02.09.2013 Views

teuku nyak arif - Acehbooks.org

teuku nyak arif - Acehbooks.org

teuku nyak arif - Acehbooks.org

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

aa<br />

1855<br />

N


Pahlawan Nasional<br />

TEUKU NYAK ARIF


Pahlawan Nasional<br />

TEUKU NYAK ARIF<br />

olch<br />

Drs. Mardanas Safwan<br />

BALAI PUSTAKA<br />

Jakarta, 1992


Perum Pencrbitan dan Percetakaii<br />

BALAI PUSTAKA<br />

BP No. 3886<br />

Hak pengarang dilindungi undang-undang<br />

Cetakan pertama - 1992<br />

959.8 Safwan, Mardanas<br />

Saf Pahlawan Nasional Teuku Nyak Arif/o!eh Drs. Mardanas<br />

P Safwan - eet 1. - Jakarta: Balai Pustaka, 1992.<br />

xii, 279 h!m.: bibl.; ilus.; 21 cm.- (Seri BP no. 3886).<br />

1. Sejarah Indonesia. I. Judul. H. Ser.<br />

ISBN 979 - 407 -430 - 6<br />

Perancang Kulit: B.L. Banibang Prasodjo


KA TA PENGANTAR<br />

Bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu dan menghormati<br />

jasa para pahlawannya. Para pahlawan itu sendiri sesungguhnya<br />

merupakan tokoh-tokoh sejarah, yang telah mengorbankan jiwa-raga<br />

untuk kebesaran dan kejayaan bangsa serta negaranya. Karena itu<br />

mereka pantas diteladani, dicontoh perilakunya serta dikenang amal<br />

baktinya. Terutama bagi generasi muda sebagai pewaris perjuangan<br />

dan pengisi hasil perjuangan.<br />

Bertitik tolak dari pemikiran itulah maka Balai Pustaka menerbitkan<br />

buku-buku, Seri Tokoh dan Pahlawan, ini yang tak bedanya<br />

sebuah dokumentasi sejarah yang tentu akan terus berguna bagi<br />

generasi-generasi mendatang.<br />

Salah seorang daii para pahlawan kita itu ialah, Teuku Nyak Arif,<br />

yang perjuangannya membela bangsa serta negara cukup dikenal,<br />

seperti apa yang ditulis oleh wartawan senior Indonesia, H. Mohammad<br />

Said dalam bukunya, Aceh Setengah Abad, seperti di bawah ini:<br />

"Bagaimanapun jasa Teuku Nyak Arif dalam perjuangan<br />

kemerdekaan tidak dapat diremehkan. Bahwa ia diungsikan ke<br />

Takengon dan meninggal di sana tidak boleh dilihat dari prasangka<br />

bahwa jasanya stidak ada lagi. Kita ba<strong>nyak</strong> membaca<br />

riwayat-riwayat revolusi, bahkan revolusi Perancis sendiri, betap<br />

orang berada paling depan menggalakkaii revolusi telah dinilai<br />

sebaliknya. Memang sejarah bisa membiarkan tertutup dengan<br />

riwayat-riwayat yang benar faktanya. Tetapi kalau kita masih<br />

lapang waktu kenapa kita harus membiarkan seseorang diselimu<br />

kabut-kabut yang melindungi kebenaran."<br />

Semula seri ini pernah diterbitkan oleh Direktorat Jenderal<br />

Kebudayaan, Departemen Pendidikan Kebudayaan, dalam jumlah<br />

v


terbatas. Karena dipandang kurang mencapai sasaran, maka kemudian<br />

diadakan revisi seperlunya dan diterbitkan kembali oleh Balai Pustaka,<br />

atas izin Direktorat Jenderal Kebudayaan tersebut.<br />

Dapat terselenggaranya penerbitan buku ini tentu atas bantuan<br />

berbagai pihak. Karena itu Balai Pustaka mengucapkan terima kasih<br />

kepada semua pihak yang telah membantu, antara lain: kepada Tim<br />

Penulis dan Penyunting, Bapak Anwar Badan (mantan pejabat pemerintah<br />

daerah Takengon) juga kepada almarhum Bapak Drs. T. Umar<br />

Ali yang telah membantu memberikan ba<strong>nyak</strong> bahan tambahan yang<br />

sangat berguna mengenai Teuku Nyak Arif. Tidak lupa kepada<br />

Departemen Sosial yang telah membantu dana sebagai penunjang utama<br />

penerbitan.<br />

Mudah-mudahan maksud kami tersebut akan mencapai sasarannya.<br />

vi<br />

Balai Pustaka


Teuku Nyak Arif, sewaktu menjadi Panglinm Sagi XXVI Mukim, Aceh Besar, lahun 1939.<br />


SEKAPUR SIRIH<br />

Penulisan Biografi Teuku Nyak Arif merupakan revisi buku yang<br />

pernah ditulis pada tahun 1976 dengan judul PAHLAWAN NA­<br />

SIONAL MAYJEN TEUKU NYAK ARIF. Dalam revisi ini telah diadakan<br />

beberapa perubahan dan tambahan baik materi maupun format<br />

penulisan. Tambahan daftar pustaka hanya dilakukan dengan sumbersumber<br />

tertulis, khususnya berupa buku-buku, sedangkan wawancara<br />

tidak diadakan lagi, karena telah dianggap mencukupi.<br />

Secara keseluruhan penulisan buku ini bertumpu pada tiga sumber,<br />

yaitu sumber primer berupa arsip dan surat kabar pada zaman<br />

pergerakan, buku-buku dan sumber tertulis lainnya serta wawancara.<br />

Sumber primer yang terutama didapat melalui Museum Nasional<br />

berupa surat kabar pada zaman pergerakan nasional. Sumber dari<br />

arsip yang juga ba<strong>nyak</strong> membantu dalam penulisan ini adalah koleksi<br />

pribadi T.A. Talsya.<br />

Bahan dari buku-buku yang sangat membantu dalam penulisan<br />

ini di antaranya adalah karangan Drs. Zakaria Ahmad dengan judul<br />

Sekitar Kerajaan Aceh, karaïigan DR. A.H. Nasution khususnya<br />

Sekitar Kemerdekaan Indonesia I dan II dan karangan DR. Nazaruddin<br />

Syamsuddin dengan judul Pemberontakan Kaum Republik.<br />

Sumber dari wawancara juga menambah bahan penulisan, yang sebagian<br />

hasilnya dikutip dalam tulisan dan sebagian lagi dimasukkan<br />

dalam opini. Khusus hasil wawancara dengan Prof. Teungku Ismaii<br />

Jacob S.H., M.A. dipergunakan sebagai salah satu sumber utama dan<br />

secara utuh dimasukkan ke dalam bagian opini. Naskah hasil wawancara<br />

itu telah dibaca dan disetujui oleh Prof. Ismail Jacob yang waktu<br />

ix


itu menjadi Rektor IAIN Sunan Kali Jaga Semarang. Hasil wawancara<br />

dengan Bapak Rasyid Manggis pun sebagian dimasukkan ke<br />

dalam tulisan dan juga dimuat secara utuh dalam opini. Naskah hasil<br />

wawancara itu juga telah dibaca dan disetujui oleh Bapak Rasyid<br />

Manggis.<br />

Walaupun telah dilengkapi dengan bahan yang memadai, namun<br />

tulisan ini tetap belum sempuma, karena keterbatasan kemampuan<br />

penulis, baik dari segi analisis maupun dari segi lainnya. Peminat<br />

yang ingin memperdalam pengetahuan mengenai riwayat bidup<br />

Teuku Nyak Arif dan sejarah Aceh pada periode beliau, dapat<br />

mempergunakan sumber yang dicantumkan pada akhir tulisan ini.<br />

Kepada semua pihak yang telah ikut membantu penulis dalam<br />

menyelesaikan tulisan ini, penulis menyampaikan ucapan terima<br />

kasih. Secara khusus ucapan terima kasih itu penulis tujukan kepada<br />

Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan<br />

Propinsi Sumatera Barat Bapak Drs. H. Jazir Burhan yang telah<br />

memberi kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan pekerjaan<br />

ini di sela-sela tugas pokok sebagai Kepala Bidang Sejarah dan Nilai<br />

Tradisional Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan<br />

Propinsi Sumatera Barat. Kepada Bapak Sagimun MD sebagai ketua<br />

tim penulis seri Pahlawan Nasional yang telah memberikan kesempatan<br />

kepada penulis dengan ini penulis juga mengucapkan terima<br />

kasih. Kepada rekan-rekan sesama mantan staf Direktorat Sejarah dan<br />

Nilai Tradisional seperti Bapak Sutrisno Kutoyo, Bapak Sagimun<br />

M.D, Bapak Drs. M. Sunyata, Bapak Masykuri, B.A. dan Bapak<br />

Surahman, B.A. penulis juga mengucapkan terima kasih. Kepada<br />

tokoh rhasyarakat yang telah membantu memberikan wawancara,<br />

meminjamkan dokumen buku dan lain-lain penulis juga mengucapkan<br />

terima kasih. Di antara tokoh-tokoh ini juga ada yang telah meninggal<br />

dunia dan untuk mereka ini penulis mendoakan agar mereka mendapat<br />

tempat yang layak di sisi Allah Subhanahu Wataala, sesuai<br />

dengan amal perbuatannya.<br />

Kepada Direktur Utama Balai Pustaka Bapak Drs. Zakaria Idris<br />

yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk merevisi buku<br />

ini, kemudian bersedia pula menerbitkannya, penulis juga mengucapkan<br />

terima kasih yang sebesar-besarnya.<br />

x


Kepada Saudara Sanusi Sanin yang telah bersedia membantu penulis<br />

dalam mengetik naskah ini penulis dengan ini mengucapkan<br />

terima kasih.<br />

Kepada perorangan ataupun instansi yang telah membantu penulis<br />

dalam menyelesaikan pekerjaan ini yang tidak dapat disebutkan<br />

satu per satu, penulis dengan ini juga mengucapkan terima kasih.<br />

Pengungkapan dan penulisan biografi Teuku Nyak Arif ini, baik<br />

yang negatif maupun yang positif, baik yang dimuat dalam biografi<br />

maupun dalam opini, semoga akan memberi gambaran yang jelas<br />

mengenai riwayat hidup dan perjuangan almarhum. Yang positif<br />

baiklah dijadikan suri teladan, dan yang negatif ditinggalkan saja<br />

sebagai suatu kelemahan seorang hamba Allah.<br />

Demikianlah yang dapat disarnpaikan dalam kesempatan ini, dan<br />

terakhir ditutup pengantar ini dengan mengutip ungkapan tradisional<br />

Minangkabau:<br />

Tembilang di rumpun langsat<br />

Tersandar di tempat yang landai<br />

Telah disebut semua yang dapat<br />

Yang tinggal terpulang pada yang pandai *)<br />

Demikianlah Sekapur Sirih ini, dan kurang-lebihnya penulis<br />

serahkan kepada para pembaca budiman yang <strong>arif</strong> dan bijaksana.<br />

*) Terjemahan dari bahasa Minangkabau<br />

Padang, 1 Maret 1991<br />

Penulis,<br />

Drs. Mardanas Safwan<br />

xi


DAFTARISI<br />

Halaman<br />

Kata Pengantar v<br />

Sekapur Sirih ix<br />

BAGIAN I BIOGRAFI TEUKU NYAK ARIF 1<br />

I. Kejayaan Kerajaan Aceh 3<br />

II. Riwayat Kehidupan Teuku Nyak Arif 9<br />

III. Rencong Aceh di Volksraad 25<br />

IV. Salah Seorang Pendiri Fraksi Nasional 64<br />

V. Pergerakan Politik dan Sosial 73<br />

VI. Menjelang Berakhirnya Kekuasaan Belanda 93<br />

VII. Zaman Pendudukan Jepang 103<br />

VIII. Awal Kemerdekaan 118<br />

IX. Residen Aceh 128<br />

X. Meninggal di Takengon 141<br />

XI. Pemugaran makam Pahlawan Nasional Teuku Nyak Arif 152<br />

BAGIAN II OPINI TOKOH MASYARAKAT DAN<br />

CENDEKIAWAN 163<br />

I. Wawancara dengan Tokoh Masyarakat Aceh 165<br />

II. Wawancara dengan Tokoh Masyarakat Lainnya 183<br />

III. Ulasan Surat Kabar Nasional Zaman Pergerakan 189<br />

IV. Tulisan Orang Belanda 200<br />

V. Beberapa Ulasan 209<br />

VI. Beberapa Dokumen 232<br />

DAFTAR PUSTAKA 241<br />

xiii


BAGIAN I<br />

BIOGRAFI TEUKU NYAK ARIF


I. KEJAYAAN KERAJAAN ACEH<br />

Pada masa jayanya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, Kerajaan<br />

Aceh merupakan kerajaan yang kuat di Nusantara, di samping<br />

Kerajaan Mataram di Jawa dan Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan.<br />

Hampir seluruh daerah Sumatera dan sebagian daerah Semenanjung<br />

Melayu dapat dikuasai oleh Kerajaan Aceh. Lebih-lebih pada pemerintahan<br />

Raja Iskandar Muda dari tahun 1607 sampai 1636, Kerajaan<br />

Aceh mencapai puncak kejayaannya. Sultan Iskandar Muda berhasil<br />

memajukan perdagangan internasional di Aceh, dan kemudian berhasil<br />

mencari hubungan dengan kerajaan Islam di luar Indonesia<br />

melawan Portugis, terutama merebut kekuasaan tunggal di Selat<br />

Malaka. Selain dari itu Sultan Iskandar Muda juga berhasil meluaskan<br />

kekuasaan Kerajaan Aceh dengan merebut monopoli timah dan lada<br />

yang merupakan hasil utama Indonesia Barat dan Malaya.<br />

Seluruh rakyat Aceh digerakkan oleh Iskandar Muda untuk membina<br />

Kerajaan Aceh menjadi kerajaan yang besar dengan jalan memajukan<br />

Banda Aceh sebagai bandar internasional. Iskandar Muda<br />

melarang pedagang-pedagang asing membeli lada langsung ke<br />

daerah-daerah produksi yang dikuasai oleh Aceh seperti Aru, Kampar,<br />

Indragiri, Jambi, Malaya, Bengkulu, dan tempat-tempat lain di<br />

pantai barat Sumatera. Barang-barang luar negeri hanya diperjualbelikan<br />

di pelabuhan-pelabuhan internasional yang sudah ditentukan<br />

oleh Aceh."<br />

1) Zakaria Ahmad, Sekitar Kerajaan Aceh dalam Tahun 1520 -1675, Monora Mcdan, 1972, hal.<br />

68.<br />

TEUKU NYAK ARIF-2 3


Daerah kerajaan yang bcsar tcrbagi atas daerah inti, daerah<br />

pokok, daerah takluk. Daerah inti adalah daerah yang pertama<br />

dimiliki oleh Aceh pada pcnmulaan kerajaan ini berdiri, yakni daerah<br />

Aceh Besar. Daerah pokok ialah daerah yang diduduki kemudian<br />

sesudah berdirinya Kerajaan Aceh seperti'Pidie, Samudera Pase,<br />

Tamiang, Gayo, Alas daerah barat Singkel, Trumon, dan Barus.<br />

Daerah inti dan daerah pokok merupakan daerah Kerajaan Aceh,<br />

yang kokoh kuat di daerah Nusantara. Daerah takluk merupakan<br />

kerajaan-kerajaan yang takluk kepada Kerajaan Aceh. Daerah ini<br />

sebenarnya merupakan kerajaan yang merdeka juga, karena hanya<br />

beberapa hal yang diurus oleh Kerajaan Aceh seperti ekonomi dan<br />

perhubungan luar negen.<br />

Hubungan Kerajaan Aceh dengan daerah takluknya makin diperkuat<br />

lagi dengan mengadakan perkawinan dan pemindahan penduduk.<br />

Bahkan ada Raja Aceh yang berasal dari daerah takluk seperti Sultan<br />

Iskandar Thani yang berasal dari Kerajaan Perak Malaya yang raemerintah<br />

dari tahun 1636 - 1641.<br />

Berdasarkan susunan pemerintahan wilayah Kerajaan Aceh dapat<br />

dibagi menjadi: Gampong, Mukim, Nanggro, dan Kerajaan. Pembagian<br />

wilayah ini hanyalah terdapat di daerah inti dan daerah pokok,<br />

sedangkan daerah takluk mempunyai corak sendiri-sendiri dan tak<br />

pemah dicampuri oleh pemerintah pusat Kerajaan Aceh. Gampong<br />

adalah daerah hukum Kerajaan Aceh yang paling bawah, seperti<br />

halnya desa di Jawa dan nagari di Minangkabau.<br />

Proses pembentukan desa di Aceh yang dinamai Gampong sama<br />

dengan pembentukan desa-desa lain di Indonesia. Sesudah agama<br />

Islam masuk ke Aceh, maka wajah Gampong ini disesuaikan dengan<br />

peraturan agama Islam. Kepala Gampong dinamai "Keuchik" yang<br />

dibantu oleh beberapa staf. Staf yang mengurus soal-soal keagamaan<br />

dinamai "Tengku Meunasah". Gabungan beberapa buah Gampong<br />

dinamai Mukim yang pada mulanya sebagai tempat melakukan sembahyang<br />

Jumat bersama di sebuah masjid di mana mereka tinggal<br />

(bermukim). Daerah hukum mukim ini bukanlah bentuk daerah<br />

hukum asli di Aceh, tetapi baru lahir sesudah seluruh rakyat Aceh<br />

memeluk agama Islam. Kedudukan mukim yang pada mulanya hanya<br />

4


mengurus soal-soal keagamaan meningkat mengurus soal-soal pemerintahan,<br />

sehingga kedudukannya menjadi atasan Gampong.<br />

Kepala mukim dinamai "Imeum" yang tugasnya menjadi koordinator<br />

keuchik-keuchik dalam mukimnya. Dalam perkembangan selanjutnya<br />

urusan agama dipisahkan dari urusan pemerintahan, sehingga<br />

imeum keba<strong>nyak</strong>an diangkat dari cerdik pandai biasa dan<br />

lambat-laun secara turun-temurun pula.<br />

Gabungan beberapa buah mukim yang dikepalai oleh seorang<br />

"Uleebalang" dinamai Nanggro. Uleebalang di daerah Kerajaan<br />

Aceh menerima kekuasaan dari Sultan dan kedudukan ini dipegang<br />

turun-temurun pula. Mereka merupakan golongan bangsawan, dan<br />

keluarga serta turunan Uleebalang memakai gelar 'Teuku".<br />

Kemudian di daerah inü Kerajaan Aceh dibentuk tiga federasi<br />

yang dinamai "Sago" atau Sagi. Panglima Sago lazimnya diangkat<br />

langsung oleh Sultan yang diambil dari famili Sultan sendiri. Namanama<br />

Sago diambil dari jumlah mukim yang terdapat dalam Sago<br />

masing-masing. Di daerah Aceh Besar terdapat tiga orang Panglima<br />

Sago, masing-masing Sago 22 Mukim, Sago 25 Mukim dan Sago 26<br />

Mukim. Panglima Sago adalah koordinator Nanggro yang tergabung<br />

dalam Sago.<br />

Bila Sago dan Kerajaan berada dalam bahaya, maka seluruh<br />

kekuasaan pemerintahan sipil dan militer berada di tangan Panglima<br />

Sago yang menjalankan kekuasaan atas nama Sultan. Kekuasaan<br />

Uleebalang sangat besar, dan adakalanya ia bertindak sebagai penguasa<br />

daerah yang merdeka, sehingga kekuasaan Sultan hanya tinggal<br />

formalitas saja sebagai kepala pemerintah pusat. Panggilan kepada<br />

Sultan (Raja) Aceh adalah 'Tuanku".<br />

Sesudah Sultan Iskandar Muda wafat, maka kedudukan beliau digantikan<br />

oleh Sultan Iskandar Thani yang memerintah dari tahun<br />

1936 - 1641. Pemerintahan Iskandar Thani merupakan puncak akhir<br />

kejayaan Kerajaan Aceh, daerah takluk satu demi satu meiepaskan<br />

diri. Kemunduran Kerajaan Aceh kemudian ditambah lagi dengan<br />

jatuhnya Malaka ke tangan Belanda. Demikian juga daerah-daerah<br />

Indonesia lainnya, terutama sebagian Jawa telah dikuasai pula oleh<br />

Belanda.<br />

5


Selanjutnya daerah demi daerah Nusantara berhasil dikuasai<br />

Belanda dengan jalan kekerasan senjata pada akhir abad ke-19. Satusatunya<br />

daerah yang belum berhasil dikuasainya adalah Kerajaan<br />

Aceh. Pemerintah Belanda telah berusaha dengan jalan damai<br />

menguasai Aceh, tetapi Aceh tidak bersedia menerimanya. Karena<br />

jalan lain tidak mungkin lagi bagi Belanda untuk menguasai Aceh,<br />

maka pemerintah Belanda memutuskan untuk menaklukkannya<br />

dengan kekerasan senjata.<br />

Pada tahun 1871 diadakanlah penandatanganan traktat Sumatera<br />

antara Kerajaan Inggris dan Belanda. Dalam traktat itu dinyatakan<br />

bahwa Belanda tidak berkewajiban lagi menghormati kedaulatan dan<br />

integritas Kerajaan Aceh dan tidak ada lagi ikatan bagi Belanda untuk<br />

memperluas kekuasaannya di seluruh Pulau Sumatera. 2<br />

'<br />

Kerajaan Aceh yang merasa terancam dengan traktat Sumatera<br />

berusaha mencari bantuan dari negara-negara yang bersahabat dengan<br />

Aceh. Kerajaan Aceh yang pada saat itu tidak sekuat seperti masa<br />

sebelumnya yang sanggup menghadapi Portugal pada abad ke-16 dan<br />

17, telah berusaha menyusun kekuatan untuk melawan Belanda. Pada<br />

bulan Januari 1873 seorang duta yang bernama Habib Abdulrahman<br />

dikirim oleh Sultan Aceh ke Turki membicarakan ancaman Belanda<br />

terhadap Aceh serta meminta bantuan. Perutusan Aceh dalam perjalanan<br />

pulang dari Turki telah singgah di Singapura dan mengadakan<br />

hubungan dengan konsulat Amerika dan Italia. Konsul Amerika<br />

sendiri malah telah mempersiapkan konsep perjanjian kerja sama sederajat<br />

antara Amerika dan Aceh bersama para utusan tersebut dalam<br />

menghadapi ancaman pihak Belanda.<br />

Meskipun Aceh tidak sekuat seperti dulu lagi dengan armada<br />

lautnya yang besar, namun dalam keadaan kemunduran telah berusaha<br />

mempertahankan diri dari serangan bangsa Belanda. Sejak<br />

bulan Agustus 1872 sampai bulan Maret 1873 Aceh telah memasukkan<br />

5.000 peti mesiu dan 1.349 peti senapan (5.000 pucuk) dari<br />

Penang. Dalam pada itu Belanda juga telah bersiap-siap untuk menghadapi<br />

Aceh dengan jalan mengirim ultimatum kepada Sultan Aceh.<br />

2) Ibrahim Alfian, Modern Education in Aceh A PreliminaryNote, IAHA Yogyakarta, 1974, hal.<br />

6<br />

239.


Karena jawaban tidak memuaskan, maka pada 26 Maret 1873<br />

Belanda memaklumkan perang kepada Aceh.<br />

Perang Aceh merupakan perang yang terbesar bagi pemerintah<br />

kolonial Belanda di Indonesia. Di Aceh orang-orang Belanda<br />

menghadapi orang-orang yang lebih cinta kepada kemerdekaannya,<br />

lebih fanatik, lebih berani dan lebih gigih dalam perang gerilya serta<br />

lebih besar kepercayaannya kepada kekuatan diri-sendiri dari umumnya<br />

di tempat-tempat lain.<br />

Perang Aceh tetap menjadi pelajaran bagi Angkatan Perang<br />

Belanda, dalam menegakkan kekuasaan kolonial mereka di Indonesia.<br />

Perang Aceh baru berkhir tahun 1912 yaitu dengan menyerahnya<br />

pejuang-pejuang Aceh secara berangsur-angsur, walaupun di sana-sini<br />

serangan terhadap Belanda masih tetap berlangsung sampai pendudukan<br />

Jepang.<br />

Perang Aceh telah menimbulkan korban yang tidak sedikit di<br />

pihak Belanda baik korban material maupun korban manusia. Bahkan<br />

perang Aceh telah mengorbankan beberapa orang Jenderal Belanda<br />

yang terkenal seperti Jenderal Kohier dan Jenderal Pel.<br />

Kekalahan Aceh terhadap Belanda pada tahun 1903, ketika<br />

Sultan menyerah, telah mengganggu perimbangan kekuatan tradisional,<br />

yaitu di antara kekuatan-kekuatan sosial politik utama di<br />

Aceh: Sultan, Uleebalang, dan ulama. Dalam usaha mengalahkan<br />

Aceh, pada tahun 1874 Belanda mencoba mengusik keseimbangan di<br />

antara kekuatan-kekuatan tradisional ini dengan memperkenalkan<br />

sistem kekuasaan "pemerintahan sendiri" bagi para Uleebalang dalam<br />

bentuk korte verklaring (perjanjian pendek). Namun tampaknya<br />

Belanda tidak begitu puas dengan hasil perjanjian ini, sehingga pada<br />

tahun 1898 mereka mengubahnya dan memaksa para Uleebalang<br />

menganggap wilayah mereka sebagai bagian Hindia Belanda dan<br />

memandang musuh Belanda sebagai musuh mereka pula. 3)<br />

Berkat kebijaksanaan ini, Belanda berhasil memecah-belah kekuatan<br />

Aceh dengan menciptakan konflik terus-menerus antara<br />

kelompok pro-Sultan dan pro-Uleebalang.<br />

3) Nazaruddin Syamsuddin, Pemberonlakan Kaum Republik, Kasus Darul Islam Aceh, Pustaka<br />

Utama Grafiü, Jakarta, 1990, hal. 17.<br />

7


Untuk menjalankan pemerintahan kolonialnya, Belanda memerlukan<br />

Uleebalang yang berpendidikan modern dan juga pengetahuan<br />

rakyat perlu ditingkatkan, antara lain melalui menulis dan<br />

membaca huruf Latin. Usaha Van Dalen yang telah dimulai pada<br />

tahun 1907 dengan cara mendirikan sekolah-sekolah desa diteruskan<br />

oleh Swart. Usaha Belanda di bidang pengajaran baru ini pada<br />

umumnya hanya diikuti oleh sebagian Uleebalang, tetapi belum dapat<br />

diterima oleh rakyat dan golongan agama.<br />

Sejak tahun 1901 anak-anak Uleebalang mulai disekolahkan di<br />

Kutaraja dan sejak tahun 1904 ada yang dikirim ke Bukittinggi.<br />

Rakyat biasa masih enggan bersekolah oleh karena diyakininya pendapat<br />

yang mengatakan bahwa siapa yang menulis huruf Latin akan<br />

dipotong tangannya di akhirat atau menjadi kafir. 5)<br />

•<br />

4) H.M. Zainuddin, Srikandi Aceh, Pustaka Iskandar Muda, Medan, 1966, hal. 263.<br />

8


II. RIWAYAT KEHIDUPAN<br />

TEUKU NYAK ARIF<br />

Teuku Nyak Arif dan Panglima Polem sesungguhnya masih<br />

keluarga seketurunan dari Sultan Alauddin Inayat Syah. Menurut<br />

daftar silsilah, Sultan Alauddin Inayat Syah mempunyai dua orang<br />

anak, yaitu:<br />

1. Sultan Muzaffar Syah<br />

2. Sultan Munawar Syah<br />

Jikalau Sultan Muzaffar Syah menurunkan Teuku Nyak Arif,.<br />

maka Sultan Munawar Syah menurunkan Panglima Polem.<br />

Teuku Nyak Arif dilahirkan pada tanggal 17 Juli 1899 di Ulee<br />

Lheue, ayahnya bernama Teuku Nyak Banta yang mempunyai<br />

kedudukan sebagai Panglima Sagi 26 Mukim. Ibunya bernama Cut<br />

Nyak Rayeuk berasal dari Ulee Lheue. Teuku Nyak Arif mempunyai<br />

saudara kandung seba<strong>nyak</strong> 5 orang, 2 laki-laki dan 3 orang perempuan,<br />

yaitu Cut Nyak Asmah, Cut Nyak Mariah, Teuku Nyak Arif,<br />

Cut Nyak Samsiah dan Teuku Moh. Yusuf.<br />

Di samping itu Teuku Nyak Arif juga mempunyai saudara seayah<br />

lain ibu, karena Teuku Nyak Banta mempunyai 3 orang istri.<br />

Agama Islam membolehkan adanya poligami, asal dapat bertindak<br />

adil dan dengan tujuan untuk menghindarkan seorang suami<br />

melakukan penyelewengan yang bertentangan dengan agama. Teuku<br />

Nyak Banta ternyata dapat bertindak adil, di mana ketiga istri beliau<br />

bisa hidup rukun dan damai dan dengan tulus melakukan tugas<br />

mereka masing-masing sebagai istri. Anak-anak Teuku Nyak Banta<br />

9


walaupun berïainan ibu, menganggap saudara-saudara mereka sebagai<br />

saudara kandung saja.<br />

Istri Teuku Nyak Banta yang kedua bernama Cut Nyak Cahaya.<br />

Dari istrinya ini Teuku Nyak Banta mendapat empat orang anak, yaitu<br />

Cut Nyak Ubit, Cut Nyak Tengoh, Cut Nyak Maneh dan Teuku<br />

Abdul Hamid. Dari istri yang ketiga Teuku Nyak Banta mempunyai<br />

seorang anak, yaitu Teuku Daud.<br />

Rasa persaudaraan di antara anak-anaknya berhasil dibina oleh<br />

Teuku Nyak Banta. Kebiasaan itu berlaku tidak hanya ketika beliau<br />

masih hidup, tetapi juga sesudah beliau meninggal dunia. Teuku Nyak<br />

Arif sebagai anak laki-laki tertua tidak membedakan saudara kandung<br />

dari saudara lain ibu. Teuku Abdul Hamid pemah disekolahkan ke<br />

negeri Belanda, padahal saudara kandungnya sendiri tidak pernah<br />

disekolahkan ke luar negeri. Pengurusan hal pembagian harta pusaka<br />

juga diserahkan Teuku Nyak Arif kepada Teuku Abdul Hamid.<br />

Kebiasaan seperti ini dapat berlaku di dalam keluarga Teuku Nyak<br />

Arif adalah berkat bimbingan dan didikan ayahnya, Teuku Nyak<br />

Banta. !)<br />

Semenjak masa kanak-kanak Teuku Nyak Arif termasuk anak<br />

yang cerdas, berani dan mempunyai sifat yang keras. Ia selalu menjadi<br />

pemimpin di antara teman-temannya, baik dalam pergaulan di<br />

sekolah maupun dalam pergaulan di luar sekolah. Permainan yang<br />

paling disenangi oleh Teuku Nyak Arif adalah sepak bola di permainan<br />

sepak bola ini ia selalu menonjol sebagai bintang lapangan.<br />

Di samping berolah raga, Teuku Nyak Arif juga menyenangi kesenian.<br />

Ia dapat memainkan biola dengan baik. Di samping itu ia juga<br />

bisa bermain sulap yang dipertunjukkan dalam pertemuan sesama<br />

teman, sebagai hiburan dan rekreasi.<br />

Setelah menyelesaikan pelajarannya di Sekolah Dasar Kutaraja<br />

yang sekarang bernama Banda Aceh, maka Teuku Nyak Arif dimasukkan<br />

oleh orang tuanya ke Sekolah Raja (Kweekschool) di<br />

Bukittinggi. Pada waktu itu jarak antara Banda Aceh dan Bukirtinggi<br />

tidak merupakan jarak yang dekat, apalagi hubungan belum lancar<br />

seperti sekarang. Menurut keyakinan orang tuanya Teuku Nyak Arif<br />

1) Wawancara dengan Teuku Abdul Hamid di Banda Aceh tanggal 4 Februari 1974.<br />

!0


di samping menuntut pengetahuan juga harus menambah pengalaman<br />

dengan bersekolah di daerah lain. Teuku Nyak Arif dalam usia yang<br />

sangat muda telah hidup berpisah dari orang tua, saudara-saudara dan<br />

familinya.<br />

Selama bersekolah di Bukittinggi dari tahun 1908 sampai tahun<br />

1913 Teuku Nyak Arif termasuk anak yang pandai. Tiap tahun ia naik<br />

kelas dengan hasil yang memuaskan. Di samping itu ia juga mempunyai<br />

ba<strong>nyak</strong> teman, baik di dalam maupun di luar sekolah.<br />

Kegemarannya bermain sepak bola terus dilanjutkan, bahkan selama<br />

di Bukittinggi ia tetap menjadi bintang dalam sepak bola sekolah.<br />

Direktur Sekolah Raja Bukittinggi yang bernama B.J. Visser<br />

sangat senang kepada Teuku Nyak Arif, karena ia termasuk anak<br />

yang pandai sehingga ia selalu mendapat pujian. Teman-teman sedaerah<br />

dengan Teuku Nyak Arif yang juga bersekolah di Bukittinggi<br />

antara lain ialah: Teuku Ad, Teuku Moh. Ali dan Teuku Leman. 2)<br />

Nama Teuku Nyak Arif pada waktu itu sangat terkenal di kalangan<br />

murid-murid Kweekschool yang oleh orang Indonesia disebut<br />

Sekolah Raja. Anak-anak Sekolah Raja di Bukittinggi sebagian besar<br />

ditempatkan di dalam asrama, lebih-lebih anak-anak yang berasal dari<br />

luar daerah Sumatera Barat. Pergaulan anak-anak yang tinggal di<br />

dalam asrama umumnya lebih akrab dari yang tinggal di luar.<br />

Sekolah Raja Bukittinggi mempunyai dua jurusan yaitu jurusan<br />

Guru dan jurusan Pamong Praja (pemerintahan). Teuku Nyak Arif<br />

memilih jurusan Pamong Praja, karena ia adalah calon Panglima Sagi<br />

26 Mukim.<br />

Nama baik Teuku Nyak Arif tersemat sebagai teladan yang indah<br />

dalam hati murid-murid Sekolah Raja yang berasal dari berbagai<br />

daerah Pulau Sumatera. Sifat dan sikapnya yang cekatan, tutur kata<br />

yang ringkas tetapi tegas menjadi perhatian di sekolah, dan itulah<br />

sebabnya ia disegani oleh teman-teman seperguruan, terutama yang<br />

duduk di kelas yang lebih tinggi.<br />

Murid-murid Sekolah Raja lainnya yang berasal dari daerah Aceh<br />

adalah T. Idris, T. Mahmud, T. Rayeuk, T. Rahman, T.M. Alibasya,<br />

T. Raja Ibrahim, T. Usman dan T. Said Abdul Aziz, mereka ini<br />

2) Wawancara dengan Moh. Djuned di Banda Aceh tanggal 21 Februari 1974.<br />

11


Murid-murid Sekolah Raja Bukittinggi di depan sekoiah mereka pada tahun 1911. Tanda x ad<br />

Teuku Nyak Arif aan tanda xx Teuku Mohammad Hasan Glumpang Payong (Hasan Dik).<br />

mengakui martabat dan gengsi Teuku Nyak Arif. Daerah Aceh dikenal<br />

oleh penduduk Bukittinggi dengan nama Tanah Rencong,<br />

karena daerah itu terkenal dengan rencongnya. 3<br />

'<br />

Semenjak masa muda Teuku Nyak Arif telah mempunyai<br />

perasaan benei kepada orang Belanda. Pada waktu itu anak-anak<br />

bangsawan Aceh yang bersekolah di Bukittinggi mendapat runjangan<br />

dari pemerintah f 10 (sepuluh gulden) tiap bulan dengan perantaraan<br />

Residen Aceh H.N.A. Swart. Karena bencinya kepada pemerintah<br />

Hindia Belanda Teuku Nyak Arif tidak bersedia menerima uang itu. 4)<br />

Teuku Nyak Arif semenjak masa muda juga telah gemar membaca<br />

buku ilmu pengetahuan, terutama karya pemimpin-pemimpin<br />

terkemuka Indonesia. Tulisan yang paling disenanginya adalah tulisan<br />

3) Wawancara dengan M. Rasyid Manggis di Bukillinggi tanggal 23 Februari 1975.<br />

4) Wawancara dengan Moh. Djuned di Banda Aceh tanggal 21 Februari 1974.<br />

12


Agus Salim. Kebetulan pada waktu itu Agus Salim sendiri sedang<br />

berada di Bukittinggi, membuka sekolah HIS partikelir di Koto<br />

Gadang Bukittinggi dari tahun 1911 - 1915. 5<br />

'<br />

Pada tahun 1912 Teuku Nyak Arif melanjutkan pelajarannya ke<br />

OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren) di Serang,<br />

B anten. Daerah yang dituju semakin jauh, serta pengetahuan dan<br />

pengalamannya semakin ba<strong>nyak</strong>. Makin lama Teuku Nyak Arif<br />

makin matang, terutama dalam bidang politik pemerintahan. Selama<br />

bersekolah di Serang (1912 - 1915), Teuku Nyak Arif memperdalam<br />

ilmu dalam bidang pamong praja sebagai lanjutan Sekolah Raja<br />

Bukittinggi.<br />

Kalau pada Sekolah Raja di Bukittinggi pergaulan Teuku Nyak<br />

Arif hanya terbatas di antara anak-anak yang berasal dari Sumatera<br />

saja, maka pada sekolah OSVIA pergaulannya telah lebih luas lagi,<br />

seperti dengan pemuda yang berasal dari daerah Sunda, Jawa dan<br />

Kalimantan. Sekolah OSVIA di Serang khusus diadakan oleh Belanda<br />

untuk anak-anak raja dan bangsawan dari seluruh Indonesia, seperti<br />

dari Aceh dan Sumatera Timur, bahkan dari Kalimantan. Anak raja<br />

Sambas, Kutai dan Ngabang juga bersekolah di sini.<br />

Salah seorang teman Teuku Nyak Arif di OSVIA adalah Tengku<br />

Moh. Arifin yang berasal dari Sumatera Timur. Menurut Tengku<br />

Moh. Arifin, Teuku Nyak Arif selama bersekolah di Serang selalu<br />

menunjukkan perasaan tidak senang kepada Belanda dan perasaan itu<br />

telah betul-betul tertanam di dadanya.<br />

Teuku Nyak Arif sangat sensitif terhadap Belanda, ia sering<br />

konflik dengan guru-guru dan direktur sekolah, orang Belanda. Teuku<br />

Nyak Arif sering tidak mengikuti peraturan yang dikeluarkan sekolah,<br />

terutama yang menyinggung perasaan nasional seperti cara hormat<br />

yang berlebihan terhadap guru. Akibat sikapnya ini Teuku Nyak Arif<br />

sering mendapat teguran dari guru-guru atau direktur sekolah. Tetapi<br />

walaupun begitu guru-guru dan pemimpin sekolah tidak berani bersikap<br />

keras terhadap anak-anak Aceh, karena pemerintah Hindia<br />

Belanda selalu berusaha mengambil hati orang-orang Aceh. Peme-<br />

5) Wawancara dengan Iskandar Ishaq di Jakarta tanggal 24 April 1974.<br />

13


intah Hindia Belanda mengetahui bahwa daerah Aceh merupakan api<br />

dalam sekam terhadap Belanda. 6<br />

'<br />

Pemberian beasiswa kepada anak-anak bangsawan bangsa Indonesia<br />

termasuk Aceh, merupakan taktik Belanda untuk membendung<br />

perlawanan rakyat Indonesia. Kalau Teuku Nyak Arif marah, gurugurunya<br />

tidak berani bertindak keras. Teuku Nyak Arif bersama<br />

teman-temannya anak Sumatera tidak mau disuruh menghapus papan<br />

tulis waktu belajar. Pernah pada suatu kali Teuku Nyak Arif disuruh<br />

oleh gurunya membersihkan papan tulis, seperti biasanya dia juga<br />

menolak perintah gurunya itu. Karena sangat marahnya maka guru itu<br />

tidak bersedia memberikan pelajaran, sehingga pada jam itu, muridmurid<br />

tidak jadi belajar.<br />

Perasaan tidak mau tunduk terhadap Belanda sangat menonjol<br />

pada orang-orang Aceh termasuk juga para pelajamya. Sebaliknya<br />

terhadap teman-temannya, termasuk yang berasal dari daerah luar<br />

Aceh, Teuku Nyak Arif sangat baik dan ramah. Hubungan dengan<br />

teman-temannya sangat akrab, baik dalam pergaulan sehari-hari,<br />

lebih-lebih dalam bidang politik. Teuku Nyak Arif mengadakan suatu<br />

kelompok diskusi dengan teman-temannya yang membicarakan persoalan<br />

politik. Mereka membahas tajuk rencana yang terdapat dalam<br />

koran-koran Nasional, kemudian mendiskusikan persoalan itu. Berkat<br />

kegiatannya itu pengetahuan Teuku Nyak Arif mengenai politik<br />

makin luas dan makin dalam. Pandangan Teuku Nyak Arif terhadap<br />

Nasionalisme Indonesia makin lama makin mantap dan menemui<br />

bentuknya yang makin sempurna. Menurut Teuku Nyak Arif bangsa<br />

Indonesia harus bersatu dalam menuju cita-cita mencapai kemerdekaan.<br />

7<br />

><br />

Pada tahun 1915 Teuku Nyak Arif pulang ke Aceh untuk ikut<br />

menyumbangkan tenaganya bagi pembangunan daerah. Pada tahun<br />

1918 - 1920 ia bekerja sebagai pegawai urusan distribusi beras<br />

makanan rakyat (Ambtenaar bij de voedsel voorziening daerah Aceh.<br />

Di samping bekerja di kantor, Teuku Nyak Arif juga mengikuti kegiatan<br />

politik. Pada tahun 1918 ia memasuki <strong>org</strong>anisasi diawasi<br />

6) Wawancara dengan Tengku Moh. Arifin di Jakarta tanggal 19 Aguslus 1976.<br />

7) Ibid., Jakarta, 19 Agustus 1976.<br />

14


Nationale Indische Partij (NIP) yang mulanya bernama Insulinde<br />

yang diketuai oleh Douwes Dekker dan kawan-kawannya di Jakarta.<br />

Dalam salah satu rapat di Kutaraja Teuku Nyak Arif mengadakan<br />

perdebatan dengan Dr. De'Vries yang waktu itu menjadi Gezaghebber<br />

di Lhok Seumawe. Karena pembicaraannya yang bebas dan<br />

tangkas, maka Teuku Nyak Arif dipilih menjadi ketua NIP cabang<br />

Kutaraja.<br />

Tahun 1919 dalam kongres Syarekat Aceh (Aceh Vereeniging)<br />

periode ke II Teuku Nyak Arif terpilih menjadi ketua pengurus besar<br />

menggantikan TT. Muhammad Thayeb dari Peureulak. Organisasi<br />

Syarekat Aceh adalah suatu <strong>org</strong>anisasi yang bergcrak dalam bidang<br />

sosial. Mulai saat itu namanya menjadi popuier sekali di kalangan<br />

pemuda. Nama samarannya yang sering dipanggilkan oleh pemuda<br />

adalah Max. Rumahnya di jalan Merduati yang berdampingan dengan<br />

rumah Teuku Hasan Dik selalu ramai dikunjungi oleh pemudapemuda<br />

Aceh. Di samping membicarakan soal-soal politik, para<br />

pemuda yang datang ke rumah Teuku Nyak Arif juga membicarakan<br />

soal-soal sosial.<br />

Di antara tokoh pemuda yang sering datang bcrkunjung ke rumah<br />

Teuku Nyak Arif dan Teuku Hasan Dik adalah H.M. Zainuddin,<br />

Tuanku Mahmud dan Teuku Usman. Mereka mendirikan pcrkumpulan<br />

sepak bola, perkumpulan bilyard dan mengadakan sandiwara. Di<br />

dalam club (perkumpulan) tidak ada perbcdaan antara anak-anak<br />

bangsawan dan anak-anak orang keba<strong>nyak</strong>an. Dengan jalan ini Teuku<br />

Nyak Arif telah mencoba menanamkan jiwa demokrasi di kalangan<br />

generasi muda.<br />

Dalam permainan sandiwara yang bcrjudul Raja Matahari, Teuku<br />

Nyak Arif ikut bermain dengan nama samaran Max. Panggilan Max<br />

pada waktu itu lebih dikenal dari nama Teuku Nyak Arif, lebih-lebih<br />

di kalangan teman-temannya. Nama panggilan Max berasal dari buku<br />

Max Havelaar yang dikagumi oleh Teuku Nyak Arif. 8)<br />

Para pembesar Belanda mencurigai perkumpulan pemuda ini,<br />

karena dianggap mereka sebagai kedok untuk melakukan kegiatan politik.<br />

Para pemuda yang umumnya berkumpul pada setiap sore selalu<br />

8) H.M. Zainuddin, Srikandi Aceh, Pustaka Iskandar Muda, Medan, 1966,hal. 15.<br />

15


oleh mata-mata Belanda, lebih-lebih kalau mereka mengadakan<br />

pesta diawasi secar ketat. Perumpulan Aceh Vereeniging juga sering<br />

mengadakan sandiwara yang mengeritik Pemerintah Hindia<br />

Belanda.<br />

Teuku Nyak Arif, walaupun telah diakui oleh para pemuda sebagai<br />

pemimpin mereka, tidak sombong kepada seluruh temantemannya.<br />

Dengan bijaksana ia juga telah berhasil menyelesaikan pertikaian<br />

antara golongan tua dan golongan muda pada waktu itu.<br />

Pertikaian antara golongan bangsawan dan golongan ulama pun berhasil<br />

diselesaikan Teuku Nyak Arif dengan baik, melalui musyawarah.<br />

Teuku Nyak Arif, meskipun dalam suasana santai, selalu mengeluarkan<br />

kata-kata yang berisi seperti perasaan tanggung jawab dan<br />

percaya kepada diri sendiri. Soal penjajahan adalah masalah yang<br />

serius, dan penjajahan itu harus diakhiri di tanah air Indonesia.<br />

Ketika membicarakan masalah yang serius Teuku Nyak Arif selalu<br />

duduk dan berdiri untuk memperlihatkan kesungguhannya. Ia<br />

selalu menyendiri kalau ada yang dipikirkannya dan dalam berbicara<br />

ia selalu bersemangat.<br />

Perasaan nasional setahap demi setahap berhasil ditanamkan oleh<br />

Teuku Nyak Arif di kalangan pemuda. Perjuangan rakyat Indonesia<br />

pada saat itu harus dialihkan ke bidang politik karena rakyat belum<br />

dapat mengungguli kemampuan perlengkapan militer Belanda.<br />

Rakyat Indonesia terutama pemuda harus mengikuti <strong>org</strong>anisasi politik<br />

kebangsaan yang menuju Indonesia Merdeka, atau mencita-citakan<br />

kemerdekaan Indonesia. Kegiatan Teuku Nyak Arif secara formal<br />

terpaksa dihentikan, karena ia diangkat menjadi Panglima Sagi 26<br />

Mukim menggantikan ayahnya pada tahun 1920 dengan kedudukan di<br />

Lam Nyong. Sebenarnya pengangkatan sebagai Panglima Sagi 26<br />

Mukim dihitung mulai tahun 1911, tetapi karena dia masih di bawah<br />

umur dan masih bersekolah, maka ayah kandungnya Teuku Sri<br />

Imeum Muda Nyak Banta mewakili Panglima Sagi 26 Mukim dari<br />

tahun 1911 - 1919.<br />

16


Sebagai seorang pemuda yang telah dewasa, maka Teuku Nyak<br />

Arif mulai memikirkan untuk hidup berumah tangga. Atas kehendak<br />

orang tuanya maka Teuku Nyak Arif kemudian nikah dengan putri<br />

Teuku Maharaja yang menjadi ZelfbestuurderfUlcebalmg di Lhok<br />

Seumawe. Waktu diadakan penjemputan dalam pernikahan tersebut,<br />

calon mertua Teuku Nyak Arif menghendaki upacara yang meriah<br />

dan mewah, menurut adat istiadat bangsawan Aceh pada waktu itu.<br />

Keinginan dan usul calon mertuanya itu ditolak oleh Teuku Nyak<br />

Arif. Ia menginginkan diadakan upacara sederhana saja dalam pernikahan<br />

itu. Akhirnya calon mertuanya mengalah dan upacara pernikahan<br />

dilakukan dengan sederhana. Perkawinan itu tidak berlangsung<br />

lama. Mereka akhirnya berpisah secara baik-baik sebelum<br />

mendapat anak. 9)<br />

Tidak lama Teuku Nyak Arif menduda. Pada akhir tahun 1927 ia<br />

nikah lagi dengan seorang putri Minangkabau kelahiran Meulaboh<br />

yang bernama Jauhari, putri seorang Mantri Polisi bernama Yazid,<br />

yang waktu itu bertugas di Kutaraja. Jauhari pada waktu itu adalah<br />

seorang pelajar MULO, sekolah tertinggi yang ada di Kutaraja.<br />

Sebelum nikah Teuku Nyak Arif tidak pernah mengenal langsung<br />

gadis Jauhari, tetapi lama kelamaan keduanya dapat saling mencocokkan<br />

diri. Perkawinan antarsuku ini tidak mendapat tantangan dari<br />

pihak keluarga Teuku Nyak Arif. Mereka semua menyetujui dan tidak<br />

ada yang menghalangi. 10)<br />

Masyarakat Minangkabau yang berada di Aceh juga menyambut<br />

gembira adanya perkawinan ini, karena merupakan suatu kehormatan<br />

bagi masyarakat Minang mendapat bangsawan Aceh. Tambahan lagi<br />

Teuku Nyak Arif seorang yang pandai bergaul, dan fasih mempergunakan<br />

bahasa Minang.<br />

Perkawinan Teuku Nyak Arif dengan Cut Nyak Jauhari mendapatkan<br />

3 orang anak, 2 laki-laki dan seorang perempuan. Mereka<br />

itu adalah Teuku Ashari, Teuku Syamsul Bahri dan Cut Nyak Arifah<br />

Nasri.<br />

9) Wawancara dengan Moh. Yusuf di Banda Aceh tanggal 4 Februari 1974.<br />

10) Wawancara dengan Cut Nyak Jauhari di Jakarta pada tanggal 26 Agustus 1974.<br />

17


Teuku Nyak Arif berusaha mendidik anak-anaknya hidup sederhana,<br />

walaupun mereka mempunyai kesanggupan untuk hidup mewah.<br />

Teuku Nyak Arif dalam kehidupan sehari-hari bersama keluarganya<br />

sangat disiplin. Anak-anaknya diharuskan makan secara<br />

teratur dan berpakaian harus rapi. Mereka juga diharuskan belajar<br />

dengan rajin dan teratur. Pada waktu sore hari diharuskan belajar<br />

mengaji Alquran. Menurutnya harus ada keseimbangan antara pengetahuan<br />

umum dan pengetahuan agama dalam mencapai kesempumaan<br />

hidup.<br />

Dalam zaman Hindia Belanda putra sulung Teuku Nyak Arif<br />

mulanya disekolahkan di Europese Lagere School Sigli, tetapi kemudian<br />

dipindahkan ke Taman Siswa Kutaraja, putra kedua disekolahkan<br />

di Taman Siswa dan yang bungsu (putri) disekolahkan di<br />

Muhammadiyah Kutaraja.<br />

Pendidikan anak-anak Teuku Nyak Arif berhasil dengan baik.<br />

Anak laki-laki yang tertua berhasil mendapat gelar insinyur (Ir) dari<br />

THS Delft di Negeri Belanda. Anak yang kedua menjadi Sarjana<br />

Hukum (SH) dan anak perempuan satu-satunya nikah dengan Drs. T<br />

Umar Ali mantan Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan dan<br />

Kebudayaan, mantan Duta Besar Republik Indonesia di Brazilia, dan<br />

mantan Sekretaris Jenderal Departemen Perdagangan.<br />

Teuku Nyak Arif dalam kehidupannya sehari-hari juga tidak<br />

membedakan teman dalam pergaulan. Ia yang digolongkan termasuk<br />

ke dalam golongan bangsawan (uleebalang) tidak mengurung diri bergaul<br />

dengan golongannya saja. Teuku Nyak Arif juga ba<strong>nyak</strong> bergaul<br />

dengan golongan ulama, terutama dengan Teungku Haji Hasan<br />

Krueng Kale, begitu pula dengan Teungku Mohammad Daud<br />

Beureueh.<br />

Teuku Nyak Arif selalu mempergunakan bahasa Indonesia dalam<br />

pergaulan dengan keluarganya di rumah, walaupun dapat berbahasa<br />

Aceh dan Minang. Bahasa asing yang dikuasai Teuku Nyak Arif<br />

adalah bahasa Belanda, bahasa Inggris dan bahasa Arab. Sebagai<br />

seorang penganut agama Islam termasuk penganut yang taat, hafal<br />

beberapa ayat Alquran di luar kepala.<br />

Hubungan Teuku Nyak Arif dengan pemimpin pergerakan Indonesia<br />

pada umumnya akrab. Sebagai seorang teman, M.H. Thamrin<br />

18


Teuku Nyak Arif dan istri, Jauhari.<br />

TEUKU NYAK ARIF-3 19


Teuku Nyak Arif sekeluarga.<br />

pcrnah berkunjung ke rumah Teuku Nyak Arif waktu berada di Aceh.<br />

Begitu pun waktu Teuku Nyak Arif ke Jakarta dengan istrinya, pernah<br />

menginap di rumah Dr. Sam Ratulangi. Waktu berkunjung ke luar<br />

daerah Aceh dengan istrinya, Teuku Nyak Arif tidak membatasi dirinya<br />

hanya berkunjung pada keluarga yang berasal dari daerah Aceh<br />

saja.<br />

Sebagai seorang pemimpin rakyat, Teuku Nyak Arif lebih mementingkan<br />

tugas daripada kepentingan keluarga. Tugas adalah<br />

nomor satu, sedangkan keluarga adalah nomor dua. Karena istrinya<br />

juga seorang yang berpendidikan, maka Teuku Nyak Arif kadangkadang<br />

juga membicarakan soal-soal tugas dengan keluarganya. Istrinya<br />

juga senang dengan pekerjaan suaminya, dan kadang-kadang juga<br />

sering membantu kelancaran tugas tersebut.<br />

Pada zaman pendudukan Jepang Teuku Nyak Arif melarang<br />

orang-orang perempuan berhubungan dengan Jepang, baik keluarga<br />

maupun rakyat Aceh sendiri. Kepada keluarga dan teman-teman ia<br />

selalu mengatakan agar jangan mematuhi betul peraturan yang dibuat<br />

20


oleh Jepang. Pada saat akhir penjajahan Belanda dan permulaan<br />

proklamasi kemerdekaan Indonesia Teuku Nyak Arif sibuk sekali<br />

mengatur taktik perjuangan, sering larut malam baru pulang ke<br />

rumah. 12)<br />

Karena terlalu berat melakukan tugas maka kesehatannya makin<br />

lama makin mundur, apalagi Teuku Nyak Arif mengidap pe<strong>nyak</strong>it<br />

gula. Ia sering melakukan tugas keliling daerah Aceh untuk mengobarkan<br />

semangat perjuangan. Ketika ada kawannya yang menganjurkan<br />

Teuku Nyak Arif supaya pindah saja dari daerah Aceh, dengan<br />

tegas ia menolaknya, karena merasa tenaganya masih diperlukan di<br />

Aceh, apalagi karena harus menghadapi bermacam-macam tantangan.<br />

Ia ingin hidup atau mati, sakit senang di daerahnya. Kalau keluarganya<br />

ingin pindah ke daerah Sumatera Barat diizinkan. Tetapi<br />

keluarga Teuku Nyak Arif tidak ingin pindah ke daerah asalnya.<br />

Mereka lebih senang hidup di samping Teuku Nyak Arif, baik dalam<br />

suka maupun duka.<br />

Pada masa-masa permulaan kemerdekaan, Teuku Nyak Arif juga<br />

sering mengadakan rapat di rumahnya sendiri'dengan tokoh dan<br />

pemuka masyarakat Aceh lainnya. Keluarganya diminta oleh Teuku<br />

Nyak Arif agar mengerti pentingnya perjuangan kemerdekaan.<br />

Mereka harus berkorban untuk kepentingan perjuangan itu, dengan<br />

mengorbankan kesenangan dan kebahagiaan diri sendiri. Keluarganya<br />

harus melayani kepentingan perjuangan, dan kalau perlu menjual<br />

milik keluarga untuk membiayainya.<br />

Pernah Teuku Nyak Arif menyuruh istrinya menjual perhiasan<br />

untuk membiayai perjuangan kemerdekaan Indonesia yang telah lama<br />

dicita-citakan oleh seluruh rakyat.<br />

Semenjak Teuku Nyak Arif diangkat menjadi Panglima Sagi<br />

(Sagi Hoofd) 26 Mukim, ia berkedudukan di Lam Nyong. Walaupun<br />

daerah Aceh telah dikuasai oleh Belanda, tetapi para pcmimpin Aceh<br />

yang seluruhnya beragama Islam, tidak betul-betul tunduk kepada<br />

Belanda. Mereka bertekad bahwa umat Islam boleh mengalah sementara,<br />

akan tetapi hanya sementara saja, dan pada waktunya mereka<br />

harus melawan kembali. Inilah pesan sakti waktu perang Aceh bcr-<br />

12) Wawancara dengan Teuku Syamsul Bahri di Medan tanggal 18 September 1975.<br />

21


akhir. Teuku Nyak Arif sebagai seorang terpelajar yang telah mendapatkan<br />

pendidikan Barat di luar daerahnya sendiri (Bukittinggi dan<br />

Serang) menyadari benar akan hal ini. Rakyat Indonesia buat sementara<br />

harus menerima bekerja sama dengan Belanda, dan apabila<br />

datang saatnya mereka harus melawan.<br />

Dalam memerintah daerahnya Teuku Nyak Arif selalu bersikap<br />

keras dan tegas terhadap pemerintah Hindia Belanda. Ia selalu melindungi<br />

rakyatnya dari tindakan sewenang-wenang pemerintah Hindia<br />

Belanda. Terhadap rakyatnya sendiri ia selalu memerintah dengan<br />

adil dan bijaksana. Walaupun ia seorang raja, ia selalu bergaul seperti<br />

orang biasa dengan rakyat. Rakyat 26 Mukim sangat menyayanginya,<br />

karena ia tidak merugikan atau mengambil harta milik rakyat. Bahkan<br />

harta miliknya sering diserahkannya untuk kepentingan rakyat. Syair<br />

pujaan rakyat 26 Mukim terhadap Teuku Nyak Arif, adalah sebagai<br />

berikut:<br />

Tamat sekolah umur 15 Tahun, telah pintar memimpin rakyat,<br />

negeri teratur, rakyat senang, sayang kepada rakyat, seorang ahli<br />

hukum dan ahli pemerintahan. Demikianlah bunyi syair pujaan itu<br />

yang diucapkan oleh rakyat dalam bahasa Aceh.<br />

Seluruh kepentingan rakyat Aceh diperjuangkan oleh Teuku<br />

Nyak Arif. Terhadap bawahannya ia tidak pernah menganggap rendah,<br />

bawahannya dianggap sebagai teman biasa saja. Walaupun<br />

begitu bawahannya tidak pernah meremehkan Teuku Nyak Arif,<br />

mereka tetap menghargai dan bahkan lebih menghormati. 13<br />

'<br />

Teuku Nyak Arif suka membantu keluarga yang kesulitan, ia<br />

bertindak sebagai bapak untuk seluruh keluarga dan familinya.<br />

Keluarganya pada umumnya sayang kcpadanya, demikian juga Teuku<br />

Nyak Arif selalu mengadakan musyawarah mengenai sesuatu keputusan<br />

yang diambil dalam masalah keluarga.<br />

Syair pujaan lainnya, yang dinyanyikan oleh rakyat demi cintanya<br />

kepada Teuku Nyak Arif, adalah sebagai berikut:<br />

— Teuku Nyak Arif Panglima Sago (Teuku Nyak Arif pemimpin<br />

negeri)<br />

13) Wawancara dengan Muzakir Walad (Mantan Gubemur Aceh) di Banda Aceh tanggal 2 Februari<br />

1974.<br />

22


— Geyou geutanyo agama yang trang (Memerintah memcluk<br />

agama yang nyata)<br />

— Wajib taikot Saidil Amri (Diwajibkan kita mengikut<br />

Saidil Amri)<br />

— Yang suruh rabbi raja yang senang (Yang disuruh Tuhan raja<br />

yang bahagia).<br />

Demikianlah di antara syair pujaan terhadap Teuku Nyak Arif<br />

yang keba<strong>nyak</strong>an dihafal oleh rakyat dan dibacakan dalam berbagai<br />

kesempatan dan dalam pertemuan-pertemuan resmi.<br />

Pada masa itu di daerah Aceh umumnya dan di daerah onderafdeling<br />

Kutaraja khususnya ba<strong>nyak</strong> berdiam orang-orang dari daerah<br />

lain seperti suku Jawa, suku Sunda, suku Batak dan suku Minang.<br />

Masing-masing suku ini hidup berdampingan secara damai, berkat<br />

bimbingan Teuku Nyak Arif. -<br />

Suku Minang termasuk suku yang terba<strong>nyak</strong> tinggal di Aceh dan<br />

keba<strong>nyak</strong>an dari mereka itu hidup berdagang dan menjadi pegawai<br />

negeri. Di samping berdagang orang-orang Minang ini juga giat<br />

berdakwah, mengembangkan agama Islam. 14<br />

'<br />

Hubungan Minangkabau dan Aceh merupakan hubungan tradisional<br />

yang telah berlangsung sejak abad ke-16. Bahkan Kerajaan<br />

Minangkabau pernah dikuasai oleh Kerajaan Aceh pada abad ke-17<br />

melalui hubungan dagang. Pahlawan Aceh yang terkenal, bernama<br />

Teuku Umar, yang sekarang telah ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional,<br />

keturunannya berasal dari daerah Minangkabau. Teuku Nyak<br />

Arif yang sekarang telah menjadi pemimpin Aceh juga pernah<br />

bersekolah di Sekolah Raja (Kweekschool) di Bukittinggi tahun 1908<br />

sampai 1913.<br />

Akibat perasaan nasional (nasionalisme) yang telah mulai menyala-nyala<br />

dalam dada Teuku Nyak Arif, maka ia sebagai pemimpin<br />

tidak membeda-bcdakan suku-suku lain yang berdiam di Aceh. Ia<br />

menganggap orang-orang yang berdiam di daerah Aceh adalah orangorang<br />

Indonesia yang berasal dari berbagai suku bangsa. Kebinekaan<br />

harus menuju Tunggal Ika (Indonesia yang bersatu). Ini telah merupa-<br />

14) Wawancara dengan Idham di Jakarta pada tanggal 31 Juli 1974.<br />

23


kan cita-cita Teuku Nyak Arif semenjak masa mudanya. Sebagai<br />

aparat Pemerintah Hindia Belanda, Teuku Nyak Arif tidak dapat<br />

secara terang-terangan memimpin <strong>org</strong>anisasi yang bersifat nasional<br />

Indonesia.<br />

Sebelum menjabat Panglima Sagi Teuku Nyak Arif pada tahun<br />

1918 pernah menjadi ketua NIP cabang Kutaraja (Banda Aceh).<br />

Sekarang ia tidak dapat melakukan hal seperti itu, karena terikat<br />

dengan jabatannya. Tetapi walaupun begitu, Teuku Nyak Arif tetap<br />

membantu setiap usaha yang bersifat nasional. Atas bantuan Teuku<br />

Nyak Arif, di Aceh juga berdiri Jong Islamieten Bond.<br />

Teuku Nyak Arif yang mempunyai watak keras, selalu bertentangan<br />

dengan kontroleur, bahkan dengan residen Belanda sekalipun.<br />

Ia lekas naik darah, bila merasa tersinggung oleh siapa pun juga,<br />

tetapi kalau persoalannya telah selesai, dendamnya pun hilang.<br />

24


III. RENCONG ACEH DI VOLKSRAAD<br />

Gelar Rencong Aceh, diberikan oleh beberapa surat kabar<br />

nasional kepada Teuku Nyak Arif, khususnya surat kabar Bintang<br />

Timur. Sebagai surat kabar terkenal waktu itu, harian ini dipimpin<br />

oleh wartawan terkenal Parada Harahap. Perjuangan Teuku Nyak Arif<br />

di Volksraad, sering diulas oleh surat kabar nasional yang terbit di<br />

Jakarta, Medan dan Semarang.<br />

Sejarah berdirinya Volksraad dimulai sejak pecahnya Perang<br />

Dunia I (1914 - 1918) yang membawa pengaruh besar pada situasi<br />

kolonial di Indonesia, yaitu timbulnya masalah tentang masa depan<br />

hubungan kolonial dengan daerah jajahannya. Aksi politik radikal<br />

yang dilancarkan oleh Indische Partij yang dipimpin oleh Douwes<br />

Dekker, Suwardi Suryadiningrat dan Cipto Mangunkusumo yang<br />

terang-terangan menghendaki agar pemerintah kolonial diakhiri dan<br />

mencapnya sebagai despotisme, telah ditindak oleh pemerintah<br />

Belanda. Para pemimpinnya dibuang dan <strong>org</strong>anisasi itu dibubarkan.<br />

Sebaliknya <strong>org</strong>anisasi yang moderat seperti Budi Utomo dibiarkan<br />

saja berdiri, malahan mendapat bantuan dari pemerintah Belanda.<br />

Budi Utomo kemudian ikut duduk dalam Indie Weerbaar (ketahanan<br />

Hindia). Panitia Indie Weerbaar tahun 1916 mengirimkan perutusan<br />

yang terdiri dari: 1. P. Aryo Kusumodiningrat (Prinsenbond),<br />

2. Raden Tumenggung Danusugondo (Regcntenbond), 3. Mas<br />

Ngabehi Dwijosewoyo (Budi Utomo), 4. Abdul Muis (Sarekat Islam),<br />

5. F. Looh (Perserikatan Minahasa) dan Rhemrev D. van Hinloopen<br />

Labberlan ke negeri Belanda. Perutusan ini berhasil mengadakan<br />

pendckatan dengan pemimpin Belanda terkemuka. Menteri Jajahan<br />

25


Belanda kemudian membicarakan dalam Dewan Perwakilan Rakyat<br />

Belanda tentang pembentukan Volksraad (Dewan Rakyat) untuk<br />

Hindia Belanda. Pada bulan Desember 1916 dibentuklah Undang-<br />

Undang Pembentukan Volksraad dan Undang-Undang itu kemudian<br />

dijalankan pada bulan Agustus 1917. Pada bulan Mei 1918 sidang<br />

Volksraad I dibuka oleh Gubernur Jenderal J.P. Graaf van Limburg<br />

Stirum.<br />

Walaupun anggota bangsa Indonesia sangat sedikit dalam dewan<br />

ini, namun Volksraad merupakan salah satu wadah bagi perjuangan<br />

rakyat Indonesia. Sebagian daerah Indonesia diwakili dalam Volksraad<br />

termasuk daerah Aceh. Dari tahun 1918 hingga 1920 Pemerintah<br />

Hindia Belanda mengangkat Teuku Mohammad Tayeb dari<br />

Peureulak sebagai anggota Volksraad. Kemudian pada tanggal 16 Mei<br />

1927 Teuku Nyak Arif diangkat menjadi anggota Volksraad di samping<br />

tetap memegang jabatan sclaku Panglima Sagi 26 Mukim.<br />

Teuku Nyak Arif diangkat menjadi anggota Volksraad khabarnya<br />

diusulkan oleh Gubernur Hens, yang waktu itu memerintah di daerah<br />

Aceh. Menurut Hens, Teuku Nyak Arif mengenal betul penghidupan<br />

rakyat Aceh, dan sebagai seorang pemimpin ia mempunyai sifat percaya<br />

kepada diri-sendiri, berani, jujur dan berterus terang. Di samping<br />

itu Teuku Nyak Arif adalah seorang pemimpin Aceh yang gagah<br />

berani, kelihatan kecil nedas seperti cabe rawit. 2)<br />

Surat kabar Bintang Timur sebagai salah satu surat kabar Indonesia<br />

yang berpengaruh pada saat itu dalam pemberitaannya tanggal<br />

13 Mei 1927 memberikan ulasan tentang Teuku Nyak Arif sebagai<br />

berikut: Anak Aceh tulen dan lurus, demikianlah judul yang ditemui<br />

dalam Harian Bintang Timur berdasarkan hasil wawancara Aneta<br />

dengan Teuku Nyak Arif. Sebagai Panglima Sagi dan anggota<br />

Volksraad yang diangkat oleh pemerintah, maka tentulah Teuku Nyak<br />

Arif mempergunakan pengangkatan itu sebagai jembatan mempcrjuangkan<br />

kepentingan Indonesia. Ia adalah anak Aceh sejati dalam<br />

hati dan badannya, sehingga keluarlah apa yang terasa dan terlihat<br />

olehnya. Pertama-tama ia mengeritik Controleur Jacob di Tapaktuan,<br />

2) Surat kabar Bintang Timur, Jakarta, 13 Mei 1927 hal. 3.<br />

26


dan juga Gubernur Hens yang menganjurkan Teuku Nyak Arif<br />

menjadi anggota Volksraad.<br />

Segala yang merugikan kepentingan rakyat Aceh dikeluarkan<br />

oleh Teuku Nyak Arif, dan segalanya itu bukanlah omong kosong. Ia<br />

tidak takut mengeluarkan hal itu apalagi sebagai anggota Volksraad.<br />

Sudah 9 tahun Volksraad berdiri belum pernah anggotanya, seorang<br />

ambtenaar, berani mengeritik pemerintah, kecuali anggota yang<br />

berasal dari non pemerintahan. Anggota Aceh yang terdahulu di<br />

Volksraad, yaitu Teuku Tayeb yang sedikit keras suaranya, dinasehatkan<br />

secara halus supaya mengundurkan diri saja dari Volksraad.<br />

Sekarang Teuku Nyak Arif menunjukkan ketulenannya dalam<br />

mengemukakan pendapatnya di Volksraad. Siapa yang mengenal<br />

Aceh lebih dalam, akan mengerti bahwa gula-gula tidak ada harganya<br />

bagi mereka, mereka tidak dapat dibujuk walaupun diangkat<br />

menjadi anggota Volksraad seperti halnya Teuku Nyak Arif.<br />

Percaya pada diri sendiri, berani, jujur dan bertcrus terang adalah<br />

sifat orang Aceh. Teuku Nyak Arif menjadi wakil rakyat Aceh di<br />

Volksraad yang membawakan sifat-sifat itu. Rakyat Indonesia boleh<br />

merasa bangga mempunyai anggota Volksraad yang semacam itu. 3)<br />

Pada tanggal 14 Juli 1927 Teuku Nyak Arif pertama kali mulai<br />

mengucapkan pidatonya di Volksraad. Pidato tersebut yang beberapa<br />

kali memperoleh peringatan dari Ketua Sidang mencakup berbagai<br />

bidang antara lain politik:<br />

Tuan Nyak Arif: Tuan Ketua yang terhormat! Sebelum beralih<br />

kepada pembicaraan tentang bagian anggaran belanja IV, saya merasa<br />

sangat perlu memohon kepada wakil pemerintah untuk urusan umum,<br />

dengan hormat menyampaikan terima kasih saya atas kepercayaan<br />

yang telah diberikan kepada saya. Meskipun saya terikat kepada<br />

jabatan dan soal-soal pribadi, hamun saya menerima juga pengangkatan<br />

saya sebagai bukti kepercayaan kepada Pemerintah dan<br />

kesediaannya untuk bekerja sama.<br />

Mendahulukan kepentingan Aceh ataupun kepentingan Indonesia<br />

dan melindungi agama Islam, saya berjuang menuju ke persatuan<br />

dengan kelompok-kelompok penduduk yang ada di negeri ini. Untuk<br />

3) Surat kabar Bintang Timur, Jakarta, 16 Mei 1927, hal. 1.<br />

27


pertama kali berbicara sebagai anggota baru yang termuda di dalam<br />

ruang rapat ini, sudah patutlah saya memohon Tuan Ketua memberikan<br />

maaf untuk kemungkinan masalah kesalahan yang terbuat dengan<br />

tak sadar.<br />

Tuan KetualTentang pengangkatan dan pelantikan swapraja<br />

atau uleebalang patut dijadikan petunjuk asas adat yang masih dihormati<br />

oleh masyarakat dan teristimewa harus lebih diperhatikan<br />

suasana perasaan hati rakyat daripada kehendak had pribadi atau<br />

kecenderungan, para pegawai pamongpraja Eropa (Belanda) yang<br />

memberi nasehat terhadap sang calon. Mengubah bentuk pemerintahan<br />

di pelbagai swapraja adalah tidak baik (buruk). Demikian pula<br />

Pemerintah Hindia Belanda harus berjaga-jaga (berhati-hati, bahwasanya<br />

atas pertimbangan bentuk pemerintahan yang lebih sederhana<br />

dan lebih mudah, adat yang telah ada dirombak atau ditiadakan. Jika<br />

Pemerintah betul-betul ingin mengenal kepala-kepala negeri di dalam<br />

segala hal, adalah tugas Pemerintah untuk sebelum memasukkan<br />

peraturan-peraturan (tindakan-tindakan) baru, menyurah mengadakan<br />

pembicaraan-pembicaraan dengan mereka. Sering terjadi bahwa halhal<br />

baru, yang barangkali baik maksudnya, gagal dan merugikan<br />

penduduk. Hal-hal yang baru, itu tidak menemukan tiük-ütik hubungan<br />

yang ada di dalam kehidupan Timur rakyat pribumi. Sekarang ini<br />

adalah sesungguhnya suatu tugas yang berat bagi kami para kepala,<br />

untuk berhadapan dengan Pemerintah sebagai wakil rakyat dan untuk<br />

berhadapan dengan rakyat sebagai pelaksana kepentingan-kepentingan<br />

Pemerintah. Sudah sering terjadi bahwa seorang kepala yang benarbenar<br />

bertindak demi kepentingan rakyat bentrok dengan pemimpinpemimpinnya.<br />

Adalah pula suatu kenyataan bahwa pemerintah<br />

memperlakukan dan tnenghargai seorang kepala lebih baik menurut<br />

kepatuhan yang ditunjukkannya kepada pemimpin-pemimpinnya.<br />

Makin patuh kepala itu kepada pemimpin-pemimpinnya makin lebih<br />

baik perlakuan dan penghargaan yang diperolehnya.<br />

Kini sepatah kata pembelaan untuk korps para juru tulis Bumiputra<br />

di Aceh dan Daerah Takluknya. Saya tidak bangkit di sini hanya<br />

untuk kepentingan mereka, akan tetapi dengan memberikan gaji yang<br />

lebih baik kepada korps para juru tulis ini rakyat juga diuntungkan<br />

28


(mendapatkan manfaatnya). Seorang jaksa dengan penghasilan<br />

£ 17,50 (tujuh belas setengah gulden) sebulan, tidak dapat bertindak<br />

lain daripada dengan pelbagai macam cara memeras uang pasiennya -<br />

yakni rakyat - untuk dapat hidup dengan layak. Aceh adalah negeri<br />

yang mahal. Upah terendah untuk seorang kuli atau seorang jongos<br />

adalah sebesar £18 (delapan belas gulden) sebulan.<br />

Seorang kuli memang sudah terbiasa berpakaian sederhana dan<br />

bertempat tinggal di rumah yang bersahaja. Hal itu tidak dapat disetarafkan<br />

dengan seorang jaksa yang harus memperhatikan adat kebiasaan.<br />

Bahkan gaji £ 40 (empat puluh gulden) sebulan untuk<br />

seorang jaksa yang bekerja dengan baik adalah terlalu rendah. Maka<br />

adalah pula sangat didambakan untuk memberikan gaji yang lebih<br />

baik kepada korps, para juru tulis di Aceh dan Daerah Takluknya, dari<br />

juru tulis yang terendah sampai kepada Mantri-polisi. Peraturan gaji<br />

yang baru telah menurunkan gaji itu dari £ 40 (empat puluh gulden)<br />

menjadi £ 17,50 (tujuh belas setengah gulden).<br />

Untuk para Kepala yang selama masa dinasnya telah melakukan<br />

pekerjaan yang baik, saya selanjutnya memohon agar supaya Pemerintah<br />

memberikan cuti dengan cara yang layak. Karena apa gerangan<br />

yang terjadi sekarang? Seorang Kepala yang tercatat sangat baik bagi<br />

Pemerintah mengajukan pcrmintaan cuti. Pemerintah mengabulkan<br />

hal itu. Akan tetapi dengan cara yang bagaimana? Di luar tanggungan<br />

Negara! Mereka harus misalnya ke Tanah Arab (untuk menunaikan<br />

ibadah haji, penterjemah) atau ke suatu tempat yang lain, dengan<br />

menanggung membiayai sendiri segala biaya dan gajinya tidak dibayarkan.<br />

Tuan Ketua! Itu kan sudah keterlaluan. .<br />

Sekarang tentang pendidikan para Kepala-kepala Bumiputra<br />

(Indonesia). Saya sangat bersenang hati mendengar dari Pemerintah<br />

bahwa Pemerintah secara prinsip tidak menentang orang-orang Aceh<br />

belajar di luar daerahnya. Selanjutnya Pemerintah bersama Gubernur<br />

Aceh berpendapat bahwa keadaan-keadaan luar biasa di Aceh, menuntut<br />

bahwa sedikit mungkin dilakukan pemutusan hubungan antara<br />

para calon pamong dengan penduduk. Sehubungan dengan itu untuk<br />

sementara waktu pendidikan masih sebaiknya dapat dilakukan di<br />

dalam daerah Aceh. Hal ini tidak benar sama sekali, karena dengan<br />

belajar di luar daerah Aceh, hubungan yang dimaksud masih juga<br />

29


dapat diselenggarakan pada setiap liburan. Di dalam dan di luar<br />

gedung asrama sama sekali tidak ada pula pergaulan dengan rakyat.<br />

Para kepala itu harus sedapat mungkin dibiarkan melanjutkan pelajarannya<br />

di luar daerah Aceh agar supaya mereka dapat memperluas<br />

pandangan dan wawasannya.<br />

Mempersulit masuknya anak-anak para Kepala itu ke Europese<br />

Lagere School (E.L.S.) atau ke Hollands Inlandse School (H.I.S.)<br />

sudah pasti harus saya cela dan saya menghimbau Pemerintah agar<br />

membuka seluas mungkin pintu semua sekolah untuk anak cucu<br />

keturunan kami. Saya sendiri mengalami hal ini, Tuan Ketua, hal ini<br />

bukanlah omong begitu saja, karena saya mengetahui betul hal-hal<br />

seperti ini.<br />

Sekarang saya masih ingin sejenak menyinggung tentang lembaga-lembaga<br />

perkredilan rakyat. Pada waktu mendirikan bank gampong<br />

sudah mulai dilaksanakan nasihat-nasihat para Kepala. Bank<br />

Gampong itu mau tak mau harus ada, demikianlah yang dikatakan<br />

orang. Dengan cara perilaku mendirikan bank tersebut berakibat,<br />

bahwa bank itu harus gulung tikar setelah melalui tahun-tahun pertamanya.<br />

Uang yang diperoleh dengan susah payah dari penduduk<br />

yang miskin telah dibelikan setumpuk buku-buku yang mahal. Telah<br />

dibangun sebuah gedung yang indah. Sekarang gedung ini telah<br />

bertahun-tahun berdiri dengan kosong dan akan dapat menjadi sebuah<br />

tempat pengeraman rayap yang baik sekali.<br />

Demikianlah rakyat melihat uangnya menghilang lenyap atas<br />

perintah orang-orang kepercayaan Pemerintah.<br />

Tentang bagian perbankan, jikalau Pemerintah memang betulbetul<br />

dengan bank-bank itu hendak memperkuat kehidupan ekonomi<br />

penduduk, maka tahapan pembayaran cicilannya harus diperpanjang<br />

serta bunganya direndahkan. Hal itu dimungkinkan dengan pemberian<br />

subsidi Pemerintah kepada bank ini.<br />

Sekarang sepatah kata tentang orang-orang buangan politik pada<br />

umumnya. Saya tidak dapat menyalahkan Pemerintah Aceh yang lalu,<br />

bahwa mereka telah membuang orang-orang ini. Mereka barangkali<br />

menganggap berhubungan dengan kehidupan politik pada waktu itu<br />

perlu dilakukan hal itu. Namun di mana keadaan kini telah berbeda<br />

dan Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryadining-<br />

30


at (Ki Hajar Dewantara, penterjemah) telah diberi kebebasan,<br />

maka apakah bukan tugas pemerintah untuk membebaskan pula<br />

orang-orang buangan yang saya maksudkan, yakni mantan Swapraja<br />

Nisam yang bernama T. Bujang dan Mohammad Said? Mereka sama<br />

sekali tidak bergerak dalam garis jajaran Douwes Dekker, mereka<br />

tidak hendak menumbangkan penguasa, akan tetapi hanya berjuang<br />

menuntut masa depan yang bebas bagi negeri. Untuk mencegah terulangnya<br />

tindakan-tindakan pegawai-pegawai B.B. Eropa yang tidak<br />

dikehendaki, maka menurut hernat saya tidaklah berkelebihan, jikalau<br />

di sini saya mengutip beberapa contoh dari masa lampau.<br />

Setelah karena kelakuan buruknya berkenalan dengan sebuah<br />

tikaman rencong dari seorang Aceh di suatu tempat, seorang kontelir<br />

telah dipindahkan ke sebuah tempat lain juga di daerah Aceh. Menyelesaikan<br />

bermacam-macam persoalan pengadilan dan pemerintahan<br />

di mana terpaut kepentingan rakyat, tidak lagi dipikirkannya.<br />

Pegawai-pegawai kantornya disuruh memeras uang pada rakyat.<br />

Misalnya disuruhnya rakyat membayar dari 5 (lima) sen sampai £ 1 -<br />

(satu gulden) untuk sebuah peta kampung yang tidak diperlukan.<br />

Berbulan-bulan lamanya ia mengusahakan perjudian dan adu ayam<br />

dengan memungut pajak perjudian tambah dalam bentuk uang tong.<br />

Para wajib rodi disuruh bahkan di dalam bulan puasa, bekerja pada<br />

tempat hiburan umum untuk orang-orang Eropa. Denda tanpa keputusan<br />

pengadilan, menghukum orang di tengah jalan, telah menjadi<br />

kejadian sehari-hari.<br />

Dengan kata-kata yang licik ia berhasil memeras uang dari<br />

seorang Kepala dan seorang Cina untuk membayar hutang yang<br />

dibuatnya. Hutang itu kendati penyulapan tempat kedudukannya yang<br />

berbulan-bulan lamanya di Monte Carlo belum seluruhnya dilunasi.<br />

Masih suatu contoh untuk menggambarkan betapa orang-orang kepercayaan<br />

Pemerintah melaksanakan kewajibannya.<br />

Seorang kontelir berusaha pula memperoleh wanita-wanita, akan<br />

tetapi ketika ia di dalam hal ini dihalang-halangi, ia berusaha membohongi<br />

Gubernur - bukan Gubernur yang sekarang ini akan tetapi<br />

seorang Gubernur yang terdahulu - bahwa Kepala yang bersangkutan<br />

menggelapkan uang serta melakukan tindakan-tindakan<br />

lainnya yang tidak dapat ditolerir, merugikan rakyat dan bahwa<br />

31


orang itu menurut pandangannya harus dibuang. Setelah dilakukan<br />

penelitian yang dijalankan oleh seorang Mantri Polisi yang diperbantukan<br />

kepadanya, ternyata ada beberapa istilah yang dapat menyebabkan<br />

orang yang bersangkutan dapat dibuang ke luar daerah, maka<br />

usul itu segera ditanggapi dengan baik oleh Gubernur pada waktu itu.<br />

Berkat perantaraan yang kebetuian datang dari seorang teman, penelitian<br />

lanjutan dilakukan oleh Asisten Residen sendiri. Terdapatlah<br />

hasil, bahwa tuduhan-tuduhan itu ternyata hanya direka-reka saja.<br />

Hampir-hampir saja jumlah orang buangan yang tak bersalah ditambah<br />

dengan seorang lagi. Orang-orang wajib rodi yang sakit, atas<br />

perintah kontelir itu, diseret oleh orang-orang militer ke tempat<br />

kedudukan kontelir itu. Ia lebih percaya kepada juru tulis atau<br />

opasnya daripada para Kepala. Kontelir itu menganggap para Kepala<br />

itu sebagai musuh-musuh yang lebih rendah derajatnya. Singkat dan<br />

tegasnya: la seperti Nero.<br />

Tuan Ketua. Saya sukar memahami pembicara dan oleh karena<br />

itu saya minta pembicara lebih ba<strong>nyak</strong> berbicara dalam jurusan saya.<br />

