30.08.2013 Views

unud-110-718006949-pengembangan%20csr%20dalam%20thk.pdf

unud-110-718006949-pengembangan%20csr%20dalam%20thk.pdf

unud-110-718006949-pengembangan%20csr%20dalam%20thk.pdf

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

1. Permasalahan.<br />

1.1 Latar Belakang Masalah.<br />

BAB I<br />

PENDAHULUAN<br />

Pembangunan nasional pada hakekatnya adalah rangkaian perubahan yang<br />

dilakukan secara menyeluruh terarah dan berencana dalam rangka mewujudkan<br />

masyarakat yang dicita-citakan yaitu masyarakat yang memiliki keseimbangan antara<br />

kebutuhan lahiriah dan bathiniah. Tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah<br />

untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia baik materiil maupun spiritual,<br />

yaitu dengan tersedianya kebutuhan pokok sandang (pakaian), pangan (makanan),<br />

dan papan (rumah) yang layak. 1<br />

Oleh karena itu pembangunan nasional mesti mengacu pada konsep<br />

pembangunan yang utuh menyeluruh dan melibatkan peran aktif masyarakat. Tanpa<br />

peran aktif masyarakat, maka pembangunan nasional akan mengalami hambatan dan<br />

bahkan kegagalan.<br />

Pengalaman membangun pada masa yang lalu dan timbulnya krisis yang<br />

berkepanjangan dapat digunakan sebagai pelajaran bahwa disamping keberhasilan<br />

mencapai tujuan pembangunan, proses dan cara mewujudkan tujuan pembangunan<br />

ekonomi tersebut tidak kalah pentingnya. Pembangunan pada bidang ekonomi<br />

merupakan penggerak utama pembangunan, namun pembangunan ekonomi ini harus<br />

1 Janus Sidabalok, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.1<br />

1


disertai upaya saling memperkuat, terkait, serta terpadu dengan pembangunan bidang<br />

lainnya. 2 Secara normative, untuk membangun perekonomian yang kuat, sehat dan<br />

berkeadilan, pembangunan ekonomi harus dilaksanakan berlandaskan aturan main<br />

yang jelas, etika dan moral yang baik, serta nilai-nilai yang menjungjung tinggi hak<br />

asasi manusia serta persamaan derajat, hak dan kewajiban warga negara setiap rakyat<br />

Indonesia.<br />

Apabila dikaji perjalanan pembangunan di Negara Indonesia, titik berat<br />

pembangunan adalah di bidang ekonomi, dengan maksud apabila pembangunan<br />

ekonomi berhasil, maka akan berakibat kepada bidang-bidang pembangunan lainnya.<br />

Oleh karena itu maka untuk menjamin adanya pembangunan ekonomi yang baik<br />

maka diperlukan adanya aturan hukum yang jelas, dan untuk mewujudkan hal<br />

tersebut maka sudah sepantasnya para ahli hukum diajak secara aktif integrative<br />

untuk merumuskan berbagai kebijakan di segala bidang pembangunan. 3<br />

Berkembangnya perekonomian dalam suatu negara sangat ditunjang oleh<br />

kemajuan yang dialami oleh suatu perusahaan yang ada di negara tersebut, oleh<br />

karena itu organisasi dalam sebuah perusahaan merupakan komponen yang sangat<br />

menunjang untuk tercapainya visi dan misi perusahaan dalam menghadapi dan<br />

mengantisipasi berbagai persaingan, baik ditingkat lokal maupun global. 4<br />

2 Johannes Ibrahim, Lindawati Sewu, 2007, Hukum Bisnis Dalam Perspektif Manusia Modern,<br />

Penerbit Refika Adi Tama, Bandung, hal.23<br />

3 Habib Adjie, 2008, Status Badan Hukum, Prinsip-Prinsip dan Tanggung Jawab Sosial Perseroan<br />

Terbatas, Penerbit Mandar Maju, Bandung, hal.53<br />

4 Johannes Ibrahim, 2006, Hukum Organisasi Perusahaan Pola Kemitraan dan Badan Hukum,<br />

Penerbit Refika Adi Tama, bandung, hal.1<br />

2


Berkembangnya berbagai perusahaan tersebut berdasarkan kepada konsep<br />

ekonomi yaitu mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya dengan pengeluaran<br />

yang serendah-rendahnya. Sejak lama dunia usaha percaya bahwa satu-satunya<br />

tanggung jawab mereka adalah membuat keuntungan bagi pemodalnya, banyak<br />

anggota masyarakat ataupun pemerintah yang mendirikan perusahaan hanya<br />

mengejar target mencari keuntungan, dan mengabaikan aspek-aspek lain yang<br />

sebenarnya sangat vital bagi perusahaan terkadang diabaikan, misalnya hak-hak<br />

karyawan perusahaan, upah karyawan yang murah dijadikan alasan untuk mendirikan<br />

perusahaan, sumber daya alam yang melimpah diolah tanpa memperhatikan aspek-<br />

aspek lingkungan hidup. Dengan mengabaikan berbagai aspek tersebut perusahaan<br />

bisa meraih keuntungan yang maksimal, artinya tanggung jawab ekonomi dari<br />

perusahaan dapat dikatakan berhasil.<br />

Untuk menjaga kesinambungan hidup perusahaan, perlu diterapkan prinsip<br />

Good Corporate Governance (GCG) yaitu seperangkat aturan yang dijadikan acuan<br />

manajemen perusahaan dalam mengelola perusahaan secara baik, benar, dan penuh<br />

integritas, serta membina hubungan dengan para stakeholders, guna mewujudkan<br />

visi, misi, tujuan, dan sasaran perusahaan yang telah ditetapkan, baik dalam jangka<br />

pendek maupun jangka panjang, yang menekankan pada prinsip akuntabilitas<br />

(accountability), kemandirian (independency) transparansi (transparansy),<br />

3


pertanggungjawaban (responsibility) dan kewajaran(fairness), karena dengan<br />

tercapainya GCG perusahaan dapat menciptakan lingkungan kondusif terhadap<br />

pertumbuhan usahanya yang efesien dan berkesinambungan. 5<br />

Sebenarnya tanggung jawab perusahaan tidak hanya berupa tanggung jawab<br />

ekonomi saja, akan tetapi juga mempunyai tanggung jawab sosial (Corporate social<br />

responsibility/ CSR) yang berkaitan dengan segala aspek yang menunjang berhasilnya<br />

perusahaan tersebut. Tanggung jawab sosial dunia usaha telah menjadi suatu<br />

kebutuhan yang dirasakan bersama antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha<br />

sendiri berdasarkan prinsip-prinsip saling menguntungkan (kemitraan). Tanggung<br />

jawab sosial perusahaan memberikan implikasi positif bagi peningkatan<br />

kesejahteraan masyarakat, meringankan beban pembiayaan, pembangunan<br />

pemerintah, memperkuat investasi dunia usaha, serta semakin kuatnya jaringan<br />

kemitraan, antara masyarakat , pemerintah, dengan dunia usaha. 6<br />

Konsep awal CSR secara akademisi diperkenalkan oleh Howard R. Bowen<br />

melalui karyanya yang berjudul “Social Responsibilities of the Businessmen” Bowen<br />

telah memberikan landasan awal bagi pengenalan kewajiban pelaku bisnis untuk<br />

menetapkan tujuan bisnis yang selaras dengan tujuan dan nilai-nilai masyarakat.<br />

Bowen mengacu kepada kewajiban pelaku bisnis untuk membuat dan melaksanakan<br />

kebijakan, keputusan dan berbagai tindakan yang harus mengikuti tujuan dan nilai<br />

5 Johannes Ibrahim, Op. Cit. hal.70<br />

6 Isa Wahyudi, Busyra Azheri, 2008, Corporate Social Responsibility, Penerbit In- Trans<br />

Publishing, hal. 15<br />

4


nilai dalam suatu masyarakat 7 .<br />

Berkembangnya konsep awal CSR tidak terlepas dari pemikiran para pemimpin<br />

perusahaan yang pada zaman itu menjalankan usahanya dengan mengindahkan pada<br />

konsep Derma (charity) dan prinsip perwalian(stewardship principle). Kemudian<br />

periode awal tahun 1970-an mencatat babak penting perkembangan konsep CSR<br />

ketika para pimpinan perusahaan terkemuka di Amerika Serikat membentuk<br />

Committee for Economic Development (CED). Dalam salah satu pernyataan CED<br />

menyatakan bahwa kontrak sosial antara masyarakat dan pelaku usaha telah<br />

mengalami perubahan yang substansial dan penting. Pelaku bisnis dituntut untuk<br />

memikul tanggung jawab yang lebih luas kepada masyarakat dibandingkan waktu-<br />

waktu sebelumnya serta mengindahkan beragam nilai-nilai manusia. Perusahaan<br />

diminta untuk memberikan kontribusi lebih besar bagi kehidupan bangsa Amerika<br />

dan bukan sekedar memasok sejumlah barang dan jasa. 8<br />

Praktek perusahaan-perusahaan di Eropah dan Amerika Serikat (perusahaan<br />

transnasional) menunjukan bahwa norma-norma CSR dicantumkan dalam Code of<br />

conduct, dan merupakan satu tipe regulasi internal yang mampu diterapkan dan<br />

diberlakukan pada perusahaan yang globalised. Konsep CSR atau<br />

pertanggungjawaban sosial di negara-negara maju seperti Eropah dan Amerika<br />

Serikat diberlakukan dan bersifat sukarela<br />

7 Ibid. hal.19<br />

8 Ismail Solihin,2008, Corporate Social Responsibility, from Gharity to Sustainability, Penerbit<br />

Salemba Empat, Bandung, hal. 21<br />

5


atau voluntary. 9<br />

Berlakunya secara voluntair CSR di negara-negara maju tentu saja menjadi<br />

wajar-wajar saja dan tidak terlalu istimewa, terutama jika praktek tersebut dikaitkan<br />

dengan berbagai difinisi tentang CSR yang dapat dijumpai dalam beberapa literatur.<br />

Word Bank mendifinisikan CSR sebagai “the commitment of business to contribute to<br />

sustainable economic development working with employees and their representatives<br />

the local community and society at large to improve quality of life, in ways that are<br />

both and good for business development”<br />

Wineberg dan Rudolph, Corporate Social Responsibility –What Every In<br />

House Counsel Should Know” mengatakan bahwa CSR adalah “The countribution<br />

that a company make in society trough its core business activities, its social<br />

investment and philanthropy programs, and its engagement in public policy” 10<br />

Dari difinisi tersebut terdapat adanya konsep Corporate Philanthropy (CP)<br />

yaitu kedermawanan perusahaan dan komitmen perusahaan dalam memberi<br />

kontribusi untuk kemajuan atau peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat,<br />

sehingga wajar jika praktek penerapan CSR di Negara-negara maju ditetapkan secara<br />

sukarela atau voluntary.<br />

Perkembangan CSR di manca negara saat ini sangat popular. Di beberapa<br />

negara CSR digunakan sebagai salah satu indikator penilaian kinerja sebuah<br />

9 Ibid.<br />

10 Supasti Darmawan, Ni Ketut, 2009, A Hybrid Framework Suatu Alternative Pendekatan CSR<br />

(Corporate Social Responsibility) Di Indonesia, Makalah Dalam DISEMINASI REKOMENDASI<br />

BAGI PEMBAHARUAN HUKUM DI INDONESIA, Kerjasama Komisi Hukum Nasional RI dengan<br />

FH UNUD BALI, Ina Sindhu Beach Sanur Bali, 16 November 2009, hal 3<br />

6


perusahaan dengan dicantumkannya informasi CSR di catatan laporan keuangan<br />

perusahaan yang bersangkutan.<br />

Krisis finansial global yang melanda dan melumpuhkan sendi-sendi<br />

perekonomian global hampir keseluruh negara di dunia, mengakibatkan menurunnya<br />

laju globalisasi dalam perekonomian Indonesia. Oleh karena itu sangat penting<br />

khususnya bagi kelangsungan pembangunan perekonomian Indonesia untuk<br />

mewujudkan suatu system perekonomian yang berpihak kepada rakyat. Untuk ini<br />

pemerintah telah melakukan penguatan pada dasar-dasar kebijakan, khususnya dalam<br />

bentuk peraturan di bidang ekonomi untuk menjaga keseimbangan dunia usaha agar<br />

para pelaku usaha dapat bersaing dengan sehat , dan adil tanpa menimbulkan<br />

kerugian dan kesengsaraan bagi rakyat dan kerusakan lingkungan sekitarnya.<br />

CSR telah diterapkan oleh sejumlah perusahaan multinasional dan nasional di<br />

Indonesia. Umumnya kepatuhan dalam pelaksanaan CSR dikaitkan dengan program<br />

Community Development (CD) dan dalam kerangka pembangunan yang<br />

berkelanjutan (sustainable development). 11 Namun masih banyak perusahaan yang<br />

tidak mau menjalankan CSR, hal ini disebabkan karena perusahaan-perusahaan<br />

tersebut hanya melihatnya sebagai pengeluaran (beban) biaya. CSR dianggap tidak<br />

akan memberikan hasil baik langsung maupun tidak langsung pada keuangan<br />

perusahaan di masa mendatang. Disisi lain investor juga ingin agar investasinya dan<br />

kepercayaan masyarakat terhadap perusahaannya memiliki citra yang baik di mata<br />

11 Mardjono Reksodiputro, 2005, Sektor Bisnis (Corporate) Sebagai Subyek Hukum Dalam Kaitan<br />

Dengan HAM, Penerbit Refika Aditama, hal. 73<br />

7


masyarakat umum. Oleh karena itu program CSR lebih tepat bila digolongkan<br />

sebagai investasi dan harus menjadi strategi bisnis dari suatu perusahaan.<br />

Gerakan CSR yang berkembang pesat selama dua puluh tahun terakhir ini lahir<br />

akibat desakan organisasi-organisasi masyarakat sipil dan jaringannya di tingkat<br />

global. Keprihatinan utama yang disuarakan adalah perilaku korporasi, demi<br />

memaksimalkan laba, lazim mempraktekkan cara-cara yang tidak fair dan tidak etis,<br />

dan dalam banyak kasus bahkan dapat dikatagorikan sebagai kejahatan korporasi. 12<br />

Secara yuridis pengaturan soal CSR secara eksplisit dalam hukum Indonesia<br />

dimulai ketika pemerintah memberlakukan UU No.25 Tahun 2007 tentang<br />

Penanaman Modal, yang dalam Pasal 15 menyebut bahwa setiap Penanam Modal<br />

(perseorangan atau perusahaan, berbadan hukum ataupun bukan badan hukum)<br />

berkewajiban untuk:<br />

a. Menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik,<br />

b. Melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.<br />

Kemudian perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 1995 menjadi Undang-<br />

Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, telah membawa perubahan<br />

penting bagi dunia usaha di Indonesia. Salah satu yang mendapat perhatian lebih dari<br />

kalangan pengusaha adalah Corporate Social Responsibility (CSR), karena CSR<br />

akhir-akhir ini telah menjadi salah satu faktor penilaian bagi investor asing yang akan<br />

menanamkan modalnya di Indonesia. CSR menjadi salah satu kewajiban yang harus<br />

12 Robert Khuana, 2009, Corporate Social Responsibility (CSR) Antara Tuntutan dan Kenyataan,<br />

Makalah Diseminasi Rekomendasi Bagi Pembaharuan Hukum Di Indonesia, tanggal 16 November<br />

2009, hal.2<br />

8


dilaksanakan oleh sebuah perusahaan sesuai dengan bunyi ketentuan Pasal 74 UUPT<br />

No.40 Tahun 2007, yang menyatakan:<br />

(1). Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan<br />

dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan<br />

Lingkungan.<br />

(2). Tanggung jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)<br />

merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan<br />

sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan<br />

memperhatikan kepatutan dan kewajaran.<br />

(3). Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada<br />

ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.<br />

(4). Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan<br />

diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br />

Dari kedua undang-undang tersebut dapat diketahui bahwa tampaknya konsep<br />

CSR di Indonesia dinamakan dengan istilah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan<br />

(TJSP) atau Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan (TJSLP).<br />

Sesungguhnya substansi keberadaan CSR adalah dalam rangka memperkuat<br />

keberlanjutan perusahaan itu sendiri dengan jalan membangun kerjasama antar<br />

stakeholder yang difasilitasi perusahaan tersebut dengan menyusun program-program<br />

pengembangan masyarakat sekitarnya. Atau dalam pengertian kemampuan<br />

perusahaan untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya, komunitas dan<br />

stakeholder yang terkait dengannya, baik lokal, nasional, maupun global. Di<br />

Indonesia perkembangan CSR masih sangat dini, namun cukup pesat.<br />

Sebenarnya konsep CSR sudah tampak dalam budaya yang ada pada<br />

masyarakat, seperti budaya gotong royong yang merupakan nilai-nilai luhur dari<br />

bangsa Indonesia patut dipertahankan. Makna semangat gotong royong yang<br />

9


menjiwai setiap warga masyarakat terlebih pada masyarakat industri/modern patut<br />

dicermati.<br />

Di Pulau Bali terdapat filosofis pola keserasian dan keseimbangan hubungan<br />

yang harmonis yang dikenal dengan nama “Tri Hita Karana” (Tiga hal untuk<br />

mencapai kesejahteraan hidup). Konsep Tri Hita Karana mengandung nilai-nilai universal<br />

yang mengekspresikan pola-pola hubungan seimbang dan harmonis. Tampaknya konsep<br />

CSR dapat berjalan seiring dan seirama dengan unsur-unsur yang terkandung dalam<br />

Tri Hita Karana yang berintikan unsur-unsur nilai keseimbangan hubungan antara<br />

manusia dengan Tuhan (unsur Parahyangan), antara manusia dengan sesama (unsur<br />

Pawongan) dan antara manusia dengan alam lingkungannya (unsur Palemahan).<br />

Keyakinan masyarakat adat Bali terhadap alam dan lingkungan dilandaskan<br />

pada suatu keyakinan bahwa manusia dan alam semesta diciptakan oleh Ida Sang<br />

Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa dari unsur-unsur yang sama. Pandangan<br />

ini melihat kesamaan unsur pada manusia selaku „isi alam (mikrokosmos)‟ terdiri atas<br />

unsur-unsur Tri Hita Karana : jiwa (atma), tenaga (prana) dan badan wadah<br />

(anggasarira). Demikian pula pada alam selaku „wadah makrokosmos‟ terdiri atas<br />

unsur-unsur jiwa (parama atma), tenaga (prana : segenap himpunan tenaga alam) dan<br />

wujud fisik (angga-sarira). Pandangan kesamaan (kesetaraan) ini, manusia dengan<br />

isi alam lainnya atau lingkungan maupun manusia dengan alam, maka manusia<br />

mempunyai kewajiban untuk menghormati ataupun menjaga keharmonisan dengan<br />

landasan sikap dan perilaku „tat twam asi‟ dalam interaksinya. Kewajiban ini bagi<br />

masyarakat adat Bali lebih banyak diwujudkan dalam suatu perbuatan sebagai wujud<br />

10


terima kasih. 13<br />

Pada konsep CSR, dua unsur yang terkandung dalam Tri Hita Karana<br />

(Pawongan dan Palemahan) berkaitan erat dengan kewajiban perusahaan<br />

sebagaimana diamanatkan oleh pasal 74 UU No.40 Tahun 2007. Sumber inspirasi Tri<br />

Hita Karana berasal dari Pustaka Suci Agama Hindu yang dikenal dengan nama:<br />

Bhagawad Gita. Konsep CSR yang berkait erat dengan tanggungjawab sosial<br />

perusahaan yang dalam Tri Hita Karana bersentuhan dengan unsur pawongan,<br />

berfungsi sebagai subsistem sosial, sebagai tempat untuk mengadakan interaksi dalam<br />

hak dan kewajiban. Kemudian konsep CSR yang bersentuhan dengan unsur<br />

palemahan, berfungsi sebagai upaya menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan,<br />

baik terhadap kondisi lingkungan di dalam perusahaan maupun lingkungan di<br />

sekitarnya (di luar perusahaan). 14<br />

Perkembangan dunia usaha pada era global dewasa ini demikian pesatnya,<br />

sehingga semangat gotong royong itu tampaknya menjadi beban bagi pengusaha.<br />

Padahal CSR adalah komitmen yang berkesinambungan dari kalangan bisnis, untuk<br />

berprilaku secara etis dan memberi kontribusi bagi perkembangan ekonomi, seraya<br />

meningkatkan kualitas kehidupan dari karyawan dan keluarganya serta komunitas<br />

lokal dan masyarakat luas pada umumnya.<br />

Disisi lain anggota masyarakat merasakan bahwa konsep CSR yang diterapkan<br />

13 Chidir Ali,1997, Hukum Adat Bali dan Lombok dalam Yurisprudensi Indonesia, Jakarta :<br />

Pradnya Paramita, Hal 219.<br />

14 Wiryawan I Wayan, 2009, Makalah Tanggapan/komentar atas penyaji rekomendasi dari<br />

Mardjono Reksodiputro, tanggal 16 Nopember 2009, hal. 5<br />

11


oleh perusahaan dianggap sebagai hak bagi masyarakat yang bersangkutan, sehingga<br />

masyarakat tersebut meminta kepada perusahaan seolah-olah sebagai suatu kewajiban<br />

bagi perusahaan dan disisi lain merupakan hak bagi masyarakat, sehingga terdapat<br />

adanya disharmoni antara perusahaan dengan masyarakat.<br />

Dalam menerapkan CSR perlu adanya konsep yang dapat memadukan adanya<br />

aspek-aspek yang terdapat pada CSR dan unsur-unsur yang terdapat pada Tri Hita<br />

Karana. Aspek CSR yang dijiwai oleh budaya gotong royong pada satu sisi, dan pada<br />

sisi lainnya Tri Hita Karana juga di dasari oleh semangat gotong royong yang<br />

mencerminkan adanya pola keseimbangan dan keharmonisan hubungan. Dengan<br />

demikian dalam konteks ini diharapkan adanya satu konsep sehingga dapat<br />

mengintegrasikan kedua konsep tersebut ke dalam suatu konsep yang disebut dengan<br />

“integrated balance harmony”. Dengan konsep ini diharapkan adanya keterkaitan dan<br />

keterpaduan dari kedua konsep tersebut, yaitu konsep CSR dengan konsep Tri Hita<br />

Karana, sehingga budaya gotong royang masih relepan diterapkan dalam dunia bisnis,<br />

terlebih dengan situasi yang terjadi di era global seperti zaman sekarang ini.<br />

Berdasarkan latar belakang seperti yang telah diuraikan di atas maka disajikan<br />

satu karya tulis yang berupa tesis diberi judul: “ Pengembangan Tanggung Jawab<br />

Sosial Perseroan (Coorporate Social Responsibility) Dikaitkan Dengan Konsep<br />

Tri Hita Karana ( Studi Di Propinsi Bali ).<br />

1.2 Rumusan Masalah<br />

Permasalahan yang diajukan dalam penulisan ini adalah:<br />

12


1. Bagaimanakah model CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan sehingga<br />

terjadi harmonisasi dengan konsep Tri Hita Karana yang terdapat di Bali?<br />

2. Bagaimanakah bentuk tanggung jawab sosial yang diterapkan oleh perusahaan<br />

dalam pengimplementasiannya di masyarakat?<br />

1.3 Ruang Lingkup Masalah.<br />

Untuk menghindari pembahasan yang jauh menyimpang dari pokok<br />

permasalahan yang diajukan dalam penulisan tesis ini, maka dipandang perlu<br />

mengadakan pembatasan, sehingga dalam pembahasan selanjutnya bias terfokus pada<br />

pokok permasalahan yang diajukan sebelumnya.<br />

Dalam penulisan tesis ini ruang lingkup masalah yang ingin dikemukakan<br />

adalah sebatas pengaturan dan penerapan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007<br />

(UUPT) yaitu mengenai penerapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perseroan<br />

(CSR) sebagaimana diatur dalam Pasal 74 ayat (1) yang menyatakan Perseroan yang<br />

menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya<br />

alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.<br />

Ketentuan tentang CSR tersebut dihubungkan dengan konsep Tri Hita Karana<br />

yang mendasari kehidupan masyarakat Adat Bali. Bagaimana penerapan CSR<br />

perusahaan di Bali, terutama dari segi model, serta bentuk yang diterapkan , sehingga<br />

terjadi keharmonisan antara konsep CSR dengan konsep Tri Hita Karana di<br />

masyarakat.<br />

2.Tujuan Penelitian.<br />

2.1 Tujuan Umum<br />

13


Secara umum penelitian atas beberapa permasalahan yang telah dikemukakan<br />

diatas bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum atau untuk menambah khasanah<br />

pengetahuan dibidang Hukum Bisnis khususnya dalam bidang Hukum Organisasi<br />

Perusahaan yang mengatur tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang pada<br />

zaman sekarang di Indonesia perkembangannya sudah mulai mendapat perhatian dari<br />

perusahaan.<br />

2.2 Tujuan Khusus.<br />

Sehubungan dengan tujuan umum itu, maka tujuan khusus yang ingin dicapai<br />

lebih lanjut adalah:<br />

1. Untuk mengetahui model CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan yang ada<br />

di Bali terhadap daerah sekitar perusahaan.<br />

2. Untuk mengetahui bentuk Tanggung Jawab Sosial Perusahaan sehingga terjadi<br />

harmonisasi dengan konsep Tri Hita Karana, dan tercapai adanya Integrated<br />

Balance Harmony.<br />

3. Manfaat Penelitian<br />

Mengenai manfaat yang diharapkan melalui penelitian terhadap kedua pokok<br />

permasalahan diatas terdiri dari dua manfaat, yaitu:<br />

3.1 Manfaat Teoritis.<br />

1 Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan<br />

pemahaman tentang tanggung jawab sosial perusahaan dan lingkungan yang<br />

berkembang di Bali khususnya terhadap beberapa perusahaan yang berbentuk<br />

badan hukum Perseroan Terbatas, bagaimana model serta bentuk CSR dalam<br />

14


penerapannya didalam masyarakat.<br />

3.2 Manfaat Praktis.<br />

1. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan akan dapat menimbulkan<br />

kesadaran hukum masyarakat khususnya terhadap para pengusaha untuk tetap<br />

memperhatikan lingkungan sekitarnya sehingga terdapat keharmonisan antara<br />

perusahaan dengan masyarakat sekitarnya, disamping itu penerapan CSR juga<br />

merupakan tuntutan dunia Internasional dalam era perdagangan bebas<br />

2 Bagi Pemerintah, penelitian ini diharapkan bisa memberikan masukan untuk<br />

lebih mengintensifkan penerapan Tanggung Jawab Sosial Perseoan terutama<br />

di daerah yang termasuk kategori daerah miskin.<br />

4 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir.<br />

4.1 Landasan Teoritis<br />

Penerimaan kalangan perusahaan terhadap Corporate Social Responsibility<br />

laksana bola salju yang menggelinding semakin besar. Penerapan CSR di perusahaan<br />

menjadi semakin penting dengan munculnya konsep sustainable development yang<br />

dirumuskan oleh The Word Comission on Environment and Development , sehingga<br />

konsep CSR pun mengalami penyesuaian dan dikembangkan dalam bingkai<br />

sustainable development. Hal ini tercermin dari difinisi CSR yang diberikan oleh The<br />

Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) sebagai:”<br />

business’s contribution to sustainable development and that corporate behavior must<br />

not only ensure returns to shareholders, wavegs to employess, and product and<br />

15


service to consumers, but they respond to societal and environmental concerns and<br />

value” 15<br />

Kotler dan Lee memberikan pengertian CSR sebagai berikut:<br />

“ corporate social responsibility is a commitment to improve community well<br />

being through discretionary business practices and contribution of corporate<br />

resources”<br />

Kotler dan Lee berpendapat bahwa CSR semata-mata merupakan komitmen<br />

perusahaan secara sukarela untuk turut meningkatkan kesejahteraan komunitas dan<br />

bukan merupakan aktivitas bisnis yang diwajibkan oleh hukum dan perundang-<br />

undangan seperti kewajiban membayar pajak atau kepatuhan perusahaan terhadap<br />

undang-undang ketenagakerjaan. 16<br />

CSR adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam<br />

pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab<br />

social perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap<br />

aspek ekonomis, sosial, dan lingkungan. 17<br />

Di Indonesia, secara formal dalam Tata Hukum Indonesia konsep CSR telah<br />

diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,<br />

dalam Pasal 1 butir 3 menentukan bahwa Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan<br />

adalah komitmen Perseroan untuk berperan dalam pembangunan ekonomi<br />

15 Peter Van Den Bossche, 2008, The Law And Policy of the Word Trade Organization, Cambridge<br />

University Press, page 71<br />

16 Ibid, hal. 5<br />

17 Hendrik Budi Untung, 2008, Corporate Sosial Responsibility, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta,<br />

hal.1<br />

16


erkelalanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang<br />

bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat maupun masyarakat<br />

pada umumnya.<br />

Dengan mencermati bunyi Pasal 74 UUPT dan konsep CSR di Negara-negara<br />

maju, maka dapat dilihat terjadi adanya perubahan konsep CSR dari “tanggung jawab<br />

sosial” (social responsibility) menjadi “kewajiban hukum” (legal obligation). Dengan<br />

demikian bukan merupakan sesuatu hal yang aneh jika dalam penerapannya di<br />

Indonesia konsep CSR berubah dari social responsibility menjadi legal obligation,<br />

karena dengan konsep tersebut lebih dapat mengakomodir tidak hanya kepentingan<br />

perusahaan, akan tetapi juga seluruh masyarakat yang ada disekitarnya. 18 Dengan<br />

kata lain, meskipun secara moral adalah baik bahwa perusahaan maupun penanam<br />

modal mengejar keuntungan, bukan berarti perusahaan ataupun penanam modal<br />

dibenarkan mencapai keuntungan dengan mengorbankan kepentingan-kepentngan<br />

pihak lain yang terkait.<br />

Dengan adanya ketentuan CSR sebagai sebuah kewajiban dapat merubah<br />

pandangan maupun perilaku dari pelaku usaha, sehingga CSR tidak lagi dimaknai<br />

sekedar tuntutan moral an-sich, tetapi diyakinkan sebagai kewajiban perusahaan yang<br />

harus dilaksanakan. Kesadaran ini memberikan makna bahwa perusahaan bukan lagi<br />

sebagai entitas yang mementingkan diri sendiri, alienasi dan atau eksklusifitas dari<br />

lingkungan masyarakat, melainkan sebuah entitas usaha yang wajib melakukan<br />

adaptasi kultural dengan lingkungan sosial. Sehingga tidak berkelebihan jika ke<br />

18 Supasti Darmawan, I. Ketut, Op. Cit, hal. 5<br />

17


depan CSR harus dimaknai bukan lagi hanya sekedar responsibility karena bersifat<br />

voluntary, tetapi harus dilakukan sebagai mandatory dalam makna liability karena<br />

disertai dengan sanksi. Ketentuan Pasal 74 UU No.40 Tahun 2007 itulah yang akan<br />

diteliti pada tingkat implementasi (pelaksanaannya) di lapangan oleh para pelaku<br />

usaha khususnnya yang berbadan hukum Perseroan Terbatas.<br />

Seperti diketahui bahwa ilmu hukum dapat dikaji melalui studi “law in books<br />

dan studi law in action”, sebagaimana disimpulkan dari uraian Roman Tomasic<br />

berikut: the focues of the sociology of law however it is defined, need to be seen as<br />

the study of “the law in action” rather than the traditional lawyer’s concern with<br />

“the law in book” 19<br />

Dalam membahas permasalahan sebagaimana yang telah diuraikan, maka akan<br />

digunakan beberapa teori-teori, yang pada hakekatnya adalah seperangkat konstruksi<br />

(konsep), batasan dan proposisi yang menyajikan pandangan sistematis tentang<br />

fenomena dengan merinci hubungan antar variable, dengan tujuan menjelaskan dan<br />

memprediksikan gejala itu. Teori juga berarti serangkaian asumsi, konsep, difinisi<br />

dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan<br />

cara merumuskan hubungan antar konsep. 20 Oleh sebab itu, dalam bentuknya yang<br />

paling sederhana suatu teori merupakan hubungan antara dua variable atau lebih yang<br />

19 Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Penerbit PT Raja<br />

Grafindo Persada, Jakarta, hal.197<br />

20 Burhan Asshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal.19<br />

18


telah diuji kebenarannya. 21<br />

Dalam penulisan ini digunakan beberapa teori yang ada hubungannya dengan<br />

permasalahan yang diajukan. Teori Talcott Parsons tentang Hukum itu Mekanisme<br />

Integrasi, kemudian teori hukum keseimbangan (harmoni) yang diajukan oleh Roscoe<br />

Pound yang dilanjutkan dengan teori tentang law as a tool social engineering.<br />

Kemudian teori dari Von Savigny bahwa hukum itu Jiwa Rakyat (volkgeist).<br />

Menurut Roscou Pound hukum itu keseimbangan kepentingan, yang cendrung<br />

menghindari kontruksi-kontruksi teori yang terlalu abstrak. Hukum tidak boleh<br />

dibiarkan mengawang dalam konsep-konsep logis analitis ataupun tenggelam dalam<br />

ungkapan-ungkapan teknis yuridis yang terlampau eksklusif. Sebaliknya hukum itu<br />

harus didaratkan di dunia nyata, yaitu dunia sosial yang penuh sesak dengan<br />

kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang saling bersaing.<br />

Pada dasarnya kondisi awal struktur suatu masyarakat selalu berada dalam<br />

kondisi yang kurang imbang. Ada yang terlalu dominan, dan ada pula yang<br />

terpinggirkan. Untuk menciptakan dunia yang beradab perlu ditata ulang<br />

ketimpangan-ketimpangan struktural tersebut, dengan keseimbangan yang<br />

proporsional. Hukum dengan tipe yang abstrak tidak mampu untuk merubah keadaan<br />

paling-paling hanya mengukuhkan keadaan. Oleh karena itu perlu langkah progresif<br />

dalam memperbaharui (merekayasa) masyarakat (law is a tool of social engineering)<br />

Menyikapi kondisi yang ada, bahwa hukum sebagai produk kebijakan politik tidak<br />

hal.30<br />

21 Soerjono Soekanto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,<br />

19


selamanya merupakan conditio sine qua non bagi tujuan yang hendak dicapai. Hal<br />

ini menunjukkan hukum mempunyai batas-batas kemampuan tertentu untuk<br />

mengakomodasi nilai-nilai yang tumbuh dan hidup dalam komunitas masyarakat,<br />

oleh karena itu Roscoe Pound menyatakan bahwa tugas hukum yang utama adalah<br />

”social engineering”.<br />

Dalam konsep Social engenering Pound mengharapkan pada para praktisi<br />

hukum (khususnya pengacara) hendaknya mampu untuk mencampur kekakuan<br />

hukum untuk menyesuaikan pada tujuannya. Dalam proses penafsirannya, seorang<br />

pengacara harus membuat penyesuaian-penyesuaian dalam hukum agar sesuai dengan<br />

kebutuhan masyarakat. Tujuan social engenering adalah untuk mengupayakan<br />

pengacara berfikir berdasarkan pada perubahan atau penyesuaian hukum.<br />

“A Lawyer should be able to mould the clay of law to duit the porpose in hand. In<br />

the process of interpretation, a lawyer has to make adjustments in the law to suit the<br />

need of the society. The purpose of social engineering is to enable the lawyer to<br />

think in terms of changing or moulding the law. 22<br />

Fokus utama Pound dengan konsep social engineering adalah interest<br />

balancing, dan karenanya yang terpenting adalah tujuan akhir dari hukum yang<br />

diaplikasikan dan mengarahkan masyarakat ke arah yang lebih maju. Hukum dan<br />

masyarakat terdapat hubungan yang fungsional. 23 Dalam doktrin ini di sebutkan<br />

bahwa hukum harus dikembangkan sesuai dengan perubahan-perubahan nilai sosial.<br />

Untuk itu sebaiknya diadakan rumusan-rumusan kepentingan yang ada dalam<br />

22 Hari Chand, 1994, Modern Jurisprudence, Kuala Lumpur, Percetakan Turbo, hal. 198<br />

23 Bernard L. Tanya, dkk, 2010, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan<br />

Generasi, Genta Publising, Yogyakarta, hal. 161<br />

20


masyarakat yaitu kepentingan pribadi, masyarakat dan umum.24<br />

Kebebasan seseorang merupakan kepentingan individu, tetapi juga kepentingan<br />

sosial karena masyarakat juga tertarik memberikan kebebasan bagi suatu individu.<br />

Pound ingin melihat setiap kepentingan dari sudut pandang sosial. Dalam kasus<br />

konflik, kita melihat pada konflik kepentingan dari sudut pandang individu, negara<br />

dan masyarakat. Karenanya Pound menyatakan harus dapat menyeimbangkan<br />

masyarakat.<br />

Personal liberty is an individual interest but it is also a social interest because<br />

society is also interested in giving liberty to the individual. In other woeds, Pound<br />

wants us to look at every interest from the point of view of the society. In case of<br />

conflict, we look at the conflicting interest from the pointof view of the individual, of<br />

the state and of the society. Thus, Pound says, we can balance them. 25<br />

Dengan demikian hukum bagi Roscoe Pound merupakan alat untuk<br />

membangun masyarakat (law is a tool social engineering), sehingga hukum itu<br />

mengarahkan masyarakat kearah yang lebih maju. 26<br />

Teori Talcott Parsons tentang Hukum itu Mekanisme Integrasi, yang<br />

menyatakan bahwa hukum sebagai salah satu sub sistem dalam sistem sosial yang<br />

lebih besar. Di samping hukum terdapat sub sistem lain yang memiliki logika dan<br />

fungsi yang berbeda-beda. Sub sistem tersebut adalah budaya, politik dan ekonomi.<br />

Setiap sub sistem ini memiliki logika, mekanisme dan tujuan yang berbeda. Sub<br />

sistem budaya cendrung konservatif dan serta merta mempertahankan pola-pola ideal,<br />

24 Mas Soebagio dan Slamet Supriatna, 1992, Dasar-Dasar Filsafat, Suatu Pengantar ke<br />

Filsafat Hukum, Akademika Presindo, Jakarta, hal.. 68.<br />

25 Hari Chand, Op. Cit. hal. 198.<br />

26 Darji Darmodiharjo, Sidarta, 2002, Pokok-Pokok Fiksafat Hukum, Apa dan Bagaimana<br />

Filsafat Hukum Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.131.<br />

21


Pada sisi lain sub sistem ekonomi sangat dinamis dan cenderung melahirkan<br />

terobosan-terobosan baru yang bisa saja “asing” dan “liar” dari ukuran pola-pola ideal<br />

budaya, sedangkan sub sistem politik senantiasa mencari berbagai cara untuk<br />

mencapai tujuan yang boleh jadi cara-cara yang dipakai tidak sesuai dengan pola<br />

budaya dan realitas sumberdaya materiil itu.<br />

Keadaan yang rentan benturan tersebut harus ditangani oleh hukum lewat<br />

fungsi pengintegrasiannya agar setiap sub sistem berjalan serasi dan sinergis demi<br />

lestarinya sistem. Parsons menempatkan hukum sebagai unsur utama integrasi sistem.<br />

Teori Von Savigny menyatakan Hukum itu Jiwa Rakyat (volkgeist). Menurut<br />

Savigny, terdapat hubungan organik antara hukum dengan watak atau karakter suatu<br />

bangsa. Hukum hanyalah cerminan dari volkgeist. Oleh karena itu hukum adat yang<br />

tumbuh dan berkembang dalam rahim volkgeist, harus dipandang sebagai hukum<br />

kehidupan yang sejati. Hukum sejati itu tidak dibuat, tetapi harus ditemukan.<br />

Kemudian dalam Teori Tiga Komponen Sistem Hukum yang diajukan oleh<br />

L.M. Friedman mengatakan bahwa bekerjanya system hukum itu merupakan suatu<br />

proses interaksi tiga komponen system hukum, yaitu berinteraksinya komponen<br />

struktural, substansial dan komponen kultural.<br />

Tujuan sistem dapat dicapai apabila ketiga komponen itu bekerja dengan serasi<br />

dan saling mendukung. Kelemahan pada salah satu komponen saja akan berakibat<br />

sistem hukum itu tidak berjalan dengan semestinya. Oleh Friedman komponen<br />

struktural itu dirumuskan sebagai kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum<br />

22


itu dengan berbagai macam fungsinya dalam rangka mendukung bekerjanya sistem<br />

hukum itu.<br />

Komponen substansial adalah merupakan segi out put, dari segi hukum yang<br />

dapat berupa norma-norma hukum baik berupa doktrin-doktrin, keputusan-keputusan<br />

sejauh norma itu dipakai baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur.<br />

Komponen substansial tidak terikat pada bentuk formalitas tertentu, dalam arti dapat<br />

berbentuk undang-undang ataukah kebiasaan-kebiasaan yang belum terekplisitkan<br />

dalam bentuk yang formal, yang dipentingkan disini adalah apakah ia digunakan di<br />

dalam masyarakat.<br />

Komponen kultural adalah hal-hal yang menyangkut sikap-sikap dan nilai-nilai<br />

yang berhubungan dengan hukum dan lembaga-lembaganya, baik secara positif<br />

maupun negatif.<br />

“The term legal cultural had been used to suggest the whole range ideas which<br />

exists in particular societies and varies from one society to another about law and<br />

its place in the social order.These ideas inform legal practices citizen’s attitudes to<br />

law and their willingness or unwillingness to litigate, anr the relative significance of<br />

law in informing wider currents of thought and behavior beyond the specifis<br />

practices and forms of discourse associated with legal institutions.” 27<br />

Dengan dasar teori ketiga komponen sistem hukum dari L.W. Friedman ini<br />

akan dianalisis tentang bekerjanya sistem hukum UU No.40 Tahun 2007 khususnya<br />

Pasal 74. Dari segi struktural bagaimana berfungsinya Lembaga Pemerintah yang<br />

mengawasi pelaksanaan ketentuan Pasal 74 UUPT Tahun 2004. Begitu pula aspek<br />

substansial yang menyangkut peraturan hukum itu sendiri (UU PT khususnya Pasal<br />

