Harga Selangit - Human Rights Watch
Harga Selangit - Human Rights Watch
Harga Selangit - Human Rights Watch
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
ahwa proses persetujuan untuk alokasi anggaran militer hanyalah sekedar formalitas saja: “DPR<br />
tidak mempunyai kekuatan apapun untuk melawan militer mengenai masalah anggaran,<br />
jangankan untuk mengawasi anggaran tersebut.” 446<br />
Seorang pembela hak asasi manusia di Indonesia, berbicara pada tahun 2004, memberikan<br />
ringkasan tentang masalah yang berlarut-larut ini: “Pejabat sipil yang berwenang belum<br />
menemukan cara untuk mengawasi anggaran militer. Tidak ada pertanggungjawaban dari pusat,<br />
tidak ada keterbukaan, dan tidak ada keahlian untuk mengaudit operasi perang.” 447<br />
Akibat-akibatnya dirasakan oleh prajurit di lapangan. Pasukan-pasukan mereka tidak terlatih dan<br />
tidak mempunyai perlengkapan yang tangguh; kondisi hidup merekapun sangat sulit. Seorang<br />
pengamat yang telah mengadakan penelitian dalam hal ini menemukan bahwa “anggaran<br />
tambahan untuk Aceh tidak mengalir ke prajurit bawahan. Ada korupsi baik di pihak sipil<br />
maupun militer yang sangat besar, yang sudah merajalela di seluruh instansi.” 448<br />
Akibat tsunami pada bulan Desember 2004, TNI diberi aliran uang tambahan. Para pengamat<br />
telah menyampaikan kecemasan mereka bahwa tidak adanya pertanggungjawaban keuangan<br />
militer akan menghalangi usaha untuk menjamin bahwa dana pertolongan dan pembangunan<br />
kembali akan digunakan secara baik dan benar. 449<br />
Di awal Januari 2005, Departemen Pertahanan menyerahkan permintaaan anggaran sebesar<br />
hampir Rp. 237 milyar (sekitar $25,4 juta) kepada DPR untuk membiayai pertolongan bencana<br />
oleh TNI untuk jangka waktu tiga puluh hari. 450 Di pertengahan tahun 2005, departemen tersebut<br />
meminta tambahan sebesar Rp. 530,3 milyar (hampir $54,5 juta) untuk membiayai operasi militer<br />
di Aceh sampai akhir tahun. 451 Menteri pertahanan dan panglima TNI waktu itu, kedua-duanya<br />
membenarkan bahwa mereka berencana untuk tidak menghitung jumlah uang ini sebagai bagian<br />
dari anggaran pertahanan. 452<br />
Anggota-anggota DPR mengeluh bahwa Departemen Pertahanan telah mengambil jalan pintas<br />
dan menghindari proses anggaran yang biasa, dan memerintahkan Departemen Pertahanan untuk<br />
446<br />
Informasi ini diterbitkan oleh anggota DPR Indonesia yang menulis sebuah artikel di surat kabar. Djoko<br />
Susilo, “DPR seeks to end ‘rubber stamp' role in military budget (DPR berusaha mengakhiri peran 'stempel<br />
karetnya' dalam masalah anggaran militer),” Jakarta Post, 13 Maret 2003.<br />
447<br />
Wawancara <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong> dengan Munir, mantan direktur Imparsial, Jakarta, 30 Agustus 2004.<br />
448<br />
Wawancara <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong> dengan seorang analis Indonesia, Jakarta, 6 September 2004.<br />
449<br />
“NGOs skeptical of Aceh fund transparency (LSM-LSM tidak mempercayai keterbukaan dana Aceh),”<br />
Jakarta Post, 28 April 2005.<br />
450<br />
“Free Aceh Movement leaders condemn ‘sinister’ Indonesian military (Pemimpin-pemimpin Gerakan Aceh<br />
Merdeka mengecam aparat militer Indonesia yang 'menakutkan'),” BBC Monitoring Asia Pacific, 5 Januari 2005.<br />
451<br />
Sebagian besar uang tersebut, Rp. 314,8 milyar ($34,6 juta) dilaporkan telah disisihkan untuk operasi<br />
keamanan dan sisanya untuk persediaan. “Ministry seeks defense fund payout (Departemen mencari<br />
pembayaran dana pertahanan),” Jakarta Post, 30 Juni 2005.<br />
452<br />
“Defense Ministry Asks for More Funds (Departemen Pertahanan Meminta Dana Tambahan),” Antara, 3<br />
Agustus 2005. Laporan pers ini menyebutkan bahwa jumlah yang diminta untuk biaya tambahan untuk Aceh<br />
adalah sebesar Rp. 526 milyar ($52,6 juta). Ibid.<br />
HUMAN RIGHTS WATCH VOL. 18, NO. 5(C) 108