Tuan Nyak Arif, "Maafkanlah saya Tuan Ketua!" Tuan Ketua!<br />

Jangan berikan tempat untuk oknum-oknum seperti itu di dalam korps<br />

B.B. Gubernur Celebes (Sulawesi), yakni Tuan Couvreur, telah mengambil<br />

langkah yang tepat di dalam persoalan ini. Ia tidak hanya memecat<br />

dari jabatannya orang-orang Bumiputra (Indonesia) yang tidak<br />

dapat dipergunakan, akan tetapi terutama memecat pula dari jabatannya<br />

pegawai-pegawai bangsa Eropa yang tidak dapat dipercaya. - -<br />

Tuan Ketua! Saya sekarang sampai kepada kesimpulan saya,<br />

bahwa perang ekspansi yang berlangsung lebih dari 60 (enam puluh)<br />

tahun lamanya dengan nafsu perusakannya, betul-betul suatu bencana<br />

yang hebat bagi negeri saya. Dengan sendirinya bahwa rakyat<br />

menjadi miskin karena peperangan itu. Maka adalah pula salah satu<br />

kewajiban pemerintah untuk meninggalkan pemberian beban yang<br />

berat kepada rakyat Aceh dalam bentuk apa pun juga, misalnya<br />

pemasukan pajak-pajak baru dan menaikkan uang pembayaran rodi.<br />

Di bawah sebuah gambar sindiran di dalam sebuah (majalah)<br />

Spectator yang tua saya membaca: Kita membagi adil seperti yang<br />

Tuan lihat. Saya mendapat gulanya dan kamu mendapat (ampas)<br />

tebunya.<br />

32


Pikiran ini pun sekarang hidup di kalangan kelompok-kelompok<br />

penduduk. Perubahan jalan pikiran ini hanya mungkin dengan suatu<br />

peningkatan ekonomi rakyat yang intensif.<br />

Dahulu di bawah Oost-Indische Compagnie (VOC) para pemegang<br />

kekuasaan menganut asas, bahwa rakyat yang miskin mudah<br />

diperintah. Tetapi sekarang rakyat yang telah menjadi miskin itu<br />

masih juga tetap dapat bergerak, maka Pemerintah justru wajib<br />

menempuh suatu arah yang lain.<br />

Pemerintah dengan terus terang mengakui, bahwa memerintah<br />

tanpa pimpinan orang Aceh dapat dikatakan tidak mungkin. Maka<br />

adalah pula tidak lebih daripada adil, bila Pemerintah mengambil sikap<br />

yang lebih baik dan lebih menunjang mereka dengan memperbaiki<br />

kedudukan keuangan dan kedudukan mereka di dalam masyarakat.<br />

Untuk maju ke depan kita memerlukan seorang Kepala yang berpendidikan<br />

baik. Dan hal ini hanya mungkin dengan tidak mempersulit<br />

masuknya anak-anak para kepala ke jenis atau macam sekolah<br />

yang mana pun juga. Untuk memperluas pandangan serta wawasan<br />

dan untuk melanjutkan pelajaran ke sekolah-sekolah yang lebih<br />

tinggi, maka harus digiatkan belajar ke luar daerah Aceh.<br />

Memerintah menurut pandangan saya harus diperhatikan cita-cita<br />

ini: Mendidik rakyat untuk bermandiri dengan secepat mungkin mulai<br />

memberikan kemerdekaan yang lebih ba<strong>nyak</strong> kepada para Kepala.<br />

Malah sangat tidak sah menyebut para Kepala di daerah-daerah takluk<br />

Swapraja tanpa hal itu. Penyulapan kata-kata ini dapat diakhiri dengan<br />

mcmindahkan kekuasaan memerintah kepada mereka. Pengunduran<br />

diri pemerintahan Nederlandsch Indie dalam arti kata yang<br />

tertentu - jangan ada yang salah sangka terhadap saya - akan harus<br />

menjadi akibat dari hal ini.<br />

Semua pegawai pamongpraja Bumiputra (Indonesia) dan lapisan<br />

atas rakyat harus mempunyai kepentingan diri sendiri dalam menentang<br />

ekses-ekses yang mengganggu ketertiban. Dan hal ini tidak<br />

mungkin terjadi pada pikiran: Di dalam hal ini saya tidak merugi apaapa.<br />

Tuan Ketua! Saya tutup pidato pertama saya ini dengan kata-kata<br />

Gladstone yang indah: Tidak ada yang lebih mulia dan lebih indah<br />

daripada suatu bangsa yang berkuasa mengakhiri ketidakadilan, dan<br />

33


tidak ada yang lebih hina daripada penindasan suatu bangsa yang<br />

lemah oleh suatu bangsa yang lebih kuat.<br />

Terima kasih, Tuan Ketua.<br />

Yang kami kutip di atas tadi adalah sebagian dari pidato pertama<br />

Teuku Nyak Arif di dalam Volksraad. Pidato tersebut menunjukkan<br />

kepribadian Teuku Nyak Arif sebagai seorang nasionalis dan seorang<br />

patriot yang mencinlai bangsa dan tanah airnya. Dengan suara yang<br />

lantang dan dengan nada yang tegas, kadang-kadang keras serta jelas<br />

beliau membela kepentingan negeri dan rakyat bangsanya.<br />

Yang amat menarik perhatian ialah bahwa jiwa kebangsaan<br />

(nasionalisme) dan semangat patriot Teuku Nyak Arif yang menyalanyala<br />

itu tetap konsisten dan tidak bcrubah sedikit pun juga dari awal<br />

sampai akhir masa jabatannya sebagai anggota Volksraad. Bahkan<br />

sesudah itu pun makin mantap, bahkan lebih tegas lagi, sehingga<br />

tidak heran jikalau beliau dianugerahi gelar "Pahlawan Nasional",<br />

gelar teninggi yang dapat diberikan kepada seorang putra atau putri<br />

bangsa Indonesia!<br />

Dengan gagah pcrwira Teuku Nyak Arif mulai mengayunkan<br />

rencong parlementcrnya melalui pidato pcrtamanya dan langsung<br />

menerjang bidang-bidang yang sangat luas jangkauannya, tidak hanya<br />

bidang politik, tetapi juga bidang ekonomi serta sosial-budaya. Tentang<br />

pengangkatan dan pelantikan swapraja atau uleebalang; tentang<br />

penggajian dan jaminan sosial pegawai-pegawai bangsa Indonesia,<br />

tentang pendidkan dan pengajaran; tentang bank-bank perkreditan<br />

rakyat; tentang agama; tentang orang-orang Aceh yang dibuang oleh<br />

Pemerintah Kolonial Belanda; tentang pegawai-pegawai Binnenlandsch<br />

Bestuur Belanda yang tidak bccus; tentang tentara Belanda; tentang<br />

pemerintahan kolonialisme Belanda yang menindas rakyat Indonesia<br />

dan lain-lainnya, semuanya mendapat sorotan dan tinjauan yang<br />

tajam.<br />

Di dalam Mcmori Jawabannya Pemerintah mengatakan: Memberikan<br />

naungan kepada sifat mandiri setempat yang lebih ba<strong>nyak</strong>,<br />

diiringi dengan hak urun rembuk (hak turut berbicara dan memutuskan<br />

bagi penduduk), adalah suatu akibat langsung dari kesadaran<br />

yang sudah sejak lama scnantiasa bertambah kuat. Biasanya persediaan<br />

kebutuhan setempat tidak terjadi dengan cara yang memuaskan - dan<br />

34


saya memberikan tekanan pada kata-kata berikut ini - karena letaknya<br />

jauh dari pusat pemerintahan dan tanpa adanya pembicaraan dengan<br />

wakil-wakil penduduk setempat.<br />

Teori ini saya sambut dengan gembira, asal saja dengan desentralisasi<br />

itu suara seorang yang tunggal, biasanya seorang pamongpraja<br />

bangsa Eropa tidak lebih lama lagi menentukan dan oleh karena<br />

itu beban rakyat tidak lebih diperberat. Jadi saya juga menyambut<br />

dengan gembira pembentukan sebuah dewan seperti itu, misalnya<br />

sebuah Dewan Aceh, yang memperoleh hak turut berbicara dan ikut<br />

mengatur dalam pelbagai persoalan. Sekarang pun terjadi segala<br />

macam tindakan, misalnya pembuatan jalan-jalan dan pekerjaanpekerjaan<br />

seperti itu di luar pengetahuan kami. Apakah itu mahal atau<br />

murah, kami tidak boleh berkata apa-apa. Keadaan itu sudah tentu<br />

harus pula berubah, Tuan Ketua. Demikian pula dengan persoalan Pemerintahan<br />

Dalam Negeri' (B.B.), telah saya kemukakan, bahwa<br />

keadaan seperti sekarang tidak tertafiankan lagi.<br />

Gubernur Celebes (Sulawesi), Tuan Couvreur, dengan sangat<br />

tegas telah meminta Pemerintah mempertimbangkan, agar secara<br />

langsung menyerahkan pemerintahan kerajaan-kerajaan kecil di<br />

daerahnya kepada Kepala-kepala Adat di bawah pengawasan pegawai-pegawai<br />

bangsa Belanda. Akan tetapi, Tuan Ketua, desentralisasi<br />

sangat mahal harganya. Pembentukan suatu susunan dewan-dewan<br />

harus diiringi dengan pengurangan jumlah pegawai pada B.B. Eropa,<br />

yakni para petor (Kontelir). Lagi pula di Sulawesi (Celebes) dan<br />

Menado sudah dimulai dengan pengurangan jumlah kontelir-kontelir<br />

atau petor-petor.<br />

Justru dengan cara begini, maka kami akan - seperti yang secara<br />

tepat diperingatkan oleh Tuan Middendorp - tidak lebih lama<br />

lagi menjadi kuli atau pekerja kasar, tetapi setidak-tidaknya di dalam<br />

semangat itu, akan dapat pula mengatakan sesuatu di dalam pemerintahan<br />

negeri dan rakyat kami; justru oleh kehadiran kebijaksanaan<br />

politik dalam bentuk yang demikian itulah kepercayaan<br />

kepada Pemerintah dapat diperkuat.<br />

Terima kasih, Tuan Ketua!<br />

RAPAT KE-30 - SELASA 19 JULI 1927<br />

ANGGARAN NEDERLANDSCH INDIE (HINDIA BELANDA)<br />

TEUKU NYAK ARIF-4 35


UNTUK TAHUN 1927 AFD. IX DEPARTEMEN PEPERANGAN<br />

- PENYUMPAHAN ANGGOTA YANG BARU DIANGKAT<br />

( ?) TUAN SJ. AAY.<br />

Tuan Nyak Arif: Tuan Ketua! Dalam tahun 1873 Perang Aceh<br />

pecah. Sekarang dalam tahun 1927 di Aceh bagian barat masih terjadi<br />

pertempuran. Jadi ini adalah sebuah peperangan yang berlangsung<br />

hampir 60 (enam puluh) tahun lamanya. Bahwa pada waktu<br />

itu bermacam-macam perbuatan telah dilakukan oleh anggotaanggota<br />

tentara (Belanda) tidak perlu ada penjelasan lebih lanjut.<br />

Anggota Majelis Tuan Van Kol telah menunjukkan baik di dalam<br />

parlemen maupun di dalam buku karangannya yang diterbitkan berjudul<br />

"Onze Koloniën" (Tanah Jajahan Kita), betapa kehancuran<br />

yang telah ditimbulkan oleh peperangan ini untuk kelangsungan<br />

hidup kami, orang-orang Aceh. Menurut pendapat saya yang sederhana,<br />

perbuatan-perbuatan yang tercela ini telah mencapai puncaknya<br />

dan oleh karena itu sangat saya sesalkan, bahwa kini pun<br />

masih dapat terjadi pula kejadian-kejadian seperti misalnya penganiayaan<br />

terhadap jenazah-jenazah dan orang-orang yang lukaluka<br />

seperti di daerah Trumon pembunuhan terhadap wanita-wanita<br />

Aceh yang tak bersalah. Kejadian-kejadian seperti itu hanya dapat<br />

memperuncing pertentangan-pertentangan yang telah ada. -<br />

Sebagai bukti tentang hal ini akan saya sebutkan beberapa contoh.<br />

Di dalam "Bintang Timur" tanggal 2 Juli yang baru lalu ada disebutkan<br />

beberapa kejadian yang tidak akan saya percayai, jikalau<br />

saya tidak mendapat jaminan tentang kebenarannya dari pihak yang<br />

sangat boleh dipercaya.<br />

Kalau aksi militer tetap sebagaimana yang sekarang, tentu penduduk<br />

semakin berkurang dan perusahaan anak negeri bertambah<br />

mundur. Tentang anak negeri yang berkurang tentu sudah jelas terlihat<br />

sekarang, tiap-tiap satu yang mati berkurang satu. Tentang perusahaan<br />

anak negeri berkurang, menurut kabar ternyata, bahwa kapalkapal<br />

K.P.M. yang singgah di Tapak Tuan buat mengambil muatan<br />

yang selama ini 4 kali tiap-tiap bulan, bakal dijalankan dua kali saja<br />

sebulan. Bukankah hal itu terjadi karena muatan tidak cukup, muatan<br />

kapal yang selama ini keluar dari dalam tangan anak negeri. Tidakkah<br />

hal yang terjadi ini cukup bukti menjadi seruan dari hamba rakyat<br />

36


kedua Onderafdeling. Kalau bisa bertukar kekerasan itu dengan halus<br />

dan sabar, sehingga kedua bahaya tersebut bisa terhindar, tentu anak<br />

negeri tidak kuatir lagi pergi ke hutan sekalipun akan berjumpa<br />

dengan serdadu patroli, Selama ini kalau berjumpa dalam hutan<br />

dengan orang-orang kampung yang mencari rezki, ba<strong>nyak</strong>lah pertanyaan<br />

militer kepadanya. Yang tidak mengerti bahasa Melayu<br />

disangka militer tidak turut perintah terus distraf. Kalau bukan karena<br />

itu tentu orang tidak takut pergi ke hutan selama ini.<br />

Kemerdekaan anak negeri seperti terganggu. Masuk ke hutan<br />

mencari rotan dan lain-lain pun amat kuatir sekali disangka termasuk<br />

jahat!<br />

Sekarang, Tuan Ketua, saya tiba pada perlakuan yang dialami<br />

oleh serdadu-serdadu bumiputra. Salah seorang anggota pagi hari ini<br />

telah mempergunakan ungkapan: sama rata sama rasa. Nah, untuk<br />

serdadu-serdadu bumiputra yang mempunyai pendidikan sama dengan<br />

pendidikan serdadu-serdadu bangsa Eropa saya mengharapkan<br />

perlakuan dan juga penggajian yang sama.<br />

Selanjutnya menurut hernat saya sebaiknya jikalau untuk para<br />

serdadu yang beragama Kristen diangkat pendeta-pendeta atau rohaniawan-rohaniawan,<br />

maka untuk serdadu-serdadu yang beragama<br />

Islam berlaku pula hal yang demikian.<br />

Salah seorang teman seanggota saya yang terhormat di tempat ini<br />

pada pagi hari ini telah membela keinginan, untuk memberikan<br />

tunjangan kepada para perwira yang bertugas di Aceh. Saya dengan<br />

segala senang hati turut bergabung dan mendukung usul itu, karena<br />

perwira-perwira yang bertugas di Aceh tidak pasti tentang kehidupan<br />

(ajal)nya.<br />

Mengingat waktunya saya sekarang tidak akan melanjutkan pembicaraan<br />

saya. Terima kasih, Tuan Ketua.<br />

Di dalam pidato ini dapat kita melihat betapa beraninya Teuku<br />

Nyak Arif membela kepentingan rakyat, terutama rakyat Aceh. Beliau<br />

berani mengecam kekejaman-kekejaman tentara Belanda, namun<br />

beliau membela nasib serdadu-serdadu bangsa Indonesia.<br />

Dalam sidang-sidang Volksraad bulan November 1927 Teuku<br />

Nyak Arif selalu mengeritik pemerintah Hindia Belanda, seperti<br />

memberikan peringatan kepada polisi. Ia juga membalas tulisan<br />

37


Mr. Trip dalam Het Nieuws Van Den Dag yang mengeritik orang<br />

Indonesia. Rasa nasionalisme Teuku Nyak Arif menjadi panas betul<br />

karena kritik itu. Teuku Nyak Arif dan Muchtar juga memperhatikan<br />

pengaduan dalam koran Bintang Timur. Aktivitas Nyak Arif di<br />

Volksraad telah menimbulkan rasa tak senang kalangan pemerintah,<br />

ia telah menunjukkan kepintarannya di podium Volksraad. 7<br />

'<br />

Untuk lebih jelasnya baiklah dikutip ulasan dari Harian Bintang<br />

Timiir tanggal 9 Desember 1927 yang berbunyi sebagai berikut:<br />

Dalam persidangan Volksraad tanggal 8 Desember 1927 telah berbicara<br />

jago-jago dari bangsa Belanda seperti Mr. Jacob dan Prof.<br />

Oppenheim, dan dari pihak Indonesia telah berbicara jago-jago pula<br />

seperti Suroso, Suangkupon dan Nyak Arif.<br />

Anggota Belanda tidak setuju penambahan hak bagi anggota<br />

bangsa Indonesia di Volksraad, tetapi yang perlu dibina kerja sama<br />

anggota Belanda, Tionghoa dan Indonesia. Perlu dibentuk komisi<br />

bagi perdamaian dan kerja sama yang menyenangkan semua pihak.<br />

Anggota-anggota Indonesia terutama Teuku Nyak Arif membantah<br />

keras pendapat anggota-anggota Belanda itu: Tidaklah akan menambah<br />

kehormatan pada tuan-tuan di mata orang Indonesia dengan<br />

tuan-tuan bersikap ba<strong>nyak</strong> cincong itu. Berlakulah sebagai laki-laki<br />

untuk kepentingan Indonesia bersama. Suangkupon dan Suroso juga<br />

menunjukkan kejengkelan mereka, seperti halnya Teuku Nyak Arif.<br />

Buat orang Indonesia, anggota-anggota seperti Nyak Arif, Suroso dan<br />

Suangkupon patut diperingati setelah melihat dengan mata sendiri<br />

akan sikap dan pembicaraan mereka.<br />

Pada Teuku Nyak Arif kelihatan tipe orang Aceh yang bersifat<br />

laki-laki. Suangkupon sebagai orang Sumatera Timur juga sudah<br />

bersumpah dalam hatinya, bahwa ia tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan<br />

yang telah diberikan kepadanya di Volksraad. Tepatlah apa<br />

yang telah dikatakan oleh Dr. A. Rivai bahwa ketiga anggota<br />

Volksraad yaitu Teuku Nyak Arif, Suroso dan Suangkupon, kalau<br />

mereka meninggal pantas dituliskan di kuburan mereka seperti<br />

berikut:<br />

7) Surat kabar Bintang Timur, Jakarta, 18 November 1927, hal. 1.<br />

38


Di sini berkubur bangsa kami anak Indonesia anggota Volksraad<br />

yang sudah memberikan tenaganya di Volksraad guna bangsa dan<br />

tanah airnya. Sebaliknya anggota yang meninggalkan barisannya,<br />

karena menyembah peci mas, dan hanya berani kepada bangsanya,<br />

juga harus disebutkan di kuburan mereka itu bahwa mereka telah<br />

berlutut kepada bangsa asing. S)<br />

Pada akhir persidangan Volksraad tahun 1927 bulan Desember,<br />

Bintang Timur telah mengeritik anggota bangsa Indonesia yang takut<br />

mengeritik pemerintah dengan tidak menghadiri sidang dengan alasan<br />

pura-pura sakit.<br />

Selanjutnya Harian Bintang Timur tanggal 10 Desember 1927<br />

mengulas sebagai berikut:<br />

Dalam dua hari dua malam perdebatan di Volksraad, dari anggota<br />

bangsa Indonesia terdengar harapan disertai kemasygulan tentang peraturan<br />

yang sama sekali merugikan Indonesia dan tidak mendatangkan<br />

kebajikan bagi Indonesia. Dari Dwijosewoyo, Mandagie, Jayadiningrat,<br />

Sukawati, Thamrin, Suroso, Suangkupon ... jangan tanya<br />

Nyak Arif, meskipun dengan halus dikatakan, tetapi sebenarnya berisi<br />

ancaman. Sebaliknya pihak pers Belanda juga mengadakan serangan<br />

dengan gencar terhadap anggota-anggota Indonesia yang jago-jago<br />

dan berani itu. Pers Belanda itu fnenakut-nakuti dan melakukan intrik<br />

terhadap anggota-anggota tersebut.<br />

Anggota bangsa Indonesia mengatakan bahwa sekumpulan kecil<br />

kolonial kapitalis ingin mendapat pengaruh lebih besar. Pendapat<br />

anggota-anggota Indonesia ini juga mendapat tantangan dari jagojago<br />

Belanda seperti Stokvis. Stokvis mengatakan tidak benar pendapat<br />

yang mengatakan bahwa dengan memberikan kelapangan politik<br />

bisa memberikan kemajuan ekonomi rakyat Indonesia. Kenyataan<br />

kolonialis selama 25 tahun telah membuktikan bahwa pendapat<br />

Stokvis itu tidak benar. Dalam hal itu Teuku Nyak Arif mengatakan<br />

bahwa anggota Belanda harus mengakui kenyataan dan bertindak<br />

sebagai laki-laki. Jangan mengatakan mau bekerja sama, tetapi hak<br />

tidak dapat disamakan, malahan orang Indonesia hanya dianggap<br />

sebagai asisten dan tentu saja persoalan itu tidak akan menjadi. Begitu<br />

8) Surat kabar Bintang Timur, Jakarta, 9 Desember 1927, hal. 1.<br />

39


pun anggota bangsa Indonesia lainnya juga mengemukakan suara<br />

yang sama seperti Thamrin dan Jayadiningrat. Akhirnya Teuku Nyak<br />

Arif mengatakan bahwa orang yang sopan tidak akan mencoba<br />

menekan hak rakyat, demikian Nyak Arif dalam Volksraad. 9<br />

'<br />

Kemudian Teuku Nyak Arif mengemukakan sebagai berikut:<br />

Tidak benar pendapat Tuan Ligthart yang mengatakan bahw<br />

adanya mayoritas anggota ban'g'sa Indonesia di Volksraad a<br />

mengacau-balaukan keadaan ekonomi Hindia Belanda. Dan sebe<br />

nya tidak mungkin terjadi bahwa Volksraad itu hanya terdiri<br />

bangsa Indonesia seluruhnya, sebab harus diingat bahwa mas<br />

pimpinan dari Gubernur Jenderal dan kekuasaan-kekuasaan terti<br />

dari pemerintah Hindia Belanda. Lagi pula masih ba<strong>nyak</strong> terda<br />

bangsa Indonesia yang tidak menguntungkan bangsanya sendi<br />

masih tetap memihak golongan Belanda. Kita juga mengambil<br />

nilai dari perang kemerdekaan Amerika dan menghubungkan de<br />

pertumbuhan gerakan non kooperasi di Indonesia. Saya/'juga m<br />

akui bahwa Gubernur Jenderal berusaha untuk berdiri di ata<br />

semua partai.<br />

Tuan Van Treub dan Tuan Trip masih berpendapat bahwa I<br />

nesia hanyalah untuk diambil kekayaannya, dan bangsa Indo<br />

jangan punya perhatian dengan masalah politik yang berken<br />

dengan tanah airnya. Saya sama sekali menyanggah pendapa<br />

Van Treub dan Tuan Trip. Sebaliknya saya menghargai pendap<br />

Tuan Kraemer yang mengatakan: Tidak ada gunanya menund<br />

rubahan peraturan pemerintah.<br />

Penambahan anggota Volksraad bangsa Indonesia tidak m<br />

untungkan apa-apa bagi bangsa Indonesia, karena di biddng-b<br />

lain seperti pengadilan, pendidikan, bangsa Indonesia tidak m<br />

dapat kedudukan yang menguntungkan.<br />

Saya menghargai sikap Gubernur Jenderal yang tidak ter<br />

terpengaruh oleh suara-suara golongan Belanda yang membi<br />

ba<strong>nyak</strong> aksi.<br />

Fruin berpendapat: Kalau terjadi mayoritas anggota Indonesia di<br />

Volksraad, maka dalam beberapa tahun yang akan datang kita pasti<br />

9) Surat kabar Bintang Timur, Jakarta, 12 Juni 1929, hal. 1.<br />

40


akan mempunyai anggota-anggota seperti Tuan Suroso dan Tuan<br />

Nyak Arif. Pasti akan terjadi perongrongan terhadap pemerintah<br />

Belanda dan akan terjadi konflik, Lebih baik hal itu dihindari dengan<br />

cara mempertahankan mayoritas Belanda dalam Volksraad. 10<br />

'<br />

Dalaril persidangan Volksraad bulan Juni 1928, Teuku Nyak Arif<br />

dalam tiap kesempatan selalu memperjuangkan kepentingan rakyat<br />

Indonesia, dan mengeritik pemerintah Hindia Belanda. Pada tanggal<br />

18 Juni 1928 ia membawakan pidatonya sebagai berikut: .<br />

Tuan Nyak Arif: "Tuan Ketua! Jikalau kita membicarakan politik<br />

di dalam negeri ini, maka kata "Indonesia" tidak dapat tidak harus<br />

disebut. Beberapa orang pembicara sendiri, sebaliknya yang lain lagi<br />

segan mempergunakannya. Akan tetapi saya termasuk di antara mereka<br />

yang bangga menyebut kata Indonesia. Karena sesungguhnya pembentukan<br />

suatu kebangsaan Indonesia di dalam waktu yang amat<br />

dekat ini bukan lagi suatu cita-cita yang hampa, akan tetapi suatu kemungkinan.<br />

Dasar-dasamya sudah ada. Dalam hubungan ini dapat<br />

ditunjukkan yang mengenai hukum, bahasa, kesenian dan tanah. Hal<br />

itu sesungguhnya memang mungkin dan pembinaan dasar-dasar yang<br />

telah ada diharapkan terus, itu dalam batas-batas hukum yang ada ke<br />

arah suatu persatuan dan kesatuan nasional. Itulah salah satu syarat<br />

yang mutlak untuk mencapai kemerdekaan kenegaraan. Saya tidak<br />

menyatukan diri dengan pernyataan, bahwa bimbingan Nederland<br />

sangat dibutuhkan dalam masa yang tidak terbatas, setidak-tidaknya<br />

jikalau kata-kata "dalam waktu yang tidak terbatas" itu dianggap sebagai<br />

"abadi" atau untuk selama-lamanya. Namun bahwasanya sekarang<br />

ini kami masih membutuhkan bimbingan itu tidak akan saya<br />

sangkal. Yang sudah pasü ialah bahwa suatu kerja sama dengan<br />

Pemerintah adalah untuk kepentingan kemajuan Indonesia. Pada<br />

saya juga sudah mantap bahwa seüap nasionalisme yang wajar berjuang<br />

serta berikhtiar ke arah peningkatan negera dan rakyat di bidang<br />

ekonomi, sosial dan Tcenegaraan. Oleh karena itu saya sangat menyesalkan,<br />

jikalau dari pihak mana pun juga dijalankan suatu aksi atau<br />

tindakan untuk menentang serta menghalang-halangi kemungkinan-<br />

10) Surat kabar De Locomotief, Semarang, 10 Desember 1927, hal. 2.<br />

41


kemungkinan itu. Pemerintah sendiri mengakui, bahwa keamanan dan<br />

ketertiban tidak hanya dijamin dengan alat-alat kekuasaan yang ada<br />

saja. Saya sangat setuju dengan pengakuan Pemerintah itu. Kelompok-kelompok<br />

yang selalu bertindak bermusuhan dan meremehkan<br />

gerakan-gerakan bangsa Indonesia, tidak boleh melupakan, bahwa<br />

ba<strong>nyak</strong> kaum nasionalis yang mengabdikan diri dan hidupnya dengan<br />

bekerja sama di bawah bimbingan Nederland demi menjamin keamanan<br />

dan ketertiban. Di sini saya mengarahkan pandangan saya<br />

kepada pegawai-pegawai bangsa Indonesia baik yang bekerja pada<br />

Binnenlandsch Bestuur (Pemerintahan Dalam Negeri), maupun sebagai<br />

tentara dan polisi, yang siang dan malam seperti juga orangorang<br />

Belanda sendiri, berjaga-jaga untuk menjamin keamanan dan<br />

ketertiban di negeri ini.<br />

Oleh karena itu Tuan Ketua, saya terkena oleh ucapan-ucapan<br />

Tuan Treub dan Tuan Staal di dalam brosur-brosur tentang hubungan<br />

pegawai-pegawai pamongpraja bangsa Indonesia di negeri ini.<br />

Ucapan-ucapan ini - dan terutama jikalau ucapan-ucapan itu dipergunakan<br />

di dalam pelbagai kegiatan - juga saya sebutkan berbahaya<br />

bagi kenegaraan. Oleh karena itu saya juga sangat menyesalkan<br />

serta menyayangkan, bahwa Pemerintah hanya mengarahkan pandangannya<br />

terhadap unsur-unsur ekstremis atau komunis di negeri<br />

ini saja. Pemerintah harus memperhatikan pula setiap aksi atau<br />

kegiatan yang dijalankan, yang dapat mengarah kepada mengganggu<br />

keamanan dan ketertiban di negeri ini, tidak perduli dari pihak mana<br />

pun datangnya aksi itu. Hal itu menyebabkan kepercayaan kami,<br />

kaum nasionalis yang evolusioner, goyah terhadap kelompok orangorang<br />

Eropa. Saya tidak berbicara khusus tentang Pemerintah, karena<br />

saya masih tetap termasuk orang-orang yang menaruh kepercayaan<br />

terhadap kebijaksanaan Pemerintah. Memang benar ada beberapa<br />

orang nasionalis tidak dapat menahan diri, menyatupadukan saja kegiatan<br />

kapitalis-kapitalis besar dengan kegiatan-kegiatan Pemerintah,<br />

akan tetapi hal ini sangat disesalkan. Tuan Ketua! Saya tadi membicarakan<br />

soal politik dalam negeri Indonesia dan dalam melanjutkan<br />

garis ini saya melihat di negeri ini ada dua kelompok. Di satu pihak<br />

kaum nasionalis evolusioner, yakni mereka yang di dalam kedudukan<br />

mereka selalu bekerja sama dengan Pemerintah dan di lain pihak<br />

42


pengikut-pengikut kapitalisme besar yang ekstremistis serta orangorang<br />

Eropa lainnya yang reaksioner. Yang menyedihkan bagi saya<br />

ialah, bahwa para Yang Mulia, seperti Mantan Menteri Staal dan<br />

yang lain-lainnya, telah mengeluarkan pendapat yang meremehkan<br />

gerakan-gerakan dan tentang orang-orang bangsa Indonesia.<br />

Gerakan bangsa Indonesia dapat kita samakan dengan seorang<br />

bayi yang sangat membutuhkan pemeliharaar.. Seorang bayi dapat<br />

misalnya sering jatuh, namun oleh karena itu kita tidak perlu mengejeknya<br />

atau meremehkannya. Hal ini adalah soal yang wajar dan<br />

orang yang berpikir dapat menentang aliran-aliran yang nasionalistis<br />

itu, sama saja dengan meraba di dalam kegelapan. *<br />

Sikap Pemerintah di negeri Belanda terhadap mahasiswa-mahasiswa<br />

Indonesia, memberi keyakinan kepada saya, bahwa di negeri<br />

Belanda terjadi suasana anggapan yang sehat terhadap gerakangerakan<br />

bangsa Indonesia. Akan tetapi kegiatan penasehat Pemerintah<br />

terhadap mahasiswa-mahasiswa Indonesia saya anggap jauh dari<br />

pada indah. Hal ini adalah suatu kegiatan yang kurang bersih dan<br />

yang lebih disesalkan lagi, karena Penasehat Pemerintah ini adalah<br />

seorang Belanda yang di sini (di Indonesia) pernah menduduki suatu<br />

jabatan yang tinggi. Penasehat Pemerintah ini bahkan tidak ragu-ragu<br />

mempengaruhi orang tua salah seorang mahasiswa Indonesia itu<br />

untuk tidak mengirimkan uartg lagi kepada anak-anak mereka, sehingga<br />

mahasiswa itu sekarang kehilangan kesempatan untuk melanjutkan<br />

pelajaran.<br />

Tuan Ketua! Ke mana kita harus menuju jikalau orang-orang<br />

yang menduduki jabatan tinggi atau mantan orang-orang yang pernah<br />

menduduki jabatan tinggi, bahkan yang pernah menduduki jabatanjabatan<br />

penting seperti Gubernur, dengan cara demikian bertindak<br />

sebagai penasehat Pemerintah? Saya pun sangat setuju dengan penuh<br />

haru bersama Tuan Ten Berge untuk segera membebastugaskan penasehat<br />

Pemerintah itu dari kedudukannya yang sekarang.<br />

Tuan Ten Berge, "Saya tidak ada menyebut nama-nama."<br />

Tuan Nyak Arif, "Oleh karena itu saya juga tidak melanjutkan<br />

persoalan ini. Saya sepenuhnya dapat menyetujui bahwa oleh Pemerintah<br />

diberlakukan hukuman pengasingan terhadap oknum-oknum<br />

43


yang berbahaya. Tetapi jikalau Pemerintah mengasingkan seseorang<br />

ke luar tempat kelahiran mereka, tanpa mengajukan pertanyaan atau<br />

tanpa menyerahkan sepucuk surat putusan pembuangan atau pengasingan<br />

kepada orang itu, saya tidak mungkin menyatukan diri<br />

dengan tindakan itu. Saya menamakan hal ini suatu perampasan kebebasan<br />

yang tertentu. Sebagai contoh ialah penahanan Teuku Abdul<br />

Latif, orang Aceh yang sekarang ditahan di Bengkulu. Orang itu tidak<br />

pernah ditanyai dan didengar keterangannya serta tidak pernah<br />

menerima Surat Keputusan pengasingan atau pembuangannya. Oleh<br />

karena itu saya sangat ingin mendengar dari Pemerintah atas dasar<br />

apa orang itu masih ditahan di Bengkulu?<br />

tuan Ketua! Ketika mendengar, betapa kelompok-kelompok yang<br />

reaksioner di negeri ini selalu merendahkan atau meremehkan serta<br />

menentang gerakan kami, saya menganggap perlu dan penting sekali<br />

orang-orang Indonesia bersatu-padu. Lagi pula, tanpa melanggar<br />

hukum atau undang-undang, kami dapat membentuk satu front untuk<br />

menjalankan aksi atau kegiatan bersama terhadap setiap gerakan<br />

yang menentang suatu gerakan nasionalisme yang sehat. Yang Mulia<br />

Gubernur Jenderal juga menghormati gerakan nasionalisme yang<br />

sehat, bukan? Kami, kaum nasionalis yang evolusioner, melihat<br />

bahwa jalan masih terbuka untuk mencapai tujuan kita yang suci dan<br />

luhur, akan tetapi jikalau jalan itu dipersukar dan tidak mungkin lagi<br />

dilalui, maka tidak ada jalan lain lagi, kecuali terjadi suatu bencana<br />

bagi kehidupan bersama kita. Oleh karena itu maka saya masih harus<br />

sekali lagi menggarisbawahi pidato rekan seanggota saya yang terhormat<br />

Tuan Ten Berge, jikalau beliau mengatakan bahwa modal di<br />

negeri ini juga mempunyai sisinya yang hitam kelam. Sementara itu<br />

saya juga tidak buta terhadap kenyataan bahwa untuk kemajuan dan<br />

perkembangannya, Indonesia membutuhkan modal. Selanjutnya saya<br />

tidak perlu berbicara tentang persoalan ini lagi. Rekan saya seanggota<br />

yang terhormat Tuan Ten Berge untuk persoalan itu telah mengutip<br />

bermacam-macam karya dari bermacam-macam kaum kritikus.<br />

Adapun mengenai persoalan "karet Rakyat" saya secara keseluruhan<br />

menggabungkan diri kepada pidato rekan seanggota saya<br />

yang terhormat Tuan Alimusa.<br />

44


Sebelum meninggalkan mimbar ini saya masih ingin menunjukkan<br />

kepada teman-teman sebangsa dan setanah-air saya yang terhormat<br />

akan kenyataan, bahwa di dalam batas-batas hukum (Undangundang)<br />

mereka mutlak akan dapat berjalan bersama-sama untuk<br />

mewujudkan cita-cita, melalui persatuan dan kesatuan Indonesia<br />

mencapai kemerdekaan nasional.<br />

Terima kasih, Tuan Ketua\ n)<br />

Sumpah Pemuda adalah sebuah puncak yang tinggi di dalam<br />

Sejarah Nasional Indonesia. Di dalam peristiwa sejarah yang sangat<br />

penting itu diikrarkan SATU NUSA, SATU BANGSA DAN SATU<br />

BAHASA, yang menjadi dasar yang kokoh kuat persatuan dan kesatuan<br />

nasional seluruh bangsa Indonesia, dari Sabang sampai ke<br />

Merauke!<br />

Jikalau kita meneliti pidato Teuku Nyak Arif yang kami kutip di<br />

atas tadi dan kejadian-kejadian serta képutusan-keputusan yang telah<br />

diambil di dalam Sumpah Pemuda, maka dengan jelas kita dapat<br />

melihat dan menemukan korelasi atau hubungan timbal balik serta<br />

sebab-akibat antara pidato Teuku Nyak Arif itu dan peristiwa-peristiwa<br />

serta képutusan-keputusan dalam Sumpah Pemuda. Pidato Teuku<br />

Nyak Arif itu diucapkan pada tanggal 18 Juni 1928, jadi hanya<br />

beberapa bulan sebelum peristiwa sejarah Sumpah Pemuda yang<br />

terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928. -<br />

Jikalau kita memperhatikan dan meneliti kedua hal itu, maka kita<br />

dapat melihat dan menemukan dengan jelas bahwa dalam peristiwa<br />

dan képutusan-keputusan Sumpah Pemuda itu ada refleksi-refleksi<br />

pidato Teuku Nyak Arif pada tanggal 18 Juni 1928 di dalam Volksraad.<br />

.Memang bukan rahasia lagi bahwa pada waktu itu ada kerja sama<br />

antara kelompok kaum kooperator dan kelompok kaum non-kooperator<br />

serta golongan pemuda bahkan juga perkumpulan-perkumpulan<br />

wanita dalam usaha memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.<br />

Dalam sidang 19 Juni 1928 Teuku Nyak Arif mengupas mengenai<br />

soal bahasa, yang dikemukakannya sebagai berikut: Bahasa<br />

Minangkabau ba<strong>nyak</strong> titik persamaan dengan bahasa Melayu Riau<br />

11) 26 Ste Vergadering, onderdag 14 Juli 1927, hal. 167.<br />

45


yang sekarang diajarkan di sekolah-sekolah dasar bumiputra.<br />

Janganlah hendaknya bahasa-bahasa daerah lain diajarkan juga di<br />

sekolah, karena akan menimbulkan persoalan, karena buku-buku itu<br />

harus dicetak. Jalan pikiran yang demikian sangat tidak praktis.<br />

Dalam tahun 1929 Teuku Nyak Arif mempunyai ba<strong>nyak</strong> kesempatan<br />

berpidato di Volksraad. Persidangan 17 Juli 1929 Teuku Nyak<br />

Arif berpidato sebagai berikut: Saya memprotes pendapat yang<br />

menyamakan nasionalisme dengan komunisme. Cita-cita rakyat akan<br />

maju ke tingkat yang lebih tinggi kalau rakyat itu makin cerdas. Saya<br />

mengeritik dan mencela tindakan pemerintah yang mendirikan<br />

gedung bagus, sedangkan rakyat kekurangan ruangan untuk sekolah<br />

yang baik. Undang-undang pendidikan di Indonesia lebih rendah<br />

daripada di negeri jajahah lain. Indonesia mendapat undang-undang<br />

pendidikan yang buruk. Aturan secara Timur tidak dijalankan bersama-sama<br />

dengan pengaruh Barat.<br />

Untuk memperoleh gambaran yang lengkap mengenai sidang 17<br />

Juli 1929, marilah kita ikuti pemberitaan dalam harian Bintang Timur<br />

17 Juli 1929 sebagai berikut: Nyak Arif berpendapat bahwa suatu<br />

kritik hendaklah dikemukakan dengan pantas, sedangkan kritik yang<br />

dikemukakan oleh anggota PEB dalam Volksraad adalah tidak gentlemen.<br />

Fruin menjawab bahwa itu adalah pendapat Nyak Arif. Kemudian<br />

Nyak Arif dan Fruin sama-sama berpolemik dengan mengeluarkan<br />

kata-kata keras, sehingga ketua sidang terpaksa turun tangan.<br />

Selanjutnya dalam sidang Volksraad 18 Juli 1929 Teuku Nyak<br />

Arif tidak gentar melanjutkan perdebatan dengan anggota bangsa<br />

Belanda yang bernama Mr. Dr. Fruin. Nyak Arif membentak Fruin<br />

yang suka memotong pembicaraannya.<br />

Bintang Timur 18 Juli 1929 memberikan ulasan sebagai berikut:<br />

Rencong Aceh di Volksraad.<br />

Nyak Arif kontra Fruin.<br />

Nyak Arif : Saya tidak mengerti tuan ketua kritik yang tidak jujur<br />

dalam majalah PEB dengan redaksinya Mr. Dr. Fruin.<br />

Kemukakanlah kritik yang sehat, gentlemen dan sopan.<br />

Fruin : Berkatalah tuan dengan pendapat tuan sendiri.<br />

46


Nyak Arif : Tentu untuk saya.<br />

Fruin : Apa yang Tuan katakan terlalu tidak pantas.<br />

Nyak Arif : Saya mempunyai hak untuk berkata merdeka di sini.<br />

Ketua : Saya peringatkan Tuan-tuan Nyak Arif dan Fruin supaya<br />

jangan berpolemik di sini.<br />

Nyak Arif : Saya minta supaya anggota yang terhormat Fruin<br />

jangan mengganggu saya waktu berbicara.<br />

Ketua : Itu nanti saya jaga.<br />

Nyak Arif : Saya tokh mempunyai pikiran yang sehat.<br />

Teuku Nyak Arif mengatakan di Volksraad bahwa di Sumatera<br />

Barat kepala-kepala negeri hanya merupakan mandor-mandor belasting<br />

saja. Bahkan di beberapa tempat mereka dijadikan mandor<br />

jalan.<br />

Dalam persidangan 20 Juli 1929 Teuku Nyak Arif jneminta, agar<br />

anggota Volksraad yang ambtenaar betul-betul menjalankan pekerjaannya<br />

sebagai anggota Voolksraad. Pekerjaan itu tidak dapat<br />

dirangkap kalau ingin memperoleh hasil yang baik. 12)<br />

Dalam persidangan 29 Juli 1929 Teuku Nyak Arif kembali<br />

membawakan pidato-pidatonya yang berhubungan dengan soal agama<br />

dan pendidikan.<br />

Tuan Nyak Arif, "Tuan Ketua! Oleh pelbagai anggota dari kelompok<br />

kanan di dalam Majelis Rendah dan Majelis Tinggi di negeri<br />

Belanda dikatakan, bahwa jurang yang dapat diamati antara ras-ras di<br />

Indonesia, dapat diatasi dan dijembatani oleh agama Kristen. Saran<br />

atau anjuran Tuan Colijn, untuk tidak hanya mendahulukan pengajaran<br />

zending (pekabaran injil) dari pengajaran Gubernemen<br />

(Pemerintah), tetapi juga memberikan bantuan keuangan yang kua<br />

kepada pengajaran zending itu, di sebuah negeri seperti Indonesia<br />

yang sebagian besar penduduknya menganut agama Islam, pasti akan<br />

membangkitkan kecurigaan dan ketidakpuasan. Melanjutkan suatu<br />

politik penasranian dapat menjadikan awal sebab adanya agitasi<br />

atau hasutan serta reaksi di kalangan penduduk. Lagi pula di ruangan<br />

pengajaran di Sekolah Tinggi dapat diketemukan bukti-bukti, bahwa<br />

12) Surat kabar Binlang Timur, Jakarta, 29 Juli 1929, hal. 2.<br />

47


Para pemimpin Indonesia yang menjadi anggota "Volksraad". Mereka ialah: Atas: M.H. Th<br />

Dr. G.S.S.D. Ratulangi, Otto Kusuma Subrata. Bawah: Prabu Mangkunegara, T. Nyak Arif<br />

Dr. Todung Gelar Sutan Gunung Mulia.<br />

ras berada di atas agama. Jawaban yang telah diberikan oleh<br />

Pemerintah mengenai persoalan pemisahan antara gereja dan negara<br />

tidak memuaskan saya. Menurut hernat saya adalah maksud<br />

Pemerintah untuk menunda materi ini selama mungkin. Jumlah yang<br />

telah dikeluarkan oleh Pemerintah untuk keperluan gereja Protestan di<br />

negeri ini - gereja ini dipelihara oleh Pemerintah - jikalau saya tidak<br />

keliru berjumlah, empat juta gulden. Saya menyesal bahwa jumlahnya<br />

yang tepat tidak saya ingat betul, namun pada pokoknya, di sebuah<br />

negeri seperti Indonesia ..."<br />

48<br />

Tuan Fruin: "Negeri mana gerangan itu?"


Tuan Nyak Arif, "Baiklah, saya pun tidak berkeberatan untuk<br />

berbicara tentang negeri Hindia Belanda."<br />

Tuan Fruin, "Kini saya mengerti!<br />

Sekarang saya tiba pada suatu persoalan yang lain, yakni soal<br />

pengajaran."<br />

Ketua, "Bukankah Tuan sedang sibuk membicarakannya?"<br />

Tuan Nyak Arif, "Saya berbicara khusus mengenai kebaktian<br />

(eredienst) dan sekarang saya ingin lebih ba<strong>nyak</strong> membicarakan secara<br />

khusus mengenai pengajaran itu sendiri.<br />

Pengajaran di sekolah-sekolah HIS tidak diragukan lagi lebih<br />

rendah derajadnya daripada sekolah-sekolah Eropa. Diskusi mengenai<br />

hal ini tidak perlu (berlebihan). Kita harus memikirkan suatu cara<br />

untuk mengadakan perbaikan di dalam hal ini. Hal itu dapat, jikalau<br />

pada sekolah-sekolah HIS juga ditempatkan guru-guru bangsa Eropa.<br />

Pendirian Pemerintah terhadap kebijaksanaan pengajaran IEV<br />

(Indisch Europeesche Vereeniging = Perkumpulan Indonesia Eropa)<br />

saya sambut dengan segala senang hati. Dana Sekolah Guru I.E.V,<br />

harus disokong dengan sekuat-kuatnya.<br />

Tuan Zuiderhoff, "Bagus sekali!"<br />

Tuan Nyak Arif, "Kami orang-orang Indonesia juga di dalam hal<br />

ini mempunyai kepentingan yang besar sekali secara tidak langsung.<br />

Dengan mendirikan Sekolah Gurunya I.E.V. telah menempuh politik<br />

yang benar bijaksana. I.E.V. harus lebih ba<strong>nyak</strong> lagi mendirikan<br />

sekolah-sekolah baru."<br />

Oleh pelbagai pembicara di dalam ruangan ini antara lain Tuan<br />

Baaien - dan juga oleh orang-orang di negeri Belanda - saya akan<br />

menyebutkan saja kelompok ini dengan sebutan "pengikut-pengikut<br />

Colijn" telah dinyatakan, bahwa dengan memberikan pengajaran<br />

Barat kepada orang-orang pribumi kita telah melangkah terlalu jauh.<br />

Pengajaran Barat di negeri ini sangat didambakan oleh orang-orang<br />

Indonesia. Hal ini juga telah diperhatikan dengan tepat sekali oleh<br />

yang terhormat anggota majelis, Tuan Joekes. Beliau, yang selama<br />

berada di sini, di Indonesia, telah berbicara dengan pelbagai pemimpin<br />

bangsa Indonesia, telah tiba pada pendirian yang benar dan<br />

tepat. Sementara itu saya tidak akan membiarkan diri saya dibohongi<br />

oleh kata-kata Tuan Van Baaien, bahwa pendapatnya diketahui secara<br />

49


umum di negeri Belanda. Baik dari pihak Katolik Roma maupun dai<br />

pihak kaum sosialis semuanya setuju sekali dengan pendirian yan,<br />

telah kami ambil di sini terhadap politik atau kebijaksanaan peng<br />

ajaran. Maka kecurigaan terhadap politik Nederland di bidang peng<br />

ajaran menurut hernat saya juga tidak adil.<br />

Tuan Nyak Arif, "Masyarakat Hindia Belanda mengajukai<br />

syarat-syarat yang lain dari yang dapat kita percayai. Ia mendamba<br />

kan pengajaran yang baik menurut pola Barat, karena sesungguhny;<br />

pelbagai faktor di negeri ini, perdagangan dan kerajinan dan jugi<br />

karena dimasukkannya Indonesia ke dalam hubungan internasional<br />

dituntut bahwa di dalam bidang pengajaran harus ditempuh suah<br />

kebijaksanaan politik yang sangat baik.<br />

Oleh karena itu saya merasa gembira bahwa juga di dalam ruangan<br />

ini, tidak hanya dari pihak orang-orang bumiputra akan tetapi<br />

juga di pihak kanan, saya telah mendengar suara-suara yang menyatakan<br />

tentang suatu penempuhan arah yang baik.<br />

Dalam tahun 1925 seorang rekan seanggota yang terhormat<br />

yakni Tuan's Jacob dengan tepat sekali telah berkata mengenai<br />

mendirikan atau pembentukan Sekolah Tinggi di Indonesia sebagai<br />

berikut: "Mendirikan atau pembentukan Sekolah Tinggi itu tidak<br />

hanya membawa Hindia Belanda (Indonesia) lebih jauh ke jalan yang<br />

menuju ke arah memenuhi sendiri keperluan personilnya, akan tetapi<br />

juga di jalan yang menuju ke suatu tempat yang sempuma di dalam<br />

masyarakat bangsa-bangsa internasional. Ukuran atau kadar kesempurnaan<br />

itu adalah ukuran atau kadar mobilisasi atau pengerahan<br />

tenaga-tenaga bumiputra di dalam pengabdian negeri sendiri, yang<br />

lebih tinggi lagi dalam pengabdian ilmu pengetahuan dari kèahlian<br />

teknik dan kèahlian ilmu-ilmu hukum, yang merupakan cap kesempurnaan<br />

negeri dan rakyatnya."<br />

Tuan Ketua! Sekarang saya tiba pada persoalan pengajaran<br />

rakyat. Di Aceh juga dipungut bayaran uang sekolah untuk muridmurid<br />

sekolah rakyat. Saya anggap itu bukan kebijaksanaan yang<br />

bijaksana. Tiap sekolah menghasilkan kurang lebih satu gulden uang<br />

sekolah, suatu jumlah yang sangat minim. Maka oleh karena itu<br />

menurut hernat saya diharapkan bahwa selekas mungkin kita harus<br />

50


memutuskan penghapusan uang sekolah pada sekolah-sekolah rakyat<br />

di Aceh.<br />

Tuan Ketua! Tadi saya telah berbicara tentang perlengkapan<br />

pengajaran di negeri ini. Jikalau di sini kita berbicara di dalam rangka<br />

penghematan, maka kita harus langsung mengakui, bahwa lebih<br />

ba<strong>nyak</strong> pengajaran yang harus diberikan dan seba<strong>nyak</strong> mungkin<br />

diberikan kesempatan masuk ke pelbagai sekolah, baik ke sekolah<br />

yang lebih tinggi maupun ke sekolah rendah. Dr. Nieuwenhuis<br />

dengan tepat telah mengingatkan bahwa Hindia Belanda sangat kekurangan<br />

pemimpin. Selanjutnya beliau berkata, bahwa kemakmuran<br />

dan kesejahteraan adalah berkat kenyataan, bahwa rakyat memiliki<br />

sejumlah pemimpin yang dapat menunjukkan tindakan-tindakan atau<br />

usaha-usaha yang perlu untuk perkembangan sumber-sumber negeri<br />

ini.,<br />

Adalah bodoh sekali untuk mengatakan bahwa Indonesia telah<br />

kebanjiran cendekiawan-cendekiawan, jikalau kita menelusuri betapa<br />

masih kurangnya dokter-dokter, advokat-advokat dan insiyur-insinyur<br />

di sini. Jikalau kita telusuri hal ini, maka jelas bahwa di negeri ini<br />

masih sangat kurang diusahakan pengajaran intelektual.<br />

Tuan Kan, "Insinyur-insinyur tidaklah terlalu sedikit."<br />

Tuan Nyak Arif, "Hal itu masih harus diselesaikan."<br />

Oleh karena itu Tuan Ketua, saya kira, bahwa apabila kelak oleh<br />

karena suatu politik pengajaran yang baik kita tiba pada keadaan lebih<br />

ba<strong>nyak</strong> permintaan daripada penawaran, barulah akan ada persoalan<br />

penghematan. Maka barulah akan lewat masanya keluhan para pegawai<br />

akan gaji yang lebih ba<strong>nyak</strong>.<br />

Tuan Ketua! Mengenai persoalan, yang di sini disinggung oleh<br />

Tuan Van Baaien, scolah-olah pengajaran di sini telah menimbulkan<br />

ketidaksenangan dan komunisme, hal itu juga tidak benar. Pcmimpinpemimpin<br />

Kaum komunis di daerah Sumatera Barat scbagian besar<br />

adalah guru-guru sekolah rakyat dan lcpasan sekolah-sekolah rendah<br />

bumiputra. Jadi ketidaksenangan bukanlah akibat dari pengajaran,<br />

akan tetapi sudah ada sejak bcrlahun-tahun bcrsclang sebelum terjadi<br />

persentuhan dengan pengajaran Barat. Kita harus mencari sebabsebab<br />

ketidaksenangan itu dalam faktor-faktor yang lain, tidak dalam<br />

pengajaran, karena jikalau kita melakukannya juga, maka hal itu akan<br />

TEUKU NYAK ARIF-5 51


mengakibatkan bahwa penduduk bumiputra tidak mcnaruh kepercayaan<br />

lagi kepada mereka yang membela politik ini.<br />

Terima kasih Tuan Ketua!<br />

Teuku Nyak Arif termasuk orang yang langka, karena beliau<br />

termasuk orang Indonesia yang tidak begitu ba<strong>nyak</strong> jumlahnya, yang<br />

pada masa jaya-jayanya Pemerintah Kolonial Belanda berani<br />

mempergunakan kata-kata BANGSA INDONESIA dan NEGERI IN­<br />

DONESIA, sehingga Tuan Fruin dengan nada curiga mena<strong>nyak</strong>an,<br />

"Negeri mana gerangan yang disebut oleh Teuku Nyak Arif negeri<br />

Indonesia." Pada waktu itu mempergunakan kata Indonesia dalam<br />

makna politik sangat tabu. Orang yang berani mempergunakannya<br />

akan dianggap berbahaya bagi kelangsungan hidup Pemerintah Kolonial<br />

Belanda. Kata Indonesia dalam arti dan makna politik menjadi<br />

momok yang sangat ditakuti oleh orang-orang Belanda kolonial. Di<br />

sini juga dapat dengan jelas kita melihat dan membaca apa yang<br />

sebenarnya terkandung di dalam lubuk hati Teuku Nyak Arif<br />

mengenai perjuangan kemerdekaan Indonesia. Teuku Nyak Arif<br />

memang secara konsisten serta tetap konsekwen memperjuangkan<br />

kemerdekaan Indonesia. Sampai pada saat akhir hayat Pemerintah<br />

Kolonial Belanda dan baik. pada masa pendudukan tentara Jepang<br />

maupun pada awal Perang Kemerdekaan Indonesia, Teuku Nyak Arif<br />

tetap berdiri pada barisan terdepan dengan "Rencong Aceh" di<br />

tangannya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.<br />

Di dalam pidato beliau ini juga jelas sekali betapa jauh pandangan<br />

dan betapa luas wawasan Teuku Nyak Arif mengenai pentingnya<br />

usaha pendidikan dan pengajaran untuk mencerdaskan kehidupan<br />

bangsa Indonesia yang hendak dihalang-halangi, bahkan dihancurkan<br />

oleh orang-orang Belanda yang reaksioner.<br />

Dan kini, Tuan Ketua, saya bertanya kepada diri saya sendiri! Di<br />

mana di dalam seluruh pidato Yang Mulia Gubernur Jenderal, kita<br />

menemukan ada suatu bagian yang menyimpang dari kata-kata yang<br />

di sini baru saja saya kuüp? Oleh karena itu saya melihat di dalam<br />

segala kegiatan yang dijalankan oleh kelompok orang-orang Eropa di<br />

negeri ini, tidak peduli di mana dan bagaimana kegiatan-kegiatan itu<br />

dijalankan, suatu <strong>org</strong>anisasi yang bercabang luas yang mengambil diri<br />

pribadi Wakil Mahkota (Gubernur Jenderal) sebagai sasaran untuk<br />

52


lebih mudah akan dapat mencapai tujuannya. Tujuan ini adalah penghancuran<br />

proses emansipasi Indonesia. Politiknya terpulang pada hal<br />

berikut ini: Orang-orang pribumi harus tetap menjadi bodoh, lemah<br />

dan penurut, karena untuk pendidikan dan pengajaran ke arah kesehatan<br />

dan kebersihan serta pemerintahan secara modem di sini tidak<br />

ada uang. Pimpinan Tuan Colijn, dukungan para pengusaha perkebunan,<br />

pembelaan secara ilmiah oleh kelompok ilmiawan dari<br />

Universitas Utrecht di dalam waktu yang terakhir ini, di Indonesia<br />

terlfhat sangat menonjol.<br />

Tuan Ketua! Kelompok orang-orang nasionalis, seperti yang saya<br />

perhatikan, termasuk bermacam-macam pegawai pemerintahan bumiputra<br />

bangsa Indonesia mempunyai aspirasi-aspirasi yang lebih<br />

tinggi. Mereka ingin menjamin hari depan keturunan (generasi)<br />

mereka yang akan datang. Sebaliknya kelompok yang lain, yang<br />

menentang hal ini, bertolak dari pendirian yang egoistis. Jikalau kita<br />

mengikutinya dengan baik, maka seluruh kegiatan itu diarahkan ke<br />

sasaran untuk membatalkan lagi apa yang telah ada. Jadi kegiatan itu<br />

dalam kenyataannya adalah revolusioner yang tidak simpatik. Mereka<br />

ingin lebih dulu merombak apa-apa yang telah kami miliki sekarang,<br />

misalnya Dewan Rakyat (Volksraad), pendidikan dan pengajaran,<br />

untuk sesudah itu lambat-laun dalam ketenangan perdamaian membangun<br />

kembali. Adalah sangat penting (urgen), menyanggah secara<br />

positif hal ini, akan tetapi juga sekaligus menunjukkan, bahwa pertunjukan<br />

kelompok itu tidak berdasarkan atas pertimbangan pewujudart,<br />

akan tetapi hanya atas pertimbangan-pertimbangan yang kapitalistis.<br />

Tidak, Tuan Ketua! Di Aceh pun orang-orang betul-betul memperhatikan<br />

dan mempertimbangkan jalannya keadaan di bidang politik<br />

dan kenegaraan. Kami orang-orang Aceh pun tidak senang pada<br />

suatu rezim yang kolot dan otokratis. Berhubung dengan bermacammacam<br />

kata dan tindakan-tindakan Tuan Swart pada waktu itu di<br />

Aceh, disusun suatu gerakan yang bergerak ke arah yang sangat<br />

bertentangan arah dengan yang ditempuh oleh Tuan Swart. Ada<br />

sebuah pertunjukan sandiwara yang diatur di mana turut serta dan<br />

bekerja sama sebagian para swapraja, kaum cendekia dan kepalakepala<br />

orang Aceh. Isi yang dipertunjukkan adalah bahwa seorang<br />

Raja yang memerintah hanya menurut pandangan dan pikirannya<br />

53


sendiri saja, tidak lagi sesuai dengan keadaan sekarang ini. Kepada<br />

khalayak ramai juga secara jelas ditunjukkan bahwa suatu rezim<br />

kolonial, yang masih berpegang teguh pada Sistem Tanam Paksa<br />

(Cultuurstelsel), pada masa sekarang ini tidak hanya bagi bangsa<br />

Indonesia, akan tetapi juga bagi orang-orang Eropa yang berpikiran<br />

luhur adalah di luar kebiasaan. Saya katakan "di luar kebiasaan" Tuan<br />

Ketua. Saya dapat berjalan lebih lanjut. Siapa yang merenung seperti<br />

orang buta terhadap kejadian-kejadian di Asia selama 20 tahun belakangan<br />

ini dan tidak menaruh perhatian terhadap apa yang hidup di<br />

dalam jiwa dan hati nurani massa yang besar jumlahnya, tentu saja<br />

tidak dapat menjatuhkan keputusan yang tepat tentang nilai dan arah<br />

nasionalisme. Nasionalisme di Indonesia memang lain daripada nasionalisme<br />

misalnya di Italia. Kami para pegawai bumiputra, yang<br />

sesungguhnya telah menyerahkan hidup kami kepada pengabdian<br />

tidak hanya terhadap masyarakat Indonesia akan tetapi juga terhadap<br />

massa orang-orang Eropa, selalu berdiri di belakang Pemerintah,<br />

bukan? Saya bertanya kepada diri saya sendiri, jika seandainya pegawai-pegawai<br />

bangsa Indonesia di kepolisian, angkatan darat, angkatan<br />

laut serta cabang-cabang dinas yang lainnya akan menyalahgunakan<br />

nasionalisme, maka apa gerangan yang akan menjadi akibatnya?<br />

Tidakkah Tuan Colijn secara tepat telah berkata, bahwa pemerintahan<br />

bumiputra adalah tulang punggung kekuasaan Belanda (Nederland)?<br />

Maka saya bersedih hati, bahwa kita menempatkan nasionalisme<br />

dalam satu baris dengan komunisme, seperti yang dilakukan oleh<br />

majalah P.E.B. yang tersebut tadi, bahwa menuliskan di belakang<br />

"nasionalisme" di dalam kurung (komunisme) adalah suatu pemikiran<br />

yang di negeri Belanda juga dituruti oleh pengikut-pengikut Tuan De<br />

Savonin Lohman. Saya sendiri sesungguhnya melihat suatu perbedaan<br />

yang besar sekali antara nasionalisme dan komunisme.<br />

Jikalau di sini saya melihat perjuangan antara nasionalisme di<br />

satu pihak dan kelompok orang-orang Eropa yang kolot di lain pihak,<br />

maka di dalamnya saya melihat perjuangan antara religi (kepercayaan<br />

atau agama) dan kebendaan (materialisme), perjuangan antara altruisme<br />

(sifat suka memperhatikan dan mementingkan kepentingan<br />

orang lain) dan egoisme (sifat mementingkan diri sendiri). Tidakkah<br />

sebenamya religi dan altruisme lebih luhur daripada egoisme yang<br />

54


mementingkan kebendaan? Di sini kami berjuang dan berusaha<br />

menghilangkan ketidakadilan. Tidak seorang pun akan membantah<br />

saya mengenai yang terjadi 25 tahun yang lalu pada masa sistem<br />

pemaksaan menanam kopi (cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa)<br />

dan pada masa pelayaran hongi (hongitochten). Kini memang telah<br />

ba<strong>nyak</strong> yang diperbaiki, berkat arah etis yang kuat dari bermacammacam<br />

kelompok di negeri Belanda. Tuan Ketua! Saya bukan orang<br />

yang membenci orang-orang Belanda, bahkan sebaliknya. Sudah<br />

sejak di bangku sekolah saya selalu menaruh hormat yang sebesarbesarnya<br />

kepada orang-orang seperti Snouck Hurgronye dan van Kol<br />

serta juga kepada berbagai pemimpin Kristen. Saya juga sangat<br />

menyadari bahwa di negeri Belanda pun kepentingan-kepentingan<br />

kami dibela. Sangat disayangkan, bahwa di negeri ini dalam waktuwaktu<br />

yang terakhir, yang menempuh arah ini menjadi kelompok<br />

yang kecil. Untuk saya hal ini adalah suatu kenyataan yang dapat<br />

dipahami. Siapa yang telah mengikuti pidato-pidato Menteri Koningsberg<br />

di dalam Majelis Tinggi akan tiba pada kesimpulan bahwa<br />

dari pihak orang-orang Eropa kerapkali dan bahkan amat seringkali<br />

diambil suatu pendirian yang amat tidak adil dan tidak benar terhadap<br />

nasionalisme yang sehat. Mengapa hal ini sampai terjadi?<br />

Karena sekarang orang-orang memang lebih suka berdiri pada pihak<br />

kelompok yang paling kuasa dan karena masyarakat orang-orang<br />

Eropa, tentunya tidak seluruhnya, dan apa yang sekarang akan saya<br />

katakan sekarang juga diakui oleh Tuan Zeylinga, mantan Direktur<br />

Javasche Bank (sekarang telah menjadi Bank Indonesia) adalah kini<br />

memang egoistis materialistis. Mereka lebih suka pada kesenangan<br />

dan lebih ba<strong>nyak</strong> pergi berdansa-dansa pada malam hari. Kata-kata<br />

ini bukan dari saya, Tuan Ketua! Oleh karena itu kita harus lebih jauh<br />

menempatkan diri kita dalam pikiran kepada bermacam-macam<br />

ungkapan, seperti misalnya ucapan seorang cendekiawan Jepang<br />

Tuan Nitobe, "Barat tahu amat .sedikit tentang Timur Jauh. Barat<br />

mengenai Timur hanya apa yang dapat dibeli dengan uang yang<br />

gemerincing."<br />

Ketua, "Tahan diri Tuan sedikit!"<br />

Tuan Nyak Arif, 'Tuan Ketua! Kata-kata ini bukan dari saya.<br />

Kalau Pemerintah beralih mengambil tindakan-tindakan yang keras,<br />

55


misalnya tindakan kepolisian yang bcrlcbih-lcbihan di dalam rapatrapat<br />

bangsa Indonesia, menghcntikan serta mclarang pcmbicaraanpembicaraan<br />

para pemimpin rapat-rapat itu, maka tidak diragukan<br />

lagi akan muncul suatu kegiatan yang lain yang lebih bcrbahaya,<br />

yakni kegiatan di bawah tanah. Saya ulangi sekali lagi, siapa, seperti<br />

juga saya sebagai pamongpraja selama masa dinasnya telah bekerja<br />

sama untuk mengakhiri kegiatan itu, menurut kepercayaan saya<br />

mempunyai hak yang lebih ba<strong>nyak</strong> untuk menimbang scjauh mana<br />

nasionalisme itu menempuh jalan yang baik dan benar serta scjauh<br />

mana tidak. Oleh karena itu di sini saya harus menyatakan hormat dan<br />

penghargaan saya untuk ucapan rekan seanggota saya yang terhormat,<br />

Tuan Regent Kertoamiprojo, terutama karena ucapan itu datangnya<br />

dari seorang pegawai pamongpraja yang tua dan telah tcruji. Kita<br />

telah mendengar kemarin, bahwa juga Tuan Wiranalakusuma telah<br />

mengatakan, bahwa di kalangan para pegawai pamongpraja bumiputra<br />

ada jiwa kebangsaan."<br />

Tuan Ketua! Jikalau suatu kelompok tertentu melihat kaum<br />

nasionalis ini sebagai musuh-musuhnya, maka saya juga termasuk<br />

musuh-musuh kelompok itu.<br />

Di dalam "Publicaties" Indische Katholieke Partij (Partai Katolik<br />

Indonesia) yang kami kutip di atas dapat dengan jelas kita melihat<br />

betapa tegamya Teuku Nyak Arif dalam membela kepentingan politik<br />

dan aspirasi kemerdekaan rakyat Indonesia. Ketegasan sikap dan keberanian<br />

Teuku Nyak Arif dalam membela dan memperjuangkan<br />

kemerdekaan Indonesia sejak pada masa jaya-jayanya Pemerintah<br />

Kolonial Belanda, tetap konsisten serta konsckuen dan berlanjut pada<br />

masa pendudukan tentara Jepang serta pada masa awal Perang<br />

Kemerdekaan Indonesia sampai menghembuskan napasnya yang terakhir,<br />

maka sudah wajarlah jikalau beliau dengan Surat Keputusan<br />

Presiden Republik Indonesia tanggal 9 November 1974, No. 071/TK/<br />

Tahun 1974 dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional.<br />

Dalam sidang bulan Agustus 1929 Teuku Nyak Arif membicarakan<br />

nasib kepala-kepala suku orang Aceh. Ba<strong>nyak</strong> kepala-kepala suku<br />

orang Aceh yang melindungi pembesar-pembesar Belanda dan memberikan<br />

keamanan kepada mereka. Hal itu merupakan pertolongan<br />

yang besar dan luar biasa. Oleh sebab itu nasib mereka perlu diper-<br />

56


hatikan dan kehidupan mereka harus diperbaiki, baik dalam penghasilan<br />

maupun pekerjaan mereka. Teuku Nyak Arif menagih janji<br />

pemerintah untuk memperbaiki nasib dan kehidupan kepala-kepala<br />

suku Aceh tersebut. 16)<br />

Dalam tahun 1929 orang Sumatera yang duduk dalam Volksraad<br />

adalah:<br />

Teuku Nyak Arif yang berasal dari Aceh,<br />

St. G. Mulia dari Tapanuli,<br />

Alimusa dari Tapanuli,<br />

Suangkupon yang berasal dari Tapanuli, tetapi mewakili<br />

Sumatera Timur dan Riau,<br />

Datuk Kayo yang berasal dari Sumatera Barat, dan Muchtar yang<br />

berasal dari Sumatera Selatan.<br />

Kalau dibuat balans maka Nyak Arif, Suangkupon dan Muchtar telah<br />

bekerja seperti yang diharapkan dan dicita-citakan oleh penduduk<br />

yang diwakilinya. 17<br />

'<br />

Untuk menutup tahun 1929, baiklah dikutip Harian Bintang<br />

Hindia yang memberikan ulasan mengenai anggota-anggota Volksraad<br />

bangsa Indonesia dan beberapa orang Belanda.<br />

R.A.A.A. Jayadiningrat, anggota yang sejempol-jempolnya dari pihak<br />

Indonesia.<br />

M.H. Thamrin, seorang nasionalis muda yang praktis.<br />

Dr. Apituly, namanya tidak popuier lagi, karena ingin paku di lehernya<br />

lebih ba<strong>nyak</strong>.<br />

P. Kusumo Yudo, pendiam yang utama.<br />

Alimusa, namanya menjadi masyhur karena gula.<br />

P.A. Mandagie, di pintu rumahnya patut ditulis Noblesse oblige.<br />

R.W. Dwijosewoyo, tenang tetapi kalau perlu juga bisa marah.<br />

St. G. Mulia, tidak pernah dipuji dan tidak pcmah dicela.<br />

H. Sutadi, prestasi yang patut dipuji dan dihormati.<br />

R.P. Suroso, seorang yang rajin dan lebih bcrguna dari beberapa agen<br />

PEB yang duduk dalam Volksraad.<br />

16) Surat kabar Pewarta Deli, Medan, 3 Agustus 1927, hal. 1.<br />

17) Surat kabar Pewarta Deli, Medan, 11 November 1929, hal. 1<br />

57


B. Roep, jago PEB.<br />

Nyak Arif, Wakil Aceh yang kalau berkata di podium Volksraad<br />

membawa suara rencong Aceh yang ditakuü oleh Tuan Zuiderhoff.<br />

J.E- Stokvis, sosial demokrat tulen.<br />

Prof. Oppenheim, wakil mi<strong>nyak</strong> yang pulang ke Holland karena tidak<br />

betah di sini.<br />

Pangeran Ali. Perdana Menterinya Kusumo Yudo, sama-sama pendiam.<br />

Middendorp, Asisten Residen yang paling berani.<br />

Kusumo Utoyo, jago tua yang masih muda tenaganya dalam politik.<br />

Suyono, kawan Jayadiningrat yang amat berjasa dan radikal.<br />

Muchtar, anggota dari Palembang yang dapat ponten segala sedang.<br />

Datuk Kayo, jika perlu pepatah petitih dalam Volksraad.<br />

M. Suangkupon, yang ba<strong>nyak</strong> bicara sebab menganggap £ 30 sehari<br />

itu bukan untuk diam.<br />

Ratulangi, anggota yang paling pinter, sedcmikian pintamya bcgini<br />

hari ini dan besok begitu. 18)<br />

Di depan tadi kami telah mengatakan bahwa Teuku Nyak Arif<br />

dengan gagah berani telah mengayunkan rencong parlemcnternya dan<br />

menetak dengan rencong Acehnya ke arah tubuh penjajahan Belanda<br />

di segala bidang yang sangat luas jangkauannya, tidak hanya di<br />

bidang politik, akan tetapi juga di bidang ekonomi dan sosial budaya.<br />

Teuku Nyak Arif juga dengan terus tcrang telah menegaskan<br />

bahwa beliau adalah seorang nasionalis yang evolusioner. Tuan<br />

Dahler di dalam "6 ic<br />

Vergadering, Kamis tanggal 18 Juli 1929,<br />

Begrooting van Ne,derlandsch Indie voor 1930, algemcene beschouwingen"<br />

di dalam Volksraad antara lain telah mengingatkan<br />

bahwa:<br />

"die extreme nationalisten die houdt men wel in het oog, die moet<br />

men wel in het oog houden, want die zijn inderdaad lastig. Maar<br />

zoodra zij iets ondernemen of schijnen te willen ondernemen is alles<br />

wat overheidsgezags<strong>org</strong>aan is in touw om hen onschadelijk te maken.<br />

18) Surat kabar Bintang Hindia No. 10 tanggal 12 Maret tahun 1929.<br />

58


Maar die evoluationaire nationalisten, dat zijn de gevaarlijken,<br />

want die komen kalm zonder ophef, en zij bctoogcn rustig, heel<br />

dikwijls alleen maar in vragendcn vorm, zoodanig dat hun woorden<br />

te denken geven en men redelijkerswijs aan hun verlangen tegemoet<br />

gaat komen. En dezulken kan men toch zonder zich zelf te blamccrcn<br />

niet van zich stooten?" Artinya atau terjemahan bebasnya:<br />

"orang-orang nasionalis yang ekstreem dapat kita awasi dan<br />

memang harus kita awasi, karena mereka sungguh-sungguh sangat<br />

merepotkan. Akan tetapi begitu mereka mulai melakukan sesuatu atau<br />

diduga hendak melakukan sesuatu, maka seluruh alat pemerintah<br />

dapat disiapkan dan dikerahkan untuk menumpas mereka.<br />

Namun orang-orang nasionalis yang evolusioner, mereka itulah<br />

yang sangat berbahaya, karena tampak tenang, tanpa peragaan dan<br />

mereka memperlihatkan diri tenang dan senang, kerap sekali hanya<br />

dalam bentuk bertanya, sehingga kata-kata mereka tidak memberi<br />

kesan apa-apa dan kita pun dengan sewajarnya menyambut keinginan-keinginan<br />

mereka itu."<br />

Jadi menurut Tuan Dahler, kelompok kaum nasionalis yang<br />

evolusioner itulah (seperti Teuku Nyak Arif) yang lebih berbahaya<br />

daripada kaum nasionalis yang ekstreem.<br />

Teuku Nyak Arif memang sangat berbahaya, dan memang lebih<br />

berbahaya daripada kaum nasionalis yang ekstreem, bagi kaum<br />

penjajah Belanda. Beliau seorang nasionalis yang gigih dan gagah<br />

berani. Beliau seorang patriot yang sangat militan dan konstan.<br />

Wawasan dan gagasan politik Teuku Nyak Arif tidak hanya meliputi<br />

tanah air Indonesia, akan tetapi jauh lebih luas jangkauannya. Beliau<br />

juga ba<strong>nyak</strong> tahu tentang situasi dan kondisi serta latar belakang<br />

sejarah penjajahan di pelbagai negeri. Hal ini dapat kita lihat dengan<br />

jelas misalnya di dalam pidato dan ucapan-ucapan beliau di dalam<br />

rapat Volksraad"76 ste<br />

Vergadering, Donderdag 8 December 1927,<br />

Avondvergadering Wijziging Indische Staatsregeling". Karena pidato<br />

beliau itu sangat panjang, maka kami kutipkan beberapa bagian saja.<br />

Pidato itu diucapkan di dalam bahasa Belanda, akan tetapi untuk<br />

mudahnya kam] terjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia.<br />

"Setelah Benua Amerika diketemukan, Inggris mulai mcnjajah<br />

sampai setelah Perang Kemerdekaan Amerika dalam tahun 1893,<br />

59


perang yang disebabkan oleh sistem merchantilisme Inggris (merchant<br />

= pedagang). Kerajaan Inggris Raya telah memperhatikan<br />

sungguh-sungguh pelajaran yang diperolehnya dalam peperangan ini,<br />

karena setelah Perjanjian Perdamaian Versailles ditandatangani, orang<br />

menuntut suatu pandangan yang lebih baik mengenai pemerintahan<br />

jajahan. Namun kita masih juga mempergunakan sistem kolonial yang<br />

lama. Pemisahan daerah-daerah jajahan di Amerika telah memberikan<br />

kesan yang dalam kepada seluruh rakyat Inggris. ...<br />

Jikalau kita melihat pada saat sebelum tahun 1850, tentang<br />

hubungan Nederland dengan Indonesia, maka kita melihat di sini,<br />

bahwa yang seharusnya perwalian yang bersifat fela seperti yang<br />

terjadi di daerah-daerah jajahan Inggris, malah yang merajalela justru<br />

sistem merchantilisme. Semua hasil kolonial semata-mata dan hanya<br />

untuk Nederland saja. Transportasi harus dilakukan hanya dengan<br />

perantaraan kapal-kapal Belanda semata-mata. Daerah pemasaran<br />

hasil-hasil atau produk-produk Nederland adalah tanah jajahan (Indonesia).<br />

Orang-orang Indonesia harus membeli hasil-hasil Nederland di<br />

sini, di Indonesia. Dalam pada itu, sementara Inggris makin lama<br />

makin ba<strong>nyak</strong> memberikan pemerintahan sendiri kepada tanah-tanah<br />

jajahannya, justru di sini (di. Indonesia) mulai dijalankan Sistem<br />

Tanam Paksa, hasil ciptaan van den Bosch. ...<br />

Pada tahun 1917 kepada Indonesia diberikan sebuah badan penasehat<br />

agung dengan nama "Volksraad". Pada waktu itu dalam tahun<br />

1918 datang ke Nederland pemimpin S.D.A.P., yakni Tuan Toelstra<br />

dengan perebutan kekuasaannya yang gagal. Pemerintah, mungkin<br />

karena takut bahwa di Indonesia akan pecah revolusi, memberikan<br />

suatu janji yang kemudian ternyata tidak dapat dan tidak ingin dipenuhinya.<br />

Orang dengan segala senang hati mengatakan di bibir, bahwa<br />

negeri ini akan dimajukan, akan diberi otonomi dalam suatu kadar<br />

tertentu dan ingin mendidik negeri ini untuk masa yang akan datang<br />

menjadi sebuah negeri yang merdeka (berdiri sendiri), yang paling<br />

sedikit tidak akan terkebelakang dari negeri-negeri' jajahan modern<br />

lainnya. Akan tetapi, Tuan Ketua, apa gerangan yang kita lihat sekarang<br />

di dalam prakteknya. Kita bahkan masih belum mempunyai apa<br />

yang dimiliki oleh penduduk pribumi di Filipina, yakni sebuah parle-<br />

60


men (Dewan Perwakilan Rakyat) yang sempurna. Tetapi setidaktidaknya,<br />

jikalau rencana ini diterima, masih bani sesudah 3 (tiga)<br />

tahun akan ada sebuah Dewan Rakyat (Volksraad) dengan 30 (tiga<br />

puluh) orang anggota bumiputra, kurang satu orang lagi baru merupakan<br />

separuh dari seluruh jumlah anggota. Bahwasanya dari pihak<br />

kelompok penduduk bangsa Eropa, pada waktu diketahui niat Pemerintah<br />

untuk menyelesaikan soal ini, begitu ba<strong>nyak</strong> perlawanan yang<br />

timbul dan begitu riuh dikemukakan argumentasi-argumentasinya, telah<br />

sangat dalam melukai hati kami bangsa Indonesia. Orang'tiuak<br />

akan melupakan, bahwa sebagai akibat sikap ini, juga di luar lingkungan<br />

Volksraad, telah terjadi aliran-aliran yang menyebabkan<br />

ba<strong>nyak</strong> orang Indonesia secara mutlak tidak mau lagi tahü tentang<br />

kerja sama dengan orang-orang Eropa. Mereka adalah kelompok<br />

orang-orang non-kooperator. Tidakkah beberapa hari yang lalu, oleh<br />

orang-orang Indonesia yang lulus dari pelbagai Sekolah Tinggi di<br />

Nederland, di negeri ini telah didirikan sebuah partai, yakni Partai<br />

Nasional Indonesia (PNI)? Apakah kami harus menyalahkan mereka?<br />

Tidak, Tuan Ketua!"<br />

Marilah pula kita lebih dalam mencari sebab-sebab kejadian yang<br />

dilukiskan di sini. Di dalam salah satu karya Dr. Kraemer yang terkenal<br />

saya baru-baru ini membaca hal sebagai berikut:<br />

"Suatu hal yang tidak boleh dilupakan oleh orang-orang Barat,<br />

bahwa orang-orang Barat yang oleh gelora ekspansi dan nafsu penetrasinya<br />

telah menghidupkan proses kekacauan secara besar-besaran,<br />

pelepasan sendi-sendi dan reintegrasi kejiwaan dan sosial, entah oleh<br />

nafsu kekuasaan, entah oleh nafsu memiliki atau idealisme ...<br />

Tuan Ketua, bahaya besar menghilangkan usul perubahan Indische<br />

Staatstregeling (Tatanegara Hindia) terletak pada kelompok<br />

orang-orang nasionalis yang lunak. Mereka terdapat di mana-mana,<br />

baik di dalam dinas Pemerintah (Hindia Belanda), maupun di dalam<br />

perdagangan di Hindia Belanda, atau mereka berasal dari kelompok<br />

aristokrasi Indonesia. Mereka semua telah kehilangan kepercayaan,<br />

untungnya tidak kepada Pemerintah Hindia, melainkan kepada masyarakat<br />

Eropa."<br />

Tuan Kan, "Akan kehilangan kepercayaan."<br />

61


Tuan Teuku Nyak Arif, "Pada saat ini kepercyaaan itu telah<br />

hilang."<br />

Tuan Ketua! Kira-kira 10 tahun yang lalu di dalam ruang sidang<br />

ini oleh yang terhormat Kuasa Pemerintah Tuan Talma telah digarisbawahi<br />

kata-kata Dr. Rajiman; yang berbunyi kira-kira sebagai<br />

berikut: "Bangsa Indonesia melihat di dalam Pemerintah, sebagai -<br />

mana susunannya pada masa itu, bukan pemerintahannya sendiri ..."<br />

Nafsu kekuasaan dan nafsu memiliki sebagai warisan VOC, kini<br />

adalah pula pendorong-pendorong aksi mereka terhadap kebangkitan<br />

politik kita.<br />

Mereka lupa - untuk sekali lagi mengutip kata-kata Dr. Kraemer -<br />

bahwa justru orang-orang Eropalah, dengan gelora ekspansi dan nafsu<br />

penyusupannya, yang. menghidupkan proses kekacauan pelepasan<br />

sendi-sendi kejiwaan dan sosial serta reintegrasi.<br />

Mereka masih selalu berpikiran, bahwa rakyat Indonesia acuh tak<br />

acuh terhadap kejadian-kejadian politik. Tidak, Tuan Ketua. Saya<br />

sekarang masih harus mengutip lagi kata-kata Dr. Kraemer:<br />

"Di dalam hal ini pula terletak keterangan mengapa kami sangat<br />

keliru, jikalau kami menyangka, bahwa apa yang disebut kebangkitan<br />

Dunia Timur (gerakan kebangsaan Indonesia) hanya merupakan persoalan<br />

sebagian kecil lapisan kelompok intelektual saja. Mau tak mau<br />

di dalam kui peleburan (kui = kuali kecil) itu terdapat pula "massa<br />

yang diam" (silent masses)."<br />

Perang Eropa yang akbar telah membawa ba<strong>nyak</strong> perubahan di<br />

dalam masyarakat bumiputra baik di bidang politik maupun di<br />

bidang-bidang lainnya.<br />

Bahaya suatu sistem kolonial yang imperialistis-otokratis terletak<br />

dalam hal sebagai berikut: pengaruhnya, berdasarkan pada konsekuensi,<br />

tiada ditakuti bahkan yang di atasnya itu pun, imperialisme<br />

yang demikian benar-benar tiada ditakuti. Adalah merupakan suatu<br />

kenyataan yang tiada terbantah atau setidak-tidaknya sama besar<br />

bahayanya sebagaimana halnya Bolsyewisme, meskipun hal itu terjadi<br />

di bawah bayangan undang-undang ...<br />

Hal itu tidak hanya memalukan negeri, akan tetapi juga memalukan<br />

orang-orang Belanda yang melihat bagaimana daerah-daerah<br />

jajahan modern di sekeliling kita ini diperintah. Kita melihat baik di<br />

62


Filipina maupun di Britsen Indie (India jajahan Inggris) terjadi perubahan-perubahan<br />

di dalam bidang kenegaraan ...<br />

Pada waktu sedang berbicara dan seorang Belanda (yakni Tuan<br />

Zuidcrhoff) melakukan interupsi, dengan tegas dan tangkas Teuku<br />

Nyak Arif berkata, "Tuan Ketua! Sekarang ada lagi orang yang<br />

melakukan interupsi. Jikalau hal ini boleh dilakukan, maka saya pun<br />

selanjutnya akan mempergunakannya."<br />

Ketua, "Melakukan interupsi memang benar tidak diperbolehkan.<br />

Teruskanlah saja pidato Tuan."<br />

Demikianlah Teuku Nyak Arif telah menunjukkan dan racmbuktikan<br />

diri sebagai seorang nasionalis dan patriot Indonesia sejati<br />

yang mempunyai harga diri yang tinggi dan tidak dapat diremehkan<br />

oleh kaum penjajah Belanda.<br />

63


IV. SALAH SEORANG PENDIRI<br />

FRAKSI NASIONAL<br />

Sejalan dengan perkembangan pergerakan nasional di Indonesia,<br />

maka pemimpin-pemimpin Indonesia di Volksraad terus meningkatkan<br />

usaha mereka menuju persatuan nasional. Pada persidangan<br />

Volksraad tanggal 27 Januari 1930, tokoh nasional M.H. Thamrin,<br />

dalam pembicaraannya, memberitahukan berdirinya sebuah fraksi<br />

baru. Fraksi ini tidak sebesar fraksi-fraksi lainnya, namun dasar dan<br />

tujuannya lebih mempcrhatikan soal kualitas daripada kuantitas.<br />

Fraksi baru ini dibcri nama Fraksi Nasional. Untuk sementara fraksi<br />

ini mempunyai 10 orang 'anggota, dan mempunyai program dasar<br />

sebagai berikut:<br />

Pasal I : Fraksi Nasional mempunyai tujuan secepat mungkin<br />

mencapai kemerdekaan Indonesia.<br />

Pasal II : Fraksi Nasional berusaha mencapai tujuan ini dengan:<br />

a. Mengusahakan perubahan ketatanegaraan.<br />

b. Berusaha menghapuskan perbedaan politik ekonomi<br />

dan intelcktual akibat antithese kolonial.<br />

c. Mengusahakan hal tersebut di atas dengan cara-cara<br />

yang tidak bertentangan dengan hukum.<br />

Anggota Fraksi Nasional adalah sebagai berikut:<br />

Ketua : Moh. Husni Thamrin.<br />

64


Anggota : Kusumo Utoyo, Dwijosewoyo, Datuk Kayo, Muchtar,<br />

Teuku Nyak Arif, Suangkupon, Pangeran Ali, Sutadi,<br />

dan R.P. Suroso."<br />

Sebenarnya idee pembentukan Fraksi Nasional, disebabkan oleh<br />

beberapa faklor yang timbul pada saat itu.<br />

a. Sikap pemerintah Hindia Belanda terhadap gerakan politik di luar<br />

Volksraad, terutama terhadap PNI.<br />

b. Tindakan pemerintah Hindia Belanda terhadap pergerakan nasional<br />

baik non kooperasi maupun kooperasi, terutama dalam<br />

peristiwa penggeledahan tokoh-tokoh PNI. Tindakan tersebut<br />

juga dilakukan terhadap perkumpulan yang bersifat moderat dan<br />

bcrsikap kooperasi.<br />

c. Didirikannya Vaderlandsche Club (VC) tahun 1929 sebagai<br />

protes terhadap etisch beleid Gubernur Jenderal A.C.D. de<br />

Graeff.<br />

Zentgraaf sebagai pendiri VC berpendapat bahwa kehidupan<br />

nasional Belanda yang lebih kuat akan merupakan alat untuk menghadapi<br />

tuntutan gila dari Nasionalisme Timur. 2)<br />

Kegiatan utama fraksi ini adalah pembclaan terhadap pemimpinpemimpin<br />

PNI yang ditangkap dalam sidang-sidang Volksraad, sebelum<br />

tokoh-tokoh tersebut diadili pada bulan Agustus 1930. Teuku<br />

Nyak Arif sebagai salah seorang pendiri Fraksi Nasional dalam<br />

sidang Volksraad 28 Januari 1930 mengemukakan pidatonya sebagai<br />

berikut: •<br />

Dalam membicarakan keadaan politik dewasa ini, kita sangat<br />

menyesalkan tindakan pemerintah terhadap orang-orang yang tidak<br />

mempunyai hubungan sama sekali dengan PNI. Pemerintah sudah<br />

kelewatan dalam perbuatannya yang mencampuradukkan tokohtokoh<br />

politik dan ambtenaar-ambtenaar yang tidak ada hubungannya<br />

sama sekali dengan kegiatan politik. Bahkan ada anggota Volksraad<br />

1) 48 Ste Vergadering in de Volksraad, Eerste aanvulllende begroting van Indie voor 1930 alg<br />

beschounwingen, Maandag, 27 Januari 1927, hal. 900.<br />

2) D.M.G. Koch, Menuju Kemerdekaan, Yayasan Pembangunan, Jakarta, 1951, hal. 133.<br />

