07.06.2014 Views

FINAL REPORT Barier Removal Operational Plan ... - RarePlanet

FINAL REPORT Barier Removal Operational Plan ... - RarePlanet

FINAL REPORT Barier Removal Operational Plan ... - RarePlanet

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

<strong>FINAL</strong> <strong>REPORT</strong> <strong>Barier</strong> <strong>Removal</strong> <strong>Operational</strong> <strong>Plan</strong> (BROP)<br />

Upaya Memperjuangkan Pengakuan Pengelolaan Sumberdaya Hutan<br />

Berbasis Masyarakat (PSDHBM)<br />

Melalui Peluang Rencana Tata Ruang Kesepakatan (RTRK)<br />

Periode Pelaporan September 2009 – Juni 2010<br />

I. Pengantar<br />

Sejak perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun menjadi Taman Nasional Gunung<br />

Halimun-Salak (TNGHS) dari luasan 40.000 Ha menjadi 113.375 Ha, lahan-lahan pertanian (sawah<br />

dan kebun) masyarakat yang sebelumnya berada di bawah kelola kawasan hutan produksi Perum<br />

Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten berubah masuk menjadi kawasan Konservasi TNGHS.<br />

Ketidakjelasan status hukum akses masyarakat atas lahan pertanian dan ruang hidupnya,<br />

berdampak pada kecenderungan masyarakat untuk melakukan perluasan lahan pertaniannya.<br />

Sementara itu peluang hukum pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan taman nasional<br />

belum terimplementasi dengan baik.<br />

Rencana Tata Ruang Kesepakatan (RTRK) dikembangkan BTNGHS dalam kerangka membangun<br />

kolaborasi bersama masyarakat. Hal ini menjadi bentuk respon pihak TNGHS terhadap kebijakan<br />

kolaborasi (PerMenHut No. P. 19/2004) dan zonasi (PerMenHut No. P. 56/2006) di kawasan<br />

konservasi. Dalam konteks RTRK tersebut, yang diharapkan bisa “dikolaborasikan” antara lain: 1)<br />

Mendorong Pengakuan Model pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat atau<br />

PSDHBM (KDTK & K2LPR 1 ) Melalui Skema Pengelolaan Kolaboratif, 2) Membuka ruang dialog<br />

antara masyarakat-TNGHS-pihak terkait lainnya, dan antar anggota masyarakat atas isu-isu<br />

konservasi, kebijakan yang terkait dengan tata ruang kawasan konservasi dan program<br />

pengelolaan kolaboratif. Adanya kesepahaman dan kesepakatan bersama atas akses ruang<br />

pengelolaan di kawasan konservasi menjadi salah satu target capaian dalam proses ini.<br />

Tujuan proyek ini adalah mendorong adanya pengakuan, penghargaan dan perlindungan atas<br />

upaya masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi berbasis masyarakat (KDTK dan K2LPR)<br />

dengan tujuan mengembalikan habitat burung pemangsa endemic-Elang Jawa (Spizaetus Bartelsi)<br />

oleh masyarakat seluas 395,795 ha pada akhir tahun 2010.<br />

1 KDTK = Kampung Dengan Tujuan Konservasi; K2LPR = Kawasan Kebun Lindung Produksi Rakyat<br />

1


II. Implementasi Kegiatan<br />

Beberapa tahap implementasi kegiatan yang dilaksanakan pada periode ini antara lain:<br />

A. Fase Persiapan<br />

A.1 Kajian Data Sekunder<br />

Data sekunder dilakukan untuk menganalisis peluang-peluang hukum pengakuan<br />

PSDHBM di kawasan konservasi. Kebijakan kolaborasi (Permenhut No.P.19 Tahun 2004<br />

tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam)<br />

dan zonasi (Permenhut No 56 Tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional)<br />

menjadi titik masuk yang paling penting untuk mengawali proses pengakuan ini. Selain itu<br />

secara spesifik, Balai TNGHS pun telah membuat rancangan zonasi di TNGHS yang<br />

diharapkan dapat mengakomodir seluruh kepentingan yang terdapat di kawasan TNGHS.<br />

Salah satu peluang pengakuan keberadaan masyarakat adalah berada di zona khusus.<br />

Berdasarkan PerMenHut No. P.56/MenHut-II/2006, Zona Khusus adalah bagian dari<br />

taman nasional karena kondisi yang tidak dapat dihindarkan telah terdapat kelompok<br />

masyarakat dan sarana penunjang kehidupan yang tinggal sebelum wilayah tersebut<br />

ditetapkan sebagai taman nasional antara lain sarana komunikasi, fasilitasi transportasi<br />

dan listrik. Di dalam rancangan zonasi TNGHS dan Rencana Strategis BTNGHS peluang ini<br />

harus dilengkapi dengan nota kesepakatan bersama (Memorandum of Understanding)<br />

berupa Rencana Tata Ruang Kesepakatan (RTRK) pengelolaan wilayah zona khusus.<br />

Dalam konteks model-model pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat atau<br />

dikenal dengan istilah Community Based Forest Management (CBFM), saat ini<br />

Departemen Kehutanan telah mengeluarkan berbagai kebijakan yang memperkuat CBFM,<br />

seperti Hutan Kemasyarakatan(HKm), Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat, dll. Namun<br />

kesemuanya itu belum bisa diimplementasikan secara spesifik di kawasan konservasi.<br />

Oleh karena itu, Departemen Kehutanan melalui PHKA (Perlindungan Hutan Konservasi<br />

Alam) sedang mencari model-model pengelolaan yang lebih tepat di kawasan konservasi.<br />

Rancangan Hutan Kemasyarakat di kawasan Konservasi (HKm-K) dan Model Desa<br />

Konservasi (MDK) masih menjadi substansi kajian bagi PHKA.<br />

Model Kampung Konservasi (MKK) 2 merupakan salah satu program yang dikeluarkan<br />