27 Friedman, Lawrence.M, 1969, The Legal System: A Social Science Perspective, New York,<br />

Russel Sage Foundation, page. 37<br />

23


74). Yang tidak kalah pentingnya juga dari aspek kultural mengenai perilaku<br />

masyarakat dengan konsep pemikiran yang dilandasi dengan konsep Tri Hita Karana<br />

dalam menerima hasil dari undang-undang tersebut, khususnya perilaku masyarakat<br />

terhadap keberadaan perusahaan yang bersangkutan, sehingga terjadi adanya<br />

pengembangan konsep CSR yang diberikan oleh perusahaan ke dalam konsep Tri<br />

Hita Karana , yang sama-sama menonjolkan unsur moral.<br />

Teori tanggung jawab sosial lahir karena tuntutan dari tanggung jawab itu<br />

sendiri. Tanggung jawab sosial berada pada ranah moral, sehingga posisinya tidak<br />

sama dengan hukum. Moral dalam tanggung jawab sosial lebih mengarah pada<br />

tindakan lahiriah yang didasarkan sepenuhnya dari sikap bathiniah, sikap inilah yang<br />

dikenal dengan “moralitas”yaitu sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa<br />

pamerih. Sedangkan tanggung jawab hukum lebih menekankan pada kesesuaian sikap<br />

lahiriah dengan aturan, meskipun tindakan tersebut secara obyektif tidak salah,<br />

barangkali baik dan sesuai dengan pandangan moral, hukum, dan nilai-nilai budaya<br />

masyarakat. Namun demikian kesesuaian saja tidak bisa dijadikan dasar untuk<br />

menarik suatu kesimpulan karena tidak tahu motivasi atau maksud yang<br />

mendasarinya.<br />

Bila teori tanggung jawab sosial dikaitkan dengan aktivitas perusahaan, maka<br />

dapat dikatakan bahwa tanggung jawab sosial lebih menekankan pada kepedulian<br />

perusahaan terhadap kepentingan stakeholders dalam arti luas dari pada sekedar<br />

kepentingan perusahaan belaka. Dengan demikian konsep tanggung jawab sosial<br />

lebih menekankan pada tanggung jawab perusahaan atas tindakan dan kegiatan<br />

24


usahanya yang berdampak pada orang-orang tertentu, masyarakat, dan lingkungan<br />

dimana perusahaan tersebut melakukan aktivitas usahanya. Secara negatif hal ini<br />

bermakna bahwa perusahaan harus menjalankan aktivitas usahanya sedemikian rupa,<br />

sehingga tidak berdampak negatif pada pihak-pihak tertentu dalam masyarakat.<br />

Sedangkan secara positif hal ini mengandung makna bahwa perusahaan harus<br />

menjalankan kegiatannya sedemikian rupa, sehingga dapat mewujudkan masyarakat<br />

yang lebih baik dan sejahtera 28 .<br />

Stakeholder theory yang di motori oleh Kenneth Andrews berpandangan bahwa<br />

keberadaan perusahaan bukan semata-mata bertujuan untuk melayani kepentingan<br />

pemegang saham (shareholders) melainkan juga melayani kepentingan pihak-pihak<br />

lainnya (stakeholders) termasuk masyarakat di dalamnya. Dengan demikian cukup<br />

jelas bahwa masyarakat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perusahaan dan<br />

begitu juga sebaliknya, sehingga perlu adanya hubungan yang saling menguntungkan<br />

diantara kedua belah pihak. 29<br />

Istilah stakeholders saat ini sudah sangat populer dan telah digunakan oleh<br />

banyak pihak dalam hubungannya dengan berbagai konteks disiplin ilmu, misalnya<br />

manajemen bisnis, ilmu komunikasi, pengelolaan sumber daya alam, sosiologi,<br />

hukum dan sebagainya. Lembaga-lembaga publik pun juga telah menggunakan secara<br />

luas istilah stakeholders ini ke dalam proses-proses pengambilan dan implementasi<br />

28 Isa Wahyudi, Busyra, Op. Cit. hal.18<br />

29 Coelho, Philip R.P, Mc. Clure, James E.& Spry, John A, 2003, The Social Responsibility of<br />

Corporate Management, A Classical Critique, Mid America Journal of Business, Vo. 18. No.1 Hal. 16<br />

dalam Isa Wahyudi , Op. Cit. Hal.69<br />

25


keputusannya. Secara sederhana stakeholders sering dinyatakan sebagai para pihak,<br />

lintas pelaku, atau pihak-pihak yang terkait dengan suatu isu, kepentingan dan atau<br />

rencana tertentu.<br />

Stakeholders mempunyai pengertian sebagai sebagian anggota komuniti, atau<br />

kelompok individu, masyarakat (tidak semua) yang berasal dari wilayah korporat<br />

tersebut berdiri, wilayah negara dan bisa juga negara lain (global) yang mempunyai<br />

pengaruh terhadap jalannya suatu korporat. Kelompok individu tersebut juga<br />

mempunyai suatu kepentingan antara satu dengan lainnya, atau dengan kata lain<br />

pihak-pihak yang memiliki kepentingan dan mempengaruhi terhadap jalannya suatu<br />

korporat. 30<br />

Dalam dunia usaha yang global dan sangat kompetitif sekarang ini, banyak<br />

pihak yang dapat menjadi stakeholders perusahaan. Dari sudut pandang perusahaan<br />

ada beberapa orang atau sekelompok orang yang secara pasti dapat digolongkan<br />

sebagai stakeholders perusahaan, yaitu mereka yang memiliki legitimasi, kepentingan<br />

langsung, atau hak dalam kegiatan perusahaan. 31<br />

David Wheeler dan Maria Sillanpaa dalam bukunya “The Stakeholder<br />

Corporation: A Blueprint for Maximizing Stakeholder Value”, menggolongkan<br />

stakeholders dalam dua kategori yaitu:<br />

a. Stakeholders primer meliputi pemegang saham, investor, karyawan, pelanggan,<br />

30 Arif Budimanta et. al.,2008, Corporate Social Responsibility: Alternatif bagi Pembangunan<br />

Indonesia, Jakarta: ICSD, hal. 27.<br />

31 Gunawan Widjaja dan Yeremia Ardi Pratama, 2008, Risiko Hukum & Bisnis Perusahaan<br />

Tanpa CSR, Jakarta, Penerbit Forum Sahabat, hal. 48.<br />

26


komunitas lokal, pemasok dan rekanan bisnis. Stakeholders primer memiliki<br />

kepentingan langsung dalam sebuah perusahaan dan sangat mempengaruhi sukses<br />

atau tidaknya perusahaan tersebut. Oleh karena itu, stakeholders primer ini sangat<br />

penting bagi perusahaan.<br />

b. Stakeholders sekunder meliputi pemerintah, institusi sipil, LSM, pers, pesaing<br />

usaha, asosiasi pengusaha dan masyarakat pada umumnya. Stakeholders sekunder<br />

juga dapat menjadi sangat berpengaruh, terutama dalam hal yang menyangkut<br />

reputasi perusahaan dan dukungan masyarakat terhadap perusahaan, walaupun<br />

sebenarnya mereka tidak memiliki kepentingan langsung dalam kegiatan inti<br />

perusahaan.<br />

Teori Triple Bottom Line<br />

Teori triple bottom line untuk menganalisa konsep-konsep serta model yang<br />

melatarbelakangi perusahaan untuk melakukan kegiatan tanggung jawab sosial<br />

(CSR). Teori ini dikemukakan oleh John Elkington pada tahun 1997 melalui bukunya<br />

”Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business”.<br />

Elkington mengembangkan teori triple bottom line dalam istilah economic prosperity,<br />

environmental quality dan social justice. Elkington memberi pandangan bahwa jika<br />

sebuah perusahaan ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka perusahaan<br />

tersebut harus memperhatikan “3P”. Selain mengejar keuntungan (profit), perusahaan<br />

juga harus memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat<br />

(people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan<br />

27


(planet). 32 Perusahaan dalam kegiatan usahanya dengan mengharmonisasikan aspek<br />

ekonomi, lingkungan dan masyarakat akan meningkatkan nilai dari perusahaan itu<br />

sendiri.<br />

4.2 Kerangka Berpikir.<br />

TANGGUNG<br />

JAWAB SOSIAL<br />

PERSEROAN<br />

(CSR)<br />

UU 40 Th. 2007<br />

KONSEP<br />

TRI HITA KARANA<br />

Penjelasan.<br />

Penjelasan:<br />

MENJAGA<br />

KELANGSUNGAN<br />

PEMBANGUNAN<br />

PEREKONOMIAN<br />

RAKYAT<br />

MEJAGA<br />

KELESTARIAN<br />

LINGKUNGAN<br />

MENINGKATKAN<br />

KESEJAHTERAAN<br />

MASYARAKAT<br />

HUBUNGAN<br />

MANUSIA DENGAN<br />

TUHAN<br />

(PARAHYANGAN)<br />

HUBUNGAN<br />

MANUSIA DENGAN<br />

MANUSIA<br />

(PAWONGAN)<br />

HUBUNGAN<br />

MANUSIA DENGAN<br />

LINGKUNGAN<br />

(PALEMAHAN)<br />

Konsep CSR pada intinya adalah menjaga kelangsungan pembangunan<br />

perekonomian Indonesia untuk mewujudkan suatu sistem perekonomian yang<br />

berpihak kepada rakyat dan untuk menjaga keseimbangan dunia usaha agar pelaku<br />

usaha dapat bersaing dengan sehat, dan adil tanpa menimbulkan kerugian bagi rakyat<br />

32 Gunawan Widjaya dan Yeremia Ardi Pratama,Op. Cit. hal. 33.<br />

TEORI–<br />

TEORI<br />

TALCOTT<br />

PARSONS<br />

TEORI<br />

ROSCOU<br />

POUND<br />

VON<br />

SAVIGNY<br />

STAKE<br />

HOLDER<br />

THEORY<br />

TRIPLE<br />

BOTTEM<br />

THEORY<br />

L.M.FRIE<br />

DMAN<br />

28<br />

INTEGRATED<br />

BALANCE<br />

HARMONY


dan kerusakan lingkungan sekitarnya.<br />

CSR sejatinya mempunyai tujuan yang sangat penting di dalam menjaga<br />

pembangunan perekonomian berkelanjutan. Pada prinsipnya CSR adalah suatu upaya<br />

sungguh-sungguh dari entitas bisnis meminimumkan dampak negatif dan<br />

memaksimumkan dampak positif operasinya terhadap seluruh pemangku kepentingan<br />

dalam ranah ekonomi, sosial dan lingkungan untuk mencapai pembangunan<br />

berkelanjutan. Disamping itu penerapan CSR bertujuan agar perusahaan dapat<br />

memberi kontribusi untuk kemajuan atau peningkatan kesejahteraan masyarakat<br />

setempat. Pelaku usaha melalui berbagai badan usaha yang berbadan hukum<br />

Perseroan Terbatas, diharapkan bersama-sama dengan Pemerintah mewujudkan<br />

kesejahteraan bagi masyarakat. Oleh karena itu ketentuan tentang CSR ini dituangkan<br />

dalam UU Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007, khususnya dalam Pasal 1 butir 3<br />

dan Pasal 74.<br />

Di Pulau Bali ada filosofi yang diikuti oleh masyarakat (Hindu) dalam<br />

menjalani kehidupannya agar bisa hidup selaras baik dengan Tuhan, sesama manusia,<br />

maupun alam lingkungannya, yang dikenal dengan konsep TRI Hita Karana.<br />

Dari segi terminologi Konsep Tri Hita Karana ini terdapat dalam Pustaka Suci<br />

agama Hindu yaitu dalam Bhagawadgita, sloka III.10 yang bunyi slokanya sebagai<br />

berikut:<br />

Sahayajnah prajah srishtva<br />

Puro vacha prajapatih<br />

Anena prasavishya dhvam<br />

Esha vo’stv ishta kamadhuk<br />

29


artinya: Dahulu kala Prajapati mencipta manusia bersama bakti persembahannya dan<br />

berkata: dengan ini engkau akan berkembang biak dan biarlah ini jadi sapi<br />

perahanmu. 33<br />

Dari segi etimologi Tri Hita Karana berasal dari kata Tri yang berarti tiga, Hita<br />

artinya baik, senang, gembira, lestari, dan Karana berarti sebab-musabab, atau<br />

sumbernya sebab. Dengan demikian Tri Hita Karana berarti tiga (3) buah unsur yang<br />

merupakan sumbernya sebab yang memungkinkan timbulnya kebaikan. 34 Tampaknya<br />

konsep CSR itu dapat berjalan seiring dan seirama dengan unsur-unsur yang<br />

terkandung di dalam Tri Hita Karana yang berintikan unsur-unsur nilai keseimbangan<br />

hubungan antara manusia dengan Tuhan (unsur Parahyangan), antara manusia dengan<br />

sesama (unsur Pawongan) dan antara manusia dengan alam lingkungannya (unsur<br />

Palemahan).<br />

Pada konsep CSR, dua unsur yang terkandung dalam Tri Hita Karana<br />

(Pawongan dan Palemahan) menjadi fokus dalam kajian ini dengan tidak<br />

mengabaikan unsur pertamanya yakni Parahyangan. Kedua unsur tersebut berkait erat<br />

dengan apa yang menjadi kewajiban perusahaan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal<br />

74 UU No. 40 Tahun 2007. Filosofi Tri Hita Karana mengandung nilai-nilai universal<br />

yang mengekspresikan pola-pola hubungan seimbang dan harmonis. Implementasi<br />

dari konsep Tri Hita Karana di Bali terdapat pada beberapa Peraturan Daerah Bali<br />

dipergunakan sebagai landasan filosofisnya, misalnya dalam Peraturan Daerah<br />

hal. 6<br />

33 Pudja.G, 1982, Bhagawadgita, Jakarta, Penerbit Maya Sari, hal.76<br />

34 Suasthawa I. Made, I Wayan Koti Cantika, 1991, Filsafat Adat Bali, Penerbit Upada Sastra,<br />

30


(Perda) No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali<br />

(RTRWP), Perda tentang Pariwisata Budaya Bali dan perda yang lainnya.<br />

Konsep CSR yang berkaitan erat dengan tanggungjawab sosial perusahaan yang<br />

dalam Tri Hita Karana bersentuhan dengan unsur pawongan, berfungsi sebagai<br />

subsistem sosial, sebagai tempat untuk mengadakan interaksi dalam hak dan<br />

kewajiban. Konsep CSR yang bersentuhan dengan unsur palemahan, berfungsi<br />

sebagai upaya menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan.<br />

Dalam pembahasan tesis ini akan dibahas bagaimana konsep yang harus<br />

diterapkan sehingga dapat memadukan adanya aspek-aspek yang terdapat pada CSR<br />

dan unsur-unsur yang terdapat pada Tri Hita Karana. Aspek CSR yang dijiwai oleh<br />

budaya gotong royong pada satu sisi, dan pada sisi yang lainnya Tri Hita Karana<br />

mencerminkan adanya pola keseimbangan dan keharmonisan hubungan. Dengan<br />

demikian dalam penulisan ini diusulkan untuk menerapkan satu konsep yang disebut<br />

dengan Konsep: “integrated balance harmony” Dengan konsep ini diharapkan<br />

adanya keterkaitan dan keterpaduan diantara kedua konsep tersebut, yaitu konsep<br />

CSR dengan konsep Tri Hita Karana.<br />

5. Metode Penelitian<br />

Penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji<br />

kebenaran suatu pengetahuan yang dilakukan secara metodologi dan sistematis.<br />

Metodologi berarti menggunakan metode-metode yang bersifat ilmiah sedangkan<br />

31


sistematis berarti sesuai pedoman/aturan penelitian yang berlaku untuk karya<br />

ilmiah. 35<br />

Penelitian hukum merupakan penomena yang relatif baru. Penelitian hukum<br />

menjadi penting sejak sejumlah jurusan bidang hukum semakin intensif dan<br />

bermunculan karier akademis yang baru telah menggantikan praktisi-praktisi yang<br />

awalnya berfikir tidak mungkin memasuki profesi tersebut.<br />

“Legal research is a relatively new phenomenon. It has become more important as<br />

the number of University Law Schools has inteased, and a new breed of career<br />

academic has replaced the preactitioners who previoualy taught those entering the<br />

profession”. 36<br />

Oleh karena itu dalam mengadakan penelitian terlebih dahulu harus dipahami<br />

tentang metode. Metode adalah alat untuk mencari jawaban dari suatu<br />

permasalahan,oleh karena itu suatu metode atau alat harus jelas dahulu apa yang<br />

dicari. 37 Agar dapat dipercaya kebenarannya suatu penelitian ilmiah harus disusun<br />

dengan menggunakan suatu metode yang tepat. Metode merupakan cara kerja atau<br />

tata kerja untuk dapat memahami obyek menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang<br />

bersangkutan.<br />

5.1 Jenis Penelitian<br />

Soetandyo Wignyosoebroto mengemukakan ada lima konsep hukum,<br />

sebagimana yang dikutip oleh Setiono, konsep hukum tersebut yaitu:<br />

1. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan<br />

35 Sutrisno Hadi, 2002, Metodologi Research, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, hal. 4<br />

36 Terry Hutchinson, 2002, Researching and Writing In Law , Law Book CO Pyrmon NSW,<br />

Page.7<br />

37 Setiono, 2001, Pemahaman Terhadap Metode Penelitian Hukum, Penerbit Mandar Maju, hal. 1<br />

32


erlaku universal.<br />

2. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan<br />

3. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim in concreto dan tersistematis<br />

sebagai judge made law.<br />

4. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai<br />

variabel sosial yang empirik.<br />

5. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial<br />

sebagaimana tampak dalam interaksi antar mereka. 38<br />

Penelitian dalam penulisan tesis ini dilakukan dengan mengikuti pendapat<br />

Soetandyo Wignyosoebroto tentang 5 (lima) konsep hukum yang berlaku pada saat<br />

ini dan sesuai dengan konsep hukum keempat yaitu hukum adalah pola-pola perilaku<br />

sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial yang empirik.<br />

Ada dua jenis penelitian yang dikemukaan oleh Soerjono Soekanto,yaitu<br />

penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris atau sosiologis. 39<br />

Penelitian mengenai Pengembangan Coorporate Social Responsibility Dalam Kaitan<br />

Dengan Konsep Tri Hita Karana ( Studi Di Propinsi Bali ) adalah penelitian hukum<br />

emperis dengan jenis yuridis sosiologis yang berbasis pada ilmu hukum normatif<br />

(peraturan perundangan) menggunakan data sekunder sebagai data awal untuk<br />

kemudian dilanjutkan dengan data lapangan. Ini berarti penelitian yuridis tetap<br />

38 Soetandyo Wignyosoebroto dalam Setiono, 2001, Op. Cit. hal. 3<br />

39 Soerjono Soekanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali,<br />

Jakarta, h.al 147.<br />

33


ertumpu premis normative dimana difinisi operasionalnya dapat diambil dari<br />

peraturan perundang-undangan, tetapi bukan mengkaji sistem norma yang ada dalam<br />

suatu peraturan, melainkan mengamati reaksi dan interaksi yang terjadi ketika norma<br />

tersebut bekerja di masyarakat (law in action). 40 Dalam konsep emperis hukum<br />

adalah fakta yang dapat dikonstatasi atau diamati dan bebas nilai. 41<br />

5.2 Sifat Penelitian.<br />

Penelitian ini bersifat deskriptif yang bertujuan menggambarkan secara tepat<br />

sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk<br />

menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan<br />

antara gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.<br />

5.3 Jenis dan Sumber Data.<br />

5.3.1 Jenis Data.<br />

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, data sekunder, dan data<br />

tersier. Data primer adalah data yang diperoleh dari penelitian di lapangan, sedangkan<br />

data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan hukum primer yang bersumber<br />

dari peraturan perundang-undangan dan dokumen hukum, dan data yang bersumber<br />

pada bahan hukum sekunder yang terdiri dari buku-buku ilmiah dan tulisan-tulisan<br />

hukum. 42 . Bahan Hukum Tersier menurut Peter Mahmud Marzuki adalah berupa<br />

40 Mukti Fajar ND, Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Emperis,<br />

Yogyakarta, Penerbit Pustaka Belajar, hal.47<br />

41 Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung, Penerbit Mandar<br />

Maju, hal. 81.<br />

42 Abdulkadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,<br />

hal.202.<br />

34


ahan non hukum, yang berupa literarur yang berasal dari non hukum, misalnya<br />

literatur dari ekonomi yang membahas tentang CSR. 43<br />

5.3.2 Sumber Data<br />

1) Data primer adalah data yang diperoleh peneliti dari tangan pertama, dari<br />

sumber asalnya yang pertama belum diolah dan diuraikan oleh orang lain. 44<br />

2) Data sekunder, adalah data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan<br />

(library research). Data sekunder ini adalah data yang mempunyai<br />

kekuatan kedalam yang terdiri dari:<br />

a Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat,<br />

yaitu:<br />

1 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.<br />

2 UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup<br />

3 UU No.07 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air<br />

4 UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.<br />

5 Perda Prop. Bali No.16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah<br />

Provinsi Bali Tahun 2009-2029<br />

b Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan<br />

mengenai bahan hukum primer, yaitu yang meliputi buku-buku literatur, artikel,<br />

makalah, yang berhubungan dengan tanggung jawab social perusahaan atau<br />

tanggung jawab lingkungan perusahaan.<br />

43 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta, Penerbit Kencana, hal. 143<br />

44 Hilman Hadikusuma. H, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum,<br />

Mandar Maju, Bandung, hal.65<br />

35


c Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk maupun<br />

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu<br />

berupa Kamus Hukum dan Kamus Bahasa Indonesia.<br />

5.4 Teknik Pengumpulan Data.<br />

5.4.1 Teknik Pengumpulan Data Sekunder.<br />

Dilakukan dengan cara studi kepustakaan (dokumentasi) yaitu serangkaian<br />

usaha untuk memperoleh data dengan jalan membaca, menelaah, mengklarifikasi,<br />

mengidentifikasi, dan dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahan hukum yang<br />

berupa peraturan perundang-undangan serta buku-buku literatur yang ada<br />

relevansinya dengan permasalahan penelitian. Hasil dari kegiatan pengkajian tersebut<br />

kemudian dibuat ringkasan secara sistematis sebagai inti sari hasil pengkajian studi<br />

dokumen. Tujuan dari teknik dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsi-<br />

konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang berhubungan<br />

dengan permasalahan penelitian.<br />

5.4.2 Teknik Pengumpulan Data Primer.<br />

Dilakukan dengan cara studi lapangan yaitu dengan cara mengadakan<br />

wawancara (interview) dengan para responden dan informan. Interview adalah<br />

mengajukan pertanyaan-pertanyaan meminta keterangan dan penjelasan-penjelasan<br />

sambil menilai jawaban-jawabannya. Didalam mendapatkan data yang diperlukan<br />

digunakan metode wawancara bebas terpimpin yang bersifat komprehensif<br />

(mendalam) dengan menggunakan alat tulis.<br />

36


5.5 Lokasi Penelitian dan Teknik Pengambilan Sampel.<br />

5.5.1 Lokasi Penelitian.<br />

Lokasi penelitian dalam kaitannya dengan penulisan tesis ini adalah di beberapa<br />

kabupaten yang ada di Pulau Bali. Pemilihan lokasi penelitian ini di dasarkan atas<br />

pertimbangan bahwa Pulau Bali pada saat sekarang perkembangan perdagangan dan<br />

industrinya sangat pesat, yang salah satunya ditandai dengan semakin banyak<br />

tumbuhnya perusahaan-perusahaan yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas,<br />

baik yang ada di Kota Denpasar atau yang ada di kabupaten-kabupaten. Di beberapa<br />

kota di Bali banyak ada perusahaan –perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas<br />

yang mulai beroperasi jauh sebelum lahirnya UU No. 40 Tahun 2007 tentang<br />

Perseroan Terbatas. Adapun lokasi penelitian sebagaimana dimaksud adalah di Kota<br />

Denpasar, di Kantor PT Federal International Finance yang berlokasi di Jalan Gatot<br />

Subroto 18 B Denpasar, dan beberapa perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas<br />

yang ada di kabupaten di Bali.<br />

5.5.2. Teknik Pengambilan Sampel.<br />

Pengambilan sampel merupakan suatu proses dalam memilih suatu bagian<br />

yang representative dari suatu populasi. Populasi adalah keseluruhan atau himpunan<br />

obyek dengan karakter yang sama. Di dalam Encyclopedia of Educational Evaluation<br />

dijelaskan: Á population is a set (or collection) of all elements possessing one or<br />

more attributes of interest. Jadi polulasi adalah seluruh obyek, seluruh individu,<br />

seluruh gejala atau seluruh kejadian termasuk waktu, tempat, gejala-gejala, pola<br />

sikap, tingkah laku yang mempunyai cirri atau karakter yang sama dan merupakan<br />

37


unit satuan yang diteliti. 45 Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah<br />

perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas yang ada di Bali, dengan sub polulasi<br />

adalah Perusahaan yang berbentuk PT yang telah melaksanakan CSR. Untuk dapat<br />

memilih sampel yang representative, maka diperlukan teknik sampling. Cara<br />

pengambilan sample dari populasi dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:<br />

1. Probabilitas sampling atau random sampling<br />

2. Nonprobabilitas sampling atau nonrandom sampling.<br />

Dalam penelitian ini digunakan teknik non probability sampling atau<br />

nonrandom sampling dengan menggunakan jenis purposive sampling. Dalam hal ini<br />

berarti bahwa sampel dipilih berdasarkan penunjukan atau rekomendasi sebelumnya,<br />

yang bertindak sebagai informan kunci. Dari informasi kunci tersebut penelitian akan<br />

dilanjutkan kepada para responden, yaitu para pelaku usaha khususnya usaha yang<br />

berbadan hukum Perseroan Terbatas, yang telah dipilih sebelumnya dan dapat<br />

mewakili populasi.<br />

5.6. Teknik Pengolahan dan Analisa Data.<br />

Dari data yang berhasil dikumpulkan, baik data primer maupun data sekunder,<br />

kemudian diolah dan dianalisa dengan mempergunakan teknik analisis deskriftif<br />

kualitatif, yaitu dengan menguraikan semua data menurut mutu, dan sifat gejala dan<br />

peristiwa hukumnya dengan mempertautkan antara data primer dengan data sekunder.<br />

Setelah itu, data tersebut disajikan secara deskriftif analisis dengan menguraikannya<br />

secara sistematis dan komprehensif, sehingga dapat menjawab permasalahan.<br />

45 Inderson, 1975, dalam Bahder Johan Nasution, Op. Cit. Hal.145.<br />

38


BAB II<br />

TINJAUAN UMUM TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERSEROAN PADA<br />

PERSEROAN TERBATAS DALAM PERSPEKTIF TRI HITA KARANA<br />

2.1 Pengertian CSR dan Dasar Hukum<br />

Terminologi tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) bukanlah hal yang<br />

relative baru dalam dunia usaha, evolusi konsepnya sendiri sudah berlangsung pada<br />

beberapa dekade. Pada sisi lain istilah CSR sendiri juga mengalami perubahan sejalan<br />

dengan perkembangan dunia usaha, politis dan pembangunan sosial serta hak asasi<br />

manusia (HAM).<br />

Selain itu terminologi CSR juga dipengaruhi oleh dampak globalisasi dan<br />

perkembangan teknologi informasi, dan semua itu akan mencerminkan pemahaman<br />

terhadap pengertian CSR dalam kontek lokal. 46<br />

Corporate Social Responsibility dalam bahasa Indonesia dikenal dengan<br />

tanggungjawab sosial perusahaan sedangkan di Amerika, konsep ini seringkali<br />

disamakan dengan corporate citizenship. Pada intinya, keduanya dimaksudkan<br />

sebagai upaya perusahaan untuk meningkatkan kepedulian terhadap masalah sosial<br />

dan lingkungan dalam kegiatan usaha dan juga pada cara perusahaan berinteraksi<br />

dengan stakeholder yang dilakukan secara sukarela. Selain itu, tanggungjawab sosial<br />

perusahaan diartikan pula sebagai komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam<br />

pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan,<br />

46 Saidi, Zaim, 2002, Sumbangan Sosial Perusahaan, Jakarta, Penerbit Piramida, hal. 97<br />

39


keluarga karyawan dan masyarakat setempat (lokal) dalam rangka meningkatkan<br />

kualitas kehidupan.<br />

Mulai pada saat terminologi CSR diperkenalkan tahun 1920 sampai saat ini<br />

belum ada difinisi tunggal mengenai pengertian dari CSR. Berikut ini adalah definisi-<br />

definisi dari CSR yang antara lain:<br />

The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD), yang<br />

merupakan lembaga internasional yang berdiri tahun 1995 dan beranggotakan lebih<br />

dari 180 perusahaan multinasional yang berasal dari 35 negara memberikan definisi<br />

CSR sebagai "continuing commitment by business to behave ethically and contribute<br />

to economic development while improving the quality of life of the workforce and<br />

their families as well as of the local community and society at large". 47<br />

Apabila diterjemahkan secara bebas kurang lebih berarti komitmen dunia usaha untuk<br />

terus-menerus bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk<br />

peningkatan ekonomi,bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan.<br />

Definisi lain mengenai CSR juga dilontarkan oleh World Bank yang<br />

memandang CSR sebagai "the commitment of business to contribute to sustainable<br />

economic development working with amployees and their representatives the local<br />

community and society at large to improve quality of life, in ways that are both good<br />

for business and good for development".<br />

Kalau diterjemahkan secara bebas kurang lebih berarti komitmen dunia usaha untuk<br />

memberikan sumbangan guna menopang bekerjanya pembangunan ekonomi bersama<br />

47 Isa Wahyudi, Op. Cit. hal. 29<br />

40


karyawan dan perwakilan-perwakilan mereka dalam komunitas setempat dan<br />

masyarakat luas untuk meningkatkan taraf hidup, intinya CSR tersebut adalah baik<br />

bagi keduanya, untuk dunia usaha dan pembangunan.<br />

CSR forum juga memberikan definisi, "CSR mean open and transparent<br />

business practise that are based on ethical values and respect for employees,<br />

communities and environment". Apabila diterjemahkan secara bebas, CSR berarti<br />

keterbukaan dan transparan dalam pelaksanaan usahanya yang dilandasi oleh nilai-<br />

nilai etika dan penghargaan kepada karyawan-karyawan, masyarakat setempat, dan<br />

lingkungan hidup.<br />

Sejumlah negara juga mempunyai definisi tersendiri mengenai CSR. Yaitu dari<br />

European Union atau Uni Eropa (EU Green Paper on CSR) sebagai lembaga<br />

perhimpunan Negara-negara di benua Eropa mengemukakan bahwa "CSR is a<br />

concept where by companies integrate social and environmental concerns in their<br />

business operations and in their interaction with their stakeholders on a voluntary<br />

basic". Apabila diterjemahkan secara bebas, CSR adalah suatu konsep untuk<br />

integritas sosial perusahaan dan memperhatikan masalah lingkungan dalam<br />

operasional usahanya dan melakukan hubungan interaksi dengan stakeholders yang<br />

didasari kesukarelaan.<br />

Howard R Bowen melalui karyanya yang diberi judul “Social Responsibilities<br />

of the Bussinessmen”. Bowen merumuskan CSR sebagai berikut: ït refers to the<br />

obligations of businessmen to pursue those policies, to make those decisions, or to<br />

41


follow those lines of action which are desireable interms of the objectives and values<br />

of our society” 48<br />

Yusuf Wibisono, CSR didifinisikan sebagai tanggung jawab perusahaan kepada<br />

para pemangku kepentingan untuk berlaku etis, meminimalkan dampak negatif dan<br />

memaksimalkan dampak positif yang mencakup aspek ekonomi, sosial, dan<br />

lingkungan (triple bottom line) dalam rangka mencapai tujuan pembangunan<br />

berkelanjutan 49 .<br />

Suhandari M. Putri, mendifinisikan CSR adalah komitmen perusahaan atau<br />

dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan<br />

dengan memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dan menitikberatkan pada<br />

keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis, sosial, dan lingkungan. 50<br />

UUPT juga mengatur ketentuan mengenai CSR. Pengertian CSR diatur di<br />

dalam Pasal 1 butir (3) UUPT, dalam hal ini CSR disebut sebagai tanggung jawab<br />

sosial dan lingkungan (TJSL) yang berarti komitmen Perseroan untuk berperan serta<br />

dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan<br />

dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat,<br />

maupun masyarakat pada umumnya.<br />

Pelaksanaan CSR ini harus dimuat di dalam laporan tahunan perseroan yang<br />

disampaikan oleh direksi dan ditelaah oleh dewan komisaris yang mengharuskan<br />

48 Bowen. R, dalam Isa Wahyudi, Op. Cit. hal.16<br />

49 Yusuf Wibisono,2007, Membedah Konsep dan Aplikasi Corporate Social Responsibility,<br />

Penerbit Salemba Empat, hal. 10<br />

50 Suhandari M. Putri, 2007, Schema CSR, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, hal.25.<br />

42


memuat laporan pelaksanaan tangung jawab sosial dan lingkungan (Pasal 66 ayat (2)<br />

huruf c UUPT). Dalam hal ini, UUPT mewajibkan bagi setiap perseroan yang<br />

menjalankan kegiatan usaha di bidang dan/ atau berkaitan dengan sumber daya alam<br />

untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.<br />

Hal ini ditegaskan juga dalam Pasal 74 ayat (1) UUPT yang menyatakan bahwa<br />

perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/ atau berkaitan dengan<br />

sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dalam<br />

hal ini, tanggung jawab sosial dan lingkungan menipakan kewajiban perseroan yang<br />

dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya<br />

dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran (Pasal 74 ayat (2) UUPT).<br />

Selanjutnya, dinyatakan bahwa perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban<br />

dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 74 ayat<br />

(3) UUPT). 51<br />

Tanggungjawab sosial perusahaan terkait dengan nilai dan standar yang<br />

dilakukan berkenaan dengan beroperasinya sebuah perusahaan (corporate), maka<br />

CSR didefinisikan sebagai komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi<br />

secara legal, dan berkontribusi untuk meningkatkan kualitas hidup dari karyawan dan<br />

keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat secara lebih luas.<br />

Dalam berbagai wacana Corporate Social Responsibility dapat diartikan secara<br />

luas dan universal seperti berikut:<br />

1. World Business Council for Sustainable Development<br />

51 Yusuf Wibisono,Op. Cit. hal.8<br />

43


Komitmen berkesinambungan dari kalangan bisnis untuk berperilaku etis dan<br />

memberi kontribusi bagi pembangunan ekonomi, seraya meningkatkan kualitas<br />

kehidupan karyawan dan keluargnya, serta komunitas lokal dan masyarakat luas<br />

pada umumnya.<br />

2. International Finance Corporation<br />

Komitmen dunia bisnis untuk memberi kontribusi terhadap pembangunan<br />

ekonomi berkelanjutan melalui kerjasama dengan karyawan, keluarga mereka,<br />

komunitas lokal dan masyarakat luas untuk meningkatkan kehidupan mereka<br />

melalui cara-cara yang baik bagi bisnis maupun pembangunan. 52<br />

4. European Commission<br />

A concept whereby companies decide voluntarily to contribute to a better<br />

society and a cleaner environment. 53<br />

Kalau diterjemahkan secara bebas artinya adalah sebagai berikut:<br />

Sebuah konsep dengan mana perusahaan mengintegrasikan perhatian terhadap<br />

sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksinya dengan<br />

para pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip kesukarelaan.<br />

5. CSR Asia<br />

Komitmen perusahaan untuk beroperasi secara berkelanjutan berdasarkan<br />

prinsip ekonomi, sosial dan lingkungan, seraya menyeimbangkan beragam<br />

52 Arif Budimanta ,2008, Corporate Social Responsibility: Alternatif bagi Pembangunan<br />

Indonesia, Jakarta, Penerbit ICSD, Hal. 67<br />

53 http://www.business.curtin.edu.au/files/GSB_Working_Paper_No._62_Corp_Social_Resp_A_defin<br />

ition_Thomas___Nowak.<strong>pdf</strong>, page. 17<br />

44


kepentingan para stakeholders.<br />

6. ISO 26000 mengenai Guidance on Social Responsibility<br />

Tanggung jawab sebuah organisasi terhadap dampak-dampak dari keputusan-<br />

keputusan dan kegiatan-kegiatannya pada masyarakat dan lingkungan yang<br />

diwujudkan dalam bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan<br />

pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat; mempertimbangkan<br />

harapan pemangku kepentingan, sejalan dengan hukum yang ditetapkan dan norma-<br />

norma perilaku internasional; serta terintegrasi dengan organisasi secara<br />

menyeluruh (draft 3, 2007).<br />

Tanggungjawab sosial merupakan Pasal yang tidak dapat dipisahkan dari good<br />

corporate governance karena pelaksanaan Corporate Social Responsibility<br />

merupakan Pasal dari salah satu prinsip yang berpengaruh dalam good corporate<br />

governance. Sampai dengan sekarang belum ada kata sepakat tentang definisi dari<br />

good corporate governance atau tata kelola perusahaan yang baik. Akan tetapi, pada<br />

umumnya GCG dipahami sebagai suatu sistem, dan seperangkat peraturan yang<br />

mengatur hubungan antara berbagai pihak yang berkepentingan terutama dalam arti<br />

sempit hubungan antara pemegang saham dan dewan komisaris serta dewan direksi<br />

demi tercapainya tujuan perusahaan, sedangkan dalam arti luas, GCG digunakan<br />

untuk mengatur hubungan seluruh kepentingan stakeholders secara proporsional dan<br />

mencegah terjadinya kesalahan-kesalahan signifikan dalam strategi perusahaan<br />

sekaligus memastikan bahwa kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat diperbaiki<br />

45


dengan segera. 54<br />

Dalam keputusan Menteri Negara/ Kepala Badan Penanaman Modal dan<br />

Pembinaan Badan Usaha Milik Negara No. Kep-23/MPM.PBUMN/2000, tanggal 31<br />

Mei 2000, tentang pengembangan praktik Good Corporate Governance dalam<br />

perusahaan persero, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan GCG adalah prinsip<br />

perusahaan yang sehat dan diterapkan dalam pengelolaan perusahaan yang<br />

dilaksanakan semata-mata demi menjaga kepentingan perusahaan dalam rangka<br />

mencapai maksud dan tujuan perusahaan. 55<br />

Menurut Komite Cadburry, GCG adalah prinsip yang mengarahkan dan<br />

mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta<br />

kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawabannya kepada para<br />

shareholders khususnya, dan stakeholders pada umumnya. Tentu saja hal ini<br />

dimaksudkan pengaturan kewenangan direktur, manajer, pemegang saham, dan pihak<br />

lain yang berhubungan dengan perkembangan perusahaan di lingkungan tertentu.<br />

Organization for Economic Cooperation and Development (OECD)<br />

mendefinisikan GCG sebagai cara-cara manajemen perusahaan bertanggung jawab<br />

pada shareholder-nya. Para pengambil keputusan diperusahaan haruslah dapat<br />

dipertanggungjawabkan, dan keputusan tersebut mampu memberikan nilai tambah<br />

bagi shareholders lainnya. Oleh karena itu, fokus utama di sini terkait dengan proses<br />

54 Emrizon, Joni, 2007, Prinsip-prinsip Good Corporate Governnance, Yogyakarta, Genta Press,<br />

hal. 67<br />

55 Khairandy, Ridwan& Malik Camelia, 2007, Good Corporate Governance, Yogyakarta, Penerbit<br />

Total Media, hal. 54<br />

46


pengambilan keputusan dari perusahaan yang mengandung nilai-nilai transparency,<br />

responsibility, accountability, dan tentu saja fairness.<br />

Di Indonesia istilah GCG biasa diartikan sebagai tata kelola perusahaan yang<br />

baik. Dalam hal ini, GCG kemudian didefinisikan sebagai suatu pola hubungan,<br />

sistem, dan proses yang digunakan oleh organ perusahaan guna memberikan nilai<br />

tambah kepada pemegang saham secara berkesinambungan dalam jangka panjang,<br />

dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, dengan berlandaskan<br />

peraturan perundang-undangan dan norma yang berlaku. Dari definisi di atas dapat<br />

disimpulkan bahwa GCG merupakan:<br />

1) Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang peran dewan<br />

komisaris, direksi, pemegang saham dan para stakeholder lainnya.<br />

2) Suatu sistem pengecekan dan perimbangan kewenangan atas pengendalian<br />

perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua peluang: pengelolaan yang<br />

salah dan penyalahgunaan aset perusahaan.<br />

3) Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian,<br />

berikut pengukuran kinerjanya. 56<br />

Prinsip-prinsip yang terkandung dalam GCG antara lain:<br />

1) Transparency (keterbukaan informasi)<br />

Secara sederhana bisa diartikan sebagai keterbukaan informasi. Dalam<br />

mewujudkan prinsip ini, perusahaan dituntut untuk menyediakan informasi yang<br />

hal.231<br />

56 Hamud M. Balfas, 2006, Hukum Pasar Modal Indonesia, Jakarta, Penerbit PT Tatanusa,<br />

47


cukup, akurat, tepat waktu kepada segenap stakeholdersnya.<br />

2) Accountability (Akuntabilitas)<br />

Akuntabilitas berarti adanya kejelasan fungsi, struktur, sistem dan<br />

pertanggungjawaban elemen perusahaan. Apabila prinsip ini diterapkan secara<br />

efektif, maka akan ada kejelasan akan fungsi, hak, kewajiban, dan wewenang serta<br />

tanggung jawab antara pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan direksi.<br />

3) Responsibility (Pertanggungjawaban)<br />

Bentuk pertanggungjawaban perusahaan adalah kepatuhan perusahaan terhadap<br />

peraturan yang berlaku, diantaranya termasuk masalah pajak, hubungan industrial,<br />

kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan lingkungan hidup, memelihara<br />

lingkungan bisnis yang kondusif bersama masyarakat dan sebagainya. Dengan<br />

menerapkan prinsip ini diharapkan akan menyadarkan perusahaan bahwa dalam<br />

kegiatan operasionalnya, perusahaan juga mempunyai peran untuk<br />

bertanggungjawab selain kepada shareholder juga kepada stakeholders lainnya.<br />

