20.09.2013 Views

MERAPI TAK PERNAH INGKAR JANJI

MERAPI TAK PERNAH INGKAR JANJI

MERAPI TAK PERNAH INGKAR JANJI

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Wawancara Khusus:<br />

Margareta Wahlström<br />

Pejabat SEKRETARIAT JENDERAL PBB<br />

untuk PENGURANGAN RISIKO<br />

BENCANA<br />

FREE MAGAZINE<br />

Liputan Utama:<br />

Sosok:<br />

Sugeng Triutomo<br />

Perjuangan Deputi Bidang Pencegahan<br />

dan Kesiapsiagaan Bencana BNPB<br />

memahamkan mitigasi bencana<br />

BELAJAR DARI ERUPSI 2010<br />

Konferensi Tingkat<br />

Menteri Asia Tentang<br />

Pengurangan Risiko<br />

Bencana (AMCDRR)<br />

32 44 84<br />

Vol. 01 • Agustus 2012<br />

<strong>MERAPI</strong> <strong>TAK</strong> <strong>PERNAH</strong><br />

<strong>INGKAR</strong> <strong>JANJI</strong><br />

08<br />

No ISSN : 2302 - 3856<br />

ERUPSI Gunung Merapi pada 2010 lalu disebut sebagai yang<br />

terbesar setelah 1872. Amukan Merapi memakan korban hingga<br />

lebih dari 200 jiwa. Menyiapkan diri untuk bencana yang mungkin<br />

sama atau bahkan lebih besar adalah tindakan paling pas, karena<br />

Merapi tak pernah ingkar janji.


Unit Percepatan<br />

Pembangunan Provinsi Papua<br />

dan Provinsi Papua Barat<br />

(UP4B)<br />

UP4B adalah<br />

lembaga<br />

pelaksana percepatan pembangunan<br />

di Papua dan Papua Barat<br />

untuk meletakkan landasan<br />

pembangunan yang berkelanjutan<br />

dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat,<br />

memberikan pengakuan,<br />

penghormatan dan pemihakan<br />

kepada rakyat Papua dan Papua<br />

Barat dalam rangka optimalisasi<br />

keberhasilan Otsus Papua.<br />

Dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 66<br />

Tahun 2011, UP4B berkedudukan di Ibukota Propinsi<br />

Papua, Jayapura. Dan akan bekerja sampai tahun<br />

2014.<br />

Dalam pelaksanaannya, UP4B<br />

berkoordinasi dengan Kementerian<br />

Perencanaan Pembangunan<br />

Nasional/Badan Perencanaan Pem-<br />

Pose Kepala UP4B dengan Kepala Suku Kombai dan Kepala Suku Korowai (yang juga digunakan sbg cover cd<br />

lagu).<br />

bangunan Nasional (Bapenas) dan<br />

Badan Perencana Pembangunan<br />

Daerah (Bapeda) untuk mempercepat<br />

pembangunan Provinsi<br />

Papua dan Provinsi Papua Barat.<br />

UP4B antara lain telah<br />

mengembangkan pembenihan<br />

Ikan Kerapu di Kabupaten Raja Ampat.<br />

Proyek ini bertujuan mengurangi<br />

penangkapan ikan laut secara<br />

berlebihan, dengan demikian<br />

akan meningkatkan kesejahteraan<br />

nelayan di Raja Ampat. kap di Papua untuk melayani dari<br />

kabupaten sekitar seperti Raja<br />

Ampat, Tambrau, dan Sorong<br />

Selatan.<br />

Selain itu, tahun ini, UP4B telah<br />

mengirim 747 pemuda-pemudi<br />

Papua untuk belajar di berbagai<br />

Di Kabupaten Sorong, UP4B Perguruan Tinggi di Indonesia<br />

pun kini sedang merintis pemban- dengan beasiswa.<br />

gunan Rumah Sakit (RS) terleng- Semua aksi itu diharapkan<br />

dapat mewujudkan masyarakat<br />

Papua dan Papua Barat yang<br />

bermartabat dan bangga menjadi<br />

bagian integral bangsa Indonesia.<br />

Iring-iringan mobil saat survey darat ke Danau<br />

Habema.<br />

3


4 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Dari Redaksi<br />

BENCANA alam yang menimpa Provinsi Nangroe Aceh<br />

Darussalam (NAD) tanggal 26 Desember 2004 telah<br />

mengubah pandangan banyak pihak tentang bencana<br />

dan upaya penanggulangannya.<br />

Di tingkat nasional, bencana Aceh telah<br />

mempercepat lahirnya Undang-undang Penanggulangan<br />

Bencana. Sementara di tingkat global peristiwa itu telah<br />

ikut mengubah keputusan Konferensi Dunia tentang<br />

Pengurangan Risiko Bencana dari rekomendasi yang bersifat himbauan<br />

menjadi rekomendasi yang bersifat afirmatÍf, sebagaimana tercermin pada<br />

Kerangka Aksi Hyogo. Seperti diketahui, kerangka aksi yang dikenal dengan<br />

Hyogo Framework of Action (HFA) itu lahir dari Konferensi Dunia tentang<br />

Bencana di Kobe, Jepang, pada bulan Januari 2005, kurang-lebih satu bulan<br />

setelah bencana menerjang Aceh.<br />

Pembelajaran lain dari bencana Aceh adalah adanya hasrat untuk<br />

mengubah paradigma penanggulangan bencana dari tindakan reaktif-darurat<br />

menjadi preventif- terencana; dari upaya penanganan terpusat menjadi<br />

penanganan berbagi antar para pihak, termasuk masyarakat madani dan dunia<br />

usaha.<br />

Terkait dengan dorongan untuk mengubah paradigma dalam<br />

penangulangan bencana, kita berpendapat perubahan itu seyogyanya<br />

dilakukan pada dua aras: struktural dan kultural. Pada aras struktural,<br />

seyogyanya dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi berbagai peraturan<br />

penanggulangan bencana yang tumpang tindih bahkan saling meniadakan.<br />

Sementara pada aras kultural, upaya penyadaran perlu dilakukan agar orientasi<br />

pada pemuasan nafsu diri pribadi (berpusat pada manusia) bergeser menjadi<br />

pola hidup yang menghargai alam serta kesediaan berbagi sumberdaya dengan<br />

generasi yang akan datang.<br />

Kita tentu bersyukur memiliki negara besar dengan jumlah penduduk 250<br />

Juta, yang tersebar di 33 Propinsi dan lebih dari 480 Kabupaten/Kota serta<br />

17.000 pulau. Anugrah memiliki negara besar haruslah disertai tanggung jawab<br />

berupa kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana.<br />

Kita berpendapat, sebelum bencana menghantam dan memundurkan<br />

hasil pembangunan, maka perilaku dan kesediaan berbagi peran para pihak<br />

dan menekan “ego sektoral” perlu dikedepankan. Investasi untuk mengurangi<br />

kerentanan dan peningkatan kapasitas secara terpadu dengan upaya<br />

pembangunan harus juga dipastikan pada semua tingkatan.<br />

Sebagaimana bencana Aceh, bencana Merapi bulan Oktober 2010 juga<br />

seyogyanya menjadi pembelajaran.<br />

Korban tentu dapat ditekan sampai titik ekstrim, katakanlah nol (Zerorisk),<br />

dengan terbangunnya budaya siaga, bukan saja pada tingkat komunitas tetapi<br />

juga pada tingkat pemerintah. Pengalaman membuktikan bahwa komunitas<br />

yang berdaya dan siaga dapat meredam risiko bencana. Untuk menuju<br />

komunitas yang berdaya dan siaga diperlukan jalan panjang dan ketekunan.<br />

Majalah Kebencanaan Zerorisk hadir untuk memperkuat barisan untuk<br />

bersama-sama mencapai tahap komunitas yang tangguh.<br />

Sekedar untuk direnungkan: Rasaning Eling dikejawantahkan melalui kerjakerja<br />

kemanusian, menyatu sampai titik nol. Anung ning! Ada dalam ketiadaan.<br />

Tidak ada dalam ada. Lahir sekaligus batin, batin sekaligus lahir.<br />

Kurniawan Zulkarnain<br />

Dewan Pakar<br />

Sugeng Triutomo<br />

Parni Hadi<br />

Pujiono<br />

Eko Teguh Paripurno<br />

Dewan Redaksi<br />

Ridwan Yunus<br />

Revanche Jefrizal<br />

Lilik Kurniawan<br />

Dandi Prasetia<br />

Juriono<br />

Kurniawan Zulkarnain<br />

Pemimpin Perusahaan<br />

Dandi Prasetia<br />

Pemimpin Redaksi<br />

Kurniawan Zulkarnain<br />

Wakil Pemimpin Redaksi<br />

Sutan Karunia<br />

Redaktur Pelaksana<br />

Kafil Yamin<br />

Redaktur<br />

Metta Surya<br />

Editor Foto<br />

Raditya Djati<br />

Reporter<br />

Eka Arios<br />

Art Designer<br />

Luthfian Zuhdi Hariyadi<br />

Divisi Usaha<br />

Rina Octavia<br />

Kontributor<br />

Asisi F. Widanto, Victor Rembeth, Suer Suryadi,<br />

M. Ramli, Fatwa Fadillah, Bayu Dwi Anggono,<br />

Juni Pristianto, Dwi “Oblo”, Abdul Muhari, Lilik<br />

Kurniawan<br />

Alamat Redaksi<br />

Tebet Timur 1A No. 15<br />

Jakarta Selatan<br />

12820<br />

Telp. +62-21 462 257 41<br />

Fax. +62-21 830 3630<br />

email: disastermagz@zer0risk.com<br />

website: www.zer0risk.com<br />

f: zer0risk magazine<br />

t: @zer0riskmagazine


Sampul:<br />

Gunung Merapi<br />

Foto: Raditya Djati<br />

Desain: Luthfi<br />

Surat Pembaca 6<br />

Hari ke Hari<br />

KESIAPSIAGAAN<br />

WARGA CODE 22<br />

Fenomena<br />

DAM BILIBILI<br />

SULAWESI<br />

SELATAN 40<br />

Harmoni 52<br />

MENUJU<br />

‘ZERO<br />

CASUALTY’<br />

Jagat Kita<br />

BENCANA DALAM<br />

PERSPEKTIF<br />

AL-QUR’AN 58<br />

Gagasan<br />

KRT ADIKOESOEMO<br />

PRASETYO 64<br />

Mitra<br />

CAHAYA PUN<br />

MENYALA DI<br />

LAMPU HATI 70<br />

Aturan Main<br />

PUSDALOPS PB,<br />

ANTARA<br />

KEBIJAKAN DAN<br />

KEMAMPUAN 74<br />

Solusi<br />

BENANG KUSUT<br />

PEMBENTUKAN<br />

BPBD 78<br />

Resensi Buku<br />

BUKU BABON<br />

PENGURANGAN<br />

RISIKO BENCANA<br />

GLOBAL 90<br />

Galeri 92<br />

KONSERVASI GAGAL,<br />

BERSIAPLAH MEMANEN<br />

BENCANA<br />

Wawancara Khusus:<br />

Margareta Wahlström<br />

Pejabat pada SEKRETARIAT JENDERAL<br />

PBB untuk PENGURANGAN RISIKO<br />

BENCANA<br />

Liputan Utama<br />

belajar dari erupsi 2010<br />

ERUPSI Gunung Merapi pada 2010 lalu disebut sebagai yang<br />

terbesar setelah 1872. Amukan Merapi memakan korban<br />

hingga lebih dari 200 jiwa. Menyiapkan diri untuk bencana yang<br />

mungkin sama atau bahkan lebih besar adalah tindakan paling<br />

pas, karena Merapi tak pernah ingkar janji.<br />

Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Daftar Isi<br />

<strong>MERAPI</strong> <strong>TAK</strong> <strong>PERNAH</strong><br />

<strong>INGKAR</strong> <strong>JANJI</strong><br />

Konservasi Kearifan Lokal<br />

SMONG<br />

BUDAYA YANG<br />

MENYELAMATKAN<br />

26 36<br />

Sosok:<br />

Sugeng Triutomo<br />

Perjuangan Deputi Bidang Pencegahan<br />

dan Kesiapsiagaan Bencana BNPB<br />

memahamkan mitigasi bencana<br />

Konferensi Tingkat<br />

Menteri Asia Tentang<br />

Pengurangan Risiko<br />

Bencana (AMCDRR)<br />

32 44 84<br />

DAFTAR ISI<br />

8<br />

5


6 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Surat<br />

Pembaca<br />

UCAPAN SELAMAT<br />

Selamat datang Majalah Zerorisk<br />

di hutan belantara masalah media<br />

(cetak, TV, Redio, dan media on line),<br />

semoga kehadiranmu membawa<br />

inspirasi dan pencerahan yang lain,<br />

yang dapat memperkaya khasanah<br />

pengetahuan masyarakat khususnya<br />

tentang kebencanaan. Setahu saya<br />

belum ada satu majalahpun di<br />

Indonesia yang khusus mengupas<br />

masalah kebencanaan dengan begitu<br />

mendalam, lengkap, informatif,<br />

disajikan dengan bahasa yang<br />

ringan, mudah dipahami/dicerna oleh<br />

kalangan awam tentang kebencanaan<br />

sekalipun.<br />

Majalah yang sangat<br />

berguna bukan hanya bagi para<br />

pelaksana tugas kebencanaan<br />

semata, melainkan juga untuk<br />

masyarakat pada umumnya,<br />

agar masyarakat memperoleh<br />

informasi dan pengetahuan tentang<br />

kebencanaan secara dini, dan dapat<br />

mengatisipasinya bila bencana benarbenar<br />

datang tanpa harus tergantung<br />

terhadap pemerintah.<br />

Rubrik atau artikel yang disajikan<br />

sangat lengkap dan informatif, serta<br />

yang paling menarik antara lain<br />

rubrik tentang Hari ke Hari, Sosok<br />

serta Fenomena dan Kearifan Lokal,<br />

yang disajikan dalam bentuk feature,<br />

ringan dan enak dibaca tetapi dapat<br />

menggugah bagi siapa saja yang<br />

membacanya. Suatu kisah bagaimana<br />

masyarakat dapat hidup di tengahtengah<br />

daerah yang rawan bencana,<br />

dan dapat mengantisipasinya dengan<br />

ketrampilan dan kearifan lokal yang<br />

mereka miliki selama ini.<br />

Oleh karena itu, kami berharap<br />

semoga Majalah Zerorisk kini dapat<br />

terbit secara rutin dan on time. Serta<br />

dapat dibaca oleh berbagai kalangan,<br />

guna mencerdaskan masyarakat dan<br />

bangsa Indonesia secara luas yang<br />

kebetulan hidup di daerah yang rawan<br />

bencana. Demikian terima kasih.<br />

Tarjono Rusmana<br />

Bekasi<br />

Yang Terhormat Pimpinan Redaksi<br />

Zerorisk,<br />

Sebagai pembaca awam saya:<br />

“Mengucapkan Selamat atas terbitnya<br />

Majalah Zerorisk”.<br />

Hal ini dengan berbagai alasan,<br />

pertama: selama ini majalah popular<br />

yang membahas tentang bencana<br />

sangat sedikit (mungkin belum<br />

ada) sehingga kita sulit memahami<br />

tentang apa dan bagaimana terjadinya<br />

bencana, dan bagaimana cara<br />

menghindar dari becana.<br />

Kedua: Sebagaimana diketahui<br />

oleh orang banyak bahwa kita hidup di<br />

Indonesia ini pasti selalu berhadapan<br />

dengan bencana, baik bencana alam<br />

(gempa – tusnami, badai, gunung<br />

meletus, dll) maupun bencana akibat<br />

olah/pokal manusia (kecelakaan<br />

berlalu lintas, dll), atau bencana<br />

sebab-akibat dari interaksi alam dan<br />

manusia (banjir, tanah loongsor, dll)<br />

Ketiga: Bagaimana kita akrab<br />

dengan kondisi seperti itu namun<br />

sedikit mungkin mencegah terjadinya<br />

resiko atas bencana. Upaya mengenal<br />

ancaman, penurunan kerentanan dan<br />

penguatan kapasitas menjadi sangat<br />

penting. Syukur kalau upaya mampu<br />

menekan risiko sampai titik nol (Zero).<br />

Dengan rumusan tersebut jelas<br />

menjadi alasan keempat bahwa<br />

tujuan ZERORISK terbit adalah untuk<br />

memberikan pencerahan dan edukasi<br />

terhadap masyarakat agar masyarakat<br />

dapat meningkatkan kemampuan<br />

dirinya (sendiri-sendiri dan kelompok)<br />

jika mengahadapi bencana, yaitu<br />

sesedikit mungkin terjadinya resiko<br />

terburuk (pengurangan pederitaan).<br />

Karena tujuan yang mulia itu kami<br />

sampaikan dukungan.<br />

Wassalam,<br />

Bambang Agussalam<br />

Surakarta<br />

Saya menyambut baik penerbitan<br />

edisi perdana Majalah Bulanan<br />

“Zerorisk” yang bertujuan untuk<br />

memberikan informasi kepada<br />

masyarakat tentang upaya-upaya<br />

pengurangan risiko bencana dan<br />

membangun kesadaran pada semua<br />

level baik pemerintah,masyarakat<br />

dan pihak swasta bahwa kawasan<br />

Indonesia merupakan kawasan rawan<br />

bencana dan memerlukan manajemen<br />

khusus dalam menanganinya .<br />

Majalah Bulanan “Zerorisk”<br />

sangat membantu kami dalam kerjakerja<br />

pengurangan risiko bencana<br />

di komunitas ,apalagi saat ini masih<br />

minimnya bahan bacaan dalam bentuk<br />

majalah dan tabloid yang khusus<br />

memberitakan soal kebencanaan dan<br />

upaya-upaya PRB.<br />

Saran saya mungkin saja<br />

pada edisi berikutnya bisa lebih<br />

menonjolkan model kearifan lokal<br />

masyarakat atau pengetahuan<br />

yang dimiliki oleh komunitas dalam<br />

upaya-upaya pengurangan risiko<br />

bencana,serta peran pemerintah<br />

daerah (BPBD) dan yang paling<br />

penting mungkin model tulisan dan<br />

ulasan dalam bentuk bahasa yang<br />

mudah di pahami dan dimengerti oleh<br />

masyarakat secara luas.<br />

Salam PRB<br />

Shadiq Maumbu<br />

Palu<br />

Atas nama Dewan Kelurahan Desa<br />

Kertayasa-Kecamatan Cijulang, kami


menyambut baik terbit Majalah<br />

Kebencanaan Zerorisk yang memuat<br />

isu-isu kebencanaan dan pengurangan<br />

risiko bencana.<br />

Pengalaman kami dilanda<br />

tsunami bulan Juli 2006 yang lalu<br />

telah membangunkan kami untuk<br />

selalu wasdapa terhadap setiap<br />

ancaman bencana. Kehadiran<br />

Majalah Zerorisk akan membantu<br />

kami dalam menemukan rujukan dan<br />

pembelajaran dalam penanggulangan<br />

bencana.<br />

Selamat dan sukses selalu.<br />

Salam,<br />

Mohammad Daribi<br />

Desa Kertayasa Cijulang<br />

Ciamis Selatan<br />

Selamat kepada Tim Redaksi Majalah<br />

Zerorisk yang telah bekerja keras<br />

untuk sampai terbitnya majalah ini.<br />

Sebuah majalah khusus tentang<br />

kebencanaan. Sebuah majalah yang<br />

mudah-mudahan dapat menjadi<br />

referensi utama bagi komunitas yang<br />

berdomisili di daerah rawan bencana,<br />

para Pegiat Sukarelawan Sosial dan<br />

instansi/lembaga Pemerintah dan<br />

Swasta yang memiliki tugas atau<br />

kepedulian terhadap kebencanaan.<br />

Saya adalah satu diantara mereka<br />

yang pernah menjadi sukarelawan<br />

pada sebuah lembaga kemanusiaan<br />

untuk Pasca Bencana di Provinsi<br />

NAD (Aceh) dan juga di Kabupaten<br />

Bantul (DI Yogyakarta). Perkenankan<br />

dalam kesempatan ini menyampaikan<br />

masukan dalam Surat Pembaca<br />

Majalah Zerorisk.<br />

Dalam kesempatan ini ada yang<br />

ingin saya sampaikan kepada Tim<br />

Redaksi, yaitu tentang kriteria majalah<br />

yang baik. Walaupun Majalah Zerorisk<br />

bukan jenis majalah komersial, namun<br />

harus tetap memperhatikan kriteria<br />

majalah yang baik.<br />

Sampai saat ini belum ada<br />

referensi yang menjadi rujukan<br />

standar, tetapi ada beberapa kriteria<br />

yang dapat digunakan. Sekurangnya<br />

ada 3 (tiga) kriteria dasar untuk sebuah<br />

Majalah yang dikatakan baik, yaitu:<br />

Pertama mencapai tujuannya, kedua<br />

dikelola dengan standar manajemen<br />

ISO dan ketiga menarik dan mudah<br />

difahami bagi pengguna/konsumen<br />

majalah tersebut.<br />

Majalah yang baik, adalah ketika<br />

pembaca mudah membacanya dan<br />

memahami isinya serta mendapatkan<br />

manfaat serta inspirasi yang bisa<br />

diwujudkan/diterapkan. Selain itu<br />

ada beberapa tampilan yang perlu<br />

diperhatikan, yaitu:<br />

Coba kita amati Sampul Depan/<br />

Cover Majalah ini, kemudian kita coba<br />

menjawab beberapa hal ini: Apakah<br />

telah menunjukkan identitas majalah<br />

sesuai dengan misinya? Apakah<br />

sudah dapat menarik perhatian calon<br />

pembaca untuk membacanya? Apakah<br />

Sampul Komunikatif dan informatif?<br />

Apakah ilustrasi atau gambar yang<br />

dipakai sesuai tema edisi majalah?<br />

Kita amati juga pilihan Huruf/<br />

Font: Apakah huruf mudah dibaca<br />

dan mudah difahami oleh pembaca<br />

intinya? Apakah pemakaian jenis huruf<br />

sesuai tema atau judul rubrik?<br />

Sekarang tentang beritanya:<br />

apakah isi berita telah sesuai nama<br />

majalah? Apakah berita dapat menarik<br />

perhatian? Apakah setiap berita telah<br />

disertai minimal 1 (satu) ilustrasi,<br />

gambar atau foto?<br />

Hal pertama yang menarik untuk<br />

dicermati dari majalah ini adalah<br />

namanya, yaitu Zerorisk. Tentu<br />

Tim Redaksi telah secara seksama<br />

mengapa memilih nama -Zerorisk- di<br />

tengah kondisi masyarakat yang<br />

berdomisili pada lokasi rawan<br />

bencana, yang pada umumnya berada<br />

di wilayah pantai, kaki gunung dan<br />

lokasi pinggir sungai dan lokasi-lokasi<br />

sulit terjangkau fasilitas transportasi<br />

umum.<br />

Hal menarik kedua adalah pilihan<br />

bahasa dan tata-bahasa pada berita<br />

atau artikelnya. Tim Redaksi tentu<br />

telah menimbang dengan serius,<br />

mengapa disajikan banyak kalimat<br />

majemuk, yaitu sebuah kalimat yang<br />

memiliki lebih dari 1 (satu) makna.<br />

Sebuah kalimat yang tidak mudah<br />

disusun bahkan oleh mereka yang<br />

berpendidikan menengah atas.<br />

Hal menarik berikutnya adalah<br />

pilihan menempatkan gambar<br />

atau foto. Tentu Tim Redaksi telah<br />

berunding dengan keras, tentang<br />

alasan mengapa menempatkan<br />

gambar atau foto dengan ukuran yang<br />

kecil/minimalis, dengan kadar pixel<br />

rendah.<br />

Zerorisk, dalam terbitan<br />

perdananya tentu banyak yang harus<br />

dijelaskan oleh Tim Redaksi kepada<br />

pembacanya yang juga masyarakat<br />

pada lokasi-lokasi rawan bencana.<br />

Selamat dan Sukses kepada Tim<br />

Redaksi Zerorisk<br />

Untung Surapati<br />

Yogyakarta<br />

Kirimkan Surat Anda ke:<br />

Zer0risk Indonesia<br />

Tebet Timur 1A No. 15<br />

Jakarta Selatan<br />

12820<br />

Telp. +62 21 462 25 741<br />

Fax. +62 21 830 3630<br />

Email:<br />

disastermagz@zer0risk.com<br />

Website:<br />

www.zer0risk.com<br />

Jangan lupa untuk mengikuti kami di:<br />

f: zer0risk magazine<br />

t: @zer0risk_magazine<br />

SURAT PEMBACA<br />

7


8 8 ZERORISK • Vol. Vol. 01 • Agustus 2012 2012<br />

Liputan Utama<br />

BELAJAR DARI Erupsi 2010<br />

<strong>MERAPI</strong> <strong>TAK</strong><br />

<strong>PERNAH</strong> <strong>INGKAR</strong><br />

<strong>JANJI</strong><br />

ERUPSI Gunung Merapi<br />

2010 lalu disebut<br />

merupakan yang terbesar<br />

setelah 1872. Amukan<br />

Merapi memakan korban<br />

jiwa hingga lebih dari<br />

200 jiwa. Menunjuk<br />

kesalahan tidak lagi tepat.<br />

Menyiapkan diri untuk<br />

fenomena yang mungkin<br />

sama atau bahkan lebih<br />

besar adalah yang paling<br />

pas. Karena Merapi tak<br />

pernah ingkar janji.<br />

Teks EKA ARIOS<br />

Foto EKA ARIOS | DWI OBLO | RADITYA DJATI


BELAJAR DARI ERUPSI <strong>MERAPI</strong> 2010<br />

9<br />

Foto: Dwi Oblo


10 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Liputan Utama<br />

Ngatini (41) tetap mengucapkan syukurnya<br />

pada Sang Khalik. Rasa syukur yang tidak<br />

terhingga karena dirinya masih selamat<br />

dari bencana erupsi gunung api meskipun rumah<br />

tempatnya berlindung di Kaliadem, Kepuharjo,<br />

Sleman, DIY, hangus dilalap awan panas yang<br />

menerjang pada Selasa sore 26 Oktober 2010.<br />

Ngatini berlega hati karena saat itu ia patuh<br />

pada perintah untuk mengungsi di pengungsian. Ia<br />

tidak tahu pasti dari mana perintah untuk mengungsi<br />

datang. Kesaksiannya, saat itu banyak sekali relawan<br />

dan petugas pemerintah berlalu lalang di sekitar<br />

rumahnya. Perempuan itu bersyukur karena dia<br />

beserta keluarganya percaya ucapan petugas bahwa<br />

amukan Gunung Merapi bakal besar.<br />

Ngatini boleh bernasib baik karena percaya erupsi<br />

gunung purba itu berbeda dari erupsi terakhir, yaitu<br />

pada 2006. Sayangnya, tidak sedikit pula warga<br />

yang masih tidak percaya pada ancaman erupsi<br />

besar Merapi. Sehingga, tidak kurang dari 386 jiwa<br />

melayang terpanggang awan panas, termasuk di<br />

antaranya Juru Kunci Gunung Merapi yaitu Mas<br />

Penewu Surakso Hargo atau akrab dipanggil dengan<br />

Mbah Maridjan.<br />

Saat itu, Kuncen Merapi ini mengaku malu jika<br />

harus mengungsi karena khawatir Merapi tak jadi<br />

meletus. Konon, ia sempat ingin mengungsi dari<br />

rumahnya di Kinahrejo, Sleman. Tapi ia baru mau<br />

dievakuasi usai menunaikan ibadah shalat maghrib,<br />

26 Oktober 2010. Nyatanya, wedhus gembel (awan<br />

panas) meluncur jauh sekitar satu jam sebelum bedug<br />

adzan maghrib bertalu. Tak ayal, rumahnya yang<br />

hanya berjarak 4,5 kilometer dari puncak Gunung<br />

Merapi terbakar saat dilewati awan panas. Mbah<br />

Maridjan pun tidak lepas dari serangan si wedhus<br />

gembel dan seketika itu pula ia meninggal dunia.<br />

Mbah Maridjan adalah satu dari sedikitnya<br />

37 jiwa korban tewas akibat Erupsi Merapi, 26<br />

Oktober. Selang beberapa hari kemudian, tepatnya 5<br />

November 2010, Merapi kembali meletus kuat. Kali ini<br />

korban tewas mencapai 126 jiwa.<br />

Eko Teguh Paripurno dari Disaster Research &<br />

Management (DReaM) Universitas Pembangunan<br />

Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta mengatakan,<br />

3 KORBAN SELAMAT. Ngatini (kanan) bersyukur karena dia beserta keluarganya selamat dari bencana erupsi gunung Merapi 2010<br />

