Harga Selangit - Human Rights Watch

Harga Selangit - Human Rights Watch Harga Selangit - Human Rights Watch

13.01.2014 Views

juga menjadi kunci pendukung asas ini. 11 Kehadiran militer di tingkat lokal ini, bersama dengan dengan unsur pemaksaan dan kekerasan yang terkandung dalam diri aparat militer, serta dukungan politis, memungkinkan aparat militer untuk mendominasi kesempatan-kesempatan ekonomi. 12 Angkatan-angkatan di tubuh militer, komando-komando wilayah, satuan-satuan lokal, dan prajurit-prajurit pribadi turut ikut serta dalam bermacam-macam badan usaha komersil dengan menggunakan struktur bisnis yang berbeda-beda, baik formal dan informal. Perusahaan yang dimiliki secara formal ini dipergunakan oleh yayasan militer atau koperasi sebagai sebuah investasi yang kemudian berkembang menjadi lengan komersial TNI—sesuatu yang melanggar batas fungsi kesejahteraan yayasan atau koperasi tersebut. 13 Karena dukungan politis dan permainan favoritas, bisnis yang terkait dengan pihak militer menjadi kekuatan ekonomi yang dominan. Kekuatan ekonomi ini dapat dilihat, misalnya, dari kemampuan militer untuk mengambil alih hak milik perusahaan negara yang telah dijadikan perusahaan swasta, memperoleh hak eksploitasi hutan yang sangat luas, dan menikmati akses istimewa atas kontrak-kontrak pemerintah, lisensi, dan kredit. 14 Serangkaian pelanggaran hak asasi manusia yang berhubungan dengan hasrat ekonomi militer mulai bermunculan di masa Orde Baru. Di akhir tahun 1960-an dan 1970-an, pemerintah dengan paksa mengambil-alih berbidang-bidang tanah yang merupakan sumber ketergantungan masyarakat penduduk asli, merampas hak milik mereka tanpa proses yang adil dan tanpa memberi uang ganti rugi atau hanya memberi ganti rugi yang sangat kecil. Pihak militer merupakan pihak yang menerima keuntungan paling besar dari kebijakan kehutanan negara yang memungkinkan penyitaan secara besar-besaran tanah- 11 Sistem wilayah ini dibentuk sebagian karena dana tidak tersedia untuk satu pasukan terpusat yang mampu ditempatkan dengan segera bilamana dibutuhkan. Marcus Mietzner, “Business as Usual? The Indonesian Armed Forces and Local Politics in the Post-Soeharto Era (Bisnis seperti Biasa? Angkatan Bersenjata Indonesia dan Politik Lokal di Masa Setelah Soeharto),” dimuat dalam Edward Espinall dan Greg Fealy, eds., Local Power and Politics in Indonesia: Decentralization and Democratization (Kekuasaan Lokal dan Politik di Indonesia: Desentralisai dan Demokratisasi) (Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 2003), hal. 246- 247. 12 Seperti ditunjukkan oleh akademikus dan aktifis Lesley McCulloch, dwifungsi membuka pintu bagi peran militer ketiga: sebagai pemeran penting dalam ekonomi, dan oleh karena itu, doktrin tersebut lebih tepat dinamakan trifungsi. McCulloch, “Trifungsi,” khususnya hal. 99-100. 13 Crouch, The Army and Politics in Indonesia, hal. 282-285. 14 Robison, Indonesia: The Rise of Capital, hal. 253-254. HUMAN RIGHTS WATCH VOL. 18, NO. 5(C) 14

