permainan bahasa tokoh punakawan wayang cenk-blonk
permainan bahasa tokoh punakawan wayang cenk-blonk
permainan bahasa tokoh punakawan wayang cenk-blonk
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
1.1 Latar Belakang<br />
BAB I<br />
PENDAHULUAN<br />
Bahasa dan budaya memiliki korelasi yang sangat erat. Bahasa<br />
menggambarkan budaya masyarakat penuturnya karena dalam kegiatan<br />
berbudaya, masyarakat tidak pernah lepas dari <strong>bahasa</strong> sebagai alat interaksi.<br />
Bahasa dipandang sebagai suatu sumber daya untuk menyingkap misteri budaya,<br />
mulai dari perilaku ber<strong>bahasa</strong>, identitas, dan kehidupan penutur, pendayagunaan,<br />
dan pemberdayagunaan <strong>bahasa</strong> sampai dengan pengembangan serta pelestarian<br />
nilai-nilai budaya (Yadnya, 2004:52). Hal ini sejalan dengan pendapat Kramsch<br />
(1998:3) yang menyebutkan tiga hal yang terjalin erat antara <strong>bahasa</strong> dan budaya,<br />
yakni (1) language expresses cultural reality, (2) language embodies cultural<br />
reality, dan (3) language simbolizes cultural reality.<br />
Dalam fungsinya sebagai sarana komunikasi, <strong>bahasa</strong> digunakan oleh<br />
masyarakat dengan berbagai cara untuk tujuan tertentu. Manusia sesuai dengan<br />
julukannya sebagai homo ludens karena kegemarannya bermain untuk memenuhi<br />
kepuasan mental dan spiritualnya, menjadikan <strong>bahasa</strong> sebagai salah satu milik<br />
manusia yang sangat berharga yang tidak luput digunakan sebagai sarana<br />
<strong>permainan</strong> (Wijana dan Mohamad Rohmadi, 2010:148). Masyarakat<br />
mengkreasikan <strong>bahasa</strong> dengan bermain-main dari tataran terendah (bunyi) sampai<br />
dengan tataran tertinggi (wacana) yang secara cermat dimanfaatkan oleh para<br />
kreatornya untuk efek tertentu dalam menyampaikan berbagai ketidakterdugaan<br />
1
yang secara serta merta diharapkan dapat ditangkap sekaligus dinikmati oleh<br />
penikmatnya. Kebermaknaan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> tentu dapat ditangkap secara<br />
menyeluruh dengan pengetahuan budaya yang sama antara penutur dan<br />
pendengarnya. Dalam mengungkapkan sesuatu secara verbal, setiap penutur tentu<br />
memiliki gaya tersendiri, baik dari segi dialek situasi ber<strong>bahasa</strong> (secara formal<br />
atau informal) maupun ciri khas yang menjadi sebuah kebiasaan sosial dalam<br />
masyarakat tertentu dalam pemilihan leksikal (Fromkin: 1990).<br />
Permainan dengan sarana <strong>bahasa</strong> banyak ditemukan dalam berbagai genre<br />
ber<strong>bahasa</strong>, seperti dalam kartun, teks-teks humor, teka-teki, sampai dengan<br />
wacana-wacana kompleks, seperti tajuk rencana, puisi, iklan, novel, dan dalam<br />
percakapan lisan sehari-hari. Penggunaan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> juga bisa banyak<br />
ditemukan dalam kesenian <strong>wayang</strong> tradisional karena dalam kesenian <strong>wayang</strong><br />
selain ditampilkan karakteristik bentuk-bentuk <strong>wayang</strong> yang seni serta <strong>permainan</strong><br />
musik yang indah, <strong>bahasa</strong> atau kegiatan tutur menjadi hal yang dominan (Rota,<br />
1990).<br />
Kesenian <strong>wayang</strong> kulit kaya akan ungkapan-ungkapan verbal <strong>permainan</strong><br />
<strong>bahasa</strong> yang sarat dengan nilai-nilai filosofi dan budaya. Wayang kulit dahulu,<br />
selain sebagai pelengkap upacara ritual keagamaan juga menjadi sarana hiburan<br />
masyarakat yang sangat digemari. Akan tetapi, setelah perkembangan zaman<br />
dengan munculnya berbagai alat elektronik sebagai media hiburan, seni sastra<br />
lisan ini kurang menarik sebagai tontonan terutama di kalangan kaum muda. Hal<br />
ini disebabkan oleh <strong>wayang</strong> tradisional identik dengan konvensi <strong>bahasa</strong>, seperti<br />
<strong>bahasa</strong> pakem, <strong>bahasa</strong> klasik dan tradisional yang cukup sulit dimengerti,<br />
2
terutama di kalangan anak muda pada era ini. Padahal, dalam seni sastra lisan ini<br />
dialog-dialog para <strong>tokoh</strong> memuat nilai-nilai yang kaya akan budaya dan filsafat<br />
hidup.<br />
I Wayan Nardayana merupakan salah satu dalang muda kreatif asal<br />
Tabanan yang terkenal dengan pertunjukan <strong>wayang</strong> Cenk-Blonknya. Pengemasan<br />
pertunjukannya sangat apik dan modern dengan menggunakan alat pencahayaan<br />
yang canggih, kelir yang lebih besar, tetabuhan dan pesinden yang cakap. Bahasa<br />
yang digunakan dalam Wayang Cenk-Blonk (kemudian disingkat dengan WCB)<br />
pada dasarnya sama seperti <strong>wayang</strong>-<strong>wayang</strong> tradisional Bali lainnya yang<br />
menggunakan <strong>bahasa</strong> Kawi dan <strong>bahasa</strong> Bali. Bahasa Kawi atau Jawa Kuno<br />
biasanya digunakan oleh <strong>tokoh</strong>-<strong>tokoh</strong> atas, seperti kaum ksatria, raja, dewa, dan<br />
raksasa, sedangkan <strong>bahasa</strong> Bali digunakan oleh <strong>tokoh</strong>-<strong>tokoh</strong> bawahan atau<br />
<strong>punakawan</strong>. Dalam <strong>tokoh</strong>-<strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB inilah dalang banyak<br />
menggunakan campur kode antara <strong>bahasa</strong> Bali, Indonesia, dan Inggris seperti<br />
budaya masyarakat Bali saat ini dalam menggunakan <strong>bahasa</strong>nya. Pada <strong>tokoh</strong><br />
<strong>punakawan</strong> sang dalang bisa bereksploitasi secara kreatif dalam bermain-main<br />
dengan <strong>bahasa</strong>. Walau banyak menggunakan variasi kode, kesan klasik dan<br />
karakteristik konvensi <strong>bahasa</strong> pe<strong>wayang</strong>an yang selaras dan indah tetap tercermin<br />
dalam dialog-dialog <strong>tokoh</strong> WCB.<br />
Munculnya WCB di tengah hiburan masyarakat dengan keinovasian<br />
pementasan dan <strong>bahasa</strong>nya menyebabkan karya sastra lisan yang sebelumnya<br />
meredup ini kembali menjadi sorotan hiburan yang mampu menarik minat<br />
masyarakat, baik tua maupun muda. WCB telah mampu mengembalikan minat<br />
3
masyarakat terhadap seni tradisional <strong>wayang</strong>. Larisnya WCB dibuktikan dengan<br />
maraknya pementasan <strong>wayang</strong> ini pada berbagai acara di Bali dari acara sakral<br />
keagamaan sampai dengan acara-acara selamatan, seperti pembukaan gedung-<br />
gedung baru, acara ulang tahun, dan lain-lain dengan ongkos pementasan belasan<br />
juta untuk satu kali pertunjukan berdurasi sekitar dua setengah jam. Cukup<br />
mahalnya ongkos pementasan WCB tidak menghalangi kesempatan masyarakat<br />
untuk menyaksikan pertunjukannya karena keeksisannya tetap diperlihatkan dari<br />
beredarnya VCD WCB sejak tahun 1998 hingga sekarang yang diproduksi oleh<br />
Aneka Record dan Bali Record. Hampir setiap tahun WCB menghasilkan satu<br />
buah judul untuk dipasarkan di masyarakat dengan harga terjangkau. Selain itu<br />
dalam VCD-VCD-nya sang dalang sengaja mengumpulkan topik serta lelucon<br />
yang digemari masyarakat saat pertunjukan di beberapa tempat dalam satu judul<br />
VCD setiap tahunnya. Hingga saat ini VCD WCB yang diperjualbelikan secara<br />
resmi sebanyak sepuluh judul.<br />
Salah satu penyebab tenarnya WCB disebabkan oleh <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong><br />
oleh <strong>tokoh</strong>-<strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> yang komunikatif, ringan, dan mudah dicerna<br />
penonton. Penguasaan <strong>bahasa</strong> dan keterampilan ber<strong>bahasa</strong> dalang merupakan<br />
persyaratan utama pertunjukan <strong>wayang</strong> seperti yang disebutkan oleh Zurbuchen<br />
(1987:186) bahwa dalang adalah seniman tutur (verbal artist) sehingga<br />
keterampilan dalam memformulasikan <strong>bahasa</strong> menjadi kunci kesuksesan<br />