TNGHS sejak tahun 2006 untuk merespon kebijakan kolaborasi dan zonasi. Dengan<br />

mengedepankan tiga strategi yang dipilih yaitu restorasi, rehabilitasi dan income<br />

generating, saat ini BTNGHS tengah mengembangkan 21 MKK di kawasan TNGHS. Alat<br />

yang digunakan dalam MKK ini antara lain, melakukan observasi bersama dengan<br />

masyarakat lokal, melakukan reboisasi dan rehabilitasi kawasan TNGHS yang rusak<br />

dengan melibatkan masyarakat lokal, dan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah untuk<br />

meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal di TNGHS. Kesepakatan kerjasama MKK ini<br />

ditandai dengan Memorandum of Understanding (MoU) dengan batasan waktu tertentu.<br />

Seperti yang dilakukan oleh MKK Cisangku, bahwa MoU hanya berlaku selama 3 tahun<br />

2 Harmita (2009), definisi Kampung Konservasi menurut versi MKK adalah kampung yang didalamnya bisa melakukan<br />

aktifitas perlindungan secara mandiri, mampu menjaga ekosistem dan secara ekonomi bisa memberikan<br />

kesejahteraan masyarakat.<br />

2


dan jika diperlukan kembali, maka perlu ada surat kesepakatan kembali. KDTK dan K2LPR<br />

merupakan dua konsep pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang harapannya bisa<br />

diakui sebagai bentuk pengelolaan wilayah yang disepakati bersama antara masyarakat<br />

dan BTNGHS. Konsep pengelolaan wilayah serta dokumen kesepakatan bersama menjadi<br />

salah satu bahan yang dikaji untuk melihat irisan persamaan dan perbedaan dari seluruh<br />

konsep pengelolaan sumberdaya hutan yang terdapat di kawasan TNGHS, baik secara<br />

substansi maupun secara proses.<br />

A.2 Assessment Konsep KDTK/K2LPR<br />

Proses assessment dilakukan dalam kerangka melihat ulang konsep pengelolaan<br />

sumberdaya hutan berbasis masyarakat yang telah diimplementasikan oleh masyarakat<br />

sebagai proses awalan menuju kajian model-model PSDHBM. Proses assessment<br />

dilakukan di dua konsep, yaitu Kampung Dengan Tujuan Konservasi (KDTK) yang diinisiasi<br />

oleh warga Kp. Nyungcung dan Kawasan Kebun Lindung Produksi Rakyat (K2LPR) yang<br />

dinisiasi oleh warga Kp. Parigi.<br />

Konsep rencana tata ruang kampung dengan konsep keberlanjutan secara ekologi,<br />

ekonomi dan sosial ditunjukkan dengan adanya zonasi kampung, seperti (a). Leuweung<br />

Larangan (area yang tidak boleh diganggu/konservasi), (b) Leuweung Dudukuhan (area<br />

yang di tanam kayu dan buah/Koservasi-Produksi), (c) Lahan Sawah (area sebagai<br />

sumber pokok pangan masyarakat/produksi), (d) Lahan Lembur (arae tempat aktifitas<br />

sosial-ekonomi masyarakat) yang masih dipertahankan dan dihormati hingga saat ini. Hal<br />

ini dikarenakan warga di kedua kampung tersebut ingin memiliki keinginan kuat untuk<br />

diakui secara tertulis oleh negara, dalam hal ini adalah Balai Taman Nasional Gunung<br />

Halimun-Salak (BTNGHS). Pengakuan ini tidak sekedar tertulis, namun perlu ada<br />

kesepakatan yang dibangun bersama secara kolaborasi antara pihak BTNGHS dan<br />

masyarakat sesuai dengan kebijakan yang berlaku.<br />

Namun perlu diketahui bahwa konsep tata ruang kampung ini pada dasarnya sudah mulai<br />

diadopsi di kampung lainnya di Desa Malasari (seperti Kp. Legok Jeruk, Kp. Citalahab, Kp.<br />

Legok Batu, Kp. Garung dan Kp. Hanjawar) dan Desa Curug Bitung (Kp. Taluk Waru dan Kp.<br />

Gunung Eusing). Proses assessment ini dilakukan untuk melihat seberapa besar potensi di<br />

masing-masing wilayah untuk dikembangkan konsep serupa dengan KDTK dan K2LPR.<br />

Pengembangan ini merupakan langkah lanjutan perwujudan K’DTK (Kawasan Dengan<br />

Tujuan Konservasi) yang pernah diinisiasi RMI pada tahun 2006. Secara umum dari hasil<br />

assessment menunjukkan bahwa harapan atas keamanan dan ketenangan mengakses<br />

pengelolaan kawasan pertanian dan kehutanan secara berkelanjutan masih menjadi<br />

prioritas.<br />

B. Fase Implementasi<br />

B.1 Kajian Model PSDHBM dan Kajian MKK<br />

Kajian model-model pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan konservasi TNGHS<br />

dilakukan untuk melihat irisan persamaan dan perbedaan implementasi konsep KDTK,<br />

K2LPR serta MKK (Model Kampung Konservasi). Kajian ini akan sangat bermanfaat<br />

3


sebagai salah satu bahan negosiasi menuju pegakuan KDTK dan K2LPR sebagai usulan<br />

konsep RTRK.<br />

Secara proses, KDTK dan K2LPR merupakan konsep pengelolaan yang dibangun atas<br />

inisiatif masyarakat Nyungcung dan Parigi yang secara sadar menyusun konsep<br />

pengelolaan kawasan hutan yang berkelanjutan secara ekologi, ekonomi dan sosial. Hal<br />

ini ditunjukkan dengan pembagian ruang kelola masyarakat berdasarkan kondisi dan<br />

pengetahuan lokal. Pengetahuan lokal yang tergambar di dalam konsep ini jelas terlihat<br />

pada konsep penataruangan wilayah, seperti lahan leuweung (wilayah hutan), lahan<br />

dudukuhan (wilayah kebun campuran) dan lahan lembur (wilayah pemukiman) yang<br />

menjadi perencanaan kedua kampung tersebut. Kesepakatan ini masih dihormati dan<br />

dijaga dengan baik. Ini terlihat dari keseriusan warga dalam menjaga kawasan sesuai<br />

dengan peta perencanaan yang telah disusun dan konsep pengelolaan yang dirancang<br />

bersama. Selain program penghijauan kawasan hutan, Kelompok Swadaya Masyarakat<br />

