Harga Selangit - Human Rights Watch

Harga Selangit - Human Rights Watch Harga Selangit - Human Rights Watch

13.01.2014 Views

Keengganan Menanggulangi Seluruh Ruang Lingkup Kegiatan Ekonomi Militer Pencarian dana militer, seperti dikemukan dalam laporan ini, meliputi empat kategori kegiatan ekonomi yang berbeda. Dalam mempertimbangkan reformasi keuangan militer, pejabat sipil dan militer sejauh ini hanya mau mempertimbangkan langkah-langkah untuk mengatasi satu kategori saja—badan-badan usaha yang sudah mapan dimana pihak militer mempunyai hak milik tertulis. Selain itu, pejabat sipil dan militer ini hanya memusatkan perhatian mereka pada satu bagian saja dari badan-badan usaha tersebut, sekitar enam perusahaan yang paling berharga, dan menyatakan bahwas sisanya mungkin akan ditinggalkan di tangan militer. 566 Saat mendengar rencana tersebut pertama kali, anggota-anggota DPR menyerukan bahwa langkah-langkah yang akan diambil pemerintah tidak memenuhi persyaratan dari undang-undang yang telah mereka keluarkan. 567 Undang-undang tersebut, seperti telah diterangkan dalam laporan ini, mengharuskan pemberhentian semua kepentingan bisnis militer dalam jangka waktu lima tahun dan pelarangan bagi semua prajurit militer untuk ikut serta dalam kegiatan bisnis apapun. Tim antar-departemen yang dibentuk untuk melakukan pengawasan pemerintah terhadap perubahan struktur bisnis militer, TSTB, telah mengambil langkah-langkah yang sangat selektif saja. TSTB sebagian besar hanya memusatkan perhatian pada tujuan untuk menasionalisasikan badan-badan usaha militer yang paling banyak menghasilkan uang dan tidak mengutamakan tugas untuk mengakhiri segala kegiatan bisnis TNI. 568 Perhatian terbatas terhadap badan-badan usaha besar milik militer serta kesediaan pemerintah untuk mengijinkan aparat militer tetap berkecimpung dalam dunia bisnis tampaknya disebabkan oleh pengaruh usaha lobi pejabat-pejabat tinggi militer. Pimpinan TNI telah mengatakan bahwa mereka akan mematuhi persyaratan yang ada, tetapi dari awal, mereka telah menegaskan bagaimana menurut mereka undang-undang tersebut harus diterapkan. Jendral Sutarto menerangkan bahwa TNI akan bersedia melepaskan perusahaan-perusahaan yang tidak menghasilkan uang atau yang hanya menguntungkan mitra kerja swastanya dan mencemarkan citra TNI, tetapi Sutarto mengatakan bahwa TNI seharusnya tetap diperbolehkan memegang bisnis-bisnis tertentu, terutama bisnisbisnis yang didirikan di bawah koperasi atau yayasan, yang dikatakan telah didirikan 566 Lihat, sebagai contoh, ”TNI may give up 6 businesses by year end (TNI mungkin akan melepaskan 6 bisnisnya di akhir tahun),” Bloomberg News, 10 Mei 2006. 567 “Government muscles in on military businesses (Pemerintah mulai menggunakan otot dalam masalah bisnis militer),” Jakarta Post, 26 Januari 2005; Achmad Sukarsono, “Indonesia military to lose its big companies (Aparat militer Indonesia bakal kehilangan perusahaan-perusahaan besar mereka),” Reuters, 9 Desember 2005. 568 Lihat, sebagai contoh, Asmarani, “Jakarta to take over only 10 military businesses (Jakarta akan mengambil alih 10 bisnis militer saja),” Straits Times; HUMAN RIGHTS WATCH VOL. 18, NO. 5(C) 134

