13.01.2014 Views

Harga Selangit - Human Rights Watch

Harga Selangit - Human Rights Watch

Harga Selangit - Human Rights Watch

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Setelah Tsunami<br />

Tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004, memakan korban sekitar 170 ribu<br />

jiwa di Aceh dan menghancurkan sebagian besar daerah pantai. Petugas keamanan<br />

negara juga menjadi korban—angkatan bersenjata dan kepolisian kehilangan beratusratus<br />

anggotanya, dan juga gedung-gedung, peralatan, dan beberapa bisnis mereka yang<br />

sangat menguntungkan, terutama peternakan ikan. 365 Banyak prajurit yang patut dikagumi<br />

dalam upaya mereka menanggulangi tragedi ini, tetapi ada juga kejadian-kejadian yang<br />

membangkitkan ingatan tentang pola-pola pelanggaran sebelumnya.<br />

Pada bulan Januari 2005, sebagai contoh, Newsweek melaporkan bahwa petugas pengawas<br />

dari angkatan militer Indonesia menuntut pembayaran dari pengungsi dengan memasang<br />

harga sampai setinggi $80 untuk satu kursi di pesawat pengangkut pengungsi. 366 Telah<br />

dilaporkan bahwa uang suap ini memungkinkan orang-orang yang lebih beruntung—<br />

orang-orang ini dikatakan “berbaju bagus dan rapi”—untuk memperoleh sekitar separuh<br />

dari semua kursi di pesawat, dan meninggalkan orang yang tidak mampu membayar. 367<br />

<strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong> mengunjungi Aceh di awal tahun 2005 dan mendengar langsung<br />

cerita-cerita tentang pencurian massal yang dilakukan oleh prajurit di hari-hari pertama<br />

setelah tsunami itu. Seorang wartawan luar negeri melaporkan, “Setiap hari saya melihat<br />

tentara-tentara yang mencuri selama satu minggu saya berada di sana.” 368 Kepala sebuah<br />

LSM Aceh di Meulaboh melaporkan bahwa tentara-tentara memanfaatkan kekacauan<br />

yang terjadi setelah hantaman tsunami itu dan mecuri dari toko-toko emas. 369<br />

365<br />

Ibid., hal. 28.<br />

366<br />

George Wehrfritz dan Joe Cochrane, dengan Eve Conant, Paul Dillon, dan Eric Unmacht, “Charity and<br />

Chaos: An insurgency was bleeding Aceh before the tsunami hit. Food aid can’t fix that (Amal dan Kericuhan:<br />

Sebuah pemberontakan telah mengucurkan darah Aceh sebelum tsunami menimpa. Bantuan makanan tidak<br />

akan dapat mengobati hal ini),” Newsweek, 17 Januari 2005.<br />

367<br />

Wehrfritz dkk., “Charity dan Chaos…,” Newsweek. Pejabat-pejabat di Selandia Baru—angkatan militer<br />

negara ini menjalankan penerbangan evakuasi itu—meminta pejabat di Indonesia untuk menyelidiki tuduhan<br />

ini. Mereka menambahkan bahwa pemerintah Selandia Baru tidak bertanggungjawab atas proses pemilihan<br />

penumpang, tetapi mereka menerima bahwa semua orang adalah orang-orang yang butuh pertolongan dan<br />

patut diungsikan. Lihat, sebagai contoh, Martin Kay, “Officials Ordered to Check Bribery Claims (Pejabat<br />

Diperintahkan untuk Menyelidiki Tuduhan Suap),” Dominion Post (Selandia Baru), 28 Januari 2004.<br />

Penyelidikan yang dilakukan oleh Selandia Baru sendiri tidak menemukan bukti-bukti kebenaran tuduhan<br />

tersebut; sementara itu, pejabat-pejabat Indonesia menyatakan bahwa mereka tidak akan memperbolehkan<br />

pembayaran tersebut jika memang ada pembayaran-pembayaran semacam itu. “Tsunami ‘cash for rescue’<br />

probe dries up (Penyelidikan 'bayaran keselamatan' dari tsunami dihentikan),” New Zealand Herald, 17 Maret<br />

2005.<br />

368<br />

Wawancara <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong> dengan seorang wartawan asing, Banda Aceh, 24 Januari 2005.<br />

369<br />

Wawancara <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong> dengan seorang pejuang hak asasi manusia dari Meulaboh, Aceh.<br />

Januari 27, 2005.<br />

HUMAN RIGHTS WATCH VOL. 18, NO. 5(C) 88

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!