(KSM) Nyungcung juga berhasil mencegah inisiatif pengelolaan tambang bentonit yang<br />

akan dikelola oleh perusahaan swasta dan beberapa warga Nyungcung di areal lahan<br />

leuweung (berdasarkan konsep KDTK) melalui SK Kepala BTNGHS tahun 2008 tentang<br />

pelarangan penambangan bentonit di areal TNGHS yang ditembuskan ke Bupati Bogor,<br />

Kapolres Bogor, Camat Nanggung, dan Kepala Desa Malasari. Areal kritis di lahan ex<br />

Perum Perhutani dan beberapa lahan perkebunan karet milik PT. Hevea Indonesia yang<br />

peruntukkannya adalah lahan dudukuhan (kebun agroforestry), kini sudah bisa<br />

dimanfaatkan warga untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga di Parigi. Manfaat lain<br />

yang bisa dirasakan warga saat ini adalah mulai kembali berlimpahnya sumberdaya air di<br />

Kampung Nyungcung.<br />

Pada awalnya, bentuk kelembagaan yang mengawal konsep KDTK ini adalah KSM Rimba<br />

Lestari yang didirikan sejak tahun 2003. Namun dalam perkembangannya dan<br />

mengakomodir aspek lainnya selain rimba, maka diputuskan berubah nama dengan<br />

tujuan yang lebih luas menjadi KSM Nyungcung pada tahun 2005. Sedangkan di Kp.<br />

Parigi, lembaga yang mengawal konsep K2LPR adalah Kelompok Tani Sekarsari yang<br />

berdiri pada tahun 2005.<br />

Model Kampung Konservasi (MKK) 3 merupakan salah satu program yang dikeluarkan<br />

TNGHS sejak tahun 2006 untuk merespon kebijakan kolaborasi dan zonasi. Dengan<br />

mengedepankan tiga strategi yang dipilih yaitu restorasi, rehabilitasi dan income<br />

generating, saat ini BTNGHS tengah mengembangkan 21 MKK di kawasan TNGHS. Alat<br />

yang digunakan dalam MKK ini antara lain, melakukan observasi bersama dengan<br />

masyarakat lokal, melakukan reboisasi dan rehabilitasi kawasan TNGHS yang rusak<br />

dengan melibatkan masyarakat lokal, dan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah untuk<br />

meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal di TNGHS. Kesepakatan kerjasama MKK ini<br />

ditandai dengan Memorandum of Understanding (MoU) dengan batasan waktu tertentu.<br />

3 Harmita (2009), definisi Kampung Konservasi menurut versi MKK adalah kampung yang di dalamnya bisa melakukan<br />

aktifitas perlindungan secara mandiri, mampu menjaga ekosistem dan secara ekonomi bisa memberikan<br />

kesejahteraan masyarakat.<br />

4


Seperti yang dilakukan oleh MKK Cisangku, bahwa MoU hanya berlaku selama 3 tahun<br />

dan jika diperlukan kembali, maka perlu ada surat kesepakatan kembali. Jangka waktu 3<br />

tahun bagi Kelompok MKK Cisangku adalah lemah (terlalu pendek). Namun ini juga<br />

dijadikan sebagai peluang awal pembuktian kepada pihak TNGH-S bahwa masyarakat bisa<br />

mengelola. Kemampuan ini akan menjadi bahan argumentasi dalam memperbaharui<br />

MoU bilamana terjadi perpanjangan. Penyepakatan melalui MoU hanya berbasis Resort<br />

(Resort Gunung Botol) dan tidak langsung dilakukan oleh kepala Balai TNGH-S.<br />

Kelembagaan lokal yang mengawal konsep ini adalah MKK Cisangku. Dalam konteks<br />

peningkatan ekonomi lokal, TNGHS bersama PT. Aneka Tambang memberi bantuan<br />

berupa ternak domba yang diharapkan bisa membantu ekonomi masyarakat dan<br />

mengurangi tingkat ketergantungan masyarakat menebang kayu, termasuk kayu<br />

kampung seperti Sengon (Albazia Falcataria).<br />

Secara prinsip, ketiga konsep yang dianalisis tidak menunjukkan perbedaan yang<br />

signifikan. Konsep pembangunan berkelanjutan (ekologi, ekonomi dan sosial) masih<br />

dijunjung tinggi oleh ketiga konsep ini. Namun dalam konteks penebangan, bagi warga<br />

Nyungcung dan Parigi berharap tetap diperbolehkan dengan aturan tebang pilih dan<br />

aturan main lainnya yang tidak merusak ekosistem yang ada. Selain itu, dalam konteks<br />

kesepakatan kerjasama, di dalam dokumen MoU MKK Cisangku, masih ada kesan<br />

masyarakat “mengontrak” di tanah TNGHS yang dibatasi dengan masa berlakunya MoU<br />

tersebut. Bagi warga Nyungcung dan Parigi batasan waktu bukan untuk masa perjanjian<br />

kerjasamanya namun dalam konteks waktu monitoring dan evaluasi (monev). Dimana<br />

dalam monev ini akan disepakati bersama indikator-indikator kesuksesan dan kegagalan<br />

dari implementasi konsep KDTK dan K2LPR tersebut. Juga disusun bersama system reward<br />

and punishment yang bisa dipertanggungjawabkan dan dihormati bersama.<br />

Perbedaan-perbedaaan ini lah yang harus didiskusikan terlebih dahulu dengan pihak<br />

