13.01.2014 Views

Harga Selangit - Human Rights Watch

Harga Selangit - Human Rights Watch

Harga Selangit - Human Rights Watch

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

yayasan dan koperasi. 39 Selain itu, Mabes TNI juga memberikan “kebebasan” terhadap<br />

komandan militer untuk melanjutkan usaha pencarian dana menurut pemikiran mereka. 40<br />

Kegagalan untuk menegakkan larangan terhadap bisnis militer juga merupakan tanda<br />

sikap tidak peduli pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan gelap lainnya yang dilakukan<br />

oleh pihak militer di bidang ekonomi. Selama beberapa waktu, beberapa komandan<br />

KODAM secara terang-terangan telah membiarkan usaha penyelundupan yang<br />

dilakukan oleh bawahan mereka. Ketika pemerintahan Soeharto melaksanakan<br />

pemberantasan, yang hanya berlangsung singkat saja, terhadap penyelundupan terangterangan<br />

yang dilakukan pihak militer, hasil yang dicapai hanyalah perubahan taktik<br />

militer: daripada mengambil resiko dan terlibat langsung di dalam pengangkutan dan<br />

pemuatan barang-barang selundupan, perwira-perwira militer menyediakan<br />

“perlindungan” bagi operasi penyelundupan yang dilakukan oleh rekan kerja swasta.<br />

Bahkan setelah operasi semacam ini dibeberkan, dukungan-dukungan yang diberikan<br />

aparat militer yang mempunyai pangkat dan pengaruh cukup tinggi, tetap dapat<br />

menjamin kekebalan hukum para penyelundup. 41<br />

Setelah berakhirnya masa pemerintahan Soeharto, pihak militer kembali mendengar<br />

kecaman-kecaman lama mengenai kegiatan bisnis gelap prajurit yang merajalela. Menteri<br />

pertahanan pada tahun 1997, Edi Sudrajat, memperbaharui larangan dari tahun 1974<br />

dengan menyatakan bahwa prajurit militer tidak boleh berbisnis, baik secara langsung<br />

maupun dengan cara memberikan jasa perlindungan. 42 Panglima angkatan bersenjata saat<br />

itu, Jendral Feisal Tanjung, menegaskan perintah tersebut satu minggu kemudian:<br />

“Semua perwira dan istri mereka tidak boleh turut dalam bisnis. Jika mereka ingin<br />

berbisnis, mereka harus lebih dahulu mendapatkan ijin tertulis dari saya.” 43<br />

Pihak militer memperjelas larangan ini dan mengatakan bahwa prajurit yang telah<br />

purnawirawan dan prajurit yang bekerja untuk koperasi atau yayasan militer tidak<br />

tercakup dalam peraturan ini. 44 Meskipun demikian, hanya sedikit yang percaya perintah<br />

tersebut akan dijalankan. Pejabat pemerintahpun tidak mempercayai, karena sifat<br />

39<br />

M. Taufiqurohman, “Red Beret Business (Bisnis Baret Merah),” Tempo, 16-22 April 2002.<br />

40<br />

Komentar ini diatribusikan kepada Juwono Sudarsono dan yang dimaksud adalah tahun 1970-an ke atas.<br />

Fabiola Desy Unidjaja, “TNI nothing more than mercenaries: Analysts (TNI tidak lebih dari kelompok tentara<br />

bayaran: Analis),” Jakarta Post, 17 Maret 2003.<br />

41<br />

Crouch, The Army dan Politics in Indonesia, hal. 291-292.<br />

42<br />

Susan Sim, “Stay out of business, ABRI officials warned (Jauhi bisnis, perwira-perwira ABRI diingatkan),”<br />

Straits Times, 17 Juli 1997. Nama menteri pertahanan saat itu ditulis dengan ejaan yang berbeda, Sudradjat.<br />

43<br />

Derwin Pereira, “Don’t dabble in business, ABRI officers warned again (Jangan ikut berbisnis, perwira-perwira<br />

ABRI diingatkan lagi),” Straits Times, 23 Juli 1997.<br />

44<br />

Sim, “Stay out of business…,” Straits Times; Pereira, “Don’t dabble in business…,” Straits Times.<br />

21<br />

HUMAN RIGHTS WATCH VOL. 18, NO. 5(C)

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!