Harga Selangit - Human Rights Watch

Harga Selangit - Human Rights Watch Harga Selangit - Human Rights Watch

13.01.2014 Views

Beberapa kejadian ini menyangkut ancaman kekerasan baik secara terang-terangan ataupun tersembunyi. Seorang penambang mengatakan bahwa berkali-kali petugas patroli Puskopad telah mengancam akan menembak dirinya, dan telah memukuli sopir dan buruh-buruh yang bekerja dengan penambang. 267 Larut malam di bulan November 2003, saat tiga penambang dan awak kerja mereka sedang mengangkut batu bara yang sudah mereka tambang secara sembunyi-sembunyi, sekitar dua puluh prajurit militer dari pos Puskopad, memakai seragam dan membawa senjata, mendatangi mereka dan langsung mengancam dan memukuli mereka: Komandan itu (…) datang. Dia mengancam saya. Di berkata, “Jika kamu bergerak, akan saya tembak.” Pistol itu diarahkan kepada saya; itu pistol yang panjang [senapan]. Orang-orang kami dipukuli selama lebih kurang lima belas menit sampai mereka memar. Prajurit-prajurit itu menggunakan apa saja untuk memukul orang-orang itu—senjata, tangan, kaki. Saya duduk di mobil, dan mereka mengancam akan menembak saya. Mereka semua memakai seragam dan membawa senjata. 268 Selanjutnya ia menceritakan bagaimana para pekerja tambang tersebut ditahan tanpa alasan yang jelas. Mereka dibawa ke kantor Puskopad, dan dipukuli lagi: Kami ditahan sampai pagi hari, tetapi beberapa orang yang tidak ditahan malam itu dipanggil pada pagi hari itu. Sekitar sepuluh orang harus dibawa ke rumah sakit karena cedera. Satu dipukul di telinga dan kehilangan pendengaran. Sampai sekarang pendengarannya masih tidak baik. Sebagian besar menderita memar-memar, dan satu orang terluka di wajahnya karena dipukul dengan popor senapan. Saya tidak dipukuli, tetapi saya diperlakukan secara kasar dan diancam. 269 Seorang penambang menjelaskan mengapa mereka berani mengambil batu bara itu secara sembunyi-sembunyi: Ini semua karena kami telah menambang selama tiga atau empat bulan tanpa dibayar, jadi kami memutuskan untuk menambang sendiri malam itu untuk menutupi biaya yang sudah menumpuk sampai saat itu. 270 267 Wawancara Human Rights Watch dengan Penambang No. 3. 268 Ibid. 269 Ibid. 270 Ibid. HUMAN RIGHTS WATCH VOL. 18, NO. 5(C) 68

Pembayaran yang lambat merupakan keluhan yang biasa. Menurut para penambang ini, pembayaran yang terlambat sampai berbulan-bulan tersebut disebabkan oleh aturanaturan yang dibuat oleh Puskopad dalam menjual kembali batu bara tersebut ke Arutmin. Mereka mengatakan bahwa dalam proses ini koperasi dan perusahaan bersama-sama menimbang batu bara tersebut, yang selanjutnya digabung dengan batu bara hasil tambangan perusahaan. Setelah itu perusahaan dan koperasi akan mengurusi pembayaran untuk batu bara itu kepada Puskopad. Baru kemudian para penambang akan dibayar oleh Puskopad. 271 Seorang penambang mengatakan, “Masyarakat kita menderita karena masalah ini karena kita tidak bisa mendapatkan uang untuk makan. 272 Militer Menyangkal Kegiatan Bisnis Pada bulan Oktober 2005, kepala daerah kepolisian Kalimantan Selatan memerintahkan koperasi kepolisian di wilayah tersebut, Puskopol, untuk memberhentikan kegiatan penambangan koperasi karena kegiatan itu dikhawatirkan telah menjadi kedok untuk kegiatan penambangan ilegal. 273 Serupa dengan koperasi militer di lokasi lain, Puskopol pada awalnya diminta oleh Arutmin untuk menjadi penengah dalam menanggulangi masalah penambangan liar. 274 Seperti halnya dengan koperasi militer, ada bukti yang menunjukkan bahwa koperasi kepolisian ini diduga telah mengambil alih kegiatan penambangan liar di wilayah tersebut dan bahkan memperkembangkan kegiatan penambangan liar itu. 275 Kapolda Kalimantan Selatan memutuskan untuk mengambil tindakan setelah sebuah LSM setempat, kantor daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Walhi, mendorong Kapolda untuk memerangi kegiatan penambangan liar tersebut. 276 Pihak militer tidak pernah mengambil tindakan serupa. Pada tahun 2004 dan 2005 koperasi militer ini menolak untuk bertemu dengan Walhi dan Human Rights Watch untuk membicarakan peran mereka dalam kegiatan pertambangan. Walhi dan Human Rights Watch telah bekerjasama dalam melakukan penyelidikan di lapangan mengenai kegiatan bisnis militer di Senakin. Setelah Walhi menulis kepada Panglima TNI di Jakarta 271 Wawancara Human Rights Watch dengan Penambang No. 4. 272 Wawancara Human Rights Watch dengan Penambang No. 3. 273 “Polda Kalsel Bekukan Puskopol,” Kompas, 27 Oktober 2005. 274 “Amankan Lokasi Pertambangan..,” Banjarmasin Post; “South Kalimantan needs…,” Miningindo.com. Juga lihat ICG, “Indonesia: Natural Resources dan Law Enforcement,” halaman 21. 275 Sekitar akhir tahun 2004, Human Rights Watch menyaksikan berpuluh-puluh truk, penuh dengan angkutan batu bara, menyebabkan kemacetan selama berjam-jam di tengah kota Sungai Danau (kecamatan Satui, kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan), di dekat tambang Satui milik Arutmin. Human Rights Watch diberitahu bahwa ini adalah proses penjualan batu-bara besar-besaran oleh polisi yang berlangsung setiap malam. Wawancara Human Rights Watch dengan seorang aktifis lingkungan Kalimantan Selatan, Jakarta, 1 Desember 2004. Juga lihat “Regional Police…,[Polisi Daerah],” Kompas. 276 Wawancara Human Rights Watch dengan Berry Forqan. 69 HUMAN RIGHTS WATCH VOL. 18, NO. 5(C)

