Harga Selangit - Human Rights Watch

Harga Selangit - Human Rights Watch Harga Selangit - Human Rights Watch

13.01.2014 Views

Mengenai tanggung jawab hukumnya, TNI menolak kritikan bahwa prajurit-prajurit TNI berada di luar hukum. 557 Di bulan Maret 2006, juru bicara TNI saat itu mengatakan bahwa TNI bertekad penuh untuk meminta pertanggungjawaban prajurit-prajuritnya, termasuk dalam hubungannnya dengan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan yang berkaitan dengan bisnis: TNI konsisten menyerahkan pada proses hukum yang berlaku. Sampai saat ini tidak satu pun prajurit TNI yang diduga terlibat pelanggaran hukum yang lepas dari proses hukum, baik pelanggaran pidana biasa maupun pelanggaran HAM. (…).TNI tidak menutup mata di masa lalu memang ada personelnya yang terlibat pelanggaran dalam bisnis. Tetapi sejalan dengan komitmen reformasi internalnya, saat ini TNI sudah dan terus melakukan penertiban dan mengambil langkah-langkah hukum terhadap prajuritnya yang melakukan pelanggaran dalam kegiatan bisnis tersebut.. 558 Pernyataan TNI bahwa TNI selalu menegakkan keadilan atas pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia sama sekali tidak didukung oleh, dan malah bertentangan dengan, bukti-bukti yang ada. 559 TNI hanya memberikan data yang terbatas mengenai jumlah peradilan militer dan putusan bersalah yang ada selama sepuluh tahun, 560 tetapi Human tindakan lain jika selanjutnya ditemukan bahwa telah ada pemretelan aset yang tidak benar oleh pihak militer. Wawancara Human Rights Watch dengan Said Didu. 557 Wawancara Human Rights Watch dengan Brigjen. Bibit Santoso dan wakil-wakil TNI lainnya; Mayjen. Suganda, “TNI commits to reform…,” Jakarta Post. 558 Mayor Jendral Suganda, “TNI commits to reform…,” Jakarta Post. Lihat juga, markas bear TNI, “Langkah Agenda Reformasi TNI 1998.” Dokumen ini diberikan oleh wakil-wakil TNI kepada Human Rights Watch pada tanggal 13 April 2006. 559 Sebagai satu tanda, banyak prajurit yang tetap aktif bertugas meskipun telah dituduh melakukan kejahatan perang di Timor Timur oleh pengadilan yang diorganisir oleh Persatuan Bangsa-Bangsa. Lihat juga, sebagai contoh, Human Rights Watch, “Indonesia: Acquittals Show Continuing Military Impunity (Indonesia: Temua Tidak Bersalah Memperlihatkan Bahwa Pihak Militer Tetap Kebal Hukum),” Human Rights Watch berita pers, 12 Juli 2005, [online] http://hrw.org/english/docs/2005/07/12/indone11309_txt.htm. Laporan ini menggambarkan proses hukum yang cacat, yang gagal menegakkan keadilan bagi pembunuhan masal yang terjadi di tahun 1984 terhadap paling sedikit tiga puluh tiga warga sipil. Selain prajurit-prajurit yang ditemukan tidak bersalah dalam kasus ini, sejumlah tersangka dari pihak militer (beberapa di antara mereka pada saat itu adalah perwira tinggi) tidak pernah diadili. Ibid. 560 Dokumen ini menunjukkan jumlah kasus untuk tiap-tiap angkatan, tetapi tidak menyebutkan bentuk kejahatan, pangkat dari prajurit yang diadili, atau hukuman yang dijatuhkan terhadap mereka yang ditemukan bersalah. “Data Perkara Yang Diputus/Diselesaikan Dalam Tahun 1995 S.D. Tahun 2005 Dari DILMIL/DILMILTI,” Maret 2006. Dokumen ini diberikan oleh wakil-wakil TNI kepada Human Rights Watch pada tanggal 13 April 2006, salinan ada di Human Rights Watch. Dokumen ini tidak diberi keterangan-keterangan yang jelas, tetapi sepertinya menunjukkan bahwa paling sedikit ada seribu kasus yang telah dibuka setiap tahun, dan kasus terbanyak terjadi di angkatan darat. Human Rights Watch berusaha mendapatkan penjelasan tentang data yang disampaikan, tetapi pada saat laporan ini ditulis, belum mendapatkan jawaban satupun. HUMAN RIGHTS WATCH VOL. 18, NO. 5(C) 132