4) Independency (kemandirian)<br />

Prinsip ini mensyaratkan agar perusahaan dikelola secara profesional tanpa ada<br />

benturan kepentingan dan tekanan atau intervensi dari pihak manapun yang tidak<br />

sesuai dengan peraturan yang berlaku.<br />

5) Fairness (kesetaraan dan kewajaran)<br />

Prinsip ini menuntut adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak<br />

stakeholders sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang<br />

48


erlaku. 57<br />

Prinsip yang berkaitan erat dengan CSR adalah Responsibilitas yang<br />

merupakan aspek pertanggungjawaban dari setiap kegiatan perusahaan untuk<br />

melaksanakan prinsip corporate social responsibility karena dalam berusaha, sebuah<br />

perusahaan tidak akan lepas dari masyarakat sekitar, ditekankan juga pada signifikasi<br />

filantrofik yang diberikan dunia usaha kepada kepentingan pihak-pihak eksternal<br />

dimana perusahaan diharuskan memperhatikan kepentingan stakeholder perusahaan,<br />

menciptakan nilai tambah (value added) dari produk dan jasa, dan memelihara<br />

kesinambungan nilai tambah yang diciptakannya. Diluar itu, lewat prinsip<br />

responsibility diharapkan membantu pemerintah dalam mengurangi kesenjangan<br />

pendapatan dan kesempatan kerja pada segmen masyarakat yang belum mendapatkan<br />

manfaat dari mekanisme pasar. 58<br />

Corporate Social Responsibility sebagai sebuah gagasan, perusahaan tidak lagi<br />

dihadapkan pada tanggungjawab yang berpijak pada single bottom line yaitu nilai<br />

perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya<br />

(financial saja) tetapi harus berpijak pada triple bottom lines, dimana bottom lines<br />

selain financial juga sosial dan lingkungan. Aspek ekonomi diungkapkan dengan<br />

Profit, asfek sosial diungkapkan dengan people, dan aspek lingkungan diungkapkan<br />

dengan Planet. Kondisi keuangan saja tak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh<br />

secara berkelanjutan (sustainable). Menurut Archie B. Carrol disebut dengan<br />

57 Khairandy, Ridwan& Malik Camelia, Op. Cit. hal.7<br />

58 Arif Budimanta, Op. Cit. Hal. 25<br />

49


piramida CSR. Kemudian teori ini pada tahun 1997 dipopulerkan oleh John Elkington<br />

melalui bukunya yang berjudul “ Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of<br />

Twentieth Century Business”.<br />

1. Profit. Perusahaan tetap harus berorientasi untuk mencari keuntungan ekonomi<br />

yang memungkinkan untuk terus beroperasi dan berkembang.<br />

2. People. Perusahaan harus memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan manusia.<br />

Beberapa perusahaan mengembangkan program CSR seperti pemberian beasiswa<br />

bagi pelajar sekitar perusahaan, pendirian sarana pendidikan dan kesehatan,<br />

penguatan kapasitas ekonomi lokal, dan bahkan ada perusahaan yang merancang<br />

berbagai skema perlindungan sosial bagi warga setempat.<br />

3. Plannet. Perusahaan peduli terhadap lingkungan hayati. Beberpa program CSR<br />

yang berpijak pada prinsip ini biasanya berupa penghijauan lingkungan hidup,<br />

penyediaan sarana pengembangan pariwisata (ekoturisme).<br />

Triple “P”(Profit, People, Planet) merupakan tiga aspek yang tidak dapat<br />

dipisahkan satu dengan yang lainnya, karena merupakan satu kesatuan yang tak<br />

terpisahkan. Apabila perusahaan dalam mengimplementasikannya, hanya<br />

menekankan hanya pada salah satu aspek saja, maka perusahaan akan dihadapkan<br />

pada berbagai macam resestensi baik yang bersifat internal maupun eksternal,<br />

sehingga perusahaan akan sulit bahkan tidak akan mampu beraktivitas secara<br />

berkelanjutan. 59<br />

Berdasarkan standar dari Bank Dunia maka CSR meliputi beberapa komponen<br />

59 Gunawan Widjaya dan Yeremia Ardi Pratama, Op. Cit. Hal. 34<br />

50


utama yakni (1) perlindungan lingkungan (2) jaminan kerja (3) Hak Asasi Manusia<br />

(4) interaksi dan keterlibatan perusahaan dengan masyarakat (5) standar usaha (6)<br />

pasar (7) pengembangan ekonomi dan badan usaha (8) perlindungan kesehatan (9)<br />

kepemimpinan dan pendidikan (10) bantuan bencana kemanusiaan. Bagi perusahaan<br />

yang berupaya untuk membangun citra positif perusahaannya, maka kesepuluh<br />

komponen tersebut harus diupayakan pemenuhannya.<br />

Dampak dari pendirian perusahaan oleh pemilik modal yang tergabung dalam<br />

sebuah corporation salah satunya adalah muncul kesenjangan antara pihak<br />

perusahaan (corporate) dengan masyarakat setempat yang dapat mempengaruhi<br />

kestabilan negara, disisi lain pemerintah terkadang tidak bisa berbuat banyak dalam<br />

memenuhi semua tuntutan masyarakat yang merasa hak-hak atas daerahnya dilanggar<br />

termasuk hak asasi seperti terusiknya tempat tinggal dan berkurangnya mata<br />

pencarian anggota masyarakat disekitar perusahaan. Dalam meminimalisir akibat<br />

tersebut, peran dari program corporate social responsibility sangat besar. 60<br />

Dengan dipenuhinya kewajiban-kewajiban ini maka perusahaan telah<br />

melakukan kegiatannya secara berkelanjutan dan tidak merugikan kepentingan para<br />

stakeholdernya. Perusahaan dalam mencari laba diperbolehkan, tetapi jangan pula<br />

mengabaikan hak-hak yang terkandung dan dimiliki oleh konsumen, investor dan<br />

masyarakat. Lebih dari itu ketika pembangunan perusahaan telah sesuai dengan<br />

kawasan peruntukannya, maka pengusaha perlu melaksanakan berbagai kewajiban<br />

untuk meminimalisir kerugian yang dialami konsumen, karyawan, investor, maupun<br />

60 Khairandy, Ridwan& Malik Camelia,Op. Cit. Hal. 9<br />

51


kerusakan kualitas lingkungan hidup antara lain :<br />

a. Kewajiban terhadap konsumen<br />

1. Konsumen memiliki hak untuk mendapatkan produk yang aman.<br />

2. Konsumen memiliki hak untuk mendapatkan informasi tentang spesifikasi<br />

produk yang dijual perusahaan, antara lain dengan mencantumkan label yang<br />

benar.<br />

3. Konsumen memiliki hak untuk didengarkan, perusahaan dapat membuka<br />

kontak pelanggan melalui kotak pos atau nomor telepon.<br />

4. Konsumen memiliki hak untuk dapat dapat memilih barang yang mereka beli.<br />

5. Kolusi dalam penetapan harga yang merugikan konsumen tidak dilakukan.<br />

6. Kampanye iklan tidak dilakukan secara berlebihan.<br />

7. Kampanye iklan diikuti oleh produksi dan distribusi produk sesuai dengan<br />

pesan-pesan iklan.<br />

8. Kampanye iklan perlu memperhatikan faktor berikut ini: tidak menayangkan<br />

materi iklan yang menonjolkan anak-anak sedang merokok, mencantumkan<br />

kandungan kalori lemah kolesterol dalam makanan, komponen vitamin, dan<br />

unsur-unsur minuman kesehatan, menayangkan dengan gencar produk<br />

konsumsi yang tidak layak dan tidak halal untuk dikonsumsi, memberikan<br />

iming iming hadiah jika membeli produk dengan gencar, materi iklan dan film<br />

yang tidak baik untuk ditonton oleh anak-anak dan bersifat pornografi.<br />

b. Kewajiban terhadap karyawan<br />

1. Melakukan proses seleksi dan penempatan pegawai secara transparan dengan<br />

52


mengajak para calon pegawai dari sekitar komunitas untuk berpartisipasi.<br />

2. Memberikan posisi jabatan dan balas jasa gaji dan pengupahan, serta promosi<br />

jabatan tanpa memandang agama, gender, suku bangsa, senioritas dan asal<br />

negara.<br />

3. Mematuhi peraturan dan UU ketenagakerjaan yang dikeluarkan oleh<br />

Pemerintah.<br />

c. Kewajiban terhadap investor<br />

1. Meniadakan berbagai potensi kecurangan yang mungkin timbul di perusahaan<br />

terhadap investor.<br />

2. Menghindari praktek pembuatan laporan keuangan yang disemir dan tidak<br />

sesuai dengan standar pelaporan akuntansi yang berlaku.<br />

3. Tidak melakukan perbuatan ilegal seperti mengeluarkan cek kosong dan proses<br />

pencucian uang (money laundry).<br />

4. Tidak melakukan proses “insider trading” dalam menjual surat berharga<br />

perusahaan.<br />

5. Mematuhi ketentuan tentang GAAP (Generally Accepted Accounting Practices),<br />

ketentuan pasar modal bagi para emiten dan pedoman GCG yang diberlakukan<br />

perusahaan.<br />

d. Kewajiban terhadap Masyarakat dan Lingkungan Hidup<br />

1. Menjalankan program community social responsibility, khususnya yang<br />

berkaitan dengan pelestarian kualitas lingkungan hidup.<br />

53


2. Memperhitungkan dampak lintas sektor dalam proses produksi dengan<br />

memanfaatkan bahan baku alam secara berkelanjutan.<br />

3. Menerapkan prinsip SIDEC, Sustainabilitas, Interdependence, Diversitas,<br />

Equity, Cohesion dalam pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan alam.<br />

4. Mengembangkan pola hidup “kekitaan” ketimbang “keakuan” (Emil Salim).<br />

5. Menghasilkan proses produksi dengan mengoptimalkan upaya renewable<br />

resources, daur ulang non-renewable resources, mengupayakan zero-waste<br />

clean technology; dan pemanfaatan tataruang dan proses produksi dengan<br />

sedikit limbah dan polusi. 61<br />

Langkah yang tidak kalah pentingnya adalah membentuk departemen khusus<br />

tersendiri yang bertugas menjalankan konsep CSR sehingga upaya ini dapat<br />

dilakukan dengan fokus dan terarah, dan last but not least adanya prioritas di bidang<br />

kesehatan juga merupakan hal yang tidak dapat dikesampingkan, sehingga CSR tidak<br />

hanya sebatas konsep untuk mendapatkan kesan baik atau citra positif semata<br />

melainkan benar-benar merupakan realisasi dari niat baik perusahaan sebagai parner<br />

dari masyarakat<br />

2.2 Sejarah CSR<br />

Perkembangan dunia dewasa ini menyebabkan masyarakat hidup bagai dalam<br />

dimensi ruang yang tak bersekat. Berbagai bidang kehidupan dipengaruhi oleh proses<br />

yang secara langsung telah membentuk tatanan baru dalam lingkup pergaulan dunia<br />

dimana negara maju cenderung mendominasi diantara negara berkembang dan negara<br />

61 Emrizon, Joni, Op. Cit. Hal. 76-78<br />

54


miskin yang lazim dikenal sebagai globalisasi. Globalisasi tidak hanya mencakup<br />

bidang eksternal seperti perdagangan tetapi juga merambah bidang-bidang privat<br />

negara yang bersangkutan seperti regulasi dan kebijakan yang mana kadang berkesan<br />

“abu-abu” karena tidak berkonsep dari masyarakat itu sendiri.<br />

Indonesia sebagaimana negara berkembang cenderung meratifikasi kebijakan<br />

global yang berembrio dari negara maju seperti berbagai produk peraturan di bidang<br />

ekonomi yang terkesan ”dipaksakan” pembuatan dan pemberlakuannya demi<br />

memenuhi prasyarat untuk ”boleh” berpartisispasi dalam perkembangan ekonomi<br />

dunia.<br />

Ekonomi secara signifikan berkembang seiring dengan globalisasi mengarah<br />

pada perubahan citra dalam dunia usaha dan industri. Berawal dari Earth Summit di<br />

Rio de Jeneirio Brazilia tahun 1992 dan program ekonomi berkelanjutan di<br />

Yohannesburg tahun 2002, hubungan perusahaan dengan obyek diluar industri mulai<br />

mengalami pergeseran, dimulai dengan Corporate Relation yang berkembang<br />

menjadi Community Development dan Corporate Social Responsibility. Kegiatan atau<br />

program Corporate Social Responsibility merupakan suatu bentuk solidaritas sosial<br />

perusahaan bagi masyarakat, sekaligus bermanfaat dalam membentuk citra<br />

perusahaan melalui publikasi yang tepat akan sangat membantu membangun<br />

menggalang kerjasama antara masyarakat dengan perusahaan. 62<br />

Misi untuk mencapai profitabilitas dan kesinambungan pertumbuhan dapat<br />

ditempatkan sejalan dengan tanggung jawab sosial perusahaan sehingga ada<br />

62 Isa Wahyudi, Op. Cit. Hal. 87<br />

55


keselarasan antara kebutuhan masyarakat dan perusahaan untuk tumbuh bersama.<br />

Konsep seperti ini lebih dikenal sebagai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau<br />

Corporate Social Responsibility.<br />

Konsep CSR memberikan wajah baru bentuk kepedulian perusahaan terhadap<br />

masyarakat dengan alasan bahwasanya kegiatan produksi langsung maupun tidak<br />

membawa dampak for better or worse bagi kondisi lingkungan dan sosial ekonomi<br />

disekitar perusahaan beroperasi. Selain itu, pemilik perusahaan sejatinya bukan hanya<br />

shareholders (komponen yang terkait dengan internal perusahaan) yakni para<br />

pemegang saham melainkan pula stakeholders, yaitu semua pihak diluar pada<br />

pemegang saham yang terkait dan berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan.<br />

Stakeholders dapat mencakup karyawan dan keluarganya, pelanggan, pemasok,<br />

masyarakat disekitar perusahaan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, media<br />

massa dan pemerintah selaku regulator. Jenis dan prioritas stakeholders relatif<br />

berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan yang lain, tergantung pada core<br />

bisnis perusahaan yang bersangkutan. 63<br />

Sebagai contoh, PT Aneka Tambang, Tbk. dan Rio Tinto yang menempatkan<br />

masyarakat dan lingkungan sekitar sebagai stakeholders dalam skala prioritasnya.<br />

Sementara itu, stakeholders dalam skala prioritas bagi produsen produk konsumen<br />

seperti Unilever atau Procter & Gamble adalah para customer-nya.<br />

Pemberlakuan CSR notabene memperkuat posisi perusahaan di sebuah<br />

kawasan, melalui jalinan kerjasama antara stakeholder yang difasilitasi oleh<br />

63 Arif Budimanta , Op. Cit. hal. 27.<br />

56


perusahaan melalui penyusunan berbagai program pengembangan masyarakat sekitar,<br />

atau dalam pengertian, kemampuan perusahaan beradaptasi dengan lingkungan,<br />

komunitas dan stakeholder yang terkait dengan perusahaan, baik lokal, nasional<br />

maupun global, karena pengembangan corporate social responsibility kedepan<br />

mengacu pada konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainability development).<br />

Dalam konteks global, istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970 an dan<br />

semakin populer terutama setelah kehadiran buku Cannibals With Forks: The Triple<br />

Bottom Line in 21st Century Business (1998), karya John Elkington.<br />

Mengembangkan tiga komponen penting sustainable development, yakni economic<br />

growth, environmental, protection, dan social equity, yang digagas oleh the World<br />

Commission on Environment and Development (WCED) dalam Brundtland Report<br />

(1987), Elkington mengemas CSR dalam fokus 3P, merupakan singkatan dari profit,<br />

planet dan people dimana perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan<br />

ekonomi (profit) belaka melainkan memiliki pula kepedulian terhadap kelestarian<br />

lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people). 64<br />

Pada saat industri berkembang setelah terjadinya revolusi industri, kebanyakan<br />

perusahaan masih memfokuskan tujuan perusahaan hanya sekedar untuk mencari<br />

keuntungan belaka. Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat kemudian<br />

menuntut perusahaan untuk bertanggungjawab sosial. Hal ini dikarenakan selain<br />

terdapat ketimpangan ekonomi antara pelaku usaha dengan masyarakat di sekitarnya,<br />

kegiatan operasional perusahaan umumnya juga memberikan dampak negatif,<br />

64 Gunawan Widjaya dan Yeremia Ardi Pratama, Op. Cit. Hal. 35<br />

57


misalnya eksploitasi sumber daya alam dan rusaknya lingkungan di sekitar operasi<br />

perusahaan. Hal itulah yang kemudian melatarbelakangi munculnya konsep CSR<br />

yang paling primitif, dalam hal ini adalah kedermawanan yang bersifat karitatif.<br />

Gema CSR semakin terasa pada tahun 1950-an. Hal ini dikarenakan persoalan-<br />

persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang semula tidak mendapat perhatian,<br />

mulai mendapatkan perhatian lebih luas dari berbagai kalangan. Dengan<br />

diterbitkannya buku yang bertajuk "social responsibilities of the businessman" karya<br />

Howard R Bowen tahun 1953 yang merupakan litertur awal, maka menjadikan tahun<br />

tersebut sebagai tonggak sejarah modern CSR. Di samping itu, pada dekade ini juga<br />

diramaikan oleh buku legendaris yang berjudul "silent spring" yang ditulis oleh<br />

Rachel Carson, seorang ibu rumah tangga biasa yang mengingatkan kepada<br />

masyarakat dunia akan bahaya yang mematikan dari pestisida terhadap lingkungan<br />

dan kehidupan. Melalui buku Rachel Carson ingin menyadarkan bahwa tingkah laku<br />

perusahaan mesti dicermati sebelum berdampak pada kehancuran. 65<br />

Pada dasawarsa 1970-an, terbitlah "the limits to Growth" yang merupakan hasil<br />

pemikiran para cendekiawan dunia yang tergabung dalam Club of Rome. Dalam hal<br />

ini, buku ini ingin mengingatkan kepada masyarakat dunia bahwa bumi yang kita<br />

pijak mempunyai keterbatasan daya dukung. Oleh karena itu, eksploitasi alam mesti<br />

dilakukan secara hati-hati supaya pembangunan dapat dilakukan secara berkelanjutan.<br />

Pada dasawarsa ini, kegiatan kedermawanan perusahaan terus berkembang dalam<br />

kemasan philantropy dan community development serta pada masa ini terjadi<br />

65 Ismail Solohin , Op. Cit. Hal. 75<br />

58


perpindahan penekanan dari fasilitas dan dukungan pada sektor-sektor produktif ke<br />

arah sektor-sektor sosial.<br />

Pada era 1980-an makin banyak perusahaan yang menggeser konsep<br />

philantropisnya ke arah community development. Intinya kegiatan kedermawanan<br />

yang sebelumnya kental dengan kedermawanan ala Robin Hood makin berkembang<br />

kearah pemberdayaan masyarakat, misalnya pengembangan kerja sama, memberikan<br />

keterampilan, pembukaan akses pasar, hubungan inti plasma, dan sebagainya.<br />

Dasawarsa 1990-an adalah dasawarsa yang diwarnai dengan beragam<br />

pendekatan seperti integral, pendekatan stakeholder maupun pendekatan civil society.<br />

Di Indonesia, istilah CSR semakin populer digunakan sejak awal tahun 1990-an.<br />

Beberapa perusahaan sebenarnya telah melakukan CSA (Corporate Social Activity)<br />

atau “aktivitas sosial perusahaan”. Walaupun berbeda secara gramatikal, secara<br />

faktual aksinya mendekati konsep CSR yang merepresentasikan bentuk “peran serta”<br />

dan “kepedulian” perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan. Melalui konsep<br />

investasi sosial perusahaan “seat belt”, sejak tahun 2003 Departemen Sosial tercatat<br />

sebagai lembaga pemerintah yang aktif dalam mengembangkan konsep CSR dan<br />

melakukan advokasi kepada berbagai perusahaan nasional. Tuntutan sosial yang<br />

muncul sejak abad ke 19 ini, berkembang hingga kini melalui beberapa tahapan<br />

seperti berikut:<br />

1. Entrepeneurial Era<br />

a) Dunia bisnis pada abad ke 19 ditandai dengan bangkitnya semangat<br />

kewirausahaan<br />

59


yang berfilosofi pada mekanisme pasar bebas (dipelopori oleh Rockefeller,<br />

Morgan dan Vanderbilt).<br />

b) Banyak terjadi pelanggaran hak-hak pekerja dan cara berbisnis yang baik sebagai<br />

aplikasi dari filosofi pasar bebas.<br />

c) Beberapa negara mulai membuat peraturan (Undang-Undang) untuk membatasi<br />

praktek kecurangan dalam bisnis.<br />

2. The Great Depression<br />

a) Tahun 1930 banyak pihak menduga kegagalan pasar didorong oleh faktor<br />

ketamakan perusahaan dalam mengejar keuntungan/laba.<br />

b) Mulai timbul kesadaran akan perlunya suatu Undang-Undang yang mengatur<br />

perlindungan terhadap pekerja, konsumen, dan masyarakat.<br />

3. The Era of Social Activism<br />

a) Dimulai tahun 1960-1970 dimana kalangan bisnis dicurigai berkolaborasi dengan<br />

pemerintah dengan memanfaatkan berbagai kesempatan bisnis untuk merugikan<br />

masyarakat. Sebagai contoh adalah produksi rokok.<br />

b) Masyarakat menuntut adanya UU tentang pembatasan merokok dan UU tentang<br />

perlindungan lingkungan.<br />

4. Contemporary Social Consciousness<br />

a) Sejak tahun 1990 mulai berkembang kesadaran dari berbagai pihak bahwa dunia<br />

bisnis perlu memberikan perhatian pada aspek sosial, yang didorong oleh<br />

perkembangan globalisasi dan kerusakan lingkungan.<br />

60


) Mulai diperkenalkannya konsep CSR dan berbagai peraturan tentang lingkungan<br />

hidup kepada khalayak. Pada tataran global, tahun 1992 diselenggarakan KTT Bumi<br />

(Earth Summit). KTT yang diadakan di Rio de Jenairo Brazil ini menegaskan<br />

konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang didasarkan atas<br />

perlindungan lingkungan hidup, pembangunan ekonomi dan sosial sebagai hal yang<br />

mesti dilakukan. Terobosan besar dalam kontek CSR ini dilakukan oleh John<br />

Elkington melalui konsep "3P" (Profit, people, and planet) yang dituangkan dalam<br />

bukunya "Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century<br />

Business" yang dirilis pada tahun 1997. la berpendapat bahwa jika perusahaan ingin<br />

sustain, maka ia perlu memperhatikan 3P, yakni bukan cuma profit yang diburu.<br />

Namun, juga harus memberikan kontribusi positif kepada masyarakat (people), dan<br />

ikut aktif dalam menjaga lingkungan (planet).<br />

Selanjutnya, gaung CSR kian bergema setelah diselenggarakannya World<br />

Summit on Sustainable Development (WSSD) tahun 2002 di Johannesburg Afrika<br />

Selatan. Sejak saat inilah, definisi CSR mulai berkembang. 66<br />

2.3 Prinsip-Prinsip CSR<br />

Salah seorang pakar tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yaitu Alyson<br />

Warhurst dari University Of Bath Inggris, pada tahun 1998 menjelaskan ada 16 (enam<br />

belas) prinsip tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Adapun prinsip-prinsip itu<br />

66 Ismail Solihin,2009, Corporate Social Responsibility: From Charity to Sustainability, Jakarta,<br />

Salemba Empat, Hal. 124<br />

61


adalah sebagai berikut: 67<br />

1. Prioritas korporat. Mengakui tanggung jawab sosial sebagai prioritas tertinggi<br />

korporat dan penentu utama pembangunan berkelanjutan, dengan begitu<br />

korporat bisa membuat kebijakan, program, dan praktek dalam menjalankan<br />

operasi bisnisnya dengan cara yang bertanggung jawab secara sosial.<br />

2. Manajemen terpadu. Mengintegrasikan kebijakan, program dan praktek ke<br />

dalam setiap kegiatan bisnis sebagai satu unsur manajemen dalam semua<br />

fungsi manajemen.<br />

3. Proses perbaikan. Secara bersinambungan memperbaiki kebijakan, program<br />

dan kinerja sosial korporat, berdasar temuan riset mutakhir dan memahami<br />

kebutuhan sosial serta menerapkan kriteria sosial tersebut secara internasional.<br />

4. Pendidikan karyawan. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan serta<br />

memotivasi karyawan.<br />

5. Pengkajian. Melakukan kajian dampak sosial sebelum memulai kegiatan atau<br />

proyek baru dan sebelum menutup satu fasilitas atau meninggalkan lokasi<br />

pabrik.<br />

6. Produk dan jasa. Mengembangkan produk dan jasa yang tak berdampak<br />

negatif secara sosial.<br />

7. Informasi publik. Memberi informasi dan (bila diperlukan) mendidik<br />

pelanggan, distributor, dan publik tentang penggunaan yang aman,<br />

67 Yusuf Wibisono, Op. Cit., hlm. 39-41.<br />

62


transportasi, penyimpanan dan pembuangan produk, dan begitu pula dengan<br />

jasa.<br />

8. Fasilitas dan operasi. Mengembangkan, merancang dan mengoperasikan<br />

fasilitas serta menjalankan kegiatan yang mempertimbangkan temuan kajian<br />

dampak sosial.<br />

9. Penelitian. Melakukan atau mendukung penelitian dampak sosial bahan baku,<br />

produk, proses, emisi dan limbah yang terkait dengan kegiatan usaha dan<br />

penelitian yang menjadi sarana untuk mengurangi dampak negatif.<br />

10. Prinsip pencegahan. Memodifikasi manufaktur, pemasaran atau penggunaan<br />

produk atau jasa, sejalan dengan penelitian mutakhir, untuk mencegah<br />

dampak sosial yang bersifat negatif.<br />

11. Kontraktor dan pemasok. Mendorong penggunaan prinsip-prinsip tanggung<br />

jawab sosial korporat yaang dijalankan kalangan kontraktor dan pemasok,<br />

disamping itu bila diperlukan mensyaratkan perbaikan dalam praktik bisnis<br />

yang dilakukan kontraktor dan pemasok.<br />

12. Siaga menghadapi darurat. Menyusun dan merumuskan rencana mennghadapi<br />

keadaan darurat, dan bila terjadi keadaan berbahaya bekerja sama dengan<br />

layanan gawat darurat, instansi berwenang dan komunitas lokal. Sekaligus<br />

mengenali potensi bahaya yang muncul.<br />

13. Transfer best practice. Berkontribusi pada pengembangan dan transfer praktik<br />

bisnis yang bertanggung jawab secara sosial pada semua industri dan sektor<br />

publik.<br />

63


14. Memberi sumbangan. Sumbangan untuk usaha bersama, pengembangan<br />

kebijakan publik dan bisnis, lembaga pemerintah dan lintas departemen<br />

pemerintah serta lembaga pendidikan yang akan meningkatkan kesadaran<br />

tentang tanggung jawab sosial.<br />

15. Keterbukaan. Menumbuhkembangkan keterbukaan dan dialog dengan pekerja<br />

dan publik, mengantisipasi dan memberi respons terhadap potencial hazard,<br />

dan dampak operasi, produk, limbah atau jasa.<br />

16. Pencapaian dan pelaporan. Mengevaluasi kinerja sosial, melaksanakan audit<br />

sosial secara berkala dan mengkaji pencapaian berdasarkan kriteria korporat<br />

dan peraturan perundang-undangan dan menyampaikan informasi tersebut<br />

pada dewan direksi, pemegang saham, pekerja dan publik.<br />

Pada sisi lain, Organization for Economic Cooperation and Development<br />

(OECD) pada saat pertemuan para menteri anggota OECD di Prancis tahun 2000 juga<br />

menyepakati pedoman bagi perusahaan multinasional. Pedoman tersebut berisikan<br />

kebijakan umum yang meliputi:<br />

1. Memberi kontribusi untuk kemajuan ekonomi, sosial, dan lingkungan<br />

berdasarkan pandangan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan<br />

(sustainable development).<br />

2. Menghormati hak-hak asasi manusia yang dipengaruhi oleh kegiatan yang<br />

dijalankan perusahaan tersebut, sejalan dengan kewajiban dan komitmen<br />

pemerintah di negara tempat perusahaan beroperasi.<br />

64


3. Mendorong pembangunan kapasitas lokal melalui kerja sama yang erat<br />

dengan komunitas lokal. Termasuk kepentingan bisnis. Selain<br />

mengembangkan kegiatan perusahaan di pasar dalam dan luar negeri sejalan<br />

dengan kebutuhan praktek perdagangan.<br />

4. Mendorong pembentukan human capital, khususnya melalui penciptaan<br />

kesempatan kerja dan memfasilitasi pelatihan bagi karyawan.<br />

5. Menahan diri untuk tidak mencari atau pembebasan di luar yang dibenarkan<br />

secara hukum yang terkait dengan lingkungan, kesehatan dan keselamatan<br />

kerja, perburuhan, perpajakan, insentif finansial dan isu-isu lainnya.<br />

6. Mendorong dan memegang teguh prinsip-prinsip Good Corporate<br />

Governance (GCG) serta mengembangkan dan menerapkan praktek-praktek<br />

tata kelola perusahaan yang baik.<br />

7. Mengembangkan dan menerapkan praktek-praktek sistem manajemen yang<br />

mengatur diri sendiri (self-regulation) secara efektif guna menumbuh<br />

kembangkan relasi saling percaya diantara perüsahaan dan masyarakat<br />

setempat di mana perusahaan beroperasi.<br />

8. Mendorong kesadaran pekerja yang sejalan dengan kebijakan perusahaan<br />

melalui penyebarluasan informasi tentang kebijakan-kebijakan itu pada<br />

pekerja termasuk melalui program-program pelatihan.<br />

9. Menahan diri untuk tidak melakukan tindakan tebang pilih (discrimination)<br />

dan indisipliner.<br />

65


10. Mengembangkan mitra bisnis, termasuk para pemasok dan sub-kontraktor,<br />

untuk menerapkan aturan perusahaan yang sejalan dengan pedoman tersebut.<br />

11. Bersikap abstain terhadap semua keterlibatan yang tak sepatutnya dalam<br />

kegiatan-kegiatan politik lokal.<br />

Pada era global ini, prinsip-prinsip tersebut seharusnya juga menjadi prinsip-<br />

prinsip yang harus dipatuhi oleh semua perusahaan (perseroan terbatas) dalam<br />

mengimplentasikan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). 68<br />

2.4 CSR Dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU No. 40 Tahun 2007)<br />

Di beberapa Negara kegiatan CSR sudah lazim dilakukan oleh suatu<br />

perusahaan, hal ini bukan karena diatur oleh pemerintah, melainkan untuk menjaga<br />

hubungan baik dengan stakeholders. Berbeda dengan di Indonesia dalam sistem<br />

perekonomiannya menganut ekonomi berasaskan kekeluargaan dan berdasarkan<br />

demokrasi ekonomi, serta pelaksanaan pengaturan CSR sebenarnya tidak terlepas dari<br />

makna Pancasila itu sendiri yang merupakan landasan filosofi. Dalam konstitusi ,<br />

prinsip CSR ini berkaitan dengan maksud dan tujuan bangsa dan bernegara<br />

sebagaimana yang termaktub dalam preambul UUD 1945 yang menegaskan bahwa<br />

”...........Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia<br />

dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,<br />

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang<br />

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,......”.<br />

Selain dalam pembukaan UUD 1945 juga terdapat dalam Pasal 33 ayat (1) dan<br />

68 Ismail Solihin, Op. Cit. Hal. 75<br />

66


(4) yang berbunyi :<br />

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;<br />

(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi<br />

dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan<br />

lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan<br />

kesatuan ekonomi nasional.<br />

Oleh karena itu sifat CSR yang ada di Indonesia yang pada mulanya bersifat<br />

sukarela menjadi wajib bagi perusahaan-perusahaan untuk menjalankan program<br />

CSR. Dan tidak ada alasan bagi perusahaan untuk tidak melaksanakan prinsip CSR<br />

dalam aktivitas usahanya. Sehinga agar kewajiban ini bersifat imperatif maka harus<br />

disertai dengan adanya regulasi sehingga pada tanggal 20 Juli 2007 DPR mengetuk<br />

palu tanda disetujuinya RUUPT menjadi UUPT maka muncullah UU No. 40 Tahun<br />

2007 tentang Perseroan Terbatas yang memasukkan klausul CSR dalam Pasal 74<br />

UU PT, meskipun sebelumnya telah dimasukkan dalam Undang-Undang<br />

Penanaman Modal. 69<br />

Ketentuan mengenai CSR dalam UUPT di atur pada pasal 74 yang berbunyi<br />

sebagai berikut:<br />

(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan<br />

dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan<br />

Lingkungan.<br />

(2). Tanggung jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)<br />

merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan<br />

sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan<br />

memperhatikan kepatutan dan kewajaran.<br />

69 Habib Adjie, Op. Cit. hal. 97.<br />

67


(3). Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada<br />

ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.<br />

(4). Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan<br />

diatur dengan Peraturan Pemerintah. 70<br />

Dengan dicantumkannya CSR dalam UU PT yang baru ini, ada beberapa<br />

pendapat yang tidak setuju tentang pengaturan CSR dalam UUPT tersebut, dengan<br />

berbagai alasan, antara lain:<br />

1. CSR adalah kegiatan yang bersifat sukarela (voluntary) bukan bersifat kewajiban<br />

(mandatory). Jika diatur, selain bertentangan dengan prinsip kerelaan, CSR juga<br />

akan member beban baru kepada dunia usaha, karena menggerus keuangan suatu<br />

perusahaan.<br />

2. CSR adalah kegiatan di luar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah<br />

3. diterapkan dalam perundang-undangan formal, seperti ketertiban usaha, pajam atas<br />

keuntungan dan standar lingkungan hidup.<br />

4. CSR di Negara Negara Eropa yang secara institusional jauh lebih matang dari<br />

Indonesia, proses regulasi yang menyangkut kewajiban perusahaan berjalan lama<br />

dan hati-hati. Bahkan European Union sebagai kumpulan Negara yang paling<br />

menaruh perhatian terhadap CSR telah menyatakan sikapnya bahwa CSR bukan<br />

sesuatu yang akan diatur.<br />

5. Lingkup dan pengertian CSR yang dimaksud dalam Pasal 74 UUPT berbeda<br />

15<br />

dengan pengertian CSR dalam pustaka maupun difinisi resmi, baik yang<br />

dikeluarkan oleh Word Bank maupun International Organization for<br />

70 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Penerbit Nada Umbara, hal.<br />

68


Standardization (ISO) 26000 Guidance on Social Responsibility .<br />

6. Pasal 74 telah mengabaikan sejumlah prasyarat yang memungkinkan terwujudnya<br />

makna dasar CSR, yakni sebagai pilihan sadar, adanya kebebasan, dan kemauan<br />

bertindak. 71<br />

Dari berbagai argumentasi yang menolak CSR sebagai suatu kewajiban hanya<br />

melihat CSR pada tataran kewajibannya saja. Para pelaku usaha tidak mengindahkan<br />

dasar filosofisnya dan dampak dari pembangunan yang berlangsung selama ini. Jika<br />

dilihat dari law making process-nya, konsep mengenai CSR dalam UUPT yang baru<br />

disahkan ini tidak terlepas dari aksi dan tuntutan masyarakat dan Lembaga Swadaya<br />

Masyarakat (LSM). Pada saat sekarang dapat dirasakan semakin deras dinamika<br />

sosial masyarakat, serta semakin turun peran pemerintah dan semakin vitalnya peran<br />

swasta dalam pembangunan. Fakta menunjukkan semakin berkurangnya tanggung<br />

jawab dari perusahaan baik nasional maupun multinasional yang beroperasi di<br />

Indonesia dalam mengelola lingkungan.<br />

Fakta yang lain menunjukkan bahwa banyak perusahaan yang hanya melakukan<br />

kegiatan operasionalnya tetapi kurang sekali memberikan perhatian terhadap<br />

kepentingan sosial dan ekonomi masyarakat disekitarnya, seperti kasus buyat atau<br />

yang paling terbaru adalah lumpur panas Lapindo di Sidoarjo, telah membuka mata<br />

para pebisnis dan pejabat pemerintah tentang pentingnya CSR. Selama seminar<br />

nasional tentang CSR yang dilaksanakan oleh IBL tahun 2006 para peserta<br />

memastikan jika CSR akan meningkat, tingkat kepentingan pada bisnis dalam kurun<br />

71 Isa Wahyudi, Op. Cit. hal.185<br />

69


waktu 5 tahun berikutnya, juga terdapat indikasi kuat bahwa investasi pada CSR<br />

dengan kegiatan yang berkaitan telah meningkat pada tahun 2006.<br />

Furthermore, the incidents such as the Buyat case (Newmont Minahasa), the Papua<br />

case (Freeport) or most recently the Sidoarjo “hot-mud” case (Lapindo Brantas)<br />

opened the eyes of business leaders and the general public about the importance of<br />

CSR. During the course of a national conference on CSR hosted by IBL in 2006, the<br />

participants confirmed that CSR would become increasingly important to business<br />

over the next five years. There is also strong indication that investment into CSR<br />

related activities has increased in 2006. Theare a of business ethics and corporate<br />

governance is likely to see an increase 72<br />

Atas dasar argumentasi tersebut, CSR yang semula adalah tanggung jawab<br />

non hukum (responsibility) diubah menjadi tanggung jawab hukum (liability). Untuk<br />

itu, CSR harus dimaknai sebagai instrument untuk mengurangi praktek bisnis yang<br />

tidak etis.<br />

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-<br />

2009, CSR diatur dalam sistem perundang-undangan di bidang hukum perusahaan.<br />

Hal ini dilakukan sebagai upaya mewujudkan tujuan pembangunan perekonomian<br />

yang berlandaskan pada prinsip kebersamaan, efesiensi, berkeadilan, berkelanjutan,<br />

berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan<br />

kesatuan ekonomi nasional sebagai upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat.<br />

Atas pertimbangan tersebut, maka UUPT merumuskan CSR sebagai bagian dari<br />

kewajiban perusahaan dalam melakukan aktivitas kegiatannya di Indonesia.<br />

Kemudian dalam penjelasan UUPT ditegaskan bahwa ketentuan mengenai CSR ini<br />

72 http://www.aseanfoundation.org/seminar/gcsg/papers/Yanti%20Koestoer%20%20Paper%2<br />

02007.<strong>pdf</strong>, page. 3<br />

70


dimaksudkan untuk mendukung terjalinnya hubungan perusahaan yang serasi,<br />

seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat<br />

setempat.<br />

Dalam Pasal 74 ayat (1) UUPT 2007, menegaskan bahwa perseroan yang<br />

bergerak dalam bidang sumber daya alam wajib melaksanakan tanggungjawab social<br />

dan lingkungan. Substansi pasal ini menegaskan dan kewajiban hanya kepada<br />

perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) dan dalam bidang usaha sumber<br />

daya alam saja berkewajiban untuk mempunyai tanggung jawab sosial dan<br />

lingkungan. 73<br />

Substansi pasal 74 ayat (1) UU No.40 Tahun 2007 sangat sempit, yaitu hanya<br />

perseroan yang bergerak dalam bidang usaha (mengolah) sumber daya alam yang<br />

berkewajiban untuk mempunyai tanggungjawab sosial dan lingkungan. Seharusnya<br />

kewajiban tanggungjawab sosial dan lingkungan, bukan hanya untuk perseroan dalam<br />

bidang usaha sumber daya alam saja, tetapi juga untuk semua perseroan, dan sempit<br />

dalam pengertian tanggungjawab sosial yang dikaitkan dengan lingkungan saja.<br />

Tanggungjawab sosial mempunyai makna atau pengertian yang luas tidak hanya<br />

terhadap lingkungan saja, tetapi juga berkaitan dengan aspek kehidupan masyarakat<br />

di sekitarnya, apakah kehadiran sebuah perseroan di suatu tempat dapat memberikan<br />

dampak positif kepada masyarakat, misalnya dapat menaikkan taraf hidup masyarakat<br />

di sekitarnya atau malah menghancurkannya.<br />

Dalam ayat (2) UUPT, bahwa tanggungjawab sosial merupakan kewajiban<br />

73 Habib Adjie, Op. Cit. hal. 72.<br />

71


perseroan yang wajib dianggarkan dalam anggaran (keuangan) perseroan. Dengan<br />

kewajiban seperti ini, tanggungjawab sosial bagi setiap perusahaan wajib menghitung<br />

dengan cermat setiap pengeluaran perseroan sehingga keuntungan yang diperoleh<br />

merupakan keuntungan bersih (netto) yang tidak perlu dikurangi kewajiban lainnya.<br />

Ketentuan dalam Pasal 74 ayat (2) UUPT ini perlu penyebaran lebih lanjut,<br />

terutama berkaitan dengan makna “kewajiban perseroan yang dianggarkan” dan<br />

“diperhitungkan sebagai biaya Perseroan”. Berdasarkan ketentuan ini, setiap<br />

Perseroan harus merancang kegiatan CSR sejak awal suatu perusahaan beroperasi.<br />

Secara teoritis aturan ini sudah pasti memberatkan perusahaan, karena sejak awal<br />

perusahaan sudah mengeluarkan biaya untuk kegiatan CSR, padahal belum diketahui<br />

apakah perusahaan itu akan “profit” atau “lost out” dalam tahun anggaran yang<br />

bersangkutan. Oleh karena itu harus jelas makna kewajiban perseroan yang<br />

dianggarkan tersebut. Apakah dianggarkan sejak perusahaan beroperasi atau setelah<br />

beberapa waktu perusahaan itu beroperasi.<br />

Ketentuan mengenai dana yang dianggarkan untuk kegiatan CSR ini berkaitan<br />

dengan ketentuan Pasal 63 UUPT yang menegaskan:<br />

a. Direksi menyusun rencana kerja tahunan sebelum dimulainya tahun buku yang<br />

akan datang.<br />

b. Rencana kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat juga anggaran<br />

tahunan Perseroan untuk tahun buku yang akan datang.<br />

CSR merupakan bagian dari rencana tahunan yang dianggarkan dari biaya<br />

perusahaan, maka dengan sendirinya CSR tersebut akan menjadi bagian dari laporan<br />

72


tahunan suatu perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) poin c<br />

