Harga Selangit - Human Rights Watch

Harga Selangit - Human Rights Watch Harga Selangit - Human Rights Watch

13.01.2014 Views

Banyak dari bisnis-bisnis militer ini hanyalah kerja-sama kosong belaka. Hak militer di dalam sebuah perusahaan biasanya hanyalah hak pasif, juga dikenal dengan “saham emas” atau “saham kebaikan hati,” yang disumbangkan oleh penanam modal sesungguhnya tanpa ada harapan bahwa pihak militer akan memainkan peran aktif dalam operasi atau manajemen perusahaan. 84 Sebagai contoh, di tahun 2005, Panglima Kostrad (lihat di bawah) mengakui di depan umum bahwa selama bertahun-tahun penanampenanam modal swasta telah memberi Kostrad beberapa hak milik di berbagai perusahaan—tanpa memungut biaya. 85 Menurut Departemen Pertahanan, hampir semua bisnis-bisnis TNI mempunyai mitra kerja swasta. 86 Banyak bisnis ini yang dijalankan sebagai perusahaan pribadi, yang membuat semakin sulit untuk mendapatkan informasi mengenai laba perusahaan. 87 Sejak dikeluarkannya undang-undang TNI tahun 2004, pihak militer telah mulai menjuali bisnis-bisnis yang dimilikinya. Penjelasan berikut ini mencerminkan informasi terbatas yang tersedia di masyarakat mengenai batas ruang lingkup perombakan ini. Pihak militer telah mengatakan bahwa TNI seharusnya diperbolehkan meneruskan kegiatan ekonominya secara terbatas melalui yayasan dan koperasi. Jadi, meskipun beberapa investasi bisnis militer telah dibatalkan atau dihentikan, pengertian yang ada di sini adalah bahwa keseluruhan struktur kegiatan ekonomi militer tidak mengalami perubahan mendasar apapun. Mau tidak mau, bisnis militer resmi ini telah menimbulkan berbagai macam kegiatan ekonomi pribadi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat militer. Pejabat-pejabat ini juga mempunyai banyak kesempatan untuk mempergunakan kuasa jabatan dan pengaruh mereka untuk mendirikan jaringan bisnis mereka sendiri atau dengan mitra kerja swasta. Pejabat-pejabat tinggi ini berada di posisi paling menguntungkan untuk menjalin hubungan bisnis dan kerja sama dengan sektor swasta. Selain itu, banyak perwira tingkat menengah yang diduga telah menjalankan bisnis-bisnis kecil untuk mencari penghasilan tambahan. 88 Sebagai salah satu contoh, seorang perwira intelijen militer dikabarkan 84 Pola ini sangat menyolok mata di akhir-akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, saat pemerintahan Soeharto memberikan konsesi kayu besar-besaran kepada jendra-jendral yang mempunyai banyak koneksi yang kemudian menjalin kerja sama dengan para penanam modal. Human Rights Watch, “Without Remedy,” hal. 13, mengutip McCulloch, “Trifungsi.” 85 Tiarma Siboro, “Kostrad off-loaded business units (Kostrad melepaskan unit usaha),” Jakarta Post, 25 April 2005; “President Urges...,” Laksamana.net. 86 Jawaban tertulis dari Departemen Pertahanan kepada Human Rights Watch. Surat Departemen Pertahanan kepada Human Rights Watch, 22 Desember 2005. Human Rights Watch menyampaikan pertanyaanpertanyaan ini kepada Departemen Pertahanan dalam sepucuk surat yang dikirimkan pada bulan Oktober 2005. 87 Komunikasi email dari seorang pengacara di bidang hukum perusahaan, yang mengetahui seluk beluk masalah bisnis militer, kepada Human Rights Watch, April 2006. 88 Rabasa dan Haseman, The Military and Democracy in Indonesia, hal. 65. HUMAN RIGHTS WATCH VOL. 18, NO. 5(C) 32

