unud-110-718006949-pengembangan%20csr%20dalam%20thk.pdf
unud-110-718006949-pengembangan%20csr%20dalam%20thk.pdf
unud-110-718006949-pengembangan%20csr%20dalam%20thk.pdf
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
1. Permasalahan.<br />
1.1 Latar Belakang Masalah.<br />
BAB I<br />
PENDAHULUAN<br />
Pembangunan nasional pada hakekatnya adalah rangkaian perubahan yang<br />
dilakukan secara menyeluruh terarah dan berencana dalam rangka mewujudkan<br />
masyarakat yang dicita-citakan yaitu masyarakat yang memiliki keseimbangan antara<br />
kebutuhan lahiriah dan bathiniah. Tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah<br />
untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia baik materiil maupun spiritual,<br />
yaitu dengan tersedianya kebutuhan pokok sandang (pakaian), pangan (makanan),<br />
dan papan (rumah) yang layak. 1<br />
Oleh karena itu pembangunan nasional mesti mengacu pada konsep<br />
pembangunan yang utuh menyeluruh dan melibatkan peran aktif masyarakat. Tanpa<br />
peran aktif masyarakat, maka pembangunan nasional akan mengalami hambatan dan<br />
bahkan kegagalan.<br />
Pengalaman membangun pada masa yang lalu dan timbulnya krisis yang<br />
berkepanjangan dapat digunakan sebagai pelajaran bahwa disamping keberhasilan<br />
mencapai tujuan pembangunan, proses dan cara mewujudkan tujuan pembangunan<br />
ekonomi tersebut tidak kalah pentingnya. Pembangunan pada bidang ekonomi<br />
merupakan penggerak utama pembangunan, namun pembangunan ekonomi ini harus<br />
1 Janus Sidabalok, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.1<br />
1
disertai upaya saling memperkuat, terkait, serta terpadu dengan pembangunan bidang<br />
lainnya. 2 Secara normative, untuk membangun perekonomian yang kuat, sehat dan<br />
berkeadilan, pembangunan ekonomi harus dilaksanakan berlandaskan aturan main<br />
yang jelas, etika dan moral yang baik, serta nilai-nilai yang menjungjung tinggi hak<br />
asasi manusia serta persamaan derajat, hak dan kewajiban warga negara setiap rakyat<br />
Indonesia.<br />
Apabila dikaji perjalanan pembangunan di Negara Indonesia, titik berat<br />
pembangunan adalah di bidang ekonomi, dengan maksud apabila pembangunan<br />
ekonomi berhasil, maka akan berakibat kepada bidang-bidang pembangunan lainnya.<br />
Oleh karena itu maka untuk menjamin adanya pembangunan ekonomi yang baik<br />
maka diperlukan adanya aturan hukum yang jelas, dan untuk mewujudkan hal<br />
tersebut maka sudah sepantasnya para ahli hukum diajak secara aktif integrative<br />
untuk merumuskan berbagai kebijakan di segala bidang pembangunan. 3<br />
Berkembangnya perekonomian dalam suatu negara sangat ditunjang oleh<br />
kemajuan yang dialami oleh suatu perusahaan yang ada di negara tersebut, oleh<br />
karena itu organisasi dalam sebuah perusahaan merupakan komponen yang sangat<br />
menunjang untuk tercapainya visi dan misi perusahaan dalam menghadapi dan<br />
mengantisipasi berbagai persaingan, baik ditingkat lokal maupun global. 4<br />
2 Johannes Ibrahim, Lindawati Sewu, 2007, Hukum Bisnis Dalam Perspektif Manusia Modern,<br />
Penerbit Refika Adi Tama, Bandung, hal.23<br />
3 Habib Adjie, 2008, Status Badan Hukum, Prinsip-Prinsip dan Tanggung Jawab Sosial Perseroan<br />
Terbatas, Penerbit Mandar Maju, Bandung, hal.53<br />
4 Johannes Ibrahim, 2006, Hukum Organisasi Perusahaan Pola Kemitraan dan Badan Hukum,<br />
Penerbit Refika Adi Tama, bandung, hal.1<br />
2
Berkembangnya berbagai perusahaan tersebut berdasarkan kepada konsep<br />
ekonomi yaitu mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya dengan pengeluaran<br />
yang serendah-rendahnya. Sejak lama dunia usaha percaya bahwa satu-satunya<br />
tanggung jawab mereka adalah membuat keuntungan bagi pemodalnya, banyak<br />
anggota masyarakat ataupun pemerintah yang mendirikan perusahaan hanya<br />
mengejar target mencari keuntungan, dan mengabaikan aspek-aspek lain yang<br />
sebenarnya sangat vital bagi perusahaan terkadang diabaikan, misalnya hak-hak<br />
karyawan perusahaan, upah karyawan yang murah dijadikan alasan untuk mendirikan<br />
perusahaan, sumber daya alam yang melimpah diolah tanpa memperhatikan aspek-<br />
aspek lingkungan hidup. Dengan mengabaikan berbagai aspek tersebut perusahaan<br />
bisa meraih keuntungan yang maksimal, artinya tanggung jawab ekonomi dari<br />
perusahaan dapat dikatakan berhasil.<br />
Untuk menjaga kesinambungan hidup perusahaan, perlu diterapkan prinsip<br />
Good Corporate Governance (GCG) yaitu seperangkat aturan yang dijadikan acuan<br />
manajemen perusahaan dalam mengelola perusahaan secara baik, benar, dan penuh<br />
integritas, serta membina hubungan dengan para stakeholders, guna mewujudkan<br />
visi, misi, tujuan, dan sasaran perusahaan yang telah ditetapkan, baik dalam jangka<br />
pendek maupun jangka panjang, yang menekankan pada prinsip akuntabilitas<br />
(accountability), kemandirian (independency) transparansi (transparansy),<br />
3
pertanggungjawaban (responsibility) dan kewajaran(fairness), karena dengan<br />
tercapainya GCG perusahaan dapat menciptakan lingkungan kondusif terhadap<br />
pertumbuhan usahanya yang efesien dan berkesinambungan. 5<br />
Sebenarnya tanggung jawab perusahaan tidak hanya berupa tanggung jawab<br />
ekonomi saja, akan tetapi juga mempunyai tanggung jawab sosial (Corporate social<br />
responsibility/ CSR) yang berkaitan dengan segala aspek yang menunjang berhasilnya<br />
perusahaan tersebut. Tanggung jawab sosial dunia usaha telah menjadi suatu<br />
kebutuhan yang dirasakan bersama antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha<br />
sendiri berdasarkan prinsip-prinsip saling menguntungkan (kemitraan). Tanggung<br />
jawab sosial perusahaan memberikan implikasi positif bagi peningkatan<br />
kesejahteraan masyarakat, meringankan beban pembiayaan, pembangunan<br />
pemerintah, memperkuat investasi dunia usaha, serta semakin kuatnya jaringan<br />
kemitraan, antara masyarakat , pemerintah, dengan dunia usaha. 6<br />
Konsep awal CSR secara akademisi diperkenalkan oleh Howard R. Bowen<br />
melalui karyanya yang berjudul “Social Responsibilities of the Businessmen” Bowen<br />
telah memberikan landasan awal bagi pengenalan kewajiban pelaku bisnis untuk<br />
menetapkan tujuan bisnis yang selaras dengan tujuan dan nilai-nilai masyarakat.<br />
Bowen mengacu kepada kewajiban pelaku bisnis untuk membuat dan melaksanakan<br />
kebijakan, keputusan dan berbagai tindakan yang harus mengikuti tujuan dan nilai<br />
5 Johannes Ibrahim, Op. Cit. hal.70<br />
6 Isa Wahyudi, Busyra Azheri, 2008, Corporate Social Responsibility, Penerbit In- Trans<br />
Publishing, hal. 15<br />
4
nilai dalam suatu masyarakat 7 .<br />
Berkembangnya konsep awal CSR tidak terlepas dari pemikiran para pemimpin<br />
perusahaan yang pada zaman itu menjalankan usahanya dengan mengindahkan pada<br />
konsep Derma (charity) dan prinsip perwalian(stewardship principle). Kemudian<br />
periode awal tahun 1970-an mencatat babak penting perkembangan konsep CSR<br />
ketika para pimpinan perusahaan terkemuka di Amerika Serikat membentuk<br />
Committee for Economic Development (CED). Dalam salah satu pernyataan CED<br />
menyatakan bahwa kontrak sosial antara masyarakat dan pelaku usaha telah<br />
mengalami perubahan yang substansial dan penting. Pelaku bisnis dituntut untuk<br />
memikul tanggung jawab yang lebih luas kepada masyarakat dibandingkan waktu-<br />
waktu sebelumnya serta mengindahkan beragam nilai-nilai manusia. Perusahaan<br />
diminta untuk memberikan kontribusi lebih besar bagi kehidupan bangsa Amerika<br />
dan bukan sekedar memasok sejumlah barang dan jasa. 8<br />
Praktek perusahaan-perusahaan di Eropah dan Amerika Serikat (perusahaan<br />
transnasional) menunjukan bahwa norma-norma CSR dicantumkan dalam Code of<br />
conduct, dan merupakan satu tipe regulasi internal yang mampu diterapkan dan<br />
diberlakukan pada perusahaan yang globalised. Konsep CSR atau<br />
pertanggungjawaban sosial di negara-negara maju seperti Eropah dan Amerika<br />
Serikat diberlakukan dan bersifat sukarela<br />
7 Ibid. hal.19<br />
8 Ismail Solihin,2008, Corporate Social Responsibility, from Gharity to Sustainability, Penerbit<br />
Salemba Empat, Bandung, hal. 21<br />
5
atau voluntary. 9<br />
Berlakunya secara voluntair CSR di negara-negara maju tentu saja menjadi<br />
wajar-wajar saja dan tidak terlalu istimewa, terutama jika praktek tersebut dikaitkan<br />
dengan berbagai difinisi tentang CSR yang dapat dijumpai dalam beberapa literatur.<br />
Word Bank mendifinisikan CSR sebagai “the commitment of business to contribute to<br />
sustainable economic development working with employees and their representatives<br />
the local community and society at large to improve quality of life, in ways that are<br />
both and good for business development”<br />
Wineberg dan Rudolph, Corporate Social Responsibility –What Every In<br />
House Counsel Should Know” mengatakan bahwa CSR adalah “The countribution<br />
that a company make in society trough its core business activities, its social<br />
investment and philanthropy programs, and its engagement in public policy” 10<br />
Dari difinisi tersebut terdapat adanya konsep Corporate Philanthropy (CP)<br />
yaitu kedermawanan perusahaan dan komitmen perusahaan dalam memberi<br />
kontribusi untuk kemajuan atau peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat,<br />
sehingga wajar jika praktek penerapan CSR di Negara-negara maju ditetapkan secara<br />
sukarela atau voluntary.<br />
Perkembangan CSR di manca negara saat ini sangat popular. Di beberapa<br />
negara CSR digunakan sebagai salah satu indikator penilaian kinerja sebuah<br />
9 Ibid.<br />
10 Supasti Darmawan, Ni Ketut, 2009, A Hybrid Framework Suatu Alternative Pendekatan CSR<br />
(Corporate Social Responsibility) Di Indonesia, Makalah Dalam DISEMINASI REKOMENDASI<br />
BAGI PEMBAHARUAN HUKUM DI INDONESIA, Kerjasama Komisi Hukum Nasional RI dengan<br />
FH UNUD BALI, Ina Sindhu Beach Sanur Bali, 16 November 2009, hal 3<br />
6
perusahaan dengan dicantumkannya informasi CSR di catatan laporan keuangan<br />
perusahaan yang bersangkutan.<br />
Krisis finansial global yang melanda dan melumpuhkan sendi-sendi<br />
perekonomian global hampir keseluruh negara di dunia, mengakibatkan menurunnya<br />
laju globalisasi dalam perekonomian Indonesia. Oleh karena itu sangat penting<br />
khususnya bagi kelangsungan pembangunan perekonomian Indonesia untuk<br />
mewujudkan suatu system perekonomian yang berpihak kepada rakyat. Untuk ini<br />
pemerintah telah melakukan penguatan pada dasar-dasar kebijakan, khususnya dalam<br />
bentuk peraturan di bidang ekonomi untuk menjaga keseimbangan dunia usaha agar<br />
para pelaku usaha dapat bersaing dengan sehat , dan adil tanpa menimbulkan<br />
kerugian dan kesengsaraan bagi rakyat dan kerusakan lingkungan sekitarnya.<br />
CSR telah diterapkan oleh sejumlah perusahaan multinasional dan nasional di<br />
Indonesia. Umumnya kepatuhan dalam pelaksanaan CSR dikaitkan dengan program<br />
Community Development (CD) dan dalam kerangka pembangunan yang<br />
berkelanjutan (sustainable development). 11 Namun masih banyak perusahaan yang<br />
tidak mau menjalankan CSR, hal ini disebabkan karena perusahaan-perusahaan<br />
tersebut hanya melihatnya sebagai pengeluaran (beban) biaya. CSR dianggap tidak<br />
akan memberikan hasil baik langsung maupun tidak langsung pada keuangan<br />
perusahaan di masa mendatang. Disisi lain investor juga ingin agar investasinya dan<br />
kepercayaan masyarakat terhadap perusahaannya memiliki citra yang baik di mata<br />
11 Mardjono Reksodiputro, 2005, Sektor Bisnis (Corporate) Sebagai Subyek Hukum Dalam Kaitan<br />
Dengan HAM, Penerbit Refika Aditama, hal. 73<br />
7
masyarakat umum. Oleh karena itu program CSR lebih tepat bila digolongkan<br />
sebagai investasi dan harus menjadi strategi bisnis dari suatu perusahaan.<br />
Gerakan CSR yang berkembang pesat selama dua puluh tahun terakhir ini lahir<br />
akibat desakan organisasi-organisasi masyarakat sipil dan jaringannya di tingkat<br />
global. Keprihatinan utama yang disuarakan adalah perilaku korporasi, demi<br />
memaksimalkan laba, lazim mempraktekkan cara-cara yang tidak fair dan tidak etis,<br />
dan dalam banyak kasus bahkan dapat dikatagorikan sebagai kejahatan korporasi. 12<br />
Secara yuridis pengaturan soal CSR secara eksplisit dalam hukum Indonesia<br />
dimulai ketika pemerintah memberlakukan UU No.25 Tahun 2007 tentang<br />
Penanaman Modal, yang dalam Pasal 15 menyebut bahwa setiap Penanam Modal<br />
(perseorangan atau perusahaan, berbadan hukum ataupun bukan badan hukum)<br />
berkewajiban untuk:<br />
a. Menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik,<br />
b. Melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.<br />
Kemudian perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 1995 menjadi Undang-<br />
Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, telah membawa perubahan<br />
penting bagi dunia usaha di Indonesia. Salah satu yang mendapat perhatian lebih dari<br />
kalangan pengusaha adalah Corporate Social Responsibility (CSR), karena CSR<br />
akhir-akhir ini telah menjadi salah satu faktor penilaian bagi investor asing yang akan<br />
menanamkan modalnya di Indonesia. CSR menjadi salah satu kewajiban yang harus<br />
12 Robert Khuana, 2009, Corporate Social Responsibility (CSR) Antara Tuntutan dan Kenyataan,<br />
Makalah Diseminasi Rekomendasi Bagi Pembaharuan Hukum Di Indonesia, tanggal 16 November<br />
2009, hal.2<br />
8
dilaksanakan oleh sebuah perusahaan sesuai dengan bunyi ketentuan Pasal 74 UUPT<br />
No.40 Tahun 2007, yang menyatakan:<br />
(1). Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan<br />
dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan<br />
Lingkungan.<br />
(2). Tanggung jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)<br />
merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan<br />
sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan<br />
memperhatikan kepatutan dan kewajaran.<br />
(3). Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada<br />
ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.<br />
(4). Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan<br />
diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br />
Dari kedua undang-undang tersebut dapat diketahui bahwa tampaknya konsep<br />
CSR di Indonesia dinamakan dengan istilah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan<br />
(TJSP) atau Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan (TJSLP).<br />
Sesungguhnya substansi keberadaan CSR adalah dalam rangka memperkuat<br />
keberlanjutan perusahaan itu sendiri dengan jalan membangun kerjasama antar<br />
stakeholder yang difasilitasi perusahaan tersebut dengan menyusun program-program<br />
pengembangan masyarakat sekitarnya. Atau dalam pengertian kemampuan<br />
perusahaan untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya, komunitas dan<br />
stakeholder yang terkait dengannya, baik lokal, nasional, maupun global. Di<br />
Indonesia perkembangan CSR masih sangat dini, namun cukup pesat.<br />
Sebenarnya konsep CSR sudah tampak dalam budaya yang ada pada<br />
masyarakat, seperti budaya gotong royong yang merupakan nilai-nilai luhur dari<br />
bangsa Indonesia patut dipertahankan. Makna semangat gotong royong yang<br />
9
menjiwai setiap warga masyarakat terlebih pada masyarakat industri/modern patut<br />
dicermati.<br />
Di Pulau Bali terdapat filosofis pola keserasian dan keseimbangan hubungan<br />
yang harmonis yang dikenal dengan nama “Tri Hita Karana” (Tiga hal untuk<br />
mencapai kesejahteraan hidup). Konsep Tri Hita Karana mengandung nilai-nilai universal<br />
yang mengekspresikan pola-pola hubungan seimbang dan harmonis. Tampaknya konsep<br />
CSR dapat berjalan seiring dan seirama dengan unsur-unsur yang terkandung dalam<br />
Tri Hita Karana yang berintikan unsur-unsur nilai keseimbangan hubungan antara<br />
manusia dengan Tuhan (unsur Parahyangan), antara manusia dengan sesama (unsur<br />
Pawongan) dan antara manusia dengan alam lingkungannya (unsur Palemahan).<br />
Keyakinan masyarakat adat Bali terhadap alam dan lingkungan dilandaskan<br />
pada suatu keyakinan bahwa manusia dan alam semesta diciptakan oleh Ida Sang<br />
Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa dari unsur-unsur yang sama. Pandangan<br />
ini melihat kesamaan unsur pada manusia selaku „isi alam (mikrokosmos)‟ terdiri atas<br />
unsur-unsur Tri Hita Karana : jiwa (atma), tenaga (prana) dan badan wadah<br />
(anggasarira). Demikian pula pada alam selaku „wadah makrokosmos‟ terdiri atas<br />
unsur-unsur jiwa (parama atma), tenaga (prana : segenap himpunan tenaga alam) dan<br />
wujud fisik (angga-sarira). Pandangan kesamaan (kesetaraan) ini, manusia dengan<br />
isi alam lainnya atau lingkungan maupun manusia dengan alam, maka manusia<br />
mempunyai kewajiban untuk menghormati ataupun menjaga keharmonisan dengan<br />
landasan sikap dan perilaku „tat twam asi‟ dalam interaksinya. Kewajiban ini bagi<br />
masyarakat adat Bali lebih banyak diwujudkan dalam suatu perbuatan sebagai wujud<br />
10
terima kasih. 13<br />
Pada konsep CSR, dua unsur yang terkandung dalam Tri Hita Karana<br />
(Pawongan dan Palemahan) berkaitan erat dengan kewajiban perusahaan<br />
sebagaimana diamanatkan oleh pasal 74 UU No.40 Tahun 2007. Sumber inspirasi Tri<br />
Hita Karana berasal dari Pustaka Suci Agama Hindu yang dikenal dengan nama:<br />
Bhagawad Gita. Konsep CSR yang berkait erat dengan tanggungjawab sosial<br />
perusahaan yang dalam Tri Hita Karana bersentuhan dengan unsur pawongan,<br />
berfungsi sebagai subsistem sosial, sebagai tempat untuk mengadakan interaksi dalam<br />
hak dan kewajiban. Kemudian konsep CSR yang bersentuhan dengan unsur<br />
palemahan, berfungsi sebagai upaya menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan,<br />
baik terhadap kondisi lingkungan di dalam perusahaan maupun lingkungan di<br />
sekitarnya (di luar perusahaan). 14<br />
Perkembangan dunia usaha pada era global dewasa ini demikian pesatnya,<br />
sehingga semangat gotong royong itu tampaknya menjadi beban bagi pengusaha.<br />
Padahal CSR adalah komitmen yang berkesinambungan dari kalangan bisnis, untuk<br />
berprilaku secara etis dan memberi kontribusi bagi perkembangan ekonomi, seraya<br />
meningkatkan kualitas kehidupan dari karyawan dan keluarganya serta komunitas<br />
lokal dan masyarakat luas pada umumnya.<br />
Disisi lain anggota masyarakat merasakan bahwa konsep CSR yang diterapkan<br />
13 Chidir Ali,1997, Hukum Adat Bali dan Lombok dalam Yurisprudensi Indonesia, Jakarta :<br />
Pradnya Paramita, Hal 219.<br />
14 Wiryawan I Wayan, 2009, Makalah Tanggapan/komentar atas penyaji rekomendasi dari<br />
Mardjono Reksodiputro, tanggal 16 Nopember 2009, hal. 5<br />
11
oleh perusahaan dianggap sebagai hak bagi masyarakat yang bersangkutan, sehingga<br />
masyarakat tersebut meminta kepada perusahaan seolah-olah sebagai suatu kewajiban<br />
bagi perusahaan dan disisi lain merupakan hak bagi masyarakat, sehingga terdapat<br />
adanya disharmoni antara perusahaan dengan masyarakat.<br />
Dalam menerapkan CSR perlu adanya konsep yang dapat memadukan adanya<br />
aspek-aspek yang terdapat pada CSR dan unsur-unsur yang terdapat pada Tri Hita<br />
Karana. Aspek CSR yang dijiwai oleh budaya gotong royong pada satu sisi, dan pada<br />
sisi lainnya Tri Hita Karana juga di dasari oleh semangat gotong royong yang<br />
mencerminkan adanya pola keseimbangan dan keharmonisan hubungan. Dengan<br />
demikian dalam konteks ini diharapkan adanya satu konsep sehingga dapat<br />
mengintegrasikan kedua konsep tersebut ke dalam suatu konsep yang disebut dengan<br />
“integrated balance harmony”. Dengan konsep ini diharapkan adanya keterkaitan dan<br />
keterpaduan dari kedua konsep tersebut, yaitu konsep CSR dengan konsep Tri Hita<br />
Karana, sehingga budaya gotong royang masih relepan diterapkan dalam dunia bisnis,<br />
terlebih dengan situasi yang terjadi di era global seperti zaman sekarang ini.<br />
Berdasarkan latar belakang seperti yang telah diuraikan di atas maka disajikan<br />
satu karya tulis yang berupa tesis diberi judul: “ Pengembangan Tanggung Jawab<br />
Sosial Perseroan (Coorporate Social Responsibility) Dikaitkan Dengan Konsep<br />
Tri Hita Karana ( Studi Di Propinsi Bali ).<br />
1.2 Rumusan Masalah<br />
Permasalahan yang diajukan dalam penulisan ini adalah:<br />
12
1. Bagaimanakah model CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan sehingga<br />
terjadi harmonisasi dengan konsep Tri Hita Karana yang terdapat di Bali?<br />
2. Bagaimanakah bentuk tanggung jawab sosial yang diterapkan oleh perusahaan<br />
dalam pengimplementasiannya di masyarakat?<br />
1.3 Ruang Lingkup Masalah.<br />
Untuk menghindari pembahasan yang jauh menyimpang dari pokok<br />
permasalahan yang diajukan dalam penulisan tesis ini, maka dipandang perlu<br />
mengadakan pembatasan, sehingga dalam pembahasan selanjutnya bias terfokus pada<br />
pokok permasalahan yang diajukan sebelumnya.<br />
Dalam penulisan tesis ini ruang lingkup masalah yang ingin dikemukakan<br />
adalah sebatas pengaturan dan penerapan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007<br />
(UUPT) yaitu mengenai penerapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perseroan<br />
(CSR) sebagaimana diatur dalam Pasal 74 ayat (1) yang menyatakan Perseroan yang<br />
menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya<br />
alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.<br />
Ketentuan tentang CSR tersebut dihubungkan dengan konsep Tri Hita Karana<br />
yang mendasari kehidupan masyarakat Adat Bali. Bagaimana penerapan CSR<br />
perusahaan di Bali, terutama dari segi model, serta bentuk yang diterapkan , sehingga<br />
terjadi keharmonisan antara konsep CSR dengan konsep Tri Hita Karana di<br />
masyarakat.<br />
2.Tujuan Penelitian.<br />
2.1 Tujuan Umum<br />
13
Secara umum penelitian atas beberapa permasalahan yang telah dikemukakan<br />
diatas bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum atau untuk menambah khasanah<br />
pengetahuan dibidang Hukum Bisnis khususnya dalam bidang Hukum Organisasi<br />
Perusahaan yang mengatur tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang pada<br />
zaman sekarang di Indonesia perkembangannya sudah mulai mendapat perhatian dari<br />
perusahaan.<br />
2.2 Tujuan Khusus.<br />
Sehubungan dengan tujuan umum itu, maka tujuan khusus yang ingin dicapai<br />
lebih lanjut adalah:<br />
1. Untuk mengetahui model CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan yang ada<br />
di Bali terhadap daerah sekitar perusahaan.<br />
2. Untuk mengetahui bentuk Tanggung Jawab Sosial Perusahaan sehingga terjadi<br />
harmonisasi dengan konsep Tri Hita Karana, dan tercapai adanya Integrated<br />
Balance Harmony.<br />
3. Manfaat Penelitian<br />
Mengenai manfaat yang diharapkan melalui penelitian terhadap kedua pokok<br />
permasalahan diatas terdiri dari dua manfaat, yaitu:<br />
3.1 Manfaat Teoritis.<br />
1 Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan<br />
pemahaman tentang tanggung jawab sosial perusahaan dan lingkungan yang<br />
berkembang di Bali khususnya terhadap beberapa perusahaan yang berbentuk<br />
badan hukum Perseroan Terbatas, bagaimana model serta bentuk CSR dalam<br />
14
penerapannya didalam masyarakat.<br />
3.2 Manfaat Praktis.<br />
1. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan akan dapat menimbulkan<br />
kesadaran hukum masyarakat khususnya terhadap para pengusaha untuk tetap<br />
memperhatikan lingkungan sekitarnya sehingga terdapat keharmonisan antara<br />
perusahaan dengan masyarakat sekitarnya, disamping itu penerapan CSR juga<br />
merupakan tuntutan dunia Internasional dalam era perdagangan bebas<br />
2 Bagi Pemerintah, penelitian ini diharapkan bisa memberikan masukan untuk<br />
lebih mengintensifkan penerapan Tanggung Jawab Sosial Perseoan terutama<br />
di daerah yang termasuk kategori daerah miskin.<br />
4 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir.<br />
4.1 Landasan Teoritis<br />
Penerimaan kalangan perusahaan terhadap Corporate Social Responsibility<br />
laksana bola salju yang menggelinding semakin besar. Penerapan CSR di perusahaan<br />
menjadi semakin penting dengan munculnya konsep sustainable development yang<br />
dirumuskan oleh The Word Comission on Environment and Development , sehingga<br />
konsep CSR pun mengalami penyesuaian dan dikembangkan dalam bingkai<br />
sustainable development. Hal ini tercermin dari difinisi CSR yang diberikan oleh The<br />
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) sebagai:”<br />
business’s contribution to sustainable development and that corporate behavior must<br />
not only ensure returns to shareholders, wavegs to employess, and product and<br />
15
service to consumers, but they respond to societal and environmental concerns and<br />
value” 15<br />
Kotler dan Lee memberikan pengertian CSR sebagai berikut:<br />
“ corporate social responsibility is a commitment to improve community well<br />
being through discretionary business practices and contribution of corporate<br />
resources”<br />
Kotler dan Lee berpendapat bahwa CSR semata-mata merupakan komitmen<br />
perusahaan secara sukarela untuk turut meningkatkan kesejahteraan komunitas dan<br />
bukan merupakan aktivitas bisnis yang diwajibkan oleh hukum dan perundang-<br />
undangan seperti kewajiban membayar pajak atau kepatuhan perusahaan terhadap<br />
undang-undang ketenagakerjaan. 16<br />
CSR adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam<br />
pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab<br />
social perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap<br />
aspek ekonomis, sosial, dan lingkungan. 17<br />
Di Indonesia, secara formal dalam Tata Hukum Indonesia konsep CSR telah<br />
diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,<br />
dalam Pasal 1 butir 3 menentukan bahwa Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan<br />
adalah komitmen Perseroan untuk berperan dalam pembangunan ekonomi<br />
15 Peter Van Den Bossche, 2008, The Law And Policy of the Word Trade Organization, Cambridge<br />
University Press, page 71<br />
16 Ibid, hal. 5<br />
17 Hendrik Budi Untung, 2008, Corporate Sosial Responsibility, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta,<br />
hal.1<br />
16
erkelalanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang<br />
bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat maupun masyarakat<br />
pada umumnya.<br />
Dengan mencermati bunyi Pasal 74 UUPT dan konsep CSR di Negara-negara<br />
maju, maka dapat dilihat terjadi adanya perubahan konsep CSR dari “tanggung jawab<br />
sosial” (social responsibility) menjadi “kewajiban hukum” (legal obligation). Dengan<br />
demikian bukan merupakan sesuatu hal yang aneh jika dalam penerapannya di<br />
Indonesia konsep CSR berubah dari social responsibility menjadi legal obligation,<br />
karena dengan konsep tersebut lebih dapat mengakomodir tidak hanya kepentingan<br />
perusahaan, akan tetapi juga seluruh masyarakat yang ada disekitarnya. 18 Dengan<br />
kata lain, meskipun secara moral adalah baik bahwa perusahaan maupun penanam<br />
modal mengejar keuntungan, bukan berarti perusahaan ataupun penanam modal<br />
dibenarkan mencapai keuntungan dengan mengorbankan kepentingan-kepentngan<br />
pihak lain yang terkait.<br />
Dengan adanya ketentuan CSR sebagai sebuah kewajiban dapat merubah<br />
pandangan maupun perilaku dari pelaku usaha, sehingga CSR tidak lagi dimaknai<br />
sekedar tuntutan moral an-sich, tetapi diyakinkan sebagai kewajiban perusahaan yang<br />
harus dilaksanakan. Kesadaran ini memberikan makna bahwa perusahaan bukan lagi<br />
sebagai entitas yang mementingkan diri sendiri, alienasi dan atau eksklusifitas dari<br />
lingkungan masyarakat, melainkan sebuah entitas usaha yang wajib melakukan<br />
adaptasi kultural dengan lingkungan sosial. Sehingga tidak berkelebihan jika ke<br />
18 Supasti Darmawan, I. Ketut, Op. Cit, hal. 5<br />
17
depan CSR harus dimaknai bukan lagi hanya sekedar responsibility karena bersifat<br />
voluntary, tetapi harus dilakukan sebagai mandatory dalam makna liability karena<br />
disertai dengan sanksi. Ketentuan Pasal 74 UU No.40 Tahun 2007 itulah yang akan<br />
diteliti pada tingkat implementasi (pelaksanaannya) di lapangan oleh para pelaku<br />
usaha khususnnya yang berbadan hukum Perseroan Terbatas.<br />
Seperti diketahui bahwa ilmu hukum dapat dikaji melalui studi “law in books<br />
dan studi law in action”, sebagaimana disimpulkan dari uraian Roman Tomasic<br />
berikut: the focues of the sociology of law however it is defined, need to be seen as<br />
the study of “the law in action” rather than the traditional lawyer’s concern with<br />
“the law in book” 19<br />
Dalam membahas permasalahan sebagaimana yang telah diuraikan, maka akan<br />
digunakan beberapa teori-teori, yang pada hakekatnya adalah seperangkat konstruksi<br />
(konsep), batasan dan proposisi yang menyajikan pandangan sistematis tentang<br />
fenomena dengan merinci hubungan antar variable, dengan tujuan menjelaskan dan<br />
memprediksikan gejala itu. Teori juga berarti serangkaian asumsi, konsep, difinisi<br />
dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan<br />
cara merumuskan hubungan antar konsep. 20 Oleh sebab itu, dalam bentuknya yang<br />
paling sederhana suatu teori merupakan hubungan antara dua variable atau lebih yang<br />
19 Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Penerbit PT Raja<br />
Grafindo Persada, Jakarta, hal.197<br />
20 Burhan Asshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal.19<br />
18
telah diuji kebenarannya. 21<br />
Dalam penulisan ini digunakan beberapa teori yang ada hubungannya dengan<br />
permasalahan yang diajukan. Teori Talcott Parsons tentang Hukum itu Mekanisme<br />
Integrasi, kemudian teori hukum keseimbangan (harmoni) yang diajukan oleh Roscoe<br />
Pound yang dilanjutkan dengan teori tentang law as a tool social engineering.<br />
Kemudian teori dari Von Savigny bahwa hukum itu Jiwa Rakyat (volkgeist).<br />
Menurut Roscou Pound hukum itu keseimbangan kepentingan, yang cendrung<br />
menghindari kontruksi-kontruksi teori yang terlalu abstrak. Hukum tidak boleh<br />
dibiarkan mengawang dalam konsep-konsep logis analitis ataupun tenggelam dalam<br />
ungkapan-ungkapan teknis yuridis yang terlampau eksklusif. Sebaliknya hukum itu<br />
harus didaratkan di dunia nyata, yaitu dunia sosial yang penuh sesak dengan<br />
kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang saling bersaing.<br />
Pada dasarnya kondisi awal struktur suatu masyarakat selalu berada dalam<br />
kondisi yang kurang imbang. Ada yang terlalu dominan, dan ada pula yang<br />
terpinggirkan. Untuk menciptakan dunia yang beradab perlu ditata ulang<br />
ketimpangan-ketimpangan struktural tersebut, dengan keseimbangan yang<br />
proporsional. Hukum dengan tipe yang abstrak tidak mampu untuk merubah keadaan<br />
paling-paling hanya mengukuhkan keadaan. Oleh karena itu perlu langkah progresif<br />
dalam memperbaharui (merekayasa) masyarakat (law is a tool of social engineering)<br />
Menyikapi kondisi yang ada, bahwa hukum sebagai produk kebijakan politik tidak<br />
hal.30<br />
21 Soerjono Soekanto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,<br />
19
selamanya merupakan conditio sine qua non bagi tujuan yang hendak dicapai. Hal<br />
ini menunjukkan hukum mempunyai batas-batas kemampuan tertentu untuk<br />
mengakomodasi nilai-nilai yang tumbuh dan hidup dalam komunitas masyarakat,<br />
oleh karena itu Roscoe Pound menyatakan bahwa tugas hukum yang utama adalah<br />
”social engineering”.<br />
Dalam konsep Social engenering Pound mengharapkan pada para praktisi<br />
hukum (khususnya pengacara) hendaknya mampu untuk mencampur kekakuan<br />
hukum untuk menyesuaikan pada tujuannya. Dalam proses penafsirannya, seorang<br />
pengacara harus membuat penyesuaian-penyesuaian dalam hukum agar sesuai dengan<br />
kebutuhan masyarakat. Tujuan social engenering adalah untuk mengupayakan<br />
pengacara berfikir berdasarkan pada perubahan atau penyesuaian hukum.<br />
“A Lawyer should be able to mould the clay of law to duit the porpose in hand. In<br />
the process of interpretation, a lawyer has to make adjustments in the law to suit the<br />
need of the society. The purpose of social engineering is to enable the lawyer to<br />
think in terms of changing or moulding the law. 22<br />
Fokus utama Pound dengan konsep social engineering adalah interest<br />
balancing, dan karenanya yang terpenting adalah tujuan akhir dari hukum yang<br />
diaplikasikan dan mengarahkan masyarakat ke arah yang lebih maju. Hukum dan<br />
masyarakat terdapat hubungan yang fungsional. 23 Dalam doktrin ini di sebutkan<br />
bahwa hukum harus dikembangkan sesuai dengan perubahan-perubahan nilai sosial.<br />
Untuk itu sebaiknya diadakan rumusan-rumusan kepentingan yang ada dalam<br />
22 Hari Chand, 1994, Modern Jurisprudence, Kuala Lumpur, Percetakan Turbo, hal. 198<br />
23 Bernard L. Tanya, dkk, 2010, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan<br />
Generasi, Genta Publising, Yogyakarta, hal. 161<br />
20
masyarakat yaitu kepentingan pribadi, masyarakat dan umum.24<br />
Kebebasan seseorang merupakan kepentingan individu, tetapi juga kepentingan<br />
sosial karena masyarakat juga tertarik memberikan kebebasan bagi suatu individu.<br />
Pound ingin melihat setiap kepentingan dari sudut pandang sosial. Dalam kasus<br />
konflik, kita melihat pada konflik kepentingan dari sudut pandang individu, negara<br />
dan masyarakat. Karenanya Pound menyatakan harus dapat menyeimbangkan<br />
masyarakat.<br />
Personal liberty is an individual interest but it is also a social interest because<br />
society is also interested in giving liberty to the individual. In other woeds, Pound<br />
wants us to look at every interest from the point of view of the society. In case of<br />
conflict, we look at the conflicting interest from the pointof view of the individual, of<br />
the state and of the society. Thus, Pound says, we can balance them. 25<br />
Dengan demikian hukum bagi Roscoe Pound merupakan alat untuk<br />
membangun masyarakat (law is a tool social engineering), sehingga hukum itu<br />
mengarahkan masyarakat kearah yang lebih maju. 26<br />
Teori Talcott Parsons tentang Hukum itu Mekanisme Integrasi, yang<br />
menyatakan bahwa hukum sebagai salah satu sub sistem dalam sistem sosial yang<br />
lebih besar. Di samping hukum terdapat sub sistem lain yang memiliki logika dan<br />
fungsi yang berbeda-beda. Sub sistem tersebut adalah budaya, politik dan ekonomi.<br />
Setiap sub sistem ini memiliki logika, mekanisme dan tujuan yang berbeda. Sub<br />
sistem budaya cendrung konservatif dan serta merta mempertahankan pola-pola ideal,<br />
24 Mas Soebagio dan Slamet Supriatna, 1992, Dasar-Dasar Filsafat, Suatu Pengantar ke<br />
Filsafat Hukum, Akademika Presindo, Jakarta, hal.. 68.<br />
25 Hari Chand, Op. Cit. hal. 198.<br />
26 Darji Darmodiharjo, Sidarta, 2002, Pokok-Pokok Fiksafat Hukum, Apa dan Bagaimana<br />
Filsafat Hukum Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.131.<br />
21
Pada sisi lain sub sistem ekonomi sangat dinamis dan cenderung melahirkan<br />
terobosan-terobosan baru yang bisa saja “asing” dan “liar” dari ukuran pola-pola ideal<br />
budaya, sedangkan sub sistem politik senantiasa mencari berbagai cara untuk<br />
mencapai tujuan yang boleh jadi cara-cara yang dipakai tidak sesuai dengan pola<br />
budaya dan realitas sumberdaya materiil itu.<br />
Keadaan yang rentan benturan tersebut harus ditangani oleh hukum lewat<br />
fungsi pengintegrasiannya agar setiap sub sistem berjalan serasi dan sinergis demi<br />
lestarinya sistem. Parsons menempatkan hukum sebagai unsur utama integrasi sistem.<br />
Teori Von Savigny menyatakan Hukum itu Jiwa Rakyat (volkgeist). Menurut<br />
Savigny, terdapat hubungan organik antara hukum dengan watak atau karakter suatu<br />
bangsa. Hukum hanyalah cerminan dari volkgeist. Oleh karena itu hukum adat yang<br />
tumbuh dan berkembang dalam rahim volkgeist, harus dipandang sebagai hukum<br />
kehidupan yang sejati. Hukum sejati itu tidak dibuat, tetapi harus ditemukan.<br />
Kemudian dalam Teori Tiga Komponen Sistem Hukum yang diajukan oleh<br />
L.M. Friedman mengatakan bahwa bekerjanya system hukum itu merupakan suatu<br />
proses interaksi tiga komponen system hukum, yaitu berinteraksinya komponen<br />
struktural, substansial dan komponen kultural.<br />
Tujuan sistem dapat dicapai apabila ketiga komponen itu bekerja dengan serasi<br />
dan saling mendukung. Kelemahan pada salah satu komponen saja akan berakibat<br />
sistem hukum itu tidak berjalan dengan semestinya. Oleh Friedman komponen<br />
struktural itu dirumuskan sebagai kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum<br />
22
itu dengan berbagai macam fungsinya dalam rangka mendukung bekerjanya sistem<br />
hukum itu.<br />
Komponen substansial adalah merupakan segi out put, dari segi hukum yang<br />
dapat berupa norma-norma hukum baik berupa doktrin-doktrin, keputusan-keputusan<br />
sejauh norma itu dipakai baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur.<br />
Komponen substansial tidak terikat pada bentuk formalitas tertentu, dalam arti dapat<br />
berbentuk undang-undang ataukah kebiasaan-kebiasaan yang belum terekplisitkan<br />
dalam bentuk yang formal, yang dipentingkan disini adalah apakah ia digunakan di<br />
dalam masyarakat.<br />
Komponen kultural adalah hal-hal yang menyangkut sikap-sikap dan nilai-nilai<br />
yang berhubungan dengan hukum dan lembaga-lembaganya, baik secara positif<br />
