Harga Selangit - Human Rights Watch

Harga Selangit - Human Rights Watch Harga Selangit - Human Rights Watch

13.01.2014 Views

memprihatinkan, terutama dalam lingkungan militer dan kepolisian. Pengawasan keuangan yang lemah telah menyebabkan praktek-praktek tersebut menyebar luas. 379 Keuangan militer, seperti semua pengeluaran negara lainnya, harus mengikuti aturanaturan fiskal manajemen yang baik. 380 Bab ini menganalisa manajemen keuangan pemerintah Indonesia di sektor militer dan tingkat keterbukaan manajemen tersebut. Bab ini menemukan banyak kelemahan yang cukup parah dan walaupun ada usaha untuk memperbaiki kontrol keuangan, keuangan militer tetap merupakan area yang sangat lemah. Pada umumnya, pemerintah Indonesia telah mengakui perlunya perbaikan manajemen keuangan pemerintah dan telah mengambil langkah-langkah ke arah ini. 381 Penerapan upaya reformasi yang berpandangan maju sangat menggembirakan, tetapi upaya penerapan reformasi keuangan pemerintah secara keseluruhan di sektor militer telah berkali-kali tertunda. Selain itu, upaya yang tertuju sangat dibutuhkan untuk membuat keuangan militer dapat dipertanggungjawabkan di depan umum. Dana dari Pemerintah untuk Militer Dari tahap pembuatan anggaran sampai ke tahap penerapan dan pengawasannya, proses penganggaran militer di Indonesia ditandai dengan sederetan masalah. Pemerintah secara berangsur-angsur akan beralih ke sistem penganggaran berdasarkan prestasi kerja, tetapi pihak militer masih belum tercakup dan belum ditunjuk sebagai prioritas utama. 379 Bank Dunia, Combating Corruption in Indonesia, hal.19. 380 Wawancara Human Rights Watch dengan petugas audit pemerintah, Jakarta, 7 September 2004. Untuk penjelasan mengapa anggaran militer harus sesuai dengan aturan manajemen pembiayaan negara dan bagaimana hal ini dapat dilaksanakan, lihat, sebagai contoh, Nicole Ball dan Malcolm Holmes, “Integrating Defense into Public Expenditure Work (Mengikutsertakan Pertahanan dalam Upaya Pembiayaan Negara),” kertas kerja dipesan oleh Department for International Development (DFID) [Departemen Pembangunan Internasional] Kerajaan Inggris, 11 Januari 2002; Nicole Ball dan Len le Roux, “A model for good practice in budgeting for the military sector (Sebuah model bagi praktek-praktek bagus dalam mebuat anggaran di sektor militer),” dalam Wuyi Omitoogun dan Eboe Hutchful, eds., Budgeting for the Military Sector in Africa: The Processes and Mechanisms of Control (Membuat Anggaran Sektor Militer di Afrika: Proses dan Mekanisme Pengawasan) (Oxford: Oxford University Press/SIPRI, 2006); “Financial resources: achieving effective budgetary control in relation to security (Sumber daya keuangan: mencapai pengawasan anggaran yang efektif sehubungan dengan keamanan),” bagian VI, dalam Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces (DCAF) dan Inter-Parliamentary Union (IPU), Parliamentary Oversight of the Security Sector: Principles, mechanisms and practices (Pengawasan Parlemen dalam Sektor Keamanan: Prinsip, mekanisme dan praktek) (Geneva: DCAF dan IPU, 2003), hal. 129-145. 381 Sebagai contoh, pemerintah telah mulai menerapkan metode anggaran berdasarkan prestasi kerja, menelusuri penggunaan dana anggaran dengan menggunakan norma-norma akuntasi yang lebih baik, dan mewajibkan departemen-departemen yang mempunyai anggaran tersendiri untuk menyerahkan laporan keuangan tahunan. Wawancara Human Rights Watch dengan pejabat Departemen Keuangan, Jakarta, 11 April 2006; wawancara Human Rights Watch dengan seorang pejabat lain dari Departemen Keuangan, Jakarta, 19 April 2006. Perbaikan ini diwajibkan oleh undang-undang untuk menanggapi masalah keuangan negara (undang-undang No. 17/2003), operasi bendahara (undang-undang No. 1/2004), dan tugas audit (undangundang No. 15/2004) yang ditetapkan dengan dukungan dari institusi keuangan internasional. HUMAN RIGHTS WATCH VOL. 18, NO. 5(C) 92

