Harga Selangit - Human Rights Watch
Harga Selangit - Human Rights Watch Harga Selangit - Human Rights Watch
esar-besaran. Beberapa kegiatan bisnis TNI ini adalah usaha bisnis yang sah dan berbentuk resmi, sementara beberapa yang lain adalah bisnis gelap dan tersembunyi. 357 Semua ini membuat Aceh suatu daerah yang menguntungkan, terutama bagi para perwira militer. Lebih dari satu orang memberitahu Human Rights Watch tentang ungkapan mengenai tugas militer di Aceh: “Kamu datang membawa M-16 dan pulang membawa 16 M”; yang berarti jenis senapan yang diberikan oleh militer dan Rp. 16 milyar (setara dengan $1.76 juta, sebuah perkiraan yang dibesar-besarkan dari penghasilan seorang perwira yang suka korupsi). Pelanggaran yang Berkaitan dengan Korupsi Sebelum Tsunami Prajurit pemerintah mengambil keuntungan dari warga sipil di Aceh dengan memeras, mencuri, dan menuntut uang suap. Human Right Watch berhasil mengumpulkan pernyataan-pernyataan dari orang-orang yang mengalami pemerasan di Aceh setelah keadaan darurat ditetapkan di wilayah itu pada tahun 2003. Salah satu contoh adalah keluhan dari seorang usahawan; ia harus pergi dari Aceh karena ancaman militer yang berkaitan dengan jaringan pemerasan: Mencari hidup di Aceh sangat sulit. Jika kamu ingin mencari hidup, mereka akan minta uang darimu. Saya punya pabrik beras. Setiap hari TNI meminta 450 kilogram. Mereka berkata, “Jika kamu tidak memberi kita, malam ini kamu akan kami bunuh.” Sampai sekarang saya mestinya sudah bisa pergi naik haji ke Mekah dua puluh kali. Tetapi apa yang diminta harus diberikan . . . Saya tidak tahan lagi. Saya dimintai Rp. 7 juta ($825) dan kalau uang tersebut tidak tersedia dalam waktu tiga hari, saya tidak bakal selamat. (…) Setelah dua hari, saya melarikan diri–– mereka memberi saya waktu tiga hari, bukan? Ketiga anak laki-laki saya, sayasuruh pergi ke [nama disimpan], “Jika saya tidak ada di rumah, mereka akan menahan kalian.” 358 Seorang wanita dari Aceh Utara menceritakan kepada Human Rights Watch pada tahun 2003 bahwa ketika warga yang harus mengungsi pulang, mereka menemukan bahwa harta-benda mereka telah dicuri oleh para prajurit: Saya pergi ke tempat pengungsian. Ketika kami pulang, barang-barang kami sudah hilang. Ayam, kambing kami dicuri selama kami melarikan 357 Untuk pembahasan yang mendalam, lihat hasil kerja Lesley McCulloch. 358 Human Rights Watch, “Aceh Under Martial Law: Inside the Secret War (Aceh Di Bawah Hukum Darurat Perang: Di Dalam Tubuh Perang Rahasia),” Laporan Human Rights Watch, vol. 15, no. 10(C), Desember 2003, [online] http://hrw.org/reports/2003/indonesia1203/. HUMAN RIGHTS WATCH VOL. 18, NO. 5(C) 86
diri, diambil oleh tentara yang kemudian meminta uang Rp. 300,000 (35) jika kami ingin barang-barang itu dikembalikan. Beberapa orang memutuskan untuk membayar, tetapi saya tidak berani. 359 Prajurit-prajurit juga memasang harga tinggi untuk barang dan jasa yang sangat dibutuhkan masyarakat. Bercerita kepada Minority Rights Group International, seorang wartawan lokal mengeluh bahwa pihak militer memasang harga tinggi sekali bagi bahan bakar; ia menjelaskan: “Bensin ini saya beli dari Bireuen. Kalau militer mempunyai persediaan, kami tidak berani beli di tempat lain.” 360 Warga sipil juga mengeluhkan tuntutan militer yang berupa "jasa jalan." Sebagai contoh, seorang sopir minibus dari Aceh Tengah mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa ia harus terus menerus berhenti di pos TNI dan Brimob di sepanjang jalan: Saat saya mengemudikan kendaraan, mereka menghentikan saya dan meminta uang. Jika kamu tidak memberi, kamu akan dipukuli. Jika kamu tidak punya uang, dan mencoba menawar––“Saya tidak punya sepuluh, lima saja, boleh?”