Harga Selangit - Human Rights Watch

Harga Selangit - Human Rights Watch Harga Selangit - Human Rights Watch

13.01.2014 Views

menjadi korban langsung dari prajurit-prajurit yang merampas kayu mereka untuk dijual kembali, kadang-kadang dengan menggunakan kekerasan dan taktik intimidasi. 301 Jaringan Kriminal Jaringan kriminal untuk memberikan jasa perlindungan merupakan satu sumber lain yang memberikan penghasilan gelap kepada prajurit militer yang terlibat. Pelindung-pelindung militer diketahui telah memberikan perlindungan terhadap penyelundup narkotika, operasi perjudian, dan jaringan prostitusi. 302 Seperti halnya dengan sumber-sumber pendapatan lainnya, jaringan kriminal juga bersangkutan dengan pelecehan-pelecehan yang dilakukan oleh pihak militer. Human Rights Watch menerima laporan bahwa di tahun 2004, prajurit-prajurit telah memecahi jendela dan membakar harta benda orangorang yang menolak tuntutan prajurit tersebut untuk pembayaran uang perlindungan. 303 Di Medan, Sumatera Utara, keterlibatan militer di dalam tindakan kriminal sangat terorganisir dengan baik. Sejumlah warga Medan mengatakan bahwa jaringan perlindungan ini sangat teratur, dimana pemilik toko dan truk harus membayar iuran bulanan dan memperlihatkan gambar stiker yang menunjukkan kelompok militer atau kelompok mana yang mendukung mereka. 304 Seseorang yang telah bekerja selama bertahun-tahun di dunia kejahatan di Medan mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa pihak militer sangat terlibat “di mana saja di Medan, dimana ada bisnis gelap,” termasuk dalam peran-peran utama sebagai “beking” penebangan liar dan perdagangan narkoba. 305 301 Lihat, sebagai contoh, Lembaga Study dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM), “Army’s Tainted Logging Business in Papua (Bisnis Penebangan Hutan Ternoda Milik Angkatan Darat di Papua),” 21Juli 2002. 302 Lihat, sebagai contoh, Otto Syamsuddin Ishak, “Ganja Aceh Serdadu Indonesia dalam Periode Perang Aceh 1989-2003,” dalam Negeri Tentara: Membongkar Politik Ekonomi Militer, Wacana, edisi 17, no. III (2004); George Junus Aditjondro, “Kayu Hitam, Bisnis Pos Penjagaan, Perdagangan Senjata, dan Proteksi Modal Besar: Ekonomi Politik Bisnis Militer di Sulawesi Bagian Timur,” Wacana, edisi 17, no. III (2004); dan O’Rourke, Reformasi, hal. 293-294, 338. 303 Wawancara Human Rights Watch melalui telepon dengan seseorang yang pada saat itu sedang menasehati perusahaan multi-nasional di Indonesia dalam hal keamanan, 15 Juli 2004; wawancara Human Rights Watch dengan seorang peneliti yang telah melakukan wawancara-wawancara mendalam mengenai organisasi sindikat kejahatan di Medan, Medan, 29 November 2004. Sebelumnya, sebuah penelitian tahun 2000 menemukan bahwa operasi pemerasan oleh aparat militer sedang meningkat. Bank Dunia, Accelerating Recovery in Uncertain Times (Mempercepat Pemulihan di Waktu yang Tak Menentu), hal. 23, mengutip dokumen yang disiapkan untuk Bank ini: Michael Ross, “Civil Conflict and Natural Resources—The case of Indonesia (Konflik Sipil dan Sumber Daya Alam—Kasus Indonesia)” (mimeo), Bank Dunia. 304 Wawancara Human Rights Watch dengan seorang penduduk kota, Medan, 25 November 2004. 305 Wawancara Human Rights Watch dengan seorang bekas anggota geng pemuda Medan yang selanjutnya ikut ambil bagian dalam usaha lokal untuk memberantas korupsi, 28 November 2004. Gambaran yang diberikan oleh orang ini sesuai dengan penelitian tentang dunia kejahatan di Medan. Wawancara Human Rights Watch dengan seorang peneliti yang telah melakukan wawancara mendalam mengenai organisasi sindikat kejahatan di Medan; wawancara Human Rights Watch melalui telepon dengan orang yang memimpin proyek penelitian tersebut, November 2004. HUMAN RIGHTS WATCH VOL. 18, NO. 5(C) 74