maupun negatif.<br />
“The term legal cultural had been used to suggest the whole range ideas which<br />
exists in particular societies and varies from one society to another about law and<br />
its place in the social order.These ideas inform legal practices citizen’s attitudes to<br />
law and their willingness or unwillingness to litigate, anr the relative significance of<br />
law in informing wider currents of thought and behavior beyond the specifis<br />
practices and forms of discourse associated with legal institutions.” 27<br />
Dengan dasar teori ketiga komponen sistem hukum dari L.W. Friedman ini<br />
akan dianalisis tentang bekerjanya sistem hukum UU No.40 Tahun 2007 khususnya<br />
Pasal 74. Dari segi struktural bagaimana berfungsinya Lembaga Pemerintah yang<br />
mengawasi pelaksanaan ketentuan Pasal 74 UUPT Tahun 2004. Begitu pula aspek<br />
substansial yang menyangkut peraturan hukum itu sendiri (UU PT khususnya Pasal<br />
27 Friedman, Lawrence.M, 1969, The Legal System: A Social Science Perspective, New York,<br />
Russel Sage Foundation, page. 37<br />
23
74). Yang tidak kalah pentingnya juga dari aspek kultural mengenai perilaku<br />
masyarakat dengan konsep pemikiran yang dilandasi dengan konsep Tri Hita Karana<br />
dalam menerima hasil dari undang-undang tersebut, khususnya perilaku masyarakat<br />
terhadap keberadaan perusahaan yang bersangkutan, sehingga terjadi adanya<br />
pengembangan konsep CSR yang diberikan oleh perusahaan ke dalam konsep Tri<br />
Hita Karana , yang sama-sama menonjolkan unsur moral.<br />
Teori tanggung jawab sosial lahir karena tuntutan dari tanggung jawab itu<br />
sendiri. Tanggung jawab sosial berada pada ranah moral, sehingga posisinya tidak<br />
sama dengan hukum. Moral dalam tanggung jawab sosial lebih mengarah pada<br />
tindakan lahiriah yang didasarkan sepenuhnya dari sikap bathiniah, sikap inilah yang<br />
dikenal dengan “moralitas”yaitu sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa<br />
pamerih. Sedangkan tanggung jawab hukum lebih menekankan pada kesesuaian sikap<br />
lahiriah dengan aturan, meskipun tindakan tersebut secara obyektif tidak salah,<br />
barangkali baik dan sesuai dengan pandangan moral, hukum, dan nilai-nilai budaya<br />
masyarakat. Namun demikian kesesuaian saja tidak bisa dijadikan dasar untuk<br />
menarik suatu kesimpulan karena tidak tahu motivasi atau maksud yang<br />
mendasarinya.<br />
Bila teori tanggung jawab sosial dikaitkan dengan aktivitas perusahaan, maka<br />
dapat dikatakan bahwa tanggung jawab sosial lebih menekankan pada kepedulian<br />
perusahaan terhadap kepentingan stakeholders dalam arti luas dari pada sekedar<br />
kepentingan perusahaan belaka. Dengan demikian konsep tanggung jawab sosial<br />
lebih menekankan pada tanggung jawab perusahaan atas tindakan dan kegiatan<br />
24
usahanya yang berdampak pada orang-orang tertentu, masyarakat, dan lingkungan<br />
dimana perusahaan tersebut melakukan aktivitas usahanya. Secara negatif hal ini<br />
bermakna bahwa perusahaan harus menjalankan aktivitas usahanya sedemikian rupa,<br />
sehingga tidak berdampak negatif pada pihak-pihak tertentu dalam masyarakat.<br />
Sedangkan secara positif hal ini mengandung makna bahwa perusahaan harus<br />
menjalankan kegiatannya sedemikian rupa, sehingga dapat mewujudkan masyarakat<br />
yang lebih baik dan sejahtera 28 .<br />
Stakeholder theory yang di motori oleh Kenneth Andrews berpandangan bahwa<br />
keberadaan perusahaan bukan semata-mata bertujuan untuk melayani kepentingan<br />
pemegang saham (shareholders) melainkan juga melayani kepentingan pihak-pihak<br />
lainnya (stakeholders) termasuk masyarakat di dalamnya. Dengan demikian cukup<br />
jelas bahwa masyarakat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perusahaan dan<br />
begitu juga sebaliknya, sehingga perlu adanya hubungan yang saling menguntungkan<br />
diantara kedua belah pihak. 29<br />
Istilah stakeholders saat ini sudah sangat populer dan telah digunakan oleh<br />
banyak pihak dalam hubungannya dengan berbagai konteks disiplin ilmu, misalnya<br />
manajemen bisnis, ilmu komunikasi, pengelolaan sumber daya alam, sosiologi,<br />
hukum dan sebagainya. Lembaga-lembaga publik pun juga telah menggunakan secara<br />
luas istilah stakeholders ini ke dalam proses-proses pengambilan dan implementasi<br />
28 Isa Wahyudi, Busyra, Op. Cit. hal.18<br />
29 Coelho, Philip R.P, Mc. Clure, James E.& Spry, John A, 2003, The Social Responsibility of<br />
Corporate Management, A Classical Critique, Mid America Journal of Business, Vo. 18. No.1 Hal. 16<br />
dalam Isa Wahyudi , Op. Cit. Hal.69<br />
25
keputusannya. Secara sederhana stakeholders sering dinyatakan sebagai para pihak,<br />
lintas pelaku, atau pihak-pihak yang terkait dengan suatu isu, kepentingan dan atau<br />
rencana tertentu.<br />
Stakeholders mempunyai pengertian sebagai sebagian anggota komuniti, atau<br />
kelompok individu, masyarakat (tidak semua) yang berasal dari wilayah korporat<br />
tersebut berdiri, wilayah negara dan bisa juga negara lain (global) yang mempunyai<br />
pengaruh terhadap jalannya suatu korporat. Kelompok individu tersebut juga<br />
mempunyai suatu kepentingan antara satu dengan lainnya, atau dengan kata lain<br />
pihak-pihak yang memiliki kepentingan dan mempengaruhi terhadap jalannya suatu<br />
korporat. 30<br />
Dalam dunia usaha yang global dan sangat kompetitif sekarang ini, banyak<br />
pihak yang dapat menjadi stakeholders perusahaan. Dari sudut pandang perusahaan<br />
ada beberapa orang atau sekelompok orang yang secara pasti dapat digolongkan<br />
sebagai stakeholders perusahaan, yaitu mereka yang memiliki legitimasi, kepentingan<br />
langsung, atau hak dalam kegiatan perusahaan. 31<br />
David Wheeler dan Maria Sillanpaa dalam bukunya “The Stakeholder<br />
Corporation: A Blueprint for Maximizing Stakeholder Value”, menggolongkan<br />
stakeholders dalam dua kategori yaitu:<br />
a. Stakeholders primer meliputi pemegang saham, investor, karyawan, pelanggan,<br />
30 Arif Budimanta et. al.,2008, Corporate Social Responsibility: Alternatif bagi Pembangunan<br />
Indonesia, Jakarta: ICSD, hal. 27.<br />
31 Gunawan Widjaja dan Yeremia Ardi Pratama, 2008, Risiko Hukum & Bisnis Perusahaan<br />
Tanpa CSR, Jakarta, Penerbit Forum Sahabat, hal. 48.<br />
26
komunitas lokal, pemasok dan rekanan bisnis. Stakeholders primer memiliki<br />
kepentingan langsung dalam sebuah perusahaan dan sangat mempengaruhi sukses<br />
atau tidaknya perusahaan tersebut. Oleh karena itu, stakeholders primer ini sangat<br />
penting bagi perusahaan.<br />
b. Stakeholders sekunder meliputi pemerintah, institusi sipil, LSM, pers, pesaing<br />
usaha, asosiasi pengusaha dan masyarakat pada umumnya. Stakeholders sekunder<br />
juga dapat menjadi sangat berpengaruh, terutama dalam hal yang menyangkut<br />
reputasi perusahaan dan dukungan masyarakat terhadap perusahaan, walaupun<br />
sebenarnya mereka tidak memiliki kepentingan langsung dalam kegiatan inti<br />
perusahaan.<br />
Teori Triple Bottom Line<br />
Teori triple bottom line untuk menganalisa konsep-konsep serta model yang<br />
melatarbelakangi perusahaan untuk melakukan kegiatan tanggung jawab sosial<br />
(CSR). Teori ini dikemukakan oleh John Elkington pada tahun 1997 melalui bukunya<br />
”Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business”.<br />
Elkington mengembangkan teori triple bottom line dalam istilah economic prosperity,<br />
environmental quality dan social justice. Elkington memberi pandangan bahwa jika<br />
sebuah perusahaan ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka perusahaan<br />
tersebut harus memperhatikan “3P”. Selain mengejar keuntungan (profit), perusahaan<br />
juga harus memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat<br />
(people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan<br />
27
(planet). 32 Perusahaan dalam kegiatan usahanya dengan mengharmonisasikan aspek<br />
ekonomi, lingkungan dan masyarakat akan meningkatkan nilai dari perusahaan itu<br />
sendiri.<br />
4.2 Kerangka Berpikir.<br />
TANGGUNG<br />
JAWAB SOSIAL<br />
PERSEROAN<br />
(CSR)<br />
UU 40 Th. 2007<br />
KONSEP<br />
TRI HITA KARANA<br />
Penjelasan.<br />
Penjelasan:<br />
MENJAGA<br />
KELANGSUNGAN<br />
PEMBANGUNAN<br />
PEREKONOMIAN<br />
RAKYAT<br />
MEJAGA<br />
KELESTARIAN<br />
LINGKUNGAN<br />
MENINGKATKAN<br />
KESEJAHTERAAN<br />
MASYARAKAT<br />
HUBUNGAN<br />
MANUSIA DENGAN<br />
TUHAN<br />
(PARAHYANGAN)<br />
HUBUNGAN<br />
MANUSIA DENGAN<br />
MANUSIA<br />
(PAWONGAN)<br />
HUBUNGAN<br />
MANUSIA DENGAN<br />
LINGKUNGAN<br />
(PALEMAHAN)<br />
Konsep CSR pada intinya adalah menjaga kelangsungan pembangunan<br />
perekonomian Indonesia untuk mewujudkan suatu sistem perekonomian yang<br />
berpihak kepada rakyat dan untuk menjaga keseimbangan dunia usaha agar pelaku<br />
usaha dapat bersaing dengan sehat, dan adil tanpa menimbulkan kerugian bagi rakyat<br />
32 Gunawan Widjaya dan Yeremia Ardi Pratama,Op. Cit. hal. 33.<br />
TEORI–<br />
TEORI<br />
TALCOTT<br />
PARSONS<br />
TEORI<br />
ROSCOU<br />
POUND<br />
VON<br />
SAVIGNY<br />
STAKE<br />
HOLDER<br />
THEORY<br />
TRIPLE<br />
BOTTEM<br />
THEORY<br />
L.M.FRIE<br />
DMAN<br />
28<br />
INTEGRATED<br />
BALANCE<br />
HARMONY
dan kerusakan lingkungan sekitarnya.<br />
CSR sejatinya mempunyai tujuan yang sangat penting di dalam menjaga<br />
pembangunan perekonomian berkelanjutan. Pada prinsipnya CSR adalah suatu upaya<br />
sungguh-sungguh dari entitas bisnis meminimumkan dampak negatif dan<br />
memaksimumkan dampak positif operasinya terhadap seluruh pemangku kepentingan<br />
dalam ranah ekonomi, sosial dan lingkungan untuk mencapai pembangunan<br />
berkelanjutan. Disamping itu penerapan CSR bertujuan agar perusahaan dapat<br />
memberi kontribusi untuk kemajuan atau peningkatan kesejahteraan masyarakat<br />
setempat. Pelaku usaha melalui berbagai badan usaha yang berbadan hukum<br />
Perseroan Terbatas, diharapkan bersama-sama dengan Pemerintah mewujudkan<br />
kesejahteraan bagi masyarakat. Oleh karena itu ketentuan tentang CSR ini dituangkan<br />
dalam UU Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007, khususnya dalam Pasal 1 butir 3<br />
dan Pasal 74.<br />
Di Pulau Bali ada filosofi yang diikuti oleh masyarakat (Hindu) dalam<br />
menjalani kehidupannya agar bisa hidup selaras baik dengan Tuhan, sesama manusia,<br />
maupun alam lingkungannya, yang dikenal dengan konsep TRI Hita Karana.<br />
Dari segi terminologi Konsep Tri Hita Karana ini terdapat dalam Pustaka Suci<br />
agama Hindu yaitu dalam Bhagawadgita, sloka III.10 yang bunyi slokanya sebagai<br />
berikut:<br />
Sahayajnah prajah srishtva<br />
Puro vacha prajapatih<br />
Anena prasavishya dhvam<br />
Esha vo’stv ishta kamadhuk<br />
29
artinya: Dahulu kala Prajapati mencipta manusia bersama bakti persembahannya dan<br />
berkata: dengan ini engkau akan berkembang biak dan biarlah ini jadi sapi<br />
perahanmu. 33<br />
Dari segi etimologi Tri Hita Karana berasal dari kata Tri yang berarti tiga, Hita<br />
artinya baik, senang, gembira, lestari, dan Karana berarti sebab-musabab, atau<br />
sumbernya sebab. Dengan demikian Tri Hita Karana berarti tiga (3) buah unsur yang<br />
merupakan sumbernya sebab yang memungkinkan timbulnya kebaikan. 34 Tampaknya<br />
konsep CSR itu dapat berjalan seiring dan seirama dengan unsur-unsur yang<br />
terkandung di dalam Tri Hita Karana yang berintikan unsur-unsur nilai keseimbangan<br />
hubungan antara manusia dengan Tuhan (unsur Parahyangan), antara manusia dengan<br />
sesama (unsur Pawongan) dan antara manusia dengan alam lingkungannya (unsur<br />
Palemahan).<br />
Pada konsep CSR, dua unsur yang terkandung dalam Tri Hita Karana<br />
(Pawongan dan Palemahan) menjadi fokus dalam kajian ini dengan tidak<br />
mengabaikan unsur pertamanya yakni Parahyangan. Kedua unsur tersebut berkait erat<br />
dengan apa yang menjadi kewajiban perusahaan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal<br />
74 UU No. 40 Tahun 2007. Filosofi Tri Hita Karana mengandung nilai-nilai universal<br />
yang mengekspresikan pola-pola hubungan seimbang dan harmonis. Implementasi<br />
dari konsep Tri Hita Karana di Bali terdapat pada beberapa Peraturan Daerah Bali<br />
dipergunakan sebagai landasan filosofisnya, misalnya dalam Peraturan Daerah<br />
hal. 6<br />
33 Pudja.G, 1982, Bhagawadgita, Jakarta, Penerbit Maya Sari, hal.76<br />
34 Suasthawa I. Made, I Wayan Koti Cantika, 1991, Filsafat Adat Bali, Penerbit Upada Sastra,<br />
30
(Perda) No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali<br />
(RTRWP), Perda tentang Pariwisata Budaya Bali dan perda yang lainnya.<br />
Konsep CSR yang berkaitan erat dengan tanggungjawab sosial perusahaan yang<br />
dalam Tri Hita Karana bersentuhan dengan unsur pawongan, berfungsi sebagai<br />
subsistem sosial, sebagai tempat untuk mengadakan interaksi dalam hak dan<br />
kewajiban. Konsep CSR yang bersentuhan dengan unsur palemahan, berfungsi<br />
sebagai upaya menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan.<br />
Dalam pembahasan tesis ini akan dibahas bagaimana konsep yang harus<br />
diterapkan sehingga dapat memadukan adanya aspek-aspek yang terdapat pada CSR<br />
dan unsur-unsur yang terdapat pada Tri Hita Karana. Aspek CSR yang dijiwai oleh<br />
budaya gotong royong pada satu sisi, dan pada sisi yang lainnya Tri Hita Karana<br />
mencerminkan adanya pola keseimbangan dan keharmonisan hubungan. Dengan<br />
demikian dalam penulisan ini diusulkan untuk menerapkan satu konsep yang disebut<br />
dengan Konsep: “integrated balance harmony” Dengan konsep ini diharapkan<br />
adanya keterkaitan dan keterpaduan diantara kedua konsep tersebut, yaitu konsep<br />
CSR dengan konsep Tri Hita Karana.<br />
5. Metode Penelitian<br />
Penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji<br />
kebenaran suatu pengetahuan yang dilakukan secara metodologi dan sistematis.<br />
Metodologi berarti menggunakan metode-metode yang bersifat ilmiah sedangkan<br />
31
sistematis berarti sesuai pedoman/aturan penelitian yang berlaku untuk karya<br />
ilmiah. 35<br />
Penelitian hukum merupakan penomena yang relatif baru. Penelitian hukum<br />
menjadi penting sejak sejumlah jurusan bidang hukum semakin intensif dan<br />
bermunculan karier akademis yang baru telah menggantikan praktisi-praktisi yang<br />
awalnya berfikir tidak mungkin memasuki profesi tersebut.<br />
“Legal research is a relatively new phenomenon. It has become more important as<br />
the number of University Law Schools has inteased, and a new breed of career<br />
academic has replaced the preactitioners who previoualy taught those entering the<br />
profession”. 36<br />
Oleh karena itu dalam mengadakan penelitian terlebih dahulu harus dipahami<br />
tentang metode. Metode adalah alat untuk mencari jawaban dari suatu<br />
permasalahan,oleh karena itu suatu metode atau alat harus jelas dahulu apa yang<br />
dicari. 37 Agar dapat dipercaya kebenarannya suatu penelitian ilmiah harus disusun<br />
dengan menggunakan suatu metode yang tepat. Metode merupakan cara kerja atau<br />
tata kerja untuk dapat memahami obyek menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang<br />
bersangkutan.<br />
5.1 Jenis Penelitian<br />
Soetandyo Wignyosoebroto mengemukakan ada lima konsep hukum,<br />
sebagimana yang dikutip oleh Setiono, konsep hukum tersebut yaitu:<br />
1. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan<br />
35 Sutrisno Hadi, 2002, Metodologi Research, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, hal. 4<br />
36 Terry Hutchinson, 2002, Researching and Writing In Law , Law Book CO Pyrmon NSW,<br />
Page.7<br />
37 Setiono, 2001, Pemahaman Terhadap Metode Penelitian Hukum, Penerbit Mandar Maju, hal. 1<br />
32
erlaku universal.<br />
2. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan<br />
3. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim in concreto dan tersistematis<br />
sebagai judge made law.<br />
4. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai<br />
variabel sosial yang empirik.<br />
5. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial<br />
sebagaimana tampak dalam interaksi antar mereka. 38<br />
Penelitian dalam penulisan tesis ini dilakukan dengan mengikuti pendapat<br />
Soetandyo Wignyosoebroto tentang 5 (lima) konsep hukum yang berlaku pada saat<br />
ini dan sesuai dengan konsep hukum keempat yaitu hukum adalah pola-pola perilaku<br />
sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial yang empirik.<br />
Ada dua jenis penelitian yang dikemukaan oleh Soerjono Soekanto,yaitu<br />
penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris atau sosiologis. 39<br />
Penelitian mengenai Pengembangan Coorporate Social Responsibility Dalam Kaitan<br />
Dengan Konsep Tri Hita Karana ( Studi Di Propinsi Bali ) adalah penelitian hukum<br />
emperis dengan jenis yuridis sosiologis yang berbasis pada ilmu hukum normatif<br />
(peraturan perundangan) menggunakan data sekunder sebagai data awal untuk<br />
kemudian dilanjutkan dengan data lapangan. Ini berarti penelitian yuridis tetap<br />
38 Soetandyo Wignyosoebroto dalam Setiono, 2001, Op. Cit. hal. 3<br />
39 Soerjono Soekanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali,<br />
Jakarta, h.al 147.<br />
33
ertumpu premis normative dimana difinisi operasionalnya dapat diambil dari<br />
peraturan perundang-undangan, tetapi bukan mengkaji sistem norma yang ada dalam<br />
suatu peraturan, melainkan mengamati reaksi dan interaksi yang terjadi ketika norma<br />
tersebut bekerja di masyarakat (law in action). 40 Dalam konsep emperis hukum<br />
adalah fakta yang dapat dikonstatasi atau diamati dan bebas nilai. 41<br />
5.2 Sifat Penelitian.<br />
Penelitian ini bersifat deskriptif yang bertujuan menggambarkan secara tepat<br />
sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk<br />
menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan<br />
antara gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.<br />
5.3 Jenis dan Sumber Data.<br />
5.3.1 Jenis Data.<br />
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, data sekunder, dan data<br />
tersier. Data primer adalah data yang diperoleh dari penelitian di lapangan, sedangkan<br />
data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan hukum primer yang bersumber<br />
dari peraturan perundang-undangan dan dokumen hukum, dan data yang bersumber<br />
pada bahan hukum sekunder yang terdiri dari buku-buku ilmiah dan tulisan-tulisan<br />
hukum. 42 . Bahan Hukum Tersier menurut Peter Mahmud Marzuki adalah berupa<br />
40 Mukti Fajar ND, Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Emperis,<br />
Yogyakarta, Penerbit Pustaka Belajar, hal.47<br />
41 Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung, Penerbit Mandar<br />
Maju, hal. 81.<br />
42 Abdulkadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,<br />
hal.202.<br />
34
ahan non hukum, yang berupa literarur yang berasal dari non hukum, misalnya<br />
literatur dari ekonomi yang membahas tentang CSR. 43<br />
5.3.2 Sumber Data<br />
1) Data primer adalah data yang diperoleh peneliti dari tangan pertama, dari<br />
sumber asalnya yang pertama belum diolah dan diuraikan oleh orang lain. 44<br />
2) Data sekunder, adalah data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan<br />
(library research). Data sekunder ini adalah data yang mempunyai<br />
kekuatan kedalam yang terdiri dari:<br />
a Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat,<br />
yaitu:<br />
1 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.<br />
2 UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup<br />
3 UU No.07 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air<br />
4 UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.<br />
5 Perda Prop. Bali No.16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah<br />
Provinsi Bali Tahun 2009-2029<br />
b Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan<br />
mengenai bahan hukum primer, yaitu yang meliputi buku-buku literatur, artikel,<br />
makalah, yang berhubungan dengan tanggung jawab social perusahaan atau<br />
tanggung jawab lingkungan perusahaan.<br />
43 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta, Penerbit Kencana, hal. 143<br />
44 Hilman Hadikusuma. H, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum,<br />
Mandar Maju, Bandung, hal.65<br />
35
c Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk maupun<br />
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu<br />
berupa Kamus Hukum dan Kamus Bahasa Indonesia.<br />
5.4 Teknik Pengumpulan Data.<br />
5.4.1 Teknik Pengumpulan Data Sekunder.<br />
Dilakukan dengan cara studi kepustakaan (dokumentasi) yaitu serangkaian<br />
usaha untuk memperoleh data dengan jalan membaca, menelaah, mengklarifikasi,<br />
mengidentifikasi, dan dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahan hukum yang<br />
berupa peraturan perundang-undangan serta buku-buku literatur yang ada<br />
relevansinya dengan permasalahan penelitian. Hasil dari kegiatan pengkajian tersebut<br />
kemudian dibuat ringkasan secara sistematis sebagai inti sari hasil pengkajian studi<br />
dokumen. Tujuan dari teknik dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsi-<br />
konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang berhubungan<br />
dengan permasalahan penelitian.<br />
5.4.2 Teknik Pengumpulan Data Primer.<br />
Dilakukan dengan cara studi lapangan yaitu dengan cara mengadakan<br />
wawancara (interview) dengan para responden dan informan. Interview adalah<br />
mengajukan pertanyaan-pertanyaan meminta keterangan dan penjelasan-penjelasan<br />
sambil menilai jawaban-jawabannya. Didalam mendapatkan data yang diperlukan<br />
digunakan metode wawancara bebas terpimpin yang bersifat komprehensif<br />
(mendalam) dengan menggunakan alat tulis.<br />
36
5.5 Lokasi Penelitian dan Teknik Pengambilan Sampel.<br />
5.5.1 Lokasi Penelitian.<br />
Lokasi penelitian dalam kaitannya dengan penulisan tesis ini adalah di beberapa<br />
kabupaten yang ada di Pulau Bali. Pemilihan lokasi penelitian ini di dasarkan atas<br />
pertimbangan bahwa Pulau Bali pada saat sekarang perkembangan perdagangan dan<br />
industrinya sangat pesat, yang salah satunya ditandai dengan semakin banyak<br />
tumbuhnya perusahaan-perusahaan yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas,<br />
baik yang ada di Kota Denpasar atau yang ada di kabupaten-kabupaten. Di beberapa<br />
kota di Bali banyak ada perusahaan –perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas<br />
yang mulai beroperasi jauh sebelum lahirnya UU No. 40 Tahun 2007 tentang<br />
Perseroan Terbatas. Adapun lokasi penelitian sebagaimana dimaksud adalah di Kota<br />
Denpasar, di Kantor PT Federal International Finance yang berlokasi di Jalan Gatot<br />
Subroto 18 B Denpasar, dan beberapa perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas<br />
yang ada di kabupaten di Bali.<br />
5.5.2. Teknik Pengambilan Sampel.<br />
Pengambilan sampel merupakan suatu proses dalam memilih suatu bagian<br />
yang representative dari suatu populasi. Populasi adalah keseluruhan atau himpunan<br />
obyek dengan karakter yang sama. Di dalam Encyclopedia of Educational Evaluation<br />
dijelaskan: Á population is a set (or collection) of all elements possessing one or<br />
more attributes of interest. Jadi polulasi adalah seluruh obyek, seluruh individu,<br />
seluruh gejala atau seluruh kejadian termasuk waktu, tempat, gejala-gejala, pola<br />
sikap, tingkah laku yang mempunyai cirri atau karakter yang sama dan merupakan<br />
37
unit satuan yang diteliti. 45 Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah<br />
perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas yang ada di Bali, dengan sub polulasi<br />
adalah Perusahaan yang berbentuk PT yang telah melaksanakan CSR. Untuk dapat<br />
memilih sampel yang representative, maka diperlukan teknik sampling. Cara<br />
pengambilan sample dari populasi dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:<br />
1. Probabilitas sampling atau random sampling<br />
2. Nonprobabilitas sampling atau nonrandom sampling.<br />
Dalam penelitian ini digunakan teknik non probability sampling atau<br />
nonrandom sampling dengan menggunakan jenis purposive sampling. Dalam hal ini<br />
berarti bahwa sampel dipilih berdasarkan penunjukan atau rekomendasi sebelumnya,<br />
yang bertindak sebagai informan kunci. Dari informasi kunci tersebut penelitian akan<br />
dilanjutkan kepada para responden, yaitu para pelaku usaha khususnya usaha yang<br />
berbadan hukum Perseroan Terbatas, yang telah dipilih sebelumnya dan dapat<br />
mewakili populasi.<br />
5.6. Teknik Pengolahan dan Analisa Data.<br />
Dari data yang berhasil dikumpulkan, baik data primer maupun data sekunder,<br />
kemudian diolah dan dianalisa dengan mempergunakan teknik analisis deskriftif<br />
kualitatif, yaitu dengan menguraikan semua data menurut mutu, dan sifat gejala dan<br />
peristiwa hukumnya dengan mempertautkan antara data primer dengan data sekunder.<br />
Setelah itu, data tersebut disajikan secara deskriftif analisis dengan menguraikannya<br />
secara sistematis dan komprehensif, sehingga dapat menjawab permasalahan.<br />
45 Inderson, 1975, dalam Bahder Johan Nasution, Op. Cit. Hal.145.<br />
38
BAB II<br />
TINJAUAN UMUM TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERSEROAN PADA<br />
PERSEROAN TERBATAS DALAM PERSPEKTIF TRI HITA KARANA<br />
2.1 Pengertian CSR dan Dasar Hukum<br />
Terminologi tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) bukanlah hal yang<br />
relative baru dalam dunia usaha, evolusi konsepnya sendiri sudah berlangsung pada<br />
beberapa dekade. Pada sisi lain istilah CSR sendiri juga mengalami perubahan sejalan<br />
dengan perkembangan dunia usaha, politis dan pembangunan sosial serta hak asasi<br />
manusia (HAM).<br />
Selain itu terminologi CSR juga dipengaruhi oleh dampak globalisasi dan<br />
perkembangan teknologi informasi, dan semua itu akan mencerminkan pemahaman<br />
terhadap pengertian CSR dalam kontek lokal. 46<br />
Corporate Social Responsibility dalam bahasa Indonesia dikenal dengan<br />
tanggungjawab sosial perusahaan sedangkan di Amerika, konsep ini seringkali<br />
disamakan dengan corporate citizenship. Pada intinya, keduanya dimaksudkan<br />
sebagai upaya perusahaan untuk meningkatkan kepedulian terhadap masalah sosial<br />
dan lingkungan dalam kegiatan usaha dan juga pada cara perusahaan berinteraksi<br />
dengan stakeholder yang dilakukan secara sukarela. Selain itu, tanggungjawab sosial<br />
perusahaan diartikan pula sebagai komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam<br />
pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan,<br />
46 Saidi, Zaim, 2002, Sumbangan Sosial Perusahaan, Jakarta, Penerbit Piramida, hal. 97<br />
39
keluarga karyawan dan masyarakat setempat (lokal) dalam rangka meningkatkan<br />
kualitas kehidupan.<br />
Mulai pada saat terminologi CSR diperkenalkan tahun 1920 sampai saat ini<br />
belum ada difinisi tunggal mengenai pengertian dari CSR. Berikut ini adalah definisi-<br />
definisi dari CSR yang antara lain:<br />
The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD), yang<br />
merupakan lembaga internasional yang berdiri tahun 1995 dan beranggotakan lebih<br />
dari 180 perusahaan multinasional yang berasal dari 35 negara memberikan definisi<br />
CSR sebagai "continuing commitment by business to behave ethically and contribute<br />
to economic development while improving the quality of life of the workforce and<br />
their families as well as of the local community and society at large". 47<br />
Apabila diterjemahkan secara bebas kurang lebih berarti komitmen dunia usaha untuk<br />
terus-menerus bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk<br />
peningkatan ekonomi,bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan.<br />
Definisi lain mengenai CSR juga dilontarkan oleh World Bank yang<br />
memandang CSR sebagai "the commitment of business to contribute to sustainable<br />
economic development working with amployees and their representatives the local<br />
community and society at large to improve quality of life, in ways that are both good<br />
for business and good for development".<br />
Kalau diterjemahkan secara bebas kurang lebih berarti komitmen dunia usaha untuk<br />
memberikan sumbangan guna menopang bekerjanya pembangunan ekonomi bersama<br />
47 Isa Wahyudi, Op. Cit. hal. 29<br />
40
karyawan dan perwakilan-perwakilan mereka dalam komunitas setempat dan<br />
masyarakat luas untuk meningkatkan taraf hidup, intinya CSR tersebut adalah baik<br />
bagi keduanya, untuk dunia usaha dan pembangunan.<br />
CSR forum juga memberikan definisi, "CSR mean open and transparent<br />
business practise that are based on ethical values and respect for employees,<br />
communities and environment". Apabila diterjemahkan secara bebas, CSR berarti<br />
keterbukaan dan transparan dalam pelaksanaan usahanya yang dilandasi oleh nilai-<br />
nilai etika dan penghargaan kepada karyawan-karyawan, masyarakat setempat, dan<br />
lingkungan hidup.<br />
Sejumlah negara juga mempunyai definisi tersendiri mengenai CSR. Yaitu dari<br />
European Union atau Uni Eropa (EU Green Paper on CSR) sebagai lembaga<br />
perhimpunan Negara-negara di benua Eropa mengemukakan bahwa "CSR is a<br />
concept where by companies integrate social and environmental concerns in their<br />
business operations and in their interaction with their stakeholders on a voluntary<br />
basic". Apabila diterjemahkan secara bebas, CSR adalah suatu konsep untuk<br />
integritas sosial perusahaan dan memperhatikan masalah lingkungan dalam<br />
operasional usahanya dan melakukan hubungan interaksi dengan stakeholders yang<br />
didasari kesukarelaan.<br />
Howard R Bowen melalui karyanya yang diberi judul “Social Responsibilities<br />
of the Bussinessmen”. Bowen merumuskan CSR sebagai berikut: ït refers to the<br />
obligations of businessmen to pursue those policies, to make those decisions, or to<br />
41
follow those lines of action which are desireable interms of the objectives and values<br />
of our society” 48<br />
Yusuf Wibisono, CSR didifinisikan sebagai tanggung jawab perusahaan kepada<br />
para pemangku kepentingan untuk berlaku etis, meminimalkan dampak negatif dan<br />
memaksimalkan dampak positif yang mencakup aspek ekonomi, sosial, dan<br />
lingkungan (triple bottom line) dalam rangka mencapai tujuan pembangunan<br />
berkelanjutan 49 .<br />
Suhandari M. Putri, mendifinisikan CSR adalah komitmen perusahaan atau<br />
dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan<br />
dengan memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dan menitikberatkan pada<br />
keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis, sosial, dan lingkungan. 50<br />
UUPT juga mengatur ketentuan mengenai CSR. Pengertian CSR diatur di<br />
dalam Pasal 1 butir (3) UUPT, dalam hal ini CSR disebut sebagai tanggung jawab<br />
sosial dan lingkungan (TJSL) yang berarti komitmen Perseroan untuk berperan serta<br />
dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan<br />
dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat,<br />
maupun masyarakat pada umumnya.<br />
Pelaksanaan CSR ini harus dimuat di dalam laporan tahunan perseroan yang<br />
disampaikan oleh direksi dan ditelaah oleh dewan komisaris yang mengharuskan<br />
48 Bowen. R, dalam Isa Wahyudi, Op. Cit. hal.16<br />
49 Yusuf Wibisono,2007, Membedah Konsep dan Aplikasi Corporate Social Responsibility,<br />
Penerbit Salemba Empat, hal. 10<br />
50 Suhandari M. Putri, 2007, Schema CSR, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, hal.25.<br />
42
memuat laporan pelaksanaan tangung jawab sosial dan lingkungan (Pasal 66 ayat (2)<br />
huruf c UUPT). Dalam hal ini, UUPT mewajibkan bagi setiap perseroan yang<br />
menjalankan kegiatan usaha di bidang dan/ atau berkaitan dengan sumber daya alam<br />
untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.<br />
Hal ini ditegaskan juga dalam Pasal 74 ayat (1) UUPT yang menyatakan bahwa<br />
perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/ atau berkaitan dengan<br />
sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dalam<br />
hal ini, tanggung jawab sosial dan lingkungan menipakan kewajiban perseroan yang<br />
dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya<br />
dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran (Pasal 74 ayat (2) UUPT).<br />
Selanjutnya, dinyatakan bahwa perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban<br />
dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 74 ayat<br />
(3) UUPT). 51<br />
Tanggungjawab sosial perusahaan terkait dengan nilai dan standar yang<br />
dilakukan berkenaan dengan beroperasinya sebuah perusahaan (corporate), maka<br />
CSR didefinisikan sebagai komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi<br />
secara legal, dan berkontribusi untuk meningkatkan kualitas hidup dari karyawan dan<br />
keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat secara lebih luas.<br />
Dalam berbagai wacana Corporate Social Responsibility dapat diartikan secara<br />
luas dan universal seperti berikut:<br />
1. World Business Council for Sustainable Development<br />
51 Yusuf Wibisono,Op. Cit. hal.8<br />
43
Komitmen berkesinambungan dari kalangan bisnis untuk berperilaku etis dan<br />
memberi kontribusi bagi pembangunan ekonomi, seraya meningkatkan kualitas<br />
kehidupan karyawan dan keluargnya, serta komunitas lokal dan masyarakat luas<br />
pada umumnya.<br />
2. International Finance Corporation<br />
Komitmen dunia bisnis untuk memberi kontribusi terhadap pembangunan<br />
ekonomi berkelanjutan melalui kerjasama dengan karyawan, keluarga mereka,<br />
komunitas lokal dan masyarakat luas untuk meningkatkan kehidupan mereka<br />
melalui cara-cara yang baik bagi bisnis maupun pembangunan. 52<br />
4. European Commission<br />
A concept whereby companies decide voluntarily to contribute to a better<br />
society and a cleaner environment. 53<br />
Kalau diterjemahkan secara bebas artinya adalah sebagai berikut:<br />
Sebuah konsep dengan mana perusahaan mengintegrasikan perhatian terhadap<br />
sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksinya dengan<br />
para pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip kesukarelaan.<br />
5. CSR Asia<br />
Komitmen perusahaan untuk beroperasi secara berkelanjutan berdasarkan<br />
prinsip ekonomi, sosial dan lingkungan, seraya menyeimbangkan beragam<br />
52 Arif Budimanta ,2008, Corporate Social Responsibility: Alternatif bagi Pembangunan<br />
Indonesia, Jakarta, Penerbit ICSD, Hal. 67<br />
53 http://www.business.curtin.edu.au/files/GSB_Working_Paper_No._62_Corp_Social_Resp_A_defin<br />
ition_Thomas___Nowak.<strong>pdf</strong>, page. 17<br />
44
kepentingan para stakeholders.<br />
6. ISO 26000 mengenai Guidance on Social Responsibility<br />
Tanggung jawab sebuah organisasi terhadap dampak-dampak dari keputusan-<br />
keputusan dan kegiatan-kegiatannya pada masyarakat dan lingkungan yang<br />
diwujudkan dalam bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan<br />
pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat; mempertimbangkan<br />
harapan pemangku kepentingan, sejalan dengan hukum yang ditetapkan dan norma-<br />
norma perilaku internasional; serta terintegrasi dengan organisasi secara<br />
menyeluruh (draft 3, 2007).<br />
Tanggungjawab sosial merupakan Pasal yang tidak dapat dipisahkan dari good<br />
corporate governance karena pelaksanaan Corporate Social Responsibility<br />
merupakan Pasal dari salah satu prinsip yang berpengaruh dalam good corporate<br />
governance. Sampai dengan sekarang belum ada kata sepakat tentang definisi dari<br />
good corporate governance atau tata kelola perusahaan yang baik. Akan tetapi, pada<br />
umumnya GCG dipahami sebagai suatu sistem, dan seperangkat peraturan yang<br />
mengatur hubungan antara berbagai pihak yang berkepentingan terutama dalam arti<br />
sempit hubungan antara pemegang saham dan dewan komisaris serta dewan direksi<br />
demi tercapainya tujuan perusahaan, sedangkan dalam arti luas, GCG digunakan<br />
untuk mengatur hubungan seluruh kepentingan stakeholders secara proporsional dan<br />
mencegah terjadinya kesalahan-kesalahan signifikan dalam strategi perusahaan<br />
sekaligus memastikan bahwa kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat diperbaiki<br />
45
dengan segera. 54<br />
Dalam keputusan Menteri Negara/ Kepala Badan Penanaman Modal dan<br />
Pembinaan Badan Usaha Milik Negara No. Kep-23/MPM.PBUMN/2000, tanggal 31<br />
Mei 2000, tentang pengembangan praktik Good Corporate Governance dalam<br />
perusahaan persero, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan GCG adalah prinsip<br />
perusahaan yang sehat dan diterapkan dalam pengelolaan perusahaan yang<br />
dilaksanakan semata-mata demi menjaga kepentingan perusahaan dalam rangka<br />
mencapai maksud dan tujuan perusahaan. 55<br />
Menurut Komite Cadburry, GCG adalah prinsip yang mengarahkan dan<br />
mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta<br />
kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawabannya kepada para<br />
shareholders khususnya, dan stakeholders pada umumnya. Tentu saja hal ini<br />
dimaksudkan pengaturan kewenangan direktur, manajer, pemegang saham, dan pihak<br />
lain yang berhubungan dengan perkembangan perusahaan di lingkungan tertentu.<br />
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD)<br />
mendefinisikan GCG sebagai cara-cara manajemen perusahaan bertanggung jawab<br />
pada shareholder-nya. Para pengambil keputusan diperusahaan haruslah dapat<br />
dipertanggungjawabkan, dan keputusan tersebut mampu memberikan nilai tambah<br />