UUPT. Berkaitan dengan hal tersebut maka sudah barang tentu kegiatan CSR yang<br />

dianggarkan mempunyai implikasi tertentu, baik dari segi pendapatan Negara<br />

maupun kelembagaan. Implikasi tersebut antara lain berkaitan dengan:<br />

a. Biaya CSR merupakan bagian dari pengeluaran suatu perusahaan dan tidak<br />

merupakan bagian dari persentase keuntungan. Oleh karena itu pemerintah harus<br />

memberikan kompensasi tertentu kepada perusahaan, kompensasi ini dapat<br />

diberikan dalam bentuk insentif dalam bidang perpajakan, apakah dalam bentuk<br />

pajak penghasilan, atau pajak pertambahan nilai, atau yang lain.<br />

b. Apabila pemerintah tidak memberikan insentif dalam bentuk tertentu, maka<br />

dengan penerapan CSR ini yang timbul adalah penambahan biaya produksi (cost<br />

product). Tingginya cost product, maka yang menanggung adalah konsumen,<br />

sehingga konsumen dalam membeli produk barang tertentu yang di bayar<br />

bukanlah biaya riil, tetapi berdasarkan harga cost produc. Maka biaya yang<br />

dikeluarkan produsen untuk CSR justru dibebani kepada konsumen. Kalau hal ini<br />

terjadi maka hilanglah makna esensial CSR itu, sehingga CSR hanyalah sebagai<br />

slogan bagi perusahaan untuk strategi bisnisnya.<br />

c. CSR sebagai kegiatan yang dianggarkan dan bagian dari biaya perusahaan.<br />

Persoalan yang timbul adalah bagaimana jika perusahaan yang bersangkutan<br />

mengalami kerugian? Apakah perusahaan tersebut tetap melaksanakan kegiatan<br />

CSR-nya pada tahun yang bersangkutan atau menunda sampai perusahaan tersebut<br />

memperoleh keuntungan. Kemudian bagaimana terhadap kewajiban pajak yang<br />

73


harus dibayar oleh perusahaan tersebut?, apakah perusahaan tersebut tetap<br />

mendapat insentif? Kalau regulasinya tidak jelas insentif yang diberikan justru<br />

akan jadi alasan bagi perusahaan nakal untuk menghindari dari kewajiban<br />

membayar pajak.<br />

d. Apabila CSR telah menjadi bagian dari rencana kerja dan laporan tahunan suatu<br />

perusahaan, maka harus ada lembaga yang pasti yang berhak melakukan<br />

pengawasan dan atau sertifikasi 74<br />

2.5 Pengertian Konsep Tri Hita Karana.<br />

Manusia dipahami sebagai mahluk individual, mahluk sosial, mahluk religius<br />

dan mahluk simbolik. Dalam keberadaannya sebagai mahluk yang serba dimensional<br />

itu, manusia menunjukkan hubungan tergantung secara mikrokosmos dan<br />

makrokosmos. Manusia menempatkan dirinya sesuai dengan system nilai yang ada<br />

dan berlaku dalam hubungannya dengan Tuhan, hubungannya dengan sesamanya,<br />

dan hubungannya dengan lingkungan alamnya.<br />

Ketergantungan yang melekat di dalam diri manusia tidak bersifat statis, karena<br />

di dalam dirinya pula melekat sifat-sifat dinamis yang diekpresikan ke dalam perilaku<br />

berkarya (konsep rwa-bhineda). Keterpaduan dua sisi inilah melahirkan adanya<br />

keseimbangan, keserasian, dan keselarasan yang tampak sebagai keteraturan gerak<br />

menuju kehidupan yang sejahtera. Manusia sebagai mahluk relegius mengakui<br />

adanya yang esa, yang gaib, yang maha sempurna yang mengatur kehidupan alam<br />

74 Amin Widjaja Tunggal, 2008, Corporate Social Responsibility (CSR), Jakarta, Penerbit<br />

Harvarindo,hal. 89<br />

74


semesta (bhuwana agung). Dalam dimensi ini manusia menyadari akan keterbatasan<br />

waktu dan ruang gerak, sehingga berusaha menempatkan dirinya dalam hubungannya<br />

dengan yang maha sempurna.<br />

Untuk kelestarian hubungannya dengan yang maha sempurna itu, maka<br />

manusia berusaha menciptakan berbagai perangkat spiritual keagamaan berdasarkan<br />

kepercayaan dan ketulusannya (sradha dan bhakti) kepada kekuatan alam semesta.<br />

Bukan saja keterikatannya dengan dunia spiritual yang abstrak (Niskala), tetapi<br />

manusia berupaya bagaimana hidup dalam keteraturan pada kehidupan nyata (skala).<br />

Manusia hidup bermasyarakat, bersosial dengan yang lainnya, dalam upaya<br />

menemukan dirinya dan mengisi kebutuhan dirinya secara sendiri dan bersama-sama.<br />

Kebersamaan ini tidak saja dalam hubungan pribadi ataupun dalam kontak sosial<br />

(mikrokosmos) juga dalam ikatannya dengan kehidupan makrokosmos. Dalam upaya<br />

untuk memenuhi kepentingan hidupnya manusia beradaptasi dan mengolah<br />

lingkungannya baik fisik maupun non fisik. Dalam dimensi ini manusia berusaha<br />

menciptakan keseimbangan dan keharmonisan, karena alam lingkungannya disadari<br />

memberi makna bagi kehidupannya.<br />

Dalam upaya untuk mencapai kesejahteraan hidup (makrokosmos/skala dan<br />

niskala), maka kondisi yang hendaknya diciptakan oleh setiap individu terciptanya<br />

keseimbangan yang harmonis, serasi dan selaras antara kehidupan niskala<br />

(transenden yang abstrak) dengan kehidupan skala (imanen yang nyata).<br />

Keberpihakan kepada satu dari kedua sisi tersebut (skala dan niskala) akan<br />

menunjukkan ketidakseimbangan sehingga akan melahirkan pribadi yang tidak<br />

75


harmonis. Sebaliknya melalui sarana yadnya (upacara/upakara) kedua sisi tersebut<br />

akan dipadukan secara seimbang sehingga dapat melahirkan pribadi yang laras, dan<br />

di dalam kondisi itu tujuan hidup akan dapat tercapai.<br />

Pandangan seperti itu bagi manusia atau masyarakat Bali (Hindu)<br />

dikongkritisisr sebagai suatu Bhawa mahurip (alam yang hidup) yang digerakkan<br />

oleh kekuatan rokh (jiwa), sehingga hubungan yang diciptakan tidak bersifat sepihak,<br />

tetapi ketergantungan satu sama lain dipertahankan secara utuh. Sifat hubungan<br />

seperti itu terkonsepsualisasikan dalam “Tri Hita Karana”.<br />

Konsep yang telah melembaga demikian kuat di dalam kehidupan masyarakat<br />

adat di Bali, selalu menghendaki tetap terjaganya keseimbangan dan keharmonisan<br />

antara tiga faktor yakni buana alit (diri sendiri), buana agung (alam semesta), Ida<br />

Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Konsep pemikiran tersebut telah<br />

menjadi nilai budaya, sehingga keyakinan tersebut telah demikian membudaya<br />

dengan kuat ke dalam tatanan kehidupan masyarakat adat di Bali. 75<br />

Secara etimologi Tri Hita Karana mengandung pengertian tri berarti tiga, hita<br />

berarti kemakmuran dan karana berarti penyebab. Dengan demikian Tri Hita Karana<br />

berarti tiga penyebab atau tiga unsur yang dapat melahirkan kemakmuran atau<br />

kesejahteraan yaitu Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan, yang mana ketiga unsur<br />

itu mempunyai makna dan fungsi saling terkait yang melahirkan substansi<br />

75 Legawa I. Made, dkk, 2002, Pengkajian Tri Hita Karana Sebagai Dasar Pembangunan<br />

Daerah Bali, Laporan Penelitian, Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Bali<br />

Dengan Universutas Mahasaraswati Denpasar, hal. 6<br />

76


masyarakat Bali (Hindu) yang hidup dalam pola interaksi simbolik. Hal ini dapat<br />

dijelaskan sebagai berikut:<br />

1. Parhyangan yang berasal dari kata Hyang yaitu Tuhan. Parhyangan atau<br />

kahyangan berarti Ketuhanan atau Hyang Widhi. Sang Hyang Widhi adalah suatu<br />

kekuatan Maha Pencipta(Prima Causa), sumber dari pada segala yang ada di alam<br />

semesta ini (Phurusah Parikirtitah). Beliaulah kekuatan yang sangat esa, yang satu<br />

yang tiada duanya, sebagai awal atau asal dan akhir dari kehidupan, karena itu<br />

oleh masyarakat Bali (Hindu) Parhyangan diwujudkan dalam berbagai Kahyangan<br />

(bangunan suci) untuk menyembah Tuhan. Bangunan suci (kahyangan)<br />

dipersepsikan sebagai tempat berstananya Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Bhatara-<br />

bhatari ataupun Hyang leluhur untuk memberikan kehidupan dan kesejahteraan<br />

serta sebagai obyektivasi kolektif bagi masyarakat Bali (Hindu).<br />

2. Pawongan, berasal dari kata wong yang berarti orang, sehingga aspek pawongan<br />

dimaksudkan hubungan manusia dengan manusia di dalam kehidupan bersama,<br />

dimana organisasi atau kelembagaan baik kedinasan maupun adat, organisasi<br />

komunitas dan keluarga sebagai wadah interaksinya. Dalam hubungan ini<br />

dipahami sebagai tindakan yang berdasarkan atas hubungan sosial yang diikat oleh<br />

nilai-nilai sosial kemasyarakatan. Nilai sosial kemasyarakatan dalam masyarakat<br />

Bali (Hindu) terkonsepsikan dengan ajaran Trikaya Parisuda yaitu bertindak<br />

(kayika), berkata (wacika) dan berfikir (manacika) yang baik dari setiap individu<br />

dalam ikatan bersama.<br />

77


Sebagai ilustrasi dari terapan konsep Tri Hita Karana dapat dipahami dari<br />

perilaku masyarakat yang terorganisir ke dalam sistem Desa Adat/Desa Pekraman,<br />

dan Subak. Kedua organisasi sosial ini sangat kental dengan nilai-nilai adat,<br />

budaya dan agama Hindu. Keterikatan anggota subak dalam kegiatan di sawah<br />

ataupun dalam hubungannya dengan pelaksanaan upacara ritual di subak tampak<br />

sangat kental. Kehidupan seperti itu telah mewarnai kehidupan sehari-hari dari<br />

krama subak di Bali. Mekanisme interaksi antara anggota subak telah diatur dalam<br />

ikatan organisasi yang tampaknya sangat sederhana, tetapi mempunyai nilai sangat<br />

fungsional. Pola prilaku anggota masyarakat subak atau desa pakraman telah<br />

diatur, disepakati, dan dilaksanakan bersama dengan semangat selunglung<br />

sebayantaka (sehidup semati), saling asah, asuh, lan asih. Setiap tindakan krama<br />

subak atau banjar tentu berkonskuensi adanya ganjaran ataupun sanksi yang telah<br />

diatur dan dituangkan dalam awig-awig (aturan pokok), dan pararem (aturan<br />

pelaksanaan) subak atau banjar.<br />

Aspek pawongan mempunyai makna lebih luas dari suatu hubungan yang<br />

komunal, karena dalam organisasi subak atau banjar adat tata hubungan diatur<br />

pula dalam struktur organisasi yang jelas. Organisasi subak mempunyai struktur<br />

yang cukup sederhana tetapi fungsional untuk menyelesaikan masalah yang<br />

berhubungan dengan aktivitas sosial relegius. Fungsionalnya suatu organisasi<br />

dapat dilihat dari terintegrasinya dengan baik berbagai unsure, fungsi dan peranan<br />

yang ada dalam struktur organisasi tersebut.<br />

78


3. Palemahan yang berasal dari kata lemah yang berarti tanah. Palemahan berarti<br />

bhuwana atau alam. Dalam hal ini palemahan dimaksudkan suatu wilayah<br />

pemuliman atau lingkungan tempat tinggal. Masyarakat Desa Pekraman dan subak<br />

memahami atas dasar sradha yaitu sikap percaya (kadangkala pemahaman tanpa<br />

pengetahuan keilmuan ataupun kealaman mereka percaya dan melaksanakan,<br />

karena didasari oleh sifat gugontuwon yaitu percaya karena diakui memang sudah<br />

begitu adanya), hubungan manusia dengan lingkungan alamnya. Krama desa<br />

sebagai kelompok manusiayang bermasyarakat memerlukan bhuwana atau<br />

palemahan sebagai alam tempatnya berpijak, karena disadari manusia tidak bias<br />

hidup tanpa alam dan dari alam. 76<br />

Dalam kaitan hal tersebut diatas maka konsep waktu diinsyafi dan memacu<br />

manusia untuk berbuat bagaimana hidup dan menghidupi alam ini. Waktu<br />

dikonsepsikan ke dalam tiga dimensi yaitu masa lampau (atita), masa sekarang<br />

(nagata) dan masa akan dating (wartamana), yang berarti adanya proses<br />

keseimbangan dari masa lalu ke masa akan datang di dasarkan atas keadaan masa<br />

sekarang. Dari tatanan nilai inimasyarakat desa adat atau pakraman dan juga subak<br />

dihadapkan kepada konsekuensi pemikiran dalam perspektif ke depan. Dikaitkan<br />

dengan upaya pelestarian tampak masyarakat desa adat atau pekraman dan subak<br />

mengusahakan menciptakan kesejahteraan hidup bukan hanya untuk sesaat, tetapi<br />

kesejahteraan dapat diwariskan kepada pewarisnya.<br />

76 Raka, I Gusti Putu, dkk, 1992, Desa Adat dan Pelestarian Lingkungan Hidup, Denpasar MPLA<br />

Dati I Bali, hal. 89<br />

79


Manusia wajib melakukan bhuta hita atau mensejahterakan alam<br />

lingkungannya. Dalam Lontar Purana Bali diungkapkan untuk menjaga<br />

kelestarian alam lingkungan, hendaknya berpegang pada Sad Kerti yaitu Samudra<br />

Kerti, Wana Kerti, dan Danu Kerti yang artinya kita wajib membangun kelestarian<br />

samudra, hutan dan danau atau sumber-sumber air. Upaya umtuk memelihara<br />

keberlangsungan alam lingkungan dilakukan melalui perbuatan nyata di samping<br />

pelaksanaan yadnya baik pelaksanaan Rerahinan Tumpek (Tumpek Uduh, atau<br />

pengatag) maupun kegiatan upacara yadnya lainnya seperti mecaru dalam Bhuta<br />

Yadnya yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai spiritual kepada umat agar<br />

tumbuh kesadaran dirinya melaksanakan upaya pelestarian kesejahteraan alam.<br />

80


BAB III<br />

PENGEMBANGAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERSEROAN DALAM<br />

KONSEP TRI HITA KARANA DI BALI.<br />

3.1 Konsep Tanggung Jawab Sosial Dalam Relevansinya Dengan Konsep Tri<br />

Hita Karana.<br />

3.1.1 Konsep Tri Hita Karana.<br />

Tatanan nilai budaya yang mendasari kehidupan masyarakat Bali<br />

terkonseptualisasikan ke dalam Tri Hita Karana bukan lagi menjadi milik seseorang<br />

sebagai penggagas atau pemilik ide, tetapi telah menjadi suatu bagian dari kehidupan<br />

masyarakat Bali, sehingga telah menjadi identitas kolektif bagi masyarakat Bali.<br />

Pengakuan masyarakat Bali (Hindu) sebagai pendukung dan pengagum Tri Hita<br />

Karana telah memberi acuan dalam setiap tindakan masyarakat Bali, sehingga oleh<br />

mereka dirasakan hidup dalam tatanan Tri Hita Karana telah memberi harapan lebih<br />

dinamis untuk mencapai tujuan hidupnya.<br />

Tri Hita Karana sebagai nilai budaya yang berakar pada ajaran suci Agama<br />

Hindu, mempunyai kesamaan secara kualitas dengan pandangan Kluckholn bahwa<br />

semua sistem nilai budaya mengandung unsur yang berkaitan dengan masalah:<br />

a. Mengenai hakekat dari hidup manusia.<br />

b. Mengenai hakekat dari karya manusia<br />

c. Hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu<br />

81


d. Hakekat hubungan manusia dengan alam sekitarnya<br />

e. Hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya. 77<br />

Konsepsi Tri Hita Karana bukan saja dimaknakan untuk memahami persoalan<br />

tata ruang, tetapi lebih dari itu menyangkut prilaku masyarakat Bali yang dapat dikaji<br />

dari sifat hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesamanya,<br />

dan manusia dengan lingkungan alamnya. Intensitas hubungan dari tiga unsur<br />

tersebut dapat melahirkan keadaan yang bercirikan keseimbangan, keberlanjutan,<br />

keteladanan, dan toleransi, sehingga dapat memberi manfaat dalam usaha untuk<br />

menjaga keutuhan dan kelestarian Bali di masa depan.<br />

a. Nilai Keseimbangan.<br />

Upaya untuk menjaga adanya keseimbangan lahir bathin ataupun keseimbangan<br />

hidup individual dan sosial, merupakan kewajiban yang patut disikapi dan disiasati<br />

dengan bijaksana, sehingga dengan bijaksana dapat memberikan porsi yang<br />

seimbang, yang berarti sikap untuk menjadikan diri lebih dominan atau berkuasa<br />

dapat dijauhkan. Dalam hal ini aspek pengetahuan, dan afektif memberi kontribusi<br />

yang sangat efektif. Pemikiran semacam itu dalam kehidupan serba berbeda sangat<br />

penting, sehingga dengan demikian tidak akan terjadi benturan-benturan yang<br />

mengarah untuk meniadakan pihak-pihak tertentu. Makna keseimbangan dalam<br />

konteks budaya Bali dapat dipahami dari beberapa konsep, yaitu:<br />

1. Konsep Skala-Niskala<br />

77 Koentjaraningrat, 1987, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta, Penerbit PT<br />

Gramedia, hal. 67<br />

82


Dalam konsep dualisme melahirkan pemikiran masyarakat Bali memahami<br />

bahwa kehidupan manusia dihadapkan kepada kekuatan skala-niskala. Kesadaran<br />

skala yang bersifat nyata (immanent-horizontal) dan kesadaran niskala yang abstrak<br />

dan ideal (transeden-vertikal) menjadikan dirinya selalu dalam keadaan terbagi<br />

ataupun memilih. Untuk menjaga keseimbangan tersebut dilakukan dengan<br />

pelaksanaan yadnya (korban suci). Melalui yadnya keseimbangan niskala dan skala<br />

dapat dipertahankan secara serasi dan selaras.<br />

2. Konsep Tri Kona<br />

Keseimbangan dapat pula kepada konsep Tri Kona yaitu pemahaman mengenai<br />

ajaran “lahir”, “hidup”, dan “mati”. Putaran keabadian ini tetap mengikuti perjalanan<br />

mahluk di dunia ini. Konsep Tri Kona inipun oleh masyarakat Bali (Hindu)<br />

dilaksanakan dengan pelaksanaan yadnya.<br />

3. Ajaran Tri Kaya Parisudha<br />

Ajaran Tri Kaya Parisudha mengajarkan kepada manusia dapat selalu<br />

menserasikan apa yang difikirkan, dapat diucapkan dan dilaksanakan dengan<br />

seimbang akan memberikan bobot terhadap kualitas subyeknya.<br />

4. Ajaran Kiwa-Tengen.<br />

Sesuai dengan paham dualism, maka konsep ajaran kiwe-tengen memberi<br />

makna keseimbangan yang harus menjadi pertimbangan di dalam melaksanakan<br />

sesuatu kegiatan. Kiwa (arah kiri) dan tengen (arah kanan), dapat dimaknai sebagai<br />

kekuatan yang memiliki sifat berbeda (lanang-istri/laki perempuan, hitam putih) yang<br />

harus dihayati, dilaksanakan dengan keseimbangan, dan keserasian. Untuk<br />

83


keseimbangan inipun dilakukan melalui yadnya yaitu pengorbanan yang tulus iklas,<br />

tanpa memihak kepada salah satu bagian tersebut.<br />

b. Nilai Keberlanjutan.<br />

Proses pembangunan mengandung makna adanya pewarisan hasil<br />

pembangunan kepada generasi penerusnya. Untuk itu diperlukan adanya usaha-usaha<br />

nyata untuk proses pewarisan tersebut berlangsung pada setiap generasi. Sebab pada<br />

hakekatnya pembangunan bukan untuk dinikmati oleh generasi pelaksana dari<br />

pembangunan ini, tetapi bagaimana proses pembangunan dan hasil-hasilnya dapat<br />

dilaksanakan dan dinikmati oleh generasi penerusnya. Demikian pula bagaimana<br />

proses penyadaran tentang pembangunan berkelanjutan dapat diwariskan kepada<br />

generasi penerus. Pembangunan berkelanjutan dimaknai sebagai prilaku positif untuk<br />

mempertahankan dan meningkatkan kelestarian hidup dengan upaya peningkatan<br />

kesadaran mengenai hubungan timbal balik manusia dengan lingkungan. Sehingga<br />

dengan upaya itu diharapkan kesejahteraan akan berlangsung kekal abadi.<br />

Makna keberlanjutan sebagaimana terkonsep dari ajaran Tri Hita Karana, dapat<br />

dipahami sebagai berikut:<br />

1. Pendalaman terhadap tatwa (ajaran/filsafat).<br />

Upaya pewarisan nilai akan sangat terkait dengan usaha yang dilakukan oleh<br />

pendukung nilai tersebut untuk memahami, menginternalisasi, dan selanjutnya<br />

mengaktualisasikan dalam kehidupannya. Usaha pemahaman itu akan lebih intensif<br />

jika didasarkan kepada sumber-sumber yang jelas dan diajungkan bagi pendukung<br />

sistem nilai itu.<br />

84


Dalam konteks ini tentunya berbagai nilai budaya yang menjadi sumber aspirasi<br />

dan pedoman tingkah laku masyarakat Bali sebagai pendukung nilai budaya Bali,<br />

akan dapat bertahan atau terwariskan secara berkelanjutan apabila diperoleh<br />

berdasarkan atas tatwa dari ajaran Wedha yang diagungkan oleh masyarakat Bali<br />

(Hindu). Tatwa diartikan sebagai filsafat atau makna (kesuksman). 78<br />

2. Sawinih.<br />

Sawinih dimaknai sebagai iuran wajib dalam bentuk natura (hasil bumi) yang<br />

dilakukan oleh anggota subak atau petani untuk jaminan sosial sederhana kepada<br />

pemangku atau pengurus pura. 79 Dalam perkembangannya sawinih tidak semata<br />

untuk prajuru pura, tetapi diberikan kepada anak-anak anggota subak atau<br />

petani(terutama dikaitkan dengan anak atau orang tua asuh). Perilaku yajnya berupa<br />

sawinih dilakukan sebagai pengungkapan tasa syukur atas karunia Tuhan . Sawinih<br />

berasal dari kata winih, binih, benih berarti bibit. Dalam konteks modern dimaknai<br />

sebagai generasi, pelanjutan atau pewarisan, jarena dikaitkan dengan usaha untuk<br />

menjamin kelangsungan dari kehidupan pewaris subak atau petani.<br />

3. Tri Semaya Kala<br />

Pengkajian nilai budaya Bali memiliki perspektif ke depan, karena perilaku<br />

masyarakat Bali selalu dikaitkan dengan hukum karma, yang berkonsekuensi akan<br />

adanya punarbawa, kehidupan setelah mengalami kematian. Kesadaran dan<br />

78 Purwita, Ida Bagus Putu, 1995, Butir-Butir Mutiara Pembinaan Desa Adat Di Bali, Denpasar,<br />

MPLA Dati I Bali, hal. 35<br />

79 Kaler, I. Gusti Ketut, 1994, Butir-Butir Tercecer Tentang Adat Bali, Denpasar, Penerbit Kayu<br />

Mas Agung, hal. 77<br />

85


keyakinan itu melahirkan kesadaran masyarakat Bali (Hindu) memiliki dimensi<br />

waktu yang dikonsepsikan ke dalam kehidupan masa lalu (attita), menuju kehidupan<br />

masa akan datang (anagata), berdasarkan kepada kehidupan di masa kini<br />

(wartamana).<br />

c. Nilai Toleransi<br />

Ajaran yang maha mulia tentang toleransi menurut Hindu yaitu “tat wam<br />

asi”yang dimaknai dengan Äku adalah engkau dan engkau adalah aku”memberikan<br />

penyadaran betapa besarnya keeratan antara manusia dalam memaknai hidup ini.<br />

Nilai toleransi dapat dipahami dari konsep-konsep yaitu:<br />

1. Desa Kala Patra, Desa Mawacara ataupun adat mawacara.<br />

Desa Kala Patra, Desa Mawacara dan adat mawacara mengisyaratkan<br />

pengakuan adanya keragaman yang ada dan berlaku di dalam kehidupan masyarakat<br />

Bali. Desa, kala dan adat bersifat amat dinamis, fleksibel, dan otonomi sesuai ruang<br />

dan waktu, sehingga kepadanya mendapat keleluasaan dalam bertindak dan<br />

mengambil keputusan. 80<br />

Dalam kehidupan masyarakat yang amat kompleks dan frekuensi untuk<br />

melakukan interaksi relative tinggi memerlukan sikap untuk saling memahami,<br />

menghargai, dan menghormati keunikan masing-nasing. Dalam hal ini amat<br />

diperlukannya toleransi.<br />

2. Salunglung Sabayan Taka, dan Asah, Asuh lan Asih.<br />

Salunglung Sabayan Taka, dan Asah, Asuh lan Asih , merupakan nilai budaya<br />

80 Mirsha, I Gusti Ngurah, 1994,Wrhaspati Tatwa, Penerbit Upada Sastra, hal. 55<br />

86


Bali yang hidup dan memberi kehidupan pada masyarakat Bali untuk penuh kohesi<br />

yang bersifat guyub. Bentuk nyata dari nilai ini tampak pada masyarakat Bali dalam<br />

melaksanakan yajnya (korban suci/ upacara) Gotong royong, ketulusan hati,<br />

kepasrahan, tingkeb wakul, kerik tingkih, memberi nuansa dalam melaksanakan<br />

yajnya yang dibungkus oleh jiwa salunglung sebayan taka dan asah, asuh lan asih<br />

tersebut. Dalam perspektif perubahan zaman, maka nilai ini patut tetap diabadikan<br />

dalam perilaku masyarakat Bali, dimulai dari bagaimana secara pisik Bali dijaga<br />

untuk selalu mengandung nilai ini. Bangunan yang tinggi dengan tembok pagar<br />

penyekat tanpa kompromi, menjauhkan masyarakat Bali dari jiwa suka duka yang<br />

melekat dan membantu dalam pribadi masyarakat Bali. Hal ini tidak saja untuk<br />

melestarikan nilai budaya tat wam asi semata, tetapi juga keberlanjutan atau<br />

kelestarian Bali di era perubahan yang serba dimensional.<br />

d. Nilai Keteladanan.<br />

Keteladanan yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah ada nilai yang<br />

dipergunakan atau dilihat sebagai sumber asuhan (contoh) dalam mengembangkan<br />

sikap, cara berfikir, bertingkah laku, dan atau tindakan-tindakan yang bersifat<br />

normatif, etis, sehingga masih tetap menunjukkan perilaku dalam kerangka sistem<br />

nilai budaya Bali. Hal ini dapat dipahami dari beberapa konsep yang bernuansakan<br />

nilai keteladanan untuk diterjemahkan ke dalam perilaku ataupun yang pisik, antara<br />

lain:<br />

1. Prinsip Luwan Teben.<br />

Luwan atau hulu dan teben atau hilir memberi petunjuk akan posisi yang serba<br />

87


memiliki struktur etika yang dapat dijadikan pedoman dalam menempatkan<br />

sesuatu yang dibedakan atas pemaknaan sacral dan profane, bersih atau suci dan kotor<br />

(sebel). Dengan demikian ada nilai yang tinggi atau utama dan ada yang dipahami<br />

sebagai sesuatu yang bernilai rendah atau di bawah.<br />

Dalam konteks makrokosnos dan mikrokosmos dikenal pembagian yang serba<br />

terbagi tiga. Secara makrokosmos Tri Loka terdiri dari; bhur, bhwah, shwah, dan<br />

dalam kajian mikrokosmos dikenal adanya Tri Angga yaitu kepala, badan, dan kaki.<br />

Kedua tataran itu menunjukkan adanya tingkatan nilai yaitu nista (rendah), madya<br />

(sedang), dan utama (tinggi). Tri Angga pada manusia dan Tri Loka pada alam raya<br />

nyata menampakkan diri secara fisik tersusun vertikal dari bawah ke atas. 81<br />

2. Loka Pala Sraya.<br />

Ketekadanan dapat juga diungkapkan dari term Loka Pala Sraya yang<br />

mengandung arti layanan kepada masyarakat. Loka berarti alam, dunia, tempat, dan<br />

Pala berarti mengatur, menuntun, membimbing, membina, serta Sraya berarti<br />

membantu, melayani, mengabdi. Secara spesifik diartikan sebagai pelayanan kepada<br />

umat di bidang keagamaan atau spiritual.<br />

Dalam perspektif lebih luas dapat diartikan pelayanan oleh petugas pemerintah,<br />

atau yang bertugas melayani masyarakat. Seorang yang sudah melaksanakan loka<br />

pala sraya ini tidak dapat lepas dari kewajibannya, bahkan tidak sekedar<br />

melaksanakan swadarma, tetapi telah mengandung wewenang yang bernilai hukum.<br />

Tidak seorangpun dapat menggantikan wewenangnya, sebagaimana tampak dalam<br />

81 Kaler, Op. Cit. Hal.<br />

88


kehidupan beragama, tidak seorangpun yang berani menggantikan pendeta yang<br />

sedang melaksanakan loka pala sraya dalam memberikan tirta pamuput (air suci<br />

dalam menyelesaikan upacara) kepada seseorang yang sedang melaksanakan korban<br />

suci (yajnya).<br />

3.1.2 Konsep Tanggung Jawab Sosial Perseroan.<br />

Perkembangan pola kegiatan ekonomi membuat masyarakat dunia saling<br />

berkait, selain saling bersaing, juga saling membutuhkan nasib satu sama lain. Saling<br />

keterkaitan ini memerlukan adanya kesepakatan mengenai aturan main yang<br />

berlaku.Aturan main yang diterapkan untuk perdagangan internasional adalah aturan<br />

main yang berkembang dalam sistem GATT/WTO. Setelah Indonesia meratifikasi<br />

persetujuan Internasional di bidang perdagangan dalam organisasi internasional yang<br />

dinamakan Word Trade Organization (WTO) tersebut, maka Indonesia harus<br />

mematuhi segala ketentuan yang berlaku bagi semua Negara anggota WTO dengan<br />

segala konsekuensinya. 82<br />

Pengaruh globalisasi ekonomi di bidang hukum tampak sekali pada kontrak-<br />

kontrak bisnis internasional, karena negara-negara maju membawa transaksi baru ke<br />

negara berkembang, sehingga mitra mereka di negara berkembang harus menerima<br />

model-model kontrak bisnis internasional tersebut. Hal ini dapat disebabkan karena<br />

sebelumnya mereka tidak mengenal model tersebut, atau dapat juga dikarenakan<br />

posisi tawar (bargaining position) yang lemah.<br />

82 Syarip Hidayat, 2008, Pengaruh Globalisasi Ekonomi dan Hukum Ekonomi Internasional<br />

Dalam Pembangunan Hukum Ekonomi Di Indonesia, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, hal. 11<br />

89


Undang-undang Perseroan Terbatas di berbagai negara, baik di negara Civil<br />

Law maupun Common Law berisikan substansi yang sama. Hal ini terjadi karena<br />

dana yang mengalir ke pasar-pasar tersebut tidak lagi terikat dengan waktu dan batas-<br />

batas Negara. Sejalan dengan ini maka muncullah tuntutan untuk melaksanakan<br />

prinsip-prinsip “Good Corporate Governance/GCG” dengan baik serta proporsional,<br />

yaitu keterbukaan (tranparancy), akuntabilitas, Responsibilitas, Independensi,<br />

Kesetaraan dan Kewajaran (fairness), terutama di dalam praktek dan kegiatan usaha<br />

serta perekonomian dunia. Bersama-sama dengan sepuluh asas Global Compact (GC)<br />

maka konsep CSR sekarang merupakan bagian pedoman melaksanakan GCG. 83<br />

Di Indonesia perubahan UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas<br />

menjadi UU No.40 Tahun 2007, telah membawa perubahan penting bagi dunia usaha<br />

di Indonesi. Salah satu yang mendapat perhatian lebih dari kalangan pengusaha<br />

adalah tentang CSR tersebut, karena akhir-akhir ini CSR telah menjadi salah satu<br />

faktor penilaian bagi investor asing yang akan menanamkan modalnya di Indonesia.<br />

CSR menjadi salah satu kewajiban yang harus dilaksankana oleh perusahaan sesuai<br />

dengan ketentuan Pasal 74 UU No. 40 Tahun 2007 tentang PT. Dengan dimuatnya<br />

CSR di dalam UUPT No. 40 Tahun 2007 diharapkan dapat mendorong perseroan<br />

bukan saja untuk peduli pada daerah sekitar, tetapi juga bertanggung jawab atas<br />

kemajuan masyarakat sekitarnya.<br />

Konsep CSR telah dikenal sejak tahun 1970, yang secara umum diartikan<br />

83 Mardjono Reksodiputro, 2007, Sektor Bisnis (Corporate) Sebagai Subyek Hukum Dalam Kaitan<br />

Dengan HAM, Jakarta, Sinar Grafika, Hal. 1<br />

90


sebagai kumpulan kebijakan dan praktik yang berhubungan dengan stake holder,<br />

nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum, penghargaan masyarakat, lingkungan, serta<br />

komitmen dunia usaha untuk berkontribusi dalam pembangunan secara<br />

berkelanjutan. Konsep CSR ini sebenarnya muncul sebagai akibat dari gelombang<br />

besar globalisasi perdagangan internasional dan gerakan politik demokrasi yang<br />

ukuran-ukuran prinsip pelaksanaannya bertujuan untuk mensejahterakan rakyat<br />

Indonesia tetapi belum mampu dijalankan secara teratur oleh pejabat negara dan<br />

pemerintah Indonesia.<br />

Apabila dilihat dari sejarah perkembangan CSR maka konsep CSR dapat<br />

diuraikan sebagai berikut:<br />

1. Konsep CSR periode 1920-1959.<br />

Konsep CSR adalah kesadaran moral dan keikhlasan untuk membantu masyarakat<br />

melalui kegiatan derma dan kecintaan kepada sesama oleh pelaku usaha. Konsep<br />

yang melandasi CSR pada periode ini adalah CSR merupakan suatu tanggung jawab<br />

moral dari pelaku usaha melalui kegiatan kedermawanan dan kecintaan manusia<br />

kepada sesamanya.<br />

2. Konsep CSR periode 1960-1969.<br />

Konsep CSR adalah harga diri pengusaha itu sendiri berupa tanggung jawab atas<br />

terwujudnya nilai-nilai kemanusiaan di masyarakat. Konsep CSR dalam periode ini<br />

adalah CSR yang sebelumnya merupakan kewajiban moral yang bersifat<br />

kedermawanan berkembang menjadi suatu tolok ukur harga diri dari pengusahanya<br />

dengan mewujudkan nilai-nilai masyarakat.<br />

91


3. Konsep CSR periode 1970-1979.<br />

Konsep CSR adalah tanggung jawab dunia usaha dalam peningkatan sektor<br />

lingkungan sosial di masyarakat dalam berbagai aspek. Konsep CSR di periode ini<br />

adalah CSR yang sebelumnya mewujudkan nilai-nilai masyarakat berkembang ke<br />

peningkatan sektor lingkungan hidup dan aspek-aspek lainnya yaitu ekonomi,<br />

etika, hukum dan perusahaan yang bijaksana.<br />

4. Konsep CSR periode 1980-1989.<br />

Konsep CSR adalah proses menambah value perusahaan adalah tergantung pada<br />

stakeholders operasional perusahaan. Konsep CSR dalam periode ini mulai<br />

berkembangnya teori stakeholders (para pemangku kepentingan) dalam<br />

melakukan CSR untuk meningkatkan nilai perusahaan.<br />

5. Konsep CSR periode 1990-1999.<br />

Konsep CSR adalah peningkatan ekonomi dan komunitas dalam masyarakat<br />

secara keberlanjutan melalui harmonisasi dari lingkungan, ekonomi dan<br />

masyarakat. Konsep CSR dalam periode ini berkembang ke konsep keberlanjutan<br />

dalam pelaksanaan CSR yang didasari aspek ekonomi, lingkungan, dan<br />

masyarakat.<br />

6. Konsep CSR periode 2000-saat ini.<br />

Konsep CSR adalah perhatian terhadap nilai-nilai masyarakat secara<br />

berkelanjutan. Perkembangan berikutnya Konsep CSR adalah pembangunan<br />

berkelanjutan dari segala aspek oleh para pemangku kepentingan. Konsep CSR<br />

adalah strategi bisnis untuk pembangunan berkelanjutan. Konsep CSR adalah<br />

92


pemberdayaan masyarakat untuk peningkatan lingkungan dan kualitas hidup.<br />

Perkembangan pemikiran terus terjadi terhadap konsep tersebut sehingga<br />

perkembangan berikutnya konsep CSR adalah keberlanjutan aktivitas sosial<br />

perusahaan kepada pemangku kepentingan. Konsep CSR adalah kejelasan sistem<br />

dari tindakan perusahaan kepada masyarakat dan lingkungan. Konsep CSR<br />

adalah kepedulian secara sukarela kepada para pemangku kepentingan. Konsep<br />

CSR adalah tanggung jawab perusahaan ke segala aspek dan para pemangku<br />

kepentingan<br />

Konsep CSR dalam periode 2000 sampai saat ini adalah CSR selain dilandasi<br />

oleh teori stakeholders juga dilandasi oleh konsep pembangunan berkelanjutan<br />

melalui pemberdayaan masyarakat untuk peningkatan lingkungan dan kualitas hidup.<br />

Dari pemaparan perkembangan konsep CSR dari waktu ke waktu dapatlah<br />

ditarik benang merahnya yaitu pada awalnya CSR itu dilandasi atas konsep<br />

kedermawanan yang kemudian berkembang menjadi suatu harga diri dari<br />

pengusahanya, kemudian dilandasi teori triple bottom line yaitu CSR berkembang<br />

tidak hanya pada peningkatan sektor lingkungan hidup saja, tetapi juga ke berbagai<br />

aspek ekonomi dan masyarakat. CSR kemudian berkembang didasari oleh teori<br />

stakeholders dimana perusahaan berhubungan baik dengan stakeholders perusahaan<br />

sehingga meningkatkan nilai perusahaan. Saat ini konsep CSR yang selain dilandasi<br />

teori stakeholders juga dilandasi konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable<br />

development) dimana CSR itu dilakukan secara berkelanjutan untuk pengembangan<br />

masyarakat yang merupakan salah satu stakeholder perusahaan.<br />

93


Perkembangan CSR telah membuat suatu perusahaan yang pada awalnya<br />

bertujuan mencari keuntungan semata kini harus memperhatikan aspek lingkungan<br />

dan masyarakat khususnya di wilayah perusahaan itu beroperasi. Pada prinsipnya<br />

seorang direksi perusahaan tidak hanya bertugas semata-mata untuk menjalankan<br />

bisnis perusahaan sehari-hari, membuat laporan keuangan, mengikuti seluruh aturan<br />

hukum yang berlaku, tetapi juga mengharapkan agar direksi dapat memenuhi<br />

kehendak masyarakat di lingkungannya, dan memenuhi kepentingan seluruh<br />

pemegang kepentingan bukan saja pemegang saham. 84<br />

Dalam rangka mempraktekan kaidah-kaidah pengelolaan perusahaan yang baik,<br />

perusahaan-perusahaan dianjurkan untuk membuat suatu Corporate Code of Conduct<br />

(CCC) yang pada dasarnya memuat nilai-nilai etika bisnis, sebagai basis menuju<br />

praktik CSR Conduct harus singkat dan jelas, tetapi cukup rinci guna memberikan<br />

arahan perihal pelaku etika bisnis. Contohnya perlakuan yang adil terhadap pemegang<br />

saham minoritas (fairness), penyajian laporan keuangan yang akurat dan tepat waktu<br />

(transparancy) serta fungsi dan kewenangan RUPS, Komisaris dan Direksi<br />

(accountability). Dalam prinsip responsibility atau tanggung jawab, perusahaan harus<br />

menciptakan nilai tambah (value added) dari produk dan jasa bagi stakeholders, yang<br />

lebih mencerminkan stakeholders-driven concept. 85<br />

3.2 Standarisasi Pelaksanaan CSR<br />

Semenjak keruntuhan rezim Orde Baru, masyarakat semakin berani untuk<br />

84 Hendra Setiawan Boen, 2008, Bianglala Business Judment Rule, Jakarta, Penerbit Tatanusa,<br />

hal. 87.<br />

85 Hendrik Budi Untung, Op. Cit, hal. 24.<br />

94


erinspirasi dan mengekspresikan tuntutannya terhadap perkembangan dunia bisnis<br />

Indonesia. Masyarakat telah semakin kritis dan mampu melakukan kontrol sosial<br />

terhadap dunia usaha. Hal ini menuntut para pelaku bisnis untuk menjalankan<br />

usahanya dengan semakin bertanggungjawab. Pelaku bisnis tidak hanya dituntut<br />

keuntungan dari lapangan usahanya, melainkan mereka juga diminta untuk<br />

memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan sosialnya.<br />

Perubahan pada tingkat kesadaran masyarakat memunculkan kesadararan baru<br />

tentang pentingnya melaksanakan CSR. Pemahaman itu memberikan pedoman bahwa<br />

korporasi bukan lagi sebagai entitas yang hanya mementingkan dirinya sendiri saja<br />

sehingga ter-alienasi atau mengasingkan diri dari lingkungan masyarakat di tempat<br />

mereka bekerja, melainkan sebuah entitas usaha yang wajib melakukan adaptasi<br />

kultural dengan lingkungan sosialnya.<br />

CSR adalah basis teori tentang perlunya sebuah perusahaan membangun<br />

hubungan harmonis dengan masyarakat tempatnya berusaha. CSR memandang<br />

perusahaan sebagai agen moral. Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah perusahaan<br />

harus menjunjung tinggi moralitas. Parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam<br />

sudut pandang CSR adalah pengedepankan prinsip moral dan etis, yakni menggapai<br />

suatu hasil terbaik, tanpa merugikan kelompok masyarakat lainnya. Salah satu prinsip<br />

moral yang sering digunakan adalah golden-rules, yang mengajarkan agar seseorang<br />

atau suatu pihak memperlakukan orang lain sama seperti apa yang mereka ingin<br />

diperlakukan. Dengan begitu, perusahaan yang bekerja dengan mengedepankan<br />

95


prinsip moral dan etis akan memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat. 86<br />