Sementara itu, pejabat Departemen Keuangan dan anggota-anggota DPR telah mengeluhkan bahwa permintaan anggaran Departemen Pertahanan sengaja telah dibesarkan dan tidak didukung oleh informasi pokok yang menerangkan mengapa anggaran yang diminta tersebut dibutuhkan. Pejabat-pejabat pemerintah ini mengatakan bahwa besarnya anggaran hanya ditentukan berdasarkan jumlah yang ditetapkan tahun sebelumnya dan bukan berdasarkan penelitian atas kebutuhan dan prioritas sebenarnya atau bahkan pada informasi yang akurat mengenai pengeluaran tahun-tahun sebelumnya. Sebagai akibatnya, keputusan mengenai alokasi dana—sebagai contoh, dalam pengeluaran untuk kesejahteraan dibandingkan dengan untuk pembelian senjata—selalu dibuat tanpa adanya analisa yang cukup atau pertimbangan yang matang mengenai untung-ruginya. Masalah ini, menurut beberapa pejabat, mungkin berasal dari sedikitnya informasi yang tersedia, yang mempersulit mereka untuk membentuk penilaian yang tepat, tetapi mereka juga berkata bahwa pemerintah mempunyai prioritas belanja militer yang tidak jelas. 382 Satu hasil yang terjadi adalah bahwa anggaran yang disetujui sering condong terhadap pengeluaran yang berulang-ulang. Satu bagian besar dari anggaran, sekitar dua-pertiganya, terdiri dari apa yang dinamakan pembelanjaan rutin yang meliputi biaya personil, perawatan, makanan, dan ongkos-ongkos berulang lainnya. Gaji saja sudah memakan separuh dari anggaran belanja militer resmi. Sisanya digunakan untuk “pembelanjaan pembangunan,” untuk barang-barang seperti peralatan militer dan infrastruktur. Di tahun 2005, Indonesia menggunakan satu kerangka anggaran yang terpadu dan mulai menelusuri data statistika mengenai keuangan pemerintah berdasarkan kategori fungsional dan programatik sesuai dengan norma-norma internasional, tetapi pejabat tetap menggunakan istilah pengeluaran “rutin” dan “pembangunan”, dan mengatakan bahwa tidak cukup uang yang tersisa di dalam anggaran untuk modernisasi militer. 383 Anggaran Belanja dan Tingkat Pengeluaran Di bawah undang-undang No. 3/2002 tentang Pertahanan, pengeluaran militer diharuskan untuk dibiayai hanya dari anggaran pemerintah pusat. 384 Pada tahun 2003, Juwono Sudarsono menegaskan persyaratan legal ini: “Hanya negaralah yang dapat menjadi sumber dana bagi TNI.” 385 Sebagian besar rakyat Indonesia yang dimintai pendapat di tahun 2005 setuju bahwa angkatan bersenjata harus dibiayai hanya oleh 382 Wawancara Human Rights Watch dengan pejabat Departemen Keuangan; wawancara Human Rights Watch dengan Abdillah Toha, anggota DPR, 15 April 2006. 383 Wawancara Human Rights Watch dengan pejabat Departemen Keuangan; wawancara Human Rights Watch dengan Letjen. Sjafrie Sjamsoeddin. 384 Undang-undang ini menyatakan bahwa “Pertahanan negara dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.” Undang-undang No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara, Pasal 25 (1). 385 Unidjaja, “TNI nothing more…,” Jakarta Post. 93 HUMAN RIGHTS WATCH VOL. 18, NO. 5(C)

