<br />

berlaga di kejuaraan dunia, para pembalap Jepang selalu<br />

berkata "Gambatte! Gambatte!"<br />

Aku menjalin persahabatan yang baik dengan<br />

Haruchika Aoki, bahkan dialah yang mendesain logo<br />

"Rossifumi Gambatte!" yang kini menjadi stikerku. Aku<br />

selalu membawanya bersamaku sejak kali pertama ikut<br />

balapan di ajang kejuaraan dunia. Aku menggunakannya


di semua motorku, dari Aprilia, Honda, hingga Yamaha.<br />

Dan stiker itu selalu sama dengan versi awalnya: kuning<br />

dan biru.<br />

Kuberitahu juga soal stiker yang lain. Itu adalah<br />

gambar Guido, anjingku, dan aku menempelnya di<br />

belakang motorku pada tahun 2001, sebelum dimulainya<br />

uji coba pada hari Jumat. Penempelan stiker itu<br />

memperingati kejadian penting: aku mengalahkan Biaggi<br />

dan terus memenangi kelas 500cc. Karena stiker itu<br />

membawa keberuntungan, ia terus bersamaku di tiap<br />

balapan motor sejak saat itu. Termasuk M1 tentu saja.<br />

Aku lanjutkan, pada hari itu di Sepang tanggal 23<br />

Januari 2004, aku tetap tinggal bersama motorku<br />

sepanjang sore itu hingga menjelang malam, ketika<br />

matahari sudah jauh terbenam. Aku meninggalkan tempat<br />

itu saat hari sudah benar-benar gelap. Hanya Brivio yang<br />

tetap tinggal di pit pada hari itu. Kami di tempat itu untuk<br />

alasan yang berlainan. Aku hanya ingin menghabiskan<br />

waktuku dengan motor baruku, cek dan cek ulang kalau<br />

semuanya sudah sesuai. Dan aku rasa ia tinggal di situ<br />

karena masih tidak percaya kalau nomer 46 kini sudah<br />

tertempel di Yamaha. Itu sudah menjadi impiannya<br />

bertahun-tahun dan ia berkerja keras untuk<br />

mewujudkannya. Hingga kini, ia bersikap seperti pada<br />

waktu malam saat kami berjabat tangan di Brno, saat aku<br />

berkata kepadanya kalau aku ingin bergabung dengan<br />

Yamaha. la masih belum percaya sepenuhnya.<br />

"Ini nyata, ini semua nyata!" ujarnya berulang-ulang<br />

saat kami tinggal berdua di pit. Sebelum berangkat, ia<br />

ingin melihat untuk kali terakhir kalau aku benar-benar di<br />

sana dengannya dan kalau nomor 46 ada di motor itu,<br />

meyakinkan dirinya sekali lagi kalau itu bukan mimpi. La<br />

percaya itu. Aku suka melihatnya seperti itu karena aku<br />

sendiri merasakan sensasi yang tidak lazim aku bahkan


masih belum percaya sepenuhya kalau akan memulai<br />

musim ini dengan sebuah tim di luar Honda..<br />

Hari berikutnya, setelah aku mengenakan<br />

pakaianku, aku sengaja melakukan semuanya perlahan.<br />

Aku tahu persis kalau ini akan jadi hari yang tak pernah<br />

kulupakan. Aku tidak gugup ketika akhirnya aku benarbenar<br />

menaiki M1-ku. Satu-satunya kekhawatiranku<br />

adalah bagaimana motor itu akan bekerja. Aku khawatir<br />

kalau motor ini akan berakhir tragis seperti yang<br />

diperkirakan semua orang.<br />

"Itu kekhawatiran yang tak beralasan," ujarku dalam<br />

hati berulang-ulang, walaupun itu tidak menolong banyak.<br />

"Semoga itu bukan motor rongsokan."<br />

Yang kumaksud dengan motor rongsokan adalah salah<br />

satu motor yang tidak berfungsi baik. Motor-motor itu<br />

terlihat baik-baik saja, tapi kemudian membuatmu<br />

terjatuh begitu kecepatan sedikit ditambah. Karena itulah<br />

yang orang-orang katakan tentang M1 kepadaku.<br />

Kenyataannya, orang-orang ini mengabaikan sejumlah uji<br />

coba yang dijalani Checa pada bulan November. Hasilnya<br />

sebenarnya cukup baik. Sebaliknya, mereka lebih fokus<br />

pada cerita-cerita yang muncul dari para pengemudi yang<br />

mengendarainya pada tahun 2003. "Begitu kau<br />

menekannya, kau akan jatuh," ujar mereka berulangulang.<br />

Checa-lah yang paling blak-blakan, tetapi Barros<br />

dan Melandri setuju dengannya.<br />

Di lap pertama dengan M1 ibarat kencan pertama.<br />

Pengalaman menikmati es krim dengan pacar barumu<br />

lebih menyenangkan ketimbang bercinta dengan pacar<br />

yang sudah kamu kencani bertahun-tahun. Maksudku,<br />

semua yang kamu lakukan dengan pacar baru akan lebih<br />

menyenangkan. Perasaanmu akan bangkit, kamu lebih<br />

perhatian, kamu merasa lebih terlibat. Sepanjang yang<br />

kutahu, itu hampir sama dengan motor. Menjalankan


motor baru perlahan-lahan di lap pertama jauh lebih<br />

menarik ketimbang menjalankan dengan cepat motor<br />

yang sudah kamu ketahui luar dalam. Itulah yang terjadi<br />

dengan Yamaha-ku di Sepang. Saat aku keluar pit dan<br />

mendekati M1, sama persis seperti yang dulu aku<br />

bayangkan, saat ketika aku sedang memilih antara Honda<br />

dan Yamaha.<br />

Aku ingat dulu ketika berpikir betapa<br />

menyenangkannya kalau aku memilih Yamaha dan<br />

melakukan lap pertama di Sepang dengan panas yang<br />

menyengat, tenggelam dalam rasa sunyi dan panggung<br />

penonton yang kosong..."<br />

Aku membayangkan saat-saat itu beberapa kali. Dan<br />

memang itulah yang terjadi. Pada lap pertama di Sepang,<br />

dalam keadaan sunyi senyap dan hati yang tercekat, aku<br />

benar-benar merasakan sensasi yang kubayangkan.<br />

Khayalan yang jadi kenyataan itu menjadikanku lebih<br />

detail. Ketika keluar dari jalur pit dan memasuki trek itu,<br />

aku melihat sekelilingku trek, panggung penonton, pohonpohon<br />

palem pendek yang diterpa sinar matahari dan<br />

akhirnya aku melihat motorku. Aku mengendarai<br />

motorku, mencoba perseneling, kopling, rem, aku<br />

mencoba tikungan-tikungannya dan mengecek reaksi dan<br />

suara motor itu. Peristiwa ini indah, sangat indah.<br />

Namun, setelah lap pertama, aku mulai berpikir<br />

tentang perasaanku terhadap motor itu, bagaimana reaksi<br />

mesinnya. Maksudnya, bagaimana sasisnya bisa bertahan.<br />

Dengan kata lain, aku tenggelam dalam pekerjaanku<br />

karena kalau kamu ingin mengerti perbedaan mencolok<br />

yang ada di antara dua motor, meski dua motor itu jelasjelas<br />

berbeda seperti halnya Honda dan Yamaha, kamu<br />

harus mencobanya. Mengendarainya dengan cepat, sangat<br />

cepat. Kalau kamu mengendarainya perlahan, palingpaling<br />

kamu hanya dapat mengomentari kalau kopling


atau kotak persenelingnya terasa lebih atau kurang keras,<br />

tetapi kamu tidak benar-benar merasakan sensasi<br />

menangani motor itu.<br />

Karena itu, setelah lap pertama, ketika aku mengendarai<br />

dengan lambat, aku menjalani satu sesi yang<br />

terdiri atas enam lap, terus dan terus memaksakan motor.<br />

Kemudian aku kernbali ke pit tanpa berkata apa pun<br />

kepada teknisi. Semua menjadi jelas bagiku setelah aku<br />

mencoba enam lap tadi. Awalnya, aku tidak ingat akan<br />

motor Honda ketika itu, tapi kemudian aku ingat dan<br />

mulai membandingkan kedua motor tersebut.<br />

Aku menyerahkan motorku ketika berada di jalur pit<br />

kepada Bernard yang saat itu seperti biasa sedang<br />

bersama Gary dan Alex. Apa yang kami lakukan itu benarbenar<br />

normal, sesuatu yang sudah kami lakukan berulang<br />

kali sebelumnya di Honda. Cuma bedanya, dan mungkin<br />

agak terlihat aneh, kami tidak di Honda lagi sekarang,<br />

tetapi sudah di Yamaha. Setelah itu, aku masuk ke dalam,<br />

membuka helm, membuka penutup kuping dan masker<br />

mulut. Aku melakukan semuanya seperti yang biasa<br />

kulakukan setelah uji coba lap selesai.<br />

Tetapi sebenarnya, ini tidaklah sama. Karena di situ,<br />

keheningan menyebar di semua tempat, aku tidak<br />

mendengar suara-suara yang biasa kamu dengar di pit:<br />

suara para teknisi dan mekanik yang berjalan mondarmandir,<br />

obrolannya, bunyi-bunyian dalam melepas dan<br />

memasang sesuatu, memasukkan peralatan ke tempatnya<br />

dan menyimpan peralatan itu. Ini kesunyian yang tidak<br />

biasanya, kesunyian yang aneh. Jadi aku mencari sesuatu<br />

dan melihat kalau semua orang berkumpul tanpa<br />

berbicara apa-apa. Ada mekanik, teknisi Jepang, teknisi<br />

Michelin, orang-orang dari Ohlins, Brembo si telemetris.<br />

Semua orang di sini dan mereka semua menatapku tanpa<br />

berkata apa-apa.


Tiba-tiba aku sadar kalau mereka semua menungguku,<br />

kecuali Jeremy. Seperti biasa, dia melakukan sesuatu<br />

karena dia tahu sekali apa yang harus dia lakukan ketika<br />

aku berada di pit. Dan dia, begitu juga aku, sudah benarbenar<br />

tenggelam dalam pekerjaan, tetapi yang lainnya<br />

menunggu. Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan.<br />

Cahaya matahari pagi yang menyilaukan mata dan<br />

memancar langsung ke dalam area pit telah hilang karena<br />

pintu-pintu telah ditutup oleh mekanik tepat setelah aku<br />

berjalan memasuki area. Aku merasakan atmosfer yang<br />

ramah. Satu-satunya cahaya matahari yang masuk<br />

berasal dari belakang panggung, entah mengapa dibiarkan<br />

terbuka. Udara sudah sangat panas meski saat itu Baru<br />

pukul 11 pagi dan para penggemar sudah memenuhi<br />

podium. Aku menarik napas dalam-dalam, menyerap<br />

sensasi yang ada, mengingat berbagai ide yang kupunya.<br />

Dan aku memulai pembicaraan mengenai motor itu dan<br />

apa yang harus kulakukan di trek. Kesan pertama sangat<br />

baik, kupikir M1 menunjukkan performa yang baik dan itu<br />

menimbulkan rasa percaya diriku. Bagian depan tidak<br />

berubah, mesin berlari kencang dan tiba-tiba aku<br />

menyadari kalau dibandingkan dengan Honda,<br />

permasalahan utama motor itu adalah penyaluran powernya.<br />

Meskipun demikian, awalnya aku mengira motor ini<br />

jauh lebih sulit sehingga setelah uji coba berlalu aku<br />

merasa senang dan lega, bahkan mungkin terlalu lega.<br />

Karena aku menyadari masih banyak hal dan saat-saat<br />

tidak nyaman yang akan terjadi setelah sesi uji coba<br />

kedua. Tetapi kenyataannya, begitu selesai, semuanya<br />

tidak terlalu jelek. Catatanku 2' 02" 75, sementara itu<br />

Biaggi mencetak 2' 02" 58, dan Gibernau 2' 02" 70.<br />

Checa, teman satu timku, berhasil meraih 2' 03" 57.<br />

Pada tahap perkembangan ini, masalah terbesarnya


ada pada mesin, seperti yang telah kukatakan,<br />

berhubungan dengan penyaluran tenaganya. Di awal<br />

musim dari serangkaian uji coba ini, aku harus<br />

menggunakan versi "screamer" yang penyaluran<br />

tenaganya buruk dan ini tidak sesuai dengan cara motor<br />

ini dibentuk. Kenyataannya, permasalahan ini telah<br />

dialami tim Yamaha sejak tahun 2003. Konfigurasi yang<br />

mereka buat malah membuat penyaluran power-nya<br />

sangat buruk sehingga sasis, suspensi, dan khususnya<br />

roda belakang menjadi sangat tertekan.<br />

Aku juga sadar kalau M1 tidak dapat meluncur lurus<br />

dan mantap. Jadi selama dikendarai, motor akan terus<br />

bergoncang, memaksaku untuk terus menekan gas. Ini<br />

berarti ketika kamu mulai, kamu dapat berlari cepat,<br />

tetapi hanya beberapa lap saja, karena setelah itu fungsi<br />

ban akan menurun dan reaksi motor akan sulit<br />

diprediksikan.<br />

Aku mengenang kembali masa-masa bersama motor<br />

Honda dan bagaimana motor itu, bahkan ketika fungsi ban<br />

menurun, masih bisa kukendalikan. Ini adalah saat<br />

membandingkan kedua motor itu; saat yang tidak<br />

menyenangkan. Itulah mengapa pada hari ketiga uji coba<br />

ini, aku ingin memasang mesin pembakaran 4-tak yang<br />

tidak biasa. Racing Department telah mengirim lima mesin<br />

ke Malaysia dan aku secepatnya memilih salah satu yang<br />

telah kami anugerahi gelar-"Big Bang": versi pertama<br />

mesin pembakaran luar biasa. Kemudian aku sadar kalau<br />

mesin itu adalah mesin yang memiliki potensi besar,<br />

meski tetap memiliki masalah yang tidak kecil, yaitu<br />

lambat. Yah, maksudku sangat lambat. Mesin inilah yang<br />

paling lambat dari semua mesin yang aku miliki.<br />

Walaupun demikian, itu mesin yang paling mudah<br />

dikendalikan dan dapat dipakai dengan baik hingga<br />

sepuluh lap. Ini awal yang kurang baik. aku coba


memikirkan masalah tenaga dan kemampuan untuk<br />

mengendalikan, karena aku tahu kalau penyaluran tenaga<br />

masih tetap jadi masalah terbesar.<br />

Aku pernah di Honda, jadi standarku tinggi.<br />

"Big Bang-lah salah satu cara untuk maju" ujarku<br />

kepada para teknisi yang datang dari Iwata, sebagai hasil<br />

dari pertemuan teknis terakhir kami. "Ayo kita singkirkan<br />

versi-versi lain dan berkonsentrasi pada yang satu ini."<br />

Setelah kembali ke Jepang, mereka mulai mengerjakan<br />

permasalahan mesin itu dan mengabaikan yang lain.<br />

Kemudian, sejak uji coba pertama aku sadar kalau<br />

ingin membuat Yamaha menang, aku harus memprioritaskan<br />

kemampuan mengendalikan lebih dari yang lain.<br />

Ini berarti kami harus memaksimalkan penggunaan. Motor<br />

Yamaha lambat, tetapi setidaknya masih mudah dikendalikan<br />

dan dibawa berputar dengan baik. Secara pribadi<br />

aku membuat catatan kalau aku akan mengganti gaya<br />

balapanku agar bisa cocok dengan M1. Kami juga berkonsentrasi<br />

pada peningkatan kemampuan sasis Yamaha,<br />

menekankan pada efektivitas terhadap tikungan, dan<br />

kemampuan untuk bergerak cepat saat mengganti arah.<br />

Tetapi, mengembangkan sebuah motor berarti mengembangkan<br />

seluruh komponennya, artinya M1 perlu mesin<br />

yang lebih lembut dan progresif. Tujuannya bukan untuk<br />

meluncur lebih cepat secara mental, seperti yang sudah<br />

kuungkapkan, aku telah menduga kalau akan tertinggal<br />

melainkan untuk lebih baik menghadapi tikungan.<br />

Aku tidak punya bayangan apa yang dapat kami<br />

lakukan agar mesin itu semakin bertenaga. Aku mengerti<br />

seketika itu juga kalau kami tidak akan pernah mendapat<br />

mesin sekuat Honda. Tetapi, aku rasa cukuplah memiliki<br />

mesin yang tidak menimbulkan masalah di bagian sasis<br />

dan yang membuat roda belakang tetap efisien selama<br />

balapan. Dalam kasus apa pun, aku meminta penambahan


tenaga dan kemampuan yang lebih baik. Aku diberitahu<br />

untuk bersabar. Dalam event itu, perubahan awal yang<br />

nyata setelah dipasangnya mesin "Big Bang terjadi pada<br />

bulan Maret, pada uji coba kedua di Philip Island. Itu<br />

adalah uji coba ke keempat secara keseluruhan, yang juga<br />

merupakan musim yang sangat pribadi bagi kami. Yamaha<br />

telah menyewa seluruh trek untuk latihan kami. Itulah<br />

salah satu kejadian paling baik dan paling penting di tahun<br />

2004. Pada uji coba bulan Februari, tampil bersama timtim<br />

lainnya, kami begitu jelek. Bahkan, ketika segala uji<br />

coba itu selesai, aku mengumpulkan semua orang di<br />

sekitarku: "Guys, aku rasa kita mengalami kemunduran!"<br />

Mereka semua diam saja, tanda kalau mereka se<br />

pendapat denganku. Apalagi, berbagai uji coba itu<br />

menjadi bencana. Setelah simulasi-simulasi Grand Prix itu,<br />

aku berada sebelas detik di belakang Colin Edwards dan<br />

Gibernau dengan Honda mereka.<br />

Tetapi, seperti yang kukatakan, lain ceritanya ketika<br />

kami kembali ke Philip Island pada bulan Maretnya. Aku<br />

akhirnya dapat beradaptasi dengan mesin versi baru yang<br />

baru saja di kirim dari Jepang. Dorongannya tetap<br />

menimbulkan pembakaran yang tidak teratur, namun jauh<br />

lebih bertenaga. Para teknisi telah menepati janji mereka.<br />

M1 telah berkembang pesat: aku dapat mengendarainya<br />

dengan lebih baik. Sewaktu aku menjalani simulasi<br />

balapan dan kami membandingkan data yang ada, semua<br />

orang tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Aku<br />

menyelesaikan balapan dengan enam belas detik lebih<br />

cepat dari yang dicatat Gibernau dan Edwards<br />

sebelumnya. Tidak hanya itu, aku juga mencatat waktu<br />

terbaik 1' 30" 82 mengitari lap terakhir. Kami sangat<br />

senang karena di situlah untuk kali pertama kami sadar<br />

kalau kami berpotensi mencapai hasil yang sangat<br />

memuaskan.


Jadi, uji coba itu tidak hanya membuat kami tenang,<br />

tetapi juga membuat kami yakin akan masa depan yang<br />

lebih cerah. Setelah beberapa saat lamanya, aku sadar<br />

kalau kami tidak boleh terlena.<br />

"Teman-teman, tenang saja," ujarku. "Tunggu saja.<br />

Jangan bilang kepada siapa pun. Jangan katakan tentang<br />

apa yang sudah terjadi hari ini, jangan juga katakan kalau<br />

kami sudah pulang. Lebih penting lagi, jangan katakan<br />

kepada yang lainnya soal catatan waktu kami. Kami<br />

dramatisasi saja agar mereka mengira kami tampil lebih<br />

jelek dari kondisi sebenarnya."<br />

Tujuanku adalah sambil menyelam minum air. Pada<br />

satu sisi, aku tidak ingin racing department-ku terlena dan<br />

lupa diri karena hasil baik yang kami sudah capai tadi. Di<br />

sisi lain, aku ingin ke Barcelona dan menjajal uji coba<br />

IRTA yang kata semua orang bisa bermasalah besar<br />

buatku. Itu adalah keputusan strategisku. Tetapi, aku<br />

tidak yakin kalau orang-orang di Yamaha mengerti apa<br />

dan mengapa aku melakukan hal ini. Aku mengatakan<br />

begitu karena tatapan-tatapan aneh mereka ke arahku. lni<br />

mengingatkan aku kalau Yamaha telah kehilangan mental<br />

pemenang di tiap hal, termasuk strategi dasar dan aspek<br />

psikologis.<br />

"Apa maksudmu?" seseorang bertanya. "Kami sudah<br />

mengerjakannya dengan baik. Mengapa kami tidak boleh<br />

menceritakan kepada orang-orang kalau hasil kerja kami<br />

lebih baik? Apa bedanya?"<br />

Yamaha adalah tim yang menyenangkan. Maksudku,<br />

tim itu terdiri atas orang-orang yang baik, bahkan<br />

mungkin terlalu baik. Mereka selalu tersenyum. Mereka<br />

tidak terlihat memiliki sikap kasar, mereka juga tidak<br />

memiliki kemampuan untuk menggertak, sikap yang<br />

sering dianggap syarat untuk mencapai sukses. Pada titik<br />

ini, tim Yamaha terlalu terbuka dan memercayai pihak


lain. lni berlaku untuk mereka semua, kecuali Brivio yang<br />

segera paham apa yang sedang aku coba lakukan.<br />

"Akan besar bedanya kalau yang lain tahu situasi<br />

kita!" aku berkeras. "Jangan ada yang mengatakan hal ini<br />

kepada siapa pun atau kita akan menanggung sendiri<br />

akibatnya!"<br />

Mereka masih terlihat bingung, jadi harus<br />

kujelaskan.<br />

"Begini, kalau kita bilang ke semua orang betapa<br />

bagusnya hasil yang kita capai sekarang, yang lain juga<br />

akan berupaya lebih keras, terutama Honda," ujarku.<br />

"Dan kita di sini bukan untuk mendorong Honda agar<br />

berupaya seperti itu, 'kan? Mereka 'kan tidak perlu diberi<br />

motivasi itu?"<br />

Perlahan, mereka mulai mengerti. Karena kami tahu<br />

kalau Honda adalah tim yang sangat percaya diri, malah<br />

mungkin terlalu percaya diri. Dan itu malah bagus buat<br />

kami. Kami ingin mereka terlalu percaya diri dan yakin<br />

kalau mereka sudah jauh di depan kami. Mereka semua<br />

yakin kalau kami tidak akan memperoleh prestasi. Aku<br />

yakin betapa besar keinginan mereka untuk mendominasi<br />

kejuaraan dunia. Dan pada bulan Maret, keyakinan<br />

mereka kalau akan pulang dengan status juara dunia jadi<br />

lebih jelas lagi. Karena hal inilah kami harus tetap<br />

low-profile: kami ingin mereka terus yakin kalau ini akan<br />

jadi sangat mudah.<br />

"Biarkan saja mereka menganggap merekalah yang<br />

terbaik dan menduga kalau nanti akan jadi mudah buat<br />

mereka," ujarku perlahan-lahan. Mereka mulai memahami<br />

pandanganku.<br />

Aku, Jeremy, dan Brivio mulai menyusun strategi.<br />

Hari-hari itu di Philip Island, kami mengajari tim kami cara<br />

untuk menang. Sangatlah penting untuk bekerja dengan


aik tidak hanya di dalam trek, tetapi juga di luar trek.<br />

Tentu saja kami sadar tidak dapat menyembunyikan fakta<br />

terlalu lama. Cepat atau lambat, mungkin pada uji coba<br />

IRTA bulan Maret, orang-orang mulai tahu. Dan kalau itu<br />

terjadi, fakta itu akan terungkap segera setelah kejuaraan<br />

dunia ini dimulai. Namun untuk sementara ini, kami tidak<br />

ingin orang-orang tahu seberapa besar kemajuan yang<br />

telah kami capai.<br />

Selama periode uji coba di musim dingin, kami tidak<br />

pernah menjadi yang tercepat. Kadang itu terjadi karena<br />

kami memang lebih lambat dari yang lain, tetapi ada juga<br />

yang terjadi karena memang kami sengaja. Tetap saja,<br />

waktu kami tidak berbeda terlampau jauh dari pembalappembalap<br />

papan atas. Hal ini juga penting. Kita harus<br />

memperlihatkan kalau kita tidak tertinggal terlalu jauh.<br />

Di Yamaha, sedikit demi sedikit, mereka mulai mengerti<br />

kalau jangan memberi kesempatan kepada yang<br />

lain kalau kamu ingin memiliki peluang terbesar untuk<br />

menang. Teman-teman di Yamaha tidak mengerti kalau<br />

untuk menang, kamu harus mencoba dan mengeksploitasi<br />

setiap keuntungan yang bisa kamu peroleh, sekecil apa<br />

pun itu.<br />

Jeremy berulang-ulang mengingatkanku akan<br />

konsep itu sejak kami mulai bekerja sama: "Bukan tugas<br />

kita untuk membuat lawan-lawan kita seperti kita,"<br />

ujarnya. "Kita tidak dibayar untuk itu. Tugas kita adalah<br />

untuk menang. Kita tidak usah peduli apa yang tim-tim<br />

dan pembalap-pembalap lain pikirkan tentang kita. Itu<br />

bukan urusan kita."<br />

Jeremy benar. Kalau kamu senang di posisi itu, di<br />

lima besar, maka kamu bisa tersenyum, ramah kepada<br />

semua orang, dan orang-orang akan menyukaimu. Tetapi,<br />

kami tidak berniat masuk lima besar. Kami memiliki<br />

tujuan yang berbeda kami ingin menjadi nomor satu dan


karenanya, kami harus berpikir lain dari yang lain.<br />

"Kits harus berhenti jadi orang yang selalu baik hati.<br />

Kita harus menang!"<br />

Kami akan melakukan ini berulang-ulang. Itulah<br />

slogan kami "No more Mr. Nice Guys" ("Tidak ada lagi si<br />

Baik Hati"), karena Yamaha sudah tertinggal sangat,<br />

sangat jauh. Sedikit demi sedikit, mereka mempelajari<br />

cara pikirku. Jeremy juga mulai mentransfer mental<br />

Honda ke Yamaha selama masih menyangkut metodologi.<br />

Yang pertama dan terpenting, ia menghentikan upaya<br />

mereka untuk merombak besar-besaran motornya. la<br />

menjelaskan kalau kami dapat membuat kemajuan sedikit<br />

demi sedikit. Kami hanya mengubah sesuatu kalau kami<br />

seratus persen yakin ada yang tidak berjalan baik. Honda,<br />

misalnya, tidak akan membiarkanmu menyentuh sedikit<br />

pun motornya. Dan terkadang, mentalitas seperti itu<br />

sangatlah merusak tim. Tetapi, di Yamaha, yang<br />

sebaliknya malah terjadi. Meskipun demikian, kami mulai<br />

memasukkan filosofi Honda agar dijadikan budaya<br />

perusahaan Yamaha. Kami juga mengambil beberapa<br />

mentalitas Yamaha. Oleh karenanya, kami memilih jalan<br />

tengah, antara dua filosofi yang berbeda.<br />

Tentu saja di antara dua, aku lebih suka cara Honda,<br />

setidaknya yang menyangkut masalah-masalah penting.<br />

Kalau kamu menemukan sesuatu, ubahlah itu dan<br />

tetaplah di rencana yang sudah disusun. Tetapi, sebelum<br />

kami ke tahap itu, kami harus menyelesaikan masalahmasalah<br />

lainnya dulu. Garpu depan misalnya.<br />

"Bagaimana hal itu mungkin?" tanyaku dalam hati.<br />

"Aku mengerem dan merasa ada sesuatu yang tidak<br />

beres."<br />

Hal ini menggangguku dan aku tidak mendapatkan<br />

jawabannya. "Setangnya seolah bergerak dan motornya<br />

melaju ke depan," aku menjelaskan kepada para kru.


Tidak ada yang dapat menjelaskan masalah itu.<br />

Aku memikirkan masalah ini pada tiga balapan<br />

pertama. Jujur saja, itu tidak terlihat serius di Welkom.<br />

Aku tidak yakin mengapa, tetapi semua berjalan lancar di<br />

Afrika Selatan. Banyak masalah yang sebelumnya ada,<br />

jadi tidak ada di Welkom. Tak diragukan lagi, itulah akhir<br />

minggu yang penuh arti, saat ketika semuanya berjalan<br />

lancar. Tetapi, ada juga beberapa masalah teknis. Treknya<br />

sangat lancar dan tidak ada yang mengharuskan aku<br />

mengerem mendadak. Ini cukup berbeda dari balapan<br />

berikutnya di Jerez dan Le Mans. Ketika itu aku hanya<br />

berada di urutan keempat dan harus menghadapi<br />

serangkaian masalah.<br />

Untungnya, dalam berbagai uji coba yang dilakukan<br />

segera setelah Grand Prix di Prancis, kami menemukan<br />

kalau masalahnya adalah garpu depan yang tidak bekerja<br />

baik. Ketika aku rem, garpu ini akan menekan roda, dan<br />

ini tidak efektif. Tidak ada yang mengira kalau garpu<br />

depan menekan, roda-roda akan macet juga. Siapa yang<br />

dapat memperkirakan hal itu? Tetapi, itulah mengapa<br />

kami berjuang keras di Jerez dan Le Mans, meski kami<br />

masih memiliki beberapa masalah dengan tenaga. Setelah<br />

menjalani berbagai macam skenario, kami mulai<br />

menjalankan apa yang kami sebut: skenario yang<br />

mustahil. Dan itulah mengapa kami tahu soal garpu<br />

depan. Sebelum balapan pertama, kami sudah coba<br />

semuanya dan tetap tidak berhasil memecahkan masalah.<br />

Ohlins sedikit di belakang, dibandingkan Showa,<br />

juga karena pada beberapa tahun terakhir, pembalap<br />

Yamaha belum meminta pengembangan-pengembangan<br />

penting di garpu depan. Masalahnya terletak pada cara<br />

garpu depan bekerja, pada pompa hidroliknya. Setelah<br />

itu, begitu kami tahu apa yang menyebabkan<br />

ketidakstabilan, aku mulai bekerja erat dengan para


insinyur Ohlins. Dan respons mereka baik, kerja mereka<br />

juga sangat bagus. Mereka berupaya keras mengikuti mau<br />

kami, dan memakai saran-saran kami: membentuk garpu<br />

depan baru yang salah satunya benar-benar sempurna.<br />

Ketika aku kali pertama mendapat M1 bulan Januari<br />

2004 lalu, aku langsung berkata dalam hati kalau<br />

pembalap dan kru yang sebelumnya mengurus motor itu<br />

sebenarnya bingung. Mereka mencoba memperbaikinya<br />

melalui trial and error, tanpa ada proses yang masuk akal.<br />

Baru setelah Jeremy datang, para insinyur Yamaha belajar<br />

metode baru dalam bekerja. Semua hanya soal<br />

bagaimana kami dapat berkonsentrasi pada suatu<br />

masalah. Kami berasal dari Honda, tim yang melarang<br />

orang-orang untuk membongkar motornya. Filosofi<br />

mereka adalah begitu sesuatu berjalan baik, maka jangan<br />

diubah. Itulah mentalitas HRC.<br />

Di Yamaha, mereka memiliki sasis yang bisa dimodifikasi<br />

model apa pun. Semua dapat dipindahkan, dinaikkan,<br />

diturunkan, pokoknya diutak-atik. Sebelum kami<br />

datang, para teknisi dan pembalap terbiasa mengganti<br />

mesin, memindah shock absorbers. Dengan kata lain, semaunya<br />

saja!<br />

Mereka bebas melakukan apa pun yang mereka suka.<br />

Dan kalau kamu memberi kebebasan seperti itu, juga<br />

sasis yang mudah diubah, ke orang yang tidak mengerti<br />

apa yang mereka lakukan, mereka akan secara naluriah<br />

bekerja sembarangan. Dan pada titik inilah kamu akan<br />

mendapat masalah besar karena hasilnya<br />

membingungkan. Itulah yang persisnya terjadi pada<br />

Yamaha di tahun 2003.


9<br />

CAPITOLO NOVE<br />

MENURUT mereka aku beruntung karena segalanya<br />

tampak berhasil bagiku, aku bisa mendapatkan semuanya,<br />

dewi fortuna selalu tersenyum kepadaku, apalagi saat aku<br />

harus membuat keputusan besar dalam karierku. Mereka<br />

menunjuk prestasiku: aku selalu menjadi pembalap<br />

terbaik dan selalu bekerja dengan tim-tim terbaik yang<br />

pernah ada.<br />

Dulu, aku terbiasa dengan ejekan tersebut. Mereka<br />

mengatakan kalau aku punya hak istimewa dan<br />

keberuntungan sejak awal, saat sepeda motor bagiku<br />

hanyalah permainan dan saat aku di Sport Production.<br />

Seperti yang kubilang, aku terbiasa dengan kritik dan rasa<br />

iri dari orang-orang terhadapku.<br />

Tetapi, saat orang mulai bicara soal "tim", aku tidak<br />

bisa membiarkannya lagi. Tim terlalu penting buatku dan<br />

keberuntungan adalah hal yang lain lagi. Tim selalu ada di<br />

sana, selalu menjadi bagian dari kesuksesanku, juga<br />

bagian dari kesuksesan orang lain. Tanpa tim, kamu tidak<br />

bisa sukses. Sedangkan keberuntungan adalah sesuatu<br />

yang harus kamu rangsang, sesuatu yang harus dipelihara<br />

melalui pilihan yang kamu ambil. Dan sepertinya, aku<br />

selalu membuat keputusan di saat yang tepat. Karena<br />

itulah segalanya berhasil, bukan karena keberuntungan,<br />

lebih tepatnya karena perencanaan. Aku mengetahui apa<br />

yang aku mau dan aku mencoba meraihnya. Aku selalu<br />

menghabiskan waktu bersama orang yang tepat, rekan<br />

satu tim yang dapat membimbingku ke tujuanku. Karena<br />

itulah setiap kemenangan yang kuraih bukanlah kebetulan<br />

atau kejadian yang tak terduga. Hampir tidak pernah


seperti itu.<br />

Sebagian besar, segalanya datang karena pilihan<br />

yang kuambil. Aku memilih timku dan mereka tidak<br />

langsung jatuh ke pangkuanku. Akulah yang mengejar<br />

mereka. Dalam hal ini aku yakin telah jadi pelopor dalam<br />

olahragaku. Akulah pembalap pertama yang memprioritaskan<br />

pemilihan tim yang benar. Sebelumku,<br />

banyak sekali pembalap yang tidak peduli dengan tim<br />

mana mereka akan berkompetisi, karena tidak ada<br />

hubungan antara pembalap dan timnya. Pada waktu itu,<br />

ketika kamu berganti tim, kamu hanya berganti dari satu<br />

tim ke tim yang lain. Kamu tidak akan mengikutsertakan<br />

kru kamu, seperti yang telah kulakukan pada akhir tahun<br />

2003. Tidak ada satu pembalap pun yang pernah mencoba<br />

menciptakan kerja sama dan hubungan semacam itu. Jiwa<br />

tim seperti itu telah aku bangun dan kini aku selalu<br />

memercayai timku. Ketika para pembalap<br />

menandatangani kontrak dengan tim yang baru, sang<br />

pembalap tidak pernah menanyakan apakah kru, mekanik,<br />

dan teknisi diizinkan ikut dengan para pembalap itu. Atau<br />

mungkin mereka pernah menanyakan, tetapi itu akhirnya<br />

tidak pernah terjadi. Barulah ketika aku terjun ke dunia<br />

ini, hal ini terjadi. Ini tentu saja menjadi sejarah.<br />

Terlalu banyak pembalap bersikap: "selama aku bagus,<br />

hal lainnya bukan masalah. Semua tim sama saja".<br />

Aku tidak percaya itu. Aku selalu memilih sendiri orangorang<br />

yang akan bekerja sama denganku. Dulu orang<br />

berkata kalau balapan adalah olahraga individu, karena<br />

kamu berada sendirian saat di arena balap, berkompetisi<br />

dengan pembalap lain yang juga sendirian. Kenyataannya,<br />

seiring perkembangan teknologi, itu telah menjadi<br />

olahraga tim. Kalau pembalap tidak memiliki tim<br />

pendukung yang kuat, dia hanya bisa meraih kemenangan<br />

yang biasa-biasa saja. Dia tidak bisa meraih kemenangan


luar biasa seperti yang terjadi padaku.<br />

Jadi tim sangat berpengaruh. Memotivasi orangorang<br />

yang bekerja denganmu adalah hal yang sangat<br />

penting, sama artinya memiliki keselarasan dan<br />

ketenangan, karena masing-masing individu memahami<br />

peran dan pekerjaan mereka. Dan tentu sangat<br />

menguntungkan memiliki seorang penasihat, seseorang<br />

yang kamu percaya, seseorang yang mendengarkan ideide<br />

kamu, seorang yang selalu ada untuk kamu saat<br />

balapan. Inilah yang selalu kucari sejak debut<br />

internasionalku di tahun 1995.<br />

Pada waktu itu, tim Aprilia di kelas 125cc adalah<br />

"Tim Italia" yang dikelola Domenico Brigaglia. Aku tidak<br />

mencoba menjadi bagian dari tim tersebut, tetapi aku<br />

ingin menjadi bagian dan bekerja dengan tim Mauro<br />

Noccioli. Dan bersama tim Noccioli itulah aku memenangi<br />

gelar dunia pada tahun 1997. Aku bisa saja tetap<br />

bergabung dengan Noccioli di kelas 125cc, tetapi aku<br />

memilih untuk bergabung dengan Rossano Brazi. Bersama<br />

Brazi, aku memenangi juara dunia tahun 1999. Strategiku<br />

tidak berubah ketika aku masuk kelas 500cc. Aku memilih<br />

tim milik Jeremy. Dan pada tahun 2001, aku memenangi<br />

juara dunia kelas 500cc. Sejak itulah tim Jeremy menjadi<br />

bagian dari timku. Ketika aku pindah ke Yamaha, aku<br />

membawa seluruh kru tim bersamaku dan aku kembali<br />

memperoleh kemenangan.<br />

Jadi kamu bisa bilang kalau aku beruntung, tetapi<br />

menurutku, aku berpandangan jauh dan berani. Kalau aku<br />

dianugerahi kemampuan terbaik, itu karena aku paham<br />

bagaimana mengetahui yang terbaik, dan karenanya<br />

memilih yang terbaik juga.<br />

Sejak awal aku mempelajari seberapa penting suatu<br />

tim itu. Ketika aku bergabung dengan tim Noccioli, aku<br />

bertemu Mario Martini yang kemudian bergabung dengan


timku sebagai mekanik. Kami mulai bekerja sama di<br />

musim pertandingan kejuaraan Eropa tahun 1995. la<br />

bergabung hingga tahun 1997. Hubungan kerja dan<br />

persahabatan kami terjalin baik. Kami sangat dekat satu<br />

sama lain, menghabiskan waktu bersama-sama, berbagi<br />

cerita mengenai banyak hal. Saat itulah aku mulai sadar<br />

betapa pentingnya memiliki hubungan yang baik dan<br />

hangat antara mekanik dan rekan-rekan satu tim.<br />

Berdasarkan pengalaman inilah, aku selalu<br />

mengutamakan hubungan yang kuat dengan para anggota<br />

timku. Mauro Noccioli, Rossano Brozi, Jeremy Burgess,<br />

mereka semua ahli mesin dan teman berbagi<br />

kemenangan. Mereka juga tiga individu yang memiliki<br />

kepribadian berbeda dengan tiga filsafat hidup yang<br />

berbeda pula.<br />

Noccioli adalah seorang "toscano verace" atau seorang<br />

Tuscan sejati bagi orang Italia. Dia sangat dekat<br />

denganku di tahun-tahun awal karierku yang begitu<br />

penting, saat aku memulai balapan internasional kelas<br />

125cc pada tahun 1995, 1996, dan 1997 dan meraih<br />

kemenangan-kemenangan pertamaku. Pada akhir tahun<br />

1994, aku mulai memikirkan masa depanku. Bergabung<br />

dalam Sport Production hanyalah awal, bukan tujuan.<br />

Setelah menang balapan di Sport Production, barulah aku<br />

memikirkan cara memenangi pertandingan balap yang<br />

sesungguhnya. Dengan kata lain, sebuah era telah<br />

berubah dan kami perlu memulai segala sesuatunya<br />

dengan serius. Di akhir musim pertandingan, aku<br />

didukung Carlo Pernat, seorang direktur olahraga di<br />

Aprilia.<br />

"Tahun 1995 kami akan mulai bertanding di<br />

pertandingan Eropa kelas 125cc" ujar Pernat. "Kalau kamu<br />

bisa masuk tiga besar, aku jamin kamu ikut kejuaraan<br />

dunia."