bagi shareholders lainnya. Oleh karena itu, fokus utama di sini terkait dengan proses<br />
54 Emrizon, Joni, 2007, Prinsip-prinsip Good Corporate Governnance, Yogyakarta, Genta Press,<br />
hal. 67<br />
55 Khairandy, Ridwan& Malik Camelia, 2007, Good Corporate Governance, Yogyakarta, Penerbit<br />
Total Media, hal. 54<br />
46
pengambilan keputusan dari perusahaan yang mengandung nilai-nilai transparency,<br />
responsibility, accountability, dan tentu saja fairness.<br />
Di Indonesia istilah GCG biasa diartikan sebagai tata kelola perusahaan yang<br />
baik. Dalam hal ini, GCG kemudian didefinisikan sebagai suatu pola hubungan,<br />
sistem, dan proses yang digunakan oleh organ perusahaan guna memberikan nilai<br />
tambah kepada pemegang saham secara berkesinambungan dalam jangka panjang,<br />
dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, dengan berlandaskan<br />
peraturan perundang-undangan dan norma yang berlaku. Dari definisi di atas dapat<br />
disimpulkan bahwa GCG merupakan:<br />
1) Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang peran dewan<br />
komisaris, direksi, pemegang saham dan para stakeholder lainnya.<br />
2) Suatu sistem pengecekan dan perimbangan kewenangan atas pengendalian<br />
perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua peluang: pengelolaan yang<br />
salah dan penyalahgunaan aset perusahaan.<br />
3) Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian,<br />
berikut pengukuran kinerjanya. 56<br />
Prinsip-prinsip yang terkandung dalam GCG antara lain:<br />
1) Transparency (keterbukaan informasi)<br />
Secara sederhana bisa diartikan sebagai keterbukaan informasi. Dalam<br />
mewujudkan prinsip ini, perusahaan dituntut untuk menyediakan informasi yang<br />
hal.231<br />
56 Hamud M. Balfas, 2006, Hukum Pasar Modal Indonesia, Jakarta, Penerbit PT Tatanusa,<br />
47
cukup, akurat, tepat waktu kepada segenap stakeholdersnya.<br />
2) Accountability (Akuntabilitas)<br />
Akuntabilitas berarti adanya kejelasan fungsi, struktur, sistem dan<br />
pertanggungjawaban elemen perusahaan. Apabila prinsip ini diterapkan secara<br />
efektif, maka akan ada kejelasan akan fungsi, hak, kewajiban, dan wewenang serta<br />
tanggung jawab antara pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan direksi.<br />
3) Responsibility (Pertanggungjawaban)<br />
Bentuk pertanggungjawaban perusahaan adalah kepatuhan perusahaan terhadap<br />
peraturan yang berlaku, diantaranya termasuk masalah pajak, hubungan industrial,<br />
kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan lingkungan hidup, memelihara<br />
lingkungan bisnis yang kondusif bersama masyarakat dan sebagainya. Dengan<br />
menerapkan prinsip ini diharapkan akan menyadarkan perusahaan bahwa dalam<br />
kegiatan operasionalnya, perusahaan juga mempunyai peran untuk<br />
bertanggungjawab selain kepada shareholder juga kepada stakeholders lainnya.<br />
4) Independency (kemandirian)<br />
Prinsip ini mensyaratkan agar perusahaan dikelola secara profesional tanpa ada<br />
benturan kepentingan dan tekanan atau intervensi dari pihak manapun yang tidak<br />
sesuai dengan peraturan yang berlaku.<br />
5) Fairness (kesetaraan dan kewajaran)<br />
Prinsip ini menuntut adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak<br />
stakeholders sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang<br />
48
erlaku. 57<br />
Prinsip yang berkaitan erat dengan CSR adalah Responsibilitas yang<br />
merupakan aspek pertanggungjawaban dari setiap kegiatan perusahaan untuk<br />
melaksanakan prinsip corporate social responsibility karena dalam berusaha, sebuah<br />
perusahaan tidak akan lepas dari masyarakat sekitar, ditekankan juga pada signifikasi<br />
filantrofik yang diberikan dunia usaha kepada kepentingan pihak-pihak eksternal<br />
dimana perusahaan diharuskan memperhatikan kepentingan stakeholder perusahaan,<br />
menciptakan nilai tambah (value added) dari produk dan jasa, dan memelihara<br />
kesinambungan nilai tambah yang diciptakannya. Diluar itu, lewat prinsip<br />
responsibility diharapkan membantu pemerintah dalam mengurangi kesenjangan<br />
pendapatan dan kesempatan kerja pada segmen masyarakat yang belum mendapatkan<br />
manfaat dari mekanisme pasar. 58<br />
Corporate Social Responsibility sebagai sebuah gagasan, perusahaan tidak lagi<br />
dihadapkan pada tanggungjawab yang berpijak pada single bottom line yaitu nilai<br />
perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya<br />
(financial saja) tetapi harus berpijak pada triple bottom lines, dimana bottom lines<br />
selain financial juga sosial dan lingkungan. Aspek ekonomi diungkapkan dengan<br />
Profit, asfek sosial diungkapkan dengan people, dan aspek lingkungan diungkapkan<br />
dengan Planet. Kondisi keuangan saja tak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh<br />
secara berkelanjutan (sustainable). Menurut Archie B. Carrol disebut dengan<br />
57 Khairandy, Ridwan& Malik Camelia, Op. Cit. hal.7<br />
58 Arif Budimanta, Op. Cit. Hal. 25<br />
49
piramida CSR. Kemudian teori ini pada tahun 1997 dipopulerkan oleh John Elkington<br />
melalui bukunya yang berjudul “ Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of<br />
Twentieth Century Business”.<br />
1. Profit. Perusahaan tetap harus berorientasi untuk mencari keuntungan ekonomi<br />
yang memungkinkan untuk terus beroperasi dan berkembang.<br />
2. People. Perusahaan harus memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan manusia.<br />
Beberapa perusahaan mengembangkan program CSR seperti pemberian beasiswa<br />
bagi pelajar sekitar perusahaan, pendirian sarana pendidikan dan kesehatan,<br />
penguatan kapasitas ekonomi lokal, dan bahkan ada perusahaan yang merancang<br />
berbagai skema perlindungan sosial bagi warga setempat.<br />
3. Plannet. Perusahaan peduli terhadap lingkungan hayati. Beberpa program CSR<br />
yang berpijak pada prinsip ini biasanya berupa penghijauan lingkungan hidup,<br />
penyediaan sarana pengembangan pariwisata (ekoturisme).<br />
Triple “P”(Profit, People, Planet) merupakan tiga aspek yang tidak dapat<br />
dipisahkan satu dengan yang lainnya, karena merupakan satu kesatuan yang tak<br />
terpisahkan. Apabila perusahaan dalam mengimplementasikannya, hanya<br />
menekankan hanya pada salah satu aspek saja, maka perusahaan akan dihadapkan<br />
pada berbagai macam resestensi baik yang bersifat internal maupun eksternal,<br />
sehingga perusahaan akan sulit bahkan tidak akan mampu beraktivitas secara<br />
berkelanjutan. 59<br />
Berdasarkan standar dari Bank Dunia maka CSR meliputi beberapa komponen<br />
59 Gunawan Widjaya dan Yeremia Ardi Pratama, Op. Cit. Hal. 34<br />
50
utama yakni (1) perlindungan lingkungan (2) jaminan kerja (3) Hak Asasi Manusia<br />
(4) interaksi dan keterlibatan perusahaan dengan masyarakat (5) standar usaha (6)<br />
pasar (7) pengembangan ekonomi dan badan usaha (8) perlindungan kesehatan (9)<br />
kepemimpinan dan pendidikan (10) bantuan bencana kemanusiaan. Bagi perusahaan<br />
yang berupaya untuk membangun citra positif perusahaannya, maka kesepuluh<br />
komponen tersebut harus diupayakan pemenuhannya.<br />
Dampak dari pendirian perusahaan oleh pemilik modal yang tergabung dalam<br />
sebuah corporation salah satunya adalah muncul kesenjangan antara pihak<br />
perusahaan (corporate) dengan masyarakat setempat yang dapat mempengaruhi<br />
kestabilan negara, disisi lain pemerintah terkadang tidak bisa berbuat banyak dalam<br />
memenuhi semua tuntutan masyarakat yang merasa hak-hak atas daerahnya dilanggar<br />
termasuk hak asasi seperti terusiknya tempat tinggal dan berkurangnya mata<br />
pencarian anggota masyarakat disekitar perusahaan. Dalam meminimalisir akibat<br />
tersebut, peran dari program corporate social responsibility sangat besar. 60<br />
Dengan dipenuhinya kewajiban-kewajiban ini maka perusahaan telah<br />
melakukan kegiatannya secara berkelanjutan dan tidak merugikan kepentingan para<br />
stakeholdernya. Perusahaan dalam mencari laba diperbolehkan, tetapi jangan pula<br />
mengabaikan hak-hak yang terkandung dan dimiliki oleh konsumen, investor dan<br />
masyarakat. Lebih dari itu ketika pembangunan perusahaan telah sesuai dengan<br />
kawasan peruntukannya, maka pengusaha perlu melaksanakan berbagai kewajiban<br />
untuk meminimalisir kerugian yang dialami konsumen, karyawan, investor, maupun<br />
60 Khairandy, Ridwan& Malik Camelia,Op. Cit. Hal. 9<br />
51
kerusakan kualitas lingkungan hidup antara lain :<br />
a. Kewajiban terhadap konsumen<br />
1. Konsumen memiliki hak untuk mendapatkan produk yang aman.<br />
2. Konsumen memiliki hak untuk mendapatkan informasi tentang spesifikasi<br />
produk yang dijual perusahaan, antara lain dengan mencantumkan label yang<br />
benar.<br />
3. Konsumen memiliki hak untuk didengarkan, perusahaan dapat membuka<br />
kontak pelanggan melalui kotak pos atau nomor telepon.<br />
4. Konsumen memiliki hak untuk dapat dapat memilih barang yang mereka beli.<br />
5. Kolusi dalam penetapan harga yang merugikan konsumen tidak dilakukan.<br />
6. Kampanye iklan tidak dilakukan secara berlebihan.<br />
7. Kampanye iklan diikuti oleh produksi dan distribusi produk sesuai dengan<br />
pesan-pesan iklan.<br />
8. Kampanye iklan perlu memperhatikan faktor berikut ini: tidak menayangkan<br />
materi iklan yang menonjolkan anak-anak sedang merokok, mencantumkan<br />
kandungan kalori lemah kolesterol dalam makanan, komponen vitamin, dan<br />
unsur-unsur minuman kesehatan, menayangkan dengan gencar produk<br />
konsumsi yang tidak layak dan tidak halal untuk dikonsumsi, memberikan<br />
iming iming hadiah jika membeli produk dengan gencar, materi iklan dan film<br />
yang tidak baik untuk ditonton oleh anak-anak dan bersifat pornografi.<br />
b. Kewajiban terhadap karyawan<br />
1. Melakukan proses seleksi dan penempatan pegawai secara transparan dengan<br />
52
mengajak para calon pegawai dari sekitar komunitas untuk berpartisipasi.<br />
2. Memberikan posisi jabatan dan balas jasa gaji dan pengupahan, serta promosi<br />
jabatan tanpa memandang agama, gender, suku bangsa, senioritas dan asal<br />
negara.<br />
3. Mematuhi peraturan dan UU ketenagakerjaan yang dikeluarkan oleh<br />
Pemerintah.<br />
c. Kewajiban terhadap investor<br />
1. Meniadakan berbagai potensi kecurangan yang mungkin timbul di perusahaan<br />
terhadap investor.<br />
2. Menghindari praktek pembuatan laporan keuangan yang disemir dan tidak<br />
sesuai dengan standar pelaporan akuntansi yang berlaku.<br />
3. Tidak melakukan perbuatan ilegal seperti mengeluarkan cek kosong dan proses<br />
pencucian uang (money laundry).<br />
4. Tidak melakukan proses “insider trading” dalam menjual surat berharga<br />
perusahaan.<br />
5. Mematuhi ketentuan tentang GAAP (Generally Accepted Accounting Practices),<br />
ketentuan pasar modal bagi para emiten dan pedoman GCG yang diberlakukan<br />
perusahaan.<br />
d. Kewajiban terhadap Masyarakat dan Lingkungan Hidup<br />
1. Menjalankan program community social responsibility, khususnya yang<br />
berkaitan dengan pelestarian kualitas lingkungan hidup.<br />
53
2. Memperhitungkan dampak lintas sektor dalam proses produksi dengan<br />
memanfaatkan bahan baku alam secara berkelanjutan.<br />
3. Menerapkan prinsip SIDEC, Sustainabilitas, Interdependence, Diversitas,<br />
Equity, Cohesion dalam pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan alam.<br />
4. Mengembangkan pola hidup “kekitaan” ketimbang “keakuan” (Emil Salim).<br />
5. Menghasilkan proses produksi dengan mengoptimalkan upaya renewable<br />
resources, daur ulang non-renewable resources, mengupayakan zero-waste<br />
clean technology; dan pemanfaatan tataruang dan proses produksi dengan<br />
sedikit limbah dan polusi. 61<br />
Langkah yang tidak kalah pentingnya adalah membentuk departemen khusus<br />
tersendiri yang bertugas menjalankan konsep CSR sehingga upaya ini dapat<br />
dilakukan dengan fokus dan terarah, dan last but not least adanya prioritas di bidang<br />
kesehatan juga merupakan hal yang tidak dapat dikesampingkan, sehingga CSR tidak<br />
hanya sebatas konsep untuk mendapatkan kesan baik atau citra positif semata<br />
melainkan benar-benar merupakan realisasi dari niat baik perusahaan sebagai parner<br />
dari masyarakat<br />
2.2 Sejarah CSR<br />
Perkembangan dunia dewasa ini menyebabkan masyarakat hidup bagai dalam<br />
dimensi ruang yang tak bersekat. Berbagai bidang kehidupan dipengaruhi oleh proses<br />
yang secara langsung telah membentuk tatanan baru dalam lingkup pergaulan dunia<br />
dimana negara maju cenderung mendominasi diantara negara berkembang dan negara<br />
61 Emrizon, Joni, Op. Cit. Hal. 76-78<br />
54
miskin yang lazim dikenal sebagai globalisasi. Globalisasi tidak hanya mencakup<br />
bidang eksternal seperti perdagangan tetapi juga merambah bidang-bidang privat<br />
negara yang bersangkutan seperti regulasi dan kebijakan yang mana kadang berkesan<br />
“abu-abu” karena tidak berkonsep dari masyarakat itu sendiri.<br />
Indonesia sebagaimana negara berkembang cenderung meratifikasi kebijakan<br />
global yang berembrio dari negara maju seperti berbagai produk peraturan di bidang<br />
ekonomi yang terkesan ”dipaksakan” pembuatan dan pemberlakuannya demi<br />
memenuhi prasyarat untuk ”boleh” berpartisispasi dalam perkembangan ekonomi<br />
dunia.<br />
Ekonomi secara signifikan berkembang seiring dengan globalisasi mengarah<br />
pada perubahan citra dalam dunia usaha dan industri. Berawal dari Earth Summit di<br />
Rio de Jeneirio Brazilia tahun 1992 dan program ekonomi berkelanjutan di<br />
Yohannesburg tahun 2002, hubungan perusahaan dengan obyek diluar industri mulai<br />
mengalami pergeseran, dimulai dengan Corporate Relation yang berkembang<br />
menjadi Community Development dan Corporate Social Responsibility. Kegiatan atau<br />
program Corporate Social Responsibility merupakan suatu bentuk solidaritas sosial<br />
perusahaan bagi masyarakat, sekaligus bermanfaat dalam membentuk citra<br />
perusahaan melalui publikasi yang tepat akan sangat membantu membangun<br />
menggalang kerjasama antara masyarakat dengan perusahaan. 62<br />
Misi untuk mencapai profitabilitas dan kesinambungan pertumbuhan dapat<br />
ditempatkan sejalan dengan tanggung jawab sosial perusahaan sehingga ada<br />
62 Isa Wahyudi, Op. Cit. Hal. 87<br />
55
keselarasan antara kebutuhan masyarakat dan perusahaan untuk tumbuh bersama.<br />
Konsep seperti ini lebih dikenal sebagai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau<br />
Corporate Social Responsibility.<br />
Konsep CSR memberikan wajah baru bentuk kepedulian perusahaan terhadap<br />
masyarakat dengan alasan bahwasanya kegiatan produksi langsung maupun tidak<br />
membawa dampak for better or worse bagi kondisi lingkungan dan sosial ekonomi<br />
disekitar perusahaan beroperasi. Selain itu, pemilik perusahaan sejatinya bukan hanya<br />
shareholders (komponen yang terkait dengan internal perusahaan) yakni para<br />
pemegang saham melainkan pula stakeholders, yaitu semua pihak diluar pada<br />
pemegang saham yang terkait dan berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan.<br />
Stakeholders dapat mencakup karyawan dan keluarganya, pelanggan, pemasok,<br />
masyarakat disekitar perusahaan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, media<br />
massa dan pemerintah selaku regulator. Jenis dan prioritas stakeholders relatif<br />
berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan yang lain, tergantung pada core<br />
bisnis perusahaan yang bersangkutan. 63<br />
Sebagai contoh, PT Aneka Tambang, Tbk. dan Rio Tinto yang menempatkan<br />
masyarakat dan lingkungan sekitar sebagai stakeholders dalam skala prioritasnya.<br />
Sementara itu, stakeholders dalam skala prioritas bagi produsen produk konsumen<br />
seperti Unilever atau Procter & Gamble adalah para customer-nya.<br />
Pemberlakuan CSR notabene memperkuat posisi perusahaan di sebuah<br />
kawasan, melalui jalinan kerjasama antara stakeholder yang difasilitasi oleh<br />
63 Arif Budimanta , Op. Cit. hal. 27.<br />
56
perusahaan melalui penyusunan berbagai program pengembangan masyarakat sekitar,<br />
atau dalam pengertian, kemampuan perusahaan beradaptasi dengan lingkungan,<br />
komunitas dan stakeholder yang terkait dengan perusahaan, baik lokal, nasional<br />
maupun global, karena pengembangan corporate social responsibility kedepan<br />
mengacu pada konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainability development).<br />
Dalam konteks global, istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970 an dan<br />
semakin populer terutama setelah kehadiran buku Cannibals With Forks: The Triple<br />
Bottom Line in 21st Century Business (1998), karya John Elkington.<br />
Mengembangkan tiga komponen penting sustainable development, yakni economic<br />
growth, environmental, protection, dan social equity, yang digagas oleh the World<br />
Commission on Environment and Development (WCED) dalam Brundtland Report<br />
(1987), Elkington mengemas CSR dalam fokus 3P, merupakan singkatan dari profit,<br />
planet dan people dimana perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan<br />
ekonomi (profit) belaka melainkan memiliki pula kepedulian terhadap kelestarian<br />
lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people). 64<br />
Pada saat industri berkembang setelah terjadinya revolusi industri, kebanyakan<br />
perusahaan masih memfokuskan tujuan perusahaan hanya sekedar untuk mencari<br />
keuntungan belaka. Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat kemudian<br />
menuntut perusahaan untuk bertanggungjawab sosial. Hal ini dikarenakan selain<br />
terdapat ketimpangan ekonomi antara pelaku usaha dengan masyarakat di sekitarnya,<br />
kegiatan operasional perusahaan umumnya juga memberikan dampak negatif,<br />
64 Gunawan Widjaya dan Yeremia Ardi Pratama, Op. Cit. Hal. 35<br />
57
misalnya eksploitasi sumber daya alam dan rusaknya lingkungan di sekitar operasi<br />
perusahaan. Hal itulah yang kemudian melatarbelakangi munculnya konsep CSR<br />
yang paling primitif, dalam hal ini adalah kedermawanan yang bersifat karitatif.<br />
Gema CSR semakin terasa pada tahun 1950-an. Hal ini dikarenakan persoalan-<br />
persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang semula tidak mendapat perhatian,<br />
mulai mendapatkan perhatian lebih luas dari berbagai kalangan. Dengan<br />
diterbitkannya buku yang bertajuk "social responsibilities of the businessman" karya<br />
Howard R Bowen tahun 1953 yang merupakan litertur awal, maka menjadikan tahun<br />
tersebut sebagai tonggak sejarah modern CSR. Di samping itu, pada dekade ini juga<br />
diramaikan oleh buku legendaris yang berjudul "silent spring" yang ditulis oleh<br />
Rachel Carson, seorang ibu rumah tangga biasa yang mengingatkan kepada<br />
masyarakat dunia akan bahaya yang mematikan dari pestisida terhadap lingkungan<br />
dan kehidupan. Melalui buku Rachel Carson ingin menyadarkan bahwa tingkah laku<br />
perusahaan mesti dicermati sebelum berdampak pada kehancuran. 65<br />
Pada dasawarsa 1970-an, terbitlah "the limits to Growth" yang merupakan hasil<br />
pemikiran para cendekiawan dunia yang tergabung dalam Club of Rome. Dalam hal<br />
ini, buku ini ingin mengingatkan kepada masyarakat dunia bahwa bumi yang kita<br />
pijak mempunyai keterbatasan daya dukung. Oleh karena itu, eksploitasi alam mesti<br />
dilakukan secara hati-hati supaya pembangunan dapat dilakukan secara berkelanjutan.<br />
Pada dasawarsa ini, kegiatan kedermawanan perusahaan terus berkembang dalam<br />
kemasan philantropy dan community development serta pada masa ini terjadi<br />
65 Ismail Solohin , Op. Cit. Hal. 75<br />
58
perpindahan penekanan dari fasilitas dan dukungan pada sektor-sektor produktif ke<br />
arah sektor-sektor sosial.<br />
Pada era 1980-an makin banyak perusahaan yang menggeser konsep<br />
philantropisnya ke arah community development. Intinya kegiatan kedermawanan<br />
yang sebelumnya kental dengan kedermawanan ala Robin Hood makin berkembang<br />
kearah pemberdayaan masyarakat, misalnya pengembangan kerja sama, memberikan<br />
keterampilan, pembukaan akses pasar, hubungan inti plasma, dan sebagainya.<br />
Dasawarsa 1990-an adalah dasawarsa yang diwarnai dengan beragam<br />
pendekatan seperti integral, pendekatan stakeholder maupun pendekatan civil society.<br />
Di Indonesia, istilah CSR semakin populer digunakan sejak awal tahun 1990-an.<br />
Beberapa perusahaan sebenarnya telah melakukan CSA (Corporate Social Activity)<br />
atau “aktivitas sosial perusahaan”. Walaupun berbeda secara gramatikal, secara<br />
faktual aksinya mendekati konsep CSR yang merepresentasikan bentuk “peran serta”<br />
dan “kepedulian” perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan. Melalui konsep<br />
investasi sosial perusahaan “seat belt”, sejak tahun 2003 Departemen Sosial tercatat<br />
sebagai lembaga pemerintah yang aktif dalam mengembangkan konsep CSR dan<br />
melakukan advokasi kepada berbagai perusahaan nasional. Tuntutan sosial yang<br />
muncul sejak abad ke 19 ini, berkembang hingga kini melalui beberapa tahapan<br />
seperti berikut:<br />
1. Entrepeneurial Era<br />
a) Dunia bisnis pada abad ke 19 ditandai dengan bangkitnya semangat<br />
kewirausahaan<br />
59
yang berfilosofi pada mekanisme pasar bebas (dipelopori oleh Rockefeller,<br />
Morgan dan Vanderbilt).<br />
b) Banyak terjadi pelanggaran hak-hak pekerja dan cara berbisnis yang baik sebagai<br />
aplikasi dari filosofi pasar bebas.<br />
c) Beberapa negara mulai membuat peraturan (Undang-Undang) untuk membatasi<br />
praktek kecurangan dalam bisnis.<br />
2. The Great Depression<br />
a) Tahun 1930 banyak pihak menduga kegagalan pasar didorong oleh faktor<br />
ketamakan perusahaan dalam mengejar keuntungan/laba.<br />
b) Mulai timbul kesadaran akan perlunya suatu Undang-Undang yang mengatur<br />
perlindungan terhadap pekerja, konsumen, dan masyarakat.<br />
3. The Era of Social Activism<br />
a) Dimulai tahun 1960-1970 dimana kalangan bisnis dicurigai berkolaborasi dengan<br />
pemerintah dengan memanfaatkan berbagai kesempatan bisnis untuk merugikan<br />
masyarakat. Sebagai contoh adalah produksi rokok.<br />
b) Masyarakat menuntut adanya UU tentang pembatasan merokok dan UU tentang<br />
perlindungan lingkungan.<br />
4. Contemporary Social Consciousness<br />
a) Sejak tahun 1990 mulai berkembang kesadaran dari berbagai pihak bahwa dunia<br />
bisnis perlu memberikan perhatian pada aspek sosial, yang didorong oleh<br />
perkembangan globalisasi dan kerusakan lingkungan.<br />
60
) Mulai diperkenalkannya konsep CSR dan berbagai peraturan tentang lingkungan<br />
hidup kepada khalayak. Pada tataran global, tahun 1992 diselenggarakan KTT Bumi<br />
(Earth Summit). KTT yang diadakan di Rio de Jenairo Brazil ini menegaskan<br />
konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang didasarkan atas<br />
perlindungan lingkungan hidup, pembangunan ekonomi dan sosial sebagai hal yang<br />
mesti dilakukan. Terobosan besar dalam kontek CSR ini dilakukan oleh John<br />
Elkington melalui konsep "3P" (Profit, people, and planet) yang dituangkan dalam<br />
bukunya "Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century<br />
Business" yang dirilis pada tahun 1997. la berpendapat bahwa jika perusahaan ingin<br />
sustain, maka ia perlu memperhatikan 3P, yakni bukan cuma profit yang diburu.<br />
Namun, juga harus memberikan kontribusi positif kepada masyarakat (people), dan<br />
ikut aktif dalam menjaga lingkungan (planet).<br />
Selanjutnya, gaung CSR kian bergema setelah diselenggarakannya World<br />
Summit on Sustainable Development (WSSD) tahun 2002 di Johannesburg Afrika<br />
Selatan. Sejak saat inilah, definisi CSR mulai berkembang. 66<br />
2.3 Prinsip-Prinsip CSR<br />
Salah seorang pakar tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yaitu Alyson<br />
Warhurst dari University Of Bath Inggris, pada tahun 1998 menjelaskan ada 16 (enam<br />
belas) prinsip tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Adapun prinsip-prinsip itu<br />
66 Ismail Solihin,2009, Corporate Social Responsibility: From Charity to Sustainability, Jakarta,<br />
Salemba Empat, Hal. 124<br />
61
adalah sebagai berikut: 67<br />
1. Prioritas korporat. Mengakui tanggung jawab sosial sebagai prioritas tertinggi<br />
korporat dan penentu utama pembangunan berkelanjutan, dengan begitu<br />
korporat bisa membuat kebijakan, program, dan praktek dalam menjalankan<br />
operasi bisnisnya dengan cara yang bertanggung jawab secara sosial.<br />
2. Manajemen terpadu. Mengintegrasikan kebijakan, program dan praktek ke<br />
dalam setiap kegiatan bisnis sebagai satu unsur manajemen dalam semua<br />
fungsi manajemen.<br />
3. Proses perbaikan. Secara bersinambungan memperbaiki kebijakan, program<br />
dan kinerja sosial korporat, berdasar temuan riset mutakhir dan memahami<br />
kebutuhan sosial serta menerapkan kriteria sosial tersebut secara internasional.<br />
4. Pendidikan karyawan. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan serta<br />
memotivasi karyawan.<br />
5. Pengkajian. Melakukan kajian dampak sosial sebelum memulai kegiatan atau<br />
proyek baru dan sebelum menutup satu fasilitas atau meninggalkan lokasi<br />
pabrik.<br />
6. Produk dan jasa. Mengembangkan produk dan jasa yang tak berdampak<br />
negatif secara sosial.<br />
7. Informasi publik. Memberi informasi dan (bila diperlukan) mendidik<br />
pelanggan, distributor, dan publik tentang penggunaan yang aman,<br />
67 Yusuf Wibisono, Op. Cit., hlm. 39-41.<br />
62
transportasi, penyimpanan dan pembuangan produk, dan begitu pula dengan<br />
jasa.<br />
8. Fasilitas dan operasi. Mengembangkan, merancang dan mengoperasikan<br />
fasilitas serta menjalankan kegiatan yang mempertimbangkan temuan kajian<br />
dampak sosial.<br />
9. Penelitian. Melakukan atau mendukung penelitian dampak sosial bahan baku,<br />
produk, proses, emisi dan limbah yang terkait dengan kegiatan usaha dan<br />
penelitian yang menjadi sarana untuk mengurangi dampak negatif.<br />
10. Prinsip pencegahan. Memodifikasi manufaktur, pemasaran atau penggunaan<br />
produk atau jasa, sejalan dengan penelitian mutakhir, untuk mencegah<br />
dampak sosial yang bersifat negatif.<br />
11. Kontraktor dan pemasok. Mendorong penggunaan prinsip-prinsip tanggung<br />
jawab sosial korporat yaang dijalankan kalangan kontraktor dan pemasok,<br />
disamping itu bila diperlukan mensyaratkan perbaikan dalam praktik bisnis<br />
yang dilakukan kontraktor dan pemasok.<br />
12. Siaga menghadapi darurat. Menyusun dan merumuskan rencana mennghadapi<br />
keadaan darurat, dan bila terjadi keadaan berbahaya bekerja sama dengan<br />
layanan gawat darurat, instansi berwenang dan komunitas lokal. Sekaligus<br />
mengenali potensi bahaya yang muncul.<br />
13. Transfer best practice. Berkontribusi pada pengembangan dan transfer praktik<br />
bisnis yang bertanggung jawab secara sosial pada semua industri dan sektor<br />
publik.<br />
63
14. Memberi sumbangan. Sumbangan untuk usaha bersama, pengembangan<br />
kebijakan publik dan bisnis, lembaga pemerintah dan lintas departemen<br />
pemerintah serta lembaga pendidikan yang akan meningkatkan kesadaran<br />
tentang tanggung jawab sosial.<br />
15. Keterbukaan. Menumbuhkembangkan keterbukaan dan dialog dengan pekerja<br />
dan publik, mengantisipasi dan memberi respons terhadap potencial hazard,<br />
dan dampak operasi, produk, limbah atau jasa.<br />
16. Pencapaian dan pelaporan. Mengevaluasi kinerja sosial, melaksanakan audit<br />
sosial secara berkala dan mengkaji pencapaian berdasarkan kriteria korporat<br />
dan peraturan perundang-undangan dan menyampaikan informasi tersebut<br />
pada dewan direksi, pemegang saham, pekerja dan publik.<br />
Pada sisi lain, Organization for Economic Cooperation and Development<br />
(OECD) pada saat pertemuan para menteri anggota OECD di Prancis tahun 2000 juga<br />
menyepakati pedoman bagi perusahaan multinasional. Pedoman tersebut berisikan<br />
kebijakan umum yang meliputi:<br />
1. Memberi kontribusi untuk kemajuan ekonomi, sosial, dan lingkungan<br />
berdasarkan pandangan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan<br />
(sustainable development).<br />
2. Menghormati hak-hak asasi manusia yang dipengaruhi oleh kegiatan yang<br />
dijalankan perusahaan tersebut, sejalan dengan kewajiban dan komitmen<br />
pemerintah di negara tempat perusahaan beroperasi.<br />
64
3. Mendorong pembangunan kapasitas lokal melalui kerja sama yang erat<br />
dengan komunitas lokal. Termasuk kepentingan bisnis. Selain<br />
mengembangkan kegiatan perusahaan di pasar dalam dan luar negeri sejalan<br />
dengan kebutuhan praktek perdagangan.<br />
4. Mendorong pembentukan human capital, khususnya melalui penciptaan<br />
kesempatan kerja dan memfasilitasi pelatihan bagi karyawan.<br />
5. Menahan diri untuk tidak mencari atau pembebasan di luar yang dibenarkan<br />
secara hukum yang terkait dengan lingkungan, kesehatan dan keselamatan<br />
kerja, perburuhan, perpajakan, insentif finansial dan isu-isu lainnya.<br />
6. Mendorong dan memegang teguh prinsip-prinsip Good Corporate<br />
Governance (GCG) serta mengembangkan dan menerapkan praktek-praktek<br />
tata kelola perusahaan yang baik.<br />
7. Mengembangkan dan menerapkan praktek-praktek sistem manajemen yang<br />
mengatur diri sendiri (self-regulation) secara efektif guna menumbuh<br />
kembangkan relasi saling percaya diantara perüsahaan dan masyarakat<br />
setempat di mana perusahaan beroperasi.<br />
8. Mendorong kesadaran pekerja yang sejalan dengan kebijakan perusahaan<br />
melalui penyebarluasan informasi tentang kebijakan-kebijakan itu pada<br />
pekerja termasuk melalui program-program pelatihan.<br />
9. Menahan diri untuk tidak melakukan tindakan tebang pilih (discrimination)<br />
dan indisipliner.<br />
65
10. Mengembangkan mitra bisnis, termasuk para pemasok dan sub-kontraktor,<br />
untuk menerapkan aturan perusahaan yang sejalan dengan pedoman tersebut.<br />
11. Bersikap abstain terhadap semua keterlibatan yang tak sepatutnya dalam<br />
kegiatan-kegiatan politik lokal.<br />
Pada era global ini, prinsip-prinsip tersebut seharusnya juga menjadi prinsip-<br />
prinsip yang harus dipatuhi oleh semua perusahaan (perseroan terbatas) dalam<br />
mengimplentasikan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). 68<br />
2.4 CSR Dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU No. 40 Tahun 2007)<br />
Di beberapa Negara kegiatan CSR sudah lazim dilakukan oleh suatu<br />
perusahaan, hal ini bukan karena diatur oleh pemerintah, melainkan untuk menjaga<br />
hubungan baik dengan stakeholders. Berbeda dengan di Indonesia dalam sistem<br />
perekonomiannya menganut ekonomi berasaskan kekeluargaan dan berdasarkan<br />
demokrasi ekonomi, serta pelaksanaan pengaturan CSR sebenarnya tidak terlepas dari<br />
makna Pancasila itu sendiri yang merupakan landasan filosofi. Dalam konstitusi ,<br />
prinsip CSR ini berkaitan dengan maksud dan tujuan bangsa dan bernegara<br />
sebagaimana yang termaktub dalam preambul UUD 1945 yang menegaskan bahwa<br />
”...........Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia<br />
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,<br />
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang<br />
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,......”.<br />
Selain dalam pembukaan UUD 1945 juga terdapat dalam Pasal 33 ayat (1) dan<br />
68 Ismail Solihin, Op. Cit. Hal. 75<br />
66
(4) yang berbunyi :<br />
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;<br />
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi<br />
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan<br />
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan<br />
kesatuan ekonomi nasional.<br />
Oleh karena itu sifat CSR yang ada di Indonesia yang pada mulanya bersifat<br />
sukarela menjadi wajib bagi perusahaan-perusahaan untuk menjalankan program<br />
CSR. Dan tidak ada alasan bagi perusahaan untuk tidak melaksanakan prinsip CSR<br />
dalam aktivitas usahanya. Sehinga agar kewajiban ini bersifat imperatif maka harus<br />
disertai dengan adanya regulasi sehingga pada tanggal 20 Juli 2007 DPR mengetuk<br />
palu tanda disetujuinya RUUPT menjadi UUPT maka muncullah UU No. 40 Tahun<br />
2007 tentang Perseroan Terbatas yang memasukkan klausul CSR dalam Pasal 74<br />
UU PT, meskipun sebelumnya telah dimasukkan dalam Undang-Undang<br />
Penanaman Modal. 69<br />
Ketentuan mengenai CSR dalam UUPT di atur pada pasal 74 yang berbunyi<br />
sebagai berikut:<br />
(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan<br />
dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan<br />
Lingkungan.<br />
(2). Tanggung jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)<br />
merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan<br />
sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan<br />
memperhatikan kepatutan dan kewajaran.<br />
69 Habib Adjie, Op. Cit. hal. 97.<br />
67
(3). Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada<br />
ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.<br />
(4). Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan<br />
diatur dengan Peraturan Pemerintah. 70<br />
Dengan dicantumkannya CSR dalam UU PT yang baru ini, ada beberapa<br />
pendapat yang tidak setuju tentang pengaturan CSR dalam UUPT tersebut, dengan<br />
berbagai alasan, antara lain:<br />
1. CSR adalah kegiatan yang bersifat sukarela (voluntary) bukan bersifat kewajiban<br />
(mandatory). Jika diatur, selain bertentangan dengan prinsip kerelaan, CSR juga<br />
akan member beban baru kepada dunia usaha, karena menggerus keuangan suatu<br />
perusahaan.<br />
2. CSR adalah kegiatan di luar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah<br />
3. diterapkan dalam perundang-undangan formal, seperti ketertiban usaha, pajam atas<br />
keuntungan dan standar lingkungan hidup.<br />
4. CSR di Negara Negara Eropa yang secara institusional jauh lebih matang dari<br />
Indonesia, proses regulasi yang menyangkut kewajiban perusahaan berjalan lama<br />
dan hati-hati. Bahkan European Union sebagai kumpulan Negara yang paling<br />
menaruh perhatian terhadap CSR telah menyatakan sikapnya bahwa CSR bukan<br />
sesuatu yang akan diatur.<br />
5. Lingkup dan pengertian CSR yang dimaksud dalam Pasal 74 UUPT berbeda<br />
15<br />
dengan pengertian CSR dalam pustaka maupun difinisi resmi, baik yang<br />
dikeluarkan oleh Word Bank maupun International Organization for<br />
70 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Penerbit Nada Umbara, hal.<br />
68
Standardization (ISO) 26000 Guidance on Social Responsibility .<br />
6. Pasal 74 telah mengabaikan sejumlah prasyarat yang memungkinkan terwujudnya<br />
makna dasar CSR, yakni sebagai pilihan sadar, adanya kebebasan, dan kemauan<br />
bertindak. 71<br />
Dari berbagai argumentasi yang menolak CSR sebagai suatu kewajiban hanya<br />
melihat CSR pada tataran kewajibannya saja. Para pelaku usaha tidak mengindahkan<br />
dasar filosofisnya dan dampak dari pembangunan yang berlangsung selama ini. Jika<br />
dilihat dari law making process-nya, konsep mengenai CSR dalam UUPT yang baru<br />
disahkan ini tidak terlepas dari aksi dan tuntutan masyarakat dan Lembaga Swadaya<br />
Masyarakat (LSM). Pada saat sekarang dapat dirasakan semakin deras dinamika<br />
sosial masyarakat, serta semakin turun peran pemerintah dan semakin vitalnya peran<br />
swasta dalam pembangunan. Fakta menunjukkan semakin berkurangnya tanggung<br />
jawab dari perusahaan baik nasional maupun multinasional yang beroperasi di<br />
Indonesia dalam mengelola lingkungan.<br />
Fakta yang lain menunjukkan bahwa banyak perusahaan yang hanya melakukan<br />
kegiatan operasionalnya tetapi kurang sekali memberikan perhatian terhadap<br />
kepentingan sosial dan ekonomi masyarakat disekitarnya, seperti kasus buyat atau<br />
yang paling terbaru adalah lumpur panas Lapindo di Sidoarjo, telah membuka mata<br />
para pebisnis dan pejabat pemerintah tentang pentingnya CSR. Selama seminar<br />
nasional tentang CSR yang dilaksanakan oleh IBL tahun 2006 para peserta<br />
memastikan jika CSR akan meningkat, tingkat kepentingan pada bisnis dalam kurun<br />
71 Isa Wahyudi, Op. Cit. hal.185<br />
69
waktu 5 tahun berikutnya, juga terdapat indikasi kuat bahwa investasi pada CSR<br />
dengan kegiatan yang berkaitan telah meningkat pada tahun 2006.<br />
Furthermore, the incidents such as the Buyat case (Newmont Minahasa), the Papua<br />
case (Freeport) or most recently the Sidoarjo “hot-mud” case (Lapindo Brantas)<br />
opened the eyes of business leaders and the general public about the importance of<br />
CSR. During the course of a national conference on CSR hosted by IBL in 2006, the<br />
participants confirmed that CSR would become increasingly important to business<br />
over the next five years. There is also strong indication that investment into CSR<br />
related activities has increased in 2006. Theare a of business ethics and corporate<br />
governance is likely to see an increase 72<br />
Atas dasar argumentasi tersebut, CSR yang semula adalah tanggung jawab<br />
non hukum (responsibility) diubah menjadi tanggung jawab hukum (liability). Untuk<br />
itu, CSR harus dimaknai sebagai instrument untuk mengurangi praktek bisnis yang<br />
tidak etis.<br />
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-<br />
2009, CSR diatur dalam sistem perundang-undangan di bidang hukum perusahaan.<br />
Hal ini dilakukan sebagai upaya mewujudkan tujuan pembangunan perekonomian<br />
yang berlandaskan pada prinsip kebersamaan, efesiensi, berkeadilan, berkelanjutan,<br />
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan<br />
