1 LAPORAN AKHIR TIM KOMPENDIUM BIDANG HUKUM ...

1 LAPORAN AKHIR TIM KOMPENDIUM BIDANG HUKUM ... 1 LAPORAN AKHIR TIM KOMPENDIUM BIDANG HUKUM ...

15.04.2014 Views

e. Dari pembelajaran pada beberapa negara yang telah memiliki Undang-Undang yang sama, RUU tentang Administrasi Pemerintahan merupakan formula yang tepat, taktis dan strategis, guna mengadakan reformasi birokrasi, menuju pada konstruksi good governance (pemerintahan yang baik), yaitu negara yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. RUU telah cukup mengatur, apa yang diinginkan selama ini, bahwa setiap tindakan dan keputusan Pejabat Pemerintahan mengikat pejabat yang bersangkutan. Oleh karena itu dalam perumusan keputusan harus jelas dasar hukum dan pijakannya dan bukan atas dasar pijakan kekuasaan yang melekat pada jabatannya atau kekuasaan diskresi yang dimiliki, tetapi wajib mendasarinya dengan ketentuan Undang- Undang. Dalam RUU mengamanatkan prinsip kehati-hatian untuk menetapkan satu tindakan atau keputusan pejabat pemerintahan. Prinsip kehati-hatian itu mulai dari : (1) kewajiban untuk menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik (dalam Pasal 3 RUU ada 8 asas sebagai rambu-rambu hukum yang wajib dipahami dan diaplikasikan oleh seluruh pejabat pemerintahan), (2) menerapkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan bidang tugas dan kewenangannya dan (3) melindungi, didengar pendapatnya, dan tidak merugikan individu atau masyarakat. Prinsip kehati-hatian merupakan filter terdepan dari anti korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta menjadi ketentuan hukum anti korupsi yang dimulai dari hulu. Dengan demikian, jika masih ditemukan lagi penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan oleh pejabat pemerintahan, dan dijerat dengan ketentuan hukum tentang korupsi, maka ini menunjukkan bahwa pejabat pemerintahan, dan itu sudah kehilangan moralitasnya. Pada saatnya nanti setelah RUU ini menjadi Undang-undang, akan terjadi suatu perubahan mendasar dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan, perubahan sistem peradilan tata usaha negara, perubahan pola pikir (mind set) dan pola budaya (cultural set) serta hilangnya perilaku koruptif dan berkurangnya penyalahgunaan kewenangan dari para pejabat pemerintahan. Perubahan ini, tentu menjadi prasyarat bagi negara Indonesia untuk menuju pada suatu negara yang maju dan modern. C. Good Governance dalam perspektif partisipasi masyarakat dalam pengembanan hukum 50 1. Konsep Partisipasi: Pengertian dan Perluasan Maknanya Pada masa Orde Baru, tidak banyak orang bisa lantang untuk berbicara tentang demokrasi, namun tidak demikian dengan partisipasi. Banyak pihak dengan mudah dan tanpa ragu berbicara tentang partisipasi. Selain karena dominasi wacana pembangunan yang lebih cocok diintervensi 50 Bagian ini ditulis oleh Burhanudin, Peneliti LP3ES, Jakarta 76