Tentu saja, kejuaraan dunia adalah tujuan, citacitaku.<br />

Graziano mengikuti perkembangan karierku, dia<br />

menasihatiku seputar pilihan yang aku jalani. Dia percaya<br />

kalau ini adalah peluang yang sangat menarik untukku.<br />

Dan kenyataannya memang menarik. Pernat memberiku<br />

perjanjian tiga tahun dengan Aprilia.<br />

Tim Italia menginginkan aku ikut serta dalam<br />

timnya, tetapi aku ikut tim Noccioli. Aku benar-benar<br />

percaya pada timnya karena kami terlihat sangat cocok<br />

satu sama lain. Pilihan ini tepat. Sepeda motorku selalu<br />

cepat dan bisa diandalkan. Pada kenyataannya, motor tim<br />

Noccioli sering kali lebih baik daripada yang dimiliki Tim<br />

Italia, meski Tim Italia merupakan tim "resmi". Setelah<br />

kupikir-pikir, hubunganku dengan Noccioli sangat baik.<br />

Aku mendominasi kejuaraan Italia dan aku menyelesaikan<br />

tiga pertandingan dalam kejuaraan seri Eropa. Dan seperti<br />

yang dijanjikan Pernat, aku terjun ke kejuaraan dunia<br />

yang aku menangi pada tahun 1997 tahun ketiga kerja<br />

samaku dengan Noccioli.<br />

Kami tidak pernah berselisih paham, selain itu hanya<br />

sedikit perbedaan di antara kami. Hanya saja, pada satu<br />

titik ia berubah, mengadopsi filosofi hidup dan balapan<br />

yang cukup berbeda dari prinsipku. Tentu saja, ini telah<br />

terjadi dalam waktu yang cukup lama dan bagaimanapun<br />

juga, perbedaan itu tidak mencegah kami dalam meraih<br />

tujuan kami, yaitu menjadi juara dunia.<br />

Di satu sisi, kami begitu berbeda. la jadi kebapakan<br />

terhadapku dan aku mulai sadar kalau ternyata orangorang<br />

yang bekerja untuknya juga memiliki sikap yang<br />

sama. Mereka mulai berusaha memberiku saran untuk<br />

mengendarai motor dan sebagainya. Buatku, dalam<br />

urusan seperti ini, tim tidak dapat ikut campur. Karena<br />

setiap orang balapan dengan caranya sendiri dan<br />

seharusnya dibiarkan bebas belajar sendiri. Atau, se-


tidaknya, jangan mengajari aku cara mengendarai motor.<br />

Meskipun demikian, kami selalu mendiskusikan cara<br />

mengendarai motor dengan baik. Di tahun-tahun itu,<br />

Noccioli terobsesi oleh ide kalau kamu harus menekan<br />

pedalnya agar dapat menyeimbangkan motor dan menguasainya<br />

lebih baik lagi. Kalau sesuatu terjadi terhadap<br />

motor itu, mungkin ban depannya atau akselerasinya,<br />

Noccioli selalu mengatakan kalau kesalahan itu terjadi<br />

karena aku tidak cukup kuat menekan pedal. Aku tahu<br />

kalau itu teori yang baik dan berhasil untuk beberapa<br />

pembalap, tetapi karena teori itu tidak alami untukku, aku<br />

tidak merasa harus melakukan itu. Selain itu, aku merasa<br />

kami tidak diuntungkan oleh teori tersebut.<br />

Akan tetapi, itu bukan alasan mengapa aku memilih<br />

untuk pindah ke tim lainnya ketika aku naik ke kelas<br />

250cc. Aku belajar banyak dari Noccioli dan timnya.<br />

Bagaimanapun juga, dia teknisi yang sangat bagus, yang<br />

mengerti mesin luar dalam. Selain itu, aku banyak<br />

menghabiskan waktu bersenang-senang dengan timnya<br />

sehingga kami kompak dan aku banyak memiliki<br />

kenangan indah. Tahun 1997 merupakan tahun<br />

kemunculanku di tingkat internasional dan tahun saat aku<br />

membangun diriku di panggung besar. Tahun itu juga<br />

merupakan penutup bagian awal karierku.<br />

Mungkin karena itulah aku memutuskan untuk mengubah<br />

penampilanku saat itu dan aku alamiah saja<br />

melakukannya melalui beberapa pilihan konyol. Dan<br />

perubahan nyata pertama yang terjadi padaku adalah<br />

hasil dari janjiku terhadap diri sendiri selama musim<br />

pertandingan tahun 1997.<br />

"Kalau aku memenangi gelar dunia, aku akan<br />

memotongnya" kuputuskan suatu hari saat berpikir<br />

tentang rambutku. Jujur saja, rambutku sangat panjang.<br />

Aku tidak bisa berkomitmen memotongnya meski aku


mau. Oleh karena itu, aku membuat janji pada diriku<br />

sendiri. Otomatis ketika aku meraih gelar itu, aku harus<br />

menepati janjiku. Tentu saja, memotong rambut saja<br />

tentu tidak cukup buatku. Aku harus mewarnai sisa<br />

rambut di kepalaku. Maka aku mewarnainya biru terang.<br />

Lalu pergilah aku, Uccio, Pirro (anggota timku) ke<br />

tempat cukur rambut. Rambut Pirro juga panjang, karena<br />

itu aku menganggapnya baru berani potong rambut saat<br />

tahu kalau aku akan memotong rambutku. Lain halnya<br />

dengan Uccio, dia tidak begitu suka mewarnai rambutnya.<br />

Ketika aku dan Pirro memutuskan untuk mewarnai rambut<br />

kami, keluarga kami tidak menanggapinya dengan baik,<br />

bahkan ketika Pirro tiba di rumah, ibunya malah menangis<br />

melihat penampilan barunya. Bagaimanapun juga, tahun<br />

itu adalah tahun ketika kami mulai memerhatikan rambut<br />

kami. Sehingga kami merasa kalau mengubah warna<br />

rambut adalah suatu ritual. Aku suka bereksperimen<br />

dengan mencoba warna-warna yang unik dan gaya<br />

rambut yang beda. Walaupun demikian, aku bisa bilang<br />

kalau potongan dan gaya rambutku yang paling terkenal<br />

adalah "Brazzi Cut".<br />

Brazzi adalah kepala teknisi di tim kami ketika aku<br />

pindah ke kelas 250cc pada akhir tahun 1997. Potongan<br />

rambutku itu disebut ala Brazzi karena membuatku<br />

terlihat mirip Brazzi. Dan aku mengungkapkan itu di<br />

Italian Grand Prix tahun 1998. "Brazzi Cut" adalah<br />

mencukur rambut bagian atas sedikit dan terus ke<br />

belakang kepala. Dengan kata lain, potongan itu tebal di<br />

atas dan makin tipis ke bawah. Untuk memastikan penata<br />

rambut memotong rambutku sesuai keinginanku, aku<br />

membawa foto Brazzi. Pada hari Kamis sore hari, ketika<br />

aku melihat Brazzi di arena balap, dia tidak curiga apa pun<br />

soal rambutku karena aku memakai topi, jadi ia tidak<br />

dapat melihat rambutku atau apa pun yang tersisa di


kepalaku.<br />

Pada hari Jumat paginya, aku terlambat datang pada<br />

sesi uji coba pertama, jadi aku tidak memancing<br />

kecurigaan. Pada dasarnya, aku memang kadang-kadang<br />

terlambat dan ini membuat Brazzi sangat gugup (itu hal<br />

lain lagi yang membuat kami tidak pernah tepat waktu).<br />

Kali ini, aku melakukannya dengan sengaja. Brazzi mudah<br />

sekali merasa cemas. Kalau aku tidak muncul, ia akan<br />

cepat merasa panik dan mudah terkejut. Dia akan<br />

membuat orang lain seperti itu juga. Tetapi, saat itu aku<br />

menunggu hingga dia benar-benar tenang sebelum<br />

akhirnya muncul dihadapannya. Ketika dia melihatku<br />

dengan potongan rambut "Brazzi Cut", ia tertawa<br />

terbahak-bahak. Dan semua orang pun mulai tertawa. Itu<br />

mengejutkan, namun juga sangat lucu. Kami semua<br />

tertawa sampai kami hampir lupa pada uji coba yang akan<br />

kami hadapi.<br />

Itu sangat menyenangkan. Karena itu adalah salah<br />

satu saat ketika Rossano tertawa senang. Aku senang<br />

membuat ia tertawa, sebenarnya seluruh tim suka tertawa<br />

bersama-sama. Inilah tim yang hebat menurutku.<br />

Hubunganku dengan Brazzi sangat baik, meski ia bukan<br />

orang yang mudah diajak berteman. Dia bisa menjadi<br />

sedikit kasar dan ketus. Tetapi, itu semua hanya soal<br />

bagaimana untuk mengenalnya lebih dekat. Liburan akhir<br />

minggu kami sangat ramai karena aku dan para kru kerap<br />

memuaskan diri sendiri dengan membuatnya kesal. la<br />

memang mudah kesal. Tetapi, pada akhirnya, ia<br />

memaafkan semua orang dan segalanya, dan ia dan aku<br />

memiliki hubungan yang luar biasa.<br />

Rossano adalah seseorang yang mengerti betul potensi<br />

yang aku miliki. Ketika aku membuat kesalahan,<br />

seperti yang kulakukan pada tahun pertama kerja sama<br />

kami, ia akan menjadi sangat marah karena menganggap


kami harus berkompetisi untuk meraih gelar juara<br />

secepatnya. Di sisi lain, aku tidak menanggapi musim<br />

balapan dengan serius karena aku ingin asyik sendiri dan<br />

bersenang-senang, mempelajari arena balap dan sepeda<br />

motorku. Aku tidak punya tujuan khusus seputar hasil<br />

yang hendak kucapai. Tetapi, dia percaya kalau kami<br />

seharusnya memiliki tujuan sehingga bisa menjadi juara<br />

dunia. Dan pada musim pertandingan tahun 1998, aku<br />

membuat kesalahan dalam salah satu penampilanku. Itu<br />

sangat sukar dilupakan.<br />

Saat itu kami di Spanyol, di Jarama untuk babak<br />

keempat kualifikasi. Waktu itu aku tidak secepat Harada<br />

atau Capi<strong>rossi</strong>. Dan itu membuaku sangat marah. Rossano<br />

tahu hal ini. Itulah mengapa sebelum balapan dimulai, ia<br />

membawaku ke pinggir.<br />

"Dengar, tak ada yang perlu disesali," ujarnya. Kedua<br />

orang itu lebih cepat darimu, jadi tidak usah<br />

mengkhalwatirkan upaya untuk mengalahkan mereka.<br />

Konsentrasi saja untuk mendapatkan nilai lebih.<br />

Jangan macam-macam."<br />

"Baik," ujarku meski aku tidak ingin melakukan apa<br />

yang dia katakan. Karena aku ingin sekali menang, tetapi<br />

aku tahu kalau Rossano mengerti keinginanku itu.<br />

"Ingatlah apa yang kukatakan tadi" ujarnya kembali<br />

menekankan.<br />

"Jangan kejar mereka. Jangan coba-coba bertarung<br />

dengan mereka, santai saja dan raih nilai yang tinggi."<br />

"Iya, Rossano, iya" aku berusaha meyakinkan dia.<br />

"Aku akan mengemudi perlahan dan baik-baik."<br />

Ketika balapan dimulai, Capi<strong>rossi</strong> membuat kesalahan<br />

pada putaran pertama dan itu membuatku cepat<br />

berada di belakang Tetsuya Harada. Tetapi, aku balapan<br />

dengan santai seperti janjiku pada Rossano. Tiba-tiba, aku


merasakan ingin menyerang Harada dan itu membuatnya<br />

khawatir. Lalu, kujalankan keinginanku itu. Setelah<br />

beberapa lap, aku melewati dia dan tiba-tiba saja setelah<br />

itu aku jatuh.<br />

Pikiranku secepatnya melayang ke Brazzi dan komentar<br />

yang akan dia katakan tentang ini. Aku begitu<br />

takut membayangkan apa yang akan terjadi nanti kalau<br />

aku harus kembali lagi ke pit. Dan aku berusaha untuk<br />

bangun dan melanjutkan balapan lagi. Tetapi, Aprilia-ku<br />

sudah tidak imbang lagi. Aku tetap melintasi beberapa<br />

lap, tetapi sudah jelas kalau balapanku tamat. Selesailah<br />

sudah. Aku tidak bisa tinggal di trek itu terus, jadi aku<br />

mengakui kalau, cepat atau lambat, aku harus kembali<br />

dan menghadapi Brazzi.<br />

Brazzi ada di sana, menungguku. Dia terlihat sangat<br />

marah dan menakutkan. Ketika aku masuk, aku pura-pura<br />

jalan terpincang-pincang dengan badan membungkuk ke<br />

depan, jadi tampak seperti habis kecelakaan. Sebisa<br />

mungkin, ekspresi mukaku kubuat sedih dan terluka,<br />

dengan harapan dia akan iba terhadapku. Aku tahu upaya<br />

ini akan sia-sia, tetapi setidaknya aku harus mencoba.<br />

Aku copot helmku dan ketika Rossano muncul, aku<br />

mencoba membela<br />

"Motornya meluncur begitu saja dan aku tidak bisa<br />

menguasainya, aku tidak tahu kenapa..." ucapku<br />

tergagap-gagap.<br />

Dia menatapku dan mengatakan "In cu' t'a ne propri<br />

capi un cazz!"<br />

Itu bukan bahasa Italia, tetapi dialek dari daerah<br />

Romagna. Jadi lebih balk tidak kuterjemahkan. Lagipula,<br />

mungkin saja ada anak-anak membaca buku ini.<br />

Ekspresi muka Rossano sangat menakutkan, kumisnya<br />

begitu mengancam dan sinar matanya menyiratkan


kemarahan. Setelah kejadian itu, dia lama tidak berbicara<br />

kepadaku. Memang, Aprilia mengalami banyak tekanan<br />

pada musim pertandingan itu. Ada tiga tim saat itu yang<br />

semuanya ramah satu sama lain. Tetapi, masing-masing<br />

ingin menang, karena itu ada persaingan ketat bukan saja<br />

antara Harada, Capi<strong>rossi</strong>, dan aku. Tetapi juga antara<br />

Sandi, Noccioli, dan Brazzi, kepala teknisiku yang aku<br />

hormati. Brazzi benar-benar ahli kalau harus berhadapan<br />

dengan mesin 2-tak atau dengan karburasi. Aku tidak<br />

pernah melihat orang semacam itu. Menakjubkan sekali<br />

kalau dia sedang memeriksa karburator, karena itu aku<br />

senang sekali duduk dan memerhatikannya bekerja. Para<br />

anggota tim tidak banyak ngobrol sesama mereka, dan<br />

memang itu tidak perlu. Mereka sepertinya berkomunikasi<br />

satu sama lain tanpa kata-kata, pikiran mereka di transfer<br />

lewat udara. Kalau aku tiba dengan motorku, Paolo mulai<br />

mencopot underfairing, Carob akan mengatur tarpaulinnya<br />

dan Brazzi akan mengambil senter kepercayaannya dan<br />

meneliti karburasi di bawah silinder. Itulah saat yang<br />

penuh keajaiban, ketika semua orang terdiam. Setelah itu,<br />

Brazzi akan berdiri dan kami semua akan menunggu<br />

keputusannya dengan napas bertahan. "Motornya banjir"<br />

atau "motornya seret", tergantung apakah karburatornya<br />

kebanyakan udara atau kebanyakan bensin. Kemudian dia<br />

akan mengumumkan serangkaian tindakan yang harus<br />

dilakukan. Karena itu, motorku selalu cepat dan dapat<br />

diandalkan. Lawan-lawanku berdalih itu karena kami<br />

memakai suku cadang terbaik dari racing department. Itu<br />

tidaklah benar. Kami memiliki Brazzi, orang terbaik dalam<br />

menangani motor. Ketika motor lain bermasalah dengan<br />

karburator dan terkadang macet, motorku selalu tetap<br />

sempuma.<br />

Kemenangan pertamaku di kelas 250cc adalah di<br />

Assen, Belanda. Itu semua karena Brazzi. Naole memberi<br />

kami klep gas buang (exhaust) baru. Setelah klep tersebut


dipasang, motorku memang berjalan lebih baik. Tetapi,<br />

Brazzi menyatakan "Kits tidak akan memakai itu dalam<br />

balapan."<br />

"Kenapa" tanyaku.<br />

"Karena klep tersebut menyerap terlalu banyak udara,<br />

jadi kalau mesinnya panas, klepnya akan rusak,"<br />

jelasnya.<br />

Aku mempelajarinya dan mencoba memercayai<br />

penilaiannya. Aku tidak menggunakan klep gas buang<br />

baru itu, sementara dua Aprilia lainnya yaitu Capi<strong>rossi</strong> dan<br />

Harada menggunakannya. Dan begitulah, ketika mesin<br />

panas, kedua klep tersebut rusak. Tetapi, motorku baikbaik<br />

saja sehingga aku menang mudah. Tepatlah memang<br />

kalau aku memilih seseorang seperti Brazzi dan timnya.<br />

Ketika Aprilia kali pertama menjajal kemungkinan<br />

menaikkan aku ke kelas 250cc, mereka mengira kalau aku<br />

akan bersama Naccioli. Pada tahun musim 1997, aku<br />

berubah pikiran karena aku telah melihat kalau Brazzi<br />

berbeda dari yang lainnya, insinyur yang akan<br />

membawaku ke level berikutnya.<br />

Aku telah menimbang-nimbang antara Naccioli dan<br />

Martini dalam kategori kelas 125cc, tetapi aku tahu kalau<br />

masih banyak hal yang harus dilakukan bila memilih<br />

mereka. Karena itu, menurutku, Brazzi-lah orang yang<br />

tepat untuk membawaku ke tingkat 250cc. la tipe orang<br />

yang dapat memberimu rasa percaya diri dan manfaat<br />

dari pengalamannya dan timnya. Entahlah mengapa aku<br />

merasa bangga pada Brazzi, mungkin sejak aku muda,<br />

aku selalu kagum pada Loris Reggiani, dan Brazzi-lah<br />

kepala teknisinya. Apa pun itu, Brazzi adalah legenda<br />

bagiku. Brazzi pernah bekerja sama dengan Doriano<br />

Romboni (yang juga pembalap favoritku) di kelas 500cc,<br />

lalu kembali ke kelas 250cc.


"Semua sudah diatur, Brazzi akan bekerja dengan<br />

Capi<strong>rossi</strong> dan kamu akan naik ke kelas 250cc bersama<br />

Noccioli," ujar Pernat dalam suatu rapat.<br />

"Aku punya ide lain," ujarku lantang.<br />

"Ide apa?" tanyanya.<br />

"Aku ingin Brazzi!" ujarku tegas.<br />

Jadi aku bertanya kepada Capi<strong>rossi</strong> tentang hal ini.<br />

Dan dia tidak keberatan sama sekali apakah harus<br />

bersama Brazzi atau Noccioli, karena mereka sama saja<br />

bagi Capi<strong>rossi</strong>.<br />

"Bagus! Kalau begitu, kalau dia tidak keberatan, aku<br />

akan minta Brazzi bekerja denganku," ujarku dalam hati.<br />

"Dengan demikian, tujuan keduaku sudah tercapai.<br />

Sama seperti aku memilih sendiri Noccioli untuk<br />

membimbingku di kelas 125cc, demikian pula aku memilih<br />

Brazzi untuk di kelas 250cc."<br />

Selama musim 1999, aku menghadapi pilihan akbar:<br />

tinggal di kelas 250cc atau naik ke kelas 500cc bersama<br />

Honda. Sekali lagi, aku percaya diri kalau tim adalah hal<br />

yang penting dan jelas buatku. Dan kalau aku naik ke<br />

kelas berikutnya, aku ingin memilih timku sendiri.<br />

"Aku tidak peduli motor mana yang kamu berikan<br />

kepadaku, pun kalau motor itu bukan motor resmi<br />

perlombaan," ujarku kepada perwakilan dari Honda ketika<br />

mereka datang ke Rio de Janeiro dan menawariku NSR.<br />

"Bagaimanapun juga, aku hanya akan bergabung kalau<br />

aku bisa kerja dengan Jeremy Burgess."<br />

Aku berjuang agar dapat bekerja dengan Jeremy.<br />

Aku memilihnya dan menjadikannya persyaratan dalam<br />

kesepakatanku. Buatku, itu tanda setuju karena kalau<br />

tidak ada Jeremy, maka tidak akan ada kesepakatan. Aku<br />

bertemu Jeremy di Philip Island tahun 1999 dan ia<br />

langsung membuatku terkesan. Aku cepat menyadari


kalau bersama dia dan pengalamannya, debutku di kelas<br />

500cc tidak akan traumatis. Begitu aku bilang kalau<br />

Jeremy adalah kunci utama perjanjian ini, sebuah<br />

pertemuan rahasia diadakan di pit Philip Island.<br />

Jeremy pada dasarnya sudah berhenti ikut serta ke<br />

Grand Prix, meski dia datang, kehadirannya makin lama<br />

makin jarang. Mick Doohan mendapat kecelakaan serius di<br />

Jerez yang membuatnya berhenti. Jadi Jeremy dan timnya<br />

berdiri sendiri. Krunya berpisah dan tersebar di antara<br />

tim-tim Honda untuk menolong pembalap-pembalap<br />

lainnya. Jeremy sebenarnya punya kesempatan<br />

untukmembantu kepala teknisi Gibernau, tetapi ditolaknya<br />

karena ia butuh waktu untuk istirahat di rumah dan<br />

menyendiri.<br />

Tetapi, dia datang ke Grand Prix Australia. la telah<br />

diberitahu kalau aku menginginkan dia dan timnya dan<br />

HRC telah menyusun sebuah pertemuan. Dia menerima<br />

tawaranku karena merasa telah keluar dari trek sekian<br />

lama. Pertemuan kami dijadwalkan hari sabtu malam,<br />

malam sebelum balapan. Sekitar waktu tersebut, paddock<br />

benar-benar sepi, karenanya, itulah waktu yang tepat<br />

untuk diam-diam mengadakan pertemuan. Jeremy<br />

ditemani Alex dan Dickie, sementara aku ditemani Carlo<br />

Florenzano. Ketika aku sedang berjalan, aku melihat dan<br />

terkesima oleh NSR yang "resmi". Dan aku secepatnya<br />

bertanya apakah bisa menaiki motor itu, ketika jawaban<br />

"ya" terdengar, secepat kilat kunaiki motor itu. Itu adalah<br />

motor NSR-nya Gibernau. Motor-motor lainnya semua<br />

ditutupi; yang satu ini dibiarkan untukku. Mereka ingin<br />

aku menyentuh dan merasakan motor itu. Dan ya, meski<br />

aku hanya menaiki motor itu satu atau dua menit, aku<br />

telah jatuh cinta pada NSR, dan aku yakin aku bukanlah<br />

orang pertama yang merasakan hal ini.<br />

"Dengar, mungkin akan lebih baik kalau aku


eritahu aku ingin berhenti sama sekali," tukas Jeremy.<br />

Kata-katanya mengingatkan aku pada alasan aku ada di<br />

sana. "Ada keinginan untuk bergabung, tetapi aku belum<br />

memutuskan apa-apa," lanjutnya.<br />

"Apa maksudnya dia berhenti?" pikirku. Aku telah<br />

berusaha keras mendapatkannya dan sekarang, tiba-tiba<br />

saja, ia mengatakan kalau dia bisa jadi membatalkan<br />

niatnya untuk bergabung? Ini memang susah, tetapi tidak<br />

ada yang dapat kulakukan. Jeremy meminta waktu untuk<br />

memikirkan hal itu dan kami tidak punya pilihan selain<br />

menyetujuinya.<br />

"Baiklah, kita tunggu dan lihat seperti yang dia bilang,"<br />

ujarku kepada para eksekutif Honda. "Tapi,<br />

kesepakatanku untuk bergabung dengan Honda tergantung<br />

pada kesepakatan Jeremy untuk bergabung. Kita<br />

tunggu dan lihat, baru kita bicara."<br />

Aku mengatakan itu di depan semua orang, termasuk<br />

Jeremy, supaya orang Honda (dan Jeremy) tahu<br />

betapa pentingnya Jeremy untukku.<br />

Pada kenyataannya, perundingan dengan Honda<br />

berlangsung cukup alot. Pada akhir musim panas, mereka<br />

mengirimkan Carlo Florenzano kepadaku.<br />

"Kalau kamu tertarik di kelas 500cc, Honda menawarimu<br />

sesuatu," ujar Florenzano. "Kamu akan<br />

mendapatkan motor resmi 500cc."<br />

Setiap anak memiliki motor 500cc idamannya dan<br />

aku malah kerap tidak sanggup memimpikannya. Aku<br />

sangat tertarik akan penawarannya itu. Karena itu, aku<br />

tunjukkan rasa tertarik itu kepada mereka, kemudian<br />

meminta waktu, memberitahu mereka kalau aku masih<br />

ada urusan untuk diselesaikan.<br />

Pertemuan pertamaku dengan staf Jepang dari Honda<br />

berlangsung saat Grand Prix Imola.


"Aku tidak terburu-buru, aku ingin menjadi juara dunia<br />

250cc dulu," ujarku kepada mereka. "Sebelum itu<br />

terjadi, aku tidak akan memutuskan apa pun."<br />

"Baiklah," ujar mereka. Mereka jelas tersinggung<br />

atau kecewa terhadapku: "Tetapi ingatlah, kami tidak<br />

akan menunggumu selamanya."<br />

Aku membenarkan diri sendiri: "Ok, tetapi ingatlah,<br />

kalau tidak menang di kelas 250cc sekarang, aku tidak<br />

akan pernah menang lagi," ujarku karena masih ada<br />

banyak waktu untuk memenangi kelas 500cc.<br />

Saat itu umurku baru 19 tahun. Aku masih memiliki<br />

waktu panjang untuk karierku. Itulah mengapa dulu pada<br />

tahun 1996, aku juga memutuskan tidak mau naik ke<br />

kelas 250cc kalau aku tidak meraih juara dunia di kelas<br />

125cc. Akhir tahun 1999, aku tidak memiliki keinginan<br />

sama sekali untuk kelas 500cc, kecuali kalau aku telah<br />

memiliki gelar juara dunia 250cc. Tentu saja, aku lalu<br />

memenangi gelar tersebut dan semuanya menjadi lebih<br />

mudah. Tetapi, kalaupun aku tidak meraih gelar tersebut,<br />

aku tidak akan menjilat ludahku sendiri. Aku akan tetap<br />

bertanding di kelas 250cc sampai aku menjadi juara<br />

dunia. Tidak peduli butuh waktu berapa lama.<br />

Itulah mengapa aku terus memikirkan kelas 500cc<br />

sepanjang tahun 1999. Walaupun menang, Honda telah<br />

menungguku. Dan begitulah, pada malam aku meraih<br />

juara dunia kelas 250cc di Grand Prix Rio de Jenairo, aku<br />

kembali bertemu Carlo Florenzano, perwakilan Honda.<br />

Tapi, kali ini pikiranku sedang jernih dan yang kupikirkan<br />

adalah masa depan. Hari-hari balapanku di kelas 250cc<br />

siap kutinggalkan. Ketika aku mengendarai HSR di Philip<br />

Island, itu terasa hebat dan aku mengerti kalau karierku<br />

akan terus dan terus berjalan. Setelah dua tahun di kelas<br />

250cc dengan Aprilia dan tim Brazzi, menyelesaikan<br />

musim kedua dan memenangi gelar juara, aku merasa


akan mencapai puncak karier dalam olahraga ini. Semua<br />

ini terjadi dalam waktu empat tahun di kejuaraan dunia.<br />

Dan hanya enam tahun setelah keluar dari balapan<br />

pertama di Cagiva 125, di Italian Sport Production Series.<br />

Tentu saja aku masih menunggu keputusan Jeremy.<br />

Untunglah ia tidak butuh waktu lama untuk mengambil<br />

keputusan itu karena ia rindu akan dunia balap motor.<br />

Juga aku rasa dia tertarik dengan kemungkinan untuk<br />

memulai petualangan baru bersamaku. Saat Jeremy<br />

menyatakan setuju, timnya sekelompok anak muda yang<br />

sekarang masih bekerja sama denganku di Yamaha juga<br />

begitu. Kami mulai bekerja sama sebulan setelahnya,<br />

yaitu di bulan November.<br />

Honda NSR adalah salah satu dari sekian banyak<br />

sepeda motor yang membuat sejarah. Ini adalah sepeda<br />

motor yang diidam-idamkan. Umurku baru 20 tahun<br />

ketika mimpiku terwujud, dan aku harus tetap<br />

menjaganya tetap nyata. Aku penguasa piala kelas 250cc<br />

dan baru saja mengakhiri karier di Aprilia dan siap pindah<br />

ke Honda. Dan pada akhirnya, hidup bagaikan mimpi<br />

bersama NSR.<br />

Jujur saja, meninggalkan kelas 250cc merupakan<br />

keputusan yang tidak mudah. Butuh waktu panjang<br />

sebelum aku mewujudkan dan akhirnya siap<br />

menjalaninya. Pada awalnya, aku berpikir untuk<br />

melanjutkan paro kedua musim tahun 1999, karena aku<br />

ingin merebut gelar juara dunia. Aku mulai berpikir ke<br />

depan, mengira-ngira masa depanku mengarahkanku ke<br />

mana. Pada saat itu, masa depan berarti kelas 500cc,<br />

persis seperti hari ini masa depan berarti Moto GP.<br />

Aku cukup lama memikirkan soal ini karena aku baru<br />

berumur 21 tahun. Aku dapat mempertahankan gelarku<br />

beberapa tahun lagi, menghasilkan lebih banyak<br />

uang hingga tahun 2000. Toh, aku masih punya banyak


waktu untuk pindah ke kelas 500cc. Tetapi, itu bukan aku<br />

yang selalu penasaran, bukan aku yang selalu menyemangati<br />

diriku sendiri dan selalu mencari pengalaman<br />

baru. Lagipula, kesempatan untuk bertanding dengan<br />

Honda NSR 500cc tidak datang setiap tahun. Buka hanya<br />

itu, ini adalah Honda NSR 500cc resmi. Aku merasa<br />

tersanjung oleh kenyataan kalau Honda memilihku,<br />

menyerahkan motor resminya kepadaku, serta setuju aku<br />

membentuk timku sendiri di Italia, alih-alih bergabung<br />

dengan Tim HRC Repsol. Dengan kata lain, aku telah<br />

memiliki semua yang kumau: motor resmi dan Jeremy<br />

Burgess sebagai kepala teknisi.<br />

Ivano Beggio, presiden Aprilia, dan aku berpisah<br />

baik-baik. Dia tidak mencoba menahanku, malah<br />

mengijinkan aku untuk bergabung dan mencoba NSR<br />

500cc secepatnya tanpa harus menunggu hingga Januari<br />

2000, meski kontrak kerjaku berakhir 31 Desember. Aku<br />

cepat-cepat meraih kesempatan itu. Aku langsung pergi<br />

ke Jerez de la Frontera di sebelah selatan Spanyol,<br />

berseberangan dengan pantai utara Amerika, dengan hati<br />

gembira. Sangat menyenangkan rasanya diberi<br />

kesempatan di kelas 500cc dan jauh lebih menyenangkan<br />

saat aku diberi kesempatan mengendarai Honda NSR 500.<br />

Aku merasa luar biasa bahagia, sampai-sampai kulitku<br />

merinding.<br />

Sekarang ini, kategori 500cc sudah tidak ada lagi,<br />

tentu saja pengantinya adalah MotoGp. Matinya kelas<br />

500cc menghapus banyak masalah sekaligus kebahagiaan.<br />

Kenyataannya, tidak ada sepeda motor di dunia ini yang<br />

cocok dengan 2-tak nya 500cc. Aku menyukai karakternya<br />

yang hebat, keberanianmu akan segera terpacu dan<br />

terbakar setiap kali kamu mengganti gigi. Selain itu, aku<br />

adalah penggemar berat motor ini, karena kelas 500cc<br />

adalah rumah bagi setiap pembalap terbaik.


Aku membuat debutku pada akhir tahun 1999 dengan<br />

salah satu sepeda motor milik Alex Criville (yang<br />

baru saja memenangi kejuaraan dunia). Motor itu juga<br />

mirip motornya Mick Doohan, dan dia baru saja pensiun.<br />

Tetapi, NSR itu, versi empat silinder atau "screamer" yang<br />

pernah aku kendarai di tahun 2001, saat aku memenangi<br />

gelar, agak berbeda dari motornya Doohan. Aku selalu<br />

membayangkan debutku di atas Honda 500cc resmi itu<br />

sebagai inisiasi, nyaris seperti upacara resmi. Aku sering<br />

kali membayangkan itu, aku sudah memainkannya dalam<br />

khayalanku.<br />

"Ketika aku tiba, aku akan melihat truk Honda lebih<br />

dulu," ujarku hati-hati dan aku kemudian melihat motor<br />

itu, bersinar dan bercahaya di setiap detailnya. Aku akan<br />

meluncur dan selip di atas mesin yang diolah sempurna ini<br />

sementara teknisi Jepang berlarian di sekitarku,<br />

memenuhi setiap kebutuhanku, dan mekanik bersarung<br />

tangan putih membantuku di setiap putaran.<br />

Tetapi, kenyataannya tidak seperti itu. Aku tiba di<br />

paddock yang sepi. Tak ada siapa pun. Lalu aku melihat<br />

van sewaan berwarna hijau mendekat. Aku dapat<br />

mengenali Jeremy, Bernard (mekanik dari Tim HRC) dan<br />

bersama-sama mereka, seorang mekanik Jepang. Jeremy<br />

ternyata bukan orang yang suka berpenampilan resmi. Dia<br />

menggunakan sepatu boot Timberland dan jumper yang<br />

jelek sekali, aku pikir jumper itu tidak lagi dijual, baju wol<br />

gelap dengan kerah yang juga jelek.<br />

Jadi... inikah sang legendaris, seorang besar, Jeremy<br />

Burgess... dan dia tampak seperti seorang lelaki yang<br />

terjebak di jaring dan sangat ketinggalan zaman. Jeremy,<br />

Bernard, dan seorang mekanik tidak melihatku, jadi aku<br />

hanya berdiri dan melihat mereka mengeluarkan van<br />

sewaan itu dan membuka pintunya untuk mengeluarkan<br />

motor NSR 500. Salah satu dari mereka membawa kotak


peralatan. Hanya itu. Hanya sepeda motor, satu set<br />

peralatan, dan tiga mekanik. Motor itu makin terlihat<br />

seperti motor biasa. VVamanya hitam, dengan lingkaran<br />

warna oranye, tangki bensin abu-abu, dan fairing yang<br />

biasa. Semuanya terlihat murah dan biasa saja.<br />

"Ada apa, sih," pikirku. "Ini motor yang paling<br />

penting di seluruh dunia dan aku di sini bersama tim<br />

hebat kelas dunia, tapi mereka mengeluarkan barang<br />

murahan seperti itu dari van sewaan?"<br />

Aku sangat takut, tidak percaya, dan sangat kecewa<br />

soal ini. Aku pasrah saja. Aku menghendaki standar<br />

tinggi,motorku juga harus rapi, bersih, tanpa stiker yang<br />

menempel di sembarang tempat. VVarnanya juga harus<br />

serasi, sehingga efek visual yang ditimbulkan langsung<br />

menarik penonton seketika itu juga. Ini berlaku untuk apa<br />

saja yang aku miliki. Tetapi, kalau untuk motor yang aku<br />

agungkan lebih dari segalanya, standamya harus lebih<br />

tinggi lagi.<br />

Mungkin itulah mengapa ketika aku melihat motor<br />

itu, aku tidak memercayai penglihatanku. Apalagi,<br />

mungkin saja lucu melihat Jeremy ditemani seorang<br />

mekanik Jepang dengan kotak peralatan di atas tanah<br />

serta NSR yang tak terurus. Tetapi, buatku semua itu<br />

sangat tidak lucu. Aku hanya bisa berpikir "Dan apa<br />

semua ini memang untuk balapan motor tingkat tinggi?"<br />

Karena begitu gembiranya aku akan uji coba itu, aku<br />

bahkan membawa dua setel pakaian khusus yang dibuat<br />

oleh Dainese dan didesain oleh Aldo Drud; kedua pakaian<br />

tersebut berwarna kuning dengan logo Honda besar dan<br />

gambar Fiat Cinguecento kuno. Ini adalah caraku<br />

merayakan kenyataan kalau aku sekarang di kelas 500cc,<br />

walaupun ini adalah kelas 500cc yang sangat berbeda.<br />

"Yah... meski motornya tampak menyedihkan, setidaknya<br />

aku berpenampilan rapi," pikirku ketika mengingat


pakaian bajuku. Aku membuka tasku dan mengeluarkan<br />

kedua pakaian tersebut. Ketika aku mengeluarkannya,<br />

Gibo segera berkata.<br />

"Tunggu dulu, bukankah kamu membawa baju dari<br />

Aprilia," tanya Gibo.<br />

"Tidak".<br />

"Dengar, jangan pakai baju itu, kamu harus pakai<br />

baju dari Aprilia.<br />

"Apa?" protesku. Bukankah Aprilia mengijinkanku<br />

untuk uji coba dengan Honda? Apa maksud Gibo?<br />

"Perjanjian kita dengan Aprilia sangat jelas,"<br />

ujarnya. "Kamu dapat mengikuti uji coba dengan Honda,<br />

tetapi kamu harus memakai baju Aprilia karena pada baju<br />

itu tercantum logo para sponsor yang mensponsori hingga<br />

akhir tahun."<br />

Dia benar. Gibo mengira dia telah memberitahuku<br />

soal ini semua, tetapi sebenarnya tidak pernah. Jadi aku<br />

sama sekali tidak tahu syarat-syarat kesepakatan dengan<br />

Aprilia. Karena itulah aku mulai panik.<br />

"Aku telah pergi begitu jauh, begitu dekat dengan<br />

NSR, dan tidak jadi ikut uji coba hanya karena masalah<br />

baju konyol ini," pikirku.<br />

Aku mengadakan pertemuan dengan timku.<br />

"Ok, sekarang apa yang harus kita lakukan?" tanyaku<br />

kepada mereka. Aku senang atas masukan-masukan<br />

yang diberikan kepadaku. Setelah beberapa menit,<br />

akhirnya aku mengambil keputusan.<br />

"Kawan, seseorang harus pergi ke rumahku, mengambil<br />

bajuku, dan membawanya ke sini,"<br />

Jadi aku menelepon temanku dari Pesaro, Filippo<br />

Pallazi. Ketika telepon telah tersambung, aku berbicara<br />

kepadanya dan langsung menjelaskan masalahku tanpa


asa basi. "Dengar, aku ingin kamu kerumahku, ambil<br />

baju itu, dan pergi ke sini dengan pesawat pertama<br />

sehingga kamu bisa sampai di Jerez malam ini. Bisakah<br />

kau lakukan itu?"<br />

"Cari alasan yang bagus agar kamu bisa ke sini,"<br />

tambahku, menyadari kalau mungkin istrinya tidak akan<br />

mengizinkannya pergi ke Jerez.<br />

Dia memahami situasinya dan menjelaskan<br />

semuanya kepada istrinya (istrinya ternyata cukup<br />

pengertian). la datang ke rumahku, mengambil baju dan<br />

pergi ke bandara, lalu mengambil penerbangan pertama<br />

ke Jerez. Solusi tersebut membantuku hingga bisa datang<br />

di hari kedua uji coba. Aku masih tidak dapat menduga<br />

apa yang harus kupakai untuk hari pertama, hari yang<br />

seharusnya menjadi penampilan pertamaku. Untunglah<br />

Aprilia juga menyelenggarakan uji coba di Jerez. Jadi aku<br />

pergi menjumpai Marcellino Lucchi dan meminta dia<br />

meminjamkan baju Aprilia-nya kepadaku. Dia begitu baik<br />

dan pengertian, tidak perlu banyak penjelasan untuk<br />

meyakinkannya. Dia lalu meminjamiku bajunya. Masalahnya<br />

sekarang, dia lebih pendek dariku dan aku sama<br />

sekali tidak nyaman menggunakan bajunya.<br />

"Tetap saja, monster-monster itu melihatku dari sisi<br />

arena balap," pikirku. Lalu aku kembali ke pit untuk<br />

mengambil helm, tetapi helm itu tidak kutemukan.<br />

Helmku telah hilang. Akhirnya aku sadar kalau benda itu<br />

ternyata telah dicuri di bandara.<br />

Ake sangat sedih, tidak percaya apa yang terjadi.<br />

Jeremy tidak mengatakan apa-apa, tetapi air mukanya<br />

menunjukan keprihatinan, dan aku tidak bisa<br />

menyalahkannya. Meski akhirnya orang-orang dari Honda<br />

muncul di trek, aku tidak merasa lebih baik.: aku<br />

memakai baju orang lain yang sangat tidak nyaman, dan<br />

tanpa helm.