tanah yang diaku oleh masyarakat penduduk asli. 15 (Lihat “Investasi Militer di Bidang Kehutanan,” di bawah.) Seringkali prajurit-prajurit juga berperan sebagai pemaksa dalam penyitaan tanah tersebut. Sebagai contoh, masyarakat penduduk asli di propinsi Riau melaporkan bahwa selama masa pemerintahan Soeharto, ribuan hektar tanah masyarakat telah disita dengan menggunakan intimidasi oleh orang-orang bersenjata dari kepolisian dan militer, dan tanpa ada ganti rugi apapun. 16 Selama beberapa waktu, perusahaan-perusahaan juga secara rutin menggantungkan diri pada tentara untuk menyelesaikan sengketa perburuhan atau sengketa tanah, dan prajuritprajurit ini menggunakan kekerasan yang berlebihan atau intimidasi untuk membungkam suara-suara yang menentang. Contohnya, sampai dengan awal tahun 2000-an, prajurit militer dalam perannya sebagai “petugas keamanan perusahaan” sering campur tangan dalam perselisihan perburuhan dengan menggunakan intimidasi dan bahkan kekerasan. 17 Seringkali tugas-tugas kotor intimidasi dan kekerasan itu dikontrakkan kepada sekelompok berandalan di luar militer. 18 Selain itu, kegiatan mencari penghasilan secara ilegal oleh aparat militer juga terus berlangsung. Perwira-perwira komando, yang diharapkan oleh atasan mereka untuk dapat membiayai satuan yang mereka pimpin, berusaha memanfaatkan pasukan, fasilitas, dan wibawa mereka untuk mencari uang. Banyak dari usaha-usaha bisnis ilegal yang mereka dirikan merupakan permainan lokal saja, tetapi ada juga yang melibatkan pejabatpejabat tinggi. Komandan militer juga terbukti secara terbuka telah membiarkan kegiatan ekonomi ilegal bawahan mereka. Pada umumnya, asalkan uang terus mengalir, pimpinanpimpinan militer hanya menutup mata saja. Tidak mengherankan jika upaya memperkaya diri sendiri terjadi secara luas dan kekebalan hukum pihak militer juga meningkat. 19 15 Human Rights Watch, “Without Remedy: Human Rights Abuses and Indonesia’s Pulp and Paper Industry (Tiada Ganti Rugi: Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Industri Pulp dan Kertas di Indonesia),” A Human Rights Watch Report [Laporan Human Rights Watch], vol. 15, no. 1 (c), Januari 2003, hal. 13-16, [online] http://www.hrw.org/reports/2003/indon0103/. 16 Human Rights Watch, “Without Remedy,” hal. 33-34. Untuk contoh-contoh lain tentang keterlibatan militer di dalam persengketaan tanah, lihat, misalnya, upaya kelompok-kelompok hak asasi manusia Indonesia, Kontras, Ketika Moncong Senjata Ikut Berniaga: Ketelibatan Bisnis Militer Dalam Bisnis Di Bojonegoro, Boven Digoel dan Poso (Jakarta: Kontras, 2004), hal. 28. Nomor halaman yang disebutkan dalam catatan kaki ini adalah nomor di di ringkasan eksekutif yang diterbitkan dalam bahasa Inggris. 17 Wawancara Human Rights Watch dengan pengorganisir serikat pekerja, Jakarta, 30 Agustus dan 6 September 2004. Saat pertama kali dicantumkan, catatan mengenai sumber informasi wawancara-wawancara Human Rights Watch akan menyebutkan tempat dan tanggal wawancara, selanjutnya hanya menyebutkan identitas orang-orang yang diwawancarai, kecuali jika ada beberapa tanggal wawancara bagi orang yang sama. Lihat juga Patrick Quinn, “Freedom of Association and Collective Bargaining: A study of Indonesian experience 1998-2003 (Kebebasan Berasosiasi dan Perundingan Kolektif: Sebuah Studi tentang pengalaman Indonesia 1998-2003),” Kertas Kerja 11 (Jenewa: International Labour Office, September 2003), terutama hal. 29-30. 18 Wawancara Human Rights Watch dengan aktifis masyarakat dan pengorganisir serikat pekerja, Jakarta, Agustus dan September 2004. 19 Crouch, The Army and Politics in Indonesia, hal. 285-299. 15 HUMAN RIGHTS WATCH VOL. 18, NO. 5(C)