kesatuan ekonomi nasional sebagai upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat.<br />
Atas pertimbangan tersebut, maka UUPT merumuskan CSR sebagai bagian dari<br />
kewajiban perusahaan dalam melakukan aktivitas kegiatannya di Indonesia.<br />
Kemudian dalam penjelasan UUPT ditegaskan bahwa ketentuan mengenai CSR ini<br />
72 http://www.aseanfoundation.org/seminar/gcsg/papers/Yanti%20Koestoer%20%20Paper%2<br />
02007.<strong>pdf</strong>, page. 3<br />
70
dimaksudkan untuk mendukung terjalinnya hubungan perusahaan yang serasi,<br />
seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat<br />
setempat.<br />
Dalam Pasal 74 ayat (1) UUPT 2007, menegaskan bahwa perseroan yang<br />
bergerak dalam bidang sumber daya alam wajib melaksanakan tanggungjawab social<br />
dan lingkungan. Substansi pasal ini menegaskan dan kewajiban hanya kepada<br />
perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) dan dalam bidang usaha sumber<br />
daya alam saja berkewajiban untuk mempunyai tanggung jawab sosial dan<br />
lingkungan. 73<br />
Substansi pasal 74 ayat (1) UU No.40 Tahun 2007 sangat sempit, yaitu hanya<br />
perseroan yang bergerak dalam bidang usaha (mengolah) sumber daya alam yang<br />
berkewajiban untuk mempunyai tanggungjawab sosial dan lingkungan. Seharusnya<br />
kewajiban tanggungjawab sosial dan lingkungan, bukan hanya untuk perseroan dalam<br />
bidang usaha sumber daya alam saja, tetapi juga untuk semua perseroan, dan sempit<br />
dalam pengertian tanggungjawab sosial yang dikaitkan dengan lingkungan saja.<br />
Tanggungjawab sosial mempunyai makna atau pengertian yang luas tidak hanya<br />
terhadap lingkungan saja, tetapi juga berkaitan dengan aspek kehidupan masyarakat<br />
di sekitarnya, apakah kehadiran sebuah perseroan di suatu tempat dapat memberikan<br />
dampak positif kepada masyarakat, misalnya dapat menaikkan taraf hidup masyarakat<br />
di sekitarnya atau malah menghancurkannya.<br />
Dalam ayat (2) UUPT, bahwa tanggungjawab sosial merupakan kewajiban<br />
73 Habib Adjie, Op. Cit. hal. 72.<br />
71
perseroan yang wajib dianggarkan dalam anggaran (keuangan) perseroan. Dengan<br />
kewajiban seperti ini, tanggungjawab sosial bagi setiap perusahaan wajib menghitung<br />
dengan cermat setiap pengeluaran perseroan sehingga keuntungan yang diperoleh<br />
merupakan keuntungan bersih (netto) yang tidak perlu dikurangi kewajiban lainnya.<br />
Ketentuan dalam Pasal 74 ayat (2) UUPT ini perlu penyebaran lebih lanjut,<br />
terutama berkaitan dengan makna “kewajiban perseroan yang dianggarkan” dan<br />
“diperhitungkan sebagai biaya Perseroan”. Berdasarkan ketentuan ini, setiap<br />
Perseroan harus merancang kegiatan CSR sejak awal suatu perusahaan beroperasi.<br />
Secara teoritis aturan ini sudah pasti memberatkan perusahaan, karena sejak awal<br />
perusahaan sudah mengeluarkan biaya untuk kegiatan CSR, padahal belum diketahui<br />
apakah perusahaan itu akan “profit” atau “lost out” dalam tahun anggaran yang<br />
bersangkutan. Oleh karena itu harus jelas makna kewajiban perseroan yang<br />
dianggarkan tersebut. Apakah dianggarkan sejak perusahaan beroperasi atau setelah<br />
beberapa waktu perusahaan itu beroperasi.<br />
Ketentuan mengenai dana yang dianggarkan untuk kegiatan CSR ini berkaitan<br />
dengan ketentuan Pasal 63 UUPT yang menegaskan:<br />
a. Direksi menyusun rencana kerja tahunan sebelum dimulainya tahun buku yang<br />
akan datang.<br />
b. Rencana kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat juga anggaran<br />
tahunan Perseroan untuk tahun buku yang akan datang.<br />
CSR merupakan bagian dari rencana tahunan yang dianggarkan dari biaya<br />
perusahaan, maka dengan sendirinya CSR tersebut akan menjadi bagian dari laporan<br />
72
tahunan suatu perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) poin c<br />
UUPT. Berkaitan dengan hal tersebut maka sudah barang tentu kegiatan CSR yang<br />
dianggarkan mempunyai implikasi tertentu, baik dari segi pendapatan Negara<br />
maupun kelembagaan. Implikasi tersebut antara lain berkaitan dengan:<br />
a. Biaya CSR merupakan bagian dari pengeluaran suatu perusahaan dan tidak<br />
merupakan bagian dari persentase keuntungan. Oleh karena itu pemerintah harus<br />
memberikan kompensasi tertentu kepada perusahaan, kompensasi ini dapat<br />
diberikan dalam bentuk insentif dalam bidang perpajakan, apakah dalam bentuk<br />
pajak penghasilan, atau pajak pertambahan nilai, atau yang lain.<br />
b. Apabila pemerintah tidak memberikan insentif dalam bentuk tertentu, maka<br />
dengan penerapan CSR ini yang timbul adalah penambahan biaya produksi (cost<br />
product). Tingginya cost product, maka yang menanggung adalah konsumen,<br />
sehingga konsumen dalam membeli produk barang tertentu yang di bayar<br />
bukanlah biaya riil, tetapi berdasarkan harga cost produc. Maka biaya yang<br />
dikeluarkan produsen untuk CSR justru dibebani kepada konsumen. Kalau hal ini<br />
terjadi maka hilanglah makna esensial CSR itu, sehingga CSR hanyalah sebagai<br />
slogan bagi perusahaan untuk strategi bisnisnya.<br />
c. CSR sebagai kegiatan yang dianggarkan dan bagian dari biaya perusahaan.<br />
Persoalan yang timbul adalah bagaimana jika perusahaan yang bersangkutan<br />
mengalami kerugian? Apakah perusahaan tersebut tetap melaksanakan kegiatan<br />
CSR-nya pada tahun yang bersangkutan atau menunda sampai perusahaan tersebut<br />
memperoleh keuntungan. Kemudian bagaimana terhadap kewajiban pajak yang<br />
73
harus dibayar oleh perusahaan tersebut?, apakah perusahaan tersebut tetap<br />
mendapat insentif? Kalau regulasinya tidak jelas insentif yang diberikan justru<br />
akan jadi alasan bagi perusahaan nakal untuk menghindari dari kewajiban<br />
membayar pajak.<br />
d. Apabila CSR telah menjadi bagian dari rencana kerja dan laporan tahunan suatu<br />
perusahaan, maka harus ada lembaga yang pasti yang berhak melakukan<br />
pengawasan dan atau sertifikasi 74<br />
2.5 Pengertian Konsep Tri Hita Karana.<br />
Manusia dipahami sebagai mahluk individual, mahluk sosial, mahluk religius<br />
dan mahluk simbolik. Dalam keberadaannya sebagai mahluk yang serba dimensional<br />
itu, manusia menunjukkan hubungan tergantung secara mikrokosmos dan<br />
makrokosmos. Manusia menempatkan dirinya sesuai dengan system nilai yang ada<br />
dan berlaku dalam hubungannya dengan Tuhan, hubungannya dengan sesamanya,<br />
dan hubungannya dengan lingkungan alamnya.<br />
Ketergantungan yang melekat di dalam diri manusia tidak bersifat statis, karena<br />
di dalam dirinya pula melekat sifat-sifat dinamis yang diekpresikan ke dalam perilaku<br />
berkarya (konsep rwa-bhineda). Keterpaduan dua sisi inilah melahirkan adanya<br />
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan yang tampak sebagai keteraturan gerak<br />
menuju kehidupan yang sejahtera. Manusia sebagai mahluk relegius mengakui<br />
adanya yang esa, yang gaib, yang maha sempurna yang mengatur kehidupan alam<br />
74 Amin Widjaja Tunggal, 2008, Corporate Social Responsibility (CSR), Jakarta, Penerbit<br />
Harvarindo,hal. 89<br />
74
semesta (bhuwana agung). Dalam dimensi ini manusia menyadari akan keterbatasan<br />
waktu dan ruang gerak, sehingga berusaha menempatkan dirinya dalam hubungannya<br />
dengan yang maha sempurna.<br />
Untuk kelestarian hubungannya dengan yang maha sempurna itu, maka<br />
manusia berusaha menciptakan berbagai perangkat spiritual keagamaan berdasarkan<br />
kepercayaan dan ketulusannya (sradha dan bhakti) kepada kekuatan alam semesta.<br />
Bukan saja keterikatannya dengan dunia spiritual yang abstrak (Niskala), tetapi<br />
manusia berupaya bagaimana hidup dalam keteraturan pada kehidupan nyata (skala).<br />
Manusia hidup bermasyarakat, bersosial dengan yang lainnya, dalam upaya<br />
menemukan dirinya dan mengisi kebutuhan dirinya secara sendiri dan bersama-sama.<br />
Kebersamaan ini tidak saja dalam hubungan pribadi ataupun dalam kontak sosial<br />
(mikrokosmos) juga dalam ikatannya dengan kehidupan makrokosmos. Dalam upaya<br />
untuk memenuhi kepentingan hidupnya manusia beradaptasi dan mengolah<br />
lingkungannya baik fisik maupun non fisik. Dalam dimensi ini manusia berusaha<br />
menciptakan keseimbangan dan keharmonisan, karena alam lingkungannya disadari<br />
memberi makna bagi kehidupannya.<br />
Dalam upaya untuk mencapai kesejahteraan hidup (makrokosmos/skala dan<br />
niskala), maka kondisi yang hendaknya diciptakan oleh setiap individu terciptanya<br />
keseimbangan yang harmonis, serasi dan selaras antara kehidupan niskala<br />
(transenden yang abstrak) dengan kehidupan skala (imanen yang nyata).<br />
Keberpihakan kepada satu dari kedua sisi tersebut (skala dan niskala) akan<br />
menunjukkan ketidakseimbangan sehingga akan melahirkan pribadi yang tidak<br />
75
harmonis. Sebaliknya melalui sarana yadnya (upacara/upakara) kedua sisi tersebut<br />
akan dipadukan secara seimbang sehingga dapat melahirkan pribadi yang laras, dan<br />
di dalam kondisi itu tujuan hidup akan dapat tercapai.<br />
Pandangan seperti itu bagi manusia atau masyarakat Bali (Hindu)<br />
dikongkritisisr sebagai suatu Bhawa mahurip (alam yang hidup) yang digerakkan<br />
oleh kekuatan rokh (jiwa), sehingga hubungan yang diciptakan tidak bersifat sepihak,<br />
tetapi ketergantungan satu sama lain dipertahankan secara utuh. Sifat hubungan<br />
seperti itu terkonsepsualisasikan dalam “Tri Hita Karana”.<br />
Konsep yang telah melembaga demikian kuat di dalam kehidupan masyarakat<br />
adat di Bali, selalu menghendaki tetap terjaganya keseimbangan dan keharmonisan<br />
antara tiga faktor yakni buana alit (diri sendiri), buana agung (alam semesta), Ida<br />
Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Konsep pemikiran tersebut telah<br />
menjadi nilai budaya, sehingga keyakinan tersebut telah demikian membudaya<br />
dengan kuat ke dalam tatanan kehidupan masyarakat adat di Bali. 75<br />
Secara etimologi Tri Hita Karana mengandung pengertian tri berarti tiga, hita<br />
berarti kemakmuran dan karana berarti penyebab. Dengan demikian Tri Hita Karana<br />
berarti tiga penyebab atau tiga unsur yang dapat melahirkan kemakmuran atau<br />
kesejahteraan yaitu Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan, yang mana ketiga unsur<br />
itu mempunyai makna dan fungsi saling terkait yang melahirkan substansi<br />
75 Legawa I. Made, dkk, 2002, Pengkajian Tri Hita Karana Sebagai Dasar Pembangunan<br />
Daerah Bali, Laporan Penelitian, Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Bali<br />
Dengan Universutas Mahasaraswati Denpasar, hal. 6<br />
76
masyarakat Bali (Hindu) yang hidup dalam pola interaksi simbolik. Hal ini dapat<br />
dijelaskan sebagai berikut:<br />
1. Parhyangan yang berasal dari kata Hyang yaitu Tuhan. Parhyangan atau<br />
kahyangan berarti Ketuhanan atau Hyang Widhi. Sang Hyang Widhi adalah suatu<br />
kekuatan Maha Pencipta(Prima Causa), sumber dari pada segala yang ada di alam<br />
semesta ini (Phurusah Parikirtitah). Beliaulah kekuatan yang sangat esa, yang satu<br />
yang tiada duanya, sebagai awal atau asal dan akhir dari kehidupan, karena itu<br />
oleh masyarakat Bali (Hindu) Parhyangan diwujudkan dalam berbagai Kahyangan<br />
(bangunan suci) untuk menyembah Tuhan. Bangunan suci (kahyangan)<br />
dipersepsikan sebagai tempat berstananya Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Bhatara-<br />
bhatari ataupun Hyang leluhur untuk memberikan kehidupan dan kesejahteraan<br />
serta sebagai obyektivasi kolektif bagi masyarakat Bali (Hindu).<br />
2. Pawongan, berasal dari kata wong yang berarti orang, sehingga aspek pawongan<br />
dimaksudkan hubungan manusia dengan manusia di dalam kehidupan bersama,<br />
dimana organisasi atau kelembagaan baik kedinasan maupun adat, organisasi<br />
komunitas dan keluarga sebagai wadah interaksinya. Dalam hubungan ini<br />
dipahami sebagai tindakan yang berdasarkan atas hubungan sosial yang diikat oleh<br />
nilai-nilai sosial kemasyarakatan. Nilai sosial kemasyarakatan dalam masyarakat<br />
Bali (Hindu) terkonsepsikan dengan ajaran Trikaya Parisuda yaitu bertindak<br />
(kayika), berkata (wacika) dan berfikir (manacika) yang baik dari setiap individu<br />
dalam ikatan bersama.<br />
77
Sebagai ilustrasi dari terapan konsep Tri Hita Karana dapat dipahami dari<br />
perilaku masyarakat yang terorganisir ke dalam sistem Desa Adat/Desa Pekraman,<br />
dan Subak. Kedua organisasi sosial ini sangat kental dengan nilai-nilai adat,<br />
budaya dan agama Hindu. Keterikatan anggota subak dalam kegiatan di sawah<br />
ataupun dalam hubungannya dengan pelaksanaan upacara ritual di subak tampak<br />
sangat kental. Kehidupan seperti itu telah mewarnai kehidupan sehari-hari dari<br />
krama subak di Bali. Mekanisme interaksi antara anggota subak telah diatur dalam<br />
ikatan organisasi yang tampaknya sangat sederhana, tetapi mempunyai nilai sangat<br />
fungsional. Pola prilaku anggota masyarakat subak atau desa pakraman telah<br />
diatur, disepakati, dan dilaksanakan bersama dengan semangat selunglung<br />
sebayantaka (sehidup semati), saling asah, asuh, lan asih. Setiap tindakan krama<br />
subak atau banjar tentu berkonskuensi adanya ganjaran ataupun sanksi yang telah<br />
diatur dan dituangkan dalam awig-awig (aturan pokok), dan pararem (aturan<br />
pelaksanaan) subak atau banjar.<br />
Aspek pawongan mempunyai makna lebih luas dari suatu hubungan yang<br />
komunal, karena dalam organisasi subak atau banjar adat tata hubungan diatur<br />
pula dalam struktur organisasi yang jelas. Organisasi subak mempunyai struktur<br />
yang cukup sederhana tetapi fungsional untuk menyelesaikan masalah yang<br />
berhubungan dengan aktivitas sosial relegius. Fungsionalnya suatu organisasi<br />
dapat dilihat dari terintegrasinya dengan baik berbagai unsure, fungsi dan peranan<br />
yang ada dalam struktur organisasi tersebut.<br />
78
3. Palemahan yang berasal dari kata lemah yang berarti tanah. Palemahan berarti<br />
bhuwana atau alam. Dalam hal ini palemahan dimaksudkan suatu wilayah<br />
pemuliman atau lingkungan tempat tinggal. Masyarakat Desa Pekraman dan subak<br />
memahami atas dasar sradha yaitu sikap percaya (kadangkala pemahaman tanpa<br />
pengetahuan keilmuan ataupun kealaman mereka percaya dan melaksanakan,<br />
karena didasari oleh sifat gugontuwon yaitu percaya karena diakui memang sudah<br />
begitu adanya), hubungan manusia dengan lingkungan alamnya. Krama desa<br />
sebagai kelompok manusiayang bermasyarakat memerlukan bhuwana atau<br />
palemahan sebagai alam tempatnya berpijak, karena disadari manusia tidak bias<br />
hidup tanpa alam dan dari alam. 76<br />
Dalam kaitan hal tersebut diatas maka konsep waktu diinsyafi dan memacu<br />
manusia untuk berbuat bagaimana hidup dan menghidupi alam ini. Waktu<br />
dikonsepsikan ke dalam tiga dimensi yaitu masa lampau (atita), masa sekarang<br />
(nagata) dan masa akan dating (wartamana), yang berarti adanya proses<br />
keseimbangan dari masa lalu ke masa akan datang di dasarkan atas keadaan masa<br />
sekarang. Dari tatanan nilai inimasyarakat desa adat atau pakraman dan juga subak<br />
dihadapkan kepada konsekuensi pemikiran dalam perspektif ke depan. Dikaitkan<br />
dengan upaya pelestarian tampak masyarakat desa adat atau pekraman dan subak<br />
mengusahakan menciptakan kesejahteraan hidup bukan hanya untuk sesaat, tetapi<br />
kesejahteraan dapat diwariskan kepada pewarisnya.<br />
76 Raka, I Gusti Putu, dkk, 1992, Desa Adat dan Pelestarian Lingkungan Hidup, Denpasar MPLA<br />
Dati I Bali, hal. 89<br />
79
Manusia wajib melakukan bhuta hita atau mensejahterakan alam<br />
lingkungannya. Dalam Lontar Purana Bali diungkapkan untuk menjaga<br />
kelestarian alam lingkungan, hendaknya berpegang pada Sad Kerti yaitu Samudra<br />
Kerti, Wana Kerti, dan Danu Kerti yang artinya kita wajib membangun kelestarian<br />
samudra, hutan dan danau atau sumber-sumber air. Upaya umtuk memelihara<br />
keberlangsungan alam lingkungan dilakukan melalui perbuatan nyata di samping<br />
pelaksanaan yadnya baik pelaksanaan Rerahinan Tumpek (Tumpek Uduh, atau<br />
pengatag) maupun kegiatan upacara yadnya lainnya seperti mecaru dalam Bhuta<br />
Yadnya yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai spiritual kepada umat agar<br />
tumbuh kesadaran dirinya melaksanakan upaya pelestarian kesejahteraan alam.<br />
80
BAB III<br />
PENGEMBANGAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERSEROAN DALAM<br />
KONSEP TRI HITA KARANA DI BALI.<br />
3.1 Konsep Tanggung Jawab Sosial Dalam Relevansinya Dengan Konsep Tri<br />
Hita Karana.<br />
3.1.1 Konsep Tri Hita Karana.<br />
Tatanan nilai budaya yang mendasari kehidupan masyarakat Bali<br />
terkonseptualisasikan ke dalam Tri Hita Karana bukan lagi menjadi milik seseorang<br />
sebagai penggagas atau pemilik ide, tetapi telah menjadi suatu bagian dari kehidupan<br />
masyarakat Bali, sehingga telah menjadi identitas kolektif bagi masyarakat Bali.<br />
Pengakuan masyarakat Bali (Hindu) sebagai pendukung dan pengagum Tri Hita<br />
Karana telah memberi acuan dalam setiap tindakan masyarakat Bali, sehingga oleh<br />
mereka dirasakan hidup dalam tatanan Tri Hita Karana telah memberi harapan lebih<br />
dinamis untuk mencapai tujuan hidupnya.<br />
Tri Hita Karana sebagai nilai budaya yang berakar pada ajaran suci Agama<br />
Hindu, mempunyai kesamaan secara kualitas dengan pandangan Kluckholn bahwa<br />
semua sistem nilai budaya mengandung unsur yang berkaitan dengan masalah:<br />
a. Mengenai hakekat dari hidup manusia.<br />
b. Mengenai hakekat dari karya manusia<br />
c. Hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu<br />
81
d. Hakekat hubungan manusia dengan alam sekitarnya<br />
e. Hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya. 77<br />
Konsepsi Tri Hita Karana bukan saja dimaknakan untuk memahami persoalan<br />
tata ruang, tetapi lebih dari itu menyangkut prilaku masyarakat Bali yang dapat dikaji<br />
dari sifat hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesamanya,<br />
dan manusia dengan lingkungan alamnya. Intensitas hubungan dari tiga unsur<br />
tersebut dapat melahirkan keadaan yang bercirikan keseimbangan, keberlanjutan,<br />
keteladanan, dan toleransi, sehingga dapat memberi manfaat dalam usaha untuk<br />
menjaga keutuhan dan kelestarian Bali di masa depan.<br />
a. Nilai Keseimbangan.<br />
Upaya untuk menjaga adanya keseimbangan lahir bathin ataupun keseimbangan<br />
hidup individual dan sosial, merupakan kewajiban yang patut disikapi dan disiasati<br />
dengan bijaksana, sehingga dengan bijaksana dapat memberikan porsi yang<br />
seimbang, yang berarti sikap untuk menjadikan diri lebih dominan atau berkuasa<br />
dapat dijauhkan. Dalam hal ini aspek pengetahuan, dan afektif memberi kontribusi<br />
yang sangat efektif. Pemikiran semacam itu dalam kehidupan serba berbeda sangat<br />
penting, sehingga dengan demikian tidak akan terjadi benturan-benturan yang<br />
mengarah untuk meniadakan pihak-pihak tertentu. Makna keseimbangan dalam<br />
konteks budaya Bali dapat dipahami dari beberapa konsep, yaitu:<br />
1. Konsep Skala-Niskala<br />
77 Koentjaraningrat, 1987, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta, Penerbit PT<br />
Gramedia, hal. 67<br />
82
Dalam konsep dualisme melahirkan pemikiran masyarakat Bali memahami<br />
bahwa kehidupan manusia dihadapkan kepada kekuatan skala-niskala. Kesadaran<br />
skala yang bersifat nyata (immanent-horizontal) dan kesadaran niskala yang abstrak<br />
dan ideal (transeden-vertikal) menjadikan dirinya selalu dalam keadaan terbagi<br />
ataupun memilih. Untuk menjaga keseimbangan tersebut dilakukan dengan<br />
pelaksanaan yadnya (korban suci). Melalui yadnya keseimbangan niskala dan skala<br />
dapat dipertahankan secara serasi dan selaras.<br />
2. Konsep Tri Kona<br />
Keseimbangan dapat pula kepada konsep Tri Kona yaitu pemahaman mengenai<br />
ajaran “lahir”, “hidup”, dan “mati”. Putaran keabadian ini tetap mengikuti perjalanan<br />
mahluk di dunia ini. Konsep Tri Kona inipun oleh masyarakat Bali (Hindu)<br />
dilaksanakan dengan pelaksanaan yadnya.<br />
3. Ajaran Tri Kaya Parisudha<br />
Ajaran Tri Kaya Parisudha mengajarkan kepada manusia dapat selalu<br />
menserasikan apa yang difikirkan, dapat diucapkan dan dilaksanakan dengan<br />
seimbang akan memberikan bobot terhadap kualitas subyeknya.<br />
4. Ajaran Kiwa-Tengen.<br />
Sesuai dengan paham dualism, maka konsep ajaran kiwe-tengen memberi<br />
makna keseimbangan yang harus menjadi pertimbangan di dalam melaksanakan<br />
sesuatu kegiatan. Kiwa (arah kiri) dan tengen (arah kanan), dapat dimaknai sebagai<br />
kekuatan yang memiliki sifat berbeda (lanang-istri/laki perempuan, hitam putih) yang<br />
harus dihayati, dilaksanakan dengan keseimbangan, dan keserasian. Untuk<br />
83
keseimbangan inipun dilakukan melalui yadnya yaitu pengorbanan yang tulus iklas,<br />
tanpa memihak kepada salah satu bagian tersebut.<br />
b. Nilai Keberlanjutan.<br />
Proses pembangunan mengandung makna adanya pewarisan hasil<br />
pembangunan kepada generasi penerusnya. Untuk itu diperlukan adanya usaha-usaha<br />
nyata untuk proses pewarisan tersebut berlangsung pada setiap generasi. Sebab pada<br />
hakekatnya pembangunan bukan untuk dinikmati oleh generasi pelaksana dari<br />
pembangunan ini, tetapi bagaimana proses pembangunan dan hasil-hasilnya dapat<br />
dilaksanakan dan dinikmati oleh generasi penerusnya. Demikian pula bagaimana<br />
proses penyadaran tentang pembangunan berkelanjutan dapat diwariskan kepada<br />
generasi penerus. Pembangunan berkelanjutan dimaknai sebagai prilaku positif untuk<br />
mempertahankan dan meningkatkan kelestarian hidup dengan upaya peningkatan<br />
kesadaran mengenai hubungan timbal balik manusia dengan lingkungan. Sehingga<br />
dengan upaya itu diharapkan kesejahteraan akan berlangsung kekal abadi.<br />
Makna keberlanjutan sebagaimana terkonsep dari ajaran Tri Hita Karana, dapat<br />
dipahami sebagai berikut:<br />
1. Pendalaman terhadap tatwa (ajaran/filsafat).<br />
Upaya pewarisan nilai akan sangat terkait dengan usaha yang dilakukan oleh<br />
pendukung nilai tersebut untuk memahami, menginternalisasi, dan selanjutnya<br />
mengaktualisasikan dalam kehidupannya. Usaha pemahaman itu akan lebih intensif<br />
jika didasarkan kepada sumber-sumber yang jelas dan diajungkan bagi pendukung<br />
sistem nilai itu.<br />
84
Dalam konteks ini tentunya berbagai nilai budaya yang menjadi sumber aspirasi<br />
dan pedoman tingkah laku masyarakat Bali sebagai pendukung nilai budaya Bali,<br />
akan dapat bertahan atau terwariskan secara berkelanjutan apabila diperoleh<br />
berdasarkan atas tatwa dari ajaran Wedha yang diagungkan oleh masyarakat Bali<br />
(Hindu). Tatwa diartikan sebagai filsafat atau makna (kesuksman). 78<br />
2. Sawinih.<br />
Sawinih dimaknai sebagai iuran wajib dalam bentuk natura (hasil bumi) yang<br />
dilakukan oleh anggota subak atau petani untuk jaminan sosial sederhana kepada<br />
pemangku atau pengurus pura. 79 Dalam perkembangannya sawinih tidak semata<br />
untuk prajuru pura, tetapi diberikan kepada anak-anak anggota subak atau<br />
petani(terutama dikaitkan dengan anak atau orang tua asuh). Perilaku yajnya berupa<br />
sawinih dilakukan sebagai pengungkapan tasa syukur atas karunia Tuhan . Sawinih<br />
berasal dari kata winih, binih, benih berarti bibit. Dalam konteks modern dimaknai<br />
sebagai generasi, pelanjutan atau pewarisan, jarena dikaitkan dengan usaha untuk<br />
menjamin kelangsungan dari kehidupan pewaris subak atau petani.<br />
3. Tri Semaya Kala<br />
Pengkajian nilai budaya Bali memiliki perspektif ke depan, karena perilaku<br />
masyarakat Bali selalu dikaitkan dengan hukum karma, yang berkonsekuensi akan<br />
adanya punarbawa, kehidupan setelah mengalami kematian. Kesadaran dan<br />
78 Purwita, Ida Bagus Putu, 1995, Butir-Butir Mutiara Pembinaan Desa Adat Di Bali, Denpasar,<br />
MPLA Dati I Bali, hal. 35<br />
79 Kaler, I. Gusti Ketut, 1994, Butir-Butir Tercecer Tentang Adat Bali, Denpasar, Penerbit Kayu<br />
Mas Agung, hal. 77<br />
85
keyakinan itu melahirkan kesadaran masyarakat Bali (Hindu) memiliki dimensi<br />
waktu yang dikonsepsikan ke dalam kehidupan masa lalu (attita), menuju kehidupan<br />
masa akan datang (anagata), berdasarkan kepada kehidupan di masa kini<br />
(wartamana).<br />
c. Nilai Toleransi<br />
Ajaran yang maha mulia tentang toleransi menurut Hindu yaitu “tat wam<br />
asi”yang dimaknai dengan Äku adalah engkau dan engkau adalah aku”memberikan<br />
penyadaran betapa besarnya keeratan antara manusia dalam memaknai hidup ini.<br />
Nilai toleransi dapat dipahami dari konsep-konsep yaitu:<br />
1. Desa Kala Patra, Desa Mawacara ataupun adat mawacara.<br />
Desa Kala Patra, Desa Mawacara dan adat mawacara mengisyaratkan<br />
pengakuan adanya keragaman yang ada dan berlaku di dalam kehidupan masyarakat<br />
Bali. Desa, kala dan adat bersifat amat dinamis, fleksibel, dan otonomi sesuai ruang<br />
dan waktu, sehingga kepadanya mendapat keleluasaan dalam bertindak dan<br />
mengambil keputusan. 80<br />
Dalam kehidupan masyarakat yang amat kompleks dan frekuensi untuk<br />
melakukan interaksi relative tinggi memerlukan sikap untuk saling memahami,<br />
menghargai, dan menghormati keunikan masing-nasing. Dalam hal ini amat<br />
diperlukannya toleransi.<br />
2. Salunglung Sabayan Taka, dan Asah, Asuh lan Asih.<br />
Salunglung Sabayan Taka, dan Asah, Asuh lan Asih , merupakan nilai budaya<br />
80 Mirsha, I Gusti Ngurah, 1994,Wrhaspati Tatwa, Penerbit Upada Sastra, hal. 55<br />
86
Bali yang hidup dan memberi kehidupan pada masyarakat Bali untuk penuh kohesi<br />
yang bersifat guyub. Bentuk nyata dari nilai ini tampak pada masyarakat Bali dalam<br />
melaksanakan yajnya (korban suci/ upacara) Gotong royong, ketulusan hati,<br />
kepasrahan, tingkeb wakul, kerik tingkih, memberi nuansa dalam melaksanakan<br />
yajnya yang dibungkus oleh jiwa salunglung sebayan taka dan asah, asuh lan asih<br />
tersebut. Dalam perspektif perubahan zaman, maka nilai ini patut tetap diabadikan<br />
dalam perilaku masyarakat Bali, dimulai dari bagaimana secara pisik Bali dijaga<br />
untuk selalu mengandung nilai ini. Bangunan yang tinggi dengan tembok pagar<br />
penyekat tanpa kompromi, menjauhkan masyarakat Bali dari jiwa suka duka yang<br />
melekat dan membantu dalam pribadi masyarakat Bali. Hal ini tidak saja untuk<br />
melestarikan nilai budaya tat wam asi semata, tetapi juga keberlanjutan atau<br />
kelestarian Bali di era perubahan yang serba dimensional.<br />
d. Nilai Keteladanan.<br />
Keteladanan yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah ada nilai yang<br />
dipergunakan atau dilihat sebagai sumber asuhan (contoh) dalam mengembangkan<br />
sikap, cara berfikir, bertingkah laku, dan atau tindakan-tindakan yang bersifat<br />
normatif, etis, sehingga masih tetap menunjukkan perilaku dalam kerangka sistem<br />
nilai budaya Bali. Hal ini dapat dipahami dari beberapa konsep yang bernuansakan<br />
nilai keteladanan untuk diterjemahkan ke dalam perilaku ataupun yang pisik, antara<br />
lain:<br />
1. Prinsip Luwan Teben.<br />
Luwan atau hulu dan teben atau hilir memberi petunjuk akan posisi yang serba<br />
87
memiliki struktur etika yang dapat dijadikan pedoman dalam menempatkan<br />
sesuatu yang dibedakan atas pemaknaan sacral dan profane, bersih atau suci dan kotor<br />
(sebel). Dengan demikian ada nilai yang tinggi atau utama dan ada yang dipahami<br />
sebagai sesuatu yang bernilai rendah atau di bawah.<br />
Dalam konteks makrokosnos dan mikrokosmos dikenal pembagian yang serba<br />
terbagi tiga. Secara makrokosmos Tri Loka terdiri dari; bhur, bhwah, shwah, dan<br />
dalam kajian mikrokosmos dikenal adanya Tri Angga yaitu kepala, badan, dan kaki.<br />
Kedua tataran itu menunjukkan adanya tingkatan nilai yaitu nista (rendah), madya<br />
(sedang), dan utama (tinggi). Tri Angga pada manusia dan Tri Loka pada alam raya<br />
nyata menampakkan diri secara fisik tersusun vertikal dari bawah ke atas. 81<br />
2. Loka Pala Sraya.<br />
Ketekadanan dapat juga diungkapkan dari term Loka Pala Sraya yang<br />
mengandung arti layanan kepada masyarakat. Loka berarti alam, dunia, tempat, dan<br />
Pala berarti mengatur, menuntun, membimbing, membina, serta Sraya berarti<br />
membantu, melayani, mengabdi. Secara spesifik diartikan sebagai pelayanan kepada<br />
umat di bidang keagamaan atau spiritual.<br />
Dalam perspektif lebih luas dapat diartikan pelayanan oleh petugas pemerintah,<br />
atau yang bertugas melayani masyarakat. Seorang yang sudah melaksanakan loka<br />
pala sraya ini tidak dapat lepas dari kewajibannya, bahkan tidak sekedar<br />
melaksanakan swadarma, tetapi telah mengandung wewenang yang bernilai hukum.<br />
Tidak seorangpun dapat menggantikan wewenangnya, sebagaimana tampak dalam<br />
81 Kaler, Op. Cit. Hal.<br />
88
kehidupan beragama, tidak seorangpun yang berani menggantikan pendeta yang<br />
sedang melaksanakan loka pala sraya dalam memberikan tirta pamuput (air suci<br />
dalam menyelesaikan upacara) kepada seseorang yang sedang melaksanakan korban<br />
suci (yajnya).<br />
3.1.2 Konsep Tanggung Jawab Sosial Perseroan.<br />
Perkembangan pola kegiatan ekonomi membuat masyarakat dunia saling<br />
berkait, selain saling bersaing, juga saling membutuhkan nasib satu sama lain. Saling<br />
keterkaitan ini memerlukan adanya kesepakatan mengenai aturan main yang<br />
berlaku.Aturan main yang diterapkan untuk perdagangan internasional adalah aturan<br />
main yang berkembang dalam sistem GATT/WTO. Setelah Indonesia meratifikasi<br />
persetujuan Internasional di bidang perdagangan dalam organisasi internasional yang<br />
dinamakan Word Trade Organization (WTO) tersebut, maka Indonesia harus<br />
mematuhi segala ketentuan yang berlaku bagi semua Negara anggota WTO dengan<br />
segala konsekuensinya. 82<br />
Pengaruh globalisasi ekonomi di bidang hukum tampak sekali pada kontrak-<br />
kontrak bisnis internasional, karena negara-negara maju membawa transaksi baru ke<br />
negara berkembang, sehingga mitra mereka di negara berkembang harus menerima<br />
model-model kontrak bisnis internasional tersebut. Hal ini dapat disebabkan karena<br />
sebelumnya mereka tidak mengenal model tersebut, atau dapat juga dikarenakan<br />
posisi tawar (bargaining position) yang lemah.<br />
82 Syarip Hidayat, 2008, Pengaruh Globalisasi Ekonomi dan Hukum Ekonomi Internasional<br />
Dalam Pembangunan Hukum Ekonomi Di Indonesia, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, hal. 11<br />
89
Undang-undang Perseroan Terbatas di berbagai negara, baik di negara Civil<br />
Law maupun Common Law berisikan substansi yang sama. Hal ini terjadi karena<br />
dana yang mengalir ke pasar-pasar tersebut tidak lagi terikat dengan waktu dan batas-<br />
batas Negara. Sejalan dengan ini maka muncullah tuntutan untuk melaksanakan<br />
prinsip-prinsip “Good Corporate Governance/GCG” dengan baik serta proporsional,<br />
yaitu keterbukaan (tranparancy), akuntabilitas, Responsibilitas, Independensi,<br />
Kesetaraan dan Kewajaran (fairness), terutama di dalam praktek dan kegiatan usaha<br />
serta perekonomian dunia. Bersama-sama dengan sepuluh asas Global Compact (GC)<br />
maka konsep CSR sekarang merupakan bagian pedoman melaksanakan GCG. 83<br />
Di Indonesia perubahan UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas<br />
menjadi UU No.40 Tahun 2007, telah membawa perubahan penting bagi dunia usaha<br />
di Indonesi. Salah satu yang mendapat perhatian lebih dari kalangan pengusaha<br />
adalah tentang CSR tersebut, karena akhir-akhir ini CSR telah menjadi salah satu<br />
faktor penilaian bagi investor asing yang akan menanamkan modalnya di Indonesia.<br />
CSR menjadi salah satu kewajiban yang harus dilaksankana oleh perusahaan sesuai<br />
dengan ketentuan Pasal 74 UU No. 40 Tahun 2007 tentang PT. Dengan dimuatnya<br />
CSR di dalam UUPT No. 40 Tahun 2007 diharapkan dapat mendorong perseroan<br />
bukan saja untuk peduli pada daerah sekitar, tetapi juga bertanggung jawab atas<br />
kemajuan masyarakat sekitarnya.<br />
Konsep CSR telah dikenal sejak tahun 1970, yang secara umum diartikan<br />
83 Mardjono Reksodiputro, 2007, Sektor Bisnis (Corporate) Sebagai Subyek Hukum Dalam Kaitan<br />
Dengan HAM, Jakarta, Sinar Grafika, Hal. 1<br />
90
sebagai kumpulan kebijakan dan praktik yang berhubungan dengan stake holder,<br />
nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum, penghargaan masyarakat, lingkungan, serta<br />
komitmen dunia usaha untuk berkontribusi dalam pembangunan secara<br />
berkelanjutan. Konsep CSR ini sebenarnya muncul sebagai akibat dari gelombang<br />
besar globalisasi perdagangan internasional dan gerakan politik demokrasi yang<br />
ukuran-ukuran prinsip pelaksanaannya bertujuan untuk mensejahterakan rakyat<br />
Indonesia tetapi belum mampu dijalankan secara teratur oleh pejabat negara dan<br />
pemerintah Indonesia.<br />
Apabila dilihat dari sejarah perkembangan CSR maka konsep CSR dapat<br />
diuraikan sebagai berikut:<br />
1. Konsep CSR periode 1920-1959.<br />
Konsep CSR adalah kesadaran moral dan keikhlasan untuk membantu masyarakat<br />
melalui kegiatan derma dan kecintaan kepada sesama oleh pelaku usaha. Konsep<br />
yang melandasi CSR pada periode ini adalah CSR merupakan suatu tanggung jawab<br />
moral dari pelaku usaha melalui kegiatan kedermawanan dan kecintaan manusia<br />
kepada sesamanya.<br />
2. Konsep CSR periode 1960-1969.<br />
Konsep CSR adalah harga diri pengusaha itu sendiri berupa tanggung jawab atas<br />
terwujudnya nilai-nilai kemanusiaan di masyarakat. Konsep CSR dalam periode ini<br />
adalah CSR yang sebelumnya merupakan kewajiban moral yang bersifat<br />
kedermawanan berkembang menjadi suatu tolok ukur harga diri dari pengusahanya<br />
dengan mewujudkan nilai-nilai masyarakat.<br />
91
3. Konsep CSR periode 1970-1979.<br />
Konsep CSR adalah tanggung jawab dunia usaha dalam peningkatan sektor<br />
lingkungan sosial di masyarakat dalam berbagai aspek. Konsep CSR di periode ini<br />
adalah CSR yang sebelumnya mewujudkan nilai-nilai masyarakat berkembang ke<br />
peningkatan sektor lingkungan hidup dan aspek-aspek lainnya yaitu ekonomi,<br />
etika, hukum dan perusahaan yang bijaksana.<br />
4. Konsep CSR periode 1980-1989.<br />
Konsep CSR adalah proses menambah value perusahaan adalah tergantung pada<br />
stakeholders operasional perusahaan. Konsep CSR dalam periode ini mulai<br />
berkembangnya teori stakeholders (para pemangku kepentingan) dalam<br />
melakukan CSR untuk meningkatkan nilai perusahaan.<br />
5. Konsep CSR periode 1990-1999.<br />
Konsep CSR adalah peningkatan ekonomi dan komunitas dalam masyarakat<br />
secara keberlanjutan melalui harmonisasi dari lingkungan, ekonomi dan<br />
masyarakat. Konsep CSR dalam periode ini berkembang ke konsep keberlanjutan<br />
dalam pelaksanaan CSR yang didasari aspek ekonomi, lingkungan, dan<br />
masyarakat.<br />
6. Konsep CSR periode 2000-saat ini.<br />
Konsep CSR adalah perhatian terhadap nilai-nilai masyarakat secara<br />
berkelanjutan. Perkembangan berikutnya Konsep CSR adalah pembangunan<br />
berkelanjutan dari segala aspek oleh para pemangku kepentingan. Konsep CSR<br />
adalah strategi bisnis untuk pembangunan berkelanjutan. Konsep CSR adalah<br />
92
pemberdayaan masyarakat untuk peningkatan lingkungan dan kualitas hidup.<br />
Perkembangan pemikiran terus terjadi terhadap konsep tersebut sehingga<br />
perkembangan berikutnya konsep CSR adalah keberlanjutan aktivitas sosial<br />
perusahaan kepada pemangku kepentingan. Konsep CSR adalah kejelasan sistem<br />
dari tindakan perusahaan kepada masyarakat dan lingkungan. Konsep CSR<br />
adalah kepedulian secara sukarela kepada para pemangku kepentingan. Konsep<br />
CSR adalah tanggung jawab perusahaan ke segala aspek dan para pemangku<br />
kepentingan<br />
Konsep CSR dalam periode 2000 sampai saat ini adalah CSR selain dilandasi<br />
oleh teori stakeholders juga dilandasi oleh konsep pembangunan berkelanjutan<br />
melalui pemberdayaan masyarakat untuk peningkatan lingkungan dan kualitas hidup.<br />
Dari pemaparan perkembangan konsep CSR dari waktu ke waktu dapatlah<br />
ditarik benang merahnya yaitu pada awalnya CSR itu dilandasi atas konsep<br />
kedermawanan yang kemudian berkembang menjadi suatu harga diri dari<br />
pengusahanya, kemudian dilandasi teori triple bottom line yaitu CSR berkembang<br />
tidak hanya pada peningkatan sektor lingkungan hidup saja, tetapi juga ke berbagai<br />
aspek ekonomi dan masyarakat. CSR kemudian berkembang didasari oleh teori<br />
stakeholders dimana perusahaan berhubungan baik dengan stakeholders perusahaan<br />
sehingga meningkatkan nilai perusahaan. Saat ini konsep CSR yang selain dilandasi<br />
teori stakeholders juga dilandasi konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable<br />
development) dimana CSR itu dilakukan secara berkelanjutan untuk pengembangan<br />
masyarakat yang merupakan salah satu stakeholder perusahaan.<br />
93
Perkembangan CSR telah membuat suatu perusahaan yang pada awalnya<br />
bertujuan mencari keuntungan semata kini harus memperhatikan aspek lingkungan<br />
dan masyarakat khususnya di wilayah perusahaan itu beroperasi. Pada prinsipnya<br />
seorang direksi perusahaan tidak hanya bertugas semata-mata untuk menjalankan<br />
bisnis perusahaan sehari-hari, membuat laporan keuangan, mengikuti seluruh aturan<br />
hukum yang berlaku, tetapi juga mengharapkan agar direksi dapat memenuhi<br />
kehendak masyarakat di lingkungannya, dan memenuhi kepentingan seluruh<br />
pemegang kepentingan bukan saja pemegang saham. 84<br />
Dalam rangka mempraktekan kaidah-kaidah pengelolaan perusahaan yang baik,<br />
perusahaan-perusahaan dianjurkan untuk membuat suatu Corporate Code of Conduct<br />