melalui wacana partisipasi, konsep partisipasi juga mungkin relatif lebih “sejuk” dari pada demokrasi. Konsep Partisipasi yang di dalam Dictionary Of Sociology dimaknai sebagai suatu “keadaan di mana seseorang ikut mersakan bersama-sama dengan orang lain sebagai akibat dari terjadinya interaksi sosial” 51 program pemerintah. lebih mengesankan dukungan masyarakat terhadap Namun demikian, meski tidak mengundang “riak” sosial dan politik namun pelan tapi pasti, esklasi konsep partisipasi terus meningkat. Dan, ketika demokrasi diteriakkan oleh banyak pihak di banyak tempat, dalam beberapa tahun terakhir ini. Konsep partisipasi justru muncul sebagai isi atau esensi dari demokrasi. Bahakan, sekarang ini, konsep partisipasi dalam banyak hal telah digunakan sebagai salah satu indikator potensial untuk menilai apakah sebuah kebijakan sudah demokratis atau tidak. Dalam hubungan itu, konsep partisipasi dengan dengan cepat mengalami perluasan pemaknaan. Sekarang ini, tidak saja telah dipergunakan sebagai konsep penting dalam studi-studi social, akan tetapi juga pada bidang ekonomi dan politik. Di bidang sosial. Jika pada awalnya konsep partisipasi lebih diartikan sebagai keikutsertaan seseorang atau sekelompok orang dalam proses pelaksanaan program atau kegiatan 52 , sekarang ini pemaknaan konsep 51 Dawan Rahadjo. Model Partiasipasi Masyarakat Dalam Pembangunan, ESEI-ESEI EKONOMI POLITIK, 1988, LP3ES, Hal. 78. Dalam kesempatan ini Dawam Rahardjo mengutip pengertian partisipasi di dalam dictionary of sociology related Scienees, Little field Adam & Co, 1966, yang di tulis oleh Henry Pratt Fairchild 52 Ibid. hal 78. Dalam hal ini, Dawam Rahardjo mencuplik rumusan partisipasi tidak saja pada tingkat pelaksanaan suatu program, akan tetapi telah berkembang ke dalam kegiatan perencanaan dan proses pengambilan keputusan. Dalam hubungan itu, menurut catatan Jhon Gaventa dan Valderama, pada awalnya partisipasi masyarakat ditempatkan sebagai pihak yang berada diluar lembaga Negara. Yang mana bentuknya bisa berupa gerakan social maupun kelompok mandiri. Namun belakangan ini, pemaknaannya telah mengalami perkembangan, terutama setelah kelompok kajian Bank Dunia mengenai partisipasi merumuskan definsi partisipasi sebagai proses di mana semua para pemilik kepntingan mempengaruhi dan berbagi pengawasan atas inisitaif dan keputusan pembangunan. Dalam bidang politik, penggunaan konsep partisipasi juga semakin diperluas, jika pada awalnya digunakan untuk melihat tingkat keikutsertaan (kuantitatif) dalam system pemilu legislative, sekarang ini selain meluas kearah system pemilihan eksekutif, juga masuk kedalam system pemilihan pejabat-pejabat public lainnya. Masih terkait dengan perkembangan partisipasi di bidang politik ini, Jhon Gaventa dan Valderama bahwa konsepsi tentang partisipasi politik juga terus mengalami perbuhan, jika pada awalnya partisipasi politik lebih cenderung dimaknai sebagai “kegiatan legal yang secara langsung atau tidak langsung ditujukan untuk mempengarhi pilihan pejabat pemerintah”, yang mana, konsep terhadap partisipasi politik ditekankan pada aspek untuk mempengaruhi munculnya konsep paartisipasi yang dipergunakan oleh Dwight V. King dalam penelitiannya tentang Urbanisasi, Industrialisasi dan Partisipasi . Dalam hal ini, Dwight V. King mendifinisikan partisipasi sebagai “keikut-sertaan seseorang atau sekolompok masyarakat dalam program pemerintah. 77