juga menjadi kunci pendukung asas ini. 11 Kehadiran militer di tingkat lokal ini, bersama<br />

dengan dengan unsur pemaksaan dan kekerasan yang terkandung dalam diri aparat<br />

militer, serta dukungan politis, memungkinkan aparat militer untuk mendominasi<br />

kesempatan-kesempatan ekonomi. 12<br />

Angkatan-angkatan di tubuh militer, komando-komando wilayah, satuan-satuan lokal,<br />

dan prajurit-prajurit pribadi turut ikut serta dalam bermacam-macam badan usaha<br />

komersil dengan menggunakan struktur bisnis yang berbeda-beda, baik formal dan<br />

informal. Perusahaan yang dimiliki secara formal ini dipergunakan oleh yayasan militer<br />

atau koperasi sebagai sebuah investasi yang kemudian berkembang menjadi lengan<br />

komersial TNI—sesuatu yang melanggar batas fungsi kesejahteraan yayasan atau<br />

koperasi tersebut. 13<br />

Karena dukungan politis dan permainan favoritas, bisnis yang terkait dengan pihak<br />

militer menjadi kekuatan ekonomi yang dominan. Kekuatan ekonomi ini dapat dilihat,<br />

misalnya, dari kemampuan militer untuk mengambil alih hak milik perusahaan negara<br />

yang telah dijadikan perusahaan swasta, memperoleh hak eksploitasi hutan yang sangat<br />

luas, dan menikmati akses istimewa atas kontrak-kontrak pemerintah, lisensi, dan kredit. 14<br />

Serangkaian pelanggaran hak asasi manusia yang berhubungan dengan hasrat ekonomi<br />

militer mulai bermunculan di masa Orde Baru. Di akhir tahun 1960-an dan 1970-an,<br />

pemerintah dengan paksa mengambil-alih berbidang-bidang tanah yang merupakan<br />

sumber ketergantungan masyarakat penduduk asli, merampas hak milik mereka tanpa<br />

proses yang adil dan tanpa memberi uang ganti rugi atau hanya memberi ganti rugi yang<br />

sangat kecil. Pihak militer merupakan pihak yang menerima keuntungan paling besar dari<br />

kebijakan kehutanan negara yang memungkinkan penyitaan secara besar-besaran tanah-<br />

11<br />

Sistem wilayah ini dibentuk sebagian karena dana tidak tersedia untuk satu pasukan terpusat yang mampu<br />

ditempatkan dengan segera bilamana dibutuhkan. Marcus Mietzner, “Business as Usual? The Indonesian<br />

Armed Forces and Local Politics in the Post-Soeharto Era (Bisnis seperti Biasa? Angkatan Bersenjata<br />

Indonesia dan Politik Lokal di Masa Setelah Soeharto),” dimuat dalam Edward Espinall dan Greg Fealy, eds.,<br />

Local Power and Politics in Indonesia: Decentralization and Democratization (Kekuasaan Lokal dan Politik di<br />

Indonesia: Desentralisai dan Demokratisasi) (Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 2003), hal. 246-<br />

247.<br />

12<br />

Seperti ditunjukkan oleh akademikus dan aktifis Lesley McCulloch, dwifungsi membuka pintu bagi peran<br />

militer ketiga: sebagai pemeran penting dalam ekonomi, dan oleh karena itu, doktrin tersebut lebih tepat<br />

dinamakan trifungsi. McCulloch, “Trifungsi,” khususnya hal. 99-100.<br />

13<br />

Crouch, The Army and Politics in Indonesia, hal. 282-285.<br />

14<br />

Robison, Indonesia: The Rise of Capital, hal. 253-254.<br />

HUMAN RIGHTS WATCH VOL. 18, NO. 5(C) 14

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!