Sementara itu, pejabat Departemen Keuangan dan anggota-anggota DPR telah<br />

mengeluhkan bahwa permintaan anggaran Departemen Pertahanan sengaja telah<br />

dibesarkan dan tidak didukung oleh informasi pokok yang menerangkan mengapa<br />

anggaran yang diminta tersebut dibutuhkan. Pejabat-pejabat pemerintah ini mengatakan<br />

bahwa besarnya anggaran hanya ditentukan berdasarkan jumlah yang ditetapkan tahun<br />

sebelumnya dan bukan berdasarkan penelitian atas kebutuhan dan prioritas sebenarnya<br />

atau bahkan pada informasi yang akurat mengenai pengeluaran tahun-tahun sebelumnya.<br />

Sebagai akibatnya, keputusan mengenai alokasi dana—sebagai contoh, dalam<br />

pengeluaran untuk kesejahteraan dibandingkan dengan untuk pembelian senjata—selalu<br />

dibuat tanpa adanya analisa yang cukup atau pertimbangan yang matang mengenai<br />

untung-ruginya. Masalah ini, menurut beberapa pejabat, mungkin berasal dari sedikitnya<br />

informasi yang tersedia, yang mempersulit mereka untuk membentuk penilaian yang<br />

tepat, tetapi mereka juga berkata bahwa pemerintah mempunyai prioritas belanja militer<br />

yang tidak jelas. 382<br />

Satu hasil yang terjadi adalah bahwa anggaran yang disetujui sering condong terhadap<br />

pengeluaran yang berulang-ulang. Satu bagian besar dari anggaran, sekitar dua-pertiganya,<br />

terdiri dari apa yang dinamakan pembelanjaan rutin yang meliputi biaya personil,<br />

perawatan, makanan, dan ongkos-ongkos berulang lainnya. Gaji saja sudah memakan<br />

separuh dari anggaran belanja militer resmi. Sisanya digunakan untuk “pembelanjaan<br />

pembangunan,” untuk barang-barang seperti peralatan militer dan infrastruktur. Di<br />

tahun 2005, Indonesia menggunakan satu kerangka anggaran yang terpadu dan mulai<br />

menelusuri data statistika mengenai keuangan pemerintah berdasarkan kategori<br />

fungsional dan programatik sesuai dengan norma-norma internasional, tetapi pejabat<br />

tetap menggunakan istilah pengeluaran “rutin” dan “pembangunan”, dan mengatakan<br />

bahwa tidak cukup uang yang tersisa di dalam anggaran untuk modernisasi militer. 383<br />

Anggaran Belanja dan Tingkat Pengeluaran<br />

Di bawah undang-undang No. 3/2002 tentang Pertahanan, pengeluaran militer<br />

diharuskan untuk dibiayai hanya dari anggaran pemerintah pusat. 384 Pada tahun 2003,<br />

Juwono Sudarsono menegaskan persyaratan legal ini: “Hanya negaralah yang dapat<br />

menjadi sumber dana bagi TNI.” 385 Sebagian besar rakyat Indonesia yang dimintai<br />

pendapat di tahun 2005 setuju bahwa angkatan bersenjata harus dibiayai hanya oleh<br />

382<br />

Wawancara <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong> dengan pejabat Departemen Keuangan; wawancara <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong><br />

dengan Abdillah Toha, anggota DPR, 15 April 2006.<br />

383<br />

Wawancara <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong> dengan pejabat Departemen Keuangan; wawancara <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong><br />

dengan Letjen. Sjafrie Sjamsoeddin.<br />

384<br />

Undang-undang ini menyatakan bahwa “Pertahanan negara dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja<br />

Negara.” Undang-undang No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara, Pasal 25 (1).<br />

385<br />

Unidjaja, “TNI nothing more…,” Jakarta Post.<br />

93<br />

HUMAN RIGHTS WATCH VOL. 18, NO. 5(C)

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!