Menilik sejarahnya, gerakan CSR modern yang berkembang pesat selama dua<br />

puluh tahun terakhir ini lahir akibat desakan organisasi-organisasi masyarakat sipil<br />

dan jaringannya di tingkat global. Keprihatinan utama yang disuarakan adalah<br />

perilaku korporasi, demi maksimalisasi laba, lazim mempraktekkan cara-cara yang<br />

tidak fair dan tidak etis, dan dalam banyak kasus bahkan dapat dikategorikan sebagai<br />

kejahatan korporasi. Beberapa raksasa korporasi transnasional sempat merasakan<br />

jatuhnya reputasi mereka akibat kampanye dalam skala global tersebut.<br />

Hingga dekade 1980-90 an, wacana CSR terus berkembang. Munculnya KTT<br />

Bumi di Rio pada 1992 menegaskan konsep sustainibility development<br />

(pembangunan berkelanjutan) sebagai hal yang mesti diperhatikan, tak hanya oleh<br />

negara, tapi terlebih oleh kalangan korporasi yang kekuatan kapitalnya makin<br />

menggurita. Tekanan KTT Rio, terasa bermakna sewaktu James Collins dan Jerry<br />

Porras meluncurkan Built To Last; Succesful Habits of Visionary Companies di tahun<br />

1994. Lewat riset yang dilakukan, mereka menunjukkan bahwa perusahaan-<br />

perusahaan yang terus hidup bukanlah perusahaan yang hanya mencetak keuntungan<br />

semata.<br />

Sebagaimana hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de<br />

Janeiro Brazilia 1992, menyepakati perubahan paradigma pembangunan, dari<br />

pertumbuhan ekonomi (economic growth) menjadi pembangunan yang berkelanjutan<br />

(sustainable development). Dalam perspektif perusahaan, di mana keberlanjutan<br />

86 Hendra Setiawan Boen, Op. Cit. hal. 75<br />

96


dimaksud merupakan suatu program sebagai dampak dari usaha-usaha yang telah<br />

dirintis, berdasarkan konsep kemitraan dan rekanan dari masing-masing stakeholder.<br />

Ada lima elemen sehingga konsep keberlanjutan menjadi penting, di antaranya adalah<br />

(1) ketersediaan dana, (2) misi lingkungan, (3) tanggung jawab sosial, (4)<br />

terimplementasi dalam kebijakan (masyarakat, korporat, dan pemerintah), (5)<br />

mempunyai nilai keuntungan/manfaat.<br />

Pertemuan Yohannesburg tahun 2002 yang dihadiri para pemimpin dunia<br />

memunculkan konsep social responsibility, yang mengiringi dua konsep sebelumnya<br />

yaitu economic dan environment sustainability. Ketiga konsep ini menjadi dasar bagi<br />

perusahaan dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya (Corporate Social<br />

Responsibility). Pertemuan penting UN Global Compact di Jenewa, Swiss, Kamis, 7<br />

Juli 2007 yang dibuka Sekjen PBB mendapat perhatian media dari berbagai penjuru<br />

dunia. Pertemuan itu bertujuan meminta perusahaan untuk menunjukkan tanggung<br />

jawab dan perilaku bisnis yang sehat yang dikenal dengan corporate social<br />

responsibility.<br />

Sesungguhnya substansi keberadaan CSR adalah dalam rangka memperkuat<br />

keberlanjutan perusahaan itu sendiri dengan jalan membangun kerjasama antar<br />

stakeholder yang difasilitasi perusahaan tersebut dengan menyusun program-program<br />

pengembangan masyarakat sekitarnya. Atau dalam pengertian kemampuan<br />

perusahaan untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya, komunitas dan<br />

stakeholder yang terkait dengannya, baik lokal, nasional, maupun global. Karenanya<br />

97


pengembangan CSR ke depan seyogianya mengacu pada konsep pembangunan yang<br />

berkelanjutan.<br />

Prinsip keberlanjutan mengedepankan pertumbuhan, khususnya bagi<br />

masyarakat miskin dalam mengelola lingkungannya dan kemampuan institusinya<br />

dalam mengelola pembangunan, serta strateginya adalah kemampuan untuk<br />

mengintegrasikan dimensi ekonomi, ekologi, dan sosial yang menghargai<br />

kemajemukan ekologi dan sosial budaya. Kemudian dalam proses pengembangannya<br />

tiga stakeholder inti diharapkan mendukung penuh, di antaranya adalah; perusahaan,<br />

pemerintah dan masyarakat.<br />

Dalam implementasi program-program CSR, diharapkan ketiga elemen di atas<br />

saling berinteraksi dan mendukung, karenanya dibutuhkan partisipasi aktif masing-<br />

masing stakeholder agar dapat bersinergi, untuk mewujudkan dialog secara<br />

komprehensif. Karena dengan partisipasi aktif para stakeholder diharapkan<br />

pengambilan keputusan, menjalankan keputusan, dan pertanggungjawaban dari<br />

implementasi CSR akan di emban secara bersama.<br />

CSR sebagai sebuah gagasan, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada<br />

tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan<br />

(corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja.<br />

Tapi tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines. Di sini<br />

bottom lines lainnya selain finansial juga adalah sosial dan lingkungan. Karena<br />

kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara<br />

berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan perusahaan hanya akan terjamin apabila,<br />

98


perusahaan memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup. Sudah menjadi<br />

fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar, di berbagai tempat dan waktu muncul<br />

ke permukaan terhadap perusahaan yang dianggap tidak memperhatikan aspek-aspek<br />

sosial, ekonomi dan lingkungan hidupnya.<br />

Pada bulan September 2004, ISO (International Organization for<br />

Standardization) sebagai induk organisasi standarisasi internasional, berinisiatif<br />

mengundang berbagai pihak untuk membentuk tim (working group) yang<br />

membidangi lahirnya panduan dan standarisasi untuk tanggung jawab sosial yang<br />

diberi nama ISO 26000: Guidance Standard on Social Responsibility.<br />

Pengaturan untuk kegiatan ISO dalam tanggungjawab sosial terletak pada<br />

pemahaman umum bahwa SR adalah sangat penting untuk kelanjutan suatu<br />

organisasi. Pemahaman tersebut tercermin pada dua sidang, yaitu Rio Earth Summit<br />

on the Environmenta tahun 1992 dan World Summit on Sustainable Development<br />

(WSSD) tahun 2002 yang diselenggarakan di Afrika Selatan.<br />

Pembentukan ISO 26000 ini diawali ketika pada tahun 2001 badan ISO<br />

meminta ISO on Consumer Policy atau COPOLCO merundingkan penyusunan<br />

Standar Corporate Social Responsibility. Selanjutnya badan ISO tersebut<br />

mengadopsi laporan COPOLCO mengenai pembentukan Strategic Advisory Group<br />

on Social Responsibility pada tahun 2002. Pada bulan Juni 2004 diadakan pre-<br />

conference dan conference bagi negara-negara berkembang, selanjutnya di tahun<br />

2004 bulan Oktober, New York Item Proposal atau NWIP diedarkan kepada seluruh<br />

negara anggota, kemudian dilakukan voting pada bulan Januari 2005, dimana 29<br />

99


negara menyatakan setuju, sedangkan 4 negara tidak. Dalam hal ini terjadi<br />

perkembangan dalam penyusunan tersebut, dari CSR atau Corporate Social<br />

Responsibility menjadi SR atau Social Responsibility saja. Perubahan ini, menurut<br />

komite bayangan dari Indonesia, disebabkan karena pedoman ISO 26000<br />

diperuntukan bukan hanya bagi korporasi tetapi bagi semua bentuk organisasi, baik<br />

swasta maupun publik.<br />

100<br />

ISO 26000 menyediakan standar pedoman yang bersifat sukarela mengenai<br />

tanggung tanggung jawab sosial suatu institusi yang mencakup semua sektor badan<br />

publik ataupun badan privat baik di negara berkembang maupun negara maju.<br />

Dengan ISO 26000 ini akan memberikan tambahan nilai terhadap aktivitas tanggung<br />

jawab sosial yang berkembang saat ini dengan cara:<br />

1. mengembangkan suatu konsensus terhadap pengertian tanggung jawab sosial dan<br />

isunya<br />

2. menyediakan pedoman tentang penterjemahan prinsip-prinsip menjadi kegiatan-<br />

kegiatan yang efektif; dan<br />

3. Memilah praktek-praktek terbaik yang sudah berkembang dan disebarluaskan<br />

untuk kebaikan komunitas atau masyarakat internasional.<br />

Apabila hendak menganut pemahaman yang digunakan oleh para ahli yang<br />

menggodok ISO 26000 Guidance Standard on Social responsibility yang secara<br />

konsisten mengembangkan tanggung jawab sosial maka masalah SR akan mencakup<br />

7 isu pokok yaitu:<br />

1. Pengembangan Masyarakat


2. Konsumen<br />

3. Praktek Kegiatan Institusi yang Sehat<br />

4. Lingkungan<br />

5. Ketenagakerjaan<br />

6. Hak asasi manusia<br />

7. Organizational Governance (governance organisasi)<br />

ISO 26000 menerjemahkan tanggung jawab sosial sebagai tanggung jawab suatu<br />

organisasi atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan<br />

lingkungan, melalui perilaku yang transparan dan etis, yang:<br />

1. Konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat;<br />

2. Memperhatikan kepentingan dari para stakeholder;<br />

3. Sesuai hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma-norma internasional;<br />

4. Terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi, dalam pengertian ini meliputi baik<br />

kegiatan, produk maupun jasa.<br />

101<br />

Berdasarkan konsep ISO 26000, penerapan sosial responsibility hendaknya<br />

terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi yang mencakup 7 isu pokok diatas. Dengan<br />

demikian jika suatu perusahaan hanya memperhatikan isu tertentu saja, misalnya<br />

seperti aspek lingkungan, maka perusahaan tersebut sesungguhnya belum<br />

melaksanakan tanggung jawab sosial. Misalnya suatu perusahaan sangat peduli<br />

terhadap isu lingkungan, namun perusahaan tersebut masih mengiklankan penerimaan<br />

pegawai dengan menyebutkan secara khusus kebutuhan pegawai sesuai dengan


gender tertentu, maka sesuai dengan konsep ISO 26000 perusahaan tersebut<br />

sesungguhnya belum melaksanakan tanggung jawab sosialnya secara utuh.<br />

102<br />

Prinsip-prinsip dasar tanggung jawab sosial yang menjadi dasar bagi<br />

pelaksanaan yang menjiwai atau menjadi informasi dalam pembuatan keputusan dan<br />

kegiatan tanggung jawab sosial menurut ISO 26000 meliputi:<br />

1. Kepatuhan kepada hukum<br />

2. Menghormati instrumen/badan-badan internasional<br />

3. Menghormati stakeholders dan kepentingannya<br />

4. Akuntabilitas<br />

5. Transparansi<br />

6. Perilaku yang beretika<br />

7. Melakukan tindakan pencegahan<br />

8. Menghormati dasar-dasar hak asasi manusia<br />

Ada empat agenda pokok yang menjadi program kerja tim itu hingga tahun<br />

2008, diantaranya adalah menyiapkan draf kerja tim hingga tahun 2006, penyusunan<br />

draf ISO 26000 hingga Desember 2007, finalisasi draf akhir ISO 26000 pada bulan<br />

September 2008 dan seluruh tugas tersebut rampung pada tahun 2009.<br />

Pada pertemuan tim yang ketiga tanggal 15-19 Mei 2006 yang dihadiri 320<br />

orang dari 55 negara dan 26 organisasi internasional itu, telah disepakati bahwa ISO<br />

26000 ini hanya memuat panduan (guidelines) saja dan bukan pemenuhan terhadap<br />

persyaratan karena ISO 26000 ini memang tidak dirancang sebagai standar sistem


manajemen dan tidak digunakan sebagai standar sertifikasi sebagaimana ISO-ISO<br />

lainnya.<br />

103<br />

Adanya ketidakseragaman dalam penerapan CSR diberbagai negara<br />

menimbulkan adanya kecenderungan yang berbeda dalam proses pelaksanaan CSR<br />

itu sendiri di masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu pedoman umum dalam<br />

penerapan CSR di manca negara. Dengan disusunnya ISO 26000 sebagai panduan<br />

(guideline) atau dijadikan rujukan utama dalam pembuatan pedoman SR yang berlaku<br />

umum, sekaligus menjawab tantangan kebutuhan masyarakat global termasuk<br />

Indonesia.<br />

3.3 Manfaat CSR Bagi Perusahaan.<br />

Penerapan CSR di perusahaan akan menciptakan iklim saling percaya di<br />

dalamnya, yang akan menaikkan motivasi dan komitmen karyawan. Pihak konsumen,<br />

investor, pemasok, dan stakeholders yang lain juga telah terbukti lebih mendukung<br />

perusahaan yang dinilai bertanggung jawab sosial, sehingga meningkatkan peluang<br />

pasar dan keunggulan kompetitifnya. Dengan segala kelebihan itu, perusahaan yang<br />

menerapkan CSR akan menunjukkan kinerja yang lebih baik serta keuntungan dan<br />

pertumbuhan yang meningkat.<br />

Memang saat ini belum tersedia formula yang dapat memperlihatkan hubungan<br />

praktik CSR terhadap keuntungan perusahaan sehingga banyak kalangan dunia usaha<br />

yang bersikap skeptis dan menganggap CSR tidak memberi dampak atas prestasi<br />

usaha, karena mereka memandang bahwa CSR hanya merupakan komponen biaya<br />

yang mengurangi keuntungan. Praktek CSR akan berdampak positif jika dipandang


sebagai investasi jangka panjang. Karena dengan melakukan praktek CSR yang<br />

berkelanjutan, perusahaan akan mendapat tempat di hati dan ijin operasional dari<br />

masyarakat, bahkan mampu memberikan kontribusi bagi pembangunan<br />

berkelanjutan.<br />

104<br />

CSR kini semakin meroket dan marak diselenggarakan di berbagai belahan<br />

dunia. Menguatnya terpaan prinsip Good Corporate Governance telah mendorong<br />

CSR semakin menyentuh “jantung hati” dunia bisnis. Di Indonesia, CSR sekarang<br />

dinyatakan lebih tegas lagi dalam UU PT No. 40 Tahun 2007. Pendapat Milton<br />

Friedman yang menyatakan bahwa tujuan utama korporasi adalah memperoleh profit<br />

semata semakin ditinggalkan. Sebaliknya konsep triple bottom line (profit, planet,<br />

people) yang digagas oleh John Elkington semakin masuk ke mainstream etika<br />

bisnis. 87<br />

CSR sudah diyakini sebagai suatu kewajiban bagi perusahaan, maka dengan<br />

sendirinya perusahaan telah melaksanakan “investasi sosial”. Sebagai investasi sosial<br />

tentu saja perusahaan akan memperoleh keuntungan dalam bentuk manfaat yang<br />

diperoleh. Karena CSR bersifat investasi sosial sudah barang tentu manfaat<br />

tersebut tidak seketika, tetapi baru dipetik dikemudian hari. Gurvey Kavei, pakar<br />

manajemen dari Universitas Manchester, Inggris menegaskan bahwa setiap<br />

perusahaan yang mengimplementasikan CSR dalam aktivitas usahanya akan<br />

mendapatkan 5 (lima) manfaat utama sebagai berikut:<br />

87 Suharto, Edi, 2007, Pekerjaan Sosial Di Dunia Industri Memperkuat Tanggungjawab Sosial<br />

Perusahaan/Corporate Sosial Responsibility), Bandung, Penernit Refika Aditama, hal. 73


a. Meningkatkan profitabilitas dan kinerja finansial yang lebih kokoh, misalnya<br />

lewat efesiensi lingkungan.<br />

b. Meningkatkan akuntabilitas, assessement dan komunitas investasi.<br />

c. Mendorong komitmen karyawan, karena mereka diperhatikan dan dihargai.<br />

d. Menurunkan kerentanan gejolak dengan komunitas dan Mempertinggi reputasi<br />

dan corporate branding. 88<br />

105<br />

A.B. Susanto mengemukakan dari sisi perusahaan terdapat 6 (enam) manfaat<br />

yang dapat diperoleh dari aktifitas CSR, yaitu:<br />

a. Mengurangi resiko dan tuduhan terhadap perlakuan tidak pantas yang diterima<br />

perusahaan.<br />

Perusahaan yang melaksanakan CSR secara konsisten akan mendapat dukungan<br />

luas dari komunitas yang merasakan manfaat dari aktivitas yang dijalankannya.<br />

CSR akan mengangkat citra perusahaan, yang dalam rentang waktu yang panjang<br />

akan meningkatkan reputasi perusahaan.<br />

b. CSR dapat berfungsi sebagai pelindung dan membantu perusahaan meminimalkan<br />

dampak buruk yang diakibatkan oleh suatu krisis. Sebagai contoh adalah sebuah<br />

perusahaan produsen consumer goads yang beberapa waktu yang lalu dilanda isu<br />

adanya kandungan bahan berbahaya dalam produknya. Namun karena<br />

perusahaan tersebut dianggap konsisten menjalankan CSR nya maka masyarakat<br />

menyikapinya dengan tenang sehingga relative tidak mempengaruhi aktivitas dan<br />

kinerjanya.<br />

88 . Ibid. hal. 85


c. Keterlibatan dan kebanggaan karyawan.<br />

Karyawan akan merasa bangga bekerja pada perusahaan yang memiliki reputasi<br />

106<br />

yang baik, yang secara konsisten melakukan upaya-upaya untuk membantu<br />

meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan<br />

sekitarnya. Kebanggan ini pada akhirnya akan menghasilkan loyalitas sehingga<br />

mereka merasa lebih termotivasi untuk bekerja lebih keras demi kemajuan<br />

perusahaan.<br />

d.CSR yang dilaksanakan secara konsisten akan mampu memperbaiki dan<br />

mempererat hubungan antara perusahaan dengan para stakeholdersnya.<br />

Pelaksanaan CSR secara konsisten menunjukkan bahwa perusahaan memiliki<br />

kepedulian terhadap pihak-pihak yang berkontribusi terhadap lancarnya berbagai<br />

aktivitas serta kemajuan yang mereka raih.<br />

e. Meningkatkan penjualan.<br />

Konsumen akan lebih menyukai produk yang dihasilkan oleh perusahaan yang<br />

secara konsisten menjalankan CSR nya sehingga memiliki reputasi yang baik.<br />

f.Insentif-insentif lainnya seperti insentif pajak dan berbagai perlakuan khusus<br />

lainnya. 89<br />

Menurut Y Wibisono perusahaan mendapat beberapa keuntungan karena<br />

menerapkan CSR yaitu:<br />

a. Untuk mempertahankan dan mendongkrak reputasi dan brand image<br />

89 Susanto. AB, 2009, Reputation-Driven Corporate Social Responsibility, Pendekatan<br />

Strategic Management Dalam CSR Jakarta, Erlangga Group, hal. 98.


107<br />

perusahaan. Perbuatan destruktif pasti akan menurunkan reputasi perusahaan.<br />

Begitupun sebaliknya, kontribusi positif pasti juga akan mendongkrak reputasi<br />

dan image positif perusahaan. Inilah yang menjadi modal non finansial utama<br />

perusahaan bagi stakeholders-nya yang menjadi nilai tambah bagi perusahaan<br />

untuk dapat tumbuh secara berkelanjutan.<br />

b. Layak mendapatkan izin untuk beroperasi (social license to operate)<br />

Masyarakat sekitar perusahaan merupakan kornunitas utama perusahaan. Ketika<br />

mereka mendapatkan benefit dan keberadaan perusahaan, maka pasti dengan<br />

sendirinya mereka ikut merasa memiliki perusahaan. Sehingga imbalan yang diberikan<br />

ke perusahaan paling tidak adalah keleluasaan perusahaan untuk menjalankan roda<br />

bisnisnya di wilayah tersebut. Jadi program CSR diharapkan menjadi bagian dan<br />

asuransi sosial (social insurance) yang akan menghasilkan harmoni dan persepsi<br />

positif dan masyarakat terhadap eksistensi perusahaan.<br />

c. Mereduksi resiko bisnis perusahaan<br />

Mengelola resiko di tengah kompleksnya permasalahan perusahaan merupakan<br />

hal yang esensial untuk suksesnya usaha. Perusahaan mesti menyadari bahwa<br />

kegagalan untuk memenuhi ekspektasi stakeholders pasti akan menjadi bom<br />

waktu yang dapat memicu resiko yang tidak diharapkan. Misalnya disharmoni<br />

dengan stakeholders hingga pernbatalan atau penghentian operasi, yang<br />

ujungnya akan merusak dan menurunkan reputasi bahkan kinerja perusahaan.<br />

Bila hal itu terjadi, maka disamping rnenanggung opportunity loss, perusahaan<br />

juga mesti mengeluarkan biaya yang mungkin justru berlipat besarnya


108<br />

dibanding biaya untuk mengimplementasikan CSR. Karena itu, menempuh<br />

langkah antisipatif dan preventif melalui penerapan CSR merupakan upaya<br />

investatif yang dapat menurunkan resiko bisnis perusahaan.<br />

d. Melebarkan akses ke sumber daya.<br />

Track record yang baik dalam pengelolaan CSR merupakan keunggulan<br />

bersaing bagi perusahaan yang dapat membantu untuk memuluskan jalan<br />

menuju sumber daya yang diperlukan perusahaan.<br />

e. Membentangkan akses menuju market<br />

Investasi yang di tanamkan untuk program CSR ini dapat menjadi tiket bagi<br />

perusahaan menuju peluang pasar yang terbuka lebar. Termasuk didalamnya<br />

akan memupuk loyalitas konsumen dan menembus pangsa pasar baru. Sudah<br />

banyak bukti akan resistensi konsumen terhadap produk-produk yang tidak<br />

comply pada aturan dan tidak tanggap terhadap isu sosial dan lingkungan.<br />

f. Memperbaiki hubungan dengan stakehokders<br />

Implementasi program CSR tentunya akan menambah frekwensi komunikasi<br />

dengan stakeholders. Nuansa seperti itu dapat membentangkan karpet merah<br />

bagi terbentuknya trust kepada perusahaan.<br />

g. Memperbaiki hubungan dengan regulator<br />

Perusahaan yang menerapkan program CSR pada dasarnya merupakan upaya<br />

untuk meringankan beban pemerintah sebagai regulator. Sebab pemerintahlah<br />

yang menjadi penanggungjawab utama untuk mensejahterakan masyarakat dan


109<br />

melestarikan lingkungan. Tanpa bantuan dan perusahaan, umumnya terlalu<br />

berat bagi pemerintah untuk menanggung beban tersebut<br />

h. Mereduksi biaya.<br />

Banyak contoh yang dapat menggambarkan keuntungan perusahaan yang<br />

didapat dan penghematan biaya yang merupakan buah dan implementasi dan<br />

penerapan program tanggung jawab sosialnya. Hal yang mudah dipahami<br />

adalah upaya untuk mereduksi limbah melalui proses daur ulang (recycle)<br />

kedalam siklus produksi. Disamping mereduksi biaya, proses ini tentu juga<br />

mereduksi buangan ke luar sehingga menjadi lebih aman.<br />

i. Meningkatkan semangat dan produktivitas karyawan.<br />

Kesejahteraan yang diberikan para pelaku CSR umumnya sudah jauh melebihi<br />

standar normatif kewajiban yang dibebankan kepada perusahaan. Oleh<br />

karenanya wajar bila karyawan menjadi terpacu untuk meningkatkan<br />

kinerjanya. Disamping itu reputasi perusahaan yang baik dimata stakeholders<br />

juga merupakan vitamin tersendiri bagi karyawan untuk meningkatkan<br />

motivasi dalam berkarya.<br />

j. Peluang mendapatkan penghargaan. Banyak reward ditawarkan bagi penggiat<br />

CSR. Sehingga kesempatan untuk mendapatkan penghargaan mempunyai<br />

peluang yang cukup tinggi.<br />

Kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan selain mempunyai manfaat kepada<br />

perusahaan juga bermanfaat bagi masyarakat. Manfaat yang diterima masyarakat dari


kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan terdiri dari manfaat jangka pendek, jangka<br />

menengah dan jangka panjang, sebagai berikut: 90<br />

<strong>110</strong><br />

Dalam jangka pendek, aktivitas CSR yang bertujuan memperkuat kerekatan<br />

sosial memberi manfaat kepada masyarakat dalam beberapa bentuk, tergantung dari<br />

bentuk aktivitas itu sendiri. Untuk aktivitas CSR yang memang dirancang untuk<br />

secara langsung mengurangi kesenjangan sosial atau meningkatkan kerekatan sosial,<br />

dampak langsung yang tercipta adalah meningkatkan interaksi antar kelompok-<br />

kelompok masyarakat yang biasanya mungkin jarang berinteraksi. Manfaat jangka<br />

pendek lain yang biasanya terbangun dari aktivitas CSR adalah tersedianya layanan-<br />

layanan sosial/publik yang selama ini sulit diperoleh kelompok masyarakat tertentu.<br />

Dalam jangka menengah, manfaat yang tercipta adalah meningkatnya<br />

kemampuan atau kapasitas masyarakat untuk bekerja sama. Hal ini dapat terbangun<br />

dari aktivitas-aktivitas CSR yang mengharuskan terjadinya kerja sama antar anggota<br />

masyarakat. Manfaat jangka menengah lainnya adalah terciptanya jejaring yang<br />

dibutuhkan oleh kelompok-kelompok masyarakat untuk mengembangkan aktivitas<br />

ekonominya maupun untuk meningkatkan kondisi kehidupannya.<br />

Dalam jangka panjang, aktivitas CSR tertentu dapat memberi manfaat berupa<br />

meningkatnya modal sosial dan kerekatan sosial pada masyarakat. Misalnya, interaksi<br />

antar kelompok yang tercipta dengan katalis aktivitas CSR dapat meningkatkan rasa<br />

keakraban, kekompakan, saling percaya, dan saling mendukung antar kelompok-<br />

90 Mulya Amri dan Wicaksono Sarosa, 2008, CSR untuk Penguatan Kohesi Sosial,Jakarta,<br />

Indonesia Business Links, hal. 94-96.


kelompok masyarakat selain itu, kesenjangan antar kelompok juga dapat berkurang<br />

sehingga tumbuhlah suasana yang lebih bermoral, beretika, saling menghargai,<br />

berbagi, dan berkompetensi secara sehat. Semua ini akan memberi kontribusi pada<br />

meningkatnya kualitas hidup masyarakat yang aman, damai dan sejahtera.<br />

111<br />

Tiga lembaga internasional independen, yaitu Environics International<br />

(Kanada), Conference Board (AS), dan Prince of Wales Business Leader Forum<br />

(Inggris) melakukan survey tentang hubungan antara CSR dan citra perusahaan.<br />

Survey dilakukan terhadap 25 ribu konsumen di 23 negara yang dituangkan dalam<br />

The Millenium Poll on CSR . Hasil survey menunjukkan mayoritas responden (60 %)<br />

menyatakan bahwa CSR seperti etika bisnis, praktik sehat terhadap karyawan,<br />

dampak terhadap lingkungan, merupakan unsur utama mereka dalam menilai baik<br />

atau tidaknya suatu perusahaan. Sedangkan faktor fundamental bisnis seperti kinerja<br />

keuangan, ukuran perusahaan, strategi perusahaan atau manajemen, hanya dipilih<br />

oleh 30 % responden. Sebanyak 40 % responden bahkan mengancam akan<br />

“menghukum” perusahaan yang tidak melakukan CSR. Separo responden berjanji<br />

tidak akan mau membeli produk perusahaan yang mengabaikan CSR. Lebih jauh<br />

mereka akan merekomendasikan hal ini kepada konsumen lain.<br />

Jika dikelompokkan, ada 4 (empat) manfaat CSR terhadap perusahaan, yaitu:<br />

1. Brand differentiation. Dalam persaingan yang kian kompetitif, CSR bisa<br />

memberikan citra perusahaan yang khas, baik dan etis di mata public yang pada<br />

gilirannya menciptakan customer loyalty.


2. Human resources. Program CSR dapat membantu dalam perekrutan karyawan<br />

baru, terutama yang memiliki kualifikasi tinggi. Saat wawancara calon karyawan<br />

yang memiliki pendidikan dan pengalaman tinggi sering bertanya soal CSR dan<br />

etika bisnis perusahaan, sebelum mereka memutuskan menerima tawaran. Bagi<br />

staf lama, CSR juga dapat meningkatkan persepsi, reputasi dan dedikasi dalam<br />

bekerja.<br />

3. License to operate. Perusahaan yang menjalankan CSR dapat mendorong<br />

pemerintah dan publik memberi ”ijin” atau ”restu” bisnis. Karena dianggap telah<br />

memenuhi standar operasi dan kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat<br />

luas.<br />

4. Risk management. Manajemen resiko merupakan isu sentral bagi setiap<br />

perusahaan.<br />

Reputasi perusahaan yang dibangun bertahun-tahun bisa runtuh dalam sekejap oleh<br />

skandal korupsi, kecelakaan karyawan, atau kerusakan lingkungan. Membangun<br />

budaya ”doing the right thing” berguna bagi perusahaan dalam mengelola resiko-<br />

resiko bisnis. Ada kecenderungan perkembangan CSR kini bergeser dari<br />

underestimate ke overestimate.<br />

112<br />

Jika pada masa lalu pandangan terhadap CSR lebih banyak dipengaruhi Milton<br />

Friedman yang cenderung ”memusuhi” CSR. Kini, pandangan terhadap CSR lebih<br />

positif, bahkan terkadang overestimate. Seakan-akan CSR adalah panacea yang bisa<br />

menyembuhkan penyakit apa saja. Padahal, manfaat CSR terhadap perusahaan<br />

tidaklah ”taken for granted” dan otomatis.


113<br />

Tokoh yang kritis terhadap CSR adalah David Vogel, penyandang Solomon Lee<br />

Professor of Business Ethics pada Haas School of Business dan Professor of Political<br />

Science di University of California Berkeley. Menurutnya, perkembangan literatur<br />

CSR memiliki kelemahan yang seragam, yakni “tidak menimbang dengan hati-hati<br />

apa yang dapat dan tidak dapat dicapai oleh dan melalui CSR” 91 .<br />

Berdasarkan hasil studinya, Vogel menemukan bahwa “tesis” yang menyatakan<br />

bahwa CSR akan meningkatkan keuntungan perusahaan merupakan keyakinan yang<br />

kurang didukung data empiris. Investasi dalam CSR mirip belanja iklan, yang belum<br />

tentu mendongkrak keuntungan perusahaan. 92<br />

Namun, ini tidak berarti bahwa melakukan CSR sama sekali tidak memberikan<br />

keuntungan. Bukti-bukti empiris yang ada menyaksikan bahwa pada kondisi-kondisi<br />

tertentu CSR berperan melejitkan keuntungan perusahaan. CSR bukanlah strategi<br />

generik. CSR mungkin cocok pada kondisi tertentu, tetapi tidak pada kondisi lainnya.<br />

Karenanya, menurut Vogel, argumen mengenai hubungan positif antara kinerja sosial<br />

dengan kinerja finansial perusahaan harus dilihat secara lebih kontekstual. 93<br />

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dibeberapa perusahaan yang ada di<br />

Bali ditemukan bahwa perusahaan melakukan CSR manfaatnya sangat dirasakan<br />

oleh perusahaan yang bersangkutan. Berdasarkan pengakuan dari pimpinan<br />

91 Jalal, 2006, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia, Penerbit Rekayasa Sains,<br />

Bandung, hal. 75<br />

92 CSR2008/suharto@policy.hukum. Hal. 8<br />

93 Jalal, Op. Cit. hal. 85


perusahaan PT Bali Timur Mandiri yang beralamat di Jalan Pahlawan No. 12 Bangli,<br />

Bapak Oka Pradipta mengatakan bahwa manfaat yang diperoleh dengan pelaksanaan<br />

CSR tersebut yang paling utama adalah stabilitas dalam bidang pendapatan<br />

perusahaan dapat terjaga. Walaupun pada saat sekarang di Bangli telah banyak<br />

tumbuh perusahaan yang berkecimpung dalam penjualan sepeda motor, tetapi PT<br />

Bali Timur Mandiri, tidak terpengaruh pendapatannya akibat banyaknya perusahaan<br />

dengan jenis usaha yang sama, di daerah Bangli. Keberlangsungan perusahaan yang<br />

dirasakan dalam tahap aman, karena dukungan masyarakat sekitar masih dirasakan<br />

untuk kemajuan perusahaan tersebut. Kemudian manfaat yang kedua yang diperoleh<br />

adalah dukungan masyarakat atas keberadaan perusahaan di masyarakat Bangli,<br />

sehingga dirasakan sampai saat ini PT Bali Timur Mandiri tetap eksis di masyarakat.<br />

(Wawancara dengan Direktur PT Bali Timur Mandiri tanggal 2 Februari 2011).<br />

114<br />

Demikian juga yang dilakukan oleh PT Sumber Alam Semesta yang beralamat<br />

di Jalan Sudamala , Desa Sedit Bebalang Bangli. Perusahaan ini mulai beroperasi<br />

sejak tahun 2005 telah peduli terhadap lingkungan di sekitar perusahaan tersebut baik<br />

terhadap manusia, alam lingkungan dan persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa.<br />

Meskipun istilah CSR baru dipopulerkan dengan berlakunya UU PT yang baru yaitu<br />

UU No. 40 Tahun 2007, namun perusahaan tersebut sudah dapat dikatagorikan<br />

melaksanakan CSR sejak tahun 2005.<br />

Menurut Bapak Ketut Suyasa, yang menjabat sebagai Kepala Produksi<br />

mengatakan bahwa manfaat yang paling dirasakan melaksanakan CSR adalah dapat<br />

meningkatkan produksi dan pendapatan perusahaan. Dengan pelaksanaan CSR ini


masyarakat mengenal produk dari perusahaan, apalagi dalam penyerahan CSR<br />

dilakukan pada saat upacara keagamaan yang dilakukan di daerah dimana perusahaan<br />

berdomisili, maka CSR tersebut sangat dirasakan oleh masyarakat. Disamping itu<br />

manfaat pelaksanaan CSR yang lain adalah eksistensi dari perusahaan di masyarakat<br />

menjadi lebih mapan, karena mendapat dukungan dari masyarakat sekitarnya.(<br />

Wawancara dengan Bapak Ketut Suyasa tanggal 5 Februasri 2011)<br />

115<br />

Menurut Bapak Alit Putrawan yang menjabat sebagai Inventary General<br />

Support Section Head Di PT Federal Internasional Finance (FIF) yang beralamat<br />

kantor di Jalan Gatot Subroto No. 18 Denpasar mengatakan bahwa FIF telah<br />

melaksanakan CSR sejak tahun 2005 jauh sebelum lahirnya UU No. 40 Tahun 2007<br />

tentang PT yang menggantikan UU No. 1 Tahun 1995. Hal tersebut tidak terlepas<br />

dari keberadaan PT Astra Internasional sebagai Holding Company dari FIF yang telah<br />

merasakan manfaat melaksanakan CSR terutama terhadap eksistensi perusahaan<br />

tersebut di mata internasional. Oleh karena itu PT FIF cabang Denpasar telah<br />

melaksanakan CSR sejak tahun 2005.<br />

Manfaat yang diperoleh dengan melaksanakan CSR adalah kelangsungan bisnis<br />

perusahaan bisa lebih terjamin, disamping itu dengan pelaksanaan CSR perhatian<br />

pemerintah lebih fokus terhadap kegiatan perusahaan , hal ini terbukti dengan adanya<br />

penghargaan Pemerintah Kota Denpasar terhadap pelaksanaan CSR oleh FIF<br />

tersebut.(Wawancara dengan Bapak Alit Putrawan, tanggal 18 Februari 2011).<br />

Beberapa perusahaan yang diwawancarai pada intinya mengatakan bahwa<br />

banyak manfaat yang diperoleh dengan menerapkan CSR di perusahaan, seperti


menjaga stabilitas pendapatan perusahaan, dukungan masyarakat atas keberadaan<br />

perusahaan di masyarakat (eksistensi perusahaan di masyarakat).<br />

116<br />

Kenyataan yang ditemukan di lapangan sangat sesuai dengan Teori<br />

Stakeholder. Menurut Teori stakeholder bahwa yang menjadi latar belakang dari<br />

suatu perusahaan untuk menerapakan CSR sebagai salah satu strategi bisnisnya. teori<br />

tersebut lebih mendasari perusahaan melakukan pengungkapan tanggungjawab sosial<br />

terhadap masyarakat dimana perusahaan itu menjalankan kegiatannya. Dimana hal<br />

tersebut diatur dalam Undang-undang maupun Guideline/Standar yang mengharuskan<br />

perusahaan untuk membuat laporan keuangan yang memenuhi Triple Bottom Line<br />

sebagai pertanggung jawaban terhadap lingkungan dan sosial masyarakat.<br />

Pada dasarnya pengungkapan tanggungjawab sosial perusahaan bertujuan untuk<br />

memperlihatkan kepada masyarakat aktivitas sosial yang dilakukan oleh perusahaan<br />

dan pengaruhnya terhadap masyarakat. Dilihat dari satu sisi, tujuan ini memiliki<br />

maksud yang baik. Namun penjelasan teori atas pengungkapan sosial ini<br />

menunjukkan bahwa terdapat banyak motivasi yang bertitik tolak dari kepentingan<br />

manajer ataupun perusahaan. Bahwa tujuan akhir dari adanya pengungkapan sosial<br />

perusahaan adalah tidak lain untuk menunjang tujuan utama perusahaan dalam usaha<br />

mendapatkan profit maksimum. Selanjutnya akan kembali pada peningkatan<br />

kesejahteraan pemilik.<br />

Perusahaan melakukan pengungkapan tanggungjawab sosial sebagai upaya<br />

untuk memenuhi harapan atau permintaan stakeholders. Namun demikian perusahaan<br />

tetap melakukan identifikasi atas stakeholders tersebut dalam artian stakeholders yang


mana yang memiliki pengaruh lebih besar serta yang paling mungkin mengganggu<br />

kelangsungan hidup perusahaan jika harapannya tidak terpenuhi, maka pengungkapan<br />

akan dilakukan berdasarkan harapan stakeholders tersebut. Dalam hal ini keamanan<br />

perusahaan yang pada akhirnya juga berujung pada kepentingan pemilik perusahaan<br />

merupakan motivasi utama manajer melakukan pengungkapan tanggungjawab sosial-<br />

lingkungan.<br />

3.4 Model Penerapan Tanggung Jawab Sosial Perseroan (CSR) Dalam<br />

Kaitannya Dengan Konsep Tri Hita Karana Di Bali.<br />

117<br />

Kegiatan usaha tidak hanya sekedar kegiatan ekonomi untuk menciptakan<br />

keuntungan semata, melainkan juga melaksanakan tanggung jawab terhadap sosial<br />

dan lingkungan. Menggantungkan perusahaan hanya semata-mata pada kesehatan<br />

finansial tidak akan menjamin perusahaan bisa tumbuh secara berkelanjutan.<br />

Keberlanjutan perusahaan akan terjamin apabila perusahaan memperhatikan dimensi<br />

terkait lainnya, termasuk dimensi sosial dan lingkungan.<br />

Menghadapi perkembangan tersebut, perusahaan mulai memperhatikan dengan<br />

serius pengaruh dimensi sosial, dan lingkungan pada setiap aktivitas bisnisnya,<br />

karena aspek-aspek tersebut bukan suatu pilihan yang terpisah, melainkan berjalan<br />

beriringan untuk meningkatkan keberlanjutan operasi perusahaan.<br />

Mereka juga meyakini bahwa program tanggung jawab sosial merupakan<br />

investasi bagi perusahaan demi pertumbuhan dan keberlanjutan (sustainability)<br />

perusahaan, artinya tanggung jawab sosial bukan lagi dilihat sebagai sentra biaya<br />

(cost center) melainkan sebagai sentra laba (profit center) di masa mendatang.


