Guru agama SMPN 2 Banjaran Kab. Bandung - Pendis kemenag RI

Guru agama SMPN 2 Banjaran Kab. Bandung - Pendis kemenag RI Guru agama SMPN 2 Banjaran Kab. Bandung - Pendis kemenag RI

pendis.kemenag.go.id
from pendis.kemenag.go.id More from this publisher
18.05.2014 Views

lebih bersifat hapalan dan pengetahuan (kognitif) ditambah sedikit keterampilan motorik, namun belum menyentuh aspek sikap (apektif). Menurut Prof. Dr. Jakiyah Darajat, essensi pendidikan agama adalah penanaman nilai. Optimalisasi dapat dilakukan dengan membuka kerja sama antara guru agama dengan guru mata pelajaran lain atau guru agama dengan orang tua. Pemberian tugas berupa laporan kegiatan keagamaan sehari-hari atau laporan perkembangan perilaku siswa di sekolah, merupakan salah satu bentuk kerja sama dengan orang tua. Memasukkan nilai moral religius dalam pelajaran di luar pendidikan agama atau memadukan materi nonkeagamaan pada pelajaran agama, merupakan bentuk kerja sama dengan guru mata pelajaran. Ketiga, pengembangan nilai-nilai tidak hanya dapat dilakukan dengan pendekatan rasional, melalui ceramah-ceramah atau pemberian sangsi dan imbalan, tetapi lebih tepat bila dilakukan pelembagaan (internalisasi) terhadap nilai-nilai tersebut. Dalam kurikulum berbasis kompetensi (KBK) diberlakukan muatan pembiasaan. Guru dan segenap personel yang ada di sekolah diupayakan untuk dapat melakukan secara rutin kegiatan yang dianggap dapat membantu dalam mengembangkan sistem nilai tertentu. Ini merupakan kesempatan bagi guru mata pelajaran agama untuk membiasakan kegiatan yang bersifat ibadah, misalnya pembacaan Alquran selama 5 atau 10 menit setiap hari pada jam pertama, penyelenggaraan salat berjemaah, penggunaan pakaian yang sesuai syariat untuk hari-hari tertentu. Walaupun derasnya informasi yang dapat diterima peserta didik di luar sekolah dan kuatnya tuntutan lingkungan, pendidikan agama di sekolah masih memiliki nilai tawar yang tinggi dan kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan kepribadian peserta didik. Legalitas formal yang diberikan pemerintah dan masyarakat mendorong sekolah untuk memiliki kemandirian dalam memberikan legalisasi terhadap kemampuan peserta didik. Seorang anak akan terpacu untuk mengejar ketinggalan jika masih terdapat nilai kurang pada buku rapor atau ijazahnya, terlebih bagi pelajaran agama ada ketentuan bahwa nilai minimal harus 6,00. Kondisi ini seharusnya dapat membuat sekolah mampu memformat kepribadian anak sesuai dengan konsep yang dikehendaki.*** Sumber: Pikiran Rakyat 2

lebih bersifat hapalan dan pengetahuan (kognitif) ditambah sedikit keterampilan<br />

motorik, namun belum menyentuh aspek sikap (apektif). Menurut Prof. Dr. Jakiyah<br />

Darajat, essensi pendidikan <strong>agama</strong> adalah penanaman nilai.<br />

Optimalisasi dapat dilakukan dengan membuka kerja sama antara guru <strong>agama</strong><br />

dengan guru mata pelajaran lain atau guru <strong>agama</strong> dengan orang tua. Pemberian tugas<br />

berupa laporan kegiatan ke<strong>agama</strong>an sehari-hari atau laporan perkembangan perilaku<br />

siswa di sekolah, merupakan salah satu bentuk kerja sama dengan orang tua.<br />

Memasukkan nilai moral religius dalam pelajaran di luar pendidikan <strong>agama</strong><br />

atau memadukan materi nonke<strong>agama</strong>an pada pelajaran <strong>agama</strong>, merupakan bentuk<br />

kerja sama dengan guru mata pelajaran.<br />

Ketiga, pengembangan nilai-nilai tidak hanya dapat dilakukan dengan<br />

pendekatan rasional, melalui ceramah-ceramah atau pemberian sangsi dan imbalan,<br />

tetapi lebih tepat bila dilakukan pelembagaan (internalisasi) terhadap nilai-nilai<br />

tersebut.<br />

Dalam kurikulum berbasis kompetensi (KBK) diberlakukan muatan<br />

pembiasaan. <strong>Guru</strong> dan segenap personel yang ada di sekolah diupayakan untuk dapat<br />

melakukan secara rutin kegiatan yang dianggap dapat membantu dalam<br />

mengembangkan sistem nilai tertentu.<br />

Ini merupakan kesempatan bagi guru mata pelajaran <strong>agama</strong> untuk<br />

membiasakan kegiatan yang bersifat ibadah, misalnya pembacaan Alquran selama 5<br />

atau 10 menit setiap hari pada jam pertama, penyelenggaraan salat berjemaah,<br />

penggunaan pakaian yang sesuai syariat untuk hari-hari tertentu.<br />

Walaupun derasnya informasi yang dapat diterima peserta didik di luar sekolah<br />

dan kuatnya tuntutan lingkungan, pendidikan <strong>agama</strong> di sekolah masih memiliki nilai<br />

tawar yang tinggi dan kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan kepribadian<br />

peserta didik.<br />

Legalitas formal yang diberikan pemerintah dan masyarakat mendorong<br />

sekolah untuk memiliki kemandirian dalam memberikan legalisasi terhadap<br />

kemampuan peserta didik. Seorang anak akan terpacu untuk mengejar ketinggalan jika<br />

masih terdapat nilai kurang pada buku rapor atau ijazahnya, terlebih bagi pelajaran<br />

<strong>agama</strong> ada ketentuan bahwa nilai minimal harus 6,00. Kondisi ini seharusnya dapat<br />

membuat sekolah mampu memformat kepribadian anak sesuai dengan konsep yang<br />

dikehendaki.***<br />

Sumber: Pikiran Rakyat<br />

2

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!