65


yang menghina dan mencaci maki bangsa Timur dalam hubungan<br />

peristiwa PNI ini.<br />

Pemerintah terlampau mencemburui ambtenaar-ambtenaar dan<br />

mencurigai mereka, bahkan telah menyingkirkan beberapa rakyat di<br />

Jawa sebagai akibat penggeledahan-penggeledahan. Dalam melakukan<br />

suatu tindakan pemerintah harus mempuyai cukup bukti, sebelum<br />

menganggap suatu persoalan itu berbahaya. Ketika saya berada di<br />

Kutaraja (Banda Aceh) saya mendapat kabar seolah-olah di Jawa<br />

akan terjadi pemberontakan besar. Tetapi ketika sampai di sini ternyata<br />

keadaannya lain sama sekali. Saya tidak percaya bahwa pemimpin<br />

PNI akan mengadakan suatu pemberontakan.<br />

Kalau pemerintah menginginkan keamanan janganlah senantiasa<br />

menindas pergerakan rakyat Indonesia. Saya yakin bahwa sangkaan<br />

hakim tidak cukup buktinya, dan pemerintah seharusnya membatasi<br />

aksi kepada beberapa orang saja, tidak kepada semua pergerakan<br />

rakyat. Selain dari itu di Bandung dan Sumatera Timur, pemerintah<br />

juga melakukan penangkapan-penangkapan. Kesempatan ini dipergunakan<br />

oleh bestuur Eropa untuk mengambil tindakan terhadap<br />

ambtenaar-ambtenaar Indonesia yang tidak bersalah. Pemerintah<br />

seolah-olah menyetujui pelanggaran instruksi yang dilakukan oleh<br />

aparatnya, terutama di Bandung. 3<br />

' 1<br />

Dalam sidang Volksraad 10 Februari 1930 Teuku Nyak Arif<br />

mengemukakan pidatonya sebagai berikut:<br />

Kemerdekaan Pers<br />

Kemerdekaan pers dan bergerak merupakan suatu yang penting<br />

dan esensial, agar pendapat yang berlainan dapat disalurkan dengan<br />

wajar. Sebab itu saya tidak setuju dengan penambahan undang-undang<br />

yang diajukan oleh pemerintah yang membatasi kebebasan<br />

pers. Saya sangat setuju dengan mosi Thamrin yang menghendaki<br />

hapusnya bis dan ter dari 153 dan 161. 4)<br />

3) Surat kabar Bintang Timur, Jakarta, 30 Juli 1929, hal. 2.<br />

4) lbid., Jakarta, 30 Januari 1929, hal. 1.<br />

66


Masalah Kenaikan Pajak<br />

Saya menyarankan agar pemerintah tidak mempertimbangkan<br />

untuk menaikkan pajak atau mengadakan pemungutan pajak-pajak<br />

baru. Bahwa pemerintah tidak akan menaikkan pajak pemotongan<br />

adalah suatu tindakan yang bijaksana. Rakyat sekarang berada di<br />

dalam keadaan ekonomi yang sangat sukar, sehingga pcnambahan<br />

beban dan pengadaan pajak yang bagaimanapun macamnya tidaklah<br />

bijaksana dan harus dijauhkan sama sekali, terutama jika kita mcmperhatikan<br />

peribahasa Belanda: Kita tidak mencabik bulu scekor<br />

katak, jikalau kita usahakan juga hal ini, maka kita akan mencabik<br />

kulitnya. 5)<br />

Pewarta Deli tanggal 2 Mei 1930 memberikan komentar sebagai<br />

berikut:<br />

Tentang Wakil Aceh dalam Volksraad.<br />

Pemilihan anggota baru dalam Volksraad sudah dekat. Ada yang<br />

menghendaki agar anggota lama yaitu Nyak Arif tetap dipertahankan<br />

mengingat jasa dan kecakapannya. Telah ba<strong>nyak</strong> yang dilakukan<br />

Nyak Arif terhadap Aceh, di antaranya adalah:<br />

— Kenaikan gaji Ulccbalang-ulccbalang dan Guru-guru Desa.<br />

— Mengurangi jumlah militer di Aceh, karena orang Aceh tidak<br />

suka jumlah militer melcbihi keperluan, apalagi negeri Aceh<br />

sudah aman. Pemerintah tidak perlu membuang-buang uang<br />

untuk menggaji militer.<br />

Belum ada pemimpin Aceh yang mclebihi Nyak Arif. Pcngangkatan<br />

Nyak Arif adalah atas usul Gubernur O. Goedhart yang tahu<br />

betul akan Nyak Arif. Telah ba<strong>nyak</strong> perubahan selama Nyak Arif<br />

menjadi anggota Volksraad. Menurut pendapat sebagian besar rakyat<br />

Aceh, Nyak Arif setuju diangkat kembali sebagai anggota Volksraad.<br />

6<br />

'<br />

Dalam sidang Volksraad bulan Agustus 1930 terjadi perdebatan<br />

yang sengit antara Fruin dan Nyak Arif. Teuku Nyak Arif membantah<br />

perkataan Tuan Fruin sebagai berikut:<br />

5) 59 Ste Vergadering, Maandag, 10 Februari 1930, hal. 20.<br />

6) Surat kabar Pewarta Deli, Medan, 2 Mei 1930, hal. 2.<br />

TEUKU NYAK ARIF-6 67


Berhubung dengan pembicaraan Tuan Fruin untuk selekasnya<br />

menggantung orang yang bersalah dalam suatu perkara pembunuhan,<br />

kalau perlu sesudah terjadi pembunuhan itu, saya hendak<br />

memberikan keterangan sebagai berikut, kata Teuku Nyak Arif. Azas<br />

putusan pengadilan adalah lebih baik membebaskan seorang yang<br />

bersalah daripada menghukum seorang yang tidak berdosa. Tiap-tiap<br />

perkara tentu saja diperiksa dengan cepat, tetapi tidak dapat dilakukan<br />

dalam waktu 2 hari. Apabila orang mendesak atas pemeriksaan<br />

cepat akan suatu perkara, saya pun setuju, tetapi jangan<br />

hanya dalam hal seperti yang disebutkan oleh Fruin, tetapi mesti<br />

dipergunakan juga dalam semua perkara. Tuan Fruin lebih baik<br />

pandai membedakan antara kehendak hawa nafsu dengan kehendak<br />

keadilan. Apabila Tuan Fruin memasukkan keadilan itu ke dalam<br />

mulut hawa nafsu, akhirnya akan menimbulkan kezaliman. Jika hawa<br />

nafsu ini menimbulkan kebinasaan, bukan Tuan Fruin saja yang<br />

menderita akhir perbuatannya. Oleh sebab itu kehendak yang demikian<br />

harus kita tentang. 1)<br />

C<br />

Tahun 1931 merupakan tahun terakhir bagi perjuangan Teuku<br />

Nyak Arif di Volksraad, karena semenjak tahun itu ia meninggalkan<br />

gclanggang Volksraad.<br />

Tcrlandanya Indonesia oleh pengaruh malaise dan diangkatnya<br />

B.C. de Jonge seorang yang sangat reaksioner, sebagai Gubernur<br />

Jenderal yang baru pada tahun 1931, ternyata telah memberi akibat<br />

yang sangat buruk bagi Indonesia, baik dari segi sosial, ekonomi<br />

maupun politik. De Jonge mcnjalankan pemerintahan dengan sikap<br />

yang sangat kcras dan kaku, sehingga masa pcmerintahannya dianggap<br />

masa yang terburuk. Dalam kehidupan politik, umpamanya,<br />

Fraksi Nasional yang tidak radikal telah terdorong ke arah politik<br />

non-koopcrasi, yang scharusnya pemerintah justru mendorong mereka<br />

ke arah politik kooperasi.<br />

Di dalam kenyataannya semenjak tahun 1930 pergerakan politik<br />

di Indonesia bolch dikatakan lumpuh, baik di dalam arena Volksraad,<br />

Icbih-lcbih lagi dalam arena pergerakan nasional. Partai-partai politik<br />

kalau masih ingin hidup harus dapat menyesuaikan diri dengan<br />

7) Surat kabar Malahari Indonesia, Medan, 29 Desember 1928, hal. 2.<br />

68


keadaan dan tidak boleh beroposisi terhadap pemerintah Hindia<br />

Belanda.<br />

Kemudian dalam rangka penghematan pemerintah Hindia Belanda<br />

juga mengadakan pemberhentian secara besar-besaran, buruh<br />

perusahaan dan pegawai pemerintah, lebih-lebih yang diduga memasuki<br />

partai politik. Keadaan ini menambah kegelisahan dalam<br />

masyarakat, yang hidupnya juga telah susah. Di mana-mana di Indonesia<br />

timbul kcrusuhan, baik yang bersifat kriminal maupun yang<br />

bermotifkan politik. Menghadapi kegelisahan masyarakat itu pemerintah<br />

Hindia Belanda bertindak lebih kejam lagi, yang menambah<br />

kelesuan dalam masyarakat. .<br />

Di dalam arena Volksraad, Fraksi Nasional selalu mendapat<br />

tekanan yang keras dari Fraksi Vaderlandsehe Club yang menginginkan<br />

agar alat pemerintah Hindia Belanda bertindak lebih keras lagi<br />

untuk menghadapi tuntutan kaum nasionalis Indonesia. Vaderlandsche<br />

Club merupakan tantangan dan lawan dari Fraksi Nasional di<br />

Volksraad. Scsuai dengan keadaan kehidupan sosial-ekonomi yang<br />

sangat tertekan akibat depresi, maka kegiatan fraksi yang terutama<br />

ditujukan untuk memperbaiki keadaan sosial-ekonomi rakyat, apalagi<br />

kehidupan politik sangat ditckan sekali oleh pemerintah De Jonge.<br />

Begitu juga Teuku Nyak Arif sebagai anggota Fraksi Nasional,<br />

lebih menitikberatkan perjuangan kepada bidang sosial dan keagamaan.<br />

Dalam sidang Volksraad bulan Februari 1931, Teuku Nyak<br />

Arif memperjuangkan agar Suangkupon dipilih menjadi gedelegeerde<br />

sebagai wakil golongan Islam, karena Mandagie telah ditunjuk<br />

mewakili golongan Kristen dan Sukawati mewakili golongan Hindu<br />

Bali, usul dari Teuku Nyak Arif akhirnya ditolak oleh sidang yang<br />

dipimpin oleh Engllenberg. 8)<br />

Sebagai bagiah terakhir dalam membicarakan perjuangan Teuku<br />

Nyak Arif di Volksraad, baiklah juga disinggung suatu partai yang<br />

sering dihubungkan dengan perjuangan Teuku Nyak Arif. Partai tersebut<br />

adalah Politik Economische Bond (PEB), yang didirikan pada '<br />

tanggal 25 Januari 1919 sebagai reaksi terhadap politik Etisch.<br />

Walaupun menganut politik assosiatic, tetapi anggota-anggotanya<br />

8) Surat Kabar, Bintang Timur, Jakarta 17 Mei 1930, hal 1.<br />

69


pada umumnya terdiri dari kaum kolot. Tujuan politik assosiatie<br />

adalah hendak menyalurkan aliran-aliran paham pribumi dan menjembatani<br />

paham yang berlawanan. Masyarakat Hindia Belanda perlu<br />

berlandaskan persamaan kedudukan dan saling hormat-menghormati.<br />

Alat utama untuk mencapai tujuan ialah dengan jalan pengajaran.<br />

Pengaruh partai ini mula-mula besar, anggota keba<strong>nyak</strong>an pegawai<br />

negeri dengan tujuan untuk cepat naik pangkat. Perkumpulan ini<br />

tidak berakar di kalangan rakyat umum, dan hanya dimaksudkan<br />

untuk mendapat suara di Volksraad, karena waktu itu tidak dibutuhkan<br />

anggota yang ba<strong>nyak</strong>. Walaupun begitu pengaruh partai ini dalam<br />

praktek politik dan pemerintahan tidak kecil.<br />

Teuku Nyak Arif sebagai anggota Volksraad yang diangkat oleh<br />

pemerintah sering dihubungkan dengan PEB. Ba<strong>nyak</strong> koran yang<br />

terbit waktu itu seperti Bintang Timur menganggap Teuku Nyak Arif<br />

sebagai anggota PEB. Tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia<br />

juga ada yang menganggap Teuku Nyak Arif sebagai anggota PEB. 9)<br />

Anggapan yang demikian sebenarnya adalah keliru, karena<br />

selama menjadi anggota Volksraad, Teuku Nyak Arif selalu mengeritik<br />

Pemerintah Hindia Belanda, dan hal yang demikian bertentangan<br />

dengan program dan keinginan PEB. Lebih-lebih kalau kita melihat<br />

majalah PEB mulai tahun 1927 yang bernama: "PEB" Orgaan van<br />

Den Ned. Ind. Pol. Economit Bond, yang terbit dua kali sebulan,<br />

mulai No. 1 sampai No. 24 tidak satu pun kita menemui nama atau<br />

pidato Teuku Nyak Arif di daiamnya. Seluruh nama anggota PEB,<br />

baik bangsa Belanda maupun bangsa Indonesia dimuat dalam majalah<br />

tersebut secara lengkap dan terperinci, bahkan pidato atau tulisan<br />

anggota PEB dimuat dalam majalah tersebut dengan lengkap sampai<br />

scdctail-dctailnya. Kemudian dalam majalah PEB tahun 1928 juga<br />

tidak kita temui baik nama, tulisan maupun pidato Teuku Nyak Arif.<br />

Dengan demikian anggapan yang mengatakan Teuku Nyak Arif<br />

anggota PEB adalah tidak benar sama sekali.<br />

Walaupun Teuku Nyak Arif diusulkan oleh Gubernur Hens<br />

menjadi anggota Volksraad, kemudian mungkin juga pernah ditawar-<br />

9) /bid., Jakarta, 15 Juli 1927, hal. 1.<br />

70


kan masuk PEB, tetapi ia tetap seorang nasionalis yang memperjuangkan<br />

kepentingan rakyat Indonesia.<br />

Setelah 9 tahun Volksraad berdiri belum ada anggota yang berani<br />

mengeritik Pemerintah Hindia Belanda dengan tajam. Teuku Nyak<br />

Arif adalah anak Aceh sejati, baik hati maupun badannya. Walaupun<br />

dia seorang Panglima Sagi, ia mengeritik Binnenlandsch Bestuur<br />

(BB) terang-terangan. Pertama kali dia mengeritik kontróleur Jacobs<br />

di Tapaktuan dan aturan Gubernur Hens, yang kemudian menjadi<br />

anggota Raad Van Indie. 10)<br />

Selama menjadi anggota Volksraad (1927 - 1931), Teuku Nyak<br />

Arif telah memberikan apa yang dapat diberikannya kepada rakyat<br />

Indonesia. Ia telah berjuang dengan sekuat tenaga melalui mimbar<br />

Volksraad untuk kepentingan rakyat Indonesia pada umumnya,<br />

walaupun berasal dari daerah Aceh.<br />

Sewaktu pengangkatannya pertama kali menjadi anggota Volksraad<br />

oleh Pemerintah Hindia Belanda, mereka mengharapkan agar<br />

Teuku Nyak Arif menyokong pemerintah itu di Indonesia. Ternyata<br />

harapan pemerintah Hindia Belanda itu tidak terkabul, malahan yang<br />

terjadi adalah sebaliknya. Teuku Nyak Arif mengeritik dengan pedas<br />

dan tajam praktek kolonialisme Belanda di Indonesia, yang mau<br />

mengambil keuntungan saja, tanpa memperhatikan kehidupan rakyat<br />

Indonesia. Indonesia diibaratkan tebu yang habis manis sepah dibuang<br />

atau sebagai ganjal batu yang habis dipakai ditinggalkan begitu<br />

saja. Pada zaman Malaise buruh perkebunan dan pegawai pemerintah<br />

dipecat begitu saja, karena tenaga mereka tidak diperlukan lagi. .<br />

Tokoh-tokoh PEB, seperti Zuiderhoff, Fruin dan Yo Heng Kam,<br />

dan majalah PEB, selalu dikritik dan ditantang oleh Nyak Arif. Teuku<br />

Nyak Arif tidak takut menghadapi tokoh Belanda berpengaruh seperti<br />

Fruin, Zuyderhoff dan Stokvis di dalam mimbar Volksraad. Sebaliknya<br />

tokoh-tokoh Belanda yang bersimpati kepada perjuangan<br />

rakyat Indonesia seperti golongan Douwes Dekker dan Dahler mendapat<br />

penghargaan yang besar dari Teuku Nyak Arif. Yang dibenci<br />

oleh Teuku Nyak Arif adalah kolonialisme Belanda, bukan orangorang<br />

Belanda. Sebelum meninggalkan gelanggang Volksraad, pada<br />

10) 59 Sle Vergadering, Maandag, 10 Februari 1930, hal. 1.<br />

71


tahun 1930 Teuku Nyak Arif telah ikut mendirikan Fraksi Nasional di<br />

Volksraad bersama-sama dengan M.H. Thamrin, R.P. Suroso dan<br />

lain-lain. n)<br />

Kalau kemudian ada tokoh yang mengatakan bahwa Teuku Nyak<br />

Arif hanya membonceng pada Thamrin, adalah tidak benar sama<br />

sekali. Lebih-lebih kalau diikuti perjuangan Teuku Nyak Arif mulai<br />

tahun 1918 sampai menjadi anggota Volksraad, maka pendapat yang<br />

mengatakan bahwa Teuku Nyak Arif membonceng pada pemimpin<br />

lain tidak beralasan sama sekali. Di dalam mimbar Volksraad suara<br />

Teuku Nyak Arif kadang-kadang lebih keras dari Thamrin, apalagi<br />

kalau diikuti pemberitaan surat kabar periode 1927 - 1931, baik yang<br />

terbit di Jakarta maupun di Medan dan Semarang. 12)<br />

Surat-surat kabar Belanda dan Indonesia segera setelah memperhatikan<br />

suara dan sepak terjang Teuku Nyak Arif terutama di Volksraad,<br />

maka selalu membubuhi catatan nasionalis jika ada yang memuat<br />

sesuatu ucapan Teuku Nyak Arif di Volksraad.<br />

11) Surat kabar De locomotief, Semarang, 10 Desember 1927, hal. 1.<br />

12) Wawancara dengan Teungku Daud Beureueh di Sigli tanggal 17 September 1975.<br />

72


V. PERGERAKAN POLITIK DAN SOSIAL<br />

Pergerakan politik di daerah Aceh umumnya tidak begitu maju<br />

seperti halnya di daerah lain di Indonesia khususnya di Jawa. Apalagi<br />

sesudah tahun 1924 pergerakan di Aceh menjadi mundur, karena<br />

dihalangi oleh pemerintah Hindia Belanda. Ba<strong>nyak</strong> pemimpin SI yang<br />

dibuang oleh pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu dengan<br />

tuduhan yang tidak begitu jelas dan alasan yang dicari-cari serta tidak<br />

masuk akal. Sarckat Islam (SI) mulai masuk dan berdiri di daerah<br />

Aceh pada tahun 1916. Pemimpin SI yang terkenal di daerah Aceh<br />

pada waktu itu adalah Teuku Bujang yang kemudian ditangkap oleh<br />

Belanda, karena dituduh pro komunis di sekitar tahun 1926." -<br />

Pada waktu mulai berdirinya tahun 1916, Sarekat Islam telah<br />

dapat berkembang di daerah Aceh Besar, Aceh Barat dan Aceh Utara.<br />

Selain dari Teuku Bujang, pemimpin Sarekat Islam yang lain keba<strong>nyak</strong>an<br />

berasal dari luar daerah Aceh seperti Jawa, Sumatera Barat<br />

dan lain-lain...<br />

Dapat berkembangnya Sarekat Islam di Aceh adalah karena<br />

pemimpinnya yang tegas dan tulen. Bcrkat kepandaian pemimpin<br />

dalam pergaulan sehari-hari dengan rakyat Aceh dan dapat menyesuaikan<br />

diri dengan beberapa pemuka Aceh, maka mulailah SI<br />

meluas, üdak saja di kalangan saudagar, tetapi juga beberapa Uleebalang<br />

turut secara diam-diam menjadi anggota Sarekat Islam. Melihat<br />

pesat perkembangan SI seperti di Jawa, maka pemerintah Hindia<br />

Belanda mulai khawatir. Mereka takut semangat rakyat Aceh dapat<br />

1) PanitiaRayaKongres Besar ?USA.,TinjauanSejarah Pergerakan Aceh, Kutaraja 1930, hal. 15<br />

73


terbakar kembali. Gubernur Swart berusaha mempengaruhi beberapa<br />

pemuka Aceh yang masih muda untuk dijadikan alat politiknya.<br />

Pada akhir tahun 1916 berdirilah Sarekat Aceh yang merupakan<br />

<strong>org</strong>anisasi lokal yang anggotanya hanya terdiri dari orang-orang<br />

Aceh. Pemerintah Hindia Belanda berusaha dengan sekuat tenaga<br />

mengadu-domba Sarekat Islam dengan Sarekat Aceh, karena memang<br />

ada maksud dari Gubernur HNV Swart agar Sarekat Aceh dapat<br />

mengimbangi Sarekat Islam.<br />

Usaha Pemerintah Hindia Belanda untuk memecah-belah rakyat<br />

Aceh, tidak seluruhnya berhasil. Aceh telah mulai terbuka untuk kemajuan<br />

dengan datangnya pengaruh-pengaruh dari daerah Sumatera<br />

Barat, Sumatera Timur, Langkat dan Jawa yang ba<strong>nyak</strong> mempengaruhi<br />

dan mendorong rakyat Aceh ke arah kemajuan. Sebagian<br />

besar ulama telah bangun dan berangsur-angsur menyëlaraskan diri<br />

dengan aliran zaman baru. Perguruan Islam satu per satu mulai berdiri,<br />

dipimpin oleh ulama terkenal seperti Tengku Abdullah Lam U,<br />

Tengku Hasbullah Indrapuri dan Tengku Daud Beureueh. 2<br />

'<br />

Sejak pertengahan tahun 1927 keadaan telah mulai berubah.<br />

Kegiatan pergerakan telah mulai lagi, walaupun bergeraknya dengan<br />

susah payah. Muhammadiyah telah mulai mempunyai cabang di<br />

Kutaraja, Sigli, Lhok Seumawe, Lam Meulo, Kuala Simpang, Langsa<br />

dan Takengon. Perkembangan Muhammadiyah di Aceh ikut dihalangi<br />

oleh golongan Uleebalang (golongan adat). Tetapi Teuku Hasan Dik<br />

dan Teuku Nyak Arif sebagai golongan Uleebalang tampil ke depan<br />

membela Muhammadiyah. 3<br />

'<br />

Selama menjadi anggota Volksraad Teuku Nyak Arif juga ikut<br />

membantu perkembangan Muhammadiyah dan <strong>org</strong>anisasi lainnya di<br />

Aceh. Partisipasi Muhammadiyah terhadap perkembangan Islam di<br />

Aceh sangat besar berkat bantuan Teuku Nyak Arif. Di samping<br />

membantu perguruan nasional Muhammadiyah Teuku Nyak Arif juga<br />

ikut menjadi anggota Jong Sumateranen Bond. Organisasi ini didirikan<br />

pada tanggal 9 Desember 1917 di Jakarta, dan dalam waktu 10<br />

tahun anggota Jong Sumateranen Bond telah bertebaran hampir di<br />

2) /6id.,hal. 1.<br />

3) Surat kabar Pewarta Deli, Medan. 27 Juni 1929, hal. 1.<br />

74


seluruh Indonesia. Pada bulan Juli 1927 Teuku Nyak Arif termasuk<br />

salah seorang anggota yang membayar iuran di dalam Jong Sumateranen<br />

Bond. 4)<br />

Teuku Nyak Arif sebagai anggota Volksraad lebih ba<strong>nyak</strong> berada<br />

di daerah Aceh daripada di Jakarta, karena berada di Jakarta hanya<br />

untuk menghadiri sidang Volksraad. Tetapi walaupun begitu waktu<br />

yang sedikit di Jakarta itu juga dipergunakan untuk mengikuti kegiatan<br />

politik Pergerakan Nasional Indonesia dan kegiatan-kegiatan sosial<br />

lainnya. Di kalangan tokoh-tokoh Sumatera yang berada di Jakarta<br />

Teuku Nyak Arif terkenal sebagai tokoh politik yang berhaluan nasional,<br />

dan beliau seorang nasionalis di Volksraad. 5<br />

'<br />

Pada bulan Mei 1928 Indonesia akan mengirim suatu perutusan<br />

ke negeri Belanda, untuk memperjuangkan perubahan aturan pemerintahan<br />

di Hindia Belanda.<br />

Pokok persoalan yang mereka perjuangkan adalah:<br />

1. Dalam memilih anggota Volksraad, kepala-kepala rakyat juga<br />

ikut memilih.<br />

2. Anggota bangsa Indonesia akan dinaikkan dari 25 orang menjadi<br />

30 orang, dan anggota Belanda diturunkan dari 30 menjadi 25<br />

orang.<br />

3. Anggota Dewan Hindia (Raad Van Indie) supaya ditambah<br />

dengan 2 orang anggota Indonesia. Sebelumnya hanya 5 orang<br />

anggota bangsa Belanda saja.<br />

Ketiga pasal yang akan diperjuangkan itu amat penting bagi<br />

bangsa Indonesia dan prosedur perjuangannya juga melalui jalan yang<br />

panjang. Sebelum menjadi undang-undang harus lebih dahulu diterima<br />

oleh DPR Belanda yang terdiri dari Tweede Kamer dan Eerste<br />

Kamer. Rancangan undang-undang itu pasti ditentang oleh anggota<br />

DPR Belanda terutama golongan kuno dan kaum kanan yang menganggap<br />

Indonesia masih belum matang, lebih-lebih oleh anggota DPR<br />

Belanda yang belum pernah ke Indonesia.<br />

4) Jong Sumatera, Orgaan van Jong Sumateranen Bond, Weltevreden No. 6-7, Juni-Juli 1927,<br />

hal. 5.<br />

5) Wawancara dengan Prof. Dr Bahder Djohan di Jakarta tanggal 24 Juni 1974.<br />

75


Untuk memperjuangkan cita-cita tersebut di atas, maka dibentuk<br />

suatu komite (Hoofdcomite) yang terdiri dari: Pangeran Hadiwijoyo,<br />

R.M.A.A. Kusumo Utoyo, M.H. Thamrin, Suangkupon, Otto Subrata,<br />

Dr. Kaligis, Muchtar, R.A.A Suyono, F. Laoh, Datuk Tumanggung,<br />

Dr. Kayadu, P.A.A. Kusumoyudo, B. Mokoginta, Dr. Apitulcy dan<br />

Pangeran Ali. 6)<br />

Utusan yang akan dikirim itu adalah:<br />

1. R.A.A. Jayadiningrat mewakili Jawa,<br />

2. Dr. G.S.S.J. Ratulangi mewakili Sulawesi,<br />

3. Dr. Abdulrasyid mewakili Sumatera. -<br />

Biaya masing-masing utusan ditanggung oleh daerahnya dan tiap-tiap<br />

daerah harus menyediakan uang seba<strong>nyak</strong> £ 3.500 (tiga ribu lima<br />

ratus gulden) untuk biaya mereka berangkat ke negeri Belanda.<br />

Walaupun bagaimana caranya uang seba<strong>nyak</strong> itu harus discdiakan,<br />

karena ketiga pasal yang akan diperjuangkan itu sangat penting<br />

bagi bangsa Indonesia. Untuk mencapai maksud itu dibentuk suatu<br />

komite yang terdiri dari 15 orang anggota. Utusan Sumatera juga<br />

harus mengongkosi sendiri anggolanya, sehingga untuk maksud itu<br />

dibentuk pula Comité Sumatera di. Jakarta yang terdiri dari:<br />

Ketua : Datuk Tumanggung<br />

Sekretaris : Sutan Moh. Zain<br />

Bendahara : Hamid<br />

Anggota : Suangkupon, Muchtar, Teuku Nyak Arif, Cik<br />

Unang, Rajiman, dan Dr. Bahder Djohan. 71<br />

Teuku Nyak Arif sebagai anggota comité ikut menganjurkan<br />

untuk menyokong utusan Indonesia ini dengan memberikan bantuan.<br />

Indonesia harus mendapatkan kedudukan yang lebih dalam Volksraad,<br />

begitu juga Raad Van Indie. Orang-orang Indonesia harus duduk<br />

dalam dewan-dewan itu agar dapat membicarakan soal-soal penting<br />

dalam percaturan politik. Selanjutnya Teuku Nyak Arif mengatakan<br />

bahwa kita harus menyadarkan orang-orang Belanda bahwa bangsa<br />

Indonesia telah matang, dan patut diberi kedudukan dalam peme-<br />

6) Surat kabar Pewarta Deli, Medan, 3 Agustus 1927, hal. 1.<br />

7) Ibid., hal. 1.<br />

76


intahan. Oleh sebab itu sokonglah utusan kita ke negeri Belanda,<br />

kata Teuku Nyak Arif. Lebih jauh ia mengatakan, bahwa utusan kita<br />

itu adalah jago-jago, sehingga tidak sia-sia kita meiepaskan mereka.<br />

Atas usaha dan inisiatif Teuku Nyak Arif, maka di Aceh juga dibentuk<br />

Sub Comité yang terdiri dari:<br />

Ketua : Teuku Moh. Hasan Glumpang Payong<br />

Wakil Ketua : Jailani<br />

Sekretaris : Kamaruddin<br />

Bendahara : Tuanku Mahmud<br />

Komisaris : Teuku Nyak Arif, Sutan Sulaiman, Fajar Sidik,<br />

Tengku A. Salam, Teuku Raja Dullah, Teuku<br />

Tengoh dan Suwardi.<br />

Sub Comité Aceh dalam usaha ini telah berhasil mengumpulkan uang<br />

seba<strong>nyak</strong> £ 500 antaranya dengan mengadakan pasar rnalam. 8<br />

'<br />

Sebagai penutup tahun 1928, ada satu tulisan dalam surat kabar<br />

Matahari Indonesia yang menganjurkan persatuan pemimpin di Aceh.<br />

Persatuan ini juga diwujudkan berkat usaha wakil jempolan kita di<br />

Volksraad Teuku Nyak Arif yang telah ba<strong>nyak</strong> berjuang. Kalau<br />

pemuka dan pemimpin telah bersatu, maka seluruh rakyat Aceh akan<br />

bersatu, dan Teuku Nyak Arif adalah lambang persatuan. 9<br />

'<br />

Dalam bidang pendidikan Teuku Nyak Arif telah ikut memperjuangkan<br />

perbaikan nasib guru-guru dengan menaikkan gaji serta<br />

penghasilan mereka.<br />

Pada akhir tahun 1936 seorang pemuda Aceh bernama Tengku<br />

Ismail Jacob pulang ke Aceh setelah menyelesaikan pelajarannya di<br />

Padang Panjang. Sebagai seorang ulama muda yang telah berpendidikan<br />

dan berpengalaman, tenaganya sangat dibutuhkan dan tidak<br />

hcranlah kiranya kalau kepada Tengku Ismail Jacob diminta untuk<br />

mengajar di sekolah Abu Mansur seorang hartawan yang terkenal di<br />

Aceh. Sekolah tersebut tidak terletak di daerah kekuasaan Teuku<br />

Nyak Arif.<br />

Pada suatu hari Tengku Ismail Jacob mendapat tcguran dari<br />

kepala daerah tempatnya mengajar, karena katanya scbclumnya tidak<br />

8) Surat kabar Pewarta Deli, Medan, 2 Juni 1928, hal. 5.<br />

9) Surat kabar Matahari Indonesia, Medan, 28 Desember 1928, hal. 1.<br />

~77


minta izin. Setelah persoalannya tidak dapat juga diselesaikan maka<br />

Tengku Ismail Jacob datang mengadu kepada Teuku Nyak Arif.<br />

Walaupun kejadian itu tidak terjadi di daerah Teuku Nyak Arif, tetapi<br />

beliau terus menyuruh Tengku Ismail Jacob mengajar karena tenaganya<br />

sangat dibutuhkan. Abu Mansur mengatakan kepada Tengku<br />

Ismail Jacob, kalau dengan Teuku Nyak Arif selesai seluruh persoalan,<br />

walaupun kejadian itu tidak terjadi di daerah kekuasaan beliau.<br />

Hal ini menunjukkan wibawa besar Teuku Nyak Arif.<br />

Semua orang Aceh tunduk kepada Teuku Nyak Arif, termasuk<br />

Uleebalang dan Ulama. Pada saat-saat yang penting dan genting<br />

Teuku Nyak Arif selalu muncul dan tampil ke depan. Ia seorang<br />

pemimpin dan tokoh yang sangat disegani oleh lawan dan dihormati<br />

oleh kawan.<br />

Teuku Nyak Arif juga berjasa mendirikan Atjehsche Studie<br />

Fonds yang bertujuan memberikan bantuan kepada anak-anak Aceh<br />

yang hendak meneruskan pelajarannya. Dengan mengalami berbagai<br />

kesulitan, <strong>org</strong>anisasi ini diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda.<br />

Menurut Gouvernements besluit tanggal 1 Februari 1929 No. 25 telah<br />

diakui sah berdirinya Atjehsche Studie Fonds Kutaraja. Perkumpulan<br />

ini didirikan pada tanggal 28 Mei 1928 dengan maksud memperbaiki<br />

pelajaran dan memberikan bantuan kepada anak-anak Aceh yang hendak<br />

meneruskan pelajarannya ke daerah lain, kalau ternyata orang tua<br />

mereka kurang mampu membiayai mereka.<br />

Susunan pengurus adalah sebagai berikut:<br />

Ketua : Tuanku Mahmud<br />

Wakil Ketua : Teuku Hasan Dik<br />

Bendahara : H.M. Bintang<br />

Komisaris : Teuku Nyak Arif, Teuku Ismail, Teuku Z.<br />

Abidin, dan Tengku Abdussalam.<br />

Atjehsche Studie Fonds memungut uang muka £ 2,50 dan uang<br />

iuran tiap bulan £ 0,50 sampai £ 10,-. Di samping itu diadakan juga<br />

pasar malam untuk menambah kas. Organisasi ini telah menghasilkan<br />

4 orang putra Aceh yang dibantu melanjutkan pelajarannya di Jawa,<br />

dengan perincian 2 orang sekolah opziener, 1 orang sekolah dokter di<br />

Surabaya (NIAS) dan 1 orang meninggal dunia. Teuku Nyak Arif<br />

78


a<strong>nyak</strong> sekali sahamnya dalam mendirikan sekolah dan usaha sosial<br />

lainnya.<br />

Teuku Nyak Arif sangat tegas mengeritik pemerintah Hindia<br />

Belanda yang bertindak kejam terhadap rakyat. Gubernur Hens yang<br />

mengusulkannya menjadi anggota Volksraad juga dikritiknya dengan<br />

tajam. Ia menyatakan bahwa Tuan Hens tidak mempunyai kèahlian<br />

dalam memerintah negeri Aceh. Pemerintahan Hens menimbulkan<br />

perasaan kurang senang di antara rakyat dan pemimpin Aceh. Dia<br />

tidak mengetahui politik rakyat Aceh, dan tidak menghormati dan<br />

menghargai kepala negeri Aceh. Teuku Nyak Arif juga mencela sikap<br />

sementara orang yang mengeritik Gubernur Hens, sesudah ia pensiun.<br />

Kritik yang demikian tidak ada faedahnya, dan tabiat seperti itu tidak<br />

baik. Terhadap pembesar Belanda yang bertindak kejam, Teuku Nyak<br />

Arif pernah mengeluarkan ancaman: Kalau pemerintah Hindia<br />

Belanda memaksakan kehendaknya, maka akan kembali asap mesiu<br />

di Aceh. Tidak ada ulama atau bangsawan yang berani kepada<br />

Belanda, kecuali Teuku Nyak Arif. 10><br />

Orang-orang Belanda sangat segan kepada Teuku Nyak Arif<br />

karena pengaruhnya yang besar di kalangan rakyat Aceh. Ia adalah<br />

seorang Panglima Sagi yang berwibawa dan mempunyai kepribadian<br />

yang kuat serta pendirian yang teguh. Ia merupakan tokoh Uleebalang<br />

yang terkemuka, temperamennya bersifat cholerisch, pandai berpidato<br />

dan seorang nasionalis yang berkobar-kobar dan percaya kepada<br />

kemampuan sendiri. Ia dipandang sebagai lawan atau batu penarung<br />

oleh ba<strong>nyak</strong> pegawai pimpinan di kalangan Belanda. Sebaliknya di<br />

kalangan bangsa Indonesia, baik kawan sejawatnya maupun rakyat, ia<br />

dihormati dan disegani. 11<br />

'<br />

Pada tahun 1931 kedudukan Teuku Nyak Arif sebagai anggota<br />

Volksraad digantikan oleh Tuanku Mahmud, seorang keluarga kesultanan<br />

Aceh. Sebagaimana diketahui sikap Teuku Nyak Arif sebagai<br />

anggota Volksraad keras kepada pemerintah Hindia Belanda.<br />

Pemerintah Hindia Belanda sudah sepantasnya mengganti Teuku<br />

Nyak Arif, karena tidak ikut membawakan suara pemerintah, bahkan<br />

10) Wawancara dengan Iskandar Ishaq, Jakarta, 24 April 1974.<br />

11) Dr. A.J. Piekaar, Aceh en de oorlog mei Japan.<br />

79


selalu melakukan oposisi terhadap pemerintah Hindia Belanda. Teuku<br />

Nyak Arif sendiri tidak merasa takut akan kehilangan kursi di Volksraad,<br />

karena memang gelanggang Volksraad dipergunakannya bagi<br />

kepentingan rakyat Indonesia. Apa gunanya duduk di dalam Dewan<br />

Rakyat, kalau tidak memperjuangkan kepentingan rakyat, demikian<br />

pendapat Teuku Nyak Arif, dan pendapatnya ini diperjuangkannya<br />

secara konsekuen sampai saat terakhir ia meninggalkan dewan itu.<br />

Sesudah bcrhenti menjadi anggota Volksraad pada tahun 1931,<br />

Teuku Nyak Arif dapat lebih mencurahkan perhatiannya bagi perjuangan<br />

rakyat Indonesia umumnya dan rakyat Aceh pada khususnya.<br />

Semenjak tahun 1931 pergerakan nasional Indonesia mengalami<br />

kelumpuhan, terutama disebabkan malaise melanda dunia termasuk<br />

Indonesia, yang ekonominya mengalami kemunduran. Tambahan lagi<br />

tahun 1931 Gubernur Jenderal De Graeff diganti oleh Dc Jong. Sikap<br />

Gubernur Jenderal baru ini sangat reaksioner dan tidak bersedia<br />

mengakui pergerakan nasional Indonesia. Pers dengan mudah diberangus,<br />

rapat-rapat partai diawasi dengan ketat oleh polisi rahasia.<br />

Pemerintahan yang licik dan keras ini mengakibatkan kelesuan di<br />

kalangan pergerakan nasional. Semua pergerakan politik harus bekerja<br />

sama dengan pemerintah Hindia Belanda, sehingga aliran nonkooperasi<br />

ditindas dengan kejam oleh pemerintah itu. Kegiatan politik<br />

di daerah-daerah lebih mengalami kelesuan lagi. Teuku Nyak Arif sebagai<br />

tokoh nasional mau tidak mau harus mengikuti perkembangan<br />

zaman. Beliau berusaha mengadakan perubahan-perubahan sosial di<br />

Aceh, dengan lebih mcmperkenalkan lagi Indonesia kepada rakyat<br />

Aceh. Modernisasi harus diperkenalkan lebih intensif kepada rakyat<br />

Aceh. Aceh harus mengejar ketinggalannya selama ini, mereka harus<br />

bangun. Yang mempengaruhi bangunnya Aceh ada beberapa hal:<br />

— Kedatangan orang-orang dari Minangkabau.<br />

— Datangnya Muhammadiyah, yang mulai tahun 1931 lebih<br />

mcluaskan sayapnya di luar Jawa.<br />

— Pengaruh Teuku Nyak Arif.<br />

Sebagai seorang pembaru (reformer), pekerjaan Teuku Nyak Arif<br />

untuk mengadakan pembangunan di Aceh tidak mudah. Pcmbagian<br />

masyarakat Aceh antara lain terdiri dari golongan Uleebalang dan<br />

golongan Ulama.<br />

80 ,


Pertcntangan makin dipertajam oleh pemerintah Hindia Belanda<br />

dalam rangka politik, divide et impera. Teuku Nyak Arif tidak<br />

menginginkan adanya pertcntangan ini, karena pertentangan akan<br />

menimbulkan perpecahan, dan hal itu akan melemahkan persatuan<br />

nasional. Pertentangan kedua golongan harus diakhiri.<br />

Bagi orang Aceh yang keba<strong>nyak</strong>an masih berpandangan kolot,<br />

sekolah itu dianggap haram, karena dianggap sebagai usaha dari<br />

kaum kafir. Di sekolah anak-anak duduk berderet-deret dari depan<br />

ke belakang. Mereka menganggap membelakangi orang dan Alquran,<br />

kurang sopan dan melanggar pcraturan. Melihat keadaan ini maka<br />

muncullah Teuku Nyak Arif. Beliau mengumpulkan para ulama di<br />

Lubuk, dan keesokan harinya para ulama itu diundang ke rumahnya<br />

membicarakan berbagai masalah. Dalam pertemuan itu Teuku<br />

Nyak Arif menguraikan panjang lebar modernisasi Islam, dan pandangan<br />

agama Islam terhadap kemajuan. Sesudah berbicara ia mena<strong>nyak</strong>an<br />

kepada para ulama itu hal-hal berikut:<br />

— Betulkah sekolah itu haram?<br />

— Betulkah belajar sejarah, ilmu bumi dan ilmu pengetahuan lainnya<br />

itu haram? -<br />

— Apakah benar Moh. Abduh orang yang sesat?<br />

Pertanyaan Teuku Nyak Arif mendapat jawaban yang positif dari<br />

para ulama. Mulai dari saat itu mereka yang mulanya terpecah-pecah<br />

jadi bersatu, bahkan para ulama menganjurkan anak-anak Aceh untuk<br />

bersekolah. 12<br />

'<br />

Dalam rangka memantapkan perasaan nasional, dan merealisir<br />

Sumpah Pemuda, maka Teuku Nyak Arif bersama Teuku Hasan Dik<br />

menentang pemakaian bahasa Aceh sebagai bahasa pengantar di<br />

sekolah-sekolah di Aceh. Mereka membentuk sebuah komite, dan<br />

alasan yang dikemukakan oleh komite terhadap penentangan itu adalah:<br />

— Surat resmi dari Kerajaan Aceh masa lalu ditulis dalam bahasa<br />

Aceh dan bahasa Melayu.<br />

12) Wawancara dengan Ismail Jacob, Scmarang, 8 Marei 1974.<br />

81


— Agama Islam yang dipeluk di Aceh dengan perantaraan perdagangan<br />

internasional sampai sekarang dilangsungkan dengan<br />

perantaraan bahasa Melayu.<br />

— Bahasa Melayu sebagai sumber bahasa Indonesia adalah bahasa<br />

yang mesti dipelajari oleh anak negeri di Indonesia, untuk masa<br />

sekarang dan masa kemudian.<br />

— • Mencapai cita-cita kebangsaan Indonesia perlu memakai bahasa<br />

persatuan, yaitu bahasa Indonesia.<br />

— Mengajarkan bahasa Aceh dengan melupakan bahasa Melayu<br />

akan merusak persatuan Indonesia Raya.<br />

— Di sekolah yang memakai bahasa daerah, maka persatuan Indonesia<br />

akan berkurang. 13<br />

'<br />

Sebagai follow-up usaha komite, maka diadakanlah rapat di<br />

gedung Deli Bioskop di Kutaraja (Banda Aceh) yang dipimpin oleh<br />

Teuku Hasan Dik. Rapat dihadiri oleh 1.000 orang, sehingga ba<strong>nyak</strong><br />

yang tidak kebagian tempat duduk. Di antara tokoh yang hadir adalah<br />

Teuku Nyak Arif, Teuku Panglima Polim dan Teuku Rayeuk Lhong.<br />

Hampir seluruh Uleebalang di daerah Aceh Besar hadir dalam rapat<br />

itu. Dari pihak pemerintah Hindia Belanda yang hadir adalah:<br />

Dr. Van Der Velde, Controleur BB Lhok Nga, Mantri Polisi, Asisten<br />

Residen Aceh Raya, dan tidak ketinggalan anggota PID atau Polisi<br />

Rahasia Belanda.<br />

Pembicara dalam rapat ini adalah:<br />

— Teuku Hasan Dik sebagai Ketua,<br />

— Zainul Abidin Pasaribu, yang menguraikan panjang lebar tentang<br />

bahasa Indonesia dan segi teknis pengajaran bahasa.<br />

— Teuku Cut Hasan, menguraikan kepentingan bahasa Melayu<br />

(Indonesia) berhubungan dengan soal agama, adat dan pemerintahan.<br />

— Raden Jacub.<br />

— Wakil Muhammadiyah, Madrasah dan JIB.<br />

— Tengku Syech Saman.<br />

— Dr. Van der Velde.<br />

13) Surat kabar Pewarta Deli, Medan, 12 Mei 1928, hal. 1.<br />

82


Setelah selesai pembicaraan, maka rakyat Meulaboh tidak setuju<br />

bahasa Aceh diajarkan di sekolah Gouvernement kelas II (Sekolah<br />

Desa) di Aceh. Kemudian seluruh hadirin setuju memprotes pemakaian<br />

bahasa Aceh di seluruh sekolah di daerah Aceh.<br />

Perjuangan Teuku Nyak Arif menentang pemakaian bahasa Aceh<br />

di sekolah-sekolah juga mendapat tantangan dari pemimpin-pemimpin<br />

Aceh lainnya, tetapi dengan bijaksana ia dapat menyadarkan para<br />

penantangnya. Pemakaian bahasa Aceh di sekolah-sekolah di Aceh<br />

menurut Teuku Nyak Arif menghambat integritas nasional. Hal yang<br />

demikian jelas menguntungkan pemerintah Hindia Belanda.<br />

Teuku Nyak Arif juga termasuk seorang pemimpin Islam di<br />

Aceh, karena beliau mempunyai andil yang besar dalam modernisasi<br />

dan perkembangan agama Islam. Atas inisiatif Teuku Nyak Arif<br />

dibentuklah Komite Anti Ahmadiyah daerah Aceh. Dalam suatu<br />

pertemuan yang diadakan pada tanggal 7 Agustus 1932 di sekolah<br />

Muhammadiyah yang juga dihadiri oleh para ulama dan uleebalang,<br />

Teuku Nyak Arif menguraikan dengan panjang lebar keadaan<br />

pergerakan Ahmadiyah di tanah Jawa. Beliau memperlihafkan brosur<br />

Ahmadiyah yang tidak disetujui oleh sebagian besar ulama Islam<br />

Indonesia serta tokoh pergerakan kebangsaan.<br />

Susunan pengurus Anti Ahmadiyah daerah Aceh adalah sebagai<br />

berikut:<br />

Pemuka : Tengku Hasbullah Indrapuri.<br />

Pemuka Muda : Tengku Ibrahim.<br />

Juru Surat : Teuku Djohan Meuraxa.<br />

Penasehat : Tengku Hasan Kruengkale.<br />

Anggota : Teuku Nyak Arif, Tengku Abdullah Lam U,<br />

Tengku Syech Saman, Teuku Abdul Jalil,<br />

Tengku Moh. Amin, Teuku Djohan, A.<br />

Syafei, Moh. Yusuf, Abdul Manaf, Kamarussid<br />

dan Tengku Sarung.<br />

Teuku Nyak Arif menerangkan lebih lanjut, bahwa Gulam<br />

Ahmad, tokoh Ahmadiyah di India, juga tidak disenangi oleh pemuka<br />

Islam di sana. Dr. Sutomo mengatakan bahwa Ahmadiyah adalah<br />

TEUKU NYAK ARIF - 7 83


spion pemerintah Inggris untuk menanamkan bibit perpecahan di<br />

India. 14)<br />

Dengan adanya komite Anti Ahmadiyah di Aceh, maka kaum<br />

muslimin di Aceh tidak sempat dapat dipecah-pecah dan Ahmadiyah<br />

tidak memperoleh tempat atau pengikut di daerah itu.<br />

Sebaliknya Teuku Nyak Arif memberikan sumbangan yang besar<br />

terhadap perkembangan Muhammadiyah, baik moral maupun material.<br />

Kalau ada kesulitan dalam Muhammadiyah, pengurus <strong>org</strong>anisasi<br />

tersebut selalu akan minta pertolongan kepada Teuku Nyak Arif. Ia<br />

dengan tangan terbuka akan selalu memberikan pertolongan, sehingga<br />

partisipasi Teuku Nyak Arif terhadap Muhammadiyah sangat besar,<br />

dan hubungannya dengan anggota Muhammadiyah sangat baik.<br />

Bersama beberapa tokohdipanlai LhokNga.Tanda xTeukuNyak Arif dan landaxxTeukuPangli<br />

Polim Mohammad Daud.<br />

14) Sura. kabar Bintang Timur, Jakarta, 15 Agustus 1932, hal. 2.<br />

84


Dalam pertemuan dan rapat yang diadakan oleh Muhammadiyah<br />

Teuku Nyak Arif sering hadir dan selalu memberikan sumbangan<br />

pikiran yang berharga dan petuah yang berguna. .<br />

Sebagaimana pemimpin Aceh lainnya, maka Teuku Nyak Arif<br />

adalah seorang penganut agama Islam yang kuat, tetapi tetap toleran.<br />

Tokoh agama Islam yang tidak betul-betul ahli dalam agama lebih<br />

baik tidak membicarakan soal keagamaan dengan Teuku Nyak Arif.<br />

Ia sangat menghargai Tengku Daud Beureueh dan Buya Hamka,<br />

terutama dalam bidang agama.<br />

Antara Teuku Nyak Arif dengan Tengku Daud Beureueh selalu<br />

terdapat kerja sama pada waktu itu, terutama dalam perkembangan<br />

agama Islam di Aceh. Menyangkut agama Teuku Nyak Arif berguru<br />

pada dan selalu mendengarkan Tengku Hasan Kruengkale.<br />

Pada bulan Januari 1940 diadakan Jambore Hizbul Wathan di<br />

daerah Aceh. Dalam resepsi pembukaan dan penutupan Jambore itu<br />

Teuku Nyak Arif ikut hadir di antara pemimpin Aceh lainnya seperti:<br />

Mr. S.M. Amin, Mr. T. Moh. Hanafiah, Teuku Hasan Meusigit Raya,<br />

Teuku Moh. Ali Lamsie dan Teuku Teungoh Meuraxa.<br />

Selama Jambore bcrlangsung, ada seorang anggota Jambore<br />

Hizbul Wathan yang tenggelam dan meninggal waktu berenang.<br />

Pemuda tersebut bernama Donald. Pada upacara pemakamannya,<br />

Teuku Nyak Arif juga ikut hadir dan memberikan sambutan. 13><br />

Pada bulan Juli 1941 diadakan rapat Perhimpunan Pemuda<br />

Muhammadiyah daerah Aceh di Kutaraja (Banda Aceh), membicarakan<br />

kemajuan agama Islam. Dalam upacara penutupan rapat itu<br />

Teuku Nyak Arif ikut hadir dan memberikan pidato. Beliau menguraikan<br />

ketinggian pendidikan dan pengajaran dalam Islam, dan<br />

bagaimana hidup mencari rezeki menurut peraturan Islam.<br />

Sampai peristiwa yang kecil pun dalam Muhammadiyah diikuti<br />

oleh Teuku Nyak Arif, karena dia yakin Muhammadiyah memberikan<br />

aliran pembaruan dalam Islam. Usaha Muhammadiyah harus dibantu<br />

dan diikuti serta diusahakan untuk mengembangkan <strong>org</strong>anisasi tersebut<br />

di daerah Aceh. -<br />

15) Surat kabar Pewarta Deli, Medan, 29 Januari 1940, hal. 7.<br />

81


Pemerintah Hindia Belanda merencanakan suatu ordonansi kawin<br />

tercatat, dan sebelum ordonansi ini diundangkan telah datang reaksi<br />

dari berbagai golongan Islam, yang menganggap pemerintah terlampau<br />

mencampuri agama Islam. Atas inisiatif Teuku Nyak Arif diadakan<br />

rapat tertutup Muhammadiyah daerah Aceh yang dihadiri oleh<br />

232 undangan. Tokoh-tokoh yang hadir terdiri dari berbagai golongan<br />

seperti golongan agama, uleebalang dan pemimpin terkemuka lainnya.<br />

*<br />

Rapat diadakan di Perguruan Muhammadiyah. Dalam rapat itu<br />

semua yang hadir tidak menyetujui rancangan undang-undang perkawinan<br />

tercatat itu. Rancangan undang-undang itu bertentangan dengan<br />

Islam. Mereka membentuk suatu komite yang dinamai Comité<br />

Penolak Ordonansi Mencatat Perkawinan (CPOMP), dengan susunan<br />

pengurus sebagai berikut:<br />

Ketua : Teuku Nyak Arif.<br />

Wakil Ketua : Tengku Abdul Salam.<br />

Sekretaris : Mr. Teuku Moh. Hanafiah dan Mr. S.M. Amin.<br />

Anggota : Teuku Panglima Polim, Teuku Abdul Azis,<br />

Tengku Abdullah, Tengku Hazbullah, Teuku<br />

Cut Hasan, Teuku Raja Dullah, Moh. Toha,<br />

Sutikno Padmosumarto, Tengku Nyak Sarung,<br />

R.T. Sumanegara, Said Moh. Al Habsyi, Lebai<br />

Akasah, Tengku Syech Saman dan Tengku<br />

Abdul Wahab.<br />

Penasehat : Tengku Lamjabat.<br />

Putusan rapat ini akan dikirimkan kepada pemerintah Hindia<br />

Belanda untuk diperhatikan dan dilaksanakan. 16><br />

Pendidikan yang diadakan oleh pemerintah Hindia Belanda<br />

sangat kurang dibandingkan dengan jumlah penduduk, sehingga<br />

untuk mengatasi kekurangan pendidikan tersebut maka Taman Siswa<br />

dan Muhammadiyah tampil ke depan sebagai Perguruan Nasional,<br />

yang berstatus partikulir (swasta). Perkembangan Pendidikan Nasional<br />

Taman Siswa ikut dibantu oleh Teuku Nyak Arif, bahkan ia<br />

16) Surat kabar Pewarta Deli, Medan, 9 November 1937,hal. 1.<br />

86


adalah Ketua Pendiri Taman Siswa di Kutaraja bersama dengan<br />

Teuku Cut Hasan dan Teuku Hasan Dik. Setelah perguruan Taman<br />

Siswa berdiri di Aceh, Teuku Nyak Arif tercatat sebagai donatur tetap<br />

Taman Siswa.<br />

Karena pemerintah Hindia Belanda khawatir akan perkembangan<br />

perguruan nasional terutama Taman Siswa dan Muhammadiyah,<br />

maka Gubernur Jenderal de Jonge mengeluarkan suatu peraturan yang<br />

terkenal dengan nama peraturan sekolah Har (Wilde Scholen Ordonantie).<br />

Pemerintah Hindia Belanda menganggap bahwa perguruan<br />

nasional Indonesia adalah sekolah liar. Peraturan ini jelas akan mcnghambat<br />

kemajuan rakyat Indonesia, bukan saja golongan pribumi,<br />

tetapi juga golongan Gina, India dan Arab. Karena itu, dipelopori oleh<br />

Ki Hajar Dewantara, peraturan ini ditentang dengan keras.<br />

Fraksi Nasional di Volksraad juga menentang, agar peraturan<br />

tersebut segera dicabut oleh pemerintah. Bahkan M.H. Thamrin bcrmaksud<br />

akan keluar dari Volksraad apabila tuntutan itu gagal. Jejak<br />

Thamrin ini diikuti oleh anggota-anggota lainnya, sehingga Volksraad<br />

kehilangan wakil bangsa Indonesia. Di daerah Aceh Teuku Nyak Arif<br />

tampil ke depan menentang peraturan (undang-undang, sekolah liar<br />

itu. Atas pengaruh Teuku Nyak Arif, maka pemimpin-pemimpin<br />

Aceh lainnya baik golongan uleebalang maupun golongan agama<br />

menentang undang-undang itu. 17)<br />

Setelah melihat reaksi dari seluruh masyarakat Indonesia baik, di<br />

dalam maupun di luar Volksraad, yang dapat mengganggu ketenangan<br />

masyarakat, maka pemerintah Hindia Belanda terpaksa mencabut<br />

peraturan tersebut pada tahun 1932.<br />

Di samping pendidikan sekolah, pendidikan luar sekolah, seperti<br />

olahraga, juga menarik perhatian Teuku Nyak Arif. Sejak mudanya ia<br />

telah gemar main sepak bola, karena olahraga sangat perlu untuk<br />

membantu pertumbuhan tubuh. Oleh sebab itu pendidikan olahraga<br />

ini perlu dikembangkan. Teuku Nyak Arif pada bulan Desember 1935<br />

diangkat menjadi Ketua Atjehsche Voetbal Bond menggantikan Teuku<br />

Hasan Dik. Upacara perpisahan dan timbang terima diadakan pada<br />

tanggal 24 November 1935 dalam suatu pertemuan ramah-tamah.<br />

17) Wawancara dengan Ismail Jacob, Semarang, 8 Maret 1974.<br />

87


Teuku Nyak Arif bersama-sama tokoh Taman Siswa Kotaraja.<br />

Teuku Nyak Arif bersama -sama tokoh Taman Siswa Kotaraja.<br />

Dalam pidato perpisahan Teuku Nyak Arif memuji Teuku Hasan Dik<br />

sebagai seorang yang luar biasa. Olahraga mendidik orang menjadi<br />

sportif, di samping kesehatan tubuh.<br />

Sebagai Panglima Sagi 26 Mukim, Teuku Nyak Arif tentu termasuk<br />

pegawai pemerintah Hindia Belanda, tetapi rakyat Aceh terutama<br />

rakyat 26 Mukim masih menganggap Teuku Nyak Arif sebagai<br />

raja mereka. Ketika menandatangani penolakan Rencana Undang-<br />

Undang Pencatatan Perkawinan, di situ dicantumkan, supaya rajaraja<br />

kami turut menandatangani. Teuku Nyak Arif tidak setuju<br />

perkataan raja kami itu dipergunakan, karena ia berpendapat, bahwa<br />

rskyat ini adalah rakyat jajahan. Atas reaksi Teuku Nyak Arif, maka<br />

semua raja (bangsawan) Aceh kemudian mencoret perkataan yang<br />

tidak diingini oleh Teuku Nyak Arif. Jelas benar, bahwa di kalangan<br />

uleebalang (raja), baik tua maupun muda, pengaruh Teuku Nyak Arif<br />

besar sekali.<br />

88


Teuku Nyak Arif (x) selaku Ketua AVB.<br />

Scsuai dengan janji yang telah diikrarkan, maka kerja sama<br />

dengan pemerintah Hindia Belanda hanyalah bersifat sementara<br />

menjelang ada kesempatan untuk melawan. Pada tahun 1932 Teuku<br />

Nyak Arif tidak hadir pada pembukaan patung Van Heutsz di Kutaraja,<br />

dan satu-satunya uleebalang yang tidak hadir adalah Teuku Nyak<br />

Arif. Ia secara demonstratif memperlihatkan ketidaksetujuannya atas<br />

pembuatan patung itu, apalagi untuk hadir pada pembukaannya.<br />

Tidak ada uleebalang ataupun ulama yang seberani Teuku Nyak Arif<br />

dalam berhadapan dengan Belanda. Ia tidak pernah merasa rendah<br />

diri terhadap orang Belanda. Ia adalah seorang tokoh yang terkenal di<br />

Aceh, terutama di kalangan uleebalang, yang selalu memperhalikan<br />

nasib rakyat, salah seorang pemimpin yang disegani oleh pemerintah<br />

Hindia Belanda.<br />

Pada tahun 1932 di Ulee Lheue diadakan rapat rahasia oleh<br />

Teuku Nyak Arif, Teuku Cut Hasan, Teuku Ahmad Jeunieb, Tengku<br />

89


Daud Beureueh, Teuku Djohan Meuraxa dan Tengku Syech Abdul<br />

Hamid Samalanga. Adapun yang dibicarakan mereka adalah siasat<br />

untuk melanjutkan perjuangan rakyat Aceh melawan penjajahan<br />

Belanda yang telah nampak dengan persiapan-persiapan baru. Teuku<br />

Nyak Arif pernah menampar- seorang kontroleur Belanda yang<br />

bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat Aceh. Ia selalu berusaha<br />

agar uang belasting rakyat selalu kecil, atau sedapat mungkin<br />

dihilangkan sama sekali. Yang diperjuangkan oleh Teuku Nyak Arif<br />

bukan hanya rakyat 26 Mukim, tetapi seluruh rakyat Aceh.<br />

Pada zaman malaise keadaan ekonomi Aceh termasuk baik dibandingkan<br />

dengan daerah-daerah lain, karena Aceh ba<strong>nyak</strong> menghasilkan<br />

beras di samping merica. Pada tahun 1935 ba<strong>nyak</strong> terdapat<br />

pabrik gilingan padi di Aceh seperti di Simpang Ulim, Geudong,<br />

Samalanga, Peusangan dan di daerah Aceh Besar, terutama di Sagi<br />

XXVI Mukim yang dikepalai oleh Teuku Nyak Arif. Teuku Nyak<br />

Arif juga mengusahakan agar rakyat Aceh dapat leluasa membuat<br />

garam, sedangkan di daerah lain pembuatan garam adalah monopoli<br />

pemerintah. Di Aceh harga garam murah sekali sehingga ba<strong>nyak</strong><br />

terjadi selundupan garam dari daerah Aceh ke daerah lain di<br />

Sumatera.<br />

Walaupun Teuku Nyak Arif telah berhenti menjadi anggota<br />

Volksraad, tetapi ia tetap mengikuti kegiatan di Volksraad. Pada<br />

bulan Januari 1935 ia mengirim kabar kepada W. Middendorp<br />

anggota Volksraad, karena Middendorp mengeritik pemerintah<br />

Hindia Belanda yang tidak memenuhi kewajiban sucinya untuk memberikan<br />

kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Teuku Nyak Arif<br />

menyampaikan salam dan hormat kepada Middendorp atas nama<br />

rakyat Aceh.<br />

Pada bulan November 1936 diadakan latihan militer di daerah<br />

Sagi XXVI Mukim. Kontroleur Arie Verhoef terlambat menyampaikan<br />

surat pemberitahuan sehingga pada waktu latihan militer itu<br />

dilakukan, yaitu latihan perang-perangan dengan tembakan karaben<br />

dan senapan mesin, orang-orang kampung yang tidak tahu-menahu<br />

bertebaran melarikan diri, karena menyangka kampung mereka diserang<br />

oleh serdadu-serdadu Belanda. Beberapa orang dengan terengah-engah<br />

menyampaikan kejadian tersebut kepada Teuku Nyak<br />

90


Arif di Kutaraja, serta memberitahukan ba<strong>nyak</strong> orang kampung yang<br />

berpatahan kakinya, baik karena terperosok dan jatuh ke dalam<br />

sumur, ke dalam sawah dan sungai ketika melarikan diri, akibat<br />

mendengar tembakan-tembakan gencar yang seolah-olah diarahkan<br />

kepada mereka. Mendengar laporan tersebut Teuku Nyak Arif naik<br />

darah dansegera menemui Kontroleur Arie Verhoef. Ketika bertemu<br />

dengan Verhoef di muka kantornya, Teuku Nyak Arif langsung<br />

marah-marah dan menampar Verhoef disaksikan oleh beberapa orang<br />

yang sedang berada di tempat itu. Setelah peristiwa itu, Kontroleur<br />

Arie Verhoef membuat laporan kepada Residen Y. Yongejans, tetapi<br />

nyatanya Arie Verhoef dipindahkan ke daerah lain tanggal 31 Desember<br />

1936. 18)<br />

Kemudian pada bulan Desember 1936 terjadi lagi suatu peristiwa.<br />

Setiap jam 5 sore semua pasar harus dibersihkan. Kebetulan<br />

pada waktu itu masih ada juga orang yang berjualan di pasar, sehingga<br />

petugas pembersihan menjadi kesal melihat kejadian itu.<br />

Tanpa memberi tahu. Hoofd Agent de Reuter langsung menyemprotkan<br />

air dengan brandweer. Akibatnya ikan dan uang yang belum<br />

terkumpul hanyut semuanya dibawa air. Salah seorang penjual ikan<br />

datang melaporkan hal itu kepada Teuku Nyak Arif. Tiga hari kemudian<br />

Hoofd Agent de Reuter dipindahkan ke daerah lain. Teuku Nyak<br />

Arif adalah seorang pemimpin yang selalu membela kepentingan<br />

rakyat kecil dan membela hak asasi manusia.<br />

Pada suatu hari Teuku Nyak Arif dan kontroleur Bireun J. Pauw<br />

(di kemudian hari menjadi Residen Aceh) sama-sama datang dari<br />

Medan. Mobil J. Pauw pada waktu itu ada di depan dan mobil yang<br />

ditumpangi oleh Teuku Nyak Arif ada di belakang. Ketika mobil<br />

Teuku Nyak Arif hendak mendahului mobil J. Pauw, ia tidak diberi<br />

jalan. Akibatnya ketika sampai di Bireun, dalam keadaan muka dan<br />

baju penuh debu, Teuku Nyak Arif mengejar Pauw sampai ke<br />

rumahnya. Setelah Teuku Nyak Arif melampiaskan amarahnya, Pauw<br />

segera menghilang ke dalam rumah. •<br />

Teuku Nyak Arif menentang pajak penjualan nipah yang akan<br />

diadakan di daerah Ulee Lheue yang tidak termasuk daerah kekuasa-<br />

18) Wawancara dengan Abubakar, Banda Aceh, 18 September 1975.<br />

91


anya. Akibat penentangan Teuku Nyak Arif maka pajak penjualan<br />

nipah tidak jadi dilaksanakan oleh pemerintah Hindia Belanda. Tiaptiap<br />

terjadi pertentangan antara Teuku Nyak Arif dengan pejabat pemerintah<br />

Hindia Belanda, ia terus mengeluarkan kata-kata keras silakan<br />

bunuh saja mereka, biar tuan bebas melaksanakan rencana tuantuan.<br />

Pada tahun 1940 diadakan pasar malam di Kutaraja (Banda<br />

Aceh). Seorang Hoofd Agent polisi memukul seorang anak sekolah,<br />

karena mereka ribut-ribut menonton pasar malam. Kejadian tersebut<br />

didengar oleh Teuku Nyak Arif. Besoknya Hoofd Agent polisi itu<br />

dipindahkan ke daerah lain dengan alasan yang tidak diumumkan.<br />

Teuku Nyak Arif juga menentang pajak sepeda yang akan dilaksanakan<br />

di daerah Aceh, dengan alasan jalan masih rusak dan kurang baik.<br />

Usahanya tersebut berhasil.<br />

92


VI. MENJELANG BERAKHIRNYA<br />

KEKUASAAN BELANDA<br />

Dalam kedudukannya sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda,<br />

Teuku Nyak Arif selalu mengadakan penantangan terhadap<br />

pemerintah. Kalau terjadi pertentangan antara Teuku Nyak Arif<br />

dengan kontroleur Belanda misalnya, maka yang dipindahkan adalah<br />

pejabat Belanda itu. Pemerintah Hindia Belanda tidak berani memecat<br />

Teuku Nyak Arif karena pengaruhnya sangat besar di kalangan rakyat<br />

Aceh. Bahkan pada tahun 1938 Teuku Nyak Arif juga diangkat<br />

menjadi Uleebalang 3 Mukim Lam Labo, di samping kedudukannya<br />

sebagai Panglima Sagi 26 Mukim di Kutaraja.<br />

Pada tahun 1939 masyarakat Aceh kembali memperbincangkan<br />

wakil Aceh dalam Volksraad. Di antara 3 calon yaitu Teuku Nyak<br />

Arif, Mr. T.M. Hanafiah dan Teuku Cut Hasan, maka Teuku Nyak<br />

Arif adalah tokoh terkemuka menurut pandangan masyarakat, dan<br />

gerak-geriknya disetujui oleh semua golongan. Rakyat Aceh menaruh<br />

harapan, agar pemimpin Aceh bersatu dalam memimpin rakyat,<br />

untuk kebangunan dan kemajuan Aceh. Pemimpin Aceh hendaklah<br />

bersatu, dan bersama-sama dengan rakyat mencari kemajuan untuk<br />

ketinggian bangsa dan nusa. -<br />

Soal pengadilan juga ba<strong>nyak</strong> dikritik oleh Teuku Nyak Arif,<br />

karena terlampau dicampuri bestuur dan militer. Kejadian ini telah<br />

berjalan 15 tahun. Tuanku Mahmud telah memperjuangkan soal ini di<br />

Volksraad dan pers juga ramai membincangkan masalah ini.<br />

93


Pada tahun tiga puluhan Moh. Husni Thamrin sebagai pemimpin<br />

PARINDRA dan anggota Volksraad datang mengunjungi Aceh dalam<br />

perjalanannya ke Medan. Tentang Aceh Thamrin mengatakan bahwa<br />

rakyatnya miskin, tetapi tanahnya kaya. Thamrin menginap selama 3<br />

hari di Kutaraja, dan selama di Kutaraja ia menemui Teuku Nyak Arif<br />

sebagai tokoh terkemuka di Aceh dan teman seperjuangan di Volksraad.<br />

Menurut penilaian Thamrin pergerakan politik di Aceh memang<br />

belum kelihatan, tetapi semangat rakyatnya telah berkobar untuk<br />

mengikuti pergerakan politik. -<br />

Pada awal tahun 1940 diadakan Jambore Hizbul Wathan daerah<br />

Aceh ke III di Kutaraja. Jumlah anggota peserta jambore itu ada 350<br />

orang. Resepsi pembukaan jambore diadakan di Kutaraja, dan di<br />

antara tamu yang hadir adalah: Teuku Nyak Arif, Teuku Teungoh<br />

Meuraxa, Teuku Meusigit Raya, Mr. S.M. Amin, Teuku Moh. Ali<br />

Lamsie, Mr. Moh. Hanafiah dan tokoh-tokoh ulama terkemuka. Semua<br />

kegiatan Muhammadiyah, termasuk anak <strong>org</strong>anisasinya selalu diikuti<br />

oleh Teuku Nyak Arif, walaupun ia bukan anggota Muhammadiyah.<br />

Sebagai seorang penganut Islam yang taat, Teuku Nyak Arif membantu<br />

perjuangan Muhammadiyah, dan sebagai seorang nasionalis ia<br />

harus membantu Muhammadiyah, harus dibantu, karena <strong>org</strong>anisasi ini<br />

bersifat nasional.<br />

Tahun 1939 di Aceh berdiri <strong>org</strong>anisasi Islam yang bersifat lokal,<br />

bernama Persatuan Ulama Aceh (PUSA), dengan susunan pengurus:<br />

94<br />

Ketua I : Tengku Daud Beureueh.<br />

Ketua II : Tengku Abdul Rachman Matang Gulumpang<br />

dua.<br />

Sekretaris I : Tengku M. Nur el Ibrahimy.<br />

Sekretaris II : Tengku Ismail Jacob.<br />

Bendahara : Teuku M. Amin, kemudian diganti oleh Tengku<br />

H. Mustafa Ali, di waktu Teuku M. Amin menjadi<br />

Sekretaris.<br />

Komisaris : Tengku Abdul Wahab Seulimeum, Tengku H.<br />

Syech Abdul Hamid, Tengku M. Daud, Tengku<br />

Usman Lampoh Awe, Tengku Yahya Raden,<br />

Tengku Mahmud, Tengku Usman Azis dan<br />

Tengku Ahmad Damanhuri Takengon.