Tanggung jawab sosial adalah kewajiban perusahaan untuk merumuskan kebijakan,<br />

mengambil keputusan, dan melaksanakan tindakan yanng memberikan manfaat<br />

kepada masyarakat. 94<br />

Untuk melindungi perusahaan dari berbagai risiko tuntutan hukum, kehilangan<br />

partner bisnis maupun risiko terhadap citra perusahaan (brand risk) tidak cukup<br />

hanya taat kepada peraturan perundang-undangan. Tekanan secara nasional dan<br />

internasional sedang dan terus akan berlanjut untuk mempengaruhi perilaku bisnis<br />

korporasi. Tekanan ini datang antara lain dari para pemegang saham, LSM (Lembaga<br />

Swadaya Masyarakat), partner bisnis (terutama dari negara yang komunitas bisnisnya<br />

peka terhadap CSR) dan advokat yang memperjuangkan kepentingan publik (public<br />

inter- est lawyers). Untuk menghindari tekanan yang bersifat glonal tersebut, maka<br />

perusahaan perlu peduli terhadap lingkungan masyarakat disekitarnya, dengan<br />

melaksanakan CSR tersebut.<br />

118<br />

CSR merupakan komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi<br />

dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung<br />

jawab sosial perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian<br />

terhadap aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan 95<br />

Secara implementatif, perkembangan CSR di Indonesia masih membutuhkan<br />

banyak perhatian bagi semua pihak, baik pemerintah, masyarakat luas dan<br />

perusahaan. Di antara ribuan perusahaan yang ada, diindikasikan belum semua<br />

94 Amin Widjaja Tunggal, 2008, Corporate Social Responsibility (CSR), Jakarta, Penerbit<br />

Harvarindo, hal. 1.<br />

95 Hendrik Budi Untung , Op. Cit. hal. 1


perusahaan benar-benar menerapkan konsep CSR dalam kegiatan perusahaannya.<br />

CSR masih merupakan bagian lain dari manejemen perusahaan, sehingga<br />

keberadaannya dianggap tidak memberikan kontribusi positif terhadap kelangsungan<br />

perusahaan. Padahal sesuai dengan UU yang ada, keberadaan CSR melekat secara<br />

inherent dengan manajemen perusahaan, sehingga bidang kegiatan dalam CSR pun<br />

masih dalam kontrol manejemen perusahaan.<br />

119<br />

Lebih jauh lagi dalam lingkungan bisnis perusahaan, masyarakat di sekitar<br />

perusahaan pada dasarnya merupakan fihak yang perlu mendapatkan apresiasi. Apre-<br />

siasi ini dapat diwujudkan dalam bentuk peningkatan kesejahteraan hidup mereka<br />

melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh kegiatan CSR peru-<br />

sahaan. Hal ini karena perusahaan dan masyarakat pada dasarnya merupakan kesatu-<br />

an elemen yang dapat menjaga keberlangsungan perusahaan itu sendiri. 96<br />

Hal tersebut tentunya sangat jauh dari harapan dan tujuan ideal dari peranan<br />

CSR perusahaan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Menurut Kim praktek CSR<br />

perusahaan dapat diidentifikaskan dalam berbagai tujuan, yakni hukum, ekonomi,<br />

moral, dan filantropi. Namun demikian, tujuan tersebut masih dapat dikembangkan<br />

sesuai dengan kondisi aktual di masyarakat terkait dengan tekanan yang terjadi dalam<br />

kehidupan masyarakat. Salah satu tujuan CSR yang sangat urgen khususnya di negara<br />

sedang berkembang adalah peningkatan kualitas pendidikan masyarakat. Oleh karena<br />

itu penerapan CSR di Indonesia pada dasarnya dapat diarahkan pada penguatan<br />

96 Dwi Kartini, 2008, Corporate Social Responsibility: Transformasi Konsep Sustainability<br />

Management dan Implementasi di Indonesia, Malang: In-Tans Publishing, hal. 6.


ekonomi rakyat yang berbasis usaha kecil dan menengah serta peningkatan kualitas<br />

SDM masyarakat melalui perbaikan sarana dan prasarana pendidikan.<br />

120<br />

Di Daerah Bali dari hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan adanya<br />

pakta bahwa kegiatan CSR yang dilakukan oleh perusahaan mengarah kepada hal<br />

tersebut di atas, seperti yang dilakukan oleh PT. Federal Internasional Finance<br />

(PT.FIF) cabang Denpasar merupakan salah satu perusahaan yang bergerak dalam<br />

bidang pembiayaan roda dua, khususnya pembiayaan sepeda motor Honda,<br />

pembiayaan sepeda motor bekas dan pembiayaan elektronik (Spektra). Sejak<br />

didirikan pada tahun 1989, kini PT. FIF telah mampu membuktikan diri sebagai<br />

perusahaan pembiayaan terbesar dan terbaik di Indonesia terbukti dengan diraihnya<br />

berbagai penghargaan dari dunia usaha.<br />

Sadar akan tugas dan tanggung jawab sosial seperti yang telah diamanatkan<br />

dalam Undang-Undang, PT. FIF cabang Denpasar secara kontinyu dan terprogram<br />

telah menerapkan konsep CSR dalam implementasi manajemen usahanya yang pada<br />

saat sekarang menjadi suatu nama program bagi PT Astra Internasional Tbk. Sebagai<br />

induk perusahaan. Program tersebut dibuat suatu system yang diberi nama Astra<br />

Friendly Company (AFC). Secara garis besar, strategi pelaksanaan CSR PT. FIF<br />

mencakup beberapa wilayah yang ada di sekitar perusahaan. Cakupan wilayah ini<br />

dibagi ke dalam 3 ring (zona), yakni ring I meliputi daerah-daerah di sekitar<br />

perusahaan, ring II meliputi daerah-daerah di luar ring I, dan ring III meliputi daerah-<br />

daerah di luar ring I dan ring II. Strategi pengembangan berdasarkan wilayah ini juga<br />

ditunjang oleh berbagai jenis kegiatan yang sesuai dengan karakteristik kegiatan


masing-masing daerah, seperti layanan publik di bidang kesehatan,kebudayaan dan<br />

pendidikan.<br />

121<br />

Namun demikian disadari bahwa dinamika perkembangan lingkungan<br />

perusahaan berjalan sedemikan cepat, sehingga membutuhkan berbagai inovasi dan<br />

kreasi kegiatan CSR yang mampu dirasakan secara optimal oleh masyarakat.<br />

Dinamika lingkungan perusahaan tersebut seperti adanya tuntutan otonomi daerah,<br />

sehingga harapan/cita-cita kesejahteraan masyarakat menjadi semakin tinggi. Padahal<br />

kemampuan pemerintah daerah masih dibatasi oleh keterbatasan anggaran daerah<br />

untuk pembangunan secara menyeluruh. Di sinilah peran CSR perusahaan, khususnya<br />

PT. FIF, untuk melaksanakan fungsi-fungsi sosial di luar kegiatan pokok perusahaan,<br />

agar kepentingan masyarakat luas dapat terpenuhi semaksimal mungkin, sehingga<br />

kesejahteraan hidup mereka dapat mengalami kenaikan. Salah satu elemen penting<br />

dalam kesejahteraan hidup tersebut adalah adanya kegiatan pemberdayaan<br />

masyarakat sekitar perusahaan. Dalam hal ini peran manajemen sangat penting dalam<br />

upaya untuk memformulasikan berbagai program dan kegiatan dalam CSR PT. FIF,<br />

sehingga terjadi hubungan simbiosis mutualisme antara perusahaan dan masyarakat<br />

luas. Pada akhirnya berbagai program kegiatan dalam kegiatan CSR PT. FIF<br />

diharapkan dapat meningkatkan pemberdayaan masyarakat.<br />

Model atau pola CSR yang dilakukan oleh PT FIF adalah dilakukan secara<br />

langsung oleh perusahaan, yaitu dengan membentuk departemen khusus yang<br />

menangani masalah CSR tersebut. Di PT FIF struktur manajemen dibawah Branch<br />

Manager, ada bagian yang disebut dengan PIC ESR. Kemudian dibawahnya terdapat


agian Inspektur, Strategi, Process, Sumber Daya Manusia dan Produk. CSR berada<br />

di bagian PIC ESR yang dikomandoi oleh I Made Alit Putrawan. CSR termasuk<br />

dalam ESR (Environment and Social Responsibility), yang dibagi dalam 3 bagian,<br />

yaitu Astra Friendly Company (AFC) yang fokus dalam bidang pendidikan,<br />

pemberdayaan ekonomi masyarakat, kesehatan, dan lingkungan hidup.<br />

122<br />

Astra Green Company meliputi aspek lingkungan, kesehatan dan keselamatan<br />

Kerja (LK3) disamping itu juga membidangi masalah kesejahteraan karyawan,<br />

limbah, penghematan sumber daya alam dalam hal ini adalah pemakaian listrik dan<br />

kertas. Strategi implementasi program ini dilakukan dengan cara bersinergi secara<br />

eksternal dan internal dengan Ikatan Karyawan PIF (ikaFIF), Koperasi FIF (kopFIF),<br />

Astra Internasional dan anak perusahaan Astra Group, Organisasi/Yayasan/Institusi<br />

Sosial, Customer, dan supplier.<br />

Program yang ketiga adalah Sistem Manajemen Keamanan (Security Corporate<br />

Responsibility) membuat standar pengelolaan security dilingkungan perusahaan<br />

dalam rangka mencapai sustainable business dengan semangat good corporate<br />

governance. Pengelolaan security ditujukan untuk memberikan rasa aman dan<br />

menjadi fungsi yang tak terpisahkan dalam kegiatan operasional bisnis seperti bidang<br />

lainnya, yakni meraih profitabilitas dan mereduksi resiko bisnis.<br />

Demikian juga terhadap penelitian yang dilakukan di Kabupaten Bangli yang<br />

dilakukan di PT Sumber Alam Semesta yang usahanya bergerak dalam bidang air<br />

minum dalam kemasan, dan penelitian yang dilakukan di PT Bali Timur Mandiri<br />

yang bergerak dalam bidang perdagangan sepeda motor, model yang diterapkan pada


kedua perusahaan tersebut adalah Perusahaan melaksanakan program CSR secara<br />

langsung dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan<br />

sumbangan ke masyarakat tanpa perantara (wawancara dengan Ketut Suyasa Kepala<br />

Produksi PT Sumber Alam Semesta tanggal 2 Februari 2011) Untuk menjalankan<br />

tugas ini, perusahaan biasanya menugaskan salah satu pejabat seniornya, untuk terjun<br />

langsung kepada masyarakat.<br />

Ada sedikit perbedaan dengan yang diterapkan di PT Bali Timur Mandiri, yaitu<br />

beberapa perusahaan bergabung dalam sebuah konsorsium untuk secara bersama-<br />

sama menjalankan CSR. Perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota atau<br />

mendukung suatu lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan sosial tertentu. Pihak<br />

konsorsium yang dipercaya oleh perusahaan-perusahaan yang mendukungnya akan<br />

secara proaktif mencari kerja sama dari berbagai kalangan dan kemudian<br />

mengembangkan program yang telah disepakati. Untuk acara yang besar maka model<br />

CSR yang diterapkan oleh PT ini adalah bergabung dengan seluruh perusahaan yang<br />

bergerak dalam bidang yang sama yaitu yang menjual sepeda motor yang ada di<br />

seluruh Bali, dan bantuan yang diberikan ditujukan pada permasalahan yang lebih<br />

besar, misalnya dalam membantu korban Gunung Merapi, Jawa Tengah, bencana<br />

Wasior di Irian Jaya. Bisa juga bergabung dengan Finance untuk memberikan<br />

bantuan kepada masyarakat, sesuai dengan situasi dan keuntungan yang diperoleh<br />

oleh perusahaan.(wawancara dengan Oka Pradipta PIC PT Bali Timur Mandiri,<br />

tanggal 2 Februari 2011).<br />

123


124<br />

Model yang diterapkan oleh PT Jabato Tour & Travel melaksanakan secara<br />

langsung kepada masyarakat dana CSR tersebut (wawancara dengan Bapak Roby<br />

Napitupulu Acc Manager & General Affair PT Jabato tanggal 2 Maret 2011).<br />

Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Badung, di PT Asuna dan PT 18 Jaya<br />

pada intinya Model yang diterapkan adalah sama, yaitu memberikan dana CSR<br />

kepada masyarakat secara langsung tanpa melalui perantara badan atau perusahaan<br />

lain (wawancara dengan I. Wayan Rajendra Direktur PT Asuna, dan AA Kt Trisna<br />

Guna, Manager PT 18 Jaya)<br />

Di Daerah Gianyar penelitian dilakukan di PT BPR Suadana pada intinya<br />

model yang diterapkan di perusahaan tersebut adalah sama dengan perusahaan di<br />

daerah lain, yaitu melaksanakan CSR secara langsung kepada masyarakat.<br />

Sebenarnya aturan untuk memberikan timbal balik perusahaan kepada<br />

stakeholder sudah diterapkan oleh kebanyakan perusahaan yang ada di Bali sebelum<br />

UU No. 40 Tahun 2007 muncul. Hal tersebut sudah merupakan suatu bentuk<br />

moralitas yang terbentuk dalam hukum di masyarakat bahwa bila suatu perusahaan<br />

arogan kepada stakeholder disekitarnya maka otomatis stakeholder tersebut akan<br />

tidak menjamin keamanan dan keberlangsungan hidup perusahaan. Hal ini dapat<br />

dilihat dari hasil penelitian yang telah dilakukan di empat kabupaten yang ada di Bali,<br />

pada umumnya semua responden menyatakan telah melaksanakan prinsip CSR dari<br />

sejak mereka berdiri, walaupun istilah CSR belum mereka pahami sampai saat ini<br />

setelah empat tahun dirubahnya UU No. 1 Tahun 1995, hal ini membuktikan bahwa


kesadaran hukum para pengusaha akan penerapan CSR terhadap masyarakat disekitar<br />

perusahaan sangat tinggi.<br />

125<br />

Di dalam ilmu hukum, kadang kala dibedakan antara kesadaran hukum dengan<br />

perasaan hukum. Perasaan hukum sering diartikan sebagai penilaian hukum yang<br />

timbul dari masyarakat dalam hubungannya dengan masalah keadilan. Kesadaran<br />

hukum lebih banyak merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian<br />

tersebut, yang telah dilakukan secara ilmiah. Jadi kesadaran hukum sebenarnya<br />

merupakan kesadaran yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau<br />

tentang hukum yang diharapkan ada. Bila demikian kesadaran hukum menekankan<br />

pada nilai-nilai masyarakat tentang fungsi apa yang hendaknya dijalankan oleh<br />

hukum dalam masyarakat.<br />

Kesadaran hukum juga sering dihubungkan dengan konsep kebudayaan hukum<br />

(legal culture). Apabila ajaran ajaran tentang kesadaran hukum dibandingkan dengan<br />

kebudayaan hukum maka konsepsi kebudayaan hukum lebih luas ruang lingkupnya.<br />

Hal ini disebabkan karena hukum merupakan bagian dari kebudayaan, maka hukum<br />

tidak dapat dipisahkan dari jiwa dan cara berpikir dari masyarakat yang mendukung<br />

kebudayaan tersebut. Di bawah term “volkgeist” Savigny mengkontruksi teori tentang<br />

hukum, yaitu hukum itu jiwa rakyat. Menurut Savigny terdapat hubungan organik<br />

antara hukum dengan watak atau karakter suatu bangsa. Hukum hanyalah cerminan<br />

dari volkgeist oleh karena itu hukum yang tumbuh dari dalam masyarakat itu sendiri<br />

merupakan hukum yang sejati, dan hukum yang sejati adalah hukum yang tidak di


muat tetapi ditemukan di dalam masyarakat. Legislasi hanya penting selama ia<br />

memiliki sifat deklaratif terhadap hukum sejati itu.<br />

126<br />

Bila hukum dianggap sebagai konkretisasi dari sistem nilai-nilai yang tumbuh<br />

dan berkembang dalam masyarakat, maka suatu keadaan yang dicita citakan adalah<br />

adanya keselarasan dan keseimbangan antara hukum dengan sistem nilai-nilai<br />

tersebut. Konsekuensinya adalah perubahan pada sistem nilai-nilai harus diikuti<br />

dengan perubahan hukum atau di lain pihak hukum harus dapat dipergunakan sebagai<br />

sarana untuk mengadakan perubahan pada sistem nilai-nilai tersebut.<br />

Dari uraian tersebut diatas dapat dinyatakan bahwa apabila indikator -indikator<br />

kesadaran hukum dipenuhi maka derajat kesadaran hukumnya tinggi, begitu pula<br />

sebaliknya, apabila derajat kesadaran hukumnya rendah maka derajat ketaatan<br />

terhadap hukum juga rendah. 97<br />

Terdapat empat indikator kesadaran hukum, yang masing-masing merupakan<br />

suatu tahapan bagi tahapan berikutnya, yaitu:<br />

1. Pengetahuan hukum<br />

2. Pemahaman hukum<br />

3. Sikap hukum<br />

4. Pola perilaku hukum<br />

Ad.1 Pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai beberapa perilaku<br />

yang diatur oleh hukum. Pengetahuan tersebut berkaitan dengan perilaku yang<br />

97 Otje Salman, 2008, Teori Hukum, Penerbit Reflika Aditama, hal. 50-51


127<br />

dilarang ataupun perilaku yang dibolehkan oleh hukum. Pengetahuan hukum<br />

erat kaitannya dengan asumsi bahwa masyarakat dianggap mengetahui isi suatu<br />

peraturan manakala peraturan tersebut diundangkan.<br />

Ad.2 Pemahaman hukum adalah sejumlah informasi yang dimiliki seseorang<br />

mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu. Dengan kata lain pemahaman<br />

hukum adalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan dari suatu peraturan<br />

dalam suatu hukum, tertulis maupun tidak tertulis serta manfaatnya bagi pihak-<br />

pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut.<br />

Ad.3 Sikap hukum (legal attitude) adalah: …a dispotition to accept some legal norm<br />

or precept because it deserve respect as valid piece of law…”<br />

Dengan demikian sikap hukum adalah suatu kecendrungan untuk menerima<br />

hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu yang<br />

bermanfaat atau menguntungkan jika hukum itu ditaati.<br />

Ad. 4 Pola perilaku hukum adalah merupakan hal utama dalam kesadaran hukum<br />

karena disini dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam<br />

masyarakat. 98<br />

Pada umumnya kesadaran hukum dihubungkan dengan ketaatan hukum atau<br />

efektivitas hukum. Dengan kata lain, kesadaran hukum menyangkut masalah apakah<br />

ketentuan hukum tertentu benar-benar berfungsi atau tidak dalam masyarakat. 99<br />

Dengan kata lain kesadaran hukum menyangkut masalah apakah ketentuan hukum<br />

98 Soerjono Soekanto, 1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, JakartaPenerbit Rajawali,<br />

hal. 180<br />

99 Otje Salman, Op. Cit, hal. 51


tertentu benar-benar berfungsi atau tidak dalam masyarakat. Adanya hubungan antara<br />

kesadaran hukum dengan ketaatan hukum terlihat dalam pernyataan berikut ini:<br />

“A strong legal consciousness is some times considered the cause of adherence to<br />

law (sometimes it is just another word for that) while a weak legal consciousness<br />

is considered the cause of crime and evi”<br />

Apabila hal ini dikaitkan dengan indikator kesadaran hukum maka termasuk pada<br />

indikator yang keempat. Apabila tujuan hukum tercapai yaitu apabila warga<br />

masyarakat berprilaku sesuai dengan yang diharapkan atau yang dikehendaki oleh<br />

hukum maka hal ini dinamakan hukum tersebut efektif.<br />

yaitu:<br />

128<br />

Soerjono Soekanto menyatakan ada empat faktor seseorang berprilaku tertentu,<br />

1. Memperhitungkan untung rugi<br />

2. Menjaga hubungan baik dengan sesamanya atau penguasa<br />

3. Sesuai dengan hati nuraninya, dan<br />

4. Ada tekanan-tekanan tertentu. 100<br />

Bila membicarakan efektifitas hukum dalam masyarakat berarti membicarakan<br />

daya kerja hukum itu dalam mengatur dan/atau memaksa masyarakat untuk taat<br />

terhadap hukum. Efektifitas hukum dimaksud, berarti mengkaji kaidah hukum yang<br />

harus memenuhi syarat, yaitu:<br />

a. Berlaku secara yuridis<br />

100 Sooerjono Soekanto, 1985, Efektiviras Hukum dan Peranan Sanksi, Bandung, Penerbit Remaja<br />

Karya, hal. 19


. Berlaku secara sosiologis<br />

c. Berlaku secara filosofis.<br />

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum berfungsi dalam masyarakat,<br />

yaitu a. kaidah hukum/peraturan itu sendiri,<br />

b. petugas/penegak hukum,<br />

c. sarana atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum dan<br />

d. kesadaran masyarakat.<br />

129<br />

Kalau dikaji secara mendalam, agar hukum dapat berfungsi dengan baik, maka<br />

setiap kaidah hukum harus memenuhi 3 unsur yaitu kaidah hukum berlaku secara<br />

yuridis dalam arti kaidah tersebut dalam pembentukannya didasarkan pada kaidah<br />

yang lebih tinggi, atau dibentuk atas dasar yang telah ditetapkan. Kemudian kaidah<br />

hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut berlakunya dapat<br />

dipaksakan di masyarakat, atau kaidah tersebut berlaku karena adanya pengakuan dari<br />

masyarakat. Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum<br />

sebagai nilai positif yang tertinggi.<br />

Penegak hukum atau orang yang bertugas menegakkan hukum, dalam<br />

melaksanakan tugas-tugas menegakkan hukum petugas harus mempunyai suatu<br />

pedoman, diantaranya peraturan tertulis yang mencakup ruang lingkup tugasnya.<br />

Sarana/fasilitas amat penting untuk mengefektifkan hukum. Yang diutamakan<br />

dalam hal ini adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai factor pendukung. Contoh<br />

perlunya adanya kertas, computer dalam melakukan penyidikan bagi seorang polisi.


130<br />

Warga masyarakat adalah merupakan salah satu faktor yang mengefektifkan<br />

suatu peraturan. Yang dimaksud disini adalah kesadarannya untuk mematuhi semua<br />

peraturan perundang-undangan yang kerap disebut derajat kepatuhan,. Secara<br />

sederhana dapat dikatakan bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum<br />

merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. 101<br />

Lawerence M. Fridman melihat hukum sebagai proses mengemukakan ada 3<br />

komponen yang berpengaruh terhadap bekerjanya sistem hukum (legal system) yaitu:<br />

1. Substansi hukum (Legal Substance): aturan hukum itu sendiri yang berupa<br />

undang-undang, doktrin, statuta yang dipakai untuk memerintah dan<br />

diperintah.<br />

2. Struktur hukum (Legal Structur) yaitu institusi atau lembaga itu sendiri<br />

termasuk segala tipe,bentuk jumlah tak terkecuali dalam setiap negara.<br />

3. Budaya Hukum (Legal Cultural) : adalah nilai-nilai, sikap dan tingkah laku<br />

yang merupakan budaya masyarakat itu sendiri termasuk budaya hukum<br />

Idealnya suatu produk hukum mengakomodir sistem hukum sebagaimana<br />

dikemukakan oleh Friedman agar dalam penerapannya tidak bermasalah baik<br />

dari substansi, struktur dan budaya hukumnya sesuai dengan pola hidup dari<br />

masyarakat, sehingga hukum tersebut akan efektif. Efektivitas hukum sangat<br />

dipengaruhi oleh budaya hukum masyarakat, karena respon terhadap hukum<br />

dibatasi oleh faktor budaya. 102<br />

101 Zainuddin Ali. H, 2008, Sosiologi Hukum, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, hal. 62.<br />

102 Lawrence Friedman, Op. Cit. hal. 98


131<br />

Konsep CSR yang dikembangkan di Indonesia berasal dari budaya hukum<br />

masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Bali pada khususnya, yaitu<br />

budaya gotong royong. Nilai gotong royong yang merupakan nilai-nilai luhur dari<br />

bangsa Indonesia patut dipertahankan. Makna semangat gotong royong yang<br />

menjiwai setiap warga masyarakat terlebih pada masyarakat industri/modern patut<br />

dicermati, karena perkembangan dunia usaha pada era global sangat pesat.<br />

Konsep CSR pada prinsipnya adalah suatu upaya sungguh-sungguh dari entitas<br />

bisnis meminimumkan dampak negativ dan memaksimumkan dampak positif<br />

operasinya terhadap seluruh pemangku kepentingan dalam ranah ekonomi, sosial dan<br />

lingkungan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.<br />

Mengacu pada filosofis pola keserasian dan keseimbangan hubungan yang<br />

harmonis yang dikenal dengna “ Tri Hita Karana” tampaknya konsep CSR dapat<br />

berjalan seiring dan seirama dengan unsur-unsur yang terkandung di dalam Tri Hita<br />

Karana yang berintikan unsur nilai keseimbangan hubungan antara manusia dengan<br />

Tuhan (Parhyangan), antara manusia dengan sesamanya (unsur Pawongan) dan<br />

antara manusia dengan alam lingkungannya (unsur Palemahan).<br />

Pada konsep CSR, dua unsur yang terkandung dalam Tri Hita Karana<br />

(Pawongan dan Palemahan) berkaitan erat dengan apa yang menjadi kewajiban<br />

perusahaan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 74 UU No.40 Tahun 2007. Konsep<br />

CSR yang berkait erat dengan tanggung jawab sosial perusahaan yang dalam Tri Hita<br />

Karana bersentuhan dengan unsur pawongan, berfungsi sebagai sub sistem sosial,<br />

sebagai tempat untuk mengadakan interaksi dalam hak dan kewajiban. Konsep CSR


yang bersentuhan dengan unsur Palemahan, berfungsi sebagai upaya menjaga dan<br />

meningkatkan kualitas lingkungan. Komitmen perusahaan dikembangkan dalam<br />

rencana aksi (action plan) yang kemudian dilaksanakan secara nyata, baik terhadap<br />

kondisi lingkungan di dalam perusahaan maupun lingkungan di sekitar perusahaan.<br />

132<br />

Dari penelitian yang telah dilakukan ditemukan bahwa pengembangan CSR<br />

oleh perusahaan yang ada di Bali bukan hanya terhadap dua hal sebagaimana yang<br />

diamanatkan dalam Pasal 74 UU No. 40 Tahun 2007, melainkan dalam pelaksanaan<br />

CSR di perusahaan unsur Parhyangan sangat menonjol diterapkan di masyarakat.<br />

Dari paparan tersebut diatas maka dipandang perlu adanya suatu konsep yang<br />

dapat memadukan adanya aspek-aspek yang terdapat pada CSR dan unsur-unsur yang<br />

terdapat pada Tri Hita Karana. Aspek CSR yang dijiwai oleh budaya gotong royong<br />

pada satu sisi, dan pada sisi lainnya Tri Hita Karana mencerminkan adanya pola<br />

keseimbangan dan keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia<br />

dengan manusia dan manusia dengan alam lingkungan.<br />

Untuk pengembangan CSR ke dalam Konsep Tri Hita Karana maka diperlukan<br />

adanya suatu konsep yang dapat mengintegrasikan kedua konsep tersebut ke dalam<br />

satu konsep sehingga terjadi adanya keharmonisan antara konsep CSR yang secara<br />

teori muncul di negara barat, yang pada saat sekarang telah diadopsi ke dalam UU<br />

Perseroan Terbatas (UU No.40 Tahun 2007) dan konsep Tri Hita Karana yang<br />

merupakan pola pikir dan pola hidup masyarakat Hindu Bali. Konsep yang<br />

dimaksud adalah konsep “integrated balance harmony” yang didasari oleh teori


Harmoni yang diajukan oleh Roscou Pound yang kemudian melahirkan teori “ law as<br />

a tool of social engineering”<br />

133<br />

Hukum adalah suatu proses yang mendapatkan bentuk dalam pembentukan<br />

peraturan perundang-undangan dan keputusan hakim. Pound mengemukakan idenya<br />

tentang hukum sebagai sarana untuk mengarahkan dan membina masyarakat dimana<br />

hukum tidak pasif tetapi harus mampu digunakan untuk mengubah suatu keadaan dan<br />

kondisi tertentu kearah yang dituju sesuai dengan kemauan masyarakat.<br />

Fokus utama Pound dengan konsep social engineering adalah interest<br />

balancing, dan karenanya yang terpenting adalah tujuan akhir dari hukum yang<br />

diaplikasikan dan mengarahkan masyarakat ke arah yang lebih maju. Hukum dan<br />

masyarakat terdapat hubungan yang fungsional. Tujuan utama dalam social<br />

engeneering adalah mengarahkan kehidupan sosial kearah yang lebih maju. Hukum<br />

tidaklah menciptakan kepuasan, tetapi hanya melegitimasi atas kepentingan manusia<br />

untuk mencapai kepuasan tersebut dalam keseimbangan.<br />

Dengan konsep ini diharapkan adanya suatu keterkaitan dan keterpaduan dari<br />

dua konsep antara konsep Tri Hita Karana dengan konsep CSR, sehingga dapat<br />

dikatakan bahwa budaya gotong royong sangat relevan untuk diterapkan oleh<br />

perusahaan pada dunia usaha, karena sesuai dengan budaya hukum masyarakat<br />

Indonesia.<br />

Konsep Tri Hita Karana yang sudah mendarah daging dalam kehidupan<br />

masyarakat Hindu di Bali perlu adanya legitimasi dari pemerintah. Implementasi dari<br />

pendapat Roscou Pound dalam kehidupan di Indonesia pada umumnya terhadap


konsep Tri Hita Karana dapat dilihat dalam UU No. 40 Tahun 2007, khususnya Pasal<br />

74, yang menekankan perlunya perusahaan untuk ikut peduli terhadap kehidupan<br />

sosial, serta peduli terhadap lingkungan. Kemudian di Bali implementasi dari konsep<br />

Tri Hita Karana terdapat pada beberapa Peraturan Daerah Bali dipergunakan sebagai<br />

landasan Filosofisnya, misalnya dalam Perda Prop. Bali No.16 Tahun 2009 tentang<br />

Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029, Perda tentang<br />

Pariwisata Budaya Bali, dan Perda tentang Persyaratan Arsitektur dan Bangunan<br />

Gedung.<br />

134<br />

Apabila dikaji dari substansi hukumnya mencakup isi norma-norma hukum<br />

beserta perumusannya maupun acara untuk menegakkannya yang berlaku bagi<br />

pelaksana hukum maupun pencari keadilan. Sebenarnya ketentuan CSR sudah diatur<br />

secara jelas dalam UU No. 40 Tahun 2007, tetapi sampai saat ini peraturan<br />

pelaksanaannya (PP) belum ada, sehingga sampai saat ini belum ada acuan yang pasti<br />

bagi perusahaan dalam melaksanakan CSR.<br />

Struktur hukum mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut, misalnya<br />

mencakup tatanan lembaga-lembaga hukum formal, hubungan antara lembaga<br />

tersebut, hak-hak dan kewajibannya. Dari penelitian yang dilakukan ditemukan<br />

bahwa semua perusahaan yang ada di Bali khususnya perusahaan yang tidak<br />

mempunyai hubungan keluar negeri tidak mempunyai lembaga yang khusus<br />

menangani tentang CSR kecuali di PT FIF, PT Asuna Bali yang Presdirnya orang<br />

Jepang juga tidak mempunyai lembaga khusus yang menangani tentang CSR.<br />

Kemudian dalam kenyataannya di masyarakat berdasarkan penelitian yang dilakukan


di empat kabupaten, masih banyak para direktur yang tidak memahami istilah CSR<br />

tersebut, tetapi yang menarik disini adalah dalam kegiatan bisnisnya perusahaan<br />

perusahaan tersebut telah melaksanakan CSR dengan baik karena sesuai dengan<br />

budaya masyarakat, bahkan jauh sebelum berlakunya UU No. 40 Tahun 2007.<br />

135<br />

Bertolak dari principle of effectiveness dari Hans Kelsen, realita hukum artinya<br />

orang seharusnya bertingkahlaku atau bersikap sesuai dengan tata kaidah hukum atau<br />

dengan kata lain realita hukum adalah hukum dalam tindakan. Keharusan dan<br />

kewajiban mentaati hukum, karena telah ditentukan demikian (yuridis formal), bukan<br />

karena nilai yang terkandung dalam materi hukum itu sendiri. 103<br />

Menurut Eugen Erlich, hukum positif hanya akan efektif jika selaras dengan<br />

hukum yang hidup di masyarakat (living law). Erlich membandingkan living law<br />

dengan hukum untuk keputusan, makna adalah hukum yang diterapkan dalam<br />

keputusan perselisihan oleh pengacara dan pengadilan. Erlich berharap bahwa dalam<br />

keputusan pengadilan hendaknya menggabungkan hukum yang hidup dalam<br />

masyarakat.<br />

Earlich contrasted this living law with “law for decision”meaning thereby the law<br />

applied in the decision of disputes by lawyers and court.He was willingto<br />

concedethat law for decision might coincide in content with living law, but he<br />

expected that even this would be unusual and sometimes undesirable. 104<br />

Tujuan pokok teori-teori yang dikemukakannya adalah meneliti latar belakang aturan-<br />

aturan formal yang dianggap sebagai hukum. Aturan-aturan tersebut merupakan<br />

norma sosial aktual yang mengatur semua aspek kemasyarakatan yang olehnya<br />

103 Amiruddin dan Zainal Asikin, Op. Cit. Hal. 135<br />

104 Geoffrey Sawer, 1980, Law In Society, Butterworth & Co (Publishers) Ltd, page 175


disebut sebagai hukum yang hidup (living law). Yang dimaksudkannya dengan<br />

hukum yang hidup adalah hukum yang dilaksanakan dalam masyarakat sebagai<br />

hukum yang diterapkan oleh Negara. 105<br />

136<br />

Ehrlich juga mengemukakan bahwa hukum tunduk pada kekuatan-kekuatan<br />

sosial tertentu. Hukum tidak mungkin akan efektif oleh karena ketertiban terletak<br />

pada pengakuan sosial terhadap hukum dan bukan pada penerapannya secara resmi<br />

oleh Negara. Bagi Ehrlich tertib sosial didasarkan fakta diterimanya hukum yang<br />

didasarkan pada aturan dan norma sosial yang tercermin dalam sistem hukum. 106<br />

Kalau mengacu kepada pendapat Eugen Ehrlich, dalam kaitannya dengan<br />

berlakunya UU No. 40 Tahun 2007 khususnya Pasal 74 yang mengatur tentang CSR,<br />

menurut pendapat penulis UU No. 40 Tahun 2007 tentang PT dapat dinyatakan<br />

efektif, karena ada pengakuan sosial terhadap hukum, norma-norma hukum berasal<br />

dari kenyataan sosial, dan kenyataan ini melahirkan hukum, yang menyangkut hidup<br />

bermasyarakat, hidup sosial. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa ketentuan<br />

tentang CSR dalam UU PT dapat dikatakan sebagai hukum yang hidup (living law) di<br />

masyarakat, khususnya masyarakat Bali karena ketentuan tersebut dari segi<br />

historisnya memang merupakan konsep asli dari masyarakat adat Bali, atau<br />

merupakan sesuatu yang eksistensial dari sejarah hidup masyarakat Bali. Ketentuan<br />

CSR yang didasari oleh semangat gotong royong merupakan hukum yang<br />

diwujudkan dan diungkapkan dalam kelakuan mereka sendiri. Menurut Ehrlich<br />

105 Otje Salman, Op. Cit. hal. 38<br />

106 Bernard L. Tanya, Op. Cit. Hal. 141


hukum yang hidup itu dinamakan dengan Rechtsnormen (norma-norma hukum).<br />

137<br />

CSR adalah merupakan cerminan dari pola hidup masyarakat khususnya<br />

masyarakat adat di Bali. Di Bali dalam kehidupan masyarakat adatnya tidak ada<br />

perbuatan tanpa persembahan, baik persembahan kepada Tuhan, kepada sesama,<br />

maupun kepada lingkungan. Pada dasarnya konsep CSR sudah dilaksanakan oleh<br />

perusahaan-perusahaan yang ada di Bali, sejak sebelum dituangkan ke dalam undang-<br />

undang hanya saja dalam bentuk dan penamaan yang berbeda, karena CSR yang tidak<br />

jauh berbeda dengan budaya gotong royong yang merupakan norma sosial yang ada<br />

di Bali. Dalam pelaksanaan CSR oleh perusahaan tidak terlepas dari konsep Tri Hita<br />

Karana, hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian bentuk sumbangan yang diberikan<br />

oleh perusahaan kepada masyarakat, kalau ada upacara di pura sumbangan yang<br />

utama dalam bentuk dana punia, yang kalau dikaji dari konsep CSR hal ini tidak<br />

termasuk ke dalamnya, tetapi tidak bisa terlepas dari pola pikir masyarakat hukum<br />

adat Bali yang bersifat religiomagis. Konsep CSR dalam hubungannya dengan<br />

masyarakat sangat berkaitan erat dengan konsep pawongan dalam Tri Hita Karana,<br />

yaitu menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan manusia, yang dalam<br />

CSR dimaksudkan menjaga keharmonisan antara pengusaha dengan masyarakat<br />

sekitar, sehingga kalau sudah tercapai keharmonisan masyarakat dengan perusahaan<br />

maka kelangsungan perusahaan bisa terjaga dan keuntungan bias tercapai.<br />

Konsep lingkungan dalam CSR sangat berhubungan dengan unsur palemahan<br />

dalam Tri Hita karana, yaitu menjaga alam tetap lestari, sehingga bisa berguna bagi<br />

anak cucu dikemudian hari.


138<br />

CSR adalah “hukum sosial”. Ia lahir dalam dunia pengalaman manusia yang<br />

bergumul dengan kehidupan sehari-hari. Ia terbentuk lewat kebiasaan. Kebiasaan itu<br />

lambat laun mengikat dan menjadi tatanan yang efektif, lalu kehidupan berjalan<br />

dalam tatanan itu. Kekuatan mengikat hukum yang hidup itu tidak ditentukan oleh<br />

kewibawaan Negara. Ia tidak tergantung pada kompetensi penguasa dalam Negara,<br />

khususnya dari segi internnya hubungan-hubungan dalam kelompok sosial tergantung<br />

dari anggota-anggota kelompok itu.<br />

Dari uraian tersebut diatas dapat dikatakan bahwa ketentuan tentang CSR<br />

dalam UU No. 40 Tahun 2007 berlaku secara efektif di masyarakat dan dalam<br />

implemetasi CSR dapat berjalan secara harmonis dengan konsep Tri Hita Karana<br />

yang terdapat di Bali, hal tersebut bisa dilihat dalam realisasi CSR tidak terlepas dari<br />

tiga konsep Tri Hita Karana, yaitu parahyangan, pawongan, dan palemahan.