(CCC) yang pada dasarnya memuat nilai-nilai etika bisnis, sebagai basis menuju<br />
praktik CSR Conduct harus singkat dan jelas, tetapi cukup rinci guna memberikan<br />
arahan perihal pelaku etika bisnis. Contohnya perlakuan yang adil terhadap pemegang<br />
saham minoritas (fairness), penyajian laporan keuangan yang akurat dan tepat waktu<br />
(transparancy) serta fungsi dan kewenangan RUPS, Komisaris dan Direksi<br />
(accountability). Dalam prinsip responsibility atau tanggung jawab, perusahaan harus<br />
menciptakan nilai tambah (value added) dari produk dan jasa bagi stakeholders, yang<br />
lebih mencerminkan stakeholders-driven concept. 85<br />
3.2 Standarisasi Pelaksanaan CSR<br />
Semenjak keruntuhan rezim Orde Baru, masyarakat semakin berani untuk<br />
84 Hendra Setiawan Boen, 2008, Bianglala Business Judment Rule, Jakarta, Penerbit Tatanusa,<br />
hal. 87.<br />
85 Hendrik Budi Untung, Op. Cit, hal. 24.<br />
94
erinspirasi dan mengekspresikan tuntutannya terhadap perkembangan dunia bisnis<br />
Indonesia. Masyarakat telah semakin kritis dan mampu melakukan kontrol sosial<br />
terhadap dunia usaha. Hal ini menuntut para pelaku bisnis untuk menjalankan<br />
usahanya dengan semakin bertanggungjawab. Pelaku bisnis tidak hanya dituntut<br />
keuntungan dari lapangan usahanya, melainkan mereka juga diminta untuk<br />
memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan sosialnya.<br />
Perubahan pada tingkat kesadaran masyarakat memunculkan kesadararan baru<br />
tentang pentingnya melaksanakan CSR. Pemahaman itu memberikan pedoman bahwa<br />
korporasi bukan lagi sebagai entitas yang hanya mementingkan dirinya sendiri saja<br />
sehingga ter-alienasi atau mengasingkan diri dari lingkungan masyarakat di tempat<br />
mereka bekerja, melainkan sebuah entitas usaha yang wajib melakukan adaptasi<br />
kultural dengan lingkungan sosialnya.<br />
CSR adalah basis teori tentang perlunya sebuah perusahaan membangun<br />
hubungan harmonis dengan masyarakat tempatnya berusaha. CSR memandang<br />
perusahaan sebagai agen moral. Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah perusahaan<br />
harus menjunjung tinggi moralitas. Parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam<br />
sudut pandang CSR adalah pengedepankan prinsip moral dan etis, yakni menggapai<br />
suatu hasil terbaik, tanpa merugikan kelompok masyarakat lainnya. Salah satu prinsip<br />
moral yang sering digunakan adalah golden-rules, yang mengajarkan agar seseorang<br />
atau suatu pihak memperlakukan orang lain sama seperti apa yang mereka ingin<br />
diperlakukan. Dengan begitu, perusahaan yang bekerja dengan mengedepankan<br />
95
prinsip moral dan etis akan memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat. 86<br />
Menilik sejarahnya, gerakan CSR modern yang berkembang pesat selama dua<br />
puluh tahun terakhir ini lahir akibat desakan organisasi-organisasi masyarakat sipil<br />
dan jaringannya di tingkat global. Keprihatinan utama yang disuarakan adalah<br />
perilaku korporasi, demi maksimalisasi laba, lazim mempraktekkan cara-cara yang<br />
tidak fair dan tidak etis, dan dalam banyak kasus bahkan dapat dikategorikan sebagai<br />
kejahatan korporasi. Beberapa raksasa korporasi transnasional sempat merasakan<br />
jatuhnya reputasi mereka akibat kampanye dalam skala global tersebut.<br />
Hingga dekade 1980-90 an, wacana CSR terus berkembang. Munculnya KTT<br />
Bumi di Rio pada 1992 menegaskan konsep sustainibility development<br />
(pembangunan berkelanjutan) sebagai hal yang mesti diperhatikan, tak hanya oleh<br />
negara, tapi terlebih oleh kalangan korporasi yang kekuatan kapitalnya makin<br />
menggurita. Tekanan KTT Rio, terasa bermakna sewaktu James Collins dan Jerry<br />
Porras meluncurkan Built To Last; Succesful Habits of Visionary Companies di tahun<br />
1994. Lewat riset yang dilakukan, mereka menunjukkan bahwa perusahaan-<br />
perusahaan yang terus hidup bukanlah perusahaan yang hanya mencetak keuntungan<br />
semata.<br />
Sebagaimana hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de<br />
Janeiro Brazilia 1992, menyepakati perubahan paradigma pembangunan, dari<br />
pertumbuhan ekonomi (economic growth) menjadi pembangunan yang berkelanjutan<br />
(sustainable development). Dalam perspektif perusahaan, di mana keberlanjutan<br />
86 Hendra Setiawan Boen, Op. Cit. hal. 75<br />
96
dimaksud merupakan suatu program sebagai dampak dari usaha-usaha yang telah<br />
dirintis, berdasarkan konsep kemitraan dan rekanan dari masing-masing stakeholder.<br />
Ada lima elemen sehingga konsep keberlanjutan menjadi penting, di antaranya adalah<br />
(1) ketersediaan dana, (2) misi lingkungan, (3) tanggung jawab sosial, (4)<br />
terimplementasi dalam kebijakan (masyarakat, korporat, dan pemerintah), (5)<br />
mempunyai nilai keuntungan/manfaat.<br />
Pertemuan Yohannesburg tahun 2002 yang dihadiri para pemimpin dunia<br />
memunculkan konsep social responsibility, yang mengiringi dua konsep sebelumnya<br />
yaitu economic dan environment sustainability. Ketiga konsep ini menjadi dasar bagi<br />
perusahaan dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya (Corporate Social<br />
Responsibility). Pertemuan penting UN Global Compact di Jenewa, Swiss, Kamis, 7<br />
Juli 2007 yang dibuka Sekjen PBB mendapat perhatian media dari berbagai penjuru<br />
dunia. Pertemuan itu bertujuan meminta perusahaan untuk menunjukkan tanggung<br />
jawab dan perilaku bisnis yang sehat yang dikenal dengan corporate social<br />
responsibility.<br />
Sesungguhnya substansi keberadaan CSR adalah dalam rangka memperkuat<br />
keberlanjutan perusahaan itu sendiri dengan jalan membangun kerjasama antar<br />
stakeholder yang difasilitasi perusahaan tersebut dengan menyusun program-program<br />
pengembangan masyarakat sekitarnya. Atau dalam pengertian kemampuan<br />
perusahaan untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya, komunitas dan<br />
stakeholder yang terkait dengannya, baik lokal, nasional, maupun global. Karenanya<br />
97
pengembangan CSR ke depan seyogianya mengacu pada konsep pembangunan yang<br />
berkelanjutan.<br />
Prinsip keberlanjutan mengedepankan pertumbuhan, khususnya bagi<br />
masyarakat miskin dalam mengelola lingkungannya dan kemampuan institusinya<br />
dalam mengelola pembangunan, serta strateginya adalah kemampuan untuk<br />
mengintegrasikan dimensi ekonomi, ekologi, dan sosial yang menghargai<br />
kemajemukan ekologi dan sosial budaya. Kemudian dalam proses pengembangannya<br />
tiga stakeholder inti diharapkan mendukung penuh, di antaranya adalah; perusahaan,<br />
pemerintah dan masyarakat.<br />
Dalam implementasi program-program CSR, diharapkan ketiga elemen di atas<br />
saling berinteraksi dan mendukung, karenanya dibutuhkan partisipasi aktif masing-<br />
masing stakeholder agar dapat bersinergi, untuk mewujudkan dialog secara<br />
komprehensif. Karena dengan partisipasi aktif para stakeholder diharapkan<br />
pengambilan keputusan, menjalankan keputusan, dan pertanggungjawaban dari<br />
implementasi CSR akan di emban secara bersama.<br />
CSR sebagai sebuah gagasan, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada<br />
tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan<br />
(corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja.<br />
Tapi tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines. Di sini<br />
bottom lines lainnya selain finansial juga adalah sosial dan lingkungan. Karena<br />
kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara<br />
berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan perusahaan hanya akan terjamin apabila,<br />
98
perusahaan memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup. Sudah menjadi<br />
fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar, di berbagai tempat dan waktu muncul<br />
ke permukaan terhadap perusahaan yang dianggap tidak memperhatikan aspek-aspek<br />
sosial, ekonomi dan lingkungan hidupnya.<br />
Pada bulan September 2004, ISO (International Organization for<br />
Standardization) sebagai induk organisasi standarisasi internasional, berinisiatif<br />
mengundang berbagai pihak untuk membentuk tim (working group) yang<br />
membidangi lahirnya panduan dan standarisasi untuk tanggung jawab sosial yang<br />
diberi nama ISO 26000: Guidance Standard on Social Responsibility.<br />
Pengaturan untuk kegiatan ISO dalam tanggungjawab sosial terletak pada<br />
pemahaman umum bahwa SR adalah sangat penting untuk kelanjutan suatu<br />
organisasi. Pemahaman tersebut tercermin pada dua sidang, yaitu Rio Earth Summit<br />
on the Environmenta tahun 1992 dan World Summit on Sustainable Development<br />
(WSSD) tahun 2002 yang diselenggarakan di Afrika Selatan.<br />
Pembentukan ISO 26000 ini diawali ketika pada tahun 2001 badan ISO<br />
meminta ISO on Consumer Policy atau COPOLCO merundingkan penyusunan<br />
Standar Corporate Social Responsibility. Selanjutnya badan ISO tersebut<br />
mengadopsi laporan COPOLCO mengenai pembentukan Strategic Advisory Group<br />
on Social Responsibility pada tahun 2002. Pada bulan Juni 2004 diadakan pre-<br />
conference dan conference bagi negara-negara berkembang, selanjutnya di tahun<br />
2004 bulan Oktober, New York Item Proposal atau NWIP diedarkan kepada seluruh<br />
negara anggota, kemudian dilakukan voting pada bulan Januari 2005, dimana 29<br />
99
negara menyatakan setuju, sedangkan 4 negara tidak. Dalam hal ini terjadi<br />
perkembangan dalam penyusunan tersebut, dari CSR atau Corporate Social<br />
Responsibility menjadi SR atau Social Responsibility saja. Perubahan ini, menurut<br />
komite bayangan dari Indonesia, disebabkan karena pedoman ISO 26000<br />
diperuntukan bukan hanya bagi korporasi tetapi bagi semua bentuk organisasi, baik<br />
swasta maupun publik.<br />
100<br />
ISO 26000 menyediakan standar pedoman yang bersifat sukarela mengenai<br />
tanggung tanggung jawab sosial suatu institusi yang mencakup semua sektor badan<br />
publik ataupun badan privat baik di negara berkembang maupun negara maju.<br />
Dengan ISO 26000 ini akan memberikan tambahan nilai terhadap aktivitas tanggung<br />
jawab sosial yang berkembang saat ini dengan cara:<br />
1. mengembangkan suatu konsensus terhadap pengertian tanggung jawab sosial dan<br />
isunya<br />
2. menyediakan pedoman tentang penterjemahan prinsip-prinsip menjadi kegiatan-<br />
kegiatan yang efektif; dan<br />
3. Memilah praktek-praktek terbaik yang sudah berkembang dan disebarluaskan<br />
untuk kebaikan komunitas atau masyarakat internasional.<br />
Apabila hendak menganut pemahaman yang digunakan oleh para ahli yang<br />
menggodok ISO 26000 Guidance Standard on Social responsibility yang secara<br />
konsisten mengembangkan tanggung jawab sosial maka masalah SR akan mencakup<br />
7 isu pokok yaitu:<br />
1. Pengembangan Masyarakat
2. Konsumen<br />
3. Praktek Kegiatan Institusi yang Sehat<br />
4. Lingkungan<br />
5. Ketenagakerjaan<br />
6. Hak asasi manusia<br />
7. Organizational Governance (governance organisasi)<br />
ISO 26000 menerjemahkan tanggung jawab sosial sebagai tanggung jawab suatu<br />
organisasi atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan<br />
lingkungan, melalui perilaku yang transparan dan etis, yang:<br />
1. Konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat;<br />
2. Memperhatikan kepentingan dari para stakeholder;<br />
3. Sesuai hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma-norma internasional;<br />
4. Terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi, dalam pengertian ini meliputi baik<br />
kegiatan, produk maupun jasa.<br />
101<br />
Berdasarkan konsep ISO 26000, penerapan sosial responsibility hendaknya<br />
terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi yang mencakup 7 isu pokok diatas. Dengan<br />
demikian jika suatu perusahaan hanya memperhatikan isu tertentu saja, misalnya<br />
seperti aspek lingkungan, maka perusahaan tersebut sesungguhnya belum<br />
melaksanakan tanggung jawab sosial. Misalnya suatu perusahaan sangat peduli<br />
terhadap isu lingkungan, namun perusahaan tersebut masih mengiklankan penerimaan<br />
pegawai dengan menyebutkan secara khusus kebutuhan pegawai sesuai dengan
gender tertentu, maka sesuai dengan konsep ISO 26000 perusahaan tersebut<br />
sesungguhnya belum melaksanakan tanggung jawab sosialnya secara utuh.<br />
102<br />
Prinsip-prinsip dasar tanggung jawab sosial yang menjadi dasar bagi<br />
pelaksanaan yang menjiwai atau menjadi informasi dalam pembuatan keputusan dan<br />
kegiatan tanggung jawab sosial menurut ISO 26000 meliputi:<br />
1. Kepatuhan kepada hukum<br />
2. Menghormati instrumen/badan-badan internasional<br />
3. Menghormati stakeholders dan kepentingannya<br />
4. Akuntabilitas<br />
5. Transparansi<br />
6. Perilaku yang beretika<br />
7. Melakukan tindakan pencegahan<br />
8. Menghormati dasar-dasar hak asasi manusia<br />
Ada empat agenda pokok yang menjadi program kerja tim itu hingga tahun<br />
2008, diantaranya adalah menyiapkan draf kerja tim hingga tahun 2006, penyusunan<br />
draf ISO 26000 hingga Desember 2007, finalisasi draf akhir ISO 26000 pada bulan<br />
September 2008 dan seluruh tugas tersebut rampung pada tahun 2009.<br />
Pada pertemuan tim yang ketiga tanggal 15-19 Mei 2006 yang dihadiri 320<br />
orang dari 55 negara dan 26 organisasi internasional itu, telah disepakati bahwa ISO<br />
26000 ini hanya memuat panduan (guidelines) saja dan bukan pemenuhan terhadap<br />
persyaratan karena ISO 26000 ini memang tidak dirancang sebagai standar sistem
manajemen dan tidak digunakan sebagai standar sertifikasi sebagaimana ISO-ISO<br />
lainnya.<br />
103<br />
Adanya ketidakseragaman dalam penerapan CSR diberbagai negara<br />
menimbulkan adanya kecenderungan yang berbeda dalam proses pelaksanaan CSR<br />
itu sendiri di masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu pedoman umum dalam<br />
penerapan CSR di manca negara. Dengan disusunnya ISO 26000 sebagai panduan<br />
(guideline) atau dijadikan rujukan utama dalam pembuatan pedoman SR yang berlaku<br />
umum, sekaligus menjawab tantangan kebutuhan masyarakat global termasuk<br />
Indonesia.<br />
3.3 Manfaat CSR Bagi Perusahaan.<br />
Penerapan CSR di perusahaan akan menciptakan iklim saling percaya di<br />
dalamnya, yang akan menaikkan motivasi dan komitmen karyawan. Pihak konsumen,<br />
investor, pemasok, dan stakeholders yang lain juga telah terbukti lebih mendukung<br />
perusahaan yang dinilai bertanggung jawab sosial, sehingga meningkatkan peluang<br />
pasar dan keunggulan kompetitifnya. Dengan segala kelebihan itu, perusahaan yang<br />
menerapkan CSR akan menunjukkan kinerja yang lebih baik serta keuntungan dan<br />
pertumbuhan yang meningkat.<br />
Memang saat ini belum tersedia formula yang dapat memperlihatkan hubungan<br />
praktik CSR terhadap keuntungan perusahaan sehingga banyak kalangan dunia usaha<br />
yang bersikap skeptis dan menganggap CSR tidak memberi dampak atas prestasi<br />
usaha, karena mereka memandang bahwa CSR hanya merupakan komponen biaya<br />
yang mengurangi keuntungan. Praktek CSR akan berdampak positif jika dipandang
sebagai investasi jangka panjang. Karena dengan melakukan praktek CSR yang<br />
berkelanjutan, perusahaan akan mendapat tempat di hati dan ijin operasional dari<br />
masyarakat, bahkan mampu memberikan kontribusi bagi pembangunan<br />
berkelanjutan.<br />
104<br />
CSR kini semakin meroket dan marak diselenggarakan di berbagai belahan<br />
dunia. Menguatnya terpaan prinsip Good Corporate Governance telah mendorong<br />
CSR semakin menyentuh “jantung hati” dunia bisnis. Di Indonesia, CSR sekarang<br />
dinyatakan lebih tegas lagi dalam UU PT No. 40 Tahun 2007. Pendapat Milton<br />
Friedman yang menyatakan bahwa tujuan utama korporasi adalah memperoleh profit<br />
semata semakin ditinggalkan. Sebaliknya konsep triple bottom line (profit, planet,<br />
people) yang digagas oleh John Elkington semakin masuk ke mainstream etika<br />
bisnis. 87<br />
CSR sudah diyakini sebagai suatu kewajiban bagi perusahaan, maka dengan<br />
sendirinya perusahaan telah melaksanakan “investasi sosial”. Sebagai investasi sosial<br />
tentu saja perusahaan akan memperoleh keuntungan dalam bentuk manfaat yang<br />
diperoleh. Karena CSR bersifat investasi sosial sudah barang tentu manfaat<br />
tersebut tidak seketika, tetapi baru dipetik dikemudian hari. Gurvey Kavei, pakar<br />
manajemen dari Universitas Manchester, Inggris menegaskan bahwa setiap<br />
perusahaan yang mengimplementasikan CSR dalam aktivitas usahanya akan<br />
mendapatkan 5 (lima) manfaat utama sebagai berikut:<br />
87 Suharto, Edi, 2007, Pekerjaan Sosial Di Dunia Industri Memperkuat Tanggungjawab Sosial<br />
Perusahaan/Corporate Sosial Responsibility), Bandung, Penernit Refika Aditama, hal. 73
a. Meningkatkan profitabilitas dan kinerja finansial yang lebih kokoh, misalnya<br />
lewat efesiensi lingkungan.<br />
b. Meningkatkan akuntabilitas, assessement dan komunitas investasi.<br />
c. Mendorong komitmen karyawan, karena mereka diperhatikan dan dihargai.<br />
d. Menurunkan kerentanan gejolak dengan komunitas dan Mempertinggi reputasi<br />
dan corporate branding. 88<br />
105<br />
A.B. Susanto mengemukakan dari sisi perusahaan terdapat 6 (enam) manfaat<br />
yang dapat diperoleh dari aktifitas CSR, yaitu:<br />
a. Mengurangi resiko dan tuduhan terhadap perlakuan tidak pantas yang diterima<br />
perusahaan.<br />
Perusahaan yang melaksanakan CSR secara konsisten akan mendapat dukungan<br />
luas dari komunitas yang merasakan manfaat dari aktivitas yang dijalankannya.<br />
CSR akan mengangkat citra perusahaan, yang dalam rentang waktu yang panjang<br />
akan meningkatkan reputasi perusahaan.<br />
b. CSR dapat berfungsi sebagai pelindung dan membantu perusahaan meminimalkan<br />
dampak buruk yang diakibatkan oleh suatu krisis. Sebagai contoh adalah sebuah<br />
perusahaan produsen consumer goads yang beberapa waktu yang lalu dilanda isu<br />
adanya kandungan bahan berbahaya dalam produknya. Namun karena<br />
perusahaan tersebut dianggap konsisten menjalankan CSR nya maka masyarakat<br />
menyikapinya dengan tenang sehingga relative tidak mempengaruhi aktivitas dan<br />
kinerjanya.<br />
88 . Ibid. hal. 85
c. Keterlibatan dan kebanggaan karyawan.<br />
Karyawan akan merasa bangga bekerja pada perusahaan yang memiliki reputasi<br />
106<br />
yang baik, yang secara konsisten melakukan upaya-upaya untuk membantu<br />
meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan<br />
sekitarnya. Kebanggan ini pada akhirnya akan menghasilkan loyalitas sehingga<br />
mereka merasa lebih termotivasi untuk bekerja lebih keras demi kemajuan<br />
perusahaan.<br />
d.CSR yang dilaksanakan secara konsisten akan mampu memperbaiki dan<br />
mempererat hubungan antara perusahaan dengan para stakeholdersnya.<br />
Pelaksanaan CSR secara konsisten menunjukkan bahwa perusahaan memiliki<br />
kepedulian terhadap pihak-pihak yang berkontribusi terhadap lancarnya berbagai<br />
aktivitas serta kemajuan yang mereka raih.<br />
e. Meningkatkan penjualan.<br />
Konsumen akan lebih menyukai produk yang dihasilkan oleh perusahaan yang<br />
secara konsisten menjalankan CSR nya sehingga memiliki reputasi yang baik.<br />
f.Insentif-insentif lainnya seperti insentif pajak dan berbagai perlakuan khusus<br />
lainnya. 89<br />
Menurut Y Wibisono perusahaan mendapat beberapa keuntungan karena<br />
menerapkan CSR yaitu:<br />
a. Untuk mempertahankan dan mendongkrak reputasi dan brand image<br />
89 Susanto. AB, 2009, Reputation-Driven Corporate Social Responsibility, Pendekatan<br />
Strategic Management Dalam CSR Jakarta, Erlangga Group, hal. 98.
107<br />
perusahaan. Perbuatan destruktif pasti akan menurunkan reputasi perusahaan.<br />
Begitupun sebaliknya, kontribusi positif pasti juga akan mendongkrak reputasi<br />
dan image positif perusahaan. Inilah yang menjadi modal non finansial utama<br />
perusahaan bagi stakeholders-nya yang menjadi nilai tambah bagi perusahaan<br />
untuk dapat tumbuh secara berkelanjutan.<br />
b. Layak mendapatkan izin untuk beroperasi (social license to operate)<br />
Masyarakat sekitar perusahaan merupakan kornunitas utama perusahaan. Ketika<br />
mereka mendapatkan benefit dan keberadaan perusahaan, maka pasti dengan<br />
sendirinya mereka ikut merasa memiliki perusahaan. Sehingga imbalan yang diberikan<br />
ke perusahaan paling tidak adalah keleluasaan perusahaan untuk menjalankan roda<br />
bisnisnya di wilayah tersebut. Jadi program CSR diharapkan menjadi bagian dan<br />
asuransi sosial (social insurance) yang akan menghasilkan harmoni dan persepsi<br />
positif dan masyarakat terhadap eksistensi perusahaan.<br />
c. Mereduksi resiko bisnis perusahaan<br />
Mengelola resiko di tengah kompleksnya permasalahan perusahaan merupakan<br />
hal yang esensial untuk suksesnya usaha. Perusahaan mesti menyadari bahwa<br />
kegagalan untuk memenuhi ekspektasi stakeholders pasti akan menjadi bom<br />
waktu yang dapat memicu resiko yang tidak diharapkan. Misalnya disharmoni<br />
dengan stakeholders hingga pernbatalan atau penghentian operasi, yang<br />
ujungnya akan merusak dan menurunkan reputasi bahkan kinerja perusahaan.<br />
Bila hal itu terjadi, maka disamping rnenanggung opportunity loss, perusahaan<br />
juga mesti mengeluarkan biaya yang mungkin justru berlipat besarnya
108<br />
dibanding biaya untuk mengimplementasikan CSR. Karena itu, menempuh<br />
langkah antisipatif dan preventif melalui penerapan CSR merupakan upaya<br />
investatif yang dapat menurunkan resiko bisnis perusahaan.<br />
d. Melebarkan akses ke sumber daya.<br />
Track record yang baik dalam pengelolaan CSR merupakan keunggulan<br />
bersaing bagi perusahaan yang dapat membantu untuk memuluskan jalan<br />
menuju sumber daya yang diperlukan perusahaan.<br />
e. Membentangkan akses menuju market<br />
Investasi yang di tanamkan untuk program CSR ini dapat menjadi tiket bagi<br />
perusahaan menuju peluang pasar yang terbuka lebar. Termasuk didalamnya<br />
akan memupuk loyalitas konsumen dan menembus pangsa pasar baru. Sudah<br />
banyak bukti akan resistensi konsumen terhadap produk-produk yang tidak<br />
comply pada aturan dan tidak tanggap terhadap isu sosial dan lingkungan.<br />
f. Memperbaiki hubungan dengan stakehokders<br />
Implementasi program CSR tentunya akan menambah frekwensi komunikasi<br />
dengan stakeholders. Nuansa seperti itu dapat membentangkan karpet merah<br />
bagi terbentuknya trust kepada perusahaan.<br />
g. Memperbaiki hubungan dengan regulator<br />
Perusahaan yang menerapkan program CSR pada dasarnya merupakan upaya<br />
untuk meringankan beban pemerintah sebagai regulator. Sebab pemerintahlah<br />
yang menjadi penanggungjawab utama untuk mensejahterakan masyarakat dan
109<br />
melestarikan lingkungan. Tanpa bantuan dan perusahaan, umumnya terlalu<br />
berat bagi pemerintah untuk menanggung beban tersebut<br />
h. Mereduksi biaya.<br />
Banyak contoh yang dapat menggambarkan keuntungan perusahaan yang<br />
didapat dan penghematan biaya yang merupakan buah dan implementasi dan<br />
penerapan program tanggung jawab sosialnya. Hal yang mudah dipahami<br />
adalah upaya untuk mereduksi limbah melalui proses daur ulang (recycle)<br />
kedalam siklus produksi. Disamping mereduksi biaya, proses ini tentu juga<br />
mereduksi buangan ke luar sehingga menjadi lebih aman.<br />
i. Meningkatkan semangat dan produktivitas karyawan.<br />
Kesejahteraan yang diberikan para pelaku CSR umumnya sudah jauh melebihi<br />
standar normatif kewajiban yang dibebankan kepada perusahaan. Oleh<br />
karenanya wajar bila karyawan menjadi terpacu untuk meningkatkan<br />
kinerjanya. Disamping itu reputasi perusahaan yang baik dimata stakeholders<br />
juga merupakan vitamin tersendiri bagi karyawan untuk meningkatkan<br />
motivasi dalam berkarya.<br />
j. Peluang mendapatkan penghargaan. Banyak reward ditawarkan bagi penggiat<br />
CSR. Sehingga kesempatan untuk mendapatkan penghargaan mempunyai<br />
peluang yang cukup tinggi.<br />
Kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan selain mempunyai manfaat kepada<br />
perusahaan juga bermanfaat bagi masyarakat. Manfaat yang diterima masyarakat dari
kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan terdiri dari manfaat jangka pendek, jangka<br />
menengah dan jangka panjang, sebagai berikut: 90<br />
<strong>110</strong><br />
Dalam jangka pendek, aktivitas CSR yang bertujuan memperkuat kerekatan<br />
sosial memberi manfaat kepada masyarakat dalam beberapa bentuk, tergantung dari<br />
bentuk aktivitas itu sendiri. Untuk aktivitas CSR yang memang dirancang untuk<br />
secara langsung mengurangi kesenjangan sosial atau meningkatkan kerekatan sosial,<br />
dampak langsung yang tercipta adalah meningkatkan interaksi antar kelompok-<br />
kelompok masyarakat yang biasanya mungkin jarang berinteraksi. Manfaat jangka<br />
pendek lain yang biasanya terbangun dari aktivitas CSR adalah tersedianya layanan-<br />
layanan sosial/publik yang selama ini sulit diperoleh kelompok masyarakat tertentu.<br />
Dalam jangka menengah, manfaat yang tercipta adalah meningkatnya<br />
kemampuan atau kapasitas masyarakat untuk bekerja sama. Hal ini dapat terbangun<br />
dari aktivitas-aktivitas CSR yang mengharuskan terjadinya kerja sama antar anggota<br />
masyarakat. Manfaat jangka menengah lainnya adalah terciptanya jejaring yang<br />
dibutuhkan oleh kelompok-kelompok masyarakat untuk mengembangkan aktivitas<br />
ekonominya maupun untuk meningkatkan kondisi kehidupannya.<br />
Dalam jangka panjang, aktivitas CSR tertentu dapat memberi manfaat berupa<br />
meningkatnya modal sosial dan kerekatan sosial pada masyarakat. Misalnya, interaksi<br />
antar kelompok yang tercipta dengan katalis aktivitas CSR dapat meningkatkan rasa<br />
keakraban, kekompakan, saling percaya, dan saling mendukung antar kelompok-<br />
90 Mulya Amri dan Wicaksono Sarosa, 2008, CSR untuk Penguatan Kohesi Sosial,Jakarta,<br />
Indonesia Business Links, hal. 94-96.
kelompok masyarakat selain itu, kesenjangan antar kelompok juga dapat berkurang<br />
sehingga tumbuhlah suasana yang lebih bermoral, beretika, saling menghargai,<br />
berbagi, dan berkompetensi secara sehat. Semua ini akan memberi kontribusi pada<br />
meningkatnya kualitas hidup masyarakat yang aman, damai dan sejahtera.<br />
111<br />
Tiga lembaga internasional independen, yaitu Environics International<br />
(Kanada), Conference Board (AS), dan Prince of Wales Business Leader Forum<br />
(Inggris) melakukan survey tentang hubungan antara CSR dan citra perusahaan.<br />
Survey dilakukan terhadap 25 ribu konsumen di 23 negara yang dituangkan dalam<br />
The Millenium Poll on CSR . Hasil survey menunjukkan mayoritas responden (60 %)<br />
menyatakan bahwa CSR seperti etika bisnis, praktik sehat terhadap karyawan,<br />
dampak terhadap lingkungan, merupakan unsur utama mereka dalam menilai baik<br />
atau tidaknya suatu perusahaan. Sedangkan faktor fundamental bisnis seperti kinerja<br />
keuangan, ukuran perusahaan, strategi perusahaan atau manajemen, hanya dipilih<br />
oleh 30 % responden. Sebanyak 40 % responden bahkan mengancam akan<br />
“menghukum” perusahaan yang tidak melakukan CSR. Separo responden berjanji<br />
tidak akan mau membeli produk perusahaan yang mengabaikan CSR. Lebih jauh<br />
mereka akan merekomendasikan hal ini kepada konsumen lain.<br />
Jika dikelompokkan, ada 4 (empat) manfaat CSR terhadap perusahaan, yaitu:<br />
1. Brand differentiation. Dalam persaingan yang kian kompetitif, CSR bisa<br />
memberikan citra perusahaan yang khas, baik dan etis di mata public yang pada<br />
gilirannya menciptakan customer loyalty.
2. Human resources. Program CSR dapat membantu dalam perekrutan karyawan<br />
baru, terutama yang memiliki kualifikasi tinggi. Saat wawancara calon karyawan<br />
yang memiliki pendidikan dan pengalaman tinggi sering bertanya soal CSR dan<br />
etika bisnis perusahaan, sebelum mereka memutuskan menerima tawaran. Bagi<br />
staf lama, CSR juga dapat meningkatkan persepsi, reputasi dan dedikasi dalam<br />
bekerja.<br />
3. License to operate. Perusahaan yang menjalankan CSR dapat mendorong<br />
pemerintah dan publik memberi ”ijin” atau ”restu” bisnis. Karena dianggap telah<br />
memenuhi standar operasi dan kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat<br />
luas.<br />
4. Risk management. Manajemen resiko merupakan isu sentral bagi setiap<br />
perusahaan.<br />
Reputasi perusahaan yang dibangun bertahun-tahun bisa runtuh dalam sekejap oleh<br />
skandal korupsi, kecelakaan karyawan, atau kerusakan lingkungan. Membangun<br />
budaya ”doing the right thing” berguna bagi perusahaan dalam mengelola resiko-<br />
resiko bisnis. Ada kecenderungan perkembangan CSR kini bergeser dari<br />
underestimate ke overestimate.<br />
112<br />
Jika pada masa lalu pandangan terhadap CSR lebih banyak dipengaruhi Milton<br />
Friedman yang cenderung ”memusuhi” CSR. Kini, pandangan terhadap CSR lebih<br />
positif, bahkan terkadang overestimate. Seakan-akan CSR adalah panacea yang bisa<br />
menyembuhkan penyakit apa saja. Padahal, manfaat CSR terhadap perusahaan<br />
tidaklah ”taken for granted” dan otomatis.
113<br />
Tokoh yang kritis terhadap CSR adalah David Vogel, penyandang Solomon Lee<br />
Professor of Business Ethics pada Haas School of Business dan Professor of Political<br />
Science di University of California Berkeley. Menurutnya, perkembangan literatur<br />
CSR memiliki kelemahan yang seragam, yakni “tidak menimbang dengan hati-hati<br />
apa yang dapat dan tidak dapat dicapai oleh dan melalui CSR” 91 .<br />
Berdasarkan hasil studinya, Vogel menemukan bahwa “tesis” yang menyatakan<br />
bahwa CSR akan meningkatkan keuntungan perusahaan merupakan keyakinan yang<br />
kurang didukung data empiris. Investasi dalam CSR mirip belanja iklan, yang belum<br />
tentu mendongkrak keuntungan perusahaan. 92<br />
Namun, ini tidak berarti bahwa melakukan CSR sama sekali tidak memberikan<br />
keuntungan. Bukti-bukti empiris yang ada menyaksikan bahwa pada kondisi-kondisi<br />
tertentu CSR berperan melejitkan keuntungan perusahaan. CSR bukanlah strategi<br />
generik. CSR mungkin cocok pada kondisi tertentu, tetapi tidak pada kondisi lainnya.<br />
Karenanya, menurut Vogel, argumen mengenai hubungan positif antara kinerja sosial<br />
dengan kinerja finansial perusahaan harus dilihat secara lebih kontekstual. 93<br />
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dibeberapa perusahaan yang ada di<br />
Bali ditemukan bahwa perusahaan melakukan CSR manfaatnya sangat dirasakan<br />
oleh perusahaan yang bersangkutan. Berdasarkan pengakuan dari pimpinan<br />
91 Jalal, 2006, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia, Penerbit Rekayasa Sains,<br />
Bandung, hal. 75<br />
92 CSR2008/suharto@policy.hukum. Hal. 8<br />
93 Jalal, Op. Cit. hal. 85
perusahaan PT Bali Timur Mandiri yang beralamat di Jalan Pahlawan No. 12 Bangli,<br />
Bapak Oka Pradipta mengatakan bahwa manfaat yang diperoleh dengan pelaksanaan<br />
CSR tersebut yang paling utama adalah stabilitas dalam bidang pendapatan<br />
perusahaan dapat terjaga. Walaupun pada saat sekarang di Bangli telah banyak<br />
tumbuh perusahaan yang berkecimpung dalam penjualan sepeda motor, tetapi PT<br />
Bali Timur Mandiri, tidak terpengaruh pendapatannya akibat banyaknya perusahaan<br />
dengan jenis usaha yang sama, di daerah Bangli. Keberlangsungan perusahaan yang<br />
dirasakan dalam tahap aman, karena dukungan masyarakat sekitar masih dirasakan<br />
untuk kemajuan perusahaan tersebut. Kemudian manfaat yang kedua yang diperoleh<br />
adalah dukungan masyarakat atas keberadaan perusahaan di masyarakat Bangli,<br />
sehingga dirasakan sampai saat ini PT Bali Timur Mandiri tetap eksis di masyarakat.<br />
(Wawancara dengan Direktur PT Bali Timur Mandiri tanggal 2 Februari 2011).<br />
114<br />
Demikian juga yang dilakukan oleh PT Sumber Alam Semesta yang beralamat<br />
di Jalan Sudamala , Desa Sedit Bebalang Bangli. Perusahaan ini mulai beroperasi<br />
sejak tahun 2005 telah peduli terhadap lingkungan di sekitar perusahaan tersebut baik<br />
terhadap manusia, alam lingkungan dan persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa.<br />
Meskipun istilah CSR baru dipopulerkan dengan berlakunya UU PT yang baru yaitu<br />
UU No. 40 Tahun 2007, namun perusahaan tersebut sudah dapat dikatagorikan<br />
melaksanakan CSR sejak tahun 2005.<br />
Menurut Bapak Ketut Suyasa, yang menjabat sebagai Kepala Produksi<br />
mengatakan bahwa manfaat yang paling dirasakan melaksanakan CSR adalah dapat<br />
meningkatkan produksi dan pendapatan perusahaan. Dengan pelaksanaan CSR ini
masyarakat mengenal produk dari perusahaan, apalagi dalam penyerahan CSR<br />
dilakukan pada saat upacara keagamaan yang dilakukan di daerah dimana perusahaan<br />
berdomisili, maka CSR tersebut sangat dirasakan oleh masyarakat. Disamping itu<br />
manfaat pelaksanaan CSR yang lain adalah eksistensi dari perusahaan di masyarakat<br />
menjadi lebih mapan, karena mendapat dukungan dari masyarakat sekitarnya.(<br />
Wawancara dengan Bapak Ketut Suyasa tanggal 5 Februasri 2011)<br />
115<br />
Menurut Bapak Alit Putrawan yang menjabat sebagai Inventary General<br />
Support Section Head Di PT Federal Internasional Finance (FIF) yang beralamat<br />
kantor di Jalan Gatot Subroto No. 18 Denpasar mengatakan bahwa FIF telah<br />
melaksanakan CSR sejak tahun 2005 jauh sebelum lahirnya UU No. 40 Tahun 2007<br />
tentang PT yang menggantikan UU No. 1 Tahun 1995. Hal tersebut tidak terlepas<br />
dari keberadaan PT Astra Internasional sebagai Holding Company dari FIF yang telah<br />
merasakan manfaat melaksanakan CSR terutama terhadap eksistensi perusahaan<br />
tersebut di mata internasional. Oleh karena itu PT FIF cabang Denpasar telah<br />
melaksanakan CSR sejak tahun 2005.<br />
Manfaat yang diperoleh dengan melaksanakan CSR adalah kelangsungan bisnis<br />
perusahaan bisa lebih terjamin, disamping itu dengan pelaksanaan CSR perhatian<br />
pemerintah lebih fokus terhadap kegiatan perusahaan , hal ini terbukti dengan adanya<br />
penghargaan Pemerintah Kota Denpasar terhadap pelaksanaan CSR oleh FIF<br />
tersebut.(Wawancara dengan Bapak Alit Putrawan, tanggal 18 Februari 2011).<br />
Beberapa perusahaan yang diwawancarai pada intinya mengatakan bahwa<br />
banyak manfaat yang diperoleh dengan menerapkan CSR di perusahaan, seperti
menjaga stabilitas pendapatan perusahaan, dukungan masyarakat atas keberadaan<br />
perusahaan di masyarakat (eksistensi perusahaan di masyarakat).<br />
116<br />
Kenyataan yang ditemukan di lapangan sangat sesuai dengan Teori<br />
Stakeholder. Menurut Teori stakeholder bahwa yang menjadi latar belakang dari<br />
suatu perusahaan untuk menerapakan CSR sebagai salah satu strategi bisnisnya. teori<br />
tersebut lebih mendasari perusahaan melakukan pengungkapan tanggungjawab sosial<br />
terhadap masyarakat dimana perusahaan itu menjalankan kegiatannya. Dimana hal<br />
tersebut diatur dalam Undang-undang maupun Guideline/Standar yang mengharuskan<br />
perusahaan untuk membuat laporan keuangan yang memenuhi Triple Bottom Line<br />
sebagai pertanggung jawaban terhadap lingkungan dan sosial masyarakat.<br />
Pada dasarnya pengungkapan tanggungjawab sosial perusahaan bertujuan untuk<br />
memperlihatkan kepada masyarakat aktivitas sosial yang dilakukan oleh perusahaan<br />
dan pengaruhnya terhadap masyarakat. Dilihat dari satu sisi, tujuan ini memiliki<br />
maksud yang baik. Namun penjelasan teori atas pengungkapan sosial ini<br />
menunjukkan bahwa terdapat banyak motivasi yang bertitik tolak dari kepentingan<br />
manajer ataupun perusahaan. Bahwa tujuan akhir dari adanya pengungkapan sosial<br />
perusahaan adalah tidak lain untuk menunjang tujuan utama perusahaan dalam usaha<br />
mendapatkan profit maksimum. Selanjutnya akan kembali pada peningkatan<br />
kesejahteraan pemilik.<br />
Perusahaan melakukan pengungkapan tanggungjawab sosial sebagai upaya<br />
untuk memenuhi harapan atau permintaan stakeholders. Namun demikian perusahaan<br />
tetap melakukan identifikasi atas stakeholders tersebut dalam artian stakeholders yang
mana yang memiliki pengaruh lebih besar serta yang paling mungkin mengganggu<br />
kelangsungan hidup perusahaan jika harapannya tidak terpenuhi, maka pengungkapan<br />
akan dilakukan berdasarkan harapan stakeholders tersebut. Dalam hal ini keamanan<br />
perusahaan yang pada akhirnya juga berujung pada kepentingan pemilik perusahaan<br />
merupakan motivasi utama manajer melakukan pengungkapan tanggungjawab sosial-<br />
lingkungan.<br />
3.4 Model Penerapan Tanggung Jawab Sosial Perseroan (CSR) Dalam<br />
Kaitannya Dengan Konsep Tri Hita Karana Di Bali.<br />
117<br />
Kegiatan usaha tidak hanya sekedar kegiatan ekonomi untuk menciptakan<br />
keuntungan semata, melainkan juga melaksanakan tanggung jawab terhadap sosial<br />
dan lingkungan. Menggantungkan perusahaan hanya semata-mata pada kesehatan<br />
finansial tidak akan menjamin perusahaan bisa tumbuh secara berkelanjutan.<br />
Keberlanjutan perusahaan akan terjamin apabila perusahaan memperhatikan dimensi<br />
terkait lainnya, termasuk dimensi sosial dan lingkungan.<br />
Menghadapi perkembangan tersebut, perusahaan mulai memperhatikan dengan<br />
serius pengaruh dimensi sosial, dan lingkungan pada setiap aktivitas bisnisnya,<br />
karena aspek-aspek tersebut bukan suatu pilihan yang terpisah, melainkan berjalan<br />
beriringan untuk meningkatkan keberlanjutan operasi perusahaan.<br />
Mereka juga meyakini bahwa program tanggung jawab sosial merupakan<br />
investasi bagi perusahaan demi pertumbuhan dan keberlanjutan (sustainability)<br />
perusahaan, artinya tanggung jawab sosial bukan lagi dilihat sebagai sentra biaya<br />
(cost center) melainkan sebagai sentra laba (profit center) di masa mendatang.
