Harga Selangit - Human Rights Watch

Harga Selangit - Human Rights Watch Harga Selangit - Human Rights Watch

13.01.2014 Views

membuahkan sedikit hasil dari tahun 1999 sampai tahun 2000. Masa ini juga ditandai oleh meningkatnya perhatian terhadap masalah pembiayaan militer, khususnya bisnis militer. Lembaga-lembaga sosial masyarakat (LSM), kelompok pemikir, dan kaum terpelajar mengeluarkan laporan-laporan yang memperlihatkan sejauh mana jangkauan usaha swadana militer. Kritikan tajam mereka terhadap praktek-praktek bisnis militer— termasuk kegiatan gelap yang sangat luas—menarik perhatian besar masyarakat. Semua ini mempersulit pimpinan militer Indonesia untuk membela diri dengan menggunakan alasan lama bahwa bisnis-bisnis gelap militer hanya dilakukan oleh oknum-oknum di dalam tubuh TNI. Masalah usaha swadana militer juga mendapat perhatian dari kelompok donor internasional, yang menjadi khawatir atas dampak yang ditimbulkan oleh peran kuat pihak militer di bidang ekonomi terhadap masa depan pembangunan negara. Khususnya, donor bilateral dan badan-badan keuangan multilateral berpendapat bahwa bisnis militer akan meremehkan tata pemerintahan sipil, mendorong kriminalitas, dan mendistorsi pasar dengan mempertinggi biaya dan mengurangi persaingan. Korupsi militer yang merajalela dan terjadinya kekerasan-kekerasan yang berkaitan dengan hasrat ekonomi militer juga memperkeras suara-suara dari dalam tubuh pemerintah untuk reformasi. Menteri pertahanan saat itu pernah secara terang-terangan menanyakan “ketidakjelasan status hukum” berbagai bisnis militer yang didirikan di bawah yayasan dan koperasi militer. 54 Di tahun 2000, seorang pejabat kabinet mengumumkan bahwa pemerintah akan berusaha menghentikan pemberian perlakuan istimewa kepada bisnis militer. 55 Di dalam tubuh TNI sendiri, beberapa pejabat militer juga mengerti bahwa usaha swadana militer mempunyai kesulitan yang mendalam. Sebagai akibat tekanan yang meningkat, beberapa audit resmi mulai dilakukan sejak tahun 2000 dan 2001 (lihat di bawah), tetapi kemajuan ini tidak dapat dipertahankan. Reformasi keuangan dianggap sebagai tantangan yang terlalu sulit baik dalam arti keuangan dan politik. Akan dibutuhkan biaya yang besar untuk menempatkan seluruh anggaran militer ke dalam anggaran resmi. Menurut satu perhitungan yang dilakukan di tahun 2004, hal ini akan menambah biaya sebesar 1-3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). 56 54 Yang khusus dimaksud olehnya adalah bisnis-bisnis yang tidak terdaftar secara resmi sebagai perusahaan swasta. “Indonesian minister warns against civilians meddling in army shake-up (Menteri Indonesia memberikan peringatan agar warga sipil tidak ikut campur dalam perombakan di tubuh angkatan bersenjata),” Agence France-Presse (AFP), 14 Juni 2000. 55 “Minister – Military businesses to be audited (Menteri – Bisnis militer akan diaudit),” BBC Monitoring Service: Asia-Pacific, 3 Maret 2000, mengutip laporan kantor berita Antara tanggal 1 Maret 2000. 56 Komunikasi email dari seorang analis politik negara Barat kepada Human Rights Watch, 1 Oktober 2004. HUMAN RIGHTS WATCH VOL. 18, NO. 5(C) 24

Di bidang politik, sangatlah sukar untuk mengalahkan usaha lobi militer yang kuat. Pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid, yang pertama di dalam masa reformasi, berusaha menantang pihak militer—termasuk dalam hal kekuasaan ekonomi militer dan tidak adanya keterbukaan—tetapi terpaksa mundur setelah mengalami keterbatasan anggaran dan perlawanan yang kuat dari pihak militer. 57 Elemen-elemen konservatif di dalam tubuh militer segera memperlihatkan kekuasaan mereka atas perwira-perwira yang ingin melakukan reformasi. (Seorang pendukung utama reformasi, Letjen. Agus Wirahadikusumah, dicopot dari jabatannya, tampaknya sebagai balasan atas upayaupayanya membeberkan penyelewengan keuangan. 58 ) Pihak militer yang semakin kuat ini mengatakan bahwa mereka tidak dapat menghentikan bisnis militer sampai pemerintah dapat menyediakan seluruh dana militer. Presiden Megawati Sukarnoputri, yang naik jabatan dari wakil presiden di tahun 2001 dengan dukungan partai politik sipil dan faksi militer di parlemen, tidak memaksakan masalah ini atau aspek-aspek lain dari reformasi militer. Akibatnya, usaha untuk menaggapi masalah pembiayaan militer terhenti. Di tahun 2001, TNI meyakinkan parlemen bahwa “sampai saat pemerintah dapat menyediakan seluruh dana untuk memenuhi kesejahteraan prajurit secara layak, usaha bisnis [TNI] harus dibiarkan.” 59 Sampai dengan tahun 2001, pimpinan angkatan darat telah berjanji selama bertahuntahun untuk menanggapi masalah kegiatan bisnis militer, tetapi kata-kata mereka tidak pernah didukung oleh tindakan apapun. 60 Pimpinan TNI telah menyadari bahwa hasrat bisnis militer telah menodai nama baik mereka, tetapi institusi itu tetap mempertahankan bisnis-bisnis tersebut akibat rasa terancam-diri: pihak militer telah menjadi terbiasa bergantung kepada dana dari luar dan tidak mempercayai bahwa pemerintah akan mencukupi kebutuhannya. Analis-analis percaya bahwa pemerintah Indonesia akan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dapat membiayai operasi mereka sepenuhnya dari hasil pajak; sebelum itu terjadi, “TNI tidak akan menyerahkan satu rupiahpun dari sumber-sumber di luar anggaran bila sumber-sumber tersebut tidak harus dilepaskan.” 61 57 Sukardi Rinakit, The Indonesian Military After the New Order (Aparat Militer Indonesia Setelah Orde Baru) (Singapore: NIAS Press/ISEAS, 2005), hal. 183. 58 O’Rourke, Reformasi, hal. 371-373. Lihat pembahasan di bawah. 59 Ini adalah kesimpulan dari konsultasi antara parlemen dan panglima TNI mengenai perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh yayasan militer. Ernst & Young, “YKEP: Strategic Review Report.” Lihat juga Moch. N. Kurniawan, “Military dan police asked to be thifty (Aparat militer dan kepolisian diminta berhemat),” Jakarta Post, 7 Oktober 2002. 60 “Skepticism remains over TNI internal reform,” Jakarta Post, Januari 3, 2001. 61 Angel Rabasa dan John Haseman, The Military and Democracy in Indonesia: Challenges, Politics, and Power (Pihak Militer dan Demokrasi di Indonesia: Tantangan, Politik, dan Kekuasaan) (Santa Monica: RAND, 2002), hal. 71. 25 HUMAN RIGHTS WATCH VOL. 18, NO. 5(C)