BTNGHS untuk menyamakan persepsi. KDTK dan K2LPR merupakan dua konsep<br />

pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang harapannya bisa diakui sebagai bentuk<br />

pengelolaan wilayah yang disepakati bersama antara masyarakat dan BTNGHS.<br />

Kajian ini masih belum final, karena masih perlu dianalisis lebih lanjut dengan peta-peta<br />

partisipatif masyarakat yang kondisinya masih perlu didigitasi kembali.<br />

B.2 Verifikasi Hasil Kajian<br />

Verifikasi hasil kajian dilakukan ke berbagai pihak, khususnya di tingkat kampung dan<br />

pihak TNGHS, baik Seksi Bogor maupun Balai di Kabandungan. Verifikasi dilakukan untuk<br />

meng-crosscheck data-data yang telah dihimpun oleh tim. Secara susbtansi hal-hal yang<br />

diverifikasi adalah konsep KDTK dan K2LPR, khususnya tentang kondisi terkini wilayah dan<br />

komunitas yang mengelola di wilayah KDTK dan K2LPR. Proses verifikasi ini berjalan pada<br />

bulan Oktober dan Desember 2009.<br />

Secara umum tidak ada perubahan yang signifikan terhadap konsep KDTK dan K2LPR.<br />

Peta block plan yang sudah dibuat masyarakat masih bisa digunakan dan sesuai dengan<br />

5


kondisi di masyarakat. Perubahan positif malah terlihat di Kp. Nyungcung dan Parigi.<br />

Areal yang pada awalnya adalah areal kritis bekas dikelola Perum Perhutani, kini menjadi<br />

hijau dan sudah hampir menyerupai hutan dan kebun campuran masyarakat.<br />

Areal yang peruntukkannya sebagai leuweung larangan (hutan larangan) tetap dijaga<br />

menjadi hutan yang tidak diperbolehkan ada campur tangan manusia. Ini terbukti dengan<br />

adanya pohon tua yang tumbang di areal tersebut dan tidak ada satu pun warga yang<br />

berani untuk memanfaatkannya. Selain itu areal tambang bentonit yang peruntukkannya<br />

sebagai kawasan hutan larangan juga saat ini masih terus dihijaukan. Perluasan areal<br />

sawah dan penjualan lahan pun tidak dilakukan, karena warga Nyungcung dan Parigi<br />

berkomitmen untuk menjaga dan menghormati KDTK dan K2LPR yang sudah disepakati.<br />

Bahkan bersepakat jika terjadi penjualan lahan oleh warga, maka akan ditindak langsung<br />

oleh tim KDTK. Pemahaman perjuangan pengakuan KDTK dan K2LPR ini masih perlu<br />

disebarkan ke berbagai pihak dan di tingkat warga sendiri.<br />

Dalam konteks pengakuan dalam bentuk tertulis (MoU), KDTK dan K2LPR akan tetap<br />

dipertahankankan, dan tidak akan mengikuti nama MKK, karena KDTK dan K2LPR<br />

merupakan hasil inisiatif warga yang murni dan sesuai dengan kebutuhan ekonomi warga<br />

dengan tetap mempertahankan kondisi ekologi.<br />

Bagi pihak TNGHS Seksi Bogor, pada dasarnya sangat mendukung upaya pengakuan yang<br />

akan dilakukan oleh Nyungcung dan Parigi. Namun dari sisi nama, TNGHS Seksi Bogor<br />

masih berharap sebaiknya dengan nama MKK saja, karena MKK merupakan nama yang<br />

sudah dipakai dan diakui oleh pihak Dirjen PHKA di wilayah TNGHS. Dalam konteks<br />

konsep, TNGHS Seksi Bogor mengusulkan beberapa hal yang bisa didiskusikan bersama<br />

masyarakat:<br />

Pada dasarnya tidak ada pelarangan lahan garapan yang sudah ada, tetapi tidak<br />

boleh memperluas lahan garapan atau bahkan membuka lahan garapan baru.<br />

Kriteria jenis tanaman bisa didiskusikan bersama antara masyarakat dan TNGH-S.<br />

Memang selama ini pada site-site MKK, tanaman masyarakat di lahan garapan<br />

MKK lebih diarahkan pada tanaman bukan kayu dan buah. Ini untuk mengurangi<br />

penebangan kayu yang dilakukan masyarakat<br />

Restorasi lahan diisi oleh tanaman endemik.<br />

Proses verifikasi juga dilakukan dengan Balai TNGHS di Kabandungan, pada bulan<br />

Desember – Februari 2010. Proses ini dilakukan sehubungan dengan perkembangan yang<br />

terjadi di kawasan Taman Nasional di Indonesia, terkait rancangan zonasi yang disusun<br />

oleh TNGHS. Rancangan zonasi yang dibuat sepihak akan memicu perlawanan dari<br />

masyarakat. Oleh karenanya proses audiensi perlu dilakukan, untuk mengklarifikasi<br />

proses penyusunan rancangan zonasi yang dilakukan. Rancangan zonasi ini pun akan<br />

berimplikasi pada proses pengakuan dan pilihan hukum yang akan diambil oleh KDTK dan<br />

K2LPR. Zona khusus di dalam zonasi TN menjadi areal yang peruntukkannya bisa<br />

mengakomodir kepentingan masyarakat. Namun faktanya di dalam rancangan zonasi,<br />