BAB IV<br />

BENTUK TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERSEROAN YANG<br />

DITERAPKAN OLEH PERUSAHAAN DI BALI<br />

4.1 Konsep Tanggung Jawab Dalam Makna Responcibility dan Liability.<br />

139<br />

Tanggung jawab sosial perusahaan merupakan tema yang hangat dibicarakan<br />

pada saat sekarang di berbagai forum. Pada saat mendengar atau membaca kata CSR<br />

maka yang timbul dalam pemikiran adalah suatu tanggung jawab perusahaan yang<br />

bersifat kesukarelaan (voluntary) dan tidak ada sanksi yang bersifat memaksa bagi<br />

para pihak yang tidak melaksanakannya. Bahkan dengan adanya kata “sosial” maka<br />

persepsi orang terhadap CSR justru terfokus pada aktivitas sosial, seperti<br />

kedermawanan (philanthropy), kemurahan hati (charity), bantuan terhadap bencana<br />

alam, dan kegiatan sosial lainnya. Dengan kata lain CSR tidak lebih dari “moralty”<br />

saja. 107<br />

Sebenarnya dasar dari suatu tanggung jawab pada awal-awal penerapan hukum<br />

di dunia ini adalah bentuk perbuatan pidana (delik) dan wanprestasi kontrak. Jika ada<br />

tanggung jawab tanpa kesalahan hal tersebut tergolong ke dalam kuasi kontrak. Apa<br />

yang dikenal dengan perbuatan melawan hukum (perdata) dalam pengertiannya pada<br />

107 Isa Wahyudi, Op. Cit. hal.3


saat sekarang dahulunya masih belum dikenal. 108<br />

140<br />

Berbicara tentang tanggung jawab yang berkaitan dengan perusahaan, maka<br />

paling tidak ada 2 (dua) pemaknaan tanggung jawab itu sendiri, yaitu tanggung<br />

jawab dalam makna responcibility atau tanggung jawab moral atau etis, dan yang<br />

kedua adalah tanggung jawab dalam makna liability atau tanggung jawab yuridis atau<br />

hukum.<br />

4.1.1 Konsep Tanggungjawab Dalam Makna Responcibility.<br />

Burhanuddin Salam dalam bukunya yang berjudul “Etika Sosial” dinyatakan<br />

bahwa tanggung jawab itu adalah: “responcibilityis having the caracter of a free<br />

moral agent; capable of determining one’s acts; capable deterred by consideration<br />

of sanction or consequences” 109<br />

Dari pengertian tersebut dapat dicatat dua hal penting, yaitu:<br />

1. Harus ada kesanggupan untuk menetapkan sesuatu perbuatan.<br />

2. Harus ada kesanggupan untuk memikul resiko dari sesuatu perbuatan.<br />

Kalau dimaknai kata “having the character” tampaknya ada semacam tuntutan<br />

berupa “suatu keharusan atau kewajiban” yang didalamnya sekaligus mengandung<br />

makna pertanggungan moral atau karakter. Karakter disini merupakan sesuatu yang<br />

mencerminkan nilai dari suatu perbuatan. Selanjutnya konsekuensi dari perbuatan<br />

dapat dimaknai sebagai suatu perbuatan yang hanya terdapat 2 (dua) alternative<br />

penilaian yaitu tahu bertanggung jawab atau tidak tahu bertanggung jawab.<br />

108 Munir Fuady, 2005, Perbandingan Hukum Perdata, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, hal.73<br />

109 Salam, Baharuddin, 1997, Etika Moral, Asas Moral Dalam Kehidupan Sosial Manusia,<br />

Jakarta, Renika Cipta, hal.28


Sedangkan makna tanggung jawab itu sendiri dalam filsafat hidup dijadikan sebagai<br />

salah satu kriteria kepribadian (personality) seseorang (perusahaan). <strong>110</strong><br />

141<br />

Bila kata tanggung jawab di lihat dari segi filosofinya, maka terdapat 3 (tiga)<br />

unsur yang harus dipahami, yaitu:<br />

1. Kesadaran (ewareness)<br />

Berarti tahu, kenal, mengerti, dapat memperhitungkan arti, guna sampai kepada<br />

soal akibat perbuatan atau pekerjaan yang dihadapi. Dengan kata lain bahwa<br />

seseorang (perusahaan) baru dapat dimintai pertanggungjawabannya bila yang<br />

bersangkutan sadar tentang apa yang dilakukannya.<br />

2. Kecintaan atau kesukaan (affiction).<br />

Berarti suka, menimbulkan rasa kepatuhan, kerelaan dan kesediaan berkorban.<br />

Rasa cinta timbul atas dasar kesadaran, apabila tidak ada kesadaran bererti rasa<br />

kecintaan tidak akan muncul. Jadi cinta muncul atas dasar kesadaran, atas<br />

kesadaran inilah lahirnya rasa tanggung jawab.<br />

3. Keberanian (bravery).<br />

Merupakan suatu rasa yang didorong keikhlasan, tidak ragu-ragu dan tidak takut<br />

dengan segala rintangan. Suatu keberanian mesti disertai dengan perhitungan,<br />

pertimbangan, dan kewaspadaan atas segala kemungkinan. Dengan demikian<br />

keberanian itu timbul atas dasar tanggung jawab.<br />

Pinto menegaskan bahwa responcibility ditujukan bagi adanya indikator<br />

penentu atas lahirnya suatu tanggung jawab, yakni suatu standar yang telah<br />

<strong>110</strong> Salam, Baharuddin, 1997, Ibid. hal.28


ditentukan terlebih dahulu dalam suatu kewajiban yang harus ditaati. 111<br />

142<br />

Pada prinsipnya tanggung jawab dalam arti responcibility lebih menekankan<br />

pada suatu perbuatan yang harus atau wajib dilakukan secara sadar dan siap untuk<br />

menanggung segala resiko dan atau konsekuensi apapun dari perbuatan yang<br />

didasarkan atas moral tersebut. Dengan kata lain responcibility merupakan tanggung<br />

jawab yang hanya disertai sanksi moral. Sehingga tidak salah apabila pemahaman<br />

sebagian pelaku usaha dan atau perusahaan tergadap CSR hanya sebatas tanggung<br />

jawab moral yang mereka ujudkan dalam bentuk philanthropy maupun charity.<br />

4.1.2 Tanggung Jawab Dalam Makna Liability.<br />

Berbicara tentang tanggung jawab dalam makna liability, berarti berbicara<br />

tentang tanggung jawab dalam konteks hukum, dan biasanya diwujudkan dalam<br />

bentuk tanggung jawab keperdataan. Menurut Pinto, liability menunjuk kepada<br />

akibat yang timbul dari akibat kegagalan untuk memenuhi standar tersebut,<br />

sedangkan bentuk tanggung jawabnya diwujudkan dalam bentuk ganti rugi dan<br />

pemulihan sebagai akibat dari terjadinya kerusakan atau kerugian. 112<br />

Dalam hukum keperdataan prinsip-prinsip tanggung jawab dapat dibedakan<br />

sebagai berikut:<br />

1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Adanya Unsur Kesalahan (Liability based<br />

on fault).<br />

Sejarah lahirnya prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan pada mulanya<br />

111 Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah; Pasang Surut Hubungan antara DPRD dan<br />

Kepala Daerah, Bandung, Alumni. hal.105<br />

112 Dwi Kartini , Op. Cit. hal.105


dikenal dalam budaya Babylonia kuno. Kemudian dikembangkan pada masa Romawi<br />

dalam doktrin “culpa” dalam “ lex Aquila” dimana setiap kerugian baik sengaja<br />

maupun tidak sengaja harus selalu diberikan santunan. Kemudian prinsip ini menjadi<br />

hukum Romawi modern sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1382 Code<br />

Civil Prancis yang berbunyi “any act whatever done by a man which cause damage to<br />

anather obliges him by whose faultthe damage was cause to repair it”<br />

143<br />

Kemudian Belanda sebagai Negara jajahan Prancis mengadopsi pasal tersebut,<br />

yang dituangkan dalam Pasal 1401 BW. Sedangkan di Indonesia diberlakukan prinsip<br />

tanggung jawab berdasarkan kesalahan adalah atas dasar asas konkordansi. Ketentuan<br />

tanggung jawab atas kesalahan ini dituangkan dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang<br />

berbunyi: “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang<br />

lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti<br />

kerudian tersebut” 113<br />

Sesungguhnya ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata tidak merumuskan<br />

perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) tetapi hanya mengemukakan unsur<br />

unsur yang harus dipenuhi agar sesuatu perbuatan dapat dikualifikasikan sebagai<br />

perbuatan melawan hukum. Adapun unsur-unsur perbuatan melawan hukum adalah<br />

sebagai berikut:<br />

a. Adanya perbuatan melawan hukum dari tergugat.<br />

b. Perbuatan itu dapat dipersalahkan kepadanya.<br />

c. Adanya kerugian yang diderita penggugat sebagai akibat kesalahan tersebut.<br />

113 Munir Fuady, Op. Cit. hal. 79


1. Makna perbuatan melawan hukum disini, bukan hanya dalam arti positif tapi<br />

juga meliputi negative, yaitu meliputi tidak berbuat sesuatu yang seharusnya<br />

144<br />

menurut hukum orang harus berbuat. Sedangkan makna kesalahan disini adalah<br />

dalam pengertian umum, yaitu baik karena kesengajaan maupun karena<br />

kelalaian. Dalam penerapan Pasal 1365 KUH Perdata ini adanya keharusan<br />

dimana si penggugat membuktikan adanya kerugian tersebut, sebagai akibat dari<br />

perbuatan si tergugat.<br />

2. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Praduga (Presumption of Liability).<br />

Menurut prinsip presumption of liability, tergugat (perusahaan) dianggap<br />

bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul, tetapi tergugat dapat<br />

membebaskan diri dari tanggung jawabnya, apabila ia dapat membuktikan bahwa<br />

dirinya tidak bersalah (absence of fault), tetapi dengan menekankan pada<br />

pembalikan beban pembuktian (shifting of the burden of proof) kepada pihak<br />

tergugat.<br />

Apabila prinsip ini ditarik pada tanggung jawab perusahaan, jika ada<br />

masyarakat yang merasa dirugikan oleh suatu perusahaan, baik sebagai akibat<br />

aktifitas perusahaan ataupun karena keberadaannya. Dalam hal ini masyarakat bisa<br />

langsung menggugat perusahaan dan pihak perusahaanlah nantinya yang dibebankan<br />

untuk membuktikan bahwa kerugian yang dialami masyarakat bukanlah karena<br />

kesalahan pihak perusahaan yang dimaksud. 114<br />

2. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Absolute Liability atau Strict Liability).<br />

114 Ibid. hal. 187


145<br />

Yang dimaksud dengan tanggung jawab mutlak (strict liability) adalah suatu<br />

tanggung jawab hukum yang dibebankan kepada pelaku perbuatan melawan hukum<br />

tanpa melihat apakah yang bersangkutan dalam melakukan perbuatannya itu<br />

mempunyai unsur kesalahan atau tidak. Dalam hal ini pelakunya dapat dimintakan<br />

tanggung jawab secara hukum, meskipun dalam melakukannya itu, dia tidak<br />

melakukannya dengan sengaja dan tidak pula mengandung unsur kelalaian,<br />

kekuranghati-hatian, atau ketidakpatutan. 115<br />

Pada prinsipnya, lahirnya tanggung jawab mutlak tidak terlepas dari doktrin<br />

onrechtmatige daad sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365 KUH Perd. yang<br />

mengedepankan adanya unsur kesalahan (fauld). Dalam arti kata harus ada ketentuan<br />

peraturan perundang-undangan yang dilanggar. Pada fakta emperis, tidak semua<br />

unsur fault dapat dibuktikan, bahkan ada yang tidak dapat dibuktikan sama sekali.<br />

Untuk dapat mengatasi keterbatasan fault based liability tersebut, maka<br />

dikembangkanlah asas pertanggungjawaban mutlak (strict liability). 116<br />

Perkembangan teori tentang strict liability dalam hukum timbul dan tenggelam.<br />

Semula dalam masyarakat yang premitif hanya dikenal tanggung jawab mutlak, tanpa<br />

melihat ada tidaknya unsur kesalahan. Inilah model strict liability dalam bentuknya<br />

yang premitif. Selanjutnya berkembang pemikiran dalam hukum dimana setiap<br />

tindakan yang dengan sengaja merugikan orang lain merupakan tindakan yang tercela<br />

dalam masyarakat beradab dan merupakan tindakan anti sosial sehingga perbuatan<br />

Hal.301<br />

115 Munir Fuady, Op. Cit. Hal.96<br />

116 Sentosa, Mas Achmad, 2001, Good Governance & Hukum Lingkungan, Jakarta,: ICEL.


tersebut merupakan tindakan melawan hukum, yang dalam Hukum Romawi disebut<br />

dengan istilah “dolus” 117<br />

146<br />

Perkembangan selanjutnya adalah berkembangnya doktrin strict liability dalam<br />

bentuk yang modern. Perkembangan ini diawali oleh tanggung jawab mutlak dari<br />

benda-benda yang mempunyai sifat yang dapat keluar dari teritori pemiliknya, seperti<br />

tanggung jawab mutlak pemilik waduk air, penyulut api, pemilik ternak, pemelihara<br />

binatang buas, bahkan terakhir juga pembuat/pengguna reaktor nuklir. 118<br />

Strict liability merupakan bentuk pertanggung jawaban perdata yang tidak<br />

memerlukan pembuktian unsur fault, sebagai unsur utama dalam pertanggung<br />

jawaban perdata dalam hal terjadinya fault based (perbuatan melawan hukum).<br />

Dengan demikian beban pembuktian penggugat menjadi ringan karena tidak dibebani<br />

pembuktian adanya unsur fault. Namun demikian penggugat tetap dibebani untuk<br />

membuktikan kerugian (injured party) yang dialaminya sebagai akibat dari aktivitas<br />

pihak si tergugat.Hal ini diistilahkan dengan pembuktian kausalitas (causal link).<br />

Perkembangan tanggung jawab mutlak, selain dalam bentuk strict liability juga<br />

dikenal terminologi absolute liability. 119<br />

Menurut Bin Cheng, ada perbedaan makna antara Strict liability dengan<br />

Absolute liability. Dalam Strict liability tuntutan atas perbuatan yang menyebabkan<br />

kerugian itu harus dilakukan oleh orang yang bertanggung jawab. Dengan kata lain,<br />

117 Djojodirdjo, Moegni, 1982, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta, Penerbit Pradnya<br />

Paramita, hal.70<br />

118 Munir Fuady, Op. Cit. hal.97<br />

119 Sentosa, Mas Achmad, Op. Cit. Hal.303


dalam strict liability harus ada causa link antara orang (perusahaan) yang benar-benar<br />

bertanggung jawab dengan kerugian tersebut. Selain itu dalam Strict liability semua<br />

hal yang biasanya dapat membebaskan tanggung jawab (usual defence) tetap diakui,<br />

kecuali terhadap hal-hal yang mengarah pada pernyataan tidak bersalah (absence of<br />

faulty), karena unsur kesalahan tidak diperlukan lagi. 120<br />

147<br />

Absolute liability adalah tanggung jawab akan timbul kapan saja tanpa<br />

mempermasalahkan oleh siapa dan bagaimana terjadinya kerugian tersebut. Dalam<br />

Absolute liability tidak diperlukan adanya kausalitas, dan hal-hal yang dapat<br />

membebaskan tanggung jawab sepanjang dinyatakan secara tegas. Beberapa contoh<br />

konvensi yang dapat membebaskan tanggung gawab, yaitu:<br />

a. Konvensi Roma 1952 (Damage Caused by Foreign Air Craft to Third Parties<br />

on the Surface).<br />

b. Konvensi Brussels 1962 (The Liability of Operators of Nuclear Ships).<br />

c. Konvensi Wina 1963 (Civil Kiability for Nuclear Damage).<br />

d. Konvensi Montreal 1966 (Interim Agreement). 121<br />

Dalam perkembangan selanjutnya muncul konsep-konsep strict liability dalam<br />

bidang yang lain yang bercampur dengan perkembangan doktrin pembuktian terbalik<br />

(shifted burden of proof), seperti dalam bidang lingkungan hidup, product liability,<br />

penyebab bahaya terhadap kesehatan dan keamanan sebagaimana seperti yang<br />

120 Cheng, Bin, 1981, A Reply to Charges of Having Inter Alia Misure the Term Absolut<br />

Liability in Relation to the 1996 Inter-Carrier Agreement in My for an Integreted System of Aviation<br />

Liability, Annals of Air and Space law, Hal.3, Dalam Khairandy Ridwan, Op. Cit. Hal.191.<br />

121 Khairandy, Ridwan, Op. Cit. Hal. 297


terdapat dalam the Pure Food and Drug Acts di Amerika Serikat. 122<br />

148<br />

Khusus terhadap gugatan keperdataan yang berkaitan dengan hukum<br />

lingkungan, ada beberapa konsep tanggung jawab lainnya yang bisa dijadikan sebagai<br />

acuan yaitu sebagai berikut:<br />

a. Market Share Liability.<br />

Konsep ini dimaksudkan untuk mengantisipasi persoalan dimana penggugat<br />

menderita kerugian akibat pencemaran dari sejumlah industri. Di dalam konsep ini<br />

penggugat diharuskan menghadirkan sejumlah industri sebagai pihak yang diduga<br />

sebagai kontributor substansial (substantial share) zat-zat pencemar. Beban<br />

pembuktian dalam konsep ini berpindah pada tergugat untuk membuktikan bahwa<br />

tergugat tidak melepaskan zat-zat pencemar seperti yang dituduhkan penggugat.<br />

b. Risk Contribution.<br />

Tujuan pengembangan konsep ini tidak jauh berbeda dengan maksud dan<br />

tujuan dari konsep Market Share Liability, yaitu mengatasi permasalahan, dimana<br />

penggugat mengalami kerugian yang disebabkan pencemaran, tetapi tidak dapat<br />

diidentifikasi secara pasti penyebab kerugian tersebut.Penggugat hanya berhasil<br />

mengidentifikasi zat-zat pencemar serta kadar yang dikonsumsi penggugat. Dalam<br />

hal ini penggugat dapat mengajukan gugatan pada satu industry/produsen dari bahan<br />

kimia zat berbahaya tersebut. Kemudian tergugat bertanggung jawab memasukkan<br />

pihak ketiga lainnya yang dianggap sebagai kontributor terhadap timbulnya kerugian<br />

terhadap penggugat. 123<br />

122 Munir Fuady, Op. Cit. Hal.99


c. Concert of Action<br />

149<br />

Konsep ini muncul dan berkembang sebagai jawaban terhadap kemungkinan<br />

terlibatnya pihak-pihak lain yang membantu dan bekerja sama dengan pencemar,<br />

sehingga perbuatan pencemarandapat dilaksanakan dengan sempurna. Melalui konsep<br />

ini pihak konsultan yang memberikan advis untuk tidak mengoperasikan alat<br />

pembuangan limbah dapat dituntut bertanggung jawab atas kerugian yang dialami<br />

oleh penggugat. Berdasarkan konsep ini, pemerintah dapat juga dituntut sebagai<br />

pihak yang memberikan persetujuan atas kerugian yang dialami penggugat.<br />

d. Alternative Liability.<br />

Timbulnya Alternative liability didasarkan atas pertimbangan bahwa sangat<br />

tidak adil apabila tergugat mesti dibebaskan hanya karena penggugat tidak dapat<br />

membuktikan secara pasti satu dari sekian banyak pihak yang bertanggung jawab atas<br />

perbuatan yang menimbulkan kerugian terhadap orang lain.<br />

e. Enterprise Liability.<br />

Konsep ini merupakan perluasan pengertian dari konsep Market Share<br />

Liability. Konsep ini diterapkan pada situasi dimana penggugat tidak dapat secara<br />

spesifik menunjuk pelaku pencemaran dari sekian banyak perusahaan-perusahaan<br />

yang potensial menjadi penyebab, ternyata telah memenuhi standar dan petunjuk<br />

yang telah ditetapkan. Dalam konsep ini penggugat dibolehkan melibatkan seluruh<br />

perusahaan yang dianggap potensial menyebabkan kerugian penggugat, serta pihak-<br />

pihak yang terlibat dalam pemberian Rencana Kelola Lingkungan (RKL) dan<br />

123 Siahaan,N.H.T, 2009, Hukum Lingkungan, Jakarta, Penerbit Pancuran Alam, Hal. 331


Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) serta perizinan. 124<br />

4.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi Corporate Social<br />

Responsibility.<br />

150<br />

Salah satu bentuk dari tanggung jawab sosial perusahaan yang sering<br />

diterapkan di Indonesia adalah community development. Perusahaan yang<br />

mengedepankan konsep ini akan lebih menekankan pembangunan sosial dan<br />

pembangunan kapasitas masyarakat sehingga akan menggali potensi masyarakat lokal<br />

yang menjadi modal sosial perusahaan untuk maju dan berkembang. Selain dapat<br />

menciptakan peluang-peluang sosial-ekonomi masyarakat, menyerap tenaga kerja<br />

dengan kualifikasi yang diinginkan, cara ini juga dapat membangun citra sebagai<br />

perusahaan yang ramah dan peduli lingkungan. Selain itu, akan tumbuh rasa percaya<br />

dari masyarakat. Rasa memiliki perlahan-lahan muncul dari masyarakat sehingga<br />

masyarakat merasakan bahwa kehadiran perusahaan di daerah mereka akan berguna<br />

dan bermanfaat. Kepedulian kepada masyarakat sekitar komunitas dapat diartikan<br />

sangat luas, namun secara singkat dapat dimengerti sebagai peningkatan partisipasi<br />

dan posisi organisasi di dalam sebuah komunitas melalui berbagai upaya<br />

kemaslahatan bersama bagi organisasi dan komunitas. CSR adalah bukan hanya<br />

sekedar kegiatan amal, di mana CSR mengharuskan suatu perusahaan dalam<br />

pengambilan keputusannya agar dengan sungguh-sungguh memperhitungkan<br />

akibatnya terhadap seluruh pemangku kepentingan(stakeholder) perusahaan,<br />

termasuk lingkungan hidup. Jadi CSR juga dilihat dalam lingkup stakeholders atau<br />

124 Ibid. hal. 337


lingkungan dimana perusahaan tersebut berada. Selama ini CSR sering dihitung<br />

berdasarkan besarnya uang yang telah dikeluarkan. Sebenarnya bukan hanya dilihat<br />

dari segi keuangan saja tetapi ada nilai intangible yang sangat penting, artinya ada<br />

sesuatu yang tidak dapat dinilai dengan uang. Nilai intangible artinya sampai sejauh<br />

mana perusahaan aktif dan proaktif terhadap lingkungan.<br />

151<br />

Hal ini mengharuskan perusahaan untuk membuat keseimbangan antara<br />

kepentingan beragam pemangku kepentingan eksternal dengan kepentingan<br />

pemegang saham, yang merupakan salah satu pemangku kepentingan internal.<br />

Kepentingan internal menyangkut transparansi sehingga ada yang namanya Good<br />

Corporate Governance. Dikalangan publik diukur dengan keterbukaan informasi.<br />

CSR internal menyangkut lingkungan tempat perusahaan, yang meliputi polusi,<br />

limbah, maupun partisipasi lainnya. Stakeholders diluar dapat dikatagorikan ada<br />

masyarakat, pemasok, pelanggan, konsumen, maupun pemerintah. Tujuan CSR<br />

bukan untuk memanja masyarakat, karena akan terjadi pembodohan masyarakat<br />

Tujuan CSR adalah untuk pemberdayaan masyarakat, bukan memperdayai<br />

masyarakat. Pemberdayaan bertujuan mengkreasikan masyarakat mandiri. Kata<br />

“sosial” pada CSR sering diinterpretasikan dengan kedermawanan. Program CSR<br />

jauh lebih besar dari kedermawanan yang biasanya lebih karena bencana alam. CSR<br />

terkait dengan sustainability dan acceptability, artinya diterima dan berkelanjutan<br />

untuk bekerja di suatu tempat, dan pihak pengusaha menginginkan usahanya<br />

berkelanjutan dalam jangka panjang.


152<br />

Menurut Princes of Wales Foundation ada lima faktor penting yang dapat<br />

mempengaruhi implementasi CSR, yaitu:<br />

a. Human capital atau pemberdayaan manusia.<br />

b. Environments yang berbicara tentang lingkungan.<br />

c. Good Corporate Governance.<br />

d. Social Cohesion, artinya dalam melaksanakan CSR jangan sampai<br />

menimbulkan kecemburuan sosial<br />

e. Economic strength atau memberdayakan lingkungan menuju kemandirian di<br />

bidang ekonomi. 125<br />

4.3 Bentuk Tanggung Jawab Sosial Perseroan yang Diterapkan oleh<br />

Perusahaan yang Berbentuk PT Di Bali.<br />

Dalam perkembangan di era globalisasi dan persaingan bebas saat ini,<br />

perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi<br />

dengan prinsip kebersamaan, efisisensi berkeadilan, berkelanjutan, berawawasan<br />

lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan<br />

kesatuan ekonomi nasional, pada akhirnya untuk mewujudkan kesejahteraan<br />

masyarakat. Bahwa salah satu pilar pembangunan perekonomian di Indonesia yang<br />

dapat diharapkan untuk membantu terwujudnya kesejahteraan rakyat tersebut adalah<br />

perusahaan.<br />

Dalam Pasal 1 huruf b, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib<br />

125 Suharna, Nana, 2006, Gagasan dan Aksi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam<br />

Masyarakat:Studi Kasus Empat Perusahaan, Jakarta, Penerbit YAPPIKA, IDSS. Hal.27


Daftar Perusahaan yang dimaksud dengan perusahaan yaitu:<br />

153<br />

”Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha<br />

yang bersifat tetap dan terus-menerus dan yang didirikan, bekerja serta<br />

berkedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh<br />

keuntungan dan atau laba”.<br />

Molengraaf, perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara<br />

terus-menerus, bertindak keluar, untuk mendapatkan penghasilan, dengan cara<br />

memperniagakan barang-barang, menyerahkan barang-barang atau mengadakan<br />

perjanjian-perjanjian perdagangan. 126<br />

adalah:<br />

Dalam Black‟s Law Dictionary, dinyatakan bahwa Perusahaan (Corporation)<br />

“An Entity (usu a business) having authority under law to act as a single person<br />

distinct from the shareholders who own it and having Rights to issue stock and exist<br />

indefinitely…………….” 127<br />

(“Sebuah entitas (dalam bisnis) yang memiliki kewenangan berdasarkan hukum<br />

sebagai orang perorangan dari pemegang saham yang memiliki hak mengedarkan<br />

saham tanpa batas waktu …………………”)<br />

Keberadaan perusahaan sangat berperan dalam memajukan suatu masyarakat,<br />

daerah dan negara. Sehingga dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dengan<br />

adanya suatu perusahaan di suatu daerah, maka akan dapat menyerap tenaga kerja.<br />

Dalam menjalankan usahanya suatu perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban<br />

secara ekonomis saja tetapi mempunyai kewajiban yang bersifat etis. Adanya suatu<br />

etika bisnis yang merupakan tuntunan perilaku bagi dunia usaha untuk bisa<br />

126 Abdul Rasyid Saliman, et al., 2005, Hukum Bisnis untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus,<br />

Jakarta, Penerbit Kencana, hal. 82.<br />

127 Bryan A Garner, 1999, Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, West Publicing C.O, Page<br />

341


membedakan mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan.<br />

Dalam pemenuhan etika dalam berbinis memang tidak hanya profit yang menjadi<br />

tujuan utama, akan tetapi pemberdayaan masyarakat sekitar juga harus menjadi tujuan<br />

utama bagi perusahaan. Dikarenakan hal itu merupakan salah satu perwujudan dari<br />

Good Corporate oleh perusahaan terhadap Stakeholder.<br />

154<br />

Kemudian jika merujuk dalam dokumen Global Compact PBB tahun 1999,<br />

dalam poin kedelapan dinyatakan mengambil inisiatif mempromosikan<br />

tanggungjawab lingkungan yang lebih besar. Kemudian agar perusahaan memiliki<br />

tanggungjawab dan kewajiban untuk memajukan, menghormati dan melindungi<br />

HAM sebagaimana diakui dalam hukum internasional maupun hukum nasional<br />

termasuk hak dan kepentingan dari indigenous people dan kelompok rentan lain telah<br />

diserukan oleh PBB melalui Resolusi Majelis Umum : Ny.E/CN.4/Sub.2/2003/12/<br />

Rev.2 tahun 2003.<br />

Salah satu usaha yang dapat dilakukan oleh sebuah perusahaan yaitu<br />

melaksanakan Corporate Social Responsibility (CSR) . CSR pada 1990-an, menjadi<br />

suatu gagasan yang menyita banyak kalangan, dari masyarakat akademik, lembaga<br />

swadaya masyarakat (LSM), sampai para pelaku bisnis. Tidak mengherankan jika<br />

laporan tahunan beberapa perusahaan multinasional yang telah melakukan praktek<br />

CSR keberhasilan meraih keuntungan tidak lagi ditempatkan sebagai satu-satunya<br />

alat ukur keberhasilan dalam mengembangkan eksistensi perusahaan.<br />

Di kalangan sebagian dunia usaha, sudah tumbuh pengakuan bahwa<br />

keberhasilan ekonomi dan finansiil mereka berkaitan erat dengan konsidi sosial dan


lingkungan dimana perusahaan mereka beroperasi. Untuk mewujudkan tanggung<br />

jawab semacam itu, dunia usaha diharapkan memperhatikan dengan sungguh-<br />

sungguh CSR dalam aktivitas usahanya.<br />

155<br />

Kotler dan Lee dalam bukunya “Corporate Social Responsthility: Doing The<br />

Most Good For Your Cornpany and Your Cause”, mengidentifikasikan 6 (enam)<br />

pilihan program bagi perusahaan-perusahaan yang ingin melakukan inisiatif dan<br />

aktivitas yang berkaitan dengan berbagai masalah masalah sosial sekaligus juga<br />

sebagai wujud komitmen dan CSR, yaitu: 128<br />

1. Cause promotion adalah kegiatan yang dilakukan dalam bentuk memberikan<br />

kontribusi berupa dana dan penggalangan dana untuk meningkatkan kesadaran<br />

akan permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat.<br />

2. Cause related marketing adalah bentuk kontribusi perusahaan dengan menyisihkan<br />

beberapa persen dan pendapatan yang diperoleh perusahaan sebagai donasi bagi<br />

permasalahan sosial tertentu, untuk periode tertentu atau produk tertentu.<br />

3. Corporate social marketing adalah upaya untuk membantu mengembangkan dan<br />

sekaligus juga mengimplementasikannya dalam bentuk kampanye dengan fokus<br />

mengubah perilaku tertentu yang mempunyal pengaruh negatif.<br />

4. Corporate philantrophy adalah inisiatif dari perusahaan dengan memberikan<br />

kontribusi langsung kepada suatu aktivitas amal, baik dalam bentuk donasi<br />

ataupun sumbangan tunai.<br />

128 Isa Wahyudi dan Busyra Azheri, Op. cit., hlm. 56.


5. Community voluntering adalah bentuk kegiatan yang dilakukan langsung oleh<br />

perusahaan dalam memberikan bantuan dan mendorong karyawan serta mitra<br />

bisnisnya untuk secara sukarela terlibat dan membantu masyarakat setempat.<br />

6. Socially responsible business practices adalah inisiatif perusahaan untuk<br />

mengadopsi dan melakukan praktek bisnis tertentu serta investasi yang ditujukan<br />

untuk meningkatkan kualitas sebuah komunitas dan melindungi lingkungan.<br />

156<br />

Menurut Pearlie Koh dan Victor Yeo menetapkan 4 (empat) kategori social<br />

responsibility yang menjadi sasaran perusahaan-perusahaan di Singapura, yaitu: 129<br />

a. Pekerjaaan yang bersifat amal (charitable works);<br />

b. Kesejahteraan karyawan;<br />

c. Perlindungan lingkungan;<br />

d. Masalah moral.<br />

Di Indonesia, istilah CSR semakin popular digunakan sejak tahun 1990-an.<br />

Beberapa perusahaan sebenarnya telah lama melakukan corporate social activity atau<br />

aktifitas sosial perusahaan. Walaupun tidak menamainya sebagai CSR, secara faktual,<br />

aksinya mendekati konsep CSR yang mempresentasikan bentuk “peran serta” dan<br />

“kepedulian”perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan.<br />

Dari hasil penelitian yang dilakukan dibeberapa perusahaan yang ada di Bali<br />

menunjukkan banyak para Direktur dari perusahaan yang berbentuk PT yang belum<br />

memahami tentang istilah CSR tersebut. tetapi perusahaan tersebut telah<br />

129 Cornelius Simanjutak dan Natalie Mulia, 2009, Organ Perseroan Terbatas, Jakarta, Penerbit<br />

Sinar Grafika, hlm. 99.


melaksanakan secara aktif CSR tersebut, seperti PT Bali Timur Mandiri yang<br />

beralamat di Jalan Pahlawan No. 12 Bangli. Perusahaan yang berbentuk PT ini<br />

didirikan tahun 1996, yang bergerak dalam penjualan sepeda motor, dalam<br />

kenyataannya telah berperan aktif melaksanakan CSR dengan peduli terhadap<br />

lingkungan sekitar perusahaan, yaitu dengan membantu masyarakat sekitar<br />

perusahaan tersebut dengan memberikan bantuan kepada masyarakat berupa Dana<br />

Punia (amal) ke tempat suci (pura) apabila ada upacara keagamaan yang ada di<br />

lingkungan perusahaan tersebut.<br />

157<br />

Melihat aktifitas yang dilakukan oleh PT Bali Timur Mandiri dapat dikatakan<br />

bahwa bentuk CSR yang diterapkan di perusahaan tersebut adalah dalam bentuk<br />

Investasi sosial yang sering diartikan secara sempit sebagai “”kegiatan amal<br />

perusahaan”. Makna sesungguhnya adalah perusahaan memberi dukungan finansial<br />

dan non finansial terhadap kegiatan sosial dan lingkungan yang dilakukan oleh<br />

kelompok/organisasi lain yang pada akhirnya akan menunjang kegiatan bisnis<br />

perusahaan, karena perusahaan melalui investasi sosial akan dapat menuai citra yang<br />

positif (corporate image), seperti memberikan sumbangan pada upacara-upacara<br />

keagamaan yang dilakukan di pura di sekitar perusahaan tersebut dalam bentuk dana<br />

punia, bantuan berupa Pesawat Televisi kepada masyarakat, baju kaos, kemudian<br />

sumbangan juga disampaikan ke sekolah Menengah Atas (SMA) apabila SMA<br />

tersebut mengadakan pertandingan antar sekolah yang ada di Bangli. Jadi perusahaan<br />

ini telah peduli terhadap lingkungan masyarakatnya, walaupun pimpinan perusahaan<br />

tersebut masih merasa asing terhadap istilah CSR, namun dalam kenyataannya


semenjak perusahaan tersebut didirikan pada tahun 1996 telah peduli terhadap<br />

lingkungannya.<br />

158<br />

Disamping melaksanakan CSR keluar perusahaan, PT Bali Timur Mandiri juga<br />

melaksanakan CSR ke dalam perusahaan itu sendiri, yaitu dengan mengadakan<br />

penataan tempat kerja, sehingga karyawan lebih betah dalam melaksanakan kerja,<br />

sehingga profit yang diterima perusahaan bisa lebih banyak, disamping itu juga<br />

diperhatikan kesejahteraan karyawan dan keluarganya.<br />

Dana CSR dalam perusahaan ini terlepas dari dana promosi untuk perusahaan<br />

yang bersangkutan. Dana CSR nya diambil dari keuntungan yang diterima oleh<br />

perusahaan tersebut, sehingga besar kecilnya dana tersebut sangat tergantung dari<br />

keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan tersebut, sehingga tidak ada prosentase<br />

tertentu dalam pelaksanaan CSR tersebut, tetapi pelaksanaan CSR di PT Bali Timur<br />

Mandiri berkelanjutan sampai sekarang. (Wawancara dengan Bapak Oka Pradipta,<br />

PIC PT Bali Timur Mandiri tanggal 2 Februari 2011).<br />

Masih dalam daerah yang sama, penelitian juga dilakukan di PT Sumber Alam<br />

Semesta yang bergerak dalam produksi dan penjualan Air Minum dengan Merek<br />

Shita. Bentuk CSR yang diterapkan adalah dengan memberikan bantuan materiil ke<br />

Pura (tempat suci agama Hindu) yang berupa produk dari perusahaan, yaitu berupa<br />

air minum dalam bentuk box, disamping itu juga dalam bentuk dana (uang). Bantuan<br />

juga diberikan kepada Yayasan Guru Kula, yayasan ini memelihara anak-anak yang<br />

kurang mampu atau anak-anak yang terlantar. (Wawancara dengan Doddy Wirayoga,<br />

Konsultan PT Sumber Alam Semesta, tanggal 2 Februari 2011)


159<br />

CSR juga diberikan kepada masyarakat disekitar perusahaan, yaitu memberikan<br />

air secara cuma-cuma kepada anggota masyarakat disekitar perusahaan atau air gratis<br />

setiap hari untuk keperluan konsumsi. CSR juga rutin diberikan kepada Banjar<br />

Bebalang, Banjar Petak, dan Banjar Kubu yang ada disekitar perusahaan. Prosentase<br />

CSR yang diberikan kepada masyarakat adalah sebesar 3,5 % dari keuntungan yang<br />

diterima oleh perusahaan tersebut.(Wawancara dengan Bapak Ketut Suyasa, Kepala<br />

Produksi PT Sumber Alam Semesta tanggal 2 Februari 2011).<br />

Kalau melihat pendapat Kotler dan Lee maka PT Sumber Alam Semesta dalam<br />

pelaksanaan CSR mengambil bentuk Cause related marketing yaitu bentuk kontribusi<br />

perusahaan dengan menyisihkan beberapa persen dari pendapatan yang diperoleh<br />

perusahaan sebagai donasi bagi permasalahan sosial tertentu, untuk periode tertentu<br />

atau produk tertentu.<br />

Di samping itu bentuk CSR yang diterapkan adalah merupakan Kemitraan<br />

antara perusahaan dengan masyarakat, khususnya masyarakat lokal. Kemitraan ini<br />

diwujudkan secara umum dalam program community development untuk membantu<br />

peningkatan kesejahteraan umum masyarakat setempat dalam kurun waktu yang<br />

cukup panjang, yaitu dengan memberikan sumbangan air minum secara berkelanjutan<br />

setiap hari kepada masyarakat di lingkungan perusahaan. Melalui program ini,<br />

diharapkan masyarakat akan menerima manfaat keberadaan perusahaan yang<br />

digunakan untuk menopang kemandiriannya bahkan setelah perusahaan berhenti<br />

beroperasi.


160<br />

Di Kota Denpasar penelitian dilakukan di PT Federal Internasional Finance (PT<br />

FIF). Dari beberapa responden perusahaan yang diwawancarai, baru PT FIF Cabang<br />

Denpasar yang sudah membentuk bagian khusus di dalam manajemen perusahaannya<br />

untuk menangani masalah CSR.<br />

PT FIF Cabang Denpasar merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang<br />

pembiayaan roda dua khususnya sepeda motor Honda, pembiayaan sepeda motor<br />

bekas dan pembiayaan elektronik (spektra). Pelaksanaan CSR di PT FIF Cabang<br />

Denpasar diharapkan akan terjadi keseimbangan antara ekspektasi bisnis, ekonomi,<br />

dan sosial. Dengan pelaksanaan hal tersebut maka PT FIF akan mampu bersaing dan<br />

sustainable bisnis akan tercapai. Di PT FIF penerapan CSR sangat sistematis karena<br />

masalah CSR telah diatur oleh departemen tersendiri. PT FIF telah melaksanakan<br />

CSR sejak tahun 2005 jadi sebelum diatur dalam UU PT 40 Tahun 2007, dan yang<br />

berlaku di Indonesia pada saat itu, adalah UU No. 1 Tahun 1995<br />

Bentuk CSR yang diterapkan di PT FIF adalah Pengelolaan lingkungan kerja<br />

secara baik, termasuk di dalamnya penyediaan lingkungan yang aman dan nyaman,<br />

sistem kompensasi yang layak dan perhatian terhadap kesejahteraan karyawan dan<br />

keluarganya.<br />

Sebagai salah satu anak perusahaan Astra, FIF Cabang Denpasar sangat<br />

menyadari bahwa karyawan merupakan salah satu asset yang sangat berharga bagi<br />

perusahaan. Oleh karenanya pengeloaan SDM menjadi perhatian utama perusahaan<br />

baik dari segi Knowledge & Skill sehingga apa yang menjadi visi dan misi perusahaan<br />

dapat tercapai. Dengan terciptanya sikap saling toleransi dan menjaga kebersamaan


antar karyawan sangat diharapkan menjadi motor perusahaan dalam meraih<br />

performance maksimal untuk mendapatkan profit yang lebih tinggi.<br />

161<br />

Program yang dilakukan untuk memenuhi harapan stakeholder antara lain<br />

meningkatkan kepedulian sosial karyawan dan keluarganya dengan kegiatan donor<br />

darah, memotifasi semangat belajar anak-anak karyawan dengan bea siswa anak<br />

karyawan, berkaitan dengan keselamatan kerja karyawan meliputi pelatihan<br />

Argonomi, Safety Ridding, Safety Lifting, pelatihan pemadam kebakaran dan evakuasi<br />

keadaan darudat. Kemudian untuk meningkatkan kerohanian karyawan dan<br />

keluarganya dilakukan doa bersama ke pura dan buka puasa bersama. Dalam bidang<br />

kesehatan secara rutin dilakukan karyawan melalui olah raga, dan selalu aktif dalam<br />

POR ASTRA, peningkatan pengetahuan karyawan dilakukan dengan training dan<br />

ilearning dan kegiatan Reward dan punishment juga sebagai bagian dari peningkatan<br />

disiplin karyawan.<br />

Bentuk CSR yang lain dari PT FIF adalah Penanganan kelestarian lingkungan<br />

perusahaan sendiri, termasuk melakukan penghematan penggunaan listrik, air, kertas,<br />

dan yang lainnya, sampai penanganan limbah akibat kegiatan perusahaan, agar tidak<br />

mencemari lingkungan sekitar kantor, pabrik dan atau lahan.<br />

Penentuan supplier FIF Denpasar dilakukan melalui proses tender, dimana pada<br />

saat tender juga dilakukan review dan inspeksi langsung ke lokasi supplier, untuk<br />

memastikan apakah supplier telah menerapkan LK3 dalam proses produksinya.<br />

Dalam kaitan dengan Customer, PT FIF Cabang Denpasar selalu berusaha<br />

memberikan pelayanan terbaik, terutama pada hari pelanggan, dengan memberikan


ingkisan pada beberapa konsumen yang beruntung, dan oleh karena konsumen PT<br />

FIF adalah pengguna sepeda motor, maka kegiatan CSR diarahkan untuk<br />

memberikan penyuluhan akan pentingnya keselamatan dalam bersepeda motor<br />

dengan melakukan pembuatan SIM keliling.<br />

Terhadap masyarakat disekitar perusahaan, PT FIF Cabang Denpasar dalam<br />

upaya untuk memenuhi harapan stakeholder masyarakat sekitar perusahaan,<br />

melakukan beberapa hal antara lain:<br />

1. Donasi yang dilakukan di Ring 1 sampai dengan ring 3, yang meliputi:<br />

a. Pemberian bea siswa kepada sekolah –sekolah yang ada di sekitar perusahaan,<br />

serta sumbangan Perpustakaan binaan PT FIF.<br />

b. Support PT FIF dalam bidang kesehatan (pos yandu dan puskesmas).<br />

c. Support dalam lomba menyanyi untuk anak sekolah dasar se kota Denpasar<br />

d. Support untuk kegiatan anak-anak autis se Bali.<br />

2. Donasi dalam kegiatan Aspek Pendekatan Budaya di ring 1 sampai 2, meliputi:<br />

a. Melatih anak-anak karyawan belajar menari<br />

b. Pentas budaya karyawan FIF Dps pada perayaan HUT FIF se Bali<br />

c. Support penyelenggaraan lomba.<br />

d. Menyumbang tempat sampah kepada Kepala Taman Budaya Art Centre<br />

162<br />

Denpasar dan Kepala Pesta Kesenian Bali (PKB) dan support kaos berlogo FIF<br />

untuk pedagang di area PKB<br />

3. Income Generated Activity (IGA) di ring 1, meliputi pembinaan dan<br />

pengembangan usaha masyarakat di sekitar perusahaan yaitu dengan membantu


memberikan bantuan mesin Photo copy, dan pada saat sekarang telah mengalami<br />

163<br />

perkembangan dengan membuka out let di Jalan Setiabudi dan pada saat ini telah<br />

memiliki 4 mesin photo Copy.<br />

Bentuk CSR yang lain dari FIF adalah partisipasi terhadap lingkungan, yaitu<br />

dengan menjaga lingkungan yang bersih dan sehat, karena hal ini sudah menjadi<br />

komitmen seluruh karyawan FIF Denpasar. PT FIF secara konsisten melakukan<br />

kegiatan yang berkaitan dengan kebersihan lingkungan naik di kantor maupun di luar<br />

kantor, melalui lomba kebersihan dan kerapian di meja kerja masing-masing<br />

karyawan sampai sampai kerja bakti di sekitar lingkungan kantor, bahkan sampai<br />

tempat-tempat umum, misalnya di Pura Jagatnatha, dan Wihara Budha, sambil<br />

menyumbang tempat sampah.<br />

Kegiatan konservasi lingkungan juga aktif dilakukan mengingat PT FIF sebagai<br />

perusahaan yang bergerak dibidang pembiayaan sepeda motor, dimana sepeda motor<br />

Honda di bilang ramah lingkungan dan hemat BBM, namun disadari sehemat apapun<br />

hal tersebut tetap mencemari lingkungan hidup, oleh karena itu PT FIF Denpasar<br />

tetap melakukan penghijauan sebagai salah satu tanggung jawab terhadap lingkungan<br />

yang lestari. PT FIF berpasrtisipasi dalam konservasi Lingkungan Hidup dan<br />

Penghijauan di Pulau Serangan pada hari Lingkungan Hidup, yang juga merupakan<br />

program dari Dinas Lingkungan Hidup Kota Denpasar.<br />

PT Jabato Tour & Travel yang bergerak dalam bidang pariwisata yang khusus<br />

menangani wisatawan Jepang, Pada intinya juga menerapkan tanggung jawab sosial<br />

perusahaan. Wawancara yang dilakukan dengan Bapak Roby Napitupulu Acc


Manager & General Affair PT Jabato mengatakan bahwa PT jabato secara rutin<br />

memberikan sumbangan kepada Banjar yang ada di lingkungan kantor PT Jabato,<br />

baik dalam hubungannya dengan upacara keagamaan, atau kegiatan yang dilakukan<br />

oleh para pemuda dalam upaya untuk meningkatkan kreatifitas pemudanya, misalnya<br />

kegiatan oleah raga, atau dalam rangka ulang tahun sekehe teruna teruni. Jadi<br />

bentuknya berupa Investasi sosial yang sering diartikan secara sempit sebagai<br />

”kegiatan amal perusahaan”. Makna sesungguhnya adalah perusahaan memberi<br />

dukungan finansial dan non finansial terhadap kegiatan sosial dan lingkungan yang<br />

dilakukan oleh kelompok/organisasi lain yang pada akhirnya akan menunjang<br />

kegiatan bisnis perusahaan, karena perusahaan melalui investasi sosial akan dapat<br />

menuai citra yang positif (corporate image)<br />

164<br />

Di samping itu PT Jabato juga menerapkan bentuk CSR yang lain, yaitu berupa<br />

Pengelolaan lingkungan kerja secara baik, termasuk di dalamnya penyediaan<br />

lingkungan yang aman dan nyaman, misalnya dengan pemasangan AC disetiap<br />

ruangan, sehingga karyawan merasa nyaman dalam melaksanakan tugasnya sehari<br />

hari. Disamping itu juga menerapkan sistem kompensasi yang layak dan perhatian<br />

terhadap kesejahteraan karyawan dan keluarganya.<br />

Di Kabupaten Badung penelitian dilakukan di PT Asuna Bali yang beralamat di<br />