yang lalu.<br />

Foto: Eka Arios


fenomena Merapi<br />

yang terjadi 2010 lalu<br />

memang berbeda dengan<br />

aktivitasnya pada tahuntahun<br />

sebelumnya.<br />

Menurut pria yang akrab<br />

disapa ET ini, erupsi<br />

terjadi lebih cepat dari<br />

yang diduga banyak<br />

orang, bahkan oleh<br />

vulkanolog. Perubahan<br />

status Merapi dari aktif<br />

normal ke waspada juga<br />

peningkatan status dari<br />

waspada ke siaga masih<br />

terjadi secara lazim<br />

seperti juga aktivitas<br />

di masa-masa sebelum<br />

2010. Perubahan status<br />

terjadi sangat cepat<br />

terjadi saat setatus siaga<br />

menuju awas. “Dari awas<br />

ke meletus lebi cepat<br />

lagi. Fenomena ini tidak<br />

diduga setiap orang,”<br />

jelas Eko saat berbincang<br />

dengan Zerorisk, belum<br />

lama ini.<br />

Ia menjelaskan,<br />

Balai Penyelidikan dan<br />

Pengembangan Teknologi<br />

Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta sebenarnya<br />

sudah meningkatkan status Merapi dari normal aktif<br />

menjadi waspada pada 20 September 2010. Aktivitas<br />

Merapi ini, ungkapnya, masih sama selama sekitar<br />

satu bulan.<br />

Sebulan kemudian atau tepatnya 21 Oktober<br />

2010, status Merapi berubah menjadi siaga. Aktivitas<br />

terus meningkat yang ditunjukkan dengan tingginya<br />

frekuensi gempa multifase dan gempa vulkanik. Pada<br />

level ini kegiatan evakuasi warga ke pengungsian<br />

sudah dipersiapkan. Maka, pada 25 Oktober BPPTK<br />

Yogyakarta merekomendasi peningkatan status<br />

Gunung Merapi menjadi awas seharusnya semua<br />

penghuni wilayah dalam radius 10 km dari puncak<br />

3 EARLY WARNING. Dengan alat ini diharapkan dapat<br />

mengurangi jumlah korban erupsi Merapi.<br />

harus dievakuasi dan diungsikan ke wilayah aman.<br />

Gejala peningkatan aktivitas Gunung Merapi ini<br />

memang sudah terbaca BPPTK. Terbukti, 26 Oktober,<br />

Gunung Merapi memasuki tahap erupsi. Erupsi terjadi<br />

sekitar pukul 17.02 WIB. Sedikitnya terjadi hingga<br />

tiga kali erupsi. Erupsi diiringi keluarnya awan panas<br />

setinggi 1,5 meter yang mengarah ke Kaliadem,<br />

Kepuharjo. Erupsi ini menyemburkan material<br />

vulkanik setinggi kurang lebih 1,5 km.<br />

Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana<br />

Surono menambahkan, erupsi 2010 cenderung<br />

BELAJAR DARI ERUPSI <strong>MERAPI</strong> 2010<br />

11<br />

Foto: Eka Arios


12 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Liputan Utama<br />

berukuran Volcanic Eruption Index (VEI) 4 material<br />

erupsi saat itu mencapai sekitar 150 juta meter kubik.<br />

Surono memperkirakan, erupsi Merapi 2010 sama<br />

dengan erupsi pada 1822. Dia juga memperhitungkan<br />

erupsi 2010 itu lebih besar dari erupsi 1872. “Yang<br />

membedakan erupsi 2010, capaian awan panas<br />

mencapai 15 km dari puncak ke arah selatan. Ini belum<br />

pernah terjadi sebelumnya,” jelas Surono.<br />

Sejak 1786, Merapi sudah lebih dari 80 kali<br />

meletus, erupsi besar antara lain terjadi pada 1768,<br />

1822, 1849 dan 1872, 1930 hingga 1931. Pada erupsierupsi<br />

tersebut, luncuran awan panas tidak pernah<br />

lebih dari 10 km dari puncak Merapi.<br />

Kurang Peduli<br />

Salah satu yang disesali Eko ketika itu yaitu<br />

masyarakat tidak begitu memberi perhatian pada<br />

fenomena erupsi yang akan cenderung meningkat.<br />

Dikisahkannya, saat status Merapi ditingkatkan<br />

dari aktif normal ke waspada, dia telah meminta<br />

warga untuk mengungsi. Kepada pemerintah, ia<br />

juga meminta agar lebih gigih meminta warga<br />

meninggalkan rumahnya. Tetapi banyak pihak menilai<br />

erupsi Merapi ketika itu hanya akan sama dengan<br />

erupsi Merapi 2006. “Jadi erupsi, tapi tidak terlalu<br />

besar. Gregetnya (euforia, red) akan sama dengan<br />

2006,” katanya mengutip pemikiran banyak orang<br />

saat itu.<br />

Sebenarnya saat status Merapi telah mencapai<br />

titik awas pun, warga memang sudah mau dievakuasi.<br />

Ternak dan orang tua pun sudah digerakkan ke<br />

pengungsian. Namun masih beredar pemikiran,<br />

puncak erupsi baru akan terjadi setidaknya seminggu<br />

pasca penetapan status awas. Beberapa warga masih<br />

melakukan aktivitas di kawasan rawan bencana yang<br />

seyogiyanya disterilkan. Nyatanya, hanya berselang


Foto: Eka Arios<br />

satu hari sejak status Merapi awas, erupsi yang<br />

mematikan terjadi.<br />

Foto: Raditya Djati<br />

3 KONDISI BANGUNAN. Beginilah kondisi pasca erupsi SDN<br />

Pangukrejo, Cangkriman, Sleman - Yogjakarta.<br />

Ketidakpercayaan publik dan banyak pemangku<br />

kepentingan soal ancaman erupsi Merapi yang lebih<br />

besar itu, menurut Eko, disebabkan perubahan energi<br />

erupsi Merapi 2010 lalu berbeda dengan kelaziman.<br />

Awan panas, ujarnya, biasanya meluncur ke arah barat<br />

yaitu Kabupaten Magelang. Terjangan wedhus gembel,<br />

biasanya, paling jauh hungga 12 km. “12 km saja<br />

sudah jarang. Jadi kalau diperingatkan, luncuran awan<br />

panas akan lebih jauh dari itu, orang tidak percaya.<br />

Bukan salah tidak percaya, karena kecenderungannya<br />

memang seperi itu,” ujar Eko.<br />

Menurut Eko, kesulitan terbesar justru untuk<br />

mengevakuasi warga yang berada pada kawasan<br />

rawan bencana (KRB) Merapi I. Kecenderungannya,<br />

kata dia, warga pada kawasan tersebut menganggap<br />

wilayah tempat tinggalnya tidak akan terkena awan<br />

panas yang dibawa dari puncak Merapi. “Perubahan<br />

erupsi yang cepat tidak dapat dipahami dengan<br />

baik, terutama oleh orang tinggal di tempat aman.<br />

Masyarakat di KRB Merapi I berpikir, tempatnya<br />

tinggal akan aman, paling parah hanya terkena lahar<br />

dingin saja,” katanya.<br />

Di Kabupaten Sleman, KRB Merapi I mencakup<br />

wilayah seluas kurang lebih 1.371 hektar . Daerah<br />

yang termasuk dalam KRB Merapi I di kabupaten itu<br />

adalah Kecamatan Tempel, Pakem, Ngaglik, Mlati,<br />

Depok, Ngemplak, Cangkringan, Kalasan, Prambanan,<br />

dan Berbah.<br />

Dia menegaskan, seharusnya pengetahuan<br />

yang baik akan mitigasi diimbangi pula dengan<br />

pengetahuan, pemahaman, penyadaran dan dan<br />

pengambilan respon yang baik atas peringatan dini<br />

bencana. “Pertimbangannya sering bermacammacam.<br />

Mulai memikirkan nasib barang-barangnya,<br />

atau gejalanya hanya akan sama dengan yang terjadi<br />

pada Merapi di tahun 1994, 1997, 2001, 2006,”<br />

lanjutnya.<br />

Ketika erupsi Merapi mencapai 17 km dari pundak<br />

Merapi, barulah warga dan pemerintah percaya<br />

pada amukan sang gunung. “Orang sudah terpana,<br />

maka ada kesadaran. Sayangnya kesadaran itu tidak<br />

tumbuh dari awal,” pungkasnya.<br />

Vulkanolog UPN itu menilai wajar penilaian<br />

banyak pihak tersebut yang akhirnya juga membuat<br />

pemda dan DPRD setempat tidak siap, terutama<br />

dalam hal menyiapkan tempat pengungsian. Rencana<br />

kontinjensi 2009 yang dimiliki Badan Penanggulangan<br />

Bencana Daerah (BPBD) dan Pemda Sleman<br />

menyatakan, awan panas khas Merapi hanya akan<br />

BELAJAR DARI ERUPSI <strong>MERAPI</strong> 2010<br />

13


14 ZERORISK • Vol. Vol. 01 • Agustus 2012 2012<br />

Liputan Utama<br />

Foto: Raditya Djati<br />

menerjang hingga delapan km dari puncak Merapi dan<br />

bukan hingga 13 km seperti yang terjadi.<br />

Berdasar rencana kontinjensi itu, pemda hanya<br />

menyiapkan diri untuk menyelamatkan 13.000 orang<br />

untuk diungsikan. Padahal kenyataannya warga yang<br />

harus diungsikan mencapai 400.000 jiwa. “BPBD<br />

sampai jengkel pada DPRD, mau menyiapkan barak<br />

pengungsian saja anggarannya belum disiapkan,”<br />

ungkapnya.<br />

Gagap Kontinjensi<br />

Menurut Eko, Kabupaten Sleman memang<br />

memiliki rencana kontinjensi Merapi. Pihak yang<br />

berkepentingan pun sudah mempunyai kesadaran<br />

tinggi untuk melaksanakan secara tertib apa yang<br />

dimandatkan rencana kontinjensi.<br />

Namun, kata dia, banyak pihak masih gagap<br />

menjalankan rencana kontinjensi yang sudah<br />

disusun. Pengajar di Universitas Tarumanegara itu<br />

mengungkapkan, kegagapan itu seperti terlihat pada<br />

bagaimana gubernur maupun bupati baik di Provinsi<br />

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah<br />

tidak segera menetapkan keadaan darurat bencana.<br />

“Pemda masih menjalankan sistem birokrasi seperti<br />

normal. Saya anggap keadaan saat itu sudah darurat,<br />

namun teman-teman (pemerintah, red) mengatakan<br />

belum darurat,” tutur dia.<br />

Akibatnya, saat Merapi benar-benar menunjukkan<br />

aksinya, semua orang panik lantaran belum semua<br />

warga, terutama di Dusun Kaliadem dan Kinahrejo,<br />

diungsikan.<br />

Hanya, kata dia, memang harus diakui bahwa<br />

ada perencanaan yang lebih matang dibandingkan<br />

3 ABU VULKANIK. Tampak sisa-sisa debu vulkanik.<br />

Foto: Raditya Djati


waktu sebelumnya. Walaupun masih banyak korban,<br />

kesiapan pemerintah dan semua pihak lebih baik.<br />

“Kalau tidak persiapan yang sebaik saat itu, korban<br />

akan jauh lebih banyak,” ungkap Eko.<br />

Masalah terbesar, ujarnya, adalah keraguan<br />

bahwa erupsi yang lebih besar akan terjadi. Ia<br />

mengatakan, banyak pihak juga tidak percaya,<br />

kalau erupsi saat itu akan mengarah ke selatan,<br />

yaitu ke Kabupaten Sleman. Ia menuturkan, sejarah<br />

mencatat Merapi pernah mengeluarkan awan panas<br />

ke arah selatan pundak Merapi. Tetapi, sekali lagi,<br />

masyarakat tidak percaya karena pengalamannya<br />

tidak mengatakan demikian.<br />

Patuh Protap<br />

Dia mengatakan, satu hal yang patut disyukuri<br />

adalah kesadaran warga untuk mengevakuasi<br />

ternaknya sebagai sumber daya ekonomi. Ia<br />

mengisahkan, warga Dusun Turgo, Sleman belajar dari<br />

pengalaman atas bencana yang terjadi pada 1992,<br />

1997, 2001, dan 2006. Dalam kesiapsiagaan bencana<br />

mereka sudah mempunyai prosedur tetap (protap)<br />

yang sudah disepakati semua warga. Jika Merapi<br />

berstatus waspada, warga beserta Relawan Kawasan<br />

Turgo (Kawastu) mulai menyiapkan diri menjalankan<br />

peran sesuai protap dusun.<br />

Pada status siaga, ternak sudah mulai dievakuasi<br />

ke barak ternak di Relokasi Sudimoro yang terletak<br />

sekitar 12 km ke Selatan Dusun Turgo. Warga rentan<br />

seperti orang tua, juga mulai melakukan evakuasi ke<br />

Relokasi Sudimoro yang dibangun tahun 1994 lalu.<br />

Mereka ingin dengan kesiapsiagaan itu, pengalaman<br />

buruk November 1994 tidak terulang kembali. Karena<br />

itu mengungsi secara mandiri merupakan kesadaran<br />

kolektif warga Dusun Turgo. Proses pengungsian<br />

dan pengelolaan dusun selama warga melakukan<br />

pengungsian dikelola oleh warga bersama-sama<br />

Relawan Kawastu.<br />

Relawan Kawastu pada dasarnya adalah warga<br />

Dusun Turgo yang telah mendapatkan pendidikan<br />

dan pelatihan manajemen kebencanaan. Pelatihan<br />

Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat<br />

(PBBM) dan Pertolongan Penderita Gawat Darurat<br />

(PPGD) pertama kali dilakukan oleh Perkumpulan<br />

KAPPALA Indonesia bersama Oxfam GB sejak<br />

Pada umumnya<br />

masyarakat tahu apa yang<br />

harus dilakukannya pada<br />

saat aktivitas Gunung<br />

Merapi meningkat.<br />

Namun pada praktiknya,<br />

mereka kerap kurang<br />

percaya bahwa efek erupsi<br />

Merapi akan besar.<br />

tahun 1996. “Tetapi, mekanisme itu belum terjadi di<br />

tempat lain, karena belum mengalami erupsi yang<br />

besar sampai ke kampung. Pemikirannya, kalau saya<br />

mengungsi, tapi ternak ditinggal, sama saja, akan<br />

tetap mati juga,” paparnya.<br />

Mekanisme pemindahan ternak, menurut Eko juga<br />

dimiliki masyarakat Sidorejo, Klaten. Bahkan katanya,<br />

penanganan ternak terus terjadi hingga pasca darurat<br />

erupsi. Masyarakat yang mengungsikan ternaknya,<br />

tetap mencari rumput sebagai pakan ternak. Selama<br />

warga tinggal di pengungsian, pengelolaan ternak<br />

tetap dilakukan.<br />

Ia mengungkapkan, banyak sapi milik warga Turgo<br />

dan Sidorejo tetap selamat. Karenanya, mekanisme<br />

tersebut sebaiknya dicontoh warga di daerah lain.<br />

Selain mekanisme itu, mekanisme penggantian sapi<br />

oleh pemerintah, diakuinya juga berjalan.<br />

Warga, katanya, harus memiliki kesadaran untuk<br />

memobilisir dirinya sendiri. Untuk itu, kata dia, harus<br />

didoktrin kepada warga bahwa, tidak setiap kali<br />

ada erupsi Merapi harus ada korban jatuh hingga<br />

meninggal dunia. “Coba lakukan sendiri. Jangan<br />

semua hal harus menunggu pemerintah,” katanya.<br />

Di sisi lain, pemerintah pun harus memiliki<br />

mekanisme yang baik dan inisiatif yang tinggi.<br />

Dikatakannya, dalam setiap perubahan status<br />

aktivitas Merapi harus ada perubahan sikap, baik<br />

masyarakat maupun pemerintah.<br />

Sosialisasi Status Merapi<br />

BELAJAR DARI ERUPSI <strong>MERAPI</strong> 2010 15


16 ZERORISK • Vol. Vol. 01 • Agustus 2012 2012<br />

Liputan Utama<br />

Menurut Eko, kesiapsiagaan seharusnya sudah<br />

terbangun dengan cukup baik mengingat status<br />

aktivitas Merapi selalu disosialisasikan dengan baik.<br />

Bahkan, di surat kabar lokal DIY dan Jawa Tengah<br />

Kedaulatan Rakyat, selalu memuat status Gunung<br />

Merapi.<br />

Ia menilai, pada umumnya masyarakat sudah<br />

tahu apa yang harus dilakukannya pada saat aktivitas<br />

Merapi meningkat. Hanya dalam praktiknya, mereka<br />

kerap kurang percaya bahwa efek erupsi Merapi akan<br />

besar. “Yang membuat kacau, urusan tidak percaya<br />

itu,” pungkasnya.<br />

Karena itu, dia berharap, pasca erupsi Merapi<br />

2010 masyarakat serta pemerintah bisa lebih paham<br />

dan percaya peringatan dini yang diberikan baik oleh<br />

instansi berwenang seperti BPPTK dan BMKG. “Tetapi<br />

jangan pula masyarakat jadi paranoid. Kesiapsiagaan<br />

tetap dilakukan sesuai porsinya,” katanya.<br />

Pelajari Gejala Merapi<br />

Sebagai ahli vulkanologi, Eko tahu betul, sikap<br />

merapi tidak dapat ditebak. Tetapi, hal terbaik yang


dapat dilakukan semua pihak adalah mempelajari dan<br />

memahami setiap gejala yang ditunjukkan gunung<br />

tersebut. Karena memang Merapi tidak pernah ingkar<br />

janji. “Bahwa Merapi pernah melakukan aktivitas<br />

dengan semburan awan panas hingga 2 km, 6 km.<br />

Memang Merapi seperti itu. Bagaimana kita bisa<br />

menyikapi itu dengan baik,” mintanya.<br />

Sementara itu Surono menambahkan, pada abad<br />

19, tercatat Merapi meletus dengan kekuatan besar.<br />

Tetapi setelah abad 20, intensitas erupsi Merapi lebih<br />

sering. Ia menduga, frekuensi yang lebih besar itu<br />

membuat energi yang tersimpan di sang gunung tidak<br />

terlalu besar. “Sehingga tidak menghasilkan erupsi<br />

besar. Kecuali pada 2010,” katanya.<br />

Berdasar pengamatannya juga dari hasil<br />

diskusinya dengan ahli gunung api Amerika Chriss<br />

Newhall, Merapi berpotensi meletus besar tiap 100<br />

tahun. Pria yang sempat dijuluki ahli Merapi itu<br />

mengatakan, masyarakat cenderung berpegang pada<br />

kejadian empiris masa lalu yang menguntungkan diri<br />

dan kelompoknya. Erupsi Merapi di abad 20 awan<br />

panas lebih sering meluncur ke arah barat. Jika pada<br />

BELAJAR DARI ERUPSI <strong>MERAPI</strong> 2010<br />

17<br />

Foto: Dwi Oblo


18 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Liputan Utama<br />

2006 awan panas mengarah selatan disebabkan<br />

bukaan kawah Merapi ke arah Selatan. Pergerakan<br />

awan panas pun tidak terlalu jauh karena awan<br />

panas bergerak paling jauh 6 km dari puncak Merapi.<br />

“Manusia tidak sadar, bahwa kita bagian dari alam.<br />

Kita yang harus mengikuti kehendak alam, bukan<br />

alam mengikuti kehendak kita,” papar Surono.<br />

Disampaikannya, alam memiliki rumus dan<br />

perilakunya sendiri yang diatur Sang Pencipta.<br />

“Ilmu pengetahuan dan teknologi hanya melakukan<br />

pendekatan dari data berupa sinyal dari alam. Tidak<br />

ada kejadian alam, tanpa diberi tanda-tanda awal<br />

yang dapat dibaca para ahli,” ujarnya.<br />

Hal yang sama disampaikan Eko. Dia mengatakan,<br />

hal yang tidak kalah penting yaitu berada di tempat<br />

yang tepat pada waktu yang tepat dan melakukan<br />

hal yang tepat. “Empan papan, empan waktu (tepat<br />

tempat, tepat waktu). Jangan lagi menyepelekan<br />

ancaman Merapi,” tegas Eko<br />

Ia menegaskan, informasi vulkanologi dari<br />

BPPTK dan BMKG harus disampaikan dengan benar<br />

kepada masyarakat. Di sisi lain, masyarakat pun<br />

harus mengambil tindakan yang tepat. “Bukan hanya<br />

mengerti, mengetahui, menyadari dan memahami,<br />

tapi juga harus bisa melakukan apa yang dibutuhkan<br />

Merapi. Yang dibutuhkan Merapi adalah orang<br />

selamat,” katanya.<br />

Rehabilitasi dan<br />

Rekondisi<br />

Eko menuturkan,<br />

hal lain yang patut<br />

juga disyukuri adalah<br />

upaya rehabilitasi dan<br />

1 MUSEUM MINI. Salah<br />

satu rumah Ryan di Dusun<br />

Petung, Cangkringan, DIY yang<br />

kini berubah menjadi sebuah<br />

museum mini. Saksi keganasan<br />

bencana erupsi Merapi 2010<br />

yang lalu.<br />

rekondisi, baik yang dilakukan pemerintah maupun<br />

lembaga non-pemerintah. Menurut Eko, pengelolaan<br />

rehabilitasi dan rekondisi pasca erupsi Merapi saat ini<br />

lebih baik dibandingkan dengan bencana lain.<br />

Bagi setiap keluarga disiapkan hunian sementara<br />

(huntara) dan hunian tetap (huntap). Di huntara itulah<br />

warga bisa tinggal setelah mereka meninggalkan<br />

barak pengungsian. Meski demikian, tambah Eko,<br />

saat ini masih terdapat masalah perbedaan dalam<br />

ukuran dan kualitas huntara yang dimiliki masingmasing<br />

keluarga.<br />

Perbedaan itu bisa disebabkan beberapa faktor.<br />

Faktor pertama bisa saja huntara dengan kualitas<br />

yang lebih baik memang didanai oleh dua pendana,<br />

yaitu pemerintah dan swasta. Sedangkan huntara<br />

dengan kualitas lebih buruk biasanya hanya didanai<br />

pemerintah yaitu sebesar Rp6,8 juta.<br />

Ia menuturkan, perbedaan pengadaan huntap<br />

juga terdapat di tingkat provinsi. Pemprov Jawa<br />

Tengah hanya memberi uang kepada warga untuk<br />

mendirikan huntap. Sementara Pemprov DIY juga<br />

menyiapkan lahan yang akan didirikan huntap di<br />

samping uang untuk pembangunan huntap.<br />

Kemungkinan lainnya, ujar Eko, huntara<br />

berkualitas baik dibangun dari dana yang sepenuhnya<br />

dialirkan tanpa dikorupsi. “Yang jelek ini biasanya<br />

akibat dananya sudah dipotong, dikorup,” ungkapnya.<br />

Foto: Eka Arios


INGIN KEMBALI HIDUP<br />

NORMAL<br />

(Kisah para korban)<br />

3 HUNTARA. Hunian<br />

sementara warga korban<br />

erupsi Merapi 2010.<br />

Teks EKA ARIOS<br />

Foto EKA ARIOS | DWI<br />

OBLO | DOK. ZERORISK<br />

Foto: Dwi Oblo<br />

Merapi menyimpan cerita sendiri bagi para penghuninya. Indra Baskoro Adi<br />

dari Paguyuban Siaga (Pasag) Merapi mengatakan, pada peningkatan<br />

aktivitas Merapi, ada sedikitnya 700 lokasi pengungsian. Lokasi itu bukan hanya<br />

disiapkan pemerintah, namun juga oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM),<br />

pihak universitas juga swasta.<br />

Relawan yang juga merupakan korban ini menjelaskan, sebelum puncak<br />

erupsi Merapi pada 26 Oktober 2010, Balai Penyelidikan dan Pengembangan<br />

Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta sudah melakukan sosialisasi<br />

kepada warga empat hari sebelumnya. Namun yang menjadi masalah, warga<br />

di dusun terbawah pada erupsi Merapi tidak pernah mengungsi di masa-masa<br />

sebelumnya. Karena dipaksa mengungsi, jumlah pengungsi di beberapa<br />

pengungsian membengkak. “Akibatnya pengungsi terpaksa berdesak-desakan,”<br />

ungkapnya.<br />

Menurut dia, kesadaran tertinggi justru datang pada warga yang tinggal<br />

di kawasan rawan bencana (KRB) Merapi III. Pasalnya, warga di wilayah seluas<br />

kurang lebih 4.672 hektar itu lebih tanggap pada bencana karena memang lebih<br />

BELAJAR DARI ERUPSI <strong>MERAPI</strong> 2010<br />

19


20 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Liputan Utama<br />

Foto: Dwi Oblo<br />

merasakan dampak erupsi Merapi. KRB Merapi III<br />

di Kabupaten Sleman adalah wilayah di Kecamatan<br />

Turi, Pakem, Cangkringan, dan Ngemplak. “Ratarata,<br />

warga KRB III sudah tahu kapan harus<br />

mengungsi, lebih sulit memobilisir warga di KRB I,”<br />

tutur Indra.<br />

Indra mengatakan, warga baru dapat<br />

meninggalkan barak pengungsian untuk<br />

menempati hunian sementara (huntara) yang<br />

disediakan, paling cepat tiga bulan pasca erupsi<br />

Merapi. Baru satu tahun setelah erupsi besar itu,<br />

warga dapat beraktivitas normal kembali.<br />

Tetapi memang, semua aktivitas dilakukan<br />

dari huntara, karena saat Zerorisk berkunjung ke<br />

lereng Merapi, Jumat (13/7) belum ada hunian tetap<br />

(huntap) yang dapat dihuni. Akhir Juli 2012, barulah<br />

beberapa huntap telah dapat ditempati.<br />

Indra mengungkapkan, huntap di Dusun<br />

Jambu, Desa Kepuhharjo, Kecamatan Cangkringan,<br />

Kabupaten Sleman sudah dapat ditempati.<br />

“Seluruhnya ditempati penduduk Dusun Jambu,”<br />

katanya.<br />

Huntap lain, katanya, masih dalam proses<br />

akhir sebelum dapat ditinggali. Ia mengatakan,<br />

masyarakat Dusun Tepung, Kaliadem, saat ini<br />

masih tinggal di huntara. Huntap bagi mereka telah<br />

disiapkan di Dusun Tegal Barep.<br />

Bagi penduduk Pelemsari, disiapkan huntap<br />

di Dusun Karang Kendal, Desa Umbulharjo.<br />

Namun saat ini, warga masih tinggal di huntara<br />

di Dusun Plosokerep, Desa Umbulharjo, Kecamatan<br />

Cangkringan. “Huntap sudah siap, tinggal ditempati,”<br />

jelasnya.<br />

Tetapi, masih ada pula masyarakat yang terpaksa<br />

kembali tinggal di barak pengungsian. Pasalnya,<br />

warga Sridokan, Ukir Sari itu sebelumnya tinggal di<br />

huntara. Huntap bagi warga tersebut, kata Indra,<br />

nantinya akan didirikan di tempat huntara saat ini<br />

berdiri.<br />

Indra bersyukur, rumah yang ditinggali bersama<br />

keluarganya hanya terkena abu vulkanik. Rumah<br />

Indra terletak di sebelah barat daya puncak Merapi,<br />

sementara awan panas menerjang ke selatan.<br />

Namun tidak demikian dengan Ngatini yang<br />

tinggal di desa Kaliadem, Kepuharjo, Sleman, DIY.<br />

Rumah yang ditinggali Ngatini bersama kakak dan<br />

orang tuanya hangus disambar awan panas. Saat<br />

ini, ia masih tinggal di huntara yang disediakan<br />

pemerintah. Untuk menyambung hidupnya,<br />

Ngatini menjajakan buku koleksi foto erupsi Merapi<br />

yang dititipkan seorang fotografer. “Saya nanti<br />

diberi komisi oleh yang punya buku,” kata Ngatini<br />

saat ditemui di pinggir Kali Kuning, Umbulharjo,<br />

Cangkringan.<br />

Tidak banyak yang diharapkan Ngatini. Dia hanya<br />

ingin huntap yang dijanjikan dan sedang dikerjakan<br />

segera selesai agar dapat ia tinggali. Dengan begitu,<br />

ia dapat menjalani hidupnya dengan normal. Karena,<br />

hampir dua tahun lamanya, Ngatini menjalanjan<br />

hidup seadanya. “Apa yang bisa diusahakan ya<br />

dijalankan,” ujar Ngatini.<br />

Kini Kali Kuning hanya ditutupi abu bekas material<br />

Foto: Eka Arios


Foto: Eka Arios<br />

3 KALI KUNING. Beginilah kondisi kali kuning kini,<br />

dipenuhi oleh abu bekas material gunung.<br />

yang dibawa awan panas. Tidak ada lagi lahan teduh<br />

yang ditutupi rindangnya barisan pohon pinus. Bagi<br />

para penambang pasir, tumpukan pasir itu adalah<br />

rezeki. Beberapa truk sudah mulai tampak terparkir<br />

di sekitar Kali Adem dan Kali Kuning menunggu<br />

pasir-pasir diangkut ke dalam baknya. Namun bagi<br />

Ngatini, gundukan pasir itu tidak berarti banyak selain<br />

mengundang wisatawan peminat wisata erupsi. Dari<br />

para wisatawan itulah, selain dari penjualan buku,<br />

Ngatini kemudian mendapatkan rezeki dari menjual<br />

karangan bunga edelweis.<br />

Seperti halnya juga Eko, kedua warga di sekitar<br />

Merapi ini berharap warga lebih siaga dalam<br />

menghadapi gelagat Merapi ke depan. “Sesok kalo<br />

Merapi lebih gede, gak gitu lagi (yang akan datang,<br />

kalau erupsi Merapi lebih besar, tidak begitu lagi).<br />

Kita sudah siap. Masyarakat sudah sadar tentang<br />

kesiapsiagaan, pasca erupsi kemarin sudah tahu,”<br />

kata Indra.<br />

Foto: Eka Arios<br />

3 PARA PENGUNGSI. Suasana di penampungan sementara<br />

warga Merapi pasca erupsi yang lalu.<br />

Foto: Dwi Oblo<br />

BELAJAR DARI ERUPSI <strong>MERAPI</strong> 2010<br />

21


22 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

KESIAPSIAGAAN<br />

WARGA CODE<br />

LETUSAN gunung api bukan hanya mengeluarkan material vulkanik. Banjir lahar<br />

menjadi dampak ikutan yang tidak kalah hebat ketika letusan terjadi di awal<br />

musim penghujan. Deru air bercampur pasir dan batu menyeret apapun di jalurnya.<br />

