Harga Selangit - Human Rights Watch
Harga Selangit - Human Rights Watch
Harga Selangit - Human Rights Watch
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
1999. Alokasi anggaran resmi bagi aparat militer cukup rendah. Akibatnya, selama tahun<br />
1950-an, komando dan satuan militer sebagian besar tetap mencari dana mereka sendiri.<br />
Cara pencarian dana mereka juga meliputi kegiatan yang melanggar hukum seperti<br />
penyelundupan yang terorganisir dan pungutan-pungutan liar. Komandan-komandan<br />
militer juga menjalin hubungan yang semakin erat dengan pengusaha-pengusaha<br />
setempat untuk memperoleh dana guna mencukupi pengeluaran militer. Kadang-kadang,<br />
satuan militer itu sendiri diberi hak milik atas sebuah usaha bisnis yang dikelola oleh<br />
mitra kerja swasta. 3<br />
Bisnis-bisnis Militer Pertama<br />
Aparat militer mulai turut ambil bagian dalam bisnis besar-besaran sejak akhir tahun<br />
1950-an. Saat negara berada dalam keadaan darurat perang ini, aparat militer mulai<br />
mengambil alih kontrol atas perusahaan-perusahaan Belanda. Tidak lama kemudian,<br />
Presiden Sukarno secara resmi menempatkan perusahaan-perusahaan yang baru saja<br />
dinasionalisasikan ini di bawah pengawasan pejabat-pejabat tinggi militer. Usaha<br />
nasionalisasi ini berlanjut dengan pengambilalihan perusahaan-perusahaan Inggris dan<br />
AS oleh pemerintah pada pertengahan tahun 1960-an. Kontrol terhadap perusahaanperusahaan<br />
ini juga diserahkan kepada pejabat milliter. Langkah ini sebagian bertujuan<br />
untuk mengatasi kekurangan anggaran yang sangat parah, yang mengakibatkan gaji yang<br />
tidak seberapa, perumahaan yang menyedihkan, dan kekurangan pakaian dan peralatan<br />
bagi para prajurit. 4<br />
Aparat militer juga terlibat erat di dalam pengelolaan badan-badan usaha milik negara.<br />
Perusahaan minyak raksasa, Pertamina, dan Badan Urusan Logistik (atau Bulog) juga<br />
didominasi pimpinan militer selama tahun 1960-an dan sampai dekade berikutnya. Laba<br />
dari perusahaan yang dijalankan oleh aparat militer biasanya juga disalurkan ke pihak<br />
militer. 5 Selain itu, “pembiayaan tidak lazim”ini memungkinkan pemerintah dan<br />
pimpinan militer untuk memperlihatkan bahwa seakan-akan pengeluaran militer telah<br />
dikorbankan untuk kepentingan-kepentingan negara lainnya. 6<br />
3<br />
Richard Robison, Indonesia: The Rise of Capital (North Sydney: Allen & Unwin, 1986), hal. 250-252, 259-260.<br />
4<br />
Lesley McCulloch, “Trifungsi: The Role of the Indonesian Military in Business (Trifungsi: Peran Aparat Militer<br />
Indonesia di dalam Bisnis),” di dalam The Military as an Economic Actor (Aparat Militer sebagai Aktor di Bidang<br />
Ekonomi), Jörn Brömmelhörster dan Wolf-Christian Paes, ed. (New York: Palgrave MacMillan, 2003), hal. 101.<br />
5<br />
Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia [Tentara dan Politik di Indonesia] (Ithaca dan London:<br />
Cornell University Press, 1978), hal. 275-285; Robison, Indonesia: The Rise of Capital, hal. 252; Danang<br />
Widoyoko, Irfan Muktiono, Adnan Topan Husodo, Barly Haliem N, dan Agung Wijay, Bisnis Milter Mencari<br />
Legitimasi, (Jakarta: Indonesia Corruption <strong>Watch</strong> dan National Democratic Institute, 2003), hal. vi, 27-33.<br />
Terjemahan dalam bahasa Inggris juga ada. Lihat Bisnis Milter Mencari Legitimasi, [online]<br />
http://www.indonesia-house.org/dbindhouse/bm/Icw_bis_mil/Daftar_Isi.htm. Rujukan di dalam laporan ini,<br />
termasuk keterangan halaman, adalah dari text asli, bukan text terjemahan.<br />
6<br />
Crouch, The Army and Politics in Indonesia, hal. 274, 277.<br />
HUMAN RIGHTS WATCH VOL. 18, NO. 5(C) 12