Harga Selangit - Human Rights Watch
Harga Selangit - Human Rights Watch
Harga Selangit - Human Rights Watch
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
diri, diambil oleh tentara yang kemudian meminta uang Rp. 300,000 (35)<br />
jika kami ingin barang-barang itu dikembalikan. Beberapa orang<br />
memutuskan untuk membayar, tetapi saya tidak berani. 359<br />
Prajurit-prajurit juga memasang harga tinggi untuk barang dan jasa yang sangat<br />
dibutuhkan masyarakat. Bercerita kepada Minority <strong>Rights</strong> Group International, seorang<br />
wartawan lokal mengeluh bahwa pihak militer memasang harga tinggi sekali bagi bahan<br />
bakar; ia menjelaskan: “Bensin ini saya beli dari Bireuen. Kalau militer mempunyai<br />
persediaan, kami tidak berani beli di tempat lain.” 360<br />
Warga sipil juga mengeluhkan tuntutan militer yang berupa "jasa jalan." Sebagai contoh,<br />
seorang sopir minibus dari Aceh Tengah mengatakan kepada <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong><br />
bahwa ia harus terus menerus berhenti di pos TNI dan Brimob di sepanjang jalan:<br />
Saat saya mengemudikan kendaraan, mereka menghentikan saya dan<br />
meminta uang. Jika kamu tidak memberi, kamu akan dipukuli. Jika<br />
kamu tidak punya uang, dan mencoba menawar––“Saya tidak punya<br />
sepuluh, lima saja, boleh?”––mereka tidak akan mau. Jika dia minta<br />
sepuluh, harus sepuluh. Kamu tidak dapat tawar menawar dengan<br />
mereka. 361<br />
Satu orang yang sedang berkunjung ke Aceh menceritakan kepada Minority <strong>Rights</strong><br />
Group International akibat yang menumpuk dari pungutan-pungutan liar yang tak<br />
terkendali ini: “Penduduk kampung di sini menjadi jauh lebih miskin karena pemerasanpemerasan<br />
ini.” 362<br />
Anggota militer di Aceh juga diduga telah menggelapkan tanah bernilai tinggi. 363 Prajurit<br />
telah memaksa penduduk untuk mengosongkan tanah perkebunan mereka; beberapa<br />
yang menolak pergi atau mencoba pulang dan meminta pengembalian hak milik mereka<br />
dilaporkan telah dilukai atau dibunuh. 364<br />
359<br />
Wawancara <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong> dengan [nama tidak diterbitkan], Malaysia, 26 Oktober 2003, seperti<br />
dikutip dalam <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong>, “Aceh Under Martial Law.”<br />
360<br />
Minority <strong>Rights</strong> Group International (MRG) [Kelompok Hak Minoritas Internasional], “Aceh: Then and Now<br />
(Aceh: Dulu dan Sekarang),” Mei 2005, hal. 15, mengutip wawancara rahasia.<br />
361<br />
<strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong>, “Aceh Under Martial Law.”<br />
362<br />
MRG, “Aceh: Then and Now,” hal. 18, mengutip wawancara bulan November 2004.<br />
363<br />
Ibid., hal. 19.<br />
364<br />
Ibid., hal. 15.<br />
87<br />
HUMAN RIGHTS WATCH VOL. 18, NO. 5(C)