untuk tujuan kesejahteraan prajurit. 569 Panglima TNI baru yang diangkat di awal tahun 2006 untuk menggantikan Jendral Sutarto yang telah purnawirawan, Marsekal Djoko Suyanto, juga mendukung pendapat ini. Marsekal Suyanto mengakui bahwa keterlibatan dalam bisnis sangat bertentangan dengan profesionalisme militer, 570 tetapi meskipun demikian, Suyanto berpendapat bahwa: Kita harus dengan hati-hati memisahkan bisnis pribadi dengan bisnis institusi.…Saya percaya bahwa tim [antar-departemen, TSTB] ini akan dengan bijaksana membenahi dan memilih bisnis-bisnis militer ini. Artinya, bisnis-bisnis yang bertujuan melayani kepentingan prajurit TNI dan keluarga mereka harus dipertahankan.” 571 Sesuai dengan kehendak Panglima TNI ini, pembuat kebijakan pemerintah membuat suatu cetak biru bagi pengambilalihan bisnis militer yang akan mengijinkan pihak militer untuk mempertahankan sejumlah besar investasi mereka melalui badan-badan usaha yang dikatakan adalah badan mandiri. 572 Dalam rencana ini, pemerintah akan membentuk sebuah badan baru (BTPB, seperti dijelaskan di atas) yang akan mengevaluasi dan “membenahi” bisnis-bisnis militer tertentu dan mempersiapkan bisnis-bisnis tersebut untuk dialihkan menjadi badan usaha milik negara, dijual, atau dibubarkan, menurut masa depan bisnis tiap-tiap perusahaan tersebut. 573 Tetapi rencana ini tidak akan meliputi yayasan militer, koperasi militer dan bisnis-bisnis pribadi yang menurut pemikiran BTPB tidak menggunakan aset negara. 574 569 Supriyanto, “Chief: Reorganization of TNI Businesses…,” Koran Tempo; Tony Hotland, “TNI wants to retain rich foundations (TNI ingin mempertahankan yayasan-yayasan yang kaya),” Jakarta Post, 10 September 2005. 570 “Indonesia’s future military chief vows respect for human rights (Calon panglima militer Indonesia bersumpah akan menghormati hak asasi manusia),” AFP, 1 Februari 2006, mengutip Antara. Tetapi, Suyanto membela struktur wilayah TNI, dan oleh karenanya, memperlemah reputasinya sebagai pendukung reformasi. Ibid. 571 Soeryo Winoto, “Military must have a presence in the region (Aparat militer harus hadir di wilayah),” wawancara dengan Marsekal Djoko Suyanto, Jakarta Post, 3 Februari 2006. 572 Lihat, sebagai contoh, Tiarma Siboro, "Military may retain many businesses," Jakarta Post, 20 Oktober 2005. 573 Bisnis militer yang lebih besar dan lebih menguntungkan akan diubah menjadi badan-badan usaha milik negara; beberapa dari bisnis militer yang kurang menguntungkan akan digabung bersama untuk membuat mereka menjadi lebih menguntungkan (selain juga mengubah mereka menjadi badan usaha milik negara); saham bisnis militer yang menunjukkan masa depan suram akan dijual, dan penghasilan ini akan masuk ke kas negara; dan bisnis militer yang mempunyai masalah hukum, keuangan, atau operasional akan dibubarkan. Ringkasan Departemen Pertahanan untuk Human Rights Watch; wawancara Human Rights Watch dengan Said Didu. 574 Ringkasan Departemen Pertahanan untuk Human Rights Watch; wawancara Human Rights Watch dengan Said Didu. Tetap tidak jelas bagaimana pemerintah akan memperlakukan bisnis-bisnis dimana kepemilikan saham perusahaan tidaklah jelas di antara yayasan militer dan orang-orang (yang kemungkinan besar adalah perwira-perwira militer) yang bekerja untuk yayasan, atau bisnis-bisnis yang dijalankan oleh prajurit-prajurit dan keluarga mereka secara pribadi. Surat Departemen Pertahanan kepada Human Rights Watch; wawancara Human Rights Watch dengan Letjen. Sjafrie Sjamsoeddin. 135 HUMAN RIGHTS WATCH VOL. 18, NO. 5(C)

