Harga Selangit - Human Rights Watch
Harga Selangit - Human Rights Watch
Harga Selangit - Human Rights Watch
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
tanah yang diaku oleh masyarakat penduduk asli. 15 (Lihat “Investasi Militer di Bidang<br />
Kehutanan,” di bawah.) Seringkali prajurit-prajurit juga berperan sebagai pemaksa dalam<br />
penyitaan tanah tersebut. Sebagai contoh, masyarakat penduduk asli di propinsi Riau<br />
melaporkan bahwa selama masa pemerintahan Soeharto, ribuan hektar tanah masyarakat<br />
telah disita dengan menggunakan intimidasi oleh orang-orang bersenjata dari kepolisian<br />
dan militer, dan tanpa ada ganti rugi apapun. 16<br />
Selama beberapa waktu, perusahaan-perusahaan juga secara rutin menggantungkan diri<br />
pada tentara untuk menyelesaikan sengketa perburuhan atau sengketa tanah, dan prajuritprajurit<br />
ini menggunakan kekerasan yang berlebihan atau intimidasi untuk membungkam<br />
suara-suara yang menentang. Contohnya, sampai dengan awal tahun 2000-an, prajurit<br />
militer dalam perannya sebagai “petugas keamanan perusahaan” sering campur tangan<br />
dalam perselisihan perburuhan dengan menggunakan intimidasi dan bahkan kekerasan. 17<br />
Seringkali tugas-tugas kotor intimidasi dan kekerasan itu dikontrakkan kepada sekelompok<br />
berandalan di luar militer. 18<br />
Selain itu, kegiatan mencari penghasilan secara ilegal oleh aparat militer juga terus<br />
berlangsung. Perwira-perwira komando, yang diharapkan oleh atasan mereka untuk<br />
dapat membiayai satuan yang mereka pimpin, berusaha memanfaatkan pasukan, fasilitas,<br />
dan wibawa mereka untuk mencari uang. Banyak dari usaha-usaha bisnis ilegal yang<br />
mereka dirikan merupakan permainan lokal saja, tetapi ada juga yang melibatkan pejabatpejabat<br />
tinggi. Komandan militer juga terbukti secara terbuka telah membiarkan kegiatan<br />
ekonomi ilegal bawahan mereka. Pada umumnya, asalkan uang terus mengalir, pimpinanpimpinan<br />
militer hanya menutup mata saja. Tidak mengherankan jika upaya memperkaya<br />
diri sendiri terjadi secara luas dan kekebalan hukum pihak militer juga meningkat. 19<br />
15<br />
<strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong>, “Without Remedy: <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> Abuses and Indonesia’s Pulp and Paper Industry<br />
(Tiada Ganti Rugi: Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Industri Pulp dan Kertas di Indonesia),” A <strong>Human</strong><br />
<strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong> Report [Laporan <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong>], vol. 15, no. 1 (c), Januari 2003, hal. 13-16, [online]<br />
http://www.hrw.org/reports/2003/indon0103/.<br />
16<br />
<strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong>, “Without Remedy,” hal. 33-34. Untuk contoh-contoh lain tentang keterlibatan militer di<br />
dalam persengketaan tanah, lihat, misalnya, upaya kelompok-kelompok hak asasi manusia Indonesia, Kontras,<br />
Ketika Moncong Senjata Ikut Berniaga: Ketelibatan Bisnis Militer Dalam Bisnis Di Bojonegoro, Boven Digoel<br />
dan Poso (Jakarta: Kontras, 2004), hal. 28. Nomor halaman yang disebutkan dalam catatan kaki ini adalah<br />
nomor di di ringkasan eksekutif yang diterbitkan dalam bahasa Inggris.<br />
17<br />
Wawancara <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong> dengan pengorganisir serikat pekerja, Jakarta, 30 Agustus dan 6<br />
September 2004. Saat pertama kali dicantumkan, catatan mengenai sumber informasi wawancara-wawancara<br />
<strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong> akan menyebutkan tempat dan tanggal wawancara, selanjutnya hanya menyebutkan<br />
identitas orang-orang yang diwawancarai, kecuali jika ada beberapa tanggal wawancara bagi orang yang sama.<br />
Lihat juga Patrick Quinn, “Freedom of Association and Collective Bargaining: A study of Indonesian experience<br />
1998-2003 (Kebebasan Berasosiasi dan Perundingan Kolektif: Sebuah Studi tentang pengalaman Indonesia<br />
1998-2003),” Kertas Kerja 11 (Jenewa: International Labour Office, September 2003), terutama hal. 29-30.<br />
18<br />
Wawancara <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong> dengan aktifis masyarakat dan pengorganisir serikat pekerja, Jakarta,<br />
Agustus dan September 2004.<br />
19<br />
Crouch, The Army and Politics in Indonesia, hal. 285-299.<br />
15<br />
HUMAN RIGHTS WATCH VOL. 18, NO. 5(C)