––mereka tidak akan mau. Jika dia minta sepuluh, harus sepuluh. Kamu tidak dapat tawar menawar dengan mereka. 361 Satu orang yang sedang berkunjung ke Aceh menceritakan kepada Minority Rights Group International akibat yang menumpuk dari pungutan-pungutan liar yang tak terkendali ini: “Penduduk kampung di sini menjadi jauh lebih miskin karena pemerasanpemerasan ini.” 362 Anggota militer di Aceh juga diduga telah menggelapkan tanah bernilai tinggi. 363 Prajurit telah memaksa penduduk untuk mengosongkan tanah perkebunan mereka; beberapa yang menolak pergi atau mencoba pulang dan meminta pengembalian hak milik mereka dilaporkan telah dilukai atau dibunuh. 364 359 Wawancara Human Rights Watch dengan [nama tidak diterbitkan], Malaysia, 26 Oktober 2003, seperti dikutip dalam Human Rights Watch, “Aceh Under Martial Law.” 360 Minority Rights Group International (MRG) [Kelompok Hak Minoritas Internasional], “Aceh: Then and Now (Aceh: Dulu dan Sekarang),” Mei 2005, hal. 15, mengutip wawancara rahasia. 361 Human Rights Watch, “Aceh Under Martial Law.” 362 MRG, “Aceh: Then and Now,” hal. 18, mengutip wawancara bulan November 2004. 363 Ibid., hal. 19. 364 Ibid., hal. 15. 87 HUMAN RIGHTS WATCH VOL. 18, NO. 5(C)
- Page 39 and 40: menempatkan yayasan di bawah perusa
- Page 41 and 42: Kotak 2: Yayasan Militer dan Aset-a
- Page 43 and 44: Angkatan Laut: Yayasan Bhumyamca (Y
- Page 45 and 46: Koperasi militer ada di tiap-tiap a
- Page 47 and 48: menyediakan jasa keamanan bagi Perh
- Page 49 and 50: sebuah kedok untuk menebang habis w
- Page 51 and 52: Malaysia, BOT, tidak menjawab perta
- Page 53 and 54: Kerja Sama Aparat Militer dan Swast
- Page 55 and 56: membenarkan bahwa TNI akan menjaga
- Page 57 and 58: Copper & Gold Inc., yang mempunyai
- Page 59 and 60: untuk keamanan. Perusahaan pertama
- Page 61 and 62: Pengakuan seperti ini mendorong pan
- Page 63 and 64: • “Bayaran harian kecil-kecilan
- Page 65 and 66: yang jelas bagi [Freeport] untuk me
- Page 67 and 68: kepolisian. 250 Kelompok ini menamb
- Page 69 and 70: mereka di pasar gelap. Koperasi TNI
- Page 71 and 72: seorangpun mencoba menjual [di pasa
- Page 73 and 74: Pembayaran yang lambat merupakan ke
- Page 75 and 76: Tanggapan yang ada hanyalah laporan
- Page 77 and 78: Masalah ini telah diselidiki secara
- Page 79 and 80: Konflik antara Aparat Militer-Kepol
- Page 81 and 82: satuan udara cadangan yang bermarka
- Page 83 and 84: Pihak militer dan pejabat pemerinta
- Page 85 and 86: Korupsi Besar Sejarah Indonesia mem
- Page 87 and 88: Banyak pembelian peralatan militer
- Page 89: yang sama juga terjadi di Maluku; p
- Page 93 and 94: Di tempat lain di Aceh, sukarelawan
- Page 95 and 96: III. Hambatan bagi Reformasi Jika p
- Page 97 and 98: Sementara itu, pejabat Departemen K
- Page 99 and 100: kualitas data keuangan pemerintah,
- Page 101 and 102: 13,7419 triliun (rutin) 7,666 trili
- Page 103 and 104: adalah sekitar 2,26 persen dari GDP
- Page 105 and 106: walaupun telah ada perbaikan, terla
- Page 107 and 108: lisensi yang layak untuk memesan se
- Page 109 and 110: militer, tanpa ada penjelasan atau
- Page 111 and 112: mendarah-daging sehingga pejabat pe
- Page 113 and 114: mengambil uang tersebut dari dana d
- Page 115 and 116: militer. Yayasan militer menggunaka
- Page 117 and 118: Walaupun anggaran Angkatan Bersenja
- Page 119 and 120: Mite 1: Dana yang Dianggarkan untuk
- Page 121 and 122: pembelian peralatan untuk pihak mil
- Page 123 and 124: enar bahwa bisnis-bisnis ini memain
- Page 125 and 126: - “kontrol internal dan mekanisme
- Page 127 and 128: Macam-macam Bisnis Militer yang Lai
- Page 129 and 130: ahwa tujuan perusahaan militer yang
- Page 131 and 132: Ditetapkannya ketentuan ini merupak
- Page 133 and 134: ingin diambil alih oleh pemerintah.
