Harga Selangit - Human Rights Watch

Harga Selangit - Human Rights Watch Harga Selangit - Human Rights Watch

13.01.2014 Views

yang paling terkenal adalah yayasan yang didirikan oleh tiap-tiap angkatan dan komando khusus, dan juga oleh Mabes TNI sendiri, tetapi yayasan-yayasan ini juga ada di tingkattingkat militer yang lain. 95 Walaupun status mereke tampak mandiri, yayasan-yayasan militer ini didirikan dengan dana yang disumbangkan oleh pemerintah. 96 Seperti diakui oleh seorang perwira tinggi militer Indonesia, Letjen. Sjafrie Sjamsoeddin, selama tiga puluh tahun di bawah Soeharto yayasan militer memperoleh keuntungan dari hak monopoli di banyak bidang, prioritas ijin pemerintah, dan pada umumnya dari dukungan dan wewenang penuh pemerintah yang otokratis. 97 Akibatnya, yayasan militer menjadi sangat kondang di bidang ekonomi selama pemerintahan Soeharto. Krisis keuangan Asia dan manajemen yang semrawut menyebabkan yayasan-yayasan ini menurun tajam. Persaingan yang lebih ketat juga menjadi satu faktor penurunan ini. Setelah jatuhnya pemerintahan Soeharto, bisnis militer tetap menikmati berbagai perlakuan istimewa, tetapi yayasan-yayasan tersebut mulai kehilangan dominasi mereka di berbagai sektor. 98 Beberapa bisnis militer terpakasa harus ditutup, beberapa yang lain mengalami perubahan besar. Perubahan-perubahan lainnya juga dibutuhkan untuk mematuhi undang-undang tahun 2001 mengenai yayasan. 99 Undang-undang itu menetapkan bahwa yayasan hanya dapat melakukan kegiatan bisnis secara tidak langsung melalui badan terkait yang melakukan kegiatan yang sesuai dengan tujuan sosial (atau keagamaan atau kemanusiaan) yayasan. 100 Langkah ini mendorong yayasan militer untuk merombak struktur bisnis mereka dan 95 Wawancara Human Rights Watch dengan seseorang yang ikut ambil bagian dalam penelitian resmi bisnisbisnis militk yayasan militer, Jakarta, April 2006. 96 Laksamana Madya (purnawirawan) I. Gde Artjana (waktu itu menjabat sebagai anggota BPK), “Akuntabilitas Pendapatan dan Penggunaan Anggaran Militer Dalam Rangka Penguatan Hubungan Sipil-Militer di Indonesia,” (kertas kerja disampaikan pada pelatihan jurnalistik investigasi yang dikelola oleh National Democratic Institute dan Indonesian Institute for Investigative Journalism, Jakarta, 10 Juli 2001), diterjemahkan oleh Human Rights Watch. 97 Wawancara Human Rights Watch dengan Letjen. Sjafrie Sjamsoeddin. 98 Lihat, sebagai contoh, Awan Wibowo Laksono Poesoro, “A look at the military's business ventures (Sekilas pandang usaha bisnis militer),” opini-editorial, Jakarta Post, 5 September 2005. 99 Undang-undang ini juga menyebabkan dilakukannya audit terhadap satu yayasan militer, Yayasan Kartika Eka Paksi (dibahas di bawah) dan mendorong yayasan tersebut untuk menghapus jabatan ex officio bagi para pejabat tinggi militer, di antara perubahan-perubahan lain. Widoyoko, “Questioning the Military Business Restructuring (Mempertanyakan Restrukturisasi Bisnis Militer),” hal.127; Letjen. (purnawirawan) Kiki Syahnakri, “Restructuring of Kartika Eka Paksi Foundation: The Army’s Effort toward Professionalism (Restrukturisasi Yayasan Kartika Eka Paksi: Upaya TNI-AD Menuju Profesional),” dalam Practices of Military Business (Praktekpraktek Bisnis Militer), hal. 105-107. Seperti dibahas lebih lanjut di bawah ini, undang-undang ini juga berisi satu ketentuan yang menghalangi kemampuan petugas audit pemerintah untuk meneliti buku-buku yayasan militer. 100 Undang-undang No. 16/2001, Pasal 3 dan 7. Lihat juga Toward Professional TNI: TNI Business Restructuring (Menuju TNI yang Profesional: Restrukturisasi Bisnis TNI), Beni Sukadis dan Eric Henra, eds. (Jakarta: LESPESSI dan Friedrich Ebert Stiftung), hal. 125-127. HUMAN RIGHTS WATCH VOL. 18, NO. 5(C) 34