Tanggung jawab sosial adalah kewajiban perusahaan untuk merumuskan kebijakan,<br />
mengambil keputusan, dan melaksanakan tindakan yanng memberikan manfaat<br />
kepada masyarakat. 94<br />
Untuk melindungi perusahaan dari berbagai risiko tuntutan hukum, kehilangan<br />
partner bisnis maupun risiko terhadap citra perusahaan (brand risk) tidak cukup<br />
hanya taat kepada peraturan perundang-undangan. Tekanan secara nasional dan<br />
internasional sedang dan terus akan berlanjut untuk mempengaruhi perilaku bisnis<br />
korporasi. Tekanan ini datang antara lain dari para pemegang saham, LSM (Lembaga<br />
Swadaya Masyarakat), partner bisnis (terutama dari negara yang komunitas bisnisnya<br />
peka terhadap CSR) dan advokat yang memperjuangkan kepentingan publik (public<br />
inter- est lawyers). Untuk menghindari tekanan yang bersifat glonal tersebut, maka<br />
perusahaan perlu peduli terhadap lingkungan masyarakat disekitarnya, dengan<br />
melaksanakan CSR tersebut.<br />
118<br />
CSR merupakan komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi<br />
dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung<br />
jawab sosial perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian<br />
terhadap aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan 95<br />
Secara implementatif, perkembangan CSR di Indonesia masih membutuhkan<br />
banyak perhatian bagi semua pihak, baik pemerintah, masyarakat luas dan<br />
perusahaan. Di antara ribuan perusahaan yang ada, diindikasikan belum semua<br />
94 Amin Widjaja Tunggal, 2008, Corporate Social Responsibility (CSR), Jakarta, Penerbit<br />
Harvarindo, hal. 1.<br />
95 Hendrik Budi Untung , Op. Cit. hal. 1
perusahaan benar-benar menerapkan konsep CSR dalam kegiatan perusahaannya.<br />
CSR masih merupakan bagian lain dari manejemen perusahaan, sehingga<br />
keberadaannya dianggap tidak memberikan kontribusi positif terhadap kelangsungan<br />
perusahaan. Padahal sesuai dengan UU yang ada, keberadaan CSR melekat secara<br />
inherent dengan manajemen perusahaan, sehingga bidang kegiatan dalam CSR pun<br />
masih dalam kontrol manejemen perusahaan.<br />
119<br />
Lebih jauh lagi dalam lingkungan bisnis perusahaan, masyarakat di sekitar<br />
perusahaan pada dasarnya merupakan fihak yang perlu mendapatkan apresiasi. Apre-<br />
siasi ini dapat diwujudkan dalam bentuk peningkatan kesejahteraan hidup mereka<br />
melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh kegiatan CSR peru-<br />
sahaan. Hal ini karena perusahaan dan masyarakat pada dasarnya merupakan kesatu-<br />
an elemen yang dapat menjaga keberlangsungan perusahaan itu sendiri. 96<br />
Hal tersebut tentunya sangat jauh dari harapan dan tujuan ideal dari peranan<br />
CSR perusahaan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Menurut Kim praktek CSR<br />
perusahaan dapat diidentifikaskan dalam berbagai tujuan, yakni hukum, ekonomi,<br />
moral, dan filantropi. Namun demikian, tujuan tersebut masih dapat dikembangkan<br />
sesuai dengan kondisi aktual di masyarakat terkait dengan tekanan yang terjadi dalam<br />
kehidupan masyarakat. Salah satu tujuan CSR yang sangat urgen khususnya di negara<br />
sedang berkembang adalah peningkatan kualitas pendidikan masyarakat. Oleh karena<br />
itu penerapan CSR di Indonesia pada dasarnya dapat diarahkan pada penguatan<br />
96 Dwi Kartini, 2008, Corporate Social Responsibility: Transformasi Konsep Sustainability<br />
Management dan Implementasi di Indonesia, Malang: In-Tans Publishing, hal. 6.
ekonomi rakyat yang berbasis usaha kecil dan menengah serta peningkatan kualitas<br />
SDM masyarakat melalui perbaikan sarana dan prasarana pendidikan.<br />
120<br />
Di Daerah Bali dari hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan adanya<br />
pakta bahwa kegiatan CSR yang dilakukan oleh perusahaan mengarah kepada hal<br />
tersebut di atas, seperti yang dilakukan oleh PT. Federal Internasional Finance<br />
(PT.FIF) cabang Denpasar merupakan salah satu perusahaan yang bergerak dalam<br />
bidang pembiayaan roda dua, khususnya pembiayaan sepeda motor Honda,<br />
pembiayaan sepeda motor bekas dan pembiayaan elektronik (Spektra). Sejak<br />
didirikan pada tahun 1989, kini PT. FIF telah mampu membuktikan diri sebagai<br />
perusahaan pembiayaan terbesar dan terbaik di Indonesia terbukti dengan diraihnya<br />
berbagai penghargaan dari dunia usaha.<br />
Sadar akan tugas dan tanggung jawab sosial seperti yang telah diamanatkan<br />
dalam Undang-Undang, PT. FIF cabang Denpasar secara kontinyu dan terprogram<br />
telah menerapkan konsep CSR dalam implementasi manajemen usahanya yang pada<br />
saat sekarang menjadi suatu nama program bagi PT Astra Internasional Tbk. Sebagai<br />
induk perusahaan. Program tersebut dibuat suatu system yang diberi nama Astra<br />
Friendly Company (AFC). Secara garis besar, strategi pelaksanaan CSR PT. FIF<br />
mencakup beberapa wilayah yang ada di sekitar perusahaan. Cakupan wilayah ini<br />
dibagi ke dalam 3 ring (zona), yakni ring I meliputi daerah-daerah di sekitar<br />
perusahaan, ring II meliputi daerah-daerah di luar ring I, dan ring III meliputi daerah-<br />
daerah di luar ring I dan ring II. Strategi pengembangan berdasarkan wilayah ini juga<br />
ditunjang oleh berbagai jenis kegiatan yang sesuai dengan karakteristik kegiatan
masing-masing daerah, seperti layanan publik di bidang kesehatan,kebudayaan dan<br />
pendidikan.<br />
121<br />
Namun demikian disadari bahwa dinamika perkembangan lingkungan<br />
perusahaan berjalan sedemikan cepat, sehingga membutuhkan berbagai inovasi dan<br />
kreasi kegiatan CSR yang mampu dirasakan secara optimal oleh masyarakat.<br />
Dinamika lingkungan perusahaan tersebut seperti adanya tuntutan otonomi daerah,<br />
sehingga harapan/cita-cita kesejahteraan masyarakat menjadi semakin tinggi. Padahal<br />
kemampuan pemerintah daerah masih dibatasi oleh keterbatasan anggaran daerah<br />
untuk pembangunan secara menyeluruh. Di sinilah peran CSR perusahaan, khususnya<br />
PT. FIF, untuk melaksanakan fungsi-fungsi sosial di luar kegiatan pokok perusahaan,<br />
agar kepentingan masyarakat luas dapat terpenuhi semaksimal mungkin, sehingga<br />
kesejahteraan hidup mereka dapat mengalami kenaikan. Salah satu elemen penting<br />
dalam kesejahteraan hidup tersebut adalah adanya kegiatan pemberdayaan<br />
masyarakat sekitar perusahaan. Dalam hal ini peran manajemen sangat penting dalam<br />
upaya untuk memformulasikan berbagai program dan kegiatan dalam CSR PT. FIF,<br />
sehingga terjadi hubungan simbiosis mutualisme antara perusahaan dan masyarakat<br />
luas. Pada akhirnya berbagai program kegiatan dalam kegiatan CSR PT. FIF<br />
diharapkan dapat meningkatkan pemberdayaan masyarakat.<br />
Model atau pola CSR yang dilakukan oleh PT FIF adalah dilakukan secara<br />
langsung oleh perusahaan, yaitu dengan membentuk departemen khusus yang<br />
menangani masalah CSR tersebut. Di PT FIF struktur manajemen dibawah Branch<br />
Manager, ada bagian yang disebut dengan PIC ESR. Kemudian dibawahnya terdapat
agian Inspektur, Strategi, Process, Sumber Daya Manusia dan Produk. CSR berada<br />
di bagian PIC ESR yang dikomandoi oleh I Made Alit Putrawan. CSR termasuk<br />
dalam ESR (Environment and Social Responsibility), yang dibagi dalam 3 bagian,<br />
yaitu Astra Friendly Company (AFC) yang fokus dalam bidang pendidikan,<br />
pemberdayaan ekonomi masyarakat, kesehatan, dan lingkungan hidup.<br />
122<br />
Astra Green Company meliputi aspek lingkungan, kesehatan dan keselamatan<br />
Kerja (LK3) disamping itu juga membidangi masalah kesejahteraan karyawan,<br />
limbah, penghematan sumber daya alam dalam hal ini adalah pemakaian listrik dan<br />
kertas. Strategi implementasi program ini dilakukan dengan cara bersinergi secara<br />
eksternal dan internal dengan Ikatan Karyawan PIF (ikaFIF), Koperasi FIF (kopFIF),<br />
Astra Internasional dan anak perusahaan Astra Group, Organisasi/Yayasan/Institusi<br />
Sosial, Customer, dan supplier.<br />
Program yang ketiga adalah Sistem Manajemen Keamanan (Security Corporate<br />
Responsibility) membuat standar pengelolaan security dilingkungan perusahaan<br />
dalam rangka mencapai sustainable business dengan semangat good corporate<br />
governance. Pengelolaan security ditujukan untuk memberikan rasa aman dan<br />
menjadi fungsi yang tak terpisahkan dalam kegiatan operasional bisnis seperti bidang<br />
lainnya, yakni meraih profitabilitas dan mereduksi resiko bisnis.<br />
Demikian juga terhadap penelitian yang dilakukan di Kabupaten Bangli yang<br />
dilakukan di PT Sumber Alam Semesta yang usahanya bergerak dalam bidang air<br />
minum dalam kemasan, dan penelitian yang dilakukan di PT Bali Timur Mandiri<br />
yang bergerak dalam bidang perdagangan sepeda motor, model yang diterapkan pada
kedua perusahaan tersebut adalah Perusahaan melaksanakan program CSR secara<br />
langsung dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan<br />
sumbangan ke masyarakat tanpa perantara (wawancara dengan Ketut Suyasa Kepala<br />
Produksi PT Sumber Alam Semesta tanggal 2 Februari 2011) Untuk menjalankan<br />
tugas ini, perusahaan biasanya menugaskan salah satu pejabat seniornya, untuk terjun<br />
langsung kepada masyarakat.<br />
Ada sedikit perbedaan dengan yang diterapkan di PT Bali Timur Mandiri, yaitu<br />
beberapa perusahaan bergabung dalam sebuah konsorsium untuk secara bersama-<br />
sama menjalankan CSR. Perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota atau<br />
mendukung suatu lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan sosial tertentu. Pihak<br />
konsorsium yang dipercaya oleh perusahaan-perusahaan yang mendukungnya akan<br />
secara proaktif mencari kerja sama dari berbagai kalangan dan kemudian<br />
mengembangkan program yang telah disepakati. Untuk acara yang besar maka model<br />
CSR yang diterapkan oleh PT ini adalah bergabung dengan seluruh perusahaan yang<br />
bergerak dalam bidang yang sama yaitu yang menjual sepeda motor yang ada di<br />
seluruh Bali, dan bantuan yang diberikan ditujukan pada permasalahan yang lebih<br />
besar, misalnya dalam membantu korban Gunung Merapi, Jawa Tengah, bencana<br />
Wasior di Irian Jaya. Bisa juga bergabung dengan Finance untuk memberikan<br />
bantuan kepada masyarakat, sesuai dengan situasi dan keuntungan yang diperoleh<br />
oleh perusahaan.(wawancara dengan Oka Pradipta PIC PT Bali Timur Mandiri,<br />
tanggal 2 Februari 2011).<br />
123
124<br />
Model yang diterapkan oleh PT Jabato Tour & Travel melaksanakan secara<br />
langsung kepada masyarakat dana CSR tersebut (wawancara dengan Bapak Roby<br />
Napitupulu Acc Manager & General Affair PT Jabato tanggal 2 Maret 2011).<br />
Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Badung, di PT Asuna dan PT 18 Jaya<br />
pada intinya Model yang diterapkan adalah sama, yaitu memberikan dana CSR<br />
kepada masyarakat secara langsung tanpa melalui perantara badan atau perusahaan<br />
lain (wawancara dengan I. Wayan Rajendra Direktur PT Asuna, dan AA Kt Trisna<br />
Guna, Manager PT 18 Jaya)<br />
Di Daerah Gianyar penelitian dilakukan di PT BPR Suadana pada intinya<br />
model yang diterapkan di perusahaan tersebut adalah sama dengan perusahaan di<br />
daerah lain, yaitu melaksanakan CSR secara langsung kepada masyarakat.<br />
Sebenarnya aturan untuk memberikan timbal balik perusahaan kepada<br />
stakeholder sudah diterapkan oleh kebanyakan perusahaan yang ada di Bali sebelum<br />
UU No. 40 Tahun 2007 muncul. Hal tersebut sudah merupakan suatu bentuk<br />
moralitas yang terbentuk dalam hukum di masyarakat bahwa bila suatu perusahaan<br />
arogan kepada stakeholder disekitarnya maka otomatis stakeholder tersebut akan<br />
tidak menjamin keamanan dan keberlangsungan hidup perusahaan. Hal ini dapat<br />
dilihat dari hasil penelitian yang telah dilakukan di empat kabupaten yang ada di Bali,<br />
pada umumnya semua responden menyatakan telah melaksanakan prinsip CSR dari<br />
sejak mereka berdiri, walaupun istilah CSR belum mereka pahami sampai saat ini<br />
setelah empat tahun dirubahnya UU No. 1 Tahun 1995, hal ini membuktikan bahwa
kesadaran hukum para pengusaha akan penerapan CSR terhadap masyarakat disekitar<br />
perusahaan sangat tinggi.<br />
125<br />
Di dalam ilmu hukum, kadang kala dibedakan antara kesadaran hukum dengan<br />
perasaan hukum. Perasaan hukum sering diartikan sebagai penilaian hukum yang<br />
timbul dari masyarakat dalam hubungannya dengan masalah keadilan. Kesadaran<br />
hukum lebih banyak merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian<br />
tersebut, yang telah dilakukan secara ilmiah. Jadi kesadaran hukum sebenarnya<br />
merupakan kesadaran yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau<br />
tentang hukum yang diharapkan ada. Bila demikian kesadaran hukum menekankan<br />
pada nilai-nilai masyarakat tentang fungsi apa yang hendaknya dijalankan oleh<br />
hukum dalam masyarakat.<br />
Kesadaran hukum juga sering dihubungkan dengan konsep kebudayaan hukum<br />
(legal culture). Apabila ajaran ajaran tentang kesadaran hukum dibandingkan dengan<br />
kebudayaan hukum maka konsepsi kebudayaan hukum lebih luas ruang lingkupnya.<br />
Hal ini disebabkan karena hukum merupakan bagian dari kebudayaan, maka hukum<br />
tidak dapat dipisahkan dari jiwa dan cara berpikir dari masyarakat yang mendukung<br />
kebudayaan tersebut. Di bawah term “volkgeist” Savigny mengkontruksi teori tentang<br />
hukum, yaitu hukum itu jiwa rakyat. Menurut Savigny terdapat hubungan organik<br />
antara hukum dengan watak atau karakter suatu bangsa. Hukum hanyalah cerminan<br />
dari volkgeist oleh karena itu hukum yang tumbuh dari dalam masyarakat itu sendiri<br />
merupakan hukum yang sejati, dan hukum yang sejati adalah hukum yang tidak di
muat tetapi ditemukan di dalam masyarakat. Legislasi hanya penting selama ia<br />
memiliki sifat deklaratif terhadap hukum sejati itu.<br />
126<br />
Bila hukum dianggap sebagai konkretisasi dari sistem nilai-nilai yang tumbuh<br />
dan berkembang dalam masyarakat, maka suatu keadaan yang dicita citakan adalah<br />
adanya keselarasan dan keseimbangan antara hukum dengan sistem nilai-nilai<br />
tersebut. Konsekuensinya adalah perubahan pada sistem nilai-nilai harus diikuti<br />
dengan perubahan hukum atau di lain pihak hukum harus dapat dipergunakan sebagai<br />
sarana untuk mengadakan perubahan pada sistem nilai-nilai tersebut.<br />
Dari uraian tersebut diatas dapat dinyatakan bahwa apabila indikator -indikator<br />
kesadaran hukum dipenuhi maka derajat kesadaran hukumnya tinggi, begitu pula<br />
sebaliknya, apabila derajat kesadaran hukumnya rendah maka derajat ketaatan<br />
terhadap hukum juga rendah. 97<br />
Terdapat empat indikator kesadaran hukum, yang masing-masing merupakan<br />
suatu tahapan bagi tahapan berikutnya, yaitu:<br />
1. Pengetahuan hukum<br />
2. Pemahaman hukum<br />
3. Sikap hukum<br />
4. Pola perilaku hukum<br />
Ad.1 Pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai beberapa perilaku<br />
yang diatur oleh hukum. Pengetahuan tersebut berkaitan dengan perilaku yang<br />
97 Otje Salman, 2008, Teori Hukum, Penerbit Reflika Aditama, hal. 50-51
127<br />
dilarang ataupun perilaku yang dibolehkan oleh hukum. Pengetahuan hukum<br />
erat kaitannya dengan asumsi bahwa masyarakat dianggap mengetahui isi suatu<br />
peraturan manakala peraturan tersebut diundangkan.<br />
Ad.2 Pemahaman hukum adalah sejumlah informasi yang dimiliki seseorang<br />
mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu. Dengan kata lain pemahaman<br />
hukum adalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan dari suatu peraturan<br />
dalam suatu hukum, tertulis maupun tidak tertulis serta manfaatnya bagi pihak-<br />
pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut.<br />
Ad.3 Sikap hukum (legal attitude) adalah: …a dispotition to accept some legal norm<br />
or precept because it deserve respect as valid piece of law…”<br />
Dengan demikian sikap hukum adalah suatu kecendrungan untuk menerima<br />
hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu yang<br />
bermanfaat atau menguntungkan jika hukum itu ditaati.<br />
Ad. 4 Pola perilaku hukum adalah merupakan hal utama dalam kesadaran hukum<br />
karena disini dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam<br />
masyarakat. 98<br />
Pada umumnya kesadaran hukum dihubungkan dengan ketaatan hukum atau<br />
efektivitas hukum. Dengan kata lain, kesadaran hukum menyangkut masalah apakah<br />
ketentuan hukum tertentu benar-benar berfungsi atau tidak dalam masyarakat. 99<br />
Dengan kata lain kesadaran hukum menyangkut masalah apakah ketentuan hukum<br />
98 Soerjono Soekanto, 1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, JakartaPenerbit Rajawali,<br />
hal. 180<br />
99 Otje Salman, Op. Cit, hal. 51
tertentu benar-benar berfungsi atau tidak dalam masyarakat. Adanya hubungan antara<br />
kesadaran hukum dengan ketaatan hukum terlihat dalam pernyataan berikut ini:<br />
“A strong legal consciousness is some times considered the cause of adherence to<br />
law (sometimes it is just another word for that) while a weak legal consciousness<br />
is considered the cause of crime and evi”<br />
Apabila hal ini dikaitkan dengan indikator kesadaran hukum maka termasuk pada<br />
indikator yang keempat. Apabila tujuan hukum tercapai yaitu apabila warga<br />
masyarakat berprilaku sesuai dengan yang diharapkan atau yang dikehendaki oleh<br />
hukum maka hal ini dinamakan hukum tersebut efektif.<br />
yaitu:<br />
128<br />
Soerjono Soekanto menyatakan ada empat faktor seseorang berprilaku tertentu,<br />
1. Memperhitungkan untung rugi<br />
2. Menjaga hubungan baik dengan sesamanya atau penguasa<br />
3. Sesuai dengan hati nuraninya, dan<br />
4. Ada tekanan-tekanan tertentu. 100<br />
Bila membicarakan efektifitas hukum dalam masyarakat berarti membicarakan<br />
daya kerja hukum itu dalam mengatur dan/atau memaksa masyarakat untuk taat<br />
terhadap hukum. Efektifitas hukum dimaksud, berarti mengkaji kaidah hukum yang<br />
harus memenuhi syarat, yaitu:<br />
a. Berlaku secara yuridis<br />
100 Sooerjono Soekanto, 1985, Efektiviras Hukum dan Peranan Sanksi, Bandung, Penerbit Remaja<br />
Karya, hal. 19
. Berlaku secara sosiologis<br />
c. Berlaku secara filosofis.<br />
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum berfungsi dalam masyarakat,<br />
yaitu a. kaidah hukum/peraturan itu sendiri,<br />
b. petugas/penegak hukum,<br />
c. sarana atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum dan<br />
d. kesadaran masyarakat.<br />
129<br />
Kalau dikaji secara mendalam, agar hukum dapat berfungsi dengan baik, maka<br />
setiap kaidah hukum harus memenuhi 3 unsur yaitu kaidah hukum berlaku secara<br />
yuridis dalam arti kaidah tersebut dalam pembentukannya didasarkan pada kaidah<br />
yang lebih tinggi, atau dibentuk atas dasar yang telah ditetapkan. Kemudian kaidah<br />
hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut berlakunya dapat<br />
dipaksakan di masyarakat, atau kaidah tersebut berlaku karena adanya pengakuan dari<br />
masyarakat. Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum<br />
sebagai nilai positif yang tertinggi.<br />
Penegak hukum atau orang yang bertugas menegakkan hukum, dalam<br />
melaksanakan tugas-tugas menegakkan hukum petugas harus mempunyai suatu<br />
pedoman, diantaranya peraturan tertulis yang mencakup ruang lingkup tugasnya.<br />
Sarana/fasilitas amat penting untuk mengefektifkan hukum. Yang diutamakan<br />
dalam hal ini adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai factor pendukung. Contoh<br />
perlunya adanya kertas, computer dalam melakukan penyidikan bagi seorang polisi.
130<br />
Warga masyarakat adalah merupakan salah satu faktor yang mengefektifkan<br />
suatu peraturan. Yang dimaksud disini adalah kesadarannya untuk mematuhi semua<br />
peraturan perundang-undangan yang kerap disebut derajat kepatuhan,. Secara<br />
sederhana dapat dikatakan bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum<br />
merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. 101<br />
Lawerence M. Fridman melihat hukum sebagai proses mengemukakan ada 3<br />
komponen yang berpengaruh terhadap bekerjanya sistem hukum (legal system) yaitu:<br />
1. Substansi hukum (Legal Substance): aturan hukum itu sendiri yang berupa<br />
undang-undang, doktrin, statuta yang dipakai untuk memerintah dan<br />
diperintah.<br />
2. Struktur hukum (Legal Structur) yaitu institusi atau lembaga itu sendiri<br />
termasuk segala tipe,bentuk jumlah tak terkecuali dalam setiap negara.<br />
3. Budaya Hukum (Legal Cultural) : adalah nilai-nilai, sikap dan tingkah laku<br />
yang merupakan budaya masyarakat itu sendiri termasuk budaya hukum<br />
Idealnya suatu produk hukum mengakomodir sistem hukum sebagaimana<br />
dikemukakan oleh Friedman agar dalam penerapannya tidak bermasalah baik<br />
dari substansi, struktur dan budaya hukumnya sesuai dengan pola hidup dari<br />
masyarakat, sehingga hukum tersebut akan efektif. Efektivitas hukum sangat<br />
dipengaruhi oleh budaya hukum masyarakat, karena respon terhadap hukum<br />
dibatasi oleh faktor budaya. 102<br />
101 Zainuddin Ali. H, 2008, Sosiologi Hukum, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, hal. 62.<br />
102 Lawrence Friedman, Op. Cit. hal. 98
131<br />
Konsep CSR yang dikembangkan di Indonesia berasal dari budaya hukum<br />
masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Bali pada khususnya, yaitu<br />
budaya gotong royong. Nilai gotong royong yang merupakan nilai-nilai luhur dari<br />
bangsa Indonesia patut dipertahankan. Makna semangat gotong royong yang<br />
menjiwai setiap warga masyarakat terlebih pada masyarakat industri/modern patut<br />
dicermati, karena perkembangan dunia usaha pada era global sangat pesat.<br />
Konsep CSR pada prinsipnya adalah suatu upaya sungguh-sungguh dari entitas<br />
bisnis meminimumkan dampak negativ dan memaksimumkan dampak positif<br />
operasinya terhadap seluruh pemangku kepentingan dalam ranah ekonomi, sosial dan<br />
lingkungan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.<br />
Mengacu pada filosofis pola keserasian dan keseimbangan hubungan yang<br />
harmonis yang dikenal dengna “ Tri Hita Karana” tampaknya konsep CSR dapat<br />
berjalan seiring dan seirama dengan unsur-unsur yang terkandung di dalam Tri Hita<br />
Karana yang berintikan unsur nilai keseimbangan hubungan antara manusia dengan<br />
Tuhan (Parhyangan), antara manusia dengan sesamanya (unsur Pawongan) dan<br />
antara manusia dengan alam lingkungannya (unsur Palemahan).<br />
Pada konsep CSR, dua unsur yang terkandung dalam Tri Hita Karana<br />
(Pawongan dan Palemahan) berkaitan erat dengan apa yang menjadi kewajiban<br />
perusahaan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 74 UU No.40 Tahun 2007. Konsep<br />
CSR yang berkait erat dengan tanggung jawab sosial perusahaan yang dalam Tri Hita<br />
Karana bersentuhan dengan unsur pawongan, berfungsi sebagai sub sistem sosial,<br />
sebagai tempat untuk mengadakan interaksi dalam hak dan kewajiban. Konsep CSR
yang bersentuhan dengan unsur Palemahan, berfungsi sebagai upaya menjaga dan<br />
meningkatkan kualitas lingkungan. Komitmen perusahaan dikembangkan dalam<br />
rencana aksi (action plan) yang kemudian dilaksanakan secara nyata, baik terhadap<br />
kondisi lingkungan di dalam perusahaan maupun lingkungan di sekitar perusahaan.<br />
132<br />
Dari penelitian yang telah dilakukan ditemukan bahwa pengembangan CSR<br />
oleh perusahaan yang ada di Bali bukan hanya terhadap dua hal sebagaimana yang<br />
diamanatkan dalam Pasal 74 UU No. 40 Tahun 2007, melainkan dalam pelaksanaan<br />
CSR di perusahaan unsur Parhyangan sangat menonjol diterapkan di masyarakat.<br />
Dari paparan tersebut diatas maka dipandang perlu adanya suatu konsep yang<br />
dapat memadukan adanya aspek-aspek yang terdapat pada CSR dan unsur-unsur yang<br />
terdapat pada Tri Hita Karana. Aspek CSR yang dijiwai oleh budaya gotong royong<br />
pada satu sisi, dan pada sisi lainnya Tri Hita Karana mencerminkan adanya pola<br />
keseimbangan dan keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia<br />
dengan manusia dan manusia dengan alam lingkungan.<br />
Untuk pengembangan CSR ke dalam Konsep Tri Hita Karana maka diperlukan<br />
adanya suatu konsep yang dapat mengintegrasikan kedua konsep tersebut ke dalam<br />
satu konsep sehingga terjadi adanya keharmonisan antara konsep CSR yang secara<br />
teori muncul di negara barat, yang pada saat sekarang telah diadopsi ke dalam UU<br />
Perseroan Terbatas (UU No.40 Tahun 2007) dan konsep Tri Hita Karana yang<br />
merupakan pola pikir dan pola hidup masyarakat Hindu Bali. Konsep yang<br />
dimaksud adalah konsep “integrated balance harmony” yang didasari oleh teori
Harmoni yang diajukan oleh Roscou Pound yang kemudian melahirkan teori “ law as<br />
a tool of social engineering”<br />
133<br />
Hukum adalah suatu proses yang mendapatkan bentuk dalam pembentukan<br />
peraturan perundang-undangan dan keputusan hakim. Pound mengemukakan idenya<br />
tentang hukum sebagai sarana untuk mengarahkan dan membina masyarakat dimana<br />
hukum tidak pasif tetapi harus mampu digunakan untuk mengubah suatu keadaan dan<br />
kondisi tertentu kearah yang dituju sesuai dengan kemauan masyarakat.<br />
Fokus utama Pound dengan konsep social engineering adalah interest<br />
balancing, dan karenanya yang terpenting adalah tujuan akhir dari hukum yang<br />
diaplikasikan dan mengarahkan masyarakat ke arah yang lebih maju. Hukum dan<br />
masyarakat terdapat hubungan yang fungsional. Tujuan utama dalam social<br />
engeneering adalah mengarahkan kehidupan sosial kearah yang lebih maju. Hukum<br />
tidaklah menciptakan kepuasan, tetapi hanya melegitimasi atas kepentingan manusia<br />
untuk mencapai kepuasan tersebut dalam keseimbangan.<br />
Dengan konsep ini diharapkan adanya suatu keterkaitan dan keterpaduan dari<br />
dua konsep antara konsep Tri Hita Karana dengan konsep CSR, sehingga dapat<br />
dikatakan bahwa budaya gotong royong sangat relevan untuk diterapkan oleh<br />
perusahaan pada dunia usaha, karena sesuai dengan budaya hukum masyarakat<br />
Indonesia.<br />
Konsep Tri Hita Karana yang sudah mendarah daging dalam kehidupan<br />
masyarakat Hindu di Bali perlu adanya legitimasi dari pemerintah. Implementasi dari<br />
pendapat Roscou Pound dalam kehidupan di Indonesia pada umumnya terhadap
konsep Tri Hita Karana dapat dilihat dalam UU No. 40 Tahun 2007, khususnya Pasal<br />
74, yang menekankan perlunya perusahaan untuk ikut peduli terhadap kehidupan<br />
sosial, serta peduli terhadap lingkungan. Kemudian di Bali implementasi dari konsep<br />
Tri Hita Karana terdapat pada beberapa Peraturan Daerah Bali dipergunakan sebagai<br />
landasan Filosofisnya, misalnya dalam Perda Prop. Bali No.16 Tahun 2009 tentang<br />
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029, Perda tentang<br />
Pariwisata Budaya Bali, dan Perda tentang Persyaratan Arsitektur dan Bangunan<br />
Gedung.<br />
134<br />
Apabila dikaji dari substansi hukumnya mencakup isi norma-norma hukum<br />
beserta perumusannya maupun acara untuk menegakkannya yang berlaku bagi<br />
pelaksana hukum maupun pencari keadilan. Sebenarnya ketentuan CSR sudah diatur<br />
secara jelas dalam UU No. 40 Tahun 2007, tetapi sampai saat ini peraturan<br />
pelaksanaannya (PP) belum ada, sehingga sampai saat ini belum ada acuan yang pasti<br />
bagi perusahaan dalam melaksanakan CSR.<br />
Struktur hukum mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut, misalnya<br />
mencakup tatanan lembaga-lembaga hukum formal, hubungan antara lembaga<br />
tersebut, hak-hak dan kewajibannya. Dari penelitian yang dilakukan ditemukan<br />
bahwa semua perusahaan yang ada di Bali khususnya perusahaan yang tidak<br />
mempunyai hubungan keluar negeri tidak mempunyai lembaga yang khusus<br />
menangani tentang CSR kecuali di PT FIF, PT Asuna Bali yang Presdirnya orang<br />
Jepang juga tidak mempunyai lembaga khusus yang menangani tentang CSR.<br />
Kemudian dalam kenyataannya di masyarakat berdasarkan penelitian yang dilakukan
di empat kabupaten, masih banyak para direktur yang tidak memahami istilah CSR<br />
tersebut, tetapi yang menarik disini adalah dalam kegiatan bisnisnya perusahaan<br />
perusahaan tersebut telah melaksanakan CSR dengan baik karena sesuai dengan<br />
budaya masyarakat, bahkan jauh sebelum berlakunya UU No. 40 Tahun 2007.<br />
135<br />
Bertolak dari principle of effectiveness dari Hans Kelsen, realita hukum artinya<br />
orang seharusnya bertingkahlaku atau bersikap sesuai dengan tata kaidah hukum atau<br />
dengan kata lain realita hukum adalah hukum dalam tindakan. Keharusan dan<br />
kewajiban mentaati hukum, karena telah ditentukan demikian (yuridis formal), bukan<br />
karena nilai yang terkandung dalam materi hukum itu sendiri. 103<br />
Menurut Eugen Erlich, hukum positif hanya akan efektif jika selaras dengan<br />
hukum yang hidup di masyarakat (living law). Erlich membandingkan living law<br />
dengan hukum untuk keputusan, makna adalah hukum yang diterapkan dalam<br />
keputusan perselisihan oleh pengacara dan pengadilan. Erlich berharap bahwa dalam<br />
keputusan pengadilan hendaknya menggabungkan hukum yang hidup dalam<br />
masyarakat.<br />
Earlich contrasted this living law with “law for decision”meaning thereby the law<br />
applied in the decision of disputes by lawyers and court.He was willingto<br />
concedethat law for decision might coincide in content with living law, but he<br />
expected that even this would be unusual and sometimes undesirable. 104<br />
Tujuan pokok teori-teori yang dikemukakannya adalah meneliti latar belakang aturan-<br />
aturan formal yang dianggap sebagai hukum. Aturan-aturan tersebut merupakan<br />
norma sosial aktual yang mengatur semua aspek kemasyarakatan yang olehnya<br />
103 Amiruddin dan Zainal Asikin, Op. Cit. Hal. 135<br />
104 Geoffrey Sawer, 1980, Law In Society, Butterworth & Co (Publishers) Ltd, page 175
disebut sebagai hukum yang hidup (living law). Yang dimaksudkannya dengan<br />
hukum yang hidup adalah hukum yang dilaksanakan dalam masyarakat sebagai<br />
hukum yang diterapkan oleh Negara. 105<br />
136<br />
Ehrlich juga mengemukakan bahwa hukum tunduk pada kekuatan-kekuatan<br />
sosial tertentu. Hukum tidak mungkin akan efektif oleh karena ketertiban terletak<br />
pada pengakuan sosial terhadap hukum dan bukan pada penerapannya secara resmi<br />
oleh Negara. Bagi Ehrlich tertib sosial didasarkan fakta diterimanya hukum yang<br />
didasarkan pada aturan dan norma sosial yang tercermin dalam sistem hukum. 106<br />
Kalau mengacu kepada pendapat Eugen Ehrlich, dalam kaitannya dengan<br />
berlakunya UU No. 40 Tahun 2007 khususnya Pasal 74 yang mengatur tentang CSR,<br />
menurut pendapat penulis UU No. 40 Tahun 2007 tentang PT dapat dinyatakan<br />
efektif, karena ada pengakuan sosial terhadap hukum, norma-norma hukum berasal<br />
dari kenyataan sosial, dan kenyataan ini melahirkan hukum, yang menyangkut hidup<br />
bermasyarakat, hidup sosial. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa ketentuan<br />
tentang CSR dalam UU PT dapat dikatakan sebagai hukum yang hidup (living law) di<br />
masyarakat, khususnya masyarakat Bali karena ketentuan tersebut dari segi<br />
historisnya memang merupakan konsep asli dari masyarakat adat Bali, atau<br />
merupakan sesuatu yang eksistensial dari sejarah hidup masyarakat Bali. Ketentuan<br />
CSR yang didasari oleh semangat gotong royong merupakan hukum yang<br />
diwujudkan dan diungkapkan dalam kelakuan mereka sendiri. Menurut Ehrlich<br />
105 Otje Salman, Op. Cit. hal. 38<br />
106 Bernard L. Tanya, Op. Cit. Hal. 141
hukum yang hidup itu dinamakan dengan Rechtsnormen (norma-norma hukum).<br />
137<br />
CSR adalah merupakan cerminan dari pola hidup masyarakat khususnya<br />
masyarakat adat di Bali. Di Bali dalam kehidupan masyarakat adatnya tidak ada<br />
perbuatan tanpa persembahan, baik persembahan kepada Tuhan, kepada sesama,<br />
maupun kepada lingkungan. Pada dasarnya konsep CSR sudah dilaksanakan oleh<br />
perusahaan-perusahaan yang ada di Bali, sejak sebelum dituangkan ke dalam undang-<br />
undang hanya saja dalam bentuk dan penamaan yang berbeda, karena CSR yang tidak<br />
jauh berbeda dengan budaya gotong royong yang merupakan norma sosial yang ada<br />
di Bali. Dalam pelaksanaan CSR oleh perusahaan tidak terlepas dari konsep Tri Hita<br />
Karana, hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian bentuk sumbangan yang diberikan<br />
oleh perusahaan kepada masyarakat, kalau ada upacara di pura sumbangan yang<br />
utama dalam bentuk dana punia, yang kalau dikaji dari konsep CSR hal ini tidak<br />
termasuk ke dalamnya, tetapi tidak bisa terlepas dari pola pikir masyarakat hukum<br />
adat Bali yang bersifat religiomagis. Konsep CSR dalam hubungannya dengan<br />
masyarakat sangat berkaitan erat dengan konsep pawongan dalam Tri Hita Karana,<br />
yaitu menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan manusia, yang dalam<br />
CSR dimaksudkan menjaga keharmonisan antara pengusaha dengan masyarakat<br />
sekitar, sehingga kalau sudah tercapai keharmonisan masyarakat dengan perusahaan<br />
maka kelangsungan perusahaan bisa terjaga dan keuntungan bias tercapai.<br />
Konsep lingkungan dalam CSR sangat berhubungan dengan unsur palemahan<br />
dalam Tri Hita karana, yaitu menjaga alam tetap lestari, sehingga bisa berguna bagi<br />
anak cucu dikemudian hari.
138<br />
CSR adalah “hukum sosial”. Ia lahir dalam dunia pengalaman manusia yang<br />
bergumul dengan kehidupan sehari-hari. Ia terbentuk lewat kebiasaan. Kebiasaan itu<br />
lambat laun mengikat dan menjadi tatanan yang efektif, lalu kehidupan berjalan<br />
dalam tatanan itu. Kekuatan mengikat hukum yang hidup itu tidak ditentukan oleh<br />
kewibawaan Negara. Ia tidak tergantung pada kompetensi penguasa dalam Negara,<br />
khususnya dari segi internnya hubungan-hubungan dalam kelompok sosial tergantung<br />
dari anggota-anggota kelompok itu.<br />
Dari uraian tersebut diatas dapat dikatakan bahwa ketentuan tentang CSR<br />
dalam UU No. 40 Tahun 2007 berlaku secara efektif di masyarakat dan dalam<br />
implemetasi CSR dapat berjalan secara harmonis dengan konsep Tri Hita Karana<br />
yang terdapat di Bali, hal tersebut bisa dilihat dalam realisasi CSR tidak terlepas dari<br />
tiga konsep Tri Hita Karana, yaitu parahyangan, pawongan, dan palemahan.