Pendangkalan sungai dengan cepat terjadi.<br />

Teks ASISI F. WIDANTO<br />

Foto DWI OBLO


3 LAHAR DINGIN.<br />

Beginilah kondisi rumah<br />

warga Kali Code, ketika banjir<br />

lahar dingin Gunung Merapi<br />

pasca letusan 2010 yang lalu.<br />

Material pasir dan lumpur<br />

terbawa air Kali Code dan<br />

meluap masuk ke rumah<br />

penduduk sekitar.<br />

SAT<br />

Sebaiknya Anda Tahu<br />

Kali Code, dimaksudkan<br />

untuk mengantisipasi<br />

meluapnya lahar dingin<br />

Gunung Merapi dan<br />

mengamankan Kota<br />

Yogyakarta. Namun,<br />

tahun 1970-an, Kali Code<br />

dipenuhi sampah rumah<br />

tangga. Budayawan<br />

YB Mangunwijaya<br />

memberdayakan warga<br />

penghuni bantaran kali Code<br />

untuk tidak membuang<br />

sampah. Sepeninggal<br />

Romo, kegiatan dilanjutkan<br />

oleh pegiat sosial yang<br />

tergabung dalam Yayasan<br />

Pondok Rakyat. Warga<br />

sepanjang Kali Code<br />

tergabung dalam Pemerhati<br />

Code pun bersemangat<br />

menciptakan wilayahnya<br />

bersih dengan membuat<br />

program “Nol Sampah di<br />

Kali Code 2010”.<br />

Hari ke Hari<br />

Inilah yang dihadapi warga sekitar Kali Code.<br />

Sungai yang melewati Kota Yogyakarta ini<br />

berhulu di lereng Gunung Merapi. Karenanya,<br />

ketika sekitar 150 juta meter kubik materi piroklastik<br />

dari letusan Gunung Merapi pada 2010 ditambah air<br />

hujan, akibatnya luar biasa.<br />

Beberapa titik di wilayah Magelang, Sleman,<br />

dan Yogyakarta mengalami kerusakan parah akibat<br />

dihantam lahar hujan. Jauh lebih besar dari yang<br />

dikhawatirkan. Hal ini menyadarkan warga sekitar<br />

bantaran sungai bahwa mereka selama ini tidak siap<br />

dengan banjir lahar.<br />

Begitu pula halnya dengan salah satu kelompok<br />

masyarakat yang tinggal di bantaran Kali Code<br />

Yogyakarta, tepatnya di RT 01 RW 01 Kelurahan<br />

Kotabaru. Di hunian yang tidak mencapai 300 meter<br />

dari bibir sungai itu, terdapat 58 keluarga atau sekitar<br />

200 jiwa.<br />

Pada musim hujan yang terjadi sepanjang<br />

akhir 2010 dan awal 2011, terjadi empat kali banjir<br />

lahar yang menimbulkan kerugian akibat rusaknya<br />

sejumlah infrastruktur, termasuk sumber air [belik].<br />

Banjir lahar menyisakan material pasir di lokasilokasi<br />

yang telah dilaluinya. Akibatnya, proses<br />

pemulihan pasca bencana menjadi lebih berat<br />

ketimbang banjir biasa. Selain itu, material vulkanis<br />

mengendap di dasar sungai. Pendangkalan terjadi.<br />

Ketika dating banjir susulan, sungai tak mampu<br />

lagi menampung. Air dan material sisa erupsi mulai<br />

memasuki permukiman.<br />

Parahnya lagi, pasir-pasir tersebut juga<br />

menyumbat saluran-saluran air dari kota menuju Kali<br />

Code. Akibatnya di beberapa titik di bantaran sungai,<br />

terdapat genangan-genangan air limbah.<br />

Menghadapi banjir lahar, masyarakat yang<br />

umumnya pekerja sektor informal itu bergotong<br />

royong. Selain membersihkan permukiman yang<br />

tertimbun pasir, ditambahkan tanggul darurat<br />

dengan karung-karung berisi pasir. Di samping itu,<br />

pemerintah melalui Dinas Pekerjaan Umum juga<br />

mengeruk sungai dengan menggunakan alat berat.<br />

Keadaan ini menyadarkan masyarakat,<br />

pengurangan risiko bencana harus menjadi bagian<br />

kehidupan. Pemerhati Code, salah satu organisasi<br />

masyarakat yang fokus pada pengelolaan Sungai<br />

KESIAPSIAGAAN WARGACODE<br />

23


24 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Hari ke Hari<br />

3 TANGGUL. Beberapa warga berupaya agar banjir lahar dingin<br />

Merapi tidak menerjang lagi perkampungan pinggiran Kali Code<br />

dengan memasang tanggul yang terbuat dari karung yang diisi<br />

pasir.<br />

Code dan masyarakat di sekitarnya pun memasukan<br />

hal ini sebagai bagian kegiatan organisasi. Dilakukan<br />

pula pemetaan partisipatif untuk menilai kerusakan<br />

dan kerugian yang diakibatkan banjir lahar. Kegiatan<br />

organisasi yang beranggota ketua RW, ketua RT,<br />

seniman, dan pegawai sekotr informal ini dilakukan<br />

bersama dengan Jurusan Teknik Geodesi UGM.<br />

Adanya banjir lahar ini pula yang kemudian<br />

mendorong munculnya beberapa organisasi relawan<br />

pemantau lahar. Pemerintah kota dalam hal ini juga<br />

telah membangun sistem peringatan dini. Peran para<br />

pemantau sungai dimaksimalkan, demikian juga<br />

1 BANJIR LUMPUR. Warga yang dibantu<br />

relawan secara bergotong royong membersihkan<br />

lumpur pasir yang masuk ke rumah penduduk<br />

yang terletak di pinggir kali Code yang<br />

membelah kota Yogyakarta


koordinasi dengan pihak-pihak seperti BPPTK dan<br />

BMKG.<br />

Namun bukannya tanpa kendala. Salah satu<br />

yang paling menonjol adalah kendala koordinasi<br />

antarberbagai instansi itu. Karenanya, membangun<br />

kesadaran warga yang tinggal di sepanjang Kali Code<br />

merupakan salah satu hal terpenting.<br />

Diharapkan dengan pendekatan-pendekatan<br />

yang dilakukan oleh para penggiat kebencanaan,<br />

para ketua RT dan Ketua RW dapat dirangkul menjadi<br />

mitra-mitra utama dalam pengurangan risiko<br />

bencana di bantaran Kali Code.<br />

2 KARUNG TANGGUL. Seorang warga<br />

yang dibantu relawan memasukkan pasir ke<br />

dalam karung yang dipakai sebagai tanggul<br />

agar lahar dingin tidak masuk rumah.<br />

25


26 ZERORISK • Vol. Vol. 01 • Agustus 2012 2012<br />

Konservasi<br />

KONSERVASI GAGAL,<br />

BERSIAPLAH MEMANEN<br />

BENCANA<br />

BANJIR yang melanda sejumlah kotakota<br />

besar di dunia termasuk Jakarta<br />

selalu menjadi berita. Entah berapa<br />

besar kerugian yang ditimbulkan<br />

akibat jatuhnya korban jiwa dan harta,<br />

belum lagi biaya di pengungsian dan<br />

pemulihan. Lebih menyedihkan lagi,<br />

bencana terus berulang setiap tahun<br />

dan semakin meluas cakupannya.<br />

Apakah banjir dapat kita sebut bencana alam?<br />

Tidak selalu. Saya membedakan banjir yang<br />

merupakan bencana alam (natural disaster)<br />

dan bencana akibat ulah manusia (man-made<br />

disaster). Bencana banjir bandang dan longsor yang<br />

terjadi di Wasior pada tahun 2010 dapatlah kita sebut<br />

bencana alam. Bencana yang terjadi di Jakarta, lebih<br />

tepat disebut bencana buatan manusia.<br />

Sadar atau tidak, banjir di Jakarta akibat<br />

ulah manusia secara kolektif. Persoalan terjadi di<br />

kawasan hulu, tengah, dan hilir. Di hulu, telah terjadi<br />

perubahan fungsi kawasan yang semula kawasan<br />

resapan air, menjadi villa, rumah, atau kebun. Kini<br />

hanya tersisa hutan di kawasan konservasi, Taman<br />

Nasional Gunung Gede-Pangrango dan TN Halimun-<br />

Salak. Ketika terjadi hujan dengan curah tinggi, air<br />

tidak sempat diserap tanah. Air langsung berlombalomba<br />

memasuki badan-badan sungai.<br />

Teks & Foto SUER SURYADI<br />

Desma Center for Sustainable Tourism & Conservation.<br />

www.desmacenter.com<br />

Di kawasan tengah dan hilir, tepi atau sempadan<br />

sungai yang seharusnya bebas dari bangunan, kini<br />

padat bangunan dan jalan. Badan sungai cenderung<br />

menyempit, semakin dangkal karena pengendapan,<br />

dan penuh dengan sampah yang menghambat<br />

laju air sungai. Pepohonan di tepi sungai dan ruang<br />

terbuka hijau semakin langka. Danau atau situ<br />

alami yang merupakan tempat penampungan air,<br />

telah berubah fungsi, ditimbun untuk kepentingan<br />

manusia.<br />

Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990<br />

tentang Kawasan Lindung, telah mengatur kawasankawasan<br />

yang harus dilindungi termasuk kawasan<br />

hulu, bantaran sungai, dan danau. Kepres tersebut<br />

telah diperkuat peraturan perundang-undangan<br />

mengenai kehutanan, lingkungan, dan tata ruang.<br />

Semua peraturan itu, sengaja atau tidak, telah<br />

dilanggar secara telak dan kolektif tetapi nyaris tidak<br />

ada yang dimintai pertanggungjawaban.<br />

Terlepas dari itu semua, ketika terjadi banjir,<br />

maka itu menjadi persoalan yang menyangkut<br />

nyawa dan kehidupan manusia. Kebanyakan dari<br />

kita cenderung kurang perduli, sampai merasakan<br />

3 Banjir di Ibukota yang sekarang hampir terjadi setiap tahun.<br />

Dok. BNBP


sendiri dampak dari bencana itu, langsung atau tidak<br />

langsung.<br />

Hutan hilang, bencana datang, nyawa<br />

melayang<br />

Bencana serupa juga melanda daerah sekitar<br />

kawasan konservasi yang telah terganggu. Masih<br />

melekat dalam ingatan saya, banjir bandang Sungai<br />

Bohorok pada dini hari tanggal 2 Nopember 2003.<br />

Sungai Bohorok yang berhulu di Taman Nasional<br />

Gunung Leuser (TNGL) itu memuntahkan isi<br />

lambungnya akibat terbendung pohon-pohon yang<br />

tumbang.Air bandang yang membawa batangbatang<br />

kayu itu menghantam penginapan, toko, dan<br />

warung yang ada di badan dan sempadan sungai.<br />

Tidak kurang dari 251 jiwa meninggal atau hilang.<br />

Ketika saya berkunjung ke Bukit Lawang tahun<br />

2006, saya melihat bekas guratan air di batang<br />

pohon yang masih tegak berdiri. Guratan itu sekitar<br />

2 meter dari tanah. Jadi bisa terbayangkan, betapa<br />

dahsyatnya air bah yang melanda. Lapangan yang<br />

terletak di depan Kantor Seksi Pengelolaan TNGL,<br />

badan Sungai Bohorok,dan sempadan sungainya<br />

bersih tanpa bangunan.<br />

3 Pemandangan Taman Nasional Gunung Leuser di Aceh Tenggara.<br />

“Sebelum banjir bandang, lapangan yang ada<br />

di depan Kantor Seksi TNGL, badan dan sempadan<br />

Sungai Bohorok penuh dengan bangunan semi<br />

permanen untuk penginapan dan warung. Sudah<br />

seperti pasar,” tutur Tomin, salah satu petugas TNGL<br />

saksi hidup bencana itu. Tak heran jika korbannya<br />

cukup banyak. Di sempadan sungai, apalagi badan<br />

sungai, seharusnya tidak boleh ada bangunan<br />

sampai minimal 15 meter dari tepi sungai. Ini demi<br />

keselamatan manusia dan kelestarian sungai.<br />

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) seluas<br />

1.094.692 hektar terletak di Provinsi Sumatera Utara<br />

dan Provinsi Aceh. Diproklamirkan sebagai taman<br />

nasional pada tahun 1980, TNGL kini berstatus<br />

sebagai Warisan Dunia dan Cagar Biosfer. Bukit<br />

Lawang salah satu andalan wisata alam Sumatera<br />

Utara dan telah dikenal wisatawan domestik dan<br />

mancanegara. Daya tarik utama Bukit Lawang adalah<br />

kehadiran orangutan sumatera yang dilepasliarkan<br />

tahun 1980-an dan kini hidup semi-liar di dalam<br />

hutan TNGL. Fasilitas dan akomodasi wisata seperti<br />

penginapan, warung, dan toko terletak di sepanjang<br />

Sungai Bohorok yang berseberangan dengan<br />

kawasan TNGL.<br />

KONSERVASI GAGAL, BERSIAPLAH MEMANEN BENCANA<br />

27


28 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Konservasi<br />

3 Kondisi Bukit Lawang terkini. Bangunan semi permanen di<br />

badan dan tepi sungai Bohorok yang menantang bahaya.<br />

Lima tahun setelah banjir bandang, kegiatan<br />

wisata alam kembali menggeliat dan meningkat di<br />

Bukit Lawang. Manisnya pariwisata itu mendorong<br />

masyarakat kembali membangun usahanya.<br />

Sayangnya, usaha penginapan, warung, dan toko<br />

kembali memenuhi badan dan sempadan Sungai<br />

Bohorok. Dorongan ekonomi membuat masyarakat<br />

lupa akan risiko yang mengancam nyawa dan<br />

hartanya. Pemerintah Daerah Kabupaten Langkat<br />

kewalahan mengaturnya. TNGL pun tak punya kuasa.<br />

Kini kawasan wisata Bukit Lawang,sudah nyaris<br />

kembali seperti sebelum banjir bandang.<br />

Menanam bencana<br />

Hutan TNGL yang dikelilingi hutan lindung,<br />

perkebunan, perladangan, dan pemukiman<br />

penduduk adalah hulu dari belasan sungai besar<br />

seperti Sungai Alas, Sungai Tamiang, Sungai Wampu,<br />

Sungai Bohorok, dan Sungai Besitang. Di dalam<br />

hutan tersebut hidup ribuan jenis tumbuhan dan<br />

ratusan jenis satwa termasuk satwa dilindungi khas<br />

Sumatera seperti harimau sumatera, gajah sumatera,<br />

orangutan sumatera, dan badak sumatera.<br />

Dalam keadaan normal, satwa dan tumbuhan<br />

di dalam hutan itu berinteraksi saling mengisi dan<br />

melengkapi dalam siklus rantai makanan sehingga<br />

terciptalah keseimbangan alam. Ketika terjadi<br />

gangguan terhadap hutan beserta isinya, alam akan<br />

bereaksi untuk menemukan keseimbangan baru yang<br />

berdampak kepada manusia. Dampak dari reaksi<br />

alam yang bersifat merugikan itulah yang seringkali<br />

kita sebut bencana. Di sinilah upaya-upaya konservasi<br />

memainkan peranannya di kawasan tersebut,<br />

untuk mencegah atau meminimalisir dampak yang<br />

merugikan kehidupan manusia.<br />

Dalam banyak diskusi dan pertemuan dengan<br />

para pihak, konservasi seringkali diartikan sebagai<br />

kegiatan kontra pembangunan. Seolah-olah selalu<br />

menghalang-halangi niat pemerintah membangun<br />

daerah. Konservasi juga dituding tidak produktif<br />

karena tidak memberikan manfaat langsung berupa<br />

pendapatan dalam jumlah besar sebagaimana<br />

hutan produksi atau pertambangan. Sebagian besar<br />

masyarakat mengartikan konservasi sebagai kegiatan<br />

yang hanya melarang-larang, tak boleh begini dan<br />

begitu.<br />

Benarkah konservasi spesies dan habitatnya tidak<br />

berguna bagi kita? Perdebatan sengit akan terjadi<br />

antara yang pro dan kontra konservasi. Apalagi jika<br />

konservasi diartikan secara sempit.<br />

Secara ilmiah, terdapat pemahaman bahwa<br />

konservasi terdiri atas unsur penyelamatan (save<br />

it) agar dapat dikaji, dipelajari (study it), dan dapat<br />

dimanfaatkan (use it) secara berkesinambungan<br />

dan bertanggung jawab. Dalam bahasa pemerintah<br />

yang dituangkan dalam peraturan perundangundangan,<br />

konservasi terdiri dari unsur pengamanan,<br />

perlindungan/pelestarian, dan pemanfaatan<br />

yang lestari. Dengan kata lain, akhir dari upaya<br />

konservasi adalah pemanfaatan yang bijaksana dan<br />

bertanggung jawab sehingga manfaatnya dapat terus<br />

didapatkan kita semua.<br />

Dalam bahasa awam, saya mengartikan<br />

konservasi sebagai sebuah gerakan penghematan


atas sumberdaya alam yang terbatas jumlahnya.<br />

Sumberdaya alam itu ibarat tabungan kita di bank<br />

yang dapat kita ambil untuk dijadikan modal usaha<br />

yang akan memberikan hasil produktif. Apabila<br />

tabungan itu hanya kita ambil terus-menerus tanpa<br />

pernah mengembalikan, tabungan itu pasti akan<br />

habis. Apalagi jika modal yang didapat dari tabungan<br />

sumberdaya alam itu hanya digunakan sebagai<br />

modal belanja yang tidak produktif dan habis setelah<br />

dipakai.<br />

Kita sering terlena retorika bahwa Indonesia kaya<br />

sumberdaya alam, tetapi lupa bahwa sumberdaya<br />

alam itu ada yang dapat diperbaharui serta ada pula<br />

yang akan habis dan tak mungkin diperbaharui.<br />

Hutan merupakan sumberdaya yang dapat<br />

diperbarui, tetapi perlu waktu lama dan tidak akan<br />

dapat seutuhnya dikembalikan. Oleh karena itu,<br />

fungsi dan manfaat hutan secara langsung dan tidak<br />

langsung harus dapat dikendalikan. Kegagalan kita<br />

melestarikan sumberdaya hutan, baik hutan lindung,<br />

hutan konservasi, hutan produksi, hutan adat, atau<br />

hutan masyarakat, sadar atau tidak sadar, kita telah<br />

menanam bibit-bibit bencana.<br />

Benteng pelindung<br />

Kawasan TNGL lain yang sangat memprihatinkan<br />

adalah daerah Sekoci di Kecamatan Besitang,<br />

Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Area yang<br />

pernah salah urus pada tahun 1975 itu, kini tampak<br />

berupa dataran luas yang sudah tak berpohon.<br />

Gantinya adalah tanaman sawit dan rumah-rumah<br />

yang dibangun secara tidak sah. Tonggak-tonggak<br />

kayu yang besar menandakan pernah ada pohonpohon<br />

berdiameter lebih dari satu meter. Alang-alang<br />

setinggi pinggang menjadi aksesori yang membuat<br />

kawasan itu berwarna hijau semu. Upaya rehabilitasi<br />

lahan yang dilakukan setengah hati tidak tampak<br />

hasilnya.<br />

Berawal dari kedatangan pengungsi akibat<br />

konflik Aceh tahun 1999 di daerah Sei Lepan dan<br />

Sekoci, perlahan namun pasti terjadi perambahan<br />

brutal oleh masyarakat yang bukan pengungsi.<br />

Puncaknya terjadi antara 2006-2010. Tidak kurang<br />

dari 4000 hektar kawasan TNGL diduduki oleh hampir<br />

900 keluarga pengungsi dan ratusan perambah<br />

3 Peta kawasan hutan yang rusak (deforestasi) akibat<br />

perambahan di TNGL pada tahun 2009. Peta dibuat oleh Rina<br />

Purwaningsih-UNESCO.<br />

(lihat peta). Tata batas yang tidak jelas dan sejarah<br />

pengelolaan kawasan di masa lalu menjadi alasan<br />

klaim dari masyarakat menduduki kawasan taman<br />

nasional. Sementara itu, penebangan liar pohonpohon<br />

bernilai ekonomi di dalam taman nasional<br />

untuk diambil kayunya atau dikuasai tanahnya,<br />

3 Ladang Perambahan di Resort Sekoci, Besitang, TNGL.<br />

KONSERVASI GAGAL, BERSIAPLAH MEMANEN BENCANA<br />

29


30 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Konservasi<br />

1 Papan<br />

penunjuk<br />

kawasan restorasi<br />

ekosistem di<br />

resort Cinta Raja,<br />

Sei Serdang,<br />

TNGL. Di area<br />

seluas 50 ha<br />

ini diupayakan<br />

pemulihan<br />

kawasan untuk<br />

mempercepat<br />

suksesi, yang<br />

dikelola dengan<br />

pendekatan<br />

ilmiah.<br />

memperburuk keadaan dan memperluaskawasan<br />

taman nasional yang rusak.<br />

Perubahan kondisi hutan itu mulai menunjukkan<br />

dampaknya pada akhir Desember 2006. Alam<br />

bereaksi sesuai kodratnya mencari keseimbangan<br />

baru. Banjir besar menerjang 15 kecamatan di<br />

Kabupaten Langkat, terutama Besitang yang<br />

merupakan hilir dari Sungai Besitang. Jalan darat<br />

yang menghubungkan Sumatera Utara dengan<br />

Aceh Tamiang terputus. Sedikitnya 19 orang korban<br />

meninggal/hilang, ribuan orang mengungsi dan<br />

kehilangan rumahnya, termasuk sawah/kebun/ladang<br />

yang rusak. Sejak itu, banjir selalu menghantui<br />

kehidupan masyarakat yang tinggal di hilir Sungai<br />

Besitang.<br />

Apakah kita akan mengkambinghitamkan curah<br />

hujan yang tinggi sebagai penyebab banjir? Ah, coba<br />

lihat fakta ini. Berdasarkan analisa citra landsat tahun<br />

2002, sebanyak 14,8% hutan yang ada di Daerah<br />

Aliran Sungai (DAS) Besitang dan 8,9% hutan di DAS<br />

Sei Lepan rusak. Kerusakan hutan di sekitar aliran<br />

sungai tersebut mengganggu badan sungai. Volume<br />

air hujan tidak tertampung lagi.<br />

Sesungguhnya TNGL merupakan urat nadi<br />

kehidupan bagi sembilan kabupaten/kota yang<br />

mengelilinginya. Selain sebagai sumber air, tanaman<br />

obat, bibit pohon, menjaga kesuburan tanah, dan<br />

tujuan wisata, TNGL juga benteng yang dapat<br />

melindungi manusia dari bencana. Dalam penelitian<br />

mengenai nilai ekonomi Kawasan Ekosistem Leuser<br />

termasuk TNGL, bila fungsi dan jasa-jasa lingkungan<br />

tersebut dikelola secara lestari selama 30 tahun,<br />

hasilnya mencapai Rp 85 Triliun, sedangkan nilai<br />

kayunya berkisar Rp 31 Triliun.<br />

Namun, apa boleh buat. Faktanya, masyarakat<br />

perorangan, kelompok, dan perusahaan sama-sama<br />

menjarah kawasan yang kurang terjaga. Penebangan<br />

kayu yang pasti tanpa ijin, serta perambahan<br />

untuk perkebunan dan pemukiman, terus terjadi.<br />

Beberapa perusahaan perkebunan sawit, dengan<br />

segala dalih, “memperluas” konsesinya mulai dari<br />

50 hektar hingga 200 hektar masuk ke kawasan<br />

TNGL. Peristiwa itu demikian maraknya sejak awal<br />

milenium ketika bayi reformasi masih tertatih-tatih<br />

dengan euforia otonomi daerah. Alam pun bereaksi.<br />

Hanya berselang lima tahun, kita mulai menuai<br />

bencana. Terdengar berita banjir dan longsor di<br />

pantai timur Aceh di Kabupaten Bireun, Gayo Lues,<br />

Lhok Seumawe, Aceh Timur , Aceh Tamiang, dan<br />

Kabupaten Langkat-Sumatera Utara.<br />

Dengan segala keterbatasan yang ada untuk<br />

memulihkan kawasan, pengelola TNGL bekerjasama<br />

dengan UNESCO mendemonstrasikan program<br />

restorasi untuk memulihkan kawasan yang telah<br />

dirambah perusahaan kebun sawit di Cinta Raja.<br />

Pendekatan dan metoda ilmiah yang dilakukanMitra<br />

TNGL pun tak tinggal diam. Yayasan Orangutan<br />

Sumatera Lestari, mengupayakan pemulihan<br />

kawasan di daerah Sei Betung yang juga dirambah<br />

perusahaan sawit. Sementara TNGL, dengan<br />

program rehabilitasi lahan (baca: Gerhan, gerakan<br />

rehabilitasi lahan), telah mengupayakan penanaman<br />

di area eks perambahan.<br />

3 Gajah sumatera, salah satu jenis satwa khas Sumatera yang<br />

dilindungi di TNGL.


Gerakan rehabilitasi lahan yang dibiayai negara,<br />

cenderung berskala luas, bersifat keproyekan dengan<br />

indikator-indikator yang secara konsep sangat bagus.<br />

Jenis-jenis pohon yang ditanam cenderung kurang<br />

beragam, lebih pada jenis buah-buahan seperti<br />

durian, nangka (antroposentrik). Persoalan utamanya<br />

adalah implementasinya minim kontrol dengan<br />

tingkat keberhasilan tanam yang rendah.<br />

Sesungguhnya, negara akan jauh lebih hemat<br />

membiayai program konservasi daripada biaya untuk<br />

penanggulangan bencana (baca: tanggap darurat -<br />

red) dan pemulihan kawasan yang terlanda bencana<br />

atau rusak. Itupun jika kita mau mempertimbangkan<br />

dan menghormati jiwa manusia yang dapat menjadi<br />

korban.Namun program-program konservasi<br />

harus dilakukan dengan semangat melindungi<br />

sesama makhluk Tuhan, bukan sekadar memenuhi<br />

administrasi keproyekan.<br />

Konservasi untuk manusia<br />

Tampaknya masih ada keraguan bahwa<br />

konservasi atau pelestarian alam bermanfaat bagi<br />

kehidupan kita. Keserakahan manusia untuk manusia<br />

membuatnya enggan bersahabat dengan alam. Kita<br />

masih menganggap cerita-cerita kearifan tradisional<br />

dan keakraban nenek moyang kita dengan alam<br />

sebagai legenda dari<br />

mulut ke mulut? Atau<br />

lebih menyedihkan lagi<br />

jawaban, “Ah, itu kan<br />

SAT<br />

Sebaiknya Anda Tahu dulu”.<br />

Saya terkesan pada<br />

cerita mengenai BrigJen<br />

Taman Nasional Gunung<br />

Leuser biasa disingkat TNGL Suroyo Gino, Wakil<br />

adalah salah satu Kawasan<br />

Panglima Komando<br />

Pelestarian Alam di<br />

Indonesia seluas 1.094.692 Darurat Sipil, yang<br />

Hektar yang secara<br />

melihat sekelompok<br />

administrasi pemerintahan<br />

terletak di dua Provinsi burung berwarna putih<br />

NAD dan Sumatera Utara.<br />

Salah satu Objek dan Daya terbang berarakan dari<br />

Tarik Wisata Alam (ODTWA) arah laut menuju kota<br />

yang terkenal adalah Pusat<br />

Pengamatan Orangutan sesaat sebelum tsunami<br />

Sumatera - Bukit Lawang menerjang Banda Aceh<br />

di Kawasan Wisata Alam<br />

Bukit Lawang - Bohorok, tanggal 26 Desember<br />

Kabupaten Langkat,<br />

2006. Brigjen Suroyo<br />

Sumatera Utara.<br />

yang akan melepas<br />

3 Penyadaran konservasi kepada anak-anak sekolah yang<br />

dilanjutkan penanaman di area restorasi ekosistem di Resort<br />

Cinta Raja, Sei Serdang, TNGL.<br />

kepulangan 700 prajurit ke Kupang dari Pelabuhan<br />

Malahayati, melihatnya sebagai pertanda dari alam<br />

agar menghindari laut. Ia selamat dari bahaya.<br />

Alam memberi pertanda agar kita menyingkir<br />

dari laut ketika tiba-tiba air laut surut sesaat<br />

sebelum gelombang tsunami menerjang. Satwa<br />

liar berhamburan ketika gunung berapi mulai<br />

menggelegak membahayakan kehidupan. Siapa yang<br />

akan memberi peringatan dini pada kita, jika burungburung<br />

dan satwa liar lainnya kita tangkap melebihi<br />

kemampuannya beranak pinak? Bagaimana ketika<br />

habitat satwa liar semakin menyusut dan kemudian<br />

lenyap?<br />

Kepandaian manusia masih terbatas dan<br />

belum mampu menggantikan kemampuan alam<br />

berinteraksi secara alamiah. Bronjongan batu yang<br />

melintang menjorok ke arah laut untuk memecah<br />

gelombang, tidak dapat menggantikan fungsi pohon<br />

bakau menahan gelombang? Apalagi vegetasi bakau<br />

memberi nilai tambah dengan hadirnya udang dan<br />

kepiting yang bernilai ekonomi.<br />

Singkat kata, teknologi canggih belum dapat<br />

menggantikan fungsi-fungsi dan jasa-jasa lingkungan<br />

yang diberikan oleh alam. Oleh karena itu, kita wajib<br />

menjaga berlangsungnya fungsi-fungsi alam dan<br />

jasa lingkungannya, tidak untuk alam, tidak untuk<br />

satwa liar, tapi untuk kepentingan hidup manusia.<br />

Keserakahan manusia perlu diredam. Mau tidak mau,<br />

suka tidak suka, kita harus bersahabat dengan alam,<br />

menjaganya, dan merawatnya. Kalau tidak mau, ya<br />

bersiap-siaplah menuai bencana-bencana.<br />

KONSERVASI GAGAL, BERSIAPLAH MEMANEN BENCANA<br />

31


32 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

picasaweb.google.com<br />

Wawancara<br />

Khusus<br />

PERSIAPAN PASCA HFA<br />

Margareta Wahlström<br />

PEJABAT SEKRETARIAT JENDERAL PBB UNTUK PENGURANGAN RISIKO BENCANA<br />

Teks VICTOR REMBETH<br />

Margareta Wahlström.<br />

Pengurangan risiko bencana (PRB) didasarkan pada Kerangka<br />

Aksi Hyogo atau Hyogo Framework for Actions. Kerangka ini<br />

disepakati 168 negara untuk menjadi acuan kegiatan PRB<br />

dari tahun 2005-2015. Indonesia adalah salah satu negara<br />

yang menandatangani deklarasi tersebut dan meratifikasinya<br />

melalui UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana.<br />

Sehubungan dengan itu, ZeroRisk mewancarai Pejabat untuk<br />

Pengurangan Risiko Bencana pada Sekretariat Jenderal PBB,<br />

Margareta Wahlström. Berikut petikannya:<br />

Kerangka Aksi Hyogo akan berakhir pada tahun 2015, apa rencana<br />

selanjutnya?<br />

Langkah-langkah menuju ke arah ini sudah disiapkan, karena sudah ada<br />

konsensus untuk menghadapi pasca HFA. Namun hingga kini belum diketahui<br />

apakah konsepnya sama dengan deklarasi HFA yang sekarang untuk menghadapi<br />

kondisi 10 tahun ke depan. Yang jelas “concept note” tentang kerangka aksi pasca<br />