Pengurus Besar (PB) PUSA berkedudukan di Sigli tempat kediaman<br />

Tengku Daud Beureueh dan Tengku M. Nur el Ibrahimy."<br />

Tujuan PUSA adalah mengadakan suatu permusyawaratan besar<br />

dalam soal penyebaran kemajuan agama yang lebih luas di Aceh. Di<br />

•samping PUSA juga berdiri Pemuda PUSA yang kenyataannya selain<br />

bergerak di bidang agama juga bergerak di bidang politik. Sejalan<br />

dengan mundurnya pergerakan nasional di Indonesia, maKa pergerakan<br />

politik nasional di Aceh juga mundur jika dibandingkan dengan<br />

daerah-daerah lain. Perkembangan PSII dan PARINDRA tidak begitu<br />

pesat, hanya terbatas di kota-kota besar saja seperti Kutaraja.<br />

Pada saat terakhir kekuasaan Hindia Belanda di Indonesia tuntutan<br />

kaum pergerakan Indonesia semakin lunak (moderat) terbukti<br />

dengan adanya Petisi Sutardjo di Volksraad. Sesudah petisi itu ditolak<br />

oleh pemerintah Hindia Belanda, maka Gabungan Politik Indonesia<br />

(GAPI) yang begerak di luar Volksraad menuntut kepada pemerintah<br />

Hindia Belanda untuk menjelmakan gerakan kesatuan didasarkan<br />

pada hak menentukan nasib sendiri, kesatuan nasional, demokrasi dan<br />

kesatuan aksi.<br />

Semboyan Indonesia Berparlemen dengan kerja sama yang erat<br />

antara Indonesia dengan Belanda juga mendapat dukungan yang luas<br />

di kalangan masyarakat. Tujuannya ialah mempersatukan dan memperkuat<br />

pergerakan nasional. Uluran tangan pihak Indonesia ini ditolak<br />

oleh pihak Belanda sebagai suatu tantangan. Pengumuman<br />

resmi pemerintah Belanda 10 Februari 1940 pada pokoknya menolak<br />

tuntutan Indonesia. Belanda menghendaki Indonesia menjadi daerah<br />

jajahan untuk selama-lamanya.<br />

Sebenarnya baik kekuasaan kolonial Belanda, maupun kaum pergerakan<br />

gagal mempersiapkan diri untuk menghadapi perang Pasifik,<br />

yang telah jadi pembicaraan umum sejak mulainya gerakan maju<br />

Jepang di Asia Timur. Belanda terjepit antara kepentingan politik dan<br />

militemya. Ia tidak akan mungkin mempertahankan Indonesia tanpa<br />

bantuan rakyat yang bersenjata, tetapi tidak mungkin pula mem-<br />

1) Panitia Raya Kongres Besar PUSA, Tinjauan Sejarah Pergerakan di Aceh, Kutaraja 1930,<br />

hal. 17.<br />

95


perscnjatai rakyat jika ia ingin berkuasa di Nusantara ini/'<br />

Di daerah Aceh sendiri sejak tanggal 30 September 1938 J. Pauw<br />

menjadi Residen Aceh menggantikan Residen Jongejans, sedangkan<br />

Komandan Angkatan Perang ialah Kolonel G.F.V. Gosenson. Teuku .<br />

Nyak Arif sebagai seorang nasionalis dan seorang pemimpin Indonesia<br />

yang mempunyai pandangan jauh ke depan, telah lama memperjuangkan<br />

agar jumlah militer Belanda di Indonesia dikurangi, karena<br />

keadaan di Indonesia telah aman, jadi tidak memerlukan jumlah<br />

militer yang ba<strong>nyak</strong>. Maksud sebenarnya ialah di saat Belanda berada<br />

dalam keadaan lemah maka Indonesia akan merebut kekuasaan,<br />

sesuai dengan janji suci yang telah' diikrarkan dahulu. -<br />

Menurut keyakinan Teuku Nyak Arif, sekaranglah saatnya untuk<br />

bertindak, karena Belanda dalam keadaan panik dan gelisah. Dalam -<br />

suatu rapat umum yang diadakan di sebuah bioskop di Kutaraja untuk<br />

memperingati Dr. Sutomo, Teuku Nyak Arif mulai membakar semangat<br />

rakyat, mengajak mereka untuk sadar dan bertindak. Ia juga<br />

memberi semangat kepada pemimpin Aceh lainnya untuk memperjuangkan<br />

kemerdekaan tanah air mulai saat ini juga. _<br />

Teuku Nyak Arif mengadakan pertemuan di Lubuk, yang dihadiri<br />

oleh hampir semua tokoh pimpinan Aceh. Mereka itu adalah: Tengku<br />

Daud Beureueh, Teuku Cut Hasan, 'Tengku Syech Ibrahim Lamnga,<br />

Teuku Haji Abdullah Indrapuri dan Tengku Haji Abdullah Lam U.<br />

Dalam pertemuan itu, Teuku Nyak Arif menganjurkan kepada para<br />

pemimpin itu untuk mengadakan sumpah setia dan kebulatan hati,<br />

agar jangan ada yang berkhianat kepada perjuangan. Teuku Nyak Arif<br />

sendiri minta beliau disumpah oleh Tengku Haji Abdullah Lam U<br />

dengan ucapan: Wallah, Billah, Tallah. Saya berjanji setia kepada<br />

tanah air, bangsa dan agama, dan tidak mengkhianati perjuangan.<br />

Kemudian semua pemimpin ikut bersumpah setia untuk menghalau<br />

Belanda.<br />

Ketika tersiar kabar bahwa Pulau Penang telah jatuh ke tangan<br />

tentara Dai Nippon, maka semangat berontak terhadap Belanda telah<br />

berkobar di kalangan j;akyat Aceh. Tambahan lagi radio Dai Nippon<br />

2) A.H Nasution, TNII, Seruling Masa, Jakarta, 1968, hal. 83.<br />

96


dari Pulau Penang dan Tokyo terus membangunkan semangat rakyat<br />

untuk berontak melawan Belanda dan menyambut kedatangan tentara<br />

Dai Nippon dengan bcrsuka cita. 3)<br />

Dalam pada itu pasukan Dai Nippon telah mulai menyerang<br />

Semenanjung Malaya dengan cepat. Pada tanggal 19 Desember 1941<br />

Penang jatuh, 28 Desember 1941 Ipoh jatuh, 11 Januari 1942 Kuala<br />

Lumpur dan 11 Februari 1942 Singapura jatuh. Akibatnya kedudukan<br />

Aceh mulai terancam. Pesawat pengintai Jepang seringkali terbang di<br />

atas Aceh, 22 Januari 1942 Sabang dibom dengan dahsyat. Pada<br />

tanggal 26 Januari 1942 kapal perang Belanda Hr. Ms. Wega ditenggelamkan<br />

oleh Jepang di pelabuhan Ulee Lheue. Hal ini menunjukkan<br />

lemahnya kekuatan Belanda. Belanda mulai panik, taktik<br />

bumi hangus mulai dijalankan, jembatan dihancurkan, rakyat disuruh<br />

mengungsi dan perahu-perahu mereka dihancurkan.<br />

Sebaliknya rakyat mulai melawan pemerintah Hindia Belanda.<br />

Pada tanggal 19 Februari 1942 timbul perlawanan rakyat Seulimeum.<br />

Pada tanggal 7 Maret 1942 timbul pemberontakan terhadap bangsa<br />

Belanda di Kutaraja, sehingga penduduk Eropa terpaksa diungsikan<br />

ke Medan. Pada tanggal 11 Maret 1942 pasukan Jepang telah mendarat<br />

di Kuala Buga. Bahkan pembunuhan terhadap agen polisi di Sidikalang<br />

(Dairi) dilakukan oleh rakyat Aceh (Singkel) yang dipimpin oleh<br />

Rapat. Gerakan ini dipengaruhi juga oleh Raja Karinding dan Guru<br />

Abdullah. Kedua pemimpin ini ditangkap dan dibunuh oleh Belanda<br />

pada tanggal 15 Maret 1942 di Mculaboh. Di daerah Tamiang juga<br />

timbul gerakan perlawanan terhadap Belanda.<br />

Teuku Aziz (Anzib) Uleebalang Tungkop mengadakan hubungan<br />

dengan Jepang, sehingga ia dianggap oleh Belanda sebagai kolone ke-<br />

y 4)<br />

Tahun 1940 - 1942 pemuda PUSA juga mengadakan hubungan<br />

dengan Jepang di Malaya, membantu Jepang menumbangkan kekuasaan<br />

Hindia Belanda. Said Abubakar juga mengadakan hubungan<br />

dengan Jepang. Ia berusaha menjemput Jepang dari Malaya untuk<br />

membebaskan .Indonesia dari penjajahan Belanda.<br />

3) ) M. Junus Jamil, Riwayat Barisan F (Fujiwara kikan) di Aceh, hal. 5.<br />

4) A.J. Piekaar, Atjeh en de Oorlog Mei Japan, s'Gravenhage -Bandung, NV Uitgeverij W. van<br />

Hoeve, 1949, hal. 55.<br />

97


Kesempatan. itu telah dipergunakan oleh dinas rahasia Jepang<br />

untuk mengadakan perang urat syaraf yang hebat di Aceh melalui<br />

gerakan F (Fujiwara Kikan). Tujuannya adalah untuk melunakkan<br />

pertahanan Belanda sebelum pendaratan, mengacau sarana komunikasi<br />

Belanda, menimbulkan kegelisahan di kalangan pejabat Belanda,<br />

menghalangi pelaksanaan bumi hangus dan sebagainya.<br />

Said Abubakar termasuk juga pemuka Kolone ke-V yang berasal<br />

dari Kutaraja dan pernah mengajar mengaji di Malaya. Pihak Belanda<br />

telah berhasil menangkapnya, tetapi atas desakan pemimpin Aceh<br />

antara lain dengan jaminan Teuku Nyak Arif dan Teuku Achmad<br />

Jeunieb, ia dibebaskan kembali.<br />

Perlawanan rakyat Aceh terus diadakan terhadap Belanda, karena<br />

pengaruh Teuku Nyak Arif. Pada tanggal 23 Februari 1942<br />

Controleur Tiggelman dari Seulimeum dibunuh oleh rakyat. Pada<br />

tanggal 24 Februari 1942 terjadi pertempuran di Keumiro di mana<br />

Kepala Jawatan Kereta Api yang bernama Van Sperling mati terbunuh.<br />

Rakyat kemudian memutuskan hubungan telepon antara<br />

Kutaraja dan Medan, serta hubungan Kutaraja dan Pantai Barat. Di<br />

Tanoh Abee jembatan dirusak oleh rakyat. Di Indrapuri rel kereta api<br />

dibongkar, sebuah stoomwals diletakkan di tengah jalan, bengkel<br />

kereta api dihancurkan, lumbung padi dibakar. Bendera di kantor pos<br />

Seulimeum dibakar oleh Cut Amat dan uang dilarikan seba<strong>nyak</strong> 5.000<br />

gulden untuk dana perjuangan. Karena adanya perlawanan rakyat ini,<br />

maka pemerintah Hindia Belanda mengadakan jam malam di Kutaraja.<br />

Pada tanggal 7 Maret 1942 poliklinik Indrapuri dihancurkan oleh<br />

rakyat dan di Lam Theuen sebuah sekolah dasar dihancurkan. Pada<br />

tanggal 8 Maret 1942 Pulau Jawa menyerah kepada Jepang. Pada hari<br />

itu Residen Aceh mengadakan pertemuan politik dengan Tuanku<br />

Mahmud dan Teuku Nyak Arif. Teuku Nyak Arif mengemukakan<br />

pendapatnya sebagai berikut:<br />

— Pemberontakan itu merupakan gerakan rakyat massal (massale<br />

Volksbeweging) terhadap Pemerintah Hindia Belanda.<br />

— GduKan rakyat itu akan meluas ke seluruh Aceh. Teuku Nyak<br />

Arif mengusulkan agar ia diberi kesempatan mengadakan perjalanan<br />

dinas ke seluruh Aceh. Residen Aceh hanya mengizinkan<br />

98


perjalanan ilu di daerah Aceh Raya (Groot Aceh) dan sekitar<br />

Kutaraja. Teuku Nyak Arif menerima usul Residen ilu.<br />

Teuku Nyak Arif mengusulkan agar pemerintahan di Aceh diserahkan<br />

kepadanya, dan ia bertanggung jawab atas nyawa<br />

orang-orang Eropa di Aceh sampai kedatangan tentara Jepang.<br />

Usul itu ditolak oleh Residen.<br />

Mulai tanggal 9 Maret 1942 suasana Kutaraja semakin panas, sehingga<br />

orang-orang Belanda diungsikan ké Medan. Pada tanggal 10<br />

dan 11 Maret 1942 diadakan rapat lagi di rumah Residen Aceh, tetapi<br />

Teuku Nyak Arif tidak hadir di dalam rapat kedua itu. Pemimpin<br />

rakyat Aceh yang hadir seba<strong>nyak</strong> 8 orang semuanya ditangkap oleh<br />

pemerintah Hindia Belanda. Teuku Nyak Arif sudah sadar sebelumnya<br />

bahwa pemerintah Hindia Belanda akan menawan pemimpin<br />

Aceh. Karena tidak datang pada waktu yang telah ditetapkan, maka<br />

Kolonel Gosenson segera mengeluarkan perintah untuk menangkap<br />

Teuku Nyak Arif. 5)<br />

Dengan mendadak rumahnya di Lam Nyong diserbu dengan<br />

tembakan membabi-buta oleh tentara Belanda. Disebabkan Teuku Nyak<br />

Arif tidak juga tertangkap, maka penghuni rumah itu ditawan oleh<br />

Belanda. Pada waktu penyerangan rumahnya, Teuku Nyak Arif sedang<br />

mengadakan rapat dengan Kaum Muslimin di Lubuk. Begitu mendengar<br />

rumahnya diserbu maka ia segera kembali ke Lam Nyong,<br />

walaupun telah dicegah oleh rakyat. Setibanya di Lam Nyong, untung<br />

Teuku Nyak Arif tidak bertemu dengan tentara Belanda. Istrinya dan<br />

anak-anaknya terlepas dari bahaya, karena sempat melarikan diri ke<br />

belakang rumahnya dengan menyeberangi sungai. Pada malam harinya<br />

dua brigade dengan kendaraan mobil baja militer Belanda mencoba<br />

lagi kembali ke Lam Nyong, tetapi tidak berhasil, karena mendapat<br />

perlawanan dari rakyat yang dipimpin oleh Waki Harun yang<br />

mempertahankan jembatan kedua menuju Lam Nyong.<br />

Akibat perlawanan itu, maka Belanda terpaksa mundur dan<br />

akhirnya menyingkir ke luar kota Kutaraja. Kolonel Gosenson sebagai<br />

panglima militer di Aceh, sebelum meninggalkan Kutaraja masih<br />

5)Ibid., hal 76<br />

TEUKU NYAK ARIF-8 99


erusaha menanglcap Teuku Nyak Arif. Mereka hanya dapat menangkap<br />

Teuku Cut Hasan, Teuku Djohan Meuraxa, Teuku Hanafiah<br />

dan Teuku Raja Abdullah.<br />

Pada waktu Belanda telah kalah dan meninggalkan Kutaraja,<br />

maka Teuku Nyak Arif diangkat oleh rakyat menjadi Ketua Komite<br />

Pemerintahan Daerah Aceh. Ia telah berhasil mengisi kekosongan<br />

kekuasaan di Aceh sewaktu Belanda kalah dan sesuai dengan perhitungan<br />

strategi militer, kekosongan itulah yang menjadi sasaran<br />

utama. Hanya di Aceh terdapat gerakan yang demikian untuk mengisi<br />

kekosongan yang dipelopori dan dipimpin oleh Teuku Nyak Arif dan<br />

kawan-kawannya. Bahkan gerakan itu meluas sampai ke barisan<br />

KNIL akibat pengaruh Teuku Nyak Arif. Ia menuntut penyerahan<br />

pemerintahan kepada rakyat dan pembentukan suatu tentara rakyat. 6<br />

'<br />

Dalam pada itu tentara Jepang pada tanggal 12 Maret 1942 telah<br />

mendarat di Sumatera Utara, yaitu Sabang, Ujung Bate (Timur Laut<br />

Kutaraja), Kuala Buga (Utara Langsa) dan Tanjung Tiram (Medan).<br />

Pasukan Belanda di Aceh yang dipimpin oleh Kolonel Gosenson, memindahkan<br />

markas besarnya ke Takengon dengan kekuatan 2.000<br />

tentara. Tentara Belanda pada mulanya hendak melakukan perang<br />

gerilya dalam menghadapi Jepang, tetapi ternyata gagal karena tidak<br />

didukung oleh rakyat Aceh. Perang di Aceh ternyata berjalan amat<br />

cepat karena:<br />

— Pasukan Jepang bergerak amat cepat,<br />

— Rakyat Aceh juga melawan Belanda,<br />

— Pasukan Hindia Belanda bukan pasukan tempur yang baik. -<br />

Pada tanggal 28 Maret 1942 Mayor Jenderal Overakker dan<br />

Kolonel Gosenson menyerah kepada Jepang di daerah Kotacane.<br />

Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Belanda di daerah Aceh<br />

untuk selama-lamanya. Buat sementara ia diganti oleh Jepang yang<br />

telah disambut oleh rakyat dengan gembira. Akan tetapi kegembiraan<br />

itu tidak akan berlangsung lama, karena penjajah yang baru itu ternyata<br />

jauh lebih kejam lagi, sehingga rakyat Aceh harus berontak<br />

lagi.<br />

6) A.H. Nasution, Opcil., hal. 82<br />

100


Letnan Jenderal Fujiwara Iwaichi dalam bukunya "F. Kikan: Japanese<br />

Army Intelligence Operation in South East Asia During World<br />

War II" (diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Gyiani Budi<br />

Tjahja), pada halaman 256-257 menulis sebagai berikut:<br />

"Sebagai jawaban terhadap peningkatan kekuatan Belanda,<br />

para pemimpin Aceh menyelenggarakan rapat tanggal 4 Maret<br />

1942 di Lubok dan memutuskan untuk menyalakan pemberontakan<br />

bersama di seluruh Aceh. Sesuai dengan upacara agama<br />

Islam, mereka bersumpah. Saya mengangkat sumpah untuk tetap<br />

setia kepada'agama Islam, kepada rakyat dan kepada tanah air.<br />

Saya tak akan melanggar sumpah yang saya ucapkan dan akan<br />

tetap bersatu untuk melawan Belanda."<br />

Kemudian mereka membuat resolusi di bawah ini.<br />

a. Pemberontakan bersama dan serempak akan dilancarkan di seluruh<br />

Aceh.<br />

b. Pemberontakan ini akan dilaksanakan guna melindungi agama,<br />

bangsa dan tanah air.<br />

c. Sebuah manifes akan dikirimkan kepada segenap ketua di setiap<br />

distrik di Aceh.<br />

d. Sebuah manifes akan dikirimkan kepada pemerintah Belanda.<br />

e. Serangan serempak akan dilakukan terhadap barak militer Belanda.<br />

Tanggal 8 Maret 1942 mereka mengeluarkan pernyataan ke seluruh<br />

Aceh disertai pernyataan bahwa siapa saja para pejabat Indonesia<br />

yang bekerja bagi Pemerintah Belanda akan dianggap sebagai warga<br />

negara Belanda kecuali apabila mereka langsung meiepaskan jabatannya.<br />

Manifes ini malah dikirimakn kepada kantor pemerintah dan<br />

seksi polisi dan juga ditempatkan di jalan serta ditempelkan di mobil<br />

panser Belanda. Juga pada hari yang sama Teuku Nyak Arif raemberitahukan<br />

residen Belanda menuntut "Kembalikan Pemerintah Aceh<br />

kepada rakyat Aceh. Kalau tidak kami rakyat Aceh akan mengumumkan<br />

perang terhadap Belanda." Pada saat yang sama, mereka<br />

memutuskan kabel telepon di segenap pelosok Aceh dan memblokade<br />

jalan dengan pohon yang ditumbangkan. Menghadapi pergolakan ini,<br />

101


pasukan Belanda serta para pejabat pemerintahnya berkumpul bersama<br />

di barak militer di sekeliling Kutaraja. Pemberontakan umum<br />

di seluruh Aceh direncanakan tanggal 11 Maret malam. Guna mempersiapkan<br />

diri terhadap serangan kejutan awal oleh tentara Belanda,<br />

rakyat Aceh membentengi semua desa dan mempersiapkan diri bagi<br />

serangan itu. Kurang lebih pukul 23.00 tanggal 11 Maret 1942 pertempuran<br />

pecah di Jembatan Lam Nyong di Kutaraja dan rakyat Aceh<br />

memukul mundur pasukan Belanda. Kurang lebih pukul 02.00 pagi<br />

tanggal 12 Maret tembak-menembak pecah antara agen F. Kikan dan<br />

para serdadu Belanda ketika yang tersebut belakangan membakar depot<br />

mi<strong>nyak</strong> di bandar udara Lhok Nga dan agen F. Kikan mencoba untuk<br />

tetap membiarkan pangkalan udara itu utuh. Akhirnya pukul 04.00<br />

pagi beberapa ribu anggota F. Kikan mengarus masuk ke Kutaraja<br />

disertai sorak-sorai riuh, menyerang gedung dan barak pemerintah, di<br />

sana mereka terlibat dalam pertempuran sengit dengan musuh. Selama<br />

kekacauan dalam pertempuran sengit ini, pasukan Jepang memasuki<br />

Kutaraja pada pukul 07.00 pagi dan menerima sambutan riuh rendah<br />

dari rakyat yang meneriaki "Banzai". Benar-benar pandangan yang<br />

dramatis. Demikian ulasan Letjen Fujiwara Iwaichi.<br />

102<br />

Penerbit: Pustaka Sinar Harapan<br />

Jakarta, 1988


VII. ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG<br />

Sesudah berkuasa di Indonesia, Jepang berusaha mengambil<br />

hati rakyat Indonesia, dengan mengatakan bahwa kedatangan mereka<br />

ke Indonesia adalah untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari<br />

penindasan bangsa kulit putih. Jepang akan membentuk daerah kemakmuran<br />

bersama Asia Timur Raya. Solidaritas Asia menentang<br />

Barat di bawah hegemoni Jepang merupakan suatu ide yang bagaimanapun<br />

akan memancing sambutan lunak dari orang Indonesia. Pemimpin<br />

Indonesia yang diasingkan oleh pemerintah Hindia Belanda<br />

seperti Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta dibebaskan kembali oleh<br />

Jepang. Buat sementara Jepang membentuk pemerintahan militer,<br />

yang membagi Indonesia menjadi 3 daerah kekuasaan pemerintahan<br />

militer.<br />

— Sumatera dikuasai oleh tentara ke-25, dengan Bukittinggi sebagai<br />

pusat.<br />

— Jawa dikuasai oleh tentara ke-16 dengan Jakarta sebagai pusat.<br />

— Indonesia Timur dan Kalimantan menjadi daerah kekuasaan<br />

Angkatan Laut Jepang dengan Makasar (Ujung Pandang) sebagai<br />

pusat."<br />

Sistem pemerintahan Hindia Belanda terus dilanjutkan. Pulau<br />

Sumatera dibagi menjadi 9 keresidenan. Tiap-tiap daerah keresidenan<br />

1) Sejarah Nasional Indonesia VI.<br />

103


diberi pemerintahan sendiri-sendiri yang diperintah oleh seorang<br />

Residen (Shu Cokang). Aceh dijadikan satu karesidenan yang diperintah<br />

seorang Residen.<br />

Teuku Nyak Arif diangkat oleh pemerintah militer Jepang sebagai<br />

penasehat pemerintah militer daerah Aceh. Bahkan pada zaman<br />

permulaan pendudukan Jepang, Teuku Nyak Arif diangkat sebagai<br />

penasehat terkemuka, karena pemerintah Jepang sudah mengetahui<br />

bahwa ia adalah pemimpin terkemuka di Aceh. 2)<br />

Sebenarnya Teuku Nyak Arif telah melihat bahaya yang akan<br />

timbul akibat penjajahan Jepang ini. Tetapi walaupun begitu jalan<br />

satu-satunya untuk menyelamatkan rakyat adalah menerima kerja<br />

sama dengan Jepang. Ia tidak pernah bekerja sungguh-sungguh<br />

dengan Jepang, sebaliknya pemerintah Jepang betul-betul mengharapkan<br />

bantuan dari Teuku Nyak Arif. Sebagai pemimpin terkemuka di<br />

Aceh, beliau diangkat sebagai Gunco di Kutaraja, Teuku Panglima<br />

Polim sebagai Gunco di Seulimeum dan Teuku Hasan Dik menjadi<br />

Gunco di Sigli.<br />

Sebagai manifestasi dari ketidaksenangan Teuku Nyak Arif terhadap<br />

Jepang ialah ucapannya sebagai berikut: Kita usir anjing,<br />

datang babi. Babi lebih. jahat dari anjing, penjajahan Jepang lebih<br />

jahat dari penjajahan Belanda. Analisa Teuku Nyak Arif ini ternyata<br />

benar. Jepang yang pada mulanya datang sebagai sahabat, kemudian<br />

mengambil tempat Belanda yang lama sebagai penjajah. Akibat<br />

kekejaman tindakan Jepang, maka di Aceh pada tahun 1942 itu juga,<br />

belum lama sesudah Jepang datang timbullah pemberontakan yang<br />

dipimpin oleh Kiyai Muda yang bernama Tengku Abdul Jalil, seorang<br />

guru mengaji di Cot Pliing. Pada waktu itu keba<strong>nyak</strong>an Kiyai masih<br />

berpropaganda untuk Jepang. Pada tanggal 10 November 1942 tentara<br />

Jepang menyerang pertahanan di Cot Pliing, di mana rakyat sedang<br />

bersembahyang subuh. Senjata mereka adalah keiewang beserta senapan<br />

mesin rampasan dari Belanda. Serangan Jepang yang pertama<br />

terpukul mundur, sehingga mereka kembali ke Lhok Seumawe.<br />

2) A.J. Piekaar, Aljeh en de Oorlog Mei Japan, s'Gravenhage - Bandung, NV. Uitgeverij W. van<br />

104<br />

Hoeve, 1949, hal. 125.


Dalam serangan yang kedua pertempuran berkobar lagi, dan baru<br />

pada serangan ketiga masjid dibakar oleh Jepang. Tengku Jalil dapat<br />

meloloskan diri, tetapi akhirnya tertembak juga waktu sedang<br />

bersembahyang. Korban di pihak Jepang 90 orang dan di pihak Aceh<br />

lebih kurang 300 orang.<br />

Dengan adanya perlawanan rakyat Aceh, maka pemerintah<br />

Jepang lebih berhati-hati lagi dalam menjalankan pemerintahan di<br />

Aceh. Sabagian tuntutan rakyat Aceh dikabulkan oleh Pemerintah<br />

Jepang dengan mendapat keistimewaan dari daerah lain di Indonesia.<br />

Kepada Aceh diberikan tata hukum dan urusan agama tersendiri<br />

dengan diadakan kehakiman dan mahkamah agama serta Aceh Syurai.<br />

Keadaan ini sebenarnya belum dapat memuaskan rakyat Aceh, tetapi<br />

dibandingkan dengan di masa penjajahan Belanda, rakyat Aceh telah<br />

memperoleh kemajuan dalam perjuangannya. Kemajuan yang diperoleh<br />

ini adalah berkat jasa seorang pembesar Jepang yang mengerti<br />

tentang psikologi rakyat daerah itu dan kepentingan agama. Pembesar<br />

Jepang itu bernama E. Oki, pembentuk dan kepala kehakiman daerah<br />

Aceh pada waktu itu. Memang ba<strong>nyak</strong> jasa E. Oki bagi rakyat Aceh<br />

dalam menghadapi masa kepahitan, dan kebaikan pribadinya patut<br />

diingat dan dihargai oleh rakyat Aceh. 3)<br />

Setelah terjadi peristiwa ini, maka pemerintah Jepang lebih<br />

menyempurnakan aparatnya lagi. Untuk keperluan itu, maka dibentuk<br />

Aceh Syu Sangikai (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh). Yang<br />

dipilih mengetuai dewan ini adalah Teuku Nyak Arif. Jabatan ini<br />

dipegangnya dari tahun 1943-1945. Pada bulan Juli 1943 Teuku<br />

Nyak Arif sebagai ketua Aceh Syu Sangikai diundang oleh Jepang ke<br />

Tokyo. Juga ikut diundang Teuku Hasan Dik dan pcmimpin-pemimpin<br />

lain dari Pulau Sumatera. Jepang sengaja mengundang para<br />

pemimpin ini untuk memperlihatkan bagaimana hebatnya Jepang, dan<br />

meyakinkan mereka agar betul-betul mereka menyokong peperangan<br />

Asia Timur Raya.<br />

Wakil Sumatera yang dikirim ke Jepang itu berjumlah 15 orang<br />

yaitu:<br />

3) M. Junus Jamil, Gajah Putih, Lembaga Kebudayaan Aceh, Kularaja 1959, hal. 125.<br />

105


1. Teuku Nyak Arif, (Aceh),<br />

2. Teuku Hasan Dik (Aceh),<br />

3. Mr. Moh. Yusuf (Sumalera Timur),<br />

4. Zainuddin (Sumatera Timur),<br />

5. Moh. Syafei (Sumatera Barat),<br />

6. Datuk Majo Urang (Sumatera Barat),<br />

7. Syamsuddin (Riau),<br />

8. Abdul Manan (Jambi),<br />

9. Ir. Indra Cahaya (Bengkulu),<br />

10. Raden Hanan (Palembang),<br />

11. Abdul Rozak (Palembang),<br />

12. Moh. Sy<strong>arif</strong> (Bangka),<br />

13. Seorang tokoh (dari Lampung),<br />

14. St. Kumala Pontas (Tapanuli),<br />

15. RPNL Tobing (Tapanuli).<br />

Teuku Nyak Arif bersama-sama dengan wakil Sumatera yang dikirim ke Jepang dan beb<br />

orang Indonesia di Singapura pada tanggal 20-7-1943.<br />

106


Sebagai pemimpin rombongan ialah seorang Jepang yang bernama<br />

Sato dan sebelumnya telah lama tinggal di Kutaraja sebagai<br />

wiraswasta. Rombongan kemudian diberangkatkan ke Singapura.<br />

Selama 10 hari di Singapura mereka selalu menerima indoktrinasi<br />

dalam rangka kemakmuran bersama Asia Timur Raya. Di samping<br />

pemimpin rombongan seorang Jepang, juga ditetapkan Teuku Hasan<br />

Dik sebagai ketua dan Teuku Nyak Arif sebagai wakil ketua. 4)<br />

Selama rombongan menginap di Singapura, mereka juga<br />

mendapat kunjungan dari anak-anak Sumatera yang tinggal di kota<br />

itu. Di antara pemuda itu terdapat seorang pemuda yang bernama M.<br />

Rasyid Manggis. Menurut M. Rasyid Manggis Teuku Nyak Arif dan<br />

Teuku Hasan Dik selalu memencilkan diri. Wajah mereka kelihatan<br />

muram, seolah-olah ada sesuatu yang berlawanan dengan rasa dan<br />

pikiran mereka. Bahkan Teuku Nyak Arif pernah mengatakan kepada<br />

M. Rasyid Manggis, bahwa tidak ada yang akan dijemput dari Jepang,<br />

Kebudayaan kita cukup tinggi dan budi bahasa kita cukup halus. Dari<br />

perkataan Teuku Nyak Arif yang tegas dan sinar matanya yang tajam<br />

dapat ditangkap bahwa ia kurang senang kepada Jepang. Ketika dilakukan<br />

serah terima rombongan dari tentara yang mengantar dan<br />

tentara yang akan membawa rombongan ke Jepang, Teuku Nyak Arif<br />

dan Teuku Hasan Dik belum datang juga, sedangkan anggota rombongan<br />

yang lain telah lengkap hadir. Setelah dijemput barulah tokoh<br />

itu turun ke loby hotel untuk mendapatkan pesan terakhir sebelum<br />

melanjutkan perjalanannya ke Tokyo. 5)<br />

Perjalanan dari Singapura ke Jepang berlangsung selama 12 hari.<br />

Sesampai di Tokyo rombongan langsung disambut oleh petugas-petugas<br />

kemiliteran. Rombongan kemudian dibawa ke Istana Kaisar<br />

Tennoheika. Ketika rombongan diperintahkan untuk Saekere (memberi<br />

hormat rukuk), Teuku Nyak Arif dan Teuku Hasan Dik menolak.<br />

Mereka mengatakan bahwa mereka hanya bersedia menyembah<br />

4) RPNLTobing,Kenang-kenangandari Perjalanan Ulusan Sumalera ké Jepang, Medan 1974,<br />

hal. 1.'<br />

5) M. rasyid Manggis, Almarhum TeukuNyakArifSepertiyang saya kenal, Bukitünggi 1975, hal.<br />

2<br />

107


Tuhan. Akibat sikap Teuku Nyak Arif ini, maka timbullah ketegangan<br />

antara rombongan dan pembesar Jepang.<br />

Tetapi Tuan Sato, pemimpin rombongan dan juru bicara yang<br />

telah mengerti soal agama di Indonesia, minta kepada rombongan<br />

supaya mengangguk saja, dan cara ini disetujui oleh seluruh rombongan.<br />

Semenjak itu kepada rombongan tidak pernah lagi diminta<br />

melakukan Saekere. Rombongan juga dijamu oleh Perdana Menteri<br />

Jepang Tojo Hideki. Di dalam kata sambutannya Tojo Hideki mengatakan<br />

tentang Perang Asia Timur Raya. Ketua rombongan Teuku<br />

Hasan Dik dalam pidato balasannya mengatakan bahwa sesudah<br />

perang, Indonesia harus dilepaskan oleh Jepang, dan tentara Jepang<br />

yang bertugas di Indonesia hendaknya dipilih mereka yang mempunyai<br />

akhlak yang baik.<br />

Dalam setiap kesempatan berpidato pembesar Jepang selalu berusaha<br />

memisahkan Pulau Jawa dari Sumatera. Tetapi sebaliknya<br />

Teuku Nyak Arif dan Teuku Hasan Dik selalu menekankan, bahwa<br />

Indonesia bukan Sumatera saja. Sebagai bukti bahwa Jepang ingin<br />

memisahkan Sumatera dari Jawa ialah rombongan Sumatera dan<br />

rombongan Jawa tidak boleh bertemu di Jepang. Rombongan Jawa<br />

juga terdiri dari tokoh politik terkemuka seperti Parada Harahap d?r-<br />

Sutarjo.<br />

Di setiap kunjungan resmi Teuku Hasan Dik sering digantikan<br />

oleh Teuku Nyak Arif, karena reumatiknya sering kambuh. Dalam<br />

setiap pidato Teuku Nyak Arif semua orang Jepang yang hadir selalu<br />

merah mukanya, sebab dari gerakan dan cara ucapan Teuku Nyak<br />

Arif dapat ditangkap bahwa ia benei kepada Jepang. Selama di Tokyo<br />

Teuku Nyak Arif juga dijamu oleh kenalannya orang Jepang untuk<br />

makan di rumahnya. Menjelang meninggalkan Tokyo, rombongan<br />

dijamu oleh Walikota Tokyo. Karena berasnya bagus maka Teuku<br />

Nyak Arif secara berkelakar mengatakan bahwa beras ini berasal dari<br />

Aceh.<br />

Keadaan di Tokyo pada waktu itu sering tidak aman, karena<br />

kota itu sering diserang oleh pesawat terbang Amerika. Pada waktu<br />

itu telah tersiar berita bahwa Italia telah menyerah kepada Sekutu.<br />

108


Kapal-kapal bcsar telah dipergunakan Jepang untuk berperang, sehingga<br />

anggota rombongan hanya dibawa dengan kapal kecil. Ternyata<br />

kapal kecil ini membawa rombongan dengan selamat sampai ke<br />

Indonesia, karena kapal besar selalu diserang oleh Sekutu. Perjalanan<br />

dari Jepang sampai di Singapura memakan waktu 42 hari. Setelah<br />

berada satu minggu di Singapura rombongan pulang ke daerah masing-masing<br />

dengan pesan agar menceritakan yang baik-baik saja<br />

tentang Jepang yang mereka lihat. Teuku Nyak Arif pulang melalui<br />

Pekan Baru, Bukittinggi, Tapanuli, Sumatera Timur dan terus ke Aceh<br />

bersama Teuku Hasan Dik.<br />

Sekembali dari Tokyo Teuku Nyak Arif dan Teuku Hasan Dik<br />

disuruh Jepang berpidato di depan masjid raya Kutaraja. Mereka<br />

diperintahkan mengemukakan kesan-kesannya selama di Tokyo.<br />

Kedua pemimpin itu terpaksa mengemukakan kepada rakyat bahwa<br />

Jepang itu hebat, berkuasa dan kuat, tetapi walaupun begitu dari yang<br />

tdrsirat dari pidato itu dapat ditangkap, bahwa kedua pemimpin itu<br />

mlengejck Jepang. Bahkan Teuku Hasan Dik pemah mengatakan,<br />

bahwa Jepang yang di negcrinya adalah orang baik-baik, sedangkan<br />

orang Jepang yang di Indonesia adalah orang Jepang yang jahat dan<br />

jelek. Akibat ucapannya itu maka Teuku Hasan Dik kemudian ditangkap<br />

dan dibunuh oleh Jepang.<br />

Sesudah kawan seperjuangannya dibunuh Jepang maka Teuku<br />

Nyak Arif semakin tidak senang kepada Jepang. Pada suatu saat yang<br />

tepat Jepang harus dilawan dan dihancurkan. Sebagai pejabat Pemerintah<br />

Jepang, Teuku Nyak Arif juga sering berkeliling daerah Aceh,<br />

seperti ke Aceh Barat dan Aceh Selatan. Dalam salah satu tugas di<br />

Aceh Barat bersama-sama dengan Tengku Ismail Jacob, Teuku Nyak<br />

Arif pernah mengatakan kepada Tengku Ismail Jacob sebagai berikut:<br />

"Kita harus mempergunakan apa saja dari Jepang untuk m.encapai<br />

kemerdekaan Indonesia. Kita harus menganjurkan kepada<br />

rakyat untuk belajar berperang dan menanamkan semangat anti<br />

penjajahan. Jepang pasti akan kalah dalarn perang Pasific ini, dan<br />

Belanda pasti akan kembali ke Indonesia. Pada waktu itulah kita<br />

pakai ilmu yang telah kita pelajari mengenai berperang dan lain-lain.<br />

Sekarang inilah kesempatan yang paling baik, dan kesempatan lain<br />

109


sudah tidak ada lagi. Pakailah ilmu yang sudah kita pelajari untuk<br />

melawan Belanda yang ingin kembali. Persatuan Indonesia harus<br />

diperkokoh, Jawa tidak dapat berjuang sendiri, demikian pula pulaupulau<br />

lain di Indonesia." 6)<br />

Teuku Nyak Arif selalu memperhatikan kepentingan rakyat,<br />

walaupun dilahirkan sebagai keturunan bangsawan. Ia tidak pemah<br />

bersifat sebagai seorang feodal. Teuku Nyak Arif hidup di tengahtengah<br />

rakyat dan bergaul dengan mereka.<br />

Dalam zaman pendudukan Jepang kehidupan rakyat sangat<br />

parah. Rakyat dipaksa bergotong-royong, tetapi hasil mereka diambil<br />

secara paksa oleh Jepang. Melihat keadaan ini Teuku Nyak Arif<br />

selalu tampil ke depan membcla kepentingan rakyat. Dalam keba<strong>nyak</strong>an<br />

pidatonya ia selalu mcngecam polisi militer Jepang, begitu<br />

juga Residen dan pegawai sipil Jepang lainnya. Ia selalu marah-marah<br />

karena Jepang membayar harga padi rakyat terlalu murah. Kalau ada<br />

kesulitan, rakyat selalu datang kepada Teuku Nyak Arif untuk mengadu.<br />

7<br />

)<br />

Organisasi Muhammadiyah yang dibantunya semenjak zaman<br />

Hindia Belanda, tetap dibantunya dengan sekuat tenaga. Pada waktu<br />

itu rumah anak yatim Muhammadiyah akan dipakai oleh Jepang<br />

sebagai asrama. Pemimpin Muhammadiyah telah berusaha menghubungi<br />

pembesar Jepang agar maksud itu jangan diteruskan, akan<br />

tetapi perminlaan itu tidak digubris oleh Jepang. Sctclah mencmui<br />

kesulitan, maka pemimpin Muhammadiyah datang mencmui Teuku<br />

Nyak Arif minta bantuan untuk menyclcsaikannya. Teuku Nyak Arif<br />

langsung mencmui pembesar Jepang dan memaksa Jepang mcmbatalkan<br />

rencananya itu. Kalau Pemerintah Jepang meneruskan juga<br />

maksudnya, keselamatannya tidak akan terjamin Karena ancaman<br />

Teuku Nyak Arif maka pcmérintah Jepang tidak jadi meneruskan<br />

6) Wawancara dengan Ismail Jacob, Scmarang, 8 Maret 1974.<br />

7) HM. Zainuddin, Srikandi Aceh, Pustaka Iskandar Muda, Medan 1966, hal. 3.<br />

110


maksudnya. Selamatlah asrama anak yatim Muhammadiyah dari<br />

nafsu serakah Jepang itu. 8)<br />

Dalam pada itu kehidupan rakyat makin sengsara, karena Jepang<br />

bertindak semakin kejam. Harapan untuk menang dalam Perang<br />

Pasific semakin tipis. Rakyat harus dikerahkan untuk ikut mempertahankan<br />

kehidupan Jepang di Indonesia. Karena tidak tahan melihat<br />

penderitaan rakyat, maka pada bulan November 1944 meiedak pemberontakan<br />

Gyugun yang dipimpin oleh seorang perwira yang bernama<br />

Teuku Hamid. Ia baru berumur 20 tahun dan berasal dari<br />

Meureudu. Teuku Hamid melarikan 2 peleton Gyugun ke gunung. Ia<br />

kemudian terpaksa menyerah karena keluarganya diancam akan dibunuh<br />

jika ia tidak kembali. Tidak lama kemudian menyusul pemberontakan<br />

Pandrah di kabupaten Bireuen yang dipimpin oleh seorang<br />

kepala kampung yang dibantu oleh satii regu Gyugun. Korban rakyat<br />

sangat besar dalam pemberontakan ini. Dari yang tertawan, 75%<br />

dibunuh oleh Jepang.<br />

Di daerah Aceh, kekuatan Jepang makin besar, karena waktu itu<br />

Aceh merupakan basis pertahanan terhadap Singapura dan Malaya,<br />

Nikobar, Andaman serta daratan India dan Birma. Jadi bagaimanapun<br />

besarnya pemberontakan waktu itu, pasti dapat ditindas oleh Jepang.<br />

Tetapi walaupun bagaimana pemberontakan itu telah menggambarkan<br />

semangat patriotik rakyat Aceh melawan Jepang.<br />

Pada tahun 1944 situasi Perang Pasific semakin tidak menguntungkan<br />

Jepang. Hampir di semua medan pertempuran Jepang<br />

mengalami kekalahan. Harapan untuk menang dalam Perang Pasific<br />

sudah tidak ada sama sekali. Bagi Jepang yang menjadi persoalan<br />

sekarang adalah bagaimana menyelamatkan Kepulauan Jepang asli<br />

dari pemboman Sekutu, dan penyerahan kepada Sekutu dengan cara<br />

yang tidak begitu memalukan bagi pemerintah Jepang. Rakyat di<br />

daerah jajahan seperti Indonesia harus diikutsertakan dalam lapangan<br />

politik dan militer. Dalam lapangan militer telah dibentuk Pasukan.<br />

8) Wawancara dengan Idham, Jakarta, 31 Juli 1974.<br />

111


Pembela Tanah Air (PETA), Gyugun dan Heiho. Dalam lapangan<br />

politik di Jawa telah dibentuk Jawa Hokokai (Kebaktian Rakyat)<br />

Jawa, yang anggota-anggotaya terdiri dari tokoh politik terkemuka.<br />

Di Sumatera juga dibentuk Sumatera Cuo Sangi In yang berpusat di<br />

Bukittinggi.<br />

Pada tahun 1944 Teuku Nyak Arif terpilih menjadi Wakil Ketua<br />

Sumatera Cuo Sangi In dan ketuanya Moh. Syafei. Teuku Nyak Arif<br />

yang telah berpengalaman di Volksraad dan Pergerakan Kebangsaan,<br />

memanfaatkan badan ini untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.<br />

Kerja sama dengan Jepang harus dimanfaatkan untuk kepentingan<br />

rakyat Indonesia baik militer maupun politik. Kesatuan dan<br />

persatuan harus ditingkatkan, dan perpecahan harus dihindarkan,<br />

demi tercapainya kemerdekaan Indonesia.<br />

Bukittinggi, 1945: Zaman menjelang berakhirnya dominasi militer Jepang di Sumatera. Foto<br />

ini adalah tokoh-tokoh Anggota Chuo Sangi In (semacam dewan perwakilan rakyat, tapi tidak<br />

dari hasil pilihan, melainkan angkatan). Di antara mereka lampak (baris depan, duduk) antara<br />

lain Moh. Sjafei, Mangaraja Suangkupon, Teuku Radjih Anwar, Sultan Siak, Adinegoro dan<br />

Teuku Nyak Arif. Di antara yang berdiri kelinatan (baris belakang No. 3 dari kanan Teuku Daud<br />

Beureuh).<br />

112


Untuk jelasnya baiklah dikutip pidato lengkap Teuku Nyak Arif<br />

dalam sidang Sumatera Cuo Sangi In pada bulan Marct 1945, dan<br />

catatan yang dibuat oleh Teuku Nyak Arif pada masa pendudukan<br />

Jepang. Salinan pidato itu direkam ke piringan hitam oleh studio<br />

Radio Bukittinggi.<br />

Para pendengar yang mulia!<br />

Sumatera Cuo Sangi In sudah dua hari berturut-turut membicarakan<br />

soal-soal yang mengenai kepentingan rakyat Indonesia di<br />

seluruh Kepulauan Sumatera ini. Langkah pertama yaitu mempersatukan<br />

daerah-daerah serta penduduknya telah tercapai. Dengan se gala<br />

kegembiraan kita dengar suara-suara yang membawa pikiran kita<br />

kembali ke zaman lampan, ke zaman waktu tanah air kita masih<br />

mempunyai kedaulatan sendiri. Sumatera Cuo Sangi In akan membawa<br />

kita bersama secepat mungkin ke arah yang kita ingini, dengan<br />

penghargaan dan bekerja sama seluruh penduduk Pulau Sumatera<br />

ini. Persatuan lahir batin yang kokoh dengan mempunyai tujuan yang<br />

tertentu yaitu INDONESIA MERDEKA haruslah menjadi tujuan hidup<br />

kita bersama. Kemerdekaan akan tercapai dengan berbagai-bagai<br />

pengorbanan, pengorbanan dan pertahanan yang sempurna hanya<br />

dapat dilaksanakan oleh rakyat yang segar dan sehat.<br />

Oleh sebab itu terdengarlah dalam gedung Sumatera Cuo Sangi<br />

In suara-suara yang meminta supaya makanan, kesehatan dan kepentingan<br />

rakyat yang lain-lain supaya diperhatikan. Dalam perjuangan<br />

kita untuk meninggikan derajat bangsa, hendaklah sifat-sifat<br />

lama yaitu menjilat dan menjatuhkan kawan seperjuangan dibuang<br />

ke dalam Lautan Hindia. Untuk membatasi segala akibat peperangan,<br />

yaitu kesusahan hidup sehari-hari, marilah kita bersama-sama<br />

melakukan dengan taat dan setia tuntutan agama. Ingatlah selalu<br />

akan ayat Alquran, Wallahuma Syabirin, Allah mengasihi hamba-Nya<br />

yang sabar. Assalamualaikum Warahmatullah'.<br />

Pada setiap pidato di depan massa rakyat, Teuku Nyak Arif<br />

selalu dan terus-menerus menggembleng semangat rakyat untuk<br />

berjuang lebih hebat guna mcncapai kemerdekaan seluruh bangsa<br />

113


Indonesia. Kemerdekaan Indonesia harus direbut dengan tekad yang<br />

bulat dan persatuan yang kokoh. Dalam setiap pidatonya Teuku Nyak<br />

Arif tidak pemah menyinggung sedikit pun tentang pemerintahan Dai<br />

Nippon yang jaya akan menghadiahkan kemerdekaan kepada bangsa<br />

Indonesia. Sebaliknya ia mengajak seluruh rakyat menggalang persatuan<br />

yang kuat, bahu-membahu memperjuangkan sendiri kemerdekaan<br />

Indonesia. '<br />

Catatan: Dari Alm. TEUKU NYAK ARIF yang disalin menurut<br />

aslinya, dalam masa Jepang.<br />

1. Pemuda dan pemudi Indonesia hendaklah dengan sungguh-sungguh<br />

mempertinggi derajat tanah-airnya INDONESIA dengan<br />

jalan memelihara dan mempertinggi peradaban, bahasa dan<br />

kebudayaan sendiri. Hendaklah dengan keimanan yang teguh<br />

bertaqwa kepada Khalikul Alam yaitu Tuhan yang Satu. Dengan<br />

keyakinan yang tidak bergoncang, berbakti dan mencintai Negara<br />

dan Bangsamu INDONESIA yang akan MERDEKA. .<br />

2. a. Sebagai langkah pertama untuk persiapan Indonesia Merdeka<br />

hendaklah bangsa Indonesia diangkat dalam segala jabatan<br />

pemerintah.<br />

114<br />

b. Dalam masa peperangan ini hendaklah rakyat selamanya<br />

sanggup dan setia membantu pekerjaan pertahanan negeri.<br />

Untuk itu kesehatannya tetap terpelihara. Salah satu syarat<br />

untuk menjaga kesehatan ialah makanan jangan kurang. Cara<br />

mengumpul padi dan mengatur makanan rakyat hendaklah<br />

dijalankan dengan sempurna berdasarkan ilmu kesehatan.<br />

c. Supaya hasil barang bertambah janganlah rakyat yang<br />

sedang mengerjakan sawahnya disuruh pula pergi ke luar<br />

tempat tinggalnya melakukan kewajiban lain-lain.<br />

d. Untuk mencegah naiknya harga barang dalam satu Syu tidak<br />

perlu diadakan larangan membawa atau memasukkan barang-barang<br />

dari satu Gun ke Gun lain.


e. Usul-usul Sangikai yang telah disahkan oleh Cokang Kakka<br />

hendaklah dijalankan sebagai aturan pemerintah.<br />

f. Dalam Aceh Syu semua rakyat asli beragama Islam. Oleh<br />

sebab itu dalam tiap-tiap tindakan seperti membeli, meminjam<br />

dan mengambil hasil harta bumiputra lain-lain<br />

hendaklah berlaku secara hukum Islam.<br />

3. Aturan agama Islam dalam masyarakat hendaklah dihormati.<br />

4. a. Sebagai langkah pertama untuk persiapan Indonesia Merdeka<br />

hendaklah bangsa Indonesia diangkat dalam segala jabatan<br />

pemerintah.<br />

b. Pertukaran penyelidik antara Jawa dan Sumatera untuk persatuan<br />

Indonesia.<br />

5. Rusia Kontra Amerika-Inggris harapan Asia bersatu Indonesia<br />

Merdeka lebih besar.<br />

Catatan Teuku Nyak Arif pada zaman pendudukan Jepang, terutama<br />

dalam analisa, didasarkan kepada politik berdasarkan pengalaman<br />

selama zaman Hindia Belanda dan masa pendudukan Jepang.<br />

Pengalamannya ini makin diperkaya lagi dengan hasil peninjauannya<br />

ke Jepang bersama-sama dengan rombongan dari Sumatera. Lebihlebih<br />

pula pada masa itu telah tersiar kabar bahwa Italia telah menyerah<br />

kepada Sekutu. Dengan demikian Inggris tentu akan membagi<br />

armadanya sehingga front Asia akan diperkuat. Kekalahan Jepang<br />

dalam perang Pasific hanya menunggu waktu saja. *<br />

Sebagai wakil Cokang Kakka, Teuku Nyak Arif dalam tiap persidangan<br />

selalu berdebat dengan orang-orang Jepang. Dalam salah<br />

satu pertemuan Teuku Nyak Arif pernah menunjuk-nunjuk kepada<br />

orang Jepang yang menjadi Bushu-cho di Kutaraja yang duduk berhadapan<br />

dengan beliau. Teuku Nyak Arif mengatakan: Inilah Jepang<br />

pengkhianat yang membusukkan nama Jepang yang lain. Orang<br />

Jepang itu terus melompat dan menyentak pedangnya keluar untuk<br />

TEUKU NYAK ARIF-9 115


memancung Teuku Nyak Arif. Ia tidak gentar menghadapi ancaman<br />

itu, malahan menantang dengan kata-kata sebagai bcrikut: Ini pancung<br />

leherku kata Teuku Nyak Arif 'sambil membuka dadanya. Zaman<br />

Hindia Belanda tidak mati dengan pelor, dan zaman Jepang tidak<br />

akan mati dengan pedang. Tetapi orang Jepang yang mengancam itu<br />

terpaksa duduk kembali karena diperintahkan oleh Cokang Kakka<br />

yang memimpin persidangan itu. 9><br />

Dalam zaman pendudukan Jepang Teuku Nyak Arif pernah ditahan<br />

oleh Kempetai, tetapi segera dengan campur tangan Cokang<br />

dilepaskan. Faktor pengaruh Teuku Nyak Arif yang besar pada rakyat<br />

sangat dikhawatirkan oleh Cokang, akan dapat timbul hal-hal yang<br />

tidak diinginkan karena penangkapan tersebut. -<br />

Kemudian setelah diketahui bahwa Jepang telah menyerah kepada<br />

Sekutu, para pemimpin di Aceh sebagian besar belum bcrani<br />

bertindak terhadap Jepang, karena persenjataan Jepang masih lengkap<br />

dan kekuatan militernya masih utuh. Tetapi Teuku Nyak Arif adalah<br />

seorang pemimpin yang berani menghadapi Jepang. Ketika terjadi<br />

pertemuan di istana Cokang (sekarang rumah dinas Gubernur Aceh)<br />

telah terjadi perdebatan antara Cokang dengan Teuku Nyak Arif<br />

dengan nada suara keras dan tajam. Ada pun pembicaraan itu sebagai<br />

berikut:<br />

Cokang : Kami pembesar Nippon di Aceh melihat tanda-tanda<br />

kurang baik dari orang-orang Indonesia. Mereka sudah<br />

berani tidak patuh dan tidak hormat lagi kepada Nippon.<br />

Kelakuan itu tidak baik, sebab Nippon tetap berkuasa<br />

di sini walaupun sudah ada perjanjian perdamaian<br />

dengan Sekutu.<br />

T.N. Arif : Orang-orang Indonesia selalu menghormati orangorang<br />

Nippon, tetapi sebaliknya orang-orang Nippon<br />

selalu me<strong>nyak</strong>iti hati orang-orang Indonesia. Dengan<br />

adanya situasi sekarang mestinya orang-orang Jepang<br />

harus mengubah sikapnya dan jangan sewenangwenang<br />

saja.<br />

9) Abdullah Hussain, Terjebak, Pustaka Antara Kuala Lumpur 1965, hal. 375<br />

116


Cokang : Kami mendapat tugas dari sekutu untuk menjaga keamanan<br />

di sini.<br />

T.N. Arif : Menjaga keamanan itu baik. Tetapi mengganggu keamanan<br />

dengan sikap orang Jepang di sini tidak baik.<br />

Cokang : Apa maksud Tuan?<br />

T.N. Arif : Orang-orang Jepang masih suka berkeliaran tanpa<br />

menghargai orang-orang Indonesia.<br />

Cokang : Orang-orang Indonesia sudah berani membawa pisau<br />

dan senjata. Kami sebagai polisi Sekutu tidak senang<br />

akan hal itu. Mereka di mana-mana juga memakai<br />

tanda merah putih.<br />

T.N. Arif : Sebagai sama-sama orang Asia mestinya Tuan-tuan<br />

menghargai perjuangan kami.<br />

Cokang : Apa orang-orang di sini akan berontak pada orangorang<br />

Jepang?<br />

T.N. Arif : Tidak. Mereka tidak akan berontak kepada Nippon.<br />

Mereka hanya menghendaki kemerdekaan. Maka jangan<br />

diganggu.<br />

Cokang : Tuan sudah ba<strong>nyak</strong> bicara sekarang.<br />

T.N. Arif : Dulu saya juga ba<strong>nyak</strong> bicara.<br />

Cokang : Tetapi sekarang Tuan bicara keras.<br />

T.N. Arif- : Saya tidak bicara keras. Tetapi kalau Tuan mau bicara<br />

keras silakan, yang penting jangan sakiti hati rakyat<br />

Aceh. Sebab rakyat Aceh dapat berontak kapan saja.<br />

Pertemuan tersebut berlangsung dalam keadaan tegang, sebab<br />

kalangan Gunseikanbu tidak menduga akan keluar ucapan yang keras<br />

dari Teuku Nyak Arif.<br />

117


Vffl. AWAL KEMERDEKAAN<br />

Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang telah menyerah kepada<br />

Sekutu tanpa syarat. Bersamaan dengan kekalahan Jepang itu, Soekarno-Hatta<br />

telah kembali pula ke Jakarta sesudah menemui Marsekal<br />

Terauci di Saigon. Soekarno dan Hatta, sebagai pemimpin Indonesia<br />

terkemuka waktu itu segera mengadakan pertemuan dengan pemimpin<br />

Indonesia lainnya. Sesuai dengan rencana yang ditetapkan dan<br />

dipersiapkan dengan matang, maka pada tanggal 17 Agustus 1945 di<br />

Pegangsaan Timur No. 56 pukul 10.00 pagi diproklamasikan kemerdekaan<br />

Indonesia ke seluruh pelosok tanah air dan seluruh penjuru<br />

dunia.<br />

Kemerdekaan yang telah diproklamasikan itu harus dipertahankan.<br />

Aparat pemerintahan harus dilengkapi dan disempurnakan untuk<br />

dapat mengemban tugasnya dengan baik. Ir. Soekarno dan Drs. Moh.<br />

Hatta ditunjuk sebagai Presiden dan Wakil Presiden, kemudian mereka<br />

berdua segera membentuk kabinet presidentiil. Komite Nasional<br />

Indonesia Pusat (KNIP) juga dibentuk dan berfungsi sebagai DPR,<br />

sebelum terbentuknya DPR hasil pilihan rakyat. Pemuda segera<br />

membentuk Komite van Aksi di Menteng 31, yang bertujuan ikut<br />

mempertahankan kemerdekaan dari rongrongan kekuatan asing.<br />

Komite Van Aksi segera membentuk badan-badan perjuangan seperti<br />

Angkatan Pemuda Indonesia (API), Barisan Buruh Indonesia (BBI)<br />

dan Barisan Rakyat Indonesia. Di samping itu Pemerintah Republik<br />

Indonesia juga membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang<br />

118


anggotanya terdiri dari bekas PETA dan Heiho. BKR bersama-sama<br />

dengan badan perjuangan lainnya telah bertekad untuk mempertahankan<br />

kemerdekaan yang telah diproklamasikan itu. Berita proklamasi itu<br />

tidak segera sampai ke daerah-daerah, karena susahnya komunikasi,<br />

dan penyebaran berita itu juga dihalangi oleh Jepang. Daerah yang<br />

jauh dari pusat (Jakarta) terlambat pula menerima berita proklamasi.<br />

Begitu juga di daerah Aceh yang jauh dari Jakarta, berita proklamasi<br />

itu sangat lambat diterima.<br />

Mengenai kekalahan Jepang telah lebih dahulu diketahui di Aceh<br />

berkat jasa seorang pemuda yang bernama Abdullah. Abdullah adalah<br />

orang yang dipercaya oleh Kepala Kepolisian Jepang di Langsa,<br />

bahkan Abdullah dianggap sebagai spion Jepang oleh Jepang sendiri,<br />

walaupun dia bukan spion. Pada masa itu Abdullah mendengar radio<br />

kemudian menyampaikan berita itu kepada pemimpin Aceh di Kutaraja.<br />

Pemimpin Aceh yang ditemui oleh Abdullah ialah Teuku Nyak<br />

Arif, yang terkenal semenjak zaman Hindia Belanda dan zaman<br />

pendudukan Jepang. Teuku Nyak Arif sangat menghargai keberanian<br />

Abdullah dan kawan-kawannya. Ia mengucapkan terima kasih kepada<br />

pemuda itu.<br />

Dalam pada itu pemuda bekas perwira Gyu Gun berkumpul di<br />

salah satu kamar (Centraal Hotel) yang mereka jadikan sebagai<br />

markas. Tokoh-tokoh pemuda yang berkumpul itu adalah: Syamaun<br />

Gaharu, T. Hamid Azwar, Nyak Neh Rica, Said Usman, T. Sarong,<br />

Said Ali, Usman Nyak Gade dan lain-lain yang waktu itu sedang<br />

berada di Kutaraja. Hasil pertemuan itu adalah mengutus suatu delegasi<br />

yang terdiri dari Syamaun Gaharu dan T. Hamid Azwar untuk<br />

berkonsultasi dengan Teuku Nyak Arif. Dalam pertemuan itu Teuku<br />

Nyak Arif menganjurkan agar pemuda bekas Gyu Gun, Heiho, Hikojó<br />

tokubetsu, Kinutai Tokubetsu, Keisatsutai dan lain-lain berkumpul<br />

dalam suatu <strong>org</strong>anisasi untuk mempertahankan kemerdekaan negara<br />

yang telah diproklamasikan. Kemudian ia juga mcnyarankan agar<br />

bekas anggota KNIL diikutsertakan. Hasil konsultasi dengan Teuku<br />

Nyak Arif disampaikan oleh delegasi kepada kawan-kawan mereka.<br />

Mereka yang sudah tidak sabar menanti lagi mcnyambut delegasi itu<br />

dengan sambutan gemuruh dan pekik merdeka. Scmcntara itu pekik<br />

119


merdeka telah diperkenalkan kepada masyarakat luas, sehingga di<br />

mana-mana terdengarlah pekik itu yang diucapkan dengan bersemangat<br />

sambil mengangkat tangan yang dikepal.<br />

Teuku Nyak Arif mengadakah pertemuan besar di depan kantor<br />

kas negara. Dalam pertemuan itu ia mengucapkan pidato yang berapiapi.<br />

Teuku Nyak Arif mengatakan: kalau para pemimpin tidak berani<br />

bergerak dan bertindak, maka pemuda akan mengambil tindakan<br />

lebih dahulu. Setelah mendengar pidato Teuku Nyak Arif, maka<br />

seluruh rakyat bertekad untuk berjuang. Sebaliknya orang-orang<br />

Jepang yang waktu itu masih ada di Kutaraja (Banda Aceh) telah<br />

mulai mencium kegiatan Teuku Nyak Arif beserta pemimpin Aceh<br />

lainnya."<br />

Pada tanggal 21 Agustus 1945 Teuku Nyak Arif, Teuku<br />

Panglima Polim Mohd. Ali dan Tengku Daud Beureueh dipanggil<br />

oleh Cokang ke kantornya. Cokang S. lino menerangkan kepada<br />

pemimpin Aceh bahwa Jepang telah berdamai dengan Sekutu.<br />

Berita proklamasi kemudian diterima oleh pemuda Gazali dan<br />

Rajalis, diteruskan kepada Teuku Nyak Arif. Instruksi selanjutnya<br />

diterima melalui Radiogram dari Bukittinggi yang dikirim oleh<br />

Adinegoro. Teuku Nyak Arif memanggil tokoh penting sesudah raenerima<br />

berita itu. Di hadapan pemimpin-pemimpin Aceh ia menyatakan<br />

sumpah setia kepada Negara Republik Indonesia.<br />

Pada tanggal 28 Agustus 1945, Teuku Nyak Arif dipilih dan diangkat<br />

menjadi ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) daerah Aceh,<br />

dengan Tuanku Mahmud sebagai wakilnya. Untuk memikul biaya<br />

perjuangan yang semakin berat maka Teuku Nyak Arif telah menjual<br />

harta benda pribadinya, termasuk segala perhiasan emas milik istrinya,<br />

begitu juga Tuanku Mahmud. Selanjutnya Teuku Nyak Arif memerintahkan<br />

kepada Kepala Polisi Moh. Hasyim untuk menurunkan<br />

bendera Jepang di kantor pemerintah dan tempat lainnya, menggantinya<br />

dengan bendera kebangsaan Indonesia Merah Putih. 2)<br />

1) Abdullah Hussain, Perisiiwa, Puslaka Antara Kuala Lumpur 1965, hal. 85.<br />

2) H.M. Zainuddin, Srikandi Aceh, Pustaka Iskandar Muda, Medan, 1966, hal. 3<br />

120


Penaikan bendera Merah Putih yang dipimpin oleh Moh. Hasyim<br />

itu dilaksanakan pada tanggal 15 Agustus 1945 di kantor Kepolisian<br />

Aceh di Kutaraja (Banda Aceh). Upacara itu berlangsung tepat pukul<br />

11.00 dipimpin Kaibuho Malik dengan diikuti oleh beberapa pegawai<br />

polisi bangsa Indonesia yang ke luar dari Kantor Besar Kepolisian,<br />

seperti Moh. Hasyim, Saoni, Nyak Umar dan Teuku Abdullah Sani.<br />

Dengan terburu-buru Malik menurunkan bendera Hinomaru dari<br />

puncak tiang. Beberapa orang polisi dan orang Jepang sempat melihat<br />

peristiwa bersejarah ini. Mereka bermaksud untuk bertindak, tetapi<br />

setelah melihat kejadian itu dengan jelas, maka orang-orang Jepang<br />

itu membatalkan niatnya.<br />

Setelah bendera Merah Putih berkibar dengan megahnya, maka<br />

Moh. Hasyim memandang kepada seluruh hadirin dengan perasaan<br />

bangga. Kejadian ini kemudian diikuti oleh seluruh instansi yang<br />

berada di Kutaraja. Pada hari itu juga di Kutaraja diadakan rapat<br />

besar untuk membentuk Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dan<br />

Barisan Pemuda.<br />

Revolusi berjalan terus, rakyat Aceh yang terkenal heroik terhadap<br />

penjajahan Belanda dan Jepang, pada saat itu telah bertekad<br />

mempertahankan kemerdekaannya. Jalan revolusi harus dipimpin dan<br />

diarahkan. Untuk mengarahkannya aparat pemerintahan harus disempurnakan.<br />

Dalam rangka mengobarkan semangat perjuangan mempertahankan<br />

kemerdekaan, Teuku Nyak Arif pernah menodongkan pistol<br />

kepada Matsubuchi yang menghalang-halangi penaikan bendera Merah<br />

Putih. Bahkan ia dengan gagah berani memasang bendera Merah Putih<br />

di depan mobilnya, walaupun telah dilarang oleh pembesar Jepang".<br />

Bersama para pemimpin Aceh lainnya seperti Tengku Daud<br />

Beureueh, Tuanku Mahmud, Ali Hasymi dan Syamaun Gaharu,<br />

Teuku Nyak Arif menemui Cokang S. lino beserta stafhya. Dalam<br />

pertemuan itu Teuku Nyak Arif menuntut kepada pejabat Jepang itu<br />

untuk menyerahkan kekuasaan dan senjata kepada orang Indonesia.<br />

Sudah barang tentu tuntutan pemimpin Aceh ini tidak dikabulkan<br />

121


oleh Jepang, karena Jepang telah ditugaskan oleh Sekutu menjaga<br />

status-quo sampai Sekutu datang. Akibatnya terjadilah perebutan<br />

senjata oleh rakyat. Senjata-senjata Jepang jatuh bertebaran ke<br />

tangan para pejuang, tetapi sayang ba<strong>nyak</strong> di antara mereka yang<br />

tidak bisa menggunakan senjata api. 3)<br />

Perjuangan terus ditingkatkan aparatur terus disempurnakan<br />

untuk menjamin kesuksesannya revolusi. Walaupun hubungan dengan<br />

pusat tidak selancar seperti sekarang, tetapi garis yang ditetapkan<br />

oleh pusat sedapat mungkin dilaksanakan. Di Aceh juga dibentuk<br />

Angkatan Pemuda Indonesia (API) oleh Teuku Nyak Arif yang dikepalai<br />

oleh perwira Syamaun Gaharu. Setelah susunan API untuk<br />

seluruh Aceh disepakati maka atas anjuran Teuku Nyak Arif dikirimlah<br />

kurir menemui orang-orang penting, menyampaikan apa<br />

yang telah diputuskan dan melaksanakan putusan itu dengan penuh<br />

tanggung jawab, serta mempersiapkan segala sesuatu sambil menunggu<br />

perintah dan pengumuman selanjutnya.<br />

Rencana pertama yang dilaksanakan oleh API adalah menguasai<br />

percetakan Aceh, menduduki kantor pos dan stasiun kereta api. Ketiga<br />

sarana ini sangat penting dalam perjuangann di samping alat<br />

senjata. Perlucutan senjata dari Jepang berhasil dengan tekanan pengepungan<br />

rakyat. Senjata yang dioper itu berjumlah lebih kurang<br />

cukup untuk Satu resimen tim pertempuran. Di samping API berdiri<br />

pula Barisan Republik Indonesia (BRI), terutama atas usaha orangorang<br />

dari pusat. API kemudian dilebur menjadi TKR (Tentara<br />

Keamanan Rakyat).<br />

Segolongan pemuda lainnya, terutama dari PUSA mendirikan<br />

BPRI (Barisan Pemuda Republik Indonesia) yang antara lain dipimpin<br />

oleh Ali Hasymi. Dari BPRI ini kemudian muncul PESINDO.<br />

Bulan Oktober 1945 API menyiarkan maklumat yang mengganti<br />

kata pemuda dengan kata perang, sehingga API berarti Angkatan<br />

Perang Indonesia. Berdirilah markas daerah dengan pimpinan bekas<br />

3) Kemenlerian Penerangan, Lukisan Revolusi Indonesia, Jakarta, 1974, hal. 55.<br />

122


Cui Syamaun Gaharu dan wakil-wakil markas daerah di kabupatenkabupaten,<br />

yang memimpin batalyon masing-masing. Tanggal 12<br />

Oktober 1945 dilakukan pelantikan pimpinannya di seluruh Aceh. -<br />

Pihak Jepang terkejut, Cokang bersama para pembesar sipil dan<br />

militernya, mengundang pemimpin Indonesia. Jepang menegaskan<br />

bahwa mereka masih bertanggung jawab dan memegang pemerintahan.<br />

Mereka menuntut pembubaran API dan <strong>org</strong>anisasi-<strong>org</strong>anisasi lain<br />

yang menyerupai ketentaraan. Teuku Nyak Arif menolak semuanya<br />

itu dan menyatakan bahwa Republik Indonesia telah berdiri. Suasana<br />

pertemuan menjadi genting dan akhirnya bubar dengan tiada hasil<br />

apa-apa.<br />

Pihak Republik terus beraksi merebut kekuasaan sipil sepenuhnya,<br />

kemudian melakukan perlucutan senjata seperti di Lhok Nga,<br />

Seuümeum, Sigli, Lam Meulo, Bireuen dan Langsa. Perlucutan senjata<br />

Jepang di Aceh sebagian besar berrlasil dan senjata yang diperoleh<br />

berjumlah besar, ditaksir sebesar persenjataan yang cukup untuk 1<br />

atau 2 resimen sampai divisi yang kecil. Memang Jepang telah<br />

membentuk kekuatan yang besar di daerah ini untuk menghadapi<br />

serbuan Inggris yang ditunggu-tunggu akan terjadi dalam bulan<br />

September 1945. Dalam suatu parade TKR di Kutaraja kemudian<br />

antara lain terlihat satu resimen yang lengkap peralatannya.<br />

Perlucutan dibagi dalam dua usaha. Syamaun Gaharu memimpin<br />

perlucutan pasukan Jepang secara besar-besaran dan Said<br />

Usman mengatur perlucutan yang kecil-kecil dan mengumpulkan atau<br />

membeli dari rakyat senjata yang telah diperolehnya. Cara melucuti<br />

itu dilaksanakan seperti yang lazim di daerah-daerah lain, yakni<br />

dengan menggerakkan rakyat mengintimidasi Jepang atau berdiplomasi<br />

dengan tekanan keras oleh pemimpin API, sehingga Jepang<br />

yang telah lumpuh moralnya itu akhirnya mengalah. Penyerahan<br />

senjata dilakukan dengan perantaraan cokang lalu membagikannya<br />

kepada API dan Polisi Istimewa. Permintaan pemimpin PUSA agar<br />

para mujahidinnya mendapat bagian, ditolak karena mereka bukan<br />

tentara resmi.<br />

Demikianlah di ibukota Aceh berhasil dioper 600 pucuk, di<br />

Sigli 200 pucuk, di Seulimeum 180 pucuk beserta 3 gudang amunisi<br />

123


dan meriam-meriam parit. Daitai Lhok Seumawe menyerahkan 600<br />

pucuk pula. Ada pula terjadi beberapa kali pertempuran untuk<br />

merampas senjata, terutama dari pasukan-pasukan Jepang yang dihadang<br />

oleh pihak Indonesia ketika mereka sedang dalam perjalanan.<br />

Markas API mensinyalir gerakan pemindahan senjata oleh<br />

Jepang, lalu mengatur penyerbuannya. Dekat Lhok Seumawe, di<br />

Peukan Cunda direbut 60 pucuk senjata. Akan tetapi pertempuran<br />

diakhiri sebelum seluruh pasukan dapat dilucuti, karena bantuan<br />

mereka datang.<br />

Pertempuran penghadangan di dekat Krueng Panjo berlangsung<br />

dua hari. Dua cutai Jepang dengan seluruh persenjataannya terpaksa<br />

menyerah kepada API. Perlucutan di Meulaboh, Langsa, dan Lhok<br />

Nga gagal, walaupun di pihak Indonesia sudah ada yang gugur, antara<br />

lain bekas cui Razali di Meulaboh, karena dilakukan secara kurang<br />

bijaksana dan tergesa-gesa.<br />

Perlucutan di Sigli pun gagal, yang kemudian bersambung<br />

menjadi Perang Cumbok dan revolusi sosial di Aceh. Utusan markas<br />

umum, Bakhtiar Idham dan T. Abdullah, karena perlu mengerahkan<br />

massa, terpaksa menguraikan kepada rakyat tentang ikhtiar perlucutan.<br />

Pihak uleebalang juga berusaha memperoleh senjata, tetapi<br />

pihak PUSA dan rakyat pun berupaya supaya senjata jangan jatuh ke<br />

tangan kaum bangsawan. Melihat keadaan demikian, maka Jepang<br />

hanya bersedia berurusan dengan tentara Republik yang resmi.<br />

Pasukan uleebalang mulai bergerak ke dalam kota dan pihak<br />

lawannya bergerak pula. Suasana antara kedua belah pihak sudah<br />

teramat genting. Syamaun Gaharu terpaksa datang sendiri dari Kutaraja.<br />

Sesudah mengadakan perundingan yang memakan waktu lama<br />

dengan butaico, maka tercapai persetujuan, bahwa Jepang akan<br />

menyerahkan semua senjata kepada TKR, yang akan mengangkutnya<br />

ke Kutaraja supaya jangan terjadi saling berebut di Sigli. Semua<br />

orang Jepang akan diangkut pula ke ibukota dan keamanannya dijamin<br />

oleh TKR.<br />

Maka dimulailah penyelenggaraan apa yang telah disetujui itu.<br />

Tetapi tiba-tiba masuk barisan rakyat ke dalam kota dari arah Pidie<br />

124


dan Bambi dengan senjata klewang, tombak, dan rcncong sambil<br />

berzikir. Kepala TKR menahan mereka itu dan menjelaskan bahwa<br />

sudah ada persetujuan dari pihak Jepang dan tak perlu lagi diadakan<br />

perundingan. Sementara ia memberikan penjelasan itu, terdengarlah<br />

tembakan yang dilepaskan dari rumah T. Pakeh Suliman ke arah<br />

rakyat. Dengan segera berkobarlah tembak-menembak di seluruh kota<br />

yang sedang dalam suasana genting itu. Pengawal TKR tidak berdaya<br />

menguasai keadaan.<br />

Syamaun Gaharu meninggalkan kota Sigli, mula-mula dengan<br />

maksud mengambil balabantuan dari Kutaraja, tetapi di Padangtiji<br />

soal bantuan itu dapat diurusnya melalui telepon. Kepada seorang<br />

ulama di tempat itu ia berjanji pada esok harinya akan masuk kota<br />

mengikhtiarkan penghentian pertempuran.<br />

Pada esok harinya ia berangkat dengan komandan Padangtiji<br />

melalui Garot ke Sigli, sekalian membawa makanan dalam mobil<br />

untuk anak buahnya. Di Garot mereka ditahan oleh rakyat, yang<br />

menuduhnya sebagai pihak yang menahan rakyat pada hari yang lalu<br />

dan yang memberi isyarat menembak ke arah rakyat. Menurut<br />

Syamaun Gaharu sendiri, isyarat itu justru ditujukan kepada pengawal<br />

TKR supaya jangan menembak sesudah terjadi tembakan dari dalam<br />

rumah.<br />

Komandan TKR itu ditawan oleh rakyat dengan maksud untuk<br />

membunuhnya malam hari. Syukur baginya, muneul Teuku<br />

Abdurachman Peusangan, Wakil Ketua PUSA, yang merupakan<br />

penolong baginya, sebab kemudian ia dibebaskan.<br />

Pada pertempuran hari kedua datanglah pasukan dari Kutaraja.<br />

Juga Gubernur Hassan datang dari Bireuen, dikawal oleh TKR. Pertempuran<br />

dapat dihentikan. Barisan uleebalang dan barisan rakyat<br />

disuruh pulang ke tempat masing-masing. Untuk selanjutnya TKR<br />

dan Polisilah yang mengawal kota. Akan tetapi Jepang tidak jadi<br />

menyerahkan senjatanya.<br />

Pasukan-pasukan Jepang di lapangan Blang Bintang, Lhok Nga,<br />

dan butai Kutaraja tidak sempat dilucuti, karena mereka berkumpul di<br />

Ulee Lheue. Mereka mengadakan serangan dan penggrebegan ke<br />

125


Kutaraja serta menawan perwira-perwira yang sedang rapat, antara<br />

lain Syamaun Gaharu dan Komandan resimen TM.Syah, Teuku Nyak<br />

Arif kemudian berhasil membebaskan mereka setelah menyampaikan<br />

ultimatum kepada Komandan tentara Jepang di Ulee Lhene.<br />

Kemudian datang lagi delegasi Jepang ke Aceh bersama Gubernur<br />

Hassan. Kolonel Omura, pemimpin delegasi itu, menuntut pengembalian<br />

semua senjata Jepang, yang dengan sendirinya ditolak<br />

oleh pihak Indonesia. Delegasi pulang ke Medan dengan sia-sia.<br />

Tetapi kemudian mereka mengirimkan ekspedisi lagi atas tekanan<br />

pihak Sekutu yang tiba-tiba mendekati Langsa. Segera TKR mengirim<br />

satu pekton untuk mengintai, tetapi 5 km dari kota, peleton ini<br />

berhadapan dengan ekspedisi Jepang tersebut, sehingga terjadilah<br />

pertempuran sengit. Peleton itu hancur, semuanya gugur, kecuali<br />

seorang kurir. Komandannya Peutua Husin juga tidak kembali. Segera<br />

komandan resimen, Mayor Bakhtiar datang dengan satu kompi,<br />

tetapi ia pun luka dan pasukannya pecah. Jepang berhasil menduduki<br />

kota Langsa. 5)<br />

Melihat kejadian ini, maka dari daerah lain seperti Lhok<br />

Seumawe, Takengon, Bireuen, dan Kutaraja datang pasukan. Turut<br />

dalam pasukan ini Teuku Nyak Arif. Jepang terpaksa mengundurkan<br />

diri ke Kualasimpang, di seberang Sungai Tamiang. Sejak itu tidak<br />

ada lagi usaha Jepang dan Sekutu untuk melucuti kembali senjata<br />

yang sudah ada di tangan Indonesia.<br />

Tanggal 25 Oktober 1945 pemerintah Indonesia di Jakarta<br />

mengumumkan melalui radio pengangkatan resmi kepala-kepala<br />

daerah di Sumatera, yang antara lain berbunyi sebagai berikut:<br />

Sementara menunggu pengesahan dari Presiden RI:<br />

I. Dengan surat ketetapan Gubernur Sumatera tanggal 3 Oktober<br />

1945 No. 1-x telah diangkat sebagai Residen daerah:<br />

1. Aceh - Teuku Nyak Arif<br />

2. Sumatera Timur - Mr. Mohammad Yusuf<br />

3. Tapanuli - Dr. F. Lumban Tobing<br />

5) A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Angkasa, Bandung, 1977, hal. 40<br />

126


4. Sumatera Barat - Mohammad Syafei<br />

5. Bengkulu - Ir. Indracaya<br />

6. Jambi - Dr. A. Syagar<br />

7. Palembang - Dr. A.K. Gani<br />

8. Lampung - Mr. Abdul Abas<br />

9. Bangka-Biliton - Masy<strong>arif</strong><br />

II. Dengan surat keputusan Gubernur Sumatera tertanggal 3 Oktober<br />

1945 No. 2-x telah diangkat sebagai Residen yang diperbantukan<br />

pada Gubernur Sumatera: Teuku Hasan; sebagai Sekretaris<br />

Gubernur Sumatera: Mas Tahir; sebagai pegawai tinggi diperbantukan<br />

pada Gubernur Sumatera:<br />

1. Maharaja Suangkupon<br />

2. Dr. Raden Pimgadi<br />

3. Mr. Teuku Mohammad Hanafiah<br />

4. Abu Bakar<br />

5. Raden Mohammad Amrin<br />

6. Tengku Abdul Hamid<br />

7. Abdul Xarim M.S. •<br />

8. Dr. Sahir.<br />

III. Dengan surat ketetapan Gubernur Sumatera tertanggal 3 Oktober<br />

1945 No. 3-x telah diangkat sebagai Walikota:<br />

Medan - Mr. Luat Siregar<br />

Bukittinggi - Bermawi<br />

Padang - Dr. Hakim<br />

Palembang - Ir. Ibrahim. 6<br />

'<br />

6) Ibid., hal. 410.<br />

127


IX. RESIDEN ACEH<br />

Pada bulan Oktober 1945 tiba di Kutaraja utusan Sekutu yang<br />

bernama Mayor Knottenbelt untuk membicarakan pendaratan Sekutu<br />

di Aceh guna melucuti senjata Jepang dan mengurus para tawanan<br />

perang. Residcn Teuku Nyak Arif menolak rencana Sekutu ini. Ia<br />

berjanji akan mengatur pemulangan tentara Jepang dengan sebaikbaiknya.<br />

Dalam pertemuan yang kedua kalinya yang diadakan di<br />

suatu tempat di antara Binja. - Medan antara Teuku Nyak Arif<br />

dengan pucuk pimpinan Sekutu di Sumatera Utara, Brigjen T.E.D.<br />

Kelly dan Kepala Kempctai Jepang, Teuku Nyak Arif tetap menolak<br />

rencana Sekutu.<br />

Walaupun perundingan dengan pihak Sekutu tidak mencapai<br />

hasil, namun menjelang penutup tahun 1945 semua tentara Jepang<br />

telah ditarik dari Aceh ke Sumatera Timur, kecuali batalyon yang<br />

berada di Kuala Simpang yang datang dari Sumatera Timur kembali<br />

untuk memutuskan hubungan Aceh dengan Sumatera Timur. Dikhawatirkan<br />

juga peristiwa di Aceh akan menjalar ke Sumatera<br />

Timur.<br />

Mayor Knottenbelt dari Suprème Allied Commander South-East<br />

Asia (SACSEA) yang sewaktu berada di Kutaraja bertemu dengan<br />

Teuku Nyak Arif, menulis sebagai berkut:<br />

Saya pernah ditemui oleh pembesar anak negeri yang bernama<br />

Nyak Arif, yang oleh Sukarno telah diangkat menjadi Residen Aceh.<br />

Kunjungannya itu berlangsung pada bulan Oktober 1945. Sebuah<br />

auto berhenti di muka pintu dan langkah-langkah cepat mendekati<br />

kantorku. Aku membuka laci kanan meja tulisku, tempat tersimpan<br />

128


sebuah pistol yang terisi. Pada waktu itu aku melihat 3 orang lakilaki.<br />

Pemimpinnya Nyak Arif, segera kukenal walaupun sebelumnya<br />

aku tak pernah melihatnya. Pernah diceritakan orang kepadaku<br />

mengenai dirinya sebagai seorang laki-laki yang berperawakan kecil,<br />

agak bungkuk. Dengan muka yang tidak menyenangkan ia berkata:<br />

Saya Teuku Nyak Arif, Residen daerah Aceh. Bersama dengan itu ia<br />

melihat kepadaku dari bawah sampai ke atas dan aku melihat<br />

kepadanya tetapi tidak dari atas ke bawah karena hal itu tidak pantas<br />

dilakukan jika kita memperhatikan seseorang. Aku melihat caranya<br />

yang fanatik dan semangat yang tampak di matanya serta gerenyet<br />

mulutnya yang tidak menyenangkan itu. Ia memperkenalkan kedua<br />

temannya itu, seorang Cina yang gemuk dan seorang pemuda intelek<br />

yang memperlihatkan kesenangan hati yang Har di mukanya seperti<br />

yang pernah kulihat dahulu pada muka teman-teman sosialisku yang<br />

bersemangat di Oxford. Segera ia berbicara dalam bahasa Inggris<br />

yang fasih sekali. Ia mendengar bahwa orang-orang Belanda telah<br />

berangkat. Bersamaan dengan itu aku merasakan pandangannya<br />

yang tajam ke arah pita yang berwarna jingga pada tali pclindan di<br />

bahuku. Mukaku tidak berubah sedikit pun dan aku berkata bahwa<br />

aku merasa senang sekali kalau ia mau bericara' dengan aku. Cepatcepat<br />

ia menerangkan bahwa ia suka bekerja sama dengan Sekutu,<br />

tetapi tidak dengan orang-orang Belanda, babi-babi sombong, tentara<br />

Belanda yang keparat. Ia berkata-kata semakin keras dan berapi-api<br />

di hadapanku dengan mengepalkan tangannya. Orang Cina<br />

yang gemuk itu tentulah akan berpikir, bahwa aku baru melihat sikap<br />

Nyak Arif jika ia menjadi marah. Belakangan ini ia bekerja terlalu<br />

keras. Aku tidak berkata apa-apa dan berusaha untuk memahami<br />

sikap makhluk yang berdiri di hadapanku itu. Dapatlah anda melihat<br />

kejadian ini yang sering kualami setiap hari, dan jelas bahwa tugasku<br />

mempunyai segi-segi yang menarik dan menegangkan.' 1<br />

Bila tuntutan rakyat ini tidak diindahkan, maka keselamatan<br />

tentara Sekutu di Aceh kelak tidak dijamin, kata Teuku Nyak Arif.<br />

Pcringatan Teuku Nyak Arif ini mendapat perhatian dan pengettian<br />

pimpinan tentara Sekutu, walaupun mendapat kecaman dari bawahannya<br />

seperti Mayor Knottenbelt. Itulah sebabnya ketika mobil<br />

Chevrolet yang ditumpangi Teuku Nyak Arif dari Medan yang bercat<br />

1) Knottenbelt, Contact met Aceh, uit Vrij Nederland, London, 1946, hal. 4 129


macan loreng dan berbendera Merah Putih, di tengah jalan diserang<br />

dengan tembakan mitraliur pesawat terbang pemburu. Dengan perlindungan<br />

Tuhan, Teuku Nyak Arif terhindar dari bahaya maut dan<br />

dapat meneruskan perjalannya ke Aceh dengan selamat. Di Langsa<br />

terjadi pula pertempuran dengan Jepang yang mendapat perintah<br />

Sekutu untuk merebut kembali senjata yang pernah dirampas oleh<br />

rakyat Aceh. Setelah dikerahkan seluruh kekuatan, akhirnya tentara<br />

Jepang dapat dipukul mundur.<br />

Kekuatan bersenjata terus diperkuat oleh Teuku Nyak Arif, di<br />

samping TKR juga dibentuk satu peleton polisi istimewa yang terdiri<br />

dari suku Jawa dan Menado yang dikepalai oleh Podihang.<br />

Mereka dipersenjatai dengan baik dan sempurna oleh Teuku Nyak<br />

Arif. Tangsi-tangsi dan asrama yang ditinggalkan oleh Jepang, diisi<br />

oleh polisi istimewa dan TKR yang dilatih dengan sistem tempur<br />

modern. Bekas opsir Gyu Gun dilantik kembali menjadi perwiraperwira<br />

TKR seperti Kolonel Syamaun Gaharu, Mayor T.A. Hamid,<br />

Kapten Husin Yusuf, Said Usman, Said Ali, Nyak Neh dan Kapten<br />

T. Mohammadsyah. Pada upacara pertama tanggal 12 Oktober 1945<br />

dilakukan devile militer di tanah lapang di muka museum Aceh. Yang<br />

menjadi Inspektur Upacara adalah Residen Teuku Nyak Arif dan<br />

komandan upacara adalah Kapten Mohammadsyah.<br />

Tekanan pihak Jepang terhadap perjuangan rakyat Indonesia<br />

makin lama makin keras, karena perintah yang dikeluarkan oleh<br />

Sekutu. Tetapi sebaliknya perjuangan rakyat Indonesia juga<br />

ditingkatkan untuk mewujudkan cita-cita proklamasi. Sesudah diadakan<br />

upacara militer di lapangan, pada malam harinya Syutyokan<br />

(Residen Jepang) mengadakan pertemuan dengan pemimpin dan<br />

tokoh masyarakat Aceh di tempat kediamannya. Dari pihak Indonesia<br />

hadir Teuku Nyak Arif, Tuanku Mahmud, Teuku Cut Hasan, Tengku<br />

Daud Beureueh, Tengku Ahmad Jeunieb, Teuku M. Amin, Ali Hasymi,<br />

Tengku Abdul Wahab Seulimeum, Said Abu Bakar dan Syamaun<br />

Gaharu. Dari pihak Jepang yang hadir adalah: S. lino, Matsubuchi,<br />

Keinubun-tyo, Buntai-tyo, Kempetai-tyo dan Eri.<br />

Dalam pertemuan ini S. lino menguraikan bahwa Jepang masih<br />

bertanggung jawab terhadap keamanan di Aceh atas perintah Panglima<br />

Sekutu di Asia Tenggara. Perkumpulan API yang tidak diberi<br />

130


izin oleh Jepang, sesuai dengan undang-undang keadaan perang harus<br />

segera dibubarkan. Mcnanggapi ketcrangan S. lino tersebut, maka<br />

Syamaun Gaharu sebagai Kctua Markas Daerih API mengatakan<br />

sebagai berikut:<br />

Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia telah memproklamirkan<br />

kemerdekaannya. Kami telah mempunyai pemerintahan sendiri<br />

yang lengkap dengan aparatnya. Kami bangsa Indonesia telah<br />

mengetahui bahwa Jepang tidak mempunyai hak lagi, apalagi memerintahkan<br />

pembubaran API. Kalau seandainya pemerintah<br />

kami (Residen Aceh) memerintahkan pembubaran API, maka<br />

sebagai tanda setia, kami akan patuh kepada perintah itu. Dengan<br />

sikap seorang prajurit Syamaun Gaharu kemudian menghadap Teuku<br />

Nyak Arif dengan memberi hormat dan berkata: Kami menunggu<br />

perintah Tuan Residen. Sejenak Teuku Nyak Arif terdiam. Kemudian<br />

sebagai seekor harimau yang hendak menerkam dengan tangannya<br />

yang gemetar memegang pipa rokok dari gading serta dengan suara<br />

yang bergetar ia berkata:<br />

Saya tidak bisa mengerti bagaimana tuan-tuan orang Jepang ini,<br />

sudah kalah perang pun masih mau mencampuri urusan dalam negeri<br />

orang lain. Apakah yang diperbuat selama ini dan selama berkuasa<br />

di sini masih akan diteruskan juga ketika tuan-tuan sudah kalah?.<br />

Apakah tuan-tuan mengira masih berkuasa di sini?. Saya kira untuk<br />

apa saya diundang kemari kalau hanya untuk hal yang tidak perlu.<br />

Setelah berkata demikian maka Teuku Nyak Arif meninggalkan<br />

pertemuan tersebut, kemudian juga diikuti oleh tokoh lainnya tanpa<br />

bersayonara lagi. Dengan terjadinya peristiwa ini, maka semangat<br />

orang Jepang menjadi mundur. Pada malam harinya 12 Oktober 1945<br />

di rumah Cokang berkumpul orang-orang Jepang yang telah mengalami<br />

kehancuran mental itu. Sebaliknya pemuda yang tergabung<br />

dalam API makin bangkit dan meluap semangatnya untuk mempertahankan<br />

kemerdekaan Indonesia. Mereka tidak mau lagi memperlakukan<br />

orang-orang Jepang sebagai Yang Dipcrtuan, tetapi menganggapnya<br />

sebagai orang biasa saja. Orang-orang Jepang sendiri juga<br />

telah mulai sadar akan drri dan kcdudukan mereka.<br />

Pada tanggal 14 Oktober 1945 diadakan rapat di Aceh Bioskop<br />

Kotaraja. Pada mulanya direncanakan bahwa yang akan berpidato<br />

TEUKU NYAK ARIF - 10 131


adalah beberapa pemimpin Aceh, tetapi berhubungan karena ancaman<br />

dari Jepang, maka yang berpidato hanya Teuku Nyak Arif sendiri saja<br />

mewakili semuanya. Residen berbicara ringkas, tegas, tetapi mengobarkan<br />

api semangat perjuangan mempertahankan proklamasi<br />

kemerdekaan nusa dan bangsa di seluruh daerah Aceh. Lama-kelamaan<br />

kedudukan Jepang di Aceh semakin lumpuh, tetapi mereka masih<br />

tetap berkuasa di samping pemerintah Republik Indonesia daerah Aceh<br />

pimpinan Residen Teuku Nyak Arif.<br />

Dalam perkcmbangan selanjutnya, pada tanggal 15 Oktober 1945,<br />

pemerintah Jepang terpaksa menyerahkan kekuasaan sipil dan<br />

tanggung jawab kepada pemerintah Republik Indonesia di Aceh yang<br />

diterima oleh Residen Teuku Nyak Arif. Perlucutan senjata di Aceh<br />

sebagian besar berhasil dan senjata yang didapat dari 1 dan 2 resimen<br />

atau satu divisi kecil. Parade TKR di Kutaraja memperlihatkan 1<br />

resimen yang lengkap peralatannya. Penyerahan senjata dilakukan<br />

dengan perantaraan Cokang kepada Residen, yang kemudian membagikannya<br />

kepada API dan Polisi Istimewa. Permintaan Pemimpin<br />

PUSA untuk membagikan senjata kepada Mujahiddin ditolak, karena<br />

bukan tentara resmi. Dcmikianlah di ibukota berhasil dioper seba<strong>nyak</strong><br />

