Guru agama SMPN 2 Banjaran Kab. Bandung - Pendis kemenag RI
Guru agama SMPN 2 Banjaran Kab. Bandung - Pendis kemenag RI
Guru agama SMPN 2 Banjaran Kab. Bandung - Pendis kemenag RI
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Optimalisasi Fungsi Pendidikan Agama<br />
Oleh Aam Muammar<br />
(<strong>Guru</strong> <strong>agama</strong> <strong>SMPN</strong> 2 <strong>Banjaran</strong> <strong>Kab</strong>. <strong>Bandung</strong>)<br />
UNDANG-UNDANG Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 menyatakan: "Pendidikan<br />
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses<br />
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk<br />
memiliki kekuatan spiritual ke<strong>agama</strong>an, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan ".<br />
Agama, sebagai dasar keyakinan, dalam rumusan di atas mendapat penekanan<br />
khusus. Kalimat spiritual ke<strong>agama</strong>an mengandung arti, <strong>agama</strong> bukan hanya diajarkan<br />
(disampaikan dalam bentuk rumusan-rumusan konsep atau teori) namun harus<br />
dididikkan. Artinya, dirumuskan dalam perbuatan-perbuatan nyata yang terakumulasi<br />
dalam sebuah kepribadian yang utuh.<br />
Penyalahgunaan narkoba, pergaulan bebas, dan maraknya tindakan<br />
kriminalitas adalah bentuk nyata dari belum larutnya nilai-nilai <strong>agama</strong> dalam<br />
kehidupan.<br />
Media cetak maupun elektronik, tren pola pergaulan, perhatian orang tua, dan<br />
kepedulian masyarakat, merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dalam proses<br />
pembentukan kepribadian. Namun, paling tidak pembelajaran <strong>agama</strong> di sekolah<br />
sebagai muatan wajib kurikulum dapat diberikan sedikit modifikasi sehingga lebih<br />
berdaya guna.<br />
Pertama, alokasi waktu yang hanya 2 x 45 menit dalam seminggu (untuk<br />
sekolah-sekolah nonke<strong>agama</strong>an), masih dianggap kurang memadai bila dibandingkan<br />
dengan bobot materi yang harus disampaikan.<br />
Untuk pelajaran <strong>agama</strong> Islam misalnya, Alquran dan hadis, ibadah (syariah),<br />
sejarah (tarikh), dan akhlak disatupaketkan dengan hanya dibedakan limit waktu untuk<br />
setiap pokok bahasan.<br />
Kenyataan di lapangan sering kali untuk memahami sebuah pokok bahasan,<br />
terbentur dengan kemampuan anak dalam membaca huruf Arab, khususnya Alquran<br />
dan hadits. Padahal untuk mengembangkan kemampuan ini dibutuhkan waktu yang<br />
leluasa, sementara pokok bahasan Alquran sendiri hanya teralokasi waktu 6 jam atau<br />
tiga kali pertemuan.<br />
Dengan sistem manajemen berbasis sekolah (MBS) masalah ini dapat disiasati<br />
dengan cara menambah jam pelajaran setelah ada kesepakatan dari para pengelola<br />
pendidikan di sekolah, kalau perlu dukungan dari orang tua siswa.<br />
Misalnya, dengan mengisi jatah/alokasi jam pelajaran muatan lokal (mulok)<br />
atau dapat juga dengan membuka kegiatan ekstra kurikuler ke<strong>agama</strong>an, seperti<br />
bimbingan baca tulis Alquran (BTQ) atau kelompok pengajian siswa.<br />
Kedua, pendidikan <strong>agama</strong> telah mengalami penyempitan makna menjadi<br />
pembelajaran <strong>agama</strong>. Hal ini dapat dilihat dari cakupan materi dan bentuk evaluasi<br />
yang diberikan. Pendidikan <strong>agama</strong>, menurut pakar pendidikan Islam Prof. Dr. Ahmad<br />
Tafsir, merupakan upaya untuk menanamkan nilai-nilai <strong>agama</strong> sehingga terbentuk<br />
pribadi yang Qurani.<br />
Kenyataan di lapangan, pendidikan <strong>agama</strong> disampaikan tidak berbeda seperti<br />
metode yang digunakan pada pelajaran lain, di mana peserta didik dibawa untuk<br />
memahami konsep-konsep dasar ajaran <strong>agama</strong> dan tidak sampai pada penghayatan<br />
nilai atau pengaktualisasian dalam kehidupan nyata.<br />
Demikian pula dalam hal penilaian, butir-butir soal yang diberikan cenderung<br />
1
lebih bersifat hapalan dan pengetahuan (kognitif) ditambah sedikit keterampilan<br />
motorik, namun belum menyentuh aspek sikap (apektif). Menurut Prof. Dr. Jakiyah<br />
Darajat, essensi pendidikan <strong>agama</strong> adalah penanaman nilai.<br />
Optimalisasi dapat dilakukan dengan membuka kerja sama antara guru <strong>agama</strong><br />
dengan guru mata pelajaran lain atau guru <strong>agama</strong> dengan orang tua. Pemberian tugas<br />
berupa laporan kegiatan ke<strong>agama</strong>an sehari-hari atau laporan perkembangan perilaku<br />
siswa di sekolah, merupakan salah satu bentuk kerja sama dengan orang tua.<br />
Memasukkan nilai moral religius dalam pelajaran di luar pendidikan <strong>agama</strong><br />
atau memadukan materi nonke<strong>agama</strong>an pada pelajaran <strong>agama</strong>, merupakan bentuk<br />
kerja sama dengan guru mata pelajaran.<br />
Ketiga, pengembangan nilai-nilai tidak hanya dapat dilakukan dengan<br />
pendekatan rasional, melalui ceramah-ceramah atau pemberian sangsi dan imbalan,<br />
tetapi lebih tepat bila dilakukan pelembagaan (internalisasi) terhadap nilai-nilai<br />
tersebut.<br />
Dalam kurikulum berbasis kompetensi (KBK) diberlakukan muatan<br />
pembiasaan. <strong>Guru</strong> dan segenap personel yang ada di sekolah diupayakan untuk dapat<br />
melakukan secara rutin kegiatan yang dianggap dapat membantu dalam<br />
mengembangkan sistem nilai tertentu.<br />
Ini merupakan kesempatan bagi guru mata pelajaran <strong>agama</strong> untuk<br />
membiasakan kegiatan yang bersifat ibadah, misalnya pembacaan Alquran selama 5<br />
atau 10 menit setiap hari pada jam pertama, penyelenggaraan salat berjemaah,<br />
penggunaan pakaian yang sesuai syariat untuk hari-hari tertentu.<br />
Walaupun derasnya informasi yang dapat diterima peserta didik di luar sekolah<br />
dan kuatnya tuntutan lingkungan, pendidikan <strong>agama</strong> di sekolah masih memiliki nilai<br />
tawar yang tinggi dan kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan kepribadian<br />
peserta didik.<br />
Legalitas formal yang diberikan pemerintah dan masyarakat mendorong<br />
sekolah untuk memiliki kemandirian dalam memberikan legalisasi terhadap<br />
kemampuan peserta didik. Seorang anak akan terpacu untuk mengejar ketinggalan jika<br />
masih terdapat nilai kurang pada buku rapor atau ijazahnya, terlebih bagi pelajaran<br />
<strong>agama</strong> ada ketentuan bahwa nilai minimal harus 6,00. Kondisi ini seharusnya dapat<br />
membuat sekolah mampu memformat kepribadian anak sesuai dengan konsep yang<br />
dikehendaki.***<br />
Sumber: Pikiran Rakyat<br />
2