HFA sudah diinformasikan kepada para pemangku kepentingan. Bebarapa hal<br />

penting yang dibahas adalah isu yang berhubungan dengan adaptasi perubahan<br />

iklim dan “evolution of risk”. Saat konsultasi menuju “pasca HFA” diperlukan fokus<br />

flickr.com


3 GLOBAL PLATFORM FOR DISASTER RISK REDUCTION. Koalisi lembaga Internasional bertemu di Jenewa, Swiss pada 2009<br />

lalu untuk membahas pengurangan risiko dan kemiskinan di tengah situasi perubahan iklim global.<br />

dan petunjuk yang jelas, sehingga konsepnya bisa<br />

difinalkan pada tahun 2013. Kerangka aksi Pasca HFA<br />

ini dibangun berdasarkan materi HFA yang sekarang<br />

dengan fokus pada area yang belum menunjukkan<br />

kemajuan dan bakal diadopsi pada Konferensi<br />

Bencana Sedunia keempat. Karena itu, selama tiga<br />

tahun ini akan menjadi waktu yang penting untuk<br />

konsolidasi dan evaluasi.<br />

Nantinya, proses penyusunan kerangka aksi<br />

pasca HFA akan melibatkan pemerintah lokal,<br />

parlemen, swasta, ilmuwan serta sektor-sektor<br />

terkait.<br />

Menurut Anda, apa yang harus diutamakan<br />

dalam kebijakan untuk mengurangi risiko bencana,<br />

penyelamatan korban, penguatan kapasitas,<br />

kebijakan kesiapsiagaan, mitigasi bencana dan<br />

adaptasi perubahan iklim?<br />

Sebenarnya setiap kebijakan tergantung pada<br />

negara-negara yang bersangkutan dan apa yang<br />

telah dicapai negara tersebut. Memang untuk<br />

sejumlah negara, prioritas untuk memperkuat<br />

kesiapsiagaan perlu lebih diefektifkan. Banyak<br />

negara lain sudah baik dalam mengimplementasikan<br />

MARGARETA WAHLSTRÖM<br />

33<br />

iisd.ca<br />

iisd.ca


34 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Wawancara<br />

Khusus<br />

kesiapsiagaan ini, namun sistem peringatan dini<br />

belum berjalan dengan baik karena terlalu percaya<br />

pada teknologi dan kurang melibatkan peran serta<br />

masyarakat.<br />

Jepang merupakan salah satu contoh negara<br />

yang baik dimana masyarakat ikut dilibatkan dengan<br />

pemerintah dan organisasi berbasis komunitas<br />

(Community Based Organization) dalam teknologi<br />

peringatan dini. Masyarakat pun sudah diikutsertakan<br />

dalam pelatihan mengenai kebencanaan. Beberapa<br />

negara lain sudah memiliki kebijakan tentang sistem<br />

peringatan dini, namun masih memerlukan pelatihan<br />

dan dukungan dari organisasi/lembaga internasional.<br />

Beberapa kendala yang saat ini masih ada antara<br />

lain kualitas dan kapasitas sumber daya manusia.<br />

Kemudian belum memadainya akses terhadap<br />

informasi, yaitu belum tersedianya informasi yang<br />

bersifat terbuka. Kemudian masih adanya hambatan<br />

terhadap penguatan kapasitas, baik teknis maupun<br />

masyarakat. Khusus untuk yang ketiga ini, saya lihat<br />

kita masih kekurangan waktu untuk belajar. Karena<br />

itu, kita memerlukan jaringan dan pengaruh yang<br />

kuat untuk mengubah masyarakat di mana jaringan<br />

picasaweb.google.com<br />

ISDR akan menolong dengan pekerjaan yang lebih<br />

terfokus.<br />

Hal lain yang menjadi persoalan yaitu lambatnya<br />

pengintegrasian antara perubahan iklim dengan<br />

pengurangan risiko bencana. Hal ini terjadi karena<br />

hambatan institusional dan ketersediaan informasi<br />

dimana dalam hal ini proses pengintegrasian<br />

perubahan iklim terlalu formal, sementara PRB<br />

begitu informal. Karena itu, diperlukan penegakkan<br />

kebijakan yang kuat pada tingkat nasional. Terakhir,


isiko bencana harus menjadi bagian dari program<br />

pembangunan khususnya manajemen risiko dan PRB.<br />

Selain itu, ada dua hal lain yang perlu<br />

diperhatikan yakni kita harus mengerti manajemen<br />

risiko akan berbeda sesuai konteks. Karenanya,<br />

penggunaan bahasa yang berbeda juga sesuai<br />

konteks (contoh: konteks kota dan desa) harus<br />

diterapkan. Sehingga masyarakat pun bisa<br />

dimobilisasi dengan perbedaan ini.<br />

Kedua, sektor bisnis harus dilibatkan dalam<br />

manajemen risiko sebab sektor ini mewakili pelaku<br />

ekonomi yang dapat mengembangkan rencana<br />

usaha mereka, khususnya untuk memberi rasa<br />

aman terhadap para pekerja dan juga komunitas<br />

sekitar kawasan bisnisnya. Namun kita harus juga<br />

mempertanyakan mengapa mereka melakukan itu,<br />

apakah untuk kepentingan pribadi atau kepentingan<br />

lainya.<br />

Akankah resesi global mempengaruhi<br />

dukungan UNDP untuk prakarsa PRB di masa<br />

mendatang?<br />

Dalam menghadapi hal ini, PBB kemungkinan<br />

melakukan shifting focus. Dan menurut saya, PBB<br />

harus dapat memberikan nilai tambah dalam<br />

dukungannya pada program untuk setiap negara.<br />

Indonesia memiliki pengalaman dalam<br />

penanganan bencana, pelajaran penting apakah<br />

yang bisa diperoleh?<br />

Sisi positifnya adalah Indonesia mengalami<br />

perubahan perspektif dari sebelum dan sesudah<br />

tsunami. Perubahan itu melingkupi penerapan dan<br />

melakukan beragam investasi untuk PRB. Namun<br />

perlu dicatat, banyaknya isu seputar bencana akan<br />

membuat sulit menentukan prioritas yang jelas sebab<br />

Indonesia merupakan negara yang besar. Contohnya<br />

hingga kini belum ada integrasi antar adaptasi<br />

perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana<br />

karena begitu kompleksnya elemen-elemen yang<br />

ada. Namun, Indonesia telah mengajarkan kepada<br />

dunia mengenai kesulitan dalam melaksanakan PRB<br />

di tingkat lokal, terutama dalam kaitannya dengan<br />

proses desentralisasi. Karena itu, beberapa praktek<br />

PRB telah berjalan dengan baik di Indonesia, seperti<br />

terlihat dalam beberapa pelaksanaan PRB.<br />

MARGARETA WAHLSTRÖM<br />

35<br />

Foto-foto: flickr.com


36 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Kearifan Lokal<br />

Enggel mon sao surito (dengarlah suatu kisah)<br />

Inang maso semonan (pada zaman dahulu kala)<br />

Manoknop sao fano (tenggelam suatu desa)<br />

Uwilah da sesewan (begitulah dituturkan)<br />

Unen ne alek linon (Gempa yang mengawali)<br />

Fesang bakat ne mali (disusul ombak raksasa)<br />

Manoknop sao hampong (tenggelam seluruh negeri)<br />

Tibo-tibo maawi (secara tiba-tiba)<br />

Angalinon ne mali (jika gempanya kuat)<br />

Oek suruk sauli (disusul air yang surut)<br />

Maheya mihawali (segeralah cari tempat)<br />

Fano me senga tenggi (dataran tinggi agar selamat)<br />

Ede smong kahanne (itulah smong namanya)<br />

Turiang da nenekta (sejarah nenek moyang kita)<br />

Miredem teher ere (ingatlah ini semua)<br />

Pesan navi-navi da (pesan dan nasihatnya)<br />

Smong dumek-dumek mo (tsunami air mandimu)<br />

Linon uwak-uwakmo (gempa ayunanmu)<br />

Elaik keudang-keudangmo (petir kendang-kendangmu)<br />

Kilek suluh-suluhmo (halilintar lampu-lampumu) 1<br />

1 Dikutip dari buku “The Smong Wave From Simeulue”, Penulis; Teuku Abdullah Sanny, diterbitkan oleh Pemerintah<br />

Daerah Kabupaten Simeulue.


SMONG<br />

Budaya Yang Menyelamatkan<br />

Teks & Foto FATWA FADILLAH<br />

SYAIR di samping adalah penggalan dari syair nyanyian atau disebut nandong<br />

dalam bahasa lokal. Nandong ini telah mampu menyelamatkan masyarakat di<br />

Pulau Simeulue dari terjangan tsunami pada Desember 2004 silam. Hanya tujuh<br />

orang warga Simeule yang menjadi korban, bandingkan dengan sekitar 250 ribu<br />

warga yang meninggal di Nanggroe Aceh Darussalam. Secara turun temurun syair<br />

nandong ini disampaikan sebagai lagu pengantar tidur bagi anak-anak sehingga<br />

menjadi memori kolektif yang terus terbangun sampai saat ini.<br />

3 Pulau Simeulue. Berada<br />

kurang lebih 150 km dari<br />

lepas pantai barat Aceh,<br />

Kabupaten Simeulue berdiri<br />

tegar di Samudera Indonesia.<br />

Kabupaten Simeulue<br />

merupakan pemekaran dari<br />

Kabupaten Aceh Barat sejak<br />

tahun 1999.<br />

Smong atau lebih dikenal dengan tsunami, hadir di kehidupan masyarakat<br />

Simeulue sejak tahun 1907. Kendati demikian, sebelum itu smong pernah<br />

terjadi untuk pertama kalinya pada tahun 1883 dan selanjutnya pada<br />

1907. Tsunami 1907 itu disinyalir terjadi akibat adanya pergerakan lempeng Indo-<br />

Australia dan lempeng Eurasia.<br />

3 EVAKUASI PASCA GEMPA. Suasana yang sempat terekam pada saat evakuasi warga Simeulue<br />

pasca gempa 2004 yang lalu.<br />

SMONG BUDAYA YANG MENYELAMATKAN<br />

37


38 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Kearifan Lokal<br />

Berdasarkan catatan sejarah, pada Jumat 14<br />

Januari 1907, masyarakat di daerah Salur Kecamatan<br />

Teupah Selatan merasakan adanya guncangan<br />

gempa yang cukup kuat.<br />

Ketika itu, mereka sedang menunaikan ibadah<br />

shalat Jumat. Sesaat setelah gempa terjadi,<br />

terlihat air laut surut. Masyarakat berduyun-duyun<br />

berlari ke arah pantai untuk mengambil ikan yang<br />

menggelapar-gelepar. Dalam hitungan menit, air laut<br />

yang tadinya surut kembali dalam wujud gelombang<br />

besar. Masyarakat yang sedang sibuk mengambil<br />

ikan di pantai sontak terkejut dan berusaha<br />

untuk berlari menghindari daerah pantai. Akan<br />

tetapi, kecepatan masyarakat berlari tak mampu<br />

mengimbangi kecepatan gelombang smong yang<br />

datang. Korban nyawa, kehancuran bangunan dan<br />

kehilangan harta bencana tak dapat terelakkan.<br />

Setelah kejadian tahun 1907 tersebut, Simeulue<br />

masih terus dilanda gempa bumi dengan skala yang<br />

beragam. Masyarakat yang masih trauma dengan<br />

kejadian tersebut, kemudian mengembangkan cerita<br />

pengalaman 1907 secara lisan sebagai smong. Ada<br />

yang disampaikan melalui nafi-nafi/nasihat dan<br />

nandong (syair/buai). Smong dalam bahasa lokal<br />

Pulau Simeulue berarti imbauan agar segera lari<br />

ke arah bukit setelah gempa karena sebentar lagi<br />

air laut naik atau pasang. Warga Pulau Simeulue<br />

2 BEKAS TSUNAMI 2004.<br />

Pemandangan di salah satu<br />

sudut pantai di Simeulue.<br />

sangat paham dengan istilah smong walaupun jarak<br />

antardesa berjauhan. Ini dihasilkan dari sebuah<br />

proses sosialisasi yang menjunjung asas kekerabatan<br />

di Pulau Simeulue. Kewaspadaan pun terbangun.<br />

“Saya mendapatkan cerita (baca smong) dari<br />

kakek saya saat waktu senggang dan berkumpul<br />

dengan keluarga. Saya masih kecil ketika itu,” tutur<br />

Arsin, seorang nelayan yang tinggal di Desa Bunon,<br />

Kecamatan Simeulue Timur. “Saya melanjutkan<br />

cerita smong kembali kepada anak-anak saya.<br />

Saya sendiri belum mengetahui apa itu smong<br />

yang disebut sebagai tsunami. Saya belum pernah<br />

mengalaminya hingga kejadian tahun 2004 lalu.<br />

Namun saya percaya apa yang telah dikatakan oleh<br />

kakek dan ayah saya tentang hal ini adalah benar,”<br />

tambah Arsin.<br />

Mulai dari kakek, nenek, ayah, ibu menceritakan<br />

kepada cucu dan anak-anaknya pada waktu senggang<br />

atau menjelang tidur. Cerita lisan turun-temurun<br />

tersebut tidak hanya sekadar menjelaskan tentang<br />

sejarah kedahsyatan gelombang smong ketika itu.<br />

Nasihat terkait gejala-gejala alam yang mendahului<br />

sebelum smong dan apa yang harus dilakukan ketika<br />

gempa terjadi juga disampaikan. Memori kolektif<br />

terbangun selama hampir seratus tahun.<br />

Akhirnya, smong menjadi kata sandi yang<br />

dipahami bersama oleh seluruh penduduk di Pulau


Simeulue untuk menggambarkan gelombang pasang<br />

setelah terjadinya gempa besar. Karenanya, pada<br />

tsunami 2004 lalu, proses evakuasi besar-besaran<br />

dalam kurun waktu kurang dari 10 menit dilakukan<br />

secara serentak di seluruh wilayah pantai Pulau<br />

Simeulue. Mengingat infrastruktur telekomunikasi<br />

di Kabupaten Simeulue sangat terbatas, peristiwa<br />

2 4 SIMULASI. Beberapa<br />

aktivitas warga pada saat<br />

mengikuti simulasi evakuasi<br />

gempa bumi dan tsunami.<br />

SAT<br />

Sebaiknya Anda Tahu<br />

Budaya Smong sebagai<br />

budaya penyelamat<br />

manusia dari ancaman<br />

tsunami kemudian diakui<br />

dunia melalui penghargaan<br />

SASAKAWA AWARD.<br />

Penghargaan ini diberikan<br />

oleh masyarakat dunia<br />

melalui ISDR (International<br />

Strategy for Disaster<br />

Reduction) kepada<br />

masyarakat Kabupaten<br />

Simeulue. Penghargaan<br />

tersebut adalah wujud<br />

pengakuan dunia<br />

internasional pada kearifan<br />

lokal smong sebagai sistem<br />

peringatan dini tsunami.<br />

mobilisasi massa tersebut adalah peristiwa yang luar<br />

biasa.<br />

Tanpa adanya sistem peringatan dini tsunami<br />

yang memadai, budaya smong yang merupakan<br />

salah satu bentuk kearifan lokal (local wisdom)<br />

masyarakat Kabupaten Simeulue telah mengambil<br />

alih fungsi teknologi Tsunami Early Warning System<br />

(TEWS) yang sangat mahal. Merealisasikan smong<br />

pun tidak memerlukan kemampuan tinggi seperti<br />

dalam menggunakan TEWS.<br />

2 PETA<br />

EVAKUASI. Peta<br />

ini dibuat oleh<br />

masyarakat secara<br />

partisipatif untuk<br />

Pengurangan<br />

Risiko Bencana.<br />

SMONG BUDAYA YANG MENYELAMATKAN<br />

39


40 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Fenomena<br />

DAM BILIBILI<br />

SULAWESI SELATAN<br />

Manfaat, Kendali Bencana, dan Ancaman Bencana Baru<br />

JUTAAN kubik lumpur dan air melanda Kota Makassar, Sungguminasa, dan<br />

Takalar. Rumah, gedung sekolah, pusat perdagangan tersapu. Anak-anak, orang<br />

tua, dan kerabat terbawa arus banjir bandang. Ini sangat tidak diharapkan. Namun,<br />

bukan suatu hal yang mustahil.<br />

Teks dan Foto MUHAMMAD RAMLI<br />

3 LOKASI. Dam BiliBili<br />

adalah bendungan terbesar<br />

di Sulawesi Selatan, yang<br />

terletak di Kabupaten Gowa,<br />

sekitar 30 kimlometer ke arah<br />

timur Kota Makassar (Ujung<br />

Pandang).<br />

3 Dam BiliBili, sejuta pesona sejuta bencana.<br />

Banjir bandang dari sebuah penampung air - Dam BiliBili – yang berpotensi<br />

melanda Kota Makassar, Sungguminasa, dan Takalar mirip dengan<br />

musibah yang menimpa penduduk Situ Gintung, Tangerang, Banten.<br />

Dam BiliBili dibangun setelah beberapa kali banjir melanda Kota Makassar.<br />

Dam ini menjadi bendung pengendali banjir yang dibangun di hulu Sungai<br />

Jeneberang. Ketika jebol, dari atas bukit, air segera menerjang Kota Makassar.<br />

Tidak hanya fungsi utama sebagai pengendali banjir, kini Dam BiliBili juga<br />

bermanfaat untuk irigasi pertanian, wahana rekreasi, pembangkit listrik, dan


sumber air minum. Semakin lama digunakan,<br />

kenyamanan timbul. Masyarakat mulai terlena<br />

dengan potensi bencana yang bisa muncul dari Dam<br />

BiliBili.<br />

Lebih parah lagi, selain tanah longsor pada lereng<br />

alam, terjadi pula longsor di lereng akibat aktivitas<br />

penambangan pasir dan batu. Kedua hal ini akan<br />

mengganggu daya tampung Sungai Jeneberang<br />

sebagai bagian tak terpisahkan dari Dam BiliBili.<br />

Sebenarnya, bencana banjir dan tanah longsor<br />

masih terjadi di hulu Sungai Jeneberang. Tahun<br />

2006, tanah longsor menelan korban jiwa dan harta<br />

benda. Musibah ini memberi kesan mendalam bagi<br />

2 PEMBANGKIT<br />

LISTRIK. Selain sebagai<br />

sarana irigasi, bendungan<br />

ini juga berfungsi sebagai<br />

pembangkit listrik.<br />

masyarakat di sekitar Dam BiliBili. Apalagi, fenomena<br />

ini tentu berpotensi terjadi pada masa mendatang.<br />

Hanya waktu pastinya masih menjadi rahasia Ilahi.<br />

Pada longsor 2006, tidak ada aktivitas<br />

masyarakat pada kaldera. Ini menunjukkan bahwa<br />

longsor murni sebagai proses alam. Kajian teknis<br />

tentang kestabilan tebing kaldera tidak dapat<br />

diketahui langsung oleh masyarakat. Namun,<br />

keadaan pepohonan pada tebing dapat menjadi<br />

indikator yang dapat dikenali oleh masyarakat<br />

sekitar. Bilamana pepohonan menunjukkan posisi<br />

miring, bagian tebing tersebut akan mengalami<br />

longsoran.<br />

DAM BILIBILI SULAWESI SELATAN<br />

41


42 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Fenomena<br />

3 Rumah yang tertimbun longsor tahun 2006 di daerah<br />

Lengkese.<br />

Potensi bencana yang lebih besar adalah banjir<br />

bandang akibat jebolnya bendung baik bendung<br />

alam maupun rekayasa teknologi. Debit banjir akan<br />

sangat besar.<br />

Bendung alam di bagian hulu sungai bisa<br />

mengalami runtuhan material dinding sungai. Pohonpohonan<br />

juga bisa menutupi aliran sungai. Akumulasi<br />

air sungai dalam jumlah besar akan memberi tekanan<br />

raksasa sehingga akhirnya menjebol bendungbendung<br />

alam. Besar debit banjir akan melonjak.<br />

Stabilitas debit aliran sungai sesungguhnya bisa<br />

dijaga dengan rutin membersihkan saluran sungai,<br />

terutama menjelang musim penghujan dan setelah<br />

terjadi gempa bumi.<br />

Ini penting dilakukan. Sebab, kendati kondisi<br />

1 Sungai Jeneberang bagian<br />

tengah dengan kapasitas yang<br />

besar.<br />

3 Tampak sebuah lahan persawahan yang tertimbun longsor<br />

tahun 2004 di Daerah Lengkese.


agian tengah Sungai Jeneberang sangat lebar<br />

dan panjang sebelum mencapai Waduk BiliBili.<br />

Karenanya, risiko bencana membesar ketika<br />

kapasitas tereduksi.<br />

Risiko lainnya adalah dam jebol. Gejala awalnya<br />

dapat diamati masyarakat yang bermukim di bagian<br />

hilir dam. Debit air sungai meningkat dari biasanya.<br />

Hal ini mencirikan adanya rembesan air yang dapat<br />

berasal dari keretakan dam.<br />

Untuk mencegahnya, kerja rutin instansi<br />

pemerintah terkait untuk membuat kebijakan dan<br />

rekayasa teknis. Aktivitas masyarakat yang dapat<br />

berdampak pada penurunan fungsi dam juga tidak<br />

bisa ditolerir. Kegiatan penambangan sirtu di bagian<br />

atas dam dapat mengurangi suplai sedimen ke dalam<br />

Waduk BiliBili. Namun, kegiatan di bagian hilir dapat<br />

berdampak negatif terhadap kondisi dam mengingat<br />

suplai material ke bagian hilir tidak berlangsung lagi.<br />

Daerah yang berisiko terkena imbas adalah<br />

permukiman penduduk sekitar Kota Malino. Kota<br />

Makassar juga bisa terdampak dalam skala lebih<br />

kecil.<br />

Karenanya, menjadi penting bagi segenap pihak<br />

dapat menjaga kelestarian fungsi dam melalui<br />

aktivitas kesehariannya.<br />

3 Kegiatan penambangan di bagian hilir Dam BiliBili<br />

3 Kegiatan penambangan<br />

pasir dan batu di bagian hulu<br />

Dam Bili-Bili.<br />

SAT<br />

Sebaiknya Anda Tahu<br />

Bendungan terbesar<br />

di Sulawesi Selatan ini<br />

termasuk Kabupaten Gowa,<br />

sekitar 30 kilometer timur<br />

Kota Makassar. Kendati<br />

mulai dibangun 1988<br />

dan rampung pada 1995,<br />

bendungan ini diresmikan<br />

pada 1989. Berbiaya dana<br />

pinjaman luar negeri Rp<br />

780 miliar, pembangunan<br />

dilakukan atas kerja sama<br />

dengan Japan International<br />

Cooperation Agency (JICA)<br />

dengan kontraktor Hazana,<br />

PT. Brantas Abipraya.<br />

Selain sebagai sarana<br />

irigasi, bendungan ini juga<br />

mengendalikan banjir<br />

Sungai Jeneberang dan<br />

sumber air baku PDAM<br />

Gowa dan Makassar serta<br />

pembangkit listrik.<br />

DAM BILIBILI SULAWESI SELATAN<br />

43


44 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Sosok<br />

Teks TNA<br />

Foto DOK. BNPB<br />

PERJUANGAN<br />

MEMAHAMKAN<br />

MITIGASI BENCANA<br />

SUGENG TRIUTOMO<br />

Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Bencana BNPB<br />

Siapa yang tidak mengenal Sugeng Triutomo, DESS dalam<br />

dunia penanggulangan bencana di Indonesia. Selama<br />

belasan tahun pria yang kini menduduki jabatan sebagai<br />

Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Bencana<br />

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bersusah<br />

payah dan kerja keras mempopulerkan penanganan bencana<br />

dan pengurangan dampaknya. Namun kini setelah lama ia<br />

berkecimpung, hasilnya sudah mulai terlihat. Masyarakat<br />

dan pemerintah mulai kian peduli pada pengurangan risiko<br />

bencana.<br />

Menurut Sugeng salah satu peristiwa yang tidak pernah dilupakannya yaitu<br />

gempa bumi dan tsunami dahsyat yang melanda tanah Serambi Mekah<br />

26 Desember 2004. Bencana itu bukan hanya mengejutkan Indonesia,<br />

namun juga dunia di mana di Indonesia saja, lebih dari 125.000 jiwa melayang.<br />

Sugeng mengakui, masyarakat Indonesia belum siap kala itu. Tidak ada abaaba.<br />