600 pucuk, di Sigli 200 pucuk, di Seulimeum 180 pucuk beserta 3<br />

gudang amunisi dan meriam-meriam parit. Dantai Lhok Seumawe<br />

menyerahkan 600 pucuk pula. 2><br />

Dalam perebutan senjata, pertempuran dengan pihak Jepang tidak<br />

bisa dihindarkan di beberarja tempat. Pasukan Jepang di lapangan<br />

Blang Bintang, Lhok Nga dan Butai Kutaraja tidak sempat dilucuti,<br />

karena mereka berkumpul di Ulee Lheue. Mereka mengadakan serangan<br />

dan penggerebekan ke Kutaraja serta menawan perwira yang<br />

sedang rapat, antara lain panglima Syamaun Gaharu, T. Mohammad<br />

Syah, T. Hamid Azwar, Husin Yusuf, Said Abdullah, Djaafar Hanafiah.<br />

Mereka yang ditangkap oleh Jepang berjumlah 18 orang dan<br />

dibawa ke Ulee Lheue. Kutaraja menjadi panik akibat peristiwa itu.<br />

Rakyat menjadi marah, mereka berdatangan dari seluruh Aceh ke<br />

2) A.H. Nasulion, Sehtar Perang Kemerdekaan Indonesia I, Angkasa, Bandung, 1976, hal. 442<br />

132


Kutaraja dan siap menunggu komando dari Teuku Nyak Arif. Tidak<br />

dapat diramalkan apa yang akan terjadi, jika Teuku Nyak Arif tidak<br />

segera turun tangan dan berani bertindak tegas menenangkan emosi<br />

rakyat yang sedang bergelora. Sambil mengarahkan pasukan riil<br />

(API/TKR, Polisi Istimewa dan Barisan Rakyat yang dipersenjatai)<br />

maka Teuku Nyak Arif sebagai Residen Aceh mengirim ultimatum<br />

kepada orang-orang Jepang di Ulee Lheue. Dalam waktu 2 x 24 jam<br />

semua perwira TKR yang ditahan di Ulee Lheue harus dikembalikan<br />

dalam keadaan selamat untuk menjaga tidak terjadi hal-hal yang tidak<br />

menguntungkan bagi pihak Jepang sendiri. 3)<br />

.<br />

Untuk memenuhi ultimatum tersebut, maka dua hari kemudian<br />

perwira yang ditahan dikembalikan kecuali Syamaun Gaharu. Tetapi<br />

dengan kesetiakawanan T. Mohammad Syah yang tidak mau kembali<br />

kalau tidak bersama-sama dengan Syamaun Gaharu, maka tinggallah<br />

dua orang yang belum dikembalikan. Selama menjadi tawanan itu<br />

Syamaun Gaharu diperlakukan sebagai tentara yang berpangkat rendah.<br />

Tetapi setelah Syamaun Gaharu memberi penjelasan bahwa dia<br />

Kolonel TKR, maka perlakuan terhadapnya berubah. Ia dihormati<br />

sebagai seorang perwira menengah dan mendapat perlakuan yang wajar.<br />

Cokang sendiri minta maaf atas segala perbuatannya itu terhadap<br />

Syamaun Gaharu dan seluruh rakyat Aceh.<br />

Dalam pada itu Teuku Nyak Arif kembali mengajukan tuntutan<br />

agar kedua perwira yang ditahan itu harus dikembalikan sore itu juga<br />

jam 18.00 sesuai dengan bunyi ultimatum yang disampaikan. Pada<br />

jam 17.45 Syamaun Gaharu dikembalikan dengan dikawal oleh<br />

Letnan II Jepang. Dengan sopan santun seorang militer yang correct,<br />

maka ia mempersilakan Syamaun Gaharu dan T. Mohammad Syah<br />

naik kendaraan. Kemudian ia juga membuka bendera merah yang<br />

telah tersedia untuk dikibarkan sebagai tanda kebesaran bagi perwira<br />

menengah Jepang. Menjelang sampai ke Markas API/TKR, maka satu<br />

regu pasukan Jepang memberikan penghormatan hormat senjata dengan<br />

sangkur terhunus mengucapkan sayonara kepada Syamaun<br />

Gaharu dan T. Mohammad Syah. Sesampai di Markas API/TKR,<br />

Syamaun Gaharu memberikan laporan kepada Teuku Nyak Arif.<br />

3) SyamaunGaharu,Beberapa Calalan Perjuangan Menegakkan Kemerdekaandi /IceA, Seminar<br />

Perjuangan Aceh di Medan, 1976, hal. 39.<br />

133


Mendengar laporan itu Teuku Nyak Arif tertawa besar, hal yang<br />

seperti itu jarang kejadian. ,<br />

Dalam perkembangan selanjutnya tentara Jepang dari Medan<br />

berusaha kembali ke Aceh atas perintah Sekutu. Mereka menuntut<br />

pengembalian senjata Jepang, tetapi tuntutan itu ditolak oleh pihak<br />

Republik dan mereka kembali ke Medan. Kemudian atas desakan<br />

pihak Sekutu, maka Jepang mengirimkan ekspedisi ke Langsa. Segera<br />

TKR mengirim suatu pasukan untuk mengintai, tetapi 5 km dari kota,<br />

peleton itu bertemu dengan ekspedisi Jepang tersebut, sehingga terjadilah<br />

pertempuran sengit. Seluruh peleton itu hancur, semuanya<br />

gugur kecuali seorang kurir. Komandannya, Petua Husin, juga tidak<br />

kembali. Segera komandan resimen Mayor Bachtiar datang dengan 1<br />

kompi, tetapi ia pun luka dan pasukannya pecah. Jepang berhasil<br />

menduduki kota Langsa. Sehubungan dengan itu, maka dari daerahdaerah<br />

lain mengaïir pasukan seperti dari Lhok Seumawe, Takengon,<br />

Bireuen dan Kutaraja. Di dalam pasukan itu turut serta Residen Teuku<br />

Nyak Arif entah sebagai Residen, entah sebagai sukarelawan atau<br />

sebagai apa, beliau telah ikut dalam arus manusia yang bergolak itu.<br />

Melihat keadaan itu, maka pasukan Jepang terpaksa mengundurkan<br />

diri sampai Kuala Simpang di sebcrang Sungai Tamiang. Sejak saat<br />

itu tidak ada usaha lagi dari pihak Jepang dan Sekutu untuk kembali<br />

ke Aceh. 4)<br />

r<br />

Aceh adalah daerah di Sumatera yang paling sempuma melaksanakan<br />

proklamasi berkat ketegasan. pimpinan Teuku Nyak Arif dan<br />

kawan-kawan serta semangat kemerdekaan rakyat yang eksplosif, yang<br />

pada tiap kesempatan meiedak untuk merebut kemerdekaan kembali.<br />

Adalah aneh nampaknya bahwa justru daerah yang paling jauh dari<br />

pusat yang dapat berbuat demikian, yakni yang jauh dari pimpinan<br />

dan yang kurang sekali menerima instruksi. Justru hal demikian membuktikan<br />

bahwa proklamasi memang sudah kehendak seluruh rakyat<br />

dan bukan bikinan Soekarno-Hatta dengan Panitia Persiapan saja.<br />

Mereka ini hanya memproklamasikan.<br />

Inisiatif dan kegiatan di Aceh jauh lebih maju dan konsekuen dari<br />

di Jakarta sendiri tempat pimpinan Soekarno-Hatta. Hal ini bukanlah<br />

karena Jepang lemah di Aceh. Di Aceh terdapat 1 divisi untuk meng-<br />

4) A.H. Nasution, Op. cit., hal. 444.<br />

134


hadapi pendaratan Inggris pada bulan September 1945. Aceh sudah<br />

siap menjadi medan perang, dan Jepang sudah sedia untuk bertempur.<br />

Aceh juga sering mengalami serangan udara dan laut atas<br />

pantai Aceh dan telah masuk pula infiltrasi dari udara. Aceh pada<br />

waktu itu merupakan benteng Jepang yang siap sedia menghadapi<br />

serangan penyerbuan Inggris yang hampir dimulai. 5)<br />

Sebagai seorang Residen Teuku Nyak Arif lebih ba<strong>nyak</strong> mengurus<br />

soal-soal militer dari mengurus soal pemerintahan sipil. Sebenarnya<br />

kedua bidang itu susah dipisahkan, lebih-lebih pada waktu<br />

itu Indonesia sedang berevolusi. Tetapi walaupun begitu Teuku<br />

Nyak Arif tidak melupakan sama sekali soal pemerintahan sipil.<br />

Dalam Maklumat Residen No. 1, 18 Oktober 1945 ditegaskan<br />

bahwa:<br />

— Dilarang keras mengeluarkan dan menyiarkan maklumat kalau<br />

tidak dengan seizin atau setahu Residen Aceh.<br />

— Dilarang meiepaskan hewan dengan tidak berpenjagaan, sehingga<br />

dapat merusak tanaman. Tanaman ditanam menjadi makanan kita -<br />

bersama, dan siapa yang melanggar peraturan ini tetap akan<br />

dihukum.<br />

Maklumat Residen Aceh 27 Oktober 1945 berisi panggilan<br />

kepada pemuda-pemudi Indonesia untuk dikirim belajar ke luar<br />

negeri. Kemudian pada tanggal 27 Oktober itu juga dikeluarkan<br />

maklumat yang isinya:<br />

— Dilarang keras mengeluarkan barang-barang, makanan, pakaian,<br />

senjata ke Pulau Weh, selama NICA masih berada di Sabang.<br />

— Perahu-perahu yang besar dilarang mengunjungi Pulau Weh.<br />

— Larangan tersebut tidak berlaku bagi orang yang mendapat izin<br />

khusus dari Residen Aceh.<br />

— Siapa yang melanggar peraturan ini akan dihukum dan alatalatnya<br />

akan dirampas.<br />

— Diharapkan kepada aparat pemerintah di Aceh untuk mengawasi<br />

peraturan ini dan mengambil tindakan yang berguna.<br />

5) Ibid., hal. 445.<br />

135


Maklumat 27 Oktober yang lain adalah, dilarang memperjualbelikan<br />

rokok yang tidak mempunyai bandrol. 6)<br />

Maklumat 20 Oktober 1945 berisi:<br />

— Dilarang membawa makanan dan hewan ke luar daerah Aceh<br />

atau ke luar negeri (Sabang, Malaya).<br />

— Di dalam daerah Aceh diizinkan membawa makanan dan hewan<br />

tersebut.<br />

Dalam Maklumat Residen Aceh No. 3 tanggal 2 November 1945<br />

tertera:<br />

— Dilarang menjual nama Pemerintah Indonesia untuk kepentingan<br />

pribadi.<br />

— Berdasarkan kawat dari Gubernur Sumatera, maka buat sementara<br />

orang dari Sumatera dilarang masuk ke Jawa.<br />

— Berdasarkan Maklumat Presiden 3 Oktober 1945, uang yang sah<br />

adalah uang yang berlaku di Sumatera selama Pemerintah<br />

Jepang.<br />

Maklumat No. 5 tanggal 8 November 1945 menyebutkan:<br />

— Mulai 9 November 1945 pelacuran dibasmi.<br />

— Pasar malam dan judi dihapuskan, begitu juga pembuatan arak.<br />

— Dilarang menyimpan senjata api tanpa izin pemerintah.<br />

Pada tanggal 11 November 1945 diadakan rapat di halaman<br />

masjid raya dengan pembicara: Residen Teuku Nyak Arif, Tengku<br />

Daud Beureueh dan Amelz. Seorang pemuda yang berasal dari<br />

Ambon dan seorang lagi yang berasal dari Minahasa juga ikut<br />

memberikan sambutan.<br />

Pada tanggal 19 November 1945 diperintahkan kepada rakyat:<br />

Yang beragama Islam supaya berpuasa, dan yang beragama Kristen<br />

menurut agamanya, karena pada tanggal 18 November 1945 genap 3<br />

bulan berdirinya Republik Indonesia.<br />

Maklumat No. 7 tanggal 23 November 1945 melarang rakyat<br />

menyiarkan berita bohong, seperti dimasukkannya racun ke dalam<br />

sumber air bersih di Kutaraja.<br />

6) Koleksi pribadi T.A. Talsya, Maklumat Residen Aceh No. 1,2 dan 3.<br />

136


Maklumat No. 8 tanggal 29 November 1945 menyebutkan:<br />

— Fonds Nasional diubah menjadi Fonds Kemerdekaan.<br />

— Kepada Kontroleur dan Uleebalang diizinkan mengutip fonds<br />

tersebut.<br />

— Uang ini akan dipergunakan untuk pertahanan negara Republik<br />

Indonesia.<br />

Kepada rakyat diharapkan untuk menyokong fonds tersebut. 7<br />

'<br />

Mulai bulan Desember 1945 Residen Teuku Nyak Arif sering digantikan<br />

Tuanku Mahmud dan Teuku Panglima Polim Moh. Ali<br />

sebagai wakil Residen. Teuku Nyak Arif memegang jabatan Residen<br />

Aceh dalam suasana yang kacau dan tiada menentu. Residen praktis<br />

lebih menyerupai pimpinan ketentaraan yang harus berhubungan<br />

dengan tentara Jepang dan menyelesaikan pertempuran dengan<br />

pihak Jepang. Residen lebih sering mengadakan perjalanan dan<br />

peninjauan ke daerah-daerah, terutama daerah yang kurang aman.<br />

Tugas Residen sehari-hari dilaksanakan oleh wakil Residen, yang<br />

harus tetap tinggal di ibukota Kutaraja. 8<br />

'<br />

Karena jasanya yang luar biasa kepada bidang militer (ketentaraan)<br />

maka Teuku Nyak Arif dengan Ketetapan No. 10 tanggal 17<br />

Januari 1946 oleh Panglima TRI Komandemen Sumatera, diangkat<br />

sebagai anggota Staf Umum TRI dengan pangkat Mayor Jenderal<br />

Tituler.'<br />

Pengangkatan Teuku Nyak Arif menjadi Mayor Jenderal Tituler,<br />

sesuai dengan usul Markas Daerah API/TKR Aceh. Dengan bimbingan<br />

dan tuntutannya, maka API/TKR tidak mendapat kesulitan<br />

dalam pengembangan dan pembinaannya. Pada tanggal 17 Februari<br />

1946, untuk pertama kalinya di lapangan Blang Bintang diadakan<br />

upacara militer yang megah dan berkesan untuk mempcringati l<br />

/i<br />

tahun kemerdekaan Indonesia. Waktu itu juga diresmikan divisi TKR/<br />

TRI V dengan slagordenya di bawah pimpinan Kolonel Syamaun<br />

Gaharu. Pangkat dan jabatan perwira lainnya juga disesuaikan dan<br />

disahkan pada waktu itu. Upacara militer itu diikuti oleh satu<br />

resimen TRI lengkap dengan alat persenjataannya. Sebagai koman-<br />

7) Ibid., Maklumat Residen Aceh, No. 3, 5 dan 7.<br />

8) Insider, Aceh Sepinlas Lalu, Fa. Azchapada, Jakarta, 1950, hal. 35.<br />

137


dan upacara ditunjuk Kapten T. Yakub Muli, Komandan Batalyon<br />

dan Resimen II Aceh Utara. Bertindak sebagai Inspektur Upacara<br />

adalah Mayor Jenderal Timier Teuku Nyak Arif, anggota Staf Umum<br />

Komandemen Sumatera. 9<br />

'<br />

Teuku Nyak Arif dalam melaksanakan tugasnya sangat aktif, ia<br />

jarang ada di rumah dan jarang beristirahat. Karena terlalu berat bekerja,<br />

maka pe<strong>nyak</strong>it gula (kencing manis)nya kambuh lagi. Karena pe<strong>nyak</strong>itoya<br />

bertambah berat, maka Teuku Nyak Arif minta cuti 2 bulan<br />

untuk menyembuhkan kembali pe<strong>nyak</strong>itaya. Untuk sementara yang<br />

ditunjuk sebagai Wakil Residen adalah Teuku Panglima Polim Moh.<br />

Ali. Sementara Teuku Nyak Arif menjalani cuti, maka terjadilah peristiwa<br />

Cumbok yang terkenal itu. Terjadilah perpecahan di antara<br />

segolongan Uleebalang dengan segolongan ulama. Golongan Uleebalang<br />

dipimpin Teuku Daud Cumbok yang bermarkas di Lam Meulo<br />

(sekarang Kota Bhakti ± 20 km dari Sigli).<br />

Pemerintah Republik Indonesia dan aparatnya di Aceh, menyadari<br />

bahwa perpecahan ini akan menimbulkan kerugian bagi rakyat Aceh<br />

sendiri. Panglima TKR berusaha untuk menghindarkan bentrokan<br />

senjata dengan mencari jalan perdamaian. Uluran tangan Pemerintah<br />

ini tidak dihiraukan oleh Teuku Daud Cumbok.<br />

Pertentangan antara golongan ulama dan golongan Uleebalang<br />

sudah berlangsung lama dan lebih dipertajam semenjak zaman Hindia<br />

Belanda. Golongan Uleebalang yang memegang kekuasaan di daerahnya<br />

masing-masing menyerupai raja-raja kecil. Organisasi ketatanegaraan<br />

dalam tiap-tiap zelfbestuur, menunjukkan bahwa seorang<br />

raja berkuasa dalam lapangan legislatif dan kehakiman. Golongan<br />

agama hanya sebagian kecil menduduki jabatan dalam pemerintahan<br />

negara dan kehakiman. Mereka hanya mengurus soal-soal yang berhubungan<br />

dengan perkawinan, nikah, talak dan rujuk. 10<br />

'<br />

Sesudah Indonesia mencapai kemerdekaannya, pertentangan kedua<br />

golongan ini tidak semakin mereda, malahan semakin meningkat. Curiga-mencurigai<br />

makin kelihatan, walaupun pada lahirnya mereka<br />

seolah-olah bekerja sama. Persatuan dan kesatuan antara seluruh potensi<br />

9) Syamaun Gaharu, Op.cit., hal. 46<br />

10) Insider. Op. cit., hal. 7<br />

138


yang sangat diharapkan pada saat itu tidak kunjung tiba. Suasana<br />

pertentangan itu makin dipertajam oleh tentara Jepang yang sudah<br />

kalah. Tentara Jepang sedia menyerahkan sebagian senjatanya, tetapi<br />

tidak kepada TKR hanya kepada rakyat. Kedua golongan yang bertentangan<br />

juga mengambil kesempatan dalam penyerahan senjata Jepang<br />

ini. Mereka giat mengumpulkan senjata untuk golongan masingmasing.<br />

TKR sebagai alat negara tidak menyetujui cara ini, karena<br />

yang berhak menggunakan senjata hanjalah alat negara yang sah<br />

(resmi). Organisasi ulama yang terkenal dengan nama PUSA yang<br />

berpusat di Pidie terus menyempurnakan <strong>org</strong>anisasi mereka. Markasnya<br />

di daerah Pidie (dekat Sigli) terus dipersiapkan untuk mengakhiri<br />

kekuasaan golongan Uleebalang yang telah lama berlangsung di daerah<br />

itu. Sebaliknya golongan Uleebalang juga tidak ketinggalan mengadakan<br />

persiapan. Markas golongan Uleebalang bertempat di Lam<br />

Meulo di suatu daerah yaitu Cumbok. Persiapan kedua golongan untuk<br />

melancarkan perang boleh dikatakan telah selesai pada bulan November<br />

1945. Tinggal lagi menanti suatu kejadian sebagai alasan untuk<br />

memulai penyerangan.<br />

Golongan Uleebalang berusaha merebut Lam Meulo secara<br />

keseluruhan. Dari Lam Meulo mereka berusaha untuk merebut kota<br />

Sigli dan daerah sekitarnya. Akibatnya pada bulan Desember 1945<br />

sampai bulan Januari 1946 timbullah perang saudara di Pidie. Teuku<br />

Nyak Arif yang sedang menjalani cutinya, merasa sedih sekali terhadap<br />

peristiwa ini. Ia yang semenjak zaman Hindia Belanda dan<br />

jepang telah berusaha mempersatukan golongan yang bertentangan ini<br />

(golongan Uleebalang dan golongan Ulama), tetapi rupanya belum<br />

berhasil.<br />

Walaupun begitu, Teuku Nyak Arif sebagai pejabat pemerintah<br />

(Residen dan Mayor Jenderal Tituler) perlu mengatasi masalah ini. Ia<br />

memerintahkan kepada Kolonel Syamaun Gaharu sebagai pemimpin<br />

umum Markas Perjuangan Aceh untuk mengambil tindakan tegas.<br />

Syamaun Gaharu memberikan waktu seminggu kepada pemimpin<br />

golongan Uleebalang Teuku Daud Cumbok untuk menghentikan<br />

tindakan mereka dan menyerah kepada alat negara. Karena peringatan<br />

ini tidak diindahkan, maka Kolonel Syamaun Gaharu segera bertindak.<br />

Dalam waktu seminggu peristiwa Cumbok dapat diselesaikan<br />

139


seluruhnya dengan menimbulkan korban yang tidak sedikit di kalangan<br />

rakyat Aceh. U)<br />

Pertentangan kedua golongan itu sengaja dipertajam oleh pemerintah<br />

Hindia Belanda dalam rangka politik devide et impera. Pemerintah<br />

Jepang juga menggunakan taktik pemerintah Hindia Belanda<br />

untuk kepentingan pendudukannya. Baik pemerintah Hindia Belanda<br />

maupun pemerintah Jepang selalu mengangkat golongan Uleebalang,<br />

sedangkan Teuku Nyak Arif yang berasal dari golcjgrjan Uleebalang<br />

selalu berusaha mempersatukan kedua golongan ini. 12)<br />

11) Syamaun Gaharu, Op. rit., hal. 30.<br />

12) Wawancara dengan Ismail Jacob, Semarang, 8 Marei 1974.<br />

140


X. MENINGGAL DI TAKENGON<br />

Dalam bulan-bulan pertama Proklamasi, pemerintah RI mendasarkan<br />

kekuatannya pada bidang diplomasi, tidak pada bidang fisik<br />

militer. Itulah sebabnya tidak segera dibentuk tentara sebagai tulang<br />

punggung negara yang baru diproklamasikan itu. Yang disusun<br />

adalah Badan Keamanan Rakyat (BKR). Kebijaksanaan yang ditempuh<br />

oleh pemerintah RI yang masih muda itu, dengan demikian<br />

dari sejak semula membentuk Angkatan Perang yang kokoh sebagai<br />

imbangan kekuatan fisik bagi diplomasi.<br />

Kemudian atas desakan tokoh-tokoh terkemuka, maka Pemerintah<br />

RI mengeluarkan dekrit pada tanggal 5 Oktober 1945 dengan<br />

mengubah nama BKR menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Di<br />

daerah Aceh pimpinan TKR dipegang oleh Syamaun Gaharu. Di<br />

samping adanya TKR, laskar-laskar rakyat masih tetap berdiri. Laskar-laskar<br />

ini dimaksudkan untuk membantu TKR dalam mencapai<br />

kemerdekaan. Laskar yang terbesar di Aceh adalah Mujahiddin, yang<br />

mempunyai divisi Tengku Cik Ditiro dan Divisi Paja Bakung. Di<br />

samping Mujahiddin, laskar terbesar lainnya adalah PESINDO.<br />

Teuku Nyak Arif sebagai Residen Aceh mempunyai pengaruh<br />

besar di kalangan TKR yang dipimpin Syamaun Gaharu. Di antara<br />

pemimpin itu sudah tentu terjadi persaingan untuk memegang kekuasaan<br />

di Aceh, terutama antara golongan Ulama dan golongan<br />

Uleebalang. Dengan alasan Teuku Nyak Arif dari golongan Uleebalang,<br />

maka datanglah desakan kepada Komite Nasional Indonesia,<br />

untuk menonaktifkan Teuku Nyak Arif dan mengasingkannya ke<br />

Takengon. Desakan ini mendapat dukungan. penuh dari kelompok<br />

141


TPR disokong oleh PESINDO, yang juga mempunyai ambisi<br />

untuk menggantikan Teuku Nyak Arif. Tokoh PESINDO waktu itu<br />

adalah Ali Hasymi dan Nyak Neh. Pasukan TPR yang disokong oleh<br />

PESINDO mulai bergerak dari Aceh Timur menuju Kutaraja.<br />

Selain dari itu golongan Ulama, terutama golongan Ulama yang<br />

tergabung dalam PUSA juga ikut mengambil peranan aktif. Sesudah<br />

golongan Uleebalang dikalahkan di Cumbok, maka golong-an PUSA<br />

ingin mengambil kekuasaan ke dalam tangan mereka. Golongan<br />

PUSA pada mulanya menyetujui Teuku Nyak Arif sebagai Residen<br />

karena mereka tidak mempunyai calon pada waktu itu. 1<br />

'<br />

Sebelum memasuki Kutaraja dan mengadakan perebutan kekuasaan,<br />

terlebih dahulu telah diadakan persiapan yang matang.<br />

Sekretaris TKR Aceh yaitu Mayor Husin Yusuf meminta cuti pulang<br />

ke Bireuen. Tetapi dalam kenyataannya Husin Yusuf tidak berangkat<br />

ke Bireuen tetapi ke Idi, untuk menemui Husin Al Mujahid. Sesampainya<br />

di Idi, Husin Yusuf tanpa persetujuan Panglima Divisi Kolonel<br />

Syamaun Gaharu telah mengangkat Husin Al Mujahid menjadi<br />

Mayor dan sebagai asistennya diangkat pula Kapten Abdul Manaf.<br />

Sesudah itu Husin Yusuf mengirim kawat kepada Kolonel<br />

Syamaun Gaharu untuk mengakui kebijaksanaan yang telah diambilnya.<br />

Syamaun Gaharu kemudian mengadakan rapat dengan<br />

stafnya, dan kesimpulan rapat ialah menolak kebijaksanaan Husin<br />

Yusuf serta memanggilnya pulang kembali ke Kutaraja. Sesampai di<br />

Kutaraja Husin Yusuf mencoba mengancam Panglima Divisi, bahwa<br />

kalau tidak menyetujui kebijaksanaannya akan terjadi sesuatu.<br />

Panglima Divisi dengan tegas menyatakan bahwa kalau terjadi<br />

sesuatu akan kita hadapi dengan segala kekuatan. Sesudah kejadian<br />

itu Husin Yusuf menghilang selama 2 minggu dan kemudian ia<br />

kembali ke Kutaraja dengan pasukan Husin Al Mujahid.<br />

Husin Al Mujahid sebelum memasuki Kutaraja telah mulai bergerak<br />

sejak dari Idi (Aceh Timur) dengan menyebarkan propaganda<br />

yang mengatakan, bahwa gerakan itu bertujuan untuk menangkap<br />

NICA besar di Sabang. Rakyat yang tidak tahu apa-apa terpengaruh<br />

dengan propaganda Husin Al Mujahid, sehingga di sepanjang jalan<br />

2) Surat kabar Bijaksana, Medan, 6 November 1953, hal. 2.<br />

142


pasukan Tentara Perjuangan Rakyat (TPR) terus bertambah. Pasukan<br />

yang seba<strong>nyak</strong> itu tidak dibawa ke Sabang, tetapi dibawa ke Kutaraja<br />

oleh Husin Al Mujahid. 2)<br />

Setelah dekat Kutaraja Husin Al Mujahid mengutus Husin Yusuf<br />

mengadakan pertemuan dengan pemimpin di Kutaraja. Husin Yusuf<br />

menganjurkan agar TRI menyerahkan kekuasaan kepada TPR, agar<br />

tidak terjadi apa-apa. Sebenarnya sebelum pasukan TPR memasuki<br />

Kutaraja pihak TKR sebagai pasukan resmi Pemerintah, telah minta<br />

kepada Teuku Nyak Arif untuk mengizinkan pertempuran. Permintaan<br />

TKR itu tidak dikabulkan oleh Teuku Nyak Arif. Ia lebih mementingkan<br />

persatuan rakyat dari pangkat. Teuku Nyak Arif<br />

mengatakan: Biarlah saya serahkan jabatan ini asal tidak terjadi<br />

pertumpahan darah seperti di Pidie. Buat apa kita berperang dengan<br />

bangsa sendiri. Kalau hanya pangkat dan kedudukan kita itu saja<br />

yang dikehendakinya, serahkanlah dan jangan dengan mempertahankan<br />

pangkat dan kedudukan kita, rakyat yang tidak mengetahui<br />

persoalannya dijadikan korban. Kemerdekaan kita baru saja mulai.<br />

Ba<strong>nyak</strong> pikiran dan tenaga yang diperlukan oleh negara kita di masa<br />

yang akan datang. Kalau pengorbanan yang kita berikan dalam perjuangan<br />

hanya untuk mencari pangkat dan kedudukan, maka kemerdekaan<br />

yang kita inginkan tidak akan tercapai. Serahkan pangkat dan<br />

kedudukan itu kepada mereka yang menginginkannya.<br />

Pangkat Mayor Jenderal Teuku Nyak Arif kemudian diambil<br />

alih oleh Husin Al Mujahid dan pangkat Kolonel Syamaun Gaharu<br />

diambil alih oleh Husin Yusuf. 3)<br />

Pada waktu itu kalau Teuku Nyak Arif bersedia melawan, pasti<br />

ia dapat menghancurkan pasukan Husin Al Mujahid dengan TPR,<br />

karena pengaruh Teuku Nyak Arif masih besar di kalangan TKR.<br />

Karena Teuku Nyak Arif tidak memerintahkan untuk melawan TPR,<br />

maka salah seorang anggota pasukan istimewa berasal dari Minahasa<br />

nekad membunuh diri karena ia merasa tidak dipercaya lagi oleh<br />

atasannya Teuku Nyak Arif.<br />

2) Wawancara dengan Ismail Jacob, Semarang, 8 Marei 1974.<br />

3) Syamaun Gaharu, Beberapa Calatan Perjuangan Menegakkan Kemerdekaan di Aceh, Seminaar<br />

Perjuangan Aceh di Medan, 1976, hal. 50.<br />

143


Rakyat 26 Mukim bersedia mati mempertahankan Teuku Nyak<br />

Arif, kalau dikehendaki untuk melawan TPR di bawah pimpinan<br />

Husin Al Mujahid. Teuku Nyak Arif sebagai pemimpin semenjak<br />

zaman Hindia Belanda, lebih mementingkan persatuan dari pangkat<br />

dan kepentingan pribadi serta golongan. Teuku Nyak Arif adalah<br />

tokoh yang selalu berusaha mempersatukan semua golongan di Aceh.<br />

Golongan ulama takut kepada Teuku Nyak Arif kalau-kalau dipergunakan<br />

oleh golongan Uleebalang yang dikalahkan di Cumbok,<br />

walaupun Teuku Nyak Arif ba<strong>nyak</strong> membantu gerakan-gerakan keagamaan<br />

seperti Muhammadiyah. 4<br />

'<br />

Penangkapan terhadap Teuku Nyak Arif dilakukan secara baikbaik<br />

dan dengan penghormatan, karena mereka itu tahu pengaruh<br />

Teuku Nyak Arif masih besar. Kepada keluarganya dikatakan bahwa<br />

Teuku Nyak Arif akan dibawa untuk beristirahat, dan kebetulan<br />

waktu itu masih sakit. Pemimpin terkemuka di Mukim 26 mengusulkan<br />

agar Teuku Nyak Arif tinggal di Lam Nyong saja, tetapi permintaan<br />

itu juga ditolak oleh Teuku Nyak Arif, karena khawatir akan<br />

terjadi pula perlawanan rakyat, akibat ditahan. Teuku Nyak Arif<br />

akhirnya dibawa ke Takengon dengan sebuah sedan, dikawal oleh dua<br />

orang anggota TPR yang berpakaian hitam dan bertopeng. Sesudah<br />

sebulan berada di Takengon baru keluarganya dibolehkan menyusul<br />

mengunjunginya. Walaupun begitu karena perawatannya kurang sempurna<br />

maka pe<strong>nyak</strong>it Teuku Nyak Arif makin bertambah berat.<br />

Dokter pribadinya (Dr. Mahyuddin) tidak diizinkan merawat Teuku<br />

Nyak Arif oleh penguasa baru.<br />

Keluarga Teuku Nyak Arif yang diizinkan menunggu selama di<br />

Takengon adalah istrinya Cut Nyak Jauhari, anak-anaknya Teuku<br />

Syamsul Bahri dan Cut Nyak Arifah Nasri, serta adikya Teuku Abdul<br />

Hamid. Selama Teuku Nyak Arif ditahan di Takengon ba<strong>nyak</strong> tokoh<br />

terkemuka menjenguk beliau, termasuk Tengku Daud Beureueh.<br />

Tengku Daud Beureueh termasuk teman akrab Teuku Nyak Arif<br />

semenjak zaman Hindia Belanda, walaupun pandangan politik<br />

mereka berbeda. Waktu bertemu dengan Tengku Daud Beureueh,<br />

Teuku Nyak Arif mena<strong>nyak</strong>an bagaimana situasi politik sesudah<br />

4) Wawancara dengan Hasby Assidiqi, Yogyakarta, 9 Maret 1974.<br />

144


Rumah yang dilempati Teuku Nyak Arif sewaktu diasingkan di Takengon.<br />

beliau ditangkap dan bagaimana keadaan para tawanan lainnya,<br />

apakah mereka diperlakukan dengan semestinya. Apa sebab terjadi<br />

hal yang demikian ini, dan kenapa orang yang tidak tahu apa-apa ikut<br />

ditangkap. Dalam keadaan sakit Teuku Nyak Arif juga memikirkan<br />

keadaan para tawanan lain dan keadaan rakyat Aceh pada umumnya.<br />

Tengku Daud Beureueh selalu menghindarkan pembicaraan politik<br />

dengan Teuku Nyak Arif, dan selalu membelokkan kalau Teuku Nyak<br />

Arif mena<strong>nyak</strong>an masalah politik. Teuku Nyak Arif juga masih<br />

sempat memperingati Tengku Daud Beurenek supaya berhati-hati<br />

dengan kaum komunis. 5)<br />

Sebelum meninggal Teuku Nyak Arif berpesan kepada istrinya,<br />

agar menjaga anak-anaknya dengan baik dan memperhatikan pen-<br />

5) Wawancara dengan Cut Nyak Jauhari, Jakarta, 26 Agustus 1974.<br />

145


didikan mereka sampai berhasil. Jangan menaruh rasa dendam, karena<br />

kepentingan rakyat harus diletakkan di atas segala-galanya. Kepada<br />

anaknya Teuku Syamsul Bahri yang juga mendampinginya,<br />

Teuku Nyak Arif juga berpesan dan selalu mengatakan bahwa ia<br />

tidak bisa baik lagi. Walaupun beliau baik dari segi fisik, tetapi pikirannya<br />

akan terganggu dan kalau sampai terjadi hal yang demikian<br />

maka kamu akan merasa malu mempunyai ayah yang terganggu<br />

pikirannya. Pada waktu itu belum ada tanda-tanda bahwa Teuku Nyak<br />

Arif terganggu pikirannya.<br />

Kepada adiknya, Teuku Abdul Hamid, Teuku Nyak Arif juga<br />

berpesan agar menyekolahkan anak-anaknya, sebagaimana Teuku<br />

Nyak Arif menyekolahkan adik-adik beliau termasuk Teuku Abdul<br />

Hamid yang disekolahkan ke negeri Belanda. Mengenai pembagian<br />

harta pusaka sesudah ia meninggal, juga diserahkan kepada Teuku<br />

Abdul Hamid. Dengan didampingi oleh istri Cut Nyak Jauhari dan<br />

anak-anak, Teuku Syamsul Bahri serta Cut Nyak Arifah Nasri, dan<br />

adiknya, Teuku Abdul Hamid, Teuku Nyak Arif menghembuskan<br />

napas yang penghabisan di Takengon pada tanggal 4 Mei 1946.<br />

Pada hari Teuku Nyak Arif meninggal ba<strong>nyak</strong> pemimpin datang<br />

melayat di samping rakyat biasa. Dari Takengon jenazah dibawa ke<br />

Bireuen, dari Bireuen ke Sigli dan dari Sigli dibawa dengan kereta api<br />

ekstra ke Kutaraja. Jenazah diturunkan di Lam-baro. Dari Lambaro<br />

diangkut ke Lam Nyong untuk dimakamkan. Makam Teuku Nyak<br />

Arif terletak di tanah pemakaman keluarga yaitu di Lam Reueng.<br />

Makam Teuku Nyak Arif berdampingan dengan makam ayahnya<br />

sendiri, Teuku Nyak Banta. Makam keluarga itu merupakan makam<br />

keluarga bangsa-wan, tetapi keadaannya sederhana saja, tidak jauh<br />

berbeda dari makam lainnya yang ada di daerah itu.<br />

Walaupun upacara pemakaman Teuku Nyak Arif diusahakan<br />

sesederhana mungkin, tetapi tetap mendapat sambutan yang luar<br />

biasa dari rakyat, karena masih ba<strong>nyak</strong> yang mencintainya. Teuku<br />

Nyak Arif adalah seorang pemimpin yang anti Belanda dan Jepang<br />

serta mengutamakan kepentingan rakyat.<br />

Di antara yang hadir pada pemakaman itu. adalah: Residen<br />

Teuku L>aud Syah, Tuanku Mahmud (mewakili Gubernur Sumatera),<br />

Mr. S.M. Amin, Ketua DPR Aceh (Sutikno), H.M. Zainuddin,<br />

146


R. Engsoro (masing-masing sebagai anggota DPR), Teuku Panglima<br />

Polim Moh. Ali, Nyak Mansur (Wedana Sabang), Ali Hasan (Bupati<br />

Aceh Besar), Syech Marhaban (Wedana Kutaraja), Said Abubakar<br />

dan ulama-ulama terkemuka dari Sagi 26 Mukim. Di antara yang<br />

hadir tersebut terdapat tokoh-tokoh yang ikut ambil bagian untuk menahan<br />

dan mengasingkan Teuku Nyak Arif. 6)<br />

Teuku Nyak Arif telah meninggalkan kita buat selama-lamanya,<br />

dan sebagai seorang pemimpin rakyat ia telah ikut berjuang<br />

bersama-sama rakyat sampai akhir hayatnya. Husin Al Mujahid sebagai<br />

tokoh yang mengambil kekuasaan, akhirnya mengalami nasib<br />

yang tidak menguntungkan. Sebagai seorang yang belum dipersiapkan<br />

dalam jabatan itu, maka Husin Al Mujahid tidak dapat memikul<br />

beban yang diambilnya. Dengan pangkat Mayor Jenderal, Husin Al<br />

Mujahid masuk dan ke luar pasar, mencoba memperlihatkan bahwa ia<br />

rendah hati. Tetapi orang yang mengetahui sangat geli melihat kelakuannya,<br />

karena sebagai perwira tinggi dia harus menjaga gengsi di<br />

mata rakyat. Kemudian ketika Husin Al Mujahid menginap di Hotel<br />

Aceh Kutaraja, dia ditangkap oleh rakyat dan tentara yang dipimpin<br />

oleh Kapten Abdullah Masri. Dalam perjalanan ke Sigli Husin Al<br />

Mujahid berusaha untuk melarikan diri, tetapi akhirnya dapat ditangkap.<br />

Sesudah dapat ditangkap kembali perjalanan dilanjutkan ke<br />

Sigli. Rombongan dicegat oleh Mayor Hasballah dan pasukannya atas<br />

permintaan Tengku Abdul Wahab Seulimem yang menjadi Bupati<br />

Pidie waktu itu. 7)<br />

Tangkapan ito akhirnya terpaksa diserahkan kepada Mayor Hasballah.<br />

Peristiwa itu menunjukkan bagaimana labilnya keadaan pada<br />

waktu itu. Dalam lapangan politik gerakan Husin Al Mujahid telah<br />

berhasil memukul golongan uleebalang secara keseluruhan. Gerakan<br />

itu dapat dianggap sebagai lanjutan peristiwa Cumbok. Jabatanjabatan<br />

penting yang diduduki oleh golongan Uleebalang harus<br />

dimiliki oleh golongan PUSA. Kedudukan yang telah diimpikari<br />

semenjak zaman Hindia Belanda dan zaman pendudukan Jepang, baru<br />

sekarang diperoleh oleh PUSA. 8)<br />

6) H.M. Zainuddin, Srikandi Aceh, Pustaka Iskandar Muda, Medan, hal. 5<br />

7) Wawancara dengan Abdullah Masri, Banda Aceh, 15 September 1975.<br />

8) Insider, Aceh Sepintas Lalu, Fa. Achapada, Jakaarta, 1950, hal. 22.<br />

TEUKU NYAK ARIF - 11 147


Tengku Daud Beureueh kemudian diangkat menjadi Gubernur<br />

Militer daerah Aceh, yang berkuasa di bidang sipil dan militer.<br />

Bidang perekonomian kemudian juga dikuasai golongan PUSA,<br />

seperti Said Abubakar menguasai perkebunan, Husin Al Mujahid<br />

menguasai pertambangan mi<strong>nyak</strong> Sumatera Utara dan Nyak Neh<br />

mengurus soal perdagangan. Kemudian timbul perselisihan di antara<br />

ulama PUSA mengenai harta benda bangsawan. Untuk menyelesaikan<br />

perselisihan itu dibentuk Majelis Penimbang yang terdiri dari<br />

PUSA, sehingga keluarga bangsawan tidak puas dengan majelis<br />

tersebut. Selanjutnya di antara golongan ulama PUSA timbul perpecahan.<br />

Kemudian timbul pula gerakan Said Ali Cs yang bermaksud<br />

merebut kekuasaan, tetapi akhirnya digagalkan dan ia ditangkap.<br />

Dengan tumbangnya Sayid Ali, maka berdirilah pemerintahan yang<br />

besar sekali kekuasaannya, yakni pemerintahan PUSA, yang melawan<br />

Belanda sampai tahun 1949 de-ngan Gubernur Militer Tengku Daud<br />

Beureueh. 9)<br />

Mengenai Teuku Nyak Arif, walaupun telah berpulang ke rakhmatullah<br />

masih ada saja orang atau golongan yang mendiskreditkannya.<br />

Teuku Nyak Arif dikatakan pernah berhubungan dengan Sekutu<br />

di Medan dan dengan NICA di Sabang, tetapi semua tuduhan itu tidak<br />

dapat dibuktikan sama sekali. Dengan adanya laporan dari Knottenbelt,<br />

maka issu yang mengatakan bahwa Teuku Nyak Arif pernah<br />

bekerja sama dengan Sekutu dan Belanda tidak benar sama sekali.<br />

Namun demikian membersihkan nama-nama orang yang tidak terlibat,<br />

maka pemerintah pernah membentuk suatu komisi untuk mengadili<br />

tokoh yang terlibat dalam peristiwa Cumbok.<br />

Anggota komisi itu terdiri dari: Tengku Ismail Jacob, Tengku<br />

Junus Jamil, Tengku H. Hasan Kruengkale dan Teungku Ali Lamlagang.<br />

Setelah komisi bekerja dengan giat dan teliti, maka komisi<br />

berkesimpulan bahwa Teuku Nyak Arif tidak terbukti bersalah seperti<br />

apa yang dituduhkan orang kepadanya. Begitu pun tawanan-tawanan<br />

lainnya yang tidak terbukti bersalah juga dibebaskan. Kejadian ini<br />

berlangsung sewaktu Tengku Daud Beureueh menjadi Gubernur<br />

Militer dan Mr. S.M. Amin menjadi Komisaris pemerintah. 10<br />

'<br />

9) Surat kabar Bijaksana, Medan, 6 November 1953, hal. 1.<br />

10) Wawancara dengan Ismail Jacob, Semarang, 8 Maret 1974.<br />

148


Pada tahun 1954 dibentuk lagi suatu panitia di Medan yang diketuai<br />

oleh Nyak Umar. Tugasnya mengadili orang-orang yang terlibat<br />

dalam revolusi sosial baik di Aceh maupun di Sumatra Timur.<br />

Panitia itu juga berkesimpulan bahwa Teuku Nyak Arif betul-betul<br />

tidak bersalah dan adalah fitnah semata-mata kalau ada yang<br />

menuduh ia terlibat dalam revolusi sosial. U)<br />

Sebagai penghargaan dari jasa-jasanya, maka Menteri Kesejahteraan<br />

Sosial pada tanggal 17 Februari 1962, menetapkan Teuku<br />

Nyak Arif sebagai perintis Pergerakan Kemerdekaan Kebangsaan.<br />

Kemudian setelah diadakan penelitian yang mendalam oleh Pemerintah<br />

mengenai riwayat hidup dan perjuangan Teuku Nyak Arif, maka<br />

ditetapkan oleh Presiden almarhum Teuku Nyak Arif sebagai Pahlawan<br />

Nasional pada tanggal 19 November 1974. Yang benar itu<br />

walaupun bagaimana ditutup-tutup akan tetap kelihatan juga akhirnya.<br />

Tuhan selalu menyertai hamba-Nya yang mengatakan: Wallahumma<br />

Sabirin (Allah mengasihi hamba-Nya yang sabar).<br />

11) Wawancara dengan Nyak Umar, Medan. 20 September 1975.<br />

149


150<br />

k.<br />

I<br />

H<br />

1<br />

R<br />

c<br />

I<br />

o.


co B "2<br />

•S J 3<br />

|^ a<br />

- O Ë<br />

00 w «<br />

c c ~<br />

3 O 3<br />

as s<br />

J<br />

a es<br />

la fe<br />

§ i<br />

2<br />

•2 Q<br />

3 «<br />

SC a<br />

"S §<br />

£5<br />

2f<br />

1 <br />

I 3<br />

t i l<br />

5 z 3.<br />

5 I g.<br />

z i j<br />

5 K<br />

z<br />

5 g Ë<br />

< M -a<br />

< 3 £<br />

Ui<br />

Ml<br />

S EO<br />

151


XI. PEMUGARAN MAKAM PAHLAWAN NASIONAL<br />

TEUKU NYAK ARIF<br />

Pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan dan mengukuhkan<br />

gelar Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden<br />

Republik Indonesia kepada warga .negara atau putra-putri Indonesia<br />

yang sangat berjasa pada nusa, bangsa dan negara.<br />

Tanggal 10 November setiap tahun diperingati dan dirayakan<br />

rakyat Indonesia sebagai Hari Pahlawan. Pemerintah membangun dan<br />

memugar makam-makam pahlawan nasional, sebagai tanda penghormatan<br />

dan bukti penghargaan pada jasa-jasa mereka, yang telah mempersembahkan<br />

darma bakti demi kejayaan tanah air. Nama-nama<br />

mereka diabadikan dalam nama-nama jalan, taman, rumah sakit,<br />

universitas, bandara dan lain-lainnya.<br />

Pada hari Selasa tanggal 17 September 1991 sore Menteri Sosial<br />

Prof. Dr. Haryati Subadto meresmikan pemugaran makam Pahlawan<br />

Nasional Teuku Nyak Arif yang terletak di Desa Lamreung, Meunasah<br />

Baktricng, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar, Propinsi<br />

Daerah Istimewa Aceh. Makam Pahlawan Nasional Teuku Nyak Arif<br />

itu dipugar oleh Departemen Sosial dengan dana APBN tahun anggaran<br />

1989/1990 dan bantuan Pemerintah Daerah Aceh, yang seluruhnya<br />

berjumlah Rp 61.800.000,- (Enam puluh satu juta delapan ratus ribu<br />

rupiah). Makam itu bercirikan bangunan yang khas Aceh dan layak<br />

sebagai makam seorang Pahlawan Nasional.<br />

Pernah tersiar berita, bahwa makam Teuku Nyak Arif yang terletak<br />

di tepi Krueng (Sungai) Lam Nyong yang hanya beberapa kilometer<br />

di sebelah Timur kota Banda Aceh itu terkena Proyek Krueng<br />

Aceh pada langgulnya. Terjadilah pembicaraan antara Pemerintah<br />

152


Daerah, Departemen Sosial, keluarga Teuku Nyak Arif dan masyarakat<br />

Lamreung Tiga Meunasah, mengenai kemungkinan pemindahan<br />

makam tersebut. Walaupun keluarga Teuku Nyak Arif tidak berkeberatan<br />

dan menyerahkan masalah itu sepenuhnya kepada Pemerintah<br />

dan Departemen Sosial, namun masyarakat Lamreung Tiga<br />

Meunasah menyatakan keberatan mereka terhadap pembongkaran dan<br />

pemindahan makam Pahlawan Nasional yang mereka cintai dan hormati<br />

itu. Mereka bahkan mengusulkan agar Proyek Krueng Aceh itulah<br />

yang sebaiknya digeser beberapa meter. Akbirnya syukurlah pengharapan<br />

dan usul mereka itu terpenuhi juga. Makam itu tidak jadi<br />

dibongkar-pasang atau dipindahkan, bahkan dipugar kembali dengan<br />

upacara yang sangat khidmat.<br />

Upacara pemugaran makam Pahlawan Nasional Teuku Nyak Arif<br />

itu dihadiri antaranya oleh:<br />

1. Menteri Sosial Republik Indonesia Prof. Dr. Haryati Subadio<br />

beserta staf dan rombongan beliau dari Jakarta.<br />

2. Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh Prof. Dr. Ibrahim Hasan,<br />

MBA.' dan Ibu Dra. S.M. Ibrahim Hasan.<br />

3. Muspida Istimewa Aceh.<br />

4. Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa<br />

Aceh.<br />

5. Para tokoh Pengadilan Tinggi.<br />

6. Wakil Gubernur.<br />

7. Rektor Universitas Syiahkuala.<br />

8. Majelis Ulama Indonesia Daerah Istimewa Aceh.<br />

9. Brigjen (purn) Syamaun Gaharu, Mantan Penguasa Perang Aceh.<br />

10. Bapak Ali Hasymi, Ketua MUI Daerah Istimewa Aceh/Mantan<br />

Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh.<br />

11. Bapak Prof. Dr. Ismuha SH (Anggota DPA).<br />

12. Bapak Drs. Teuku Umar Ali, menantu Teuku Nyak Arif.<br />

13. Bapak Teuku Syamsul Bahri, SH., patra Teuku Nyak Arif.<br />

14. Keluarga Besar Teuku Nyak Arif.<br />

15. Para tokoh Ulama, tokoh adat dan rakyat/masyarakat Aceh.<br />

153


Upacara peresmian pemugaran makam Pahlawan Nasional Teuku<br />

Nyak Arif itu berlangsung penuh khidmat dengan acara sebagai berikut:<br />

1. Laporan Ketua Panitia Peresmian Pemugaran Makam Pahlawan<br />

Nasional Teuku Nyak Arif, Kepala Kantor Wilayah Departemen<br />

Sosial Daerah Istimewa Aceh, H.A. Ismail.<br />

2. Sambutan pihak keluarga Teuku Nyak Arif yang disampaikan<br />

oleh putra beliau Teuku Syamsul Bahri, SH.<br />

3. Sambutan Brigjen (purn) Syamaun Gaharu, mantan Pangdam 1/<br />

Iskandar Muda selaku seorang tokoh pelaku sejarah yang selalu<br />

dekat dengan almarhum Teuku Nyak Arif.<br />

4. Sambutan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh.<br />

5. Sambutan Menteri Sosial Republik Indonesia Prof. Dr. Haryati<br />

Subadio.<br />

6. Penandatangan prasati oleh Menteri Sosial Prof. Dr. Haryati<br />

Subadio.<br />

7. Pengguntingan untaian sirih oleh Ibu Dra. S.M. Ibrahim Hasan.<br />

8. Pembacaan doa oleh Bapak Ali Hasymi, Ketua MUI dan mantan<br />

Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh.<br />

9. Penaburan bunga di makam Pahlawan Nasional Teuku Nyak Arif<br />

oleh para hadirin.<br />

Sambutan Teuku Syamsul Bahri, SH atas nama keluarga pada<br />

acara peresmian pemugaran makam Teuku Nyak Arif tanggal 17<br />

September 1991.<br />

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh<br />

Yang kami hormati Menteri Sosial RI Ibu Prof. Dr. Haryati Subadio,<br />

Yang kami hormati Gubernur Pfopinsi Daerah Istimewa Aceh, Bapak<br />

Prof. Dr. Ibrahim Hasan,<br />

Yang kami hormati Ibu Dra. Siti Maryam Ibrahim Hasan,<br />

Yang kami hormati para Pejabat Eselon I Departemen Sosial RI,<br />

Bapak-bapak Anggota Muspida Propinsi DI Aceh,<br />

Ketua serta Anggot DPRD DI Aceh, Bapak Rektor Unsiyah,<br />

Bapak Kakanwil Departemen Sosial,<br />

Bapak Bupati Kabupaten Aceh Besar, Camat Kecamatan Ingin Jaya,<br />

Para sesepuh, Alim Ulama, Tokoh-tokoh masyarakat, hadirin dan<br />

hadirat yang kami muliakan.<br />

154


Alhamdulillah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT,<br />

karena dengan limpahan rahmat-Nya kita pada hari ini tanggal 17<br />

September 1991 dapat berada dan berkumpul di tempat ini bersamasama<br />

Ibu Menteri Sosial dan Bapak Gubernur, dalam rangka peresmian<br />

Makam Almarhum Orang Tua kami Teuku Nyak Arif.<br />

Atas nama keluarga, izinkanlah kami mengucapkan terima kasih<br />

yang sebesar-besarnya kepada Pemerintah Pusat, Departemen Sosial<br />

RI dan Pemerintah Daerah, khususnya atas perhatian yang demikian<br />

besar dari Ibu Menteri Sosial RI dan Bapak Gubernur sehingga makam<br />

ini telah dipugar dan diperindah sesuai dengan arsitektur khas Aceh<br />

yang sangat mengesankan.<br />

Demikian pula kami ucapkan ba<strong>nyak</strong> terima kasih kepada Bapak<br />

Kakanwil Departemen Sosial Aceh, masyarakat 3 Meunasah Lamreung<br />

dan semua pihak yang terkait dalam pelaksanaan pemugaran<br />

makam ini. Budi baik dan amal saleh Bapak-bapak tidak dapat kami<br />

membalasnya, kiranya Tuhan jugalah yang akan membalasnya dengan<br />

berlipat ganda.<br />

Hadirin dan hadirat yang berbahagia,<br />

Sebelum pemugaran, makam ini merupakan makam keluarga yang<br />

sangat sederhana, terletak dalam perkampungan dan berjarak ± 150 m<br />

dari sungai yang lama.<br />

Pada waktu pelaksanaan pembangunan proyek pengendalian<br />

Krueng Aceh, makam ini sebenarnya akan digusur dan akan dipindahkan<br />

ke tempat lain. Mendengar rencana ini masyarakat di sini<br />

terutama masyarakat 3 Meunasah Lamreung telah memohon kepada<br />

Bapak Gubernur agar makam ini tidak dipindahkan.<br />

Masyarakat memohon pengecualian bukan saja karena mengingat<br />

almarhum orang tua kami berasal dari desa ini tetapi yang terpenting<br />

tampaknya, ingin mempertahankan secuil kenangan perjuangan masa<br />

lalu.<br />

Ternyata permononan masyarakat dikabulkan dan oleh Bapak<br />

Wakil Gubernur telah diberitahukan bahwa makam tidak akan dipindahkan<br />

bahkan akan dipugar.<br />

Dengan peristiwa hari ini, terkenang kembali dalam ingatan kami<br />

perjuangan almarhum dengan rakyat di sini sebagai salah satu basis<br />

pengabdian almarhum, ketika pada tahun 1942 memberontak mela-<br />

155


wan kolonial Belanda. Dan pemberontakan yang dilakukan itu adalah<br />

demi sumpah yang telah diikrarkan pada tahun tiga puluhan bersama<br />

teman-teman seperjuangan lainnya, bahwa bilamana saja ada kesempatan,<br />

almarhum akan memberontak melawan Belanda. Sebelumnya<br />

almarhum telah mengirimkan ultimatum kepada penguasa Belanda "di<br />

Aceh agar menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada almarhum.<br />

Belanda telah menjawab tuntutan itu dengan memerintahkan serdadu<br />

Marsose untuk menangkap Teuku Nyak Arif hidup atau mati.<br />

Pada waktu rumah kami yang terletak di ujung di sebelah timur<br />

jembatan yang baru dibangun ini, diserang dan ditembaki dengan<br />

membabi buta oleh serdadu-serdadu Belanda, kebetulan almarhum<br />

tidak berada di rumah dan sedang berada di Lubok memimpin rapat<br />

perlawanan terhadap Belanda.<br />

Pada malam harinya Belanda mencoba lagi datang kemari untuk<br />

menangkap almarhum. Tetapi tidak berhasil karena telah dihadang<br />

dan mendapat perlawanan sengit dari barisan rakyat yang dipimpin<br />

oleh Waki Harun. Dalam serangan tersebut telah jatuh korban di kedua<br />

belah pihak baik di pihak rakyat maupun di pihak Belanda. Sabotase<br />

dan perlawanan terhadap Belanda menjalar ke seluruh daerah Aceh.<br />

Seratus lima tahun yang lalu yaitu pada tahun 1876 kawasan ini<br />

juga menjadi ajang pertempuran seru antara prajurit Aceh dengan serdadu<br />

kolonial Belanda yang menewaskan seorang Jenderal Belanda<br />

yang bernama Pel.<br />

Pemerintah Belanda telah mendirikan tugu peringatan untuk<br />

Jenderal Pel dan sisa puingnya masih dapat dilihat sampai sekarang<br />

sebagai saksi sejarah di bagian sebelah barat jembatan besar yang<br />

baru dibuat ini.<br />

Kawasan ini sekarang sudah jauh berubah dan perubahannya<br />

seperti siang dengan malam berkat salah satu hasil pembangunan nyata<br />

Daerah Aceh di bawah kepemimpinan Bapak Gubernur Ibrahim Hasan.<br />

Namun fakta perjuangan masa lalu tak dapat dilupakan dan akan<br />

tetap dikenang sepanjang masa.<br />

Bila pada hari ini Ibu Menteri Sosial meresmikan pemugaran<br />

makam ini sebagai penghargaan kepada almarhum, pada hakikatnya<br />

penghargaan kepada almarhum merupakan penghargaan kepada rakyat<br />

Aceh, penghargaan terhadap perjuangan rakyat Aceh khususnya dan<br />

156


akyat Indonesia pada umumnya.<br />

Kiranya peristiwa ini dapat menggugah semangat kita untuk<br />

meneruskan cita-cita para pejuang bangsa dalam mencapai kejayaan<br />

agama, bangsa dan negara.<br />

Akhirnya dari lubuk hati kami yang paling dalam, sekali lagi<br />

kami mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga dan penghargaan<br />

yang setinggi-tingginya kepada Ibu Menteri Sosial dan kepada<br />

Bapak Gubernur Aceh atas pemugaran dan peresmian makam ini.<br />

Kami sampaikan pula rasa hormat kami yang setinggi-tingginya<br />

kepada para teman seperjuangan almarhum seperti Bapak Syamaun<br />

Gaharu, Bapak Muzakkir Walad, Bapak Abdullah Masri dan lain-lain<br />

yang tidak dapat kami sebut semuanya satu per satu baik yang masih<br />

hidup maupun yang telah berpulang ke rahmatullah.<br />

Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat, taufik dan<br />

hidayah-Nya kepada Ibu Menteri Sosial, Bapak Gubernur dan kepada<br />

kita sekalian.<br />

. Wabillahi Taufik Walhidayah. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb.<br />

Sesuai kenyataannya, tentang keberadaan almarhum di Takengon,<br />

memang tidak dapat dipungkiri terdapat berbagai sebutan negatif<br />

atas dirinya dari kalangan tertentu, tetapi berdasarkan pernyataan resmi<br />

Pemerintah, "almarhum meninggal pada tanggal 4 Mei 1946 dalam<br />

jabatannya sebagai Residen di Takengon, tatkala ia menjalankan<br />

tugasnya di sana" sebagaimana Surat Keterangan Residen yang diperbantukan<br />

pada Gubernur Sumatra Utara ditandatangani oleh T.T.M.<br />

Daudsyah tertanggal Medan, 26 November 1952 dan kemudian berdasarkan<br />

Keputusan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara<br />

Nomor: 0313/KDH-I/J/1980 tertanggal Jakarta, 25 Juli 1980,<br />

dengan memperhatikan surat Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh<br />

No. 6/DP/1980, berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1980,<br />

ditegaskan bahwa almarhum mengakhiri jabatan Residen Karesidenan<br />

Aceh "terhitung mulai tanggal 4 Mei 1946". Dengan demikian<br />

hingga meninggal dunia, almarhum adalah antara lain Residen Aceh<br />

dan di Takengon menjalankan tugas, maka dengan sendirinya sebutan-sebutan<br />

yang pemah ada berarti secara resmi adalah tidak benar.<br />

157


Teuku Syamsul Bahri, SH. menyampaikan pula rasa terimakasih<br />

keluarga atas Keputusan Departemen Kesejahteraan Sosial tertanda<br />

Jakarta, 17 Februari 1962, No. Pol 1/62/P.K., bahwa janda almarhum<br />

ditetapkan sebagai janda Perintis Pergerakan Kebangsaan/Kemerdekaan,<br />

kemudian Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 071/TK/<br />

Tahun 1974 tertanggal Jakarta, 9 November 1974, bahwa almarhum<br />

dianugrahi gelar Pahlawan Nasional. Sebagai seorang yang ditetapkan<br />

dalam kedudukan Mayor Jenderal Tituler Tentara Republik Indonesia<br />

Anggota Staf Umum Komandemen Sumatera, pada tempatnya keluarga<br />

merasa bangga, bahwa almarhum pernah dipercayai mengemban tugas<br />

ketentaraan resmi tersebut. Ucapan terimakasih keluarga disampaikan<br />

pula kepada semua sahabat almarhum yang senasib sepenanggungan,<br />

kepada para teman separtai dan se<strong>org</strong>anisasi dalam Nationaal Indische<br />

Partij, Syarikat Aceh, Jong Soematranen Bond, Muhammadiyah,<br />

Taman Siswa dan Partai Nasional Indonesia. Demikian pula kepada<br />

rekan sejawat sesama anggota Volksraad perode 1927-1931, sesama<br />

anggota Chuo Sangi In Sumatra dan Shu Sangi Kai Aceh, sesama<br />

anggota Komite Nasional Indonesia Karesidenan Aceh disampaikan<br />

rasa terimakasih keluarga.<br />

Teuku Syamsul Bahri, SH. menutup pidato sambutannya dengan<br />

menyampaikan, bahwa era generasi kita sekarang dan selanjutnya<br />

bukanlah era berkelahi atau berperang, walau kita selalu harus waspada<br />

dan tangguh, tetapi adalah era pembangunan nasional serta terusmenerus<br />

membina persatuan dan kesatuan, begitu pula memantapkan<br />

kebersamaan dan keserasian bangsa. Tiada gading yang tak retak,<br />

demikian pula dengan almarhum, semoga Allah SWT mengampuni<br />

segala kesalahan dan menerima semua amal ibadah almarhum. Amin.<br />

Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh Prof. Dr. Ibrahim Hasan,<br />

MBA. dalam pidato sambutannya antara lain menyampaikan, bahwa<br />

pada sore ini sukma kita merasa haru dan bergetar, dengan jiwa besar<br />

dan hati sanubari bergebar, kita bersama Menteri Sosial Republik<br />

Indonesia Ibu Prof. Dr. Haryati Subadio dan dihadiri oleh pelaku<br />

sejarah, para umara dan ulama, telah berada di tempat makam putra<br />

terbaik bangsa Indonesia yang lahir dan bermukim di Aceh, yaitu<br />

Teuku Nyak Arif. Semasa hidup beliau bergelimang di arena perjuangan<br />

kemerdekaan untuk meningkatkan martabat dan harkat bangsa<br />

1-58


yang berada dalam belenggu penjajahan. Dari rekaman perjuangan<br />

yang cukup panjang penuh heroik dan patriotik, maka dengan Keputusan<br />

Presiden Republik Indonesia Nomor 171/TK/Tahun 1974<br />

beliau telah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Sebelumnya dengan<br />

Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor Pol. 1/62/<br />

PK/72 Tanggal 17-2-1962'beliau ditetapkan sebagai Perintis Pergerakan<br />

Kebangsaan/Kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam kesempatan ini<br />

patut kita merenung dan bcrtafakur menundukkan kepala, semoga<br />

arwah Teuku Nyak Arif mendapat tempat yang layak di sisi Allah<br />

Subhanahu Wata'ala.<br />

Selanjutnya diuraikan panjang-lebar secara terperinci sejarah hidup<br />

almarhum, sepak-terjang, perlaku, kecakapan, keberanian, ketekunan,<br />

kejujuran, kehalusan budi, kegiatan, perjuangan dan pengorbanan<br />

sebagai seorang pejuang, pemikir, pemersatu, yang selalu bersikap<br />

keras dan tegas memperhatikan kepentingan dan meringankan beban<br />

rakyat. Usaha mencapai kemerdekaan diperjuangkan beliau secara<br />

konsekuen baik di zaman kolonial Belanda, maupun di bawah militerisme<br />

Jepang. Pada hari ini hadir pula Bapak Ali Hasymi dan Bapak<br />

Syamaun Gaharu sebagai saksi dan pelaku sejarah' yang masih hidup,<br />

yang lebih ba<strong>nyak</strong> mehgetahui liku dan seluk-beluk perjuangan bersama<br />

almarhum. Akhirnya dapat disimpulkan, bahwa Pahlawan Nasional<br />

dan Perintis Pergerakan Kebangsaan/Kemerdekaan Republik<br />

Indonesia yang telah dianugerahkan kepada Teuku Nyak Arif adalah<br />

sangat tepat mengingat jasa-jasa beliau kepada bangsa dan negara<br />

Republik Indonesia. Demikian pula kebijakan pemerintah memugar<br />

makam beliau ini adalah suatu kebijakan yang sangat <strong>arif</strong>, karena<br />

Teuku Nyak Arif adalah seorang putra bangsa yang di sepanjang<br />

masa hidupnya selalu berjuang mengusir penjajah, baik Belanda<br />

maupun Jepang, dengan semangat yang tak pernah menyerah dan<br />

pantang berputus asa. Atas nama seluruh rakyat Aceh saya mengucapkan<br />

terimakasih dan penghargaan yang tinggi kepada Keluarga<br />

Besar Teuku Nyak Arif atas segala bantuan dan pengorbanannya<br />

kepada Daerah Istimewa Aceh ini. Kesemuanya ini akan menambah<br />

penghargaan, hormat dan kenangan kita pada kepahlawanan Teuku<br />

Nyak Arif.<br />

Setelah Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh Prof. Dr. Ibrahim<br />

159


Hasan, MBA. memberikan pidato sambutannya, maka Menteri Sosial<br />

Republik Indonesia Prof. Dr. Haryati Subadio mengucapkan pidato<br />

sambutan tanpa leks. Dalam pidato beliau itu Menteri Sosial antara<br />

lain mengatakan: Aceh jangan memonopoli pemilikan Teuku Nyak<br />

Arif, karena Teuku Nyak Arif" sebagai Pahlawan Nasional dan Perintis<br />

Kemerdekaan yang berjuang untuk membebaskan bangsa Indonesia<br />

dari belenggu penjajahan Belanda dan Jepang di Aceh ini sudah<br />

menjadi milik seluruh bangsa Indonesia. Jadi kebanggaan memiliki<br />

Pahlawan Nasional dan Perintis Kemerdekaan Indonesia yang bernama<br />

Teuku Nyak Arif juga harus dirasakan oleh seluruh bangsa Indonesia.<br />

Teuku Nyak Arif merupakan sosok pejuang nasional dan perintis<br />

kemerdekaan yang terkenal paling gesit dan vokal dalam menentang<br />

kehadiran kaum penjajah di bumi Iskandar Muda. Kita harus mengenangnya<br />

karena beliau telah mengantarkan hasilnya hingga Indonesia<br />

merdeka dan kini sedang giat membangun. Kehadiran saya di<br />

sini tandanya justru karena kebanggaan kita memiliki Pahlawan<br />

Nasional yang perkasa. Saya berterimakasih kepada Pemda Aceh di<br />

bawah pimpinan Prof. Dr. Ibrahim Hasan, MBA. yang memiliki andil<br />

hingga munculnya bangunan yang berarsitektur khas Aceh. Terimakasih<br />

saya pula kepada masyarakat Daerah Istimewa Aceh yang telah<br />

mendukung secara moril maupun materil akan pembangunan makam<br />

Pahlawan Nasional Teuku Nyak Arif. Saya berharap semoga masyarakat<br />

di Propinsi Daerah Istimewa Aceh tetap memelihara dan<br />

memupuk persatuan dan kesatuan nasional Indonesia dalam upaya<br />

mengisi kemerdekaan yang direbut dari tangan penjajah dengan penuh<br />

pengorbanan baik harta maupun nyawa. Jika pada zaman penjajahan<br />

kita berjuang untuk merebut kemerdekaan, maka di alam kemerdekaan<br />

kita harus berjuang mengisi kemerdekaan dengan pembangunan bagi<br />

kesejahteraan rakyat.<br />

Upacara peresmian pemugaran makam Pahlawan Nasional Teuku<br />

Nyak Arif itu diakhiri dengan penandatanganan prasasti oleh Menteri<br />

Sosial, pengguntingan untaian sirih oleh Ibu Dra. S.M. Ibrahim Hasan,<br />

pembacaan doa oleh Bapak Ali Hasymi, Ketua MUI Daerah Istimewa<br />

Aceh dan penaburan bunga oleh para hadirin. Upacara pemugaran<br />

makam Pahlawan Nasional Teuku Nyak Arif berlangsung dengan<br />

penuh khidmat. Pahlawan Nasional Teuku Nyak Arif memang sangat<br />

lj60


dikenal, dicintai dan dihormati oleh rakyat dan masyarakat Aceh.<br />

Napak Tilas Teuku Nyak Arif<br />

Suatu bukti nyata betapa rakyat Aceh menghormati dan menghargai<br />

jasa-jasa Pahlawan Nasional Teuku Nyak Arif terlihat berupa<br />

pelaksanaan napak tilas Teuku Nyak Arif yang berlangsung pada hari<br />

Sabtu dan Minggu tanggal 22 dan 23 Februari 1992. Kegiatan napak<br />

tilas Teuku Nyak Arif itu disponsori oleh <strong>org</strong>anisasi Pemuda Panca<br />

Marga Aceh, diikuti sekitar 700 orang pemuda anggotanya dari berbagai<br />

kabupaten, serta OSIS SMTA Banda Aceh dan anggota ABRI.<br />

Tujuaq utama napak tilas Teuku Nyak Arif itu, sebagaimana yang<br />

disampaikan Wakil Guberur Teuku Djohan dalam upacara resmi, ialah:<br />

Napak Tilas Teuku Nyak Arif merupakan salah satu upaya meningkatkan<br />

pembinaan dan pengembangan generasi muda dalam rangka<br />

menumbuhkan semangat perjuangan dan patriotisme generasi muda<br />

sebagai penerus cita-cita perjuangan bangsa yang telah dirintis para<br />

pendahulunya. Dalam pidato sambutannya, Kepala Kantor Wilayah<br />

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Aceh Bapak H. Ibrahim Kaoy<br />

lebih menegaskan lagi, bahwa dipilihnya jejak Teuku Nyak Arif dalam<br />

napak tilas ini ialah karena perjuangan yang ditegakkan Teuku Nyak<br />

Arif bukanlah perjuangan bcrsifat daerah, tetapi perjuangan yang berwawasan<br />

nasional. Persatuan dan kesatuan nasional itulah yang patut<br />

diwarisi generasi muda dalam mengisi kemerdekaan dan menghadapi<br />

segala tantangan zaman. Hikman dan manfaat yang diperoleh dari<br />

napak tilas Teuku Nyak Arif ini, sebagaimana yang dinyatakan Ketua<br />

Panitia Pclaksana Drs. Ilyas Yakob, ialah bahwa yang dikejar oleh<br />

para peserta bukanlah efck fisiknya, akan tetapi bagaimana mempertautkan<br />

pemikiran generasi muda dengan idealisme perjuangan Teuku<br />

Nyak Arif. Hal yang scnada dilontarkan pula oleh Drs. Kamaruddin<br />

Hasan sebagai Sckrctaris Panitia, bahwa pengerahan massa terutama<br />

pemuda dan pclajar bukanlah suatu acara seremonial atau show of<br />

force bclaka, mclainkan dalam kontcks perjuangan sekarang ini idealisme<br />

Teuku Nyak Arif dapat menjadi contoh yang baik.<br />

Jalan napak tilas Teuku Nyak Arif yang ditempuh adalah dari<br />

Blang Padang menuju ke arah Barat lewat Ulee Lheue, lalu ke arah<br />

Selatan lewat Pekan Bada ke Lhoknga, ke arah-Timur lewat Sibreh,<br />

161


Lamnga dan melalui Tungkop ke arah Utara ke Darussalam dan<br />

berakhir di Makam Pahlawan Nasional Teuku Nyak Arif di Lamreung,<br />

Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar. *•<br />

Upacara penutupan dilakukan oleh Kapolda Aceh Kolonel Polisi<br />

M. Safuan dan Kakanwil Depdikbud Daerah Istimewa Aceh. Keluarga<br />

Besar Teuku Nyak Arif diwakili oleh Teuku Raja Itam, SH. dan<br />

keluarga. Acara diakhiri dengan penuh haru disertai doa bersama dan<br />

nyanyian lagu-lagu "Syukur" dan "Padamu Pahlawan". Bangsa yang<br />

besar ialah bangsa yang tahu menghormati dan menghargai jasa-jasa<br />

pahlawannya.<br />

162


BAGIAN II<br />

OPINI TOKOH MASYARAKAT<br />

DAN CENDEKIAWAN<br />

TEUKU NYAK ARIF - 12


L WAWANCARA DENGAN TOKOH<br />

MASYARAKAT ACEH<br />

Prof. Dr. Tengku Hasby Assyidiki (golongan ulama intelek, mantan<br />

Gum Besar IAIN Yogyakarta)<br />

Teuku Nyak Arif seorang nasionalis, semenjak zaman Hindia Belanda<br />

dan zaman pendudukan Jepang. Sebagai Panglima Sagi beliau selalu<br />

memperhatikan kepentingan rakyat dan tidak berjiwa feodal, seperti<br />

keba<strong>nyak</strong>an golongan feodal lainnya.<br />

Brigadir Jenderal Syamaun Gaharu (Mantan Komandan TKR<br />

daerah Aceh dan Pangdam I Iskandar Muda)<br />

Teuku Nyak Arif adalah seorang tokoh terkemuka dan seorang nasionalis<br />

yang pantas mendapat penghargaan dari seluruh rakyat Indonesia.<br />

Usman Raliby (tokoh Islam terkenal)<br />

Teuku Nyak Arif termasuk republiken dan nasionalis yang telah<br />

berjuang semenjak zaman Hindia Belanda dan zaman pendudukan<br />

Jepang. Meskipun tergolong bangsawan, tetapi sama sekali tidak<br />

pernah bertindak seperti golongan bangsawan lainnya.<br />

Muzakir Walad (Mantan Gubernur Aceh)<br />

Sebagai salah seorang rakyat Sagi 26 Mukim yang waktu zaman<br />

Hindia Belanda dikepalai oleh Teuku Nyak Arif, Muzakir Walad<br />

sampai menitikkan air mata membaca syair pujaan rakyat 26 Mukim<br />

ter-hadap Teuku Nyak Arif. Teuku Nyak Arif adalah tokoh pertama<br />

di Aceh menjelang masa kemerdekaan, dan masa-masa sebelumnya,<br />

sedang tokoh Aceh lainnya berada di bawah beliau. _<br />

165


Tengku Daud Beureueh (Mantan Gubernur Aceh)<br />

Dalam suatu perjalanan dinas bersama-sama dengan Teuku Nyak Arif<br />

ke daerah-daerah Aceh, ketika menginap di rumah salah seorang<br />

Uleebalang dan yang hanya menyediakan sebuah tempat tidur, Teuku<br />

Nyak Arif bersedia menyerahkan tempat tidurnya kepada saya.<br />

Teuku Osman Jacob (Mantan Walikota Kutaraja)<br />

Sewaktu Teuku Nyak Arif akan ditangkap oleh Husin Al Mujahid,<br />

beliau tidak memerintahkan untuk melawan, walaupun didesak oleh<br />

bawahahnya. Dengan kompi istimewa saja Husin Al Mujahid dapat<br />

dihancurkan. Kebesaran jiwa seperti itu hanya dimiliki seorang<br />

pemimpin kaliber besar seperti Teuku Nyak Arif.<br />

Teuku Syamsul Bahri, SH. (Anak kedua Teuku Nyak Arif)<br />

Sebagai seorang ayah Teuku Nyak Arif sangat disiplin dan keras,<br />

anak-anakya harus tekun dan hidup teratur sebagaimana halnya beliau.<br />

Teuku Moh. Syah (Pensiunan pamongpraja)<br />

Teuku Nyak Arif memerintahkan kepada Syamaun Gaharu untuk<br />

membentuk API dan TKR. Bersama-sama dengan rakyat dan pemimpin-pemimpin<br />

lainnya Teuku Nyak Arif berjuang untuk mendapatkan<br />

senjata-senjata Jepang..<br />

Teuku Hanafiah (Pensiunan Residen)<br />

Teuku Nyak Arif adalah seorang tokoh nasional semenjak zaman<br />

Hindia Belanda dan sebagai seorang tokoh nasional Teuku Nyak Arif<br />

pernah menjadi anggota PNI.<br />

Rida (Ridwan Daud teman akrab Husin Al Mujahid)<br />

Menurut Husin Al Mujahid dengan pasukan istimewa saja Teuku<br />

Nyak Arif pasti bisa menghancurkan pasukan Husin Al Mujahid yang<br />

sebagian besar belum bisa mcnggunakan senjata, Teuku Nyak Arif<br />

lebih mementingkan keselamatan rakyat dari pangkat dan kedudukan.<br />

Beliau bersedia menyerahkan pangkat Mayor Jenderal kepada<br />

Husin Al Mujahid, karena Husin Al Mujahid mcnginginkan pangkat<br />

itu.<br />

166


Tjik Mat Rahmany (Tokoh masyarakat Aceh)<br />

Teuku Nyak Arif Residen Aceh pertama dan Mayor Jenderal TKR<br />

Komandemen Sumatera. Teuku Nyak Arif tidak memihak pada<br />

Uleebalang, semua rakyat tahu Teuku Nyak Arif. Sentimen terhadap<br />

beliau dibikin-bikin. Teuku Nyak Arif sebenarnya dapat menghancurkan<br />

Husin Al Mujahid dengan TPR-nya.<br />

Husin Yusuf (Tokoh TNI daerah Aceh)<br />

Teuku Nyak Arif seorang nasionalis yang anti penjajahan, beliau termasuk<br />

pendukung pertama Republik Indonesia. Pada zaman penjajahan<br />

Teuku Nyak Arif terkenal dengan julukan Singa Aceh. Sejak<br />

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia Teuku Nyak Arif bersama<br />

tokoh lainnya di Kutaraja di bawah pimpinan beliau, telah<br />

bersumpah setia untuk kepentingan Republik Indonesia bertempat<br />

di Kantor Perwakilan Agama Kutaraja.<br />

Teuku Alibasyah Talsya (Mantan Kepala Penerangan Daerah Istimewa<br />

Aceh)<br />

Teuku Nyak Arif adalah tokoh dan pemimpin Aceh yang paling<br />

berani menghadapi Jepang begitu pun terhadap pemerintah Hindia<br />

Belanda. Beliau adalah seorang nasionalis dan demokrat yang selalu<br />

memperhatikan kepentingan rakyat.<br />

M. Sahim Hasimy (Mantan Gubernur Muda Aceh)<br />

Teuku Nyak Arif adalah seorang tokoh yang selalu berusaha mempersatukan<br />

semua golongan di Aceh.<br />

Teuku Abdul Hamid (Adik seayah Teuku Nyak Arif)<br />

Orang-orang Belanda sangat segan kepada Teuku Nyak Arif, karena<br />

pengaruhnya yang besar di kalangan rakyat. Saya pernah disekolahkan<br />

oleh Teuku Nyak Arif ke negeri Belanda.<br />

Mengenai pembagian harta pusaka juga diserahkan oleh Teuku Nyak<br />

Arif kepada saya.<br />

Teuku Ali Lamlagang (Seorang bangsawan Aceh)<br />

Teuku Nyak Arif sebagai seorang pemimpin langsung terjun ke<br />

167


medan pertempuran pada zaman revolusi fisik bersama-sama dengan<br />

rakyat. Teuku Nyak Arif mempunyai jasa yang besar terhadap perjuangan<br />

rakyat Indonesia.<br />

M. Azis (Anzib) (Pensiunan Guru)<br />

Pergaulan Teuku Nyak Arif sangat rapat dengan rakyat, Beliau benei<br />

sekali terhadap Belanda dan pemerintah Jepang.<br />

Haji Nyak Umar (Mantan Wakil Kepala Polisi Karesidenan Aceh<br />

waktu zaman revolusi)<br />

Mulai kenal dengan Teuku Nyak Arif pada tahun 1928 di Kutaraja.<br />

Pada permulaan revolusi Teuku Nyak Arif memimpin perjuangan,<br />

sedangkan Tengku Daud Beureueh beserta Ali Hasymi belum aktif<br />

waktu itu.<br />

Moh. Djuned (Tokoh daerah Aceh)<br />

Teuku Nyak Arif semenjak masa mudanya telah bercita-cita mengusir<br />

Belanda.<br />

Teuku Ali Keureukon (Mantan Anggota DPRD daerah Aceh)<br />

Sebaga? Panglima Sagi 26 Mukim, Teuku Nyak Arif sangat berani<br />

terhadap pemerintah Hindia Belanda.<br />

Tengku Abubakar (Tokoh golongan Ulama)<br />

Teuku Nyak Arif seorang pemimpin yang membela kepentingan<br />

rakyat kecil dan seorang Uleebalang yang tegas anti Belanda, serta<br />

selalu membela hak asasi manusia.<br />

M. Saleh Rahmany (Mantan tokoh PESINDO)<br />

Teuku Nyak Arif rela menyerahkan kekuasaan, asalkan jangan terjadi<br />

pertumpahan darah antara bangsanya sendiri.<br />

Hindun (Tokoh pergerakan wanita)<br />

Teuku Nyak Arif ikut mendidik saya menjadi kenal dengan politik<br />

dan beliau pernah membuatkan konsep pidato untuk saya. -<br />

Ali Hasymi (Mantan Gubernur Aceh)<br />

Teuku Nyak Arif bersama-sama dengan tokoh lainnya memegang<br />

peranan dalam revolusi fisik.<br />

Prof. Ismail Jacob S.H, M.A (Mantan Sekretaris PUSA dan Mantan<br />

Rektor IAIN Sunan Kalijaga Semarang) _<br />

168


Saya baru kenal dengan Teuku Nyak Arif kira-kira pada tahun<br />

1936. Sebelumnya hanya melihat foto, mendengar dan membaca<br />

tentang beliau. Sejak tahun 1936 saya kenal dekat dengan Teuku<br />

Nyak Arif, kemudian pada zaman pendudukan Jepang dan zaman<br />

proklamasi makin erat. Pada zaman penjajahan Belanda pada kirakira<br />

tahun 1936, saya pulang ke Aceh dan menjadi Guru di MULO<br />

pada waktu itu. Di sekitar zaman itu di Indonesia umumnya dan juga<br />

di daerah Aceh terjadi peristiwa yang cukup menegangkan. Pemerintah<br />

Hindia Belanda pada waktu itu mengeluarkan Rencana Undang-<br />

Undang Pencatatan Perkawinan (kawin tercatat). Rencana Undang-<br />

Undang ini dimasukkan ke dalam Dewan Rakyat (Volksraad). Di<br />

Jawa terjadi aksi-aksi terhadap Rencana Undang-Undang itu. Di<br />

Kutaraja terjadi aksi yang antara lain dipelopori Teuku Nyak Arif,<br />

dibantu oleh teman-teman beliau dari Taman Siswa. Rapat Aksi<br />

diadakan di Gedung Taman Siswa Kutaraja (Banda Aceh). Di antara<br />

golongan Uleebalang di daerah Aceh Besar yang sangat menonjol di<br />

bidang politik adalah: Teuku Nyak Arif, dan Teuku Panglima Polim<br />

Moh. Ali. Saya sangat mengagumi Teuku Nyak Arif sebagai seorang<br />

redenaar, sebagai seorang yang pandai berpidato. Beliau kecil perawakannya,<br />

tetapi kecil-kecil cabe rawit. Teuku Nyak Arif pada<br />

waktu itu berkata: Kita harus menolak Rencana Undang-Undang ini.<br />

Tetapi yang menarik perhatian saya ialah pengaruh besar Teuku Nyak<br />

Arif terhadap para Uleebalang lainnya. Atas pengaruh Teuku Nyak<br />

Arif para Uleebalang lainnya menandatangani penolakan Rencana<br />

Undang-Undang itu. Pada waktu protokol mengatakan: Supaya para<br />

raja-raja kami turut menandatangani, Teuku Nyak Arif tidak setuju<br />

perkataan raja-raja dipergunakan, karena beliau berpendapat kami ini<br />

rakyat jajahan.<br />

Perlu kiranya dijelaskan di sini bahwa ada tiga macam daerah di<br />

Aceh:<br />

— Daerah yang tidak terikat pada atau menandatangani Korte<br />

Verklaring (Termasuk daerah Aceh Besar).<br />

— Di luar Aceh Besar ada daerah yang menandatangani dan diikat<br />

oleh Korte Verklaring. Daerah ini disebut Zelfbesturende Landschapen.<br />

— Daerah yang disebut Gouvernements Gebied.<br />

169


Di daerah Aceh Besar kita bukan raja, kita pegawai Belanda.<br />

Semua yang menandatangani pernyataan itu mencoret apa yang tidak<br />

diinginkan Teuku Nyak Arif. Di sini jelas benar bahwa di kalangan<br />

Uleebalang baik tua maupun muda pengaruh Teuku Nyak Arif<br />

besar sekali. Teuku Nyak Arif dikenal dengan sebutan Teuku 26,<br />

karena beliau Panglima Sagi 26 Mukim. Memang kebiasaan di Aceh<br />

orang sering tidak menyebut nama orangnya tetapi daerah tempat<br />

dia berkuasa atau berpengaruh. Contoh, nenek saya ada yang disebut<br />

Tengku di Aceh, Tengku di Buloh. Namanya sering tidak<br />

diketahui benar. Demikian pula dengan Tengku Cik Di Tiro lebih<br />

dikenal daripada nama pribadinya. Nama Tengku Cik Di Tiro ialah<br />

Syech Moh. Syaman. Demikian pula dengan Teuku Nyak Arif lebih<br />

dikenal pula sebagai Teuku Dua Ploh Nam.<br />

Pada tahun 1936 saya baru berusia kira-kira 22 tahun. Pada<br />

waktu itu saya mengagumi Teuku Nyak Arif yang selalu serius<br />

kalau berbicara. Beliau sering merokok. Bahasa Belanda Teuku Nyak<br />

Arif sangat lancar. Berpidato selalu voor de vuist, tidak mempergunakan<br />

teks bahkan tidak mempunyai catatan. Beliau memang redenaar.<br />

Kalau ada kesulitan di Aceh orang selalu datang kepada Teuku<br />

Nyak Arif. Teuku Nyak Arif tokoh Aceh yang didkui dan disegani<br />

oleh Belanda. Begitulah yang saya ketahui dan saya kenal tentang<br />

Teuku Nyak Arif pada zaman Belanda.<br />

Kemudian datang zaman Jepang. Sebelum tentara Jepang datang<br />

ke Aceh, Belanda sudah lari lebih dulu (tanggal 12 Maret 1942).<br />

Tentara Jepang mendarat di Perlak dan Aceh Besar, di tepi pantai<br />

dekat Sabang. Karena pada waktu itu Teuku Nyak Arif menyusun<br />

barisan menentang tentara kolonial Belanda, maka sebelum lari,<br />

Belanda sesungguhnya ingin menangkap Teuku Nyak Arif. Bahkan<br />

rumah beliau di Lam Nyong ditembaki oleh Belanda.<br />

Teuku Nyak Arif pernah bercerita kepada saya bahwa sebelum<br />

Singapura jatuh, Teuku Nyak Arif berjumpa dengan Residen Aceh.<br />

Teuku Nyak Arif pernah menyarankan kepada Residen Aceh:<br />

Serahkan Aceh kepada para pemimpin Aceh. Orang-orang Belanda<br />

tokh tidak dapat mempertahankan Aceh dari serangan tentara<br />

Jepang. Tetapi Residen Aceh harus berkonsultasi dulu dengan Batavia<br />

kalau harus demikian. Akan tetapi tentara Belanda menyiapkan<br />

170


pcrangkap untuk menangkap Teuku Nyak Arif. Namun berkat intel<br />

Teuku Nyak Arif, beliau tidak muneul dan terus ke gunung (bergerilya)<br />

dengan Teuku Panglima Polim Moh. Ali. Pada waktu tentara<br />

Jepang datang semua kekuasaan berada di tangan Teuku Nyak Arif.<br />

Surat keputusan tentang saya sendiri pada tahun 1942 ditandatangani<br />

oleh Teuku Nyak Arif. Kemudian datang Residen atau Cokang<br />

Jepang. Teuku Nyak Arif diangkat menjadi Gunco Kutaraja. Teuku<br />

Moh. Ali Panglima Polim menjadi Gunco Seulimeum, Teuku Hasan<br />

Dik menjadi Gunco Sigli. Teuku Nyak Arif teryata anti penjajahan<br />

Jepang seperti kata pepatah yang terkenal di Aceh pada waktu itu<br />

beliau berkata: Kita usir anjing datang babi. Babi dianggap lebih<br />

jahat dari anjing. Oleh Teuku Nyak Arif memang pernah dinyatakan<br />

bahwa penjajahan Jepang lebih jahat daripada penjajahan Belanda.<br />

Setelah Jepang mengatur pemerintahan, maka Teuku Nyak Arif<br />

diangkat menjadi Ketua Aceh Syu Sangikai (Dewan Perwakilan<br />

Rakyat Aceh). Sepulang dari Tokyo Teuku Nyak Arif semakin<br />

dekat dengan saya, yaitu kira-kira pada akhir tahun 1943. Teuku<br />

Hasan Dik dan Teuku Nyak Arif berpidato di depan masjid raya tentang<br />

kesan-kesan beliau dari Tokyo. Dalam pidato itu antara lain<br />

Teuku Hasan Dik seolah-olah memuji Jepang: Maha kuat, Maha<br />

kuasa dan sebagainya. Namun terasa nadanya mengejek. Jepang mengirim<br />

tokoh itu ke Tokyo agar beliau memuji-muji dan mempropagandakan<br />

kehebatan Jepang untuk mempengaruhi rakyd^, akan tetapi<br />

yang terjadi justru sebaliknya.<br />

Teuku Nyak Arif sudah lama tahu bahwa Jepang tidak ada harapan<br />

akan menang dalam peperangan. Hal ini saya yakini dari pernyataan<br />

Teuku Nyak Arif pada waktu bersama-sama dengan<br />

persetujuan Cokang ke Aceh Barat dan ke Aceh Sclatan sampai ke<br />

Jeram. Pada waktu itu saya bersama-sama satu mobil, tidur di suatu<br />

tempat dengan Teuku Nyak Arif. Di situlah saya tahu isi hali Teuku<br />

Nyak Arif mengenai Jepang. Pesan beliau: Kita harus mernpergunakan<br />

apa saja yang ada pada Jepang untuk mencapai kemerdekaan<br />

Indonesia. Anjurkan belajar perang, semangat anti<br />

penjajahan Belanda dan sebagainya. Semuanya berguna bagi kita<br />

bangsa Indonesia nanti. Jepang pasti akan kalah dan Belanda pasti<br />

akan kembali. Pada waktu itulah kita pakai apa yang sudah kita<br />

171


pelajari, mengenai berperang dan lain-lainnya. Sekarang inilah<br />

kesempatan yang baik. Kesempatan yang lain sudah-tidak ada lagi.<br />

Pakailah apa yang dapat kita ambil dan pelajari dari Jepang untuk<br />

melawan Belanda yang pasti akan kembali menjajah kita. Kita harus<br />

bersatu dengan bangsa kita di Jawa dan jangan berdiri sendiri. Jadi<br />

menurut pendapat saya tinjauan Teuku Nyak Arif jauh sekali.<br />

Teuku Nyak Arif seorang nasionalis tulen, saya tahu betul dan<br />

yakin akan hal ini. Sudah pada tempatnya kalau Teuku Nyak Arif<br />

diberi gelar Pahlawan Nasional. Kalau rakyat diinjak-injak oleh<br />

Belanda, Teuku Nyak Arif pasti akan membela mereka. Waktu<br />

Jepang membikin ini dan itu, mengambil hak milik rakyat dan sebagainya,<br />

rakyat selalu mengadukan halnya kepada Teuku Nyak Arif.<br />

Setelah pulang dari Jeram suasana semakin gawat dan Teuku Nyak<br />

Arif tidak turun ke 'Kutaraja kalau beliau tidak dijemput. Demikian<br />

sampai Proklamasi. Segala hal mengenai Aceh, semua surat-surat<br />

mengenai Aceh dari Pusat dan daerah-daerah lainnya, misalnya dari<br />

Dr. A.K. Gani dan demikian pula dari Adinegoro sebagai Ketua<br />

Komite Nasional Sumatera yang berkedudukan di Bukittinggi ditujukan<br />

kepada Teuku Nyak Arif.<br />

Hal ini menunjukkan diakuinya Teuku Nyak Arif sebagai seorang<br />

tokoh dan pemimpin rakyat Aceh yang dipercaya oleh Pemerintah<br />

Republik Indonesia. Pada waktu itu saya juga dekat dengan<br />

Teuku Nyak Arif, boleh dikata saya oleh Teuku Nyak Arif dijadikan<br />

juru bicara Komite Nasional Indonesia untuk daerah Aceh.<br />

Tersiamya berita Proklamasi Kemerdekaan di Aceh secara yang<br />

ganjil sekali. Abdullah yang berasal dari Aceh, kembali ke Aceh dari<br />

Malaya sebelum Jepang mendarat di Aceh. Dia ba<strong>nyak</strong> mengetahui<br />

rahasia Jepang. Sebelum Jepang menyerah, Abdullah menjadi Wakil<br />

Kepala dan kepercayaan Kepala Kepolisian di Langsa.<br />

Pada zaman pendudukan Jepang semua radio disita atau disegel.<br />

Tidak seorang pun boleh menyetel radio, tetapi Abdullah boleh mendengarkannya.<br />