"Penampilan perdana yang sangat baik, sangaaaat<br />

baik" pikirku sedih. "Hari yang sial!"<br />

Dengan perasaan tertekan, tiba-tiba aku teringat<br />

sesuatu. Ide yang mungkin dapat menyelamatkan<br />

penampilan uji coba pertamaku. Aku ingat Harada dan aku<br />

pernah bertukar helm dan ia juga ada di Jerez untuk uji<br />

coba. Jadi aku datang kepadanya dan meminta kembali<br />

helmku.<br />

Itulah kenapa kalau kamu melihat foto-fotoku waktu<br />

itu, penampilan uji coba pertamaku dengan Honda NSR<br />

500 terlihat sangat aneh. Hari besarku, hari ketika aku<br />

mengubah sejarah kelas 500cc dan memainkan peran<br />

yang sangat besar dalam suksesnya karierku hanyalah<br />

soal mode. Mulai dari jumper-nya Jeremy, motor NSR 500<br />

yang jelek, hingga bajuku yang juga hampir tidak muat<br />

yang ditutupi isolasi di bagian namanya (untuk menutupi<br />

nama pemilik baju, yaitu Lucchi), serta helm tua yang<br />

bahkan sudah bukan milikku lagi.<br />

Bagaimanapun juga, yang penting motornya<br />

berjalan baik dan aku dapat melakukan balapan ini.<br />

Setelah aku di atas motor, aku sudah tidak lagi<br />

memikirkan penampilan konyolku itu. Aku berkata dalam<br />

hati "Ini adalah kelas 500cc. Ini hal yang serius, jadi aku<br />

lebih baik berkonsentrasi pada balapan ini."<br />

Bagus juga aku berpikir seperti itu, karena G-Force<br />

begitu liar. Ketika aku mengenang beberapa lap<br />

pertamaku diatas NSR 500, yang paling kuingat adalah<br />

perasaaan berani dan suara yang menyentak setiap kali<br />

aku pindah gigi, terutama gigi rendah.<br />

Aku pikir aku sudah baik menyiapkan diriku dengan<br />

menonton pembalap lainnya baik lewat TV maupun<br />

langsung. Tetapi, kenyataannya, kamu tidak akan pernah<br />

siap untuk kelas 500cc. Motor ini dua kali lebih cepat dan<br />

jauh lebih kuat dari motor 250cc. Contohnya saja, di TV


aku melihat kalau para pembalap 500cc jarang dapat<br />

langsung lurus mengendalikan motornya setelah melewati<br />

tikungan, mereka biasanya bergetar ke kiri atau ke kanan.<br />

Aku tidak tahu mengapa. Tetapi, akhimya aku tahu<br />

jawabannya. Dengan motor 500cc, kamu tidak bisa begitu<br />

saja keluar dari tikungan dan langsung tancap gas seperti<br />

kalau kamu mengendarai motor biasa. Ban depan motor<br />

500cc tidak pernah menyentuh tanah dan roda<br />

belakangnya ke mana-mana. Aku mengerti kalau satusatunya<br />

cara untuk menguasai-nya adalah dengan<br />

menjaga motor tetap miring di satu sisi agar tidak terlalu<br />

tinggi melayang. Itulah sebabnya kamu melihat pembalap<br />

500cc muncul dengan posisi yang aneh dan kadang tidak<br />

masuk akal. Itu bukan karena cara mengendarainya<br />

buruk, tetapi justru sebaliknya.<br />

Aku mengendarai 500cc dengan cepat pada hari<br />

pertamaku. Lalu pada hari kedua, hari ketika aku akhirnya<br />

memakai baju Apriliaku sendiri, aku mulai mencatat waktu<br />

yang sangat baik, catatan pole position, seperti 1', 43", 5.<br />

Aku selalu seperti itu di setiap penampilanku. Aku selalu<br />

berusaha mengemudi dengan kecepatan penuh, karena<br />

aku merasa mampu membawa motorku mencapai batas<br />

tercepat. Sama halnya dengan motor 250cc. Aku<br />

mengendarainya dengan cepat, sehingga aku sering kali<br />

terjatuh. Itulah yang akan terjadi kalau kamu membawanya<br />

terlalu cepat. Kamu mengira semuanya dapat<br />

dikendalikan dengan baik dan kamu ambil risiko itu. Di<br />

atas motor 250cc, periode itu menggeber habis-habisan<br />

lebih panjang dari di atas motor 500cc. Itulah sebabnya<br />

kalau kamu jatuh dari motor 500cc, kamu akan ingat<br />

terus.<br />

Motor 500cc begitu kuat, sehingga kalau kamu tancap<br />

gas terlalu cepat, kamu akan terjatuh meski kamu<br />

tidak melakukan kesalahan. Jatuhnya akan sangat


menyakitkan, disebabkan oleh akselerasi. Ini bisa saja<br />

terjadi awalnya karena roda belakang selip, kemudian<br />

tiba-tiba mencengkeram kuat, sehingga motornya terbang<br />

ke udara seperti terlontar dari ketapel. Istilah tekniknya<br />

"high side" dan itu semua tidak menyenangkan.<br />

Meskipun demikian, NSR 500 adalah motor paling<br />

menarik yang pernah aku kendarai. Motor yang sangat<br />

selektif dan sangat menantang untuk dikendarai. Kalau<br />

kamu membuat kesalahan kecil, kamu akan tertinggal.<br />

Itulah kenapa aku bilang kalau hanya beberapa pembalap<br />

yang cocok dengan NSR 500. Motor ini benar-benar paling<br />

sulit dikuasai. Pilih saja: kamu mengendalikannya, atau ia<br />

akan menyiksamu. Tidak ada kompromi.<br />

Pada saat itu, aku sering terjatuh karena sebab yang<br />

berbeda-beda. Sebagian karena aku melakukan gaya yang<br />

kupraktikkan di kelas 250cc. Di kelas tersebut, kamu<br />

dapat langsung ke tikungan, bahkan tancap gas di<br />

sepanjang tikungan itu, lalu berakselerasi begitu kamu<br />

melewatinya. Oke, memang bukan hal mudah untuk<br />

dilakukan. Tetapi, semua itu mungkin dan banyak dari<br />

kami telah menguasai gaya itu. Walaupun demikian,<br />

jangan melakukan semua itu di kelas 500cc. Masalah di<br />

kelas 500cc salah satunya adalah kamu sangat percaya<br />

diri pada awalnya. Itu yang kualami. Aku begitu yakin<br />

sehingga terus memaksa maju, melakukan gaya 250ccku.<br />

Dan hasilnya, aku terjatuh.<br />

Itu terjadi di hari kedua uji coba, di Philip Island,<br />

dan jatuhku itu sangat fatal. Sebelum uji coba, Gibernau<br />

sebenarnya telah datang mengingatkanku: "Begini, motor<br />

kamu terlalu miring, kamu memperlakukannya seolah itu<br />

jenis 250cc. Kamu tidak boleh seperti itu. Kamu harus<br />

memiringkan tubuhmu, bukan motornya."<br />

"Oh, terima kasih. Baik, aku akan melakukannya,"<br />

balasku tidak terlalu menanggapi sarannya. Aku bertanya


dalam hati, "Siapa, lu? Ngajarin aku caranya balapan!"<br />

Tentu saja, aku tidak memerhatikan kata-katanya.<br />

Dan itu kesalahan besar. Dua jam kemudian, aku<br />

mengalami kecelakaan parah. Aku mengemudi terlalu<br />

cepat dan hal berikutnya yang aku tahu, aku terlempar ke<br />

udara. Ake merasakan ban belakang terangkat begitu saja<br />

dan keluar dari trek. Benar-benar melayang dan mental<br />

nggak karuan. Dan aku terjatuh kembali ke tanah<br />

berdebam sedemikian rupa, siksaan yang takkan<br />

kulupakan seumur hidup.<br />

Tetap saja, pengalaman seperti itu belum cukup untuk<br />

membuatku berhenti. Pada Grand Prix Afrika Selatan,<br />

aku terjatuh lagi. Kali ini, setirnya macet. Di Malaysia, aku<br />

bahkan mengemudi lebih cepat dan mental ke udara lagi.<br />

Pada saat itulah aku mulai ragu. Aku memikirkan<br />

apa yang terjadi pada diriku dan bertanya dalam hati apa<br />

yang salah dari semua ini.<br />

"Sekarang, sudah saatnya kamu mengganti<br />

gayamu," ujarku dalam hati. Memang sudah tiba<br />

waktunya, meski aku tetap belum begitu menguasai cara<br />

menghadapi tikungan di atas motor 500cc. Dan itu<br />

memang masalah yang paling besar.<br />

Di kelas 500cc, caranya adalah masuk trek dengan<br />

cepat, kemudian mengerem sebisa mungkin di dalam<br />

tikungan. Sebaliknya, di kelas 250cc, kalau kamu ingin<br />

tepat mengerem sebelum tikungan, kamu tidak<br />

mengerem pas pada tikungan karena kamu ingin<br />

mengatur kecepatan motor pada trek lurus yang biasanya<br />

ada setelah itu.<br />

Tetapi, seperti kubilang, motor 500cc benar-benar<br />

berbeda. Kamu tidak bisa mengemudikannya seperti itu<br />

karena bobotnya 130 kilogram dan kalau motor tetap<br />

miring lebih dari beberapa detik, setir akan mudah macet


dan daya cengkeram ban depan akan mengendor. Motor<br />

500cc juga lebih stabil ketika mengerem. Kamu dapat<br />

mengerem sekuatnya dan ban depannya akan tertahan,<br />

tapi kalau kamu melepas remnya dan kamu miring maka<br />

ban depannya akan kehilangan daya cengkeram dan<br />

mental keluar jalur. Jadi kalau kamu ingin masuk tikungan<br />

dengan kecepatan tinggi, turunkan kecepatan pada saat di<br />

tikungan itu, setelah itu baru tegak dan tancap gas,<br />

karena dengan mesin kuat seperti itu, menekan gas<br />

setelah keluar dari tikungan bukanlah masalah. Tetapi,<br />

ada split kedua saat kamu harus sangat hati-hati: saat<br />

kamu masuk tikungan, langsung ada gravitasi yang<br />

hilang, dan kalau kamu kehilangan daya cengkeram,<br />

kamu akan mental.<br />

Kamu bisa mengatasinya dengan mencoba<br />

menikung secepat mungkin dan kembali ke posisi semula,<br />

sehingga ban bisa kembali ke trek sesegera mungkin.<br />

Dengan demikian, meskipun selip, kamu setidaknya masih<br />

bisa mengendalikan motor tersebut. Ada lagi masalah<br />

pada motor 500cc, kalau kamu menikung sambil menekan<br />

gas terlalu kencang, motor akan melawan dan—bisa<br />

ditebak kamu akan mental.<br />

Lagipula, butuh waktu untuk mengerti motor 500cc.<br />

Kamu harus sangat sensitif. Aku juga butuh waktu untuk<br />

memahami semua itu. Sekali kamu menguasainya, kamu<br />

harus berhati-hati dan jangan terlalu percaya diri. Kalau<br />

kamu sombong, motormu akan menyiksamu. Dengan kata<br />

lain, kamu harus selalu rendah hati.<br />

Aku jatuh-bangun dan menghabiskan nyaris sepanjang<br />

musim pertamaku untuk memahami motor 500cc<br />

dan mengubah caraku mengemudi. Tentu saja, aku cepat.<br />

Tetapi, itu bukan masalah. ..Aku selalu cepat. Pada akhir<br />

tahun pertamaku, musim tahun 2000, aku telah sepuluh<br />

kali naik podium; aku hanya terjatuh beberapa kali karena


terlalu percaya diri.<br />

Salah satu jungkir-balikku terjadi di Mugello, setelah<br />

pertengkaran dengan Biaggi dan Capi<strong>rossi</strong>. Kami bertiga<br />

saling bersaing dan pada akhirnya saling menjegal<br />

sehingga hanya Capi<strong>rossi</strong> yang berhasil mencapai finish,<br />

sedangkan aku dan Biaggi terjatuh.<br />

Saat menentukan bagiku adalah di Valencia. Hanya<br />

aku satu-satunya yang memiliki kesempatan menyusul<br />

Kenny Roberts meski sebenarnya itu cuma teori, karena ia<br />

jauh memimpin. Tetapi, aku terjatuh lagi di arena balap<br />

karena alasan yang sama. Yaitu karena ban depanku lepas<br />

kontak dengan trek. Akhirnya, aku dapat menguasai<br />

motor itu saat kembali ke Rio. Aku yakin kalau akhirnya<br />

dapat menyesuaikan gayaku dengan motor 500cc. Tentu<br />

saja musimnya hampir selesai saat itu. Dan butuh waktu<br />

hampir setahun untuk itu. Sebelumnya, aku tidak pernah<br />

jatuh sama sekali. Tidak juga di tahun 2001 saat aku jadi<br />

juara dunia. Tetapi, tahun itu, aku jatuh tiga kali sedikit di<br />

atas rata-rata jatuhku tiap musimnya.<br />

Segalanya cepat berubah saat kami pindah ke<br />

MotoGp. MotoGp dapat dikendarai dengan banyak cara,<br />

masing-masing pembalap dapat mengemudi dengan<br />

caranya sendiri. Itu karena mesin 4-tak memberi kamu<br />

banyak ruang gerak, sehingga jauh lebih mudah untuk<br />

mengendalikan penyaluran tenaga dan pergantian gigi.<br />

Rahasianya terletak di mesin 4-tak, elemen-elemen<br />

elektroniknya juga sangat bermanfaat. MotoGP juga jauh<br />

lebih mudah dipakai. Itu lebih mudah dari motor 500cc.<br />

Jarang jatuh, karena pengendalian distribusi tenaganya<br />

lebih mudah. Motor itu juga mudah direm. Kalau kamu<br />

jatuh di MotoGP, sebabnya selalu akibat selip hal yang<br />

jarang terjadi di kelas 500cc. Bukannya bilang kalau<br />

MotoGP lebih cocok untuk semua orang, atau aku lebih<br />

senang melihat motor-motor itu dijumpai di jalan-jalan.


Walau begitu, motor itu memang jauh lebih mudah untuk<br />

dikendalikan, dibanding motor 500cc. Dan itulah sebabnya<br />

MotoGP kurang begitu selektif.<br />

Menurutku, ada banyak pembalap yang bisa memaksimalkan<br />

potensi motornya hingga 95 persen di seri<br />

MotoGP. Sementara di kelas 500cc, menurutku, para<br />

pembalap itu hanya mampu memaksimalkan potensi<br />

motornya hingga 75 persen. Itulah sebabnya balapan<br />

menjadi lebih ketat akhir-akhir ini.<br />

Seperti yang kubilang, jangan keliru mengartikan<br />

pendapatku. Kamu tidak bakal mau pergi liburan dengan<br />

MotoGP atau mengendarainya keliling kota. Karena meski<br />

penyaluran tenaganya halus, motor itu tetap sangat,<br />

sangat cepat dan rumit untuk dimodifikasi.<br />

Dan itulah mengapa, pada akhirnya, di dalam<br />

MotoGP sendiri beberapa pembalap terpaksa hengkang.<br />

Karena mereka tidak mampu mengeksploitasi 95 persen<br />

potensi motor mereka. Apalagi kalau harus 100 persen,<br />

mereka pasti pontang-panting...


10<br />

CAPITOLO DIECI<br />

PERSIS di atas pinggang kiriku, ada sebuah tato yang<br />

sangat penting untukku. Sebuah tato kura-kura. Sebenamya,<br />

tato ini adalah replika kura-kura antistres hadiah<br />

dari Uccio beberapa tahun lalu. Uccio memberiku hadiah<br />

ini di awal-awal karierku di 250cc, saat keadaan tidak<br />

berjalan semestinya. Aku cukup tertekan saat itu dan<br />

butuh ketenangan.<br />

"Kamu kelihatan sangat tertekan," ujar Uccio. "Pakai<br />

ini."<br />

Dan dia memberiku kura-kura itu. Kura-kura itu terbuat<br />

dari bahan yang sangat lentur, mau kamu tarik atau<br />

putar, benda itu akan kembali ke bentuknya semula.<br />

Pokoknya nggak masalah, mau kamu remas, injak-injak,<br />

atau masukkan ke oven microwave, kura-kura itu akan<br />

selalu kembali ke bentuknya semula. Drudi meniru<br />

desainnya dan aku kemudian ditato.<br />

Memang lucu. Aku merasa butuh kura-kura ini,<br />

binatang yang lambat dan sangat hati-hati, meski setiap<br />

saat aku perlu berpacu cepat. Tampaknya seperti<br />

kontradiksi, tapi memang betul. Aneh, 'kan?<br />

Ada kura-kura lain yang berperan penting dalam<br />

hidupku. lni menjadi jimat keberuntunganku, mengikuti<br />

aku kemana pun, ke setiap pertandinganku. Kura-kura ini<br />

kura-kura ninja. Ibuku, Stefania, memberiku kura-kura ini<br />

pada saat aku berumur sebelas tahun, seminggu sebelum<br />

pertandingan sepeda mini.<br />

Aku harus bilang kalau aku tidak punya kegemaran<br />

khusus aku memotong kaitannya dan menyingkirkan


kura-kura tersebut. Tapi, aku bersumpah kalau kura-kura<br />

itu akan selalu bersamaku.<br />

"Kamu akan ikut aku kemana pun aku bertanding!"<br />

ujarku pada kura-kura itu.<br />

Dan itulah yang kulakukan. Kura-kura ninja itu,<br />

kura-kura ninja yang sama yang dibelikan ibuku, selalu<br />

ada di antara pelengkapan pribadiku kalau aku mengikuti<br />

pertandingan. Aku juga memiliki sebuah kura-kura pada<br />

helmku, di bagian kiri, persis di samping logo di atas kaca<br />

depan helm: "Geng Chihuahua"<br />

Chihuahua adalah nama geng kami, teman-teman<br />

baikku sejak aku masih kecil. Kami sudah bersama sejak<br />

sejauh yang aku bisa ingat. Kebanyakan mereka berasal<br />

dari Tavullia, yang lainnya dari kota dekat Tavullia. Kami<br />

selalu bersama. Sejak TK, kemudian SD Vittorio Giunta.<br />

Sebagian dari mereka sekelas denganku setiap tahun;<br />

yang lainnya bergabung kemudian. Ketika aku masuk<br />

SMP, aku harus meninggalkan mereka. Aku bersekolah di<br />

Pian del Bruscolo, dekat Montecchio, karena sekolah yang<br />

kami ikuti sebelumnya hanya mengajarkan bahasa Prancis<br />

sebagai bahasa kedua dan ayah menginginkan aku belajar<br />

bahasa Inggris. aku sangat kecewa harus sekolah di kota<br />

lain karena aku tidak kenal siapa pun di sana dan karena<br />

aku harus meninggalkan teman-temanku. Aku merasa<br />

putus asa pada awalnya. Kami berpisah hanya untuk<br />

beberapa jam sehari, pada pagi hari (di Italia, kamu<br />

bersekolah hingga jam makan siang), tapi tetap saja<br />

menyakitkan. Biasanya, kami menghabiskan setiap menit<br />

bersama sepanjang sore.<br />

Namun, mereka tetap menjadi teman-temanku hingga<br />

kini. Lazimnya, aku mendapatkan teman yang bukan<br />

bagian dari geng. Karena aku punya banyak teman, dari<br />

umur yang berbeda, dan ada beberapa yang kusuka<br />

seperti halnya aku suka teman-temanku di geng. Tetapi,


geng itu sangat spesial, sesuatu yang berbeda, sesuatu<br />

yang unik. Ketika aku bersama mereka, aku tidak merasa<br />

seperti bintang. Aku pun tak harus bersikap seperti<br />

seorang bintang. Ketika bersama geng, aku bukanlah<br />

seorang pemenang atau seorang bintang. Saat kembali ke<br />

Tavullia, aku langsung menemukan suasana yang hangat<br />

dan kembali menjadi Valentino; aku bisa ngobrol layaknya<br />

anak-anak seumurku ngobrol, aku tidak perlu jadi panutan<br />

bagi yang lainnya. Aku bisa menjadi anak normal. Dan<br />

itulah yang kerap aku rindukan.<br />

Hanya ketika bersama teman-temankulah aku bisa<br />

dipandang sebagai anak biasa. Dengan mereka, aku bisa<br />

ngobrol segala hal, tanpa khawatir kata-kataku akan<br />

muncul di media: lebih buruk lagi, muncul di media dan<br />

digunakan untuk menyerangku. Tentu saja, kami sering<br />

bicara soal balapan dan motor, tapi bersama mereka, ini<br />

hanya sebatas cerita saja, sama seperti kamu<br />

menceritakan rekan kerja atau teman sekolah. Dan aku<br />

berbicara kepada mereka seperti aku berbicara kepada<br />

saudaraku. Karena itulah mereka bagiku adalah saudarasaudara.<br />

Uccio, Pirro, Caroni, Nello, Bagaro, Mambo, Fuligna,<br />

Gabba, Cico, Secco, Tia Musto, Biscia, Lele, Filo, Yuri,<br />

Pane, La Matta, Spugna, Sburo, Pedro, Gabbia dan Piwi<br />

(Piwi sedikit lebih tua). Bersama aku, tentunya. Merekalah<br />

geng itu. Satu hari ketika berada di rumah Mambo di<br />

Cattolica, kami melakukan segalanya, terlalu banyak<br />

minum anggur merah dan makan kastanye. Salah dari<br />

satu dari kami mengatakan: "Kita ini satu geng."<br />

Dan begitulah, kami menjadi satu geng. Itulah mengapa<br />

kami memilih untuk mengambil nama dari suku<br />

Indian. Suku Chihuahua. Dan aku memutuskan untuk<br />

memakai nama itu bersamaku di trek balapan. Ketika aku<br />

berada pada kelas 125cc, aku memiliki stiker bertuliskan


"Cosmico!" ("Cosmic") pada helmku dan aku memenangi<br />

gelar juara dunia pada tahun 1997. Kemudian, pada tahun<br />

pertamaku di kelas 250cc, tahun 1998, aku menempelkan<br />

tanda kecil berbunyi "Dilarang berbicara kepada sang<br />

pengemudi" sama seperti tanda yang kamu lihat pada bisbis.<br />

Kemudian aku menggantinya dengan "Geng<br />

Chihuahua".<br />

Geng ini jadi eksklusif. Bagi kami, persahabatan<br />

selalu jadi nilai yang sangat penting, prioritas di atas<br />

segalanya. Kami selalu bersatu, terlepas dari sekian tahun<br />

bersama, masa dewasa kami, pekerjaan kami, dan jalan<br />

hidup yang berbeda yang kami tempuh. Aku selalu<br />

bersama mereka ketika kembali ke Tavullia. Kami selalu<br />

pergi pada malam hari ke pantai saat musim panas, dan<br />

ke gunung saat musim dingin. Persis seperti saat kami<br />

kanak-kanak dan selalu begitu setiap tahun.<br />

Geng kami berisi orang-orang yang pekerjaannya<br />

berbeda pada jam yang berbeda pula, jadi selalu ada<br />

teman untuk berkumpul. Banyak dari mereka yang<br />

bekerja pagi hari, yang lainnya bekerja malam hari. Ada<br />

yang memiliki restauran atau bar, ada yang jadi pelayan.<br />

Jadi ketika aku berada di Tavullia, aku bisa bersama<br />

teman satu geng yang ini pada jam tertentu dan<br />

kemudian, ketika mereka harus beristirahat, aku bisa<br />

bersama teman satu geng yang itu yang baru saja selesai<br />

bekerja.<br />

(Seperti yang mungkin sudah kamu ketahui, aku<br />

sering bangun di malam hari dan tidur di pagi hari. Sepengetahuanku,<br />

tidak ada itu pagi hari, kecuali saat<br />

pertandingan atau ketika aku ada janji yang tidak bisa aku<br />

tunda hingga sore hari.)<br />

Hariku biasanya dimulai sore hari. Sepertinya aku<br />

punya jam kerja sendiri. Aku hidup pada malam hari,<br />

karena aku suka suasana malam. Sekarang, ini membuat


kamu berpikir kalau aku beraktivitas pada malam hari,<br />

dan tidak hidup layaknya atlet profesional. Ini benar, aku<br />

tidak hidup seperti atlet pada umumnya, tidur tepat pada<br />

waktunya, bangun pagi dan hal seperti itu—tetapi, ini<br />

bukan berarti aku tidak peduli pada makanan atau<br />

minumanku, juga latihanku. Kenyataannya, aku banyak<br />

berlatih di gym, juga berlatih motor. Hanya saja aku pergi<br />

ke gym sore hari, bukannya pagi hari. Begitu juga ketika<br />

aku berlatih motor, aku selalu berangkat sore hari, tidak<br />

pernah pukul 9 pagi.<br />

Tubuhku mempunyai metabolisme tertentu.<br />

Tubuhku sudah biasa dengan jam istirahat yang berbeda.<br />

Itulah sebabnya, ketika aku bepergian ke tempat-tempat<br />

lain di dunia, aku tidak mengalami jet lag, dan aku jarang<br />

tidur pukul 3 pagi. Aku baru masuk ke tempat tidur ketika<br />

orang pergi bekerja. Seperti kukatakan, aku mempunyai<br />

hubungan tertentu dengan suasana malam hari. Aku suka<br />

berkeliaran malam hari, hidup dan berpikir di malam hari,<br />

juga bersantai di malam hari. malam hari memesonaku,<br />

karena saat itulah kebingungan mereda. Dunia menjadi<br />

tenang, menjadi sepi. Lagipula, aku adalah Valentino<br />

Rossi. Aku dicari...aku seorang buronan.<br />

Ya, aku selalu melarikan diri dari orang-orang<br />

senegaraku. Negara Italia. Aku bangga menjadi seorang<br />

Italia, aku bangga akan keberhasilan kami, dan aku<br />

menyesali kelemahan kami. Rakyat Italia adalah rakyat<br />

yang luar biasa. Dalam segala hal. Bahkan ketika mereka<br />

mulai mencintai kamu. Karena saat itulah masalah bisa<br />

timbul kalau kamu membuat seorang Italia jatuh cinta.<br />

Tetapi, mereka juga bisa berlebihan, menindas dan tidak<br />

menghargai. Aku tidak tahu siapa yang bilang kalau orang<br />

Italia bisa memaafkan segalanya kecuali kesuksesan.<br />

Siapa pun orangnya, dia benar. Karena itulah yang<br />

sebenarnya.


Setelah musim 1997, aku bisa bilang kalau aku<br />

mulai populer. Tahun demi tahun, popularitas itu berubah<br />

menjadi cinta. Mereka mencintai aku sekarang, hasilnya,<br />

sejak musim 2004, aku menjadi orang yang diburu. Dan<br />

itu tidak bisa dihindari, aku tidak bisa lepas dari<br />

pandangan, kemana pun aku pergi mereka akan<br />

menemukanku. Ada beberapa hal kecil, kesenangan kecil,<br />

yang aku tidak bisa aku lakukan ketika aku kembali ke<br />

Italia. Aku tidak bisa pergi ke bar dan minum cappucino,<br />

karena aku tidak akan sempat meminumnya. Ini dapat<br />

kulakukan di Tavullia, tapi hanya di sana. Bila aku pergi<br />

beberapa kilometer dari pusat kota, semua berakhir,<br />

semua berubah dan kembali aku, sekali lagi, menjadi<br />

seekor binatang buruan.<br />

Aku tidak bisa masuk toko, melihat-lihat dan<br />

memutuskan apa yang hendak aku beli. Kenyataannya,<br />

aku tidak bisa berhenti di mana pun, bahkan di pom<br />

bensin. Kalau aku berhenti, aku akan dapat masalah.<br />

Seseorang akan mengenaliku (orang-orang Italia<br />

mempunyai kehebatan khusus dalam mengenali<br />

seseorang), lalu berteriak-teriak memanggil orang-orang<br />

lain dan kemudian, sebelum aku sadar, aku sudah ditelan<br />

keramaian orang.<br />

Kalau aku punya janji untuk bertemu seseorang, kami<br />

harus bertemu di sebuah tempat rahasia yang jauh<br />

dari mana pun, kami bahkan tidak bisa berlama-lama.<br />

Akubisa pergi ke restoran bila pengunjungnya banyak.<br />

Dan kalau aku tetap pergi, aku tidak bisa pergi pada jam<br />

normal, katakanlah pada pukul 8 pagi. Aku harus pergi<br />

sesudahnya, lama sesudah jam normal, ketika para<br />

pengunjung sudah pergi. Dan aku tidak bisa duduk di<br />

tempat yang aku suka, aku harus bersembunyi di sudut,<br />

terlindung bayang-bayang. Untuk tempat seperti bioskop<br />

atau pantai, lupakan. Tempat-tempat tersebut di luar


jangkauanku.<br />

Meski demikian, aku suka berbaur dengan orang.<br />

Aku melakukannya karena aku suka melakukannya.<br />

Hanya aku berharap dapat melakukannya seperti orangorang<br />

pada umumnya, karena jauh dilubuk hati, aku<br />

hanyalah manusia biasa. Ini adalah sebagian alasan aku<br />

harus berbaur pada malam hari. Ini akan jauh lebih sulit<br />

dilakukan pada siang hari karena banyaknya orang.<br />

Apalagi, aku tidak suka kemacetan, keramaian, kebisingan<br />

yang ditimbulkan; semua orang berlarian di mana-mana,<br />

tergesa-gesa dan terengah-engah. Pada malam hari,<br />

keadaannya berbeda. Semua menjadi lebih tenang, lebih<br />

sedikit orang yang lalu-lalang dan kamu akan lebih bebas.<br />

Ini seperti dimensi paralel. Dunia yang berbeda pada<br />

malam hari. Semua tampak berbeda. Itulah mengapa aku<br />

sangat menghayati syair sebuah lagu yang di bawakan<br />

artis Italia, Jovanotti, "Gente Della Notte" ("Manusia<br />

Malam Hari"). Lagu itu menjadi lagu favoritku. Jovanotti<br />

adalah salah satu penyanyi favoritku dan aku banyak<br />

menemukan kesamaan dengannya. Aku suka hasil<br />

karyanya.<br />

Apa lagi yang bisa kukatakan? Malam hari adalah<br />

kehidupanku. Dan aku tidak berubah karena Grand Prix<br />

banyak dilakukan siang hari. Caraku membuktikan<br />

tercermin dari hasil balapan. Aku tidak seluruhnya<br />

berubah. Kenyataannya, aku tidak tidur sebelum matahari<br />

pagi terbit, tapi ketika aku melakukannya sebelum itu,<br />

tidak banyak orang di sekelilingku. Semua menjadi lebih<br />

baik di paddock ketika malam hari. Ada keheningan,<br />

orang-orang sudah menghilang dan, bersama mereka,<br />

keramaian juga lenyap. Aku dapat berkeliling bebas,<br />

terlebih lagi, aku sangat menikmati area pit yang sepi dan<br />

motorku. Ya, motorku. Karena pada malam hari aku<br />

sering menyelinap ke garasi tim. Pada beberapa balapan,


aku melakukannya setiap malam, karena aku senang<br />

berada bersama motorku.<br />

Aktivitas malam hariku dimulai pada tahun-tahun<br />

balapan di 125cc, dan berhubungan langsung pada<br />

hasratku akan seni dan stiker yang kemudian menjadi<br />

obsesiku. Aku tidak akan menghilang saat ada pemilihan<br />

warna stiker untuk rnotorku. Itulah mengapa aku selalu<br />

menjadi pusat pada setiap diskusi yang membicarakan<br />

penampilan motor balapku. Aku selalu melakukannya,<br />

pada setiap motor, setiap level, dengan setiap tim. Dan,<br />

hingga saat ini, aku masih melakukan-nya. Tidak ada<br />

seorang pun yang diizinkan menempel sebuah stiker pun<br />

pada motorku, kecuali bila itu adalah logo dari sponsor.<br />

Hingga beberapa tahun yang lalu aku sama sekali<br />

tidak fleksibel untuk hal yang satu ini. Sekarang, Roby<br />

yang mengurus nomor: dia menempelnya karena perlu<br />

mencat itu dengan cat transparan. Selain itu, karena<br />

sudah menjadi prosedur teknis, aku yang mengurus<br />

semua yang berhubungan dengan stiker tersebut. Dan ini<br />

memerlukan waktu dan perencanaan, itulah mengapa aku<br />

pergi ke garasi pada waktu malam. Pada siang hari, garasi<br />

tersebut selalu dipenuhi manusia: para mekanik, teknisi,<br />

dan yang lainnya. Aku hanya akan mengganggu kerja<br />

mereka kalau datang melihat motorku hanya untuk<br />

mengecek stiker.<br />

Dengan bertambah dewasanya aku dan karierku,<br />

dari kelas 125cc ke 250, dan kemudian ke 500cc, lalu<br />

sekarang di MotoGP, aku terus menyukai seni dan stiker,<br />

seiring kebiasaanku datang ke garasi pada malam hari.<br />

Jelas aku menyukai motorku di siang hari, tetapi<br />

hubunganku dengan motorku sangat spesial karena aku<br />

bisa menghabiskan berjam-jam untuk melihat dan<br />

mengaguminya, memastikan bahwa semuanya sudah<br />

siap. Itu adalah saat-saat khusus yang sulit aku


gambarkan. Orang-orang Jepang, pihak manajemen, juga<br />

para teknisi tidak tahu hal ini, tidak juga orang-orang di<br />

tim Honda, pun tidak di tim Yamaha. Aku pikir mereka<br />

tidak akan bisa mengerti. Mereka mungkin berpikir kalau<br />

itu hanya buang-buang waktu, karena aku tidak<br />

melakukan apa pun. Aku tidak pernah mengutak-atik<br />

motorku, kecuali dengan stiker. Dan aku juga sulit<br />

menjelaskan kepada para teknisi kalau aku senang berada<br />

di dekat motorku, biarpun aku sedang tidak mengerjakan<br />

apa pun. Itu adalah konsep yang sulit dijelaskan:<br />

risikonya, orang-orang akan berpikir aku gila.<br />

Pada siang hari, semua terjadi sangat cepat, seperti<br />

kesetanan, orang-orang tampak tertekan. Bagaimanapun<br />

juga, ada saat tertentu ketika aku butuh menyendiri.<br />

Setelah semua komitmenku dengan timku terpenuhi,<br />

biasanya setelah pukul 17:30, aku kembali ke vanku,<br />

bersantai dan tidur. Beberapa jam kemudian aku bangun<br />

dan pergi. Selalu ada aktvitas setelah makan malam.<br />

Tentunya, pilihannya bergantung pada berapa teman yang<br />

bersamaku. Aku selalu menyukai paddock sekitar pukul<br />

22:00. Sebelum aku berangkat tidur, aku akan mengecek<br />

kembali motorku, kemudian aku kembali ke van yang<br />

berfungsi juga sebagai kantor. Bersama Yamaha, aku<br />

mempunyai sebuah kantor untuk diriku sendiri. Di sana<br />

aku meletakkan semua perlengkapan balapku. Aku<br />

melakukannya karena dua hal. Van pribadiku selalu<br />

berantakan, tidak ada lagi yang bisa diletakkan di sana<br />

dan aku bisa jadi susah menemukan sesuatu di antara<br />

tumpukan itu. Di kantor, aku dapat berganti baju dengan<br />

baju balapku sebelum aku keluar ke trek. Pada malam<br />

hari, setelah menengok motorku, aku memastikan kalau<br />

semua perlengkapanku sudah siap: sarung tangan,<br />

setelan, kaus kaki, sepatu boot...semua harus tersedia,<br />

karena aku tidak punya waktu di pagi hari untuk mencaricari<br />

lagi.


Karena aku selalu tidur telat, aku selalu telat berada<br />

di garasi untuk uji coba lap pertama. Seperti hari pertama<br />

masuk sekolah, aku selalu datang paling akhir.<br />

Walaupun begitu, aku harus mengikuti rutinitas yang<br />

sama, aku seperti robot, semua sama setiap harinya. Aku<br />

dituntut untuk selalu mengikuti semua prosedur. Aku tidak<br />

punya waktu untuk berpikir. Biasanya seseorang akan<br />

datang mernbangunkanku, biasanya Jeremy, karena dia<br />

tidak percaya aku sanggup bangun sendiri di pagi hari.<br />

Aku kemudian bangun, mencuci muka (mataku masih<br />

tertutup saat melakukan itu) dan mencoba untuk tetap<br />

bangun ketika aku mengendarai sekuter dari van ke pit.<br />

Aku kemudian pergi ke kantor dan mengenakan<br />

perlengkapan balapku. Itu semua juga dilakukan secara<br />

otomatis. Selalu memakan sedikit waktu untuk mengenakan<br />

semuanya, membuatku datang telat untuk uji coba.<br />

Kembali lagi ke orang-orang Italia, tempat aku<br />

sering merasa terganggu dengan cara mereka datang dan<br />

memburuku, aku mengenali itu sebagian karena siapa<br />

diriku. Aku ini orang yang santai; itu membuat kami<br />

seolah sudah kenal bertahun-tahun. Mereka berpikir kalau<br />

kami berteman, karena kami bisa tertawa dan bercanda<br />

bersama saat bertemu. Karena orang Italia suka<br />

melakukan hal ini.<br />

Jadi semua berpikir kenal baik denganku. Tidak ada<br />

yang datang dan memperlakukanku dengan sikap yang<br />

biasa-biasa saja. Ketika mereka melihatku, mereka akan<br />

memelukku, menarikku, menyentuhku.<br />

Ada beberapa "tipe".<br />

Ada orang yang tidak pernah mengira kalau aku<br />

mungkin tidak hendak tertawa atau bercanda saat itu. Dia<br />

datang dan mulai membuat lelucon, mengatakan<br />

kepadaku hal-hal yang tidak ingin aku dengar.


Ada lagi tipe yang selalu khawatir, yang selalu ingin<br />

datang dan duduk disebelahku, menanyakan kondisi<br />

motorku, memikirkan posisiku, lawan-lawanku, dan<br />

memberiku berbagai macam nasihat sola berpacu untuk<br />

balapan mendatang.<br />

Ada tipe sensasional, yang akan berlari menghampiri<br />

begitu melihatku. Dia memeluk, menggenggam, mencubit,<br />

dan memanggil selusin teman-temannya yang akan<br />

memperlakukanku sama.<br />

Tipe pemburu suvenir membuatku seperti binatang<br />

di kebun binatang. Dia akan memerhatikan, memotretku<br />

dari seberang meja atau seberang jalan. Sejak seseorang<br />

punya ide hebat untuk melengkapi handphone dengan<br />

kamera, hidupku berubah, bukan menjadi lebih baik: tidak<br />

ada privasi sama sekali. Siapa pun dapat mematamataiku,<br />

mengambil gambar bahkan memfilmkanku. Aku<br />

benar-benar membenci itu, karena para pengguna<br />

handphone berkamera tidak ragu-ragu untuk<br />

menghentikan aku, mengedarkan handphone ke temantemanya<br />

dan mengambil gambar dari segala sudut dan<br />

segala pose. Mereka tidak pernah meminta izin. Dan<br />

kalau mereka meminta izin dan kukatakan "Tidak",<br />

mereka tetap akan melakukannya, mungkin secara diamdiam<br />

itu malah lebih buruk.<br />

Tipe yang tidak sopan sama sekali, tidak menghargai<br />

apa arti privasi. Mereka akan datang kepadaku ketika aku<br />

sedang makan malam atau bersama teman-teman atau<br />

sedang kencan, tanpa berpikir kalau mungkin aku butuh<br />

momen untuk diriku sendiri.<br />

Ada juga tipe moralis yang akan datang menghampiriku,<br />

menyelaku di tengah kesibukanku, meletakkan<br />

tangannya di atas bahuku dan mengatakan: "Hebat, kamu<br />

punya hidup yang nyaman, kamu menghasilkan banyak<br />

uang, kamu tidur dengan semua wanita, dan kamu pergi


keliling dunia! Hidup memang hebat, bukan?"<br />

Dan terakhir, tipe pencemburu dan aku harus sangat<br />

berhati-hati, karena hanya butuh sepersekian detik saja<br />

bagi seorang Italia untuk mengubah penilaian mereka<br />

tentang siapa aku; mereka bisa cepat menganggapku<br />

setan padahal sebelumnya berpikir aku malaikat. Dan<br />

kalau mereka berubah pikiran tentang aku, mereka sangat<br />

jarang memaafkan.<br />

Kenyataannya, bila orang Italia menyukai kamu,<br />

mereka benar-benar menyukai kamu. Mereka akan<br />

memancarkan kehangatan, mereka akan membuat kamu<br />

merasa spesial. Dan itulah mengapa aku selalu berusaha<br />

melakukan hal yang berbeda, seperti ketika Grand Prix<br />

Italia. Dan itulah sebabnya aku masih mencintai<br />

bangsaku. Coba kalau mereka dapat sedikit lebih sopan.<br />

Aku berusaha terbuka kepada siapa pun, tersenyum<br />

kepada setiap orang atau meluangkan sedikit waktuku<br />

untuk mereka. Tapi, aku juga butuh waktu untuk diriku<br />

sendiri. Ke mana pun pergi, aku selalu dibayang-bayangi<br />

dan diperhatikan, seperti tinggal di akuarium saja, hidup<br />

berubah menjadi sangat tidak tenang.<br />

Perasaan tertekan itu selalu ada dan tidak pernah<br />

pergi. Dan inilah salah satu alasanku tinggal di London,<br />

kota yang selalu aku sukai. Pada April 2000, aku menjadi<br />

warga London dan tinggal di sebuah kawasan<br />

menyenangkan dekat Piccadilly. London adalah kota<br />

multietnis. Banyak orang berdatangan dari berbagai<br />

negara di dunia. Sepertinya, seluruh dunia berkumpul di<br />

satu kota. Dan aku menyukainya. Karena berbagai<br />

kebudayaan ada di London, kamu selalu belajar hal baru,<br />

bisa saja tren baru atau ide baru. Tetapi, perbedaan<br />

terbesar, untukku pribadi, adalah cara mereka<br />

memperlakukanku di jalanan, mereka memperlakukanku<br />

seperti manusia.


Ketika aku sampai, aku segera sadar kalau aku bisa<br />

pergi ke mana pun tanpa takut dihentikan. Tidak ada<br />

seorang pun yang mengenali aku, dan ini adalah hal baru<br />

untukku. Ini sangat menyenangkan. Setelah beberapa<br />

tahun berlalu, beberapa hal mulai berubah, tapi tidak<br />

seperti di Italia. Di London, aku bisa beristirahat selama<br />

dua musim. Itu karena pertama, sedikit saja orang yang<br />

mengenali aku dan, kedua, mereka jauh lebih menghargai<br />

privasi dan memberiku jarak. Mereka biasa memujiku atau<br />

memberitahuku kalau mereka menghargaiku, tetapi tidak<br />

pernah memaksaku.<br />

Di London aku dapat hidup normal, aku merasa diperlakukan<br />

sama seperti yang lainnya.<br />

Aku ikut dalam antrian, aku dapat masuk ke dalam<br />

klub dengan mudah, atau ke restoran, aku berusaha<br />

mendapatkan taksi pada malam hari sama seperti yang<br />

lain. Aku dapat berjalan-jalan selama berjam-jam, baik di<br />

taman atau di toko, membeli baju baru atau sepasang<br />

sepatu. Dan ini semua sangat menyenangkan. Kalau ada<br />

sesuatu, kalau aku mendapat masalah, itu karena aku<br />

dikenali oleh orang Italia yang tinggal dan bekerja di<br />

London. Hal baik lainnya, setelah beberapa tahun di<br />

Inggris, mereka juga mencoba beradaptasi dengan kami<br />

dan terlihat lebih sopan.<br />

Segera setelah aku tiba di London, aku harus<br />

beradaptasi. Dan itu berarti menemukan tempat yang<br />

cocok untuk berbelanja barang-barang, menemukan<br />

tempat dan restoran yang tepat untuk dikunjungi. Karena<br />

makan enak penting untukku, layaknya orang Italia<br />

umumnya. Dan, di Inggris, tidaklah selalu mudah untuk<br />

makan enak!!! Untungnya, London adalah pengecualian.<br />

Ada banyak tempat makan dari berbagai kebudayaan<br />

yang bisa kamu temukan di London.<br />

Awalnya, aku menyewa rumah, kemudian aku mem-


eli rumah. Dan dekat rumahku yang pertama ada<br />

restoran Italia yang kami temukan pada satu malam.<br />

Nama restauran tersebut Il Duca dan makanannya sangat<br />

enak. Dan di sanalah kami bertemu kokinya, Michele.<br />

Karena dia koki, dia tahu daerah sekitar. Dia<br />

memberi masukan tempat yang perlu kami kunjungi dan<br />

yang perlu kami hindari. Dan kemudian, setiap malam<br />

sebelum kami pergi, kami akan mampir di restoran itu dan<br />

mendiskusikan rencana kami. Michele benar-benar orang<br />

yang nyentrik. Dia selalu berada di atas motornya: setiap<br />

malam atau pagi dia selalu berkendara satu setengah jam<br />

lamanya untuk dapat sampai ke restoran, karena dia<br />

tinggal di luar kota. Pada saat itu, motor yang dia<br />

kendarai adalah Yamaha R6.<br />

Miengingat cuaca, tidak selalu menyenangkan untuk<br />

mengendarai motor di London. Melakukan itu setiap hari,<br />

sepanjang tahun, terlihat gila bagi kami, karena London<br />

biasanya dingin dan hujan. Dan Michele mengendarai<br />

motornya pun saat hujan, dan kadang, segalanya tidak<br />

berjalan sesuai rencana. Dia menabrakkan Yamaha R6-<br />

nya tidak berapa setelah membelinya. Satu kali, di<br />

lapangan depan rumahku, dekat restoran, aku mencoba<br />

motornya, dan ketika itu cuaca London gelap, gerimis,<br />

meski di tengah musim panas.<br />

Ketika kembali, aku mengatakan: "Sepertinya ini<br />

bukan hari yang baik untuk mengendarai motor. Aspal di<br />

jalanan tidak bagus, ban-ban kurang mencengkeram,<br />

sangat berbahaya!"<br />

Saat itu kami melihat seorang pengantar pizza melewati<br />

kami dengan motor tuanya, Kawasaki 350. begitu dia<br />

datang dan berbelok di aspal yang basah, pijakan kakinya<br />

mengenai trotoar dan dia berusaha menguasai keadaan,<br />

hebatnya, dia tidak jatuh, kotak pizza-nya pun tidak apaapa.