Metode peringatan dini belum dapat perhatian. Akhirnya, kata Sugeng,<br />

satu-satunya upaya yang dapat dilakukan adalah fokus terhadap tanggap bencana<br />

dimana dirinya terlibat di sana.<br />

Sebenarnya Sugeng tidak sengaja terjun dan menenggelamkan diri di<br />

dunia kebencanaan. Sebagai sarjana ilmu tanah lulusan Fakultas Pertanian<br />

dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, saat lulus kuliah, ia tidak pernah<br />

membayangkan akan melanjutkan hidupnya mengurus mitigasi bencana.<br />

Pekerjaan pertamanya sangat jauh dari aspek kebencanaan. Lulus dari<br />

pendidikan sarjana di UGM 1978, Sugeng bekerja sebagai konsultan di PT<br />

Consulting Engineers ISUDA pada 1979. Namun ia tidak lama berkarir di sana


karena pada 1981 ia memutuskan bekerja sebagai<br />

pejabat pemerintah di Badan Pengkajian dan<br />

Penerapan Teknologi (BPPT) di bidang tanah dan<br />

sumber daya alam, mitigasi bencana, dan regional<br />

perencanaan. Bagi Sugeng, bekerja di BPPT adalah<br />

panggilan hidupnya karena bersentuhan terus<br />

dengan ilmu pengetahuan dan penelitian.<br />

Dari kiprahnya di lembaga teknologi negara itu,<br />

Sugeng mulai banyak mempelajari hal-hal terkait<br />

sumber daya alam. Dari sana ia kemudian tahu<br />

bahwa ada dua aspek dalam sumber daya alam.<br />

Aspek pertama adalah pemanfaatan sumber daya<br />

alam. Dari alam manusia dapat mereguk banyak<br />

hal, minyak dan gas bumi, misalnya. Di sisi lain,<br />

ia belajar bahwa sumber daya alam juga memiliki<br />

aspek perlindungan. Alam seharusnya dilindungi,<br />

karena alam pulalah yang nantinya menjalani fungsi<br />

perlindungan bagi manusia.<br />

“Kita akan mengeksploitasi sumber daya alam<br />

habis-habisan atau kita ingin melindunginya?”<br />

tuturnya saat berbincang dengan ZeroRisk, di<br />

kantornya, belum lama ini.<br />

Sejak awal 1980-an, Sugeng memang sudah kian<br />

akrab dengan ilmu kebencanaan dan mitigasinya.<br />

Tapi dia belum banyak terjun langsung karena tugas<br />

dan tanggung jawabnya di tempatnya bekerja<br />

menuntutnya mengembangkan sumber daya lahan.<br />

“Begitu lulus saya sudah diperkenalkan mitigasi<br />

bencana. Tapi, karena tugas dan pekerjaan saya lebih<br />

banyak ke pengembangan sumber daya lahan, tanah,<br />

dan penatagunaan lahan, saya tidak terlalu fokus<br />

pada bencana,” jelas Sugeng.<br />

Pekerjaan terkait ilmu tanah, kerap<br />

mengharuskan dia melakukan survei ke beberapa<br />

lokasi. Hal itu ia lakukan bersama anggota kelompok<br />

pecinta alam. Dari pengalaman menjelajah Indonesia<br />

dan berbagi cerita dengan para pecinta alam itu,<br />

Sugeng menemukan cintanya pada alam. Untuk<br />

menambah pengetahuannya soal pengembangan<br />

wilayah, Sugeng memutuskan melanjutkan<br />

PERJUANGAN MEMAHAMKAN MITIGASI BENCANA<br />

45


46 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Sosok<br />

3 Ir. Sugeng Triutomo berbincang dengan Kepala BNPB Dr. Syamsul Ma’arif.<br />

studinya di Paul Sabatier University, Toulouse,<br />

Prancis. Dari universitas itu, ia meraih gelar master<br />

pengembangan wilayah dan pengelolaan lingkungan<br />

pada 1985. “Pengembangan wilayah bukan dari<br />

aspek ekonomi, tapi dari aspek lingkungan,” jelasnya.<br />

Latar belakang pendidikan masternya kemudian<br />

menyeretnya perlahan masuk ke dalam masalahmasalah<br />

kebencanaan. Dari pengelolaan lingkungan,<br />

dalam pekerjaannya ia dituntut juga mengerjakan<br />

hal-hal yang berkaitan dengan pengurangan risiko<br />

bencana. Karena pengelolaan lingkungan merupakan<br />

salah satu upaya mengurangi risiko bencana. “Ini<br />

yang berkaitan terus menerus,” katanya.<br />

Sugeng mulai total bekerja di bidang<br />

kebencanaan ketika ditugaskan di Badan Koordinasi<br />

Nasional Penanganan Bencana (Bakornas) yang<br />

saat itu diketuai Menteri Koordinator Kesejahteraan<br />

pada 2000. Dengan latar belakang keilmuannya<br />

yang banyak membahas pengelolaan lingkungan,<br />

ia dipercaya menangani penanggulangan<br />

kebencanaan lebih kepada mitigasi bencana dan<br />

bukan upaya tanggap darurat. Sebelum di Bakornas,<br />

ia juga sempat mengabdi di Sekretariat Dewan<br />

Pengembangan Kawasan Timur Indonesia hingga<br />

akhirnya diminta bergabung di Kementerian<br />

Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat<br />

(Kemenkokesra).<br />

Dari pekerjaannya di Bakornas itulah, kegiatankegiatan<br />

yang bersifat mitigasi, persiapan dan<br />

prevensi kebencanaan mulai dikembangkan.<br />

Pengembangan mitigasi bencana di Indonesia,<br />

menurut kisahnya sejalan dengan program<br />

internasional. “Sejak akhir dekade 1990 hingga 2000<br />

adalah dekade pengurangan risiko bencana di dunia<br />

internasional,” kisahnya.<br />

Sebelum era 1990, kata dia, dunia internasional<br />

belum terlalu familiar dengan pengurangan risiko<br />

bencana. Pemerintah pun saat itu lebih disibukkan


3 Ir. Sugeng Triutomo menerima Sertificate dari Ms. Anita Dwyr<br />

Perwakilan AIFDR.<br />

dengan pengurangan bencana. Barulah sejak<br />

2000, saat United Nation Office for Disaster Risk<br />

Reduction (UNISDR) dibentuk, langkah-langkah<br />

pengurangan risiko bencana mulai didengungkan<br />

di setiap kesempatan topik kebencanaan. “Jadi<br />

momentumnya pas. UNISDR dibentuk 2000, saya<br />

mulai bergabung dengan Kemenkokesra juga 2000,”<br />

ungkap dia.<br />

Ketepatan momentum itu membuatnya<br />

mengikuti terus setiap perkembangan, isu, kebijakankebijakan<br />

dan konsep-konsep baru mengenai<br />

kebencanaan.<br />

Mendirikan MPBI<br />

Tidak banyaknya orang berkecimpung di bidang<br />

kebencanaan menyebabkan ruang sosial bagi aktivis<br />

kebencanaan lebih sempit dibanding bidang lain.<br />

Penggiat-penggiat kebencanaan yang ditemui<br />

Sugeng biasanya adalah orang-orang yang sama<br />

yang pernah dia temui juga sebelumnya.<br />

Karena seringnya pelaksanaan kegiatan bersama<br />

itu, para aktivis ini akhirnya membentuk komunitas<br />

yang memfokuskan diri pada penanganan bencana.<br />

Komunitas itu semakin sering mengadakan kegiatan<br />

kesiapsiagaan bencana, mulai dari diskusi, seminar,<br />

pelatihan hingga workshop kebencanaan yang<br />

banyak dilakukan pada periode 2000 hingga 2002.<br />

Kegiatan-kegiatan itu yang menurutnya menjadi cikal<br />

bakal pembentukan Masyarakat Penanggulangan<br />

Bencana Indonesia (MPBI). “Jadi selain bertugas<br />

di kantor Kemenkokesra, saya juga membentuk<br />

komunitas kelembagaan di bidang kebencanaan,”<br />

katanya.<br />

MPBI merupakan forum pertemuan semua<br />

pemangku kepentingan kebencanaan baik<br />

pemerintah maupun non-pemerintah yang berdiri<br />

pada 3 Maret 2003. Sugeng kemudian didaulat<br />

menjadi Ketua Dewan Presidium MPBI periode<br />

pertama. Selang tiga tahun mengetuai forum itu,<br />

ia kembali dipercayakan menjadi Ketua Dewan<br />

Presidium pada 2006.<br />

Meski enam tahun menjabat Ketua Dewan<br />

Presidium MPBI, Sugeng tidak mengabaikan<br />

pekerjaannya di lembaga pemerintah. Dia malah<br />

merasa kedua perannya itu saling melengkapi.<br />

“Tugas saya di pemerintahan waktu itu bertugas<br />

sebagai asisten deputi, kemudian juga Kepala Biro<br />

Mitigasi di Bakornas. Ini sangat mendukung tugastugas,”<br />

ungkapnya.<br />

Sayangnya, pada periode itu, penanggulangan<br />

bencana belum jadi isu yang menarik. Belum ada<br />

program berkesinambungan untuk menanggulangi<br />

bencana. Hal itu membuat konsep yang ada dalam<br />

benaknya tidak bersambut karena anggaran untuk<br />

membuat gagasannya terwujud pun tidak tersedia.<br />

Penanggulan bencana kala itu berarti tanggap<br />

darurat dan pelaksanaan program rehabilitasi<br />

dan rekonstruksi. “Susah sekali. Penanggulangan<br />

bencana itu di mata birokrasi hanya dilakukan kalau<br />

terjadi bencana,” keluhnya mengingat masa awal<br />

2000-an itu.<br />

Sugeng mengakui, jangankan dulu sebelum<br />

bencana besar merengggut ratusan ribu nyawa,<br />

hingga kini pun pengurangan risiko bencana masih<br />

menjadi hal yang abnormal bagi masyarakat.<br />

PERJUANGAN MEMAHAMKAN MITIGASI BENCANA<br />

47


48 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Sosok<br />

“Untuk apa sih melakukan pelatihan, belum tentu<br />

bencananya datang,” ujar Sugeng menirukan<br />

tanggapan masyarakat atas dorongannya untuk<br />

melakukan pelatihan kesiapsiagaan bencana.<br />

Apabila sebelumnya program pengurangan risiko<br />

bencana tidak pernah muncul di benak kebanyakan<br />

orang, kini program pengurangan risiko bencana<br />

dinilai sebagai pemborosan. Masyarakat masih<br />

menilai, bencana dapat dihadapi dengan tanggap<br />

darurat. Menurutnya, dalam banyak pelaksanaan<br />

mitigasi, pekerjaan mitigasi dimulai saat orang<br />

kena bencana dan bukan sebelumnya. Tak ayal, jika<br />

kemudian upayanya menyosialisasikan pengurangan<br />

risiko bencana dinilai banyak pihak sebagai pekerjaan<br />

4 Ir. Sugeng Triutomo foto bersama dengan Ms. Margareta<br />

Wahlstrom dan para Penggiat Forum Pengurangan Risiko<br />

Bencana Provinsi DIY.<br />

konyol. “Biasanya orang baru sadar kalau sudah kena<br />

bencana,” katanya.<br />

Namun ia tidak menganggap aneh tanggapan<br />

tersebut. Menurutnya, penilaian tersebut lahir<br />

karena orang tidak paham mengenai risiko bencana<br />

yang siap menerkamnya kapan saja. Karenanya<br />

tugas negara dan komunitas sipil adalah memberi<br />

gambaran kepada masyarakat soal bahaya bencana<br />

yang mengancamnya. Harus disosialisasikan pula<br />

peta bencana.<br />

Berkat upaya dan kerja keras Sugeng, kini<br />

masyarakat dan pemerintah semakin hirau<br />

atas pengurangan risiko bencana. Kalau dulu<br />

pengetahuan masyarakat soal mitigasi bencana


hanya pada level nol saja. Kini dia dapat bergembira<br />

karena masyarakat sudah sampai pada level 4 hingga<br />

5. “Kalau pemerintah, jika dibandingkan dengan<br />

2003 dan 2004, saya setengah mati mengenalkan<br />

mitigasi bencana sampai berbusa-busa ngomongnya.<br />

Dianggap gila. Kalau sekarang, hampir semua<br />

kementerian dan lembaga membicarakan bencana,”<br />

ujarnya bersyukur.<br />

Rekan-rekan Sugeng menilai, dalam pelaksanaan<br />

pengurangan risiko bencana, pendiri Masyarakat<br />

Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI) ini<br />

cenderung kaku dan hanya menerapkan apa<br />

yang diperolehnya dari buku-buku yang menjadi<br />

referensi dunia soal pengurangan risiko bencana.<br />

Tapi bagi Sugeng, apa yang ia terapkan merupakan<br />

improvisasi dari pengalamannya selama belasan<br />

tahun menangani bencana. Tentu dengan tidak<br />

melenceng dari koridor yang ditetapkan dari ilmuilmu<br />

kebencanaan yang diperolehnya.<br />

Menurutnya sebenarnya pada waktu lalu upaya<br />

pengurangan risiko bencana tersebar di manamana.<br />

Program pengurangan risiko bencana sudah<br />

dilakukan di level komunitas, pemerintah bahkan<br />

dunia usaha. Hanya, usaha-usaha itu masih berjalan<br />

masing-masing dan terserak tak terintegerasi.<br />

Dia mencontohkan, masyarakat setempat<br />

memegang erat kearifan lokal di daerahnya,<br />

sedangkan pihak pemerintah atu mungkin lembaga<br />

swadaya masyarakat (LSM) melakukan pelatihan<br />

yang bisa saja bertentangan dengan tradisi setempat.<br />

49


50 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Special<br />

Interview<br />

“Saat ini enak bekerja<br />

sudah didukung anggaran<br />

negara. Saya dulu tidak<br />

punya apa-apa dan harus<br />

mengais-ngais untuk<br />

dapat mengedukasi orang.<br />

Jadi seharusnya program<br />

mitigasi bencana bisa<br />

lebih baik sekarang ini.”<br />

“Yang terserak inilah yang belum pernah kita<br />

integrasikan dalam satu konsep yang komprehensif<br />

dan terpadu agar bisa jalan sama-sama,” jelasnya.<br />

Dari pengalaman dan pembelajarannya dalam<br />

kebencanaan, Sugeng membentuk suatu konstruksi<br />

pengetahuan baru. Dari sanalah ia mengaku<br />

mendapat ilmu baru kebencanaan. Selain digunakan<br />

dalam pencegahan dan kesiapsiagaan bencana, ilmu<br />

itu ia bagikan juga kepada orang lain.<br />

Selain mengabdi pada negara melalui BNPB, ia<br />

juga mengabdikan diri pada dunia pendidikan dengan<br />

menjadi pengajar mata kuliah Manajemen Bencana.<br />

Dia mengajar di Universitas Tarumanegara dan<br />

Universitas Pertahanan, Jakarta.<br />

Tantangan<br />

Kekerasan hati pemerintah dalam menangani<br />

bencana justru ia jadikan tantangan dan semangat<br />

untuk mengembangkan budaya mitigasi bencana.<br />

Meski anggaran yang diberikan negara dari<br />

APBN tidak ada, Sugeng pun tidak berkecil hati.<br />

Ia malah menggunakan jalur kemitraannya dan<br />

memanfaatkan jaringan yang dibentuknya. Dari sana<br />

ia bergerilya memperkenalkan mitigasi bencana.<br />

Ia ‘menjual’ gagasannya soal sosialisasi bencana.<br />

Bersyukur, usahanya tidak sia-sia, malah didukung<br />

beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM)<br />

internasional. LSM-LSM itu kemudian ‘membeli’<br />

idenya dengan membiayai pelatihan warga untuk


mengerti soal mitigasi bencana.<br />

Menurutnya, titik balik menghadapi bencana<br />

adalah tsunami Aceh 2004 lalu. Kejadian yang sangat<br />

memukul itu menjadi momentum yang akhirnya<br />

membuat orang hirau akan pentingnya mitigasi<br />

bencana. Saat itu, lelaki yang berpengalaman<br />

menangani tanggap bencana saat gempa Bengkulu<br />

pada 2000 itu dilibatkan dalam penanganan tanggap<br />

bencana gempa dan tsunami Aceh. Dia ditugaskan di<br />

Jakarta menjaga posko yang akhirnya dipindahkan ke<br />

Kantor Wakil Presiden.<br />

Di tengah kesibukannya mengurus bencana<br />

tsunami Aceh, Januari 2005, Sugeng dikirim<br />

menghadiri Konferensi Dunia untuk Pengurangan<br />

Risiko Bencana di Kobe, Jepang. Dalam konferensi itu<br />

lahir Kerangka Kerja Hyogo. “Kerangka kerja itu yang<br />

membuat saya mulai berpikir apa yang bisa saya buat<br />

setelah itu. Itu betul-betul titik balik bagi saya untuk<br />

benar-benar melakukan pengurangan risiko bencana<br />

di Indonesia,” ujar dia.<br />

Di sana, ia menceritakan penanganan tanggap<br />

darurat gempa dan tsunami Aceh. Dan dari<br />

konferensi itu pula ia mendapat pengalaman bahwa<br />

pengurangan risiko bencana bukan hanya sekedar<br />

upaya-upaya mitigasi pencegahan. Yang terpenting<br />

dari upaya pengurangan bencana adalah komitmen<br />

politik negara.<br />

Sejak itu, ia semakin membulatkan tekadnya<br />

untuk melakukan pengurangan risiko bencana<br />

di tanah air. Ketiadaan anggaran tidak boleh lagi<br />

jadi penghambatnya. Dia harus bisa meyakinkan<br />

pemerintah. “Pada pemerintahan SBY (Presiden<br />

Susilo Bambang Yudhoyono) yang pertama (2004-<br />

2009) penanggulangan bencana belum masuk dalam<br />

RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah<br />

Nasional). Sekarang walaupun tetap belum<br />

dimasukkan dalam RPJMN, tapi setidaknya ada<br />

dalam program tahunan,” ungkapnya.<br />

Berkat kerja kerasnya itu, Indonesia kini menjadi<br />

salah satu kiblat dunia dalam mitigasi bencana.<br />

Presiden SBY bahkan pernah menerima penghargaan<br />

Global Champion Award dalam penanganan bencana<br />

2011 lalu. “Saya katakan pada staf saya, saat ini enak<br />

bekerja sudah didukung anggaran negara. Saya<br />

dulu tidak punya apa-apa dan harus mengais-ngais<br />

untuk dapat mengedukasi orang. Jadi seharusnya<br />

program mitigasi bencana bisa lebih baik sekarang<br />

ini,” tegasnya.<br />

PERJUANGAN MEMAHAMKAN MITIGASI BENCANA<br />

51


52 ZERORISK • Vol. Vol. 01 • Agustus 2012 2012<br />

Harmoni<br />

MENUJU<br />

‘ZERO CASUALTY’


DISASTER evolves! Ungkapan ini dirasa<br />

paling tepat untuk menggambarkan<br />

perubahan karakteristik dampak<br />

tsunami di Jepang sejak satu abad<br />

lalu. Tiap kejadian tsunami memiliki<br />

keunikan tersendiri. Mulai dari gempa<br />

yang membangkitkan sampai dengan<br />

dampak bawaan yang ditimbulkannya.<br />

Ada kalanya tsunami didahului oleh<br />

goncangan gempa yang sangat kuat, tapi di<br />

lain waktu bisa jadi gempa yang membawa<br />

tsunami tidak dirasakan oleh masyarakat di pesisir<br />

laut. Prasarana fisik penahan tsunami satu waktu<br />

mungkin bekerja dengan baik, akan tetapi di lain<br />

waktu mungkin hancur diterjang gelombang yang<br />

tingginya bahkan tidak pernah terbayangkan.<br />

Akan tetapi, satu hal yang pasti adalah kawasan<br />

pesisir merupakan tempat bermukim dan pusat<br />

perekonomian yang tidak akan ditinggalkan oleh<br />

masyarakat.<br />

Ancaman tsunami akan selalu ada, tetapi ini<br />

harus disikapi dengan persiapan dan upaya mitigasi<br />

yang memadai sehingga jumlah korban dapat<br />

diminimalisasi. Artikel ini membahas bagaimana<br />

Jepang membangun budaya kesiapsiagaan yang<br />

dirintis agar menjadi bagian dalam kehidupan<br />

masyarakat. Pendekatan kultural berbasis local<br />

knowledge di tiap-tiap daerah sangat dominan<br />

setelah tsunami tahun 1896 sampai tsunami<br />

tahun 1933. Kemudian, intervensi prasarana fisik<br />

diperkenalkan setelah tahun 1933 dan menjadi<br />

dominan setelah tsunami Chili tahun 1060. Integrasi<br />

dari keseluruhan perangkat untuk mendukung<br />

sistem peringatan dini tsunami dimodernisasi<br />

setelah tsunami Okushiri tahun 1993. Unsur edukasi<br />

diperkuat khususnya untuk anak-anak dalam<br />

Teks ABDUL MUHARI<br />

Asst. Peneliti/Mhs S-3<br />

Tsunami Engineering Laboratory<br />

International Research Center for Disaster Sciences<br />

(IRIDeS)<br />

Tohoku University, Jepang<br />

Foto ABDUL MUHARI & LILIK KURNIAWAN<br />

MENUJU ‘ZERO CASUALTY’<br />

53


54 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Harmoni<br />

sepuluh tahun terakhir sebelum tsunami 2011.<br />

Keseluruhan upaya ini bermuara pada satu tujuan<br />

akhir yaitu meningkatnya kemampuan masyarakat<br />

untuk evakuasi dari waktu ke waktu. Evaluasi<br />

ini akan menjadi penutup di akhir tulisan untuk<br />

memperlihatkan sudah sedekat apa Jepang dengan<br />

kondisi zero casualty.<br />

Sejarah berulang disaat kesiapsiagaan<br />

berkurang<br />

Kawasan Tohoku (=north-east) mungkin<br />

dihampiri oleh tsunami lebih sering dibanding daerah<br />

lain di dunia. Secara umum, periode ulang tsunami<br />

di kawasan ini berkisar antara 30 – 50 tahun. Waktu<br />

yang tidak lebih dari dua generasi. Dalam kurun<br />

waktu yang relatif singkat tersebut, pengetahuan<br />

lokal yang dituliskan di shrine (temple), samurai,<br />

monumen maupun cerita turun-temurun seharusnya<br />

belum terganggu oleh distorsi informasi lintas<br />

generasi. Akan tetapi, keterbatasan pengetahuan<br />

sebelum sains kegempaan berkembang menjadi<br />

hambatan dalam mempersiapkan diri dari tsunami.<br />

Empat puluh tahun sebelum tsunami tahun<br />

1896 (Great Meiji Sanriku tsunami), pesisir Tohoku<br />

dihantam oleh tsunami yang dibangkitkan oleh<br />

gempa dengan kekuatan 8 Mw di selatan Hokkaido<br />

tahun 1856. Pengalaman dengan tsunami yang<br />

didahului oleh gempa yang kuat menjadi patokan<br />

para survivor ketika tsunami tahun 1896 terjadi. Akan<br />

tetapi, karekteristik antara dua gempa ini sangat<br />

berbeda. Gempa tahun 1896 terasa sangat pelan/<br />

berayun sehingga sangat sedikit masyarakat yang<br />

evakuasi. Akibatnya, tsunami dengan ketinggian<br />

mencapai 38.2 meter menghancurkan 45% bangunan<br />

dan menewaskan tidak kurang dari 20% (21.544 dari<br />

total 106.100) penduduk yang bermukim di daerah<br />

bencana. Hal yang sama dialami oleh penduduk di<br />

Kepulauan Mentawai. Getaran saat gempa 8.4 Mw<br />

menghantam Bengkulu tahun 2007 terasa sangat<br />

kuat di Pagai Selatan, akan tetapi tsunami yang<br />

datang sangat kecil. Berkaca dari pengalaman ini,<br />

masyarakat yang belum terjangkau oleh sistem<br />

peringatan dini tidak menyangka tsunami besar<br />

akan menyusul gempa ‘lemah’ tahun 2010. Akan<br />

tetapi tsunami dengan ketinggian mencapai 14<br />

m menewakan 546 orang dan menghancurkan<br />

setidaknya 517 rumah di pulau tersebut.<br />

Belajar dari dua kondisi sebelumnya, respon<br />

masyarakat Jepang 37 tahun berikutnya menjadi<br />

lebih baik ketika gempa dengan kekuatan 8.4 Mw<br />

kembali menghantam daerah yang sama (The Great<br />

Showa Sanriku tsunami). Meskipun terjadi pukul<br />

2.30 dini hari waktu setempat, getaran gempa yang<br />

sangat kuat membuat penduduk berhamburan<br />

dan evakuasi ke daerah yang lebih tinggi. Hasilnya,<br />

‘hanya’ 1.7% dari total penduduk di daerah inundasi


tsunami (2.974 dari total 166.810) tewas meskipun<br />

tsunami dengan ketinggian 28.2 m menghancurkan<br />

lebih dari 20% bangunan di daerah bencana.<br />

Perulangan kejadian tsunami dalam waktu<br />

singkat dengan karakteristik yang berbeda-beda<br />

ini kemudian mendorong pemerintah Jepang<br />

untuk mulai membangun beragam prasarana fisik<br />

disamping penguatan edukasi untuk memimalisasi<br />

dampak tsunami. Relokasi penduduk, peninggian<br />

Kondisi Kota Onagawa-Perfectur Tohogu 1 tahun setelah<br />

dihantam Tsunami.<br />

daratan di pesisir, pembangunan tembok laut/tanggul<br />

pantai, penanaman hutan pantai dan pembangunan<br />

jalur evakuasi dilakukan hampir di semua kota pantai<br />

di kawasan Tohoku. Disamping itu, menyadari bahwa<br />

tsunami bisa datang kapanpun baik siang atau<br />

malam, masyarakat memahami bahwa evakuasi<br />

tidak harus bersama-sama. Keselamatan mutlak<br />

menjadi tanggung jawab masing-masing. Setiap<br />

orang harus evakuasi ke tempat yang lebih tinggi<br />

MENUJU ‘ZERO CASUALTY’<br />

55


56 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Harmoni<br />

untuk memastikan keselamatan dirinya sendiri.<br />

Dari sini muncul kearifan lokal yang disebut dengan<br />

‘tsunami tendenko’. Kata ini berarti segera lari ke<br />

tempat tinggi ketika terjadi tsunami, selamatkan diri<br />

sendiri dan jangan memikirkan orang lain. Pengertian<br />

utama yang melandasi pemahaman ini adalah, jika<br />

semua orang mengerti bahwa mereka harus evakuasi<br />

ketika terjadi tsunami, maka jika ada anggota<br />

keluarga yang terpisah saat evakuasi, anggota<br />

keluarga yang lain akan berfikir positif ‘pasti dia telah<br />

evakuasi di tempat lain.’ Hal ini akan mengurangi<br />

perilaku alamiah untuk menjemput anggota keluarga<br />

yang lain sebelum melakukan evakuasi. Perilaku yang<br />

membuat waktu evakuasi akan semakin sempit dan<br />

tidak jarang berujung pada makin banyaknya jumlah<br />

korban.<br />

Ujian dari beragam upaya mitigasi tersebut<br />

datang tahun lalu. Gempa dengan kekuatan 9.0 Mw<br />

diikuti oleh tsunami dengan ketinggian maksimum<br />

42 meter. Hasilnya? Tsunami menghancurkan lebih<br />

dari 66% bangunan termasuk diantaranya 112<br />

tempat evakuasi. Akan tetapi, korban jiwa di kawasan<br />

Tohoku ‘hanya’ 5.6% (9.598) dari total penduduk<br />

(170.271) yang bermukim di daerah landaan tsunami.<br />

Jika dilihat lebih dalam di data di tiap-tiap daerah,<br />

pada umumnya penduduk yang menjadi korban<br />

dalam tsunami 2011 adalah penduduk pendatang<br />

atau anggota keluarga dari penduduk asli yang<br />

membangun pemukiman di daerah yang sebelum<br />

1933<br />

pernah dihantam oleh tsunami. Pengabaian fakta<br />

sejarah serta anggapan bahwa prasarana fisik yang<br />

ada mampu menjamin keselamatan mengakibatkan<br />

berkurangnya kewaspadaan yang berujung pada<br />

malapetaka. Gambar 1 memperlihatkan contoh<br />

perulangan bencana yang sama di tempat yang<br />

persis sama. Saat Kota Kojirahama luluh lantak<br />

disapu tsunami tahun 1933, hanya pemukiman<br />

yang direlokasi setelah tsunami tahun 1896 yang<br />

selamat dari terjangan tsunami (inset kotak berwarna<br />

kuning). Upaya peninggian daerah pemukiman<br />

dan membangun jalur evakuasi dilakukan saat<br />

rekonstruksi. Saat itu, daerah yang hancur hanya<br />

boleh dibangun untuk rumah sementara atau gudang<br />

penyimpanan alat-alat penangkap ikan. Akan tetapi<br />

seiring berjalannya waktu, penduduk pendatang<br />

mulai membangun pemukiman di daerah yang<br />

dulu hancur oleh tsunami. Meskipun pemerintah<br />

kemudian membangun tembok laut dengan<br />

ketinggian 12 meter, pemukiman ini tetap hancur<br />

akibat tsunami yang datang tahun 2011 mencapai<br />

ketinggian 24 meter. Sekali lagi, hanya pemukiman<br />

yang direlokasi seratus tahun yang lalu selamat<br />

dari terjangan tsunami kali ini (inset kotak kuning di<br />

gambar tahun 2011 - Gambar 1).<br />

Progres dalam proses evakuasi<br />

Pengalaman tsunami tahun 2011 menunjukkan<br />

masih banyak yang harus dibenahi agar<br />

GAMBAR 1. Mitigasi struktur<br />

yang dilakukan di Desa<br />

Kojirahama setelah tsunami<br />

tahun 1933. Rumah dalam<br />

inset kotak berwarna kuning<br />

di gambar paling atas adalah<br />

rumah yang direlokasi setelah<br />

tsunami tahun 1896. Rumahrumah<br />

tersebut selamat dari<br />

tsunami tahun 1933 dan juga<br />

selamat dari tsunami tahun<br />

2011.<br />

Peninggian lahan untuk<br />

pemukiman yang dilakukan<br />

di desa yang sama tahun 1934.<br />

(paling kiri)<br />

Jalan yang dibangun sebagai<br />

jalur evakuasi dari pantai ke<br />

lokasi pemukiman di daerah<br />

ketinggian yang baru.


kesiapsiagaan makin baik di masa mendatang.<br />

Untuk itu, penting untuk mengetahui sudah sampai<br />

di tingkat apa kesiapsiagaan tersebut berhasil<br />

dibangun, terutama dalam hal evakuasi. Salah<br />

satu indikator evaluasi dari proses evakuasi yang<br />

dilakukan masyarakat adalah membandingkan<br />

jumlah korban dengan jumlah bangunan yang hancur<br />

akibat tsunami. Jika angka yang dihasilkan besar,<br />

bisa disimpulkan masyarakat tidak- atau kesulitan<br />

dalam melakaukan evakuasi. Dengan kata lain,<br />

masyarakat masih berada dalam rumah/bangunan<br />

ketika tsunami datang. Begitu juga sebaliknya, jika<br />

perbandingan ini menghasilkan angka yang kecil<br />

berarti masyarakat sudah meninggalkan rumah/<br />

bangunan untuk evakuasi. Kompilasi dari rata-rata<br />

jumlah korban per-bangunan yang tersapu tsunami<br />

di tiga kejadian (1896, 1933 dan 2011) untuk daerah<br />

Tohoku ternyata memperlihatkan trend semakin<br />

menurun (Gambar 2). Artinya, meskipun tsunami<br />

yang terjadi lebih besar khususnya tahun 2011,<br />

kesiapsiagaan masyarakat cenderung makin baik.<br />

Banyaknya bangunan yang hancur tidak serta merta<br />

membuat angka korban jiwa menjadi melonjak naik.<br />

Ini mengindikasikan bangunan yang hancur tersebut<br />

telah ditinggal kosong penghuninya untuk evakuasi.<br />

2001<br />

Lokasi di daerah dekat pantai<br />

(yang sebelumnya kosong<br />

setelah tsunami 1933) tetapi<br />

kembali dihuni oleh para<br />

pendatang.<br />

2011<br />

Hal tersebut tentu<br />

tidak bisa dilepaskan<br />

dari proses panjang<br />

mengenali, mempelajari<br />

dan mempersiapkan diri<br />

menghadapi tsunami.<br />

Mungkin masih perlu<br />

puluhan tahun menuju<br />

zero casualty, tetapi<br />

penting untuk selalu<br />

dievaluasi sudah sejauh<br />

apa kita berusaha untuk<br />

memperkecil jarak<br />

dengan kondisi ideal<br />

tersebut.<br />

Kehancuran di daerah dekat pantai (daerah yang sebenarnya<br />

dikosongkan) walaupun telah dibangun tembok laut utk<br />

melindungi daerah tersebut.<br />

SAT<br />

Sebaiknya Anda Tahu<br />

Gempa dengan kekuatan<br />

9.0 Mw diikuti oleh<br />

tsunami dengan ketinggian<br />

maksimum 42 meter dan<br />

hancurkan lebih dari 66%<br />

bangunan, diantaranya 112<br />

tempat evakuasi. Tetapi,<br />

korban jiwa di Tohoku<br />

‘hanya’ 5.6% (9.598) dari<br />

total penduduk (170.271)<br />

yang berada pada kawasan<br />

tsunami. Dilihat pada data<br />

di tiap-tiap daerah, pada<br />

umumnya penduduk yang<br />

menjadi korban dalam<br />

tsunami 2011 adalah<br />

penduduk pendatang yang<br />

membangun pemukiman<br />

di daerah yang sebelumnya<br />

pernah dihantam tsunami.<br />

Rata-rata jumlah korban<br />

per-bangunan yang tersapu<br />

tsunami di 3 kejadian (1896,<br />

1933 dan 2011) untuk daerah<br />

Tohoku menunjukan tren<br />

semakin menurun.<br />

GAMBAR 2. Perbandingan jumlah rata-rata korban di tiap<br />

bangunan dari tiga kejadian tsunami terbesar di wilayah Tohoku<br />

sejak tahun 1896.<br />

MENUJU ‘ZERO CASUALTY’<br />

57


58 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Jagat Kita<br />

BENCANA DALAM<br />

PERSPEKTIF ISLAM<br />

Teks KURNIAWAN ZULKARNAIN<br />

Foto DOK. BNPB<br />

3 Beginilah keadaan<br />

Masjid Raya Baiturrahman,<br />

Banda Aceh (NAD) setelah<br />

mengalami gempa dan<br />

tsunami pada 26 Desember<br />

2004.<br />

DALAM sepuluh tahun terakhir, Indonesia dilanda oleh<br />

serangkaian bencana yang datang silih berganti. Mulai dari<br />

guncangan gempa yang disusul tsunami menerjang Nangroe<br />

Aceh Darussalam (NAD) dan Pulau Nias-Sumatra Utara<br />

pada tanggal 24 Desember 2004. Provinsi Daerah Istimewa<br />

Yogjakarta (DIY) dan sebagian sebagian Jawa-Tengah pada<br />

tanggal 26 Mei 2006 diguncang gempa bumi dan banyak<br />

daerah lainnya yang dilanda bencana banjir, tanah longsor,<br />

kecelakaan laut dan juga letusan gunung berapi.