Konflik antara Aparat Militer-Kepolisian Keikutsertaan militer di dalam perekonomian yang bersifat kriminal sering menimbulkan ketegangan antara prajurit dan polisi. Langkah yang disambut baik untuk memberikan kepada polisi tanggung jawab lebih besar mengenai keamanan dalam negeri telah menimbulkan dampak yang tidak diharapkan yaitu memisahkan pihak militer dari beberapa kesempatan mereka untuk mendapatkan penghasilan yang besar, termasuk kesempatan-kesempatan gelap. Pola ini telah memperburuk persaingan yang kadangkadang meletus dalam bentuk kekerasan. Pertempuran antara pasukan-pasukan keamanan Indonesia merupakan kejadian yang biasa di awal tahun 2000-an, dengan sedikitnya selusin kejadian dari tahun 2001 sampai tahun 2003. 306 Di akhir tahun 2004, seorang anggota Brimob (Brigade Mobil), sebuah pasukan komando paramiliter kepolisian, tewas dan tiga anggota lainnya luka parah setelah terjadi pertikaian bersenjata dengan prajurit TNI di Aceh; pertikaian ini dikabarkan disebabkan oleh perebutan andil dalam bisnis kelapa sawit. 307 Pasukan keamanan juga dapat berkonflik satu sama lain jikalau pihak kepolisian, bertindak sebagai penegak hukum, mencampuri kepentingan ekonomi prajurit. Sebagai contoh, di tahun 2002 tentara dan polisi bertikai di Kalimantan Barat setelah polisi dilaporkan telah mengambil langkah untuk menutup sebuah operasi perjudian yang didukung oleh TNI. 308 Pada tahun itu juga, sebuah pertempuran antara pihak militer dan kepolisian, seperti diuraikan secara mendetil berikut ini, telah meletus dan diawali dari penahanan seorang agen narkoba yang dilaporkan mendapatkan perlindungan dari militer. Satu contoh lain, yang baru-baru ini terjadi, pada bulan Maret 2005, sebuah satuan angkatan darat bertempur dengan Brimob di Papua, dikabarkan karena Brimob mencoba memberantas operasi penebangan liar yang melibatkan seorang perwira TNI. 309 306 ICG, “Indonesia: Next Steps in Military Reform (Indonesia: Langkah Berikutnya dalam Reformasi Militer),” hal. 19-20; “Soldiers Attack Police, One Killed (Tentara Menyerang Polisi, Satu Terbunuh),” Laksamana.net, 10 Desember 2003. Banyak persengketaan bersenjata segera yang terjadi setelah pemisahan aparat kepolisian dari angkatan bersenjata di tahun 1999 adalah disebabkan oleh faktor bukan ekonomi, termasuk kurangnya kedisiplinan pasukan, tetapi beberapa kejadian juga mempunyai dimensi ekonomi. 307 “Conflict of Business Interests Behind TNI-Brimob Clash in Aceh (Perebutan Hasrat Bisnis Ada Di Balik Pertarungan TNI-Brimob di Aceh),” Sinar Harapan, 29 November 2004, terjemahan diatribusikan kepada James Balowski, [online] http://www.infid.be/military_brimob.htm. Dua puluh lima prajurit TNI dilaporkan telah ditangkap ehubungan dengan keterlibatan mereka di dalam penyerangan ini. Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat, “Country Reports on Human Rights Practices – 2004 (Laporan untuk Tiap Negara mengenai Praktek-praktek Hak Asasi Manusia – 2004),” 28 Februari 2005. 308 Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat, “Country Reports on Human Rights Practices – 2002 (Laporan untuk Tiap Negara mengenai Praktek-praktek Hak Asasi Manusia – 2002),” 31 Maret 2003. 309 Seorang polisi militer, Wakil Komandan Polisi Militer, Brigadir Jendral Hendardji, membenarkan adanya bentrokan ini, tetapi kemudian mengatakan bahwa kejadian ini tidak ada hubungannya dengan operasi penebangan hutan liar atau dengan prajurit TNI. “Bentrok TNI AD-Brimob di Nabire tak terkait illegal logging," Kompas, 18 Maret 2005; “Marthen Renau Dikeluarkan dari Satgas; Diduga Terlibat Kasus Penebangan Liar,” Kompas, 19 Maret 2005. 75 HUMAN RIGHTS WATCH VOL. 18, NO. 5(C)

menjadi korban langsung dari prajurit-prajurit yang merampas kayu mereka untuk dijual<br />

kembali, kadang-kadang dengan menggunakan kekerasan dan taktik intimidasi. 301<br />