mempunyai sebuah bisnis kayu jati di Sulawesi Tengah. 89 Biasanya, saham prajurit ini diatasnamakan istri atau anggota keluarga lainnya. 90 Penting diingat bahwa sebagian besar bisnis pribadi pejabat militer yang sudah purnawirawan bersumber dari institusi militer mereka. 91 Banyak purnawirawan militer yang meluncurkan usaha bisnis mereka atau membetuk hubungan dengan wiraswasta sesaat mereka masih aktif bertugas. Sebagai contoh, mantan Panglima ABRI, Jendral Wiranto (purnawirawan) telah menyatakan bahwa ia akan membangun sebuah resort di Sukabumi, di pantai Jawa Barat, di atas tanah dan dengan ijin bangunan yang diperolehnya di tahun 1990-an. 92 Tetapi petani-petani setempat mengatakan bahwa mereka telah bercocok-tanam di tanah itu sejak akhir tahun 1960-an, dan undang-undang reformasi agraria menyatakan bahwa tanah tersebut adalah milik petani-petani tersebut. 93 Wiranto memegang jabatan yang sangat tinggi sepanjang tahun 1990-an tetapi telah diberhentikan dari jabatannya sebagai Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan di awal tahun 2000 setelah ada tuduhan bahwa ia bertanggungjawab atas kejahatan di Timor Timur. 94 Yayasan Banyak bisnis militer penting telah didirikan di bawah naungan yayasan, yang merupakan organisasi bebas pajak. Yayasan militer dulunya didirikan di awal tahun 1960-an untuk memberikan layanan social seperti perumahan dan pendidikan bagi prajurit-prajurit dan keluarga mereka. Tidak lama kemudian, yayasan-yayasan tersebut mulai mengembangkan diri dan turut serta dalam kegiatan-kegiatan bisnis sebagai suatu cara untuk memperoleh penghasilan, dengan alasan untuk membiayai kegiatan kesejahteraan mereka. Yayasan 89 Perwira ini dilaporakan bertugas di dalam Kodam Hasannudin (sekarang Kodam Wirabuana) pada saat ia mendirikan bisnis tersebut dan tetap bertugas di tahun 2004. Kontras, Ketika Moncong Senjata Ikut Berniaga, hal. 36. 90 Wawancara Human Rights Watch dengan seorang analis militer asing, Jakarta, 31 Agustus 2004. Lihat juga Crouch, The Army dan Politics in Indonesia, hal. 285; ICG, “Indonesia: Next Steps in Military Reform,” hal. 14. 91 Lihat, sebagai contoh, “In the Shadow of The Stars (Di dalam Bayang-bayang Bintang),” Tempo, no. 23/VI, 7- 13 Februari 2006, diterima melalui Joyo Indonesia News Service. Bersamaan dengan itu, beberapa purnawirawan militer menerima dana langsung dan kesempatan bisnis di perusahaan-perusahan yang terkait dengan angkatan militer dimana mereka bertugas. 92 Marianne Kearney, “Indicted Indonesian war criminal plans beachside resort ‘to help jobless' (Terdakwa penjahat perang dari Indonesia akan membangun resort di tepi pantai 'untuk membantu pengangguran'),” Telegraph (London), 20 Agustus 2004. 93 Ibid. 94 Human Rights Watch, “Unfinished Business: Justice for East Timor (Masalah yang Belum Terselesaikan: Keadilan untuk Timor Timur),” A Human Rights Watch Press Backgrounder, Agustus 2000. Pada bulan September 1999, di puncak tindakan kejahatan di Timor Timur, Wiranto adalah panglima angkatan bersenjata dan menteri pertahanan. Dia diangkat menjadi menteri koordinator bidang politik dan keamanan oleh Presiden Abdurrahman Wahid di akhir bulan Oktober 1999. Wahid memberhentikannya dari jabatan ini di bulan Februari 2000. 33 HUMAN RIGHTS WATCH VOL. 18, NO. 5(C)