6


elum semua keberadaan masyarakat ini diakui di dalam zona khusus. Perlu ada MoU<br />

rencana tata ruang antara masyarakat dan TNGHS. Seperti hal nya kampung-kampung<br />

yang sudah diakui sebagai areal MKK. Dalam konteks KDTK dan K2LPR pada dasarnya ini<br />

menjadi peluang untuk melewati proses pengakuan menuju Rencana Tata Ruang<br />

Kesepakatan (RTRK), meskipun perlu untuk disamakan kembali pemahaman konsep<br />

antara masyarakat dan TNGHS.<br />

B.3 Diskusi Pakar<br />

Proses diskusi dan konsultasi bersama para pakar dilakukan untuk melihat seberapa besar<br />

konsep KDTK dan K2LPR bisa diterima dan diakui secara ekologi, ekonomi dan sosial serta<br />

tidak bertolak belakang dengan kebijakan negara. Diskusi bersama para pakar tidak<br />

dilakukan secara khusus, namun dilakukan secara bersamaan dengan kegiatan-kegiatan<br />

seminar dan undangan pertemuan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya<br />

hutan berbasis masyarakat.<br />

Dalam konteks kebijakan, peluang yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat adalah terkait<br />

dengan kebijakan rancangan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) tentang<br />

pemberdayaan masyarakat di kawasan konservasi. Pembahasan ini sangat bermanfaat<br />

untuk menbaca peluang-peluang pilihan hukum lainnya yang menunjang proses<br />

pengakuan konsep-konsep PSDHBM. Selain itu, kebijakan tentang Hutan Kemasyarakatan<br />

di kawasan konservasi (HKm-K) juga menjadi penting untuk dilihat sebagai peluang atau<br />

tidak. Perkembangan lainnya adalah pencanangan TNGHS sebagai salah satu taman<br />

nasional yang ditetapkan sebagai KPH-K (Kesatuan Pengelolaan Hutan-Konservasi).<br />

Menurut Bpk. Hariadi Kartodihardjo (Ketua Dewan Kehutanan Nasional-DKN),<br />

pencanangan tersebut pada dasarnya sangat memberi peluang kepada masyarakat untuk<br />

diakui hak akses sumberdaya alamnya oleh negara. Ini ditunjukkan dengan pola KPH-K<br />

yang membagi hak pengelolaan kawasannya berbasiskan resort. Artinya ada institusi<br />

yang lebih spesifik mengelola wilayah yang tidak terlalu luas.<br />

Terkait dengan pemberdayaan masyarakat, kini PHKA bersama Working Group<br />

Pemberdayaan (WGP) sedang menggodok draft Peraturan Menteri Kehutanan<br />

(PerMenHut) tentang Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan Konservasi. Ini merupakan<br />

salah satu respon PHKA terkait dengan konflik sosial di kawasan konservasi. Konsepkonsep<br />

pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan konservasi menjadi salah satu bentuk<br />

keseriusan masyarakat yang bermukim di kawasan konservasi menjaga kawasan dengan<br />

baik. Diskusi ini berlangsung selama bulan Desember 2009 hingga Februari 2010. Dalam<br />

konteks peluang hukum yang bisa digunakan oleh KDTK dan K2LPR adalah kebijakan<br />

kolaborasi dan pedoman zonasi taman nasional.<br />

Berbicara tentang kondisi ekologi, para pakar yang ditemui tidak terlalu banyak<br />

memberikan masukan, karena konsep agroforestry yang dikenal dengan istilah<br />

dudukuhan/kebun campuran merupakan konsep yang sudah sangat baik memadukan<br />

berbagai jenis vegetasi dengan jangka waktu yang berbeda. Namun yang perlu<br />

diperhatikan juga adalah untuk memasukkan daftar jenis-jenis tanaman ke dalam konsep<br />

KDTK yang disesuaikan dengan kondisi kecuraman lokasi dan jenis tanah.<br />

7


Dalam konteks ekonomi, kebun campuran merupakan areal yang penggunaannya untuk<br />

dimanfaatkan dalam pemenuhan ekonomi masyarakat. Termasuk sawah dan palawija<br />

yang dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari serta kayu kampung yang dicadangkan<br />

sebagai “tabungan” pendidikan dan kesehatan.<br />

B.4. Workshop Sosialisasi Hasil Kajian<br />

Dalam rangka membangun persepsi konsep KDTK dan K2LPR dari berbagai pihak, pada<br />

tanggal 9 Februari 2010 di Aula SMP 1 Terbuka (Desa Cisarua) telah dilaksanakan kegiatan<br />

Aksi Tanam Massal dan Ririungan, dengan tema “Membangun Pengelolaan Kawasan<br />

Konservasi Secara Kolaborasi Menuju Hutan Halimun Lestari, Masyarakat Mandiri”.<br />

Panitia bersama yang dibentuk (RMI, Kelompok Tani Sekarsari Parigi, KSM Nyungcung,<br />

TNGHS, dan Pemerintah Desa) merupakan salah satu bentuk simbolisasi KOLABORASI di<br />

Halimun telah dimulai. Mulai dari tahap persiapan merancang kegiatan hingga<br />

pelaksanaan, panitia bersama yang dibentuk berbagi tugas.<br />

Dukungan dari Camat Nanggung ditunjukkan dengan membuka kegiatan sekaligus turut<br />

menanam satu pohon di areal perbatasan Nyungcung-Parigi yang sekaligus juga masuk ke<br />

dalam areal konservasi TNGHS. Selain Camat, juga Kepala Seksi Bogor – TNGHS, Kepala<br />

Desa Malasari dan Cisarua, Muspika, serta ketua KSM Nyungcung dan KTS Parigi turut<br />

berkontribusi menanam di areal tersebut. Rasa kebersamaan yang dibangun ini juga<br />

dihadiri oleh anak-anak SD yang bersama-sama menanam di areal yang disediakan. Bibit<br />

yang terkumpul sebanyak 6100 bibit yang diperoleh dari masyarakat, BP DAS, Dinas<br />