pertunjukan <strong>wayang</strong>.<br />
Dialog <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB sangat erat dengan fenomena-fenomena<br />
sosial yang sedang populer di tengah masyarakat walau tema yang diambil tetap<br />
4
erasal dari cerita epos Ramayana atau Mahabarata. Permainan <strong>bahasa</strong> yang<br />
disuguhkan dalam WCB merupakan manifestasi kreativitas ber<strong>bahasa</strong> yang<br />
sedang populer digunakan dalam masyarakat, yakni pemilihan leksikal yang<br />
sesuai dengan pengalaman kontekstual masyarakat Bali saat ini. Hal ini terlihat<br />
pada topik-topik dan bentuk-bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> pada<br />
VCD WCB yang semakin menunjukkan pengembangan kreativitas setiap<br />
tahunnya terutama pada tahun 2005 dan tahun-tahun setelahnya.<br />
Permainan <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB sangat dekat dengan kebiasaan<br />
masyarakat dan penuh kritik serta humor segar yang memiliki sense dan imajeri<br />
tertentu yang menghasilkan makna perwujudan mental masyarakat atau sesuatu<br />
yang berawal dari analogi konseptual pengalaman. Sebagaimana ditegaskan oleh<br />
Palmer (1996: 3) bahwa <strong>bahasa</strong> merupakan <strong>permainan</strong> simbol verbal berdasarkan<br />
imajeri. Dengan tetap menggunakan anggah-ungguhing basa Bali, campur kode,<br />
dan alih kode antara <strong>bahasa</strong> Bali, Indonesia, dan Inggris, dialog <strong>tokoh</strong>-<strong>tokoh</strong><br />
<strong>punakawan</strong> WCB menyuguhkan banyak <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong>, seperti <strong>bahasa</strong><br />
pelesetan, <strong>permainan</strong> gaya <strong>bahasa</strong>, dan <strong>permainan</strong> variasi kode yang memuat hal-<br />
hal yang memiliki muatan makna tertentu dalam imajeri masyarakat Bali.<br />
Misalnya, dalam salah satu judul VCD WCB berjudul ”Ludra Murti”,<br />
diungkapkan pelesetan ”AIDS” yang sesungguhnya merupakan singkatan dari<br />
Aquired Immune Deficiency Syndrome menjadi ”Akibat Itunya Dimasukkan<br />
Sembarangan” yang menghasilkan sebuah kelakar <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang<br />
mengundang tawa pendengarnya. Tidak banyak masyarakat Bali yang mengetahui<br />
singkatan asli AIDS, tetapi masyarakat Bali telah memiliki imajeri bahwa AIDS<br />
5
merupakan salah satu penyakit mematikan karena seks bebas sehingga<br />
kebermaknaan pelesetan yang terlontar langsung dapat diterima secara<br />
menyeluruh. Jenis <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> lainnya misalnya dalam pelesetan fonologis<br />
pada sinonim bladbadan maodol bali pada percakapan antar<strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong><br />
Delem dan Sangut berikut ini.<br />
Sangut : /sub↔ lantas mel↔m p↔rgi iN↔t mel↔m ken awak mel↔m<br />
beh ↔liN mel↔me/<br />
‘…setelah Melem pergi, ingatlah Melem dengan diri Melem,<br />
tangisan Melem…’<br />
Delem : /keNken/ ‘bagaimana?’<br />
Sangut : /maodol bali/ ‘berpasta gigi ala bali’<br />
Delem : /keNken/ ’bagaimana?’<br />
Sangut :/ sigsigan mel↔m N↔liN/ ‘tersedu-sedu Melem menangis’<br />
(WCB: Tebu Sala, 12:25)<br />
Bladbadan maodol Bali ‘pembersih gigi’ digunakan <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> Sangut<br />
untuk menyatakan kata /sigsigan/ ‘tersedu-sedu’. Dalam bladbadan kata yang<br />
bersinonim dengan bentuk bladbadan tersebut akan memiliki bunyi yang mirip<br />
dengan maksud awal yang ingin disampaikan penutur dalam hal ini /sigsigan/<br />
yang disebut dengan bentuk tandingannya. Maodol Bali ‘berpasta gigi ala Bali’<br />
bersinonim dengan sisig, yaitu sedikit tembakau yang digunakan untuk sekali<br />
bersugi (membersihkan gigi) pada masyarakat Bali zaman dahulu. Sinonim<br />
bentuk bladbadan ini digunakan untuk menyandingkan bentuk tandingan yang<br />
dimaksud, yakni kata /sigsigan/. Dengan menyebut bentuk tandingan /sigsigan/,<br />
bentuk tersebut mengonstruksi kembali imajeri masyarakat pada kata atau bentuk<br />
yang mirip dengan bunyi tandingannya. Imajeri pendengar berkembang hingga<br />
menemukan bentuk dengan bunyi yang mirip dengan bentuk tandingan /sigsigan/<br />
yang terkait dengan bladbadan maodol Bali, yakni /sisig/ dan akhirnya menyadari<br />
6
sinonim bladbadan maodol Bali tersebut. Terjadi pemelesetan bunyi antara<br />
bentuk tandingan /sigsigan/ yang merupakan acuan awal dengan sinonim bentuk<br />
bladbadan maodol Bali yakni /sisig/ dengan pelesapan fonem /g/ dan akhiran /-<br />
an/. Konstruksi bentuk yang berakibat bangkitnya imajeri pendengar inilah yang<br />
menyebabkan pendengar dalam hal ini penonton tertawa setelah menyadari dan<br />
menyepadankan bentuk sinonim yang dimaksud dengan bentuk tandingannya.<br />
Pemilihan leksikal dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang disuguhkan <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong><br />
WCB disesuaikan dengan perkembangan zaman, dalam mengungkapkan gaya<br />
ber<strong>bahasa</strong> sesawangan, yang dalam tulisan ini merupakan simile (perumpamaan),<br />
untuk menyebut berambut keriting dahulu masyarakat biasa menyebut dengan<br />
<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> ‘bokne cara sebun prit’ (rambutnya seperti sarang burung pipit)<br />
atau ‘bokne cara embotan belayag’ (rambutnya seperti tarikan sejenis ketupat<br />
yang bentuknya memanjang). Akan tetapi, <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB<br />
mengkreasikan ungkapan tersebut menjadi ‘bokne cara mi’ (rambutnya seperti<br />
mi) menjadi lebih dapat ditangkap maknanya oleh penonton karena imajeri<br />
masyarakat terhadap belayag ataupun sebun perit saat ini tidak sejelas imajeri<br />
atau gambaran akan ‘mi’. Dinamika budaya tentu berpengaruh terhadap cara<br />
ber<strong>bahasa</strong> atau pemilihan leksikal masyarakatnya.<br />
Semua imajeri tersusun oleh kebudayaan dan sejarah pribadi seseorang.<br />
Imajeri juga disusun secara sosial dan melekat dengan konstruksi sosial (Palmer,<br />
1996:49). Dari <strong>bahasa</strong> dapat ditemukan ideologi, cara pandang atau imajeri, dan<br />
budaya penutur <strong>bahasa</strong> tersebut. Lebih lanjut, Erom (2010:39) menyebutkan<br />
bahwa kebudayaan merupakan gema tradisi yang menyesuaikan dirinya dan<br />
7
menyerap serta memfusi dalam teks dan konteks kehidupan. Di dalam konteks<br />
yang berubah, imajeri, cara pandang tentang dunia yang dikonstruksikan secara<br />
budaya yang bersifat konvensional dan saling melengkapi menyiapkan butir-butir<br />
referensi yang stabil untuk menafsirkan wacana.<br />
Permainan <strong>bahasa</strong> yang banyak digunakan dalam WCB sangat menarik<br />
untuk dianalisis karena kaya akan nilai-nilai budaya. Permainan <strong>bahasa</strong> yang<br />
dilakukan secara tidak langsung dapat mencerminkan pandangan, budaya, dan<br />
imajeri masyarakat Bali serta memperlihatkan bagaimana perubahan atau<br />
dinamika kebudayaan Bali saat ini. Selain itu, penelitian khusus tentang<br />
<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> <strong>wayang</strong> juga belum pernah dilakukan<br />
sehingga penelitian ini sangat diperlukan.<br />
Dari pemaparan di atas, diketahui bahwa penelitian ini menganalisis<br />
gejala-gejala ke<strong>bahasa</strong>an yang terjadi dalam WCB khususnya pada <strong>permainan</strong><br />
<strong>bahasa</strong> yang digunakan oleh <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> untuk mengungkap budaya dan<br />
imajeri mental masyarakat Bali pada saat ini.<br />
1.2 Rumusan Masalah<br />
Berdasarkan pemaparan di atas, permasalahan yang dapat diungkap dalam<br />
penelitian ini adalah sebagai berikut.<br />
1. Bentuk-bentuk ke<strong>bahasa</strong>an apa sajakah yang terdapat dalam <strong>permainan</strong><br />
<strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB?<br />
2. Apakah fungsi <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang diungkapkan oleh <strong>tokoh</strong>-<strong>tokoh</strong><br />
<strong>punakawan</strong> dalam WCB?<br />
8
3. Makna apa sajakah yang terkandung dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong><br />
<strong>punakawan</strong> WCB yang sesuai dengan imajeri budaya masyarakat Bali saat<br />
ini?<br />
1.3 Tujuan Penelitian<br />
1.3.1 Tujuan Umum<br />
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengungkap <strong>permainan</strong><br />
<strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB yang kreatif, inovatif, dan komunikatif.<br />
Pengkajian <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB ini dilakukan sehingga<br />
diketahui hubungan tarik-menarik antara <strong>bahasa</strong> dan imajeri serta budaya<br />
masyarakat yang dimanfaatkan dengan baik oleh penutur atau kreator <strong>bahasa</strong><br />
untuk menciptakan <strong>bahasa</strong> yang menarik dan digemari pendengar.<br />
1.3.2 Tujuan Khusus<br />
Sesuai dengan permasalahan yang diangkat dan dibahas dalam<br />
penelitian ini, maka secara khusus tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.<br />
1. Menemukan bentuk-bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong>-<strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong><br />
WCB.<br />
2. Mengidentifikasi fungsi <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong>-<strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB.<br />
3. Menginterpretasi makna <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang disampaikan oleh <strong>tokoh</strong>-<br />
<strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB yang sarat dengan imajeri budaya masyarakat Bali<br />
dan gejolak budaya yang terjadi.<br />
9
1.4 Jangkauan Penelitian<br />
Adapun jangkauan dalam penelitian ini adalah sebatas <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong><br />
yang disampaikan <strong>tokoh</strong>-<strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB pada 10 judul VCD WCB yang<br />
diproduksi Aneka dan Bali Record secara resmi dan telah diperjualbelikan di<br />
pasaran. Permainan-<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> yang diteliti secara<br />
umum menggunakan <strong>bahasa</strong> daerah Bali, baik <strong>bahasa</strong> Bali yang utuh maupun<br />
<strong>bahasa</strong> Bali yang memperoleh variasi kode dari <strong>bahasa</strong> Indonesia ataupun <strong>bahasa</strong><br />
Inggris. Permainan <strong>bahasa</strong> oleh <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> ini termasuk dialog-dialog<br />
antar<strong>punakawan</strong> ataupun tuturan <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> yang sifatnya menerjemahkan<br />
atau menginterpretasi makna <strong>bahasa</strong> Kawi yang diucapkan oleh <strong>tokoh</strong> atasan<br />
seperti kaum ksatria.<br />
1.5 Manfaat Penelitian<br />
1.5.1 Manfaat Teoretis<br />
Secara teoretis penelitian ini bermanfaat untuk memberi konstribusi bagi<br />
bidang ilmu <strong>bahasa</strong> dalam ranah kekreativan ber<strong>bahasa</strong> pada bentuk-bentuk<br />
<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang menggunakan pelesetan, gaya <strong>bahasa</strong>, ataupun <strong>permainan</strong><br />
<strong>bahasa</strong> dengan variasi kode. Penelitian ini juga diharapkan menjadi media untuk<br />
meningkatkan kemampuan menganalisis fenomena budaya ber<strong>bahasa</strong> masyarakat<br />
Bali dengan membangun model kajian pengembangan linguistik kebudayaan yang<br />
bersifat aplikatif, yaitu menerapkan teori konstruksi <strong>bahasa</strong>, teori fungsi <strong>bahasa</strong>,<br />
serta teori semiotik sosial.<br />
.<br />
10
1.5.2 Manfaat Praktis<br />
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan tidak saja bermanfaat bagi<br />
pencinta seni, pengamat seni, para dalang, dan calon dalang sebagai referensi cara<br />
pengemasan <strong>bahasa</strong> yang menarik yang kebermaknaannya dapat ditangkap<br />
menyeluruh dan sebagai acuan karakteristik <strong>permainan</strong> dan gaya <strong>bahasa</strong><br />
pe<strong>wayang</strong>an tradisional inovatif yang digemari masyarakat sekarang. Namun,<br />
penelitian ini juga diharapkan dapat memberi ilustrasi penggunaan <strong>permainan</strong><br />
<strong>bahasa</strong> kepada masyarakat sebagai kekreatifan dalam berkomunikasi, seperti para<br />
pembicara atau orator, pembawa acara, penceramah ataupun pengkhotbah. Hal itu<br />
penting karena kreativitas ber<strong>bahasa</strong> yang ditunjukkan dengan bermain kata-kata<br />
dapat membantu seseorang dalam menyampaikan sesuatu yang sukar ataupun<br />
menjadikan pembicaraan menjadi lebih menarik untuk menjalin keakraban di<br />
antara pembicara dan pendengar.<br />
11
2.1 Kajian Pustaka<br />
BAB II<br />
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,<br />
DAN MODEL PENELITIAN<br />
Berdasarkan studi pustaka yang dilakukan, ada beberapa tulisan yang<br />
ditulis oleh para peneliti terdahulu yang relevan untuk dikaji dan berkontribusi<br />
dalam hubungannya dengan penelitian ini. Tulisan yang dimaksud adalah sebagai<br />
berikut.<br />
Redjasa (2001) mengkaji <strong>bahasa</strong> verbal yang terdapat dalam seni<br />
pertunjukan. Ia khusus mengkaji lelucon khas Bali yang dipentaskan dalam<br />
Drama Gong di Bali dengan menganalisis tiga hal utama, yakni (1) bentuk<br />
lelucon, (2) fungsi lelucon, dan (3) makna yang terkandung dalam lelucon<br />
tersebut. Dalam hasil penelitiannya ditemukan bahwa bentuk lelucon drama gong<br />
itu adalah cerita atau dongeng, teka-teki, puisi, dan nyanyian. Fungsi lelucon pada<br />
drama gong adalah sebagai pelipur hati, menyindir, menghilangkan rasa genting,<br />
penyaluran tenaga birahi, penyaluran rasa suka cita, penyampaian desas-desus,<br />
pemerolehan rasa simpatik, ketenaran, dan penyampaian protes sosial.<br />
Dari segi makna, dalam lelucon ditemukan variasi makna dengan<br />
penginterpretasian. Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif dan<br />
kualitatif, dengan kesimpulan bahwa semantik humor memanfaatkan keambiguan<br />
dengan mempertentangkan makna pertama dengan makna kedua. Pemanfaatan<br />
keambiguan ini dapat terjadi pada tingkat kata, kalimat, dan wacana. Penelitian<br />
12
<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB ini sedikit memiliki persamaan dengan<br />
penelitian Redjasa karena penelitian <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> ini juga banyak<br />
mengandung unsur <strong>bahasa</strong> humor yang penuh ambiguitas. Akan tetapi, dalam<br />
penelitian <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> ini tidak saja <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> jenis humor yang<br />
dianalisis, tetapi <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang sifatnya nonhumor pun dianalisis. Teori<br />
yang diterapkan juga berbeda. Redjasa mengadopsi teori-teori wacana naratif<br />
dalam penelitiannya, sedangkan penelitian ini mengaplikasikan teori imajeri<br />
dalam linguistik kebudayaan.<br />
Wijana (2002) mengkaji <strong>permainan</strong> beberapa elemen <strong>bahasa</strong> seperti angka,<br />
bilangan, dan huruf sebagai kreativitas manusia di dalam bermain dengan <strong>bahasa</strong><br />
yang merupakan pencerminan situasi sosiolinguistis di Indonesia. Dalam<br />
penelitian itu data diperoleh dari berbagai sumber, seperti grafiti, stiker, mobil<br />
pribadi, kendaraan umum, dan penulisan nama-nama pribadi.<br />
Pada penelitian tersebut ditemukan berbagai variasi bentuk <strong>permainan</strong><br />