Rights Watch secara mandiri berhasil mendapatkan informasi bahwa sebagian besar putusan bersalah tersebut adalah untuk pelanggaran disiplin militer, bukan untuk pelanggaran hak asasi manusia atau kejahatan ekonomi. 561 Selain itu, pengadilan militer mempunyai sejarah panjang telah gagal mengajukan prajurit ke pengad]ilan atas kejahatan terhadap warga sipil. 562 TNI juga telah secara tegas menentang rencana-rencana untuk membawa prajurit dalam wewenang pengadilan sipil bagi kejahatan-kejahatan semacam itu. 563 Selain itu, wakil-wakil dari TNI juga telah berjanji akan memberantas korupsi, kegiatan bisnis tanpa ijin, dan pelanggaran-pelanggaran yang terkait, tetapi ketika diberi kesempatan untuk menepati janji tersebut—seperti dalam kasus penjualan batu bara dan pelecehan yang terkait di Kalimantan Selatan yang dimuat dalam laporan ini—TNI menolak untuk mengambil tindakan apapun, dan hanya menawarkan alasan-alasan saja. Selain itu, TNI juga selalu mengatakan bahwa penyelewengan-penyelewengan yang terjadi hanyalah dilakukan oleh sejumlah kecil oknum-oknum saja yang bertindak tanpa sepengetahuan TNI. 564 Para pemimpin TNI telah bersedia mengambil tindakan dalam beberapa kasus, tetapi mereka belum sepenuhnya mengakui tanggung jawab mereka atas masalah ini dan belum bertekad untuk mengambil langkah reformasi struktural yang dibutuhkan untuk menjamin adanya pertanggungjawaban yang layak. 565 Hal yang sama harus juga dikatakan mengenai kepemimpinan sipil yang telah gagal membuat pertanggungjawaban sebagai bagian inti dari usaha reformasi militer, termasuk dalam hubungannya dengan pembiayaan militer. 561 Informasi tambahan ini diberikan kepada Human Rights Watch di bulan April 2006 oleh seseorang yang menerima keterangan tentang masalah ini, tetapi orang ini tidak mau disebutkan namanya. 562 Menurut Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, permasalahannya adalah bahwa reformasi yang terkandung dalam undang-undang TNI (No. 34/2004) yang mewajibkan bahwa kejahatan sipil diadili di pengadilan sipil, belum diterapkan dan juga berlawanan dengan kode kriminal militer. “Military Criminal Code ‘needs amending (Kode Kriminal Militer perlu diubah),’” Jakarta Post, 18 Februari 2006. 563 Wawancara Human Rights Watch dengan Brigjen. Bibit Santoso dan wakil-wakil TNI lainnya. Lihat juga Tiarma Siboro, “Military sticks to guns on tribunals for soldiers (Pihak militer tetap bersikeras untuk menggunakan pengadilan militer bagi prajurit),” Jakarta Post, 8 April 2006. Beberapa kasus (seperti kasus dimana warga sipil dan personil militer keduanya menjadi tertuduh) akan diserahkan ke pengadilan gabungan sipil-militer. 564 Wawancara Human Rights Watch dengan Brigjen. Bibit Santoso dan wakil-wakil TNI lainnya. Sekretaris Jendral Departemen Pertahanan, seperti TNI, mengatakan bahwa keterlibatan militer dalam kegiatan ilegal cuma boleh diatribusikan kepada prajurit dan bukan kepada TNI sebagai sebuah institusi. Wawancara Human Rights Watch dengan Letjen. Sjafrie Sjamsoeddin. 565 Wakil-wakil TNI rmemberikan kepada Human Rights Watch suatu daftar yang mencantumkan empat belas langkah yang dikatakan oleh TNI telah mereka ambil sebagai bagian dari proses reformasi internal bertahap. Tidak satupun berhubungan dengan pertanggungjawaban, baik atas hak asasi manusia ataupun atas keuangan militer. Kurang lebih separuh dari daftar tersebut adalah penerapan sikap baru dalam berbagai topik seperti mempertahankan sikap politik yang netral. Yang lain adalah tindakan nyata yang dikatakan telah diambil oleh TNI, mulai dari penghapusan jabatan-jabatan tertentu sampai dengan pemisahan aparat kepolisian dan militer, dan pengunduran diri dari perwakilan DPR. MabesTNI, “Progress of the 1998 TNI Reform Agenda (Langkah Maju Agenda Reform TNI 1998).” 133 HUMAN RIGHTS WATCH VOL. 18, NO. 5(C)

<strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong> secara mandiri berhasil mendapatkan informasi bahwa sebagian besar<br />

putusan bersalah tersebut adalah untuk pelanggaran disiplin militer, bukan untuk<br />

pelanggaran hak asasi manusia atau kejahatan ekonomi. 561 Selain itu, pengadilan militer<br />

mempunyai sejarah panjang telah gagal mengajukan prajurit ke pengad]ilan atas kejahatan<br />

terhadap warga sipil. 562 TNI juga telah secara tegas menentang rencana-rencana untuk<br />

membawa prajurit dalam wewenang pengadilan sipil bagi kejahatan-kejahatan semacam<br />

itu. 563<br />

Selain itu, wakil-wakil dari TNI juga telah berjanji akan memberantas korupsi, kegiatan<br />

bisnis tanpa ijin, dan pelanggaran-pelanggaran yang terkait, tetapi ketika diberi<br />

kesempatan untuk menepati janji tersebut—seperti dalam kasus penjualan batu bara dan<br />

pelecehan yang terkait di Kalimantan Selatan yang dimuat dalam laporan ini—TNI<br />

menolak untuk mengambil tindakan apapun, dan hanya menawarkan alasan-alasan saja.<br />

Selain itu, TNI juga selalu mengatakan bahwa penyelewengan-penyelewengan yang<br />

terjadi hanyalah dilakukan oleh sejumlah kecil oknum-oknum saja yang bertindak tanpa<br />

sepengetahuan TNI. 564 Para pemimpin TNI telah bersedia mengambil tindakan dalam<br />

beberapa kasus, tetapi mereka belum sepenuhnya mengakui tanggung jawab mereka atas<br />

masalah ini dan belum bertekad untuk mengambil langkah reformasi struktural yang<br />

dibutuhkan untuk menjamin adanya pertanggungjawaban yang layak. 565 Hal yang sama<br />

harus juga dikatakan mengenai kepemimpinan sipil yang telah gagal membuat<br />

pertanggungjawaban sebagai bagian inti dari usaha reformasi militer, termasuk dalam<br />

hubungannya dengan pembiayaan militer.<br />

561<br />

Informasi tambahan ini diberikan kepada <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong> di bulan April 2006 oleh seseorang yang<br />

menerima keterangan tentang masalah ini, tetapi orang ini tidak mau disebutkan namanya.<br />

562<br />

Menurut Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, permasalahannya adalah bahwa reformasi yang<br />

terkandung dalam undang-undang TNI (No. 34/2004) yang mewajibkan bahwa kejahatan sipil diadili di<br />

pengadilan sipil, belum diterapkan dan juga berlawanan dengan kode kriminal militer. “Military Criminal Code<br />

‘needs amending (Kode Kriminal Militer perlu diubah),’” Jakarta Post, 18 Februari 2006.<br />

563<br />

Wawancara <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong> dengan Brigjen. Bibit Santoso dan wakil-wakil TNI lainnya. Lihat juga<br />

Tiarma Siboro, “Military sticks to guns on tribunals for soldiers (Pihak militer tetap bersikeras untuk<br />

menggunakan pengadilan militer bagi prajurit),” Jakarta Post, 8 April 2006. Beberapa kasus (seperti kasus<br />

dimana warga sipil dan personil militer keduanya menjadi tertuduh) akan diserahkan ke pengadilan gabungan<br />

sipil-militer.<br />

564<br />

Wawancara <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong> dengan Brigjen. Bibit Santoso dan wakil-wakil TNI lainnya. Sekretaris<br />

Jendral Departemen Pertahanan, seperti TNI, mengatakan bahwa keterlibatan militer dalam kegiatan ilegal<br />

cuma boleh diatribusikan kepada prajurit dan bukan kepada TNI sebagai sebuah institusi. Wawancara <strong>Human</strong><br />

<strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong> dengan Letjen. Sjafrie Sjamsoeddin.<br />

565<br />

Wakil-wakil TNI rmemberikan kepada <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong> suatu daftar yang mencantumkan empat belas<br />

langkah yang dikatakan oleh TNI telah mereka ambil sebagai bagian dari proses reformasi internal bertahap.<br />

Tidak satupun berhubungan dengan pertanggungjawaban, baik atas hak asasi manusia ataupun atas<br />

keuangan militer. Kurang lebih separuh dari daftar tersebut adalah penerapan sikap baru dalam berbagai topik<br />

seperti mempertahankan sikap politik yang netral. Yang lain adalah tindakan nyata yang dikatakan telah diambil<br />

oleh TNI, mulai dari penghapusan jabatan-jabatan tertentu sampai dengan pemisahan aparat kepolisian dan<br />

militer, dan pengunduran diri dari perwakilan DPR. MabesTNI, “Progress of the 1998 TNI Reform Agenda<br />

(Langkah Maju Agenda Reform TNI 1998).”<br />

133<br />

HUMAN RIGHTS WATCH VOL. 18, NO. 5(C)

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!