Harga Selangit - Human Rights Watch
Harga Selangit - Human Rights Watch
Harga Selangit - Human Rights Watch
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
mendarah-daging sehingga pejabat pemerintah seringkali menolak untuk membicarakan<br />
informasi yang telah diterbitkan di situs web pemerintah. 441<br />
Dalam hubungannya dengan pendapatan di luar anggaran, belumlah ada keterbukaan dan<br />
pertanggungjawaban apapun. Seperti diungkapkan oleh seorang pejabat pemerintah,<br />
“Tentu saja mereka tidak akan melaporkan kegiatan di luar anggaran.” 442 Sedikit sekali<br />
bisnis militer yang telah diteliti keuangannya. Yayasan militer pernah diaudit satu kali,<br />
tetapi audit ini hanya meliputi sebagian yayasan saja, dan hasil audit tersebut tidak pernah<br />
diterbitkan di depan umum. (Lihat penjelasan di bawah mengenai temuan-temuan BPK.)<br />
Panglima TNI saat itu, Sutarto, di bulan April 2005 mengatakan bahwa TNI tidak<br />
mempunyai informasi mengenai jumlah, ruang lingkup, nilai, atau keuntungan dari<br />
investasi bisnis militer dan, merasa masalah tersebut pada hakekatnya adalah “masalah<br />
internal TNI.” 443 Ketika <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong> meminta informasi tersebut dari berbagai<br />
pejabat pemerintah di tahun 2006, tak satupun yang mau memberikan. Beberapa<br />
departemen dengan setengah terpaksa mau memberikan jawaban. Walaupun mereka<br />
menolak memberikan salinan informasi mengenai inventorisasi bisnis militer,<br />
Departemen Pertahanan telah memberikan informasi keuangan terbatas mengenai satu<br />
perusahaan milik militer yang direncanakan akan dijual, dan TNI telah memberikan<br />
daftar tidak lengkap mengenai organisasi-organisasi TNI yang berkaitan dengan bisnis.<br />
(Untuk keterangan rinci, lihat bagian berjudul “Yayasan” di Bab II: Anatomi Kegiatan<br />
Ekonomi Militer.)<br />
Kotak 3: Dana Operasi Militer di Aceh yang Tidak Terbuka<br />
Masalah pengawasan keuangan tampaknya paling parah dalam hal yang berhubungan dengan<br />
operasi militer “darurat” yang, walaupun telah diketahui sebelumnya, tetap tidak diikutsertakan<br />
dalam anggaran. 444 Dana yang dikeluarkan untuk menempatkan personil militer di Aceh sampai<br />
tahun 2005 merupakan satu contoh masalah ini.<br />
Selama bertahun-tahun, anggota DPR telah mengeluhkan halangan-halangan untuk mengawasi<br />
pengeluaran militer. Pada tahun 2003, contohnya, TNI menerima paling sedikit Rp. 1,2 triliun<br />
($144 juta) dari neraca cadangan pemerintah untuk menutupi dana darurat; ini merupakan cara<br />
biasa untuk membiayai operasi di Aceh. 445 Tahun itu, anggota DPR, Djoko Susilo, menyatakan<br />
441<br />
Wawancara <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong> dengan analis-analis independen yang mengadakan penelitian untuk<br />
International Budget Project (Proyek Anggaran Internasional) di Center for Budget and Policy Priorities (Pusat<br />
Prioritas Anggaran dan Kebijakan), Jakarta, 9 April 2006.<br />
442<br />
Wawancara <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong> dengan pejabat Departemen Keuangan.<br />
443<br />
Agus Supriyanto, “Panglima: Penertiban Bisnis TNI Selesai Dua Tahun,” Koran Tempo, 13 April 2005,<br />
diterjemahkan oleh <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong>.<br />
444<br />
Wawancara <strong>Human</strong> <strong>Rights</strong> <strong>Watch</strong> dengan seorang auditor senior BPK.<br />
445<br />
Fitri Wulandari dan Dadan Wijaksana, “Govt budgets Rp 1.7 trillion for Aceh war (Pemerintah memberikan<br />
anggaran sebesar Rp 1,7 triliun untuk perang Aceh),” Jakarta Post, 21 Mei 2003.<br />
107<br />
HUMAN RIGHTS WATCH VOL. 18, NO. 5(C)