angka, yakni sebagai representasi kata <strong>bahasa</strong> Indonesia dan <strong>bahasa</strong> daerah (misal:<br />
1/3 reng ‘seperti gareng’), sebagai representasi kata <strong>bahasa</strong> Inggris (misalnya:<br />
Up2U ‘up to you’), sebagai visualisasi lambang bunyi, representasi not lagu,<br />
representasi formula matematika, dan representasi frekuensi pembacaan. Pada<br />
data <strong>permainan</strong> bilangan ditemukan dua contoh yang merupakan bilangan <strong>bahasa</strong><br />
Inggris, misalnya bentuk yang mengacu nama seseorang Wa-one ‘wawan’. Pada<br />
<strong>permainan</strong> huruf penelitian tersebut menemukan <strong>permainan</strong> dengan menggunakan<br />
lambang bunyi untuk mempresentasikan nama (misalnya D’Must ‘Dimas’ yang<br />
13
mengacu pada nama orang) dan nama mempresentasikan lambang (misalnya Tuti<br />
non K ‘tidak memakai K karena namanya Tuti bukan Tutik).<br />
Pada tulisan tersebut sisebutkan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dengan memanfaatkan<br />
berbagai ketaksaan ini digunakan untuk maksud bermain-main, bergaya, dan<br />
merahasiakan sesuatu. Tulisan Wijana tersebut banyak memberi konstribusi<br />
dalam penelitian ini. Namun, penelitian ini mencoba untuk meluaskan analisis<br />
bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> hingga ke bentuk wacana dan lebih mengarah pada teori<br />
Sherzer (2002) yang mengacu <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> merupakan salah satu bentuk<br />
kekreatifan <strong>bahasa</strong> yang tidak saja berfungsi humor, hal serius seperti peri<strong>bahasa</strong><br />
pun dapat dikatakan sebagai <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> sesuai juga dengan pendapat<br />
Wijana (2002) yang menyatakan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> juga dapat berfungsi untuk<br />
bergaya.<br />
Antara (2007) mengkaji metafora dalam <strong>bahasa</strong> Bali (BB) lisan yang<br />
digunakan masyarakat di daerah Buleleng. Dalam penelitian itu Antara<br />
mengungkapkan bahwa dalam ber<strong>bahasa</strong> sehari-hari masyarakat Bali, khususnya<br />
masyarakat Buleleng banyak menggunakan tuturan yang sifatnya metaforis.<br />
Masalah penelitiannya meliputi bentuk metafora dalam BB, fungsi dan makna<br />
yang tersirat dari ujaran metafora BB lisan. Penelitiannya menggunakan metode<br />
kualitatif dengan dasar konsep sosiolinguistik. Penelitian tentang metafora itu<br />
didasarkan atas konsep Henle (1958) bahwa metafora adalah payung semua<br />
ungkapan <strong>bahasa</strong> yang bermakna figuratif atau majas. Analisis bentuk metafor<br />
dalam penelitiannya itu menggunakan teori struktur gramatika (morfologis dan<br />
sintaksis), analisis fungsi dikaitkan dengan situasi dan peristiwa tutur dan<br />
14
interpretasi makna metafora dianalisis dengan teori komparasi Aristoteles yang<br />
ditunjang dengan teori makna asosiasi. Disertasi Antara (2007) ini banyak<br />
memberikan kontribusi dalam penelitian <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong><br />
WCB ini karena dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong>nya banyak menggunakan <strong>bahasa</strong>-<br />
<strong>bahasa</strong> bermakna figuratif ataupun majas. Akan tetapi, dalam penelitian ini<br />
konsep metafor yang digunakan adalah konsep dari Knowles dan Rosamund<br />
Moon (2006) dan Keraf (2009) yang merupakan bagian dari bentuk figuratif. Di<br />
dalam penelitian ini, khususnya dalam bentuk metafor <strong>bahasa</strong> Bali yang<br />
digunakan <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB pada <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong>nya memunculkan<br />
variasi-variasi yang lebih kompleks dalam penggunaannya pada era globalisasi,<br />
seperti sekarang ini oleh masyarakat, yakni metafor <strong>bahasa</strong> Bali dengan adanya<br />
pencampuran <strong>bahasa</strong>-<strong>bahasa</strong> lain, seperti <strong>bahasa</strong> Inggris dan Indonesia.<br />
Suwija (2008) dalam disertasinya membandingkan dan menganalisis<br />
<strong>wayang</strong> tradisional yang menggunakan inovasi dalam pertunjukannya, khususnya<br />
bagaimana <strong>bahasa</strong>-<strong>bahasa</strong> dalang mengemukakan wacana-wacana kritik sosial<br />
dengan mengaplikasikan teori-teori wacana naratif, resepsi sastra, dan<br />
dekonstruksi.<br />
Dalam disertasi itu dipaparkan bagaimana eksistensi <strong>wayang</strong> kulit Bali,<br />
pengemasan wacana kritik sosial oleh para dalang Cenk Blonk, Joblar dan Sidia,<br />
fungsi wacana kritik sosial yang disampaikan, sasaran serta amanat yang<br />
terkandung dalam wacana kritik sosial tersebut. Dalam penelitian itu Suwija<br />
memfokuskan kajiannya hanya pada wacana kritik sosial yang terdapat dalam<br />
dialog-dialog para <strong>tokoh</strong>. Tesis ini juga memilih WCB sebagai objek penelitian<br />
15
tidak saja menganalisis wacana-wacana kritik sosial, tetapi lebih ke arah<br />
bagaimana pilihan dan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong>-<strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB yang<br />
memiliki makna berbobot dan ber-sense bagi penonton dikaitkan dengan teori<br />
linguistik kebudayaan tentang imajeri. Selain itu, dalam penelitian Suwija, hanya<br />
dianalisis salah satu pertunjukan WCB yang berjudul Lakon Diah Gagar Mayang,<br />
tetapi dalam penelitian ini sumber data diperoleh dari seluruh VCD WCB yang<br />
telah beredar di masyarakat.<br />
2.2 Konsep<br />
2.2.1 Permainan Bahasa<br />
Konsep <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dalam penelitian ini mengacu pada konsep<br />
<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> Kirshenblatt-Gimblett (1976) dan Sherzer (2002) dengan istilah<br />
Speech Play sebagai bentuk kekreatifan ber<strong>bahasa</strong>. Permainan <strong>bahasa</strong> adalah<br />
manipulasi <strong>bahasa</strong> (baik secara fonetik, leksikal, maupun sintaksis, dan lain-lain),<br />
kekreatifan gaya ber<strong>bahasa</strong>, variasi kode, atau style, yang digunakan dalam<br />
percakapan sehari-hari (Kirshenblatt-Gimblett:1976). Lebih lanjut Sherzer (2002:<br />
1) menyebutkan pula bahwa <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> adalah manipulasi elemen-elemen<br />
dan komponen-komponen <strong>bahasa</strong> dalam hubungannya dengan konteks sosial dan<br />
budaya dalam penggunaannya (language use).<br />
Kirshenblatt-Gimblett (1976) dan Sherzer (2002) lebih memilih<br />
menggunakan istilah <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> speech play yang sering juga disebut<br />
dengan linguistic games oleh beberapa linguis. Mereka menekankan <strong>permainan</strong><br />
<strong>bahasa</strong> terdiri atas kata “<strong>permainan</strong>” yang diistilahkan dengan “play” sedikit<br />
16
erbeda dengan konsep “games” yang diterjemahkan juga dengan <strong>permainan</strong>.<br />
Huizinga dan Caillois (dalam Kirshenblatt-Gimblett, 1976: 4--7) menyebutkan<br />
play bersifat bebas ‘free’ dan fleksibel dalam penggunaannya, serta mengarah<br />
pada seni dan kreativitas ber<strong>bahasa</strong> yang tidak merupakan suatu kebenaran atau<br />
kesalahan. Sebaliknya, games mengarah pada kompetisi, aturan atau model<br />
<strong>permainan</strong>, serta akan ada dua sisi yakni, sebagai pemenang dan yang tidak<br />
menang sehingga memerlukan keahlian dan strategi. Dalam play juga terdapat<br />
rules ‘aturan’ tetapi, tidak mutlak seperti dalam konsep games. Karena bersifat<br />
seni dan kreatif, <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dalam konsep ini tidak saja bersifat jenaka atau<br />
humor yang melawan norma, tetapi juga bisa mengandung makna serius (Sherzer,<br />
2002:2).<br />
Jadi dalam konsep speech play ditekankan bahwa manipulasi <strong>bahasa</strong> yang<br />