Aku selalu memikirkan para pengantar pizza ini. Untukku,<br />

mereka adalah pengendara hebat. Mereka akan<br />

menyalipmu dalam keadaan basah, macet, jalanan rusak,<br />

mereka dapat mengatasi segala situasi. Dan mereka<br />

selalu cepat. Aku berpikir kalau sebagian dari mereka<br />

memiliki bakat yang terbuang. Malah, aku yakin kalau<br />

pengantar pizza dengan motor Kawasaki 350-nya itu lebih<br />

cepat dariku!<br />

Setiap tahun, penyelenggara British Grand Prix<br />

membuat sebuah acara khusus untuk dapat menemui<br />

penggemarku pada malam hari setelah pertandingan.<br />

Kami bertemu di lapangan Leicester, tempat yang biasa<br />

digunakan untuk premiere film dan menjadi tempat yang<br />

sangat familiar bagi para aktor dan orang yang biasa<br />

berkecimpung di bisnis pertunjukkan. Pada tahun 2004,<br />

banyak sekali orang di sana, orang akan berpikir kalau<br />

ada bintang Hollywood di situ, bukan aku...Dan di sana<br />

ada British Grand Prix. Untukku, Donington terasa seperti<br />

rumah, karena dukungan penonton yang aku dapat dan<br />

suasana luar biasa yang aku nikmati di podium. Aku<br />

merasa seperti Mugello.<br />

Ada juga masa-masa, bagaimanapun, ketika aku<br />

menyadari kalau beberapa orang terkenal, seperti aku,<br />

mendapatkan tekanan lebih dari yang aku dapatkan lewat<br />

media dan publik. Vasco Rossi adalah salah satu dari<br />

mereka. Vasco adalah salah satu bintang rock dan salah<br />

satu idolaku. Malah, satu-satunya bintang rock Italia. Dia<br />

memiliki penggemar dari tiga generasi, di antara mereka<br />

adalah ayahku.<br />

Ayahku berpikir kalau Vasco lebih terkenal daripada<br />

aku, bahwa orang akan lebih mengidolakan dia ketimbang<br />

aku. Aku tidak tahu. Vasco dan aku hidup dalam<br />

kehidupan yang sama dan berpikiran sama, setidaknya<br />

untuk beberapa persoalan. Dia juga mendapat tekanan


yang sama. Kenyataannya, karena dia lebih tua, dia<br />

berada dalam keadaan ini untuk jangka waktu yang lebih<br />

lama.<br />

Vasco dan aku rutin bertemu. Kami tidak punya jadwal<br />

tertentu, tapi setuju untuk berkumpul secara berkala.<br />

Dan kami selalu melakukannya diam-diam. Aku menemuinya<br />

di Bologna, di studio rekamannya, yang juga<br />

tempat tinggalnya. Studionya adalah satu tempat yang<br />

hebat, menyenangkan, dan aman. Kadang-kadang, salah<br />

satu temanku turut pergi, karena kalau aku berkata "aku<br />

hendak menemui Vasco", selalu saja ada seseorang yang<br />

bersedia bersembunyi di bagasi atau di langit-langit<br />

supaya bisa turut serta. Dan itu akan mengganggu<br />

persahabatan kami, jadi biasanya aku mengajak hanya<br />

beberapa orang saja untuk menemui Vasco. Biasanya<br />

Uccio yang sering menemaniku.<br />

Ketika bersama Vasco, di saat dia santai, tidak sedang<br />

tertekan, dia menjadi salah satu orang paling hebat<br />

yang pernah kamu temui. Dia ramah dan lucu.<br />

Banyak terjadi saat yang mengecewakan ketika<br />

akhirnya engkau bertemu idolamu. Karena bila ada orang<br />

yang kamu kagumi dan kamu bertemu dia pada saat yang<br />

tidak tepat, kamu akan mendapatkan kesan yang salah.<br />

Dan kejadian yang tidak diharapkan itu akan<br />

memengaruhi cara pandangmu terhadap idolamu. Kamu<br />

akan berpikir kalau dia kurang ajar dan angkuh, meski<br />

mungkin dia sedang mengalami saat yang tidak balk. Atau<br />

kamu telah mempunyai gambaran mengenai idolamu dan<br />

mereka ternyata tidak sesuai dengan gambaran yang<br />

kamu punya. Aku tahu persis hal ini karena aku juga<br />

mengalaminya. Atau sebaliknya. Ada beberapa orang yang<br />

dulu menyukaiku; ketika mereka bertemu aku, aku<br />

sedang dalam saat yang berat, atau aku sedang mendapat<br />

masalah dan tidak dapat memberi mereka perhatian yang


cukup. Hasilnya, penilaian mereka mengenai aku berubah.<br />

Aku punya cukup waktu untuk mengenali Vasco dan<br />

memahami keadaannya. Pribadinya menarik, dia sangat<br />

sensitif dan sama dalam memperlakukan setiap orang.<br />

Dan kamu akan suka berbicara dengannya karena dia lucu<br />

dan menarik.<br />

Kami bertemu ketika dia terlibat dalam balapan<br />

12Scc beserta timnya. Kami berkenalan dan dia<br />

mengatakan kalau dia mengikuti perjalanan karierku.<br />

Seiring berjalannya waktu, hubungan kami berlanjut. Saat<br />

ini kami masih sering bertukar kabar. Dia sering memujiku<br />

setelah balapan dan kalau dia mengeluarkan lagu baru,<br />

aku sering mengirimkan kritik.<br />

Pada 2004, kami melakukan sesuatu yang kami anggap<br />

menyenangkan. Di waktu senggang, aku menulis<br />

untuk majalah Rolling Stone (versi Italia) dan aku<br />

mewawancarai Vasco. Itu adalah kali pertama aku berada<br />

pada sisi yang berbeda, sebagai pihak yang mengajukan<br />

pertanyaan. Sebetulnya aku tidak siap, jadi aku<br />

memutuskan untuk berimprovisasi. Aku masih bisa<br />

mengajukan beberapa pertanyaan bagus dan dia benarbenar<br />

berpikir dalam menjawab pertanyaanku. Aku ingat<br />

aku punya pertanyaan yang sangat bagus. "Apa yang<br />

pertama kamu lakukan ketika hendak menulis lagu?"<br />

tanyaku. "Apakah kamu mengambil selembar kertas dan<br />

pulpen dan menuliskan sesuatu seperti 'Alba Chiara'?"<br />

Kenyataannya, aku tahu kalau Vasco tidak mampu<br />

menjawab pertanyaan ini dari sisi kreativitas, seni, dan<br />

inspirasi itu tidak bisa digambarkan atau direncanakan.<br />

Saat-saat itu terjadi secara spontan. Tiba-tiba datang<br />

begitu saja. Itu juga terjadi saat aku di atas motor, ketika<br />

sedang balapan. Pada kesempatan itu, dia mulai<br />

berbicara, dari pertanyaan yang satu ke pertanyaan yang<br />

lain dan pada akhirnya kami tidak bisa berhenti. Kami


erada pada kondisi yang sama dan kami banyak<br />

menjalani saat-saat yang menyenangkan.<br />

Aku juga hendak berterima kasih kepada Vasco<br />

ketika pada tahun 2003 aku mengalami hal yang aneh dan<br />

menyenangkan. Aku pergi ke San Siro (kota tempat klub<br />

sepak bola AC Milan dan Internazionale bermarkas), untuk<br />

melihat konser Vasco. Seperti biasanya, aku telat. Aku<br />

mendapat tempat yang bagus di depan panggung, dan<br />

setelah lagu pertama, Vasco melihatku.<br />

"Malam ini, bersama kami, adalah pembalap motor<br />

terbesar sepanjang masa, Valentino Rossi!" dia<br />

mengumumkan, dan 80.000 orang mulai menjerit. Itu<br />

adalah saat yang menyenangkan. Tidak terlalu aneh,<br />

karena itu pernah terjadi sebelumnya, tapi pada saat itu<br />

terasa menyenangkan—ini adalah salah satu hal yang<br />

berbeda. Menjadi Valentino Rossi mempunyai efek<br />

samping. Aku bisa hidup pada banyak momen yang<br />

menyenangkan, bukan melulu masalah. Di antara momen<br />

yang menyenangkan itu, salah satunya adalah saat kamu<br />

bertemu idolamu. Seperti Vasco dan aku. Dan setelah<br />

sekian tahun, Vasco tidak hanya menjadi idola, tapi juga<br />

menjadi sahabatku.<br />

Bagaimanapun, aku adalah orang Italia asli. Tapi,<br />

mungkin kualitas "Italia" terbesarku adalah takhayul. Aku<br />

selalu dipenuhi takhayul. Aku tidak tahu apakah aku<br />

mendapatkan itu di masa mudaku atau aku memang<br />

terlahir demikian. Aku hanya ingat kalau aku sangat<br />

percaya takhayul hingga memengaruhi teman-teman dan<br />

orang di sekeliling-ku. Aku punya semua tanda yang<br />

berhubungan dengan takhayul, ditambah semua yang<br />

berhubungan dengan balap. Aku tidak punya jimat atau<br />

barang-barang semacam itu, seperti yang lainnya. Kalau<br />

ada sesuatu yang aku pakai, itu karena aku menyukainya.<br />

Tetapi, setiap balapan, ada hal-hal yang aku lakukan


sebagai bagian dari ritual. Berpakaian adalah satu hal.<br />

Selalu dilakukan dengan cara yang sama, setiap saat.<br />

Ada beberapa barang yang menjadi bagian sepatu,<br />

kemeja, kaos polo yang selalu aku pakai dan mempunyai<br />

arti khusus. Aku selalu tahu apa yang hendak kupakai<br />

pada momen tertentu. Contohnya, meski ada tumpukan<br />

dari sepuluh kemeja yang sama di lemariku, aku selalu<br />

tahu mana yang akan kupakai saat itu. Dan, ketika aku<br />

terlibat dalam Grand Prix, segala sesuatunya harus<br />

dilakukan dengan cara tertentu dan urutan tertentu.<br />

Tapi, elemen yang paling penting adalah apa yang<br />

kusebut "Kaballah Resmi". Itu adalah sebuah ritual yang<br />

harus dilakukan di tempat yang sama, dengan orang yang<br />

sama. Lima orang yang sama yang hadir kali pertama.<br />

Ritual ini dimulai setahun yang lalu, ketika aku masih di<br />

250cc. Suatu malam, aku dan beberapa orang temanku<br />

pergi ke sebuah pesta dan menghabiskan beberapa gelas<br />

minuman. Hari berikutnya ketika aku balapan di Grand<br />

Prix, aku menang. Sebelum pertandingan berikutnya,<br />

kami tidak pergi ke bar yang sama dan keadaan menjadi<br />

buruk: aku jatuh.<br />

"Kita harus kembali ke bar itu, kalau tidak, akan terjadi<br />

sesuatu yang buruk" saran seorang temanku yang<br />

juga percaya takhayul. Dan kami mengulangi ritual<br />

tersebut. Dan semua berjalan baik. Sejak itu, tradisi<br />

Kaballah lahir. Dan karena tradisi itu sudah dimulai, maka<br />

itu tidak boleh dihentikan, ritual ini berlanjut saat-saat<br />

berikutnya. Pada malam hari dari setiap balapan, pada<br />

waktu yang berbeda tapi sekitar tengah malam, kami<br />

bertemu di bar teman. Kadang-kadang bar itu sudah<br />

tutup, tapi tidak jadi masalah. Dia akan tetap menerima<br />

kami, karena ini adalah hal yang penting. Kami selalu<br />

minum minuman yang sama di meja yang sama.<br />

Untuk melakukan ini, aku akan terbang dari London.


Ritual ini tetap kami lakukan meski di malam pertandingan<br />

atau malam dari seri Grand Prix (contohnya, ketika aku<br />

harus terbang ke Asia, tempat kami akan balapan selama<br />

tiga malam minggu). Kalau untuk alasan apa pun keempat<br />

temanku dan aku tidak bersama ketika melakukan ritual<br />

Kaballah, kami akan menghubungi satu sama lain. Dan<br />

tidak menjadi masalah apakah itu tengah malam. Setelah<br />

kamu mendengar kata "Kaballah", biarpun kamu sedang<br />

tidur, kamu harus bangun, berpakaian, dan meninggalkan<br />

rumah. Pun kalau kamu sedang bersama istri atau<br />

pacarmu.<br />

Kalau kami semua sudah berkumpul (aku, Uccio, Alby,<br />

Palazzi, dan Piwi) dan kalau kami mengulangi ritual<br />

tersebut dan tidak ada yang melakukan kesalahan, ritual<br />

Kaballah berhasil. Kalau ada yang tidak berjalan lancar<br />

balapan, itu karena ada kesalahan yang dilakukan saat<br />

upacara Kaballah. Mungkin salah satu dari kami tidak<br />

hadir, atau orang lain sudah duduk di meja kami, atau<br />

seseorang mengajak wanita untuk turut serta.<br />

Itu salah satu peraturan lainnya: kamu tidak boleh<br />

mengajak wanita atau pacar dalam upacara Kaballah. Itu<br />

kesalahan yang aku sendiri pernah lakukan.<br />

Pernah, tahun 2004, salah seorang teman kami<br />

muncul; ia bukan anggota upacara Kaballah dan duduk<br />

bersama kami. Balapan berikutnya berjalan tidak baik.<br />

Kami kemudian berjanji untuk tidak mengulangi hal ini.<br />

Kalau seorang pacar atau teman kami tiba-tiba muncul,<br />

kami mengatakan, "Maaf, kamu tidak boleh duduk," dan<br />

kami benar-benar minta maaf, tapi Kaballah tetap<br />

Kaballah. Kami punya ribuan ritual. Beberapa secara<br />

perlahan berubah, ada yang tidak berubah. Tapi Kaballah<br />

adalah ritual suci.<br />

Kadang aku berpikir kalau para istri dan pacar kami<br />

membenciku. Dan aku tahu kenapa. Ini tidak ada


hubungannya dengan Kaballah karena mereka sudah<br />

terbiasa dengan itu. Kalau mereka mendengar bunyi<br />

telepon, mereka hanya akan meneruskan tidur mereka.<br />

masalahnya, setiap aku kembali ke Tavullia, kami pasti<br />

akan berkumpul menghabiskan waktu bersama. Dan<br />

masalahnya, teman-temanku menggunakan aku sebagai<br />

alasan untuk pergi hingga larut malam. Sekarang mereka<br />

mengatakan ini kepada istri dan pacar mereka, beberapa<br />

tahun yang lalu mereka mengatakan ini kepada orangtua<br />

mereka.<br />

"Lihat, Vale kembali!" ujar mereka. Ini berarti aku<br />

harus berkumpul dengan mereka dan yang lainnya.<br />

Para istri dan pacar mereka tidak keberatan, setidaknya<br />

tidak secara langsung, dan mungkin, aku yakin, ini<br />

karena ada nilai tambah atas hal itu. Herannya, mereka<br />

bahkan tidak protes ketika teman-temanku mempergunakan<br />

liburan mereka untuk datang ke balapan. Ini terjadi di<br />

setiap Grand Prix. Aku selalu punya teman di mana pun<br />

aku berada. Dan para wanita itu mengerti. Ketika salah<br />

satu dari mereka datang bersama kami, dia mungkin<br />

lelah, tapi dia tidak pernah mengeluhkan apa pun. Karena,<br />

bagaimanapun, setiap aku kembali ke Tavullia, itu menjadi<br />

alasan bagi geng untuk berkumpul kembali. Kita akan<br />

bertemu di rumah seseorang atau pergi ke bar atau<br />

restoran. Kami melakukan hal-hal yang orang lain<br />

lakukan.<br />

Tetapi, ada saat ketika kami benar-benar<br />

melakukan hal gila-gilaan. Kami selalu pergi<br />

menggunakan sekuter kami yang mesinnya sudah<br />

dimodifikasi. Dan kami melakukan hal-hal yang<br />

mengundang masalah. Kami melakukan hal-hal demikian<br />

padahal minat kami terhadap motor biasa-biasa saja.<br />

Pada satu waktu, kami membentuk grup band, dan<br />

berlatih secara berkala. Biscia pada drum, Lele bermain


gitar, dan Omas bernyanyi. Aku bermain gitar. Aku selalu<br />

menyukai musik, walaupun minatku bermain gitar<br />

semakin berkurang. Tetapi, aku menyukai segala jenis<br />

musik dan mempunyai banyak koleksi musik.<br />

Dalam berbagai kesempatan, kami selalu dalam satu<br />

grup, grup yang bersatu dan kami selalu bersama. Hingga<br />

saat ini.<br />

Ini mungkin didukung tempat kami dilahirkan.<br />

Tavullia terletak di bukit kecil, panjang dan sempit, 165<br />

meter di atas permukaan !aut. Terletak di propinsi Pesaro,<br />

tidak jauh dari Rimini di selat Adriatic. Dengan populasi<br />

sekitar 5.000 orang, kota ini terlihat seperti sekumpulan<br />

rumah di atas pegunungan. Tanah di sekitarnya kelihatan<br />

seperti ombak hijau yang berkumpul memenuhi selat.<br />

Pada hari yang cerah, kamu bisa melihat laut Adriatic.<br />

Kalau kamu pernah ke sana, kamu akan tahu kalau itu<br />

adalah tempat lampu jalanan pun diberi nomor 46,<br />

nomorku. Kamu akan melihat nomor itu di mana-mana, di<br />

bar, toko, sekuter, dan mobil.<br />

Tidak ada gedung tinggi di Tavullia, tempat yang<br />

tenang, tempat nilai keluarga, persahabatan, dan<br />

solidaritas dijunjung tinggi. Di Tavullia, kalau membeli<br />

mobil baru, kamu akan membelikan orang-orang minum.<br />

Dan kamu akan saling bertegur sapa dengan orang-orang<br />

yang kamu temui ketika sedang berkendara, baik itu<br />

mobil, motor, atau sekuter, artinya di mana-mana selalu<br />

terdengar bunyi klakson. Sport bar, tempat kami berkumpul<br />

dan merencanakan kegiatan kami, terletak di<br />

sebelah dewan kota dan di seberang sebuah sekolah dasar<br />

tempat gengku kali pertama didirikan. Dekat situ adalah<br />

gereja, tempat Don Cesare, pendeta kami, tinggal.<br />

Don Cesare adalah seorang legenda. Dan dia salah<br />

seorang penggemarku. Dia dekat dengan jemaatnya, jadi<br />

aku kenal dia cukup lama, biarpun aku bukan seorang


jemaat yang baik. Pada satu saat, Don Cesare bertingkah<br />

laku aneh, paling tidak untuk seorang pendeta jemaat. Dia<br />

mulai menonton semua balapan atas kemauannya sendiri,<br />

saat kebaktian berlangsung. Dan kalau waktu balapan itu<br />

bersamaan dengan pelayanannya, dia akan menunda<br />

pelayanan jemaatnya dan menonton Grand Prix. Dia<br />

mengatakan kalau dia perlu konsentrasi ketika melihatku<br />

balapan. Dan, kalau aku menang, dia mulai membunyikan<br />

lonceng gereja. Don Cesare menjadi penggila balap berkat<br />

aku, dengan mengikuti karierku. Dia tidak ingin<br />

meninggalkan Tavullia, karena dia ingin dekat dengan<br />

jemaatnya, tapi di tahun 2003, dia membuat<br />

pengecualian. Pada usia 82 tahun, dia bergabung dengan<br />

penggemarku dan melihat aku balapan di Jerman.<br />

Sekarang aku selalu menemui dia. Aku suka berbicara<br />

kepadanya, dia seorang manusia luar biasa.<br />

Persis di kiri sekolahku adalah markas untuk penggemarku.<br />

Nama lengkapnya adalah "Valentino Rossi<br />

Official Fans Club Tavullia". Dan dijalankan oleh Flavio<br />

Fratesi dan Rino Salucci. Kali pertama didirikan tahun<br />

1996 dan di tahun 1997 resmi berubah menjadi markas<br />

untuk penggemarku. Satu-satunya kantor untuk<br />

penggemarku dan aku hendak menjadikannya demikian.<br />

Flavio mulai melihatku balapan di tahun 1994 dan 1995,<br />

sedangkan Rino akan selalu mengajak Uccio. Pada tahun<br />

1997, mereka mulai ikut berkeliling ke setiap balapan.<br />

Dan sekarang, ke mana pun aku pergi, selalu ada orang<br />

yang mengikuti aku. Minimal 30 orang.<br />

Tapi jangan salah paham, aku tidak menganggap<br />

dirikulah yang menyebabkan penduduk Tavullia suka<br />

motor. Itu sudah dimulai bertahun-tahun sebelum aku<br />

dikenal. Tavullia selalu menjadi surga untuk penggemar<br />

motor lokal. Ayah Flavio mendirikan klub motor yang<br />

menjadi salah satu klub yang paling aktif di kota. Dan,


ketika aku mulai balapan, klub itu berubah menjadi klub<br />

yang populer. Aku selalu meyakinkan penggemar untuk<br />

tidak terlalu serius dan menikmati momen dengan lebih<br />

santai, karena begitulah karakterku.<br />

Fan Club-ku mengadakan pesta, jalan-jalan, tapi juga<br />

melakukan hal lain, seperti pesta amal. Semua hasil<br />

keuntungan kami disumbangkan untuk amal. Aku tidak<br />

pernah ingin menggembar-gemborkan ini karena aku<br />

percaya amal harus dilakukan diam-diam, tanpa sepengetahuan<br />

orang-orang. Dan ini hanya boleh dilakukan<br />

kalau kamu punya alasan yang kuat, kalau tidak kamu<br />

berpura-pura, kamu melakukannya hanya untuk mempromosikan<br />

dirimu sendiri. Flavio yang menjadi motor dari<br />

Fan Club-ku mengatakan kalau akulah yang membuat<br />

orang-orang bersatu, tapi aku pikir, semangat solidaritas<br />

yang ada di sanalah yang membuat orang-orang bersatu.<br />

Kami semua penting. Kami berkumpul bersama,<br />

menikmati saat-saat, dan menghasilkan banyak ide,<br />

beberapa cukup bagus. Contohnya, aku punya kartu pajak<br />

dan sertifikat asuransi tertulis di atas gelembung sepeda<br />

motorku. Aku melakukan itu sejak hari-hariku di 250cc.<br />

Tulisan itu benar-benar replika dari kartu pajak dan<br />

sertifikat asuransi seperti yang dimiliki oleh para<br />

penggemar motor.<br />

Yang berbeda hanyalah nama asuransinya, yang selalu<br />

dihubungkan ke kepala mekanikku. Di 250cc,<br />

namanya adalah Asuransi Rossano Brazzi. Ketika aku<br />

pindah ke 500cc, aku ikut Asuransi Jeremy Burgess<br />

Aldgate kota di Australia, dekat Adelaide, tempat Jeremy<br />

dilahirkan. Tentu saja, aku membuat daftarnya juga.<br />

Daftar itu sesuai jangka waktu diselenggarakannya<br />

kejuaraan dunia dan seperti kebijakan asuransi ternama<br />

lainnya, aku memastikan itu tidak akan hilang. Kamu tidak<br />

akan pernah tahu...


11<br />

CAPITOLO UNDICI<br />

POLISI di Tavullia kenal baik dengan kami. Hampir tiap<br />

hari kami bertemu mereka. Lumayan sering, setiap kali<br />

mereka menghentikan kami. Hubungan kami sederhana<br />

saja: kami lari dan mereka yang mengejar. Kadang kami<br />

lolos, meski biasanya kami yang tertangkap. Tak ubahnya<br />

permainan "polisi dan pencuri", namun bedanya yang ini<br />

sungguhan. Mereka polisi dan kami adalah..., kami bukan<br />

pencuri atau penjahat. Kami tidak mencuri atau berbuat<br />

jahat. Setidaknya, bukan kejahatan dalam artian sebenarnya.<br />

"Kejahatan" kami, kalau kamu ingin menyebutnya<br />

demikian, adalah karena kami mengganggap jalanan di<br />

Tavullia layaknya arena Grand Prix. Dan sejujurnya,<br />

sekuter kami yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa<br />

dianggap ilegal. Hanya itu.<br />

Sebenarnya, polisi memaklumi kalau kami hanyalah<br />

sekelompok anak hiperaktif yang hobi sekuter dan<br />

balapan. Kami sebenamya tidak menyalahi apa pun,<br />

kecuali melanggar disiplin lalu lintas. Selain itu, kami<br />

disukai. Kalau nggak, kenapa juga mereka amat sabar<br />

menceramahi kami? Memang mereka biasanya menyita<br />

sekuter kami, tapi kami tahu mereka tidak punya pilihan<br />

dan kami bisa mengerti itu. Dan ketika kami mendapatkan<br />

sekuter-sekuter itu kembali, semuanya normal lagi; kami<br />

balapan dan mereka akan mengejar.<br />

Tampaknya, kami dan polisi saling menghormati<br />

karena kami sebenarnya tidak jahat. Kami sebenarnya<br />

anak-anak baik yang cukup sibuk, apalagi saat di bangku<br />

SMP. Setiap hari kami habiskan dengan bersekuter.<br />

Awalnya, kami mulai dengan sekuter, selanjutnya pindah


ke .Apecars. Bahkan ketika baru menginjak sebelas tahun,<br />

saat kami belum cukup umur untuk mengendarai sekuter<br />

atau kendaraan bermotor apa pun, tanda-tanda kenakalan<br />

mulai tampak. Kami sudah bisa meramalkan apa yang<br />

kelak jadi periode luar biasa dalam hidup kami, yaitu saat<br />

seseorang menjadi satu dengan mesin. Karena di Italia<br />

kamu sah-sah saja mengendarai sekuter kalau sudah<br />

menginjak usia 14 tahun. Dan kami sadar saat itu sudah<br />

dekat.<br />

Sewaktu SMP, perbedaan antara laki-laki dan<br />

perempuan sangat kentara. Perempuan tampak lebih<br />

dewasa, jadi mereka cenderung menghabiskan banyak<br />

waktu dengan laki-laki yang lebih tua dan mengabaikan<br />

rekan sekelasnya. Masalahnya kalau kamu laki-laki, kamu<br />

tidak bisa ke mana-mana. Teman perempuan tidak<br />

tertarik kepadamu, sedangkan perempuan yang lebih tua<br />

juga bukan pilihan (karena mereka lebih suka dengan lakilaki<br />

yang jauh lebih tua dan bermobil), begitu juga<br />

perempuan yang lebih muda. Aneh 'kan rasanya kalau<br />

kamu berusia 13 tahun dan punya pacar berusia 10 tahun!<br />

Jadi kami hanya bisa menunggu sampai kami cukup tua<br />

untuk punya pacar yang lebih muda (atau sampai anak<br />

perempuan yang lebih muda itu cukup usia, terserah<br />

bagaimana kamu memandangnya). Itulah kenapa kami<br />

habiskan waktu kami dengan sekuter.<br />

Banyak hal-hal gila yang kami lakukan dengan sekuter.<br />

Kami suka motor, balapan, dan tantangan. Aku dan<br />

teman-teman adalah generasi usia antara 14 dan 18<br />

tahun yang gemar sekuter. Kegemaran itu mewabah di<br />

kalangan kami.<br />

Obsesi utamaku adalah sepeda motor. Seperti pernah<br />

aku ceritakan sebelumnya, aku belajar mengendarai<br />

minibike sebelum bisa mengendarai sepeda. Jadi, usia 14<br />

tahun amat berarti bagiku. Aku sudah tak sabar untuk


isa resmi mengemudi. Tentunya aku sudah sering<br />

mengendarai sekuter, biasanya milik ayahku. Menurutku,<br />

itu adalah sekuter yang unik karena bisa dilipat. Ayah<br />

biasanya menyimpan sekuter itu di mobil dan<br />

memakainya di sekitar paddock saat balapan di kejuaraan<br />

Super-touring. Kadang, aku pun mengendarai sekuter<br />

warna hijau dan hitam itu.<br />

Orang-orang di generasiku sempat menyaksikan sekuter<br />

model baru yang menggantikan tipe lama 50cc<br />

seperti merek Ciao dan Bravo. Aku pernah berkhayal<br />

punya Ciao dengan desain depan seperti Bravo, seperti<br />

yang dikendarai mereka yang berusia di atasku di Tribe.<br />

Namun, ketika aku umur 14 tahun, tiba-tiba keluar<br />

sekuter-sekuter model terbaru dengan desain yang keren.<br />

Yang kami suka di antaranya adalah Aprilia SR yang<br />

terlihat seperti motor MotoGP. Kamu bisa saja memesan<br />

versi replika spesial, seperti replika "Reggiani" milik Uccio.<br />

Sebaliknya, aku punya Viper warna kuning dan ungu.<br />

Sebenarnya aku juga ingin mempunyai replika "Reggiani",<br />

tapi sayangnya saat aku menginjak 14 tahun, replika itu<br />

sudah tidak dikeluarkan lagi (Uccio mendapatkan replika<br />

itu lebih dulu karena usianya beberapa bulan di atasku).<br />

Jadi aku mendapatkan Viper. Kali pertama aku melihat<br />

Aprilia SR adalah di halaman majalah MotoSprint. Lalu aku<br />

melihatnya dengan mata kepalaku sendiri lewat jendela<br />

sebuah toko bernama Champion di Pesaro. Kami memang<br />

sengaja pergi ke toko itu hanya untuk melihat Aprilia SR.<br />

Kami berangkat dari Tavullia ke Pesaro dengan bis. Di situ<br />

aku berdiri di depan toko dan menempelkan mukaku ke<br />

kaca untuk melihat sekuter tersebut. Ya, motor itu<br />

memang bagus.<br />

Sewaktu Uccio akan mengambil Aprilia SR miliknya,<br />

aku dan ayah pergi bersamanya. Dengan meminjam mobil<br />

van, kami berangkat ke San Marino karena motor tersebut


sudah tidak tersedia di kota kami. Mobil yang kami<br />

kendarai tidak memiliki sejenis pengikat di belakangnya,<br />

sehingga timbul sedikit masalah dalam perjalanan pulang.<br />

Jadi kami mengakalinya. Aku dan Uccio menyandarkannya<br />

dan berdiri di belakangnya. Selama perjalanan balik kami<br />

menjaga motor itu agar tidak jatuh. Bisa dibilang kalau<br />

Uccio dan aku adalah pengganti ikatan dan kami berusaha<br />

keras menggunakan badan kami sebagai tameng untuk<br />

menjaga motor itu.<br />

Aku tidak tahu bagaimana mengatakan betapa<br />

pentingnya sekuter bagi kami yang menginjak usia 14<br />

tahun. Satu per satu anggota gengku menginjak usia<br />

tersebut. Dalam dua bulan, sekuter kami bertambah<br />

sepuluh buah. Beberapa dari kami memiliki Vespa 50 dan<br />

lainnya mempunyai Yamaha, Aprilia...rata-rata sekuter<br />

kami sudah dimodifikasi. Pokoknya kamu bebas<br />

memodifikasi sekuter itu agar bisa dipacu lebih cepat. Kali<br />

pertama yang kamu lakukan adalah membuang<br />

penghambatnya supaya sekuter bisa lebih cepat dari batas<br />

kecepatan 45 km/jam yang sudah ditentukan. Aku tidak<br />

mengerti kenapa pemerintah perlu membatasi kecepatan<br />

sekuter karena kamu hanya perlu menghilangkan<br />

perangkat yang membatasi kecepatan itu.<br />

Itu baru permulaan. Kemudian kami bisa mengubah<br />

segalanya seperti silinder, karburator, kopling, knalpot,<br />

dan suspensi. Lalu tentunya ban. Kami menggunakan ban<br />

IRC dari Jepang yang bisa meningkatkan daya cengkeram<br />

saat kamu melaju dengan cepat di tikungan.<br />

Sampai-sampai kami mempunyai mekanik<br />

kepercayaan yang bisa mengadakan onderdil yang kami<br />

butuhkan. Aku biasanya pergi ke Motor House Energy di<br />

Misano. Pemiliknya, Alessandro Ugolini atau lebih dikenal<br />

sebagai "Sgana", adalah seseorang yang pernah balapan<br />

motor mini denganku. Dia ahli sekuter. Oleh karena itu


sekuterku selalu ada di tempatnya, di bagian balapan.<br />

Setiap beberapa minggu, kami bahkan mengganti<br />

sasis atau mesin. Ini karena sekuter kami bisa dengan<br />

mudah mencapai kecepatan 100 km/jam sehingga mudah<br />

rapuh jadinya. Sehabis memodifikasi sekuter, kami lalu<br />

mencoba sekaligus menyetelnya. Dan setelah selesai,<br />

hanya ada satu yang dilakukan: balapan. Ya, balapan<br />

dengan sekuter kami. Itulah yang kami lakukan seharian,<br />

setiap hari. Kebiasaan ini berlanjut sampai kami berumur<br />

18 tahun. Selama itu, aku selalu mencoba meningkatkan<br />

kecepatan sekuter. Bisa dibilang kalau hidupku di atas<br />

sekuter.<br />

Mungkin kebiasaan ini muncul karena perceraian<br />

orangtuaku yang membuatku tinggal dengan ibu di Montecchio.<br />

Ini memberiku tambahan 5 hingga 6 km dalam<br />

perjalanan dari Tavullia ke Montecchio. Jalanannya pun<br />

cukup bagus dengan satu tanjakan dan satu turunan.<br />

Jalanan yang tidak begitu panjang tersebut bisa dilalui<br />

pelan atau cepat, berkelok-kelok, dan terusannya unik.<br />

Ada yang mengatakan kalau di situlah aku belajar<br />

berkendara, di jalanan Montecchio-Tavullia. Kenyataan<br />

bahwa aku melalui lintasan itu sendiri tanpa acuan, tanpa<br />

harus mengikuti ritme pengendara lain, mengajariku<br />

bagaimana menjadi yang terdepan dan tetap di depan<br />

saat balapan.<br />

Kami selalu ada di luar untuk bersaing. Biasanya<br />

kami menentukan garis finish pada sebuah tempat. Tidak<br />

peduli di mana dan apa yang kami lakukan sesampainya<br />

di sana karena ini semata-mata murni balapan. Setibanya<br />

kami di garis itu, kami akan berputar dan kembali.<br />

Perjalanan lebih penting daripada tujuannya.<br />

Kala itu ada tempat bernama "Panoramica". Seperti<br />

namanya, jalan sepanjang 22 kin ini berpanorama karena<br />

posisinya yang berada di tebing pinggir laut. Jalan ini


ermula dari Gabicce Monte ke Pesaro, menghubungkan<br />

daerah Marche dan Emilia Romagna. Ini adalah jalanan<br />

indah yang sempit dan penuh liku. Bagi kami, jalanan ini<br />

layaknya arena balap yang terdiri atas tanjakan-tanjakan<br />

yang berkelok-kelok, ada yang sempit dan ada yang lebar.<br />

Ada saat ketika kamu dikelilingi kehijauan, berbagai<br />

macam pohon dan kebun sayur yang subur, ada kalanya<br />

laut kelihatan dekat seolah kamu bisa menyentuh-nya<br />

(kenyataannya, pemandangan indah ini malah mengganggu<br />

konsentrasi dan bisa membahayakan). Ini adalah<br />

unsur terpenting di daerah itu, bahkan ketika Graziano<br />

masih kecil. Dia juga balapan di sana dengan temantemannya,<br />

termasuk Gibo dan Aldo Drudi.<br />

Sekarang kamu tidak bisa lagi balapan di<br />

Panoramica karena terlalu berbahaya. Bisa-bisa kamu<br />

menabrak mobil van yang sedang berputar, atau<br />

pelancong dengan karavan mereka. Terlalu banyak mobil<br />

dan orang-orang yang bersepeda. Ketika aku masih belia,<br />

daerah itu masih sepi sehingga kami benar-benar<br />

memanfaatkan kesempatan itu. Dan sedihnya, di sana<br />

akan dipasang portal.<br />

Menurutku itu skandal. Sama saja dengan membuat<br />

portal di Assen atau Donington.<br />

Sehari-hari, kami biasanya melakukan tiga hal saja:<br />

sekolah, makan siang, Panoramica. Kami bertemu sore<br />

hari, mengisi bahan bakar di stasiun pengisian 24 jam<br />

dekat Gradara, selanjutnya tinggal kami dan jalanan pergi<br />

sepanjang 22 km dan pulang 22 km. Ada saat ketika aku<br />

bisa menyelesaikan 4 atau S "panoramiche" dalam satu<br />

hari.<br />

Untung aku bisa memanfaatkan beberapa teman<br />

dari kelompok lain. Sepulang sekolah, ada teman-teman<br />

yang bekerja dan menggunakan waktu istirahat siangnya<br />

untuk balapan. Lalu, sore harinya yang lain akan tiba. Di


musim panas biasanya lebih baik lagi. Dari Panoramica<br />

kami menuju ke pantai dan berada di sana sampai<br />

matahari terbenam. Sering salah satu dari kami pergi ke<br />

pantai dengan lengan memerah akibat tergesek aspal<br />

jalanan. Banyak yang menyarankan: "Rendam dalam air<br />

agar tidak infeksi!" Aku tidak pernah tahu apakah saran<br />

itu manjur. Yang kutahu, air asin membuat perih dan<br />

menyebabkan mati rasa. Setelah beberapa jam berjemur<br />

matahari, kamu siap untuk pergi lagi.<br />

Kami punya peraturan tersendiri untuk balapan kecepatan<br />

dibatasi khusus jalanan lurus (namun dibebaskan<br />

untuk belokan) dan dilarang mendahului dari jalur yang<br />

berlawanan. Kami selalu mengendarai di sisi kanan jalan<br />

dan kalau ada yang melanggar akan terkena sanksi serius.<br />

Tidak seperti kebanyakan anak seumuran kami di Italia,<br />

kami mewajibkan untuk memakai helm. Dalam hal ini,<br />

kami juga cukup pandai.<br />

Kami juga punya keunikan, roda misalnya, ada kalanya<br />

kami naik motor dengan satu roda diangkat ke atas.<br />

Karenanya, ada waktu-waktu ketika aku pulang<br />

malam dengan tangan sakit. Ngomong-ngomong soal<br />

malam, aku punya cerita lain. Kami semua akan berada di<br />

rumah untuk makan malam singkat. Tapi, kami tidak<br />

menghabiskan waktu lama karena hampir setiap malam<br />

kami melakukan pertemuan di "Pistino" daerah dekat kota<br />

San Giovanni di Marignano, dekat Cattolica. Kalau siang<br />

hari kami ke Panoramica, malam harinya kami ke Pistino.<br />

Sebetulnya, tempat ini adalah daerah industri dengan<br />

pabrik-pabrik dan gudang-gudang. Kami mengubahnya<br />

menjadi trek Grand Prix dengan paddock, lapangan parkir,<br />

garis akhir, belokan-belokan, dan jalanan lurus. Dan tentu<br />

saja, penonton, termasuk gadis-gadis yang datang untuk<br />

melihat kami.<br />

Ketika kejuaraan dunia berlangsung di Misano, seki-


tar beberapa kilometer dari tempatku, ada beberapa<br />

orang datang ke sana dan mencuri spanduk iklan dari trek<br />

dan memasangnya di Pistino. Jodi ketika kamu meluncur<br />

di sana kamu bisa melihat spanduk-spanduk balapan<br />

mengiklankan berbagai sponsor resmi sama seperti "trek<br />

sesungguhnya". Trek kami sangat teknikal, berbentuk "S"<br />

beserta belokan-belokannya. Aku ingat ada sebuah<br />

tikungan tajam ke kiri tempat kamu terpaksa keluar dari<br />

jalur sekitar beberapa meter. Itulah satu-satunya bagian<br />

berbahaya di trek tersebut, tapi kalau dipikir-pikir, itu<br />

sangat-sangat berbahaya. Kami mengalami guncangan<br />

yang cukup hebat, tapi pada akhirnya semua berjalan<br />

mulus.<br />

Itu merupakan balapan-balapan hebat yang kami<br />

anggap serius. Pada puncaknya, ada sekitar 200 penonton<br />

termasuk anak-anak dari kota-kota sekitar. Beberapa<br />

pembalap sangat antusias; mereka tampak seperti<br />

profesional, mengangkut Ciao mereka di atas truk. Seperti<br />

biasa, kami selalu jadi incaran polisi yang menyergap dan<br />

menyita semuanya. Ada kalanya kami lolos dan ada<br />

saatnya kami tertangkap. Akhimya karena sering<br />

digerebek polisi, Pistino hanya tinggal legenda. Hilangnya<br />

Pistino benar-benar menandakan akhir dari sebuah era.<br />

Aku cepat kembali ke Pistino. Pada suatu hari aku<br />

balapan di sana untuk melihat seberapa baik kondisiku<br />

sejak kejadian patah lengan tahun 1995 ketika aku ikut<br />

dalam kejuaraan Eropa. Sebenarnya aku mengalami<br />

cedera yang sama saat kejuaraan motocross. Di<br />

pertandingan itu aku ada di urutan ketiga, tapi<br />

pengendara berbakat dari Czech, Yarda Hules, menempel<br />

di belakangku. Itu saat yang sulit. Aku harus berhati-hati<br />

agar tidak memberi kesempatan padanya karena aku<br />

perlu berada di posisi tiga besar untuk melanjutkan ke<br />

kejuaraan dunia.