Serangkaian bencana itu telah menelan ratusan<br />

ribu korban jiwa manusia dan ratusan triyun<br />

rupiah kerugian harta benda. Kehilangan<br />

sanak keluargan dan harta benda telah menimbulkan<br />

luka yang mendalam bagi yang ditinggalkan.<br />

Bencana juga telah memundurkan investasi<br />

pembangunan yang dengan susah payah dilakukan.<br />

Untuk mengurangi resiko bencana bahkan<br />

menekan risiko bencana sampai titik nol, Umat<br />

Islam seyogyanya kembali pada rujukan utamanya<br />

yakni Al-Qur’an dan Hadist. Rujukan utama yang<br />

didalamnya terdapat petunjuk dan berupa kisah para<br />

nabi dan umat dimasa lalu dalam lintasan sejarah.<br />

Petunjuk dan kisah tersebut dijadikan rujukan dan<br />

pelajaran dalam menangulangi bencana.<br />

Bencana dalam Perpektif Al-Qur’an<br />

Sekurang-kurangnya terdapat dua istilah<br />

yang sering dibicarakan oleh umat Islam ketika<br />

menghadapi bencana.Dua istilah tersebut memang<br />

terdapat dalam al-Qur’an yakni istilah mushîbah dan<br />

balâ’.<br />

Kata musibah berasal dari bahasa Arab,yang<br />

berarti “sesuatu yang menimpa atau mengenai”,<br />

yang kemudian pengertiannya lebih dikhususkan<br />

untuk bencana. Musibah, sebagaimana diungkapkan<br />

dalam al-Qur’an, merupakan suatu kejadian atau<br />

peristiwa yang menimpa karena ulah manusia dan<br />

terjadi atas izin Allah [QS. asy-Syura: 30] dan ” [QS.<br />

at-Taghabun: 11]. Musibah atau bencana dihadirkan<br />

3 Suasana sebuah pedesaan yang sempat diabadikan dari udara<br />

setelah tsunami melanda Mentawai, Sumatra Barat pada 26<br />

Oktober 2010 lalu.<br />

oleh Tuhan sebagai peringatan kepada umat<br />

manusia, agar tidak membuat kerusakan baik di<br />

daratan maupun dilautan [QS.Ar-Rum: 41].<br />

Sementara kata balâ’, pada dasarnya berarti<br />

nyata/tampak,seperti firman Allah yang artinya<br />

““Pada hari dinampakkan segala rahasia.” [QS. ath-<br />

Thariq: 9]. Sesuatu bencana disebut balâ’, karena<br />

dengan bencana tersebut dapat menampakkan<br />

kualitas keimanan seseorang. Atau dengan kata<br />

lain, balâ’ juga diartikan dengan ujian, sehingga<br />

dengan adanya bencana tersebut dapat menguji<br />

mana yang beriman dan mana yang tidak. Balâ’<br />

(ujian) adalah keniscayaan hidup. Balâ’dilakukan<br />

Allah, tanpa keterlibatan manusia yang diuji dalam<br />

menentukan cara dan bentuk ujian tersebut.<br />

Yang menentukan cara, waktu, dan bentuk ujian<br />

adalah Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya [QS<br />

al-Mulk: 40 ] (Dia) Yang menciptakan mati dan<br />

hidup, supaya dia menguji kamu (melakukan bala’),<br />

siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.<br />

Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”<br />

[QS. al-Mulk: 2]<br />

Uraian diatas menjelaskan bahwa bencana<br />

dalam perspektif Al-Qur’an adalah musibah yang<br />

disebabkan oleh ulah manusia atas izin Allah.<br />

Selanjutnya, bencana atau musibah tersebut<br />

sebagai ujian atas kualitas keimanan seseorang<br />

dan peringatan bagi mereka yang berbuat<br />

kerusakan baik didaratan maupun dilautan.<br />

Jenis-Jenis Bencana dalam Al-Qur’an<br />

Al-Qur’an telah menunjukkan berbagai<br />

bencana yang pernah terjadi dimasa lalu. Bencana<br />

itu antara lain bencana alam, bencana non alam<br />

serta bencana kemanusiaan. Di antara bencana<br />

alam yang pernah dijelaskan al-Qur’an antara lain<br />

adalah banjir, topan, dan gempa.<br />

1. Banjir dan Topan<br />

Dalam al-Qur’an istilah banjir disebutkan<br />

dengan istilah al-sail yang digunakan untuk<br />

menunjukkan air yang melanda manusia.<br />

Selain itu istilah banjir juga digunakan<br />

BENCANA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN<br />

59


60 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Jagat Kita<br />

3 Sisa-sisa keganasan banjir bandang yang menerjang<br />

kabupaten Pidie, NAD.<br />

dengan istilah thûfân. Kata thûfân adalah<br />

segala peristiwa atau kejadian yang meliputi/<br />

mengepung. Maka banjir juga disebut dengan<br />

thûfân karena air yang datang waktu itu<br />

memang mengepung manusia.<br />

Selanjutnya, al-Qur’an menginformasikan<br />

pula bahwa umat Nabi Nuh dilanda banjir<br />

yang sangat dahsyat, dalam surat [QS. Hud:<br />

42] digambarkan bahwa gelombang pada<br />

waktu itu menyerupai sebuah gunung, untuk<br />

menggambarkan betapa dahsyat bencana<br />

banjir kala itu diawali dengan guncangan<br />

gempa. Bencana banjir juga menimpa umat<br />

Nabi Musa yang menyombongkan diri dan<br />

ingkar pada Tuhan. Digambarkan bahwa<br />

banjir disertai cuaca dingin [QS. al-A’raf: 133].<br />

Selanjutnya, bencana banjir juga mengepung<br />

Kerajaan Saba sebuah negeri yang subur,tetapi<br />

penduduk berpaling dari nikmat Tuhan[QS al-<br />

Saba: 16].<br />

2. Gempa<br />

Dalam al-Qur’an, gempa disebut dengan<br />

istilah rajfah. Kata rajfah atau rajf adalah<br />

bahasa Arab yang artinya goncangan yang<br />

sangat dahsyat. Kata ini dipakai pula untuk<br />

berbagai goncangan baik di darat maupun<br />

di laut. Di dalam al-Qur’an penggunaan kata<br />

rajfah ini ada yang menunjukkan makna<br />

gempa. Ada pula yang bermakna goncangan<br />

dahsyat yang ada kaitannya dengan huru-hara<br />

kiamat.<br />

Terdapat beberapa bencana yang diabadikan<br />

oleh al-Qur’an seperti bencana gempa yang<br />

pernah menimpa umat Nabi Shaleh (Tsamud)<br />

dan umat Nabi Syu’aib (Madyan) serta umat Nabi<br />

Musa. Adapun gempa yang menimpa umat Nabi<br />

Shaleh [QS. al-A’raf: 77-78] karena mereka ingkar<br />

terhadap ajaran yang dibawa Nabi Saleh bahkan<br />

menuduh sebagai pembohong dan sombong.<br />

Disamping itu, bencana gempa juga menimpa<br />

umat Nabi Musa, juga karena ingkar terhadap<br />

kebenaran [al-A’raf: 155].<br />

3 Masjid Ngepringan-Cangkringan Sleman Yogyakarta.<br />

3. Angin Badai<br />

Angin di dalam bahasa Arab disebut<br />

dengan al-rîh,dalam al-Qur’an kata tersebut<br />

menunjukkan angin yang membawa rahmat<br />

dan ada pula untuk menunjukkan angin yang<br />

membawa bencana. Selain itu, dalam QS Fushilat<br />

:16 terdapat kata al-Shirr yang menunjukkan<br />

pada pengertian angin yang sangat dingin<br />

yang menusuk tulang-tulang. Al-Qur’an juga<br />

menjelaskan adanya angin badai yang dingin<br />

ini[QS al-Ahzab: 9].<br />

Bencana angin badai pernah menimpa<br />

kaum ‘Ad,sebagaimana dikisahkan dalam [QS<br />

al-Haaqqah: 6-7] “ Adapun kaum ‘Ad maka<br />

mereka telah dibinasakan dengan angin yang<br />

sangat dingin lagi amat kencang, yang Allah<br />

menimpakan angin itu kepada mereka selama


3 Bencana angin puting beliung di kabupaten Bondowoso dan<br />

Situbondo, 14 Januari 2011.<br />

tujuh malam dan delapan hari terus menerus;<br />

maka kamu lihat kaum ‘Ad pada waktu itu mati<br />

bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul<br />

pohon kurma yang telah kosong (lapuk).<br />

Peristiwa angin badai, juga terjadi ketika<br />

perang Khandak/Ahdzab. Di mana pada waktu<br />

itu tentara Islam yang hanya berjumlah 3.000<br />

orang, berperang menghadapi kaum Kafir yang<br />

berjumlah 12.000 tentara. Adapun bentuk<br />

pertolongan Allah waktu itu, salah satunya adalah<br />

lewat angin kencang<br />

yang dingin. Angin<br />

ini menyerang dan<br />

merusak seluruh<br />

perbekalan yang<br />

mereka bawa.<br />

Mengurangi Risiko<br />

Bencana<br />

Pada dasarnya,<br />

bencana adalah hak<br />

Allah,namun manusia<br />

diberi anugrah berupa<br />

akal pikiran dan<br />

pancaindra untuk<br />

berupaya mengurangi<br />

risiko bencana.<br />

SAT<br />

Sebaiknya Anda Tahu<br />

Musibah atau bencana<br />

dalam perspektif Islam<br />

merupakan akibat ulah<br />

perbuatan umat manusia.<br />

Bencana banjir, gempa<br />

bumi dan angin badai yang<br />

ditimpakan Tuhan kepada<br />

Umat Nabi-Nabi di masa<br />

lalu merupakan ujian karena<br />

membuat kerusakan di<br />

muka bumi. Umat manusia<br />

yang dibekali akal dapat<br />

melakukan kewajiban dalam<br />

upaya pengurangan risiko<br />

bencana sebagai bagian dari<br />

perintah agama.<br />

Upaya ini dapat dilakukan dengan mengenali<br />

ancaman bencana, mengurangi kerentanan<br />

dan meningkatkan kapasitas masyarakat dan<br />

kelembagaanya serta memilih tindakan agar<br />

ancaman tidak bertemu dengan kerentanan.<br />

Mengacu kepada ajaran agama tentang<br />

bencana, dapat disimpulkan bahwa upaya<br />

BENCANA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN<br />

61


62 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Jagat Kita<br />

mengurangi risiko bencana adalah merupakan<br />

suatu perintah agama. Bahkan wajib hukumnya.<br />

Sekurang-kurangnya dapat dikategorikan ke dalam<br />

fardhu kifayah (jika tidak ada yang melakukan<br />

maka seluruh komunitas ikut bertanggung jawab<br />

dan memikul dosa).<br />

Kisah Nabi Yusuf menyiapkan segala logistic<br />

untuk menghadapi musim kering dan kelaparan<br />

selama tujuh tahun setelah adanya peringatan,<br />

merupakan contoh bahwa Allah menyuruh kita<br />

untuk memitigasi bencana dan bersiaga [QS Yusuf:<br />

43 – 49].<br />

Dalam sebuah Hadits Rasulullah SAW bersabda:<br />

“Sekiranya kalian mendengar di suatu negeri terjadi<br />

wabah (penyakit menular) maka jangan seorang pun<br />

memasuki negeri itu, dan bagi orang-orang yang<br />

berada di dalamnya tidak boleh seorang pun keluar<br />

dari padanya”. (HR. Bukhari). Ini bertujuan, agar risiko<br />

atau korban dan kerusakan yang ditimbulkan oleh<br />

bencana bisa ditekan seminimal mungkin dan tidak<br />

merambah secara meluas ke daerah-daerah lain.<br />

Terkait dengan upaya pengurangan risiko<br />

bencana, Pengurus Besar Nahdhatul Ulama<br />

mengadopsi prinsip-prinsip hukum Islam/Fiqh: (1)


3 Gempa bumi yang melanda Papua di distrik Ampimoi, 19 Juni<br />

2010 lalu.<br />

noahsarkresearch.com<br />

Segala upaya dan sarana yang dapat menimbulkan<br />

bencana harus dicegah; (2) Segala upaya dan<br />

sarana yang dapat menghidarkan bencana<br />

harus dilakukan baik yang bersifat fisik maupun<br />

rohani; (3) Sesuatu yang tidak dapat dilakukan<br />

keseluruhannya, jangan ditinggalkan kesemuanya;<br />

(4) Harus diambil pilihan tindakan yang dapat<br />

memperkecil risiko bencana.<br />

Rangkuman<br />

Indonesia merupakan kawasan rawan<br />

bencana, dalam sepuluh tahun terakhir dilanda<br />

oleh berbagai bencana.Bencana tersebut telah<br />

menimbulkan korban jiwa dan harta yang<br />

berdampak pada memundurkan upaya dan hasil<br />

pembanggunan yang dilakukan selama ini.<br />

Musibah atau bencana dalam perspektif al-<br />

Qur’an terjadi akibat ulah manusia atas izin Tuhan<br />

Yang Maka Kuasa. Bencana diturunkan sebagai<br />

peringatan agar umat manusia tidak membuat<br />

kerusakan di muka bumi baik di daratan maupun<br />

di lautan.<br />

Berbagai musibah atau bencana yang<br />

menimpa umat Nabi-Nabi dimasa lalu<br />

sebagaimana digambarkan al-Qur’an merupakan<br />

pelajaran bagi umat manusia sekarang ini. Gempa,<br />

Banjir dan Topan/Tsunami adalah jenis-jenis<br />

bencana yang telah menimbulkan banyak korban.<br />

Upaya pengurangan risiko bencana dalam<br />

pandangan Islam merupakan fardhu kifayah.<br />

Terdapat sejumlah ayat al-Qur’an, hadits serta<br />

kisah-kisah datangnya bencana sebagai motivasi<br />

religius dan pembelajaran bagi upaya pengurangan<br />

risiko bencana.<br />

2 Di daerah pegunungan Agri atau gunung Ararat, Turki<br />

Timur inilah disinyalir perahu Nabi Nuh yang dahulu digunakan<br />

untuk mengangkut makhluk yang ada di muka bumi ini<br />

agar terselamat dari banjir yang maha dahsyat ditemukan oleh<br />

para ilmuwan Cina dan Turki.<br />

BENCANA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN<br />

63


64 ZERORISK • Vol. Vol. 01 • Agustus 2012 2012<br />

Gagasan<br />

KRT ADIKOESOEMO PRASETYO:<br />

‘PEMASARAN’ INFORMASI<br />

KEBENCANAAN DAN<br />

PENGURANGAN RISIKO<br />

BENCANA<br />

BENCANA letusan Merapi memberikan pelajaran berharga kepada kita tentang<br />

pentingnya koordinasi dan sistem komunikasi informasi bencana yang dapat<br />

diandalkan. Absennya kedua faktor tersebut menjadi penyebab banyaknya<br />

korban yang jatuh saat bencana ini melanda pada 2010. Bagaimana seharusnya<br />

sistem informasi yang ideal untuk mengurangi risiko bencana? Berikut wawancara<br />

ZeroRisk dengan Pengarah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) KRT<br />

Adikoesoemo Prasetyo.<br />

Teks & Foto EKA ARIOS<br />

Berdasar pengalaman, seperti saat erupsi Merapi, salah satu kendala<br />

terbesar penanganan bencana adalah koordinasi. Tidak jelas siapa melakukan<br />

apa. Sistem informasi kebencanaan itu idealnya seperti apa?<br />

Informasi kebencanaan memang bisa dibuat sesempurna mungkin sepanjang<br />

posisi pelakunya itu jelas. Faktanya, tidak jelas (pelakunya). Dalam pembuatan<br />

jaring komunikasi itu yang sangat menentukan adalah hubungan langsung<br />

pemegang kebijakan atau pengambil keputusan itu. Sepanjang itu tidak bisa<br />

ditentukan, kita repot. Akhirnya malah terjebak di situ.<br />

Misalnya Merapi. Dalam Merapi, Sultan (Gubernur Daerah Istimewa<br />

Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X), Badan Nasional Penanggulangan<br />

Bencana (BNPB) atau Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD),<br />

mempunyai otoritas sendiri. Warga menuruti perintah BNPB terpaksa mau,<br />

tapi kalau Sultan yang perintahkan pasti patuh. Jadi, pemegang otoritas juga<br />

mempengaruhi bagaimana memegang jaring komunikasi.<br />

Kalau persoalan teknologi mudah. Dengan interoperable system yang bisa<br />

mengadopsi semua teknologi dari yang kuno sampai yang modern, tidak<br />

masalah. Semua informasi dapat disampaikan dan diterima dalam kondisi sesulit<br />

apa pun.


3 BONGKAR PUING BANGUNAN. KRT Adikusumo, Pengarah Badan Nasional Penanggulangan Bencana sedang menunjukkan<br />

alat untuk membongkar puing atau bangunan yang telah runtuh pada sebuah pelatihan tanggap bencana di Depok, Jawa Barat, Senin<br />

(9/7).<br />

Yang penting itu jaring komunikasi siapa bertemu<br />

dengan siapa, siapa komunikasi dengan siapa. Siapa<br />

yang boleh didengar (dituruti), siapa yang tidak perlu<br />

didengarkan. Itu yang agak berat.<br />

Menurut Bapak, terobosan apa yang perlu<br />

dilakukan untuk melancarkan jaring komunikasi?<br />

Gampang-gampang susah. Biasanya otoritas<br />

setempat punya kepentingan tidak mudah kita bisa<br />

terobos. Agak sulit.<br />

Bukankah dalam kondisi darurat semua itu bisa<br />

diterobos?<br />

Logikanya demikian. Pemerintah daerah (pemda)<br />

tidak punya uang yang pasti dan bisa langsung<br />

dicairkan saat bencana. Dana Alokasi Umum (DAU)<br />

lebih banyak dipakai untuk biaya operasional<br />

kebencanaan. Saat terjadi bencana, pemda tidak<br />

bisa seketika mengucurkan dana siap pakai atau dana<br />

tanggap darurat karena prosesnya harus melalui<br />

DPRD dan cukup lama. Sedangkan, BNPB bisa<br />

melakukan itu dengan cepat. Namun, kepentingan<br />

otoritas di daerah juga tidak bisa disepelekan.<br />

Belum lagi, kepentingan otoritas di daerah didukung<br />

kearifan lokal yang sangat sulit untuk kita masuki<br />

celahnya.<br />

Saat ada bencana, siapa berperan apa?<br />

Menurut Undang-Undang, ujung tombak<br />

penanganan bencana adalah pemerintah kabupaten/<br />

kota setempat. Provinsi hanya membantu. Kalau<br />

dua jenjang pemerintahan ini tidak sanggup, baru<br />

diserahkan kepada BNPB.<br />

Soal pembiayaan menjadi tanggung jawab<br />

kabupaten dan provinsi. BNPB hanya menambahkan<br />

kekuranggannya. Masalahnya, semua daerah<br />

tidak mau menganggarkan dari DAU, hanya<br />

mengandalkan BNPB.<br />

GAGASAN - KRT ADIKOESOEMO PRASETYO<br />

65


66 ZERORISK • Vol. Vol. 01 • Agustus 2012 2012<br />

Gagasan<br />

Memang harus dianggarkan dari DAU?<br />

Ya. Minimal 10%. Tetapi pada kenyataannya<br />

daerah tidak mau. Pemda hanya mau<br />

menganggarkan untuk pra-bencana saja. Tapi<br />

anggaran untuk tanggap darurat pasca bencana tidak<br />

ada.<br />

Bagaimana seharusnya komunikasi berperan<br />

dalam upaya mitigasi agar informasi cepat sampai<br />

ke warga dan para pemangku kepentingan demi<br />

memperkecil risiko bencana?<br />

Upaya memperkecil risiko bencana sebenarnya<br />

kepada masyarakat. Paling tidak informasi harus<br />

benar-benar sampai ke masyarakat luas. Karena,<br />

daerah rawan bencana di Indonesia mayoritas daerah<br />

yang tidak terjangkau baik secara transportasi<br />

maupun komunikasi. Informasi tidak sampai<br />

ke masyarakat karena salah pemilihan sarana<br />

penyampaian informasi.<br />

Seharusnya pakai media apa?<br />

Ada pernyataan, kalau pakai radio rasanya<br />

tidak gagah, dianggap kuno. Padahal, di kampung<br />

itu, orang bertani bawa transitor (radio). Yang<br />

didengarkan bukan dangdut, tapi dongeng. Di daerah<br />

yang sulit terjangkau teknologi komunikasi, radio<br />

lebih banyak digunakan. Itu celah yang tidak pernah<br />

digali. Media radio itu harus dimanfaatkan. Melalui<br />

metode sandiwara radio, gunakan bahasa yang bisa<br />

dimengerti masyarakat setempat. Yang penting<br />

informasinya sampai dan masyarakat mengerti. Alat<br />

pengendalinya memang harus yang canggih, namun<br />

untuk menjangkau masyarakat cukup dengan radio.<br />

Metode penyampaiannya?<br />

Kalau mau mengurangi risiko bencana, kiatnya<br />

adalah seperti orang menjual produk. “Silakan<br />

pakai, percaya pada saya.” Pasarkan terus-menerus.<br />

Perdengarkan terus informasi. Dan cara itu harus<br />

digunakan pemerintah sampai di tingkat kabupaten/<br />

kota. Kenyataannya saat ini kita justru cenderung<br />

menyewa NGO (non-government organization) asing.<br />

Bagaimana implementasi penyampaian<br />

informasi kebencanaan dan pengurangan risiko<br />

bencana di daerah?<br />

Keharusan untuk setiap daerah melakukan<br />

pengurangan risiko bencana sudah ada. Hanya,<br />

implementasinya kurang baik. Seharusnya


seperti itu tadi, daerah ini cocoknya diperlakukan<br />

seperti ini. Seharusnya seperti orang menjalankan<br />

marketing. Bagaimana pengurangan risiko bencana<br />

ini dipasarkan. Pengurangan risiko bencana itu<br />

perlu pemahaman, baik oleh masyarakat maupun<br />

pejabatnya.<br />

3 INTEROPERABLE SYSTEM. KRT Adikusumo, Pengarah<br />

Badan Nasional Penanggulangan Bencana tengah menunjukkan<br />

interoperable system. Alat tersebut dapat digunakan untuk<br />

mengirim ke dan menerima pesan dari segala jenis alat<br />

komunikasi. Alat ini sangat efektif membantu sistem informasi<br />

dan komunikasi dalam darurat bencana.<br />

GAGASAN - KRT ADIKOESOEMO PRASETYO<br />

67


68 ZERORISK • Vol. Vol. 01 • Agustus 2012 2012<br />

Gagasan<br />

Apa sekarang pejabat masih kurang paham<br />

soal penyebaran informasi untuk pengurangan<br />

risiko bencana?<br />

Makanya mitigasi ada dua. Mitigasi untuk calon<br />

korban, dan mitigasi untuk pemangku kepentingan.<br />

Pemangku kepentingan perlu dimitigasi juga,<br />

karena seringkali mereka tidak paham mengenai<br />

pengurangan risiko bencana.<br />

Lalu bagaimana membangun pemahaman<br />

kepada pejabat?<br />

Harus berani tidak populer. Dan satu langkah<br />

nyata, bagaimana membuat masyarakat paham<br />

degan menggunakan bahasa yang mereka mengerti.<br />

Pada kenyataannya, seringkali terjadi pembuatan<br />

kegiatan itu berorientasi pada proyek dan bukan<br />

pada misi kemanusiaan. Akhirnya, komunikasi itu ga<br />

nyambung. Sehingga pengurangan risiko bencana<br />

akhirnya hanya sebatas retorika.<br />

Jika Bapak punya daya, apa yang akan<br />

dilakukan untuk pengurangan risiko bencana?<br />

Pengurangan risiko bencana itu harus dikelola<br />

secara bisnis pemasaran. Kalau pengurangan risiko<br />

bencana adalah produk, saya ini jualan produk<br />

keselamatan yang sangat diperlukan masyarakat.<br />

Untuk mendapatkan itu masyarakat tidak perlu<br />

membayar, kalau perlu saya yang bayar, dengan<br />

tidak meninggalkan kearifan lokal. Dengan begitu,<br />

masyarakat pasti patuh. Sederhana. Tidak usah<br />

tinggi-tinggi.<br />

Seberapa sulit mensosialisasikan pengurangan<br />

risiko bencana?<br />

Sulit. Sulit sekali. Orang tahunya hanya filosofi<br />

kalau tidak mau mati, jangan tinggal di pinggir<br />

3 PRAKTIK KOMUNIKASI KEBENCANAAN. Seorang peserta pelatihan tengah praktik menggunakan alat interoperable system<br />

pada sebuah pelatihan tanggap bencana di Depok, Jawa Barat, Senin (9/7).


pantai. Seharusnya dicari apa yang menyebabkan dia<br />

tinggal di pinggir pantai, kemudian dicari solusinya<br />

untuk menghindari dan mengurangi risiko bencana.<br />

Informasi sebagai subsistem dari koordinasi.<br />

Kira-kira kesulitan yang paling mendasar antara<br />

hardware (alat), software (kebijakan) dan<br />

manpower (kekuatan manusia) mana yang paling<br />

sulit?<br />

Yang paling lemah man power-nya. Kalo hardware<br />

dan software bisa mengikuti.<br />

Itu karena apa?<br />

Permasalahannya ini sangat kompleks. Antara<br />

kesukaan nahkodanya (pejabat berwenang, red).<br />

Nahkodanya bagus, tapi kesukaannya tidak yang<br />

akhirnya berpengaruh pada bawahannya. Semakin<br />

lama efeknya makin besar. Akhirnya pada tahun<br />

kelima, aparatnya sudah rusak semua. Di mana-mana<br />

keliru.<br />

Apa itu bukan bagian dari pembelajaran?<br />

Untuk pembelajaran terlalu mahal. Terlalu banyak<br />

korban. Baik dari anggaran dan waktu.<br />

Dari segi alat, apakah Indonesia sudah memiliki<br />

fasilitas yang memadai untuk sistem komuniasi<br />

informasi kebencanaan?<br />

Kita sudah punya tiga unit inter-operable<br />

system.Alat itu tidak kenal jenis pancaran. Pesan<br />

dari mana saja, menggunakan pesawat telepon,<br />

radio, selular transmisi pesawat terbang atau kapal<br />

laut, semua bisa diterima. Tidak ada batas. Alat ini<br />

mengintegerasi semua jenis pesawat yang ada untuk<br />

bicara bersama. Hebatnya, alat ini bisa terhubung<br />

meski masing-masing pihak bicara pada frekuensi<br />

yang berbeda.<br />

Kapan alat ini dipakai?<br />

Terutama saat terjadi bencana besar. Tujuannya,<br />

kalau saat bencana besar, sistem komunikasi di<br />

daerah setempat kolaps, alat ini mengambil alih<br />

sistem komunikasi sampai dengan sistem komunikasi<br />

daerah yang bersangkutan normal kembali, mulai<br />

berfungsi kembali.<br />

Artinya, komunikasi<br />

yang normal sudah<br />

berjalan. Saat erupsi<br />

Merapi 2010 sudah<br />

dipakai. Beberapa<br />

negara heran karena<br />

Indonesia punya tiga<br />

unit alat ini. Harganya<br />

memang agak tidak<br />

murah, tapi ini investasi,<br />

untuk penanggulangan<br />

bencana.<br />

SAT<br />

Sebaiknya Anda Tahu<br />

Kalau mau mengurangi<br />

risiko bencana, kiatnya<br />

adalah seperti orang<br />

menjual produk. “Silakan<br />

pakai, percaya pada saya.”<br />

Pasarkan terus-menerus.<br />

Pengurangan risiko bencana<br />

itu harus dikelola secara<br />

bisnis pemasaran.<br />

Yang penting itu jaring<br />

komunikasi siapa bertemu<br />

dengan siapa, siapa<br />

komunikasi dengan siapa.<br />

Siapa yang boleh didengar<br />

(dituruti), siapa yang tidak<br />

perlu didengarkan. Itu yang<br />

agak berat.<br />

Kalau hardware dan software sudah cukup<br />

baik, mengapa setiap kali terjadi bencana alam<br />

sering memakan banyak korban?<br />

Orangnya yang mengawaki kurang piawai.<br />

Kedua, informasi yang disampaikan tidak<br />

menjangkau calon korban, karena perbedaan bahasa.<br />

Yang sana suka dangdut, diberi jazz.<br />

Dari sisi birokrasi?<br />

Birokrasi juga buruk. Birokrasi rata-rata kurang<br />

transparan dan akuntable serta cenderung korup.<br />

Misalnya, di undang-undang diatur dana kontigensi,<br />

tapi oleh DPR tidak pernah disetujui. Tapi tibatiba<br />

terbit aturan, cuma peraturan kepala badan.<br />

Nama kontigensi ini hanya diganti dengan dana<br />

siaga darurat, masuk dalam dana tanggap darurat.<br />

Padahal, dalam undang-undang, tanggap darurat<br />

itu maksudnya tak lama setelah terjadi bencana.<br />

Penentuan siaga darurat itu berdasar institusi terkait<br />

seperti BMKG.<br />

Sudah ada peraturan Kepala BNPB tentang<br />

sistem informasi?<br />

Belum.<br />

GAGASAN - KRT ADIKOESOEMO PRASETYO<br />

69


70 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Mitra<br />

CAHAYA PUN<br />

MENYALA DI LAMPU<br />

HATI<br />

SEJAK bulan Januari lalu, malam-malam Cimonyong penuh kerlip cahaya. Jauh<br />

lebih kemilau dari sebelumnya, yang berkedip redup dari lampu cempor. Di<br />

beberapa titik, bahkan terlihat benderang.<br />

Teks & Foto KAFIL YAMIN<br />

3 POWER CONTROL.<br />

Dengan menngunakan<br />

alat inilah semua kegiatan<br />

kelistrikan diatur.<br />

Listrik PLN sudah masuk?<br />

Ini pertanyaan sekaligus ungkapan kekagetan orang-orang di kawasan<br />

tersebut. Selama ini PLN belum berhasil menembus kawasan terpencil<br />

itu. Maklum, Cimonyong, Kecamatan Naringgul, dikelilingi perbukitan curam dan<br />

hutan lindung.<br />

Dan memang, listrik PLN belum masuk ke Cimonyong.<br />

Tenaga listrik yang membuat lampu-lampu berkilau itu berasal dari<br />

pembangkit tenaga listrik berskala kecil yang disebut Pembangkit Tenaga Listrik<br />

Mikro Hidro [PLTMH].<br />

Cimonyong beruntung karena diapit dua sungai besar: Cidaun dan Ciogong.<br />

Berkat kedua sungai inilah pertanian di sana mapan. Sebab, irigasi lebih dari cukup<br />

untuk memenuhi kebutuhan. Kedua sungai itu pun menjadi penyangga kehidupan<br />

utama di sana.<br />

Dan sekarang, fungsi sangat penting sungai itu bertambah: sumber tenaga<br />

listrik. Arus sungai inilah yang dimanfaatkan PLTMH – sebuah kolaborasi ideal<br />

perusahaan-LSM-masyarakat.<br />

Pembangkit listrik itu dibangun dengan dukungan dana sebesar Rp 400 juta<br />

dari PLN; teknik dan pengetahuan dari Yayasan Pribumi Alam Lestari; serta tenaga<br />

dan keterampilan dari masyarakat setempat.<br />

Yayasan Pribumi Alam Lestari [YPAL] yang belajar dari pengalaman<br />

membangun sejumlah PLTMH di tempat lain, kali ini menggunakan cara<br />

tersendiri. “Kami membagi PLTMH ini ke dalam 10 unit kecil yang disebut pikohidro.<br />

Unit-unit itu disebar ke 10 kampung. Satu kampung mendapat satu unit,<br />

dan masing-masing kampung itu mengelola pembangkit listriknya masingmasing,”<br />

tutur Ridwan Soleh, pengurus YPAL yang juga pelaksana proyek<br />

tersebut.<br />

Dengan cara ini, pengorganisasian menjadi jauh lebih mudah dan sederhana.<br />

Hanya diperlukan beberapa orang untuk membangun dan mengelola piko-hidro.