Jalan BY Pas I. Gusti Ngurah Rai Nusa Dua. Perusahaan ini bergerak dalam bidang<br />

property yang merupakan perusahaan Penanaman Modal Asing yang berbentuk<br />

Perseroan Terbatas,. Perusahaan ini dimotori oleh warga negara Jepang yang bernama


Norihiro Hayakawa sebagai Presiden Direktur, dan I Wayan Rajendra sebagai<br />

Direktur.<br />

165<br />

Perusahaan ini berdiri pada tahun 2004 dan mulai melaksanakan CSR sejak<br />

tahun 2005, sebelum berlakunya UU No. 40 Tahun 2007. PT Asuna Bali secara rutin<br />

memberikan bantuan langsung kepada Yayasan Darus yang beralamat di daerah Nusa<br />

Dua, kemudian bantuan juga diberikan kepada Panti Asuhan Harapan Anak (Hope<br />

Children Home), kemudian juga memberikan bantuan kepada Panti Asuhan Darma<br />

Jati, berupa makanan, pakaian, gula, beras. Kemudian dana CSR juga diberikan<br />

kepada Panti Asuhan Tat Twam Asi.<br />

Bantuan ini secara rutin diberikan setiap 3 bulan sekali, bahkan Presdir<br />

mempunyai rencana untuk memberikan dana CSR nya kepada panti asuhan tersebut<br />

setiap bulan tergantung pada keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan tersebut.<br />

Presdir dari PT Asuna sangat tertarik terhadap CSR tersebut karena dalam usahanya<br />

tersebut sangat berkaitan sekali dengan alam lingkungan dan masyarakat disekitar<br />

perusahaan tersebut, yaitu dalam pembangunan property. Di samping itu PT Asuna<br />

marketnya lebih banyak berorientasi kepada orang asing, sehingga penerapan CSR<br />

sangat dirasakan sekali manfaatnya terhadap keberlangsungan perusahaan, baik<br />

terhadap masyarakat lokal maupun masyarakat mancanegara.<br />

Orang asing akan tertarik apabila perusahaan yang bersangkutan melaksanakan<br />

CSR, karena hal tersebut dikatakan sebagai daya tarik baik untuk mendapatkan<br />

tambahan modal ataupun pemasaran produk PT Asuna Bali tersebut. Oleh karena itu<br />

PT Asuna sangat konsen dalam memberikan dana CSR kepada masyarakat. Jadi


entuk CSR yang diterapkan disini lebih mengarah kepada tindakan amal perusahaan<br />

terhadap lingkungan. (Wawancara dengan Norihiro Hayakawa Presdir PT Asuna Bali<br />

tanggal 22 Februari 2011).<br />

166<br />

Bentuk CSR yang lain adalah berupa sumbangan dana kepada klub sepakbola<br />

yang ada di daerah sekitar perusahaan, kemudian juga sumbangan kepada masyarakat<br />

sekitar perusahaan, yaitu masyarakat di Mumbul, Nusa Dua. Sumbangan rutin setiap<br />

tahun dapat berupa sumbangan kepada pemuda dalam menyambut perayaan Hari<br />

Raya Nyepi yaitu sumbangan untuk membuat Ogoh- ogoh. Jadi kalau memakai<br />

pendapat dari Kotler dan Lee sebenarnya PT Asuna telah melaksanakan Corporate<br />

philantrophy yaitu inisiatif dari perusahaan dengan memberikan kontribusi langsung<br />

kepada suatu aktivitas amal, baik dalam bentuk donasi ataupun sumbangan tunai.<br />

Menurut Direktur PT Asuna menyatakan merasakan manfaat dari pemberian<br />

dana tersebut kepada masyarakat, salah satu manfaat yang dirasakan adalah dukungan<br />

masyarakat akan keberlangsungan perusahaan tersebut sangat besar, sehingga<br />

perusahaan merasa nyaman dalam melaksanakan aktifitasnya setiap hari.<br />

Di samping itu kedalam perusahaan khususnya terhadap karyawan, PT Asuna<br />

Bali melaksanakan CSR intern berupa penataan lingkungan kerja, sehingga para<br />

karyawan merasa nyaman dalam melaksanakan tugas sehari hari, melakukan<br />

penghematan listrik, misalnya pemakaian AC dalam waktu tertentu, penghematan<br />

penggunaan kertas, serta peningkatan servis terhadap karyawan untuk waktu-waktu<br />

tertentu, misalnya melakukan persembahyang bersama ke pura yang ada di Bali<br />

terutama yang beragama Hindu, pemberian bonus pada waktu ulang tahun sebanyak


Rp.500.000 kepada setiap orang pegawai, perayaan Natal dan Tahun Baru.<br />

(Wawancara dengan Bapak I Wayan Rajendra, tanggal 22 Februari 2011)<br />

167<br />

Di Kabupaten Badung penelitian juga dilakukan di PT 18 Jaya yang beralamat<br />

di Jalan Sun Set Road No. 18 Kuta Badung. Perseroan Terbatas ini didirikan pada<br />

tahun 2003 dan bergerak dalam bidang Property, khususnya dalam penjualan Vila<br />

dan juga perumahan. Wawancara yang dilakukan dengan Manajer PT 18 Jaya pada<br />

tanggal 25 Februari 2011 pada intinya Direktur PT 18 Jaya belum begitu akrab<br />

dengan istilah CSR, tetapi di sisi lain PT ini sudah secara rutin melaksanakan<br />

tanggung jawab sosial perusahaannya kepada masyarakat sekitar perusahaan, ataupun<br />

masyarakat disekitar proyek yang sedang dibangun. CSR yang diberikan kepada<br />

masyarakat dapat berupa uang atau dana, atau dapat juga beruapa barang-barang yang<br />

sangat dibutuhkan oleh warga masyarakat, misalnya sumbangan seperangkat<br />

computer kepada sekolah yang ada di sekitar proyek perusahaan. Dana CSR juga<br />

dalam bentuk yang lain yaitu memberikan sumbangan kepada pura(tempat suci)<br />

dalam bentuk dana punia yang dilakukan secara rutin, baik terhadap pura yang ada di<br />

sekitar perusahaan, maupun pura yang ada di kabupaten yang lain, misalnya di Pura<br />

Batur Sari yang ada di Kabupaten Tabanan.<br />

Di samping sumbangan diberikan ke pura-pura yang berupa dana punia yang<br />

berhubungan dengan Ketuhanan, dana CSR juga disalurkan untuk kepentingan<br />

kemanusiaan, misalnya memberikan sumbangan kepada panti asuhan yang ada di<br />

Denpasar atau di Kabupaten Badung, kemudian memberikan sumbangan hari raya<br />

kepada masyarakat sekitar, dan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat disekitar


perusahaan, maka PT 18 Jaya mengajak anggota masyarakat untuk ikut berpartisipasi<br />

dalam pemasaran Vila atau perumahan yang menjadi proyek perusahaan, apabila ada<br />

anggota masyarakat yang mampu untuk menjual Vila atau rumah yang dibikin oleh<br />

PT 18 Jaya maka diberikan prosentase dari penjualan vila tersebut, dan hal ini<br />

dilakukan secara berkelanjutan dimana PT 18 Jaya membangun Vila atau perumahan.<br />

Kemudian dalam merekrut karyawan PT 18 Jaya berusaha untuk mengangkat warga<br />

dari sekitar proyek yang sedang ditangani, misalnya sebagai Satuan Pengaman<br />

(Satpam) Vila atau perumahan yang dikembangkan.<br />

168<br />

Dalam hubungan dengan lingkungan PT 18 Jaya melakukan penataan<br />

lingkungan di sekitar Vila atau perumahan, kemudian membantu masyarakat apabila<br />

ada bencana baik yang ada di Bali atau di luar Bali, misalnya memberikan bantuan<br />

terhadap korban Gunung Merapi, dan untuk menjaga keamanan khususnya di<br />

pedesaan, PT 18 Jaya memberikan bantuan sebuah Mobil Kijang kepada Desa<br />

Pakraman Pecatu Ungasan untuk menjaga keamanan desa (jaga baya). (Wawancara<br />

dengan A.A Ketut Trisna Guna, Manager PT 18 Jaya, tanggal 28 Februari 2011).<br />

PT 18 Jaya memisahkan antara dana promosi dengan dana CSR, dan tidak ada<br />

standar tertentu untuk memberikan dana CSR kepada masyarakat, sangat tergantung<br />

terhadap keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan, tetapi penyaluran dana CSR<br />

tersebut dilakukan secara berkelanjutan. Hal ini disebabkan Presdir PT 18 Jaya sangat<br />

memegang konsep Tri Hita Karana dalam kehidupan baik di perusahaan maupun<br />

dalam kehidupan pribadinya, dimana hubungan manusia dengan Tuhan, dengan<br />

manusia dan dengan lingkungan harus dilakukan secara seimbang, sehingga dalam


memberikan dana CSR kepada masyarakat selalu diperhatikan keseimbangan<br />

hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama manusia, dan<br />

hubungan manusia dengan alam lingkungan, sehingga terjadi keseimbangan<br />

kehidupan, apabila telah tercapai keseimbangan tersebut, maka keberlangsungan<br />

kehidupan perusahaan bias dicapai. (Wawancara dengan A.A Ketut Trisna Guna,<br />

Manager PT 18 Jaya, tanggal 28 Februari 2011).<br />

169<br />

Di samping memberikan dana CSR ke masyarakat (CSR extern) PT 18 Jaya<br />

juga melakukan CSR intern, yang hampir sama dengan dengan perusahaan yang ada<br />

di kabupaten yang lain sebagaimana telah diuraikan dalam penjelasan sebelumnya,<br />

misalnya melakukan penataan terhadap penggunaan listrik, yang sebelumnya listrik<br />

menyala 24 jam di kantor, sekarang dikurangi tergantung pada keperluan dari<br />

perusahaan.<br />

Di Daerah Gianyar penelitian di lakukan di PT BPR Suadana yang beralamat<br />

di Desa Pakraman Celuk Sukawati Gianyar. PT BPR Suadana didirikan pada tahun<br />

1996, tepatnya pada tanggal 10 Juni 1996. Pada intinya Direktur Utama (Dirut) PT<br />

BPR Suadana masih asing terhadap istilah tanggung jawab sosial perusahaan yang<br />

diatur dalam UU PT No. 40 Tahun 2007. Setelah diberikan penjelasan lebih lanjut<br />

tentang keberadaan UU No. 40 Tahun 2007 serta pemahaman tentang CSR, ternyata<br />

PT BPR Suadana sudah sejak dari pendiriannya melaksanakan CSR kepada<br />

masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari pola hidup dan pola pikir dari masyarakat adat<br />

yang ada di Bali.


170<br />

Menurut Dirut PT BPR Suadana menyatakan alau sampai menolak untuk<br />

memberikan sumbangan kepada anggota masyarakat, apabila ada anggota masyarakat<br />

yang datang ke kantor untuk meminta sumbangan baik untuk kepentingan agama<br />

(berupa dana punia) atau untuk kepentingan kemanusiaan, misalnya sumbangan<br />

untuk pelaksanaan lomba, yang diselenggarakan secara rutin setiap tahun oleh<br />

pemuda Banjar Abasan Singapadu Gianyar. Sumbangan yang lain diberikan untuk<br />

keperluan pelaksanaan Kejuaraan Volly “Merpati Cup” yang diselenggarakan oleh<br />

Pemuda di Desa Singapadu.<br />

Dana CSR yang bersifat tetap dilakukan oleh PT Bank Suadana adalah<br />

memberikan bantuan dana pendidikan 5% dari keuntungan perusahaan kepada anak-<br />

anak karyawan PT BPR Suadana, hal ini dilakukan untuk menggali potensi yang<br />

dimiliki oleh anak anak karyawan, sehingga anak-anak bisa berlomba untuk<br />

mendapatkan dana tersebut.<br />

PT BPR Suadana tidak memiliki bagian khusus yang menangani tentang CSR,<br />

walaupun demikian jauh sebelum berlakunya UU No. 40 Tahun 2007 PT BPR<br />

Suadana sudah peduli terhadap masyarakat dan lingkungan, yang dikenal pada saat<br />

sekarang dengan sebutan CSR. Dana CSR di PT BPR Suadana tidak terpisah dengan<br />

dana promosi, jadi dilaksanakan secara bersama-sama tanpa melihat situasi<br />

perusahaan, sepanjang perusahaan masih bisa eksis, maka sumbangan tetap<br />

dilaksanakan, hal ini menandakan kesadaran hukum PT BPR Suadana cukup tinggi<br />

kepeduliannya terhadap masyarakat dan lingkungan.<br />

Dari penelitian yang telah dilakukan tersebut diketahui bahwa perusahaan


dalam melaksanakan usahanya tidak hanya berorientasi kepada keuntungan semata-<br />

mata, tetapi juga peduli terhadap masyarakat , dan alam lingkungan yang ada<br />

disekitar perusahaan, sehingga pendapat Milton Friedmen yang menyatakan bahwa<br />

tujuan utama perusahaan adalah semata-mata mencari keuntungan (profit) bukan<br />

merupakan budaya masyarakat Bali, dan semua responden dalam melaksanakan CSR<br />

tersebut sesuai dengan teori yang diajukan oleh John Elkington pada tahun 1997 teori<br />

triple bottom line dalam istilah economic prosperity, environmental quality dan social<br />

justice. Elkington memberi pandangan bahwa jika sebuah perusahaan ingin<br />

mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka perusahaan tersebut harus<br />

memperhatikan “3P”. Selain mengejar keuntungan (profit), perusahaan juga harus<br />

memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan<br />

turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet). 130<br />

171<br />

Perusahaan dalam kegiatan usahanya dengan mengharmonisasikan aspek<br />

ekonomi, lingkungan dan masyarakat akan meningkatkan nilai dari perusahaan itu<br />

sendiri. Dalam teori ini dapat dijabarkan tiga unsur yang ada didalamnya yaitu:<br />

1. Profit (Keuntungan)<br />

Profit merupakan unsur terpenting dan menjadi fokus utama dari setiap<br />

kegiatan usaha. Tak heran bila fokus utama dari seluruh kegiatan dalam perusahaan<br />

adalah mengejar keuntungan atau meningkatkan harga saham setinggi-tingginya baik<br />

secara langsung ataupun tidak langsung. Inilah bentuk tanggung jawab ekonomi yang<br />

paling utama terhadap pemegang saham.<br />

130 Gunawan Widjaya dan Yeremia Ardi Pratama,Op. Cit. hal. 33.


172<br />

Profit sendiri pada hakikatnya merupakan tambahan pendapatan yang dapat<br />

digunakan untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan. Sedangkan aktivitas<br />

yang dapat ditempuh untuk mendongkrak profit antara lain dengan meningkatkan<br />

produktivitas dan melakukan efesiensi biaya, sehingga perusahaan mempunyai<br />

keunggulan yang kompetitif yang dapat memberikan nilai tambah semaksimal<br />

mungkin.<br />

2. People (Masyarakat)<br />

Menyadari bahwa masyarakat sekitar perusahaan merupakan salah satu<br />

stakeholder penting perusahaan, karena dukungan masyarakat sekitar sangat<br />

diperlukan bagi keberadaan, kelangsungan hidup, dan perkembangan perusahaan,<br />

maka sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan masyarakat lingkungan,<br />

perusahaan perlu berkomitmen untuk berupaya memberikan manfaat sebesar-<br />

besarnya kepada masyarakat. Selain itu juga perlu disadari bahwa operasi perusahaan<br />

berpotensi memberikan dampak kepada masyarakat sekitar, karenanya pula<br />

perusahaan perlu untuk melakukan berbagai kegiatan yang menyentuh kebutuhan<br />

masyarakat.<br />

Memang tak bisa dipungkiri adanya anggapan bahwa tanggung jawab sosial<br />

bukanlah aktivitas utama pelaku bisnis. Fokus utama bisnis adalah mendongkrak<br />

laba. Namun diyakini, penganut aliran pemikiran ini kian sedikit karena tidak masuk<br />

akal dan tidak sesuai kenyataan. Dampak yang diakibatkan bisnis kepada masyarakat,


juga perlu diantisipasi dan diperhitungkan. 131<br />

173<br />

Pemikiran yang hanya memfokuskan perusahaan pada peningkatan laba untuk<br />

masa sekarang tidak relevan lagi, karena kondisi keuangan saja tidak cukup<br />

menjamin nilai perusahaan tumbuh secara keberlanjutan (sustainable). Keberlanjutan<br />

perusahaan hanya akan terjamin apabila perusahaan memperhatikan dimensi terkait<br />

lainnya termasuk dimensi sosial.<br />

Menghadapi tren tersebut, saatnya perusahaan melihat serius pengaruh dimensi<br />

sosial, dari setiap aktivitas bisnisnya, karena aspek tersebut bukanlah suatu pilihan<br />

yang terpisah, melainkan berjalan beriringan untuk meningkatkan keberlanjutan<br />

operasi perusahaan.<br />

3. Planet (Lingkungan)<br />

Unsur ketiga yang perlu diperhatikan juga adalah planet atau lingkungan. Jika<br />

perusahaan ingin eksis dan akseptabel maka harus disertakan pula tanggung jawab<br />

kepada lingkungan. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 32 Tahun 2009<br />

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lingkungan hidup adalah<br />

kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk<br />

manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan<br />

perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Hubungan<br />

manusia dengan lingkungan adalah hubungan sebab akibat, dimana jika manusia<br />

merawat lingkungan maka lingkungan pun akan memberikan manfaat kepada<br />

manusia.<br />

131 Gunawan Widjaya dan Yeremia Ardi Pratama,Op. Cit., hal. 34.


174<br />

Berpijak dari teori Triple Bottom Line (3BL) yang kemudian oleh John<br />

Elkington diumpamakan menjadi triple P (3P) yakni profit, people dan planet. Ketiga<br />

komponen itu saling terkait satu sama lainnya. Apabila salah satu komponen<br />

ditinggalkan, maka akan menimbulkan berbagai dampak sosial, ekonomi dan<br />

lingkungan. Oleh karena itu, setiap perusahaan harus mengubah paradigmanya<br />

menjadi corporate image. Sehingga akan berdampak pada jaminan kelangsungan dan<br />

keberlanjutan aktivitas usaha suatu perusahaan.<br />

Teori Triple Bottom Line (3BL) yang dipopulerkan dengan istilah 3 P,<br />

nampaknya sangat relevan sekali apabila dikaitkan dengan konsep Tri Hita Karana<br />

yang terdapat di Bali, khususnya P yang kedua yaitu people (masyarakat) berkaitan<br />

erat dengan unsur pawongan dalam Tri Hita Karana, dan P yang ketiga adalah planet<br />

(lingkungan) sangat berkaitan erat dengan unsur Palemahan.<br />

Dari hasil Penelitian yang dilakukan ternyata pengembangan CSR yang<br />

dilakukan oleh perusahaan yang ada di Bali semua mengkaitkan dengan konsep Tri<br />

Hita Karana tersebut. Bentuk CSR yang dilakukan oleh perusahaan di Bali pada<br />

umumnya dilakukan secara langsung oleh perusahaan yang bersangkutan, kemudian<br />

dalam melaksanakan CSR tersebut dibagi menjadi tiga bagian, yaitu untuk unsur<br />

Parahyangan dilakukan dengan melakukan dana punia ke pura pura (persembahan<br />

berupa uang ke tempat suci umat Hindu), kemudian unsur Pawongan dilaksanakan<br />

dengan memberikan bantuan atau berupa sumbangan ke masyarakat, baik untuk<br />

kepentingan kelembagaan, maupun untuk kegiatan yang bersifat sosial, dan unsur<br />

Palemahan dilakukan dengan melakukan penanaman pohon atau penataan lingkungan


yang ada di sekitar perusahaan tersebut.<br />

175<br />

Konsep CSR yang pada awalnya muncul di negara barat pada intinya hanya<br />

menekankan pada dua hal pokok, yaitu peduli terhadap masyarakat sekitar dan<br />

terhadap lingkungan. Penelitian yang dilakukan di Bali menunjukkan adanya<br />

perbedaan implementasi CSR, dimana perusahaan dalam melaksanakan CSR bukan<br />

hanya berorientasi pada masyarakat dan lingkungan (People dan Planet ) tetapi ada<br />

satu hal yang tidak ditekankan di negara barat adalah masalah ketuhanan, yang kalau<br />

di Bali mendapat perhatian yang paling utama. Kalau mengkaji kepada Pasal 74 ayat<br />

(1) UU PT, CSR yang diikuti berorientasi pada konsep CSR yang terdapat di negara<br />

barat. Sedangkan disisi lain konsep kehidupan yang ada di Bali mengarah kepada tiga<br />

hal, yaitu ketuhanan, manusia dan lingkungan. Oleh karena itu perlu dipikirkan untuk<br />

masa yang akan datang bagaimana konsep ketuhanan yang ada di Bali bisa masuk<br />

dalam salah satu unsur dari CSR yang berlaku di Indonesia, sehingga dalam<br />

pelaksanaan CSR tersebut sangat harmonis dengan konsep Tri Hita Karana yang ada<br />

di Bali.<br />

Disinilah pentingnya peran hukum sebagai mekanisme integrasi, seperti yang<br />

diajukan oleh Talcot Parson. Indonesia yang dikenal sebagai Negara religius di dunia,<br />

hendaknya mempunyai satu konsep tersendiri yaitu konsep CSR Indonesia, dengan<br />

memasukkan unsur agama ke dalam konsep CSR, sehingga dalam memberlakukan<br />

UU PT tersebut sesuai dengan pola pikir masyarakat Indonesia dan masyarakat adat<br />

Bali pada khususnya. Sarana untuk mengintegrasikan kepentingan tersebut adalah<br />

hukum.


176<br />

Parson menempatkan hukum sebagai salah satu sub sistem dalam sistem sosial<br />

yang lebih besar. Disamping hukum terdapat sub-sistem yang lain yang mempunyai<br />

logika dan fungsi yang berbeda-beda. Sub-sistem yang dimaksud adalah budaya,<br />

politik, dan ekonomi.<br />

Budaya berkaitan dengan nilai-nilai yang dianggap luhur dan mulia, dan oleh<br />

karena itu mesti dipertahankan. Hukum menunjuk pada aturan-aturan sebagai aturan<br />

main bersama (rule of the game) dan fungsi utama sub system ini adalah<br />

mengkordinir dan mengontrol segala penyimpangan agar sesuai dengan aturan main.<br />

Politik bersangkut paut dengan kekuasaan dan kewenangan. Sedangkan ekonomi<br />

menunjuk pada sumber daya materiil yang dibutuhkan menopang hidup sistem.<br />

Posisi hukum begitu sentral disini. Hukum harus mampu menjinakkan susb-sub<br />

sistem yang lain agar bisa berjalan sinergis tanpa saling berbenturan. Setiap sub<br />

sistem mempunyai logika, mekanisme dan tujuan yang berbeda. Disatu sisi sub<br />

sistem budaya cendrung konservatif serta mempertahankan pola-pola ideal yang<br />

terdapat di masyarakat. Masyarakat terkadang kurang memahami makna dari<br />

penerapan CSR, dan sering menimbulkan benturan dalam masyarakat. Contoh<br />

masyarakat minta sumbangan yang cukup besar kepada perusahaan dengan suatu<br />

anggapan bahwa itu hak dari masyarakat untuk mendapat sumbangan itu, dan<br />

perusahaan wajib untuk membayarnya.<br />

Pada sisi lain, sub sistem ekonomi sangat dinamis dan cenderung melahirkan<br />

terobosan-terobosan baru yang bisa saja “asing” dan “liar” dari ukuran pola-pola ideal<br />

budaya. Dari sisi ekonomi tujuan perusahaan yang utama adalah mencari keuntungan


yang sebesar-besarnya dengan pengeluaran yang sekecil-kecilnya, dan hal itu<br />

merupakan prinsip yang bersifat universal di dunia. Tetapi dalam hubungan<br />

masyarakat adat di Bali prinsip tersebut tidak berlaku secara utuh demikian juga<br />

perkembangan pola pikir yang terjadi pada saat sekarang sudah menggeser pemikiran<br />

tersebut dengan lahirnya konsep CSR ini. Perusahaan mau memperhatikan<br />

masyarakat, lingkungan sekitar perusahaan untuk ikut memberikan kontribusi dari<br />

keuntungan yang diperoleh perusahaan.<br />

177<br />

Sedangkan sub sistem politik senantiasa mencari berbagai cara untuk mencapai<br />

tujuan yang boleh jadi cara-cara yang dipakai tidak sesuai dengan pola budaya dan<br />

realitas sumberdaya materiil itu.<br />

Keadaan yang rentan benturan tersebut harus ditangani oleh hukum lewat<br />

fungsi pengintegrasiannya agar setiap sub sistem berjalan serasi dan sinergis demi<br />

lestarinya sistem. Perusahaan mau peduli terhadap masyarakat sekitar perusahaan<br />

tersebut, kemudian masyarakat ikut menjaga keberlangsungan perusahaan tersebut,<br />

sehingga terjadi adanya keharmonisan antara perusahaan dengan masyarakat. Oleh<br />

karena itu Parsons menempatkan hukum sebagai unsur utama integrasi sistem.<br />

Hidup matinya sebuah masyarakat ditentukan oleh berfungsi tidaknya tiap sub-<br />

sistem sesuai tugas masing-masing. Untuk menjamin itu, hukumlah yang ditugaskan<br />

menata keserasian dan gerak sinergis dari tiga susb-sistem yang lain itu.


5.1 Simpulan.<br />

BAB V<br />

PENUTUP<br />

178<br />

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan dalam bab-bab sebelumnya, maka<br />

dapat diajukan simpulan sebagai berikut:<br />

1. Model atau pola CSR yang diterapkan oleh perusahaan-perusahaan yang ada di<br />

Bali pada umumnya adalah CSR dilaksanakan secara langsung oleh perusahaan.<br />

Perusahaan melaksanakan program CSR secara langsung dengan<br />

menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan sumbangan ke<br />

masyarakat tanpa perantara dengan tetap berorientasi pada tiga hal yaitu<br />

parahyangan, pawongan dan palemahan.<br />

2. Bentuk CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan yang berbentuk PT yang ada di<br />

Bali adalah sebagai berikut:<br />

a. Pengelolaan lingkungan kerja secara baik, termasuk di dalamnya penyediaan<br />

lingkungan yang aman dan nyaman(unsur palemahan), sistem kompensasi yang<br />

layak dan perhatian terhadap kesejahteraan karyawan dan keluarganya (unsur<br />

pawongan)<br />

b. Kemitraan antara perusahaan dengan masyarakat, khususnya masyarakat lokal.<br />

Kemitraan ini diwujudkan secara umum dalam program community


179<br />

development untuk membantu peningkatan kesejahteraan umum masyarakat<br />

setempat dalam kurun waktu yang cukup panjang dan hal ini merpakan<br />

realisasi dari unsur pawongan.<br />

c. Penanganan kelestarian lingkungan perusahaan sendiri, termasuk melakukan<br />

penghematan penggunaan listrik, air, kertas, dan yang lainnya, sampai<br />

penanganan limbah akibat kegiatan perusahaan, agar tidak mencemari<br />

lingkungan sekitar kantor, pabrik dan atau lahan (unsur palemahan)<br />

d. Investasi sosial yang sering diartikan secara sempit sebagai ” kegiatan amal<br />

5.2 Saran.<br />

perusahaan” yang pada dasarnya diarahkan pada tiga hal, yaitu dana punia ke<br />

parahyangan, amal sesama manusia (masyarakat) dan pada lingkungan alam<br />

(unsure palemahan). Makna sesungguhnya adalah perusahaan memberi<br />

dukungan finansial dan non finansial terhadap kegiatan sosial dan lingkungan<br />

yang dilakukan oleh kelompok/organisasi lain yang pada akhirnya akan<br />

menunjang kegiatan bisnis perusahaan, karena perusahaan melalui investasi<br />

sosial akan dapat menuai citra yang positif (corporate image).<br />

1. Perlu diadakan sosialisasi lebih intensif tentang berlakunya UU No. 40 Tahun<br />

2007 khususnya tentang pemahaman CSR, karena masih banyak para<br />

pengusaha yang belum mengetahui tentang tanggung jawab sosial perseroan,<br />

tetapi mereka sudah melaksanakan prinsip CSR yang sesuai dengan pola<br />

hidup masyrakat adat di Bali.


180<br />

2. Untuk lebih mengefektifkan berlakunya UU PT khususnya ketentuan tentang<br />

CSR, Pemerintah agar segera menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang<br />

tanggung jawab sosial perseroan (CSR) agar setiap dan semua pengusaha<br />

mempunyai kepastian hukum di dalam melaksanakan hak dan kewajibannya<br />

secara seimbang dan harmonis berdasarkan konsep ”Tri Hita Karana” untuk<br />

menciptakan iklim bisnis yang sehat.<br />

3. Disarankan kepada para pengusaha untuk membentuk departemen khusus<br />

tersendiri yang bertugas menjalankan CSR sehingga upaya ini dapat<br />

dilakukan dengan fokus dan terarah dan bantuan yang diberikan tersebut<br />

benar-benar bermanfaat bagi masyarakat disekitar perusahaan.


I. Buku<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Abdulkadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti,<br />

Bandung.<br />

Abdul Rasyid Saliman, et al., 2005, Hukum Bisnis untuk Perusahaan: Teori dan<br />

Contoh Kasus, Jakarta, Penerbit Kencana.<br />

181<br />

Adi Sulistiyono, 2008, Negara Hukum: Kekuasaan, Konsep, Dan Paradigma Moral,<br />

Penerbit Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) dan UPT Penerbitan dan<br />

Percetakan UNS (UNS Press), Surakarta.<br />

Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Penerbit<br />

PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.<br />

Amin Widjaja Tunggal, 2008, Corporate Social Responsibility (CSR), Jakarta, Penerbit<br />

Harvarindo.<br />

Bachsan Mustafa, 1990, Pokok-Pokok Hukum Adiministrasi Negara, Penerbit Citra<br />

Aditya Bakti, Bandung.<br />

Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung, Penerbit<br />

Mandar Maju.<br />

Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y.Hage, 2010, Teori Hukum, Strategi<br />

Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publising, Yogyakarta<br />

Burhan Asshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta.<br />

Bryan A Garner, 1999, Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, West Publicing<br />

C.O,<br />

Chidir Ali,1997, Hukum Adat Bali dan Lombok dalam Yurisprudensi Indonesia,<br />

Jakarta : Pradnya Paramita.<br />

Cornelius Simanjutak dan Natalie Mulia, 2009, Organ Perseroan Terbatas, Jakarta, Penerbit<br />

Sinar Grafika.


Darji Darmodiharjo, Sidarta, 2002, Pokok-Pokok Fiksafat Hukum, Apa dan<br />

Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.<br />

Djojodirdjo, Moegni, 1982, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta, Penerbit Pradnya<br />

Paramita.<br />

Dwi Kartini, 2008, Corporate Social Responsibility: Transformasi Konsep Sustainability<br />

Management dan Implementasi di Indonesia, Malang: In-Tans Publishing.<br />

Emrizon, Joni, 2007, Prinsip-prinsip Good Corporate Governnance, Yogyakarta,<br />

Genta Press<br />

Friedman, Lawrence.M, 1969, The Legal System: A Social Science Perspective, New York,<br />

Russel Sage Foundation<br />

Geoffrey Sawer, 1980, Law In Society, Butterworth & Co (Publishers) Ltd<br />

Gunawan Widjaja, 2008, Resiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT,<br />

Penerbit Forum Sahabat<br />

Habib Adjie, 2008, Status Badan Hukum, Prinsip-Prinsip dan Tanggung Jawab<br />

Sosial Perseroan Terbatas, Bandung, Penerbit Mandar Maju.<br />

Hamud M. Balfas, 2006, Hukum Pasar Modal Indonesia, Jakarta, Penerbit PT<br />

Tatanusa.<br />

Hari Chand, 1994, Modern Jurisprudence, Kuala Lumpur, Percetakan Turbo<br />

Hendra Setiawan Boen,2008, Bianglala Business Judment Rule, Jakarta, Tatanusa.<br />

Hendrik Budi Untung, 2008, Corporate Sosial Responsibility, Penerbit Sinar Grafika,<br />

Jakarta.<br />

Hilman Hadikusuma. H, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu<br />

Hukum, Mandar Maju, Bandung.<br />

Isa Wahyudi, Busyra Azheri, 2008, Corporate Social Responsibility, Penerbit Im<br />

Trans Publishing.<br />

Ismail Solihin, 2008, Corporate Social Responsibility From Gharity to<br />

Sustainability, Bandung, Salemba Empat.<br />

182


Janus Sidabalok, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen, Citra Aditya Bakti,<br />

Bandung.<br />

Johannes Ibrahim, 2006, Hukum Organisasi Perusahaan Pola Kemitraan dan Badan<br />

Hukum, Penerbit Refika Adi Tama, Bandung.<br />

Johannes Ibrahim, Lindawati Sewu, 2007, Hukum Bisnis Dalam Perspektif Manusia<br />

Modern, Bandung, Penerbit Refika Adi Tama.<br />

Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah; Pasang Surut Hubungan antara DPRD<br />

dan Kepala Daerah, Bandung, Alumni.<br />

Kaler, I. Gusti Ketut, 1994, Butir-Butir Tercecer Tentang Adat Bali, Denpasar,<br />

Penerbit Kayu Mas Agung.<br />

Khairandy, Ridwan& Malik Camelia, 2007, Good Corporate Governance,<br />

Yogyakarta, Penerbit Total Media.<br />

Koentjaraningrat, 1987, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta, Penerbit<br />

PT Gramedia<br />

Mas Soebagio dan Slamet Supriatna, 1992, Dasar-Dasar Filsafat, Suatu Pengantar<br />

ke Filsafat Hukum, Akademika Presindo, Jakarta.<br />

Mardjono Reksodiputro, 2005, Sektor Bisnis (Corporate) Sebagai Subyek Hukum<br />

Dalam Kaitan Dengan HAM, Penerbit Refika Aditama.<br />

Mirsha, I Gusti Ngurah, 1994,Wrhaspati Tatwa, Penerbit Upada Sastra.<br />

Mukti Fajar ND, Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan<br />

Emperis, Yogyakarta, Penerbit Pustaka Belajar.<br />

Mulya Amri dan Wicaksono Sarosa, 2008, CSR untuk Penguatan Kohesi<br />

Sosial,Jakarta, Indonesia Business Links<br />

Munir Fuady, 2005, Perbandingan Hukum Perdata, Penerbit PT Citra Aditya Bakti.<br />

Otje Salman, 2008, Teori Hukum, Penerbit Reflika Aditama<br />

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta, Penerbit Kencana.<br />

183


Peter Van Den Bossche, 2008, The Law And Policy of the Word Trade Organization,<br />

Cambridge University Press<br />

Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, PT Bina<br />

Ikmu , Surabaya.<br />

Purwita, Ida Bagus Putu, 1995, Butir-Butir Mutiara Pembinaan Desa Adat Di Bali,<br />

Denpasar, MPLA Dati I Bali<br />

Raka, I Gusti Putu, cs, 1992, Desa Adat dan Pelestarian Lingkungan Hidup,<br />

Denpasar MPLA Dati I Bali<br />

Saidi, Zaim, 2002, Sumbangan Sosial Perusahaan, Jakarta, Penerbit Piramida.<br />

Salam, Baharuddin, 1997, Etika Moral, Asas Moral Dalam Kehidupan Sosial<br />

Manusia, Jakarta, Renika Cipta<br />

Sentosa, Mas Achmad, 2001, Good Governance & Hukum Lingkungan, Jakarta,:<br />

ICEL.<br />

Setiono, 2001, Pemahaman Terhadap Metode Penelitian Hukum, Penerbit Mandar<br />

Maju<br />

Siahaan,N.H.T, 2009, Hukum Lingkungan, Jakarta, Penerbit Pancuran Alam.<br />

Suhandari M. Putri, 2007, Schema CSR, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika.<br />

Suharto, Edi, 2007, Pekerjaan Sosial Di Dunia Industri Memperkuat Tanggungjawab Sosial<br />

Perusahaan/Corporate Sosial Responsibility), Bandung, Penerbit Reflika Aditama.<br />

184<br />

Suharna, Nana, 2006, Gagasan dan Aksi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam<br />

Masyarakat:Studi Kasus Empat Perusahaan, Jakarta, Penerbit YAPPIKA,<br />

IDSS<br />

Susanto. AB, 2009, Reputation-Driven Corporate Social Responsibility, Pendekatan Strategic<br />

Management Dalam CSR Jakarta, Erlangga Group.<br />

Sutrisno Hadi, 2002, Metodologi Research, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika<br />

Soerjono Soekanto, 1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, JakartaPenerbit<br />

Rajawali


------------------------, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,<br />

Rajawali, Jakarta.<br />

------------------------, 1985, Efektiviras Hukum dan Peranan Sanksi, Bandung,<br />

Penerbit Remaja Karya,<br />

-------------------------, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada,<br />

Jakarta<br />

Sri Rejeki Hartono, 2000, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Penerbit Mandar Maju,<br />

Bandung.<br />

185<br />

Syarip Hidayat, 2008, Pengaruh Globalisasi Ekonomi dan Hukum Ekonomi<br />

Internasional Dalam Pembangunan Hukum Ekonomi Di Indonesia, Jakarta,<br />

Penerbit Sinar Grafika.<br />

Terry Hutchinson, 2002, Researching and Writing In Law , Law Book CO Pyrmon<br />

NSW.<br />

Yusuf Wibisono,2007, Membedah Konsep dan Aplikasi Corporate Social<br />

Responsibility, Penerbit Salemba Empat.<br />

Zainuddin Ali,2008, Sosiologi Hukum, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika.<br />

II. Peraturan Perundang- undangan.<br />

Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.<br />

Undang Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.<br />

Perda Prop. Bali No.16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi<br />

Bali Tahun 2009-2029<br />

Makalah.<br />

Legawa I. Made, dkk, 2002, Pengkajian Tri Hita Karana Sebagai Dasar<br />

Pembangunan Daerah Bali, Laporan Penelitian, Kerjasama Badan Perencanaan<br />

Pembangunan Daerah Propinsi Bali Dengan Universutas Mahasaraswati<br />

Denpasar


186<br />

Robert Khuana, 2009, Corporate Social Responsibility (CSR) Antara Tuntutan dan<br />

Kenyataan, Makalah Diseminasi Rekomendasi Bagi Pembaharuan Hukum Di<br />

Indonesia, tanggal 16 November 2009.<br />

Supasti Darmawan, Ni Ketut, 2009, A Hybrid Framework Suatu Alternative Pendekatan CSR<br />

(Corporate Social Responsibility) Di Indonesia, Makalah Dalam DISEMINASI<br />

REKOMENDASI BAGI PEMBAHARUAN HUKUM DI INDONESIA, Kerjasama Komisi<br />

Hukum Nasional RI dengan FH UNUD BALI, Ina Sindhu Beach Sanur Bali, 16 November<br />

2009.<br />

Suryatin Lijaya, 2009, CSR (Corporate Social Responsibility) Dalam Peraturan<br />

Perundang-undangan , Makalah Diseminasi Rekomendasi Bagi Pembaharuan<br />

Hukum Di Indonesia, tanggal 16 November 2009.<br />

Wiryawan I Wayan, 2009, Makalah Tanggapan/komentar atas penyaji rekomendasi<br />

dari Mardjono Reksodiputro, tanggal 16 Nopember 2009<br />

Internet<br />

Gail Thomas, 2006, Corporate Social Responsibility, A Difinision.<br />

http://www.business.curtin.edu.au/files/GSB_Working_Paper_No._62_<br />

Yanti Triwadiantini Koester, 2007, Corporate Social Responsibility in Indonesia,<br />

http://www. asean foundation .org/seminar/paper.


1. N a m a : I Ketut Suyasa<br />

Umur : 46 Tahun<br />

Jabatan : Kepala Produksi<br />

DAFTAR RESPONDEN<br />

Perusahaan : PT Sumber Alam Semesta Bangli.<br />

Alamat : Jalan LC Aya Bangli.<br />

2. N a m a : Dody Wirayoga<br />

Umur : 27 Tahun<br />

Jabatan : Konsultan<br />

Perusahaan : PT Sumber Alam Semesta Bangli.<br />

Alamat : Jalan Kartini Klungkung.<br />

3. N a m a : Oka Pradipta<br />

Umur : 49 Tahun<br />

Pekerjaan : Swasta<br />

Jabatan : Direktur PT Bali Timur Mandiri Bangli.<br />

Alamat : Jalan Gunung Agung Gang II/26 Denpasar.<br />

4. N a m a : Ani Fanawatie<br />

Umur : 50 Tahun<br />

Pekerjaan : Swasta<br />

Jabatan : Branch Manager PT Federal International Finance<br />

187


Alamat : Jalan Gatot Subroto No. 18 D Denpasar.<br />

5. N a m a : I Made Alit Putrawan<br />

Umur : 43 Tahun<br />

Pekerjaan : Swasta<br />

Jabatan : Inventory General Support Section Head PT Federal International<br />

Finance<br />

Alamat : Jalan Gatot Subroto No. 18 D Denpasar.<br />

6. N a m a : Roby Nugroho<br />

Umur : 50 Tahun<br />

Pekerjaan : Swasta<br />

Jabatan : Branch Manager PT Jabato Tour & Travel<br />

Alamat : Jalan Irawadi Perum Grahalia II No.3 Denpasar.<br />

7. N a m a : Wayan Rajindra<br />

Umur : 40 Tahun<br />

Pekerjaan : Swasta<br />

Jabatan : Direktur PT Asuna International<br />

Alamat : Jalan Raya Pemogan Gang Dewi Sri No.9 Denpasar<br />

8. N a m a : I. Ketut Sandi. SH.MM<br />

Umur : 58 Tahun<br />

Pekerjaan : Pegawai Negeri<br />

Jabatan : Direktur Utama PT BPR Suadana Gianyar<br />

Alamat : Jalan Raya Celuk Sukawati Gianyar<br />

188


9. N a m a : A.A Ketut Trisna Guna.<br />

Umur : 35 Tahun<br />

Pekerjaan : Swasta<br />

Jabatan : Manager PT 18 Jaya Kuta Badung<br />

Alamat : Jalan Sun Set Road No.18 Kuta Badung<br />

189


190

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!