Kehutanan dan Perkebunan, PT. Aneka Tambang, TNGHS dan Kelompok MKK. Pada<br />

pelaksanaannya pun dimeriahkan dengan lagu-lagu konservasi karya masyarakat.<br />

Sebagai bentuk rasa kebersamaan yang diawali dengan kegiatan tanam massal, KDTK,<br />

K2LPR serta MKK mencoba mempresentasikan konsep-konsep yang telah ada dan<br />

mencari irisan kesamaan konsep. Pada intinya, tujuan dari ketiga konsep tersebut<br />

terdapat kesamaan, namun ijin menebang kayu kampung di dalam konsep MKK memang<br />

masih belum bisa diakomodir. Dukungan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten<br />

Bogor pun dijelaskan melalui program kerja PemKab Bogor dalam menghijaukan kawasan<br />

tapi juga memperhatikan peningkatan kesejahteraan masyarakat di dalamnya. Sebagai<br />

output bersama, diakhir kegiatan berhasil dirumuskan sebuah DEKLARASI BERSAMA<br />

Membangun Kawasan Konservasi Secara Kolaborasi Menuju Hutan Halimun Salak Lestari,<br />

Masyarakat Mandiri. Deklarasi ini sebagai landasan bersama membangun kolaborasi<br />

dalam menyusun kesepakatan pengelolaan zona khusus TNGHS berupa Rencana Tata<br />

Ruang Kesepakatan (RTRK) secara tertulis. Semua persoalan yang terjadi di kawasan<br />

TNGHS harus diselesaikan secara kolaborasi dan melibatkan masyarakat setempat.<br />

B.5. Dialog dan Negosiasi<br />

Proses dialog dan negosiasi mulai dilakukan dengan Kantor Seksi Bogor pada tanggal 22<br />

Desember 2009 diawali dengan sharing konsep KDTK dan K2LPR serta memupuk rasa<br />

saling percaya. Rancangan kerja bersama menjadi materi pembicaraan yang disepakati.<br />

RMI dan TNGHS Seksi Bogor bersepakat bahwa program menuju pengakuan KDTK dan<br />

8


K2LPR serta program Kampanye Bangga Hutan Halimun Lestari, Masyarakat Mandiri<br />

menjadi pekerjaan bersama dan saling mendukung satu sama lain.<br />

Kunci kebersamaan antara TNGHS dan Masyarakat adalah KOLABORASI. Kolaborasi yang<br />

masih multi interpretatif menjadi bahan diskusi yang cukup menarik. Rancangan zonasi<br />

yang dibangun oleh TNGHS mengundang RMI dan NGO lainnya serta masyarakat untuk<br />

ikut urun rembug memberi masukan. Diskusi audiensi diterima pada tanggal 1 Desember<br />

2009 di Kantor Balai TNGHS di Kabandungan, Sukabumi. Rancangan zonasi ini akan<br />

sangat berpengaruh terhadap peluang pengakuan KDTK dan K2LPR. Maka menjadi sangat<br />

penting RMI ikut serta di dalam proses rancangan zonasi tersebut. Pertemuan pertama<br />

menghasilkan kesepakatan untuk menyusun road map yang ideal, mulai dari pra zonasi,<br />

during zonasi hingga pre zonasi. Kesepakatan ini kemudian diikuti dengan diskusi-diskusi<br />

di RMI beserta NGO lain untuk mengkoordinasikan rencana tindak lanjut. Beberapa kali<br />

pertemuan di gelar untuk menyatukan pendapat dan pemahaman terhadap rancangan<br />

zonasi TNGHS yang dapat mengakomodir kepentingan masyarakat dan TNGHS. Dari<br />

pertemuan-pertemuan ini dihasilkan road map yang ideal untuk mendapatkan zonasi<br />

TNGHS yang disepakati dan dihormati bersama oleh berbagai pihak.<br />

Pertemuan kedua dilakukan pada tanggal 23 Desember 2009 yang agendanya adalah<br />

sharing road map hasil diskusi RMI dan NGO lainnya, serta sharing hasil verifikasi peta<br />

zonasi yang dilakukan oleh TNGHS. Peta zonasi yang telah ada akan berlanjut ke arah<br />

konsultasi publik dan masukan-masukan pada saat konsultasi publik akan merevisi peta<br />

zonasi sebelumnya. Proses konsultasi publik dilakukan di Sukabumi (18 Maret 2010) dan<br />

Bogor (23 Maret 2010). Kegelisahan masyarakat diijinkan atau tidak dalam memanfaatan<br />

kayu kampung masih belum mendapatkan kepastian. Hingga akhirnya BTNGHS dengan<br />

mengundang mitra kerja nya (RMI, JKPP, JEEF, PEKA dan PILI) bisa bertemu dengan Kepala<br />

Bagian Pemolaan (PHKA) untuk sharing rencana konsultasi publik pada tanggal 12 Maret<br />

2010. Salah satu poin kesimpulan adalah tentang diperbolehkannya masyarakat untuk<br />

menebang kayu lokal yang dibudidayakan masyarakat dengan mekanisme kesepakatan<br />

yang dituangkan di dalam MoU Pengelolaan zona khusus.<br />

Proses dialog menyamakan pandangan terhadap konsep dan aturan main pengelolaan<br />

KDTK dan K2LPR di zona khusus terus dilakukan, baik bertatap muka langsung maupun<br />

melalui media komunikasi lainnya seperti telp dan email. Perwakilan dari KSM<br />

Nyungcung dan Kelompok Tani Sekarsari Parigi turut hadir di dalam proses dialog dan<br />

negosiasi yang dilakukan secara intensif pada bulan April hingga Mei 2010.<br />

B.6. Ground Check.<br />

Kegiatan ground check pada dasarnya direncanakan untuk melihat bersama-sama titik<br />

batas KDTK dan K2LPR. Meskipun peta partisipatif yang difasilitasi RMI sudah ada, pihak<br />