- Page 135 and 136: dijelaskan dalam peraturan-peratura
- Page 137 and 138: Rights Watch secara mandiri berhasi
- Page 139 and 140: untuk tujuan kesejahteraan prajurit
esar-besaran. Beberapa kegiatan bisnis TNI ini adalah usaha bisnis yang sah dan<br />
berbentuk resmi, sementara beberapa yang lain adalah bisnis gelap dan tersembunyi. 357<br />
Semua ini membuat Aceh suatu daerah yang menguntungkan, terutama bagi para perwira<br />
militer. Lebih dari satu orang memberitahu <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong> tentang ungkapan<br />
mengenai tugas militer di Aceh: “Kamu datang membawa M-16 dan pulang membawa<br />
16 M”; yang berarti jenis senapan yang diberikan oleh militer dan Rp. 16 milyar (setara<br />
dengan $1.76 juta, sebuah perkiraan yang dibesar-besarkan dari penghasilan seorang<br />
perwira yang suka korupsi).<br />
Pelanggaran yang Berkaitan dengan Korupsi Sebelum Tsunami<br />
Prajurit pemerintah mengambil keuntungan dari warga sipil di Aceh dengan memeras,<br />
mencuri, dan menuntut uang suap. <strong>Human</strong> Right <strong>Watch</strong> berhasil mengumpulkan<br />
pernyataan-pernyataan dari orang-orang yang mengalami pemerasan di Aceh setelah<br />
keadaan darurat ditetapkan di wilayah itu pada tahun 2003. Salah satu contoh adalah<br />
keluhan dari seorang usahawan; ia harus pergi dari Aceh karena ancaman militer yang<br />
berkaitan dengan jaringan pemerasan:<br />
Mencari hidup di Aceh sangat sulit. Jika kamu ingin mencari hidup,<br />
mereka akan minta uang darimu. Saya punya pabrik beras. Setiap hari<br />
TNI meminta 450 kilogram. Mereka berkata, “Jika kamu tidak memberi<br />
kita, malam ini kamu akan kami bunuh.” Sampai sekarang saya mestinya<br />
sudah bisa pergi naik haji ke Mekah dua puluh kali. Tetapi apa yang<br />
diminta harus diberikan . . . Saya tidak tahan lagi. Saya dimintai Rp. 7<br />
juta ($825) dan kalau uang tersebut tidak tersedia dalam waktu tiga hari,<br />
saya tidak bakal selamat. (…) Setelah dua hari, saya melarikan diri––<br />
mereka memberi saya waktu tiga hari, bukan? Ketiga anak laki-laki saya,<br />
sayasuruh pergi ke [nama disimpan], “Jika saya tidak ada di rumah,<br />
mereka akan menahan kalian.” 358<br />
Seorang wanita dari Aceh Utara menceritakan kepada <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong> pada tahun<br />
2003 bahwa ketika warga yang harus mengungsi pulang, mereka menemukan bahwa<br />
harta-benda mereka telah dicuri oleh para prajurit:<br />
Saya pergi ke tempat pengungsian. Ketika kami pulang, barang-barang<br />
kami sudah hilang. Ayam, kambing kami dicuri selama kami melarikan<br />
357<br />
Untuk pembahasan yang mendalam, lihat hasil kerja Lesley McCulloch.<br />
358<br />
<strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong>, “Aceh Under Martial Law: Inside the Secret War (Aceh Di Bawah Hukum Darurat<br />
Perang: Di Dalam Tubuh Perang Rahasia),” Laporan <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong>, vol. 15, no. 10(C), Desember<br />
2003, [online] http://hrw.org/reports/2003/indonesia1203/.<br />
HUMAN RIGHTS WATCH VOL. 18, NO. 5(C) 86