BAB IV<br />
BENTUK TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERSEROAN YANG<br />
DITERAPKAN OLEH PERUSAHAAN DI BALI<br />
4.1 Konsep Tanggung Jawab Dalam Makna Responcibility dan Liability.<br />
139<br />
Tanggung jawab sosial perusahaan merupakan tema yang hangat dibicarakan<br />
pada saat sekarang di berbagai forum. Pada saat mendengar atau membaca kata CSR<br />
maka yang timbul dalam pemikiran adalah suatu tanggung jawab perusahaan yang<br />
bersifat kesukarelaan (voluntary) dan tidak ada sanksi yang bersifat memaksa bagi<br />
para pihak yang tidak melaksanakannya. Bahkan dengan adanya kata “sosial” maka<br />
persepsi orang terhadap CSR justru terfokus pada aktivitas sosial, seperti<br />
kedermawanan (philanthropy), kemurahan hati (charity), bantuan terhadap bencana<br />
alam, dan kegiatan sosial lainnya. Dengan kata lain CSR tidak lebih dari “moralty”<br />
saja. 107<br />
Sebenarnya dasar dari suatu tanggung jawab pada awal-awal penerapan hukum<br />
di dunia ini adalah bentuk perbuatan pidana (delik) dan wanprestasi kontrak. Jika ada<br />
tanggung jawab tanpa kesalahan hal tersebut tergolong ke dalam kuasi kontrak. Apa<br />
yang dikenal dengan perbuatan melawan hukum (perdata) dalam pengertiannya pada<br />
107 Isa Wahyudi, Op. Cit. hal.3
saat sekarang dahulunya masih belum dikenal. 108<br />
140<br />
Berbicara tentang tanggung jawab yang berkaitan dengan perusahaan, maka<br />
paling tidak ada 2 (dua) pemaknaan tanggung jawab itu sendiri, yaitu tanggung<br />
jawab dalam makna responcibility atau tanggung jawab moral atau etis, dan yang<br />
kedua adalah tanggung jawab dalam makna liability atau tanggung jawab yuridis atau<br />
hukum.<br />
4.1.1 Konsep Tanggungjawab Dalam Makna Responcibility.<br />
Burhanuddin Salam dalam bukunya yang berjudul “Etika Sosial” dinyatakan<br />
bahwa tanggung jawab itu adalah: “responcibilityis having the caracter of a free<br />
moral agent; capable of determining one’s acts; capable deterred by consideration<br />
of sanction or consequences” 109<br />
Dari pengertian tersebut dapat dicatat dua hal penting, yaitu:<br />
1. Harus ada kesanggupan untuk menetapkan sesuatu perbuatan.<br />
2. Harus ada kesanggupan untuk memikul resiko dari sesuatu perbuatan.<br />
Kalau dimaknai kata “having the character” tampaknya ada semacam tuntutan<br />
berupa “suatu keharusan atau kewajiban” yang didalamnya sekaligus mengandung<br />
makna pertanggungan moral atau karakter. Karakter disini merupakan sesuatu yang<br />
mencerminkan nilai dari suatu perbuatan. Selanjutnya konsekuensi dari perbuatan<br />
dapat dimaknai sebagai suatu perbuatan yang hanya terdapat 2 (dua) alternative<br />
penilaian yaitu tahu bertanggung jawab atau tidak tahu bertanggung jawab.<br />
108 Munir Fuady, 2005, Perbandingan Hukum Perdata, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, hal.73<br />
109 Salam, Baharuddin, 1997, Etika Moral, Asas Moral Dalam Kehidupan Sosial Manusia,<br />
Jakarta, Renika Cipta, hal.28
Sedangkan makna tanggung jawab itu sendiri dalam filsafat hidup dijadikan sebagai<br />
salah satu kriteria kepribadian (personality) seseorang (perusahaan). <strong>110</strong><br />
141<br />
Bila kata tanggung jawab di lihat dari segi filosofinya, maka terdapat 3 (tiga)<br />
unsur yang harus dipahami, yaitu:<br />
1. Kesadaran (ewareness)<br />
Berarti tahu, kenal, mengerti, dapat memperhitungkan arti, guna sampai kepada<br />
soal akibat perbuatan atau pekerjaan yang dihadapi. Dengan kata lain bahwa<br />
seseorang (perusahaan) baru dapat dimintai pertanggungjawabannya bila yang<br />
bersangkutan sadar tentang apa yang dilakukannya.<br />
2. Kecintaan atau kesukaan (affiction).<br />
Berarti suka, menimbulkan rasa kepatuhan, kerelaan dan kesediaan berkorban.<br />
Rasa cinta timbul atas dasar kesadaran, apabila tidak ada kesadaran bererti rasa<br />
kecintaan tidak akan muncul. Jadi cinta muncul atas dasar kesadaran, atas<br />
kesadaran inilah lahirnya rasa tanggung jawab.<br />
3. Keberanian (bravery).<br />
Merupakan suatu rasa yang didorong keikhlasan, tidak ragu-ragu dan tidak takut<br />
dengan segala rintangan. Suatu keberanian mesti disertai dengan perhitungan,<br />
pertimbangan, dan kewaspadaan atas segala kemungkinan. Dengan demikian<br />
keberanian itu timbul atas dasar tanggung jawab.<br />
Pinto menegaskan bahwa responcibility ditujukan bagi adanya indikator<br />
penentu atas lahirnya suatu tanggung jawab, yakni suatu standar yang telah<br />
<strong>110</strong> Salam, Baharuddin, 1997, Ibid. hal.28
ditentukan terlebih dahulu dalam suatu kewajiban yang harus ditaati. 111<br />
142<br />
Pada prinsipnya tanggung jawab dalam arti responcibility lebih menekankan<br />
pada suatu perbuatan yang harus atau wajib dilakukan secara sadar dan siap untuk<br />
menanggung segala resiko dan atau konsekuensi apapun dari perbuatan yang<br />
didasarkan atas moral tersebut. Dengan kata lain responcibility merupakan tanggung<br />
jawab yang hanya disertai sanksi moral. Sehingga tidak salah apabila pemahaman<br />
sebagian pelaku usaha dan atau perusahaan tergadap CSR hanya sebatas tanggung<br />
jawab moral yang mereka ujudkan dalam bentuk philanthropy maupun charity.<br />
4.1.2 Tanggung Jawab Dalam Makna Liability.<br />
Berbicara tentang tanggung jawab dalam makna liability, berarti berbicara<br />
tentang tanggung jawab dalam konteks hukum, dan biasanya diwujudkan dalam<br />
bentuk tanggung jawab keperdataan. Menurut Pinto, liability menunjuk kepada<br />
akibat yang timbul dari akibat kegagalan untuk memenuhi standar tersebut,<br />
sedangkan bentuk tanggung jawabnya diwujudkan dalam bentuk ganti rugi dan<br />
pemulihan sebagai akibat dari terjadinya kerusakan atau kerugian. 112<br />
Dalam hukum keperdataan prinsip-prinsip tanggung jawab dapat dibedakan<br />
sebagai berikut:<br />
1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Adanya Unsur Kesalahan (Liability based<br />
on fault).<br />
Sejarah lahirnya prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan pada mulanya<br />
111 Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah; Pasang Surut Hubungan antara DPRD dan<br />
Kepala Daerah, Bandung, Alumni. hal.105<br />
112 Dwi Kartini , Op. Cit. hal.105
dikenal dalam budaya Babylonia kuno. Kemudian dikembangkan pada masa Romawi<br />
dalam doktrin “culpa” dalam “ lex Aquila” dimana setiap kerugian baik sengaja<br />
maupun tidak sengaja harus selalu diberikan santunan. Kemudian prinsip ini menjadi<br />
hukum Romawi modern sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1382 Code<br />
Civil Prancis yang berbunyi “any act whatever done by a man which cause damage to<br />
anather obliges him by whose faultthe damage was cause to repair it”<br />
143<br />
Kemudian Belanda sebagai Negara jajahan Prancis mengadopsi pasal tersebut,<br />
yang dituangkan dalam Pasal 1401 BW. Sedangkan di Indonesia diberlakukan prinsip<br />
tanggung jawab berdasarkan kesalahan adalah atas dasar asas konkordansi. Ketentuan<br />
tanggung jawab atas kesalahan ini dituangkan dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang<br />
berbunyi: “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang<br />
lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti<br />
kerudian tersebut” 113<br />
Sesungguhnya ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata tidak merumuskan<br />
perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) tetapi hanya mengemukakan unsur<br />
unsur yang harus dipenuhi agar sesuatu perbuatan dapat dikualifikasikan sebagai<br />
perbuatan melawan hukum. Adapun unsur-unsur perbuatan melawan hukum adalah<br />
sebagai berikut:<br />
a. Adanya perbuatan melawan hukum dari tergugat.<br />
b. Perbuatan itu dapat dipersalahkan kepadanya.<br />
c. Adanya kerugian yang diderita penggugat sebagai akibat kesalahan tersebut.<br />
113 Munir Fuady, Op. Cit. hal. 79
1. Makna perbuatan melawan hukum disini, bukan hanya dalam arti positif tapi<br />
juga meliputi negative, yaitu meliputi tidak berbuat sesuatu yang seharusnya<br />
144<br />
menurut hukum orang harus berbuat. Sedangkan makna kesalahan disini adalah<br />
dalam pengertian umum, yaitu baik karena kesengajaan maupun karena<br />
kelalaian. Dalam penerapan Pasal 1365 KUH Perdata ini adanya keharusan<br />
dimana si penggugat membuktikan adanya kerugian tersebut, sebagai akibat dari<br />
perbuatan si tergugat.<br />
2. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Praduga (Presumption of Liability).<br />
Menurut prinsip presumption of liability, tergugat (perusahaan) dianggap<br />
bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul, tetapi tergugat dapat<br />
membebaskan diri dari tanggung jawabnya, apabila ia dapat membuktikan bahwa<br />
dirinya tidak bersalah (absence of fault), tetapi dengan menekankan pada<br />
pembalikan beban pembuktian (shifting of the burden of proof) kepada pihak<br />
tergugat.<br />
Apabila prinsip ini ditarik pada tanggung jawab perusahaan, jika ada<br />
masyarakat yang merasa dirugikan oleh suatu perusahaan, baik sebagai akibat<br />
aktifitas perusahaan ataupun karena keberadaannya. Dalam hal ini masyarakat bisa<br />
langsung menggugat perusahaan dan pihak perusahaanlah nantinya yang dibebankan<br />
untuk membuktikan bahwa kerugian yang dialami masyarakat bukanlah karena<br />
kesalahan pihak perusahaan yang dimaksud. 114<br />
2. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Absolute Liability atau Strict Liability).<br />
114 Ibid. hal. 187
145<br />
Yang dimaksud dengan tanggung jawab mutlak (strict liability) adalah suatu<br />
tanggung jawab hukum yang dibebankan kepada pelaku perbuatan melawan hukum<br />
tanpa melihat apakah yang bersangkutan dalam melakukan perbuatannya itu<br />
mempunyai unsur kesalahan atau tidak. Dalam hal ini pelakunya dapat dimintakan<br />
tanggung jawab secara hukum, meskipun dalam melakukannya itu, dia tidak<br />
melakukannya dengan sengaja dan tidak pula mengandung unsur kelalaian,<br />
kekuranghati-hatian, atau ketidakpatutan. 115<br />
Pada prinsipnya, lahirnya tanggung jawab mutlak tidak terlepas dari doktrin<br />
onrechtmatige daad sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365 KUH Perd. yang<br />
mengedepankan adanya unsur kesalahan (fauld). Dalam arti kata harus ada ketentuan<br />
peraturan perundang-undangan yang dilanggar. Pada fakta emperis, tidak semua<br />
unsur fault dapat dibuktikan, bahkan ada yang tidak dapat dibuktikan sama sekali.<br />
Untuk dapat mengatasi keterbatasan fault based liability tersebut, maka<br />
dikembangkanlah asas pertanggungjawaban mutlak (strict liability). 116<br />
Perkembangan teori tentang strict liability dalam hukum timbul dan tenggelam.<br />
Semula dalam masyarakat yang premitif hanya dikenal tanggung jawab mutlak, tanpa<br />
melihat ada tidaknya unsur kesalahan. Inilah model strict liability dalam bentuknya<br />
yang premitif. Selanjutnya berkembang pemikiran dalam hukum dimana setiap<br />
tindakan yang dengan sengaja merugikan orang lain merupakan tindakan yang tercela<br />
dalam masyarakat beradab dan merupakan tindakan anti sosial sehingga perbuatan<br />
Hal.301<br />
115 Munir Fuady, Op. Cit. Hal.96<br />
116 Sentosa, Mas Achmad, 2001, Good Governance & Hukum Lingkungan, Jakarta,: ICEL.
tersebut merupakan tindakan melawan hukum, yang dalam Hukum Romawi disebut<br />
dengan istilah “dolus” 117<br />
146<br />
Perkembangan selanjutnya adalah berkembangnya doktrin strict liability dalam<br />
bentuk yang modern. Perkembangan ini diawali oleh tanggung jawab mutlak dari<br />
benda-benda yang mempunyai sifat yang dapat keluar dari teritori pemiliknya, seperti<br />
tanggung jawab mutlak pemilik waduk air, penyulut api, pemilik ternak, pemelihara<br />
binatang buas, bahkan terakhir juga pembuat/pengguna reaktor nuklir. 118<br />
Strict liability merupakan bentuk pertanggung jawaban perdata yang tidak<br />
memerlukan pembuktian unsur fault, sebagai unsur utama dalam pertanggung<br />
jawaban perdata dalam hal terjadinya fault based (perbuatan melawan hukum).<br />
Dengan demikian beban pembuktian penggugat menjadi ringan karena tidak dibebani<br />
pembuktian adanya unsur fault. Namun demikian penggugat tetap dibebani untuk<br />
membuktikan kerugian (injured party) yang dialaminya sebagai akibat dari aktivitas<br />
pihak si tergugat.Hal ini diistilahkan dengan pembuktian kausalitas (causal link).<br />
Perkembangan tanggung jawab mutlak, selain dalam bentuk strict liability juga<br />
dikenal terminologi absolute liability. 119<br />
Menurut Bin Cheng, ada perbedaan makna antara Strict liability dengan<br />
Absolute liability. Dalam Strict liability tuntutan atas perbuatan yang menyebabkan<br />
kerugian itu harus dilakukan oleh orang yang bertanggung jawab. Dengan kata lain,<br />
117 Djojodirdjo, Moegni, 1982, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta, Penerbit Pradnya<br />
Paramita, hal.70<br />
118 Munir Fuady, Op. Cit. hal.97<br />
119 Sentosa, Mas Achmad, Op. Cit. Hal.303
dalam strict liability harus ada causa link antara orang (perusahaan) yang benar-benar<br />
bertanggung jawab dengan kerugian tersebut. Selain itu dalam Strict liability semua<br />
hal yang biasanya dapat membebaskan tanggung jawab (usual defence) tetap diakui,<br />
kecuali terhadap hal-hal yang mengarah pada pernyataan tidak bersalah (absence of<br />
faulty), karena unsur kesalahan tidak diperlukan lagi. 120<br />
147<br />
Absolute liability adalah tanggung jawab akan timbul kapan saja tanpa<br />
mempermasalahkan oleh siapa dan bagaimana terjadinya kerugian tersebut. Dalam<br />
Absolute liability tidak diperlukan adanya kausalitas, dan hal-hal yang dapat<br />
membebaskan tanggung jawab sepanjang dinyatakan secara tegas. Beberapa contoh<br />
konvensi yang dapat membebaskan tanggung gawab, yaitu:<br />
a. Konvensi Roma 1952 (Damage Caused by Foreign Air Craft to Third Parties<br />
on the Surface).<br />
b. Konvensi Brussels 1962 (The Liability of Operators of Nuclear Ships).<br />
c. Konvensi Wina 1963 (Civil Kiability for Nuclear Damage).<br />
d. Konvensi Montreal 1966 (Interim Agreement). 121<br />
Dalam perkembangan selanjutnya muncul konsep-konsep strict liability dalam<br />
bidang yang lain yang bercampur dengan perkembangan doktrin pembuktian terbalik<br />
(shifted burden of proof), seperti dalam bidang lingkungan hidup, product liability,<br />
penyebab bahaya terhadap kesehatan dan keamanan sebagaimana seperti yang<br />
120 Cheng, Bin, 1981, A Reply to Charges of Having Inter Alia Misure the Term Absolut<br />
Liability in Relation to the 1996 Inter-Carrier Agreement in My for an Integreted System of Aviation<br />
Liability, Annals of Air and Space law, Hal.3, Dalam Khairandy Ridwan, Op. Cit. Hal.191.<br />
121 Khairandy, Ridwan, Op. Cit. Hal. 297
terdapat dalam the Pure Food and Drug Acts di Amerika Serikat. 122<br />
148<br />
Khusus terhadap gugatan keperdataan yang berkaitan dengan hukum<br />
lingkungan, ada beberapa konsep tanggung jawab lainnya yang bisa dijadikan sebagai<br />
acuan yaitu sebagai berikut:<br />
a. Market Share Liability.<br />
Konsep ini dimaksudkan untuk mengantisipasi persoalan dimana penggugat<br />
menderita kerugian akibat pencemaran dari sejumlah industri. Di dalam konsep ini<br />
penggugat diharuskan menghadirkan sejumlah industri sebagai pihak yang diduga<br />
sebagai kontributor substansial (substantial share) zat-zat pencemar. Beban<br />
pembuktian dalam konsep ini berpindah pada tergugat untuk membuktikan bahwa<br />
tergugat tidak melepaskan zat-zat pencemar seperti yang dituduhkan penggugat.<br />
b. Risk Contribution.<br />
Tujuan pengembangan konsep ini tidak jauh berbeda dengan maksud dan<br />
tujuan dari konsep Market Share Liability, yaitu mengatasi permasalahan, dimana<br />
penggugat mengalami kerugian yang disebabkan pencemaran, tetapi tidak dapat<br />
diidentifikasi secara pasti penyebab kerugian tersebut.Penggugat hanya berhasil<br />
mengidentifikasi zat-zat pencemar serta kadar yang dikonsumsi penggugat. Dalam<br />
hal ini penggugat dapat mengajukan gugatan pada satu industry/produsen dari bahan<br />
kimia zat berbahaya tersebut. Kemudian tergugat bertanggung jawab memasukkan<br />
pihak ketiga lainnya yang dianggap sebagai kontributor terhadap timbulnya kerugian<br />
terhadap penggugat. 123<br />
122 Munir Fuady, Op. Cit. Hal.99
c. Concert of Action<br />
149<br />
Konsep ini muncul dan berkembang sebagai jawaban terhadap kemungkinan<br />
terlibatnya pihak-pihak lain yang membantu dan bekerja sama dengan pencemar,<br />
sehingga perbuatan pencemarandapat dilaksanakan dengan sempurna. Melalui konsep<br />
ini pihak konsultan yang memberikan advis untuk tidak mengoperasikan alat<br />
pembuangan limbah dapat dituntut bertanggung jawab atas kerugian yang dialami<br />
oleh penggugat. Berdasarkan konsep ini, pemerintah dapat juga dituntut sebagai<br />
pihak yang memberikan persetujuan atas kerugian yang dialami penggugat.<br />
d. Alternative Liability.<br />
Timbulnya Alternative liability didasarkan atas pertimbangan bahwa sangat<br />
tidak adil apabila tergugat mesti dibebaskan hanya karena penggugat tidak dapat<br />
membuktikan secara pasti satu dari sekian banyak pihak yang bertanggung jawab atas<br />
perbuatan yang menimbulkan kerugian terhadap orang lain.<br />
e. Enterprise Liability.<br />
Konsep ini merupakan perluasan pengertian dari konsep Market Share<br />
Liability. Konsep ini diterapkan pada situasi dimana penggugat tidak dapat secara<br />
spesifik menunjuk pelaku pencemaran dari sekian banyak perusahaan-perusahaan<br />
yang potensial menjadi penyebab, ternyata telah memenuhi standar dan petunjuk<br />
yang telah ditetapkan. Dalam konsep ini penggugat dibolehkan melibatkan seluruh<br />
perusahaan yang dianggap potensial menyebabkan kerugian penggugat, serta pihak-<br />
pihak yang terlibat dalam pemberian Rencana Kelola Lingkungan (RKL) dan<br />
123 Siahaan,N.H.T, 2009, Hukum Lingkungan, Jakarta, Penerbit Pancuran Alam, Hal. 331
Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) serta perizinan. 124<br />
4.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi Corporate Social<br />
Responsibility.<br />
150<br />
Salah satu bentuk dari tanggung jawab sosial perusahaan yang sering<br />
diterapkan di Indonesia adalah community development. Perusahaan yang<br />
mengedepankan konsep ini akan lebih menekankan pembangunan sosial dan<br />
pembangunan kapasitas masyarakat sehingga akan menggali potensi masyarakat lokal<br />
yang menjadi modal sosial perusahaan untuk maju dan berkembang. Selain dapat<br />
menciptakan peluang-peluang sosial-ekonomi masyarakat, menyerap tenaga kerja<br />
dengan kualifikasi yang diinginkan, cara ini juga dapat membangun citra sebagai<br />
perusahaan yang ramah dan peduli lingkungan. Selain itu, akan tumbuh rasa percaya<br />
dari masyarakat. Rasa memiliki perlahan-lahan muncul dari masyarakat sehingga<br />
masyarakat merasakan bahwa kehadiran perusahaan di daerah mereka akan berguna<br />
dan bermanfaat. Kepedulian kepada masyarakat sekitar komunitas dapat diartikan<br />
sangat luas, namun secara singkat dapat dimengerti sebagai peningkatan partisipasi<br />
dan posisi organisasi di dalam sebuah komunitas melalui berbagai upaya<br />
kemaslahatan bersama bagi organisasi dan komunitas. CSR adalah bukan hanya<br />
sekedar kegiatan amal, di mana CSR mengharuskan suatu perusahaan dalam<br />
pengambilan keputusannya agar dengan sungguh-sungguh memperhitungkan<br />
akibatnya terhadap seluruh pemangku kepentingan(stakeholder) perusahaan,<br />
termasuk lingkungan hidup. Jadi CSR juga dilihat dalam lingkup stakeholders atau<br />
124 Ibid. hal. 337
lingkungan dimana perusahaan tersebut berada. Selama ini CSR sering dihitung<br />
berdasarkan besarnya uang yang telah dikeluarkan. Sebenarnya bukan hanya dilihat<br />
dari segi keuangan saja tetapi ada nilai intangible yang sangat penting, artinya ada<br />
sesuatu yang tidak dapat dinilai dengan uang. Nilai intangible artinya sampai sejauh<br />
mana perusahaan aktif dan proaktif terhadap lingkungan.<br />
151<br />
Hal ini mengharuskan perusahaan untuk membuat keseimbangan antara<br />
kepentingan beragam pemangku kepentingan eksternal dengan kepentingan<br />
pemegang saham, yang merupakan salah satu pemangku kepentingan internal.<br />
Kepentingan internal menyangkut transparansi sehingga ada yang namanya Good<br />
Corporate Governance. Dikalangan publik diukur dengan keterbukaan informasi.<br />
CSR internal menyangkut lingkungan tempat perusahaan, yang meliputi polusi,<br />
limbah, maupun partisipasi lainnya. Stakeholders diluar dapat dikatagorikan ada<br />
masyarakat, pemasok, pelanggan, konsumen, maupun pemerintah. Tujuan CSR<br />
bukan untuk memanja masyarakat, karena akan terjadi pembodohan masyarakat<br />
Tujuan CSR adalah untuk pemberdayaan masyarakat, bukan memperdayai<br />
masyarakat. Pemberdayaan bertujuan mengkreasikan masyarakat mandiri. Kata<br />
“sosial” pada CSR sering diinterpretasikan dengan kedermawanan. Program CSR<br />
jauh lebih besar dari kedermawanan yang biasanya lebih karena bencana alam. CSR<br />
terkait dengan sustainability dan acceptability, artinya diterima dan berkelanjutan<br />
untuk bekerja di suatu tempat, dan pihak pengusaha menginginkan usahanya<br />
berkelanjutan dalam jangka panjang.
152<br />
Menurut Princes of Wales Foundation ada lima faktor penting yang dapat<br />
mempengaruhi implementasi CSR, yaitu:<br />
a. Human capital atau pemberdayaan manusia.<br />
b. Environments yang berbicara tentang lingkungan.<br />
c. Good Corporate Governance.<br />
d. Social Cohesion, artinya dalam melaksanakan CSR jangan sampai<br />
menimbulkan kecemburuan sosial<br />
e. Economic strength atau memberdayakan lingkungan menuju kemandirian di<br />
bidang ekonomi. 125<br />
4.3 Bentuk Tanggung Jawab Sosial Perseroan yang Diterapkan oleh<br />
Perusahaan yang Berbentuk PT Di Bali.<br />
Dalam perkembangan di era globalisasi dan persaingan bebas saat ini,<br />
perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi<br />
dengan prinsip kebersamaan, efisisensi berkeadilan, berkelanjutan, berawawasan<br />
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan<br />
kesatuan ekonomi nasional, pada akhirnya untuk mewujudkan kesejahteraan<br />
masyarakat. Bahwa salah satu pilar pembangunan perekonomian di Indonesia yang<br />
dapat diharapkan untuk membantu terwujudnya kesejahteraan rakyat tersebut adalah<br />
perusahaan.<br />
Dalam Pasal 1 huruf b, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib<br />
125 Suharna, Nana, 2006, Gagasan dan Aksi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam<br />
Masyarakat:Studi Kasus Empat Perusahaan, Jakarta, Penerbit YAPPIKA, IDSS. Hal.27
Daftar Perusahaan yang dimaksud dengan perusahaan yaitu:<br />
153<br />
”Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha<br />
yang bersifat tetap dan terus-menerus dan yang didirikan, bekerja serta<br />
berkedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh<br />
keuntungan dan atau laba”.<br />
Molengraaf, perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara<br />
terus-menerus, bertindak keluar, untuk mendapatkan penghasilan, dengan cara<br />
memperniagakan barang-barang, menyerahkan barang-barang atau mengadakan<br />
perjanjian-perjanjian perdagangan. 126<br />
adalah:<br />
Dalam Black‟s Law Dictionary, dinyatakan bahwa Perusahaan (Corporation)<br />
“An Entity (usu a business) having authority under law to act as a single person<br />
distinct from the shareholders who own it and having Rights to issue stock and exist<br />
indefinitely…………….” 127<br />
(“Sebuah entitas (dalam bisnis) yang memiliki kewenangan berdasarkan hukum<br />
sebagai orang perorangan dari pemegang saham yang memiliki hak mengedarkan<br />
saham tanpa batas waktu …………………”)<br />
Keberadaan perusahaan sangat berperan dalam memajukan suatu masyarakat,<br />
daerah dan negara. Sehingga dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dengan<br />
adanya suatu perusahaan di suatu daerah, maka akan dapat menyerap tenaga kerja.<br />
Dalam menjalankan usahanya suatu perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban<br />
secara ekonomis saja tetapi mempunyai kewajiban yang bersifat etis. Adanya suatu<br />
etika bisnis yang merupakan tuntunan perilaku bagi dunia usaha untuk bisa<br />
126 Abdul Rasyid Saliman, et al., 2005, Hukum Bisnis untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus,<br />
Jakarta, Penerbit Kencana, hal. 82.<br />
127 Bryan A Garner, 1999, Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, West Publicing C.O, Page<br />
341
membedakan mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan.<br />
Dalam pemenuhan etika dalam berbinis memang tidak hanya profit yang menjadi<br />
tujuan utama, akan tetapi pemberdayaan masyarakat sekitar juga harus menjadi tujuan<br />
utama bagi perusahaan. Dikarenakan hal itu merupakan salah satu perwujudan dari<br />
Good Corporate oleh perusahaan terhadap Stakeholder.<br />
154<br />
Kemudian jika merujuk dalam dokumen Global Compact PBB tahun 1999,<br />
dalam poin kedelapan dinyatakan mengambil inisiatif mempromosikan<br />
tanggungjawab lingkungan yang lebih besar. Kemudian agar perusahaan memiliki<br />
tanggungjawab dan kewajiban untuk memajukan, menghormati dan melindungi<br />
HAM sebagaimana diakui dalam hukum internasional maupun hukum nasional<br />
termasuk hak dan kepentingan dari indigenous people dan kelompok rentan lain telah<br />
diserukan oleh PBB melalui Resolusi Majelis Umum : Ny.E/CN.4/Sub.2/2003/12/<br />
Rev.2 tahun 2003.<br />
Salah satu usaha yang dapat dilakukan oleh sebuah perusahaan yaitu<br />
melaksanakan Corporate Social Responsibility (CSR) . CSR pada 1990-an, menjadi<br />
suatu gagasan yang menyita banyak kalangan, dari masyarakat akademik, lembaga<br />
swadaya masyarakat (LSM), sampai para pelaku bisnis. Tidak mengherankan jika<br />
laporan tahunan beberapa perusahaan multinasional yang telah melakukan praktek<br />
CSR keberhasilan meraih keuntungan tidak lagi ditempatkan sebagai satu-satunya<br />
alat ukur keberhasilan dalam mengembangkan eksistensi perusahaan.<br />
Di kalangan sebagian dunia usaha, sudah tumbuh pengakuan bahwa<br />
keberhasilan ekonomi dan finansiil mereka berkaitan erat dengan konsidi sosial dan
lingkungan dimana perusahaan mereka beroperasi. Untuk mewujudkan tanggung<br />
jawab semacam itu, dunia usaha diharapkan memperhatikan dengan sungguh-<br />
sungguh CSR dalam aktivitas usahanya.<br />
155<br />
Kotler dan Lee dalam bukunya “Corporate Social Responsthility: Doing The<br />
Most Good For Your Cornpany and Your Cause”, mengidentifikasikan 6 (enam)<br />
pilihan program bagi perusahaan-perusahaan yang ingin melakukan inisiatif dan<br />
aktivitas yang berkaitan dengan berbagai masalah masalah sosial sekaligus juga<br />
sebagai wujud komitmen dan CSR, yaitu: 128<br />
1. Cause promotion adalah kegiatan yang dilakukan dalam bentuk memberikan<br />
kontribusi berupa dana dan penggalangan dana untuk meningkatkan kesadaran<br />
akan permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat.<br />
2. Cause related marketing adalah bentuk kontribusi perusahaan dengan menyisihkan<br />
beberapa persen dan pendapatan yang diperoleh perusahaan sebagai donasi bagi<br />
permasalahan sosial tertentu, untuk periode tertentu atau produk tertentu.<br />
3. Corporate social marketing adalah upaya untuk membantu mengembangkan dan<br />
sekaligus juga mengimplementasikannya dalam bentuk kampanye dengan fokus<br />
mengubah perilaku tertentu yang mempunyal pengaruh negatif.<br />
4. Corporate philantrophy adalah inisiatif dari perusahaan dengan memberikan<br />
kontribusi langsung kepada suatu aktivitas amal, baik dalam bentuk donasi<br />
ataupun sumbangan tunai.<br />
128 Isa Wahyudi dan Busyra Azheri, Op. cit., hlm. 56.
5. Community voluntering adalah bentuk kegiatan yang dilakukan langsung oleh<br />
perusahaan dalam memberikan bantuan dan mendorong karyawan serta mitra<br />
bisnisnya untuk secara sukarela terlibat dan membantu masyarakat setempat.<br />
6. Socially responsible business practices adalah inisiatif perusahaan untuk<br />
mengadopsi dan melakukan praktek bisnis tertentu serta investasi yang ditujukan<br />
untuk meningkatkan kualitas sebuah komunitas dan melindungi lingkungan.<br />
156<br />
Menurut Pearlie Koh dan Victor Yeo menetapkan 4 (empat) kategori social<br />
responsibility yang menjadi sasaran perusahaan-perusahaan di Singapura, yaitu: 129<br />
a. Pekerjaaan yang bersifat amal (charitable works);<br />
b. Kesejahteraan karyawan;<br />
c. Perlindungan lingkungan;<br />
d. Masalah moral.<br />
Di Indonesia, istilah CSR semakin popular digunakan sejak tahun 1990-an.<br />
Beberapa perusahaan sebenarnya telah lama melakukan corporate social activity atau<br />
aktifitas sosial perusahaan. Walaupun tidak menamainya sebagai CSR, secara faktual,<br />
aksinya mendekati konsep CSR yang mempresentasikan bentuk “peran serta” dan<br />
“kepedulian”perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan.<br />
Dari hasil penelitian yang dilakukan dibeberapa perusahaan yang ada di Bali<br />
menunjukkan banyak para Direktur dari perusahaan yang berbentuk PT yang belum<br />
memahami tentang istilah CSR tersebut. tetapi perusahaan tersebut telah<br />
129 Cornelius Simanjutak dan Natalie Mulia, 2009, Organ Perseroan Terbatas, Jakarta, Penerbit<br />
Sinar Grafika, hlm. 99.
melaksanakan secara aktif CSR tersebut, seperti PT Bali Timur Mandiri yang<br />
beralamat di Jalan Pahlawan No. 12 Bangli. Perusahaan yang berbentuk PT ini<br />
didirikan tahun 1996, yang bergerak dalam penjualan sepeda motor, dalam<br />
kenyataannya telah berperan aktif melaksanakan CSR dengan peduli terhadap<br />
lingkungan sekitar perusahaan, yaitu dengan membantu masyarakat sekitar<br />
perusahaan tersebut dengan memberikan bantuan kepada masyarakat berupa Dana<br />
Punia (amal) ke tempat suci (pura) apabila ada upacara keagamaan yang ada di<br />
lingkungan perusahaan tersebut.<br />
157<br />
Melihat aktifitas yang dilakukan oleh PT Bali Timur Mandiri dapat dikatakan<br />
bahwa bentuk CSR yang diterapkan di perusahaan tersebut adalah dalam bentuk<br />
Investasi sosial yang sering diartikan secara sempit sebagai “”kegiatan amal<br />
perusahaan”. Makna sesungguhnya adalah perusahaan memberi dukungan finansial<br />
dan non finansial terhadap kegiatan sosial dan lingkungan yang dilakukan oleh<br />
kelompok/organisasi lain yang pada akhirnya akan menunjang kegiatan bisnis<br />
perusahaan, karena perusahaan melalui investasi sosial akan dapat menuai citra yang<br />
positif (corporate image), seperti memberikan sumbangan pada upacara-upacara<br />
keagamaan yang dilakukan di pura di sekitar perusahaan tersebut dalam bentuk dana<br />
punia, bantuan berupa Pesawat Televisi kepada masyarakat, baju kaos, kemudian<br />
sumbangan juga disampaikan ke sekolah Menengah Atas (SMA) apabila SMA<br />
tersebut mengadakan pertandingan antar sekolah yang ada di Bangli. Jadi perusahaan<br />
ini telah peduli terhadap lingkungan masyarakatnya, walaupun pimpinan perusahaan<br />
tersebut masih merasa asing terhadap istilah CSR, namun dalam kenyataannya
semenjak perusahaan tersebut didirikan pada tahun 1996 telah peduli terhadap<br />
lingkungannya.<br />
158<br />
Disamping melaksanakan CSR keluar perusahaan, PT Bali Timur Mandiri juga<br />
melaksanakan CSR ke dalam perusahaan itu sendiri, yaitu dengan mengadakan<br />
penataan tempat kerja, sehingga karyawan lebih betah dalam melaksanakan kerja,<br />
sehingga profit yang diterima perusahaan bisa lebih banyak, disamping itu juga<br />
diperhatikan kesejahteraan karyawan dan keluarganya.<br />
Dana CSR dalam perusahaan ini terlepas dari dana promosi untuk perusahaan<br />
yang bersangkutan. Dana CSR nya diambil dari keuntungan yang diterima oleh<br />
perusahaan tersebut, sehingga besar kecilnya dana tersebut sangat tergantung dari<br />
keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan tersebut, sehingga tidak ada prosentase<br />
tertentu dalam pelaksanaan CSR tersebut, tetapi pelaksanaan CSR di PT Bali Timur<br />
Mandiri berkelanjutan sampai sekarang. (Wawancara dengan Bapak Oka Pradipta,<br />
PIC PT Bali Timur Mandiri tanggal 2 Februari 2011).<br />
Masih dalam daerah yang sama, penelitian juga dilakukan di PT Sumber Alam<br />
Semesta yang bergerak dalam produksi dan penjualan Air Minum dengan Merek<br />
Shita. Bentuk CSR yang diterapkan adalah dengan memberikan bantuan materiil ke<br />
Pura (tempat suci agama Hindu) yang berupa produk dari perusahaan, yaitu berupa<br />
air minum dalam bentuk box, disamping itu juga dalam bentuk dana (uang). Bantuan<br />
juga diberikan kepada Yayasan Guru Kula, yayasan ini memelihara anak-anak yang<br />
kurang mampu atau anak-anak yang terlantar. (Wawancara dengan Doddy Wirayoga,<br />
Konsultan PT Sumber Alam Semesta, tanggal 2 Februari 2011)
159<br />
CSR juga diberikan kepada masyarakat disekitar perusahaan, yaitu memberikan<br />
air secara cuma-cuma kepada anggota masyarakat disekitar perusahaan atau air gratis<br />
setiap hari untuk keperluan konsumsi. CSR juga rutin diberikan kepada Banjar<br />
Bebalang, Banjar Petak, dan Banjar Kubu yang ada disekitar perusahaan. Prosentase<br />
CSR yang diberikan kepada masyarakat adalah sebesar 3,5 % dari keuntungan yang<br />
diterima oleh perusahaan tersebut.(Wawancara dengan Bapak Ketut Suyasa, Kepala<br />
Produksi PT Sumber Alam Semesta tanggal 2 Februari 2011).<br />
Kalau melihat pendapat Kotler dan Lee maka PT Sumber Alam Semesta dalam<br />
pelaksanaan CSR mengambil bentuk Cause related marketing yaitu bentuk kontribusi<br />
perusahaan dengan menyisihkan beberapa persen dari pendapatan yang diperoleh<br />
perusahaan sebagai donasi bagi permasalahan sosial tertentu, untuk periode tertentu<br />
atau produk tertentu.<br />
Di samping itu bentuk CSR yang diterapkan adalah merupakan Kemitraan<br />
antara perusahaan dengan masyarakat, khususnya masyarakat lokal. Kemitraan ini<br />
diwujudkan secara umum dalam program community development untuk membantu<br />
peningkatan kesejahteraan umum masyarakat setempat dalam kurun waktu yang<br />
cukup panjang, yaitu dengan memberikan sumbangan air minum secara berkelanjutan<br />
setiap hari kepada masyarakat di lingkungan perusahaan. Melalui program ini,<br />
diharapkan masyarakat akan menerima manfaat keberadaan perusahaan yang<br />
digunakan untuk menopang kemandiriannya bahkan setelah perusahaan berhenti<br />
beroperasi.