TNGHS perlu melakukan validasi titik koordinat lokasi. Namun ini tidak terjadi, karena<br />

data titik korodinat hasil pemetaan partisipatif ternyata dapat digunakan langsung oleh<br />

pihak TNGHS untuk di overlay di peta zonasi TNGHS. Ini merupakan salah satu bentuk<br />

kepercayaan yang dibangun antara RMI, Masyarakat dan TNGHS.<br />

9


B.7 Penyusunan Regulasi Fungsi Ruang dalam PSDHBM<br />

Penyusunan draft regulasi fungsi ruang dalam bentuk perjanjian kerjasama dimulai secara<br />

intensif sejak bulan April 2010. Proses penyusunan draft perjanjian kerjasama dilakukan<br />

di tingkat masyarakat, kantor Seksi Bogor – TNGHS dan BTNGHS. Tiga hal yang menjadi<br />

titik berat usulan masyarakat, yaitu:<br />

1. Waktu perjanjian kerjasama. Pada perjanjian kerjasama MKK, umumnya ada batasan<br />

waktu perjanjian kerjasama. Salah satu interpretasi dari batasan waktu ini adalah,<br />

masyarakat hanya diijinkan mengelola wilayah nya dengan waktu yang ditetapkan<br />

(biasanya 3 – 5 tahun). Usulan dari masyarakat adalah waktu yang dituagkan di<br />

dalam perjanjian kerjasama seharusnya hanya menunjukkan waktu pelaksanaan<br />

evaluasi program. Dari hasil evaluasi tersebut nantinya akan menjelaskan apakah<br />

konsep KDTK dan K2LPR bisa terimplementasi dengan baik atau tidak.<br />

2. Perihal perjanjian kerjasama yang diusulkan bukan dengan nama MKK, melainkan<br />

dengan nama lokal KDTK dan K2LPR.<br />

3. Perijinan memanfaatkan kayu kampung juga diharapkan dapat dituangkan di dalam<br />

perjanjian kerjasama. Hal ini untuk memastikan bahwa warga Nyungcung dan Parigi<br />

dapat memanfaatkan kayu kampung yang telah dibudidayakan sesuai dengan aturan<br />

yang disepakati bersama. Misalnya pemanfaatan kayu hanya boleh dilakukan pada<br />

pohon yang berdiameter lebih dari 15 cm dan setiap kali menebang pohon, harus<br />

ditanami kembali dengan 5 bibit pohon.<br />

Proses penyusunan regulasi di tingkat masyarakat juga sekaligus mendetailkan kembali<br />

aturan main pengelolaan ruang zona khusus di Kampung Nyungcung dan Kampung Parigi.<br />

Seperti halnya terdapat tambahan ruang berupa hutan komunal dengan nama<br />

leuweung/lumbung sarerea yaitu areal Pinus yang akan dikelola menjadi hutan rakyat<br />

yang dialokasikan sebagai cadangan kebutuhan kayu untuk membangun fasilitas umum.<br />

Begitu pula dengan kelembagaan yang akan “mengawal” impelementasi KDTK dan K2LPR.<br />

KSM Nyungcung dan Kelompok Tani Sekarsari Parigi dipastikan lembaga lokal yang akan<br />

akan mengawal KDTK dan K2LPR.<br />

Poin-poin penting masyarakat kemudian di hasilkan draft perjanjian kerjasama yang<br />

diusulkan ke TNGHS Seksi Bogor dan BTNGHS. Kunjungan ke TNGHS Seksi Bogor (27 Mei<br />

2010) dan BTNGHS (31 Mei 2010) merupakan waktu negosiasi sekaligus<br />

mempresentasikan kembali konsep KDTK dan K2LPR serta draft usulan perjanjian<br />

kerjasama antara BTNGH dan Masyarakat Nyungcung dan Parigi. Dengan adanya<br />

pergantian kepala BTNGHS, RMI dan Masyarakat “memanfatkan” waktu negosiasi<br />

tersebut juga dengan silaturahmi sekaligus memperkenalkan diri.<br />

Mekanisme monitoring dan evaluasi tidak sampai dibahas secara detail. Untuk waktu<br />

monitoring dan evaluasi disepakati setiap minimal satu tahun sekali.<br />

Setelah melewati berbagai diskusi, pihak BTNGHS menyebutkan bahwa bentuk perjanjian<br />

kerjasama antara BTNGHS dan KSM Nyungcung serta KTS Parigi ini unik. Dan pada<br />

10


dasarnya rasa saling percaya sudah terbangun. Namun karena perjanjian kerjasama ini<br />

secara hukum harus bersifat universal dan bisa digunakan di lokasi lain, maka poin<br />

penting tentang batasan waktu perjanjian kerjasama dan pencantuman diijinkan nya<br />

masyarakat memanfaatkan kayu kampung dengan aturan yang disepakati terpaksa tidak<br />

bisa dicantumkan di dalam Perjanjian Kerjasama. Namun akan dicantumkan di dalam<br />

dokumen arahan program atau di dalam konsep KDTK dan K2LPR. Negosiasi ini pun bisa<br />

diterima oleh masyarakat yang tertantang untuk memanfaatkan kawasan zona khusus<br />

sesuai dengan aturan main yang disepakati.<br />

B.8 Penandatanganan MoU<br />

Pelaksanaan penandatanganan Perjanjian Kerjasama ini dilaksanakan pada tanggal 22<br />

Juni 2010. Dokumen Perjanjian Kerjasama yang dilampirkan dengan konsep Pengelolaan<br />

KDTK dan K2LPR. Perjanjian kerjasama KDTK ditandatangani oleh Ketua KSM Nyungcung<br />

dan Kepala BNTGHS serta diketahui oleh Direktur Kawasan Konservasi. Dan K2LPR<br />

ditandatangani oleh Ketua Kelompok Tani Sekarsari Prigi dan Kepala BNTGHS serta<br />

diketahui oleh Direktur Kawasan Konservasi.<br />

Selama persiapan berlangsung, Kepala BTNGHS siap hadir dan menandatangani Perjanjian<br />