Jadi apa yang kulakukan? Apa aku santai-santai saja?<br />

Apa aku bermeditasi untuk menyiapkan mental dan<br />

spiritual? Bukan. Ingat 'kan kalau ini aku? Aku pernah<br />

balapan motocross dengan teman-temanku. Sejujurnya,<br />

aku sering balapan motocross saat itu. Kali ini salahku dan<br />

aku harus menebus kesalahan itu.<br />

Waktu itu, aku mengitari trek motocross lalu sampai<br />

ke lereng dan bersiap melakukan lompatan. Aku masuk ke<br />

gigi dua, meski seharusnya aku pindah ke gigi tiga. Aku<br />

angkat kaki untuk pindah gigi, tapi persenelingnya tidak<br />

mau pindah dan membuatku tetap pada gigi netral.<br />

masalahnya, aku ada di turunan, jadi aku loncat saja<br />

dengan gigi netral dan akibatnya, aku terhempas ke<br />

depan. Kejadian itu cukup dahsyat dan mencederai<br />

pergelangan tanganku. Tiba-tiba aku memikirkan<br />

kejuaraan Eropa 125 dan, tentunya, kejuaraan dunia.<br />

Aku absen dari kejuaraan Italia dan pergi ke dokter<br />

Costa. Kejuaraan Eropa-ku selanjutnya ada di Portugal,<br />

tepatnya di Braga, jadi aku punya sedikit waktu untuk<br />

bersiap. Dokter memberiku balutan keras agar aku bisa<br />

balapan. Pada saat keberangkatan, ia melihatnya kembali<br />

dan berkata: "Kelihatannya baik-baik saja, tapi kamu<br />

kehilangan massa otot di bagian tangan...saya tidak yakin<br />

kamu kuat ikut balapan. Cari tahu sendirilah soal itu!"<br />

"Oke, tapi bagaimana aku bisa melakukannya?" tanyaku<br />

dalam hati.<br />

Usiaku 16 tahun. Aku tidak punya SIM motor dan<br />

pergi ke trek bukan pilihan. Tapi, aku tidak bisa<br />

ketinggalan acara balapan di Portugal karena aku perlu<br />

mengumpulkan poin.<br />

Tiba-tiba terbersit di benakku: "Aku tahu, aku akan<br />

pergi ke Pistino!" Aku masih punya aquamarine Zip di<br />

garasi untuk pergi ke Pistino. Sekuter Zip milikku terlihat<br />

indah. Aku sangat menyukainya hingga sampai sekarang


pun masih tersimpan di garasiku. Karena bobot Aprilia<br />

terlalu berat, aku menggantinya dengan Honda ZX, lalu<br />

dengan Zip. Motor yang kusuka itu sangat bisa<br />

diandalkan. Milikku adalah tipe "Zip Fast Racer" yang<br />

sudah dimodifikasi hingga mirip motor motoGP. Di Pistino<br />

aku bisa mengendarainya sambil mengetahui seberapa<br />

parah cedera pergelanganku. Aku sangat serius dan<br />

benar-benar berkonsentrasi. Malam itu di Pistino aku tidak<br />

hanya memutari trek: aku juga memecahkan rekor.<br />

"Semua baik, aku siap ke Portugal," ujarku sendiri<br />

saat pulang ke rumah.<br />

Dan di Portugal aku keluar sebagai juara ketiga.<br />

Cukup untuk masuk ke kejuaraan dunia di musim<br />

selanjutnya. Jadi aku berhasil menuju ke tingkat dunia<br />

pada umur 17 tahun. Keberhasilan ini juga berkat Pistino.<br />

Salah satu pengalaman tak terlupakan kami adalah<br />

dengan mobil Apecar. Akulah yang kali pertama<br />

mempunyai Apecar di gengku. Bisa begitu karena betapa<br />

pun dinginnya udara di musim salju, aku tidak pernah<br />

mau meninggalkan sekuterku. Tubuhku menggigil dan<br />

kadang kehujanan. Tapi ada juga untungnya, aku bisa<br />

menghemat waktu dua puluh menit dibanding kalau naik<br />

bis ke sekolah. Ini salah satu alasan kenapa aku tidak naik<br />

bis. Karena itu berarti aku harus bangun pagi seperti<br />

ibuku, yang sering mengomel dan mengomel ("Cepatlah",<br />

"Kamu terlambat", Makan sarapanmu", dan<br />

sebagainya...).<br />

Mengendarai sekuter, aku dapat tambahan sepuluh<br />

menit untuk tidur, dan aku sangat menikmatinya. Dan<br />

rute ke sekolahku terencana sempuma. Rutenya<br />

memakan waktu antara 11 dan 12 menit dan kalau aku<br />

bertemu truk, aku dapat memangkas beberapa detik<br />

dengan melaju di belakangnya. Aku pergi ke sekolah<br />

pukul 7:57 pagi dan sampai di sekolah pukul 8:10. Tentu


saja, meski begitu, aku tetap anak yang terakhir masuk<br />

kelas!<br />

Masalah utamanya adalah udara dingin itu tidak bisa<br />

dihindari. Dan kami sering kali harus beradaptasi dengan<br />

situasi sulit. Contohnya, ketika kami hendak bertemu<br />

teman wanita, kami keluar mengendarai sekuter<br />

mengenakan jaket musim dingin yang menggelembung,<br />

syal dari wol, dan sarung tangan yang berat. Kami<br />

berhenti beberapa meter dari tempat kami akan bertemu<br />

lalu berganti pakaian. Sungguh. Kami lalu mengenakan<br />

jaket Barbour, swung tangan kulit yang tipis dan topi wol<br />

yang trendy. Dengan begitu, kami terlihat lebih baik di<br />

depan gadis-gadis.<br />

"Apa kamu tidak kedinginan?" mereka akan<br />

bertanya.<br />

"Tidak, apa itu kedinginan?" kami berbohong,<br />

padahal bokong kami menggigil. " Itu 'kan kelihatannya<br />

saja, sebetulnya menyenang-kan, segar dan kering."<br />

Tapi, orangtuaku tidak terlalu senang. Mereka tidak<br />

suka kalau putranya menggigil setiap hari selama musim<br />

dingin.<br />

"Baiklah, mungkin kita bisa memberimu Apecar,"<br />

Ayahku berkata suatu hari.<br />

Dengan cara itu, dia mengira setidaknya aku terlindung<br />

dari cuaca.<br />

"Ayah bilang apa?" aku berkata."Bisa ayah bayangkan<br />

nggak sih? Aku mengendarai Apecar? Ide yang sangat<br />

buruk."<br />

Aku agak terkejut. Apecar tidak mempunyai kesan<br />

yang bagus karena biasanya digunakan orang yang sudah<br />

pensiun. Atau buruh yang ingin mengambil sesuatu di<br />

bangunan apartemen. Ini bukan untuk anak-anak. Dan<br />

sangat tidak keren. Tapi, ayahku tidak perduli. Aku diberi


Apecar bekas yang sebetulnya umurnya setuaku, keluaran<br />

tahun 1979. Jadi aku yang pertama di gengku yang<br />

mengendarai Apecar. Aku muncul mengendarainya di<br />

Tavullia dan terjadilah keheningan yang memalukan.<br />

Semua orang terkejut. Aku turun dan teman-temanku<br />

mulai meneliti dengan heran dan bingung. Mobil ini punya<br />

rem drum berkarat dan pembersih kaca manual. Temantemanku<br />

tidak percaya, tapi setiap malam aku muncul<br />

dengan Apecar yang dalamnya nyaman dan enak, dan<br />

mereka menggigil di sekuter. Jadi aku memulai tren.<br />

Dalam waktu satu setengah tahun, sekitar selusin dari<br />

kami punya Apecar. Dan tentu saja, kami memperlakukan<br />

Apecar sama seperti memperlakukan sekuter kami.<br />

Dengan curahan cinta dan sedikit suntikan teknologi.<br />

Yeah, kami modifikasi Apecar begitupun sekuter. Apecar<br />

dan sekuter menjelma menjadi kendaraan balap.<br />

Tetapi, ada satu perbedaan penting. Apecar besar<br />

dan memakan banyak tempat, jadi tidak luwes seperti<br />

sekuter. Jadi kami mengganti peraturan balapan. Kami<br />

memutuskan, mulai sekarang, di balapan Apecar, semua<br />

bisa terjadi. Kamu masih tetap balapan, tapi seperti main<br />

"bom-bom car" jadinya: kami boleh menghantam lawan.<br />

"Kami terlindungi, kami tidak akan cedera," kilah kami.<br />

Gagasan itu terlihat cemerlang bagi kami saat itu.<br />

Selanjutnya, pertarungan tak berujung pun dimulai, kami<br />

saling menabrak satu sama lain di Apecar. Bisa dipastikan<br />

mobil tersebut akhirnya penuh benturan, penyok-penyok<br />

dan bilur. Dengan kondisi Apecar yang sedemikian parah,<br />

kami harus berjaga-jaga, misalnya mengikat pintupintunya.<br />

Ini karena sasis Apecar sangat mudah berubah<br />

bentuk 'kan bukan Deltabox!). Kami bisa pastikan kalau<br />

terjadi tabrakan sekali lagi, pintunya akan terbuka,<br />

bahkan bisa jadi langsung lepas.<br />

Namun, meski sasis luar kami tampak rusak, bagian


dalam Apecar sebenarnya sangat menarik. Itu karena<br />

usaha kami memodifikasinya. Apecar milikku, misalnya,<br />

awalnya berkapasitas 50cc sebelum diubah menjadi<br />

140cc! Seperti halnya sekuter kami, polisi pun suka menyita<br />

Apecar kami. Uccio yang memegang rekor: Apecar<br />

miliknya disita sampai 6 kali. Tapi untuk kasusku, Apecar<br />

milikku disita persis di hari yang sama saat aku baru<br />

mengambilnya kembali. Sabtu sore aku mengambilnya.<br />

Lalu pada Sabtu malam, polisi menyitanya kembali.<br />

Ketika tanganku masih diperban, aku jadi tidak<br />

dapat berkendara. Tapi, aku ingin menyaksikan aksinya.<br />

Jadi aku minta tolong Uccio untuk memegang kemudi<br />

Apecarku. Ini bahkan lebih sulit dari kedengarannya.<br />

Pertama, kabin depan Apecar sangat sempit karena tidak<br />

dirancang untuk dua penumpang. Satu-satunya cara<br />

untuk memuat dua orang adalah kalau satu orang<br />

menyetir dan lainnya bertugas menginjak rem (ada rem<br />

depan dan rem belakang, meski sebenarnya rem depan<br />

tidak ada pengaruhnya). Kenyataan ini tentunya jauh dari<br />

yang diharapkan. Selain itu tanganku masih diperban<br />

sehingga membatasi kemampuan gerakku. Ketika aku dan<br />

Uccio berada di dalamnya, kami tampak konyol. Aku harus<br />

mengangkat tanganku yang diperban ke atas kepala.<br />

Ruang dalam Apecar menjadi sangat sesak sehingga kami<br />

tampak saling berpelukan. meski kelihatannya tidak<br />

nyaman, kendaraan tersebut setidaknya bisa membawa<br />

kami dari titik A ke titik B.<br />

Sebenarnya terlintas di pikiran kami kalau Apecar<br />

dilarang untuk ditumpangi dua orang sekaligus. Namun,<br />

kami tidak terlalu menghiraukannya. Dalam perjalanan,<br />

kami melakukan kesalahan karena sempat berpapasan<br />

dengan mobil patroli polisi sehingga mereka membuntuti<br />

kami. Sirene mereka tidak berbunyi, tapi lampu mereka<br />

berkedap-kedip di belakang kami.


"Kurasa kini kita tertangkap basah, melambatlah,"<br />

ujar Uccio kelihatan sedih.<br />

"Tidak, peduli amat, ayo kita terus saja," ujarku.<br />

"Apa maksudmu, mau ke mana kita dengan kondisi<br />

seperti ini?" tanggapnya.<br />

"Siapa yang peduli?" ujarku. "Setidaknya kita mencoba.<br />

Kita akan tertangkap. Kita tidak punya plat nomor,<br />

tidak ada asuransi, kita masih di bawah umur, dan mesin<br />

kita adalah hasil modifikasi...kita patut mencobanya."<br />

Lalu kami pun mencoba kabur dengan tetap berkendara,<br />

meski tidak bertahan lama. Seperti kamu duga,<br />

polisi akhirnya bisa dengan mudah menyusul kami. Dan<br />

mereka kelihatannya tidak suka apa yang mereka lihat.<br />

Langkah mereka berat dan lambat. Bisa dibilang mereka<br />

tampak sangat marah.<br />

"Mana plat nomornya?' tanya satu dari mereka. "Dan<br />

mana surat-surat asuransinya?"<br />

"Ummm...semua ada di rumah," jawabku.<br />

"Baik, kalau begitu kalian ikut kami." Mereka mengambil<br />

Apecar-ku dan membawaku ke kantor polisi. Mereka<br />

meninggalkan Uccio di tepi jalan. Dari kaca spion, aku bisa<br />

melihat wajahnya yang terkejut sekaligus sedih saat mobil<br />

mulai berjalan.<br />

Apecar-ku ditahan selama sebulan di kantor polisi.<br />

Untuk mendapatkannya kembali, aku harus datang ke<br />

sana dengan orangtuaku. Mereka kelihatannya juga tidak<br />

senang terhadap kejadian itu.<br />

"Kenapa kamu nggak bisa jadi anak yang baik?" ujar<br />

ibuku berulang kali. "Nggak bisa ya kamu menyetir pelanpelan?"<br />

"Baik, Bu!" ujarku. "Aku paham! Ya...menyetir pelan<br />

saja...Oke!"


Sebaliknya, ayahku tampak murka dan tidak berkata<br />

sedikit pun.<br />

Sore itu aku pulang setelah mendapatkan kembali<br />

Apecar-ku. Aku dan teman-teman berencana jalan keluar<br />

saat seseorang melontarkan ide untuk pergi main bowling.<br />

"Ya! Ide bagus!" teriak kami semua. "Ayo main<br />

bowling!"<br />

Tapi masalahnya, tempat bowling ada di Rimini,<br />

sedangkan kita di Tavullia. Aku, Pirro, Uccio, dan Nicola<br />

memutuskan untuk pergi dengan Apecar. Aku dengan<br />

Pirro, dan Uccio dengan Nicola. Kami memang benarbenar<br />

badung. Seingatku tiap kali kami pergi berempat,<br />

selalu saja ada kejadian. Kami tidak pernah pulang tanpa<br />

ada kejadian apa-apa. Sekuter kami yang rusaklah, atau<br />

kami terdamparlah kehabisan bahan bakar, atau malah<br />

polisi menyita kendaraan kami (lagi). Apa pun<br />

masalahnya, kami berempat jarang bisa pulang bareng.<br />

Bisa dipastikan kalau kamilah anggota paling berbahaya di<br />

geng, terutama kalau menyangkut masalah Apecar atau<br />

sekuter.<br />

Tidak banyak kejadian saat pergi ke Rimini. Meski<br />

kami saling adu bodi antar-Apecar, itu tidak terlalu<br />

berkesan. Namun perjalanan pulang agak berbeda.<br />

"Oke, supaya lebih menarik, ayo kita balapan!" ujar<br />

salah satu dari kami. Kami setuju.<br />

Aku tidak tahu kenapa, tapi kali ini kami benarbenar<br />

liar saat perjalanan pulang. Antara aku dan Pirro<br />

melawan Uccio dan Nicola dan kami benar-benar<br />

memenuhi jalanan. Kami balapan samping-sampingan,<br />

saling menabrak, berzig-zag di antara kendaraan<br />

lain...Saat berada di lampu merah, kami saling pandang,<br />

menakut-nakuti satu sama lain, sambil memainkan pedal<br />

gas untuk membuat gaduh suara mesin. Rasanya seperti


akan balapan di arena Grand Prix. Kami bahkan tidak<br />

sadar kalau di antara kami ada seorang pria baik beserta<br />

keluarganya naik mobil Lancia Dedra warna hijau. Ketika<br />

lampu berganti dan kami tancap gas, pria itu tampak<br />

ketakutan.<br />

Kami melanjutkan balapan "gila" kami hingga<br />

akhirnya Uccio dan Nicola memepet kami sampai keluar<br />

jalan.<br />

Sebenarnya, tidak ada masalah kalau ban belakang<br />

kami tidak nyangkut di bawah pagar pembatas. Apecarnya<br />

berada di situ dan ini jadi masalah. Satu pintu<br />

menghadap ke tanah sehingga tidak bisa dibuka. Dan<br />

pintu lainnya sudah berubah bentuk karena tabrakan<br />

sebelumnya, juga tidak bisa terbuka. Kami terperangkap.<br />

Untungnya, Uccio dan Nicola yang telah mendahului<br />

kami, datang kembali karena mengkhawatirkan kami.<br />

Mereka melihat kami masih sibuk membuka pintu,<br />

mendorong dan menarik sebisa kami. Akhirnya berkat<br />

pertolongan mereka, kami dapat membuka pintu tersebut.<br />

Lalu kami membalikkan Apecar ke posisi semula, naik ke<br />

dalamnya, dan melanjutkan balapan luar biasa kami. Kami<br />

saling hantam beberapa kali lagi sebelum akhirnya tiba di<br />

service station, dekat Riccione. Di sinilah rencananya kami<br />

akan bertemu sebelum pergi ke klub malam hari. Mereka<br />

yang lebih tua akan memberi minuman atau malah<br />

mencoba mendapatkan semacam kartu VIP untuk masuk<br />

klub. Tidak berapa lama setelah kami tiba, kami<br />

sepertinya mendengar suara yang sudah akrab dan lampu<br />

yang kedap-kedip: polisi.<br />

"Aduh, mereka akan menangkap kita," ujar Pirro dengan<br />

suara gemetar, begitu kami melihat sosok dua orang<br />

polisi keluar dari mobil mereka dan langsung menuju<br />

kami.<br />

Lapangan parkir service station itu cukup luas dan


anyak orang lalu-lalang. Mereka semua menonton kami,<br />

mungkin ingin melihat kami yang sekali lagi bakal<br />

dipermalukan. Aku tidak pemah lupa bagaimana dua polisi<br />

itu mendekati kami. Aku sempat merasa kalau mereka<br />

akan membunuh kami.<br />

"Anak-anak, lagi apa kalian?" teriak satu dari<br />

mereka tanpa buang waktu lagi. "Aku belum pernah<br />

melihat yang seperti ini. Kalian bermain mobil bumper di<br />

jalan tol dengan kecepatan 80 km/jam, saling tabrak<br />

seperti orang bodoh. Apa...kalian sudah gila?"<br />

"Baiklah...sebenarnya..." kami mencoba menjawab<br />

pertanyaan-nya, tapi tidak berhasil. Dan situasinya<br />

berubah dari buruk menjadi sangat buruk.<br />

"Tunggu dulu!" ujar salah satu dari mereka sambil<br />

memerhatikan mobil-mobil Apecar dari dekat. "Mesinmesin<br />

ini sudah di-modifikasi!"<br />

"Apa? Benarkah?" aku coba mengomentarinya. "Ya<br />

memang, mungkin hanya sedikit, tapi sangat sedikit..."<br />

Aku benar-benar dalam kesulitan. Mesin kami bukan<br />

saja dimodifikasi sedikit, tapi benar-benar mengalami<br />

perubahan total. mesin Apecar - ku, yang aslinya 50cc, kini<br />

menjadi 140cc. Kami terpojok, tidak ada jalan keluar.<br />

Semua orang mulai mendekat dan mereka yang berada<br />

di service station mulai bersorak: "Lepaskan mereka!<br />

Lepaskan mereka!"<br />

Tapi, polisi tidak melakukannya. Mereka memanggil<br />

mobil derek untuk mengangkut mobil-mobil Apecar kami.<br />

Apecar-ku juga tentunya, yang baru saja kuambil hari itu.<br />

Selagi aku melihatnya hilang dari pandangan, aku<br />

berpikir kalau aku tidak akan pernah melihatnya lagi<br />

untuk waktu yang lama, seorang pria yang terlihat aneh<br />

datang mendekati kami dan berkata ke polisi.<br />

"Apa yang telah mereka perbuat?" tanyanya.


Sebelum mereka sempat menjawab, Uccio<br />

memotong pembicaraan.<br />

"Dan kamu? Siapa kamu?" teriaknya. "Apa yang kau<br />

inginkan dari kami?"<br />

"Aku polisi berpakaian 'preman'," jawabnya enteng.<br />

Hilang sudah harapan kami.<br />

"Oh, hebat!" desahku sambil menundukkan kepala.<br />

Tak ada lagi yang bisa menyelamatkan kami sekarang.<br />

Kami tahu apa yang akan terjadi. Apecar kami akan disita,<br />

kami akan didenda, diceramahi panjang-lebar, dan kami<br />

akan dihukum dalam waktu yang lama. Sangat lama. Dan<br />

itulah yang terjadi.<br />

Tentunya, masalahnya belum selesai karena kami<br />

harus pulang ke rumah. Karena kami berada di Riccione.<br />

"Permisi, tapi apa yang harus kami lakukan sekarang?"<br />

tanya kami ke polisi, berharap mereka bermurah<br />

hati, memberi kami tumpangan misalnya. "Bagaimana<br />

kami mesti pulang?"<br />

Salah satu dari mereka mendongak ke arah<br />

kanannya.<br />

"Sebelah sana," ujarnya. "Stasiun kereta. Kereta<br />

api."<br />

Bagus sekali, pukul 4 pagi. Kami melihat jadwal<br />

kereta dan, seperti yang kami kira, tak ada kereta sampai<br />

pukul 7 pagi. Kami tidak mungkin menunggu di Riccione<br />

untuk tiga jam lagi. Kami melihat beberapa gelandangan<br />

dalam kotak kardus yang memang sedang menunggu.<br />

Memang terlintas di benakku untuk menanyakan kalau<br />

mereka rela berbagi naungan kotak kardus itu dengan<br />

kami.<br />

"Ayo naik taksi saja," saran seseorang. Jadilah, kami<br />

mulai menghitung uang yang ada, terkumpul 11.400 lira<br />

di antara kami berempat. Jumlah itu sedikit di atas lima


euro. Aku merasa kalau jumlah itu tidak akan bisa<br />

membawa kami cukup jauh, tapi boleh dicoba. Kami<br />

menyetop taksi dan menghampiri pengemudinya.<br />

"Halo, permisi, bisakah kamu membawa kami ke<br />

Cattolica?" tanyaku dengan suara lembut bak malaikat.<br />

"Kamu punya uang berapa?"<br />

"Oh, sekitar sebelas ribu lira ..."<br />

"Sebelas ribu lira? Mengitari satu blok saja aku<br />

ogah." Yah, sudahlah, jangan pake ide itu lagi.<br />

"Oke, sekarang bagaimana?"<br />

Kami berdebat apa mesti menelepon orangtua kami,<br />

hal yang kurasa sudah seharusnya dilakukan anak-anak<br />

yang penuh tanggung jawab seperti kami dalam situasi<br />

seperti ini (kalau kami memang penuh tanggung jawab,<br />

kami tidak mungkin berada dalam situasi yang seperti ini).<br />

Namun, lebih mudah ngomong ketimbang melakukannya.<br />

Ayahku sedang nonton balapan dan ibuku sedang pergi.<br />

Orangtua Pirro ada di Kanada, ayah Uccio juga sedang<br />

pergi nonton balapan dengan ibunya. Sehingga yang<br />

tersisa hanya satu pilihan: ayah Nicola.<br />

"Nicola, coba kau telepon ayahmu," ujar kami.<br />

"Oke, terserah kamu," ujarnya. "Kalau kamu benarbenar<br />

mau, aku akan meneleponnya. Aku yakin dia pasti<br />

datang segera. Tapi ingat, kalau ia datang kesini, dia bisa<br />

jadi membawa senapannya."<br />

Pernyataan itu membuat kami tidak jadi<br />

menjalankan pilihan "menelepon orangtua", lagipula, itu<br />

bukan pilihan serius buat kami.<br />

"Sekarang bagaimana?" tanya kami semua dalam<br />

hati. Kami memandang satu sama lain seraya sadar kalau<br />

hanya ada satu pilihan tersisa: menumpang.<br />

Inilah saat ketika keberuntungan kami berubah.


Kami sedang berada di tepi jalan dengan jempol siap<br />

melambai tiap kali melihat lampu kendaraan mendekat.<br />

Kami masih yakin kalau ada orang yang mau memberi<br />

kami tumpangan. Orang gila macam apa yang mau<br />

memberi tumpangan pada empat remaja pukul 4 pagi<br />

pada malam Minggu? Kami hampir putus asa ketika tibatiba,<br />

seolah anugerah dari Tuhan, seseorang berhenti.<br />

Seseorang yang kami kenal. Dia adalah pemilik bengkel di<br />

Tavullia. Dia mengenali kami dan dengan senang hati<br />

akan mengantarkan kami pulang. Dia menyelamatkan<br />

kami dari berjalan kaki 20 km menuju rumah, tapi dia<br />

tidak bisa menyelamatkan kami dari orangtua kami yang<br />

hampir membunuh kami. Kami semua harus menebus<br />

kesalahan. Ayahku menendang bokongku; temantemanku<br />

juga mengalami hal serupa.<br />

Pada akhirnya aku harus merelakan Apecar-ku<br />

karena kursinya rusak. Aku memang mengendarainya<br />

hingga detik terakhir, bahkan ketika mobil itu mulai rusak<br />

sampai-sampai aku harus duduk di atas aki karena<br />

kursinya lepas terlempar keluar dalam salah satu balapan<br />

kami yang seru. Karena posisi aku lebih rendah, aku tidak<br />

bisa melihat keluar dengan baik, membuat Apecar itu<br />

kelihatan seperti berjalan sendiri.<br />

"Ini aneh, aku tidak bisa pergi seperti ini," ujarku<br />

dalam hati.<br />

Suatu hari aku dalam perjalanan pulang dan memutuskan<br />

untuk memamerkan keahlianku memarkir<br />

dengan manuver tingkat tinggi. Aku menuruni bukit ke<br />

arah rumahku dengan gigi netral, merasa kalau yang<br />

kubutuhkan hanyalah menginjak rem pada saat yang<br />

tepat dan Apecar tersebut akan berada di tempat parkir.<br />

Itu bukan hal cerdas untuk dilakukan.<br />

Aku melaju cukup cepat ketika tiba-tiba salah satu<br />

ban menghantam trotoar, menyebabkan Apecar melayang


cepat di udara. Aku ikut berguling serasa berada di dalam<br />

kotak kardus besar. Cepat sekali kami menuruni bukit<br />

menabrak mobil Jeep yang sedang parkir. Kami terus<br />

melaju sedikit lagi sampai Apecar berhenti di sampingnya.<br />

Aku sedikit pusing, tapi baik-baik saja. Kubuka pintu yang<br />

menghadap ke langit, dan merangkak keluar seperti<br />

keluar dari kapal selam. Bayangkan terkejutnya aku saat<br />

baru keluar setengah badan dari Apecar dan menyadari<br />

tempat aku berhenti. Aku tepat berada di depan dapur<br />

ibuku. Dan dia ada di sana, menatapku, sambil memasak.<br />

Matanya terbelalak dan kaget seperti halnya aku.<br />

Raut wajahnya antara marah dan tidak percaya dengan<br />

apa yang dilihatnya.<br />

"Kamu terluka?" ujarnya. Bagaimanapun, dia adalah<br />

ibuku.<br />

"Tidak, aku baik-baik saja," jawabku tersenyum<br />

meyakinkan.<br />

"Oke, masuklah kalau begitu dan siapkan mejanya,"<br />

ujarnya. "Makan malam sudah siap..."<br />

Aku merasa lega luar-dalam. Karena aku tahu<br />

betapa baiknya ibuku. Dan betapa susahnya bagi dia<br />

untuk marah.<br />

"Oke-oke, aku akan membereskan Apecar-ku dan<br />

segera ke sana," ujarku sembari mencoba membalikkan<br />

Apecar-ku ke posisi semula dengan roda-roda di atas<br />

tanah. Aku buru-buru sebelum pemilik Jeep muncul. Dia<br />

pasti akan marah besar karena aku merusakkan mobilnya.<br />

Aku berusaha pergi dari sana secepat mungkin. Tiba-tiba<br />

pintu mobil Jeep itu terbuka. Aku khawatir kalau<br />

pemiliknya muncul,-eh malah dia ada di dalam Jeep-nya<br />

sepanjang kejadian itu! Dia sangat bingung tampaknya.<br />

"Kamu tidak apa-apa'kan?" jeritnya gemetar.<br />

Wajahnya panik dan napasnya tidak teratur.


"Semuanya baik-baik saja," jawabku sambil mengerenyit<br />

mengekspresikan betapa aneh dan ganjilnya<br />

pemandangan tersebut.<br />

Aku membawa Apecar dan menaruhnya di rumah.<br />

Kemudian aku lari keluar. Aku lolos dari kejadian itu.<br />

Lucunya, pria itu kelihatan begitu takut sampai-sampai<br />

tidak bertanya soal kerusakan mobilnya. Mungkin karena<br />

dia lupa. Atau memang dia tidak ingin bertanya. Apa pun<br />

alasannya, aku tidak pernah tahu pasti apa yang ada<br />

dibenaknya.<br />

Untuk sementara waktu, kami menenangkan diri.<br />

Semuanya. Aku serius dalam balapan dan hidup berubah<br />

drastis. Teman-temanku masih sering datang untuk<br />

melihatku balapan, gengku berbaur bebas dengan Fan<br />

Club dan keduanya juga berteman dengan temanku yang<br />

lain. Tidak diragukan lagi kalau kami tidak seliar biasanya.<br />

Kami semua tetap menjaga kegemaran kami akan sepeda<br />

motor, meski tentunya aku menjadikan hal itu sebuah<br />

profesi. Tapi itulah kerja, dan itu ada di trek balap.<br />

Mengendarai motor tersebut di jalanan adalah masalah<br />

lain. Lucunya, aku mendapatkan SlM motor pada usia<br />

20 tahun. Kuakui, aku sedikit takut di jalanan. Terlalu<br />

banyak bahaya yang tidak bisa dikontrol oleh pengendara<br />

motor. Sepeda motor terlalu cepat. Mobil-mobil dan truk<br />

sering kali tidak melihatnya. Dan kalau terjadi tabrakan,<br />

pengendara motor selalu cedera lebih parah. Dan itulah<br />

saat kamu benar-benar kesakitan. Itulah kenapa aku<br />

menunggu cukup lama. Aku mungkin sudah ikut balapan<br />

kelas 500cc secara profesional juga menjadi seorang<br />

daredevil di atas sekuter (juga Apecar), tapi aku merasa<br />

kurang siap untuk mengendarai motor di jalan raya.<br />

Kadang-kadang keinginan tersebut sangat kuat.<br />

Karenanya, aku mendapatkan SlM. Meskipun begitu, aku<br />

berusaha untuk tidak berlebihan. Aku menggunakan


motorku sedikit berbeda, tak harus berada di atasnya.<br />

Mungkin aku sebaiknya mengatakan "motor-motorku"<br />

karena aku punya beberapa. Buka garasiku dan kamu<br />

akan melihat Aprilia RSV 1000, Honda CBR 600, Honda<br />

CBR 900 Fireblade dan Honda VTR 1000, juga Yamaha R1,<br />

Yamaha XJR 1300 dan "supermotard" yang spesial dari<br />

insinyur dan mekanik Yamaha, khusus dibuat untukku.<br />

Juga semua dirtbike-ku yang kupakai di pertambangan.<br />

Aku mengendarai motor-motor ini kembali ke Panoramica<br />

beberapa kali tahun-tahun belakangan ini. Tapi, aku tak<br />

pernah ugal-ugalan. Tidak pantas saja rasanya. Dan kalau<br />

saja aku punya tongkat sihir yang bisa mengabulkan satu<br />

permintaan, aku akan mengajak Mike Hailwood ikut<br />

bersamaku ke Panoramica. Kami pasti mengalami<br />

petualangan menyenangkan di sana. Setahuku, Hailwoodlah<br />

yang terbaik. Di zamannya, banyak balapan<br />

diselenggarakan di sirkuit pinggiran kota, sehingga dia<br />

mestinya mahir berkendara di trayek seperti Panoramica.<br />

Aku juga akan senang kalau bisa berkendara bareng<br />

Wayne Rainey. Tapi kalau bersama dia, pasti lebih mirip<br />

persaingan. Pasti hebat sekali kalau kami bisa berhadapan<br />

satu lawan satu, dengan motor dan ban yang persis sama.<br />

Rainey memang salah satu pembalap yang amat<br />

kukagumi. Di zamannya, Yamaha memang lebih lambat<br />

ketimbang Honda, tetapi dia selalu bisa mengatasinya, dia<br />

benar-benar yakin akan dirinya. Dan meski sangat cepat,<br />

dia jarang sekali jatuh, jadi dia selalu bisa mengatasi<br />

motornya pada akhirnya. Tak perlu dipertanyakan, aku<br />

dan dia memang memiliki kepribadian yang berbeda, tapi<br />

bagiku, dialah salah satu pahlawan sepanjang masa.<br />

Rainey dan Hailwood: orang-orang itulah yang kuteladani,<br />

kujadikan patokan dalam mengukur diriku sendiri. Dan<br />

aku suka gagasan itu karena meneladani Hailwood secara<br />

tidak langsung berarti meneladani rekan-rekan<br />

sezamannya, Agostini dan Reed, sementara menghadapi


Rainey sama artinya dengan menghadapi orang-orang<br />

seperti dia: Schwantz dan Doohan.<br />

Saat aku memakai salah satu motor jalananku,<br />

gayaku menyetir sangat berbeda dari gayaku saat masih<br />

memakai sekuter. Sekarang, aku berkendara dengan cara<br />

yang amat berbeda, lebih menghargai elemen-elemen dan<br />

aspek-aspek yang berbeda. Aku bisa menikmati<br />

berkendara, menyetir pelan-pelan, tidak kebut-kebutan<br />

menyalip lawan. Inilah sebabnya, tentu saja, kenapa<br />

hubunganku dengan polisi Tavullia begitu membaik.<br />

Kalau dulu aku pernah memakai Panoramica dan<br />

Pistino untuk bersenang-senang selama masa uji coba<br />

atau untuk uji coba sambil bersenang-senang, aku tak<br />

tahu persisnya! Ketika beranjak dewasa, aku mulai<br />

menggunakan tempat yang memang agak aneh: pertambangan.<br />

Menggunakan pertambangan adalah idenya<br />

Graziano. Dan sebenarnya, pertambangan itu sekadar<br />

gagasan, atau, biar terkesan lebih baik, suatu cara<br />

berpikir, suatu filosofi hidup yang diambil dari berkendara<br />

di tempat yang berbeda. Sebenarnya, Graziano<br />

menyebutnya "filosofi dari dunia lain". Dan itu bukan<br />

hanya soal sepeda motor. Grazianolah guru besarnya<br />

"gaya hidup dari dunia lain".<br />

Dalam pandangannya, seseorang mestinya selalu<br />

mencoba berkendara di tempat yang berbeda. Dia<br />

memakai filosofi ini saat dia sendiri balapan sepeda motor<br />

dulu, dan dia tetap memegang teguh filosofinya ini saat<br />

dia pindah ke balapan mobil. Kamu tahu, waktu dia masih<br />

muda dulu, sebelum aku lahir, dia telah mengembangkan<br />

sebuah metode pelatihan untuk membantu mengembangkan<br />

motornya. Dia menggunakan Honda XR 500 yang<br />

saat itu merupakan versi 4 taknya motor motocross. Ban<br />

depannya dia biarkan berduri-duri, sementara ban<br />

belakangnya hanya ban jalanan biasa yang licin. Dia lalu


akan ke pantai, tempat yang pasirnya selalu basah, dan<br />

karenanya lebih padat. Dan dia akan melatih filosofinya<br />

itu: berkendara di tempat yang berbeda, meluncur dan<br />

selip, belajar mengendalikan sepeda motornya dalarn<br />

situasi yang genting.<br />

Waktu aku masih muda dulu, aku benar-benar<br />

menggandrungi motocross, tetapi Graziano tidak setuju.<br />

Dia bilang kalau motocross itu berbahaya, apalagi buat<br />

pembalap cepat, dan buang-buang waktu saja<br />

mempelajari itu kalau kamu sebenarnya ingin balapan di<br />

trek, karena trek motocross itu penuh lompatan, lubang,<br />

dan kanal, hal yang benar-benar tak kamu temui di trek<br />

balapan.<br />

Dan begitulah, Graziano membuatku melakukan sesuatu<br />

yang berbeda. Dia menerangkan filosofinya dan<br />

manfaat dari filosofi tersebut. Dan dia benar, kamu benarbenar<br />

bisa belajar banyak, khususnya belajar<br />

mengendalikan motormu. Itulah sebabnya kami lalu mulai<br />

nongkrong di pertambangan. Pertambangan adalah<br />

tempat yang ideal karena tanahnya padat dan liat, selain<br />

itu, ada trek ban truk yang benar-benar ideal untuk<br />

menerapkan filosofi dunia lain. Di wilayah kami sendiri, di<br />

perbukitan di pinggiran Pesaro dan Tavullia, ada banyak<br />

pertambangan dan kami telah mencoba kira-kira sepuluh<br />

di antaranya. Kami rutin menggilir tempat-tempat itu,<br />

karena sering diusir. Lalu, kami menemukan satu yang<br />

bisa kami anggap milik sendiri. Kami tak mengunjunginya<br />

di hari-hari kerja, memang begitu seharusnya. Maksudku,<br />

bagaimanapun, itu tempat kerja orang lain. Kami memang<br />

mampir di akhir minggu, setelah mendapat izin dari sang<br />

pemilik, lalu kami merasa seperti berada di rumah sendiri.<br />

Awalnya sekitar sepuluh tahun lalu, kami semua<br />

bersepuluh paling banyak. Kini tanpa disadari, kami<br />

semakin banyak sehingga harus memasang kawat ayam


untuk membatasi akses, karena ada kondisi kalau terlalu<br />

banyak orang justru akan membahayakan.<br />

Aku mulai berkendara di pertambangan seminggu<br />

setelah Grand Prix terakhir dan aku tidak berhenti latihan<br />

di sana sampai seminggu sebelum dimulainya kejuaraan<br />

dunia yang baru. Kami melewati waktu-waktu yang tak<br />

terlupakan di pertambangan. Kami telah mengatur<br />

kejuaraan sungguhan, balapan ketahanan, bahkan aksi<br />

head-to-head. Kami sampai mempunyai versi kami sendiri<br />

tentang Superpole, seperti di Suzuka Eight Hour Race. Aku<br />

suka fakta bahwa di Superpole kamu memulai dari<br />

turunan, mirip seperti reli. Kamu berada di atas sana,<br />

menunggu barang satu atau dua detik untuk<br />

diperkenalkan, kemudian kamu mulai beraksi.<br />

Itulah yang kami lakukan di pertambangan. Hanya<br />

saja untuk panggungnya kami menggunakan alat yang<br />

biasa dipakai untuk menimbang truk. Ini adalah gundukan<br />

yang digunakan untuk mengangkat truk ke atas jembatan<br />

timbang.<br />

Dengan kemajuan teknologi, kami telah<br />

memperbaiki pengaturannya dan kini kami memiliki<br />

transponder dan komputer yang terus memperbarui waktu<br />

kami. Ini sangat teknis, cepat dan menyenangkan, kamu<br />

selalu berada pada gigi tiga atau empat. Ada beberapa<br />

kesempatan bagus untuk mengerem, dan kamu<br />

berkendara dengan cara yang berbeda sekaligus<br />

berakselerasi. Hanya ada satu lompatan untuk semua<br />

bagian, namun rendah, cepat, dan pas.<br />

Dan kalau kamu belum puas, kami juga punya<br />

lintasan berbentuk oval di sana. Kami hanya mengendarai<br />

motor yang ban belakangnya tahan untuk di jalan raya,<br />

karena ban motocross meninggalkan jejak lubang-lubang<br />

kecil yang sulit kalau dipakai meluncur. Tapi, ban<br />

depannya selalu memakai ban tradisional motocross.


Kami selalu menggunakan motor terbaik untuk<br />

medan pertambangan, misalnya 450 4-tak. Namun,<br />

awalnya kami biasa mendatangi setiap tempat barangbarang<br />

rongsok untuk mencari sasis tua atau motor bekas<br />

yang bisa kami permak menjadi "special". Kami<br />

menemukan banyak barang seperti motor yang sudah<br />

benar-benar tua. Satu musim, kami balapan dengan XT<br />

Yamaha, XR Honda, dan bahkan Cagiva Elefant. Kamu<br />

membutuhkan motor 4-tak karena motor 2-tak tidak bisa<br />

menghasilkan tenaga yang mencukupi untuk medan<br />

seperti itu. Aku senang berkendara seperti itu. Aku benarbenar<br />

menikmatinya dan itu juga cara yang baik untuk<br />

latihan. Malahan, itu adalah dasar dari pola latihanku. Aku<br />

mempunyai program yang detail. Aku melakukan lima<br />

belas putaran, berusaha menjaga tempo, dan selalu<br />

berlatih mengontrol motorku saat meluncur dan selip.<br />

Pastinya setelah beberapa waktu, pertambangan<br />

tersebut berubah menjadi taman hiburan, walaupun<br />

menurutku tempat itu lebih mirip gym, sebuah komponen<br />

penting dalam latihanku. Di pertambanganlah aku<br />

mendapatkan kembali sensitivitasku di atas motor dan<br />

kemampuan untuk mengontrolnya ketika meluncur.<br />

Karena saat kamu berada pada posisi miring, kamu tidak<br />

mempunyai daya cengkeram yang sama sehingga kamu<br />

perlu tahu bagaimana mengendalikan motornya.<br />

Saat-saat di pertambangan menjadi sebuah hal yang<br />

penting ketika mengendarai motor 500cc, karena motor<br />

tipe tersebut sering selip. Apalagi dalam MotoGP, itu<br />

bermanfaat sekali terutama dalam dua tahun pertaima,<br />

ketika motor tersebut cenderung lebih sering selip<br />

daripada sekarang. Aku bahkan mempunyai gaya<br />

tersendiri saat berbelok pada sudut tertentu dengan<br />

Honda RCV di pertambangan. Karena kalau dipikir-pikir,<br />

pada dasarnya itu adalah tipe kendaraan yang sama. Di


pertambangan kamu harus mengukur bahan bakar saat<br />

berakselerasi dan membiarkan ban belakang selip baik<br />

ketika memasuki belokan maupun setelah keluar dari<br />

belokan. Satu-satunya perbedaan adalah ketika berada di<br />

trek; semuanya berlangsung lebih cepat, tapi pada<br />

prinsipnya sama saja.<br />

Ada kalanya kami bahkan menggunakan motor<br />

quad. Aku sangat gandrung akan motor itu. Aku pernah<br />

memakai yang bermesin 2-tak Yamaha RD untuk balapan.<br />

Motor itu sangat cepat bahkan boleh dibilang terlalu cepat.<br />

Aku menyingkirkannya setelah jatuh dengan keras.<br />

Seberapa burukkah? Begini ceritanya: aku melaju sangat<br />

cepat sehingga motor quad itu terbelah dua dan aku<br />

masih tak habis pikir bagaimana aku bisa selamat tanpa<br />

cedera. Aku langsung putuskan kalau quad bukanlah<br />

untukku. Dan aku mengalihkan perhatianku khusus ke<br />

sepeda motor.