Tumbuh pula rasa kepemilikan dan tanggung jawab<br />

kuat dalam mengerjakan dan mengelolanya.<br />

“Warga yang ikut mengerjakan PLTMH ini tak<br />

terlalu berhitung upah, karena mereka merasa<br />

sedang membangun rumahnya sendiri,” kata Ridwan<br />

lagi.<br />

Pada proyek PLTM-PLTMH sebelumnya, apalagi<br />

bila mendengar dukungan ‘dana dari luar’, orang<br />

bekerja untuk uang. “Kesannya, ini proyek,” kata<br />

Ridwan. Setelah selesai, orang-orang merasa proyek<br />

sudah selesai ketika pulang. Dan turbin-turbin yang<br />

dibeli dengan harga puluhan sampai ratusan juta<br />

itu pun hanya terurus 2-3 bulan pertama. Setelah<br />

itu, semua terbengkalai dan tak sedikit yang jadi<br />

rongsokan.<br />

Setiap unit pembangkit listrik di masing-masing<br />

kampung itu manghasilkan 1 Kwh. Sepuluh kampung<br />

yang mendapat pembangkit listrik skala kecil itu<br />

adalah Datar Patat, Tegal Lega, Nagrak, Cipeundeuy,<br />

Kampong Pojok, Lembur Tengah dan Datar Mala.<br />

Dengan menghitung rata-rata satu kampung<br />

terdiri dari 10 sampai 15 rumah, maka satu rumah<br />

3 HIBURAN. Sekarang bisa menikmati Liga Champion.<br />

mendapat 50 watt. Tentu, ini kecil dibanding dengan<br />

di daerah perkotaan.<br />

Karena itu, kendati dampak PTLMH tak begitu<br />

kentara, wajah para penduduk sekarang tampak lain.<br />

“Dulu sebelum ada PLTMH, malu mengaku orang<br />

Cimonyong. Sekarang tidak , malah bangga karena di<br />

Cimonyong sudah masuk TV, ” Kata Taryana, seorang<br />

tokoh pemuda.<br />

“Geus gaul atuh Cimonyong teh ayeuna mah<br />

[Cimonyong sekarang sudah gaul dong],” timpal Iwa ,<br />

pemuda lainnya.<br />

Hati senang terpancar di wajah-wajah warga.<br />

Perubahan yang tak kurang pentingnya terjadi<br />

pada anggapan para eksekutif PLN. Selama ini,<br />

perusahan milik pemerintah tersebut menghindari<br />

pelebaran jaringan ke wilayah beralam berat atau<br />

terpencil, karena pertimbangan biaya dan tenaga.<br />

“Setelah PLTMH Cimonyong berdiri, ternyata kami<br />

CAHAYA PUN MENYALA DI LAMPU HATI<br />

71


72 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Mitra<br />

cukup mendorong dan membantu masyarakat<br />

membangun pembangkit listrik sendiri. Kami tidak<br />

capek dan biaya pun tak besar,” kata Hendra Saleh,<br />

Supervisor CSR PLN Jawa Barat-Banten.<br />

Cimonyong adalah sebuah kawasan<br />

pemukiman di Kecamatan Naringgul, Cianjur<br />

Selatan. Karena terisolir oleh hutan dan<br />

pegunungan, penduduk kampung ini sangat<br />

sulit terlayani jaringan listrik PLN. Akses utama<br />

untuk mencapai kawasan ini hanya dapat dilalui<br />

kendaraan roda dua, atau ojek yang telah terbiasa<br />

bermanuver di atas jalan bebatuan dan tanah --<br />

melewati perbukitan dan lembah yang terjal.<br />

Selama ini, penduduk hanya mengandalkan<br />

pasokan listrik dari pembangkit listrik kincir<br />

tradisional yang mereka buat sendiri, dengan<br />

kapasitas sangat jauh dari kelayakan, meski hanya<br />

untuk penerangan.<br />

4 USAI JUGA. Warga Cimonyong dan Direktur CSR PLN,<br />

Hendra Saleh, melepas penat seusai merampungkan PLTHMH.<br />

SAT<br />

Sebaiknya Anda Tahu<br />

Tiga komponen utama<br />

pembangkit listrik tenaga<br />

mikro hidro adalah air,<br />

turbin, dan generator.<br />

Air yang mengalir dari<br />

ketinggian tertentu<br />

disalurkan menuju turbin.<br />

Di sini, air menumbuk<br />

turbin. Poros turbin yang<br />

berputar menghasilkan<br />

energi mekanik yang<br />

ditransmisikan ke generator<br />

menggunakan kopling. Dari<br />

generator, dihasilkan energi<br />

listrik yang akan masuk ke<br />

sistem kontrol arus listrik<br />

sebelum dialirkan ke rumahrumah.<br />

Daya keluaran dari<br />

PLTMH biasanya lebih<br />

rendah dari 100 Watt.


3 INSTALASI. Seorang warga sedang memasang instalasi<br />

listrik PLTMH Cimonyong.<br />

Selain permukiman menjadi terang, dampak<br />

paling penting adalah lahirnya kebutuhan untuk<br />

menjaga sungai, daerah hulu dan hutan. Para<br />

pegiat lingkungan maupun Pemerintah tak<br />

perlu lagi banyak menyampaikan kuliah tentang<br />

pentingnya menjaga alam. Semua warga sekarang<br />

merasakan langsung nilai penting sungai dan<br />

hutan.<br />

Mereka tahu kalau sungai dan hutan rusak,<br />

kehadiran listrik di kampung mereka pun akan<br />

segera berakhir. Karena itu, sejak pendirian<br />

PTLMH, warga seluruh kampung langsung berbagi<br />

tugas menjaga sungai, hulu dan hutan.<br />

“Ini tak pernah terjadi sebelumnya.<br />

Kesepakatan spontan dan pelaksaan langsung,”<br />

kata seorang tokoh masyarakat setempat.<br />

Bio-gas<br />

Di kawasan lain di Jawa Barat, komitmen PLN<br />

kepada tanggung jawab sosial bertemu dengan<br />

inisiatif masyarakat dan inovasi-inovasi yang<br />

sedang dikembangkan di bidang energi, pertanian,<br />

peternakan. Penduduk Kampung Cihurang, Desa<br />

Cijayana, Kabupaten Garut, sekarang sudah menikmati<br />

aliran listrik dalam waktu dan kapasitas terbatas.<br />

Di tempat ini, aliran listrik bukan dari arus<br />

sungai, melainkan dari gas yang berasal dari kotoran<br />

sapi. Inovasi ini dikembangkan oleh Tim Livestock<br />

Bio-energy Conversion Program (LiBEC), Fakultas<br />

Pertanian Universitas Padjadjaran.<br />

Pun, Kampung Cihurang ditargetkan mejadi<br />

Desa Mandiri Energi. Setelah ini, PLN dan LiBEC akan<br />

menyebarkan inovasi ini ke wilayah-wilayah lain.<br />

Target berikutnya setelah Cihurang adalah Cidaun<br />

Cianjur.<br />

Ir. Sondi Kuswaryan, M.S. , seorang anggota<br />

LiBEC, menjelaskan timnya bersama masyarakat<br />

akan segera membangun kandang ternak umum.<br />

Dengan kandang umum ini terjadi pemusatan limbah<br />

ternak sehingga memudahkan pengelolaan dan<br />

pemanfaatannya.<br />

Kalau PLTMH meniscayakan pemeliharaan sungai<br />

dan hutan, maka bio-gas mengharuskan peternakan<br />

yang konsisten dan berkembang untuk menjaga<br />

pasokan kotoran ternak tetap stabil. Dengan demikian<br />

proyek ini secara langsung akan meningkatkan usaha<br />

peternakan dan pertanian.<br />

Di Jawa Barat saja, menurut Hendra Saleh, PLN<br />

mengeluarkan sedikitnya 1,5 sampai 2 miliar rupiah<br />

pertahun untuk pengembangan energi berbasis<br />

masyarakat.<br />

CAHAYA PUN MENYALA DI LAMPU HATI<br />

73


74 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Aturan Main


PUSDALOPS PB, ANTARA<br />

KEBIJAKAN DAN KEMAMPUAN<br />

Berbagai bencana yang menimpa selama beberapa tahun terakhir telah<br />

menjadikan Indonesia cukup progresif dalam penanggulangan bencana, terutama<br />

dalam aspek Pengurangan Risiko Bencana (PRB).<br />

3 PENGUNGSI. Seorang<br />

warga lereng Merapi kategori<br />

Jompo di pengungsian<br />

Umbulharjo.<br />

Teks BAYU DWI ANGGONO<br />

Foto DWI OBLO<br />

Indonesia telah mempebaharui undang-udang yang mengatur upaya<br />

penanggulangan bencana. Sebelum tahun 2007, peraturan mengenai<br />

penanggulangan bencana masih tersebar secara sektoral dan belum<br />

dapat dijadikan landasan hukum yang kuat dan menyeluruh terhadap upaya<br />

penanggulangan bencana.<br />

Ketiadaan peraturan yang dapat menjadi landasan hukum kuat dalam<br />

penanggulangan bencana boleh jadi merupakan salah satu faktor penyebab<br />

lambatnya upaya pencegahan dan penanganan kejadian bencana di tanah air,<br />

terutama sebelum tahun 2007.<br />

Reformasi perundang-undangan itu ditandai dengan diberlakukannya UU<br />

No 24 /2007 tentang Penanggulangan Bencana, serta beberapa peraturan<br />

pelaksanaannya.<br />

Lahirnya Undang-Undang Penanggulangan Bencana beserta peraturan<br />

turunannya telah mengubah paradigma penanggulangan bencana di Indonesia.<br />

Penanggulangan bencana tidak lagi menekankan aspek tanggap darurat saja,<br />

tetapi juga pra bencana, saat bencana dan sesudah bencana.<br />

Salah satu hal penting yang diatur dalam UU Penanggulangan Bencana<br />

beserta peraturam turunannya adalah pembentukan Pusat Pengendalian<br />

Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops PB), sebagai sarana membantu<br />

Kepala Badan Penanggulang Bencana di tingkat pusat dan daerah pada proses<br />

pengambilan keputusan dalam koordinasi, komando dan pelaksanaan PB tahap<br />

pada Pra Bencana, Saat Bencana, Tanggap Darurat dan Pasca Bencana.<br />

Pusdalops PB merupakan Unit organisasi fungsional pada BNPB/BPBD<br />

yang fungsi utamanya adalah menyiapkan fasilitas pengendalian operasi serta<br />

menyelenggarakan sistem informasi, koordinasi, integrasi dan sinkronisasi dalam<br />

penanggulangan bencana.<br />

Menurut catatan BNPB sejak tahun 2008 hingga sekarang, Indonesia baru<br />

memiliki tujuh Pusdalops PB. Daerah-daerah yang sudah memiliki pusdalops<br />

penanggulangan bencana adalah Aceh, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jambi, Bali,<br />

DI Yogyakarta, dan di Kantor BNPB.<br />

Tujuh Pusdalops PB tentunya masih sangat kurang mengingat banyaknya<br />

PUSDALOPS PB, ANTARA KEBIJAKAN DAN KEMAMPUAN<br />

75


76 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Aturan Main<br />

daerah rawan bencana di Indonesia. Peraturan<br />

menetapkan setiap daerah rawan bencana<br />

memiliki pusdalops. Keberadaan Pusdalops PB di<br />

setiap daerah rawan bencana adalah merupakan<br />

perintah peraturan perundang-undangan,<br />

Namun mahalnya biaya yang diperlukan<br />

untuk membangun dan menyiapkan sarana<br />

prasarana Pusdalops, seperti peralatan teknologi<br />

dan informasi menjadi alasan masuk akal kenapa<br />

Pusdalops sementara ini hanya terbantuk di tujuh<br />

lokasi.<br />

Mengenai aturan tentangt Pusdalops PB diatur<br />

dalam beberapa regulasi yang dapat diuraikan<br />

sebagai berikut:<br />

Pusdalops PB dibentuk untuk mengimplementasikan<br />

beberapa ketentuan dalam UU<br />

Penanggulangan Bencana meliputi pemberian<br />

pedoman dan pengarahan terhadap pencegahan<br />

bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi,<br />

dan rekonstruksi secara adil dan setara.<br />

Undang-undang tersebut juga mengatur<br />

pelaksanaan penanggulangan bencana di daerah<br />

yang mempunyai fungsi: koordinasi, komando dan<br />

pelaksana dalam penyelenggaraan penanggulangan<br />

bencana pada wilayahnya.<br />

Perpres No.8/2008 tentang BNPB<br />

Urgensi pembentukan Pusdalops PB oleh<br />

BNPB termuat dalam Pasal 3 yang menjelaskan<br />

BNPB berfungsi merumuskan dan menetapkan<br />

kebijakan penanggulangan bencana dan<br />

penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan<br />

tepat serta efektif dan efisien.<br />

Juga, mengkoordinasikan kegiatan<br />

penanggulangan bencana secara terencana,<br />

terpadu, dan menyeluruh.<br />

Disebutkan pula fungsi koordinasi Pelaksana<br />

Penanggulangan Bencana dilaksanakan bersama<br />

lembaga pemerintah baik pusat maupun daerah,<br />

lembaga usaha, lembaga internasional dan/<br />

atau pihak lain yang dipandang perlu pada tahap<br />

prabencana dan pascabencana.<br />

“Menurut catatan BNPB<br />

sejak tahun 2008 hingga<br />

sekarang Indonesia<br />

baru memiliki tujuh<br />

PUSDALOPS PB”<br />

Permendagri No 46/2008 dan<br />

pembentukan BPBD<br />

Permendagri No.46 /2008 mengatur tentang<br />

keberadaan Pusdalops PB pada Pasal 19 yaitu Unsur<br />

Pelaksana BPBD Provinsi dan BPBD Kabupaten/Kota<br />

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16<br />

dapat membentuk Satuan Tugas. Pasal 15 mengatur<br />

(1) Susunan Organisasi Unsur Pelaksana BPBD Provinsi<br />

terdiri atas: a. Kepala Pelaksana; b. Sekretariat Unsur<br />

Pelaksana; c. Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan;<br />

d. Bidang Kedaruratan dan Logistik; dan e. Bidang<br />

Rehabilitasi dan Rekonstruksi. (2) Sekretariat Unsur<br />

Pelaksana paling banyak 3 (tiga) Subbagian dan<br />

masing-masing Bidang terdiri dari 2 (dua) Seksi.<br />

Pasal 16 Susunan Organisasi Unsur Pelaksana BPBD<br />

Kabupaten/Kota terdiri atas: a. klasifikasi A; dan b.<br />

klasifikasi B.<br />

Dengan demikian Pusdalops PB pada dasarnya<br />

merupakan pelaksana teknis untuk membantu<br />

BNPB/BPBD Provinsi/Kabupaten/Kota dalam<br />

melaksanakan tugasnya yaitu untuk bertindak<br />

cepat dan tepat serta efektif dan efisien dalam<br />

pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana<br />

yang diamanatkan kepada BNPB/BPBD meliputi<br />

fase Pra-bencana (Kesiapsiagaan dan Mitigasi), Saat<br />

Bencana (Tanggap Darurat), dan Pasca-bencana.<br />

Sesuai dengan Pusdalops PB Provinsi/Kabupaten/<br />

Kota, dipimpin oleh seorang Kepala, berada di bawah<br />

dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala<br />

Pelaksana BPBD.<br />

Bagian lampiran Peraturan Kepala BNPB<br />

No.3/2008 menjelaskan dalam melaksanakan<br />

tugasnya, Kepala Pelaksana BPBD wajib membentuk<br />

Satuan Tugas Pusat Pengendalian Operasi termasuk<br />

tugas reaksi cepat (Tim Reaksi Cepat meliputi kaji


cepat dan penyelamatan/pertolongan) dan dapat<br />

membentuk Satuan Tugas lain yang diperlukan<br />

sesuai dengan kebutuhan daerahnya. Satuan Tugas<br />

bertanggungjawab langsung kepada Kepala Pelaksana<br />

BPBD.<br />

Peraturan Kepala BNPB No.9/2008<br />

Lampiran Perka BNPB Nomor 9 mengatur salah<br />

satu tugas Tim Reaksi Cepat (TRC) BNPB adalah<br />

Membantu Satkorlak PB/BPBD Provinsi/Satlak PB/<br />

BPBD Kabupaten/Kota untuk Mengaktivasi Posko<br />

Satkorlak PB/BPBD Provinsi/Satlak PB/BPBD<br />

Kabupaten/Kota. Pengertian dari mengaktivasi posko<br />

adalah serangkaian kegiatan untuk meningkatkan<br />

kemampuan personil, sarana dan prasarana<br />

Pusdalops menjadi Posko dalam rangka efektifitas<br />

penanganan darurat bencana.<br />

Lampiran Perka BNPB No.10 /2008 mengatur<br />

salah satu tugas dari komandan tanggap darurat<br />

bencana adalah Mengaktifkan dan meningkatkan<br />

Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops) menjadi Pos<br />

Komando Tanggap Darurat BPBD Kabupaten/Kota/<br />

Provinsi atau BNPB, sesuai dengan jenis, lokasi dan<br />

tingkatan bencana.<br />

3 DEBU <strong>MERAPI</strong>. Seorang pengendara sepeda motor<br />

melewati jalan yang penuh debu Merapi di sekitar candi<br />

Borobudur.<br />

3 PENDATAAN. Seorang petugas sedang mendata warga di pengungsian Umbulharjo saat letusan Gunung Merapi.<br />

PUSDALOPS PB, ANTARA KEBIJAKAN DAN KEMAMPUAN<br />

77


78 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Solusi<br />

BENANG KUSUT<br />

PEMBENTUKAN BPBD<br />

Pada tanggal 22 Oktober 2008, terbit Pemendagri No 46 Tahun 2008 tentang<br />

Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah.<br />

Satu bulan kemudian, 11 November 2008, keluar Peraturan Kepala Badan Nasional<br />

Penanggulangan Bencana No 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembentukan Badan<br />

Penanggulangan Bencana Daerah (Perka BNPB 3/2008).<br />

Teks DJUNI PRISTIYANTO Foto DOK. BNPB<br />

Perka BNPB 3/2008 ini baru didapat penulis pada tanggal 20 Februari 2009,<br />

sehingga analisis pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah<br />

(BPBD) tidak dapat dilakukan secara bersamaan berdasarkan kedua<br />

peraturan tersebut.<br />

Artikel ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari makalah penulis yang<br />

berjudul Pembentukan BPBD Berdasar Permendagri No. 46 Tahun 2008 tanggal 2<br />

November 2008. Sekarang, pembahasan pembentukan BPBD berdasarkan kedua<br />

peraturan di atas menjadi lebih lengkap.