Beberapa kejadian ini menyangkut ancaman kekerasan baik secara terang-terangan<br />

ataupun tersembunyi. Seorang penambang mengatakan bahwa berkali-kali petugas<br />

patroli Puskopad telah mengancam akan menembak dirinya, dan telah memukuli sopir<br />

dan buruh-buruh yang bekerja dengan penambang. 267 Larut malam di bulan November<br />

2003, saat tiga penambang dan awak kerja mereka sedang mengangkut batu bara yang<br />

sudah mereka tambang secara sembunyi-sembunyi, sekitar dua puluh prajurit militer dari<br />

pos Puskopad, memakai seragam dan membawa senjata, mendatangi mereka dan<br />

langsung mengancam dan memukuli mereka:<br />

Komandan itu (…) datang. Dia mengancam saya. Di berkata, “Jika<br />

kamu bergerak, akan saya tembak.” Pistol itu diarahkan kepada saya; itu<br />

pistol yang panjang [senapan]. Orang-orang kami dipukuli selama lebih<br />

kurang lima belas menit sampai mereka memar. Prajurit-prajurit itu<br />

menggunakan apa saja untuk memukul orang-orang itu—senjata, tangan,<br />

kaki. Saya duduk di mobil, dan mereka mengancam akan menembak<br />

saya. Mereka semua memakai seragam dan membawa senjata. 268<br />

Selanjutnya ia menceritakan bagaimana para pekerja tambang tersebut ditahan tanpa<br />

alasan yang jelas. Mereka dibawa ke kantor Puskopad, dan dipukuli lagi:<br />

Kami ditahan sampai pagi hari, tetapi beberapa orang yang tidak ditahan<br />

malam itu dipanggil pada pagi hari itu. Sekitar sepuluh orang harus<br />

dibawa ke rumah sakit karena cedera. Satu dipukul di telinga dan<br />

kehilangan pendengaran. Sampai sekarang pendengarannya masih tidak<br />

baik. Sebagian besar menderita memar-memar, dan satu orang terluka di<br />

wajahnya karena dipukul dengan popor senapan. Saya tidak dipukuli,<br />

tetapi saya diperlakukan secara kasar dan diancam. 269<br />

Seorang penambang menjelaskan mengapa mereka berani mengambil batu bara itu<br />

secara sembunyi-sembunyi:<br />

Ini semua karena kami telah menambang selama tiga atau empat bulan<br />

tanpa dibayar, jadi kami memutuskan untuk menambang sendiri malam<br />

itu untuk menutupi biaya yang sudah menumpuk sampai saat itu. 270<br />

267<br />

Wawancara <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong> dengan Penambang No. 3.<br />

268<br />

Ibid.<br />

269<br />

Ibid.<br />

270<br />

Ibid.<br />

HUMAN RIGHTS WATCH VOL. 18, NO. 5(C) 68

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!