Banyak dari bisnis-bisnis militer ini hanyalah kerja-sama kosong belaka. Hak militer di<br />

dalam sebuah perusahaan biasanya hanyalah hak pasif, juga dikenal dengan “saham<br />

emas” atau “saham kebaikan hati,” yang disumbangkan oleh penanam modal<br />

sesungguhnya tanpa ada harapan bahwa pihak militer akan memainkan peran aktif dalam<br />

operasi atau manajemen perusahaan. 84 Sebagai contoh, di tahun 2005, Panglima Kostrad<br />

(lihat di bawah) mengakui di depan umum bahwa selama bertahun-tahun penanampenanam<br />

modal swasta telah memberi Kostrad beberapa hak milik di berbagai<br />

perusahaan—tanpa memungut biaya. 85 Menurut Departemen Pertahanan, hampir semua<br />

bisnis-bisnis TNI mempunyai mitra kerja swasta. 86 Banyak bisnis ini yang dijalankan<br />

sebagai perusahaan pribadi, yang membuat semakin sulit untuk mendapatkan informasi<br />

mengenai laba perusahaan. 87<br />

Sejak dikeluarkannya undang-undang TNI tahun 2004, pihak militer telah mulai menjuali<br />

bisnis-bisnis yang dimilikinya. Penjelasan berikut ini mencerminkan informasi terbatas<br />

yang tersedia di masyarakat mengenai batas ruang lingkup perombakan ini. Pihak militer<br />

telah mengatakan bahwa TNI seharusnya diperbolehkan meneruskan kegiatan<br />

ekonominya secara terbatas melalui yayasan dan koperasi. Jadi, meskipun beberapa<br />

investasi bisnis militer telah dibatalkan atau dihentikan, pengertian yang ada di sini adalah<br />

bahwa keseluruhan struktur kegiatan ekonomi militer tidak mengalami perubahan<br />

mendasar apapun.<br />

Mau tidak mau, bisnis militer resmi ini telah menimbulkan berbagai macam kegiatan<br />

ekonomi pribadi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat militer. Pejabat-pejabat ini juga<br />

mempunyai banyak kesempatan untuk mempergunakan kuasa jabatan dan pengaruh<br />

mereka untuk mendirikan jaringan bisnis mereka sendiri atau dengan mitra kerja swasta.<br />

Pejabat-pejabat tinggi ini berada di posisi paling menguntungkan untuk menjalin<br />

hubungan bisnis dan kerja sama dengan sektor swasta. Selain itu, banyak perwira tingkat<br />

menengah yang diduga telah menjalankan bisnis-bisnis kecil untuk mencari penghasilan<br />

tambahan. 88 Sebagai salah satu contoh, seorang perwira intelijen militer dikabarkan<br />

84<br />

Pola ini sangat menyolok mata di akhir-akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, saat pemerintahan<br />

Soeharto memberikan konsesi kayu besar-besaran kepada jendra-jendral yang mempunyai banyak koneksi<br />

yang kemudian menjalin kerja sama dengan para penanam modal. <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong>, “Without Remedy,”<br />

hal. 13, mengutip McCulloch, “Trifungsi.”<br />

85<br />

Tiarma Siboro, “Kostrad off-loaded business units (Kostrad melepaskan unit usaha),” Jakarta Post, 25 April<br />

2005; “President Urges...,” Laksamana.net.<br />

86<br />

Jawaban tertulis dari Departemen Pertahanan kepada <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong>. Surat Departemen Pertahanan<br />

kepada <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong>, 22 Desember 2005. <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong> menyampaikan pertanyaanpertanyaan<br />

ini kepada Departemen Pertahanan dalam sepucuk surat yang dikirimkan pada bulan Oktober<br />

2005.<br />

87<br />

Komunikasi email dari seorang pengacara di bidang hukum perusahaan, yang mengetahui seluk beluk<br />

masalah bisnis militer, kepada <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong>, April 2006.<br />

88<br />

Rabasa dan Haseman, The Military and Democracy in Indonesia, hal. 65.<br />

HUMAN RIGHTS WATCH VOL. 18, NO. 5(C) 32

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!