dilakukan penutur adalah aktivitas bermain-main dengan <strong>bahasa</strong> dalam<br />
komunikasi sehari-hari sehingga komponen-komponen yang ada di dalamnya<br />
sangat dipengaruhi oleh budaya penutur sedangkan linguistic games merupakan<br />
<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang semata-mata hanya sebagai hiburan misalnya dalam<br />
bentuk acak kata, teka-teki, melengkapi huruf, dan sebagainya yang dirancang<br />
sedemikian rupa untuk hiburan, misalnya dalam acara quiz ataupun <strong>permainan</strong><br />
yang biasa digunakan dalam pembelajaran <strong>bahasa</strong>. Permainan kata-kata ‘puns’,<br />
candaan ‘jokes’, peri<strong>bahasa</strong>, teka-teki, dan tanya jawab ‘verbal duelling’ termasuk<br />
dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> (Sherzer, 2002:4). Konsep speech play digunakan dalam<br />
penelitian ini karena <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> pada dialog-dialog <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong><br />
WCB merupakan manifestasi pencerminan penggunaan <strong>bahasa</strong> sehari-hari<br />
17
masyarakat Bali. Wijana (2010: 248) menyebutkan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong><br />
dimaksudkan untuk mencapai bermacam-macam tujuan, seperti melucu,<br />
mengkritik, menasihati, melarang, dan berbagai tujuan lain yang sering kali tidak<br />
mudah diidentifikasi.<br />
2.2.2 Tokoh Punakawan<br />
Punakawan merupakan salah satu <strong>tokoh</strong> dalam <strong>wayang</strong> tradisional selain<br />
<strong>tokoh</strong> raja, dewa, ksatria, dan raksasa (Amir, 1991: 63). Punakawan<br />
melambangkan rakyat jelata atau abdi raja yang berperan sebagai penerjemah dan<br />
memberi interpretasi pada <strong>bahasa</strong> para ksatria yang menggunakan <strong>bahasa</strong> Jawa<br />
Kuno. Karena melambangkan rakyat jelata, <strong>bahasa</strong> yang digunakan oleh <strong>tokoh</strong><br />
<strong>punakawan</strong> mencerminkan perilaku budaya dan ber<strong>bahasa</strong> masyarakat yang<br />
memiliki kebebasan konvensi <strong>bahasa</strong>, tetapi biasanya tetap mengikuti unda-usuk<br />
ber<strong>bahasa</strong> (Zurbuchen, 1981:267-282). Dalam pertunjukan WCB <strong>tokoh</strong><br />
<strong>punakawan</strong> yang dimaksud adalah empat <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> baku <strong>wayang</strong> kulit<br />
Bali Tualen, Meredah, Sangut, Delem, <strong>punakawan</strong> perempuan, yakni, Condong<br />
yang sering dipanggil dengan sebutan ‘Nyoman’ serta <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> kreasi<br />
tambahan Cenk, Blonk dan <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> perempuan kreasi Tu Gek.<br />
2.2.3 Wayang Cenk-Blonk<br />
Wayang Cenk-Blonk merupakan sebutan pementasan <strong>wayang</strong> Nardayana<br />
yang dulunya bernama <strong>wayang</strong> Gitaloka. Namun, seiring dengan<br />
perkembangannya masyarakat banyak menyebut-nyebut <strong>wayang</strong> ini dengan<br />
18
<strong>wayang</strong> Cenk-Blonk karena pada setiap pertunjukannya Nardayana selalu<br />
menampilkan <strong>tokoh</strong> Nang Klenceng dan Nang Eblong (yang akrab dengan<br />
panggilan Cenk dan Blonk) di samping empat <strong>punakawan</strong> baku dalam <strong>wayang</strong><br />
kulit Bali Tualen, Mredah, Sangut, dan Delem. Pemasangan dua karakter kuat<br />
Cenk dan Blonk inilah salah satu hal yang menyebabkan <strong>wayang</strong> Cenk-Blonk<br />
berbeda dari pertunjukan-pertunjukan <strong>wayang</strong> tradisional Bali lainnya yang<br />
biasanya hanya menggunakan empat <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> baku. Akhirnya pada<br />
tahun 1995 Nardayana mengganti nama <strong>wayang</strong>nya dengan <strong>wayang</strong> Cenk-Blonk<br />
hingga menjadi terkenal seperti saat ini dan mencantumkan setiap VCD-nya<br />
dengan label Wayang Cenk-Blonk.<br />
2.2.4 Bentuk<br />
Halliday dan Ruqaiya Hasan (1989:20) menyatakan bahwa bentuk <strong>bahasa</strong><br />
yang digunakan oleh pengarang berfungsi sebagai pendukung makna yang<br />
denotatif dan konotatif. Satuan-satuan ucapan yang diikuti dengan arti disebut<br />
dengan bentuk linguistik (linguistic form) (Muslich, 2008:2). Penelitian ini<br />
mengacu pada pandangan Goldberg (2006) yang menyebutkan bentuk <strong>bahasa</strong><br />
merupakan konstruksi. Konstruksi akan menghasilkan bentuk-bentuk yang pada<br />
akhirnya menghasilkan fungsi dan makna. Bentuk atau struktur dalam kajian<br />
linguistik kebudayaan lebih menekankan variasi-variasi bentuk, kode, dan<br />
subkode (Mbete, dalam Bawa, 2004: 25). Bentuk-bentuk yang disebutkan<br />
Goldberg adalah termasuk morfem, kata, idiom, bentuk leksikal tidak utuh, dan<br />
struktur linguistik yang kompleks.<br />
19
2.2.5 Fungsi<br />
Fungsi <strong>bahasa</strong> secara umum adalah sebagai alat atau media komunikasi<br />
antara penggunanya. Kata ‘fungsi’ dapat dipandang sebagai padanan kata<br />
‘penggunaan’ (Halliday dan Ruqaiya Hasan, 1989: 15) sehingga berbicara tentang<br />
fungsi <strong>bahasa</strong> dapat diartikan cara seseorang menggunakan <strong>bahasa</strong> mereka, yaitu<br />
dengan cara bertutur, menulis, mendengarkan, dan membaca untuk mencapai<br />
banyak sasaran dan tujuan (Halliday dan Ruqaiya Hasan, 1989: 20). Telah banyak<br />
linguis yang melakukan kajian fungsional, seperti Malinowski (1923), Buhler<br />
(1930), Halliday (1978), dan lain-lain. Dalam mengkaji <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong><br />
<strong>punakawan</strong> WCB sangat cocok diterapkan teori Leech (1977) karena dalam<br />
speech play terkandung kreativitas dan unsur seni yang berfungsi estetik. Leech<br />
(1977) menekankan lima fungsi <strong>bahasa</strong>, yakni informasional, ekspresif, phatik,<br />
direktif, dan estetik.<br />
2.2.6 Makna<br />
Dalam <strong>bahasa</strong> yang diungkapkan oleh seseorang akan terkandung makna-<br />
makna tertentu yang ditangkap oleh lawan tuturnya sesuai dengan konteks sosial<br />
atau budayanya. Menurut Ferdinan de Saussure (1966) makna adalah ‘pengertian’<br />
atau ‘konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistik. etiap tanda<br />
linguistik terdiri atas dua komponen, yakni signifian “yang mengartikan” yang<br />
berupa runtutan bunyi, dan komponen signifie “yang diartikan” yang berupa<br />
pengertian atau konsep. Halliday dan Ruqaiya Hasan (1989: 4) menyebutkan<br />
20
ahwa makna merupakan sistem tanda yang merupakan jaringan-jaringan<br />
hubungan yang ditentukan oleh konteks sosial atau budaya.<br />
2.2.7 Imajeri<br />
Kata ’imajeri’ merupakan turunan dari imaji (image). Imaji merupakan<br />
suatu perwujudan mental dari sesuatu, terutama objek yang dapat dilihat, bukan<br />
dengan persepsi langsung, melainkan dengan ingatan imajinasi (Hornby,2006:46).<br />
Imajeri menitikberatkan kenyataan bahwa sebuah konsep berawal sebagai<br />
perwujudan pengalaman pancaindra, dan kemudian akan mengalami proses<br />
pembentukan, rekombinasi yang kompleks. Palmer (1996:47) menegaskan bahwa<br />
pengalaman di sekitar kita dicatat atau direkam oleh otak. Otak mengidentifikasi<br />
dan menentukan semua yang dialami oleh pancaindra. Selain itu, ada juga imajeri<br />
kompleks yang muncul dari emosi, yang disebut imajeri afektif perasaan<br />
(Palmer,1996:46). Imajeri akan membantu seseorang dalam memaknai ungkapan<br />
secara menyeluruh.<br />
2.2.8 Imajeri Budaya<br />
Telah dijelaskan bahwa imajeri adalah perwujudan mental seseorang dari<br />
analogi konseptual pengalaman. Budaya secara umum didefinisikan sebagai<br />
sesuatu yang bisa dipelajari, yang dapat digunakan sebagai perantara antara<br />
generasi satu ke generasi yang lain melalui kegiatan/peranan yang dilakukan oleh<br />