Keengganan Menanggulangi Seluruh Ruang Lingkup Kegiatan Ekonomi<br />

Militer<br />

Pencarian dana militer, seperti dikemukan dalam laporan ini, meliputi empat kategori<br />

kegiatan ekonomi yang berbeda. Dalam mempertimbangkan reformasi keuangan militer,<br />

pejabat sipil dan militer sejauh ini hanya mau mempertimbangkan langkah-langkah untuk<br />

mengatasi satu kategori saja—badan-badan usaha yang sudah mapan dimana pihak<br />

militer mempunyai hak milik tertulis. Selain itu, pejabat sipil dan militer ini hanya<br />

memusatkan perhatian mereka pada satu bagian saja dari badan-badan usaha tersebut,<br />

sekitar enam perusahaan yang paling berharga, dan menyatakan bahwas sisanya mungkin<br />

akan ditinggalkan di tangan militer. 566 Saat mendengar rencana tersebut pertama kali,<br />

anggota-anggota DPR menyerukan bahwa langkah-langkah yang akan diambil<br />

pemerintah tidak memenuhi persyaratan dari undang-undang yang telah mereka<br />

keluarkan. 567 Undang-undang tersebut, seperti telah diterangkan dalam laporan ini,<br />

mengharuskan pemberhentian semua kepentingan bisnis militer dalam jangka waktu lima<br />

tahun dan pelarangan bagi semua prajurit militer untuk ikut serta dalam kegiatan bisnis<br />

apapun.<br />

Tim antar-departemen yang dibentuk untuk melakukan pengawasan pemerintah<br />

terhadap perubahan struktur bisnis militer, TSTB, telah mengambil langkah-langkah<br />

yang sangat selektif saja. TSTB sebagian besar hanya memusatkan perhatian pada tujuan<br />

untuk menasionalisasikan badan-badan usaha militer yang paling banyak menghasilkan<br />

uang dan tidak mengutamakan tugas untuk mengakhiri segala kegiatan bisnis TNI. 568<br />

Perhatian terbatas terhadap badan-badan usaha besar milik militer serta kesediaan<br />

pemerintah untuk mengijinkan aparat militer tetap berkecimpung dalam dunia bisnis<br />

tampaknya disebabkan oleh pengaruh usaha lobi pejabat-pejabat tinggi militer. Pimpinan<br />

TNI telah mengatakan bahwa mereka akan mematuhi persyaratan yang ada, tetapi dari<br />

awal, mereka telah menegaskan bagaimana menurut mereka undang-undang tersebut<br />

harus diterapkan. Jendral Sutarto menerangkan bahwa TNI akan bersedia melepaskan<br />

perusahaan-perusahaan yang tidak menghasilkan uang atau yang hanya menguntungkan<br />

mitra kerja swastanya dan mencemarkan citra TNI, tetapi Sutarto mengatakan bahwa<br />

TNI seharusnya tetap diperbolehkan memegang bisnis-bisnis tertentu, terutama bisnisbisnis<br />

yang didirikan di bawah koperasi atau yayasan, yang dikatakan telah didirikan<br />

566<br />

Lihat, sebagai contoh, ”TNI may give up 6 businesses by year end (TNI mungkin akan melepaskan 6<br />

bisnisnya di akhir tahun),” Bloomberg News, 10 Mei 2006.<br />

567<br />

“Government muscles in on military businesses (Pemerintah mulai menggunakan otot dalam masalah bisnis<br />

militer),” Jakarta Post, 26 Januari 2005; Achmad Sukarsono, “Indonesia military to lose its big companies<br />

(Aparat militer Indonesia bakal kehilangan perusahaan-perusahaan besar mereka),” Reuters, 9 Desember<br />

2005.<br />

568<br />

Lihat, sebagai contoh, Asmarani, “Jakarta to take over only 10 military businesses (Jakarta akan mengambil<br />

alih 10 bisnis militer saja),” Straits Times;<br />

HUMAN RIGHTS WATCH VOL. 18, NO. 5(C) 134

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!