Abdullah mendengar tentang Pemerintah Republik Indonesia<br />

yang telah diproklamasikan. Abdullah bersama seorang bekas<br />

murid saya bernama Ismail Usman datang kepada saya di Kutaraja<br />

(Banda Aceh) dan menceritakan: Pak! Kita sudah Merdeka! Memang<br />

di Aceh orang-orang sudah pada tahu bahwa Jepang kalah, tetapi<br />

172


tentang Republik Indonesia yang diproklamasikan belum tahu. Jepang<br />

memang ada mengundang pemimpin Indonesia dan mengatakan:<br />

Jepang sudah berdamai dengan Amerika. Sekarang Jepang bertugas<br />

menjaga keamanan dan ketertiban atas nama Sekutu. -<br />

Mr. Hasan yang datang dari Jakarta tidak berani berbicara ba<strong>nyak</strong>.<br />

Beliau hanya menginstruksikan agar kita membentuk Komite<br />

Nasional Indonesia. Demikian pula Dr. Amir. Jadi memang ada instruksi<br />

dari Mr. Hasan agar kita membentuk Komite Nasional Indonesia.<br />

Kemudian Teuku Nyak Arif diangkat oleh Pemerintah Republik<br />

Indonesia sebagai Residen Aceh. Memang tak ada gading yang<br />

tak retak. Tak ada manusia yang sempuma. Demikian pula Teuku<br />

Nyak Arif. Sebagai manusia biasa Teuku Nyak Arif juga mempunyai<br />

beberapa kelemahan. Teuku Nyak Arif sering lemah jika berhadapan<br />

dengan keluarganya. Teuku Nyak Arif terpengaruh oleh keluarga.<br />

Sebelumnya perlu dijelaskan bahwa ada dua golongan di Aceh<br />

sebagai akibat politik devidc et impera penjajah, yaitu golongan<br />

Uleebalang dan golongan Ulama. Jadi perpecahan dua golongan ini<br />

adalah sebagai akibat politik memecah belah kolonialisme Belanda.<br />

Keduanya dipecah dan dipertentangkan, demikian pula pada zaman<br />

Jepang dan pada waktu Jepang kalah.<br />

Waktu Jepang mula-mula masuk, golongan ulama ba<strong>nyak</strong> dimintai<br />

bantuan oleh tentara Jepang. Golongan uleebalang terdesak<br />

oleh golongan ulama. Setelah Cokang Kepada Pemerintah Sipil<br />

Jepang) datang, para uleebalang diangkat menjadi Gunco atau Kepala<br />

Daerah. Dengan sadar atau tidak sadar terjadi balas dendam. Golongan<br />

uleebalang yang tadinya didesak sekarang membalas. Perlu dijelaskan<br />

bahwa pada zaman Belanda kekuasaan kehakiman berada di<br />

tangan para uleebalang. Pada waktu itu disebut Landschapsrecht.<br />

Saya dulu menjadi hakim atas nama zelfbestuur atau uleebalang yang<br />

berkuasa. Jadi pada zaman Jepang pertentangan antara golongan<br />

uleebalang dan golongan ulama yang dimulai pada zaman pemerintahan<br />

kolonial Belanda dipertajam.<br />

Perpecahan antara kedua golongan ini diteruskan, yang merupakan<br />

warisan kolonialisme Belanda: politik Verdeel en heerst. Para<br />

Uleebalang diangkat menjadi Gunco atau penguasa daerah oleh<br />

Jepang. -<br />

173


Dcmikianlah pada waktu Teuku Nyak Arif menjadi Residen<br />

Aceh, hubungan antara golongan uleebalang dan ulama semakin<br />

renggang, bahkan tegang. Teuku Nyak Arif yang lemah terhadap<br />

keluarga dikhawatirkan dapat dipengaruhi oleh keluarganya. Teuku<br />

Nyak Arif memang seorang pemimpin yang berani dan jujur, tetapi<br />

beliau sangat percaya kepada pembantu beliau. Sering beliau kurang<br />

meneliti surat-surat yang disodorkan oleh orang-orang kepercayaan<br />

beliau dan menandatangani surat-surat tersebut. Inilah kelemahan<br />

Teuku Nyak Arif. Rupanya ini menjadi kelemahan pembesar pada<br />

umumnya, terlalu percaya kepada orang-orang yang mengitarinya.<br />

Demikianlah sampai saat terakhir beliau diasingkan ke Takengon<br />

pada waktu revolusi sosial di Aceh. Seorang Pimpinan TPR (Tentara<br />

Perjuangan Rakyat) yang radikal bernama Husin Al Mujahid menangkap<br />

beliau. TPR inilah yang menangkapi para uleebalang. Husin<br />

Al Mujahid kemudian menjadi Mayor Jenderal tetapi tidak lama.<br />

Teuku Nyak Arif tidak berkhianat terhadap cita-cita perjuangan,<br />

saya yakin benar akan hal itu. Kalau ada yang mengatakan Teuku<br />

Nyak Arif berkhianat boleh panggil saya. Mengenai peristiwa<br />

Cumbok saya sendiri anggota komisi peristiwa tersebut bersama<br />

Tengku Junus Jamil, Tengku Haji Hasan Krueng Kale dan Teuku Ali<br />

Lamlagang. Tidak ada tersebut kesalahan Teuku Nyak Arif. Di antara<br />

para pemimpin yang terpelajar yang dihormati orang terdapat Teuku<br />

Nyak Arif, Teuku Hasan Dik dan Teuku Panglima Polim Moh. Ali,<br />

tetapi Teuku Nyak Arif adalah topnya. ;<br />

Keterangan saya, saya dasarkan tidak hanya pada falsafah<br />

sejarah, tetapi realita atau kenyataan. Setelah Teuku Nyak Arif wafat<br />

beliau disambut dan dimakamkan dengan upacara di Lam Nyong.<br />

Kalau beliau tidak disukai mana bisa beliau dikembalikan dari<br />

Takengon dan dimakamkan di Lam Nyong. Teuku Nyak Arif seorang<br />

pemimpin dan tokoh yang disegani oleh lawan dan dihormati oleh<br />

kawan.<br />

Pada tahun 1936 saya datang. Aceh pada waktu itu baru bangun.<br />

Mengapa baru bangun? Yang mempengaruhi bangunnya ada beberapa<br />

hal, antara lain; kedatangan orang-orang dari Sumatra Barat, Muhammadiyah<br />

dan Teuku Nyak Arif.<br />

174


Pada waktu itu bagi orang-orang Aceh yang kolot, sekolah dianggap<br />

haram. Dianggap sebagai usaha kaum kafir. Karena duduk<br />

orang bersekolah berderet dari depan ke belakang, maka mereka<br />

menganggap membelakangi orang dan membelakangi Alquran dianggap<br />

kurang sopan dan melanggar peraturan. Kemudian muncul<br />

Teuku Nyak Arif. Beliau mengumpulkan para ulama di Keureukon<br />

pada tahun 1936 dan kemudian di rumah Kedahsingel Kutaraja.<br />

Dalam pertemuan itu Teuku Nyak Arif berkata pada para ulama. Beliau<br />

bertanya antara lain:<br />

— Betulkah sekolah itu haram?<br />

— Betulkah belajar ilmu bumi, sejarah dan ilmu pengetahuan lainnya<br />

haram?<br />

— Apakah benar Moh. Abduh orang yang sesat?<br />

Walhasil para ulama memberikan jawaban yang positif. Mereka<br />

sepakat bersatu-padu dan jangan terpecah-pecah. Kemudian<br />

bersekolah dianjurkan oleh para ulama kepada seluruh rakyat Aceh.<br />

Tengku Amir Husin Al Mujahid (Mantan Ketua Umum Pemuda<br />

PUSA, Mayor Jenderal TKR)<br />

Sebagai Panglima Sagi 26 Mukim Teuku Nyak Arif tidak menghalangi<br />

dan menentang perkembangan PUSA. Di daerah 26 Mukim<br />

ba<strong>nyak</strong> anggota PUSA dan anggota pemuda PUSA. Teuku Nyak Arif<br />

mengilhami pemimpin-pemimpin Aceh untuk melawan Belanda pada<br />

saat terakhir kekuasaan Hindia Belanda di tahun 1942, termasuk saya<br />

sendiri. Pertentangan pendapat antara saya dengan Teuku Nyak Arif<br />

hanya mengenai soal-soal ranting saja. Kedudukan Teuku Nyak Arif<br />

dan saya adalah ibarat Ali dan Muawiyah. Keimanan Teuku Nyak<br />

Arif terhadap Islam sangat baik. Beliau sering membantu rapat-rapat<br />

umum golongan agama.<br />

Dalam bidang politik Teuku Nyak Arif merupakan tangan kanan<br />

Soekarno di daerah Aceh. Pada waktu terjadi peristiwa Cumbok,<br />

Teuku Nyak Arif memerintahkan Syamaun Gaharu untuk memadamkan<br />

pemberontakan ini. Pengambilalihan kekuasaan oleh TPR<br />

dari Teuku Nyak Arif adalahJcarena beliau tidak sanggup menghadapi<br />

kekacauan. Jadi pengambilalihan itu tidaklah disebabkan karena<br />

Teuku Nyak Arif berhianat terhadap negara. Teuku Nyak Arif adalah<br />

175


seorang pemimpin dan pejuang nasionalis. Tidak ada data-data yang<br />

menyebutkan bahwa Teuku Nyak Arif seorang pengkhinat. Oleh sebab<br />

itu sudah sepantasnyalah beliau diangkat menjadi Pahlawan Nasional.<br />

Sesudah Teuku Nyak Arif saya gantikan maka beberapa waktu sesudah<br />

itu Presiden Soekarno datang ke Aceh. Saya menjelaskan kepada<br />

Presiden Soekarno bahwa Teuku Nyak Arif perlu diganti karena beliau<br />

selalu sakit-sakit<br />

Anwar Badan (Mantan Pejabat Pemda di Aceh)<br />

Mengenai Teuku Nyak Arif almarhum di zaman Belanda yang<br />

saya ingat, di tahun 1930-1934 waktu saya di MULO atau SMP<br />

Belanda, umur 16 - 17 tahun (kini 76 tahun) sebagai berikut:<br />

1. Almarhum Nyak Arif serius, streng, tapi rendah hati. Di masa itu<br />

sebagian dari rerriaja dan pelajar MULO, karena suasana politik<br />

masa itu, ikut terangsang bergelora rasa Nasionalisme dan ingin<br />

merdeka. Penangkapan orang-orang partai politik, dibaca di koran-koran.<br />

Meskipun Belanda menganut Aceh Politik, tapi korankoran<br />

tidak dapat dihalangi menyiarkan berita-berita mengenai<br />

ini dan melarang koran-koran dari Medan dan Jawa dan sebagainya<br />

masuk ke daerah Aceh. Rakyat di Kutaraja dan pemimpin-pemimpin<br />

menghendaki sekolah (Perguruan Nasional) didirikan di<br />

Aceh, yaitu, Taman Siswa, sesudah utusan dari Medan berceramah<br />

tentang Perguruan Nasional dan Pergerakan Nasional dan<br />

menentang, Wilde Scholen Ordonantie, Peraturan Sekolah Liar.<br />

Waktu itu Pak Munar Sastrohamijoyo yang bicara, sehingga<br />

pendengar yang berjubel di halaman penginapan Pak Rasmadin<br />

di Gang Air Wangi, sampai melimpah di jalanan. Dalam hujan di<br />

malam hari, mulai habis maghrib, hanya berpayungkan daun-daun<br />

pohon asam Jawa yang tumbuh di kiri-kanan jalan.<br />

Pak Munar adalah Ketua Umum, Taman Siswa, di Sumatera Timur.<br />

Ironisnya, sesudah didirikan Taman Siswa di Kutaraja, mula-mula<br />

bertempat di rumah petak kecil di depan penginapan "Rasmadin"<br />

itu, kemudian di sebuah gedung yang bonafide dengan halaman<br />

luas di Merduati, agak ke dalam, di jalan yang arah ke Keudah,<br />

Pak Munar dan kawan-kawan memisah diri, karena tidak<br />

menyesuai kebijaksanaan yang berlaku. Ia mendirikan, Perguruan<br />

176


Kita, dengan azas-azas yang sama dengan, Taman Siswa.<br />

Kami segolongan pelajar atau pemuda ingin juga menyumbang<br />

usaha dan tenaga dalam hal ini, ikut bergerak mempropagandakan<br />

niat itu. Kebetulan sekelompok pelajar baru mendirikan<br />

cabang, Indonesia Muda, atas prakasa seorang guru swasta<br />

(perguruan swasta) bernama Raden Yacub dari Sabang. Dipilih<br />

jadi Ketua Muhammad YusufTTeuku Mahmud. Kantor Pos, Asman<br />

famili Pak Rasmadin, Abdul Rahim Simatupang dari Uleelheue,<br />

Muhammad Saleh Zainal, Anwar Badan tinggal di Uleelheue<br />

sebagai Komisaris untuk daerah Uleelheue. Kami ingin menyokong<br />

usaha orang tua-tua di masyarakat dalam usaha mendirikan, Taman<br />

Siswa itu. Ya, hal seperti ini, kalau dipandang dari pandangan<br />

kini, hanyalah suatu hal yang remeh. Tapi di zaman penjajahan<br />

itu, ada resikonya kita dikeluarkan dari sekolah, bila mencampuri<br />

politik. Pengertian politik itu melar dapat diartikan macam-macam.<br />

Ketua Muhammad Yusuf, kawan sekelas saya mengundang<br />

orang-orang yang terkenal nasional, untuk memberi sokongan<br />

atas sokongan kami itu. Diundanglah: Teuku Nyak Arif, Teuku<br />

Muhammad Hasan Geulumpang Payung (Hasan Dik, sebutan<br />

kawan-kawannya yang akrab, karena perawakannya yang besar,<br />

gemuk dan tinggi itu), Teuku Cut Hasan dan Teuku Muhammad<br />

Hasan Meuseugit Raya (kalau tidak salah). Tempatnya di Gang<br />

Padang, di sebelah Gang Air Wangi dan dekat dengan belakang<br />

Mesjid Raya, di rumah petak tempat Thabib Muhammad Sufi, di<br />

ruang Iotengnya. Rumah ini dari batu. Ruang bawah pün lampu<br />

listriknya suram. Kami dahulukan bapak-bapak itu naik tangga<br />

yang lebarnya kurang dari satu meter. Kami adalah kira-kira 6<br />

orang. Berderik-derik dan berdenyit-denyit tangga ma ke loteng.<br />

Persiapan ini dilakukan terburu-buru. Kami tak sempat meninjau<br />

dan membereskan. Sampai di loteng ada meja besar dengan tutup<br />

hijau. Nampaknya ruangan itu kurang bersih dan masih berdebu.<br />

Lampu suram remang-remang seperti bola lampu 20 watt saja.<br />

Tapj bapak-bapak ini (istilah ini belum dipakai waktu itu) tidak<br />

berkomentar apa-apa. Pertemuan segera dibuka, belum lagi tenang<br />

pernapasan. Dimajukan maksud. Dengan cepat Teuku Muhammad<br />

Hasan Dik dan Teuku Nyak Arif, memotong pembicaraan<br />

177


Ketua dan berkata: "Serahkan urusan ini semua kepada kami yang<br />

lebih ma. Sudah kami atur. Saudara-saudara tak usah ragu-ragu.<br />

Sekian sajalah". Segera rapat ditutup, hanya 10 menit saja, dan<br />

mereka pamitan dengan ramah.<br />

Mungkin juga agak tersinggung mereka. Tempat seperti sarang<br />

penyamun. Tempat kurang bersih, seperti biasa mereka diundang<br />

rapat. Lampu meram-meram. Tapi waktu mereka akan naik mobil<br />

dengan ramah dan keorangtuaan, mereka, menghibur kami bahwa<br />

bereslah niat kami itu. Lega hati kami. Kami pun baru sadar,<br />

bahwa kurang kehormatan kami pada mereka mengundangnya<br />

kemari. Tapi dengan ramah mereka pamitan. Inilah yang kami<br />

anggap rendah hati Teuku Nyak Arif, Teuku Muhammad Hasan<br />

Dik itu, mau menerima aspirasi remaja.<br />

2. Tapi Teuku Nyak Arif bisa juga menampakkan geramnya bila<br />

marah dan prestisenya diremehkan. Pada suatu masa di tahuntahun<br />

itu rombongan Circus (Komedi Kuda) HARMSTON akan<br />

mengadakan pertunjukan di Tanah Lapang Esplanade di Kutaraja,<br />

lapangan kebanggaan Belanda itu. Kemah besar kecil sudah<br />

ditegakkan. Rupanya mereka sudah meminta dan mendapat izin<br />

dari Kontelir, Assisten Residen Kota dan sebagainya tanpa<br />

mendatangi Teuku Nyak Arif sebagai juga penguasa. Mereka<br />

merasa hanya perlu dengan Belanda saja orang kulit putih.<br />

Tersinggunglah harga diri beliau. Malamnya berduyun-duyunlah<br />

penduduk kampung di sekitar Kutaraja (kini Banda Aceh) berjalan<br />

kaki (masa itu) menuju ke tanah lapang. Hiburan seperti<br />

langka di masa itu di Aceh. Beliau berdiri-diri habis maghrib di<br />

jalan di depan rumahnya di Lamnyong. Kepada orang yang berduyun-duyun<br />

itu, beliau bertanya 'dengan ramah, ke mana mereka<br />

akan pergi. Dengan hormat mereka menjawab: "Akan nonton,<br />

Ampun." "O, sudah ba<strong>nyak</strong> uang kalian?" katanya dengan ramah.<br />

Ini suatu isyarat halus, yang dianggap sebagai melarang mereka.<br />

Sebagai api menjalar bisikan melarang seorang kepada seorang<br />

agr jangan menonton. Beberapa malam berturut-turut tak ada<br />

orang dari kampung yang menonton. Koran Kutaraja membicara-<br />

178


kan hal ini. Circus itu merugi besar. Kabarnya sampai manajerya<br />

membunuh diri.<br />

3. Di masa itu juga Pemerintah Belanda akan memberlakukan pengutipan<br />

bea atau cukai tembakau (banderol) atas hasil pembuatan<br />

rokok. Juga tak pandang bulu terhadap rokok-rokok nipah<br />

yang digulung ibu-ibu, janda-janda, gadis di kampung, dan<br />

menjualnya berketeng untuk rakyat jelata yang tak punya. Suatu<br />

pandangan lumrah di masa tersebut, ibu berjualan rokok seperti<br />

itu. Juga ada yang serupa rokok kretek zaman kini atau yang dari<br />

kertas.<br />

Masyarakat dan partai-partai di Kutaraja mengadakan protes.<br />

Masakan rokok hasil pekerjaan ibu-ibu, janda-janda dan gadisgadis<br />

yang hasilnya buat penambah biaya hidup juga dikenakan<br />

banderol? Biasa kita lihat di masa itu mereka menjualkan rokok<br />

ketengan itu di pasar di kota-kota dan di desa-desa. Rokok ini<br />

dicucukkan pada scbuah labu air yang berbentuk kendi yang sudah<br />

kering dan diberi berlubang-lubang tempat rokok itu. Diadakan<br />

rapat umum protes terhadap peraturan itu. Teuku Nyak Arif<br />

berbicara berapi-api dan bersemangat sebagai pembela rakyat,<br />

bukan sebagai orang Pemerintah. Menyerang Pemerintah tidak<br />

membela rakyat miskin, tetapi menekannya. Rapat umum itu<br />

dilakukan di gedung Deli Bioskop yang menghadap Lapangan<br />

Bola Esplanade. Berjubel masyarakat sampai penuh halamannya.<br />

Tepuk sorak kedengaran riuh. Kemudian ternyata peraturan itu<br />

tak jadi dijalankan.<br />

4. Pada 2 Oktober 1945 di seluruh Aceh mendapat berita resmi dari<br />

Residen Aceh yang pertama dari Rcrjublik Indonesia dan menaikkan<br />

bendera Merah Putih siang-malam sampai nanti dapat<br />

instruksi lain. Sebcnarnya sejak September 1944 bendera Merah<br />

Putih dikibarkan di samping Hinomaru, bendera Jepang. Yang ini<br />

untuk membacakan Proklamasi dan untuk Republik Indonesia. Di<br />

Takengon dibentuk Komite Nasional. Saya dipiiih oleh masyarakat<br />

menjadi Ketua Umum untuk PRI (Pemuda Republik Indonesia)<br />

untuk Aceh Tengah (Kewedanaan kemudian, Tanah Gayo<br />

Laut, Gayo Lues, Tanah Alas, yang ibu kotanya ialah: Takengon,<br />

Blangkejercn dan Kutacane). Scjak 25 Januari 1945, Kantor Besar<br />

TEUKU NYAK AHII-- 13 179


Perusahaan Perkebunan Damar dan Terpentijn dan kompleks,<br />

termasuk permahan pegawai disuruh kosongkan oleh pihak<br />

Pimpinan Tentara Jepang, akan dipergunakan oleh Markas Besar<br />

Sumatera. -<br />

Kami pindah ke perkebunan atau Pabrik Teh, Redelong, dan<br />

baru kemudian sesudah teratur kembali ke Takengon. Redelong<br />

terletak sekitar 40 km di timur laut kota Takengon. Karena melihat<br />

tentara Jepang masih berkeliaran dan hilir mudik dengan truknya<br />

mengangkut bahan makanan, terasa oleh pemimpin-pemimpin,<br />

wibawa RI diremehkan. Pada Rapat Komite Nasional dan Pemuda<br />

atau Masyarakat atau Partai-partai, disimpulkan mcngirim delegasi<br />

dari Komite Nasional (Bung Raja Wahab) dan dari Pemuda atau<br />

PRI (Anwar Badan), saya bawa Saudara Muhammad Napis dari<br />

pimpinan Perkebunan Damar dan Terpentijn, dan Bung Abdul<br />

Wahab membawa Saudara Usman Bagong dari Pabrik Damar<br />

dan Terpentijn, sebagai pembantu kami. Kami berangkat dari<br />

Takengon tanggal 1 November 1945. Menginap di Bireuen, tanggal<br />

2 November kami sampai di Kutaraja pada sore hari. Tanggal 3<br />

November 1945, diterima pada sore harinya di rumahnya di<br />

Lamnyong yang berkolong tinggi di atas tiang-tiang batu, dan<br />

memberi arahan yang memuaskan kami. Kami (Bung Wahab dan<br />

saya, tambah Bung A.R. Hajat dari Kutacane) merasa puas dengan<br />

cara dan tindakan Residen Nyak Arif yang dengan nada<br />

keras dan tindakan keras pun merasa apa yang kami rasakan.<br />

Beliau telah menaikkan bendera Merah Putih di kantornya yang<br />

kemudian diturunkan Jepang.; Lalu ia naikkan lagi dan mengancam<br />

siapa berani menurunkannya, akan ia tembak.<br />

Cara-cara koboi ini sangat menaikkan semangat kami. Kata<br />

Bung Abd. Wahab akan kita praktekkan nanti di Takengon. Itu<br />

tadi cerita Pak Residen. Sedang kami omong-omong itu datang<br />

Kempetei dengan seorang Cina perawakan besar tinggi, gemuk,<br />

kulit agak hitam. Beliau tidak bangun dari kurisnya, begitu juga<br />

ia minta kepada kami, "Jangan berdiri! Duduk saja!" Beliau<br />

menunjukkan kewibawaan bangsa kita. Dalam berbicara mereka,<br />

kami diam saja, kami dengar beliau membentak dan sambil berdiri<br />

memainkan sebuah bom sebesar ikan tongkol yang ia timang-<br />

180


timang. Waktu beliau membuat gerak ke arah mereka seperti kilat<br />

mereka merunduk menghindari ledakan, nampaknya. Padahal bom<br />

yang seperti terpedo itu sudah berkarat, entah dari mana diperolehnya.<br />

Hampir kami terbahak-bahak melihat cara Pak Residen<br />

ini. Ia bentak-bentak Kempetei ini: "Ini salah orang Jepang semua,<br />

membuat rakyat Aceh dan seluruh Indonesia jadi melarat, kelaparan,<br />

bermatian, berpe<strong>nyak</strong>itan dan saya sudah tuan-tuan peralat.<br />

Kini rakyat Aceh marah dan akan membalas dendam." Ia<br />

bercakap itu sambil menimang-nimang bom itu dan seperti Orang<br />

memencak-mencak. Padahal tadi ia katakan pada kami diabetesnya<br />

lagi kumat juga syarafnya. Dekat senja kami pamit. Puas.<br />

Pemimpin-pemimpin yang lain terlalu juridis dan teoritis seperti<br />

mengelak bahaya.<br />

Lagi kami bercakap-cakap tadi, Pak Residen menerima telepon<br />

dari Komandan TKR: Syamaun Gaharu, (kami di tahiin 1934-<br />

1937, sama-sama jadi guru di "Taman Siswa" Kutaraja, dengan<br />

Abd. Gani, (ayah Gani Seulimeun dan yang lain) bahwa di Sigli<br />

ada kekacauan. Rakyat mengamuk melawan kaum Uleebalang<br />

merebutkan senjata dari gudang-gudang Jepang. Memang Teuku<br />

Nyak Arif fïgur yang diperlukan dalam Revolusi.<br />

5. Sesudah selesai pertempuran Cumbuk melawan Pemerintah dan<br />

masyarakat yang pro Republik, perlawanan ditekan. Pada suatu<br />

hari secara rahasia beliau tiba di Takengon dibawa secara rahasia<br />

ke Takengon, (hanya tingkat atas yang tahu: Bupati dan pihak<br />

TKR). Kami tidak mengetahuinya. Ditempatkan di pavilyun kantor<br />

besar Damar dan Terpentijn. Beberapa bulan kemudian beliau<br />

meninggal. Kami tidak percaya bahwa beliau ditawan, sebab kami<br />

mengaguminya. Selama di Takengon, beliau dihormati. Makanan<br />

dijaga sedapat mungkin menurut keadaan masa peninggalan kebobrokan<br />

warisan Jepang dan masa kemelut awal Revolusi.<br />

Kemudian kami tahu ini adalah ulah TPR (Tentara Perjuangan<br />

Rakyat) dari Aceh Timur, di bawah pimpinan Muhammad Husin<br />

Al-Mujahid. Hal ini tak segera kami dengar beritanya, karena<br />

letak Takengon yang jauh dari jalan raya Medan-Kutaraja.<br />

Jenazah beliau diantarkan dengan barisan kehormatan dari<br />

PRI atau Ksatria Pesindo ke Bireuen dan ditimbangterimakan<br />

181


182<br />

pada Pemerintah dan keluarga di Bireuen, untuk dibawa dengan<br />

kereta api ke Kutaraja. Ini semua tentu dapat diceritakan mereka<br />

yang mengantarkan masih hidup ini. Pun dari pihak keluarga,<br />

Teuku Abdul Hamid yang lulusan Sekolah Tinggi Dagang di<br />

Holland. Itulah akhir hidup seorang pejuang dan pahlawan. Syukur<br />

alhamdulillah kemudian direhabiliter beliau dan dapat pcnetapan<br />

sebagai Pahlawan Nasional dan Perintis Kemerdekaan Indonesia.<br />

Inilah sekelumit yang saya ketahui tentang almarhum Teuku Nyak<br />

Arif.


H. WAWANCARA DENGAN TOKOH<br />

MASYARAKAT LAINNYA<br />

Prof. Dr. Bahder Djohan (Teman Teuku Nyak Arif di Sarekat<br />

Sumatera, mantan Menteri P dan K)<br />

Pada zaman Hindia Belanda, Teuku Nyak Arif terkenal sebagai tokoh<br />

politik dan seorang nasionalis di Volksraad.<br />

Prof. Dr. Hamka (Kenal dengan Teuku Nyak Arif mulai dari tahun<br />

1937 sampai beliau meninggal tahun 1946)<br />

Sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Teuku Nyak Arif aktif<br />

berjuang mempertahankan Proklamasi. Nama Teuku Nyak Arif bersih<br />

sampai beliau meninggal dunia.<br />

R.P. Suroso (Teman Teuku Nyak Arif di Volksraad, mantan Menteri<br />

Sosial RI)<br />

Sebagai anggota Volksraad yang diangkat, Teuku Nyak Arif seorang<br />

pemimpin yang berjiwa nasionalis, mengeluarkan pikirannya dengan<br />

terus terang dan mengeritik Pemerintah Hindia Belanda dengan tajam.<br />

Mr. S.M. Amin (Tinggal di Kutaraja mulai 1934 - 1950, mantan<br />

Gubernur Sumatera Utara)<br />

Teuku Nyak Arif adalah seorang nasionalis sejati yang pantas mendapat<br />

penghargaan, mengingat pcrjuangannya di zaman Hindia Belanda,<br />

zaman Jepang dan zaman kemerdekaan.<br />

183


Rustam Effendi (Mantan anggota Tweede Kamer dan ipar Teuku<br />

Nyak Arif)<br />

Waktu menjadi anggota Volksraad, Teuku Nyak Arif mengadakan<br />

hubungan erat dengan kaum nasionalis, karena dia seorang nasionalis<br />

yang memmperhatikan kepentingan rakyat ba<strong>nyak</strong>.<br />

Drs. H. Amura (Tokoh Ulama Islam)<br />

Teuku Nyak Arif adalah seorang intelek dan pemimpin Aceh terkemuka.<br />

Kepemimpinan Teuku Nyak Arif diakui oleh seluruh tokoh<br />

dan rakyat Aceh.<br />

Cut Nyak Jauhari (Istri Teuku Nyak Arif berasal dari Minangkabau)<br />

Dalam kehidupan sehari-hari Teuku Nyak Arif seorang yang sederhana.<br />

Beliau juga mendidik anaknya untuk hidup sederhana.<br />

Idham (Tokoh Muhammadiyah di Aceh sejak 1915)<br />

Yang membawa módernisasi ke Aceh ialah: Teuku Nyak Arif, Teuku<br />

Hasan Dik, Muhammadiyah dan orang-orang Minangkabau. Sebagai<br />

Panglima Sagi, Teuku Nyak Arif adalah seorang nasionalis dan<br />

demokrat yang bergaul seperti orang biasa dengan rakyat.<br />

Sutikno Padmosumarto (Tokoh Taman Siswa di Aceh)<br />

Pada zaman Hindia Belanda Teuku Nyak Arif adalah seorang donator<br />

tetap Taman Siswa. Sebagai seorang nasionalis Teuku Nyak Arif<br />

sangat berani kepada Belanda dan Jepang.<br />

Kosen Cokrosentono (Tokoh masyarakat, pernah tinggal di Aceh)<br />

Teuku Nyak Arif adalah seorang pemimpin terkemuka dan seorang<br />

nasionalis yang telah berjuang semenjak zaman Hindia Belanda,<br />

zaman Jepang dan zaman Republik.<br />

Dr. Mahyuddin (Dokter pribadi Teuku Nyak Arif)<br />

Teuku Nyak Arif adalah seorang pemimpin dan seorang nasionalis<br />

yang berani, baik terhadap Belanda maupun terhadap Jepang.<br />

Iskandar Ishaq (Sekretaris Teuku Nyak Arif dari tahun 1932 - 1933,<br />

mantan Duta Besar RI di Turki)<br />

184<br />

Teuku Nyak Arif, walaupun cukup kaya, tetapi hidupnya tetap<br />

sederhana.


— Tidak ada ulama atau bangsawan yang berani seperti Teuku<br />

Nyak Arif.<br />

— Di mana pun Teuku Nyak Arif berada, ia tidak pernah lepas dari<br />

buku. Waktu senggangnya pasti dipakai oleh beliau untuk mem-<br />

baca.<br />

— Dalam politik, Teuku Nyak Arif adalah seorang sosialis Islam<br />

seperti halnya H. Agus Salim.<br />

H. Abdul Rozak (Residen Purnawirawan)<br />

Dalam perjalanan tahun 1944 ke Jepang, Teuku Nyak Arif terpilih<br />

sebagai wakil ketua dan Teuku Hasan Dik sebagai ketua rombongan.<br />

Teuku Hasan Dik dan Teuku Nyak Arif dalam pidatonya di Jepang<br />

selalu mencela pemerintah Jepang, menurut beliau ba<strong>nyak</strong> kuli<br />

Jepang yang dijadikan kepala di Indonesia.<br />

Mr. Abubakar Jaar (Pensiunan Residen)<br />

Di dalam Volksraad pidato-pidato Teuku Nyak Arif selalu menentang<br />

kebijaksanaan pemerintah kolonial.<br />

Datuk Parpatih Baringek (Pensiunan Residen)<br />

Pada zaman pendudukan Jepang Teuku Nyak Arif memimpin<br />

delegasi Aceh ke Bukittinggi untuk peresmian Lembaga Cuo Sangi In<br />

di Bukittinggi.<br />

DR. Sudono (pernah bertugas di Aceh)<br />

Keadaan udara yang dingin di Takengon, memang tidak cocok<br />

dengan keadaan dan pe<strong>nyak</strong>it Teuku Nyak Arif yang membutuhkan<br />

udara panas. Pehguasa pada waktu itu tidak mengizinkan Teuku Nyak<br />

Arif dipindahkan ke tempat yang panas.<br />

Tengku Moh. Damrah<br />

Teuku Nyak Arif termasuk pemimpin yang paling berani mengeritik<br />

pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu.<br />

RPNL Tobing (Pensiunan Gubernur Muda)<br />

Dalam rombongan Sumatera yang berangkat ke Jepang, Teuku Hasan<br />

Dik dan Teuku Nyak Arif dipilih sebagai Ketua dan Wakil Ketua.<br />

185


Selama di Jepang Teuku Nyak Arif tidak bersedia Seikere, yang<br />

menyebabkan hubungan dengan Jepang menjadi tegang. Dalam tiaptiap<br />

pidato di Jepang Teuku Nyak Arif selalu memperlihatkan muka<br />

yang marah dan perasaan benei kepada Jepang.<br />

Tengku Moh. Arifin (Teman sekolah Teuku Nyak Arif di Serang)<br />

Selama bersekolah di Serang, Teuku Nyak Arif termasuk murid yang<br />

paling berani menantang guru-guru Belanda, disebabkan oleh jiwa<br />

nasionalismenya.<br />

M. Rasyid Manggis (Tokoh masyarakat Minang)<br />

Nama Teuku Nyak Arif telah saya kenal sejak tahun 1915, semasa<br />

saya masih murid di Kweekschool yang oleh anak negeri disebut<br />

Sekolah Raja di Bukittinggi. Selama 6 tahun diasramakan di perguruan<br />

tersebut saya tidak berjumpa muka lagi dengan Teuku Nyak Arif,<br />

karena mulai saya masuk beliau telah menamatkan pelajaran lebih<br />

dahulu di Kweekschool. Beliau belajar tidak untuk menjadi guru,<br />

melainkan untuk memegang pemerintahan. Memang beliau keturunan<br />

Panglima Sagi pula di Aceh Besar. Sebab itu dari kweekschool beliau<br />

meneruskan pelajaran ke OSVIA (Opleideingschool Voor Inlandsen<br />

Ambtenaar) di Serang. Akan halnya nama baik Teuku Nyak Arif<br />

tersemat di hati murid-murid Sekolah Raja, semuanya anak Sumatra<br />

yang diasramakan di komplek perguruan. Sifat dan sikap beliau yang<br />

tegas tutur kata beliau yang ringkas tetapi tegas menjadi perhatian di<br />

sekolah, sebab itu beliau disegani oleh teman-teman seperguruan,<br />

terutama yang duduk di kelas tinggi. Ini saya dengar dari putra-putra<br />

Aceh, seperti Tuanku Idris, T. 'Ad, T. Mahmud dan lain-lain. Muridmurid<br />

kelas rendah seperti T. Rayeuk, T. Rahman, T.M. Alibasyah,<br />

T. Raja Ibrahim, T. Usman, T. Said Abdul Azis, kenal akan gengsi<br />

atau marwah Teuku Nyak Arif, sungguhpun tidak semua kenal akan<br />

orangnya.<br />

Saya senang dan ba<strong>nyak</strong> bergaul dengan murid-murid berasal<br />

dari daerah Aceh, yang oleh penduduk kota kecil Bukittinggi terkenal<br />

dengan sebutan Tanah Rencong. Demikianlah sekelumit nama<br />

Teuku Nyak Arif sekeliling persekolahan.<br />

186


Adapun perjuangan Teuku Nyak Arif sebagai anggota Dewan<br />

Rakyat (Volksraad) dalam papan catur politik ada saya ikuti melalui<br />

surat-surat kabar. Ba<strong>nyak</strong> pidato beliau yang menggemparkan<br />

dinding Volksraad di Pejambon itu. Beliau ikut serta dengan spontan<br />

menentang siasat pemerintahan penjajahan Hindia Belanda yang<br />

sewenang-wenang di Sumatera Barat, sungguhpun daerah ini ada<br />

mempunyai wakilnya dalam Dewan Rakyat seperti Datuk Kayo,<br />

Datuk Majolelo dan Datuk Rangkayo Marajo, dengan politik lunak<br />

mereka.<br />

Tatkala pemerintahan bala tentara Dai Nippon berkuasa di<br />

Indonesia, serombongan pemimpin rakyat di Sumatera dikirim oleh<br />

pemerintah Nippon ke Tokyo, kabarnya hendak memperkenalkan diri<br />

ke bawah duli Tennoheika. Dalam pelayaran menuju Jepun, di<br />

Singapura, yang oleh Nippon di masa itu dinamakan Syonan, kami<br />

sejumlah anak Sumatra yang tinggal di Bandar itu mengelu-elukan<br />

pemimpin dari Andalas itu ke pelabuhan.<br />

Selama rombongan di Syonan saya pribadi boleh dikatakan<br />

hampir tiap-tiap hari ke hotel Adelphi tempat rombongan menginap.<br />

Saya menyediakan diri menolong rombongan, kalau-kalau ada keperluan<br />

pribadi di luar hotel terhadap para anggota yang belum tahu<br />

liku-liku road atau street. Saya kenal Engku M. Syafei, Engku Ahmad<br />

Datuk Majourang, Engku MR. M. Rasyid, Engku Dr. Basyaruddin,<br />

Parada Harahap dan di antara beliau ada yang saya ladeni untuk<br />

membeli keperluan ke kota. Adinegoro misalnya saya__undang dan<br />

minta mengadakan pidato kesenian pada suatu malam pertunjukan/<br />

sandiwara pentas dari perkumpulan Indonesia bernama Cendera Mata<br />

di Syonan, yang saya laksanakan atas biaya seorang hartawan Melayu<br />

Inche, Husain bin Awang.<br />

Tidak demikian halnya dengan Bapak Teuku M. Hasan dan<br />

Teuku Nyak Arif. Beliau tidak suka ba<strong>nyak</strong> bercakap, dan sering menyendiri<br />

berdua, jika tidak hendak saya katakan memencil. Saya<br />

dampingi beliau beberapa kali. Wajah beliau keduanya kclihatan<br />

muram seolah-olah ada sesuatu yang tersembunyi yang berlawanan<br />

dengan rasa dan pikiran beliau. Beliau tidak menaruh keberatan ditemani<br />

duduk. Kami bercakap-cakap tentang Indonesia dan tentang<br />

187


pribadi. Atas pertanyaan Teuku Nyak Arif mengapa saya sampai ke<br />

Singapura, saya terangkan bahwa saya tadinya di Bali, ke Jawa sebentar<br />

lalu berperahu dari Pasar Ikan melalui Palembang ke Syonan.<br />

Ketika itu telah dalam masa pendudukan Jepang. Teuku Nyak Arif<br />

mena<strong>nyak</strong>an juga bagaimana pergaulan masyarakat Indonesia atau<br />

tentang kerja sama dengan orang Jepang di Syonan.<br />

Ketika saya katakan, bahwa saya mungkin dikirim oleh Jepang<br />

untuk orientasi ke Tokyo, Teuku Nyak Arif segera menyela dengan<br />

kata-kata tegas: Tak ada yang akan dijemput ke Jepang! Kebudayaan<br />

kita cukup tinggi! Budi bahasa kita cukup halus.<br />

Saya tatap Teuku Nyak Arif. Dari sinar mata beliau membayang<br />

suatu masalah yang saya sendiri tak sanggup menerkanya. Hanya<br />

ketika dilakukan serah terima di antara anggota tentara Nippon yang<br />

mengantarkan anggota rombongan ke Syonan dengan tentara yang<br />

akan membawa anggota rombongan selanjutnya ke Tokyo, ada gap<br />

(hiaat) sesaat, karena menunggu Teuku Hasan Dik dan Teuku Nyak<br />

Arif yang masih belum datang, sedang para anggota rombongan yang<br />

lain telah hadir. Setelah dijemput baru kedua beliau ke luar dari bilik<br />

lantai hotel atas turun ke ruangan lobby tempat berkumpul, karena<br />

hendak menerima pesan dari seorang pembesar Nippon yang meiepas<br />

melanjutkan pelayaran menuju Tokyo. Ketika itu saya hadir. Kami<br />

anak-anak Indonesia yang sempat meiepas berharap tidak lain, selain<br />

daripada mudah-mudahan selamatlah hendaknya pemimpin-pemimpin<br />

kami pulang ke Pulau Andalas yang dicintai!<br />

188


III. ULASAN SURAT KABAR NASIONAL<br />

ZAMAN PERGERAKAN<br />

Bintang Timur Jumat 13 Mei 1927<br />

(Ejaan disesuaikan dengan EYD)<br />

ANAK ACEH TULEN<br />

Berani dan lurus<br />

Goed zoo<br />

Di ruangan dalam s.k. kita hari ini ada dimuat satu pembicaraan<br />

dari Aneta dengan Teuku Nyak Arif, Sagihoofd dari Aceh,<br />

yang juga jadi Lid Volksraad, angkatan Pemerintah, yang kata suratsurat<br />

kabar dan pengakuan PEB beliau itu adalah lid dari PEB, satu<br />

partai yang dari dulu sampai sekarang bukannya satu partai yang<br />

terlalu berani mengeritik Regeering dan ambtenaarnya. Karena sebagai<br />

partai yang berdiri di belakang Regeering, ia senantiasa<br />

mempunyai pendirian yang sedapat mungkin tidak sedikit pun bertentangan<br />

dengan pemerintah dan pembesarnya, malah ledennya pun diusahakannya<br />

supaya terdiri dari ba<strong>nyak</strong> ambtenaar B.B. Belanda dan<br />

Bumiputra.<br />

Kita persilakan pembaca dengan tenang memperhatikan verslag<br />

dari pembicaraan itu, dan dibandingkan pula dengan kabar-kabar<br />

yang telah kita siarkan dalam surat kabar ini, bahwa Teuku Nyak Arif<br />

189


sebagai anak Aceh tulen, tidak boleh jadi dengan sebenarnya yakin<br />

hanya dengan jembatan yang tercap PEB, Indonesia dan tanah Aceh<br />

sendiri dapat diseberangkan, ke seberang jalan yang sama diingini<br />

oleh bumiputra.<br />

Sekarang terbukti, bahwa anak Aceh ini, meski ia dicap dengan<br />

lidmaatschap merk PEB, tetapi Aceh sejatinya masih terletak dalam<br />

hati dan badannya, hingga keluarlah segala apa yang terasa dan terlihat<br />

pada beliau, meskipun harus diakui, ia sebagai Sagihoofd, sebagai<br />

kaki tangan pemerintah dalam artian bestuur bukan tidak boleh<br />

jadi akan kurang disenangi oleh chefnya lantaran ia mengeritik B,.B.<br />

dengan terus terang.<br />

Pertama-tama Teuku Nyak Arif mengritik sikap B.B. c.q. Controelur<br />

Jacobs, di Tapaktuan, juga dengan aturan-aturan yang diadakan<br />

oleh Gouverneur Hens yang sekarang jadi lid Raad van Indie, pada<br />

siapa sebenarnya menurut kabar yang kita den'gar, Teuku Nyak Arif<br />

jadi lid Volksraad ada atas anjuran Edeleer Hens. Tentang blasting<br />

dan tentangan lain-lain hal mengenai kepentingan rakyat Aceh,<br />

semuanya dikeluarkannya dengan tidak sedikit pun menahan hatinya,<br />

dan apa yang dikatakannya itu bukanlah suatu- omong kosong.<br />

Kita dapat mengetahui, pemeriksaan officieel yang diadakan<br />

oleh pemerintah yang menunjukkan bukti, bahasa apa yang dikemukakan<br />

oleh Teuku Nyak Arif ini adalah benar, baik tentang tindihan<br />

blasting di Tapakutan, maupun sikap Controleur Jacobs. Jadi mengatakan<br />

yang benar itu orang tak usah takut, apalagi jadi lid Volksraad<br />

di sini, kita kenal berpuluh-puluh leden, tetapi ba<strong>nyak</strong> yang tersembunyi,<br />

karena keba<strong>nyak</strong>an leden itu ambtenaar, yang jika tidak ini<br />

hari, tetapi besok, ia akan dapat susah atau pembalasan dari B.B. yang<br />

kena kritik. Orang ingin melihat ba<strong>nyak</strong> hendaknya lid partikulier<br />

supaya lebih merdeka mengeluarkan timbangannya. Kita masih ingat<br />

dengan Teuku Tayeb, lid Volksraad dari Aceh dahulu, karena ia<br />

sedikit keras di gedung Pcjambon itu, ia dapat satu nasehat halus,<br />

supaya berhenti dari Volksraad itu. Im adalah metode Gouverneur<br />

Swart.<br />

Sekarang Teuku Nyak Arif menunjukkan ketulenannya,<br />

meskipun Bat. Nieuws Blad semalam merasa tak senang dengan<br />

190


itu, hingga dikatakannya yang pembicaraan itu hanya pantas untuk<br />

introductienya di Volksraad dalam algemeenbeschouwingen<br />

umpamanya, dan ia katakan kurang beruntung.<br />

Melihat suaranya bermula begini, kita berat mempunyai dugaan<br />

tak boleh jadi stempel PEB akan dapat dia bawa-bawa selamanya, ada<br />

masa dilemparkannya dari kuduknya. Bukan tidak boleh jadi ia akan<br />

dapat sedikit nasehat dari fractie PEB supaya perlah?n-lahan sedikit,<br />

tetapi siapa yang mengenai Aceh lebih dalam, ia tidak akan percaya,<br />

yang gula-gula ada berharga buat mereka. Percaya pada diri sendiri<br />

dan berani, jujur berterus terang, itu adat tabiat Aceh, yang kita percaya<br />

ada pada Teuku Nyak Arif, yang menjadi wakil dari bangsanya.<br />

Sebab itu Indonesia boleh nanti merasa bangga mempunyai satu Aceh<br />

yang semacam itu.<br />

Dari Volksraad.<br />

Bintang Timur, Jumat 9 Desember 1927<br />

Tentangan Inl Meerderheid<br />

Kemarin sudah dimulai persidangan Volksraad tentang perubahan<br />

Indon. meerderheid.<br />

Penonton ba<strong>nyak</strong> sekali. Studenten Rechtschoogeschool terutama<br />

pada hadir, yang di antaranya ba<strong>nyak</strong> pula anak-anak muda Indonesia<br />

yang diharap kelak pada satu masa menjadi pemuka di<br />

maatschappij bangsanya, dan adalah baiknya dari sekarang mereka<br />

melihat di sidang rakyat itu. Pers compleet, dari pers Belanda dan<br />

Indonesia.<br />

Sebelum kita bicarakan lebih lanjut tentang pemandangan dari<br />

sekalian pembicaraan itu, kita hendak mengemukakan satu hasil<br />

(uitwerking) dari hoofdartikel Bintang Timoer hari Sabtu, tentang<br />

Batu Ujian, z.g. Indon. meerderheid, dari hal regenten PEB yang lari<br />

meninggalkan persidangan, dan kita peringati di situ bahasa kuburannya<br />

nanti akan diperingati oleh anak cucunya, tiada dengan bacabacaan<br />

Kulhuallah, tetapi bukan tak boleh jadi dengan peringatan<br />

191


kcpahitan hati bcrcampur ludah, di sini bcrkubur regent, lid<br />

Volksraad, wakil bangsa Indonesia yang sengaja meninggalkan persidangan<br />

ketika suaranya perlu menunjang voorstel yang memberi<br />

kefacdahan baginya, bagi familinya, bagi bangsa dan tanah airnya,<br />

tetapi karena songsong dan payung kuning dan bintang, bukan tak<br />

boleh jadi pula ba<strong>nyak</strong> orang yang lupa akan kepentingan dirinya<br />

sendiri yang lebih besar artinya dalam pergaulan hidup.<br />

Beberapa leden Volksraad datang pada kita meminta supaya<br />

sukalah kita kirimi masing-masing selembar Bintang Timocr yang<br />

berisi artikel itu, dan dengan senang hati kita dengar kabar, bahasa<br />

satu surat sudah dikirimi kepada beliau-beliau itu, ditandatangani<br />

oleh antero leden Indonesia meminta beliau-beliau itu datang kiranya,<br />

walau sakit hendaklah perlu datang, jika tidak selama persidangan<br />

biarlah diberi penyetcman itu seperti kejadian dengan dr. A. Rivai<br />

dan Vlootwet tempo hari.<br />

Satu hal patut kita sampaikan permintaan maaf kita, karena<br />

regent Wonosobo Tuan Sosrodiprodjo tidak jadi pergi, dus beliau<br />

masih ada di Volksraad, menjadi scgala perkataan yang terhadap pada<br />

beliau-beliau itu kita kecualikan padanya.<br />

Spion politik kita di Volksraad memberi tahu, memang sudah<br />

sedia regent Wonosobo akan bcrangkat, tetapi tak jadi kemudian, buat<br />

mana tidak dengan usah diperhatikan apa sebab, kita boleh terima<br />

kasih padanya, dan kita harap terus duduk di sana.<br />

Dengan 51 leden, yaitu Tuan-tuan Aay, Alimoesa, Apituley,<br />

Nyak Arif, Van Baaien, Bccts, Ten Berge, Blaaw. Djajadiningrat,<br />

Dwidjosewojo, Fruin, Hadiwidjojo, Han, Hclsdingen, De hoog,<br />

Jacobs, Jahja, Jonkman, Kan, Kcrkkamp, Kies, Koesocmo Joedo,<br />

Koesoemo Utojo, Lighart, Van Lonkhuyzcn, Mandagie, Meyer<br />

Ranneft, Midden Dorp, Mochtar, Moclia, Mohammad Ali, Monod<br />

de Froideville, Oppcnheim, Pauw, Ratu Langie, Roep, Schmutzer,<br />

Suangkupon, Socjono, Soekawati, Socroso, Soctadi, Sosrodiprodjo,<br />

Stokvis, Thamrin, Tjia Tjeng Siang, Zaalberg, Van Zalinge, Zeydcl<br />

en Zuiderhoff diperkatakan rancangan undang tersebut. Dari kemarin<br />

sampai tadi malam terus diperkatakan, dan ditaksir ada lagi beberapa<br />

hari untuk itu.<br />

192


Dari pihak bangsa Belanda yang berbicara kemarin dan tadi<br />

malam, Tuan-tuan Mr. s'Jacob, Meyer Ranneft, Prof. Oppenheim,<br />

Zuiderhoff, Lighart, Van Baaien, dan dari pihak Indonesia Tuan-tuan<br />

Soèroso, Suangkupon dan Nyak Arif. Bagi orang yang cuma<br />

memperhatikan kecakapan berdebat, berbicara, mestilah mengaku,<br />

bahasa susunan pembicara itu ada berpengaruh besar sebab sesudah<br />

Mr.s Jacob, seorang nestor, Meyer Ranneft, kemudian Prof.<br />

Oppenheim ... jago-jago besar, barulah nationalisten Indonesia dapat<br />

kesempatan, maka dari suara yang enak didengar dari jago-jago tadi,<br />

berganti dengan suara leden Indonesia yang dalam kecakapan ...<br />

berdebat memang ada kurang dari tuan-tuan yang duluan, tetapi<br />

isinya belum tentu ke bawahan, karena yang dikeluarkan oleh leden<br />

Indonesia itu tiada sedikit pun ditahannya lagi.<br />

Demikianlah, Prof. Oppenheim dengan amat tenang berbicara<br />

pasal ini ontwerp, menyatakan kesetujuannya pada perubahan Raad<br />

van Indie, pun dengan kata-kata yang bagus ia sampaikan pujian<br />

pada leden Volksraad Indonesia yang ia lihat dalam persidangan<br />

sectie, diperesideni oleh orang Indonesia, dan kadang-kadang oleh<br />

seorang lid Tionghoa, ia melihat suatu kesukaan bekerja bersamasama<br />

dan ia percaya akan kematangannya, cuma karena ia merasa<br />

temponya tak baik buat ini ontwerp, maka ia tak dapat menyetujui.<br />

Pun Mr. s'Jacob dan Lighart dengan memberi pandangan<br />

ekonomi dan akhir-akhir mengharap mundumya supaya diadakan<br />

lagi komisi, hingga satu motie lantas dimajukan, yang motie yang<br />

ditandatangani oleh Tuan-tuan Prof. Oppenheim, Fruin dan Van<br />

Zalinge, berbunyi minta dicabut itu voorstel regeering, tetapi dibenum<br />

lagi komisi buat periksa dan adakan perdamaian yang sama<br />

menyenangkan kepada kedua belah pihak. Leden Indonesia Tuantuan<br />

Soeroso, Suangkupon, Nyak Arif dan Dwisewojo, membantah<br />

keras akan aksi dari sipenentang ontwerp itu, malah Tuan Nyak Arif<br />

kenyataan dari matanya yang merah dan kata yang penghabisan daripadanya<br />

dengan menentang kepada leden Belanda yang ada, dengan<br />

dada terbujur ke muka; tiadalah menambah kehormatan tuan-tuan di<br />

mata orang Indonesia, dengan jalan ba<strong>nyak</strong> cingcong semacam itu.<br />

Berlakulah sebagai laki-laki untuk kepentingan Indonesia bersama,<br />

tegen atau voor, jangan ba<strong>nyak</strong> cingcong minta dimundurkan, atau<br />

193


dibenum komisi lagi! Jangan! ya of neen! Tuan Suangkupon pun<br />

bilang, bahwa ia kuatir, kejengkelan rakyat nanti sampai di puncaknya,<br />

dan penghabisannya ia nasehati supaya antero Volksraad menerimanya<br />

ontwerp. Undurkan ... tidak patut, mesti jalan terus, katanya!<br />

Tuan Soeroso memperingati nama Indonesia yang tidak percuma<br />

dipakai orang menandakan persaman batin yang keras, yang<br />

tak dapat ditahan lagi, dan kepada pihak Tionghoa Tuan Soeroso peringatkan,<br />

supaya suka kiranya dalam hal semacam ini bekerja bersama-sama,<br />

sambil memperingati waktu Mojopahit pun orang-orang<br />

Tionghoa sudah ikat persobatan dengan orang Jawa. Persidangan<br />

yang sehari semalam yang kita hadiri itu memberi pemandangan<br />

kepada kita, bahasa pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan<br />

oleh leden itu dengan hati yang sabar meski sampai keras. Buat orang<br />

Indonesia, nama-nama Tuan Soeroso dan Suangkupon dengan Nyak<br />

Arif, patut diperingati.<br />

Siapa yang mendengar dan melihat dengan mata sendiri akan<br />

sikap dan pembicaraan dari Tuan Soeroso, ia nanti lihat satu sifat dari<br />

orang Jawa yang lemah-lembut, tiada marah kelihatan, tetapi sampai<br />

tajam ... maju ke muka, dan menunjukkan kelemahan dan kesabaran<br />

orang Jawa yang sehalus-halusnya itu pun ada ukurannya, kalau<br />

sudah lewat takarannya, ia meletus, dalam mana memperingatkan<br />

kepada kita akan kejadian di Banten dulu, rakyat yang bersenjata<br />

golok, berani menantang meriam dan senapan mesin, sedang tadinya<br />

mendengar nama Belanda saja sudah takut ... Pada Nyak Arif kelihatan<br />

satu tipe orang Aceh yang bersifat laki-laki. Pada Tuan Suangkupon,<br />

orang pihak Sumatera Timur mesti pegang teguh ini lid, yang<br />

rupanya sudah bersumpah dalam hatinya, apa juga yang akan terjadi,<br />

kepercayaan dan perwakilan yang diberikan padanya, ia sampaikan<br />

semua di Volksraad dengan tiada tertegun-tegun. Padanya ada basis<br />

samenwerking, tetapi jangan pincang rupanya, sebab itu pada penghabisan<br />

pidatonya, berikan kepercayaan kita, kalau kamu juga mau<br />

kita percayai. Jika Tuan Dwijosewoyo yang dalam 9 tahun itu tidak<br />

pernah hendak menampar meja, karena lemasnya dan halusnya, kalau<br />

sekali ini tangannya hendak meraba podium, bolehlah jadi ukuran,<br />

bahwa Inl meerderheid ada jadi ukuran padanya, apakah dalam stelsel<br />

194


yang sekarang jika terus begitu, ada tempat pada orang Indonesia di<br />

raad atau tidak.<br />

Bintang Timur, Sabtu 10 Desember 1927<br />

DARI V O L K S R A A D<br />

Jangan mau mundur<br />

Leden Indonesia dari Volksraad sama-sama seperti berada dalam<br />

examen saja kelihatannya, dan dari beberapa leden di antaranya yang<br />

bercakap-cakap dengan kita di pers tribune, ada yang mengatakan<br />

ba<strong>nyak</strong>, boleh jadi semua kaum Indonesia tiada tidur malamnya,<br />

memikiri perkara ini.<br />

Begitu hebat tuan perasaan kami, kata yang seorang. Perasaan<br />

ini bertambah lagi setelah kemarin siang, datang Tuan Ch. Kies,<br />

Voorzitter Hoofd bestuur PEB atas nama kumpülannya, menyatakan<br />

setuju pada motifnya Tuan-tuan s'Jacob c.s. yang meminta dicabut<br />

itu wetsontwerp dan didirikan saja dulu satu staatscommissie<br />

yang akan memasukkan voorstel yang boleh sama menyenangkan<br />

kedua belah pihak.<br />

Tuan Keis, atas nama PEB setuju atas pencabutan wetsontwerp<br />

itu, sedang Tuan-tuan Mandagie dan Soekawati, leden PEB itu<br />

menyatakan persetujuannya, pada ontwerp ini, begitu tanya kita<br />

seorang sobat.<br />

O, tentu saja itu ada PEB Belanda.<br />

PEB Bumiputra?<br />

Tentu tidak termasuk dalamnya.<br />

Dari sini lantas kita menarik pendapatan, bahasa tak lama lagi<br />

ajalnya akan sampailah PEB ini apalagi oleh seorang spion politik<br />

kita dibisikkannya sedikit, bahasa Tuan Engelenberg, Voorzitter<br />

Hoofdbestuur lama yang dalam verlof di negeri Belanda bcrkirim<br />

kawat kepada wakilnya Tuan Kies supaya meyetem voor pada<br />

ontwerp itu, en toch wakilnya Tuan Kies di sini menyatakan<br />

verklaring lain di Volksraad.<br />

TEUKU NYAK ARIF - 14 195


Kita jadi ingat dua figur dari PEB, yaitu kedua tuan-tuan itu,<br />

yang satu sama lain berlainan sifatnya berhadapan dengan Ini leden.<br />

Tuan Engllenberg lebih pandai mengambil hati koleganya, tetapi Tuan<br />

Kies rupanya tidak. Adakah kawat dari Tuan Engllenberg itu berpengaruh<br />

atau tiada akan sikap PEB di sim?<br />

Kita rasa, berhadapan dengan perbicangan di Volksraad itu ada<br />

sulit tiada akan dapat ditariknya lagi keputusan itu, sudah diberinya<br />

janji bantuan motifnya Mr. s'Jacob c.s, kecuali nanti bila ada ... berputar.<br />

Dalam dua hari dua malam, dipertengkarkan di Volksraad, dari<br />

pihak leden Bumiputra kita dengar harapan yang disertai dengan<br />

kemasygulan, bila ontwerp ini dipulang-balikkan saja. Mundur atau<br />

cabut atau tak jadi sama sekali tiada akan mendatangkan kebajikan.<br />

Dari Tuan Dwidjosewojo, sampai Mandagie, lalu ke Djajadiningrat,<br />

Soejono, Soekawati, Thamrin, Soeroso, Suangkupon ...<br />

jangan tanya Nyak Arif, meski dengan halus dikatakan, harus ditunjukkan,<br />

bahasa penghabisannya ada berisi ancaman ada dengan<br />

jalan nyata, ada jalan halus tertutup. Tentu saja dari pihak pers<br />

Belanda, oleh Batav Nbld sudah dimulai dikatakan bahasa perbuatan<br />

semacam itu tak patut, menakut-nakuti, tetapi kita rasa tiada<br />

boleh disesalkan kepada leden yang berani berkata ini.<br />

Meski dari Tuan Djajadiningrat yang toh meski terhitung<br />

merahnya tetapi bukan seperti merahnya Tan Malaka, ada didengar<br />

itu kekuatiran, kalau ini ontwerp ditendang saja, karena satu kali<br />

sudah dijanjikan... dengan dimasukkan ontwerp, tentu saja perasaan<br />

menunggu ada di pihak bumiputra, dan itu pengharapan yang sudah<br />

terkandung bila tidak jadi ... apakah tidak menjengkelkan?<br />

Orang tidak boleh harap dari Tuan Djajadiningrat, buat berkata:<br />

kita nanti maklumkan politik non coöperatie umum. Ini macam<br />

politik bukan ada politik dari Tuan Djajadiningrat, beliau seorang<br />

diplomat besar, tidak perlu berterang semacam politik kasar, tetapi<br />

dalam maknanya.<br />

Pembicaraan dari Tuan-tuan Lighart, Zuiderhoff, Fruin, s'Jacobs,<br />

Oppenheim, memang jempol semua, tetapi apakah sebenarnya yang<br />

dibicarakan oleh mereka itu? Tuan Stokvis tadi malam sudah bilang,<br />

dengan dikatakan redevoering dari semua jcmpolan itu ada pembela-<br />

196


an pada kepentingan grupnya sebagai koloniale kapitaal, tetapi kita<br />

bersama dengan Tuan Stokvis yang menanya itu, menanya di sini<br />

apakah sebenarnya Nedcrl. gedachte itu semata-mata pikiran duit<br />

saja?<br />

Siapa yang mengetahui bahasa di Nederland, pihak kapitalisten<br />

itu bukan yang berpengaruh besar sekali dalam staat, tetapi rakyat<br />

yang berpengaruh, niscaya merasa heran sekali, yang di Indonesia itu<br />

sekumpulan kecil koloniaal kapitaal mau dapat pengaruh lebih<br />

besar dari rakyat.<br />

Tidak, tidak, kata Tuan Stokvis. NEDERL, gedachte bukan<br />

gedachte ... duit tetapi ada karakter yang lebih tinggi, yang memberikan<br />

perasaan malu kepada diri dan traditie yang baik dari Nederland,<br />

kata Tuan Stokvis bersama dengan Mr. Jonkman, yang menyatakan<br />

persetujuannya pada ontwerp itu.<br />

Bantahan-bantahan dari pihak sana yang membilang belum matang<br />

ekonomisnya rakyat, dibatalkan oleh Tuan Stokvis dengan<br />

membilang, hanyalah dengan memberikan ke lapangan dalam padang<br />

politik pada bumiputra, bisa memberikan kemajuan pada ekonominya<br />

rakyat, karena hal itu bertali-tali.<br />

Pembicaraan dua hari dua malam penuh debat, yang kita bersama<br />

dengan Thamrin ada berpendapatan, ketidakmatangan Indonesiër itu<br />

menurut ukuran sana belumlah dapat dibenarkan, karena itu politik<br />

yang overrijp terlalu matang dari pihak sana kerap kali diperlihatkan<br />

sebagai demonstratie ... mengukur lebih besar kaitan kalau untuk<br />

keuntungan sendiri.<br />

Tuan Jahja sudah bawa pepatah Minangkabau ke persidangan,<br />

kalau mengukur hendaklah sama panjang, menimbang sama berat,<br />

dengan berat kaitan ke awak, katanya.<br />

Zeer juist, kata kita dari pers tribune, karena model yang diperlihatkan<br />

oleh Tuan Lighart dari Javasche Bank itu, ada model<br />

uang kertas, model duit, pikiran duit, pikiran balans, pikiran verslag...<br />

pikiran kantong yang tentu saja tiada sebcnar-benarnya Nederl.<br />

gedachte yang setinggi-tingginya, seperti kenyataan dalam hikayat<br />

koloniale politiek pada 25 tahun yang akhir ini yang direncanakan<br />

oleh memorie van antwoord dari regeering itu.<br />

197


Ataukah Nedcrl. gedachte di sini memang seperti model<br />

Lighart, dus model ringgit, gula, tembakau dan teh?<br />

Berlakulah sebagai laki-laki seperti permintaan Tuan Nyak<br />

Arif, sebut ya dan neen, jangan bilang mau kerja sama-sama, tetapi<br />

Inlander tinggal jadi assistent ...<br />

Itu tentu saja kagak menjadi, kata orang Betawi.<br />

Sinar Deli, No. 142 Isnayan 18 Aug. 1930<br />

A D U L I D A H<br />

Pelor Vaderlandsche Club contra rencong Aceh<br />

Kalau ada seorang kuli, yang sudah membunuh seorang tuan<br />

kebun, maka beberapa hari kemudian kuli itu digantung di hadapan<br />

orang ramai ... demikian kata Tuan Fruin di dalam Volksraad.<br />

Pidato Voorzitter/Vaderlandsche Club ini, yang selengkapnya<br />

kita dapati dalam Handelingen Volksraad. Berikut ini kita kutipkan<br />

antara lain:<br />

Yang kedua, ialah suatu perkara yang tiada demikian ba<strong>nyak</strong><br />

diperhatikan, adalah suatu cara menjalankan hukuman dengan segera....<br />

Apabila seorang assisten dibunuh, sebenarnya dua atau tiga hari<br />

kemudian si pembunuh mesti digantung ... Tuan Nyak Arief, itu<br />

rencong kita dari Aceh: membantah perkataan Tuan Fruin ini sebagai<br />

berikut:<br />

Berhubung dengan pembicaraan Tuan Fruin, ialah untuk selekasnya<br />

menggantung orang yang bersalah dalam suatu perkara bunuh,<br />

kalau perlu dua hari sesudahnya terjadi pembunuhan itu, saya hendak<br />

memberi keterangan seperti berikut:<br />

Azas putusan pengadilan adalah: lebih baik membebaskan<br />

seorang yang bersalah daripada menghukum seorang yang tiada berdosa.<br />

Tentu saja tiap-tiap perkara orang mesti memeriksa lekas, tapi<br />

pun mesti rapi dan tidak dapat dilakukan dalam tempo 2 hari. Apabila<br />

orang mendesak atas pemeriksaan yang lekas dari perkara, saya<br />

198


pun accoord, tapi bukan saja dalam hal yang disebutkan oleh Tuan<br />

Fruin, tapi mesti dipergunakan juga dalam sekalian perkara.<br />

Sekian adu lidah dalam Volksraad.<br />

Dalam Sinar Deli, sudah sampai cukup perkara ini kita bicarakan.<br />

Untuk pengunci kata, kepada Tuan Fruin kita katakan: ada lebih baik<br />

Tuan Fruin pandai-pandai memperbedakan, antara kehendak hawa<br />

nafsu dengan kehendak keadilan.<br />

Apabila Tuan Fruin memberikan keadilan itu masuk dalam mulut<br />

hawa nafsu, akhirnya malah akan menimbulkan kezaliman.<br />

Jika hawa nafsu ini menimbulkan kebinasaan, bukan Tuan Fruin<br />

saja yang akan menderita akhir dari perbuatannya.<br />

Oleh sebab itu, kehendak yang demikian, senantiasa beroleh<br />

bantahan dari kita!<br />

199


IV. TULISAN ORANG BELANDA<br />

Sebagai bahan perbandingan perlu pula kiranya dimuat tulisan<br />

orang-orang Belanda mengenai Teuku Nyak Arif, baik mengenai<br />

pribadinya maupun mengenai perjuangannya.<br />

Locale Belangen: 1 Agustus 1927, halaman 556<br />

Wij vergaten den Atjeher, de heer Teukoe Nyak Arif, dien wij<br />

overingens nader Zullen ontmoeten bij de bespreking der in den<br />

Volksraad op het gebeid der decentralisatie behandelde onderwerpen.<br />

Want ook deze spreker heeft, evenals de heer Suangkupon,<br />

eenige algemeenheden gezegd, die wel verdienen nauwkeuriger te<br />

worden besproken. De heer Arif, om het kortaf te zeggen, is van een<br />

heftig temperament, zooals men daar boven in Sumatra wel meer<br />

aantreft.<br />

Hij zoekt naar den juisten toon, hij uit zich in afgebeten zinnen,<br />

hij .Iaat geen mogelijkheid van vergissing of verkeerde opvatting<br />

doch is zoo beslist in zijn uitspraken, als stond alles, wat hij betweet,<br />

bij voorbaat muurvast. Wanneer dit geachte lid dan ook zegt, dat<br />

"ergens een eind aan moet komen", dan voelt men, dat de regeering<br />

ook geen seconde meer mag wachten.<br />

Terjemahan bebasnya:<br />

Kami lupa kepada si putra Aceh, Tuan Teuku Nyak Arif, yang<br />

selanjutnya akan kita jumpai dalam pembicaraan tentang soal-soal<br />

desentralisasi di dalam Volksraad. Karena juga pembicara ini, seperti<br />

juga halnya Tuan Suangkupon, telah menyatakan beberapa hal yang<br />

200


umum, yang memang patut dibicarakan lebih scksama lagi. Tuan<br />

Teuku Nyak Arif, secara singkat dapat dikatakan bertemperamen<br />

garang atau galak, seperti halnya ba<strong>nyak</strong> orang yang dapat kita<br />

jumpai di ujung utara Pulau Sumatera sana.<br />

Beliau selalu mencari nada dan lagu yang tepat. Berbicara<br />

dengan kalimat-kalimat yang singkat tetapi tegas dan pedas. Beliau<br />

tidak memberikan kemungkinan untuk salah faham atau salah terima<br />

tentang kata-kata beliau pasti dalam ueapan-ucapannya seolah-olah<br />

apa yang beliau katakan semuanya sudah sekokoh dinding. Dan<br />

jikalau anggota yang terhormat ini mengatakan bahwa sesuatu atau<br />

hal ini harus diakhiri, maka kita juga merasa bahwa pemerintah pun<br />

tidak boleh menanti biarpun hanya sedetik.<br />

Locale Belangen: 6 Agustus 1929 halaman 786<br />

Er was er een onder de leden, die bij desentralisatie en bestuurshervorming<br />

het woord voerden, die het somberst bleek van allen.<br />

Het was ook een vertegenwoorrdiger uit het verst-afgelegen deel van<br />

Sumatra, de heer Nyak Arif, die op de bekende krachtige manier<br />

uittriep, dat die heele beweging allen maar op een duur soort<br />

autocratie uitdraat.<br />

Terjemahan bebasnya:<br />

Ada seorang di antara para anggota, yang berbicara tentang desentralisasi<br />

dan perubahan pemerintahan, yang rupanya paling suram<br />

di antara semuanya. Beliau itu memangnya pula seorang wakil dari<br />

bagian yang paling jauh letaknya di Pulau Sumatera, Tuan Nyak Arif,<br />

yang berseru dengan cara yang keras dan terkenal, bahwa semua<br />

gerakan itu hanya berkisar pada semacam autokrasi yang mahal saja.<br />

Locale Belangen: 1 November 1931, halaman 864<br />

... De heer Nyak Arif kreeg af en toe momenten, dat de geest<br />

over hem vaardig werd. In zulk een geval gingen verschillende leden<br />

een eindje van het spreekgestoelte af zitten, uit vrees, dat het<br />

geachte lid op een gegeven oogenblik naar voren zou stormen om zijn<br />

politieke tegenstanders aan stukken te rijten. Wilde kreten weerk-<br />

201


lonken, die men in de stenogrammen natuurlijk nimmer terugvond en<br />

het koste dikwijls moeite om in dezen hartstochtelijken spreker later<br />

dan bezadigden bestuursambtenaar te herkennen, die Nyak Arif ten<br />

slotte was.<br />

Terjemahan bebasnya:<br />

Tuan Nyak Arif kadang-kadang memperoleh saat-saat, bahwa<br />

beliau kemasukan ilham. Pada saat yang demikian beberapa orang<br />

anggota menjauhi mimbar karena takut kalau anggota yang terhormat<br />

itu pada suatu saat akan menyerbu ke depan untuk merobek-robek<br />

dan mencabik-cabik lawan-lawan politiknya. Suara yang lantang<br />

menggema di ruangan sidang, yang tentunya tidak akan kita jumpai<br />

dalam tulisan-tulisan steno, dan sering sukar kita mengenai kembali<br />

bahwa singa mimbar yang sering berpidato berapi-api itu adalah<br />

Teuku Nyak Arif, seorang pamongpraja yang tenang dan bijaksana.<br />

Piekaar, A.J.: "ATJEH EN DE OORLOG MET JAPAN"<br />

s'Gravenhage, W. Van Hoeve, 1949, halaman 11<br />

... Teukoe Nyak Arif, abituriënt van de Osvia (Opleidingschool<br />

Voor Inlandsche Ambtenaaren), Atjeh's eerste vertegenwoordiger in<br />

de Volksraad, gehuwd met een Padangse vrouw, was ongetwijfeld<br />

een der krachtigste persoonlijkheden onder de Atjeh's oelee-balangs.<br />

Klein van stuk, ongever 40 jaar oud, van een eeningszins cholerisch<br />

temperament, een vrij goed spreker, voelde met een persoonlijkheid<br />

te maken te hebben. Fel nationalist, zich zijn persoonlijkheid en<br />

invloed bewust, was hij voor vele Nedcrlandsche bestuursambtenaren<br />

een probleem en een struikelblok. In de Indonesische wereld stond<br />

hij bij de bevolking en collega's in hoog aanzien, al vormde daarvan<br />

dan ook dikwiljls vrees de ondergrond ...<br />

Terjemahan bebasnya:<br />

Teuku Nyak Arif, seorang lulusan Osvia (Opleidingschool Voor<br />

Inlandsche Ambtenaren), wakil Aceh yang pertama di Volksraad,<br />

kawin dengan seorang wanita Padang, tiada syak lagi adalah seorang<br />

pribadi yang paling kuat di antara para uleebalang Aceh. Orangnya<br />

kecil, kira-kira berusia 40 tahun, agak bertemperamen kholeris dan<br />

seorang yang fasih berbicara.<br />

202


Berhadapan dengan beliau kita merasa menghadapi seorang yang<br />

berkepribadian. Seorang nasionalis yang keras, sadar akan kepribadian<br />

dan pengaruhnya, beliau adalah suatu masalah dan batu penarung<br />

bagi pamongpraja bangsa Belanda. Di dalam dunia Indonesia, di<br />

kalangan rakyat dan para rekannya beliau sangat dihormati dan disegani,<br />

meskipun sering didasari rasa ketakutan.<br />

halaman 54<br />

De scherpe controle op de gedragingen en handelingen der in de<br />

residentie verblijvende Japanners na het uitbreken van de oorlog met<br />

Duitsland uitgeoefend, bracht eveneens niets verdachts aan het licht.<br />

Een van politieke inlichtingen dienst uit Medan ontvangen inlichting,<br />

waarrin de aandacht werd gevestigd op de betrekkingen door een<br />

zekere Teukoe Arif met de Japanners onderhouden, stelde het bestuur<br />

voor een raadsel. Dat hiermede Teukoe Nyak Arif, het Sagihoofd van<br />

de XXVI Moekims zou zijn bedoeld achtte men uitgesloten. Waarschijnlijker<br />

bleek een naamverwisseling met Teukoe Azis of Anzib,<br />

de gewezen oeleebalang van het tot de Sagi der XXVI Moekims<br />

behoorende Oeleebalangschap Toengkob.<br />

Terjemahan bebasnya:<br />

Pengawasan yang ketat yang dilakukan terhadap kelakuan dan<br />

perbuatan orang-orang Jepang yang berdiam di karesidenan Aceh setelah<br />

pecahnya peperangan dengan Jerman, juga tidak memberikan<br />

hal-hal yang mencurigakan. Suatu info yang diterima oleh PID<br />

(Politieke Inlichtingen Dienst) dari Medan, di mana perhatian ditujukan<br />

pada perhubungan yang diadakan oleh seorang yang bernama<br />

Teuku Arif dengan orang-orang Jepang, menempatkan pemerintah<br />

dalam suatu teka-teki. Bahwa dengan itu dimaksudkan Teuku Nyak<br />

Arif, Panglima Sagi XXVI Mukim, dianggap tidak masuk akal. Lebih<br />

mungkin ialah penggantian nama dengan Teuku Aziz atau Anzib,<br />

bekas Uleebalang Tungkob yang termasuk dalam daerah Sagi XXVI<br />

Mukim.<br />

halaman 71<br />

... Een aanbod van Teukoe Njak Arif om het bestuur aan hem<br />

over te dragen, in welk geval hij zich verantwoordelijk stelde voor<br />

203


levens en bezittingen der Europeanen tot de komst der Japanners, kon<br />

niet in overweging worden genomen.<br />

Terjemahan bebasnya:<br />

Suatu tawaran dari Teuku Nyak Arif untuk menyerahkan pemerintahan<br />

kepadanya, di mana beliau akan bertanggung jawab atas<br />

hidup dan harta benda orang-orang Eropa sampai datangnya orangorang<br />

Jepang, tidak dapat dipertimbangkan.<br />

halaman 77<br />

... Alvorens uit Kutaraja te vertrekken werd door de territoriaal<br />

commandant nog opdracht gegeven tot arrestatie van Teukoe Nyak<br />

Arif en de andere niet ter vergadering verschenen hoofden.<br />

Terjemahan bebasnya:<br />

... Sebelum berangkat dari Kutaraja oleh Komandan Territorial<br />

(tentara Belanda) masih diberikan perintah untuk menangkap Teuku<br />

Nyak Arif dan para kepala (pemimpin) yang tidak muneul dalam<br />

rapat.<br />

Paul Van't Veer: "De ATJEH-OORLOG". Amsterdam. Uitgeverij<br />

De Arbeiders pers - 1969, halaman 299<br />

... Na de ontruiming van Kutaraja werd de stad door duizenden<br />

Atjehers geplunderd en verwoest. Twintig achtergebleven Indonesische<br />

militairen en gepensioneerden werden doodgeschoten. Ook<br />

enkele Europeanen werden vermoord, maar het grootste deel bracht er<br />

het leven af door de tussenkomst van het Sagihoofd Njak Arif, die<br />

plotseling weer was opgedoken. Een maand voor de komst der Japanners<br />

had hij Resident J. Pauw de laatste Nederlandsche bestuurder<br />

van Atjeh en geen kracht figuur vo<strong>org</strong>esteld hem de verantwoordelijkheid<br />

te geven voor de gang van zaken tot de overdracht aan de<br />

bezetters. Het annbod was afgeslagen. Nu deed hij toch wat hij kon<br />

om de Europeanen en bedreigde niet-Atjehse Indonesiërs te redden.<br />

Terjemahan bebasnya:<br />

... Setelah Kutaraja dikosongkan oleh tentara Belanda maka kota<br />

itu dirampok dan dirusakkan oleh ribuan orang Aceh. Dua puluh<br />

204


orang militer dan pensiunan bangsa Indonesia ditembak mati. Juga<br />

beberapa orang Eropa dibunuh, tetapi sebagian besar dapat diselamatkan<br />

berkat perantaraan Panglima Sagi Nyak Arif, yang muncul dengan<br />

tiba-tiba. Sebulan sebelum orang-orang Jepang tiba beliau telah<br />

mengusulkan kepada Residen J. Pauw orang Belanda yang terakhir<br />

memerintah Aceh dan bukan seorang tokoh yang kuat untuk menyerahkan<br />

tanggung jawab pemerintahan sampai penyerahannya<br />

kepada tentara pendudukan Jepang. Tawaran itu ditolak. Namun kini<br />

beliau berusaha sedapat-dapatnya untuk menyelamatkan orang-orang<br />

Eropa dan orang-orang Indonesia bukan orang Aceh yang terancam<br />

jiwanya.<br />

Knottenbelt: "CONTACT MET ATJEH" Uit "Vrij Nederland".<br />

London van 19 Januari 1946 Jaargang No. 26<br />

... In verband hiermede werd ik enkele malen bezocht door een<br />

inlandsche hoogwaardigheidsbekleedcr, genaamd Nja' Arif, die door<br />

Soekarno als "resident" van Atjeh benoemd is en tevens een voorname<br />

plaats inneemt op de geallieerde oorlogsmisdadigerslijst, daar<br />

hij bij de landingen van de Japannezen op Sumatra eigenhandig een<br />

veertigtal gevangen genomen Nederlandsche Officieren vermoord<br />

heeft. Als volgt heb ik zijn bezoek in mijn dagboek vermeld:<br />

15.10.45... een auto houdt stil voor de deur en vlugge stappen naderen<br />

mijn kantoor. Ik opende de rechterlade van m'n bureau, waar ik<br />

steeds een geladen revolver klaar heb liggen en op hetzelfde moment<br />

zie ik in de deuropening drie mannen staan. De leider, Nja' Arif,<br />

herken ik onmiddelijk, alhoewel ik hem nimmer gezien heb. Hij werd<br />

me eens beschreven _ als een kleine, ineengekrompen man met een<br />

onaange-naam gezicht. Hij zegt: "Ik ben Teuku Nyak Arif, Resident<br />

van Atjeh". Tegelijkertijd neemt hij me van onder tot boven op en ik<br />

kijk naar hem-niet van onder naar boven-dat is niet raadzaam als je<br />

eens het vurige fanatieke licht in zijn oogen en de onaangenaam<br />

zenuwtrek van zijn mond opgemerkt hebt. Hij stelt z'n twee vrienden<br />

voor-een grote dikke Chinees en een intelectueel jongmens op wiens<br />

gezicht die wilde vergenoegdheid te lezen stond die ik vroeger reeds<br />

op gezichten van mijn vurigste socialistische vrienden in Oxford<br />

opgemerkt had. Hij begint dadelijk in zuiver Engels te spreken-hij is<br />

205


nu pas gekomen omdat hij gehoord had, dat de Hollanders vertrokken<br />

waren, tegelijkertijd meen ik een snelle blik op te vangen in de richting<br />

van mijn orange lintje en schouderkoord. Ik beweeg geen spier<br />

van m'n gezicht en zeg, dat het me plezier doet dat hij openlijk met<br />

mij willpraten. Hij haast zich nu te vertelen, dat hij graag met de<br />

Geallieerden wil samenwerken maar niet met de Hollanders. Hij is<br />

vol van de Hollanders, van de Hollandsche regeering, de Hollandsche<br />

bestuurders - die verwaande zwijnen.<br />

Terjemahan bebasnya:<br />

... Berhubung dengan hal ini saya (Mayoor Maarten Knottenbelt)<br />

beberapa kali dikunjungi oleh seorang pejabat tinggi bangsa Indonesia,<br />

yang bernama Nyak Arif, yang oleh Soekarno diangkat menjadi<br />

Residen Aceh dan juga menduduki tempat yang penting dalam<br />

daftar penjahat perang Sekutu, karena ia pada waktu pendaratan<br />

tentara Jepang di Sumatera dengan tangannya sendiri telah membunuh<br />

kurang lebih empat puluh orang perwira Belanda yang ditawan.<br />

Kunjungannya itu saya sebutkan dalam buku harian saya sendiri<br />

sebagai berikut: 15.10.45 ... sebuah mobil berhenti di depan pintu<br />

dan langkah-langkah yang cepat menghampiri kantorku. Saya membuka<br />

laci kanan meja tulis saya, di mana saya selalu siap meletakkan<br />

sebuah pistol yang berisi dan pada saat yang sama saya melihat di<br />

ambang pintu tiga orang laki-laki berdiri. Pemimpinnya Nyak Arif segera<br />

saya kenal, sungguhpun saya belum pernah melihatnya. Kepadaku<br />

pernah dilukiskan bahwa ia seorang yang kecil, pendek dengan<br />

wajah yang tidak menyenangkan. Ia berkata: Saya Teuku Nyak Arif,<br />

Residen Aceh. Bersamaan waktunya ia memandang saya dari atas ke<br />

bawah dan saya melihat kepadanya - tidak dari atas ke bawah hal itu<br />

tidak patut jikalau kita memperhatikan cahaya yang berapi-api dan<br />

fanatik dalam matanya dan kerut mulutnya yang tidak menyenangkan.<br />

Ia memperkenalkan kedua orang temannya seorang Cina yang besar<br />

lagi gemuk dan seorang anak muda intelektual yang pada wajahnya<br />

mudah terbaca yang dahulu sudah kuperhatikan pada wajah temantemanku<br />

orang-orang sosialis yang bernyala-nyala di Oxford. Ia<br />

segera mulai berbicara dalam bahasa Inggris yang murni, ia baru<br />

datang karena mendengar bahwa orang-orang Belanda sudah pergi.<br />

206


Pada saat itu juga saya merasa menangkap suatu pandangan yang<br />

cepat ke arah pita jingga (oranye) dan tali bahu saya. Wajah saya<br />

tidak berubah sedikit pun dan berkata saya sangat senang kalau ia<br />

mau berbicara secara terbuka dengan saya. Ia segera menceritakan<br />

bahwa ia bersedia bekerja sama dengan Sekutu, tetapi tidak sudi<br />

dengan orang-orang Belanda. Ia muak dengan orang-orang Belanda,<br />

dengan pemerintah Belanda, dengan penguasa-penguasa Belanda,<br />

babi-babi yang sombong itu.<br />

Officiële Bescheiden Bettreffende de Nederlands - Indonesische<br />

Be trekkingen 1945 - 1950, dihimpun oleh Dr. S.L. van der Wal,<br />

jilid kedua, 9 November - 31 Desember 1945 s'Gravenhage Verkrijgbaar<br />

bij Martius Nijhoff, 1973, halaman 520:<br />

Van uit Atjeh is P. Weh steeds door spionnen geïnfiltreerd. Deze<br />

lieden waren tevens propagandisten, die de "semangat merdeka" 15<br />

moesten hooghouden o.m. door het verspreiden van Republikeinsche<br />

couranten en lectuur. Bovendien bevond zich onder deze lieden een<br />

Atjeher, die naar geschikte landingsplaatsen voor een inval op P. Weh<br />

moest uitzien. De bedoeling zou het n.1. geweest zijn, om zoodra de<br />

Engelschen Sabang hadden verlaten, van uit Kutaradja een inval op<br />

P. Weh te doen. Deze aanval, die door de beweging te P. Weh gesteund<br />

zou worden (voor het geval een aanval uit Atjeh onmogelijk<br />

zou blijken, moest het leger hier het zelf klaar spelen), is thans niet<br />

meer te verwachten te minder nu te Sabang drie compagnien infanterie,<br />

een torpedojager en een Catalina zijn gestationneerd, die de<br />

Atjehers hebben doen begrijpen, dat het Bestuur en Leger paraat zijn.<br />

Hoewel de overtuiging bestaat, dat de opstandige beweging ook<br />

door eenige Imeums 2<br />

' en Keutibs 3)<br />

onder Atjehsche bevolking is<br />

gepropageerd, werd onder deze groep de zaak zoo geheimgehouden,<br />

dat niet tot arrestatie van bepaalde leiders kon worden overgegaan.<br />

Middels geheime telefoonaftap staat Sabang in telefonische verbinding<br />

met T. Nja' Arif te Lam Njong. De telefonist Djafar Loebis<br />

hield dezen Atjehschen "resident" steeds op de hoogte van de gebeurtenissen.<br />