manusia melalui interaksi langsung yang sangat sering tentunya dilakukan melalui<br />
komunikasi linguistik (Duranti,1997:24). Karena budaya dapat dipelajari, budaya<br />
21
dianggap sebagai ilmu pengetahuan, yaitu bentuk dari benda-benda yang ada<br />
dalam pikiran manusia, tentang model bagaimana mereka merasakan,<br />
menghubungkan, dan menginterpretasi fenomena (Duranti,1997; Hudson, 1980;<br />
Goodenough, 1964).<br />
Dari pengertian imajeri dan budaya di atas, konsep imajeri budaya dalam<br />
penelitian ini adalah perwujudan mental atau ideologi seseorang atau masyarakat<br />
berdasarkan budaya di sekitarnya. Pilihan <strong>bahasa</strong> akan dipengaruhi oleh imajeri<br />
budaya penutur.<br />
2.3 Landasan Teori<br />
Untuk memperoleh gambaran yang komprehensif teori yang digunakan<br />
dalam penelitian ini adalah teori yang bersifat antardisiplin dengan asumsi teori-<br />
teori yang digunakan saling mendukung satu sama lainnya dalam menganalisis<br />
<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> dalam WCB. Teori yang dimaksud adalah<br />
Linguistik Kebudayaan sebagai payung yang membawahi teori konstruksi untuk<br />
menganalisis bentuk, teori fungsi <strong>bahasa</strong> dalam menganalisis fungsi, dan teori<br />
semiotik sosial untuk memaknai nilai-nilai budaya yang dihasilkan dari<br />
<strong>permainan</strong>-<strong>permainan</strong> bahsa <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB.<br />
2.3.1 Linguistik kebudayaan<br />
Linguistik kebudayaan yang juga disebut etnolinguistik adalah varian<br />
antropologi linguistik yang mengaitkan hubungan antara <strong>bahasa</strong> dan kebudayaan<br />
suatu komunitas tertentu. Linguistik kebudayaan lebih menekankan pada kajian<br />
22
atas <strong>bahasa</strong> sebagai sumber daya budaya dan tuturan sebagai praktik budaya<br />
(Duranti, 1997:1--2). Jika antropologi linguistik lebih pada kajian deskripsi<br />
mengenai <strong>bahasa</strong> suku-suku bangsa, linguistik kebudayaan mendalami makna di<br />
balik yang tampak, melalui tuturan (speech) dan <strong>bahasa</strong> (language). Pengertian<br />
linguistik kebudayaan seperti ini menempatkan linguistik kebudayaan sebagai<br />
suatu perspektif teori kognitif yang mengkaji hubungan fungsional dan maknawi<br />
antara <strong>bahasa</strong> dan kebudayaan dalam suatu komunitas.<br />
Kata-kata yang keluar dalam bentuk simbol juga merupakan representasi<br />
atas situasi masyarakat dan kebudayaan mereka. Oleh karena itu, manusia dapat<br />
dinyatakan sebagai manusia yang kreatif dalam menciptakan dunia sosial dan<br />
budaya mereka, termasuk dalam menciptakan terminologi, konsep, simbol, dan<br />
<strong>bahasa</strong> yang dapat mewakili dan menggambarkan keinginan dan fenomena yang<br />
ada di lingkungan mereka. Hal yang sama dinyatakan oleh Foley (1997:1) bahwa<br />
linguistik kebudayaan berusaha mengungkap makna di balik penggunaan <strong>bahasa</strong><br />
serta bentuk <strong>bahasa</strong> yang berbeda, laras, dan gaya <strong>bahasa</strong> (style). Palmer (1996:4)<br />
menyatakan bahwa linguistik kebudayaan merupakan gabungan dari linguistik<br />
kognitif, linguistik aliran boas (pendeskripsian gramatika <strong>bahasa</strong> yang<br />
mencerminkan ungkapan imajeri mental yang selektif), etnosemantik dan<br />
etnografi berbicara.<br />
Linguistik Kebudayaan terutama berurusan bukan bagaimana orang<br />
berbicara tentang realitas objektif, melainkan bagaimana orang-orang itu<br />
berbicara tentang dunia mereka sendiri bayangkan (Palmer, 1996:36). Permainan<br />
<strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB dengan bladbadan gigi keliling kota untuk<br />
23
menyebut bentuk pelesetan pawah ‘ompong’ dihasilkannya dari pengalaman-<br />
pengalaman yang dibayangkan sendiri oleh kreatornya, yakni sang dalang.<br />
Keliling kota yang dalam bayangannya bersinonim dengan pawai digunakan<br />
untuk memelesetkan bentuk tandingannya, yakni /pawah/ yang memiliki bunyi<br />
mirip. Bentuk keliling kota yang disebutkannya dan sinonim yang<br />
dimaksudkannya, yakni pawai diperolehnya dari pengalaman pribadi, yaitu<br />
kebiasaaan di daerah tempat tinggalnya bahwa sebuah pawai kesenian atau apa<br />
pun itu dilakukan dengan berkeliling kota. Linguistik Kebudayaan dan linguistik<br />
kognitif secara fundamental merupakan teori imajeri mental yang berusaha<br />
memahami bagaimana penutur menyebarkan tuturannya dan pendengar<br />
memahami tuturan tersebut berkaitan dengan berbagai macam imajeri. Dalam<br />
pandangan Palmer, <strong>bahasa</strong> adalah <strong>permainan</strong> simbol verbal yang berbasis pada<br />
imajeri.<br />
2.3.2 Teori Konstruksi<br />
Teori konstruksi Goldberg (2006) digunakan pada penelitian ini dalam hal<br />
menentukan bentuk-bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB.<br />
Konstruksi adalah keberpasangan bentuk dan fungsi atau penggunaan semua level<br />
gramatikal, seperti morfem, kata, idiom, leksikal parsial, dan semua pola general<br />
frasa yang beberapa aspek dari bentuk ataupun fungsinya tidak dapat diprediksi<br />
secara pasti dari komponen-komponen pembentuknya atau dari konstruksi lain<br />
yang telah ada sebelumnya (Goldberg, 2006:5). Knowles dan Rosamund Moon<br />
24
(2006: 15--17) memaparkan konstruksi idiom terdiri atas komponen metaphor dan<br />
maknanya dapat ditelusuri dengan analogi.<br />
Kerangka konstruksi dapat digunakan dalam menganalisis semantik dan<br />
kata-kata tertentu, gramatikal morfem dan pada pola frasa yang tidak lazim.<br />
Permainan <strong>bahasa</strong> memperlihatkan kreativitas ber<strong>bahasa</strong> yang banyak<br />
menggunakan pola yang tidak sesuai dengan gramatikal yang lazim. Dengan<br />
demikian teori ini digunakan dalam menganalisis bentuk-bentuk <strong>permainan</strong><br />
<strong>bahasa</strong>, seperti bentuk <strong>bahasa</strong> pelesetan, bentuk retoris, kiasan, bentuk <strong>permainan</strong><br />
kata antar<strong>bahasa</strong> dalam sebuah kalimat atau wacana dan bentuk-bentuk hiponim.<br />
Dalam dialog-dialog <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB, sang dalang mengonstruksi<br />
bentuk-bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> untuk mengonstruksi imajeri pendengarnya<br />
dalam hal ini penonton untuk tujuan tertentu. Kemudian secara kognitif dengan<br />
menyandingkan, menyepadankan, dan mengasosiasikan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong><br />
tersebut dengan hipogram-hipogramnya (terutama dalam bentuk pelesetan)<br />
pendengar akan memaknainya dengan kesan-kesan dan imajeri yang bermacam-<br />
macam.<br />
Goldberg (2006) menyebutkan prinsip-prinsip konstruksi, yakni sebagai berikut.<br />
1. Semua level deskripsi dimengerti sebagai keterlibatan dan keberpasangan<br />
antara bentuk dengan fungsi semantik atau discourse.<br />
2. Penekanan aspek-aspek bagaimana cara kita membayangkan kejadian atau<br />
peristiwa-peristiwa tertentu.<br />
25
3. ‘Apa yang kamu lihat adalah apa yang kamu peroleh’ dengan mengadopsi<br />
pendekatan bentuk sintaksis: tidak ada level-level pokok sintaksis atau tidak<br />
ada elemen-elemen secara fonologi dikemukakan.<br />
4. Konstruksi diperoleh berdasarkan input dasar dan mekanisme kognitif.<br />
5. Cross-linguistics dijelaskan dengan perbandingan batas-batas kognitif<br />
bersamaan dengan fungsi pengembangan konstruksi.<br />
6. Generalisasi <strong>bahasa</strong> khusus dalam konstruksi diperoleh dari pengetahuan yang<br />
bersifat nonlinguistik<br />
7. Keseluruhan pengetahuan <strong>bahasa</strong> ditangkap dengan jaring-jaring konstruksi:<br />
sebuah konstruksi bentuk ‘construc-i-con’.<br />
Berikut ini adalah tabel contoh bentuk dan fungsi dalam konstruksi.<br />
2.1 Bentuk dan Fungsi dalam Konstruksi<br />