160<br />
Di Kota Denpasar penelitian dilakukan di PT Federal Internasional Finance (PT<br />
FIF). Dari beberapa responden perusahaan yang diwawancarai, baru PT FIF Cabang<br />
Denpasar yang sudah membentuk bagian khusus di dalam manajemen perusahaannya<br />
untuk menangani masalah CSR.<br />
PT FIF Cabang Denpasar merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang<br />
pembiayaan roda dua khususnya sepeda motor Honda, pembiayaan sepeda motor<br />
bekas dan pembiayaan elektronik (spektra). Pelaksanaan CSR di PT FIF Cabang<br />
Denpasar diharapkan akan terjadi keseimbangan antara ekspektasi bisnis, ekonomi,<br />
dan sosial. Dengan pelaksanaan hal tersebut maka PT FIF akan mampu bersaing dan<br />
sustainable bisnis akan tercapai. Di PT FIF penerapan CSR sangat sistematis karena<br />
masalah CSR telah diatur oleh departemen tersendiri. PT FIF telah melaksanakan<br />
CSR sejak tahun 2005 jadi sebelum diatur dalam UU PT 40 Tahun 2007, dan yang<br />
berlaku di Indonesia pada saat itu, adalah UU No. 1 Tahun 1995<br />
Bentuk CSR yang diterapkan di PT FIF adalah Pengelolaan lingkungan kerja<br />
secara baik, termasuk di dalamnya penyediaan lingkungan yang aman dan nyaman,<br />
sistem kompensasi yang layak dan perhatian terhadap kesejahteraan karyawan dan<br />
keluarganya.<br />
Sebagai salah satu anak perusahaan Astra, FIF Cabang Denpasar sangat<br />
menyadari bahwa karyawan merupakan salah satu asset yang sangat berharga bagi<br />
perusahaan. Oleh karenanya pengeloaan SDM menjadi perhatian utama perusahaan<br />
baik dari segi Knowledge & Skill sehingga apa yang menjadi visi dan misi perusahaan<br />
dapat tercapai. Dengan terciptanya sikap saling toleransi dan menjaga kebersamaan
antar karyawan sangat diharapkan menjadi motor perusahaan dalam meraih<br />
performance maksimal untuk mendapatkan profit yang lebih tinggi.<br />
161<br />
Program yang dilakukan untuk memenuhi harapan stakeholder antara lain<br />
meningkatkan kepedulian sosial karyawan dan keluarganya dengan kegiatan donor<br />
darah, memotifasi semangat belajar anak-anak karyawan dengan bea siswa anak<br />
karyawan, berkaitan dengan keselamatan kerja karyawan meliputi pelatihan<br />
Argonomi, Safety Ridding, Safety Lifting, pelatihan pemadam kebakaran dan evakuasi<br />
keadaan darudat. Kemudian untuk meningkatkan kerohanian karyawan dan<br />
keluarganya dilakukan doa bersama ke pura dan buka puasa bersama. Dalam bidang<br />
kesehatan secara rutin dilakukan karyawan melalui olah raga, dan selalu aktif dalam<br />
POR ASTRA, peningkatan pengetahuan karyawan dilakukan dengan training dan<br />
ilearning dan kegiatan Reward dan punishment juga sebagai bagian dari peningkatan<br />
disiplin karyawan.<br />
Bentuk CSR yang lain dari PT FIF adalah Penanganan kelestarian lingkungan<br />
perusahaan sendiri, termasuk melakukan penghematan penggunaan listrik, air, kertas,<br />
dan yang lainnya, sampai penanganan limbah akibat kegiatan perusahaan, agar tidak<br />
mencemari lingkungan sekitar kantor, pabrik dan atau lahan.<br />
Penentuan supplier FIF Denpasar dilakukan melalui proses tender, dimana pada<br />
saat tender juga dilakukan review dan inspeksi langsung ke lokasi supplier, untuk<br />
memastikan apakah supplier telah menerapkan LK3 dalam proses produksinya.<br />
Dalam kaitan dengan Customer, PT FIF Cabang Denpasar selalu berusaha<br />
memberikan pelayanan terbaik, terutama pada hari pelanggan, dengan memberikan
ingkisan pada beberapa konsumen yang beruntung, dan oleh karena konsumen PT<br />
FIF adalah pengguna sepeda motor, maka kegiatan CSR diarahkan untuk<br />
memberikan penyuluhan akan pentingnya keselamatan dalam bersepeda motor<br />
dengan melakukan pembuatan SIM keliling.<br />
Terhadap masyarakat disekitar perusahaan, PT FIF Cabang Denpasar dalam<br />
upaya untuk memenuhi harapan stakeholder masyarakat sekitar perusahaan,<br />
melakukan beberapa hal antara lain:<br />
1. Donasi yang dilakukan di Ring 1 sampai dengan ring 3, yang meliputi:<br />
a. Pemberian bea siswa kepada sekolah –sekolah yang ada di sekitar perusahaan,<br />
serta sumbangan Perpustakaan binaan PT FIF.<br />
b. Support PT FIF dalam bidang kesehatan (pos yandu dan puskesmas).<br />
c. Support dalam lomba menyanyi untuk anak sekolah dasar se kota Denpasar<br />
d. Support untuk kegiatan anak-anak autis se Bali.<br />
2. Donasi dalam kegiatan Aspek Pendekatan Budaya di ring 1 sampai 2, meliputi:<br />
a. Melatih anak-anak karyawan belajar menari<br />
b. Pentas budaya karyawan FIF Dps pada perayaan HUT FIF se Bali<br />
c. Support penyelenggaraan lomba.<br />
d. Menyumbang tempat sampah kepada Kepala Taman Budaya Art Centre<br />
162<br />
Denpasar dan Kepala Pesta Kesenian Bali (PKB) dan support kaos berlogo FIF<br />
untuk pedagang di area PKB<br />
3. Income Generated Activity (IGA) di ring 1, meliputi pembinaan dan<br />
pengembangan usaha masyarakat di sekitar perusahaan yaitu dengan membantu
memberikan bantuan mesin Photo copy, dan pada saat sekarang telah mengalami<br />
163<br />
perkembangan dengan membuka out let di Jalan Setiabudi dan pada saat ini telah<br />
memiliki 4 mesin photo Copy.<br />
Bentuk CSR yang lain dari FIF adalah partisipasi terhadap lingkungan, yaitu<br />
dengan menjaga lingkungan yang bersih dan sehat, karena hal ini sudah menjadi<br />
komitmen seluruh karyawan FIF Denpasar. PT FIF secara konsisten melakukan<br />
kegiatan yang berkaitan dengan kebersihan lingkungan naik di kantor maupun di luar<br />
kantor, melalui lomba kebersihan dan kerapian di meja kerja masing-masing<br />
karyawan sampai sampai kerja bakti di sekitar lingkungan kantor, bahkan sampai<br />
tempat-tempat umum, misalnya di Pura Jagatnatha, dan Wihara Budha, sambil<br />
menyumbang tempat sampah.<br />
Kegiatan konservasi lingkungan juga aktif dilakukan mengingat PT FIF sebagai<br />
perusahaan yang bergerak dibidang pembiayaan sepeda motor, dimana sepeda motor<br />
Honda di bilang ramah lingkungan dan hemat BBM, namun disadari sehemat apapun<br />
hal tersebut tetap mencemari lingkungan hidup, oleh karena itu PT FIF Denpasar<br />
tetap melakukan penghijauan sebagai salah satu tanggung jawab terhadap lingkungan<br />
yang lestari. PT FIF berpasrtisipasi dalam konservasi Lingkungan Hidup dan<br />
Penghijauan di Pulau Serangan pada hari Lingkungan Hidup, yang juga merupakan<br />
program dari Dinas Lingkungan Hidup Kota Denpasar.<br />
PT Jabato Tour & Travel yang bergerak dalam bidang pariwisata yang khusus<br />
menangani wisatawan Jepang, Pada intinya juga menerapkan tanggung jawab sosial<br />
perusahaan. Wawancara yang dilakukan dengan Bapak Roby Napitupulu Acc
Manager & General Affair PT Jabato mengatakan bahwa PT jabato secara rutin<br />
memberikan sumbangan kepada Banjar yang ada di lingkungan kantor PT Jabato,<br />
baik dalam hubungannya dengan upacara keagamaan, atau kegiatan yang dilakukan<br />
oleh para pemuda dalam upaya untuk meningkatkan kreatifitas pemudanya, misalnya<br />
kegiatan oleah raga, atau dalam rangka ulang tahun sekehe teruna teruni. Jadi<br />
bentuknya berupa Investasi sosial yang sering diartikan secara sempit sebagai<br />
”kegiatan amal perusahaan”. Makna sesungguhnya adalah perusahaan memberi<br />
dukungan finansial dan non finansial terhadap kegiatan sosial dan lingkungan yang<br />
dilakukan oleh kelompok/organisasi lain yang pada akhirnya akan menunjang<br />
kegiatan bisnis perusahaan, karena perusahaan melalui investasi sosial akan dapat<br />
menuai citra yang positif (corporate image)<br />
164<br />
Di samping itu PT Jabato juga menerapkan bentuk CSR yang lain, yaitu berupa<br />
Pengelolaan lingkungan kerja secara baik, termasuk di dalamnya penyediaan<br />
lingkungan yang aman dan nyaman, misalnya dengan pemasangan AC disetiap<br />
ruangan, sehingga karyawan merasa nyaman dalam melaksanakan tugasnya sehari<br />
hari. Disamping itu juga menerapkan sistem kompensasi yang layak dan perhatian<br />
terhadap kesejahteraan karyawan dan keluarganya.<br />
Di Kabupaten Badung penelitian dilakukan di PT Asuna Bali yang beralamat di<br />
Jalan BY Pas I. Gusti Ngurah Rai Nusa Dua. Perusahaan ini bergerak dalam bidang<br />
property yang merupakan perusahaan Penanaman Modal Asing yang berbentuk<br />
Perseroan Terbatas,. Perusahaan ini dimotori oleh warga negara Jepang yang bernama
Norihiro Hayakawa sebagai Presiden Direktur, dan I Wayan Rajendra sebagai<br />
Direktur.<br />
165<br />
Perusahaan ini berdiri pada tahun 2004 dan mulai melaksanakan CSR sejak<br />
tahun 2005, sebelum berlakunya UU No. 40 Tahun 2007. PT Asuna Bali secara rutin<br />
memberikan bantuan langsung kepada Yayasan Darus yang beralamat di daerah Nusa<br />
Dua, kemudian bantuan juga diberikan kepada Panti Asuhan Harapan Anak (Hope<br />
Children Home), kemudian juga memberikan bantuan kepada Panti Asuhan Darma<br />
Jati, berupa makanan, pakaian, gula, beras. Kemudian dana CSR juga diberikan<br />
kepada Panti Asuhan Tat Twam Asi.<br />
Bantuan ini secara rutin diberikan setiap 3 bulan sekali, bahkan Presdir<br />
mempunyai rencana untuk memberikan dana CSR nya kepada panti asuhan tersebut<br />
setiap bulan tergantung pada keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan tersebut.<br />
Presdir dari PT Asuna sangat tertarik terhadap CSR tersebut karena dalam usahanya<br />
tersebut sangat berkaitan sekali dengan alam lingkungan dan masyarakat disekitar<br />
perusahaan tersebut, yaitu dalam pembangunan property. Di samping itu PT Asuna<br />
marketnya lebih banyak berorientasi kepada orang asing, sehingga penerapan CSR<br />
sangat dirasakan sekali manfaatnya terhadap keberlangsungan perusahaan, baik<br />
terhadap masyarakat lokal maupun masyarakat mancanegara.<br />
Orang asing akan tertarik apabila perusahaan yang bersangkutan melaksanakan<br />
CSR, karena hal tersebut dikatakan sebagai daya tarik baik untuk mendapatkan<br />
tambahan modal ataupun pemasaran produk PT Asuna Bali tersebut. Oleh karena itu<br />
PT Asuna sangat konsen dalam memberikan dana CSR kepada masyarakat. Jadi
entuk CSR yang diterapkan disini lebih mengarah kepada tindakan amal perusahaan<br />
terhadap lingkungan. (Wawancara dengan Norihiro Hayakawa Presdir PT Asuna Bali<br />
tanggal 22 Februari 2011).<br />
166<br />
Bentuk CSR yang lain adalah berupa sumbangan dana kepada klub sepakbola<br />
yang ada di daerah sekitar perusahaan, kemudian juga sumbangan kepada masyarakat<br />
sekitar perusahaan, yaitu masyarakat di Mumbul, Nusa Dua. Sumbangan rutin setiap<br />
tahun dapat berupa sumbangan kepada pemuda dalam menyambut perayaan Hari<br />
Raya Nyepi yaitu sumbangan untuk membuat Ogoh- ogoh. Jadi kalau memakai<br />
pendapat dari Kotler dan Lee sebenarnya PT Asuna telah melaksanakan Corporate<br />
philantrophy yaitu inisiatif dari perusahaan dengan memberikan kontribusi langsung<br />
kepada suatu aktivitas amal, baik dalam bentuk donasi ataupun sumbangan tunai.<br />
Menurut Direktur PT Asuna menyatakan merasakan manfaat dari pemberian<br />
dana tersebut kepada masyarakat, salah satu manfaat yang dirasakan adalah dukungan<br />
masyarakat akan keberlangsungan perusahaan tersebut sangat besar, sehingga<br />
perusahaan merasa nyaman dalam melaksanakan aktifitasnya setiap hari.<br />
Di samping itu kedalam perusahaan khususnya terhadap karyawan, PT Asuna<br />
Bali melaksanakan CSR intern berupa penataan lingkungan kerja, sehingga para<br />
karyawan merasa nyaman dalam melaksanakan tugas sehari hari, melakukan<br />
penghematan listrik, misalnya pemakaian AC dalam waktu tertentu, penghematan<br />
penggunaan kertas, serta peningkatan servis terhadap karyawan untuk waktu-waktu<br />
tertentu, misalnya melakukan persembahyang bersama ke pura yang ada di Bali<br />
terutama yang beragama Hindu, pemberian bonus pada waktu ulang tahun sebanyak
Rp.500.000 kepada setiap orang pegawai, perayaan Natal dan Tahun Baru.<br />
(Wawancara dengan Bapak I Wayan Rajendra, tanggal 22 Februari 2011)<br />
167<br />
Di Kabupaten Badung penelitian juga dilakukan di PT 18 Jaya yang beralamat<br />
di Jalan Sun Set Road No. 18 Kuta Badung. Perseroan Terbatas ini didirikan pada<br />
tahun 2003 dan bergerak dalam bidang Property, khususnya dalam penjualan Vila<br />
dan juga perumahan. Wawancara yang dilakukan dengan Manajer PT 18 Jaya pada<br />
tanggal 25 Februari 2011 pada intinya Direktur PT 18 Jaya belum begitu akrab<br />
dengan istilah CSR, tetapi di sisi lain PT ini sudah secara rutin melaksanakan<br />
tanggung jawab sosial perusahaannya kepada masyarakat sekitar perusahaan, ataupun<br />
masyarakat disekitar proyek yang sedang dibangun. CSR yang diberikan kepada<br />
masyarakat dapat berupa uang atau dana, atau dapat juga beruapa barang-barang yang<br />
sangat dibutuhkan oleh warga masyarakat, misalnya sumbangan seperangkat<br />
computer kepada sekolah yang ada di sekitar proyek perusahaan. Dana CSR juga<br />
dalam bentuk yang lain yaitu memberikan sumbangan kepada pura(tempat suci)<br />
dalam bentuk dana punia yang dilakukan secara rutin, baik terhadap pura yang ada di<br />
sekitar perusahaan, maupun pura yang ada di kabupaten yang lain, misalnya di Pura<br />
Batur Sari yang ada di Kabupaten Tabanan.<br />
Di samping sumbangan diberikan ke pura-pura yang berupa dana punia yang<br />
berhubungan dengan Ketuhanan, dana CSR juga disalurkan untuk kepentingan<br />
kemanusiaan, misalnya memberikan sumbangan kepada panti asuhan yang ada di<br />
Denpasar atau di Kabupaten Badung, kemudian memberikan sumbangan hari raya<br />
kepada masyarakat sekitar, dan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat disekitar
perusahaan, maka PT 18 Jaya mengajak anggota masyarakat untuk ikut berpartisipasi<br />
dalam pemasaran Vila atau perumahan yang menjadi proyek perusahaan, apabila ada<br />
anggota masyarakat yang mampu untuk menjual Vila atau rumah yang dibikin oleh<br />
PT 18 Jaya maka diberikan prosentase dari penjualan vila tersebut, dan hal ini<br />
dilakukan secara berkelanjutan dimana PT 18 Jaya membangun Vila atau perumahan.<br />
Kemudian dalam merekrut karyawan PT 18 Jaya berusaha untuk mengangkat warga<br />
dari sekitar proyek yang sedang ditangani, misalnya sebagai Satuan Pengaman<br />
(Satpam) Vila atau perumahan yang dikembangkan.<br />
168<br />
Dalam hubungan dengan lingkungan PT 18 Jaya melakukan penataan<br />
lingkungan di sekitar Vila atau perumahan, kemudian membantu masyarakat apabila<br />
ada bencana baik yang ada di Bali atau di luar Bali, misalnya memberikan bantuan<br />
terhadap korban Gunung Merapi, dan untuk menjaga keamanan khususnya di<br />
pedesaan, PT 18 Jaya memberikan bantuan sebuah Mobil Kijang kepada Desa<br />
Pakraman Pecatu Ungasan untuk menjaga keamanan desa (jaga baya). (Wawancara<br />
dengan A.A Ketut Trisna Guna, Manager PT 18 Jaya, tanggal 28 Februari 2011).<br />
PT 18 Jaya memisahkan antara dana promosi dengan dana CSR, dan tidak ada<br />
standar tertentu untuk memberikan dana CSR kepada masyarakat, sangat tergantung<br />
terhadap keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan, tetapi penyaluran dana CSR<br />
tersebut dilakukan secara berkelanjutan. Hal ini disebabkan Presdir PT 18 Jaya sangat<br />
memegang konsep Tri Hita Karana dalam kehidupan baik di perusahaan maupun<br />
dalam kehidupan pribadinya, dimana hubungan manusia dengan Tuhan, dengan<br />
manusia dan dengan lingkungan harus dilakukan secara seimbang, sehingga dalam
memberikan dana CSR kepada masyarakat selalu diperhatikan keseimbangan<br />
hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama manusia, dan<br />
hubungan manusia dengan alam lingkungan, sehingga terjadi keseimbangan<br />
kehidupan, apabila telah tercapai keseimbangan tersebut, maka keberlangsungan<br />
kehidupan perusahaan bias dicapai. (Wawancara dengan A.A Ketut Trisna Guna,<br />
Manager PT 18 Jaya, tanggal 28 Februari 2011).<br />
169<br />
Di samping memberikan dana CSR ke masyarakat (CSR extern) PT 18 Jaya<br />
juga melakukan CSR intern, yang hampir sama dengan dengan perusahaan yang ada<br />
di kabupaten yang lain sebagaimana telah diuraikan dalam penjelasan sebelumnya,<br />
misalnya melakukan penataan terhadap penggunaan listrik, yang sebelumnya listrik<br />
menyala 24 jam di kantor, sekarang dikurangi tergantung pada keperluan dari<br />
perusahaan.<br />
Di Daerah Gianyar penelitian di lakukan di PT BPR Suadana yang beralamat<br />
di Desa Pakraman Celuk Sukawati Gianyar. PT BPR Suadana didirikan pada tahun<br />
1996, tepatnya pada tanggal 10 Juni 1996. Pada intinya Direktur Utama (Dirut) PT<br />
BPR Suadana masih asing terhadap istilah tanggung jawab sosial perusahaan yang<br />
diatur dalam UU PT No. 40 Tahun 2007. Setelah diberikan penjelasan lebih lanjut<br />
tentang keberadaan UU No. 40 Tahun 2007 serta pemahaman tentang CSR, ternyata<br />
PT BPR Suadana sudah sejak dari pendiriannya melaksanakan CSR kepada<br />
masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari pola hidup dan pola pikir dari masyarakat adat<br />
yang ada di Bali.
170<br />
Menurut Dirut PT BPR Suadana menyatakan alau sampai menolak untuk<br />
memberikan sumbangan kepada anggota masyarakat, apabila ada anggota masyarakat<br />
yang datang ke kantor untuk meminta sumbangan baik untuk kepentingan agama<br />
(berupa dana punia) atau untuk kepentingan kemanusiaan, misalnya sumbangan<br />
untuk pelaksanaan lomba, yang diselenggarakan secara rutin setiap tahun oleh<br />
pemuda Banjar Abasan Singapadu Gianyar. Sumbangan yang lain diberikan untuk<br />
keperluan pelaksanaan Kejuaraan Volly “Merpati Cup” yang diselenggarakan oleh<br />
Pemuda di Desa Singapadu.<br />
Dana CSR yang bersifat tetap dilakukan oleh PT Bank Suadana adalah<br />
memberikan bantuan dana pendidikan 5% dari keuntungan perusahaan kepada anak-<br />
anak karyawan PT BPR Suadana, hal ini dilakukan untuk menggali potensi yang<br />
dimiliki oleh anak anak karyawan, sehingga anak-anak bisa berlomba untuk<br />
mendapatkan dana tersebut.<br />
PT BPR Suadana tidak memiliki bagian khusus yang menangani tentang CSR,<br />
walaupun demikian jauh sebelum berlakunya UU No. 40 Tahun 2007 PT BPR<br />
Suadana sudah peduli terhadap masyarakat dan lingkungan, yang dikenal pada saat<br />
sekarang dengan sebutan CSR. Dana CSR di PT BPR Suadana tidak terpisah dengan<br />
dana promosi, jadi dilaksanakan secara bersama-sama tanpa melihat situasi<br />
perusahaan, sepanjang perusahaan masih bisa eksis, maka sumbangan tetap<br />
dilaksanakan, hal ini menandakan kesadaran hukum PT BPR Suadana cukup tinggi<br />
kepeduliannya terhadap masyarakat dan lingkungan.<br />
Dari penelitian yang telah dilakukan tersebut diketahui bahwa perusahaan
dalam melaksanakan usahanya tidak hanya berorientasi kepada keuntungan semata-<br />
mata, tetapi juga peduli terhadap masyarakat , dan alam lingkungan yang ada<br />
disekitar perusahaan, sehingga pendapat Milton Friedmen yang menyatakan bahwa<br />
tujuan utama perusahaan adalah semata-mata mencari keuntungan (profit) bukan<br />
merupakan budaya masyarakat Bali, dan semua responden dalam melaksanakan CSR<br />
tersebut sesuai dengan teori yang diajukan oleh John Elkington pada tahun 1997 teori<br />
triple bottom line dalam istilah economic prosperity, environmental quality dan social<br />
justice. Elkington memberi pandangan bahwa jika sebuah perusahaan ingin<br />
mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka perusahaan tersebut harus<br />
memperhatikan “3P”. Selain mengejar keuntungan (profit), perusahaan juga harus<br />
memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan<br />
turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet). 130<br />
171<br />
Perusahaan dalam kegiatan usahanya dengan mengharmonisasikan aspek<br />
ekonomi, lingkungan dan masyarakat akan meningkatkan nilai dari perusahaan itu<br />
sendiri. Dalam teori ini dapat dijabarkan tiga unsur yang ada didalamnya yaitu:<br />
1. Profit (Keuntungan)<br />
Profit merupakan unsur terpenting dan menjadi fokus utama dari setiap<br />
kegiatan usaha. Tak heran bila fokus utama dari seluruh kegiatan dalam perusahaan<br />
adalah mengejar keuntungan atau meningkatkan harga saham setinggi-tingginya baik<br />
secara langsung ataupun tidak langsung. Inilah bentuk tanggung jawab ekonomi yang<br />
paling utama terhadap pemegang saham.<br />
130 Gunawan Widjaya dan Yeremia Ardi Pratama,Op. Cit. hal. 33.
172<br />
Profit sendiri pada hakikatnya merupakan tambahan pendapatan yang dapat<br />
digunakan untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan. Sedangkan aktivitas<br />
yang dapat ditempuh untuk mendongkrak profit antara lain dengan meningkatkan<br />
produktivitas dan melakukan efesiensi biaya, sehingga perusahaan mempunyai<br />
keunggulan yang kompetitif yang dapat memberikan nilai tambah semaksimal<br />
mungkin.<br />
2. People (Masyarakat)<br />
Menyadari bahwa masyarakat sekitar perusahaan merupakan salah satu<br />
stakeholder penting perusahaan, karena dukungan masyarakat sekitar sangat<br />
diperlukan bagi keberadaan, kelangsungan hidup, dan perkembangan perusahaan,<br />
maka sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan masyarakat lingkungan,<br />
perusahaan perlu berkomitmen untuk berupaya memberikan manfaat sebesar-<br />
besarnya kepada masyarakat. Selain itu juga perlu disadari bahwa operasi perusahaan<br />
berpotensi memberikan dampak kepada masyarakat sekitar, karenanya pula<br />
perusahaan perlu untuk melakukan berbagai kegiatan yang menyentuh kebutuhan<br />
masyarakat.<br />
Memang tak bisa dipungkiri adanya anggapan bahwa tanggung jawab sosial<br />
bukanlah aktivitas utama pelaku bisnis. Fokus utama bisnis adalah mendongkrak<br />
laba. Namun diyakini, penganut aliran pemikiran ini kian sedikit karena tidak masuk<br />
akal dan tidak sesuai kenyataan. Dampak yang diakibatkan bisnis kepada masyarakat,
juga perlu diantisipasi dan diperhitungkan. 131<br />
173<br />
Pemikiran yang hanya memfokuskan perusahaan pada peningkatan laba untuk<br />
masa sekarang tidak relevan lagi, karena kondisi keuangan saja tidak cukup<br />
menjamin nilai perusahaan tumbuh secara keberlanjutan (sustainable). Keberlanjutan<br />
perusahaan hanya akan terjamin apabila perusahaan memperhatikan dimensi terkait<br />
lainnya termasuk dimensi sosial.<br />
Menghadapi tren tersebut, saatnya perusahaan melihat serius pengaruh dimensi<br />
sosial, dari setiap aktivitas bisnisnya, karena aspek tersebut bukanlah suatu pilihan<br />
yang terpisah, melainkan berjalan beriringan untuk meningkatkan keberlanjutan<br />
operasi perusahaan.<br />
3. Planet (Lingkungan)<br />
Unsur ketiga yang perlu diperhatikan juga adalah planet atau lingkungan. Jika<br />
perusahaan ingin eksis dan akseptabel maka harus disertakan pula tanggung jawab<br />
kepada lingkungan. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 32 Tahun 2009<br />
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lingkungan hidup adalah<br />
kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk<br />
manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan<br />
perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Hubungan<br />
manusia dengan lingkungan adalah hubungan sebab akibat, dimana jika manusia<br />
merawat lingkungan maka lingkungan pun akan memberikan manfaat kepada<br />
manusia.<br />
131 Gunawan Widjaya dan Yeremia Ardi Pratama,Op. Cit., hal. 34.
174<br />
Berpijak dari teori Triple Bottom Line (3BL) yang kemudian oleh John<br />
Elkington diumpamakan menjadi triple P (3P) yakni profit, people dan planet. Ketiga<br />
komponen itu saling terkait satu sama lainnya. Apabila salah satu komponen<br />
ditinggalkan, maka akan menimbulkan berbagai dampak sosial, ekonomi dan<br />
lingkungan. Oleh karena itu, setiap perusahaan harus mengubah paradigmanya<br />
menjadi corporate image. Sehingga akan berdampak pada jaminan kelangsungan dan<br />
keberlanjutan aktivitas usaha suatu perusahaan.<br />
Teori Triple Bottom Line (3BL) yang dipopulerkan dengan istilah 3 P,<br />
nampaknya sangat relevan sekali apabila dikaitkan dengan konsep Tri Hita Karana<br />
yang terdapat di Bali, khususnya P yang kedua yaitu people (masyarakat) berkaitan<br />
erat dengan unsur pawongan dalam Tri Hita Karana, dan P yang ketiga adalah planet<br />
(lingkungan) sangat berkaitan erat dengan unsur Palemahan.<br />
Dari hasil Penelitian yang dilakukan ternyata pengembangan CSR yang<br />
dilakukan oleh perusahaan yang ada di Bali semua mengkaitkan dengan konsep Tri<br />
Hita Karana tersebut. Bentuk CSR yang dilakukan oleh perusahaan di Bali pada<br />
umumnya dilakukan secara langsung oleh perusahaan yang bersangkutan, kemudian<br />
dalam melaksanakan CSR tersebut dibagi menjadi tiga bagian, yaitu untuk unsur<br />
Parahyangan dilakukan dengan melakukan dana punia ke pura pura (persembahan<br />
berupa uang ke tempat suci umat Hindu), kemudian unsur Pawongan dilaksanakan<br />
dengan memberikan bantuan atau berupa sumbangan ke masyarakat, baik untuk<br />
kepentingan kelembagaan, maupun untuk kegiatan yang bersifat sosial, dan unsur<br />
Palemahan dilakukan dengan melakukan penanaman pohon atau penataan lingkungan
yang ada di sekitar perusahaan tersebut.<br />
175<br />
Konsep CSR yang pada awalnya muncul di negara barat pada intinya hanya<br />
menekankan pada dua hal pokok, yaitu peduli terhadap masyarakat sekitar dan<br />
terhadap lingkungan. Penelitian yang dilakukan di Bali menunjukkan adanya<br />
perbedaan implementasi CSR, dimana perusahaan dalam melaksanakan CSR bukan<br />
hanya berorientasi pada masyarakat dan lingkungan (People dan Planet ) tetapi ada<br />
satu hal yang tidak ditekankan di negara barat adalah masalah ketuhanan, yang kalau<br />
di Bali mendapat perhatian yang paling utama. Kalau mengkaji kepada Pasal 74 ayat<br />
(1) UU PT, CSR yang diikuti berorientasi pada konsep CSR yang terdapat di negara<br />
barat. Sedangkan disisi lain konsep kehidupan yang ada di Bali mengarah kepada tiga<br />
hal, yaitu ketuhanan, manusia dan lingkungan. Oleh karena itu perlu dipikirkan untuk<br />
masa yang akan datang bagaimana konsep ketuhanan yang ada di Bali bisa masuk<br />
dalam salah satu unsur dari CSR yang berlaku di Indonesia, sehingga dalam<br />
pelaksanaan CSR tersebut sangat harmonis dengan konsep Tri Hita Karana yang ada<br />
di Bali.<br />
Disinilah pentingnya peran hukum sebagai mekanisme integrasi, seperti yang<br />
diajukan oleh Talcot Parson. Indonesia yang dikenal sebagai Negara religius di dunia,<br />
hendaknya mempunyai satu konsep tersendiri yaitu konsep CSR Indonesia, dengan<br />
memasukkan unsur agama ke dalam konsep CSR, sehingga dalam memberlakukan<br />
UU PT tersebut sesuai dengan pola pikir masyarakat Indonesia dan masyarakat adat<br />
Bali pada khususnya. Sarana untuk mengintegrasikan kepentingan tersebut adalah<br />
hukum.
176<br />
Parson menempatkan hukum sebagai salah satu sub sistem dalam sistem sosial<br />
yang lebih besar. Disamping hukum terdapat sub-sistem yang lain yang mempunyai<br />
logika dan fungsi yang berbeda-beda. Sub-sistem yang dimaksud adalah budaya,<br />
politik, dan ekonomi.<br />
Budaya berkaitan dengan nilai-nilai yang dianggap luhur dan mulia, dan oleh<br />
karena itu mesti dipertahankan. Hukum menunjuk pada aturan-aturan sebagai aturan<br />
main bersama (rule of the game) dan fungsi utama sub system ini adalah<br />
mengkordinir dan mengontrol segala penyimpangan agar sesuai dengan aturan main.<br />
Politik bersangkut paut dengan kekuasaan dan kewenangan. Sedangkan ekonomi<br />
menunjuk pada sumber daya materiil yang dibutuhkan menopang hidup sistem.<br />
Posisi hukum begitu sentral disini. Hukum harus mampu menjinakkan susb-sub<br />
sistem yang lain agar bisa berjalan sinergis tanpa saling berbenturan. Setiap sub<br />
sistem mempunyai logika, mekanisme dan tujuan yang berbeda. Disatu sisi sub<br />
sistem budaya cendrung konservatif serta mempertahankan pola-pola ideal yang<br />
terdapat di masyarakat. Masyarakat terkadang kurang memahami makna dari<br />
penerapan CSR, dan sering menimbulkan benturan dalam masyarakat. Contoh<br />
masyarakat minta sumbangan yang cukup besar kepada perusahaan dengan suatu<br />
anggapan bahwa itu hak dari masyarakat untuk mendapat sumbangan itu, dan<br />
perusahaan wajib untuk membayarnya.<br />
Pada sisi lain, sub sistem ekonomi sangat dinamis dan cenderung melahirkan<br />
terobosan-terobosan baru yang bisa saja “asing” dan “liar” dari ukuran pola-pola ideal<br />
budaya. Dari sisi ekonomi tujuan perusahaan yang utama adalah mencari keuntungan
yang sebesar-besarnya dengan pengeluaran yang sekecil-kecilnya, dan hal itu<br />
merupakan prinsip yang bersifat universal di dunia. Tetapi dalam hubungan<br />
masyarakat adat di Bali prinsip tersebut tidak berlaku secara utuh demikian juga<br />
perkembangan pola pikir yang terjadi pada saat sekarang sudah menggeser pemikiran<br />
tersebut dengan lahirnya konsep CSR ini. Perusahaan mau memperhatikan<br />
masyarakat, lingkungan sekitar perusahaan untuk ikut memberikan kontribusi dari<br />
keuntungan yang diperoleh perusahaan.<br />
177<br />
Sedangkan sub sistem politik senantiasa mencari berbagai cara untuk mencapai<br />
tujuan yang boleh jadi cara-cara yang dipakai tidak sesuai dengan pola budaya dan<br />
realitas sumberdaya materiil itu.<br />
Keadaan yang rentan benturan tersebut harus ditangani oleh hukum lewat<br />
fungsi pengintegrasiannya agar setiap sub sistem berjalan serasi dan sinergis demi<br />
lestarinya sistem. Perusahaan mau peduli terhadap masyarakat sekitar perusahaan<br />
tersebut, kemudian masyarakat ikut menjaga keberlangsungan perusahaan tersebut,<br />
sehingga terjadi adanya keharmonisan antara perusahaan dengan masyarakat. Oleh<br />
karena itu Parsons menempatkan hukum sebagai unsur utama integrasi sistem.<br />
Hidup matinya sebuah masyarakat ditentukan oleh berfungsi tidaknya tiap sub-<br />
sistem sesuai tugas masing-masing. Untuk menjamin itu, hukumlah yang ditugaskan<br />
menata keserasian dan gerak sinergis dari tiga susb-sistem yang lain itu.
5.1 Simpulan.<br />
BAB V<br />
PENUTUP<br />
178<br />
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan dalam bab-bab sebelumnya, maka<br />
dapat diajukan simpulan sebagai berikut:<br />
1. Model atau pola CSR yang diterapkan oleh perusahaan-perusahaan yang ada di<br />
Bali pada umumnya adalah CSR dilaksanakan secara langsung oleh perusahaan.<br />
Perusahaan melaksanakan program CSR secara langsung dengan<br />
menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan sumbangan ke<br />
masyarakat tanpa perantara dengan tetap berorientasi pada tiga hal yaitu<br />
parahyangan, pawongan dan palemahan.<br />
2. Bentuk CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan yang berbentuk PT yang ada di<br />
Bali adalah sebagai berikut:<br />
a. Pengelolaan lingkungan kerja secara baik, termasuk di dalamnya penyediaan<br />
lingkungan yang aman dan nyaman(unsur palemahan), sistem kompensasi yang<br />
layak dan perhatian terhadap kesejahteraan karyawan dan keluarganya (unsur<br />
pawongan)<br />
b. Kemitraan antara perusahaan dengan masyarakat, khususnya masyarakat lokal.<br />
Kemitraan ini diwujudkan secara umum dalam program community
179<br />
development untuk membantu peningkatan kesejahteraan umum masyarakat<br />
setempat dalam kurun waktu yang cukup panjang dan hal ini merpakan<br />
realisasi dari unsur pawongan.<br />
c. Penanganan kelestarian lingkungan perusahaan sendiri, termasuk melakukan<br />
penghematan penggunaan listrik, air, kertas, dan yang lainnya, sampai<br />
penanganan limbah akibat kegiatan perusahaan, agar tidak mencemari<br />
lingkungan sekitar kantor, pabrik dan atau lahan (unsur palemahan)<br />
d. Investasi sosial yang sering diartikan secara sempit sebagai ” kegiatan amal<br />
5.2 Saran.<br />
perusahaan” yang pada dasarnya diarahkan pada tiga hal, yaitu dana punia ke<br />
parahyangan, amal sesama manusia (masyarakat) dan pada lingkungan alam<br />
(unsure palemahan). Makna sesungguhnya adalah perusahaan memberi<br />
dukungan finansial dan non finansial terhadap kegiatan sosial dan lingkungan<br />
yang dilakukan oleh kelompok/organisasi lain yang pada akhirnya akan<br />
menunjang kegiatan bisnis perusahaan, karena perusahaan melalui investasi<br />
sosial akan dapat menuai citra yang positif (corporate image).<br />
1. Perlu diadakan sosialisasi lebih intensif tentang berlakunya UU No. 40 Tahun<br />
2007 khususnya tentang pemahaman CSR, karena masih banyak para<br />
pengusaha yang belum mengetahui tentang tanggung jawab sosial perseroan,<br />
tetapi mereka sudah melaksanakan prinsip CSR yang sesuai dengan pola<br />
hidup masyrakat adat di Bali.
180<br />
2. Untuk lebih mengefektifkan berlakunya UU PT khususnya ketentuan tentang<br />
CSR, Pemerintah agar segera menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang<br />
tanggung jawab sosial perseroan (CSR) agar setiap dan semua pengusaha<br />
mempunyai kepastian hukum di dalam melaksanakan hak dan kewajibannya<br />
secara seimbang dan harmonis berdasarkan konsep ”Tri Hita Karana” untuk<br />
menciptakan iklim bisnis yang sehat.<br />
3. Disarankan kepada para pengusaha untuk membentuk departemen khusus<br />
tersendiri yang bertugas menjalankan CSR sehingga upaya ini dapat<br />
dilakukan dengan fokus dan terarah dan bantuan yang diberikan tersebut<br />
benar-benar bermanfaat bagi masyarakat disekitar perusahaan.
I. Buku<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Abdulkadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti,<br />
Bandung.<br />
Abdul Rasyid Saliman, et al., 2005, Hukum Bisnis untuk Perusahaan: Teori dan<br />
Contoh Kasus, Jakarta, Penerbit Kencana.<br />
181<br />
Adi Sulistiyono, 2008, Negara Hukum: Kekuasaan, Konsep, Dan Paradigma Moral,<br />
Penerbit Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) dan UPT Penerbitan dan<br />
Percetakan UNS (UNS Press), Surakarta.<br />
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Penerbit<br />
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.<br />
Amin Widjaja Tunggal, 2008, Corporate Social Responsibility (CSR), Jakarta, Penerbit<br />
Harvarindo.<br />
Bachsan Mustafa, 1990, Pokok-Pokok Hukum Adiministrasi Negara, Penerbit Citra<br />
Aditya Bakti, Bandung.<br />
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung, Penerbit<br />
Mandar Maju.<br />
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y.Hage, 2010, Teori Hukum, Strategi<br />
Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publising, Yogyakarta<br />
Burhan Asshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta.<br />
Bryan A Garner, 1999, Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, West Publicing<br />
C.O,<br />
Chidir Ali,1997, Hukum Adat Bali dan Lombok dalam Yurisprudensi Indonesia,<br />
Jakarta : Pradnya Paramita.<br />
Cornelius Simanjutak dan Natalie Mulia, 2009, Organ Perseroan Terbatas, Jakarta, Penerbit<br />
Sinar Grafika.
Darji Darmodiharjo, Sidarta, 2002, Pokok-Pokok Fiksafat Hukum, Apa dan<br />
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.<br />
Djojodirdjo, Moegni, 1982, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta, Penerbit Pradnya<br />
Paramita.<br />
Dwi Kartini, 2008, Corporate Social Responsibility: Transformasi Konsep Sustainability<br />
Management dan Implementasi di Indonesia, Malang: In-Tans Publishing.<br />
Emrizon, Joni, 2007, Prinsip-prinsip Good Corporate Governnance, Yogyakarta,<br />
Genta Press<br />
Friedman, Lawrence.M, 1969, The Legal System: A Social Science Perspective, New York,<br />
Russel Sage Foundation<br />
Geoffrey Sawer, 1980, Law In Society, Butterworth & Co (Publishers) Ltd<br />
Gunawan Widjaja, 2008, Resiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT,<br />
Penerbit Forum Sahabat<br />
Habib Adjie, 2008, Status Badan Hukum, Prinsip-Prinsip dan Tanggung Jawab<br />
Sosial Perseroan Terbatas, Bandung, Penerbit Mandar Maju.<br />
Hamud M. Balfas, 2006, Hukum Pasar Modal Indonesia, Jakarta, Penerbit PT<br />
Tatanusa.<br />
Hari Chand, 1994, Modern Jurisprudence, Kuala Lumpur, Percetakan Turbo<br />
Hendra Setiawan Boen,2008, Bianglala Business Judment Rule, Jakarta, Tatanusa.<br />
Hendrik Budi Untung, 2008, Corporate Sosial Responsibility, Penerbit Sinar Grafika,<br />
Jakarta.<br />
Hilman Hadikusuma. H, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu<br />
Hukum, Mandar Maju, Bandung.<br />
Isa Wahyudi, Busyra Azheri, 2008, Corporate Social Responsibility, Penerbit Im<br />
Trans Publishing.<br />
Ismail Solihin, 2008, Corporate Social Responsibility From Gharity to<br />
Sustainability, Bandung, Salemba Empat.<br />
182
Janus Sidabalok, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen, Citra Aditya Bakti,<br />
Bandung.<br />
Johannes Ibrahim, 2006, Hukum Organisasi Perusahaan Pola Kemitraan dan Badan<br />
Hukum, Penerbit Refika Adi Tama, Bandung.<br />
Johannes Ibrahim, Lindawati Sewu, 2007, Hukum Bisnis Dalam Perspektif Manusia<br />
Modern, Bandung, Penerbit Refika Adi Tama.<br />
Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah; Pasang Surut Hubungan antara DPRD<br />
dan Kepala Daerah, Bandung, Alumni.<br />
Kaler, I. Gusti Ketut, 1994, Butir-Butir Tercecer Tentang Adat Bali, Denpasar,<br />
Penerbit Kayu Mas Agung.<br />
Khairandy, Ridwan& Malik Camelia, 2007, Good Corporate Governance,<br />
Yogyakarta, Penerbit Total Media.<br />
Koentjaraningrat, 1987, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta, Penerbit<br />
PT Gramedia<br />
Mas Soebagio dan Slamet Supriatna, 1992, Dasar-Dasar Filsafat, Suatu Pengantar<br />
ke Filsafat Hukum, Akademika Presindo, Jakarta.<br />
Mardjono Reksodiputro, 2005, Sektor Bisnis (Corporate) Sebagai Subyek Hukum<br />
Dalam Kaitan Dengan HAM, Penerbit Refika Aditama.<br />
Mirsha, I Gusti Ngurah, 1994,Wrhaspati Tatwa, Penerbit Upada Sastra.<br />
Mukti Fajar ND, Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan<br />
Emperis, Yogyakarta, Penerbit Pustaka Belajar.<br />
Mulya Amri dan Wicaksono Sarosa, 2008, CSR untuk Penguatan Kohesi<br />
Sosial,Jakarta, Indonesia Business Links<br />
Munir Fuady, 2005, Perbandingan Hukum Perdata, Penerbit PT Citra Aditya Bakti.<br />
Otje Salman, 2008, Teori Hukum, Penerbit Reflika Aditama<br />
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta, Penerbit Kencana.<br />
183
Peter Van Den Bossche, 2008, The Law And Policy of the Word Trade Organization,<br />
Cambridge University Press<br />
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, PT Bina<br />
Ikmu , Surabaya.<br />
Purwita, Ida Bagus Putu, 1995, Butir-Butir Mutiara Pembinaan Desa Adat Di Bali,<br />
Denpasar, MPLA Dati I Bali<br />
Raka, I Gusti Putu, cs, 1992, Desa Adat dan Pelestarian Lingkungan Hidup,<br />
Denpasar MPLA Dati I Bali<br />
Saidi, Zaim, 2002, Sumbangan Sosial Perusahaan, Jakarta, Penerbit Piramida.<br />
Salam, Baharuddin, 1997, Etika Moral, Asas Moral Dalam Kehidupan Sosial<br />
Manusia, Jakarta, Renika Cipta<br />
Sentosa, Mas Achmad, 2001, Good Governance & Hukum Lingkungan, Jakarta,:<br />
ICEL.<br />
Setiono, 2001, Pemahaman Terhadap Metode Penelitian Hukum, Penerbit Mandar<br />
Maju<br />
Siahaan,N.H.T, 2009, Hukum Lingkungan, Jakarta, Penerbit Pancuran Alam.<br />
Suhandari M. Putri, 2007, Schema CSR, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika.<br />
Suharto, Edi, 2007, Pekerjaan Sosial Di Dunia Industri Memperkuat Tanggungjawab Sosial<br />
Perusahaan/Corporate Sosial Responsibility), Bandung, Penerbit Reflika Aditama.<br />
184<br />
Suharna, Nana, 2006, Gagasan dan Aksi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam<br />
Masyarakat:Studi Kasus Empat Perusahaan, Jakarta, Penerbit YAPPIKA,<br />
IDSS<br />
Susanto. AB, 2009, Reputation-Driven Corporate Social Responsibility, Pendekatan Strategic<br />
Management Dalam CSR Jakarta, Erlangga Group.<br />
Sutrisno Hadi, 2002, Metodologi Research, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika<br />
Soerjono Soekanto, 1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, JakartaPenerbit<br />
Rajawali
------------------------, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,<br />
Rajawali, Jakarta.<br />
------------------------, 1985, Efektiviras Hukum dan Peranan Sanksi, Bandung,<br />
Penerbit Remaja Karya,<br />
-------------------------, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada,<br />
Jakarta<br />
Sri Rejeki Hartono, 2000, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Penerbit Mandar Maju,<br />
Bandung.<br />
185<br />
Syarip Hidayat, 2008, Pengaruh Globalisasi Ekonomi dan Hukum Ekonomi<br />
Internasional Dalam Pembangunan Hukum Ekonomi Di Indonesia, Jakarta,<br />
Penerbit Sinar Grafika.<br />
Terry Hutchinson, 2002, Researching and Writing In Law , Law Book CO Pyrmon<br />
NSW.<br />
Yusuf Wibisono,2007, Membedah Konsep dan Aplikasi Corporate Social<br />
Responsibility, Penerbit Salemba Empat.<br />
Zainuddin Ali,2008, Sosiologi Hukum, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika.<br />
II. Peraturan Perundang- undangan.<br />
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.<br />
Undang Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.<br />
Perda Prop. Bali No.16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi<br />
Bali Tahun 2009-2029<br />
Makalah.<br />
Legawa I. Made, dkk, 2002, Pengkajian Tri Hita Karana Sebagai Dasar<br />
Pembangunan Daerah Bali, Laporan Penelitian, Kerjasama Badan Perencanaan<br />
Pembangunan Daerah Propinsi Bali Dengan Universutas Mahasaraswati<br />
Denpasar
186<br />
Robert Khuana, 2009, Corporate Social Responsibility (CSR) Antara Tuntutan dan<br />
Kenyataan, Makalah Diseminasi Rekomendasi Bagi Pembaharuan Hukum Di<br />
Indonesia, tanggal 16 November 2009.<br />
Supasti Darmawan, Ni Ketut, 2009, A Hybrid Framework Suatu Alternative Pendekatan CSR<br />
(Corporate Social Responsibility) Di Indonesia, Makalah Dalam DISEMINASI<br />
REKOMENDASI BAGI PEMBAHARUAN HUKUM DI INDONESIA, Kerjasama Komisi<br />
Hukum Nasional RI dengan FH UNUD BALI, Ina Sindhu Beach Sanur Bali, 16 November<br />
2009.<br />
Suryatin Lijaya, 2009, CSR (Corporate Social Responsibility) Dalam Peraturan<br />
Perundang-undangan , Makalah Diseminasi Rekomendasi Bagi Pembaharuan<br />
Hukum Di Indonesia, tanggal 16 November 2009.<br />
Wiryawan I Wayan, 2009, Makalah Tanggapan/komentar atas penyaji rekomendasi<br />
dari Mardjono Reksodiputro, tanggal 16 Nopember 2009<br />
Internet<br />
Gail Thomas, 2006, Corporate Social Responsibility, A Difinision.<br />
http://www.business.curtin.edu.au/files/GSB_Working_Paper_No._62_<br />
Yanti Triwadiantini Koester, 2007, Corporate Social Responsibility in Indonesia,<br />
http://www. asean foundation .org/seminar/paper.
1. N a m a : I Ketut Suyasa<br />
Umur : 46 Tahun<br />
Jabatan : Kepala Produksi<br />
DAFTAR RESPONDEN<br />
Perusahaan : PT Sumber Alam Semesta Bangli.<br />
Alamat : Jalan LC Aya Bangli.<br />
2. N a m a : Dody Wirayoga<br />
Umur : 27 Tahun<br />
Jabatan : Konsultan<br />
Perusahaan : PT Sumber Alam Semesta Bangli.<br />
Alamat : Jalan Kartini Klungkung.<br />
3. N a m a : Oka Pradipta<br />
Umur : 49 Tahun<br />
Pekerjaan : Swasta<br />
Jabatan : Direktur PT Bali Timur Mandiri Bangli.<br />
Alamat : Jalan Gunung Agung Gang II/26 Denpasar.<br />
4. N a m a : Ani Fanawatie<br />
Umur : 50 Tahun<br />
Pekerjaan : Swasta<br />
Jabatan : Branch Manager PT Federal International Finance<br />
187
Alamat : Jalan Gatot Subroto No. 18 D Denpasar.<br />
5. N a m a : I Made Alit Putrawan<br />
Umur : 43 Tahun<br />
Pekerjaan : Swasta<br />
Jabatan : Inventory General Support Section Head PT Federal International<br />
Finance<br />
Alamat : Jalan Gatot Subroto No. 18 D Denpasar.<br />
6. N a m a : Roby Nugroho<br />
Umur : 50 Tahun<br />
Pekerjaan : Swasta<br />
Jabatan : Branch Manager PT Jabato Tour & Travel<br />
Alamat : Jalan Irawadi Perum Grahalia II No.3 Denpasar.<br />
7. N a m a : Wayan Rajindra<br />
Umur : 40 Tahun<br />
Pekerjaan : Swasta<br />
Jabatan : Direktur PT Asuna International<br />
Alamat : Jalan Raya Pemogan Gang Dewi Sri No.9 Denpasar<br />
8. N a m a : I. Ketut Sandi. SH.MM<br />
Umur : 58 Tahun<br />
Pekerjaan : Pegawai Negeri<br />
Jabatan : Direktur Utama PT BPR Suadana Gianyar<br />
Alamat : Jalan Raya Celuk Sukawati Gianyar<br />
188
9. N a m a : A.A Ketut Trisna Guna.<br />
Umur : 35 Tahun<br />
Pekerjaan : Swasta<br />
Jabatan : Manager PT 18 Jaya Kuta Badung<br />
Alamat : Jalan Sun Set Road No.18 Kuta Badung<br />
189
190