12<br />

CAPITOLO DODICI<br />

AKU selalu menyukai Suzuka Eight Hour Race. Aku sangat<br />

mengangguminya sejak masih kecil. Aku adalah<br />

Japanophile berat pada saat itu, aku tertarik dengan apa<br />

pun yang ada di sana. Aku suka pembalap Jepang, helm<br />

mereka, pakaiannya dan, tentu saja, motor mereka.<br />

Disamping itu, Suzuka adalah trek tersohor dan<br />

Eight Hours adalah acara balapan terkenal. Aku juga mulai<br />

meminta Aprilia untuk menyertakanku dalam balapan itu,<br />

aku juga ingin balapan, setidaknya sekali dengan<br />

Superbike. Dan mungkin inilah kenapa pada suatu saat<br />

aku benar-benar menginginkannya.<br />

Semuanya bermula ketika aku sedang mengikuti<br />

balapan 250cc dan Aprilia mulai memproduksi RSV Mille;<br />

aku bicara dengan Jan Witteveen, insinyur yang<br />

mempunyai wewenang: "Tolonglah, Jan, ayo buat sebuah<br />

tim untuk pergi ke sana, ke Suzuka," ujarku kepadanya<br />

berulang kali, mencoba meyakinkannya. Dia kelihatannya<br />

tidak peduli. Dan dia tidak berkata sedikit pun.<br />

"Dengar, kalau kamu menyertakan motor kami di<br />

Eight Hours, motor itu bahkan tidak mampu bertahan<br />

delapan menit!" ujarnya dan pernyataan itu langsung<br />

mengakhiri pembicaraan. Hal itu cukup meyakinkanku<br />

kalau kami sebaiknya tinggal di rumah saja.<br />

Jadi aku tidak lagi membawa isu tersebut sampai<br />

beberapa tahun kemudian, ketika aku sedang<br />

membicarakan kontrak dengan Honda soal perpindahan ke<br />

kelas 500cc. Aku tanyai mereka kalau-kalau aku bisa turut<br />

serta dalam Eight Hours. Sepertinya, mereka tidak


menyangka permintaan seperti itu keluar dari mulutku,<br />

tapi mereka setuju. Mata mereka bahkan kelihatan<br />

berbinar. Tak ada pembalap top yang mau balapan di<br />

Eight Hours dan biasanya mereka akan mengeluarkan<br />

banyak alasan untuk menghindar. Itulah mengapa orangorang<br />

di Honda sangat senang aku menjadi relawan dalam<br />

hal ini. Dan mereka pun mendaftarkan diriku untuk tahun<br />

2000 dan 2001.<br />

Aku tidak menyadari betapa balapan Eight Hour tersebut<br />

begitu menantang fisik, sangat brutal dan melelahkan.<br />

Pada saat itu aku hanya merasa gembira.<br />

Aku dan teman-teman berangkat untuk kali pertama<br />

ke Eight Hours "Lawatan ke Jepang" dengan semangat<br />

bertualang dan bersenang-senang. Usiaku 20 tahun saat<br />

itu, dan aku ditemani oleh Uccio, Alby, Gabbia, dan<br />

fisioterapisku, Marco Montanari.<br />

Hari-hari yang gila saat itu. Dimulai dengan tertawa<br />

dan antusiasme perjalanan seperti biasanya. Diakhiri<br />

dengan mabuk-mabukan sampai malam seingatku.<br />

Bukannya aku ingat semuanya malam itu. Aku menyalahkan<br />

orang-orang Jepang. Dan aku sendiri tentunya.<br />

Honda memasangkanku dengan Colin Edward sebagai<br />

rekan satu tim. Tes itu berjalan dengan baik, aku sangat<br />

menyukai motor VTR 1000 setelah beralih dari NSR 500<br />

dan merasa kalau VTR 1000 adalah motor yang berkelas<br />

dan eksklusif, mudah dikendalikan. Aku jadi ingin mencobanya<br />

untuk melakukan semua yang aku mau. Dan<br />

motor itu sering selip, suatu hal yang sangat kusuka.<br />

Sebelum pergi ke Jepang, aku menganggap diriku<br />

“The Master", bukan bermaksud arogan, tapi karena aku<br />

sudah sering bolak-balik ke Jepang sejak tahun 1996, dan<br />

kini aku tahu caranya pergi ke sana dan menjadikan tur<br />

tersebut lebih sempuma. Pertama adalah menjelaskan<br />

mengapa orang Jepang berbeda dengan orang Italia.


Misalnya, aku ingin membuktikan bagaimana baik dan<br />

penuh hormatnya orang-orang Jepang itu. Yang aku<br />

lakukan adalah mengganggu staf di hotel kami dan<br />

menganjurkan teman-temanku untuk melakukan hal<br />

serupa. Aku hanya ingin menunjukkan meski perilaku<br />

kami sedemikian buruk, mereka tetap melayani kami<br />

dengan baik.<br />

"Semua akan baik-baik saja," ujarku kepada temantemanku.<br />

Teman-temanku itu cepat belajar. Mereka mengucapkan<br />

halo ke setiap orang, tersenyum dan berbuat<br />

apa saja yang mereka inginkan selama lima hari. Waktu<br />

itu, kami tinggal berlima dalam satu kamar; kami makan,<br />

tidur, memakai kolam renangnya, dan tidak pernah<br />

membayar sepeser pun. Kami memang tidak punya rasa<br />

malu, kami benar-benar memanfaatkan mereka. Kami<br />

pergi ke bawah untuk sarapan dan berlaku sangat tidak<br />

sopan. Kami memotong antrian, mengambil semua<br />

makanan yang kami suka, duduk seenaknya, dan bersikap<br />

tidak sopan semau kami. Dan tentunya, kami selalu pergi<br />

tanpa membayar dan biasanya setelah membuat<br />

berantakan. Bagi kami, semua itu eksperimen. Kami<br />

bukanlah orang-orang yang kurang ajar, kami hanya ingin<br />

melihat seberapa sabamya mereka; mungkinkah mereka<br />

menendang kami keluar (atau menendang bokong kami).<br />

Lagipula, tidak ada yang terjadi. Mereka pikir kami adalah<br />

tamu dari Honda dan mereka hanya mengamati kami,<br />

tanpa reaksi apa pun. Kami bisa lolos dari mereka!<br />

Eksperimen menarik lainnya adalah saat dalam perjalanan<br />

ke trek balap. Ada banyak pos pemeriksaan,<br />

tempat kamu harus menunjukkan kartu izin masuk. Aku<br />

tidak pemah menunjukkannya karena aku tidak punya.<br />

Dan aku tidak memilikinya karena aku tidak pernah<br />

memintanya. Tapi itulah bagian dari rencananya. Kami


semua bertujuh menyesaki sebuah mobil sewaan. Kami<br />

memainkan pedal gasnya sampai berisik dan menyetir ke<br />

sisi jalan, memotong antrian. Ketika kami tiba di pos itu,<br />

kami berhenti seolah akan menunjukkan kartu kami,<br />

kemudian langsung meluncur dengan gigi satu sambil<br />

berteriak mengejek. Dan tak seorang pun mengejar kami!<br />

Itulah senangnya: mengambil keuntungan dari<br />

orang-orang penuh hormat ini. Saking penuh hormatnya<br />

sampai-sampai membuatku terganggu. Mereka hanya<br />

duduk di sana. Mereka tidak akan bereaksi, mereka tidak<br />

tahu apa yang harus dilakukan, sederhananya mereka<br />

tampak tidak siap menghadapi situasi semacam ini.<br />

Mereka tidak menyangka akan bertemu orang-orang<br />

sinting macam kami. Tentu saja, kami benar-benar<br />

memperalat mereka pada akhirnya.<br />

Pengalaman kami lainnya yang menarik dalam<br />

perjalanan itu adalah mencuri. Kami mencuri dari berbagai<br />

toko di sekitar trek balap. Kami hanya mencuri barangbarang<br />

kecil tentunya: stiker, perkakas, mobil mainan.<br />

Barang-barang murah, tak ada yang mahal. Tapi, itulah<br />

bagian dari eksperimen sosiologi kami. Lihat, di Jepang<br />

tidak ada yang namanya pencurian. Hal seperti itu benarbenar<br />

tidak terjadi. Orang-orang membiarkan pintu depan<br />

rumah mereka terbuka, tidak mengunci mobil mereka.<br />

Dan tidak terpikir oleh mereka kalau seseorang bisa saja<br />

datang dan mencuri semuanya.<br />

Kami sangat ingin mencoba kesabaran mereka,<br />

mengetes seberapa jauh mereka bisa bertahan.<br />

Bagaimanapun, pada akhirnya kami merasa sedikit tidak<br />

bersemangat. Waktu itu kami hendak menuju kasir dan<br />

menaruh semua barang di dalam kantong yang mudah<br />

terlihat, tanpa bermaksud untuk membayar. Lalu mereka<br />

menatap kami, tanpa berkata sepatah pun. Kejadian itu<br />

aneh dan membuat tidak nyaman. Cukup sudah kelakuan


itu, pada akhirnya kami menyerahkan kembali apa yang<br />

kami curi dan kami membayar barang-barang tersebut.<br />

Kami menyadari kalau kami memang amat<br />

keterlaluan. Hal itu terjadi tahun 2001. Aku jadi<br />

bertakhayul dan merasa kalau itu sebuah pertanda. Aku<br />

tidak pernah memenangkan satu kejuaraan pun di Jepang,<br />

tidak di kelas 125cc, tidak di 250cc, tidak juga di 500cc.<br />

Begitupun dengan Eight Hour Race, sama buruknya.<br />

"Ayo kita coba bersikap sopan," kami berkata dalam<br />

hati. "Demi menghormati Jepang, ayo berhenti bersikap<br />

seperti orang Italia!"<br />

Akhimya kami melakukannya. Kami tidak mencuri<br />

apa-apa di tahun 2001. Dan aku pun berhasil<br />

memenangkan dua kejuaraan sekaligus: Grand Prix dan<br />

Eight Hour Race. Kami pun menghentikan eksperimen<br />

kami.<br />

Eight Hour Race sangat menantang. Bukan hanya<br />

balapannya. Bagi seorang pembalap dalam kejuaraan<br />

dunia, menambah acara yang panjang dan melelahkan ke<br />

jadwal yang sibuk cukup memberatkan. Pertama, sebelum<br />

balapan, kamu harus setidaknya menjalani dua kali uji<br />

coba di bulan Juni dan Juli karena balapan itu sendiri<br />

berlangsung di bulan Agustus. Dan itulah alasan lainnya.<br />

Tak ada yang ingin balapan di bulan Agustus, saat liburan<br />

musim panas singkat dalam kejuaraan dunia. Namun,<br />

tetap saja aku tidak sabar untuk melakukannya tahun<br />

2000.<br />

Eight Hour Race lebih kurang seperti memasuki dimensi<br />

paralel dari balapan. Sesuatu yang aneh dan sangat<br />

berbeda dari yang biasa kami orang-orang Eropa lakukan.<br />

Skala persiapannya sungguh akbar dan hanya kalau kamu<br />

berada di dalamnyalah kamu bisa merasakan betapa<br />

bergengsinya balapan ini di Jepang. Ada beberapa tim<br />

internal yang terbagi-bagi sesuai tugasnya: mereka yang


khusus menangani mesin, khusus bahan bakar, khusus<br />

penggantian ban. Ini adalah sebuah acara balap yang<br />

sangat mahal, karena begitu kompleks. Apalagi balapan<br />

ini juga sangat sulit. Ada dua orang pembalap yang<br />

masing-masing menyetir selama empat jam. Kira-kira ada<br />

27 putaran setiap jamnya. Dan Jepang di bulan Agustus<br />

terasa seperti di Malaysia, suhunya tinggi dan lembab.<br />

Honda sangat menganggap serius acara ini hingga<br />

mereka membuat sesi latihan yang terpisah di trek balap<br />

setiap pagi. Aku perlu tegaskan kalau Suzuka tak ubahnya<br />

sebuah kota yang dibuat untuk mesin. Kamu bisa hidup di<br />

sana kalau mau, tanpa harus pergi ke mana-mana.<br />

Semuanya ada di situ: hotel, restoran, toko, bahkan<br />

taman hiburan. Juga taman itu sendiri yang mengitari<br />

trek. Taman itu indah, meski setelah sekian lama, tempat<br />

itu menjadi sangat berbahaya untuk sepeda motor.<br />

Dalam balapan itu sendiri aku terkejut melihat betapa<br />

cepatnya segala sesuatu dikerjakan. Tidak lama setelah<br />

kamu sampai di pit, kamu menitipkan motormu ke<br />

seseorang dalam timmu, dan kamu akan dibantu<br />

sekelompok orang menanggalkan pakaianmu sampai<br />

telanjang. mereka kemudian membawamu ke belakang ke<br />

kolam yang penuh bongkahan es besar. Kali pertama<br />

melihat balok-balok es itu, kamu bisa jadi merasa kalau<br />

orang-orang Jepang itu akan membunuh atau menyiksamu.<br />

Di sisi lain, kamu menyadari kalau kontak tubuh<br />

dengan balok es yang dingin itulah yang akan membuat<br />

ototmu pulih dengan cepat. Anehnya kamu kan terbiasa<br />

dengan itu karena setelah setengah jalan berkendara di<br />

atas motor, kamu akan mulai membayangkan balok es<br />

itu, membayangkan betapa es tersebut bagaikan ilusi di<br />

tengah gurun.<br />

Saat kamu sedang relaks dengan balok es itu, kru<br />

lainnya mengeringkan pakaianmu. Kamu lalu dibawa ke


uang medis kecil untuk diberi infus yang akan<br />

menggantikan cairan tubuh yang hilang. Sesaat kamu<br />

membayangkan kalau akan mendapatkan istirahat layak<br />

selama 60 menit. Salah besar. Karena mereka kemudian<br />

membawamu dari satu tempat ke tempat lainnya dan<br />

semuanya berlangsung sesuai jadwal yang sangat ketat.<br />

Dan dalam situasi itu, satu jam terasa begitu cepat.<br />

Sewaktu kamu ada dalam trek, satu jam terasa sangat<br />

lambat, namun ketika kamu dalam pit, waktu itu<br />

terasa cepat. Inilah balapan akbar, panjang dan<br />

mengerikan. Kamu harus kuat baik fisik maupun mental.<br />

Apalagi kalau seperti aku: kamu harus balapan saat<br />

teman-temanmu bersantai di tepi pantai!<br />

Tim yang prestisius selalu mendapat angka sebelas,<br />

karena artinya satu tambah satu. Yang terbaik ditambah<br />

yang terbaik. Itulah mengapa Colin dan aku mempunyai<br />

angka 11. Aku nomor satu di 500cc, dia nomor satu di<br />

Superbike. Anehnya, tidak ada nomor 22, mereka punya<br />

nomor empat, dua tambah dua. Aku tak pernah mengerti<br />

mengapa bisa begitu.<br />

Ada tiga tim dalam HRC. Mereka adalah aku dan Colin,<br />

Tohru Ukawa dan Daijiro Kato, dan Satoshi Okada dan<br />

Hideki Itoh. Ketiganya tim yang hebat. Sewaktu aku<br />

sedang berkompetisi, sepuluh motor terbaik dinaiki oleh<br />

pembalap-pembalap terbaik. Masalahnya, setelah kamu<br />

menjadi pembalap "hebat" di atas motor "hebat" mereka,<br />

standarnya langsung merosot. Itu jadi masalah karena<br />

balapan tersebut menjadi sangat berbahaya. Aku,<br />

misalnya, yang akan berkendara di sepanjang jalur, bisa<br />

jadi tiba-tiba berpapasan dengan motor-motor yang<br />

tampak berjalan lambat ke arahku.<br />

Beberapa pembalap itu bukanlah amatiran, jadi<br />

kamu takkan pernah tahu apa yang akan mereka lakukan,<br />

lintasan mana yang akan mereka ambil begitu kamu


melewati mereka. ini betul-betul menggangguku, bahkan<br />

saat uji coba. Keselamatan benar-benar jadi masalah di<br />

sana. Suzuka tidak memiliki jalur paralel untuk ambulan,<br />

dan ini betul-betul mengkhawatirkan. Lagipula, karena uji<br />

coba di Suzuka begitu mahal (satu jam di sana biayanya<br />

sama dengan seharian penuh di Eropa), kamu cenderung<br />

untuk terus jalan, tak berhenti meski ada seseorang yang<br />

jatuh. Dan pembalap-pembalap Jepang kerap jatuh dari<br />

sepeda motor mereka; artinya, jalanan dipenuhi oleh<br />

pembalap-pembalap Jepang yang berjatuhan. Mereka<br />

bahkan tidak menyingkirkan sepeda motor mereka dari<br />

jalanan.<br />

Aku menyampaikan masalah ini ke timku, tapi<br />

mereka mengatakan padaku untuk tidak khawatir itu hal<br />

yang lazim di Suzuka. Colin terpilih untuk mengendarai<br />

kali pertama, jadi memberiku beberapa arahan.<br />

"Hati-hati, karena pembalap sering kali jatuh di awal<br />

jam kedua, yaitu giliranmu," jelas mereka.<br />

"Oke, aku akan melambat," ujarku sembari membayangkan<br />

sebuah trek penuh dengan motor dan tubuh<br />

yang bergelimpangan.<br />

"Juga, apa pun yang terjadi, jangan tinggalkan<br />

motormu," ujar mereka. "Bahkan kalau kamu terjatuh dan<br />

motornya rusak, cobalah untuk membawanya kembali ke<br />

pit."<br />

Ada alasan tertentu untuk itu. Karena ini adalah<br />

sebuah balapan yang panjang, selalu ada kemungkinan,<br />

betapapun kecilnya, untuk menyamakan kedudukan. Pada<br />

tahun yang sama, aku menyaksikan Isutzu terjatuh,<br />

motornya rusak, dan dia mendorongnya bagai pahlawan<br />

kembali ke pit, sehingga penonton menyambutnya sambil<br />

berdiri dan mengelukannya.<br />

Setelah jam pertama, Colin kembali dan mengoper


VTL-nya kepadaku. Kami berada di urutan ketiga. Aku<br />

langsung merasa kalau semuanya bergerak terlalu lambat.<br />

Dan itu benar. Dalam lima putaran, aku kembali ke urutan<br />

pertama. Dan kemudian terjadilah peristiwa tersebut. Aku<br />

terjatuh, mematahkan sebagian kemudinya. Aku<br />

membawa motor itu kembali ke pit dan tim langsung<br />

mengubah taktik mereka. Sambil mengisi bahan bakar,<br />

mereka berkata: "Oke, kamu akan kembali ke sana dan<br />

melakukan 27 putaran berikutnya karena kita sudah kalah<br />

empat atau lima putaran dan kamu harus menyusulnya<br />

kembali."<br />

Aku tidak begitu senang mendengarnya, tapi aku<br />

tetap kembali ke trek. Saat itu kami berada di urutan<br />

kedelapan dan aku merasa sangat lelah. Rasanya aku mau<br />

mereka membawaku ke pinggir dan mundur dari<br />

sana, tapi mereka tak akan mengizinkan. Sebaliknya, aku<br />

dikirim kembali ke dalam untuk mendapatkan infus IV-ku,<br />

sesuatu yang juga tidak kuinginkan. Tapi, tak ada yang<br />

bisa kulakukan, selagi jarum itu akan menembus<br />

tanganku, aku melihat keributan besar di layar monitor.<br />

Rekan setimku, Colin, terjatuh cukup keras, separo bagian<br />

kiri VTL telah hilang.<br />

"Yess!!!" ujarku tanpa menyembunyikan kegiranganku.<br />

Jatuhnya Colin dan rusaknya motor pasti akan<br />

membuat kami mundur dari balapan. Artinya, aku bisa<br />

menghindari infus IV-ku dan pergi pulang. Tentu saja, tim<br />

Honda tetap ingin kami melanjutkan balapan itu. Aku<br />

berdalih dan memohon dengan sangat hingga akhirnya<br />

membuat mereka setuju kalau kami sebaiknya menyerah<br />

dan mundur saja. Akhirnya kami mundur. Menjelang<br />

tengah malam, kami kembali berada di hotel dan<br />

berpapasan dengan Itoh.<br />

"Kamu belum akan pergi tidur, 'kan?" tanyanya. Dia<br />

meyakinkan kami untuk bergabung dengannya di sebuah


pesta untuk memberi selamat kepada Ukawa dan Kato<br />

yang telah memenangkan balapan. Kami ragu. Kami<br />

merasa kalau orang-orang Jepang tidak tahu cara<br />

berpesta, tapi kami menyambut ajakannya. Ketika kami<br />

tiba di sana, pemandangannya sungguh luar biasa.<br />

Mereka semua sedang mabuk dan sedang mengadakan<br />

kontes minum bir. Dua orang sedang berancang-ancang di<br />

depan gelas-gelas penuh bir dan, siapa pun yang selesai<br />

paling awal, dialah pemenangnya. Yang kalah harus<br />

tinggal dan menantang yang lain. Ini agak membuatku<br />

khawatir karena aku melihat ada ember-ember di sekitar<br />

meja. Aku tahu untuk apa barang-barang itu.<br />

Criville dan Gibernau juga ada di sana. Criville di<br />

sana untuk mengikuti balapan ketahanan sekuter. Aku<br />

tahu kedengarannya ganjil, tapi dia meminta motor NSR<br />

500 yang pernah menghantarkannya menjadi juara dunia<br />

tahun 1999 dan orang-orang Jepang itu berkata, "Oke,<br />

tapi hanya kalau kamu datang ke Suzuka dan terjun ke<br />

balapan ketahanan sekuter 50cc kami." Dan pria malang<br />

itu menerima syaratnya agar dia bisa mendapatkan motor<br />

yang diinginkannya. Setiap pagi, saat kami melihatnya di<br />

atas sekuter konyol itu, kami mengejeknya habis-habisan!<br />

Dan untuk Gibernau, dia menjadi pembalap cadangan.<br />

Honda tetap memakainya untuk berjaga-jaga kalau ada<br />

pembalap resmi yang cedera.<br />

Namun demikian, aku konyolnya menerima<br />

tantangan kontes minum bir itu dan aku menjadi sangat<br />

mabuk—hal yang belum pernah kualami sebelumnya.<br />

Begitupun yang lainnya, terutama orang-orang Jepang itu.<br />

Kami pingsan berkali-kali dan terjaga sesekali hanya<br />

untuk melakukan hal-hal bodoh. Seperti ketika aku<br />

berlarian sambil merangkul Ukawa, mencari kamar kecil.<br />

Atau ketika salah seorang wanita terjatuh di pintu masuk<br />

restoran dan tetap ada di sana. Dia benar-benar tidak bisa


angun lagi. Dan tentu saja, ada Kato, yang muntah di<br />

setiap meja, kemudian tertidur di muntahannya sendiri.<br />

Noboru Ueda, Norick Abe, dan Makoto Tamada juga<br />

ada di sana meski mereka tidak ikut balapan, tapi yang<br />

paling parah adalah Okada dan Itoh. Orang-orang Jepang<br />

itu jelas-jelas berlebihan, tapi kami juga. Saat tiba<br />

waktunya untuk pulang, kami tidak bisa menemukan sopir<br />

kami. Alby pergi mencarinya dan menemukannya di dalam<br />

kloset, sedang muntah di ember. Dia telanjang kaki dan<br />

kami tidak pernah tahu kenapa (kami juga tidak<br />

bertanya...). Bagaimanapun, pria tersebut tidak dalam<br />

kondisi untuk menyetir, jadi kami mencari siapa saja yang<br />

terlihat sadar. Akhirnya, ada Ueda yang membawa kami<br />

kembali ke hotel. Aku langsung tertidur setibanya di<br />

kamarku. Alby sangat khawatir, dan baru kutahu<br />

kemudian, dia yakin sekali kalau aku sudah mati! Alby<br />

mencoba mendengarkan denyut nadiku, tapi dia tidak<br />

mendengar apa-apa rupanya. Mungkin dia hanya bosan.<br />

Kesimpulan-nya, dia juga tertidur.<br />

Kami tidak sadar kalau hari sudah pagi dan kami harus<br />

pergi ke bandara. Uccio dan Alby membantuku<br />

berpakaian dan membawaku naik bis ke bandara.<br />

Kondisiku sangat payah. Sesaat sebelum menaiki bis,<br />

mereka pergi sebentar dan menyenderkanku ke badan<br />

bis. Ketika mereka kembali, mereka tidak menemukanku.<br />

Aku tertidur di ranjang bunga, yang tidak terlihat oleh<br />

mereka. Mereka sempat panik beberapa menit mencariku.<br />

Aku tahu itu dari cerita mereka tentunya karena seperti<br />

yang kamu kira, aku tidak ingat sedikitpun kejadiannya.<br />

meskipun demikian, itu adalah pesta yang hebat. Orangorang<br />

Jepang itu memang mengejutkan kami.<br />

Tahun berikutnya, aku bisa merasa senang tak harus<br />

mengikuti Eight Hour Race. Tapi sayangnya, aku masih<br />

dalam kontrak jadi tak ada yang bisa kulakukan untuk


menghindar. Itu juga berlangsung pada waktu yang salah<br />

dalam musim itu, hanya beberapa saat setelah aku hanya<br />

menempati urutan ketujuh di Grand Prix Jerman.<br />

Bukannya liburan enak yang kudapat, melainkan<br />

keharusan untuk kembali ke Jepang. Sebenarnya, aku<br />

tidak ingin naik pesawat. Tapi, aku tidak tahu kalau<br />

perjalanan ini mungkin akan menyenangkan, dan bagus<br />

untuk perkembangan karierku.<br />

VTR kami berwarna merah dan putih dan rekan se<br />

timku sekali lagi adalah Colin. Mulanya mereka berpikiran<br />

untuk memasangkanku dengan Kato, tapi dia orangnya<br />

Dunlop dan aku orangnya Michelin, jadi dia bersama<br />

Ukawa. Ada tiga tim resmi Honda: aku dan Colin dengan<br />

nomor 11, Barros dan Okada dengan nomor 4, dan Kato<br />

dan Ukawa dengan nomor 33. Tahun itu adalah tahun<br />

yang bagus. Meskipun aku tiba dengan suasana hati yang<br />

tidak enak, aku merasa bisa mengatasinya. Aku selalu<br />

berada di posisi kedua dan sedikit lebih cepat dari Colin,<br />

meski sebenarnya VTR itu adalah motor yang sama<br />

seperti yang dikendarainya di Superbike. Colin biasanya<br />

akan memandang ke layar monitor dan melihat waktuku<br />

sambil berkata "Dasar mafia Italia setan." Kurasa dia<br />

senang mempunyai rekan tim yang cepat, meski mungkin<br />

performaku menyakiti harga dirinya sedikit!<br />

Waktuku saat uji coba adalah 2' 07" 5 dan itu adalah<br />

waktu yang hebat saat itu. Menarik perhatian semua<br />

orang. Aku cukup percaya diri untuk mengikuti<br />

pemanasan pada Sabtu pagi. Ketika aku berada di dalam<br />

trek, aku sedang bersaing dengan Hitoyasu Isutzu yang di<br />

atas Kawasaki, dan Yukio Kagayama yang di atas Suzuki.<br />

Aku melewati keduanya di turunan lurus, tapi aku sadar<br />

kalau tuas remku terlalu dekat. Aku mencoba<br />

menyetelnya, tapi sesaat aku lupa kalau tuas tersebut<br />

hanya berfungsi satu arah, beda halnya dengan VTR yang


fungsinya berlawanan. Jadi, bukannya memperbaiki<br />

situasi, aku malah memperburuk keadaan. Daya remku<br />

payah, dan akhirnya aku tidak berbelok, malah menabrak<br />

tembok pelindung, sehingga terhempas ke udara seperti<br />

boneka.<br />

Aku masih berada di udara ketika mendengar dua<br />

suara ribut, satu meningkahi yang lainnya: "Braak!<br />

Braaaak!" Itu adalah Isutzu dan Kagayama. Mereka<br />

bernasib sama sepertiku, menabrak tembok pelindung itu<br />

juga. Kami masih berada di sana, di hamparan batu<br />

kerikil, ketika pembalap lainnya terbang ke udara dan<br />

bergabung dengan kami. Sebuah truk kecil membawa<br />

kami kembali ke pit. Dalam perjalanan, Isutzu<br />

memberitahuku kenapa dia tabrakan.<br />

"Aku memerhatikanmu dan melihat kalau kamu<br />

tidak mengerem," ujarnya. "Jadi sebelum kamu<br />

mengerem, aku tidak akan mengerem."<br />

"Selamat!" ujarku sambil tersenyum dan berpikir,<br />

"Lihat dua orang sinting ini."<br />

Leherku sakit, tapi masih bisa balapan. Aku tidak<br />

terlalu memaksakan diri dalam babak kualifikasi dan tiba<br />

di garis finish di urutan kedua. Itu cukup bagus. Tapi aku<br />

sempat bertanya kalau boleh turun lebih awal. Sebagian<br />

alasannya karena aku ingin mengalaminya, dan alasan<br />

lainnya karena aku tidak mau balapan di jam terakhir<br />

yang berlangsung malam hari. Eight Hour Race berakhir<br />

pukul 7 malam dan di Jepang, pukul 6 malam saja hari<br />

sudah gelap. Aku tidak ingin balapan di waktu malam,<br />

karena terlalu berbahaya. Jeremy pun setuju: "Malam hari<br />

kamu tidak pakai motormu untuk balapan, kamu pakai<br />

motormu untuk menjemput pacarmu." Saran yang bagus.<br />

Permulaan balapan berlangsung tidak seperti biasanya.<br />

Kamu berdiri di depan motormu di dalam lingkaran<br />

kecil, seorang pelayan memegangi motormu. Mesinnya


mati. Kamu tidak mendengar apa pun, tidak sedikit pun,<br />

hingga para penonton mulai menghitung mundur, dari<br />

lima belas. Ketika sudah hitungan nol, kami lari ke motor,<br />

menghidupkan mesinnya, dan mulai melaju.<br />

Aku bersaing dengan Okada, Kato, Akira Ryo, dan<br />

Isutzu. Colin harus menghadapi Barros, yang merupakan<br />

lawan tangguh kami karena kondisinya sedang bagus saat<br />

itu, juga seperti kami, dia mengendarai Honda. Aku<br />

memulainya dengan baik dan mengoper motornya ke<br />

Colin sepuluh detik lebih awal. Tetapi, Colin harus<br />

bersaing ketat dengan Barros dan rupanya dia tidak<br />

mampu menjaga posisi atas yang telah kubuat. Pada jam<br />

keempat, kami kalah 30 detik. Tapi, performa Colin<br />

sebagian akibat kondisinya yang sedang tidak fit karena<br />

dia sama sekali tidak tahan dengan suhu yang lembab.<br />

Jeremy pun memerhatikan hal tersebut dan dia<br />

berkomentar: "Sepertinya Tornado Texas bukan apa-apa<br />

hari ini."<br />

Kurasa itu tidak begitu lucu. Aku benar-benar tidak<br />

ingin kalah. Aku khawatir kalau kami kalah, Tim HRC akan<br />

mencoba membuat kami kembali tahun depan dan<br />

melakukannya terus-menerus. Itulah kenapa ketika Colin<br />

mengoper motornya ke aku lagi, aku berkata dalam hati:<br />

"Oke, sekarang aku akan benar-benar cepat, aku akan<br />

mengambil risiko dan kesempatan. Karena itulah satusatunya<br />

jalan untuk menang dan terhindar dari kewajiban<br />

datang ke sini lagi."<br />

Aku memang mengambil banyak risiko, tapi semua<br />

itu ada imbalannya. Setelah jamku berakhir, kami kembali<br />

memimpin lima belas detik lebih cepat dari Okada. Ketika<br />

aku mengoper motor ke Colin, aku merangkulnya dan<br />

berkata: "Kamu sebaiknya memenang-kan balapan ini,<br />

karena aku tidak mau, kembali!” Itulah satu-satunya hal<br />

yang kupikirkan. Tiba-tiba timbul sederet keberuntungan,


setidaknya dari perspektifku. Okada masuk ke dalam pit,<br />

Barros menggantikannya dan para kru mulai mengganti<br />

ban-bannya. Itu berarti motornya harus berada pada gigi<br />

netral. Barros membuat suatu kesalahan dan memindah<br />

kan giginya beberapa saat terlalu cepat. Itu<br />

memperlambat semuanya, dan mereka kehilangan empat<br />

puluh detik yang berharga.<br />

Aku pun merasa sedikit relaks. Tapi tidak lama.<br />

Seorang mekanik mendekatiku dengan wajah khawatir.<br />

"Tolong motornya jangan terlalu dipaksakan pada<br />

jam-jam akhir," ujarnya. "Dilihat dari caramu menyetir,<br />

kita beruntung motornya belum rusak!"<br />

Pernyataan itu sangat membuatku khawatir.<br />

Memang benar kalau sang mekanik memberitahu kami<br />

untuk santai saja, tidak terlalu memaksakan<br />

persenelingnya, mengendarai motor sampai ambang<br />

batasnya. Di lain pihak, aku juga terobsesi untuk menang<br />

dan itulah mengapa aku memaksakannya.<br />

"Sialan, kalau motornya rusak sekarang, kami harus<br />

kembali lagi tahun depan," pikirku. "Itu buruk sekali."<br />

Tapi VTR-nya tetap bertahan. Dalam kondisinya<br />

yang lemah, Colin masih ketinggalan tiga detik per lepnya,<br />

tapi dia bisa mengendalikan situasinya. Dan kami<br />

berdua sangat gembira. Kami saling berpelukan,<br />

berteriak; "Kami takkan kembali! Kami takkan kembali!<br />

Kami takkan kembali!" Kami sangat senang ini jadi<br />

balapan kami yang terakhir.<br />

Kali ini, kami tidak berpesta sama sekali. Aku benarbenar<br />

lelah. Aku tinggal saja di hotel. Aku sungguh capek<br />

sampai-sampai bergeming saja setelah empat jam itu.<br />

Butuh beberapa bulan untuk memulihkan kondisiku dan<br />

tanganku terasa sakit hingga akhir tahun. Eight Hour Race<br />

sebenarnya adalah empat balapan yang digabung menjadi


satu, itulah kenapa jadi sangat brutal. Dan itulah mengapa<br />

balapan tersebut lebih mudah bagi para pengendara<br />

Superbike, karena motor mereka lebih halus, lebih<br />

lembut, "sofa" seperti kata Colin. Tidak mungkin sebuah<br />

motor MotoGP bisa bertahan sedemikian lama.<br />

Aku sangat cepat di Eight Hour Race tahun 2001.<br />

Dan sukses itu tetap bersamaku. Dalam perjalanan itu,<br />

aku sangat menyadari betapa dalam diriku ada kekuatan<br />

besar. Segalanya tidak berjalan mulus di seri 500cc, dan<br />

aku sempat sedikit kehilangan semangat, tapi sebaliknya,<br />

segalanya berjalan fantastis bagiku di Suzuka. Aku tidak<br />

tahu apa, tapi setelah pengalaman tersebut, aku benarbenar<br />

menjadi lebih baik di kelas 500cc. Dan aku pun<br />

berhasil memenangi gelar juara duniaku yang pertama<br />

sekaligus gelar juara yang terakhir yang diperebutkan di<br />

kelas 500cc. Itu juga mahkota dunia pertama yang<br />

kumenangkan bersama Honda. Aku juga berhasil merebut<br />

dua gelar lagi, tahun 2002 dan 2003, keduanya dengan<br />

motor RCV 4-tak.


13<br />

CAPITOLO TREDICI<br />

AKU telah melewati pengalaman yang sama, dalam hal<br />

profesiku, hingga ke Balapan Delapan Jam, meski dalam<br />

konteks berbeda. Tahun 1998, aku merintis debutku di<br />

kelas 250cc setelah memenangi gelar di kelas 125cc<br />

musim sebelumnya. Banyak kejadian penting saat itu,<br />

perjalanan karier di persimpangan jalan. Banyak hal yang<br />

kupelajari dan aku juga sedikit mendapat masalah. Kupikir<br />

itulah musim saat aku benar-benar menjadi dewasa<br />

menuju tahap berikut dalam bisnis balapan.<br />

Aku mendominasi kelas 125cc. Sepanjang musim<br />

itu, aku menang rutin dan bisa membuat lelucon yang<br />

banyak disukai orang. Dan hasilnya, polularitasku melejit<br />

sebagai pembalap motor 125cc. Begitu aku masuk kelas<br />

250cc, banyak orang dan kalangan pers sepertinya mulai<br />

melupakan prestasiku di kelas 125cc. Mereka tampaknya<br />

tak terlalu peduli kalau aku telah memenangi sebelas<br />

balapan dan menyabet gelar juara dengan selisih 100 poin<br />

dari juara kedua, angka yang menakjubkan.<br />

"Sekarang, ia harus menjadi pembalap hebat di<br />

250cc, akan semakin berat, ia akan belajar banyak hal.<br />

Dan ia mesti berhenti membuat lelucon." Itu jelas<br />

pernyataan yang bodoh. Mereka juga mengatakan hal<br />

lain, misalnya, "la akan jadi orang dewasa sekarang."<br />

Namun, hanya sedikit yang melihat kalau aku sedang<br />

merintis debutku. Atau sehubungan dengan hal tersebut,<br />

karena Aprilia jauh lebih kuat dari motor milik pembalap<br />

mana pun musim itu, kejuaraan dunia balapan itu benarbenar<br />

perebutan tempat tiga pembalap Aprilia: Capi<strong>rossi</strong>,<br />

Harada, dan aku sendiri. Karena itu, berakhir di tempat


ketiga tahun 1998 sama saja menempati urutan terakhir.<br />

Dan aku sering berada di urutan ketiga, yang artinya aku<br />

mengecewakan banyak orang. Apalagi adanya Harada dan<br />

Capi<strong>rossi</strong>. Aku melawan dua pembalap yang lebih senior,<br />

lebih berpengalaman, yang motornya sama baiknya<br />

dengan milikku. Tak ada yang memerhatikan hal itu. Yang<br />

mereka lakukan hanyalah menyoroti kekuranganku.<br />

Selain kompetisi dengan Harada dan Capi<strong>rossi</strong>,<br />

masalah utama yang kuhadapi adalah kesulitan dalam<br />

mengendalikan dan mengembangkan mesin 250cc. Aku<br />

benar-benar tak bisa mengendalikannya dalam situasi<br />

kritis: saat motor itu selip, misalnya, atau kalau<br />

setangnya macet. Beda dengan mengendarai mesin<br />

125cc, kali ini aku tak punya kemampuan apa pun untuk<br />

bereaksi dan memperbaiki kesalahanku. Apalagi, motor<br />

250cc bergerak lebih liar dibanding 125cc, dan butuh<br />

waktu untuk bisa menyesuaikannya. Masalah sebenarnya<br />

adalah aku tak pernah puas dengan hasil yang kuraih. Aku<br />

tak mau menyerah. Aku ingin selalu cepat, meskipun lebih<br />

baik memainkan poin dan memakai taktik jitu. Akibatnya,<br />

aku jadi sering jatuh.<br />

Begitu tiba di Prancis, di Le Castellet, aku sudah<br />

tegang duluan karena Harada sepertinya selalu mau<br />

mengalahkanku di finish. Kadang-kadang, ia ngotot dari<br />

awal, berharap aku membuat kesalahan. Di lain waktu, ia<br />

melaju pelan, membiarkan aku mendahuluinya dan hanya<br />

mengekorku, mengawasi gerakan dan manuverku. Lalu,<br />

dia akan menyalipku di lap terakhir. Terkadang, itulah<br />

penyebab aku jatuh. Aku berusaha tetap di depannya. Aku<br />

tak mau, dia mendahuluiku di lap terakhir. Dan kemudian<br />

aku berbuat kesalahan. Cara dia memperdayaiku itu<br />

membuatku merasa tak tenang.<br />

Sebenarnya, taktiknya tak istimewa karena<br />

pembalap lainnya juga melakukan itu. Aku sendiri bahkan


sudah sering melakukannya, baik di kelas 250cc maupun<br />

500cc, apalagi di MotoGP. Namun, musim tahun 1998 itu<br />

aku memutuskan untuk melakukannya dengan cara<br />

berbeda: aku akan diam menunggu kesempatan. Dan<br />

Grand Prix itu menjadi mirip balapan sepeda biasa, kami<br />

berdua sama-sama menunggu satu sama lain untuk<br />

"mencuri" kesempatan ke garis finish. Sebagaimana yang<br />

pernah dilakukan sebelumnya, Harada mencoba segera<br />

masuk, namun ia sadar tak mampu melakukannya. Aku<br />

dekat, sangat dekat. Sehingga ia membiarkanku<br />

mendahuluinya. Lalu beberapa lap berikutnya, aku gantian<br />

membiarkan dia mendahuluiku. Namun, ia tak mau<br />

mengambil kesempatan itu, beberapa saat kemudian ia<br />

pura-pura membuat kesalahan pada tikungan, melebar<br />

sehingga aku melewatinya.<br />

Kamu mudah saja menilai bahwa kalau ada yang<br />

melakukan tindakan itu berarti mereka membuat<br />

kesalahan, atau memang sengaja melakukannya. Tapi,<br />

Harada tak membuat kesalahan seperti itu; ia sengaja<br />

membiarkanku mendahuluinya. Dengan demikian, aku di<br />

depannya karena memang tak bisa dihindari lagi, namun<br />

aku kemudian bergerak perlahan, sepelan mungkin. Dan<br />

ia juga melakukan hal yang sama hingga kami nyaris<br />

berada pada posisi yang sama.<br />

Capi<strong>rossi</strong>, yang jauh lebih pelan dari kami berdua<br />

lima detik di belakang, tiba-tiba menyusul kami dan<br />

melesat mendahului kami berdua. Dia bingung melihat<br />

kami berdua, namun aku yakin ia tahu kalau kami tak<br />

mungkin berbuat kesalahan terlalu sering. Dia tak lamalama<br />

di depan, karena aku dan Harada kembali memimpin<br />

di depannya, dan kami sama-sama selesai di finish,<br />

Harada yang menang. Banyak yang histeris dan beberapa<br />

wartawan menjadi liar. Mereka bilang aku tak punya rasa<br />

hormat terhadap yang lainnya, terutama Capi<strong>rossi</strong>.