Construction Form/Example Function<br />
Morpheme e.g. anti-, pre-, ing-<br />
Word e.g. Avocado, anaconda, and<br />
Complex word e.g. Daredevil, shoo-in<br />
Idiom (filled) e.g. Going great guns<br />
Idiom (partially filled) e.g. Jog (Someone’s) memory<br />
Covariational-Conditional Form: The Xer the Yer (e.g. The Meaning:link independent<br />
construction<br />
more you think about it, the less<br />
you understand)<br />
and dependent variables<br />
Ditransitive (double-object) Form: Subj /V Obj1 Obj2/ (e.g. Meaning: Transfer (intended<br />
construction<br />
He gave her a Coke; He baked<br />
her a muffin)<br />
or actual)<br />
Passive Form: Subj aux VPpp (PPby) (e.g. Discourse function: to make<br />
The armadillo was hit by a car) undergoer topical and/or<br />
actor non-topical<br />
Goldberg: 2006<br />
Bentuk lahir (surface form) sebuah ujaran dalam teori konstruksi tidak<br />
hanya berasal dari satu buah konstruksi, tetapi dapat terdiri atas kombinasi<br />
beberapa konstruksi yang berbeda. Konstruksi bisa dikombinasikan secara bebas<br />
dalam bentuk ekspresi aktual sejauh sesuai dengan logika. Goldberg memberikan<br />
26
contoh kalimat what did Liza buy the child? Dapat memiliki konstruksi sebagai<br />
berikut:<br />
1. konstruksi Liza, buy, the, child, what, did (kata)<br />
2. konstruksi ditransitif<br />
3. konstruksi pertanyaan<br />
4. konstruksi inversi subjek-auxilary<br />
5. konstruksi VP<br />
6. konstruksi NP<br />
2.3.3 Teori Fungsi Bahasa<br />
Dalam menganalisis fungsi <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB<br />
digunakan teori fungsi <strong>bahasa</strong>. Hubungan bentuk dan fungsi merupakan contoh<br />
pola komunikatif dalam dimensi yang berbeda, misalnya bertanya kepada<br />
seseorang dengan <strong>bahasa</strong> Inggris apakah mereka mempunyai rokok akan segera<br />
disadari sebagai permintaan daripada sekadar pertanyaan untuk memperoleh<br />
informasi. Dalam masyarakat Bali teks-teks verbal dalam pertunjukan <strong>wayang</strong><br />
tradisional, baik dialog, monolog, dengan konvensi <strong>bahasa</strong> maupun dengan<br />
<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> berfungsi untuk mengomunikasikan berbagai amanat dalam<br />
kehidupan masyarakat. Fungsi dalam permaianan <strong>bahasa</strong> yang banyak<br />
menggunakan bentuk-bentuk <strong>bahasa</strong> yang bermakna tak sebenarnya, kias,<br />
konotatif, nonlinier, majas, atau dikenal juga sebagai bentuk <strong>bahasa</strong> bermakna<br />
metaforis, memerlukan prinsip-prinsip pragmatik dan semantik sehingga<br />
interpretasi pemahaman maknanya dapat dimengerti secara tepat.<br />
27
Kajian atas <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB ini menggunakan<br />
teori fungsi <strong>bahasa</strong> yang dikemukakan oleh Leech (1977). Leech membedakan<br />
lima fungsi <strong>bahasa</strong>. Adapun perincian lima fungsi <strong>bahasa</strong> menurut analisis Leech,<br />
seperti berikut.<br />
a) Fungsi informasional merupakan fungsi <strong>bahasa</strong> bila penyampaiannya bersifat<br />
memberikan informasi tentang suatu hal dari penutur kepada mitra tuturnya.<br />
Orientasi fungsi ini mengarah kepada pokok persoalan.<br />
b) Fungsi ekspresif merupakan fungsi <strong>bahasa</strong> yang dapat dipakai untuk<br />
mengungkapkan perasaan dan sikap penuturnya, kata-kata sumpah serapah<br />
dan kata seru adalah contoh yang paling jelas dalam kategori ini. Orientasi<br />
fungsi ini mengarah kepada penutur atau penulis.<br />
c) Fungsi direktif merupakan fungsi <strong>bahasa</strong> dalam hal memengaruhi atau<br />
mengatur perilaku atau perasaan orang lain, seperti perintah, permohonan,<br />
lelucon dan ledekan. Fungsi kontrol sosial (dalam hal pesan yang<br />
disampaikan) lebih memberikan tekanan pada sisi penerima, bukan pada<br />
penutur.<br />
d) Fungsi phatik merupakan fungsi <strong>bahasa</strong> dalam hal untuk menjaga garis<br />
komunikasi atau hubungan sosial antara pembicara dan lawan tuturnya.<br />
Orientasi fungsi ini mengarah kepada sarana komunikasi.<br />
e) Fungsi estetik merupakan fungsi <strong>bahasa</strong> yang lebih menekankan unsur seni<br />
puitik atau estetik. Pada pertengahan tahun 1930-an Jan Mukarovsky<br />
merumuskan fungsi estetik <strong>bahasa</strong>, yaitu fungsi <strong>bahasa</strong> demi keindahan <strong>bahasa</strong><br />
itu sendiri dengan menjadikan <strong>bahasa</strong> sebagai <strong>permainan</strong> kata-kata, seperti<br />
28
dalam metafor, lelucon, dan ritme. Fungsi ini tidak diterapkan untuk kajian<br />
sastra saja, tetapi juga untuk <strong>bahasa</strong> sehari-hari (lihat Sibarani,2004:41--42).<br />
Orientasi fungsi <strong>bahasa</strong> ini mengarah pada penggunaan <strong>bahasa</strong> demi hasil<br />
karya itu sendiri dan tanpa maksud yang tersembunyi.<br />
Hubungan antara fungsi <strong>bahasa</strong> dengan orientasinya dapat dilihat dalam bagan 1<br />
berikut.<br />
Bagan 1 Hubungan antara Fungsi Bahasa dengan Orientasinya<br />
Penutur<br />
atau<br />
pembaca<br />
-----------SALURAN-----------<br />
PESAN<br />
--------------------------------<br />
Tentang<br />
POKOK PERMASALAHAN<br />
Pendengar<br />
atau<br />
pembaca<br />
Fungsi Ekspresif Phatik Informasional Estetik Direktif<br />
2.3.4 Teori Semiotik Sosial<br />
Konsep semiotik diturunkan dari konsep tanda (sign), tetapi menurut<br />
Halliday dan Hassan dan Ruqaiya Hasan (1989: 2--5) semiotik lebih luas daripada<br />
hanya menganalisis tanda, melainkan kajian tentang sistem tanda. Dengan kata<br />
lain, sebagai suatu kajian tentang makna dalam arti yang paling umum.<br />
Semiotik sosial lebih memfokuskan <strong>bahasa</strong> sebagai sistem tanda atau<br />
simbol yang sedang mengekspresikan nilai dan norma kultural dan sosial suatu<br />
masyarakat tertentu di dalam suatu proses sosial ke<strong>bahasa</strong>an (Santoso, 2003:6).<br />
29
Zamzamah (2000:1) menyatakan bahwa semiotika adalah ilmu tanda yang<br />
mempelajari fenomena sosial budaya.<br />
Dalam semiotika <strong>bahasa</strong> dilihat sebagai sistem makna yang diperoleh<br />
melalui jaringan suatu hubungan antara sistem sosiokultural suatu masyarakat dan<br />
sistem <strong>bahasa</strong> yang dipakainya. Oleh karena itu, dalam pendekatan ini<br />
kebudayaan menjadi sumber sistem makna. Dalam teori semiotik Halliday dan<br />
Hasan (1989) diungkapkan <strong>bahasa</strong> dianggap sebagai salah satu dari sejumlah<br />
sistem makna yang secara bersama-sama membentuk budaya manusia. Palmer<br />
(1996) menguraikan aspek-aspek makna terdiri atas empat aspek, yaitu tema<br />
”sense”, perasaan ”feeling”, nada ”tone”, dan tujuan ”intention”. Pengkajian<br />
makna pada hakikatnya berupa pendalaman ungkapan yang terikat<br />
penggunaannya pada kesempatan tertentu oleh individu tertentu dan antara<br />
komunitas ujaran tertentu. Artinya, mengkaji makna tidak semata-mata bersifat<br />
murni linguistik, tetapi dapat berupa kajian pragmatik yang berhubungan dengan<br />
kebudayaan.<br />
Istilah ’sosial’ menurut pandangan Halliday dan Ruqaiya Hasan (1989)<br />
dimaksudkan untuk mengemukakan dua hal secara bersama-sama, yakni sosial<br />
yang digunakan dalam arti sistem sosial yang dianggap bersinonim dengan<br />
kebudayaan sehingga batasan ’semiotik sosial’ yang dimaksud adalah sistem<br />
sosial atau kebudayaan sebagai suatu sistem makna. Halliday (1978) memaparkan<br />
elemen-elemen dalam semiotik sosial, yakni teks (text), situasi (situation), register<br />
(register), kode (code), sistem linguistik (linguistic system), dan struktur sosial<br />
30
(social structure) dalam masyarakat. Sistem makna dalam sebuah teks terdiri atas<br />
berikut ini.<br />
1. Makna pengalaman (experiential meaning). Sebuah teks, misalnya kalimat<br />