Di bidang politik, sangatlah sukar untuk mengalahkan usaha lobi militer yang kuat.<br />

Pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid, yang pertama di dalam masa reformasi,<br />

berusaha menantang pihak militer—termasuk dalam hal kekuasaan ekonomi militer dan<br />

tidak adanya keterbukaan—tetapi terpaksa mundur setelah mengalami keterbatasan<br />

anggaran dan perlawanan yang kuat dari pihak militer. 57 Elemen-elemen konservatif di<br />

dalam tubuh militer segera memperlihatkan kekuasaan mereka atas perwira-perwira yang<br />

ingin melakukan reformasi. (Seorang pendukung utama reformasi, Letjen. Agus<br />

Wirahadikusumah, dicopot dari jabatannya, tampaknya sebagai balasan atas upayaupayanya<br />

membeberkan penyelewengan keuangan. 58 )<br />

Pihak militer yang semakin kuat ini mengatakan bahwa mereka tidak dapat<br />

menghentikan bisnis militer sampai pemerintah dapat menyediakan seluruh dana militer.<br />

Presiden Megawati Sukarnoputri, yang naik jabatan dari wakil presiden di tahun 2001<br />

dengan dukungan partai politik sipil dan faksi militer di parlemen, tidak memaksakan<br />

masalah ini atau aspek-aspek lain dari reformasi militer. Akibatnya, usaha untuk<br />

menaggapi masalah pembiayaan militer terhenti. Di tahun 2001, TNI meyakinkan<br />

parlemen bahwa “sampai saat pemerintah dapat menyediakan seluruh dana untuk<br />

memenuhi kesejahteraan prajurit secara layak, usaha bisnis [TNI] harus dibiarkan.” 59<br />

Sampai dengan tahun 2001, pimpinan angkatan darat telah berjanji selama bertahuntahun<br />

untuk menanggapi masalah kegiatan bisnis militer, tetapi kata-kata mereka tidak<br />

pernah didukung oleh tindakan apapun. 60 Pimpinan TNI telah menyadari bahwa hasrat<br />

bisnis militer telah menodai nama baik mereka, tetapi institusi itu tetap mempertahankan<br />

bisnis-bisnis tersebut akibat rasa terancam-diri: pihak militer telah menjadi terbiasa<br />

bergantung kepada dana dari luar dan tidak mempercayai bahwa pemerintah akan<br />

mencukupi kebutuhannya. Analis-analis percaya bahwa pemerintah Indonesia akan<br />

membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dapat membiayai operasi mereka<br />

sepenuhnya dari hasil pajak; sebelum itu terjadi, “TNI tidak akan menyerahkan satu<br />

rupiahpun dari sumber-sumber di luar anggaran bila sumber-sumber tersebut tidak harus<br />

dilepaskan.” 61<br />

57<br />

Sukardi Rinakit, The Indonesian Military After the New Order (Aparat Militer Indonesia Setelah Orde Baru)<br />

(Singapore: NIAS Press/ISEAS, 2005), hal. 183.<br />

58<br />

O’Rourke, Reformasi, hal. 371-373. Lihat pembahasan di bawah.<br />

59<br />

Ini adalah kesimpulan dari konsultasi antara parlemen dan panglima TNI mengenai perusahaan-perusahaan<br />

yang dimiliki oleh yayasan militer. Ernst & Young, “YKEP: Strategic Review Report.” Lihat juga Moch. N.<br />

Kurniawan, “Military dan police asked to be thifty (Aparat militer dan kepolisian diminta berhemat),” Jakarta<br />

Post, 7 Oktober 2002.<br />

60<br />

“Skepticism remains over TNI internal reform,” Jakarta Post, Januari 3, 2001.<br />

61<br />

Angel Rabasa dan John Haseman, The Military and Democracy in Indonesia: Challenges, Politics, and Power<br />

(Pihak Militer dan Demokrasi di Indonesia: Tantangan, Politik, dan Kekuasaan) (Santa Monica: RAND, 2002),<br />

hal. 71.<br />

25<br />

HUMAN RIGHTS WATCH VOL. 18, NO. 5(C)

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!