Apa itu BPBD?<br />

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)<br />

adalah sebuah lembaga khusus yang menangani<br />

penanggulangan bencana (PB) di daerah, baik di<br />

tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Di tingkat<br />

nasional, lembaga itu bernama Badan Nasional<br />

Penanggulangan Bencana (BNPB).<br />

BNPB dan BPBD dibentuk berdasarkan amanat<br />

Undang-Undang No. 24 Tahun 2007. Dengan adanya<br />

BNPB, maka lembaga PB sebelumnya, yaitu Badan<br />

Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas<br />

PB) dibubarkan. Ini berimplikasi pada pembubaran<br />

rantai komando/koordinasi Bakornas di daerah<br />

seperti Satuan Koordinasi Pelaksana Penangangan<br />

Bencana (Satkorlak PB) dan Satuan Pelaksana<br />

Penanganan Bencana (Satlak PB).<br />

Berdasarkan undang-undang itu, fungsi BPBD<br />

adalah merumuskan dan menetapkan kebijakan<br />

PB dan penanganan pengungsi dengan bertindak<br />

cepat, tepat, efektif dan efisien, termasuk<br />

mengkoordinasikan kegiatan PB secara terencana,<br />

terpadu, dan menyeluruh.<br />

BNPB dibentuk oleh Pemerintah Pusat sebagai<br />

lembaga non-departemen setingkat menteri,<br />

sementara BPBD dibentuk Pemerintah Daerah. Di<br />

tingkat provinsi, BPBD dipimpin seorang pejabat<br />

setingkat di bawah gubernur atau setingkat eselon<br />

Ib dan di tingkat kabupaten/kota BPBD dipimpin<br />

seorang pejabat setingkat di bawah bupati/walikota<br />

atau setingkat eselon IIa.<br />

Pejabat setingkat eselon Ib di tingkat provinsi dan<br />

pejabat setingkat eselon IIa di tingkat kabupaten/<br />

kota adalah setara dengan Sekretaris Daerah<br />

(Sekda). Hal ini menimbulkan dilema karena<br />

jabatan setingkat Sekda adalah satu- satunya di<br />

pemerintahan daerah. Oleh karena itu, selama<br />

beberapa waktu muncul kekuatiran di kalangan<br />

para pejabat pemda tentang kemungkinan adanya<br />

‘matahari kembar’.<br />

Landasan Hukum<br />

Secara teknis, pembentukan BPBD diatur<br />

dengan Permendagri 46/2008 tentang Pedoman<br />

Organisasi dan Tata Kerja BPBD dan Perka BNPB<br />

3/2008 tentang Pedoman Pembentukan BPBD, tapi<br />

payung hukum tertinggi pembentukan BPBD adalah<br />

UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana.<br />

Namun secara prinsipil, tidak ada landasan<br />

BENANG KUSUT PEMBENTUKAN BPBD<br />

79


80 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Solusi<br />

hukum untuk membentuk lembaga penanggulangan<br />

bencana secara tersendiri untuk tingkat kabupaten<br />

dan kota, entah itu berbentuk badan, dinas, kantor,<br />

inspektorat ataupun lembaga teknis lainnya.<br />

Pasal 25 UU 24/2007 berbunyi: “Ketentuan<br />

lebih lanjut mengenai pembentukan, fungsi,<br />

tugas, struktur organisasi, dan tata kerja Badan<br />

Penanggulangan Bencana Daerah diatur dengan<br />

Peraturan Daerah.” Ini menjelaskan bahwa<br />

pembentukan BPBD diatur dengan Perda, bukan<br />

melalui Permendagri 46/2008.<br />

Jadi bagaimana? Kalau mengenai organisasi dan<br />

tata kerja, BPBD mesti mengacu pada PP 41/2007,<br />

tapi PP 41/2007 itu tidak menyebut lembaga yang<br />

mengurusi penanggulangan bencana. Apakah PP<br />

41/2007 harus direvisi?<br />

Membentuk BPBD<br />

Tujuan Permendagri 46/2008 adalah untuk<br />

tertib administrasi, standardisasi organisasi dan<br />

tata kerja BPBD. Sedangkan tujuan Perka BNPB<br />

3/2008 adalah member acuan bagi pemerintah<br />

daerah dalam membentuk BPBD dan mekanisme<br />

penyelenggaraannya.<br />

BPBD adalah lembaga perangkat daerah<br />

dan mesti mengikuti tata aturan Kemendagri.<br />

Di sini perangkat daerah adalah lembaga yang<br />

membantu Kepala Daerah dalam penyelenggaraan<br />

Pemerintahan Daerah. Sebelum ini sudah terbit<br />

PP No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan<br />

Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan<br />

Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah<br />

Kabupaten/Kota; dan PP No 41 Tahun 2007 tentang<br />

Organisasi Perangkat Daerah sebagai acuan<br />

pembentukan dan pengurusan lembaga perangkat<br />

daerah, dan BPBD tentu saja mesti mengacu pada


pada PP 38/2007 dan PP 41/2007 itu.<br />

Berdasarkan Pasal 2 Permendagri 46/2008,<br />

BPBD dibentuk di setiap provinsi dan dapat dibentuk<br />

di setiap kabupaten/kota. Pembentukan BPBD di<br />

tingkat provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan<br />

dengan Perda.<br />

Sedangkan Perka BNPB 3/2008 Bab III hanya<br />

hanya menyebutkan bahwa untuk penanggulangan<br />

bencana di daerah, Pemda membentuk BPBD dan<br />

berkoordinasi dengan BNPB. Dan bila Pemda tidak<br />

membentuk BPBD, maka “tugas dan fungsi PB<br />

diwadahi dengan organisasi yang mempunyai<br />

fungsi yang bersesuaian dengan fungsi PB.”<br />

Tidak ada masalah pada pembentukan BPBD<br />

di tingkat provinsi, karena semua provinsi wajib<br />

membentuk BPBD. Masalah timbul di tingkat<br />

kabupaten/kota karena ada kata ‘dapat’ pada Pasal<br />

2 Permendagri 46/2008 tersebut. Kata ini tidak<br />

mewajibkan. Tidak ada kriteria yang jelas dalam<br />

membentuk atau tidak membentuk BPBD di tingkat<br />

kabupaten/kota.<br />

Arti yang bertentangan dengan Permendagri<br />

46/2008 ini muncul dari Perka BNPB 3/2008 Bab IIIA<br />

khususnya ayat 2, yaitu: “…Pemerintah Kabupaten/<br />

Kota membentuk BPBD Kabupaten/Kota.” Ini berarti<br />

bahwa setiap Kabupaten/Kota harus membentuk<br />

BPBD, karena tidak ada klausul ‘dapat’ seperti yang<br />

terdapat dalam Permendagri 46/2008. Semakin<br />

membingungkan bila membaca pada ayat 4<br />

masih dalam peraturan yang sama, yaitu: “Dalam<br />

hal Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota tidak<br />

membentuk BPBD Kabupaten/Kota, maka tugas<br />

dan fungsi PB diwadahi dengan organisasi yang<br />

mempunyai fungsi yang bersesuaian dengan fungsi<br />

PB.” Antara ayat 2 dan ayat 4 tidak sinkron.<br />

Mana yang mesti diikuti? Keduanya adalah<br />

lembaga yang sangat berwenang dalam<br />

pembentukan BPBD. Kriteria pembentukan<br />

BPBD itu mestinya mengacu pada tingkat risiko<br />

bencana di daerah tersebut. Kabupaten/kota yang<br />

mempunyai tingkat risiko bencana tinggi, maka wajib<br />

membentuk BPBD. Tapi kabupaten/kota yang<br />

mempunyai tingkat risiko bencana kecil maka, tidak<br />

wajib. Fungsi-fungsi PB bisa dijalankan oleh Satuan<br />

Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang sesuai untuk<br />

itu.<br />

Lembaga yang berwenang di bidang PB adalah<br />

BNPB, maka BNPB mestinya membuat kriteriakriteria<br />

teknis bila suatu kabupaten/kota perlu<br />

membentuk BPBD atau tidak. Kriteria-kriteria teknis<br />

ini berisi analisa untuk mengetahui tingkat risiko<br />

bencana di suatu daerah. Jadi, secara administrative<br />

BPBD mengacu pada aturan Kemendagri, tapi secara<br />

teknis mengacu pada BNPB.<br />

Dalam Pasal 16 Permendagri 46/2008 disebutkan<br />

bahwa susunan organisasi unsur pelaksana BPBD<br />

kabupaten/kota terdiri atas Klasifikasi A dan<br />

Klasifikasi B. Namun penentuan klasifikasi itu<br />

ditetapkan berdasarkan beban kerja, kemampuan<br />

keuangan dan kebutuhan (Pasal 20 Permendagri<br />

46/2008).<br />

Di situ disebutkan bahwa yang termasuk<br />

klasifikasi A adalah BPBD yang memiliki sumber daya<br />

maksimal, sedangkan yang termasuk klasifikasi B<br />

adalah BPBD yang bersumberdaya minimal. Bila<br />

tidak diimbangi dengan kriteria pembentukan BPBD<br />

yang sesuai tingkat risiko bencana, hal ini akan<br />

membawa konsekuensi serius.<br />

Contoh: Kabupaten X adalah sebuah daerah yang<br />

mempunyai tingkat risiko bencana tinggi; di daerah<br />

ini ada potensi ancaman gempa bumi, longsor, banjir,<br />

kekeringan dan tsunami. Atas dasar ini, Kabupaten<br />

X wajib membentuk BPBD. Tapi kabupaten X<br />

berpendapatan kecil, sumber daya alam dan sumber<br />

daya manusianya kurang.<br />

Bila mengacu pada Permendagri 46/2008,<br />

maka BPBD Kabupaten X itu tergolong klasifikasi<br />

B, dengan struktur minimalis dan anggaran yang<br />

kecil pula. Jelas Kabupaten X itu tidak akan mampu<br />

BENANG KUSUT PEMBENTUKAN BPBD<br />

81


82 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Solusi<br />

menanggulangi bencana di daerahnya sendiri.<br />

Ibarat “orang terbenam hingga ke leher, satu sapuan<br />

gelombang saja maka dia akan tenggelam”.<br />

Bagaimana bila pernyataan itu dibalik: “Bagi<br />

kabupaten/kota yang mempunyai tingkat risiko<br />

bencana tinggi, walau daerahnya itu miskin sumber<br />

daya, maka kabupaten/kota itu wajib membentuk<br />

BPBD dengan klasifikasi A.” Pemerintah Pusat dan<br />

Provinsi wajib mendukung BPBD kabupaten/kota<br />

tersebut agar dapat berjalan maksimal. Pemerintah<br />

Pusat dan Provinsi mendukung melalui penyaluran<br />

anggaran, peningkatan kapasitas, pengadaan sarana<br />

prasarana, kajian-kajian risiko bencana, dan lain-lain.<br />

Lalu bagaimana dengan daerah-daerah yang<br />

telah membentuk BPBD? Provinsi Jawa Tengah telah<br />

membentuk Sekretariat BPBD Provinsi Jawa Tengah.<br />

Berdasar Perda Provinsi Jawa Tengah No 10/2008,<br />

Sekretariat BPBD merupakan unsur pendukung<br />

tugas Gubernur di bidang penanggulangan bencana<br />

yang berkedudukan di bawah dan bertanggung<br />

jawab kepada Gubernur.” Dalam pelaksanaan harian,<br />

sekretariat BPBD Jaten dipegang Kalakhar BPBD.<br />

Kabupaten Boyolali membentuk “Badan<br />

Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan<br />

Masyarakat” (Kesbangpollinmas) pada awal April<br />

2008. Badan Kesbangpollinmas Kab. Boyolali ini<br />

terdiri dari:<br />

1. Bidang Pengembangan Nilai-nilai Kebangsaan.<br />

2. Bidang Hubungan antar Lembaga.<br />

3. Bidang Ideologi politik (Penangangan Konflik).<br />

4. Bidang Perlindungan Masyarakat (termasuk<br />

penanganan bencana alam).<br />

Dalam hal ini, Kab. Boyolali tidak secara khusus<br />

membentuk BPBD, tapi memasukkan fungsi-fungsi<br />

PB ke dalam lembaga Kesbanglinmas. Padahal,<br />

ancaman bahaya di daerah itu cukup lengkap seperti<br />

erupsi Gunung Merapi, longsor, gempa, kekeringan,<br />

banjir, wabah penyakit.<br />

Bagaimana Struktur BPBD?<br />

Misalkan BPBD sudah terbentuk. Lalu<br />

bagaimana strukturnya? BPBD berada di bawah<br />

dan bertanggung jawab kepada Kepala Daerah dan<br />

dipimpin oleh Kepala Badan yang juga Sekretaris<br />

Daerah. Hal serupa diatur Perka BNPB 3/2008, yaitu<br />

”Kepala BPBD dijabat secara rangkap oleh Sekretaris<br />

Daerah.” Jabatan Sekda yang merangkap Kepala<br />

BPBD ini tampaknya untuk mengatasi dilema<br />

‘matahari kembar’ tersebut di atas.<br />

BPBD terdiri atas Kepala Badan, Unsur Pengarah


dan Unsur Pelaksana. Uraian secara rinci mengenai<br />

tugas dan fungsi, uraian pekerjaan, keangotaan dan<br />

mekanismenya dan hal-hal terkait dengan susunan<br />

organisasi BPBD diatur oleh Permendagri 46/2008<br />

dan Perka BNPB 3/2008.<br />

Unsur Pengarah PB pada BPBD berada di bawah<br />

Kepala BPBD. Tugas Pengarah adalah memberikan<br />

masukan dan saran kepada Kepala BPBD dalam<br />

PB, sedangkan fungsinya adalah membuat<br />

rumusan kebijakan, memantau, dan mengevaluasi<br />

penyelenggaraan PB. Ketua Pengarah dijabat oleh<br />

Kepala BPBD, anggotanya berasal dari instansi<br />

pemerintah daerah, golongan professional dan tokoh<br />

masyarakat.<br />

Tugas Unsur Pelaksana BPBD adalah<br />

melaksanakan PB secara terintegrasi yang meliputi<br />

pra bencana, saat tanggap darurat dan pasca<br />

bencana. Sedangkan fungsi Unsur Pelaksana<br />

BPBD adalah melakukan pengoordinasian,<br />

pengkomandoan dan pelaksana. Susunan organisasi<br />

Unsur Pelaksana terdiri atas:<br />

1. Kepala pelaksana<br />

2. Sekretariat Unsur Pelaksana<br />

3. Bidang/seksi Pencegahan dan Kesiapsiagaan<br />

4. Bidang/seksi Kedaruratan dan Logistik<br />

5. Bidang/seksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi.<br />

Unsur Pelaksana BPBD ini dapat membentuk<br />

Satuan Tugas, tapi dalam Permendagri 46/2008 tidak<br />

menguraikan lebih lanjut masalah ini. Penjelasan<br />

lebih detil terdapat pada Perka BNPB 3/2008. Jabatan<br />

Unsur Pelaksana BPBD diisi Pegawai Negeri Sipil<br />

(PNS) yang memiliki kemampuan, pengetahuan,<br />

keahlian, pengalaman, ketrampilan dan integritas<br />

yang dibutuhkan dalam penanganan bencana.<br />

Permendagri 46/2008 dan Perka BNPB<br />

3/2008 ini menjadi acuan utama dalam teknis<br />

pembentukan BPBD di daerah-daerah. Namun masih<br />

ditemukan beberapa kontradiksi antar keduanya .<br />

Bila kontradiksi- kontradiksi tersebut tidak<br />

segera dipecahkan, maka dampaknya akan<br />

menghambat terbentuknya BPBD dan yang<br />

kemudian akan menghambat penyelenggaraan PB<br />

secara umum di Indonesia.<br />

BENANG KUSUT PEMBENTUKAN BPBD<br />

83


84 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Agenda AMCDRR<br />

KONFERENSI TINGKAT<br />

MENTERI ASIA TENTANG<br />

PENGURANGAN RISIKO<br />

BENCANA<br />

(ASIAN MINISTERIAL CONFERENCE ON DISASTER RISK REDUCTION)<br />

MASYARAKAT memiliki kearifan dan kekuatan sendiri<br />

dalam menghadapi bencana. Ketika kekuatan komunitas<br />

ini diberdayakan, risiko bencana bisa dikurangi. Masalah<br />

ini akan dibahas dalam Konferensi Tingkat Menteri Asia<br />

tentang Pengurangan Risiko Bencana Kelima (The Asian<br />

Ministerial Conference on Disaster Risk Reduction/AMCDRR)<br />

di Yogyakarta, Indonesia, 22-25 Oktober.<br />

Pengurangan risiko bencana menjadi konsen semua negara. Karenanya,<br />

dibahas pula pengintegrasian pengurangan risiko bencana dan perubahan<br />

iklim di tingkat lokal dalam perencanaan pembangunan nasional. Risiko<br />

bencana tingkat lokal juga dikaji termasuk penganggarannya. Demikian pula,<br />

perlu ada penguatan pengelolaan risiko bencana dan kemitraannya.


Semua hal di atas akan dibicarakan dalam<br />

konferensi dua tahunan yang diselenggarakan<br />

sejumlah negara di Asia sejak tahun 2005. Selain<br />

itu, paraMenteri yang mempunyai mandat dalam<br />

penanggulangan bencana di kawasan Asia bisa saling<br />

menguatkan.<br />

Komitmen pelaksanaan Kerangka Aksi Hyogo<br />

atau the Hyogo Framework for Action (HFA)<br />

ditegaskan kembali. Kerangka Aksi Hyogo adalah<br />

cetak biru untuk pengurangan risiko bencana<br />

tahun 2005-2015 yang telah diadopsi 168 negara<br />

anggota PBB pada Konferensi Tingkat Dunia tentang<br />

Pengurangan Risiko Bencana tahun 2005 di Kobe-<br />

Jepang.<br />

Konferensi ini juga menjadi wahana pertukaran<br />

pengalaman tentang keberhasilan penanggulangan<br />

bencana. Tidak hanya itu, dibicarakan pula<br />

pendekatan inovatif pelaksanaan lima program<br />

prioritas HFA dan rencana aksinya baik pada tingkat<br />

nasional dan tingkat lokal.<br />

Konferensi TingkatMenteriAsia tentang<br />

Pengurangan Risiko Bencana (AMCDRR) pertama<br />

3 AMCDRR I. Pertama kali diadakan di Beijing, Cina.<br />

kali diselenggarakan oleh Pemerintah Cina di Bejing<br />

pada Agustus tahun 2005. Konferensi pertama ini<br />

melahirkan Kerangka Aksi Bejing untuk Pengurangan<br />

Risiko Bencana. Nopember 2007, konferensi kedua<br />

dilaksanakan di New Delhi dengan Pemerintah India<br />

sebagai tuan rumahnya. Dari pertemuan kedua ini,<br />

lahir Deklarasi Delhi.<br />

Konferensi ketiga dilaksanakan di Kuala Lumpur<br />

dengan tuan rumah Pemerintah Malaysia pada<br />

Desember 2008 dan disepakati Deklarasi Kuala<br />

AGENDA AMCDRR<br />

85


86 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Agenda AMCDRR<br />

Lumpur. Konferensi keempat diselenggarakan di<br />

Incheon pada25-28 Oktober 2010 dengan tuan<br />

rumah Pemerintah Korea Selatan dan menghasilkan<br />

Deklarasi Incheon.<br />

Pada penutupan konferensi keempat, Pemerintah<br />

Indonesia menunjukan minat untuk menjadi tuan<br />

rumah konferensi kelima. Kemudian, konferensi<br />

kelima ditetapkan untuk diselengarakan pada 22-25<br />

Oktober 2012 di Jogjakarta Expo Center, JEC.<br />

Pemerintah Indonesia dinilai berpengalaman<br />

dalam menangani sejumlah bencana. Karenanya,<br />

Indonesia dianggap sangat menyadari pentingnya<br />

upaya pengurangan risiko bencana di tingkat lokal.<br />

Untuk itu,Pemerintah Indonesia mengangkat<br />

tema “Penguatan Kapasitas Lokal dalam<br />

Pengurangan Risiko Bencana”. Adapun sub-temanya<br />

adalah:<br />

1. Pengintegrasian Pengurangan Risiko Bencana<br />

dan Perubahan Iklim di tingkat Lokal ke dalam<br />

Perencanaan Pembangunan Nasional;<br />

2. Pengkajian Risiko Bencana tingkat lokal dan<br />

penganggarannya;<br />

3. Penguatan Pengelolaan Risiko Bencana dan<br />

Kemitraaan.<br />

Tujuan dari Konferensi Tingkat Menteri Asia<br />

tentang Pengurangan Risiko Bencana sebagai<br />

3 AMCDRR IV.


erikut:<br />

1. Mendorong komitmen politik dan investasi<br />

yang lebih kuat untuk Rencana Aksi Tingkat bagi<br />

Pengurangan Risiko Bencana (PRB);<br />

2. Menyiapkan rekomendasi Sesi Ketiga Global<br />

Platfor mmengenai tema “Invest Today for A<br />

Safer Tomorrow – Increase Investment in Local<br />

Action”.<br />

3. Membangun mekanisme kerja sama praktis<br />

dalam membangun ketahanan di tingkat lokal<br />

antar negara pada kawasan Asia-Pasific;<br />

4. Mempromosikan pengetahuan lokal dan<br />

prakteknya dalam PRB sebagai metoda untuk<br />

penguatan kapasitas lokal dalam PRB.<br />

Kegiatan utama AMCDRR adalah pertemuan<br />

meja bundar tingkat tinggi dan pertemuan teknis.<br />

Pertemuan meja bundar menjadi forum bagi para<br />

menteri/ketua delegasi untuk menyampaikan<br />

pandangan dan bahan deklarasi konferensi. Para<br />

AGENDA AMCDRR<br />

87


88 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Agenda AMCDRR<br />

peserta sesi teknis antara lain para ahli serta para<br />

praktisi pengurangan risiko bencana akan membahas<br />

tantangan utama terkait tiga subtema konferensi.<br />

Untuk itu, topik dan subyek baik pertemuan meja<br />

bundar maupun pertemuan teknis selalu berkaitan<br />

dengan subtema konferensi.<br />

3 JEC. Di sinilah nantinya akan diselenggarakan AMCDRR V pada 22-25 Oktober 2012.


3 PENGHARGAAN. Presiden RI, Dr. Susilo Bambang<br />

Yudhoyono menerima penghargaan “The Global Champion for<br />

Disaster Risk Reduction”.<br />

Konferensi yang berlangsung 4 hari ini juga akan<br />

mengakomodir kegiatan pendukung seperti: kegiatan<br />

prakonferensi, kegiatan pendukung, pameran,<br />

festival film, dan kunjungan lapangan ke area letusan<br />

Gunung Merapi tahun 2010 tempat berbagai kegiatan<br />

rehabilitasi dan rekontrukisi dilakukan.<br />

Diharapkan sebanyak 600 peserta dari 62 negara<br />

berpartisipasi dalam konferensi ini. Selain itu, 400<br />

orang lainnya dari tingkat lokal maupun nasional<br />

akan bergabung sebagai pengamat.<br />

Presiden Republik Indonsia, Dr. Susilo Bambang<br />

Yudhoyono, yang telah dianugrahi “The Global<br />

Champion for Disaster Risk Reduction” diharapkan<br />

membuka konferensi pada 23Oktober 2012.<br />

Konferensi ini diselenggarakan oleh Pemerintah<br />

Indonesia dengan dukungan dari Forum PRB<br />

Yogyakarta dan Platform Nasional PRB dan juga dari<br />

mitra kerja pembangunan seperti: the United Nations<br />

Country Team (UNCT) Indonesia, United Nations for<br />

International Strategy for Disaster Reduction, AusAID<br />

melalui Australia-Indonesia Facility for Disaster<br />

Reduction (AIFDR), Bank Dunia melalui Global Facility<br />

for Disaster Risk Reduction (GFDRR), New Zealand<br />

Aid dan lainya.<br />

AGENDA AMCDRR<br />

89


90 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Resensi Buku<br />

BUKU BABON<br />

PENGURANGAN<br />

RISIKO BENCANA<br />

GLOBAL<br />

Buku “Hidup Akrab dengan<br />

Bencana” (“Living with<br />

Risk”) ini salah satu literatur<br />

kunci yang membentuk<br />

kerangka kerja penanggulangan<br />

bencana di dunia dekade ini.<br />

Berbagai pengalaman dari<br />

berbagai belahan dunia dihimpun<br />

untuk melahirkan hikmah dan<br />

penanganan bencana yang lebih<br />

baik.<br />

Sampai pertengahan tahun 2000, terjadi<br />

perubahan besar dalam sikap dan perilaku<br />

orang dalam menghadapi bencana alam.<br />

Di masa lalu, penekanan lebih pada respon<br />

kemanusiaan dan aktivitas tanggap darurat. Namun,<br />

hanya sedikit perhatian pada strategi-strategi<br />

pengurangan bencana untuk menyelamatkan ribuan<br />

nyawa bahkan melalui langkah-langkah yang paling<br />

sederhana. Saat ini, semakin diakui bahwa meskipun<br />

upaya-upaya kemanusiaan penting dan perlu terus<br />

diperhatikan, risiko dan kerentanan merupakan<br />

elemen sangat penting dalam mengurangi dampak<br />

negatif bencana. Karenanya, ini membawa<br />

pembangunan berkelanjutan.<br />

Gagasan untuk melakukan tinjauan global<br />

terhadap inisiatif-inisiatif pengurangan bencana<br />

muncul dalam milenium baru menyusul Dekade<br />

Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk<br />

Pengurangan Bencana Alam (United Nations<br />

International Decade for Natural Disaster Reduction)


1990-1999. Dekade tersebut menunjukkan bahwa,<br />

meskipun ada penurunan jumlah orang yang tewas,<br />

jumlah bencana dan kerugian ekonomi meningkat.<br />

Kerugian semacam itu umumnya disebabkan<br />

tiadanya strategi pengurangan bencana yang<br />

koheren dari lembaga-lembaga internasional dan<br />

regional, pemerintah, dan para pengambil keputusan,<br />

serta tiadanya pengembangan budaya pencegahan di<br />

antara masyarakat luas.<br />

Buku ini terutama ditujukan bagi para praktisi<br />

sebagai panduan dan referensi. Bagaimana kita<br />

dapat terus mengembangkan budaya pencegahan.<br />

Keputusan-keputusan manusia bisa meningkatkan<br />

atau mengurangi kerentanan terhadap ancaman<br />

bencana alam. Pengalaman memberi pelajaran.<br />

Berkembang pula teknologi untuk mengantisipasi<br />

dan mengurangi dampak bencana – sensor satelit<br />

yang bisa membaca tanda-tanda penting yang<br />

menunjukkan aktivitas gunung api, pergeseran<br />

seismik, atau runtuhnya lereng bukit berharihari<br />

atau bahkan berminggu-minggu sebelum<br />

malapetaka terjadi, atau telemetri yang dapat<br />

memantau peningkatan kelembaban tanah dalam<br />

sebuah aliran sungai yang dapat berfungsi sebagai<br />

peringatan akan adanya banjir mendadak di daerah<br />

hilir.<br />

Selain itu, tinjauan ini melihat bagaimana<br />

masyarakat mengorganisasikan diri mereka sendiri,<br />

komunitas berinteraksi satu sama lain, pihak<br />

berwenang di tingkat lokal dan nasional merespons<br />

tantangan dan ancaman alam. Dipaparkan pula<br />

berbagai kepentingan, berbagai sikap yang selalu<br />

berubah, dan jaringan para aktor yang harus<br />

digerakkan untuk mengurangi risiko dan mencegah<br />

bencana.<br />

Strategi yang berbeda dituntut oleh kondisi<br />

manusia dan lingkungan yang berbeda-beda. Namun,<br />

secara universal, strategi pengurangan risiko bencana<br />

apapun menuntut - yang pertama dan terutama -<br />

kemauan politik. Komitmen ini harus dihubungkan<br />

dengan perencanaan pembangunan dan aksi<br />

berkelanjutan di tingkat nasional dan lokal.<br />

Di sisi lain, diharapkan terbentuk masyarakat<br />

aman yang telah belajar hidup bersama dan dari<br />

tanah mereka. Strategi-strategi pengurangan<br />

bencana hanya berhasil<br />

jika pemerintah<br />

dan warga negara<br />

paham bahwa sebuah<br />

bencana alam bukanlah<br />

diakibatkan suatu<br />

kekuatan dewa, tetapi<br />

kegagalan dalam<br />

berpikir dan bukti bahwa<br />

mereka mengabaikan<br />

tanggung jawab mereka<br />

sendiri.<br />

SAT<br />

Sebaiknya Anda Tahu<br />

• Judul Buku: Hidup<br />

Akrab dengan Bencana:<br />

Sebuah Tinjauan Global<br />

Tentang Inisiatif-Inisiatif<br />

Pengurangan Risiko<br />

Bencana (Jilid Pertama)<br />

• Judul Asli: Living with<br />

Risk: A Global Review<br />

of Disaster Reduction<br />

Initiaives (ISDR, 2006)<br />

• Pengarang: Bastian<br />

Affeltranger, dkk.<br />

• Penerbit: MPBI<br />

• Tahun Terbit: 2007<br />

• Jumlah Halaman: xxxviii<br />

+ 380 hal.<br />

Dua jilid<br />

Dalam versi aslinya “Living with Risk”, hanya<br />

ada satu jilid buku. Versi bahasa Indonesia yang<br />

diterbitkan Masyarakat Penanggulangan Bencana<br />

Indonesia (MPBI) menjadi dua jilid. Pembagian ini<br />

dilakukan supaya buku tidak terlalu tebal.<br />

Untuk diketahui bahwa buku versi asli diterbitkan<br />

Sekretariat International Strategy for Disaster<br />

Reduction (ISDR) sebelum terjadinya gempa<br />

dan tsunami pada 26 Desember 2004. Dengan<br />

demikian dapat dipahami bila contoh-contoh upaya<br />

penanggulangan bencana di Indonesia sangatlah<br />

sedikit. Dalam Jilid Pertama buku ini hanya ada satu<br />

contoh dari Indonesia, yaitu kasus banjir di Bandung<br />

(hal. 334-335). Dua kabupaten di Bandung yang<br />

rentan banjir dipilih sebagai ujicoba penanganan<br />

banjir dengan melibatkan Asian Disaster Reduction<br />

Center (ADRC), Institut Teknologi Bandung (ITB) dan<br />

komunitas setempat. Para pihak duduk bersama<br />

membahas faktor-faktor khusus yang dapat<br />

meningkatkan kapasitas komunitas untuk hidup<br />

dengan risiko. Sebagai hasilnya, penduduk setempat<br />

mengusulkan langkah-langkah seperti perbaikan<br />

jalan, tanggul perlindungan, dan definisi yang lebih<br />

baik tentang jalur air alami untuk mengurangi risiko<br />

di masa mendatang.<br />

Beragam pengalaman dalam publikasi ini, seperti<br />

disampaikan Sekretaris Jenderal PBB 1997-2006,<br />

Kofi A. Annan dalam prakata buku ini, diharapkan<br />

membuat semua terlibat dalam upaya membangun<br />

komunitas dan negara bangsa yang berdaya tahan di<br />

planet kita yang penuh bahaya ini.<br />

BUKU BABON PENGURANGAN RISIKO BENCANA GLOBAL<br />

91


92 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Galeri


PLN, tumbuh bersama masyarakat<br />

Perusahaan mengubah sumber<br />

daya alam dan lingkungan<br />

menjadi keuntungannya. Namun ada<br />

sedikit perusahaan yang tumbuh dan<br />

berkembang bersama sumber daya<br />

dan lingkungannya. Perusahaan Listrik<br />

Negara (PLN) memilih menjadi bagian<br />

dari yang disebut terakhir.<br />

Bagi PLN, lingkungan sosial dan<br />

alam adalah bagian tak terpisahkan dari<br />

usaha, maka kesejahteraan masyarakat<br />

dan keberlangsungan alam adalah juga<br />

sasaran investasi.<br />

Selama 2011 saja, PLN melalui<br />

divisi Corporate Social Responsibilty<br />

(CSR) Jawa Barat dan Banten telah<br />

menginvestasikan tak kurang dari Rp<br />

1,8 milyar dalam pengembangan energi<br />

bersih dan terbarukan untuk memenuhi<br />

kebutuhan masyarakat, sekaligus<br />

menjaga keberlangsungan ekologis.<br />

Inisiatif ini bertemu dengan<br />

kreatifitas dan semangat masyarakat<br />

membangun kemandirian. Titik<br />

temu itu antara lain terwujud<br />

dalam pembangunan Pembangkit<br />

Tenaga Listrik Mikro Hidro (PLTMH),<br />

Pengembangan Desa Mandiri Energi,<br />

Pemanfaatan kotoran sapi dan eceng<br />

gondok untuk bio-gas, dan yang masih<br />

dalam uji coba: pemanfaatan angin<br />

sebagai sumber energi.<br />

Kerja kreatif ini melibatkan unsur<br />

perguruan tinggi, pesantren, lembaga<br />

swadaya masyarakat dan pemerintah<br />

daerah.<br />

Seiring dengan pengembangan<br />

energi bersih dan terbarukan adalah<br />

pemeliharaan kelestarian alam<br />

dan lingkungan, yang antara lain<br />

diwujudkan dalam perbaikan dan<br />

pembangunan sarana ibadah, sekolah,<br />

perpustakaan desa, sanitasi, apotik<br />

hidup, tempat sampah dan kegiatankegiatan<br />

pemberdayaan masyarakat.<br />

Kerja kreatif bareng ini juga telah<br />

mewujud dalam penanaman 25.000<br />

pohon di Das Citarum, 5.000 pohon<br />

di lahan kritis Cimaung, 200 pohon di<br />

lahan Kritis Gunung Halu, 7.500 pohon<br />

di Cikalong dan biopori di 120 desa di<br />

daerah Bandung Barat.<br />

Kiprah PLN ini meniscayakan satu<br />

hal: semakin tumbuh dan berkembang<br />

usaha, semakin sejahtera masyarakat,<br />

dan semakin kokoh pula penyangga<br />

keberlangsungan sumber daya alam.<br />

93


94 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Galeri<br />

1 AWAN PANAS. Sapi-sapi<br />

korban awan panas gunung<br />

Merapi di Cangkringan,<br />

Yogyakarta.<br />

Foto: DWI OBLO


96 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Galeri<br />

3 PEMUKIMAN WARGA <strong>MERAPI</strong>. Kampung Kinahrejo saat<br />

terkena awan panas Gunung Merapi yang pertama.<br />

Foto: DWI OBLO<br />

3 ABU VULKAN. Desa Kepuhhardjo tertutup oleh abu vulkan<br />

sehari setelah letusan pertama Gunung Merapi tanggal 26<br />

Oktober 2010.<br />

Foto: RADITYA DJATI


4 KORBAN LETUSAN<br />

<strong>MERAPI</strong>. Para relawan dan<br />

tim rescue yang membawa<br />

korban awan panas dari<br />

kampung Kinahrejo.<br />

Foto: DWI OBLO<br />

3 SAKSI. Desa Kepuhhardjo tertutup dan ditenggelamkan oleh<br />

material vulkan setelah letusan yang lebih besar pada tanggal<br />

4 Nopember 2010. Hampir satu desa tertimbun oleh material<br />

vulkan.<br />

Foto: RADITYA DJATI<br />

97


98 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Edisi Depan<br />

MAJALAH Zerorisk Edisi ke-2 akan terbit bulan<br />

Oktober 2012 memuat Liputan Utama Bencana<br />

Gempa Bumi yang akhir-akhir ini banyak melanda<br />

Negeri kita. Liputan Utama akan mengetengahkan<br />

upaya rehabilitasi dan rekontruksi yang dilakukan<br />

oleh masyarakat korban bencana di beberapa<br />

tempat dengan atau tanpa dukungan Pemerintah,<br />

Pemerintah Daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat<br />

dan Dunia Usaha.<br />

Dalam Liputan Utama, akan dibahas pula<br />

antisipasi ke depan dalam upaya meminimalisir<br />

korban bencana, dengan nara sumber dari Badan<br />

Metereologi dan Geofisika (BMKG), Lembaga Ilmu<br />

Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan juga para ahli dari<br />

Perguruan Tinggi.<br />

Di samping itu, rubrik Gagasan akan membahas<br />

rumah tahan gempa dan sekolah aman gempa bumi<br />

sebagai upaya mengurangi korban jiwa. Peringatan<br />

dini ancaman gempa bumi belum ditemukan, maka<br />

Kearifan Lokal dalam bentuk mitos-mitos yang<br />

dipercayai masyarakat akan dipaparkan dalam Edisi<br />

Kedua ini.<br />

Rubrik Hari ke Hari akan memuat pengamatan Tim<br />

Zerorisk terhadap perilaku masyarakat pada kawasan<br />

rawan tanah longsor selama 48 jam. Rubrik Solusi<br />

akan membahas Kerangka Kebijakan Penyusunan<br />

Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) di tanah<br />

air. Dan masih banyak lagi isu-isu Pengurangan Risiko<br />

Bencana (PRB) yg akan dibahas pada Edisi Depan<br />

nanti.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!