Jaringan Kriminal<br />

Jaringan kriminal untuk memberikan jasa perlindungan merupakan satu sumber lain yang<br />

memberikan penghasilan gelap kepada prajurit militer yang terlibat. Pelindung-pelindung<br />

militer diketahui telah memberikan perlindungan terhadap penyelundup narkotika,<br />

operasi perjudian, dan jaringan prostitusi. 302 Seperti halnya dengan sumber-sumber<br />

pendapatan lainnya, jaringan kriminal juga bersangkutan dengan pelecehan-pelecehan<br />

yang dilakukan oleh pihak militer. <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong> menerima laporan bahwa di<br />

tahun 2004, prajurit-prajurit telah memecahi jendela dan membakar harta benda orangorang<br />

yang menolak tuntutan prajurit tersebut untuk pembayaran uang perlindungan. 303<br />

Di Medan, Sumatera Utara, keterlibatan militer di dalam tindakan kriminal sangat<br />

terorganisir dengan baik. Sejumlah warga Medan mengatakan bahwa jaringan<br />

perlindungan ini sangat teratur, dimana pemilik toko dan truk harus membayar iuran<br />

bulanan dan memperlihatkan gambar stiker yang menunjukkan kelompok militer atau<br />

kelompok mana yang mendukung mereka. 304 Seseorang yang telah bekerja selama<br />

bertahun-tahun di dunia kejahatan di Medan mengatakan kepada <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong><br />

bahwa pihak militer sangat terlibat “di mana saja di Medan, dimana ada bisnis gelap,”<br />

termasuk dalam peran-peran utama sebagai “beking” penebangan liar dan perdagangan<br />

narkoba. 305<br />

301<br />

Lihat, sebagai contoh, Lembaga Study dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM), “Army’s Tainted<br />

Logging Business in Papua (Bisnis Penebangan Hutan Ternoda Milik Angkatan Darat di Papua),” 21Juli 2002.<br />

302<br />

Lihat, sebagai contoh, Otto Syamsuddin Ishak, “Ganja Aceh Serdadu Indonesia dalam Periode Perang Aceh<br />

1989-2003,” dalam Negeri Tentara: Membongkar Politik Ekonomi Militer, Wacana, edisi 17, no. III (2004);<br />

George Junus Aditjondro, “Kayu Hitam, Bisnis Pos Penjagaan, Perdagangan Senjata, dan Proteksi Modal<br />

Besar: Ekonomi Politik Bisnis Militer di Sulawesi Bagian Timur,” Wacana, edisi 17, no. III (2004); dan O’Rourke,<br />

Reformasi, hal. 293-294, 338.<br />

303<br />

Wawancara <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong> melalui telepon dengan seseorang yang pada saat itu sedang menasehati<br />

perusahaan multi-nasional di Indonesia dalam hal keamanan, 15 Juli 2004; wawancara <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong><br />

dengan seorang peneliti yang telah melakukan wawancara-wawancara mendalam mengenai organisasi<br />

sindikat kejahatan di Medan, Medan, 29 November 2004. Sebelumnya, sebuah penelitian tahun 2000<br />

menemukan bahwa operasi pemerasan oleh aparat militer sedang meningkat. Bank Dunia, Accelerating<br />

Recovery in Uncertain Times (Mempercepat Pemulihan di Waktu yang Tak Menentu), hal. 23, mengutip<br />

dokumen yang disiapkan untuk Bank ini: Michael Ross, “Civil Conflict and Natural Resources—The case of<br />

Indonesia (Konflik Sipil dan Sumber Daya Alam—Kasus Indonesia)” (mimeo), Bank Dunia.<br />

304<br />

Wawancara <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong> dengan seorang penduduk kota, Medan, 25 November 2004.<br />

305<br />

Wawancara <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong> dengan seorang bekas anggota geng pemuda Medan yang selanjutnya<br />

ikut ambil bagian dalam usaha lokal untuk memberantas korupsi, 28 November 2004. Gambaran yang<br />

diberikan oleh orang ini sesuai dengan penelitian tentang dunia kejahatan di Medan. Wawancara <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong><br />

<strong>Watch</strong> dengan seorang peneliti yang telah melakukan wawancara mendalam mengenai organisasi sindikat<br />

kejahatan di Medan; wawancara <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong> melalui telepon dengan orang yang memimpin proyek<br />

penelitian tersebut, November 2004.<br />

HUMAN RIGHTS WATCH VOL. 18, NO. 5(C) 74

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!