menempatkan yayasan di bawah perusahaan-perusahaan pemayung. Sebuah ketetapan yang terpisah di dalam undang-undang tersebut membatasi pencarian laba yayasan dengan membatasi investasi sebesar 25 persen dari aset mereka. 101 Yayasan juga terus menerima keuntungan dari sumber daya pemerintah. Menurut seorang petugas audit pemerintah yang telah meneliti buku-buku yayasan, paling tidak sampai dengan tahun 2001 dana pemerintah terus mengalir ke yayasan untuk membantu membayar biaya operasional yayasan. 102 Berbicara di tahun itu, petugas audit tersebut menambahkan bahwa yayasan militer “pada umumnya memanfaatkan fasilitas-fasilitas lembaga pemerintah/BUMN/BUMD [yang] bersangkutan, baik dalam bentuk sarana, prasarana, atau kewenangan-kewenangan publik yang melekat pada lembaga-lembaga pemerintah, BUMN/BUMD [yang] bersangkutan” dan dijalankan dan dikelola oleh pejabat militer yang masih aktif bertugas: “[D]alam kiprahnya, yayasan ..nampak seperti kuasi lembaga pemerintah...” 103 Pemerintah Indonesia mengakui kebenaran hal ini melalui pernyataan di tahun 2003 yang menyebutkan bahwa “pihak militer dan yayasanyayasan lainnya menerima dana negara dan membiayai kegiatan negara.” 104 Di tahun 2006, Letjen. (purnawirawan) Agus Widjojo, mantan Kepala Staf Teritorial TNI dan mantan wakil ketua MPR dari faksi angkatan bersenjata, membenarkan bahwa, meskipun telah ada perubahan untuk mempekerjakan prajurit yang telah purnawirawan (dan bukan prajurit yang masih aktif bertugas) di dalam yayasan, badan tersebut tetap mempunyai hubungan yang erat dengan institusi militer: “Pada kenyataannya dan pada prakteknya, yayasan-yayasan ini didirikan oleh komando militer dan komando militer merasa bahwa yayasan tersebut adalah milik mereka.” 105 Tiap-tiap angkatan mempunyai paling sedikit satu yayasan, dan tiap-tiap yayasan biasanya mempunyai paling sedikit satu perusahaan pemayung yang membuat investasi di bisnisbisnis tertentu atas nama yayasan. Yayasan-yayasan ini dapat memiliki seluruh atau sebagian besar saham di bisnis itu, tetapi, seperti telah disebutkan, sering hanya memegang hak milik minoritas melalui saham yang disumbangkan oleh mitra kerja swasta. (Lihat “Diagram Bisnis Militer,” di bawah.) 101 Undang-undang No. 16/2001, Pasal 7. Lihat juga Widoyoko, “Questioning the Military Business Restructuring,” hal.127. 102 Artjana, “Accountability in the Revenue dan Expenditure of the Military Budget…” 103 Ibid. Lihat juga I. Gde Artjana, “Transparansi Anggaran dan Pertanggungjawaban Anggaran TNI,” dalam Praktek-Praktek Bisnis Militer, hal. 150-151, 163; Agam Fatchurrochman, Indonesia Corruption Watch, “Governance Yayasan Militer,” diterjemahkan oleh Human Rights Watch. 104 Pemerintah Indonesia, Letter of Intent (perjanjian hutang yang ditandatangani dengan Dana Moneter Internasional), 11 Juni 2003, alinea 8. 105 Wawancara Human Rights Watch dengan Letjen. (purnawirawan) Agus Widjojo, Jakarta, 6 April 2006. 35 HUMAN RIGHTS WATCH VOL. 18, NO. 5(C)

yang paling terkenal adalah yayasan yang didirikan oleh tiap-tiap angkatan dan komando<br />

khusus, dan juga oleh Mabes TNI sendiri, tetapi yayasan-yayasan ini juga ada di tingkattingkat<br />

militer yang lain. 95<br />

Walaupun status mereke tampak mandiri, yayasan-yayasan militer ini didirikan dengan<br />

dana yang disumbangkan oleh pemerintah. 96 Seperti diakui oleh seorang perwira tinggi<br />

militer Indonesia, Letjen. Sjafrie Sjamsoeddin, selama tiga puluh tahun di bawah<br />