Aku tak bisa mengerti kenapa reaksi mereka seperti<br />

itu. Aku hanya ingin menang, dengan cara cepat dan<br />

singkat, dan kalau kamu ingin menang, kamu akan<br />

melakukan cara apa saja (kecuali curang tentunya). Inilah<br />

balapanku. Capi<strong>rossi</strong> benar-benar tak memiliki kecepatan<br />

yang tepat hari itu dan itu tak ada hubungannya<br />

denganku atau balapan yang kuikuti, yang merupakan<br />

duel taktis dengan Harada. Aku tak ingin menyepelekan<br />

Capi<strong>rossi</strong>. Bisa jadi dia akan memanfaatkan kesalahan<br />

kami dan tetap memimpin di depan kami. Aneh memang.<br />

Harada kalah tahun itu dan Capi<strong>rossi</strong> yang menang<br />

terutama akibat taktik bodoh itu. Karena ia terlalu banyak<br />

menghabiskan waktu berusaha menetralkan diriku, ia<br />

sering kali membuat kesalahan, karena itulah Capi<strong>rossi</strong><br />

yang memanfaatkannya.<br />

Sudah kuperhatikan hal itu sepanjang uji coba pada<br />

musim dingin. Harada berpikir akulah musuhnya dan ia<br />

segera melancarkan aksi-aksinya mengintimidasiku. Di<br />

Jerez pada balapan yang ketiga, Capi<strong>rossi</strong> mengalahkanku<br />

setelah terjadi duel yang cukup lama dan sengit. Mesin<br />

motor Harada mogok, sehingga ia keluar trek, namun saat<br />

masih dalam trek, ia telah melakukan segala cara untuk<br />

memperlambatku. Dan setelah balapan, kulihat dia di<br />

Argentina. Aku menyelesaikan musim itu di tempat kedua,<br />

setelah Capi<strong>rossi</strong>. Balapan di Argentina itu akan selalu<br />

diingat sebagai pertarungan antara Capi<strong>rossi</strong> dan Harada.<br />

Aku tak terlibat di dalamnya, namun sekali lagi aku sudah<br />

diberi perintah tegas oleh pihak Aprilia untuk tak ikut<br />

campur.<br />

"Jangan khawatir," ujarku. "Aku akan menang dan<br />

meninggalkan dua orang itu, mereka mengatasi urusan<br />

mereka sendiri."<br />

Itu bukan lelucon. Aku ingin mengungkapkan rasa<br />

percaya diriku. Meski kurang prima pada start-nya, aku


masih berada di belakang Capi<strong>rossi</strong> dan Harada. Keduanya<br />

cepat hari itu dan aku mulai sedikit cemas, aku sudah<br />

berjanji tak turut campur dalam duel pribadi mereka,<br />

namun hal itu tak terhindarkan kalau ingin meraih poin.<br />

Aku menunggu: Capi<strong>rossi</strong> pertama, Harada kedua.<br />

Dua atau tiga lap paling akhir, aku menjadi bosan dan<br />

memutuskan menghadapi Harada, dan berhasil<br />

mengatasinya dari sisi dalam. Sekarang tinggal aku dan<br />

Capi<strong>rossi</strong>, aku jadi ingat pesan pihak Aprilia. Lalu<br />

kukatakan dalam hati,"Oke, mereka tak mau aku ikut<br />

campur. Kalau begitu aku akan berusaha mendahului<br />

Capi<strong>rossi</strong>. Jika berhasil, aku akan lepas dan menang. Jika<br />

tidak, dan tersisa setengah lap lagi, selesai sudah, aku<br />

minggir dan membiarkan mereka berdua melanjutkan<br />

urusan mereka."<br />

Pada putaran kedua sebelum lap terakhir, Capi<strong>rossi</strong><br />

membuat kesalahan, hampir sama di tempat Harada<br />

membuat kesalahan serius. Aku bisa memanfaatkan<br />

peluang itu. Aku melewatinya dan memenangi balapan.<br />

Aku cukup bangga pada diriku sendiri, aku sudah melalui<br />

balapan yang hebat dan berhasil menang tanpa mesti<br />

terlibat masalah pribadi Harada melawan Capi<strong>rossi</strong>.<br />

Sebagaimana yang diperintahkan Aprilia. ..Aku hanya bisa<br />

melihat apa yang terjadi kemudian antara Capi<strong>rossi</strong> dan<br />

Harada di televisi. Semua orang tegang pada akhirnya.<br />

Sepanjang tahun semangat menyala-nyala, namun saat<br />

itu hancur berkeping. Tak semestinya begitu, karena kami<br />

menikmati musim yang menyenangkan, belum lagi kami<br />

bisa selesai di urutan pertama, kedua, dan ketiga.<br />

Semuanya belum menjadi baik. Capi<strong>rossi</strong> dan Harada<br />

sudah bersama-sama sepanjang musim balapan.<br />

Sementara hubunganku dan Harada tak begitu istimewa,<br />

Capi<strong>rossi</strong> dan aku cenderung bisa akrab.<br />

Pit Aprilia dibagi ke dalam tiga bagian, kami bertiga


ada di sana, namun terpisah dari tim kami masingmasing,<br />

timku sendiri, Capi<strong>rossi</strong> sendiri, dan Harada juga<br />

dengan timnya sendiri. Ada panel-panel besar yang<br />

memisahkan tim-tim yang ada, dan di tiap panel ada<br />

gambaran karakter tiap pembalapnya. Begitu aku masuk,<br />

aku merasa sesuatu akan terjadi dan aku tahu itu, tapi<br />

aku tetap tenang. Kamu bisa membacanya dari wajah<br />

orang-orang di sana. Seolah-olah akan ada sebuah<br />

perkelahian.<br />

Lalu Harada masuk. Dia langsung masuk lewat panel<br />

pembatas dengan gambar Capi<strong>rossi</strong>, ia meninjunya,<br />

menendangnya. Ya begitu kejadiannya. Harada MENINJU<br />

PANEL BERGAMBAR MUKA CAPIROSSI.<br />

Aku tak bisa menahan diri. Kupikir itu hebat dan<br />

membuatku tertawa cekikikan. Kemudian begitu isteri<br />

Harada muncul, ia mulai mengata-ngatai Capi<strong>rossi</strong>,<br />

dengan berbagai macam makian, sementara Tetsuya<br />

duduk dan menonton saja! Saat itu aku tak lagi bisa<br />

menahan diri. Karena kejadian itu lucu sekali. Aku<br />

berusaha menenangkan diri dengan mencopot kostumku.<br />

Seseorang melangkah masuk antara Capi<strong>rossi</strong> dan<br />

isteri Harada, beberapa saat situasi kembali tenang.<br />

Namun, itu tak berlangsung lama. Kali ini para mekanik<br />

yang berulah. Kami mendengar semuanya: kotak<br />

perkakas yang ditendang, kunci pas yang dilempar,<br />

teriakan dan makian.<br />

Mlau tak mau kami mendengar keributan itu karena<br />

kami berada di tengah antara keduanya, orang-orang<br />

Capi<strong>rossi</strong> di satu sisi dan pendukung Harada di sisi<br />

lainnya.<br />

"Bangsat kamu! Kalian dan Capi<strong>rossi</strong> Bajingan!"<br />

demikian teriakan dari kubu Harada.<br />

"Ayo kalau berani keluar! Harada-lah yang tolol!" ba-


las kubu Capi<strong>rossi</strong>.<br />

Pemandangan yang buruk. Dan sangat memalukan.<br />

Untuk sementara waktu, kondisi mereka masih belum<br />

baik. Masalah di Aprilia itu berlanjut sangat lama, bahkan<br />

setelah aku keluar dari sana. Masalah itu berhubungan<br />

dengan keluamya Carlo Pernat. Pernat keluar karena ada<br />

masalah dengan pemilik tim, Ivano Beggio. Pernat pintar,<br />

berpengalaman, dan sangat dihormati oleh semua orang.<br />

Begitu dia keluar, tak ada lagi disiplin. Pernat bisa menyelesaikan<br />

masalah apa saja dan dia jarang sekali gagal.<br />

Dialah yang menyatukan tiga pembalap "unggulan"<br />

Harada, aku, dan Capi<strong>rossi</strong> dengan baik. Dialah yang<br />

memastikan kami tak saling menjegal. Dan begitu dia<br />

keluar, semuanya jadi kacau.<br />

Bagiku, bagian akhir musim itu membuatku tambah<br />

dewasa. Capi<strong>rossi</strong> dan Harada bersengketa sepanjang<br />

tahun itu. Merekalah momok di kelas 250cc, tapi akhirnya<br />

aku sering mengalahkan mereka.<br />

Aku baru yakin kalau aku mampu mengatasi motor<br />

250cc. Dan itulah yang kulakukan tahun berikutnya,<br />

mendominasi musim balapan dengan sembilan<br />

kemenangan.<br />

Aku punya banyak kenangan indah di tahun 1999.<br />

Bukan sekadar menang, namun juga bisa memutuskan<br />

pindah ke Honda pada akhir musim itu. Capi<strong>rossi</strong> pindah<br />

akhir 1998, segera setelah ada masalah dengan Aprilia.<br />

Hal itu susah dimengerti. Ada persaingan tersendiri antara<br />

kami berdua. Kehidupan utama Capi<strong>rossi</strong> ada di Aprilia,<br />

sementara aku menjadi orang depan Aprilia. Tentu pers<br />

Italia tak menyia-nyiakan kesempatan emas itu untuk<br />

mempersengit persaingan: Honda dan Capi<strong>rossi</strong> melawan<br />

Aprilia dan aku.<br />

Honda adalah motor yang terbukti sangat bagus sejak<br />

kami melihat untuk kali pertama pada uji coba musim


dingin. Tim HRC mengalami krisis tahun 1998 dan mereka<br />

tak mundur. Sebenarnya, kupikir di tahun 1998 itu<br />

mereka salah besar karena terlalu kreatif. Mereka<br />

mendesain motor aneh dengan radiator lateral untuk<br />

memperkecil ukuran motor, sehingga mesinnya susah<br />

dingin.<br />

Selain itu, Honda telah mengecewakan di tahun<br />

1998; saat aku masih bersama Aprilia, pengkritikku mulai<br />

lagi melancarkan aksinya, mereka bilang aku mujur saja<br />

sehingga selalu menang, atau karena perlengkapanku<br />

hebat. Dan mereka ingin Aprilia memecat Capi<strong>rossi</strong> agar<br />

aku masuk karena mereka berharap aku mesti bisa<br />

menang dalam kejuaraan dunia 1999. Sebaliknya, tak<br />

semudah yang dibayangkan, musim itu berat sekali.<br />

Capi<strong>rossi</strong> dan Ukawa pada Honda, Shinya Nakano dan<br />

Oliver Jacque pada Yamaha...aku banyak bersaing, terutama<br />

karena musim itu berlangsung kurang baik.<br />

Aku mengalami masalah kumparan elektronik pada<br />

awal balapan sehingga jatuh di urutan kelima. Yang<br />

kedua, di Motegi hujan lebat dan aku berada di urutan<br />

ketujuh. Sementara Capi<strong>rossi</strong> selesai di urutan pertama<br />

dan ketiga. Yang dapat kukatakan hanyalah rasa syukurku<br />

kepada Tuhan karena aku menang di Jerez, sehingga<br />

kekurangan poinku dapat terkurangi.<br />

Kemenangan waktu itu menaikkan rasa percaya diriku,<br />

jadi aku memutuskan menikmati liburan sebentar.<br />

Kami pergi ke kota saat ada sejenis pameran besar,<br />

banyak orang datang dan suasananya ramai. Sialnya aku<br />

mabuk dan tak tahu jalan pulang. Aku ditolong satu jam<br />

kemudian setelah ada orang-orang yang mencariku. Aku<br />

berjalan sendiri tanpa tujuan yang jelas sama sekali.<br />

Segera setelah itu kami berangkat ke Prancis, di<br />

sirkuit Paul Ricard, saat aku hampir menang telak kalau<br />

saja rantai motorku tak lepas. Kutekan gasnya, kudengar


suara derunya, namun motorku tak bergerak. Lalu<br />

kuperiksa masalahnya. Kami memakai rantai baru, yang<br />

lebih kecil, dan lepas begitu saja. Aku coba<br />

memasangnya, tapi tak bisa. Akibatnya, aku tak meraih<br />

poin sama sekali, sementara Ukawa berhasil menang,<br />

dengan poin 40. Aku begitu marah sehingga sejak saat itu<br />

aku memacu motor sekencang mungkin dan akhirnya<br />

berhasil. Aku menjadi juaranya. Aku bisa menyalurkan<br />

amarahku dengan cara yang tepat, mengubah energi<br />

negatif menjadi positif yang bisa kumanfaatkan selama<br />

balapan berlangsung.<br />

Kurenungkan lagi dan kusadari kalau pada titik tertentu<br />

karierku meningkat tajam dan aku tak mau melihat<br />

ke belakang. Kelak aku bergerak kencang di mana pun<br />

tempatnya. Dan aku memang bermaksud mengatakan di<br />

mana pun kudapatkan sebelumnya. Sukar dipercaya, ada<br />

balapan yang aneh tempat aku bisa melaju lebih cepat.<br />

Saat bagian dalam diriku mendorongku tampil makin baik,<br />

mampu mencapai kecepatan tinggi. Aku belum bisa<br />

meramalkan kapan itu akan terjadi. Dan aku tak tahu apa<br />

yang bisa membuatnya muncul. Aku hanya merasakan<br />

adanya kekuatan itu dalam diriku.<br />

Bukan aku banget kalau hanya duduk diam, santai,<br />

lalu melakukan tindakan seperlunya. Itu bukan aku. Aku<br />

selalu berjuang keras. Tetapi, kadang-kadang semuanya<br />

terjadi begitu saja, dan aku berada pada balapan yang<br />

sangat cepat. Dan seusai balapan, aku kembali normal.<br />

Sifatnya sementara saja, aku sudah berada pada<br />

batasku, atau setidaknya aku ada pada batasan yang<br />

semestinya, meskipun sukar dijelaskan. Aku bisa saja<br />

melampaui batasanku, dan kalau itu terjadi, aku bisa<br />

menyalip beberapa orang sekaligus hanya dalam beberapa<br />

lap, mengurangi ketertinggalan poin atau mengerahkan<br />

kecepatan yang tak masuk akal. Contoh yang tepat adalah


saat Grand Prix Katalonia dan Australia 2003.<br />

Di Grand Prix Australia 2003 itu, aku sangat cepat,<br />

aku di depan, aku meninggalkan Capi<strong>rossi</strong> di belakang.<br />

Kami masih di awal balapan saat aku mulai sadar kalau<br />

aku sekarang berada di tempat kedua. Aku memang di<br />

depan, namun masih di urutan kedua akibat terkena<br />

hukuman sepuluh detik karena tak mengindahkan bendera<br />

peringatan kuning. Ya, bendera sialan itu berada di<br />

tempat yang susah dilihat, tak seorang pun yang bisa<br />

melihatnya. Hal yang sama juga terjadi lagi di sirkuit<br />

Donington beberapa bulan kemudian.<br />

"Cukup!" ujarku dalam hati. Dan mulailah aku berjuang<br />

lagi. Tanpa sadar aku sudah bergerak lebih cepat lagi.<br />

Aku bisa kembali mengejar satu detik per lap-nya, dan<br />

akhirnya aku menjadi nomor satu lagi. Aku sudah<br />

menebus hukuman sepuluh detik itu dan masih ada waktu<br />

untuk meningkatkan poinku. Aku tak bermain-main lagi<br />

dengan waktu hukuman hari itu. Aku tak mau hanya<br />

mengandalkan putaran terakhir. Tidak, aku akan terus<br />

berusaha semaksimal mungkin. Seperti itulah, sesudahnya<br />

aku menjadi makin tangguh, sudah gila barangkali. Aku<br />

mengubah amarahku menjadi energi kecepatan. Banyak<br />

yang tak bisa melakukan hal itu. Bagi mereka, marah<br />

berarti sekadar naiknya emosi yang memicu munculnya<br />

banyak kesalahan fatal. Aku seperti itu juga sesekali.<br />

Kejuaraan Qatar 2004 adalah contoh yang bagus. Aku<br />

benar-benar marah karena Honda mengajukan keluhan<br />

hingga aku mesti start dari deret paling belakang. Hanya<br />

dalam beberapa lap saja, aku sudah bisa meraih posisi<br />

keempat. Mestinya, aku bisa lebih tenang dan menunggu<br />

saat yang tepat untuk beraksi. Akibatnya, aku jatuh.<br />

Itulah momen lepas kontrol. Biasanya tidak seperti itu.<br />

Biasanya aku masih bisa mengendalikan diri. Atau<br />

setidaknya akal sehatku masih bekerja. Syukur aku bisa


tenang, kalau tidak aku mendapat masalah besar! Dan itu<br />

terjadi pada Honda di Grand Prix Australia 2003. Di<br />

sanalah tercetak catatan tercepat lap yang pernah kuraih<br />

dengan motor RC211V. Dan mungkin balapan terbaik<br />

bersama Honda. Sejujurnya, aku tak pernah merasakan<br />

momen seperti itu di kelas 125cc. Itu terjadi di kelas<br />

250cc, tentu saja, seperti tahun 1998, saat penampilanku<br />

meningkat tajam dan saat gaya balapanku makin mantap,<br />

musim saat aku bergerak cepat, sangat cepat. Musim itu<br />

sangat spesial karena mantera ajaibnya terus<br />

mengiringiku hingga empat balapan!<br />

Kalau ditanya tentang balapan terbaik yang paling<br />

memuaskan, aku mesti menunjuk pada Grand Prix Inggris<br />

2001 sebagai event terhebat. Saat yang menegangkan<br />

karena aku dan Biaggi melesat berdampingan demi<br />

merebut gelar juara dunia. Aku juga bisa mengatakan<br />

kalau Donington Park adalah salah satu trek balap<br />

favoritku, dan tahun 2001 adalah masa aku mulai<br />

menghargai kehebatan trek itu. Hari Jumat, aku jatuh saat<br />

uji coba dengan kecepatan 200 km/jam. Aku menikung<br />

agak melebar, setang-nya macet dan terjadilah: aku jatuh<br />

dan terlempar lumayan jauh dari motorku. Aku segera<br />

bangkit, namun motorku ringsek agak parah. Motor itu<br />

terguling ke mana-mana, membentur sana sini, lalu<br />

mental ke udara, kemudian terbanting ke bumi menjadi<br />

onggok-onggokan metal.<br />

Sabtunya, hari mulai hujan saat kualifikasi, persis<br />

ketika itu juga kinerjaku menurun. Akibatnya, aku tak bisa<br />

berbuat banyak, hingga ada di urutan kesebelas,<br />

sementara Biaggi masuk pole position. Bukan momen<br />

terbaik dan aku kurang begitu percaya diri saat balapan<br />

dimulai. Sedikit demi sedikit, aku mulai membaik. Aku<br />

mulai menyalip semuanya dengan mudah, selalu pada<br />

tempat yang sama, mengerem tepat sebelum lintasan "S"


setelah jembatan Dunlop. Aku melaju, hingga mendekat<br />

ke Barros yang berada di posisi kedua. Kemudian aku<br />

berhasil mendahuluinya dan mulai ada di belakang Biaggi.<br />

Tepat di lintasan "S" setelah jembatan Dunlop kusalip juga<br />

dia, dua lap tersisa. Aku pikir peluangku untuk menang<br />

hari itu sangat tipis mengingat Biaggi sudah ada di pole<br />

position dan aku hanya di urutan sebelas. Kuakhiri<br />

balapan hari itu dengan penuh kejutan bagi semua orang,<br />

termasuk diriku sendiri. Dan seperti yang kamu tahu,<br />

kalau menyangkut masalah kemampuanku, banyak hal<br />

mengejutkan yang bisa terjadi.


14<br />

CAPITOLO QUATTORDICI<br />

IBUKU telah bertahun-tahun mengalami banyak hal<br />

pertama mendampingi ayahku, Graziano, meniti karier,<br />

kemudian aku sekadar informasi, ada beberapa hal yang<br />

tak dapat kamu minta dari seorang pembalap, meski<br />

kamu adalah ibunya sendiri. Dan itulah sebabnya ibuku,<br />

Stefania (atau biasa kupanggil Stefy) bukan salah seorang<br />

dari sekian ibu yang memanggilmu lalu mengatakan:<br />

"Berhati-hatilah di luar sana, "ngebut bisa membunuhmu."<br />

Tak masuk akal bukan?<br />

Ibu akan menggunakan kalimat yang penting saja.<br />

Misalnya, ibu biasa memanggilku sambil berkata, "Tahan<br />

dulu ya!" atau dalam ungkapan yang umum: "Hati-hati<br />

ya!" Dan tentu saja kalimat favoritnya: "Jangan nakal,<br />

ya!".<br />

Aku selalu berbincang-bincang dengannya saat ikut<br />

Grand Prix. Ibu akan datang menyaksikan balapanbalapan<br />

besar, dan ibu akan selalu ada di saat aku meraih<br />

gelar juara dunia, tak peduli seberapa jauh tempat<br />

tersebut. Agak aneh kedengarannya karena kalau<br />

berbincang-bincang dengan ayahku, Graziano, pembicaraan<br />

selalu terfokus pada emosi dan sensasi yang kami<br />

rasakan sepanjang balapan berlangsung, sementara<br />

dengan ibu, pembicaraan seringkali justru, katakanlah<br />

bersifat teknis.<br />

Misalnya, saat aku berkata kepadanya,"Stefy, aku<br />

ada masalah dengan rem hari ini, garpu depan-nya jadi<br />

seret..." Hal-hal semacam itulah. Aku mungkin bicara<br />

dengan ibu seperti saat bicara dengan Jeremy. Dan ibu


akan mengatakan hal seperti: "Waktu aku menontonmu di<br />

televisi, kuperhatikan begitu beralih haluan, motornya<br />

kelihatan sedikit kurang akurat."<br />

Seperti yang kubilang tadi, kadang-kadang ibu memang<br />

suka hal-hal yang bersifat teknis. Dan tentu saja<br />

dalam kesempatan yang lain, hal-hal yang dia katakan<br />

membuktikan kalau dia memang bukan bagian dari dunia<br />

MotoGP...tapi tak jadi soal, dia sangat menyenangkan.<br />

Ada sebuah rahasia. Dalam setiap balapan, setiap<br />

pembalap biasanya takut pada saat start. Tak ada<br />

perkecualian. Dan itu bagus, karena dalam olahraga ini<br />

rasa takut akan menyelamatkan nyawamu. Tentu saja<br />

kamu percaya akan kemampuan dan "sahabat baikmu"<br />

keberuntungan yang kamu harap selalu menyertaimu,<br />

namun kamu mesti tahu bagaimana menggunakan rasa<br />

takut itu. Karena ketakutan akan menjadi sahabat yang<br />

berharga.<br />

Kamu akan dengar orang bilang: "Hei kalian semua,<br />

kalian terlalu cepat, kalian gila semuanya. Itu semacam<br />

komentar yang, kalau kamu sudah lama ikut balapan<br />

seperti aku, takkan kamu anggap lucu (sebenarnya, sedari<br />

awal juga mungkin tak lucu). Apalagi, komentar seperti itu<br />

biasanya dilontarkan oleh orang yang egois. Hanya orang<br />

yang tak paham dunia olahraga balap saja yang bisa<br />

menyimpulkan kalau para pembalap seperti kami gila atau<br />

tolol karena ngebut. Sebenarnya, pada tingkatan tertinggi,<br />

balapan adalah bentuk seni juga, sama seperti bermain<br />

piano, mencipta lagu, menulis puisi, melukis. Atau<br />

bermain sepak bola seperti Ronaldo atau Zidane. Balapan<br />

adalah seni. Itu adalah hal yang kamu lakukan karena<br />

kamu tertarik melakukannya, karena kamu merasakan<br />

adanya dorongan jiwa dari dalam dirimu. Sebagian orang<br />

memilikinya, sebagian lainnya tidak. Dan bagi yang<br />

memiliki dorongan semacam itu, memenangi kejuaraan


dunia sama halnya dengan penyanyi-penulis lagu yang<br />

meledak album perdananya.<br />

Sebenarnya aku bisa memahami, dari sudut<br />

pandang orang luar, bahwa orang mungkin memperoleh<br />

kesan kalau siapa saja yang terlibat dalam bisnis balapan<br />

itu tak waras. Aku sendiri pun kadang-kadang berteriak<br />

saat melihat balapan, "Wow, orang itu gila sekali!" Sebab<br />

kalau kamu memandang dari luar, kamu akan mendapati<br />

dunia yang sangat berbeda. Persepsimu tentang<br />

kecepatan pasti berbeda sekali dan kamu susah<br />

memahami bagaimana mungkin ada orang yang bisa<br />

mengendalikan motor dengan kecepatan sangat tinggi.<br />

Namun, kalau kamu adalah pembalapnya, pandanganmu<br />

justru sebaliknya. Kamu merasakan semuanya seperti<br />

bergerak pelan, sangat pelan dari yang sebenarnya.<br />

Karena kecepatan adalah bagian tak terpisahkan dari<br />

dirimu, hal yang sudah biasa. Dan itu relatif memang.<br />

Kalau kamu berdiri di tepi jalan, lalu ada mobil melintas di<br />

depanmu dengan kecepatan 50 km/jam, kamu merasa,<br />

wah cepat sekali mobil tadi. Namun, kalau kamu berada di<br />

dalam mobil itu seraya memerhatikan orang yang berdiri<br />

di tepi jalan tadi, kamu akan merasa semuanya bergerak<br />

begitu pelan. Tentu, kalau kamu melaju dengan kecepatan<br />

200 km/jam dan merasakan motornya bergerak dan<br />

sepertinya tak cukup ada aspal di sana, saat itulah kamu<br />

mulai sadar kalau kamu bergerak sangat cepat dan<br />

kondisimu menjadi agak riskan. Namun, seorang<br />

pembalap tahu bagaimana mengatasi masalah seperti itu.<br />

Tentu ada pembalap-pembalap yang tak<br />

bertanggung jawab, sama halnya dengan orang-orang<br />

yang tak bertanggung jawab. Namun, pembalap sejati tak<br />

seperti itu. Ia tahu pasti apa yang sedang dilakukannya.<br />

Ia berpikir dan menggunakan nalarnya. Dan hanya<br />

pembalap yang logis yang berhasil. Yang tak bertanggung


jawab tak memperoleh apa-apa.<br />

Kamu terus mengatakan: "Ini berbahaya, aku tak a-<br />

kan melakukannya." Atau semacam, "Aku bisa saja sedikit<br />

lebih cepat lagi, namun kalau kulakukan itu, akibatnya<br />

berbahaya, dan besar kemungkinan aku melakukan<br />

kesalahan; yang terbaik adalah mempertahankan<br />

kecepatanku."<br />

Kamu selalu membuat keputusan seperti itu. Kamu<br />

mesti tahu batas kemampuanmu, juga motor yang kamu<br />

naiki. Karena orang yang menang dalam balapan bukanlah<br />

orang yang paling pemberani. Biasanya yang menang<br />

adalah pembalap yang tahu batas kemampuan-nya, yang<br />

bisa mengerti mana yang mungkin dan mana yang tak<br />

mungkin bisa dilakukan. Dan pembalap yang menang<br />

biasanya orang yang bisa menyesuaikan diri terhadap<br />

kondisi apa pun pada waktu tertentu.<br />

Karena itulah sensitivitas mengendalikan motor<br />

menjadi bagian yang begitu penting. Terus terang,<br />

kadang-kadang aku merasa lebih berbahaya mengantar<br />

ibuku naik sekuter ke toko swalayan terdekat saat musim<br />

salju dan ban motor itu belum panas, daripada ikut<br />

balapan di Grand Prix. Karena di Grand Prix aku tahu<br />

kalau aku menggunakan perlengkapan yang benar. Itulah<br />

kenapa aku selalu waspada di jalanan. Aku tak ngebut<br />

karena memang tak ada kondisi yang mendukung untuk<br />

melakukannya. Bukan masalah motor bermesin besar.<br />

Balapan di sirkuit jauh lebih aman dibanding naik motor<br />

biasa di jalan. Hal itu sudah jelas bagiku.<br />

Demikianlah, itu yang kumaksud dengan<br />

mengetahui batasanmu. Soal memakai logika, itu sejauh<br />

mana kamu bisa melakukan sesuatu sesuai perlengkapan<br />

yang ada. Mungkin tampak seperti hal biasa, namun<br />

kupikir, itulah satu-satunya bagian yang paling utama.<br />

Karena bisa mengerti batasan berarti mengerahkan


segenap kemampuanmu untuk membaca dan menimbang<br />

situasi. Dan itu lebih berharga dari apa pun dalam hidup<br />

ini.<br />

Sepeda motor tetap menjadi ancaman kalau kamu<br />

tak bisa memahami batasannya, namun ada kalanya,<br />

sepeda motor jauh lebih berbahaya dari adanya sekarang<br />

ini. Saat ini, segalanya dirancang demi keselamatan, atau<br />

setidaknya seaman mungkin. Meski rasa takut menjadi<br />

bagian dari semua itu, ada beberapa hal yang bisa<br />

dilakukan supaya lebih aman lagi. Mulai dari trek balapan<br />

dulu. Karena itulah satu bagian yang paling berbahaya.<br />

Sama halnya seperti naik motor di jalanan, lalu<br />

kamu mendapati rintangan yang tak semestinya ada. Saat<br />

balapan kita mesti selalu yakin takkan ada hambatan apa<br />

pun, terutama pada trek yang lebih cepat. Waktu balapan,<br />

hal inilah yang paling menakutkan.<br />

Ada juga kemungkinan bersenggolan dengan<br />

sesama pembalap, biasanya karena faktor mengawali<br />

start-nya. Lebih tepat lagi, hal itu menyangkut kontrol.<br />

Dan kadang-kadang, aku merasa dunia kita telah<br />

kehilangan kontrol di satu sisi. Pada April 2003, di Suzuka,<br />

Jepang, terjadi peristiwa tragis yang membawa dampak<br />

besar bagi dunia MotoGP. Daijiro Kato tewas akibat<br />

kecelakaan.<br />

Aku merasa hal-hal tertentu terjadi bukan karena<br />

kebetulan. Selalu ada pesan dalam setiap kejadian. Dalam<br />

peristiwa tragis sekalipun. Dan aku pikir, aku tahu pesan<br />

apa yang tersembunyi dalam peristiwa itu: kita terlalu<br />

berlebihan.<br />

Begitu ada pembalap yang tewas saat balapan,<br />

dampaknya dirasakan orang lain, di mana pun mereka<br />

berada. Tak jadi soal siapa mereka. Kita kehilangan orang<br />

yang memiliki semangat yang sama, yang juga memiliki<br />

ikatan emosional begitu melihat motor, yang menanggung


eban bersama, yang sama-sama menanggung resiko,<br />

yang memiliki gaga hidup yang sama. Begitu kondisi<br />

seperti ini terjadi, reaksi pertamamu adalah ketidakpercayaan.<br />

Mana mungkin terjadi. Namun, kamu sadar hal<br />

itu bukan saja bisa terjadi, tetapi memang terjadi. Dan<br />

bisa terjadi di mana saja. Kami para pembalap tahu hal<br />

itu, namun tak terlalu kami pikirkan. Tak ada yang mau<br />

memikirkan hal itu. Otak kita tak memikirkan hal seperti<br />

itu. Dan tak ada yang salah dengan keadaan itu.<br />

Sebaliknya, itu terjadi dan memang perlu terjadi.<br />

Tak seorang pun tahu dengan pasti bagaimana hal<br />

itu bisa terjadi. Tak ada juga yang mampu mengatakan<br />

dengan tepat bagaimana itu bisa terjadi. Yang kami tahu<br />

hanyalah Kato tewas terbentur dinding pembatas dinding<br />

yang rendah, yang tak semestinya ada di sana. Cukup<br />

jauh dari trek balapan. Dan sebenarnya cukup terlindung.<br />

Karena tempat Kato keluar dari trek tak memiliki ruang<br />

kosong yang memadai, apalagi kalau ada serangkaian<br />

dinding pembatas rendah yang siap menunggu benturan...<br />

Andaikan mereka memiliki ruang yang cukup di luar<br />

trek, kalau saja mereka memindahkan dinding itu, pasti<br />

jadi lain ceritanya. Akibatnya pasti tak separah yang<br />

terjadi. Di luar nasib dan di luar nalar, sungguh ironis<br />

kalau di zaman modern ini sampai ada pembalap yang<br />

tewas akibat menabrak dinding. Dan hal itu tak ada<br />

hubungannya dengan apa yang dipikirkan sang pembalap<br />

atau apa yang sedang dipikirkan Kato. Karena kejadian<br />

semacam itu bisa menimpa siapa saja, di mana pun dan<br />

kapan pun. Khususnya dalam trek berbahaya seperti di<br />

Suzuka.<br />

Banyak yang sudah mengatakan hal itu dulu. Suzuka<br />

belum memiliki prasyarat yang memadai untuk balapan<br />

motor. Kembali ke tahun 2001, saat Balapan Delapan<br />

Jam, meski harus kembali ke saat aku menjadi pembalap


Honda yang ikut balapan di trek milik Honda. Jangan salah<br />

sangka, aku suka Suzuka, kurasa treknya sungguh hebat.<br />

Namun, sangat berbahaya dan merupakan satu kesalahan<br />

besar kalau menempatkannya kembali dalam kalender<br />

balapan hanya karena sejarahnya yang hebat.<br />

Waktu itu, kami para pembalap belum terorganisasi.<br />

Kami belum dianggap panting, semua keputusan dibuat<br />

tanpa masukan dari kami. Itu sebelum kami mendirikan<br />

Komisi Keselamatan. Sebelum terbentuknya badan itu,<br />

pendapat para pembalap tak didengar.<br />

Kami para pembalap membentuk Komisi<br />

Keselamatan atas dasar tragedi yang menimpa Kato. Dan<br />

sekarang kami punya suara. Kami pilih perwakilannya<br />

untuk menyuarakan aspirasi kami. Kalau menyangkut soal<br />

keamanan, pendapat para pembalap menjadi prioritas<br />

pertama dalam keputusannya nanti. Karena hanya kami<br />

yang tahu situasi-situasi tertentu, kamilah yang tahu betul<br />

setiap trek, luar-dalamnya. Kami bias melihat hal-hal yan<br />

tak kamu perhatikan kalau kamu mengendarai mobil<br />

sekuter di lap.<br />

Kamu ingin tahu seberapa berbahayanya dinding<br />

pembatas trek? Dekati saja salah satunya di MotoGP. Pada<br />

kecepatan 250 km/jam. Baru setelah itu kamu bisa<br />

mengerti. Sejak mulainya MotoGP, masalahnya bukan<br />

hanya soal kecepatan, namun akselerasi. Totalitas tenaga<br />

pada motor, dikombinasikan dengan ketepatan perangkat<br />

elektronik yang ada sekarang, telah mengubah reaksi soal<br />

waktu dalam pikiran pembalap juga motor itu sendiri.<br />

Sebelumnya, di Dorna, tak ada yang tahu soal ini. Karena<br />

mereka tak pernah naik motor sebesar itu dalam trek<br />

yang kami pakai. Sekalipun mereka naik motor itu,<br />

mereka pasti tak mampu mencapai kecepatan yang kami<br />

tempuh.<br />

Satu-satunya warisan dari tragedi yang menimpa


Kato adalah munculnya kebersamaan kami. Memberi kami<br />

rasa persatuan. Kami bisa duduk berdampingan dengan<br />

Dorna dan para pendirinya. Dan mereka mesti<br />

memerhatikan pendapat kami.<br />

Tahun 2002, saat awal era MotoGP. Ada perubahan<br />

besar dibanding era 500cc. Semuanya menjadi serba<br />

berbasis teknologi modern. Juga lebih antusias, mungkin<br />

akibat adanya pandangan baru, kesempatan baru. Motor<br />

500cc telah mencapai potensi maksimumnya. Perkembangannya<br />

stabil dari tahun ke tahun tanpa perubahan<br />

mendasar. Namun, dengan hadirnya tim-tim MotoGP dan<br />

para pendirinya mulai berinvestasi besar-besaran pada<br />

motor, teknologi baru membawa lebih banyak tantangan<br />

dan kesempatan. Juga banyak biaya. Lalu menjadi<br />

lingkaran setan. Lebih banyak uji coba, lebih banyak<br />

investasinya, motor yang lebih cepat, kinerja yang lebih<br />

baik. Serba lebih besar, lebih baik, lebih cepat, dan<br />

banyak lagi. Dan itulah mengapa kecelakaan yang<br />

menimpa Kato menurutku menjadi hal yang sangat<br />

penting untuk direnungkan.<br />

Kulihat hal itu sebagai peringatan yang bunyinya<br />

sebagai berikut: "Kamu mandi uang, manusia<br />

memproduksi motor super hebat, semuanya maju, para<br />

penggemar menjadi liar, lalu inilah harga yang mesti<br />

dibayar...tolong sadarlah dan kembalilah pada hakikat<br />

olahraga balapan ini."<br />

Tentu, kecelakaan bisa dan akan terjadi. Hari itu di<br />

Suzuka, kami tak tahu apa-apa soal itu. Kami melihat<br />

bendera kuning, hanya itu. Mereka membersihkan treknya<br />

lalu kami melanjutkan balapan.<br />

Grand Prix mestinya dihentikan. Tak perlu ada<br />

pertanyaan dan alasan soal itu. Namun, mereka tak<br />

berhenti. Dan itu adalah kesalahan yang amat besar. Kami<br />

para pembalap mengajukan protes, kami menjadi marah.


Sejauh yang kami tahu, balapan berlanjut dengan satu<br />

alasan, satu alasan saja: hak tayang televisi. Yang<br />

terlanjur dijual dan dibeli hak siar lewat satelitnya. Bagi<br />

Kato, berhenti tak akan mengubah apa-apa. Benturan<br />

fatal yang menimpanya begitu keras sehingga dia<br />

langsung tewas di tempat, di trek balapan. Mereka<br />

berusaha menyadarkan dan berhasil mengembalikan<br />

detak jantungnya, namun tulang belakang dan otaknya<br />

rusak parah. Beberapa hari kemudian, jantungnya benarbenar<br />

berhenti.<br />

Segera setelah membentuk Komisi Keselamatan, salah<br />

satu tuntutan kami adalah mengubah peraturan yang<br />

berhubungan dengan pembatalan uji coba atau balapan.<br />

Sejak saat itu, uji coba atau balapan akan dihentikan<br />

kalau ada kecelakaan yang menuntut campur tangan<br />

dokter langsung saat di trek, atau kalau ada pembalap<br />

yang pingsan setelah kecelakaan, atau kalau menurut<br />

dokter pembalap itu terluka parah.<br />

Dalam peristiwa itu, setelah balapan selesai, kami<br />

merasa ada sesuatu yang tak beres. Kalaupun ada yang<br />

tahu, tak seorang pun yang mau menceritakan apa yang<br />

sebenarnya terjadi. Paco, kepala bagian urusan pers<br />

Dorna hanya mengatakan, "Kato terjatuh, dibawa oleh<br />

helikopter."<br />

Hanya itu. Kata-kata itu bisa berarti apa saja, atau<br />

bukan apa-apa. Dan kalau kamu ada di sana, kamu tak<br />

akan membayangkan hal terburuk. Karena itu kami<br />

merayakannya di podium setelah balapan yang hebat;<br />

apalagi kami orang-orang Italia, aku di urutan pertama,<br />

Biaggi kedua, Capi<strong>rossi</strong> di urutan ketiga. Dan tak seorang<br />

pun yang menceritakan kejadian itu dengan lengkap.<br />

Kupikir aku bisa bicara mewakili Biaggi dan Capi<strong>rossi</strong><br />

seandainya kami diberitahu apa yang telah terjadi, aku<br />

yakin kami tak mood lagi merayakan kemenangan itu.