Kerjasama tersebut. Namun pada pelaksanaannya, Kepala BTNGHS tidak bisa hadir<br />

karena harus mengikuti diskusi tim penyidik terkait dengan penyelesaian kasus<br />

pembangunan Villa di TNGHS. Sebagai penggantinya adalah Kepala Seksi Bogor – TNGHS<br />

yang secara fisik hadir untuk memberi paraf. Dokumen Perjanjian Kerjasama akan tetap<br />

ditandatangani oleh Kepala BTNGHS dan Direktur Kawasan Konservasi.<br />

Sebagai bentuk simbolisasi KOLABORASI ini telah terbangun, serah terima bibit dari<br />

masyarakat dan BTNGHS pun dilakukan. Bibit kayu dari TNGHS diserahkan kepada<br />

masyarakat, dan bibit buah dari masyarakat kepada TNGHS.<br />

Penandatangan Perjanjian Kerjasama ini dihadiri oleh masyarakat, perwakilan kelompok<br />

tani, BNTGHS, TNGHS Seksi Bogor dan Resort Gunung Botol, Pemerintah Desa, Kecamatan<br />

Nanggung dan RMI. Pengumumam pemenang lomba petisi perempuan dan pentas seni<br />

lagu-lagu konservasi pun dilantunkan selama proses penandatanganan Perjanjian<br />

Kerjasama ini berlangsung. PoinPlus Band bersama para pencipta lagu-lagu konservasi<br />

Halimun secara langsung menyanyikan secara bersama-sama.<br />

Penandatangan Perjanjian kerjasama merupakan titik awal proses Kolaborasi dibangun.<br />

Kolaborasi dan kebersamaan di berbagai kegiatan merupakan perwujudan dari rasa saling<br />

percaya antara masyarakat dan BTNGHS. Masih banyak tantangan bagi kedua belah<br />

pihak untuk bersama-sama mengimplementasikan rencana tata ruang kesepakatan yang<br />

telah disepakati, yaitu konsep KDTK dan K2LPR.<br />

11


III. Pembelajaran dan Rekomendasi<br />

Proyek yang berlangsung selama 10 (sepuluh) bulan ini berjalan efektif 8 (delapan) bulan.<br />

Tantangan besar mengelola proyek yang juga melibatkan pihak lain. Berikut adalah beberapa<br />

pembelajaran penting selama proyek ini berlangsung :<br />

1. Stigmatisasi bahwa RMI adalah “anak nakal” yang tidak pernah mau duduk bersama dengan<br />

TNGHS selalu disebutkan sebelum proyek ini berlangsung. Komunikasi, koordinasi dan<br />

negosiasi merupakan kunci untuk merubah image bahwa RMI dan masyarakat tidak bisa<br />

berkolaborasi dengan pemangku kepentingan di Halimun. Komunikasi intensif merupakan<br />

bentuk aktivitas yang strategis dalam memupuk rasa kepercayaan dengan berbagai pihak<br />

2. Tingkat pengetahuan dan pemahaman yang berbeda di tingkatan TNGHS tentang kolaborasi,<br />

konservasi untuk kesejahteraan manusia, zona khusus juga menjadi tantangan lain yang harus<br />

diminimalisir selama proses negosiasi dibangun. Peningkatan kapasitas para staff TNGHS ini<br />

menjadi penting untuk dilakukan<br />

3. Situasi politik dan dinamika konflik yang terjadi merangsang berbagai pihak untuk secara<br />

intensif mengikuti perkembangan yang terjadi dan berupaya mengintervensi situasi tersebut<br />

untuk kepentingan terakomodirnya kebutuhan masyarakat. Pengawalan perkembangan<br />

zonasi TNGHS, khususnya zona khusus hingga konsultasi publik zonasi TNGHS menjadi agenda<br />

RMI bersama LSM lain yang bekerja di Kawasan TNGHS. Karena ini akan berdampak pada di<br />

ruang mana masyarakat bisa diakomodir di zonasi TNGHS serta mekanisme seperti apa yang<br />

akan diterapkan di dalam ruang kesepakatan tersebut.<br />

4. Pergantian Kepala BTNGHS pun menjadi tantangan sendiri untuk memahami karakter kepala<br />

BTNGHS yang baru. Proses diskusi dan negosiasi yang berlangsung sebelumnya akan menjadi<br />

acuan menilai kepala BTNGHS yang baru. Komunikasi yang intensif serta penggalian<br />

informasi tentang Kepala BTNGHS yang baru menjadi kegiatan intensif pasca serah terima<br />

jabatan.<br />

5. Pasca penandatangan Perjanjian Kerjasama ini perlu dilakukan monitoring<br />

pengimplementasian konsep KDTK dan K2LPR serta bentuk-bentuk dukungan yang diberikan<br />

oleh BTNGHS dan Pemerintah Kabupaten Bogor serta pihak lainnya terhadap kawasan zona<br />

khusus yang dikelola secara legal dan tertulis oleh masyarakat langsung.<br />

6. Dinamika kelembagaan RMI turut mewarnai seluruh proyek yang dikelola oleh RMI.<br />

Pergantian Koordinator Proyek dan tidak adanya proses tranferisasi data dan informasi dari<br />

koordinator sebelumnya membuat Koordinator Proyek yang baru dan tim proyek harus<br />

bekerja keras menyesuaikan waktu kerja yang telah disepakati sebelumnya. Begitu pula<br />

dengan situasi internal yang turut berkontribusi memperlambat kinerja penyelesaian proyek.<br />

Tantangan tersendiri bagi Koordinator Proyek untuk membagi waktu dan konsentrasi dalam<br />

penyelesaian proyek.<br />

12

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!