207


Dari tulisan tersebut jelas, bahwa di Sabang (Pulau Weh) telah<br />

ada kegiatan-kegiatan dari pihak Republik. Di antara kaum Repu<br />

blikein di Sabang ternyata telah ada hubungan dengan Teuku Nyak<br />

Arif melalui telepon, di mana setiap kegiatan dilaporkan kepada<br />

beliau selaku Residen Aceh.<br />

208


V. BEBERAPA ULASAN<br />

Kapten Sahlan Saidi, BA., Jarahdam Kodam I Iskandar Muda<br />

Banda Aceh<br />

Mayor Jenderal Tituler Teuku Nyak Arif<br />

Teuku Nyak Arif dilahirkan di Ulee Lheue pada tanggal 17 Juli<br />

1899, salah seorang dari putra Teuku Nyak Banda Sri Imeum Muda,<br />

Panglima Sagi 26 Mukim Aceh Besar.<br />

Menempuh pendidikan: Sekolah Rakyat (Kutaraja), Kweekschool<br />

(Bukittinggi) dan OSVIA (Serang).<br />

Pada tahun 1920 diangkat menjadi Panglima Sagi 26 Mukim.<br />

Dari tahun 1927 sampai tahun 1931 menjadi anggota Volksraad. Pada<br />

tanggal 27 Januari 1930 terbentuklah FRAKSI NASIONAL di dalam<br />

Volksraad yang dipimpin oleh Mohd. Husni Thamrin. Teuku Nyak<br />

Arif menjadi salah seorang anggota FRAKSI NASIONAL.<br />

Ketika pendudukan Jepang, Teuku Nyak Arif menjabat Tyosay<br />

Kioku Tyio (Kepala Pemeriksaan Pemerintahan) di samping<br />

pemimpin gerakan di bawah tanah.<br />

Tahun 1943 menjadi Ketua Aceh Syu Sangi Kai (Perwakilan<br />

Rakyat Daerah Aceh), kemudian Wakil Ketua Sumatra Cuo Sangi In<br />

(Majelis Perwakilan Sumatera) di Bukittinggi. Teuku Nyak Arif turut<br />

di antara para pemimpin Indonesia utusan Sumatra ke Tokyo.<br />

Pada bulan Februari 1945 Teuku Nyak Arif telah menganalisa<br />

bahwa Jepang tidak berapa lama lagi akan terpaksa meiepaskan<br />

209


daerah-daerah pendudukannya. Oleh sebab itulah Teuku Nyak Arif<br />

semakin mengintensifkan gerakan di bawah tanah. Seminggu setelah<br />

Jepang menyerah, beberapa orang pemimpin Aceh (termasuk Tengku<br />

Daud Beureueh bersumpah di hadapan Teuku Nyak Arif di rumah<br />

T. Ahmad Jeunieb Kutaraja, bahwa akan bekerja sama seluruh golongan<br />

masyarakat untuk menghadapi masa dcpan, dengan melupakan<br />

kejadian-kejadian masa lalu.<br />

Sebagai Residen Aceh yang pertama di alam Indonesia Merdeka,<br />

Teuku Nyak Arif memberikan bantuan baik pikiran maupun harta<br />

benda untuk pembentukan API (Angkatan Pemuda Indonesia) dan<br />

menganjurkan supaya merebut peralatan perang dari Jepang. Bupati<br />

Aceh Besar T. Husin Trumon mengurus penjualan harta benda Teuku<br />

Nyak Arif untuk DANA PERJUANGAN. Teuku Nyak Arif pula yang<br />

mula-mula mengibarkan bendera Merah Putih di mobilnya.<br />

Ketika tentara Jepang menahan 16 orang Perwira TKR (Kolonel<br />

Syamaun Gaharu dan lain-lain), Teuku Nyak Arif menyampaikan<br />

protes keras. Waktu terjadi pertempuran antara TKR dan Jepang di<br />

sekitar Kuala Simpang (Aceh Timur), walaupun dalam keadaan cuti,<br />

telah turut ke medan pertempuran.<br />

Pada bulan Oktober 1945 tiba di Kutaraja utusan Sekutu Mayor<br />

Knottenbelt untuk membicarakan pendaratan Sekutu di Aceh guna<br />

melucuti senjata Jepang dan mengurus para tawanan. Dengan keras<br />

Teuku Nyak Arif menolak rencana Sekutu. Kemudian perembukan<br />

diadakan sekali lagi pada suatu tempat antara Binjai - Medan antara<br />

Teuku Nyak Arif dengan Pucuk Pimpinan Sekutu di Sumatera Utara<br />

Brigjen T. Kelly dan Kepala Kempetai Jepang. Dalam pertemuan ini<br />

pun Teuku Nyak Arif menolak semua rencana Sekutu.<br />

Peralatan perang Jepang dircbut oleh API dan TKR/Rakyat baik<br />

melalui pertempuran maupun diplomasi. Dengan ba<strong>nyak</strong>nya peralatan<br />

yang jatuh ke tangan kita, maka Divisi V TRI Aceh adalah yang<br />

terkuat di Sumatera. Tahun 1946 Teuku Nyak Arif diangkat menjadi<br />

Mayor Jenderal Timier, Staf Umum Komandemen Sumatra.<br />

Pada saat apa yang menamakan diri TPR (Tentara Perjuangan<br />

Rakyat) berkumpul di Seulimeum, pimpinan TKR menemui Teuku<br />

Nyak Arif yang sedang istirahat sakit di Lam Nyong. Kolonel<br />

Syamaun Gaharu melaporkan bahwa Resimen 1 dan Polisi Istimewa<br />

210


telah siap sedia menghadapi setiap kemungkinan. Teuku Nyak Arif<br />

menjawab: Jangan ambil tindakan yang menumpahkan darah rakyat.<br />

Saya tidak dapat membiarkan rakyat menjadi korban. Akhirnya TPR<br />

mengambil oper kekuasaan. Pimpinan TKR dan Teuku Nyak Arif ditawan<br />

(Kolonel Syamaun Gaharu dapat meloloskan diri via Meulaboh<br />

ke Bukittinggi). Tempat pengasingan Teuku Nyak Arif telah disediakan<br />

yaitu Takengon. Sementara itu pe<strong>nyak</strong>it beliau bertambah parah.<br />

Pernah dimintakan supaya Dr. Mahyuddin dibenarkan memberikan<br />

pertolongan, tetapi ditolak oleh Wakil Residen Aceh ketika itu. Istri<br />

Teuku Nyak Arif juga pernah memajukan permohonan melalui<br />

Bupati Aceh Abdul Wahab, agar Teuku Nyak Arif dapat dipindahkan<br />

ke Bireuen (Aceh Utara) yang berhawa panas. Kemudian datang<br />

Dr. Sudono yang juga menyarankan agar dapat dipindahkan ke tempat<br />

yang berhawa panas. Namun sampai akhir hayat Teuku Nyak<br />

Arif, permintaan itu tidak pernah dikabulkan. Sampai ke ujung hayatnya<br />

Teuku Nyak Arif didampingi seorang istri yang setia, seorang<br />

wanita berasal dari Minangkabau.<br />

Mayor Jenderal Tituler Teuku Nyak Arif, seorang pahlawan tiga<br />

zaman, seorang pejuang yang gigih, akhirnya pada tanggal 4 Mei<br />

1946 wafat dalam status -tawanan di Takengon dan dimakamkan di<br />

Pekuburan Keluarga Lam Nyong.<br />

Insider (nama samaran) dalam bukunya "Atjeh Sepintas Lalu",<br />

1950 pada halaman 22 antara lain mengemukakan:<br />

Teuku Nyak Arif, seorang kaum pergerakan yang senantiasa<br />

berada pada pihak yang menentang penjajahan Belanda, seorang yang<br />

dikenal sebagai pembela rakyat umum di daerah Aceh, tidak lama<br />

menderita penghinaan ini.<br />

Pada penghabisan (seharusnya pertengahan) tahun 1946, beliau<br />

meninggalkan dunia yang fana ini. Moga-moga jasa beliau guna<br />

kepentingan Bangsa dan Tanah Air, jasa yang di dunia ini tidak memperoleh<br />

penghargaan selayaknya, menjadi pahala baginya dan arwah<br />

beliau menempati tempat yang termulia di sisi Tuhan.<br />

HAM KA dalam bukunya "KENANG-KENANGAN HIDUP"<br />

Jilid III cetakan III - 1974, sebagai berikut:<br />

rEUKU NYAK ARIF - 15 211


Halaman 170<br />

Pertemuan yang di luar resmi jauh lebih penting daripada yang<br />

resmi. Secerdik-cerdik Jepang, pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia<br />

lebih cerdik. Sebab mereka memakai bahasa sendiri, dalam negeri<br />

sendiri. Dalam pertemuan-pertemuan khusus di antara pemimpinpemimpin<br />

yang mempunyai pendirian jujur terhadap tanah air telah<br />

disatukan pikiran. M. Syafei diakui di luar dari pengakuan Jepang,<br />

sebagai pemimpin yang dikemukakan untuk seluruh Sumatera.<br />

Selain dari Dr. A.K. Gani adalah Teuku Nyak Arif, Dr. Ferdinand<br />

Lumban Tobing dan lain-lain termasuk golongan pemimpin ini. Ketika<br />

diadakan giliran pemandangan umum dalam sidang, beberapa<br />

pemimpin tidak dapat lagi menahan lidahnya A.K. Gani terus terang<br />

mengobarkan semangat nasional. Khatib Sulaiman menumpahkan<br />

perasaan yang tertekan selama ini dan meminta ketegasan kepercayaan.<br />

Teuku Nyak Arif mengeritik keras beberapa tingkah laku dan<br />

cara pemerintahan tentara Jepang yang tidak dapat diterima jiwa<br />

bangsa Indonesia, sebagai pelacuran, pasar malam, judi dan lain-lain.<br />

Terlalu berani dia! A.R. St. Mansur menerangkan inti keimanan.<br />

Yang jelas berbeda dengan pendirian Jepang!<br />

Pendeknya, ketika sidang itu, bukan sedikit Iaba yang didapal<br />

oleh pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia dan hanya sedikit laba<br />

untuk Jepang. Di sana teguhlah semangat persatuan. Di sana terangterang<br />

ditentang semangat yang hendak memisahkan Sumatera dari<br />

persatuan Indonesia.<br />

Kata-kata Merdeka, kata-kata persatuan, adalah menjadi semangat<br />

yang dibawa mereka pulang. Mereka akui bahwa pimpinan<br />

umum seluruh Indonesia, hanya Soekarno-Hatta.<br />

Halaman 180<br />

Dr. A.K. Gani pulang ke Palembang. Teuku Nyak Arif pulang ke<br />

Aceh. Dr. Ferdinand Lumban Tobing pulang ke Tapanuli. Orangorang<br />

ini adalah inti-inti sebenarnya dalam pertumbuhan Nasionalisme<br />

di Cuo Sangi In.<br />

Lukisan Revolusi Indonesia yang diterbitkan oleh Kementerian<br />

Penerangan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1954,<br />

halaman 22<br />

212


Di antara orang-orang bangsawan Aceh terkemuka yang ba<strong>nyak</strong><br />

menyumbangkan pikiran dan tenaganya untuk kemajuan rakyat Aceh<br />

dari sebelum dan sesudah perang ialah Teuku Nyak Arif, bekas<br />

Residen Aceh yang pertama di awal Revolusi Indonesia.<br />

Di zaman Hindia Belanda, beliau pernah menjadi anggota Volksraad<br />

dan Panglima Sagi XXVI Mukim (di Aceh Besar).<br />

Sebelum Jepang mendarat di Aceh pada tahun 1942, Teuku Nyak<br />

Arif serta beberapa Uleebalang dan Ulama-ulama yang diikuti oleh<br />

rakyat ba<strong>nyak</strong> telah memberontak terhadap kekuatan Belanda.<br />

Di zaman pendudukan Jepang, beliau menjadi Ketua Aceh Syu<br />

Sangi Kai dan berpengaruh di kalangan Pemerintahan Aceh.<br />

Ketika proklamasi kemerdekaan Indonesia tersiar di Aceh, Teuku<br />

Nyak Arif telah mengambil bagian yang aktif dan beliau diangkat sebagai<br />

Residen Aceh yang pertama.<br />

Di waktu pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (yang kemudian<br />

menjadi TNI) di Aceh, Teuku Nyak Arif diangkat menjadi<br />

Mayor Jenderal.<br />

Surat Kabar Suluh Merdeka, Medan No. 105 ke II 7 Bulan V<br />

1946. Ejaan disesuaikan dengan EYD<br />

SDR. T. NYAK ARIF MENINGGAL DUNIA<br />

Pembantu kita di Kutaraja mengawatkan:<br />

Menurut kabar yang layak dipercayai diberitakan, bahwa Sdr.<br />

T. NYAK ARIF bekas Residen dan Mayor Jenderal di Aceh telah meninggal<br />

dunia pada pukul 13.30 hari Sabtu tanggal 4 - 5 - 1946 yang<br />

baru lalu di salah satu tempat pengasingan.<br />

Beliau meninggal sebagai akibat dari pe<strong>nyak</strong>it gula yang beliau<br />

dapati beberapa waktu yang lalu. Jikalau kita perhatikan riwayat<br />

hidup beliau semenjak zaman yang lampau, dapatlah diakui .bahwa<br />

beliau adalah seorang besar dan pemimpin rakyat.<br />

Hanya oleh kebangsawanan beliau, tindakan beliau sedikit<br />

ba<strong>nyak</strong>nya adalah me<strong>nyak</strong>iti beberapa golongan rakyat yang menyebabkan<br />

penahanan terhadap diri beliau. Walaupun begitu kemudian<br />

hari sejarah pasti akan membuktikan apakah kematian beliau<br />

sebagai pahlawan tanah air atau sebaliknya.<br />

213


Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun!<br />

TA. Talsya, dalam Harian Duta 15 November 1974<br />

Tajuk Rencana<br />

PAHLAWAN NASIONAL TEUKU NYAK ARIF<br />

Peringatan Hari Pahlawan 10 November 1974 bagi rakyat Aceh<br />

khususnya ditandai dengan suatu kesan lagi yang mengandung arti<br />

tersendiri, karena bertepatan pada hari bersejarah itu Presiden Republik<br />

Indonesia telah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada<br />

seorang purra Indonesia berjasa yang berasal dari Aceh, yakni Teuku<br />

Nyak Arif.<br />

Anugerah tersebut tidak saja merupakan suatu kegembiraan bagi<br />

keluarga almarhum, akan tetapi merupakan kebanggaan rakyat di<br />

daerah ini khususnya dan Bangsa Indonesia umumnya.<br />

Teuku Nyak Arif telah mempergunakan usia semasa hayatnya<br />

untuk berbakti bagi Tanah Air dan Bangsa serta mengabdi kepada kepentingan<br />

hidup rakyat ba<strong>nyak</strong> yang mengalami penindasan di bawah<br />

kekuasaan penjajahan-. Di tengah-tengah tangguhnya kekuasaan kolonial<br />

Belanda, beliau tampil membela kepentingan umum, baik dalam<br />

bidang kehidupan sehari-hari maupun dalam bidang politik, pendidikan,<br />

kemakmuran dan kesejahteraan.<br />

Dengan keberanian yang patut diandalkan T. Nyak Arif pernah<br />

menuntut kepada penguasa Belanda supaya menyerahkan kedaulatan<br />

dan kekuasaan pemerintahan ke tangan bangsa Indonesia menjelang<br />

kedatangan tentara Jepang.<br />

Di masa Jepang beliau merupakan bintang yang cemerlang di<br />

angkasa bumi tanah air dengan peranan-peranannya yang berani dan<br />

konsekuen. Kepada Kepala Pemerintahan Pertadbiran Jepang di Aceh<br />

beliau menyampaikan ultimatum supaya kekuasaan pemerintahan<br />

dialihkan kepada bangsa kita dan beliau akan menerimanya selaku<br />

Pemimpin Rakyat.<br />

Perdebatan sengit yang terjadi antara beliau dan kawan-kawan<br />

lain di satu pihak dengan Aceh Syu Cokang S. lino di pihak Jepang,<br />

nyaris menimbulkan suatu tragedi di tempat kediaman resmi pucuk<br />

pimpinan Pengusa Jepang yakni Pendopo Gubernur sekarang.<br />

214


Teuku Nyak Arif dengan suara geram menggigil penuh amarah<br />

menyatakan kepada pihak Jepang, bahwa bangsa Indonesia telah<br />

dewasa dan kini masanya menggenggam nasib di tangan sendiri. Ketika<br />

beliau menumbuk meja perundingan pistol yang terselip di<br />

pinggangnya jatuh ke lantai sehingga suasana nyaris meruncing<br />

andaikata kawan-kawannya sendiri tidak membujuknya meninggalkan<br />

meja perundingan.<br />

Di masa awal kemerdekaan, beliau pemimpin pertama yang<br />

berani berkeliling kota dengan Pontiac sambil memasang bendera<br />

Merah Putih di depan kendaraan. Padahal betapa bengisnya watak<br />

Jepang terhadap orang-orang Indonesia bukan beliau tak tahu, karena<br />

pernah dialaminya sendiri ketika beliau disekap dalam tahanan<br />

Kempetai Jepang di Banda Aceh.<br />

Peranannya dalam penyusunan pemerintahan umum pada bulanbulan<br />

September hingga Desember 1945 sungguh sangat menentukan.<br />

Di tengah-tengah kemelut yang terus berkecamuk antara pihak<br />

Indonesia dan pihak Jepang yang masih berkuasa dan juga antara<br />

unsur-unsur di kalangan kita sendiri yang masing-masing merupakan<br />

arus yang sedang mencari muara, Teuku Nyak Arif menempatkan diri<br />

di dalam revolusi, bahkan memimpinnya sekaligus.<br />

Penyusunan Angkatan Bersenjata di Aceh telah berlangsung<br />

dengan cepat berkat peranannya yang aktif tanpa mengenai lelah atau<br />

rasa bimbang.<br />

Apa yang diidam-idamkan dan sekaligus diperjuangkannya<br />

akhirnya terwujud dengan nyata, sungguhpun beliau tidak sempat<br />

mengecapnya karena terlalu cepat meninggalkan arena perjuangan,<br />

meninggal dunia pada tanggal 4 Mei 1946.<br />

Kita semuanya bangga atas penganugerahan Presiden kepada<br />

Teuku Nyak Arif. Akan tetapi apalah artinya sesuatu kebanggaan itu<br />

jika tidak diiringi dengan janji pada diri untuk melanjutkan jejakjejaknya<br />

dengan setia.<br />

Bagi kita yang sempat mengecap nikmat kemerdekaan ini terpikul<br />

tugas yang harus kita selesaikan sebagai pertanggungjawaban<br />

terhadap sejarah dan generasi mendatang, bahwa perjuangan Pahlawan<br />

Nasional di masa silam tidak sia-sia terbengkalai.<br />

215


H. Hasyim Naim, Sejarah Teuku Nyak Arif (naskah ketikan),<br />

Pulau Pinang Malaysia 1974<br />

Halaman 3<br />

Teuku Nyak Arif adalah seorang tokoh yang keras dan berani.<br />

Sanggup dan bertanggung jawab sekalipun dalam perkara yang berbahaya.<br />

Tusbasya (tokoh peda PUSA) menulis dalam Harian Duta Banda<br />

Aceh, 23 Agustus 1975<br />

Halaman 2<br />

Pada tanggal 24 Agustus 1945 Teuku Nyak Arif telah menerima<br />

kawat dari Moh. Syafei dan dalam suasana yang panik menghadapi<br />

Jepang beliau telah memasang bendera merah putih dalam ukuran<br />

besar di mobilnya melalui jalan-jalan besar. Teuku Nyak Arif telah<br />

menggugah hati rakyat untuk bergolak.<br />

Abdullah Hussain dalam buku Terjebak Pustaka Antara Kuala<br />

Lumpur 1965<br />

Halaman 374<br />

Teuku Nyak Arif adalah seorang nasionalis yang sangat ditakuti oleh<br />

Belanda dan seorang yang sangat berani. Orangnya kecil, kulitnya<br />

hitam, mukanya bulat dan matanya bersinar-sinar.<br />

Tengku M. Junus Jamil, dalam buku Gajah Putih Lembaga<br />

Kebudayaan Aceh Kutaraja 1959<br />

Halaman 124<br />

Pada tanggal 23 - 24 Januari 1942 timbul perlawanan rakyat Aceh<br />

terhadap pemerintah Hindia Belanda dengan suatu penyerbuan ke<br />

tempat kedudukan dan pertahanan pemerintah Belanda. Hampir di<br />

seluruh Aceh timbul perlawanan rakyat dengan pengorbanan jiwa dan<br />

harta benda yang tidak sedikit. Pucuk pimpinan perlawanan ini adalah<br />

Teuku Nyak Arif, Panglima Sagi 26 Mukim.<br />

Rahman Putera (Staf Intelijen MBAL) dalam Kegiatan Inteiijen<br />

dari masa ke masa, Jakarta 1959<br />

216


Halaman 264<br />

Sebagai tokoh pergerakan nasional Teuku Nyak Arif pernah menjadi<br />

anggota PNI. Pada masa permulaan revolusi di samping menjadi<br />

Residen Aceh dan Mayor Jenderal TNI, Teuku Nyak Arif juga diangkat<br />

menjadi Komisaris PNI untuk daerah Aceh. Pada waktu<br />

meninggalnya semua anggota PNI menghendaki jenazah almarhum<br />

dibawa ke Kutaraja untuk disemayamkan di kantor PNI dan dikibarkan<br />

bendera setengah tiang.<br />

TMA Panglima Polim, dalam buku Memori (catatan) Al Hambra<br />

Banda Aceh<br />

Halaman 5<br />

Tahun tiga puluhan Teuku Nyak Arif, TMA Fanglima Polim, Teuku<br />

Cut Hasan, T. Johan Meuraxa, T. Ahmad Jeunieb dan T. AU Keureukon<br />

mengadakan suatu permufakatan dengan sumpah dan janji<br />

bahwa bila ada kesempatan akan melawan penjajah Belanda.<br />

Prof. Mr. Notosusanto, Yogyakarta (risalah)<br />

Halaman 1, tulisan Ramdlon Maning S.H<br />

Tetapi tak urung dia menyentil Parlemen juga. Mahasiswa semasa<br />

saya dülu, sambungnya yang mendatangi gedung DPR, bukan para<br />

mahasiswa, tetapi justru anggota Volksraad sendiri yang turun untuk<br />

me-nyadap aspirasi mahasiswa. Teuku Nyak Arif, RP. Suroso misalnya<br />

bahkan mau ikut nimbrung mondok di tempat kost mahasiswa<br />

untuk menampung keinginannya.<br />

M. Nur EI Ibrahimy, dalam Harian Waspada Medan, 23 Maret<br />

1984<br />

1 Maret 1946 merupakan suatu hari yang bersejarah historica!<br />

day, bukan historie day dalam sejarah perjuangan kemerdekaan<br />

Indonesia di Aceh. Pada hari itu telah terjadi perebutan kekuasaan<br />

dari tangan Teuku Nyak Arif, sebagai koordinator/<strong>org</strong>anisator Tentara<br />

Republik Indonesia Divisi V, Anggota Staf Umum Komandemen<br />

Sumatera, sekaligus sebagai Residen Aceh, dan dari tangan Syamaun<br />

Gaharu, sebagai komandan divisi. Perebutan kekuasaan ini dilakukan<br />

oleh Husin Al Mujahid, pemimpin Tentara Perjuangan Rakyat yang<br />

di kalangan rakyat Aceh popuier dengan nama TPR.<br />

217


Suatu hal yang amat menggembirakan bahwa perebutan kekuasaan<br />

tersebut berlangsung tanpa pertumpahan darah. Hal ini berkat adanya<br />

pengertian yang baik antara kedua belah pihak, yaitu pihak Husin<br />

Al Mujahid dan pihak Teuku Nyak Arif. Sekiranya bukan pengertian<br />

yang baik yang mengendalikan pertimbangan kedua belah pihak pada<br />

waktu itu dapat dipastikan bahwa suatu pertarungan sengit yang akan<br />

menumpahkan ba<strong>nyak</strong> darah dan merusak-binasakan ba<strong>nyak</strong> harta<br />

benda akan terjadi antara sesama saudara sebangsa, yang masingmasing<br />

pada waktu im sedang bersiap-siap untuk berjuang mempertahankan<br />

kemerdekaan Republik Indonesia.<br />

Kebijaksanaan Teuku Nyak Arif yang patut dipuji<br />

Saya tidak bermaksud meramalkan siapa gerangan yang keluar<br />

sebagai pemenang, sekiranya pertempuran antara kedua belah pihak<br />

pada hari im terjadi. Akan tetapi, saya hanya ingin menunjukkan datadata,<br />

dari mana pembaca dapat menilai kebijaksanaan yang diambil<br />

Teuku Nyak Arif dalam menghadapi Husin Al Mujahid dan TPR-nya.<br />

Pasukan Al Mujahid yang memasuki Kutaraja terdiri dari hampir<br />

50 truk ba<strong>nyak</strong>nya. Mereka ini adalah sekumpulan rakyat yang<br />

campur aduk dari berbagai golongan masyarakat, yang menurut<br />

istilah Insider, pengarang buku Aceh Sepintas Lalu, merupakan suatu<br />

kekuasaan yang tidak mudah dapat ditaklukkan (garis bawah dari<br />

penulis). Mereka mendapat dukungan rakyat Seulimeum yang berada<br />

di bawah pimpinan Keuchik Ali, pemuda-pemuda Montasiek yang<br />

berada di bawah pimpinan Djalil Amin, Pesindo Kotaraja dengan<br />

tokoh-tokohnya Muhammad Z.Z, Umar Husni dan Saleh Rahmany,<br />

Pesindo Lhok Nga yang dipimpin oleh Nyak Neh, rakyat Leupung<br />

yang berada di bawah pimpinan Pawang Leman, dan last but not<br />

least, rakyat daerah Teuku Nyak Arif sendiri, XXVI Mukim yang<br />

berada di bawah pimpinan Tgk. Syech Marhaban. Hal ini, kalau saya<br />

tidak salah mengambil kesimpulan, menunjukkan bahwa rakyat Aceh<br />

Besar juga berdiri di belakang Husin Al Mujahid. Memang secara<br />

psikologis, suasana yang sedang bergolak pada waktu im yang diwarnai<br />

revolusi sosial menguntungkan Al Mujahid, yang sepanjang perjalanannya<br />

mencanangkan bahwa gerakannya im adalah untuk mengikis<br />

habis anasir-anasir feodal dari dalam pemerintahan daerah<br />

Aceh, baik sipil maupun militer.<br />

218


Adapun kekuatan yang berada di bawah pimpinan Teuku Nyak<br />

Arif dan Gaharu, yang nyatanya kalau saya tidak salah, adalah TRI<br />

Resimen I yang berada di dalam garnisun Kutaraja, yang berkekuatan<br />

di atas kertas seba<strong>nyak</strong> 2 batalyon (ukuran kecil). Selain im terdapat<br />

pula sam pasukan Polisi Istimewa yang berkekuatan lebih<br />

kurang satu kompi langsung di bawah pimpinan Teuku Nyak Arif.<br />

Mereka ini umumnya bekas serdadu Belanda (KNIL). Bekas serdadu<br />

Belanda yang mendapat tempat dalam angkatan bersenjata RI<br />

di daerah Aceh ini, bagi Husin Al Mujahid dan pemimpin-pemimpin<br />

rakyat lainnya merupakan titik rawan dalam lini pertahanan Republik<br />

Indonesia. Makanya, hal ini bagi mereka menjadi masalah yang<br />

sangat mengkhawatirkan. Saya kira, pimpinan pemerintah daerah<br />

Aceh dan Komando Divisi V, dalam kebijaksanaannya memanfaatkan<br />

tenaga bekas serdadu Belanda ini mempunyai cukup alasan,<br />

antara lain, agar mereka jangan sampai dipergunakan kembali oleh<br />

Belanda. Akan tetapi dalam pandangan pemimpin-pemimpin rakyat,<br />

penempatan mereka dalam angkatan bersenjata Republik Indonesia<br />

yang sedang berjuang mempertahankan republik dari agresi Belanda<br />

mengandung bahaya. Hal ini merupakan salah sam alasan mengapa<br />

Al Mujahid tidak menyenangi pimpinan pemerintahan daerah Aceh<br />

dan komando Divisi V/TRI yang kedua-duanya hendak digulingkan<br />

olehnya.<br />

Seandainya pertempuran antara Tentara Perjuangan Rakyat dan<br />

Tentara Republik Indonesia Divisi V pada hari im terjadi, dan TPR<br />

yang ditakdirkan sebagai pemenang, maka di samping tidak sedikit<br />

belia-belia bangsa, pejuang-pejuang kemerdekaan yang jatuh berguguran,<br />

serta tidak terbilang benda-benda yang ditimpa kemusnahan,<br />

adalah merupakan sesuatu yang berbahaya bahwa seluruh senjata<br />

yang berada di dalam gudang Divisi V akan jatuh ke dalam tangan<br />

TPR. Kalau sebelum memasuki Kutaraja TPR telah merupakan suatu<br />

kekuatan yang mengerikan menurut istilah Insider, pengarang buku<br />

Aceh Sepintas Lalu, maka tak dapat dibayangkan apa iadinya TPR seandainya<br />

ia dapat mengalahkan tentara pemerintah dan seandainya<br />

senjata yang berjumlah besar jatuh ke dalam tangannya, terutama<br />

manakala diingat bahwa anggota-anggota TPR direkrut dari berbagai<br />

lapisan masyarakat, yang keba<strong>nyak</strong>annya tidak mengetahui apa arti<br />

219


disiplin, yang bagi sesuatu pasukan bersenjata merupakan syarat<br />

muüak yang utama. Oleh karena im, sikap yang diambil Teuku Nyak<br />

Arif untuk tidak melawan TPR yang datang untuk menggulingkannya<br />

merupakan suatu kebijaksanaan yang terpuji dan harus dihargai setinggi-tingginya.<br />

Dengan kebijaksanaannya ini, pertumpahan darah<br />

antara saudara sebangsa dapat dicegah, jiwa manusia, terutama yang<br />

tidak bersalah, serta harta benda dapat diselamatkan, dan yang paling<br />

penting, TPR terbebas dari rangsangan untuk menjadi kekuatan yang<br />

lebih galak dan lebih mengerikan.<br />

Sjamaun Gaharu, dalam Harian Waspada, Medan, 12 Juni 1984<br />

dan 13 Juni 1984<br />

Dalam harian Waspada tanggal 23, 24 dan 26 Maret 1984,<br />

M. Nur El Ibrahimy telah menulis Kisah perebutan kekuasaan Sejarah<br />

Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Aceh, diawali dengan menonjolkan<br />

tanggal 1 Maret 1946 sebagai hari yang bersejarah dan diakhiri<br />

dengan mengatakan: Kisah ini saya tulis untuk menjadi pengetahuan<br />

bagi generasi penerus, kiranya dapat dijadikan iktibar.<br />

Karena kisah im ditujukan untuk pengetahuan dan iktibar bagi<br />

generasi penerus, maka saya yang disebut-sebut dan yang turut memegang<br />

peranan di dalamnya, merasa berkewajiban memaparkan apa<br />

yang sesungguhnya terjadi sehingga generasi penerus tidak terpengaruh<br />

atau terperosok oleh pandangan dari sam versi (segi) saja.<br />

Mengingat sejarah perjuangan yang dibeberkan im belum baku,<br />

maka makin ba<strong>nyak</strong> versi yang muncul tentu semakin lebih baik sehingga<br />

para peminat sejarah terutama generasi yang akan datang akan<br />

dapat membedakan mana tulisan sejarah yang mengandung ilusi<br />

(tentunya penulis yang bervested interest), dan mana pula tulisantulisan<br />

sejarah yang objektif dan dapat dinilai sebagai sejarah yang<br />

murni.<br />

Tanggal 1 Maret 1946<br />

Ada beberapa hal yang saya garis bawahi dari kisah M. Nur El<br />

Ibrahimy, antara lain mengenai tanggal 1 Maret 1946 sebagai hari<br />

yang bersejarah dalam sejarah perjuangan kemerdekaan di Aceh.<br />

M. Nur El Ibrahimy hendak meyakinkan para pembaca bahwa<br />

tanggal 1 Maret 1946 adalah hari terjadinya perebutan kekuasaan dari<br />

220


tangan Teuku Nyak Arif sebagai Koordinator Organisator TRI (Tentara<br />

Republik Indonesia) Divisi V, Anggota Staf Umum Komandemen<br />

Sumatera, sekaligus sebagai Residen Aceh, dan dari tangan<br />

Sjamaun Gaharu sebagai Komandan Divisi V/TRI.<br />

Khusus mengenai tanggal 1 Maret 1946, saya sependapat dengan<br />

Ibrahimy terutama setelah memperhatikan telegram dari Wakil<br />

Residen Aceh tanggal 28 Februari 1946 kepada Gubernur Sumatera<br />

di Medan, memberitahukan tentang kedatangan utusan TPR (Tentara<br />

Perjuangan Rakyat) ke Kutaraja.<br />

Ibrahimy mempopulerkan kisah yang ditulisnya im, sebagai kisah<br />

perebutan kekuasaan. Hal ini dapat menimbulkan kesan seolah-olah<br />

memang terjadi adegan rebut-merebut kursi antara Tengku Amir<br />

Husin Al Mujahid cs, sebagai pihak yang ingin merebut, dengan<br />

pihak Teuku Nyak Arif cs sebagai pihak yang akan mempertahankan<br />

pangkat dan kedudukan.<br />

Kalau yang seperti ini terjadi, saya yakin pertarungan antara TRI<br />

dan TPR tak dapat dielakkan. TRI pasti bertindak tegas apalagi terhadap<br />

gerombolan manusia yang ingin merebut pucuk pimpinan TRI<br />

dengan kekerasan.<br />

Andaikata sampai terjadi pertempuran, maka saya selaku seorang<br />

militer, dapat memastikan tidak mungkin dapat dimenangkan oleh<br />

gerombolan TPR karena mereka hanya rakyat biasa yang belum<br />

mahir mempergunakan senjata sedangkan yang dihadapinya Tentara<br />

Pemerintah (TRI) dan Polisi Istimewa yang berdisiplin dan bersenjata<br />

lengkap.<br />

Pada waktu im tidak ada terjadi rebut-merebut kekuasaan, karena<br />

demi kepentingan perjuangan dan keselamatan Bangsa dan Negara,<br />

Teuku Nyak Arif memberi petunjuk dan perintah: Kalau pangkat dan<br />

kedudukan yang mereka inginkan serahkanlah. ...<br />

Dengan demikian tidak ada sebenarnya terjadi perebutan kekuasaan.<br />

Yang terjadi pada tanggal 1 Maret 1946 hanya penyerahan<br />

dan penerimaan tanda pangkat serta kedudukan saya dan Teuku<br />

Hamid Azwar (selaku Komandan Divisi dan Kepala Staf), kepada Al<br />

Mujahid selaku pimpinan TPR.<br />

Dan ini dilakukan bukan di Markas Divisi V tetapi di lapangan<br />

asrama Kota Alam.<br />

221


TPR (Tentara Perjuangan Rakyat)<br />

M. Nur El Ibrahimy menggambarkan kepada pembaca bahwa<br />

pasukan Al Mujahid yang masuk ke Kutaraja terdiri dari hampir 50<br />

truk ba<strong>nyak</strong>nya. Mereka ini adalah sekumpulan rakyat yang campur<br />

aduk dari berbagai golongan masyarakat. Anggota-anggota TPR direkrut<br />

dari berbagai lapisan masyarakat yang keba<strong>nyak</strong>an tidak<br />

mengetahui apa arti disiplin yang bagi sesuatu pasukan bersenjata<br />

merupakan syarat mutlak yang utama.<br />

Untuk lebih meyakinkan pembaca, Ibrahimy mengutip pula<br />

tulisan Insider pengarang buku Aceh Sepintas Lalu yang menyatakan:<br />

TPR merupakan suatu kekuatan yang tidak mudah dapat ditaklukkan.<br />

Ia merupakan suatu kesatuan yang teratur dengan persenjataan yang<br />

kuat suatu gerombolan yang menyerupai suatu kekuatan yang<br />

mengerikan.<br />

Kalau ada yang mengagumi dan mengandalkan kekuatan TPR<br />

walaupun mengetahui gerombolan manusia itu tidak mempunyai<br />

disiplin, maka jelas yang bersangkutan tidak memahami sesuatu<br />

apapun tentang seluk-beluk ilmu kemiliteran.<br />

Seorang tentara wal au berpangkat prajurit sekali pun dapat segera<br />

mengukur kekuatan gerombolan manusia yang campur baur dari berbagai<br />

lapisan masyarakat, tanpa latihan dan tidak tersusun dalam<br />

kesatuan-kesatuan tertentu dari siapa mereka menerima perintah.<br />

Menghadapi gerombolan manusia yang seperti ini, jangankan 50<br />

truk, 100 truk pun mereka akan mati konyol kalau berhadapan dengan<br />

pasukan tentara yang bersenjata lengkap, punya disiplin dan mengetahui<br />

tugas serta tanggung jawabnya.<br />

Mereka pasti akan berlarian tunggang-langgang dan ini sudah<br />

terbukti ketika terjadi pemberontakan DI/TII yang didalangi Tengku<br />

M. Daud Beureueh pada waktu mengerahkan massa rakyat mengepung<br />

pos-pos dan asrama^asrama alat negara Republik Indonesia.<br />

Sebagai ilustrasi dapat diungkapkan di sini ketika DI/TII mengerahkan<br />

massa rakyat mengepung asrama TNI di Bireuen. Beribu-ribu<br />

rakyat dikerahkan, tidak saja manusia bahkan hewan-hewan piaraan<br />

seperti lembu dan kerbau diikutsertakan untuk berjihad. Tetapi apa<br />

yang terjadi ...?<br />

222


Setelah berjam-jam mengepung asrama menunggu perintah menyerbu,<br />

ternyata yang akan memberi perintah tidak kunjung muncul,<br />

akhirnya gerakan im diketahui oleh para pengawal.<br />

Dilepaskan tembakan senapan mesin ukuran 12,7 yang suaranya<br />

berdentuman memecah kesunyian malam. Mendengar dentuman<br />

suara senapan mesin yang begitu dahsyat, para pengepung im berlarian<br />

sipat kuping. Untunglah tembakan yang dilepaskan im baru tembakan<br />

peringatan tetapi coba kalau diarahkan langsung, dapat dibayangkan<br />

apa yang akan terjadi, ribuan manusia akan mati berkuah<br />

darah.<br />

Menghindari pembunuhan terhadap bangsa sendiri terutama terhadap<br />

mereka yang hanya ikut-ikutan, tentulah agar tidak terjadi<br />

korban yang sia-sia yang ke semuanya itu hanya akan melemahkan<br />

pula posisi Aceh dalam perjuangan memepertahankan kemerdekaan.<br />

Secara agak sinis Nur El Ibrahimy menilai kekuatan yang berada<br />

di bawah pimpinan Teuku Nyak Arif dan Gaharu, yang kalau ia tidak<br />

salah adalah TRI Resimen I yang berkekuatan di atas kertas seba<strong>nyak</strong><br />

2 batalyon (ukuran kecil). Selain itu terdapat pula satu<br />

pasukan Polisi Istimewa yang berkekuatan lebih kurang satu kompi<br />

langsung di bawah pimpinan Teuku Nyak Arif.<br />

Penilaian Ibrahimy im jelas salah, dan saya tidak tahu dari mana<br />

ia memperoleh informasi yang salah itu, apalagi sampai mempergunakan<br />

istilah berkekuatan di atas kertas.<br />

Katakanlah pendapat Ibrahimy yang salah itu, benar.<br />

Sam batalyon (ukuran kecil) im berapa orang? Tiga ratus, empat<br />

ratus atau lima ratus orang? Sebut saja angka yang paling kecil: 300<br />

orang.<br />

Coba sekarang dihitung. Dua batalyon = 2 x 300 orang = 600<br />

orang ditambah Polisi Istimewa 150 orang, perwira-perwira Staf<br />

Divisi dan Staf Resimen yang semuanya bersenjata 200 orang. Jumlah<br />

ini saja sudah melebihi jumlah TPR yang masuk ke Kutaraja yang<br />

menurut Ibrahimy lebih kurang 1000 orang.<br />

Dan jangan dilupakan bahwa seba<strong>nyak</strong> 1100 orang anggota TRI<br />

adalah prajurit, bintara, perwira yang berdisiplin, sudah terlatih dan<br />

mahir mempergunakan senjata.<br />

223


Jumlah ini bukan jumlah di atas kertas, sudah ditampilkan secara<br />

fisik dalam parade militer tanggal 17 Februari 1946 di lapangan<br />

Blang Padang Kutaraja pada waktu memperingati setengah tahun<br />

kemerdekaan RI. Dalam upacara itu bertindak Mayor Jenderal Teuku<br />

Nyak Arif sebagai Inspektur Upacara.<br />

Pada hari itu juga sebagian dikerahkan mengadakan latihan<br />

perang-perangan untuk merebut serta mempertahankan Ibukota<br />

Karesidenan Aceh, Kutaraja.<br />

Kalau kekuatan TRI yang tangguh im dihadapkan dengan gerombolan<br />

TPR yang terdiri dari sekumpulan rakyat yang campur aduk<br />

dari berbagai golongan masyarakat, sekali lagi saya tegaskan; jangankan<br />

50 truk, 100 truk pun akan dapat dihancurkan asal saja Teuku<br />

Nyak Arif mau memberi perintah untuk melumpuhkan gerombolan<br />

TPR im.<br />

Saya sudah memberi contoh pemberontak DI/TII yang mengerahkan<br />

ribuan rakyat mengepung asrama TNI di Bireuen, berlarian lintang<br />

pukang hanya dengan mendengar dentuman senapan mesin<br />

ukuran 12,7 dari hanya 2 peleton TNI yang berada dalam asrama.<br />

Mungkin penilaian saya ini masih diragukan atau dianggap terlalu<br />

berlebih-lebihan, tetapi Husin Yusuf sendiri yang pada saat itu<br />

sudah menyebelah Al Mujahid dan mengetahui dengan tepat kekuatan<br />

TPR, selagi hayatnya pernah diwawancarai, dengan tegas dan tanpa<br />

ragu-ragu mengatakan bahwa kalau waktu itu Teuku Nyak Arif mau<br />

memberi perintah kepada TRI, maka dalam tempo 15 menit (katakata<br />

15 menit ini diulangnya beberapa kali), TPR dapat dihancurkan.<br />

H.M. Goesmia, dalam surat pernyataan, Medan 20 Juli 1985<br />

Dengan nama Allah yang pengasih lagi penyayang.<br />

Sehubungan dengan adanya oknum tertentu yang menyiarkan sebuah<br />

message (yang katanya berdasarkan laporan Sekutu yang bermarkas<br />

di Medan kepada SACSEA di Kolombo antara lain OPS4 ,The Daily<br />

Sitrep, 12 November 1945, W.O.303/2511), yang ditandatangani oleh<br />

Teuku Nyak Arif, Coh. Moh. Wan, Habib Muhammad Al Habsyi,<br />

Kepala Masyarakat Arab di Kutaraja dan Goesmia, Kepala Masyarakat<br />

India di Kutaraja, yang antara lain isinya sebagai berikut:<br />

224


One. The presence of your representative in Aceh is at this moment,<br />

indispensable to the maintenance of law and order. (Kehadiran<br />

wakil tuan di Aceh pada waktu itu, menurut pendapat kami,<br />

sangat dibutuhkan untuk menegakkan hukum dan memelihara<br />

ketertiban);<br />

Two. That in our opinion the presence of Mayor Knottenbelt in<br />

Aceh has a very considerable influence on the maintenance of<br />

law and order during the last few months.<br />

(Menurut pendapat kami kehadiran Mayor Knottenbelt di Aceh<br />

mempunyai dampak yang sangat besar dalam menegakkan<br />

hukum dan menjaga ketertiban dalam beberapa bulan terakhir);<br />

maka saya yang bertanda tangan di bawah ini:<br />

Nama : H.M. Goesmia<br />

Umur : 70 tahun<br />

Pekerjaan : Wiraswasta<br />

Bertempai tinggal : Jalan Sisingamangaraja No. 19 Medan,<br />

(yang disebut dalam message tersebut di atas sebagai salah seorang<br />

yang ikut menandatanganinya),<br />

dengan ini saya selaku umat Islam bersumpah DEMI ALLAH, bahwa<br />

saya tidak pernah mengetahui, mendengar atau melihat adanya message<br />

kepada Sekutu itu, apalagi turut menandatanganinya sebagai<br />

mewakili masyarakat India di Kutaraja.<br />

Apabila benar ada message tersebut, maka jelas message itu adalah<br />

message palsu yang dibuat oleh oknum-oknum yang anti kepada<br />

Teuku Nyak Arif, guna merusak nama baik beliau selaku Residen<br />

NRI Daerah Aceh, yang justru sedang berusaha keras saat itu menghalangi<br />

tentara Sekutu masuk ke daerah Aceh.<br />

Selain im juga tentu dimaksudkan untuk mengadakan psy war<br />

guna melemahkan semangat rakyat Indonesia yang sedang berjuang<br />

dengan gigih menegakkan serta mempertahankan kemerdekaan Negara<br />

RI yang baru diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.<br />

Salah satu hal yang sangat mencolok yang membuktikan bahwa<br />

message tersebut adalah message palsu ialah kalimat yang tertera di<br />

dalamnya yang berbunyi sebagai berikut:<br />

225


Menurut pendapat kami kehadiran Mayor Knottenbelt di Aceh<br />

mempunyai dampak yang sangat besar dalam menegakkan hukum<br />

dan menjaga ketertiban dalam beberapa bulan terakhir.<br />

Kalimat tersebut jelas sangat bertentangan dengan kenyataan<br />

yang sebenarnya, karena laporan Sekutu kepada SACSEA di<br />

Kolombo im bertanggal 12 November 1945, sedangkan Knottenbelt<br />

telah dipaksa angkat kaki dari Aceh sejak tanggal 10 November 1945.<br />

Bagaimana mungkin dinyatakan dalam message: The presence of<br />

your representative in Aceh is at this moment, in our opinion indispensable<br />

to the maintenance of law and order.<br />

(Kehadiran wakil tuan di Aceh pada waktu ini, menurut pendapat<br />

kami, sangat dibutuhkan untuk menegakkan hukum dan memelihara<br />

ketertiban), ... padahal waktu itu (12 November 1945), Mayor Knottenbelt<br />

(perwira Belanda yang menyaru sebagai wakil Sekutu), sudah<br />

tidak berada lagi di daerah Aceh karena sejak tanggal 10 November<br />

1945 sudah sipat kuping kembali ke induk pasukannya di Medan.<br />

Surat pernyataan ini saya perbuat adalah untuk membantah fltnah<br />

keji yang dikarang-karang im, baik yang ditujukan kepada diri Teuku<br />

Nyak Arif, Goh. Moh. Wan dan Habib Muhammad Al Habsyi (yang<br />

ke semuanya sudah berpulang ke rahmatullah), maupun terhadap diri<br />

saya sebagai salah seorang saksi yang masih hidup sampai saat ini.<br />

Jenderal DR. A.H. Nasution, dari buku TNI I Seruling Masa<br />

Jakarta 1968 dan Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia I dan<br />

II, Angkasa Bandung 1976<br />

Teuku Nyak Arif telah menuntut penyerahan kedaulatan dari<br />

Pemerintah Hindia Belanda kepada rakyat Indonesia, sebelum tentara<br />

Jepang sampai di Indonesia. Hanya di Aceh terdapat gerakan demikian<br />

yang dipelopori oleh Teuku Nyak Arif. Sebelum Jepang menduduki<br />

Aceh, sebenarnya Pemerintah Belanda tidak berkuasa lagi dan<br />

dioper oleh rakyat kita di sana.<br />

Kebiasaan cara melucuti senjata Jepang im dilakukan yaitu setelah<br />

diperhebat provokasi dan intimidasi. Kemudian dikerahkan<br />

rakyat


mengetahui dengan pasti. Kebiasaannya selama dua tiga hari terjadi<br />

demikian. Oleh karena sangat ketakutan maka Jepang pasti meminta<br />

bantuan kepada pemerintah, dalam hal ini API. Kemudian datanglah<br />

pemimpin API untuk berunding. Pokok perundingan berputar di<br />

sekitar rakyat meminta senjata, yang bila tidak dipenuhi mereka akan<br />

menyerbu. Bila dapat senjata rakyat akan menjamin keselamatan<br />

orang-orang Jepang dan makanan akan diberi.<br />

Dengan cara demikian telah diperoleh senjata dari Gunseibu atau<br />

pemerintah karesidenan dan polisi Sigli seba<strong>nyak</strong> 200 pucuk, dari<br />

cutai atau kompi Seulimeum seba<strong>nyak</strong> 180 pucuk, sejumlah besar<br />

granat tangan, beberapa meriam parit dan 3 gudang amunisi, dan dari<br />

senjata Gunseibu dan Polisi Kutaraja seba<strong>nyak</strong> 600 pucuk. Senjata ini<br />

diserahkan oleh Cokang kepada Residen Aceh Teuku Nyak Arif. Sebagian<br />

dari senjata ini diserahkan kepada Polisi Istimewa dan selebihnya<br />

diambil oleh API. Oleh Tengku M. Daud Beureueh dan T. Amin<br />

pernah diminta sebagian dari senjata ini untuk mempersenjatai Mujahidin<br />

(Barisan PUSA) akan tetapi permintaan im ditolak oleh Residen<br />

karena Mujahidin bukanlah suatu alat pemerintah yang resmi, jadi<br />

tidak berhak memakai senjata api. Selain dari lain-lain sebab, ini juga<br />

salah satu sebab yang menimbulkan pertentangan antara Teuku Nyak<br />

Arif dengan PUSA.<br />

Dari daitai atau batalyon Lhok Seumawe diterima 600 pucuk<br />

senjata. Selain dari pengambilan senjata tersebut di atas, juga dilakukan<br />

dengan cara memblokir tentara Jepang yang dalam perjalanan<br />

dengan memakai kereta api. Tiap-tiap gerakan tentara Jepang pasti disinyalir<br />

ke Markas API. Selanjutnya Markas API mengeluarkan perintah<br />

dan instruksi apa yang harus dilakukan untuk merampas<br />

senjata-senjata Jepang itu. Dengan cara ini telah diperoleh di Peukan<br />

Cunda dekat Lhok Seumawe 60 pucuk, disebabkan pada waktu im<br />

terjadi pertempuran dengan Jepang yang mendapat bantuan dari daitai<br />

Lhok Seumawe. Mereka berhasil mengundurkan diri antara Peukan<br />

Cunda dengan Lhok Seumawe sejauh 3 km. Jika sekiranya bantuan<br />

dari daitai Lhok Seumawe itu tak datang pada waktunya, pastilah<br />

seluruh senjata Jepang seba<strong>nyak</strong> 2 cutai dapat diperoleh.<br />

Di antara Matang Glumpang Dua dengan Geureugok dekat<br />

Krueng Panjo dua cutai tentara Jepang dalam perjalanannya dari Lhok<br />

TEUKU NYAK ARIF - 16 227


Seumawe ke Bireuen dikepung oleh TKR. Setelah dua hari bertempur<br />

seluruh Jepang itu menyerah dan dilucuti senjatanya. Selain dari<br />

senjata yang dilucuti, di tempat pertempuran itu dengan resmi dilakukan<br />

timbang terima asrama Bireuen dengan isi-isinya kepada TKR.<br />

Di antara perlucutan senjata Jepang secara besar-besaran itu<br />

ba<strong>nyak</strong> juga terjadi kegagalan disebabkan karena kurang bijaksana,<br />

kelim atau tergesa-gesa dalam melaksanakannya.<br />

Sam kegagalan usaha melucuti Jepang yang ba<strong>nyak</strong> mempengaruhi<br />

keadaan di Aceh yaitu perlucutan senjata bo eitai di Sigli. Kegagalan<br />

ini disebabkan timbulnya perang Cumbok di Aceh dan yang<br />

seterusnya dengan apa yang dinamakan revolusi sosial.<br />

Salah satu dari rencana yang terakhir dalam usaha-usaha perlucutan<br />

senjata Jepang im ialah melucuti arsenal Jepang di lapangan<br />

terbang Blang Bintang, lapangan terbang Lhok Nga dan bo eitai di<br />

Kutaraja. Akan tetapi rencana ini belum sempat dijalankan keburu<br />

Jepang seluruhnya meninggalkan Aceh pada tanggal 10 Desember<br />

1945. Semua Jepang yang ada di Blang Bintang, Lhok Nga dan<br />

Kutaraja pada tanggal 18 Desember 1945 harus berkumpul di Ulee<br />

Lheue. Sebelum mereka meninggalkan Ulee Lheue, sempat juga<br />

mereka mengadakan serangan ke Kutaraja dengan maksud hendak<br />

merebut senjata TKR kembali dan menangkap beberapa orang perwira<br />

yang bersangkutan. Senjata tak ada yang mereka dapati kembali,<br />

kecuali beberapa karaben yang telah rusak. Akan tetapi 16 orang<br />

perwira menengah yang penting-penting yang kebetulan sedang<br />

mengadakan rapat, dapat mereka tangkap. Setelah oleh Teuku Nyak<br />

Arif dikeluarkan ultimatum untuk meiepaskan kembali semua perwira<br />

im, 14 orang di antara mereka dikembalikan dan yang masih ditahan,<br />

ialah Syamaun Gaharu, Komandan Divisi dan T.M. Syah, Komandan<br />

Resimen I. Akan tetapi setelah ultimatum yang terakhir disampaikan,<br />

kedua perwira yang ditahan di pelabuhan Ulee Lheue im pun dibebaskan.<br />

Demikialah pada tanggal 10 Oktober 1945 tentara Inggris pun<br />

memasuki kota Medan dengan aman dan tenteram di bawah pimpinan<br />

Brigadir Jenderal Ted Kelly. Di belakangnya diselundupkan pula<br />

militer-militer NICA sebagaimana juga terjadi di Pulau Jawa. Juga di<br />

kota Medan Inggris-Belanda lalu mulai mengatur langkah-langkah<br />

228


kolonialnya terhadap bangsa Indonesia. Mereka lalu memancingmancing<br />

pertempuran, melakukann provokasi-provokasi, yang sudah<br />

tentu disambut oleh rakyat dengan perlawanan spontan. Maka Banstraat<br />

Affair terjadilah pada tanggal 14 Oktober 1945 dengan maksud<br />

akan mengacaukan keamanan dan ketertiban umum, sebagai alasan<br />

untuk melucuti pemuda Indonesia.<br />

Kunjungan Residen Teuku Nyak Arif kepada Jenderal Kelly di<br />

Medan untuk memperingatkan supaya jangan sampai tentara Inggris<br />

memasuki daerah Aceh menjadi bahan provokasi yang luas pula. Pergolakan<br />

di Sumatera Timur berhubungan pula dengan di Aceh. Seorang<br />

pemuka dari gerakan revolusi sosial Sumatra Timur datang ke<br />

Aceh (Idi).<br />

Teuku Nyak Arif sebagai Residen memberikan surat kuasa<br />

kepada Goh. Moh. Wan selaku juru bahasa dan penghubung dengan<br />

pihak Inggris yang dewasa im diwakili oleh Mayor Knottenbelt, dan<br />

datang pada awal Oktober 1945 ke Kutaraja. Hal ini diketahui oleh<br />

Ketua KNI, yang antara lain memerintahkan Kolonel Syamaun<br />

Gaharu dan Saleh Rahmany dari PRI untuk mengantarkan tamu im<br />

kembali ke Medan.<br />

Atas desakan beberapa orang terkemuka Residen turut ke Medan<br />

untuk bertemu dengan Brigadir Jenderal Kelly, seperti yang diusahakan<br />

Mayor Knottenbelt. Inggris hendak mengirim tentaranya ke Aceh<br />

untuk melucuti Jepang. Residen mertolaknya dan pulang tergesa-gesa,<br />

mengurungkan niatnya untuk berobat, pada dokter Saudin di Medan,<br />

ia sedang dalam keadaan sakit, Goh. Moh. Wan tinggal di Medan<br />

untuk menyusul kemudian. Kolonel Syamaun Gaharu diperintahkan<br />

memperkuat pertahanan ke jurusan Sumatera Timur, berhubung<br />

kemungkinan Inggris melaksanakan maksud yang telah dinyatakan im<br />

oleh Brigadir Jenderal Ted Kelly.<br />

Waktu Goh. Moh. Wan kembali, ia diperiksa di tengah jalan oleh<br />

pemuda-pemuda, yang menemukan surat kuasa tersebut. Mobilnya<br />

dirampas dan ia dibunuh. Maka mulailah tuduhan-tuduhan bahwa<br />

Residen adalah agen NICA, suatu perkataan yang dewasa itu mudah<br />

memata gelapkan siapa "pun juga.<br />

Pergolakan yang lama antara kaum ulama dengan bangsawan,<br />

yang diwariskan oleh masa penjajahan, kini menjadi hangat. Di Sigli<br />

229


telah diadakan rapat kaum bangsawan untuk membulatkan tekad<br />

membela diri, yang dihadiri antara lain oleh Teuku Cut Hasan.<br />

Untuk mengingatkan kembali puncak pertikaian, baik diulangi<br />

uraian pertentangan dan saling mencurigai dari sejak Proklamasi.<br />

Waktu sudah menerima kawat A.K. Gani tentang Proklamasi telah<br />

terjadi pertentangan antara Teuku Nyak Arif dan kawan-kawan<br />

dengan golongan Tuanku Mahmud dan Tengku Moh. Daud Beureueh<br />

dan kawan-kawan.<br />

Memang telah sampai menjadi persoalan antara anggota-ahggota<br />

KNI, tentang kabar-kabar adanya ontvangstcomitee terhadap Sekutu<br />

oleh Tuanku Mahmud dan kawan-kawan. Tetapi para pemimpin dapat<br />

memelihara persatuan dan perimbangan tercapai dengan adanya<br />

Residen Teuku Nyak Arif di samping Ketua KNI Tuanku Mahmud.<br />

Dalam membentuk ketentaraan terjadi pula persaingan. Residen<br />

membentuk API dan pihak kedua membentuk PESINDO yang juga<br />

besar <strong>org</strong>anisasinya.<br />

Maka Markas Umum Daerah Aceh -mengeluarkan ultimatum<br />

pada tanggal 8 Januari 1946 kepada golongan-golongan yang memegang<br />

senjata dan mengadakan perlawanan terhadap rakyat umum,<br />

seperti di Lam Meulo dan lain-lain tempat, untuk menyerah. Ultimatum<br />

ditandatangani oleh Syamaun Gaharu atas nama Markas Umum<br />

dan oleh TPPM Ali sebagai Wakil Residen Aceh.<br />

Kaum Uleebalang tidak memenuhi, sehingga dilakukan aksi<br />

polisional. TKR digerakkan bersama rakyat. Tanggal 13 Januari 1946<br />

Lam Meulo direbut dan tiga hari kemudian biang keladinya Teuku<br />

Daud Cumbok dapat ditangkap di pegunungan Seulawah. Pertempuran<br />

ini ba<strong>nyak</strong> memakan korban jiwa dan harta. Perampasan terjadi<br />

pula di hari-hari itu, dan barang-barang yang disita ba<strong>nyak</strong> yang<br />

hilang. Badan Penimbang yang dibentuk oleh Residen untuk metnbereskannya<br />

tidak berhasil.<br />

Pertempuran Cumbok ini disebut sebagai revolusi sosial atau<br />

pembunuhan secara besar-besaran terhadap kaum bangsawan. Dalam<br />

hubungan sejarah dan ekses-ekses revolusi dapatlah dimengerti<br />

duduknya persoalan yang sebenarnya, seperti pula lain-lain peristiwa<br />

revolusi sosial setempat di lain-lain daerah.<br />

230


Maka mulailah revolusi sosial yang dipelopori dan dituntutn oleh<br />

TPR ini menggelombang dari Aceh Timur ke Aceh Utara, Aceh<br />

Besar, Aceh Barat dan Selatan. Agitasi sepanjang jalan kepada rakyat<br />

supaya membersihkan kaki tangan NICA. Dituntut pemberhentian<br />

Residen Teuku Nyak Arif, Mayor Jenderal Tituler, Panglima<br />

Syamaun Gaharu dan Kepala Staf Teuku A. Hamid.<br />

Husin Al Mujahid mengangkat dirinya atas nama rakyat menjadi<br />

Mayor Jenderal, Mayor Husin Yusuf menjadi Kolonel sebagai Panglima<br />

Divisi, Kapten Noordin^Sufi dari Resimen Langsa menjadi<br />

Letnan Kolonel sebagai Wakil Panglima dan Mayor Bakhüar menjadi<br />

Kepala Staf.<br />

Kemudian oleh pihak yang berkuasa ditangkaplah Residen Teuku<br />

Nyak Arif, Kolonel Syamaun Gaharu dan lain-lainnya. Teuku Nyak<br />

Arif meninggal. dalam tawanan di Takengon, yang lain-lain ada yang<br />

terus meringkuk sampai penyerahan kedaulatan. Kolonel Syamaun<br />

Gaharu kemudian dapat meiepaskan diri, dan direhabilitir oleh Panglima<br />

Sumatera, dan diserahi Komando TNI di Lampung.<br />

231


VI. BEBERAPA DOKUMEN<br />

PARA MENTERI DAN GUBERNUR<br />

NEGARA REPUBLIK INDONESIA<br />

Menteri Dalam Negeri : R.A. Wiranata Koesoema<br />

Menteri Luar Negeri : Mr. Ahmad Subardjo<br />

Menteri Kehakiman : Prof. Mr. Dr. R. Soepomo<br />

Menteri Kemakmuran Ir. R.M.P. Soerahman Tjokro<br />

Adisoerio<br />

Menteri Keuangan : Mr. Maramis<br />

Menteri Kesehatan : Dr. R. Boentaran Martoatmodjo<br />

Menteri Pengajaran : Ki Hadjar Dewantara<br />

Menteri Sosial : Mr. Iwa Koesoema Soemantri<br />

Menteri Pertahanan :<br />

Menteri Urusan Umum<br />

dan Perhubungan : R. Abikoesno Tjokrosoejoso<br />

Menteri Penerangan : Mr. Amir Sj<strong>arif</strong>uddin<br />

Menteri-Menteri Negara<br />

yang tiada berjabatan tetap : 1. Dr. M. Amir<br />

2. Wahid Hasyim<br />

3. Mr. R.M. Sartono<br />

4. R. Otto Iskandar Dinata<br />

Ketua Mahkamah Tinggi : Mr. Dr. Koesoema Atmadja<br />

232


Jaksa Agung : Mr. Gatot<br />

Setia Usaha Negara : Mr. A.G. Pringgodigdo<br />

Jurubicara : R. Sukardjo Wirjopranoto<br />

Penasehat Agama Islam : Sjech, Djamil Djambek<br />

GUBERNUR<br />

Jawa Barat : M. Soetardjo Kartohadikoesoemo<br />

Jawa Tengah : R.p. Soeroso<br />

Jawa Timur : R.A. Soerio<br />

Sumatera : Mr. Teuku Moehammad Hasan<br />

Borneo : Ir. Pangeran M. Noer<br />

Sulawesi : Dr. G.S.S.J. Ratulangi<br />

Sunda Kecil : Mr. I Goesti Ketoet Poedja<br />

Maluku : Mr. J. Latuharhary<br />

KEANGKATAN RESMI DARI PRESIDEN<br />

REPUBLIK INDONESIA<br />

Gubernur dan Residen-residen Republik Indonesia di SU­<br />

MATERA telah diangkat oleh Presiden Republik Indonesia.<br />

Gubernur Sumatera I Mr. Teuku Moehammad Hasan<br />

Residen Aceh : Teuku Nyak Arif<br />

Residen Sumatera Timur : Mr. Mohammad Joesoef<br />

Residen Tapanuli : Dr. F. Lumban Tobing<br />

Residen Riau : Mohd. Malik<br />

Residen Sumatera Barat : Mohammad Sjafei<br />

Residen Bengkulen ; Ir. Indracaya<br />

Residen Jambi : Dr. Sjagaf Jahja<br />

Residen Palembang : Dr. A.K. Gani<br />

Residen Lampung : Mr. Dr. Abd. Abbas<br />

Residen Bangka Billiton : M.A. Sj<strong>arif</strong><br />

Ketua-Ketua Komite Nasional<br />

Indonesia : Mr. Kasman Singodimedjo<br />

Sumatera : Mr. Dr. Abd. Abbas<br />

Karesidenan Aceh : Tuanku Mahmoed<br />

233


PETIKAN dari Daftar ketetapan Gubernur Sumatra dari Negara<br />

Republik Indonesia tanggal 3 Oktober 1945 No. 1/X.<br />

KITA GUBERNUR SUMATERA dari<br />

NEGARA REPUBLIK INDONESIA:<br />

Membaca surat kawat Presiden Negara Republik Indonesia<br />

tanggal 29 September 1945:<br />

MEMUTUSKAN :<br />

Sementara menunggu pengesahan*> Presiden Republik Indonesia<br />

diangkat sebagai Residen Aceh paduka tuan Teuku Nyak Arif di<br />

Kutaraja.<br />

PETIKAN ini dikirimkan kepada yang berkepentingan untuk<br />

dimaklumi.<br />

x) Ketetapan ini telah disahkan<br />

oleh spjm Presiden Negara<br />

Republik Indonesia.<br />

234<br />

Kepada<br />

p.t. Teuku Njak Arif<br />

Residen Aceh<br />

di<br />

Kutaraja<br />

KITA GUBERNUR SUMATERA DARI<br />

NEGARA REPUBLIK INDONESIA<br />

Atas namanya:<br />

Sekretaris,<br />

( Mas Tahir )


SURAT KETERANGAN<br />

Residen Aceh yang diperbantukan pada Gubernur Propinsi<br />

Sumatera Utara di Medan, menerangkan, atas sumpah selaku menerima<br />

jabatannya, bahwa:<br />

TEUKU NYAK ARIF<br />

Residen Aceh yang berkedudukan di Kutaraja, yang diangkat<br />

mulai tanggal 1 Desember 1945 dengan beslit Gubernur Sumatera<br />

Negara RI, bertanggal 28 Desember 1945 No. 69, meninggal dunia<br />

pada tanggal 4 Mei 1946 dalam jabatannya sebagai Residen di<br />

Takengon, „tatkala ia menjalankan tugasnya di sana.<br />

Medan, 26 November 1952<br />

Diketahui dan disyahkan RESIDEN YANG DIPERBANTUKAN)<br />

Sesudahnya disesuaikan (w.g) T.T.M. Daudsyah<br />

dengan aslinya untuk salinan yang serupa<br />

Residen Koordiantor Komisi Kepala di kantor Residen<br />

Pem. untuk Aceh Koordinator Pemerintahan untuk Aceh<br />

Sekretaris<br />

( R.A. NAINGGOLAN ) ( TEUKU PADANG )<br />

235


DEPARTEMEN KESEJAHTERAAN SOSIAL<br />

NUSANTARA No. 36 JAKARTA KOTAKPOS 64<br />

No. Pol. 1/62/P.K.<br />

Lampiran : 1<br />

Jakarta, 17 Februari 1962<br />

MENTERI KESEJAHTERAAN SOSIAL<br />

Membaca : Surat permohonan tanggal<br />

21 Agustus 1960<br />

dari Ny. Jauhari<br />

untuk mendapat tunjangan penghargaan<br />

bagi pribadinya sebagai janda alm.<br />

Teuku Nyak Arif<br />

Memperhatikan : Pertimbangan tanggal<br />

19 Oktober 1961<br />

dari Badan Pertimbangan Perintis Pergerakan<br />

Kebangsaan/Kemerdekaan, sebagai<br />

dimaksud dalam pasal 5 P.P.<br />

No. 39 tahun 1958 jo Peraturan Presiden<br />

No. 20 tahun 1960 dan Keputusan<br />

Presiden No. 332 tahun 1960;<br />

Memperhatikan pula : Pendapat Menteri Dalam Negeri dan<br />

Otonomi Daerah tanggal<br />

8 Nopember 1961 ;<br />

Menimbang : Bahwa saudara-saudara yang namanya<br />

tersebut dalam lampiran Keputusan ini<br />

mencukupi syarat sebagai Perintis Pergerakan<br />

Kebangsaan/Kemerdekaan yang<br />

236


ditentukan dalam P.P. No. 39 tahun<br />

1958 pasal 1 jo Peraturan Presiden No.<br />

20 tahun 1960 pasal 1 dan oleh karenanya<br />

dapat diberikan tunjangan penghargaan<br />

dari Pemerintah atas jasa-jasanya.<br />

Mengingat : P.P. No. 39 tahun 1958 pasal 2 dan/atau<br />

pasal 4 jo Peraturan Presiden No. 20<br />

tahun 1960 pasal 2 dan/atau pasal 4<br />

(Lembaran Negara No. 101/1960).<br />

MEMUTUSKAN :<br />

I. Menetapkan bahwa kepada Saudara-saudara yang namanya<br />

tersebut dalam lampiran Keputusan ini, terhitung mulai tanggal dalam<br />

kolom 8 dari lampiran itu di belakang namanya masing-masing,<br />

diberikan tunjangan penghargaan sesuai dengan ketentuan-ketentuan<br />

dalam P.P. No. 39 tahun 1958 jo Peraturan Presiden No. 20 tahun<br />

1960 (Lembaran Negara No. 101/1960) sebesar jumlah yang tertera<br />

dalam kolom 6-7 dalam lampiran tersebut;<br />

dengan ketentuan, bahwa segala sesuatu dapat diubah dan diperhitungkan<br />

kembali sebagaimana mestinya, apabila kemudian temyata<br />

terdapat kekeliruan dalam penetapan ini.<br />

II. Pengeluaran-pengeluaran keuangan dibebankan kepada<br />

Anggaran Belanja Departemen Kesejahteraan Sosial (Sub Bagian<br />

IXB).<br />

SALINAN Keputusan ini disampaikan kepada:<br />

1. Menteri Dalam Negeri dan Otonom Daerah II Jakarta,<br />

2. Ketua DPR GR u/p Komisi I di Jakarta,<br />

3. Sekretariat Negara di Jakarta,<br />

4. Thesaurier Jenderal pada Departemen Keuangan di Jakarta,<br />

237


5. Dewan Pengawas Keuangan di Bogor, -<br />

6. PEPERDA/PEDARMILDA/PEDARSIPDA di Jakarta,<br />

7. Kepala KPPN di Jakarta, -<br />

8. Kepala Perwakilan Departemen Kesejahteraan Sosial/Kepala<br />

Inspeksi Sept. Kesejahteraan Sosial di Jakarta, dan (PETIKAN)<br />

kepada yang berkepentingan, untuk diketahui dan guna seperlunya.<br />

Kepada<br />

Yth. Ny. Jauhari,<br />

janda alm. Njak Arif<br />

b/a T. Umar Ali<br />

Rumah Instansi<br />

Universitas Indonesia No. 5<br />

Jl. Utan Kayu, Jakarta<br />

238<br />

Menteri .Kesejahteraan Sosial<br />

Cap<br />

ttd<br />

( Muljadi Djojomartono )


PRESIDEN<br />

REPUBLIK INDONESIA<br />

PETIKAN<br />

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA<br />

No. : 071/TK/TAHUN 1974<br />

TENTANG<br />

PENETAPAN GELAR PAHLAWAN NASIONAL<br />

Membaca : - dst -<br />

Menimbang : - dst -<br />

Mengingat : - dst -<br />

Mendengar ; - dst -<br />

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,<br />

MEMUTUSKAN :<br />

Menetapkan : Menganugerahkan Gelar PAHLAWAN NASIONAL<br />

kepada mereka yang namanya tersebut dalam Lampiran<br />

Surat Keputusan ini sebagai penghargaan atas<br />

tindak kepahlawanannya yang cukup mempunyai<br />

mutu dan nilai jasa perjuangan dalam suatu tugas perjuangan<br />

untuk membela Negara dan Bangsa.<br />

Dengan ketenman, bahwa:<br />

Apabila di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan<br />

dalam Surat Keputusan ini, akan diadakan pembetulan<br />

seperlunya.<br />

Ditetapkan : di Jakarta<br />

Pada tanggal : 9 November 1974<br />

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA<br />

ttd<br />

SOEHARTO<br />

JENDERAL TNI<br />

239


240<br />

LAMPIRAN KEPUTUSAN PRESIDEN<br />

REPUBLIK INDONESIA<br />

No. 071/TK/TAHUN 1974<br />

NOMOR GELAR YANG<br />

URUT N A M A DIANUGERAHKAN<br />

3. ALMARHUM PAHLAWAN<br />

TEUKU NYAK ARIF NASIONAL<br />

UNTUK PETIKAN<br />

SEKRETARIS MILITER PRESIDEN<br />

ttd<br />

TJOKROPRANOLO<br />

LETNAN JENDERAL TNI


I. Buku dan Tulisan<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Abdullah Hussainjerjebak, Pustaka Antara, Kuala Lumpur, 1965.<br />

, Peristiwa, Pustaka Antara, Kuala Lumpur, 1965.<br />

Abdul Rozak H, Sejarah Teuku Nyak Arif dari Aceh, Naskah ketikan,<br />

Palembang, 25 Oktober 1974.<br />

A. Hamid, Sekelumit Informasi Mengenai Teuku Nyak Arif, naskah<br />

ketikan, Kayutanam, 18 Januari 1975.<br />

A.H. Nasution, Jend. Dr., TNI I, Seruling Masa, Jakarta, 1968.<br />

, Pergerakan Nasional Dalam Segi Kebangkitan<br />

Militer, LEMHANAS, Jakarta, 1965.<br />

. _, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia I,<br />

Angkasa, Bandung, 1976.<br />

, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia II,<br />

Angkasa, Bandung, 1976.<br />

A.J. Piekaar, Aceh en de oorlog met Japan, NV. Uitgeverij W. Van<br />

Hoeve s'Gravenhage, Bandung.<br />

Alibasjah Talsja, Teuku, Bagaimana Mulanya Aceh Membentuk<br />

Negara Merdeka, Yayasan Pembina Darussalam, Banda Aceh,<br />

1969.<br />

Amran Zamzami, Jihad Akbar di Medan Area, Bulan Bintang,<br />

Jakarta, 1990.<br />

Ali Hasymi, Semangat Merdeka, Bulan Bintang, Jakarta, 1985.<br />

Akira Nagazumi, Pemberontakan Indonesia Pada Masa Pendudukan<br />

Jepang, Pengantar Taufik Abdullah, Penerjcmah Muchtar Pabottinggi<br />

et al, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1988.<br />

Arifin Bey, Dr., penyunting, Pendudukan Jepang di Indonesia Suatu<br />

Ungkapan Berdasarkan Dokumentasi Pemerintah Belanda,<br />

Kesaint Blanc, Jakarta, 1987.<br />

241


Biro Sejarah Prima, Medan Area Mengisi Proklamasi, Badan Musyawarah<br />

Pejuang Republik Indonesia, Medan 1976.<br />

DMG Koch, Menuju Kemerdekaan, Yayasan Pembangunan, Jakarta,<br />

1951.<br />

Djanujjah al Ishlaahijjah, Pertemuan Ulama-ulama di Kutaraja, Persatuan<br />

Yogya, Oktober 1936.<br />

Fujiwara Iwaichi, F Kihan, Operasi Intelijen Tentara Jepang di Asia<br />

Tenggara Selama Perang Dunia II, Pustaka Sinar Harapan,<br />

Jakarta, 1988.<br />

Hasjim Naim, Sejarah Almarhum Teuku Njak Arif, naskah ketikan,<br />

Pulau Pinang Malaysia, 1974.<br />

Hanafiah T.T., Perihal Sejarah Aceh, Prasaran pada Seminar Perjuangan<br />

Aceh, Medan, 1976.<br />

HM Zainuddin, Srikandi Aceh, Pustaka Iskandar Muda, Medan 1966.<br />

HOS Cokroaminoto, Sejarah Pergerakan Indonesia 1929 - 1930<br />

Fond Nasional, 1930.<br />

Ibrahim Alfian, Teuku, Prof. DR., Sejarah Singkat Perang di Aceh,<br />

Departemen Hankam, Pusat Sejarah ABRI, 1973.<br />

, Modern Education in Aceh A Preliminary<br />

Note, IAHA, Yogyakarta, 1974.<br />

, et al, Revolusi Kemerdekaan Indonesia di<br />

Aceh (1945 - 1949), Proyek Pengembangan Permuseuman<br />

Daerah Istimewa Aceh, 1982.<br />

Insider, Aceh Sepintas Lalu, Fa. Achapada, Jakarta, 1950.<br />

Ismuha, Pengetahuan Saya Sekitar Proklamasi, PWPK Aceh, 1971.<br />

Jong Sumatera, Orgaan van Jong Sumatranen Bond, Weltevreden<br />

No. 6-7 Juni - Juli 1927.<br />

Kasmaniyah, Siapa Para Syuhada 44 Lheue?, Sinar Darussalam No.<br />

12 Banda Aceh, 1969.<br />

Kementerian Penerangan, Lukisan Revolusi Indonesia, Jakarta, 1974.<br />

Knottenbelt, Mayoor Maarten, Contact met Aceh, uit Vrij Nederland,<br />

London, 1946.<br />

Kodam I/Iskandar Muda, Dua Windu Kodam li'Iskandar Muda, Banda<br />

Aceh, 1972.<br />

242 •


Locale Belangen, Orgaan van de Vereeniging voor Locale Belangen,<br />

Semarang, Agustus 1927.<br />

, Semarang, 16 Desember 1927.<br />

, Semarang 16 Agustus 1929.<br />

, Semarang 1 November 1931.<br />

MA Panglima Polim, Teuku, Memori (catatan), Al Hambra, Banda<br />

Aceh.<br />

Ministry of Information of Republic of Indonesia, Ilustration of the<br />

Revolution Indonesia (1945-1950), Jakarta, 1963.<br />

M. Junus Jamil, Teuku, Gajah Putih, Lembaga Kebudayaan Aceh,<br />

Kotaraja, 1959.<br />

, Riwayat Barisan F (Fujiwarakikan) di Ace/i,stensil.<br />

Moh. Jusuf, Tengku, Daftar Riwayat Hidup dari Teuku Nyak Arif,<br />

naskah ketika, Banda Aceh 14 November 1960.<br />

M. Rasyid Manggis, Almarhum Teuku Nyak Arif seperti yang Saya<br />

Kenal, naskah ketikan, Bukittinggi, 23 Februari 1975.<br />

M. Nur El Ibrahimy, Tengku Muhammad Daud Beureueh, Gunung<br />

Agung, Jakarta, 1986.<br />

Nyak Arif, Teuku, Pidato pada Sidang Chuo Sangi In, Bukittinggi,<br />

Maret 1945.<br />

, Catatan Masa Jepcng, Kotaraja, 1945.<br />

Notosutardjo, H.A, Bung Karno di Hadapan Pengadilan Kolonial,<br />

Endang, Jakarta, 1963.<br />

Nazaruddin Syamsuddin, DR., Pemberontakan Kaum Republik Kasus<br />

Darul Islam Aceh, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1990.<br />

Panitia Raya Kongres Besar PUSA dan Pemuda PUSA, Tinjauan<br />

Sejarah Pergerakan di Aceh, Kutaraja 1930<br />

Paul Van't Veer, Perang Belanda di Aceh, pcncrjcmah Abubakar,<br />

Dinas P dan K Tingkat I Propinsi Aceh, 1977.<br />

Penyedar, Mingguan Umum Bergambar No. 4, Jakarta, 22 Januari<br />

1939.<br />

, No. 26, 25 Juli 1939.<br />

, No. 49, 30 November 1939.<br />

TEUKU NYAK ARIF - 17 243


, No. 52, 21 Desember 1939.<br />

, No. 5, 1 Februari 1940.<br />

, No. 6, 6 Februari 1941.<br />

, No. 49, 4 Desember 1941.<br />

Rahman Putera, Kegiatan Inteligence dari masa ke masa, stensil,<br />

Jakarta, 1959.<br />

Republik Indonesia, Kementerian Penerangan Provinsi Sumatra<br />

Utara, Jakarta, 1950.<br />

RPNL Tobing, Kenang-Kenangan Dari Perjalanan Utusan Sumatra<br />

ke Jepang Pada Pertengahan Tahun 1943, naskah ketikan,<br />

Medan, 1 November 1974.<br />

Sinar Darussalam, Majalah Pengetahuan dan Kebudayaan, No. 16,<br />

Banda Aceh.<br />

Syamaun Gaharu, Mayjen. Beberapa Catatan Tentang Perjuangan<br />

Menegakkan Kemerdekaan di Aceh Sejak Proklamasi Sampai<br />

dengan Pengakuan Kemerdekaan RI, Prasaran Seminar Perjuangan<br />

Aceh, Medan, 1976.<br />

S.M. Amin, Mr., Kenang-Kenangan Dari Masa Lampau, Pradnya<br />

Paramita, Jakarta, 1978.<br />

Twk Hasjim S.H., Detik-Detik Proklamasi 1945, PWPK Aceh, 1971.<br />

Zainuddin H.M., Riwayat Hidup Teuku Nyak Arif.<br />

Zakaria Ahmad, Drs., Sekitar Kerajaan Aceh Dalam Tahun 1520 -<br />

1675, Monora Medan, 1972.<br />

48 Ste Vergadering inde Volksraad, Eerste aanvullende begrooting<br />

van Indie voor 1930 alg beschouwingen, Maandag, 27 Januari<br />

1927.<br />

26 Ste Vergadering in de Volksraad, Donderdag 14 Juli 1927.<br />

8 Ste Vergadering in de Volksraad, Maandag 18 Juni 1928.<br />

9 Ste Vergadering in de Volksraad, Diensdag 19 Juni 1928.<br />

16 Ste Vergadering in de Volksraad, Maandag 29 Juli 1929.<br />

59 Ste Vergadering in de Volksraad, Maandag 10 Februari 1930.<br />

244


II. Surat Kabar<br />

Bintang Timur : Harian berbahasa Indonesia pimpinan Parada<br />

Harahap, Jakarta, 13 Mei 1927.<br />

: Jakarta, 16 Mei 1927.<br />

: Jakarta, 23 Mei 1927.<br />

: Jakarta, 24 Juni 1927.<br />

: Jakarta, 25 Juni 1927.<br />

- : Jakarta, 75 Juli 1927.<br />

: Jakarta, 18 Juli 1927.<br />

: Jakarta, 3 Agustus 1927.<br />

: : Jakarta, 11 November 1927.<br />

: Jakarta, 18 November 1927.<br />

— : Jakarta, 9 Desember 1927.<br />

: Jakarta, 12 Juni 1929.<br />

: Jakarta, 17 Juni 1929.<br />

: Jakarta, 18 Juli 1929.<br />

: Jakarta, 29 Juli 1929.<br />

: Jakarta, 30 Juli 1929.<br />

: Jakarta, 29 Januari 1930.<br />

: Jakarta, 30 Januari 1930.<br />

: Jakarta, 11 Februari 1930.<br />

: Jakarta, 27 Maret 1930.<br />

: Jakarta, 17 Mei 1930.<br />

: Jakarta, 16 Februari 1931.<br />

: Jakarta, 18 Februari 1931.<br />

: Jakarta, 16 Maret 1932.<br />

: Jakarta, .75 Agustus 1932.<br />

: Jakarta, 78 Agustus 1931.<br />

: Jakarta, 3 Januari 1934.<br />

: Jakarta, 14 April 1934.<br />

: Jakarta, 22 November 1934.<br />

: Jakarta, 72 Maret 1935.<br />

Utusan Sumatra : Medan, 10 Januari 1930.<br />

Pewarta Deli : Harian Berbahasa Indonesia, pimpinan Jamaluddin<br />

Adinegoro, Medan, 27 Juli 1927.<br />

245


: Medan, 3 Agustus 1927.<br />

: Medan, 12 Mei 1928.<br />

: Medan, 31 Mei 1928.<br />

: Medan, 2 Juni 1928.<br />

. M e d a i l j 20 Juni 1928.<br />

: Medan, 27 Juni 1928.<br />

: Medan, 11 Januari 1929.<br />

— : Medan, 28 Februari 1929.<br />

• : Medan, 10 Agustus 1929.<br />

: Medan, 11 November 1929.<br />

: Medan, 2 Mei 1930.<br />

: Medan, 2 Desember 1935.<br />

: Medan, 9 November 1937.<br />

: Medan, 29 Januari 1940.<br />

• : Medan, 23 April 1940.<br />

: Medan, 2 Juli 1941.<br />

: Medan, 13 Juli 1941.<br />

: Medan, 14 Juli 1941.<br />

De Locomotief : Harian berbahasa Belanda, Semarang, 10<br />

Desember 1927.<br />

: Semarang, 22 Semarang 1927.<br />

Matahari Indonesia : Harian Berbahasa Indonesia, pimpinan Mr.<br />

Iwa Kusuma Sumantri dan Manoppo, Medan,<br />

29 Desember 1928.<br />

Sinar Deli : Harian berbahasa Indonesia, Medan, 18<br />

Agustus 1930.<br />

Suluh Merdeka : Harian Penjunjung Republik Indonesia,<br />

Medan, 7 Mei 1946.<br />

Bijaksana : Harian Nasional Medan, 2 November 1953.<br />

: Medan, 5 November 1953.<br />

: Medan, 6 November 1953.<br />

Berita Buana : Harian Nasional, Jakarta, 75 Agustus 1973.<br />

246<br />

: Jakarta, 25 Oktober 1974.