Soeharto yayasan militer memperoleh keuntungan dari hak monopoli di banyak bidang,<br />

prioritas ijin pemerintah, dan pada umumnya dari dukungan dan wewenang penuh<br />

pemerintah yang otokratis. 97 Akibatnya, yayasan militer menjadi sangat kondang di<br />

bidang ekonomi selama pemerintahan Soeharto. Krisis keuangan Asia dan manajemen<br />

yang semrawut menyebabkan yayasan-yayasan ini menurun tajam. Persaingan yang lebih<br />

ketat juga menjadi satu faktor penurunan ini. Setelah jatuhnya pemerintahan Soeharto,<br />

bisnis militer tetap menikmati berbagai perlakuan istimewa, tetapi yayasan-yayasan<br />

tersebut mulai kehilangan dominasi mereka di berbagai sektor. 98 Beberapa bisnis militer<br />

terpakasa harus ditutup, beberapa yang lain mengalami perubahan besar.<br />

Perubahan-perubahan lainnya juga dibutuhkan untuk mematuhi undang-undang tahun<br />

2001 mengenai yayasan. 99 Undang-undang itu menetapkan bahwa yayasan hanya dapat<br />

melakukan kegiatan bisnis secara tidak langsung melalui badan terkait yang melakukan<br />

kegiatan yang sesuai dengan tujuan sosial (atau keagamaan atau kemanusiaan) yayasan. 100<br />

Langkah ini mendorong yayasan militer untuk merombak struktur bisnis mereka dan<br />

95<br />

Wawancara <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong> dengan seseorang yang ikut ambil bagian dalam penelitian resmi bisnisbisnis<br />

militk yayasan militer, Jakarta, April 2006.<br />

96<br />

Laksamana Madya (purnawirawan) I. Gde Artjana (waktu itu menjabat sebagai anggota BPK), “Akuntabilitas<br />

Pendapatan dan Penggunaan Anggaran Militer Dalam Rangka Penguatan Hubungan Sipil-Militer di Indonesia,”<br />

(kertas kerja disampaikan pada pelatihan jurnalistik investigasi yang dikelola oleh National Democratic Institute<br />

dan Indonesian Institute for Investigative Journalism, Jakarta, 10 Juli 2001), diterjemahkan oleh <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong><br />

<strong>Watch</strong>.<br />

97<br />

Wawancara <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong> dengan Letjen. Sjafrie Sjamsoeddin.<br />

98<br />

Lihat, sebagai contoh, Awan Wibowo Laksono Poesoro, “A look at the military's business ventures (Sekilas<br />

pandang usaha bisnis militer),” opini-editorial, Jakarta Post, 5 September 2005.<br />

99<br />

Undang-undang ini juga menyebabkan dilakukannya audit terhadap satu yayasan militer, Yayasan Kartika<br />

Eka Paksi (dibahas di bawah) dan mendorong yayasan tersebut untuk menghapus jabatan ex officio bagi para<br />

pejabat tinggi militer, di antara perubahan-perubahan lain. Widoyoko, “Questioning the Military Business<br />

Restructuring (Mempertanyakan Restrukturisasi Bisnis Militer),” hal.127; Letjen. (purnawirawan) Kiki Syahnakri,<br />

“Restructuring of Kartika Eka Paksi Foundation: The Army’s Effort toward Professionalism (Restrukturisasi<br />

Yayasan Kartika Eka Paksi: Upaya TNI-AD Menuju Profesional),” dalam Practices of Military Business (Praktekpraktek<br />

Bisnis Militer), hal. 105-107. Seperti dibahas lebih lanjut di bawah ini, undang-undang ini juga berisi<br />

satu ketentuan yang menghalangi kemampuan petugas audit pemerintah untuk meneliti buku-buku yayasan<br />

militer.<br />

100<br />

Undang-undang No. 16/2001, Pasal 3 dan 7. Lihat juga Toward Professional TNI: TNI Business<br />

Restructuring (Menuju TNI yang Profesional: Restrukturisasi Bisnis TNI), Beni Sukadis dan Eric Henra, eds.<br />

(Jakarta: LESPESSI dan Friedrich Ebert Stiftung), hal. 125-127.<br />

HUMAN RIGHTS WATCH VOL. 18, NO. 5(C) 34

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!