Kami pasti tak akan bisa menikmati pesta kemenangan<br />

dengan wajar. Mereka menceritakannya begitu kami turun<br />

dari podium. Dan mereka hanya bilang, "Ini serius". Kami<br />

makin merasakannya selama acara jumpa pers, namun<br />

kami hanya tahu setengah-setengah saja kebenaran dan<br />

penjelasan yang mereka katakan. Lalu aku pergi ke Mobile<br />

Clinic, ingin mencari tahu lebih jauh. Dan lagi-lagi, baik<br />

Marco Montanari, ahli fisioterapiku, atau dokter Costa, tak<br />

memberikan keterangan jelas mengenai kondisi Daijiro.<br />

"Dia terluka parah, namun kita lihat saja..." hanya<br />

itu yang mereka katakan. Hanya itu yang selalu dikatakan<br />

semua orang. Kami bahkan memaksa mereka<br />

menceritakannya. Kato sedang dalam keadaan koma.<br />

Kato dan aku punya hubungan yang baik. Aku<br />

sangat menyukainya. Pertemuan terakhirku dengannya<br />

terjadi pada bulan Maret, saat kami ada tur dengan pabrik<br />

Honda berkeliling Jepang. Dalam tur itu, kami bertemu<br />

banyak buruh pabrik. Aku ikut balapan dengannya baik di<br />

MotoGp maupun di Suzuka Delapan Jam Balapan.<br />

Beberapa minggu setelah balapan naas itu, tempat<br />

kejuaraan balap pindah ke Afrika Selatan dan kami<br />

menikmati liburan akhir pekan di sana. Semua orang<br />

punya stiker bernomor 74. Ada pada bodi motor, baju,<br />

helm. Di semua tempat pokoknya. Hanya itu yang kami<br />

tahu.<br />

Aku merasa aneh berakhir pekan di Welkom. Selama<br />

putaran pertama uji coba hari Jumat paginya, saat aku<br />

ada di luar trek, aku melihat bayangan seorang pembalap<br />

dari kejauhan. Semakin kudekati, semakin jelas<br />

bayangannya. Dan makin jelas kulihat dia mirip Kato.<br />

Ya, seperti Kato. Memang bukan dia sebenarnya. Dia<br />

ternyata Ryuichi Kiyonari, pembalap Jepang yang<br />

menggantikannya di MotoGP. Kostumnya mirip sekali<br />

dengan Kato dan bagiku, itu seperti kembali ke masa lalu.


Kami berkeliling ke mana-mana akhir pekan itu. Aku juga.


15<br />

CAPITOLO QUINDICI<br />

MEREKA membuat larigkah pertama. Orang-orang<br />

dari Ferrari menyarankan agar aku mencoba mobil mereka<br />

di Fiorano. Saat itu juga kuterima undangan mereka. Dan<br />

itu adalah pengalaman yang menyenangkan.<br />

Ujianku dengan Ferrari benar-benar murni. Artinya,<br />

tidak ada hadiah juga imbalan, atau sesuatu untuk<br />

menarik perhatian masyarakat. Itu adalah kesepakatan<br />

nyata, mobil sesungguhnya, sama seperti yang dikendarai<br />

Michael Schumacher dan Rubens Barrichello di Imola<br />

beberapa hari kemudian. Aku mendapatkan ahli mesin,<br />

mekanik, seluruh pasukan lengkap. Komputer berfungsi,<br />

Telemetri dianalisis dengan rinci. Para teknisi dan mekanik<br />

memperlakukanku layaknya seorang pengemudi Formula-<br />

1 yang sedang mencoba Ferrari.<br />

Seperti yang kukatakan, mereka tidak<br />

melakukannya semata demi keuntunganku. Mereka mau<br />

mengujiku dengan melihatku di belakang setir mobil<br />

mereka untuk menjajal potensiku. Dan setelah selesai,<br />

mereka mengatakan semua pendapat mereka soal caraku<br />

mengemudi.<br />

Agak lucu karena pertama aku punya hubungan<br />

dengan Ferrari, segalanya berjalan sedikit berbeda.<br />

Kembali ke tahun 1998 ketika Ferrari mengundang Biaggi<br />

untuk mencoba mobil mereka di Fiorano. Itu merupakan<br />

berita besar dan sempat lama jadi bahan pembicaraan<br />

waktu itu. Ketika itu, melihat tidak harmonisnya<br />

hubunganku dengan Biaggi, para wartawan ingin tahu apa<br />

yang kupikirkan. Aku membuat sedikit pertanyaan. "Apa


Anda mau berada di posisinya?" Tanya rnereka.<br />

"Ya, tentu saja aku akan senang mencoba Ferrari,"<br />

ujarku lugas. "kami bukan Avis (perusahaan sewa mobil)",<br />

jawab presiden Ferrari, Luca Cordero, di Montezemolo<br />

ketika ditanya soal itu.<br />

Jujur saja, kata-katanya membuatku tersinggung.<br />

Aku berkata, "Silahkan Tanya ke Montezemolo<br />

kalau-kalau dia membolehkanku mencoba mobilnya.<br />

"Kalau ada kesempatan, aku akan senang hati<br />

melakukannya, tapi dia berkata kalau Ferrari bukanlah<br />

agen sewa mobil. Baiklah. Sampai sini saja kalau begitu.<br />

Usiaku 19 tahun, tahun pertamaku di kelas 250cc<br />

setelah merebut gelar di kelas 125cc. Mungkin itulah<br />

kenapa aku tidak pernah suka Ferrari, meski tidak ada<br />

alasan khusus untuk tidak senang terhadapnya.<br />

Untungnya aku tidak pernah mendukung timnya, tetapi<br />

pengemudinya. Sebagai seorang bocah, aku suka Aryton<br />

Senna, Nigel mansell, dan terakhir, Jacques Villeneuve.<br />

Dan pada puncak kariernya, Villeneuve adalah pesaing<br />

utama Schumacher, juga pesaing utama Ferrari.<br />

Di lain kasus, enam tahun kemudian, cerita dan<br />

situasinya menjadi berbeda. Pada bulan Maret 2004, aku<br />

makan malam dengan Stefano Domenicali, direktur<br />

olahraga Ferrari, pada malam Grand Prix Australia, saat<br />

pembukaan kejuaraan dunia Balapan F1 tahun 2004. Kami<br />

semua santai. Kami bertukar sapa, suka cita, dan<br />

antusiasme. Aku senang dengan hari saat kami bisa<br />

berkumpul di luar paddock, dikelilingi semua kendaraan<br />

Formula 1.<br />

Kita bicara banyak hal. Tapi, suatu ketika, pembicaraannya<br />

sedikit melantur ke masalah kendaraan.<br />

Kukatakan padanya kalau sewaktu kecil aku pernah ikut<br />

lomba kart dan selalu cinta mobil dan aku pernah


eberapa saat bermimpi menjadi pengemudi F1. Aku juga<br />

menambahkan kalau saat beranjak dewasa, aku mulai<br />

menyukai mobil reli dan pernah ikut kejuaraan, di<br />

antaranya salah satu seri kejuaraan dunia.<br />

"Bagaimana kalau kita buat jadwal untuk uji coba?"<br />

tiba tiba dia berkata. Domenicali kelihatan tenang dan<br />

santai.<br />

"Dengan Formula Satu?" tanyaku memastikan. "Iya,<br />

di Fiorano," ujarnya.<br />

"Benarkah?"<br />

"Benar!"<br />

"Kenapa tidak?"<br />

"Dengar" dia menjelaskan. "Aku ingin mengingatkan<br />

kalau ini tidak akan mudah, tapi aku akan berusaha<br />

menjadwalkan sebuah uji coba. Aku akan menanyakan<br />

langsung ke pimpinan, Luca montezemolo. Kita akan<br />

melakukannya di Fiorano, karena segala barang<br />

kebutuhan sangat mudah diatur di sana. Aku hanya perlu<br />

tahu apa pendapat pimpinan."<br />

Itulah puncak dari hari yang sangat mengesankan<br />

bagiku. Segalanya di mulai ketika Yamaha mengatur<br />

beberapa uji coba di Philip Island. Mereka ada di sana<br />

pada hari senin dan, karena Melbourne tidak begitu jauh,<br />

aku memutuskan untuk terbang kesana beberapa hari<br />

lebih awal untuk mengejar Grand Prix Australia.<br />

Domenicali mendengar kalau aku sedang berada di sana<br />

dan mengundang untuk menonton balapan bersamanya.<br />

Dan kuterima, juga karena percaya atau tidak aku belum<br />

pernah melihat arena Grand Prix Fl secara langsung.<br />

Sewaktu kami tiba di paddock, sesuatu yang tak<br />

diharapkan dan tidak seperti biasanya terjadi. Seluruh<br />

dunia Fl kelihatannya menyambutku dengan tangan<br />

terbuka, mulai dari Bernie Ecclestone. Aku pernah


ertemu dia sekali, di sana, di Australia. Dia mulai<br />

menunjukiku sekeliling pit, memperkenalkanku ke rekanrekannya.<br />

Ke mana pun kami pergi, mekanik teknisi, ahli<br />

mesin... mereka semua mendekat untuk menjabat<br />

tanganku. Dan yang dari Ferrari, seperti mereka yang dari<br />

Minardi, sangat hangat dan bersahabat sehingga berkesan<br />

di hatiku.<br />

Aku tidak pernah menyangka akan disambut seperti<br />

itu. Tidak di Formula 1 yang selalu aku anggap dingin,<br />

lebih banyak analisis, lebih sering terlepas dari dunia<br />

nyata kalau dibanding dunia MotoGP kami, dan khususnya<br />

untuk seseorang sepertiku. Seorang bintang dan symbol<br />

MotoGP. Sebenarnya, banyak di antara mereka yang<br />

datang mendekat dan berkata kalau mereka menonton<br />

MotoGP kalau ada kesempatan dan sebenarnya, mereka<br />

pendukung sejati. Keduanya sangat menyenangkan dan<br />

menarik, apalagi bagiku karena aku menyukai segala<br />

aspek teknikal dan, tentu saja, aku juga suka mobil.<br />

Setelah makan malam itu, Domenicali dan aku berpisah<br />

tanpa membuat janji khusus, selain itu kami akan<br />

berhubungan lagi secepatnya bila ada perkembangan<br />

baru. Kami setuju untuk memikirkan hal ini selanjutnya.<br />

Terus terang saat itu aku mulai memikirkannya, karena<br />

aku menyadari potensi adanya masalah dengan para<br />

bosku. Tidak lama kemudian dia menghubungiku. Hanya<br />

beberapa minggu.<br />

"Menurut kami, kita bisa melakukan uji coba ini," dia<br />

memberitahuku melalui telepon. "Beritahu aku kapan<br />

Anda ada waktu dan kita akan realisasikan."<br />

Aku tekankan bahwa aku sangat senang melakukannya,<br />

tapi kami berdua mulai berpikir bagaimana<br />

melaksanakannya. Rintangan utama adalah sponsorku;<br />

sponsor Yamaha adalah pesaing langsung sponsor Ferrari.<br />

Kalau tidak hati-hati, kami bisa mengecewakan banyak


orang. Dan kami tidak mau itu terjadi.<br />

Aku juga berpikir soal media dan segala tulisan yang<br />

akan dimuat.<br />

"Satu-satunya jalan untuk melakukan ini adalah<br />

dengan benar-benar tutup mulut," ujarku setelah kami<br />

berdiskusi habis-habisan. "Bagiku, tutup mulut berarti<br />

tidak bercerita kepada siapa pun."<br />

Ferrari setuju. Waktu uji coba merupakan masalah<br />

lainnya. Kami telah menentukan waktunya, yaitu hari<br />

Rabu setelah Grand Prix Afrika Selatan. Dan setelah<br />

Welkom, aku terbang kembali ke Itali, dan sehari<br />

kemudian aku dalam perjalanan menuju Maranello.<br />

Pengaturan uji cobaku dengan Ferrari F1 2004 kelihatan<br />

sempurna, setiap detail terkecil diperhitungkan. Kami tiba<br />

diam-diam. Aku dengan Uccio, Gibo, dan Arnaldo<br />

Cappellini. Ayahku bergabung dengan kami kemudian.<br />

Agar kamu bisa membayangkan betapa rahasianya<br />

kami melakukan ini, kuberitahu kalau sangat sedikit<br />

teman dekat yang tahu akan hal ini. Aku bahkan tidak<br />

bercerita ke sahabat karibku. Tentu saja, Brivio tidak tahu<br />

sama sekali soal ini. Untuk ibuku, kukatakan akan pergi ke<br />

Milan satu hari saja. Kami tiba di pintu keluar Modena di<br />

lintasan motor, memarkir mobil kami dan mendapati<br />

orang dari Ferrari sedang menunggu. Kami masuk<br />

kedalam mobil berkaca geiap, khusus dipilih untuk<br />

menjaga kerahasiaan secara maksimal. Kami meluncur ke<br />

Fiorano, trek tempat uji coba milik Ferrari sendiri.<br />

Keamanan sangat ketat, Ferrari bahkan memutuskan agar<br />

kami tidur di sekitar trek. Dengan begitu, tidak<br />

seorangpun akan melihat kami di restoran setempat, kami<br />

tidak perlu mendaftar segala ke hotel dan tak seorangpun<br />

akan melihat kami berjalan-jalan di sekitar Maranello.<br />

Kami akan masuk dan keluar tanpa jejak. Kami akan<br />

seperti hantu.


Kami makan malam dan mereka mengajak kami tur<br />

keliling untuk melihat pembuatan mobil mereka. Malam<br />

itu, sebelum pergi tidur, mereka membawaku melihat<br />

mobil. Aku berada di dalam kokpit; mereka menyiapkan<br />

kursinya. Mereka langsung menerangkan cara kerjanya,<br />

seluruh karakter dan aspeknya (detail). Mereka telah<br />

menyiapkan "mobil keempat" untukku. Itu benar-benar<br />

mobil, seperti lainnya. Sudah selesai diciptakan dan<br />

disimpan di suatu tempat, namun siap dilombakan.<br />

Ferrari telah mengatur agar kami tidur di dalam rumah<br />

di tengah trek. Sebuah rumah yang besar, penuh<br />

foto-foto, lukisan, dan pernak-pernik kenangan. Ada<br />

banyak sekali benda berharga sehingga kami terkagumkagum,<br />

mulut kami menganga. Rasanya seperti bermalam<br />

di museum.<br />

"Kami belum selesai, ayo kami tunjukkan bagian<br />

terbaiknya," ujar pemandu kami dalam satu kesempatan.<br />

Dia membawa kami kearah bawah tangga,<br />

membuka pintu, dan kami berada di kantor Enzo Ferrari,<br />

tempat segalanya dibiarkan apa adanya, seperti saat<br />

sebelum dia tutup usia. Di dalam kantor itu, suasananya<br />

masih seperti tahun 1988, mulai dari meja, kursi, lampu,<br />

sampai pesawat telepon kuno. Benar-benar mengesankan.<br />

Aku tidak pernah berpikir akan terpengaruh oleh<br />

pemandangan seperti ini. Kami tidur sangat larut dan<br />

itulah sebagian alasannya : kami semua bersemangat<br />

dengan situasi dan kondisi lingkungan di sekitar. Esok<br />

paginya, ketika kami keluar menuju pit, aku mengenakan<br />

kostum Michael Scumacher. Aku memakai pakaian dan<br />

helmnya. Aku melihat orang-orang di pit telah bertaruh<br />

soal kemampuanku. Beberapa bertaruh kalau aku tidak<br />

akan bisa memecahkan "satu menit" pun rintangan.<br />

mengitari lap di bawah satu menit merupakan ukuran<br />

standar di Fiorano. Itu berarti kamu termasuk cepat.


Banyak dari mereka yang berpikir kalau aku tidak akan<br />

melakukannya. Tidak dalam uji coba yang pertama. Aku<br />

slap dengan tantangan itu.<br />

Segera kusadari kalau posisi kemudinya kelihatan<br />

janggal. Pada motor, kamu mempunyai banyak ruang<br />

gerak, di lain pihak, kokpit mobil F1 terlihat seperti<br />

kandang kecil. Kakimu hilang di bawah apa yang<br />

kelihatannya seperti lubang gelap, pada dasarnya kamu<br />

merapat ke kursi. Kemudian kamu tidak boleh bergerak<br />

sedikitpun lagi. Kamu terpaku. Kamu sangat rata dengan<br />

permukaan tanah, yang bisa kamu lihat hanyalah setir<br />

dan trek. Mata dan bagian atas kepalamu seolah sekedar<br />

tersembul keluar di atas kokpit. Kalau beruntung, kamu<br />

mungkin melihat kilasan ban depan, tetapi hanya bisa<br />

menebak kalau bagian depan mobil ada disana, karena<br />

kamu tak dapat melihatnya. Aku mengerti kenapa mereka<br />

begitu rata ke permukaan tanah. Semakin rendah,<br />

semakin baik; aliran udara mengalir ke dalam kotak udara<br />

di atas kepala pengemudi.<br />

Aku berusaha keras meyakinkan setiap orang kalau<br />

itu aku, bukannya Schumacher, sehingga aku mengacaukan<br />

start... bercanda, koq. Untungnya, kendaraan F1<br />

mempunyai sistem yang bisa mengoreksi kesalahan<br />

kamu. Sistem itu tidak akan membiarkan kamu berhenti,<br />

RPM tetap tinggi, dan kamu bebas mencobanya lagi. Dan<br />

itulah yang aku lakukan. Gigi pertama, gigi kedua, gigi<br />

ketiga, dan tiba di tikungan pertama kanan dan...<br />

berputar-putar. Ya, di Ferrari aku juga menyimpan tradisi<br />

awal yang sial itu.<br />

Karena aku pacu melambat, mobilnya bisa kembali<br />

berada diatas trek dan memulainya dari awal lagi. Aku<br />

Terhubung ke pit lewat radio dan tetap memacu<br />

kendaraan. Aku mengitari tiga lap dan mulai<br />

menikmatinya ketika kembali berputar. Kali ini,


peristiwanya terjadi di lintasan yang luas, dengan<br />

tikungan cepat. Di Fiorano ada tikungan pendek ke kanan,<br />

lalu tikungan ke kiri yang lebih tajam. Saat itu ketika<br />

membelok ke kiri, aku berputar lagi. Semua ini di luar<br />

fakta kalau waktuku adalah 1'15", artinya aku melaju<br />

sangat lambat. Saat itu mesin mati. Mereka datang untuk<br />

mengeluarkanku dari kotak segi empat ini. Di dalam pit<br />

para ahli mesin berkata kepadaku.<br />

"Begini, mobil ini dirancang untuk bisa melaju<br />

cepat," ujarnya. "Kalau kamu tidak cepat, kamu tidak bisa<br />

mengendarainya. Ini dibuat untuk berlari kencang,<br />

mengertikah?"<br />

Itulah satu pelajaran yang kudapat. Seorang pengendara<br />

sepeda motor pada awalnya harus berjuang<br />

memahami kalau kamu seharusnya mengerem sebelum<br />

memasuki tikungan, kemudian baru masuk. Kamu perlu<br />

mengerem satu kali saat berada di tikungan. Kamu harus<br />

masuk dengan akselerasi penuh, kemudian menginjak<br />

rem sepenuhnya, melaju dalam tikungan dengan<br />

kecepatan penuh. Begitulah seharusnya. Sebaliknya, F1<br />

tidak begitu. Mengerem adalah bagian yang sangat sulit.<br />

Dan kupikir itu adalah hal yang sulit dipelajari para<br />

pengemudi.<br />

Mengerem di F1 yang begitu bertenaga memang<br />

menakutkan. Dan dibuat lebih keras karena kamu harus<br />

tahu kalau desain sebuah mobil tidak terlepas dari<br />

aerodinamisnya. Bemper adalah bagian yang penting.<br />

Mobil ini meluncur dengan cara berbeda karena berat<br />

bempernya. Kekuatan tekanannya dua atau tiga kali mobil<br />

biasa. Berat Sebuah Formula 1 adalah 550kg. Benar-benar<br />

ringan. Aku tahu ini sebelurnnya dari kunjungan ke BAR<br />

Honda. Aku berjalan keliling dan ketika aku mencoba<br />

duduk di atas ban, mobilnya selip di belakangku. Aku juga<br />

senang menaruh mobil pada posisi netral, kemudian


mendorongnya dengan satu jari. Hanya dengan sedikit<br />

upaya, mobil yang sangat ringan itu segera bergerak.<br />

Ketika mengerem, kamu butuh kaki yang kuat.<br />

Sewaktu aku melihat telemetri, aku mulai mengerti<br />

bagaimana Schumacher menghasilkan dua kali tenaga<br />

dari yang kulakukan saat mengerem. Mobil F1 dirancang<br />

untuk dipacu kencang dan kamu hanya bisa membuatnya<br />

bekerja sebagaimana mestinya kalau kamu memacunya<br />

dengan kencang juga. Pada kecepatan 300km/jam, kamu<br />

mempunyai 1.500 kg tekanan, itu artinya semakin<br />

kencang kamu melaju, semakin stabil mobilnya. Karena<br />

itu, kamu perlu menghentikan mobilnya ketika masih<br />

melaju kencang. Hanya itulah cara untuk menguasainya,<br />

karena beban yang besar disekitar ban. Kalau kamu<br />

melambat, kamu hanya bisa mengerem, karena mobil<br />

menjadi ringan dan pada saat itu, kamu akan berputar.<br />

Seperti halnya aku.<br />

Tampilan di panel kemudi menunjukkan suhu ban<br />

yang relatif terhadap kinerja minimum. Itu artinya ban<br />

tersebut tidak memiliki cukup daya cengkeram.<br />

"Ayo pasang yang agak keras, kalau tidak begitu<br />

kamu tidak akan mendapatkan ban dengan suhu yang<br />

pas," ujar para ahli mesin.<br />

Dan saat itu, orang yang tidak bertaruh untukku<br />

pastilah senyum-senyum. Mereka semua baik dalam tim.<br />

Dan aku menikmati waktu bersama mereka. Aku berusaha<br />

ikut dalam permainan sebisaku ketika di antara mereka<br />

sendiri ada yang berpikir : "Orang ini mau melakukan<br />

putaran di bawah enam puluh detik, sedangkan dia tidak<br />

bisa mendapat ban dengan suhu yang pas."<br />

Dengan ban sedang, aku bisa mengemudi lebih baik,<br />

meski masih tidak dapat memacu sepenuhnya. Kadangkadang,<br />

walau hanya sejenak, aku melonggarkan kaki<br />

yang menginjak pedal gas, akibatnya akselerasi sedikit


melonjak. Itu pengalaman yang menakutkan, setidaknya<br />

di awal. Formula 1 adalah sesuatu yang harus kamu<br />

biasakan.<br />

Aku selalu yakin kalau mengemudi motor itu lebih<br />

sulit daripada mobil. Dan aku masih berpikiran seperti itu.<br />

Memang, aku berpikir kalau penyesuaian antara kami<br />

dengan motor sangatlah besar dan kamu harus<br />

mempelajari sesuatu yang tidak pernah kamu bayangkan.<br />

Itu hanyalah pertanyaan soal teknik pada akhirnya, tetapi<br />

sedikit menghantuiku bagaimanapun juga. Misalnya, ada<br />

masalah seputar otot leher kamu. Ketika kamu menikung<br />

dengan kecepatan tinggi, otot lehermu akan menerima<br />

tekanan yang tertubi-tubi. Berarti kamu harus melakukan<br />

banyak latihan khusus di gym. Kalau tidak, kamu tidak<br />

akan dapat melakukannya. Sebaliknya, urusan tangan<br />

sangat mudah karena mobil itu mempunyai powersteering.<br />

Kamu hanya tinggal memutar kemudinya dengan<br />

satu jari, seperti halnya mobil Fiat Panda!<br />

Fiorano mempunyai dua tikungan berderet yang<br />

keduanya sangat tajam. Satu ke kanan dan satu ke kiri.<br />

Kamu melewatinya dengan cepat. Awalnya, kamu tidak<br />

menyadari adanya perubahan arah. Pada saat kamu<br />

menyadari yang terjadi, kamu sudah berada di luar arah<br />

yang ideal.<br />

Awalnya, aku tidak tahu bagaimana melewati dua<br />

tikungan tersebut. Mobil mengalami banyak tekanan dan<br />

melaju sangat cepat sampai-sampai aku tidak bisa melihat<br />

kalau tikungan itu sudah ada di depan mata.<br />

"Mobil ini lebih cepat dari otakku!" ujarku dalam hati<br />

waktu itu. Semua terjadi dengan cepat dan kamu<br />

merasakan sensasi aneh. Kamu merasa kalau mobilnya<br />

ada di sana, tapi kalau tidak fokus, tikungan itu akan<br />

berakhir. Hilang. Dan kamu akan berada dalam hamparan<br />

kerikil.


Kekhawatiran soal rahasia keberadaanku terbukti.<br />

Kekacauan terjadi lebih awal dari yang diharapkan, sekitar<br />

makan siang. Karena ada seseorang dalam Ferarri yang<br />

telah bicara keluar, membisikkan media. Kami sedang<br />

beristirahat makan siang, duduk dihadapan sepiring pasta.<br />

Kami bersantai, menonton ulasan olahraga di TV. Dan<br />

tiba-tiba, topik pertama berita itu, "Valentino Rossi sedang<br />

uji coba Ferrari di Fiorano!"<br />

"Tidaaaak!!! Apa yang..." aku terlonjak. "Kami sudah<br />

sangat merahasiakannya. Bahkan ibuku sendiri tidak tahu<br />

keberadaanku di sini dan kini semua orang tahu?" Katakata<br />

sudah keluar. Seseorang telah membuka mulut. Dan<br />

ini merusak uji cobaku. Tidak lama setelah pengumuman<br />

itu, ada banyak orang berkumpul di luar gerbang,<br />

termasuk para wartawan. Kemenanganku di Afrika Selatan<br />

telah menarik banyak perhatian di Itali. Saat itu, akulah<br />

orang yang paling dicari. Apalagi Grand Prix Imola tinggal<br />

beberapa hari lagi... Jujur saja, hariku menjadi<br />

berantakan. Reporter TV sepertinya lebih tahu dariku.<br />

Menurut berita itu, aku akan mengitari beberapa lap lagi<br />

sore harinya, dari pukul dua siang sampai petang. Aku<br />

terlalu gemetar mencoba melakukannya dengan baik.<br />

Sementara itu ibuku mulai menghubungiku.<br />

"Dimana kamu?" ujarnya cepat.<br />

"Di Milan," Jawabku<br />

Dia tahu benar kalau aku berbohong.<br />

"Baiklah, ya, kamu benar, aku di Fiorano..." aku<br />

mengaku.<br />

"Hari ini kamu keluar mencari masalah" ujarnya.<br />

Kami menunggu Schumacher tiba, sekitar pukul<br />

5:30 sore. Sementara itu, kami mengobrol sebentar,<br />

berfoto bersama dan akhirnya, aku hanya punya sejam<br />

lagi atau lebih di atas trek petang itu. Sedikit demi sedikit


aku mendapatkan kepercayaan diriku lagi. Aku mulai<br />

beradaptasi dengan mobilnya. Aku memasang ban licin<br />

dan mulai mengemudi dengan baik. Juga cepat : pada sesi<br />

terakhir, aku mencatat waktu 59'10”.<br />

Itu artinya, ada yang kalah taruhan...


16<br />

CAPITOLO SEDICI<br />

WARTAWAN ibarat wanita: begitu kamu sukses, mereka<br />

akan mengerumunimu.<br />

Aku bukan bermaksud memojokkan wanita. Bukan<br />

itu masalahnya, aku juga tidak ingin menggeneralisasi<br />

pers, namun berdasarkan pengalamanku selama ini, dua<br />

"hal" tadi paling banyak persamaannya...(meski wanita<br />

tentu saja lebih menarik!)<br />

Aku tak pernah memiliki hubungan yang baik<br />

dengan pers. Mungkin karena aku tak ingin privasiku<br />

diganggu, dan pers cenderung tidak menghormati hal<br />

tersebut. Yang seperti itu bisa saja berlaku kalau kamu<br />

menjadi orang terkenal; tak pelak lagi, pers akan<br />

memanfaatkan-mu demi kepentingan mereka,<br />

memutarbalikkan fakta dan tindakanmu. Alasanku jarang<br />

sekali memiliki hubungan baik dengan pers mungkin juga<br />

karena aku tahu mereka tak menganggapku sebagai<br />

manusia, tapi hanya sebagai pembalap saja. Atau<br />

barangkali karena sebagian besar tidak menyukaiku. Atau<br />

bisa jadi karena aku selalu terang-terangan mengatakan<br />

apa yang kupikirkan, dan sering kali hal itu jadi salah<br />

kalau dikatakan di depan publik. Satu hal yang kuyakini:<br />

sepanjang karierku, mereka tak pernah sekalipun<br />

memaafkanku. Tak sekalipun.<br />

Awalnya, saat aku ikut balapan motor 125cc,<br />

semuanya menyenangkan. Namun, begitu naik ke 250cc,<br />

banyak terjadi hal sebaliknya. Aku selalu terbuka di depan<br />

pers meski aku agak tertutup dari sebagian wartawan.<br />

Kelihatannya aneh, namun sebenarnya aku orang yang


terbuka. Aku suka mengobrol, bahkan berdebat dengan<br />

pers.<br />

Tidak seperti kebanyakan pembalap lain, aku selalu<br />

memberi pers kebebasan menjalankan tugasnya. Aku<br />

selalu memberi mereka banyak bahan berita. Dan<br />

mungkin itu sebabnya sebagian wartawan tersebut<br />

menjadi terlalu usil. Kalau aku tidak berkomentar, kalau<br />

seminggu aku tidak mengadakan jumpa pers, itu mungkin<br />

karena memang tak ada lagi yang perlu dikatakan, atau<br />

aku lagi sibuk, atau aku sudah mengatakan hal itu berkalikali<br />

kepada beberapa wartawan, atau mungkin waktu itu<br />

yang terbaik adalah tutup mulut.<br />

Dan pers Italia memutuskan untuk melancarkan<br />

protes kepada pihak Yamaha dan pihak sponsor saat<br />

berlangsungnya Grand Prix Prancis tahun 2004 karena aku<br />

tak mau menemui mereka pada hari Kamis. Percayalah,<br />

aku hanya ingin cuti sehari saja, aku benar-benar capek,<br />

dan bicara di depan wartawan menguras banyak energi.<br />

Dan mereka membesar-besarkan ketidakhadiranku hari<br />

itu.<br />

Mengingat itu, aku merasa kalau masalahnya terletak<br />

pada pers Italia yang terlalu dimanjakan. Aku terlalu<br />

baik kepada mereka, kamu tahu maksudku 'kan. Aku<br />

terlalu melayani mereka, aku tak pernah mengecewakan<br />

mereka, dan aku selalu menyenangkan mereka.<br />

Akibatnya, kalau aku mengecewakan seseorang,<br />

masalahnya bisa menjadi besar.<br />

Pada tahun 2003 di Valencia, saat final Grand Prix,<br />

salah seorang wartawan mengancamku karena aku<br />

menolak permintaannya akan wawancara ekslusif.<br />

Waktunya riskan. Honda waktu itu akan mengumumkan<br />

perpisahanku, dan kupikir sebaiknya aku tutup mulut saja.<br />

Tim manajemenku dan aku sendiri memutuskan untuk tak<br />

bicara terbuka di depan pers karena belum ada


pernyataan resmi apa pun. Atau sebaiknya tak mengiyakan<br />

adanya permintaan khusus dari media mana pun.<br />

Kami tak ingin nantinya terjebak pada pertanyaan yang<br />

bisa menimbulkan masalah. Karena tak mengabulkan permintaan<br />

khusus dari salah seorang wartawan tadi,<br />

wartawan itu lalu bermaksud mengancamku secara fisik.<br />

"Kamu tak mau aku wawancarai?" desisnya. "Bagus,<br />

akan kutunggu kamu di luar dan kita lihat saja nanti..."<br />

Kupandangi dirinya sementara kedua tanganku<br />

berada dalam saku. Lalu segera keluar.<br />

Sering kali begitu memenangi kejuaraan dunia, aku<br />

cenderung mengatakan apa yang kurasakan tanpa<br />

berpikir konsekuensinya ke depan. Dan setelah kupelajari<br />

selama beberapa tahun, konsekuensi itu selalu ada. Saat<br />

kamu menjadi pubic figure, kamu mesti berpikir kalau apa<br />

pun yang kamu sampaikan akan "dimanfaatkan",<br />

parahnya disalahgunakan. Ucapanku sering<br />

diputarbalikkan. Mungkin lebih sering dibanding<br />

pembalap-pembalap lain. Dulu aku selalu memerhatikan<br />

apa yang ditulis wartawan tentang diriku karena aku<br />

peduli terhadap para pembacanya, para penggernarku,<br />

lalu aku mulai berhenti membaca. Aku berhenti membaca<br />

koran-koran semacam itu karena mereka terlalu sering<br />

ikut-ikutan saja mengeluarkan berita yang sama.<br />

Saat aku terkenal, sebagian pers Italia tak senang<br />

terhadap diriku. mungkin karena aku tak pemah begitu<br />

peduli. Memang, aku tak suka kalau orang menulis hal-hal<br />

yang tak baik tentang diriku, namun aku tak pemah<br />

menjilat. Aku selalu berusaha menjalin hubungan baik<br />

dengan orang. Aku terbuka. Aku mengatakan apa yang<br />

kupikirkan dan melakukan apa yang kukatakan. Dan aku<br />

tak pernah mau menjilat.<br />

Ada saatnya pers dan aku berhasil membangun hubungan<br />

yang baik. Kalau ada perdebatan di antara kami,


itu karena aku merasa apa yang ditulis atau dikatakan<br />

jelas-jelas menyerangku, atau memanfaat-kanku dalam<br />

hal tertentu. Yang sering mereka lakukan adalah<br />

menuliskan apa yang mereka ingin aku katakan, bukan<br />

apa yang benar-benar aku katakan. mereka memaksamu,<br />

sehingga mereka bisa mendapat "informasi" yang mereka<br />

inginkan. Mereka berharap muncul kata-kata dan kalimat<br />

yang mereka harapkan sehingga mereka bisa menuliskan<br />

apa yang mereka inginkan demi kepentingan headline<br />

mereka. Baru setelah itu aku menyadari kalau apa pun<br />

yang kukatakan tetap saja akan dimanfaatkan oleh<br />

mereka sedemikian rupa demi kepentingan sepihak. Jika<br />

tak hati-hati, aku takkan bisa menjadi diriku sendiri, tetapi<br />

menjadi apa pun yang mereka inginkan. Setidaknya di<br />

mata pembaca dan penonton media mereka.<br />

Aku mulai tahu kalau ada banyak hal yang mencemari<br />

berita. Mulai dari adanya antipati atau simpati pribadi<br />

terhadap pembalap tertentu. Koran-koran sekarang telah<br />

teracuni oleh kepentingan bisnis. Itulah sebabnya mereka<br />

jarang sekali mengungkap kebenaran. Kita berpikir koran<br />

adalah media untuk mengetahui apa yang terjadi,<br />

mempelajarinya, dan memahaminya. Namun pada<br />

praktiknya, mereka hanya alat mengeruk keuntungan<br />

perusahaan. Akibatnya, yang mereka tahu hanyalah<br />

bagaimana menjual sebanyak mungkin koran mereka.<br />

Korbannya adalah kebenaran yang disamarkan. Kualami<br />

langsung kondisi semacam itu, secara pribadi pada awal<br />

karierku, saat aku masih muda dan belum<br />

berpengalaman.<br />

Aku punya banyak penggemar di trek balapan sebab<br />

mereka yang suka olahraga tersebut selalu mencintaiku<br />

namun beberapa wartawan Italia tak pernah bosan<br />

menyerangku kalau ada kesempatan. Karena itu, pers<br />

Italia sering kali memojokkanku. Bayangkan saja apa


yang terjadi pada tahun 1998, saat aku mulai balapan di<br />

kelas 250cc, atau berita dengan Harada dan Capi<strong>rossi</strong>,<br />

apalagi perseteruanku dengan Biaggi di kelas 500cc.<br />

Aku tak pernah bisa mengerti kenapa saat kamu<br />

menjadi selebriti, kamu mesti siap hidup dalam ketakutan<br />

setiap harinya: menyangkut citra dirimu. Kamu mesti<br />

khawatir akan apa yang baik bagi citra dirimu dan berhatihati<br />

dalam berbicara dan bertindak. Sering kali, apa pun<br />

yang kukatakan membawa masalah, terutama bagi diriku<br />

sendiri. Menjadi Valentino Rossi sang selebriti, itulah citra<br />

yang ada pada diriku saat sedang balapan atau sedang<br />

diwawancarai banyak keuntungan dan kemudahannya.<br />

Namun, ada harga yang sangat mahal yang harus kubayar<br />

sebagai konsekuensinya atas ketenaran itu. Karena itu,<br />

aku susah memercayai seseorang yang tak<br />

memperlakukanku sebagai manusia namun semata karena<br />

aku orang tenar.<br />

Sepintas kamu pasti menyangka orang seperti aku<br />

bebas melakukan apa saja dan bebas bicara apa saja. Itu<br />

tidak benar. Jarang sekali aku bisa melakukan apa yang<br />

kuinginkan karena banyaknya ikatan dan batasan yang<br />

kupunya, permintaan-permintaan yang kuterima, dan<br />

fakta kalau kehadiran maupun tindakanku bisa membawa<br />

konsekuensi besar bagi diriku.<br />

Aku ingin menjadi diriku sendiri, aku tidak ingin<br />

menjadi orang lain, karena itu aku berusaha menjadi<br />

diriku sendiri, namun itu tidaklah mudah.<br />

Masalah mendasar yang kuhadapi adalah<br />

manipulasi. Apa pun yang kukatakan selalu dianalisis,<br />

diartikan, dinilai, dan, sering kali, dimanfaatkan oleh<br />

orang lain. Dan cara mereka memanfaatkannya<br />

tergantung dari kepentingan mereka. Aku tahu hal itu<br />

selalu terjadi pada setiap orang yang pernah hidup ibarat<br />

"burung dalam sangkar emas"; itu membuatku selalu


menderita dan amat memengaruhiku secara mental.<br />

Karena itulah aku terus berusaha keras agar tak<br />

dimanfaatkan dengan cara seperti itu; aku telah<br />

melakukan apa pun yang bisa kulakukan untuk menjaga<br />

kehidupan pribadiku. Aku selalu berusaha untuk tak<br />

pernah menyerah kalau melihat ketidakadilan di depan<br />

mataku. Dan orang yang benar-benar tahu siapa aku pasti<br />

sadar kalau itulah yang menjadi kelebihan terbesarku: aku<br />

tetap sanggup menjadi diriku sendiri, kapan pun dan di<br />

mana pun. Dan aku bisa melakukannya dengan balk<br />

dibalik ketenaran namaku yang sebenarnya sangat<br />

membebani.<br />

Namaku Valentino Rossi. Dan aku ingin menjadi<br />

seseorang yangberarti, bukan sekadar simbol atas<br />

sesuatu.<br />

Aku lahir pada tanggal 16 Februari 1979. Ayahku<br />

bernama Graziano Rossi, seorang pembalap profesional<br />

kendaraan roda dua maupun roda empat. Ibuku bernama<br />

Stefania Palma, seorang surveyor di kota Tavullia. Kata<br />

ibuku, waktu kecil aku anak yang penurut. Beliau juga<br />

pernah bilang tak seorang pun, baik guru-guru maupun<br />

para orangtua murid lainnya, pernah mengeluhkan<br />

perbuatanku saat aku masih di bangku taman kanakkanak.<br />

Waktu kecil aku suka merakit miniatur sirkuit dan<br />

memakai kotak korek api sebagai mobilnya. Tak lama kemudian,<br />

aku bahkan bisa naik sepeda meski dengan<br />

kedua kaki yang terentang ke kiri dan kanan. Itulah<br />

beberapa pengalaman masa kecilku, saat aku masih<br />

menjadi bocah yang penurut dan manis. Aku lalu berubah<br />

menjadi liar saat mulai kenal mesin beroda dua.<br />

Namaku Valentino. Ayahku menamaiku begitu<br />

karena beliau ingin menghormati salah seorang<br />

sahabatnya yang pada usia 18 tahun tewas tenggelam di


laut dekat daerah Pesaro. Alasan lainnya adalah bahwa<br />

hari Valentine ternyata jatuh dua hari sebelum aku<br />

dilahirkan.<br />

Nomor 46 yang kupakai kali pertama kudapatkan<br />

ketika aku ikut balapan minibike. Waktu itu aku satu tim<br />

dengan dua teman lain, Marco dan Maurizio Pagano, yang<br />

datang dari Gateo a Mare. Mereka adalah dua bersaudara<br />

yang dengan baik hati meminjamkan motor Aprilia 125<br />

kepadaku—motor yang kupakai mengawali karierku di<br />

Misano. Kami bertiga kebetulan memakai nomor yang<br />

sama (46) karena kami berlaga di tiga kategori balapan<br />

yang berbeda. Mereka berdua sangat mengidolakan negeri<br />

Jepang sekaligus para pembalap negeri itu. Suatu hari,<br />

kami sangat terpesona waktu melihat salah seorang<br />

pembalap di Grand Prix Jepang. la begitu hebat karena<br />

mampu melakukan gerakan-gerakan yang mendebarkan,<br />

bahkan terlihat sangat berani. Dia kebetulan memakai<br />

nomor 46 waktu itu. Sejak saat itulah kami mulai<br />

memakai nomor 46, yang tetap aku pertahankan hingga<br />

kejuaraan di ltalia, kemudian menyusul di Eropa juga.<br />

Namun, saat aku benar-benar telah menjadi juara dunia,<br />

aku ditawari untuk memilih nomorku sendiri. Aku baru<br />

sadar kalau nomor 46 adalah nomor yang dipakai ayah<br />

saat beliau menjuarai Grand Prix Morbidelli 250cc tahun<br />

1979. Tahun yang sama saat aku dilahirkan. Karena itulah<br />

aku kemudian memutuskan untuk memakai nomor<br />

tersebut. Bagiku, nomor itu adalah lambang karierku juga<br />

bagian dari hidupku. Nomor itu benar-benar<br />

melambangkan perjalanan hidupku yang hebat sekali.<br />

Dan itu mengingatkanku akan awal dari semuanya.<br />

Saat ketika aku mesti memutuskan untuk memilih roda<br />

empat atau roda dua? Go-kart atau sepeda motor? Aku<br />

memutuskan untuk memilih roda dua sepeda motor. Aku<br />

memilih untuk mencoba Aprilia 125, lalu aku mulai


erlaga. Dan aku terus berlaga.<br />

Kemenangan pertamaku berhasil menghilangkan<br />

ketakutan kedua orangtuaku. Dan kemenangan keduaku<br />

berhasil menghilangkan rasa kurang percaya diriku.<br />

Di sekolah aku termasuk pintar, dalam banyak hal<br />

lainnya aku juga tak mengalami masalah. Namun, hal<br />

yang paling kuinginkan adalah ikut balapan. melaju<br />

kencang dan sangat kencang. Itulah pilihan hidupku.<br />

Bayangkanlah kalau aku dulu tak pernah ikut<br />

balapan motor. Pasti semua jadi lain ceritanya. Bayangkan<br />

sekali lagi kalau aku sama sekali tak pernah mencobanya.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!