melalui wacana partisipasi, konsep partisipasi juga mungkin relatif lebih<br />

“sejuk” dari pada demokrasi. Konsep Partisipasi yang di dalam Dictionary<br />

Of Sociology dimaknai sebagai suatu “keadaan di mana seseorang ikut<br />

mersakan bersama-sama dengan orang lain sebagai akibat dari terjadinya<br />

interaksi sosial” 51<br />

program pemerintah.<br />

lebih mengesankan dukungan masyarakat terhadap<br />

Namun demikian, meski tidak mengundang “riak” sosial dan politik namun<br />

pelan tapi pasti, esklasi konsep partisipasi terus meningkat. Dan, ketika<br />

demokrasi diteriakkan oleh banyak pihak di banyak tempat,<br />

dalam<br />

beberapa tahun terakhir ini. Konsep partisipasi justru muncul sebagai isi<br />

atau esensi dari demokrasi. Bahakan, sekarang ini, konsep partisipasi<br />

dalam banyak hal telah digunakan sebagai salah satu indikator potensial<br />

untuk menilai apakah sebuah kebijakan sudah demokratis atau tidak.<br />

Dalam hubungan itu, konsep partisipasi dengan dengan cepat mengalami<br />

perluasan pemaknaan. Sekarang ini, tidak saja<br />

telah dipergunakan<br />

sebagai konsep penting dalam studi-studi social, akan tetapi juga pada<br />

bidang ekonomi dan politik.<br />

Di bidang sosial. Jika pada awalnya konsep partisipasi lebih diartikan<br />

sebagai keikutsertaan seseorang atau sekelompok orang dalam proses<br />

pelaksanaan program atau kegiatan 52 , sekarang ini pemaknaan konsep<br />

51 Dawan Rahadjo. Model Partiasipasi Masyarakat Dalam Pembangunan,<br />

ESEI-ESEI EKONOMI POLITIK, 1988, LP3ES, Hal. 78. Dalam kesempatan ini<br />

Dawam Rahardjo mengutip pengertian partisipasi di dalam dictionary of<br />

sociology related Scienees, Little field Adam & Co, 1966, yang di tulis<br />

oleh Henry Pratt Fairchild<br />

52 Ibid. hal 78. Dalam hal ini, Dawam Rahardjo mencuplik rumusan<br />

partisipasi tidak saja pada tingkat pelaksanaan suatu program, akan tetapi<br />

telah berkembang ke dalam kegiatan perencanaan dan proses<br />

pengambilan keputusan. Dalam hubungan itu, menurut catatan Jhon<br />

Gaventa dan Valderama, pada awalnya partisipasi masyarakat<br />

ditempatkan sebagai pihak yang berada diluar lembaga Negara. Yang<br />

mana bentuknya bisa berupa gerakan social maupun kelompok mandiri.<br />

Namun belakangan ini, pemaknaannya telah mengalami perkembangan,<br />

terutama setelah kelompok kajian Bank Dunia mengenai partisipasi<br />

merumuskan definsi partisipasi sebagai proses di mana semua para<br />

pemilik kepntingan mempengaruhi dan berbagi pengawasan atas inisitaif<br />

dan keputusan pembangunan.<br />

Dalam bidang politik, penggunaan konsep partisipasi juga semakin<br />

diperluas, jika pada awalnya digunakan untuk melihat tingkat keikutsertaan<br />

(kuantitatif) dalam system pemilu legislative, sekarang ini selain meluas<br />

kearah system pemilihan eksekutif, juga masuk kedalam system pemilihan<br />

pejabat-pejabat public lainnya. Masih terkait dengan perkembangan<br />

partisipasi di bidang politik ini, Jhon Gaventa dan Valderama bahwa<br />

konsepsi tentang partisipasi politik juga terus mengalami perbuhan, jika<br />

pada awalnya partisipasi politik lebih cenderung dimaknai sebagai<br />

“kegiatan legal yang secara langsung atau tidak langsung ditujukan untuk<br />

mempengarhi pilihan pejabat pemerintah”, yang mana, konsep terhadap<br />

partisipasi politik ditekankan pada aspek untuk mempengaruhi munculnya<br />

konsep paartisipasi yang dipergunakan oleh Dwight V. King dalam<br />

penelitiannya tentang Urbanisasi, Industrialisasi dan Partisipasi . Dalam<br />

hal ini, Dwight V. King mendifinisikan partisipasi sebagai “keikut-sertaan<br />

seseorang atau sekolompok masyarakat dalam program pemerintah.<br />

77

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!