Harian Duta : Banda Aceh, 15 November 1974.<br />

: Banda Aceh, 23 Agustus 1975.<br />

Aceh Post : Banda Aceh, 23 November 1974.<br />

III. Dokumentasi dan Koleksi<br />

— Personalia Lid-lid Volksraad, 28 Oktober 1927.<br />

— Uittreksel No. 112/E, Kotaraja, 1 Juni 1938.<br />

— Uittreksel No. 116/E, Kotaraja, 13 Juni 1935.<br />

— Petikan dari daftar beslit-beslit dari Gunseikanbu Aceh Syu<br />

Sutyo No. 19/Hisyo, Kotaraja, 4 Mei 1943<br />

— Keangkatan Resmi sebagai Residen oleh Presiden Republik<br />

Indonesia.<br />

— Ketetapan Gubernur Sumatra, Medan, 3 Oktober 1945.<br />

— Koleksi Pribadi TA Talsya : Maklumat Residen Aceh No. 1,<br />

Kutaraja, 18 Oktober 1945.<br />

: Maklumat Residen Aceh No. 2,<br />

Kutaraja, 27 Oktober 1945.<br />

: Maklumat Residen Aceh No. 3,<br />

Kutaraja, 2 November 1945.<br />

: Maklumat Residen Aceh No. 4,<br />

Kutaraja, 2 November 1945.<br />

: Maklumat Residen Aceh dari NRI<br />

No. 5, Kutaraja, 8 November<br />

1945.<br />

: Maklumat Residen Aceh No. 7,<br />

Kutaraja, 23 November 1945.<br />

: Maklumat Residen Aceh dari NRI<br />

No. 8, Kotaraja, 29 November<br />

1945.<br />

: Maklumat Residen Aceh,<br />

Kutaraja, 29 Oktober 1945.<br />

247


: Pemberitahuan tentang Listrik dari<br />

Residen Aceh, Kutaraja, 25 Oktober<br />

1945.<br />

— : Maklumat tentang Bea Tembakau<br />

dari Residen Aceh NRI, Kutaraja,<br />

27 Oktober 1945.<br />

: Maklumat Residen RI Panggilan<br />

Residen Aceh Kutaraja, 27 Oktober<br />

1945.<br />

: Pidato Residen Aceh pada<br />

perayaan menyambut Kongres<br />

Pemuda Indonesia, Kutaraja, 11<br />

November 1945.<br />

- : Anjuran Residen Aceh, Kutaraja,<br />

18 November 1945.<br />

: Pemberitahuan Residen Aceh dari<br />

NRI, Kutaraja, 29 November 1945.<br />

: Maklumat Residen Aceh dari NRI,<br />

Kutaraja, 22 Desember 1945.<br />

: Maklumat Residen Aceh dari NRI,<br />

Kutaraja, 10 Januari 1946.<br />

: Maklumat Residen Aceh NRI,<br />

Kutaraja, 75 Januari 1946.<br />

— Krijgstucht (Hukum Siasat): Kesatria PESINDO daerah Aceh.<br />

— Rapat Pleno Markas Umum: Kutaraja, 6 Januari 1946.<br />

— Rapat Cepat Markas Umum: Kutaraja 8 Januari 1946.<br />

— Maklumat Pemerintah Daerah Aceh: 7 Januari 1946.<br />

— Peraturan Daerah Aceh: Tentang Pembagian Daerah.<br />

— Petikan dari daftar besluit-besluit Residen Aceh No. 591/NRI,<br />

Kutaraja, 13 Agustus 1946.<br />

— Ultimatum Pemerintah Daerah Aceh: 10 Januari 1946<br />

— Pengumuman Residen Aceh: 24 Juni 1946.<br />

248


— Surat Undangan Ketua Markas Umum: 6 Januari 1946.<br />

— Surat Undangan Ketua Markas Umum: 8 Januari 1946.<br />

— Maklumat Pemerintah Daerah Aceh dan Markas Umum Daerah<br />

Aceh Tahun 1946.<br />

— Dewan Perwakilan Rakyat Sementara ayat 5 buku Rl Kempen.<br />

— Sarekat Pendidikan Indonesia (SERPI), Kutaraja, 6 Januari 1946.<br />

— JARAHDAM I/Iskandar Muda: Mayjen Tituler Teuku Nyak<br />

Arif.<br />

— .Surat Keterangan Residen Aceh, d/p Gubernur Sumatera Utara di<br />

Medan, Medan, 26 November 1952.<br />

— SK Menter Kesejahteraan Sosial No. Pol. 1/62/PK/tanggal 17<br />

Februari 1962.<br />

— Ketetapan Gubernur Sumatera No. 69, 28 Desember 1945.<br />

— Keputusan Presiden RI No. 071/YK/Tahun 1974.<br />

— SL van der Wall, Dr., Officiële Bescheeden Betrefende de Nederlands<br />

Indonesische Bettrekkingen 1945 - 1950.<br />

IV. Wawancara<br />

Abu Bakar : 1. Banda Aceh, 3 Februari 1974<br />

2. Banda Aceh, 18 September 1975.<br />

Abdullah Masri : Banda Aceh, 15 September 1975.<br />

Abdul Hamid, Teuku : 1. Banda Aceh, 4 Februari 1974.<br />

2. Banda Aceh, 16 September 1974.<br />

Alibasyah Talsya, Teuku : Banda Aceh, 4 Februari 1974<br />

Ali Hasymi : Banda Aceh, 30 Juni 1974<br />

Ali Lamlagang, Teuku : Banda Aceh, 5 Februari 1974.<br />

Ali Keuruken, Teuku : h Banda Aceh, 30 Januari 1974.<br />

2. Banda Aceh, 16 September 1975.<br />

Amura, Drs. H. : Jakarta, 25 Agustus 1974.<br />

Anzib : Banda Aceh, 25 Agustus 1974.<br />

Daud Beureueh, Tengku : Sigli, 17 September 1975.<br />

Djauhari, Cut Nyak : Jakarta, 26 Agustus 1974.<br />

Djamaluddin, Drs. : Banda Aceh, 13 September 1975.<br />

Hamka, Prof. DR. : Jakarta, 25 Agustus 1974.<br />

Hanafiah, Teuku : Medan, 19 September 1975.<br />

Hasby Assidiqi, Prof. : Yogyakarta, 9 Maret 1974.<br />

249


Hasan Basri, S.H. : Banda Aceh, 31 Januari 1974.<br />

Hindun : Medan, 2 Juli 1974.<br />

Husin Al Mujahid : Medan, 26 Maret 1976.<br />

Husin Jusuf : Banda Aceh, 30 Juni 1974.<br />

Idham : Jakarta, 31 Juli 1974.<br />

Iskandar Ishaq : Jakarta, 24 April 1974.<br />

Ismail Jacob, s.H., M.A. : Semarang, 8 Maret 1974.<br />

Junus Djamil, Tengku M. : Banda Aceh, 15 September 1975.<br />

Kosen tjokroscntono : Medan, 2 Juli 1974.<br />

Mahyuddin, Dr. : Bandung, 20 Maret 1974.<br />

Moh. Arilin, Tengku : Jakarta, 19 Agustus 1976.<br />

Moh. Damrah, Tengku : Jakarta, 16 Agustus 1976.<br />

Moh. Djuned : Banda Aceh, 31 Januari 1974.<br />

Moh. Yusuf : Banda Aceh, 4 Februari 1974.<br />

Moh. Said : Medan, 1 Juli 1974.<br />

M. Saleh Rahmany : Banda Aceh, 2 Februari 1974.<br />

M. Salim Hasyim : Banda Aceh, 3 Februari 1974.<br />

Muzakir Walad : 1. Banda Aceh, 2 Februari 1974.<br />

2. Jakarta, 11 Juni 1974.<br />

Mohammadsyah, Teuku : Banda Aceh, 15 September 1975.<br />

Nyak Umar, H. : Medan, 20 September 1975.<br />

Osman Jacob, Teuku : Banda Aceh, 14 September 1975.<br />

Ridha : Medan, 19 September 1975.<br />

Rustam Effendi : Jakarta, 12 Agustus 1974.<br />

Syamaun Gaharu, Mayjen : Banda Aceh, 1 Juli 1974.<br />

Syamsul Bahri, Teuku, S.H : Medan, 18 September 1975.<br />

S.M. Amin, Mr. : Jakarta, 1 Agustus 1974.<br />

Sudono, dokter : Malang, 16 Mei 1976.<br />

Suroso, R.P : Jakarta, 24 April 1974.<br />

Sutikno Padmosumarto : Banda Aceh, 31 Januari 1974.<br />

Cik Mat Rahmany : Jakarta, 24 Juni 1974.<br />

Sugondo Kartoprodjo : Medan, 19 September 1975.<br />

Usman Raliby : Jakarta, 25 Mei 1974.<br />

Zainuddin, H.M. : Medan, 19 September 1975.<br />

250


Kenangan-kenangan Perjalanan Utusan Sumatera<br />

Ke Jepang pada Masa Perang Dunia Kedua<br />

Oleh:<br />

R. Patuan Natigor L. Tobing<br />

Pada bulan Juli 1943 telah berkumpul di Singapura, utusan-utusan<br />

dari Sumatera yang hendak diberangkatkan oleh Pemerintah Pentadbiran<br />

Militer Jepang meninjau ke negeri matahari terbit.<br />

Utusan itu berjumlah 15 (lima belas) orang yaitu: (1) Teuku Nyak<br />

Arif dari Kutaraja, Aceh; (2) Teuku Muhammad Hasan Geulumpang<br />

Payung dari Sigli, Aceh; (3) Mr. Mohammad Yusuf dari Medan,<br />

Sumatera Timur; (4) Zainuddin dari Medan, Sumatera Timur; (5) Z.A.<br />

Sutan Kumala Pontas dari Tapanuli; (6) R. Patuan Natigor L. Tobing<br />

dari Tapanuli (yang menulis kenang-kenangan ini); (7) Engku Syafei<br />

dari Kayu Tanam, Sumatera Barat; (8) Datuk Madjo Urang dari<br />

Sumatera Barat; (9) Syamsuddin dari Riau; (10) Abduh Manan dari<br />

Jambi; (11) Raden Hanan dari Palembang; (12) Abdurrozak dari<br />

Palembang; (13) Mohammad Sy<strong>arif</strong> dari Bangka; (14) Hasan Pasaman<br />

dari Lampung; dan (15) Ir. Indra Cahaya dari Bengkulu.<br />

Rombongan utusan Sumatera ini ditambah dengan seorang Jepang<br />

yang bernama Sato, yang sebelum Perang Dunia (PD) II, menjadi<br />

pengusaha di Kutaraja (sekarang Banda Aceh). Tuan Sato akan<br />

bertindak sebagai perantara dan penterjemah bagi anggota rombongan.<br />

Penginapan untuk rombongan disediakan di Hotel Cynthia, sebuah<br />

hotel bekas kepunyaan Inggris di Singapura. Pada waktu im<br />

Jepang sudah mengubah nama Singapura menjadi Syonan.<br />

Rombongan berada di Syonan lebih kurang 10 hari menunggu<br />

keberangkatan.<br />

251


Setiap pagi selama 1 sampai 2 jam, kami dikumpulkan di markas<br />

tentara diberi penerangan serta petunjuk-petunjuk mengenai perjalanan<br />

dan peninjauan yang akan dilakukan di Jepang. Pertemuan tersebut<br />

dipimpin oleh seorang kolonel dari markas besar. Tekanan dari<br />

pembicaraan selalu dititikberatkan pada persaudaraan seluruh Asia<br />

dan bahwa Jepang tidak bermaksud menjajah daerah-daerah yang telah<br />

didudukinya, tetapi bersama-sama menciptakan suam kemakmuran bagi<br />

Asia Timur Raya.<br />

Kami diperlengkapi dengan pakaian seragam kuning lengkap<br />

dengan topi dan sepatu, dibekali dengan uang secukupnya, sedikit<br />

bahasa Jepang dan sebuah kamus kecil bahasa Inggris-Jepang.<br />

Menetapkan Ketua dan Wakil Ketua Rombongan<br />

Sebagai ketua rombongan, kami menetapkan Teuku Muhammad<br />

Hasan Geulumpang Payung dan wakilnya Teuku Nyak Arif.<br />

Kebetulan pula di antara anggota rombongan, ketua dan wakil<br />

ketua inilah yang agak kurang sehat; Teuku Hasan diserang reumatik<br />

dan Teuku Nyak Arif mengidap pe<strong>nyak</strong>it diabetes. Teuku Nyak Arif<br />

meminta dicarikan sacharin untuk persediaan yang kebetulan dapat di<br />

pasar gelap.<br />

Dua hari sebelum berangkat, kami sudah berada di atas kapal dan<br />

pada tengah malam berikutnya secara diam-diam kapal sudah berlayar<br />

di tengah lautan.<br />

Kapalnya adalah bekas rampasan dari Inggris, mempunyai kamarkamar<br />

kelas sam dan telah dipërsenjatai dengan sebuah meriam di<br />

belakang dan sebuah di muka. Kedua meriam itu sudah tua dan kami<br />

sangsikan apakah masih bisa memuntahkan peluru.<br />

Kami ditempatkan di kamar kelas sam yang keadaannya masih<br />

baik. Beberapa kamar dipakai untuk membawa abu dari perwiraperwira<br />

yang gugur di medan pertempuran. Kamar-kamar ini dijaga<br />

siang malam oleh prajurit-prajurit yang bersenjata lengkap dengan<br />

sangkur terhunus. Di dalam kapal juga ba<strong>nyak</strong> barang-barang yang<br />

mau dibawa ke Jepang, termasuk beras. Tiap kamar mempunyai dua<br />

tempat tidur dan kami telah ditempatkan menurut daerah masingmasing.<br />

252


Berhubung Teuku Hasan selalu perlu bantuan memasang pelampung<br />

dan lain-lain, maka kami diizinkan bertukar tempat sehingga<br />

saya sekamar dengan beliau.<br />

Selama di kapal selalu diadakan latihan-latihan menghadapi bahaya<br />

yaitu memasang pelampung, berlari dan berkumpul di dek dan lain<br />

sebagainya.<br />

Malam hari penggelapan sangat ketat, lampu-lampu di luar tidak<br />

ada, di dalam kamar sangat kecil dan di luar tidak dibolehkan merokok.<br />

Perjalanan tenang-tenang saja sampai di Saigon dan kapal berlabuh<br />

di Colon. Kami diperbolehkan selama 2 hari berjalan-jalan dalam<br />

kota. Dari Colon pelayaran diteruskan langsung ke Jepang. Lewat<br />

Taiwan kami mengalami ombak besar selam 3 x 24 jam. Kapal seakanakan<br />

telah ditelan ombak, hampir semuanya dalam keadaan lemas<br />

termasuk anak buah kapal.<br />

Dua belas hari setelah meninggalkan Syonan (Singapura), kami<br />

sampai di kota Moji, kota pelabuhan yang terletak di pulau besar<br />

pertama negeri Jepang.<br />

Pada hari itu juga kami terus berangkat dengan kereta api melalui<br />

terowongan di bawah laut antara Moji-Shimonoseki. Keesokan harinya<br />

baru kami sampai di Tokyo. Kereta apinya cukup baik (kereta<br />

listrik), fasilitas juga baik.<br />

Menolak "Sae Kere"<br />

Di Tokyo kami disambut di stasiun oleh pejabat dari kemiliteran<br />

dan langsung dibawa ke Dai Ichi Hotel.<br />

Selesai makan siang kami disuruh istirahat, tetapi pada jam 5 sore<br />

sudah harus siap untuk sesuatu acara.<br />

Tepat pada waktu yang telah ditentukan seorang pembesar sudah<br />

datang menjemput kami. Dalam hati kami bertanya-tanya ke mana<br />

gerangan kami akan dibawa. Kami bertanya pada Tuan Sato (jurubahasa)<br />

tetapi jawabnya hanya singkat, "tunggulah sebentar."<br />

Ternyata kemudian kami dibawa ke suatu tempat di mana terdapat<br />

sebuah sungai kecil dan di seberangnya terlihat lapangan yang<br />

agak tinggi ditumbuhi pohon-pohon cherry.<br />

Kami diatur berbaris rapi menghadap ke lapangan yang agak tinggi<br />

im dan kemudian terdengarlah aba-aba dari yang menjemput kami<br />

253


dalam bahasa Jepang yang artinya "siap" untuk Tenno Heika (Kaisar)<br />

"Sae kere". Rupanya di seberang sungai, di tempat yang lebih tinggi<br />

im terletak istana Kaisar Jepang. Di tempat inilah terjadi pertikaian<br />

antara kami dengan pihak Jepang sebab kami tidak bersedia "sae<br />

kere" (membungkuk ke arah istana Kaisar).<br />

Pihak Jepang menjadi gusar, kami tenang-tenang saja sedang si<br />

jurubahasa menjadi pucat. Dengan muka merah, sekali lagi diminta<br />

supaya kai bersedia "sae kere" tetapi Ketua dan Wakil Ketua menolak<br />

dengan mengatakan bahwa kami hanya bersedia menyembah Tuhan.<br />

Biarpun Jepang membujuk dan mengatakan bahwa Tenno Heika<br />

adalah anak Tuhan, kami tetap tidak mundur dari pendirian kami itu.<br />

Agak lama keadaan terasa tegang, timbul perdebatan antara pejabat<br />

yang menjemput dengan jurubahasa yang kami artikan bahwa jurubahasa<br />

didesak untuk membujuk kami. Namun Tuan Sato tidak<br />

melakukan apa yang dikehendaki oleh pejabat Jepang itu. Sebagai<br />

seorang yang pernah tinggal di Aceh, tentu ia mengetahui soal agama<br />

di Indonesia (mungkin juga dalam hati kecilnya, dia sendiri tidak<br />

mengakui lagi Tenno Heika anak Tuhan).<br />

Akhirnya Tuan Sato meminta supaya kami mengangguk saja.<br />

Sebab tidak bertentangan dengan prinsip kami, maka kami pun setuju.<br />

Dengan demikian selesailah acara yang menegangkan itu, tetapi bagi<br />

rombongan kami sangat menentukan sebab walaupun kami kemudian<br />

dibawa berkeliling meninjau kompleks istana, kami tidak pernah lagi<br />

disuruh "sae kere".<br />

Dijamu Perdana Menteri Tozio<br />

Setiba kami di Tokyo, pertama kali kami dijamu oleh Perdana<br />

Menteri Jenderal Tozio. Perdana Menteri ini berpidato mengenai Perang<br />

Dai Toa (Perang Asia Timur Raya) untuk mengusir kapitalis-kapitalis<br />

Amerika-Inggris dari Asia dan menciptakan kemakmuran bagi Asia<br />

di bawah pimpinan Dai Nippon.<br />

Pidato sambutan diucapkan oleh Ketua Teuku Hasan dengan<br />

menekankan pada dua hal (seperti yang sudah dimusyawarahkan lebih<br />

dulu) yaitu: (1) Kemerdekaan Indonesia akan direbut biar dari siapapun<br />

juga termasuk dari saudara ma Jepang, apabila tidak bersedia<br />

meiepaskan Indonesia sehabis perang; (2) Supaya memperbaiki akhlak<br />

254


dan tindak-tanduk serdadu-serdadu Jepang yang menduduki Indonesia.<br />

Dapat dicatat bahwa Jepang jarang menyebut Indonesia tetapi<br />

lebih menitik beratkan pada "Sumatera Pulau Harapan".<br />

Dari pidato yang lain pada kesempatan selanjutnya kami mengambil<br />

kesimpulan bahwa Jepang tidak begitu tertarik untuk seterusnya<br />

menduduki pulau Jawa (kalau menang perang), sebab Jawa sudah<br />

terlalu padat penduduknya; perhatiannya ialah pada Sumatera dan<br />

Kalimantan yang masih dapat menampung berapa pun jumlah rakyatnya.<br />

Oleh sebab im bila Ketua (Teuku Hasan) atau Wakil Ketua (Teuku<br />

Nyak Arif) mengucapkan pidato sambutan, tekanannya tetap pada<br />

Indonesia dan tidak Sumatera.<br />

Tujuan Jepang memisahkan Sumatera dari Jawa, terbukti sewaktu<br />

kami berada di Osaka. Tuan Sato pada suatu pagi memberitahukan<br />

kepada kami bahwa pada malam nanti (menjelang subuh), akan lewat<br />

dengan kereta api dari Osaka menuju Tokio, rombongan dari Jawa<br />

yang seperti kami juga dibawa meninjau ké Jepang. Dari koran kami<br />

melihat nama-nama anggota rombongan di antaranya yang kami ingat<br />

Parada Harahap dan Sutardjo. Dengan perantaraan Tuan Sato kami<br />

meminta supaya dapat bertemu dengan mereka walaupun hanya sekedar<br />

bersalaman di stasiun. Tuan Sato memang berusaha memenuhi permintaan<br />

kami, tetapi izin tidak diperoleh dari pejabat yang berwenang.<br />

Selama di Tokio rombongan kami dibawa melihat-lihat pabrikpabrik<br />

di antaranya^abrik mobil (Nissan), kapal terbang, pabrik roti<br />

(biskuit) dan lain-lain. Memang pabriknya ba<strong>nyak</strong> tetapi mengingat<br />

keadaan perang, tidak begitu sibuk karena mereka kekurangan bahan<br />

baku. Demikian juga pabrik baja.<br />

Pada setiap kunjungan kami dijamu; berhubung kadang-kadang<br />

Teuku Hasan tidak bisa ikut sebab reumatiknya kambuh (malam hari<br />

sangat dingin di Tokio), maka tugasnya diambil oleh Teuku Nyak<br />

Arif.<br />

Kalau Teuku Hasan berpidato yang isinya ken>s, gerakan-gerakan<br />

beliau tetap tenang, maka lain dengan Teuku Nya^ Arif, belum lagi<br />

pidato beliau diterjemahkah, orang-orang Jepang yang hadir pada<br />

pertemuan-pertemuan tersebut sudah merah mukanya sebab dari<br />

gerakan cara mengucapkan pidato dari Teuku Nyak Arif, mereka sudah<br />

255


dapat mengira-ngira bahwa beliau ini tidak pro bahkan antipati kepada<br />

Jepang.<br />

Tokio di Masa Perang<br />

Kota Tokio adalah kota yang besar dan sangat sibuk. Pekerjaan<br />

di hotel, di kantor-kantor, supir, trem, pabrik-pabrik (kecuali pekerjaan<br />

berat), semuanya dilakukan oleh wanita. Mobil-mobil sedan jarang<br />

kelihatan, kalaupun ada hanya yang memakai bendera kuning atau<br />

merah (Jenderal atau Kolonel). Semua warga kota kelihatan sibuk dan<br />

kalau berjalan cepat-cepat. Tentara yang datang cuti dan yang mau<br />

berangkat memenuhi jalan-jalan, tetapi tidak seorang pun yang memakai<br />

senjata. ^<br />

Kami tidak kekurangan uang dan setiap pagi dita<strong>nyak</strong>an apakah<br />

kami memerlukan uang. Tetapi untuk apa uang? Apa yang hendak<br />

dibeli? Semua yang berarti hanya dapat dibeli dengan kupon yang<br />

sudah ditentukan ba<strong>nyak</strong>nya untuk tiap-tiap barang. Yang dapat dibeli<br />

dengan bebas ialah rokok (dengan menyerahkan kembali bungkusnya<br />

yang kosong), sikat gigi, pasta, minuman keras (sake) tetapi hanya di<br />

restoran yang dibuka dari pukul 7-10 malam.<br />

Barang-barang yang sudah ditentukan kuponnya, biar berapa pun<br />

kita mau membayarnya, tidak dapat kita peroleh karena hukumannya<br />

terlalu berat. (..<br />

Bagaimana ketatnya pengawasan mereka dan bagaimana kepatuhan<br />

rakyatnya, kita saksikan dari pengalaman yang berikut.<br />

Sewaktu kami masih di Tokio, ada kenalan Teuku Nyak Arif<br />

yang mengundang kami makan di rumahnya tetapi dibatasi untuk 4<br />

orang. Teuku Nyak Arif setuju dan mengajak kami (Teuku Hasan,<br />

Sutan Kumala Pontas dan saya) menemani beliau. Tetapi sehari<br />

sebelum perjamuan, datang lagi yang mengundang im ke hotel meminta<br />

waktunya diundurkan 2 hari sebab katanya ia belum mendapat surat<br />

izin dari kepala kampung untuk memotong ayamnya.<br />

Memang soal makanan di Jepang sangat diawasi, maklum dalam<br />

suasana perang. Rombongan kami selama di Jepang hanya dua kali<br />

dalam seminggu makan nasi dan daging, selainnya kentang dan ikan<br />

serta lobak sebagai sayur.<br />

Menjelang akan meninggalkan Tokio, kami dijamu oleh Walikota<br />

256


Tokio. Makanan cukup (nasi istimewa), sehingga Teuku Nyak Arif<br />

mengatakan: "Itu beras dari Aceh." Saya menyanggah: "Itu beras<br />

Tapanuli, sebab bagus." Akhirnya kami sepakat menyantapnya dengan<br />

lahab.<br />

Sebelum jamuan dimulai, walikota berpidato dan begitu selesai<br />

terdengarlah sirene meraung-raung tanda bahaya akan ada serangan<br />

udara. Pembesar-besar Jepang berlarian semua entah ke mana. Tinggallah<br />

dalam ruangan yang besar dan megah im 15 orang dari Sumatera<br />

yang jauh, menikmati nasi yang berasal dari Aceh-Tapanuli.<br />

Apa yang hendak dikatakan, rupanya itulah pertama kali negeri<br />

Jepang didatangi oleh bomber-bomber Amerika yang menjatuhkan<br />

bom-bomnya di Tokio.<br />

Selesai kami makan sekenyang-kenyangnya, sirene tanda aman<br />

berbunyi dan bermunculanlah kembali pembesar-pembesar perang Dai<br />

Nipppon. Mereka heran melihat kami sudah selesai dan mena<strong>nyak</strong>an<br />

apakah kami tidak pergi ke tempat perlindungan itu, maka kami menjawab<br />

seenaknya: "Kami tidak takut kepada Amerika-Inggris."<br />

Perjamuan pun berakhirlah sebab semua pembesar dan walikota<br />

harus memeriksa kotanya yang kena bom.<br />

Kompleks istana Kaisar kami kunjungi dengan dipimpin oleh<br />

seorang pembesar, kompleks ini sangat luas, barangkali sekitar 2 km 2<br />

,<br />

ba<strong>nyak</strong> bangunan di atasnya, tersendiri-sendiri, sangat bersih dan teratur,<br />

ba<strong>nyak</strong> pohon bunga istimewa, Sakura.<br />

Di salah satu bangunan kami disuguhi teh dengan cara yang sudah<br />

terkenal oleh geisha-geisha yang berpakaian cantik-cantik. Tenno Heika<br />

tidak memperlihatkan diri (mungkin kami tidak mau menyembah).<br />

Beberapa tempat peristirahatan juga kami kunjungi, di antaranya<br />

sebuah tempat yang mempunyai pemandangan indah ke arah gunung<br />

Fuji. Gunung Fuji adalah gunung keramat yang dipuja-puja oleh orang<br />

Jepang. Sepanjang tahun berasap dan puncaknya bersalju. Sungguh<br />

suatu pemandangan yang menakjubkan yang menunjukkan kebesaran<br />

Tuhan Pencipta Alam.<br />

Setelah kira-kira hampir semua obyek yang berarti dikunjungi,<br />

rombongan bergerak ke kota-kota lain yaitu ke Yokohama, Osaka,<br />

Nagoia, Kioto.<br />

Tiap kota disinggahi 3 sampai 5 hari. Hanya satu kota besar yang<br />

257


dilewati yaitu Hiroshima, kota yang kemudian terkenal sebab dihancurkan<br />

oleh yang disebut orang "bom atom".<br />

Hiroshima adalah pusat pertahanan kerajaan Jepang. Kereta api<br />

yang melewati kota Hiroshima harus ditutup semua jendelanya, tidak<br />

boleh sam mata pun melihat ke kota tersebut. Bagi kami diberi keistimewaan,<br />

sebab gerbong yang kami tempati dibolehkan lewat dengan<br />

jendela terbuka.<br />

Di Kioto, kota kebudayaan dan bekas ibukota Jepang, kami<br />

melihat ba<strong>nyak</strong> candi dan rumah suci. Semuanya bagus-bagus terletak<br />

dalam lingkungan yang sangat nyaman, membuat kita lupa bahwa<br />

kita berada di rantau orang, jauh dari tanah air dan dalam keadaan<br />

perang yang sedang berkecamuk.<br />

Sesekali kami berpapasan dengan rombongan-rombongan kecil<br />

pemuda-pemuda berseragam tentara yang sebelum berangkat ke medan<br />

laga, ingin berziarah ke tempat-tempat suci, memohon keselamatan<br />

bagi diri mereka masing-masing.<br />

Setelah beberapa kota dijelajahi, akhirnya kami sampai di Shimonoseki,<br />

kota pelabuhan terakhir pulau Jepang terbesar, dari mana<br />

kami akan diberangkatkan pulang ke tanah air.<br />

Kami ditempatkan di suatu hotel kecil (hanya kami tamunya),<br />

yang terletak di atas bukit yang mempunyai pemandangan lepas ke<br />

laut. Hotelnya diatur cara Jepang, tidak ada kursi, duduk di lantai<br />

dengan meja-meja pendek. Semuanya sangat bersih dan teratur; pemilik<br />

dan pelayan sangat hormat kepada tamunya.<br />

Memang selama kunjungan ke negeri matahari terbit ini, kesan<br />

kami ialah bahwa mereka: sangat bersih, ramah dan patuh; rajin (tengah<br />

malam kita dapat melihat mereka masih bekerja di tengah sawah dengan<br />

lampu listrik membasmi hama; perlistrikan telah merata serta sudah<br />

sampai ke kampung-kampung.<br />

Setiap pagi kami memandang ke laut untuk mengetahui apakah<br />

sudah ba<strong>nyak</strong> kapal berkumpul, sebab menurut keterangan, kanü akan<br />

diberangkatkan dengan konvoi.<br />

Perjalanan Pulang yang Menegangkan<br />

Pada malam ketiga di Shimonoseki, kami mendengar siaran radio<br />

(Pemerintah), bahwa perang di Lautan Tengah (Eropa) telah berakhir<br />

258


dengan menyerahnya Italia pada sekutu Amerika-Inggris. Kabar ini<br />

mengejutkan kami dan menjadi pembicaraan hangat di antara anggota<br />

rombongan.<br />

Kami memperkirakan bahwa dengan demikian tentu Inggris akan<br />

membagi armadanya, sehingga tekanan pada front Asia lebih diperhebat.<br />

Timbul pula pikiran bagaimana dengan perjalanan pulang ke<br />

Indonesia. Apakah konvoi yang akan mengangkut kami dapat berlayar<br />

dengan selamat sampai ke tempat tujuan. Tidak lain yang kami<br />

harapkan saat im selain agar keberangkatan kami dipercepat sehingga<br />

gerakan armada sekutu di Asia dapat didahului. Harapan ini tidak<br />

terkabul sebab kami baru diberangkatkan 10 hari kemudian.<br />

Setelah 13 buah kapal berkumpul di pelabuhan, barulah kami<br />

meninggalkan Shimonoseki dengan salah satu kapal yang terkecil di<br />

antara kapal-kapal lainnya. Dalam hati kami sangat mendongkol berlayar<br />

dengan kapal yang kecil, mengingal ombak besar yang akan<br />

dihadapi (ternyata hal ini pula yang membawa keselamatan bagi kami<br />

sebab biasanya kapal-kapal yang besar yang menjadi sasaran utama<br />

pihak lawan).<br />

Pagi-pagi buta, ketiga belas kapal ini bertolak dengan dikawal<br />

sebuah kapal perang besar. Muatan dari kapal-kapal ini ialah pasukan<br />

tentara dan mesiu termasuk kapal kami, sehingga kepada kami diminta<br />

supaya hanya pada tempat-tempat tertentu saja untuk merokok.<br />

Konvoi dengan selamat sampai di Hongkong, kota yang sedang<br />

dilanda kelaparan. Pengemis-pengemis ba<strong>nyak</strong> yang mendekati kapal,<br />

mereka meminta nasi, diberi uang mereka menggeleng dan terus saja<br />

meminta nasi, nasi.<br />

Pada hari kedua di Hongkong, terjadi pemboman di Kanton, kota<br />

yang tidak begitu jauh dari Hongkong. Semua kapal diperintahkan<br />

meninggalkan pelabuhan dan harus berpencar ke berbagai jurusan.<br />

Tidak berapa jauh dari kapal kami bergegas pula sebuah kapal<br />

besar yang sama-sama menghindar menjauhi pelabuhan. Ternyata kapal<br />

itulah yang menjadi sasaran. Kapalnya meiedak akibat bom yang<br />

menghantamnya. Alangkah ngerinya me<strong>nyak</strong>sikan peristiwa itu dalam<br />

jarak yang sangat dekat.<br />

Setelah serangan mereda, kapal-kapal yang luput dikumpulkan di<br />

tengah laut dan beberapa saat kemudian pelayaran diarahkan ke Taiwan.<br />

TEUKU NYAK ARIF - 18 259


Tiga hari di pelabuhan Teihoku (Taiwan), konvoi bergerak lagi<br />

menuju ke selatan. Pelayaran selanjutnya tidak semudah seperti yang<br />

diharapkan; dugaan kami waktu di Shimonoseki ternyata benar, blokade<br />

jalan ke selatan telah diperketat oleh Amerika-Inggris.<br />

Terjadilah petualang konvoi melalui garis Hongkong, Taiwan,<br />

Manila dengan jatuhnya korban yang tidak sedikit.<br />

Sewaktu hendak memasuki perairan Filipina, 3 kapal kena torpedo<br />

kapal selam. Tidak ada kesempatan untuk memberi bantuan,<br />

kareua masing-masing terpaksa menghindar menyelamatkan diri.<br />

Di kapal kami terus-menerus dalam keadaan siap siaga. Setiap<br />

hari kami hanya mendapat jatah satu botol air tawar, satu cawan kecil<br />

nasi dengan beberapa potong lobak asin.<br />

Segala puji kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, akhirnya pada suatu<br />

pagi kami melihat dari kejauhan daratan yang merighijau yang kemudian<br />

kami tandai sebagai pantai Malaya (sekarang Malaysia). J.<br />

Keesokan harinya kami sampai di Singapura; hanya 3 kapal yang<br />

selamat sedangkan kapal perang pengawal entah sudah di mana, tidak<br />

kami perhatikan lagi.<br />

Pelayaran Shimonoseki-Singapura ditempuh selama 42 hari,<br />

sedangkan pada waktu berangkat ke Jepang 12 hari.<br />

Dalam perjalanan pulang itu, kami berada di Singapura selama<br />

satu minggu.<br />

Kami diminta kalau kembali ke daerah masing-masing, jangan<br />

menceritakan bahaya-bahaya yang dialami dalam perjalanan; yang<br />

baik-baik sajalah yang disampaikan.<br />

Melalui Pakanbaru dan Bukit Tinggi, kami sampai di Tarutung.<br />

Rombongan tinggal 15 orang, dari Aceh dan Sumatera Timur.<br />

Setelah menginap di rumah kami 2 malam, dengan terharu kami<br />

meiepaskan keberangkatan Teuku Muhammad Hasan Geulumpang<br />

Payung, Teuku Nyak Arif, Mr. Muhammad Yusuf dan Zainuddin<br />

dengan harapan: Mudah-mudahan bertemu kembali dalam alam Indonesia<br />

merdeka.<br />

260


A<br />

AAY, S J., 36,192<br />

Abdul Abas, Mr., 127<br />

Abdul Aziz, Teuku, 86<br />

Abdul Hamid, Teuku, 10, 127, 146, 167,<br />

231<br />

Abdul Hamid, Tengku Syech, 90,94<br />

Abdul Jalil, Teuku 83,104,105<br />

Abdul Karim, MS., 127<br />

Abdul Latif, 44<br />

Abdullah Lam U. Tengku, 74, 83, 96<br />

Abdul Manaf, 83,142<br />

Abdul Manan, 106<br />

Abdul Muis, 25<br />

Abdul Rachman, Malang Gulumpung,<br />

Dua, 94<br />

Abdul Rozak, 106,185<br />

Abdul Salam, Tengku, 77, 86<br />

Abdussalam, 78<br />

Abdul Wahab, 86,209<br />

Abdul Wahab Seulimeum, 94,130<br />

Abdullah, 119<br />

Abdullah, Guru, 97<br />

Abdullah Indrapuri, H. Teuku, 96<br />

Abdullah Hussain, 216<br />

Abdullah Masri, Kapten, 147<br />

Abdullah, Tengku, 86,172<br />

Abdullah, Tengku Raja, 100<br />

Abdulrachman Peusangan, 125<br />

Abubakar, 127,168<br />

Abubakar Jaar, Mr., 185<br />

Abu Mansur, 78<br />

Aceh Sepintas Lalu, 218, 219,222<br />

Aceh Syurai, 105<br />

Aceh Syu Sangikai, 105,171<br />

INDEKS<br />

Aceh Veereeniging, 15,16<br />

Adinegoro, 172, 187<br />

Agus Salim, 13,185<br />

Ahmad Damanhuri Takengon, 94<br />

Ahmadiyah, 84<br />

Ahmad Jeunieb, Teuku, 89, 98,130,208<br />

A.H. Nasution, DR., ix, 224<br />

Ali, 175<br />

Alibasya Talsya, Teuku, 167<br />

Al Hambra, 217<br />

Ali Hasan, 147<br />

Ali Hasymi; Prof., 121,130,142,168<br />

Ali Keuchik, 216<br />

Ali Musa, 44,58,192<br />

Ali Keureukon, Teuku, 168, 215<br />

Ali Lamlagang, Tengku, 148,167,174<br />

Ali Pangeran, 58,65,76<br />

Al Quran, 18,81,175<br />

Ali Sastroamijoyo, x<br />

Alas, 4<br />

Algemeen bescheuwingen, 191<br />

Altruisme, 54<br />

Ambtenaar, 28,47,66,189,190<br />

Ambtenaar bij de food voorzeining, 14<br />

Ahmad Datuk Majo Urang, 187<br />

Ambon, 136<br />

Amelz, 136<br />

Amir, dr., 173<br />

Amir Hussin Al Mujahid, Tengku 175<br />

Akasah, Lebai, 86<br />

Amura, Drs. H., 184<br />

Amin, T., 227<br />

Andaman, 111<br />

Aneta, 27,189<br />

Angkatan Perang Belanda, 7<br />

Api dalam sekam, 14<br />

261


Apituley, Dr., 57, 76,190<br />

A.R. St. Mansur, 210<br />

A. Rivai, Dr., 38, 190<br />

Arifah Nasri, Cut Nyak, 17,144,146<br />

Aru,3<br />

A.K. Gani, Dr., 127,170, 210, 228<br />

Angkatan Pemuda Indonesia (API), 122,<br />

123, 124, 131, 132, 133, 164, 208,<br />

225,228<br />

Ashari, Teuku, 17<br />

Asmah, Cut Nyak, 9<br />

Assosiatie, 69, 70<br />

A. Syafei,83<br />

A. Syagar, 127<br />

Ad, Teuku, 184<br />

Atjehsche Studie Fond, 78<br />

Atjehsche Voetbal Bond, 87<br />

Aziz (Anzib), Teuku, 99,166, 201<br />

B<br />

Bahder Djohan, 76,181<br />

Bahtiar Idham, 124<br />

Bakhtiar, Mayor, 126, 134, 229<br />

Bali, 186<br />

BalistraatAffair, 227<br />

Bambi, 186<br />

Banda Sri Imeum Muda, Teuku Nyak,<br />

207<br />

Banda, Teuku Nyak, 9,10,146<br />

Banten, 13<br />

Baringeh, Dt. Perpatih, 183<br />

Barisan Pemuda, 121<br />

Barisan Rakyat Indonesia, 118<br />

Barisan Republik Indonesia (BRI), 122<br />

Barus, 4<br />

Basyaruddin, Dr., 185<br />

Bat Nieuws Blad, 188<br />

Batak, 23<br />

Bank Gompong, 30<br />

Beets, 190<br />

Bengkulu, 3, 44<br />

Berge, Ten, 43, 44,190<br />

Bermawi, 127<br />

Betawi, 196<br />

Binjai, 128, 208<br />

Bintang Hindia, 57<br />

262<br />

Bintang Timur, 25, 26, 36, 38, 46, 70,<br />

183,189,190,193<br />

Bireuen, 111, 123, 125, 126, 134, 142,<br />

146, 209,221, 226<br />

BKR, 118,119,121,141<br />

Blaaw, 190<br />

Blang Bintang, 125, 132,226<br />

Bolsyewisme, 62<br />

BPRI, 122<br />

BB (Binnenlandsch Bestuur), 31, 32, 35,<br />

42, 71,187,188<br />

BBI, 118<br />

Bujang, T, 31<br />

Bujang, Teuku, 73<br />

Budi Utomo, 25<br />

B. Mokoginta, 76<br />

Bukittinggi, 11, 12, 13, 23, 103, 109,<br />

112,207, 209<br />

Buloh, 168<br />

Buntai-tyo, 130<br />

Butaico, 124<br />

Bushu-cho, 115<br />

Brandweer, 91<br />

Britisch Indie,<br />

B. Roep, 58<br />

c<br />

Cahaya, Cut Nyak, 10<br />

Cholerisch, 79<br />

Cik Ditiro, 141,168<br />

Cipto Mangunkusumo, 25,30<br />

Cokang, 115, 116, 121, 132, 133, 169,<br />

172,213, 225<br />

Colijn, 47,49,53,54<br />

Controleur, 26<br />

CPOMP (Comité Penolak Ordonansi<br />

Mencatat Perkawinan), 86<br />

Cot Pliing, 104<br />

Couvreur, 32,35<br />

Cultuur Stellsel, 54<br />

Cumbok, Perang, 142, 144, 148, 172,<br />

173, 226, 228<br />

Cuo Sangi In, 112,113,183, 207, 211<br />

Cut Amat, 98<br />

Cut Hasan, Teuku, 82, 86, 87, 89, 93, 96,<br />

100,130, 215, 228


D<br />

Dahler, 59,71<br />

Datuk Kayo, 57, 58,65,185<br />

Datuk Majo Urang, 106<br />

Datuk Rangkayo Marajo, 185<br />

Datuk Tumanggung, 76<br />

Dana Perjuangan, 208<br />

De Hoog, 190<br />

De Jonge, B.C., 68,69, 80,87<br />

Dai Nippon, 97,185<br />

Daud Cumbok, 138<br />

Daud Syah, 147<br />

Daud, Teuku, 10<br />

De Froideville, Monod, 190<br />

DeGraeff,A.C.D., 65,80<br />

Dekker, Couwess, 16, 26, 32<br />

de Savonin Lohman, 54<br />

Desentralisasi, 35<br />

Despotisme, 25<br />

Devide et impera, 81,140,171<br />

de Vries, Dr., 15<br />

Djaafar Hanafiah, 132<br />

Djalil Amin, 216<br />

Djohan, Teuku, 83<br />

Djohan Meuraxa, Teuku, 83,90,101<br />

DI/TII, 220,221<br />

Divisi Pajo Bakung, 141<br />

Donald, 85<br />

DPR, 215<br />

Dullah, Teuku Raja, 76, 86<br />

Dwijosewoyo, 39,57,65,190,191,194<br />

E<br />

Egoisme, 55<br />

Ekstrimistis,43<br />

Emansipasi, 53<br />

Engllenb<strong>org</strong>, 69,193,194<br />

Eri, 130<br />

Etische beleid, 65<br />

Europese Lagere School (ELS), 19, 31<br />

F<br />

Fajar Sidik, 77<br />

F. Laoh, 76<br />

F. Lumban Tobing, Dr. 126, 210<br />

Fonds Kemerdekaan, 137<br />

Fonds Nasional, 137<br />

Fraksi Nasional, 64, 65, 68, 69, 72,207<br />

Fruin, Mr, Dr., 41,47, 49, 53, 68, 69, 72,<br />

190,191,194,196,197<br />

Fujiwara kikan, 99<br />

G<br />

Gampong, 4, 5<br />

GAPI (Gabungan Politik Indonesia), 96<br />

Garot, 125<br />

Gazali, 120<br />

Gazaghebber, 15<br />

Geudong, 90<br />

Gedelegeerde, 69<br />

gerilya, 7,8<br />

gladstone, 84<br />

G. Mulia,Sl., 57<br />

Goedhart, O., 67<br />

Gosenson, G.F.V., 97,101,102<br />

Gowa, 3<br />

Gubernemen, 47<br />

Gulam Ahmad, 83<br />

Gunco, 135,138,169,171<br />

Gunseikanbu, 117<br />

Gouvernement, 83<br />

Gouvernement, besluit, 78<br />

Gouvernement Gebied, 167<br />

Gyugun, 111,112,119,130<br />

H<br />

Habib Abdulrahman, 6<br />

Habib Muhammad Al Habsyi, 221, 222<br />

Hakim.Dr., 127<br />

Hamid, 76<br />

Hamid Azwar, 208<br />

Hamid, Teuku, 111<br />

H. M. Goesmia, 221<br />

H.M. Zainuddin, 16, 147<br />

Hamka, Prof, DR., 85, 180, 212<br />

H.M. Bintang, 78<br />

Hadiwijoyo, Pangeran, 76,189<br />

Hanan, Raden,<br />

Hanafiah, Teuku, 101<br />

263


Hasby Assyidiki, Prof, DR, Tengku, 162<br />

Hasbullah, Indrapuri, Tengku, 74, 83<br />

Hasan, Mr., 170<br />

Hasan, Kruengkale, Haji, Teungku, 18,<br />

83,85,147,171<br />

Handelingen Volksraad, 197<br />

Hasan, gubernur, 126,127<br />

Hasan, Meusigit Raya, Teuku, 85<br />

Hasan Dik, Teuku, 15, 74, 78, 81, 82, 87,<br />

104, 105, 106, 107, 108, 168, 171,<br />

174,175,185<br />

Hasan, Teuku, 127<br />

H.Sutadi,57<br />

Hasyim Naim, H, 214<br />

Helsdingen, 190<br />

Heiho, 112,119<br />

Hens, 20, 21, 71, 79, 127,188<br />

Het Nieuws van Den Dag, 38<br />

Hikajo tokubetsu, 119<br />

Hindun, 166<br />

Han, 190<br />

Historie day, 215<br />

Histirocal day, 215<br />

Havelaar, Max, 15<br />

Hazbullah, Tengku, 86<br />

Hoofdartikel, 189<br />

Hoofd Agent de Reuter, 91<br />

Hollands Inlandsche School (HIS), 13,<br />

30, 49<br />

Hoofdcomite, 76<br />

Hongitochten, 55<br />

Hr, Ms, Wega, 97<br />

H<strong>org</strong>ronye, Snouck, x, 55<br />

Husin AI Mujahid, 142, 143, 144, 147,<br />

148, 164, 165, 172, 216, 217, 219,<br />

220, 222, 229<br />

Husin Trumon, T, 208<br />

Husin Yusuf, 130, 132, 142, 143, 165,<br />

220, 229<br />

I<br />

Ibrahim Alfian, Prof, DR., 6<br />

Ibrahim, Ir., 127<br />

Idham, 182<br />

Idi, 142,143<br />

Idris, T, 12, 184<br />

Imeum, 5<br />

264<br />

Inche Husain bin Awang, 185<br />

Indon meerderheid, 189<br />

Inl meerderheid, 189,192<br />

Ibrahim Lamnga, Tengku, Syech, 97<br />

Ibrahim, T, Raja, 12, 83,184<br />

Indische Katholik Partij, 56<br />

Indische Partij, 25<br />

Indische Staatsregeling, 61<br />

Indracaya, Ir, Tengku, 106,127<br />

Indragiri, 3<br />

Indie Weerbaar, 25<br />

Indische Europeesche Vereeniging (IEV),<br />

49<br />

Ismail Jacob, Tengku, Prof, SH, MA, ix,<br />

77, 78, 94, 109,148,166<br />

Ismail, Teuku, 78<br />

Ismail Usman, 170<br />

Ipoh, 97<br />

Insider, x, 209, 216, 218, 220<br />

Insulinde, 15<br />

Iskandar Ishaq, 182<br />

Iskandar Muda, 3,5<br />

Iskandar Thani, 4, 5<br />

Italia, 6<br />

Interupsi, 63<br />

J<br />

Jahja, 190<br />

Jacub, Raden, 82<br />

Jakarta, 103<br />

Jambi, 3<br />

Jailani, 77<br />

Jambore Hizbul Wathan, 85,94<br />

Jauhari, Cut Nyak, 17,144,146,182<br />

Javasche Bank, 195<br />

Jawa, 13, 23<br />

Jawa Hokokai, 112<br />

Jayadiningrat, 30,57, 76, 190,194<br />

Jazir Burhan, H, Drs., x<br />

Jepang, 7,21, 56<br />

Jeram, 169<br />

Johan Meuraxa, T, 215<br />

Jacobs, Mr., 26, 38, 50, 71, 188, 190,<br />

191,193,194<br />

Jongejans, Y, 91,96<br />

Joekes, 49


Jong Islamieten Bond, 24<br />

Jong Sumatranen Bond, 74<br />

Jonkman, 190,195<br />

Junus Jamil, Tengku, 148,172<br />

K<br />

Tojo Hideki, 108<br />

Kaligis, Dr., 76<br />

Kalimantan, 14<br />

Kamaruddin, 77<br />

Kamarussid, 83<br />

Kan, 51, 61,190<br />

Kapitalisme, 43<br />

Karet rakyat, 44<br />

Kayadu, Dr., 76<br />

Karinding, Raja, 98<br />

Kedehsingel, 173<br />

Kelly, I.E.D., 128,208,225<br />

Keiewang, 224<br />

Kempetai-tyo, 130<br />

Kerkkamp, 190<br />

Keinibu-tyo, 130<br />

Keuchik, 4<br />

Keumiro, 100<br />

Keurukon, 81<br />

Keisatsutai, 119<br />

Ki Hajar Dewantara, 87<br />

Kies, 190,193,194<br />

Kinutai Tokubetsu, 119<br />

Kiotu Tyo, Tyosay, 205<br />

KhatibSulaiman,210<br />

Kohier, Jenderal, 7<br />

Komite Anti Ahmadiyah, 83, 84<br />

Komite van Aksi, 118<br />

Koesoemo Joedo, 190<br />

Kolombo, 223<br />

Komunisme, 46, 51,54, 73<br />

Komala Pontas, St, 106<br />

Kosen Coerosentoni, 182<br />

Konsul Amerika, 6<br />

KNI, 120,141,170,170, 226,227<br />

KNIP (Komite Nasional Indonesia<br />

Pusat), 118<br />

KNIL, 102,119,215<br />

Koningsberg, 55<br />

Kotacene, 102<br />

Kota Gadang, 14<br />

Kota Alam, 220<br />

Korte verklering, 7,8,167<br />

Knottenbelt, Mayor, 128, 129, 148, 203,<br />

208,223, 224,227<br />

KPM, 36<br />

Kraemer, 40,61<br />

Krueng Panjeue, 124<br />

Kuala Simpang, 74,126,128,134, 208<br />

Kuala Buga, 98,102<br />

Kualalumpur, 97<br />

kui, 62<br />

Kusumo Yudo, P, 57,76,190<br />

Kusumo Utoyo, 58, 65,76,190<br />

Kutai, 14<br />

Kutaraja, 9,11,16,18,19, 66, 74, 78, 82,<br />

85, 87, 90, 93, 94, 95, 96, 98, 99,<br />

100, 101, 102, 104, 107, 109, 115,<br />

119, 120, 121, 123, 124, 125, 126,<br />

128, 132, 133, 134, 143, 146, 147,<br />

165, 166, 167, 169, 170, 202, 207,<br />

208, 211, 215, 216, 217, 218, 219,<br />

220,222, 223,226,227<br />

L<br />

Lambaro, 145<br />

Lamjabat, Tengku, 86<br />

Lam Meulo, 75,123,137,138,224<br />

Lam Nyong, 17, 21, 101, 144, 146, 168,<br />

172, 209<br />

Lam Reueng, 140,157<br />

Lam Theuen, 100<br />

Landschapsrecht, 171<br />

Langsa, 74,123,124,126,130,134,229<br />

last but not least, 216<br />

Leman, Pawang, 216<br />

Leman, Teuku, 11<br />

Leupung, 216<br />

Lighart, 39,190,191,195,196<br />

Lhok Nga, 83, 123, 124, 125, 131, 160,<br />

216,226<br />

Locale Belangen, 198,199<br />

Lhok Seumawe, 16, 18, 74, 104, 124,<br />

126,132,134,225<br />

Looh, F, 25<br />

Luat Siregar, Mr., 126<br />

265


M<br />

Maharaja, Teuku, 17<br />

Mahmud, Tuanku, 12, 16, 77, 78, 79, 93,<br />

94, 100, 120, 121, 130, 137, 147,<br />

184,228<br />

Mahyuddin, Dr., 144,182, 209<br />

Makassar, 103<br />

Malaka, 3<br />

Malaya,3, 97, 98. 111,135<br />

Malik, Kaiboho, 121<br />

Mandagie, PA, 39, 57, 69,190,193,194<br />

Maneh, Cut Nyak, 11<br />

Mansur, Nyak, 147<br />

marhaban, Syech, 147, 216<br />

Mariah, Cut Nyak, 10<br />

Mas Tahir, 127<br />

Massale Volksbeweging, 100<br />

Masy<strong>arif</strong>, 127<br />

Masykuri, BA, x<br />

Matahari Indonesia, 77<br />

Mataram, 3<br />

Materialisme, 54<br />

Matsubuchi, 130<br />

Mat Rahmany, Tjik, 164<br />

Max, 15<br />

M. Amin, 130<br />

MBAL,215<br />

Manado, 130<br />

Merchantilisme<br />

Meulaboh, 83, 98,124,209<br />

Meunasah, TEngku, 4<br />

Midden dorp, 35,58, 90,190<br />

M. Aziz (Anzib), 166<br />

M. Daud, Tengku, 94<br />

M. Damrah, 183<br />

M. Hasan, 185<br />

M. Junus Jamil, 214<br />

M. Nur E.l Ibrahimy, x, 94, 97. 215, 218,<br />

219, 220,221<br />

M. Rasyid, Mr., 185<br />

M. Sahim Hasymi, 165<br />

M. Saleh Rahmany, 166<br />

M. Sunyata, Drs.,x<br />

M. Amin, Teuku, 94<br />

M.H. Thamrin, 20, 40, 57, 64, 72, 76, 87,<br />

94,190,195<br />

266<br />

Moh. Abduh, 87<br />

Moh. Ali Lamsie, Teuku, 85,94<br />

Moh. Amin, Tengku 83<br />

Moh. Ali, Teuku, 12,137, 147, 167, 169,<br />

172,190<br />

Moh. Arifin, Tengku, 14,184<br />

Moh Daud Beureueh, Teungku, 18, 74,<br />

86, 90, 94, 95, 97, 120, 121, 136,<br />

141, 145, 148, 149, 164, 166, 208,<br />

211,225,228<br />

Moh. Hanafiah, T, 85, 86,94,127<br />

Moh. Djuned, 166<br />

Moh. Hatta, Drs., 103,118,134,210<br />

Moh. Amrin, Raden, 127<br />

Moh. Hasyim, 120,121<br />

Moh. Said, 31<br />

Moh. Hasan Glumpong Payong, Teuku,<br />

77<br />

Moh. Damrah, 183<br />

Moh. Syafei, 106,127,185, 210, 212<br />

Moh. Syah, Teuku, 164<br />

Moh. Sy<strong>arif</strong>. 106<br />

Moh. Syarnan, Syech, 167<br />

Moh. Toha, 86<br />

Moh. Wan Goh, 223, 224,227<br />

Moh. Yusuf, Teuku, 10, 83,106,126<br />

Moh. Zain, 76<br />

Meureudeu, 111<br />

Meusigit Raya, Teuku, 94<br />

M. Rasyid Manggis, 107,184<br />

Minahasa, 136,144<br />

Minangkabau, 4,17, 80,182,195,209<br />

Mohammad, 216<br />

Moelia, 190<br />

Montasick, 216<br />

Muawiyah, 173<br />

Muchtar, 57, 58, 67,76,190<br />

Muhammadiyah, 19, 74, 80. 82, 85, 86,<br />

87, 94, 95, 110, 111, 138, 144, 173,<br />

182<br />

Mukim, 4, 5,10, 12, 17, 23, 27, 91, 94,<br />

144, 147, 166, 168, 173, 201, 205,<br />

209,213, 216<br />

MULO, 18,167<br />

Museum Nasional, ix<br />

Monopoli, 3<br />

Monte Carlo, 31<br />

Muzakar Malad, 163


N<br />

Natar Zainuddin, 142<br />

Nationale Indische Partij (NIP), 15, 213<br />

Nanggro, 4, 5<br />

Nazaruddin Syamsuddin, Dr., ix<br />

Nedeal gedochte, 195.196<br />

Nederlandsch Indie, 34, 35<br />

Neh Rika, Nyak, 119,130,142,214<br />

Nero, 33<br />

NIAS, 78<br />

NICA, 135,143,147, 225, 226, 227<br />

Nieuwenhuis, 51<br />

Nikobar, 111<br />

Nitobe, 55<br />

Ngabang, 14<br />

NoordinSufi,227<br />

Notosusanto, Prof, Mr., 213<br />

NRI, 222<br />

O<br />

Oki, E, 105<br />

Omura, Kolonel, 125<br />

Onwerp, 191,199,194,195<br />

Onder afdelling, 24,37<br />

Onze Koloniën, 37<br />

Oppenheidn, Prof, 38,58,190,191,193<br />

Opziener, 78<br />

Osman Jacob, Teuku, 163<br />

OSVIA, 14,184, 200,205<br />

Otokratis, 43<br />

Otto Subrata, 76<br />

Overrijp, 195<br />

P<br />

Padang, 200<br />

Padangtiji, 125<br />

Pamong Praja, 12, 28, 33,56, 200<br />

Pantai Barat Sumatera, 3<br />

Pandra, 111<br />

Panglima Polim, Teuku, 82, 86,120,137,<br />

138,215<br />

P. Aryo Kusumadiningrat, 25<br />

PEB (Politik Economische Bond), 46, 53,<br />

57, 58, 70, 71,199,194<br />

"PEB" Orgaan van Den Ned. Ind. Pol.<br />

Economit Bond, 71, 187, 188, 189,<br />

193<br />

PETA (Pembela Tanah Air), 112,119<br />

Penang,6,97<br />

Pekanbaru, 109<br />

Peukan Cunda, 124,225<br />

Peusangan, 90<br />

Peureulak, 16, 26<br />

Perak Malaya, 4<br />

Persatuan Ulama Aceh (PUSA) 94, 95,<br />

98, 122, 123, 124, 125, 132, 138,<br />

139,140, 148, 173, 214,225<br />

Perjanjian Versailles, 60<br />

Perserikatan Minahasa, 25<br />

Peutua Husin, 126,134<br />

Perlak, 168<br />

Pejambon, 185<br />

Pers Compleet, 188<br />

PESINDO, 122,141,142, 216,226<br />

PKI, 142<br />

Perang Cumbok, 124<br />

Petisi Sutarjo, 96<br />

Pewarta Deli, 67<br />

Pidie, 4,124,143<br />

PID, 82, 201<br />

Piekaar, A.J.,200<br />

Pirngadi, Raden, 127<br />

Parada Harahap, 108,185<br />

Pauw, Bircun, J, 91, 96, 190, 203<br />

PARINDRA, 94<br />

Podihang, 130<br />

Portugis, 3, 6<br />

PNI (Partai Nasional Indonesia), 61, 65,<br />

67,164,215<br />

Politik Etisch, 69<br />

Plymouth<br />

Prinsenbond, 25<br />

PSIL96<br />

Pulau Andalas,T85<br />

Pulau Pinang, 212<br />

Pulau Weh, 135<br />

PRI, 225<br />

R<br />

Raad Van Indie, 71,75,76,188<br />

Rahman Putera, 215<br />

TEUKU NYAK ARIF-19 267


Rahman, T, 12, 184<br />

Rageering, 187<br />

Rajalis, 120<br />

Raja Matahari, 15<br />

Ramdlon Maning, SH, 215<br />

Rajiman, Dr., 63,76<br />

Rasyid Manggis, x<br />

Ranneft, Meyer, 190,191<br />

Rayeuk, Cut Nyak, 10<br />

Rayeuk Lhong, Teuku,82<br />

Rayeuk, T, 12,184<br />

Ratulangi, 58,190<br />

Razali, 124<br />

redennar, 167<br />

R. Engsoro, 147<br />

Regentenbond, 25<br />

Rencong, 21,46,52, 58, 225<br />

Rida, 164<br />

Roep, 190<br />

R.P. Suroso, 57, 65, 72,181, 215<br />

RPNL Tobing, 106,183<br />

R.T. Danusogondo, 25<br />

R.T. Sumanegara, 86<br />

Rustam Effendi, 182<br />

S<br />

Sabang, 102,135,143,206<br />

SACSEA, 128, 223, 222<br />

Sagimun, MD, x<br />

Said Ali, 119,130,147<br />

Said Moh. Al Habsyi,86<br />

Said Abubakar, 98,130,146,147<br />

Saib Abdul Aziz, T, 12,183<br />

Said Usman, 119,123,130<br />

SDAB, 60<br />

Sago (sagi), 5,10,11,16,26<br />

Saman, Syech Tengku, 82,83,86<br />

Samalanga, 80<br />

Said Abdullah, 132<br />

Sagi hoofd, 187,188<br />

Sahir, dr., 127<br />

Sahlan Saidi, Kapten, BA, 207<br />

Sam Ratulangi, Dr., 20<br />

Samsiah, Cut Nyak, 10<br />

Samudera Pase, 4<br />

Sambas, 13<br />

268<br />

Saleh Rahmany, 216, 227<br />

Sanusi Sanin, xi<br />

Sangikai, 115, 207,211<br />

Saoni, 121<br />

Sarekat Islam (SI), 25, 73<br />

Sarung, Tengku Nyak, 83,87<br />

Sato, 107,108<br />

Saudin, Dokter, 227<br />

Schumtzer, 190<br />

Seikere, 107, 108,184<br />

Sekolah Rakyat, 207<br />

Sekolah Dasar, 11<br />

Semenanjung Melayu, 3, 97<br />

Suroso, 39, 38, 41,190,191,194<br />

Seulawah, 228<br />

Seulimeum, 98, 100, 104, 123, 130, 132,<br />

169, 208,216<br />

Sidikalang, 98<br />

Silent masses, 62<br />

Serang, 14, 22,184,207<br />

Soekarno, Ir., 103, 118, 128, 134, 173,<br />

204<br />

Soewardi Suryadiningrat, 25,30<br />

Sumpah Pemuda, 45, 81<br />

Sosrodiprodjo, 190<br />

Singapura, 6,97,107,111,168,185,186<br />

Sujono, 190, 194<br />

Sigli, 19, 74, 95, 104,123, 124,132,146,<br />

147,169, 225, 226,228<br />

Sinar Deli, 196,197<br />

Suluh Merdeka, 211<br />

Sunda, 13, 23<br />

Sumatera Timur, 13<br />

Sukawati, 39,69,193,194<br />

Sutadi, 65,190<br />

Sulaiman, Sutan, 77<br />

Sudono, Dr., 183, 209<br />

S.M. Amir., 85,88,95,147,149,181<br />

Sutikno Padmosumarto, 87,147,182<br />

Sutarjo, 96,108<br />

Shu Cokang, 104<br />

Sutomo, Dr., 83,97<br />

Suwardi, 77<br />

Staats Commissie, 193<br />

Studenten Rechtschoogensschool, 198<br />

Sungai Tamiang, 126,134<br />

Sutrisno Kutoyo


Surahman, BA, c<br />

Suangkupon, 38, 39, 57, 58, 65, 69, 76,<br />

127,190,191,192,194,198<br />

Staal, 43<br />

Stokvis, 39, 58, 71,190,195<br />

Syamaun Gaharu, 119, 121, 122, 123,<br />

124, 126, 130, 131, 133, 141, 142,<br />

143, 163, 173, 208, 209, 216, 217,<br />

218,219, 226, 227,228,229<br />

Spectator, 32<br />

SyarikatAceh, 15,74<br />

Syamsul Bahri, Teuku, 18,144,146,164<br />

Syamsuddin, 106<br />

Syonan, 185,186<br />

Syutyokan, 130<br />

Suyono, 58, 76<br />

Swaparaja, 28, 31, 33, 34,53 .<br />

T<br />

TA. Talsya, ix, 212<br />

T.A. Hamid, Mayor, 130<br />

T. Abdullah, 124<br />

Talma, 62<br />

Tamiang, 4, 98<br />

Taman Siswa, 18,87,167,182<br />

Tanah Aboe, 100<br />

Tanah Arab, 29<br />

Tanah Rencong, 12,184<br />

Takengon, 74, 126, 134, 141, 144, 146,<br />

172,183, 209<br />

Tanjung Tiram, 102<br />

Tan Malaka, 194<br />

Tapanuli, 210<br />

Tapak Tuan, 26, 36, 71,188<br />

Tayeb, Teuku, 188<br />

Tengoh, Cut Nyak, 10<br />

Tengoh, Teuku,77<br />

Teungoh Meuraxa, Teuku, 85, 94<br />

Terauci, 118<br />

Teuku Dua Ploh Nam, 168<br />

Tennohaika, Kaisar, 107,185<br />

Tiggelman, 100<br />

Tionghoa, 191<br />

Tjia Tjeng Siang, 190<br />

TM. Alibasya, 12,184<br />

T.M. Hanfiah, 93<br />

T. Hamid Azwar, 119,133<br />

T. Mohammadsyah, Kapten, 130, 132,<br />

133<br />

T.M. Syah, 126,226<br />

T. Pasih Sulaiman, 125<br />

T. Sarong, 201<br />

Tituler, Mayor Jenderal, 207, 208, 209,<br />

229<br />

Tungkop, 201<br />

T.H.S. Delf, 18<br />

TT. Muhammad Thayeb, 16,27,28<br />

TKR, 122, 123, 124, 125, 126, 130, 132,<br />

133, 134, 137, 138, 139, 141, 142,<br />

143, 144, 163, 164, 208, 209, 226,<br />

228<br />

TNI, 221,222<br />

TPPM Ali, 228<br />

TPR, 142, i43, 144, 165, 172, 173, 208,<br />

209, 216, 217, 218, 220, 222,229<br />

Traktat, Sumatera, 6<br />

TRI, 217,219, 221,222<br />

Trip, Mr., 38, 40<br />

Truman, 4<br />

Tusbasya, 214<br />

Turki, 6<br />

Toelstra, 60<br />

Tweek Kamer, 75<br />

u<br />

Ubit, Cut Nyak, 11<br />

Uiterking, 189<br />

Ujung Bate, 102<br />

Uleebalang, 5, 7, 8, 9, 17, 28, 67, 73, 74,<br />

78, 77, 80, 82, 83, 86, 87, 89, 93, 98,<br />

125, 137, 138, 139, 140, 141, 142,<br />

144,148<br />

Ule Lheue, 10, 89, 91, 97,125,133,226<br />

Umar Ali, T, Drs., v, 18<br />

Umar Husni, 216<br />

Umar, Teuku, 23<br />

Umar, Nyak, 121,149,166<br />

Unang, Cik, 77<br />

Universitas Utrecht, 53<br />

Usman, A., 94,213<br />

Usman Lam Oh We, Tengku, 94<br />

Usman, Nyak Gade, 119<br />

usman Raliby, 163<br />

Usman, T, 12,15,184<br />

269


V<br />

Van Dalen, 9<br />

Van Baaien, 49, 51,190,191<br />

Van den Bosch, 60<br />

Van der Velde, dr.,82<br />

Van Heutz, 89<br />

Van Lonkhuyzen, 190<br />

Van Kol, 36,55<br />

Van Limburg Stirum, J.P. Graaf, 26<br />

Van Sperling, 100<br />

Van Treub, 40,42<br />

Van Zalinge, 190,191<br />

Verklaring<br />

Verhoof, Arie, 90,91<br />

Verdeel en heerst, 174<br />

visser B.J.<br />

Voklsraad, 25, 26, 27, 34, 38, 39, 40, 41,<br />

45, 46, 47, 53, 58, 60, 61, 64, 65, 66,<br />

67, 68, 69, 70, 72, 74, 75, 77, 79, 80,<br />

87, 90, 93, 94, 96, 112, 167, 181,<br />

182, 183, 185, 188, 189, 190, 191,<br />

193,194,196,197,198,215<br />

VOC, 34<br />

Voderlandsche Club (WC), 65,69,196<br />

Voor de vuis, 168<br />

Vlootwet, 190<br />

Voorstel Regeering, 191,193<br />

Voorsitter Hoofdbestuur, 193<br />

Voorzitter Vaderlandsche Club, 196<br />

w<br />

Waki Harun, 101<br />

Waspada, Harian, 215, 218<br />

Wetsontwerp, 193<br />

Wilde Schooien Ordonantie, 87<br />

Wiranatakusuma, 56<br />

Wonosobo, 190<br />

Y<br />

Yahya, Raden, 94<br />

Yazid, 17<br />

Yogyakarta, 215<br />

Yo Heng Kam, 71<br />

270<br />

z<br />

Z. Abidin, 78<br />

Zainuddin, 106<br />

Zainul Abidin Pasaribu, 82<br />

Zaalber, 192<br />

Zakaria Ahmad, Drs., ix<br />

Zeer juist, 197<br />

Zelfbestuurende Landschapen, 169<br />

Zelfbestuurder, 17,138<br />

Zending, 47<br />

Zentgraaf, 65<br />

Zuiderhoff, 49,58,63, 71,192,193,196<br />

Zeylings, 55


LAMPIRAN GAMBAR TEUKU NYAK ARIF<br />

HALAMAN BERGAMBAR<br />

271


I<br />

fa<br />

1. Rumah kediaman Teuku Nyak Arif di Lamnyong, sekarang dipergunakan oleh Universitas Syah<br />

Kuala untuk Kantor Penelitian Hukum Adat.<br />

2. Rumah Kediaman Teuku Nyak Arif di Kedah Single, Kotaraja.<br />

273


274<br />

111 c<br />

Éll «<br />

H é<br />

c<br />

•a<br />

•3<br />

•S<br />

3<br />

•O<br />

'rt'<br />

3<br />

Ui «><br />

tilt<br />

I I<br />

«<br />

Z<br />

fS<br />

-C<br />

I<br />

ca<br />

f<br />

—<br />

rt<br />

ê<br />

a<br />

• *<br />

8<br />

'Sb<br />

c<br />

rt<br />

«5<br />

C/3<br />

rt<br />

«<br />

00<br />

00<br />

s<br />

co<br />

rt<br />

fs<br />

< p


t<br />

1<br />

ë<br />

00<br />

H<br />

O<br />

a<br />

00<br />

e<br />

1<br />

O.<br />

£<br />

3<br />

3<br />

u<br />

O<br />

§<br />

i<br />

s<br />

J<br />

3<br />

c<br />

I<br />

Ë<br />

ja<br />

"5<br />

c<br />

'3.<br />

E<br />

'B.<br />

oó<br />

c<br />

rt<br />

a<br />

a><br />

u<br />

.5<br />

00<br />

c<br />

3<br />

•fl 1<br />

3<br />

.9<br />

ü s<br />

rt<br />

rt rt<br />

§z<br />

I 5<br />

C/3 3<br />

a<br />

£<br />

« 1~<br />

l i<br />

1]<br />

06 "O<br />

TT<br />

275


276<br />

t<br />

IS<br />

3<br />

•o<br />

i «<br />

S,<br />

•s<br />

>><br />

z<br />

1<br />

•S<br />

Ë<br />

5<br />

V<br />

i<br />

1<br />

i<br />

M<br />

'ET


6. Tengku Ali Hasjmi, Ketua Majelis Ulama Aceh sedang membaca doa di depan makam Teuku<br />

Nyak Arif pada waktu pemugaran makam.<br />

7. Di antara para hadirin pada waktu pemugaran makam Teuku Nyak Arif 17 September 1991.<br />

277


j 8. Dari kiri kekanan: Prof. Dr. lsmuha, Brigjen (Pum). Syamaun Gaharu (Mantan Panglima<br />

Kodam UIskandarMuda), Teuku Syamsul Bahri (putra Teuku Nyak Arif), Sanusi Wahab, Bupati<br />

Aceh Besar pada waktu pemugaran makam Teuku Nyak Arif.<br />

9. GenerasimudaAcehmengadakanperjalanannapaktihsmengenangTeukuNyakArifFebruari<br />

1992, dari Blang Padang ke Lamreung.<br />

278


0. Upacara pada waktu diselenggarakan napak tilas mengenang Teuku Nyak Arif, dari kin,<br />

Kapolda Aceh, Kolonel Polisi Satuan dan Bapak Ibrahim Kaoi, Kakanwil Depdikbud Aceh.<br />

279


280

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!