13.01.2014 Views

Harga Selangit - Human Rights Watch

Harga Selangit - Human Rights Watch

Harga Selangit - Human Rights Watch

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Di bidang politik, sangatlah sukar untuk mengalahkan usaha lobi militer yang kuat.<br />

Pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid, yang pertama di dalam masa reformasi,<br />

berusaha menantang pihak militer—termasuk dalam hal kekuasaan ekonomi militer dan<br />

tidak adanya keterbukaan—tetapi terpaksa mundur setelah mengalami keterbatasan<br />

anggaran dan perlawanan yang kuat dari pihak militer. 57 Elemen-elemen konservatif di<br />

dalam tubuh militer segera memperlihatkan kekuasaan mereka atas perwira-perwira yang<br />

ingin melakukan reformasi. (Seorang pendukung utama reformasi, Letjen. Agus<br />

Wirahadikusumah, dicopot dari jabatannya, tampaknya sebagai balasan atas upayaupayanya<br />

membeberkan penyelewengan keuangan. 58 )<br />

Pihak militer yang semakin kuat ini mengatakan bahwa mereka tidak dapat<br />

menghentikan bisnis militer sampai pemerintah dapat menyediakan seluruh dana militer.<br />

Presiden Megawati Sukarnoputri, yang naik jabatan dari wakil presiden di tahun 2001<br />

dengan dukungan partai politik sipil dan faksi militer di parlemen, tidak memaksakan<br />

masalah ini atau aspek-aspek lain dari reformasi militer. Akibatnya, usaha untuk<br />

menaggapi masalah pembiayaan militer terhenti. Di tahun 2001, TNI meyakinkan<br />

parlemen bahwa “sampai saat pemerintah dapat menyediakan seluruh dana untuk<br />

memenuhi kesejahteraan prajurit secara layak, usaha bisnis [TNI] harus dibiarkan.” 59<br />

Sampai dengan tahun 2001, pimpinan angkatan darat telah berjanji selama bertahuntahun<br />

untuk menanggapi masalah kegiatan bisnis militer, tetapi kata-kata mereka tidak<br />

pernah didukung oleh tindakan apapun. 60 Pimpinan TNI telah menyadari bahwa hasrat<br />

bisnis militer telah menodai nama baik mereka, tetapi institusi itu tetap mempertahankan<br />

bisnis-bisnis tersebut akibat rasa terancam-diri: pihak militer telah menjadi terbiasa<br />

bergantung kepada dana dari luar dan tidak mempercayai bahwa pemerintah akan<br />

mencukupi kebutuhannya. Analis-analis percaya bahwa pemerintah Indonesia akan<br />

membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dapat membiayai operasi mereka<br />

sepenuhnya dari hasil pajak; sebelum itu terjadi, “TNI tidak akan menyerahkan satu<br />

rupiahpun dari sumber-sumber di luar anggaran bila sumber-sumber tersebut tidak harus<br />

dilepaskan.” 61<br />

57<br />

Sukardi Rinakit, The Indonesian Military After the New Order (Aparat Militer Indonesia Setelah Orde Baru)<br />

(Singapore: NIAS Press/ISEAS, 2005), hal. 183.<br />

58<br />

O’Rourke, Reformasi, hal. 371-373. Lihat pembahasan di bawah.<br />

59<br />

Ini adalah kesimpulan dari konsultasi antara parlemen dan panglima TNI mengenai perusahaan-perusahaan<br />

yang dimiliki oleh yayasan militer. Ernst & Young, “YKEP: Strategic Review Report.” Lihat juga Moch. N.<br />

Kurniawan, “Military dan police asked to be thifty (Aparat militer dan kepolisian diminta berhemat),” Jakarta<br />

Post, 7 Oktober 2002.<br />

60<br />

“Skepticism remains over TNI internal reform,” Jakarta Post, Januari 3, 2001.<br />

61<br />

Angel Rabasa dan John Haseman, The Military and Democracy in Indonesia: Challenges, Politics, and Power<br />

(Pihak Militer dan Demokrasi di Indonesia: Tantangan, Politik, dan Kekuasaan) (Santa Monica: RAND, 2002),<br />

hal. 71.<br />

25<br />

HUMAN RIGHTS WATCH VOL. 18, NO. 5(C)

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!