yang diujarkan penutur dapat dimengerti pendengar sebagai gambaran dari<br />
fenomena yang dapat dipandang mewakili dunia nyata sebagaimana diketahui<br />
melalui pengalaman kita. Dalam makna pengalaman ini <strong>bahasa</strong> dianggap<br />
merupakan cara berpikir atau <strong>bahasa</strong> sebagai pikiran.<br />
2. Makna antarpelibat (interpersonal meaning). Dalam makna antarpelibat<br />
kalimat dipandang dari sudut pandang fungsi dalam proses interaksi sosial.<br />
Kalimat ditafsirkan bukan sebagai sarana berpikir, melainkan sebagai sarana<br />
berbuat. Kalimat tidak hanya menyatakan kenyataan sesungguhnya, tetapi<br />
juga menyatakan interaksi antara pembicara dan pendengar. Jadi, dalam<br />
makna antarpelibat <strong>bahasa</strong> merupakan cara bertindak atau <strong>bahasa</strong> sebagai<br />
tindakan.<br />
3. Makna logis (logical meaning). Dalam setiap <strong>bahasa</strong> alami terdapat satu<br />
jaringan hubungan logis dan mendasar yang relatif kecil dan yang bukan<br />
merupakan hubungan logis yang formal, melainkan hubungan yang pada<br />
akhirnya merupakan sumber didapatkannya hubungan logis yang formal.<br />
Pemaknaan ini misalnya pada bentuk metafor yang menghubung bandingkan<br />
suatu referent secara logis.<br />
4. Makna tekstual (textual meaning). Makna yang menjadikan kalimat sebuah<br />
teks yang berbeda dengan yang terwujud, misalnya memaknai kalimat<br />
setingkat lebih jauh lagi, yakni dengan membahas intonasinya.<br />
31
Halliday dan Ruqaiya Hasan(1989:23) menyebutkan bahwa keempat unsur<br />
pemaknaan di atas semuanya akan terjalin dalam struktur wacana. Tidak ada<br />
kalimat ataupun wacana yang memiliki makna pengalaman saja, makna<br />
antarpelibat saja, makna logis saja, atau makna tekstual saja. Sebuah kalimat akan<br />
dapat dimaknai secara menyeluruh dengan pertama-tama dimaknai berdasarkan<br />
makna pengalaman, pengalaman akan suatu entitaslah yang menyebabkan penutur<br />
dapat mengungkapkannya dalam ber<strong>bahasa</strong>. Kalimat yang diutarakan penutur<br />
merupakan wakil dari gejala-gejala yang dapat dikenali. Kemudian dalam kalimat<br />
atau wacana yang dituturkan tersebut tentu melibatkan komponen-komponen<br />
pelibat, yakni penutur, lawan tutur, atau pihak ketiga sehingga dalam<br />
mengungkapkan sebuah tuturan pasti terjadi proses interaksi sosial yang<br />
melibatkan beberapa komponen pelibat tutur. Makna logis akan tampak saat<br />
menghubungbandingkan komponen-komponen dalam bentuk tuturan, hal yang<br />
paling nyata tampak pada bentuk-bentuk metafora. Namun, tidak saja metafora<br />
setiap bentuk kalimat atau wacana akan tampak makna logisya saat dilihat dari<br />
segi fungsi, berupa fungsi perintah, permintaan, atau penawaran yang secara<br />
umum dapat dianalisis dari komponen-komponen pembentuknya. Petutur dapat<br />
memaknai sebuh tuturan itu adalah sebuah permintaan atau penawaran atau fungsi<br />
lainnya yang tampak pada makna tekstual yang dihasilkan dari intonasi, struktur<br />
tematik, irama, dan pemusatan informasi.<br />
Dalam konteks kajian <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> sebagai fenomena kebudayaan,<br />
teori semiotik sosial diarahkan sebagai perspektif untuk menginterpretasikan nilai-<br />
nilai makna yang diperoleh masyarakat dari <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong><br />
32
WCB. Jadi, teori semiotik sosial lebih diarahkan untuk memahami dan<br />
menafsirkan makna-makna yang terkandung dalam kebudayaan yang dihasilkan<br />
dari konstruksi bentuk-bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB.<br />
2.4 Model Penelitian<br />
Berdasarkan permasalahan dan teori-teori yang telah dipaparkan di atas,<br />
model penelitian yang diajukan dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam<br />
bagan berikut ini.<br />
Teori Konstruksi<br />
Goldberg (2006)<br />
Bentuk<br />
Permainan Bahasa<br />
Permainan Bahasa<br />
Tokoh Punakawan WCB<br />
Linguistik Kebudayaan<br />
Teori Fungsi Bahasa<br />
Leech (1977)<br />
Fungsi Permainan<br />
Bahasa<br />
Temuan<br />
Pada penelitian ini <strong>permainan</strong>-<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> dalam<br />
sepuluh VCD WCB dijadikan acuan penelitian dengan menganalisis bentuk,<br />
fungsi, dan makna untuk memperoleh hubungan yang erat antara budaya dan<br />
<strong>bahasa</strong> masyarakat penutur yang dalam penelitian ini adalah masyarakat Bali<br />
karena dialog <strong>tokoh</strong> punakwan <strong>wayang</strong> tradisional merupakan manifestasi<br />
33<br />
Teori Semiotik<br />
Sosial Halliday<br />
(1978)<br />
Makna Permainan<br />
Bahasa dan Imajeri<br />
Budaya Masyarakat
pencerminan fenomena penggunaan <strong>bahasa</strong> suatu masyarakat dalam guyub tutur<br />
tertentu. Linguistik Kebudayaan menjadi payung penelitian ini yang membawahi<br />
teori-teori pendukung untuk menganalisis bentuk, fungsi, dan makna. Teori<br />
kontruksi Adele E. Goldberg (2006) digunakan untuk menganalisis bentuk-bentuk<br />
<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB, teori fungsi <strong>bahasa</strong> Leech (1977)<br />
digunakan dalam menganalisis fungsi-fungsi yang dihasilkan variasi bentuk<br />
<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> tersebut, dan teori Semiotik Sosial Halliday (1978) digunakan<br />
untuk menginterpretasi nilai-nilai makna sosial yang dihasilkan yang secara<br />
holistik menghasilkan temuan.<br />
34
3.1 Rancangan Penelitian<br />
BAB III<br />
METODE PENELITIAN<br />
Dalam penelitian <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB ini diterapkan<br />
pendekatan penelitian kualitatif dengan menggunakan kata-kata atau kalimat<br />
dalam suatu struktur yang logik untuk menjelaskan konsep-konsep dalam<br />
hubungan satu sama lain (Danandjaja, 1990: 96). Laporan hasil penelitian<br />
kualitatif bersifat deskriptif naratif (Moleong, 2001:14--16). Artinya, analisis data<br />
dilakukan dengan berbentuk deskripsi fenomena, bukan berupa angka-angka atau<br />
koefisien tentang hubungan antarvariabel atau tidak berupa gambar.<br />
Mekanisme kerja dalam penelitian ini adalah menganalisis <strong>permainan</strong><br />
<strong>bahasa</strong> pada dialog antar<strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> ber<strong>bahasa</strong> Bali dan <strong>bahasa</strong> Bali dengan<br />
campur kode <strong>bahasa</strong> lain, seperti <strong>bahasa</strong> Indonesia dan <strong>bahasa</strong> Inggris dalam<br />
pertunjukan WCB. Penganalisisan dilakukan dengan memilih beberapa sampel<br />
data <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang relevan dan mewakili data-data <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong><br />
lakon <strong>punakawan</strong> WCB seluruhnya. Dari situlah dijadikan titik tolak untuk<br />
memahami lebih lanjut bentuk-bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang disuguhkan,<br />
kemudian menelusuri fungsi dan makna yang terkandung di dalamnya sehingga<br />
ditemukan gambaran tentang cara pikir atau imajeri masyarakat Bali di tengah<br />
dinamika budaya yang terjadi saat ini.<br />
35
3.2 Jenis dan Sumber Data<br />
Moleong (2001: 112) menyebutkan ada dua jenis data dalam penelitian<br />
kualitatif, yakni berjenis kata-kata atau lisan dan tindakan. Untuk mendukung<br />
penelitian ini, data yang dikumpulkan menurut jenisnya adalah data lisan<br />
<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> lakon <strong>punakawan</strong> WCB.<br />
Menurut sumbernya, data <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB<br />
dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari sepuluh seri VCD<br />
WCB yang dipasarkan di masyarakat. VCD yang diamati adalah delapan seri<br />
judul WCB yang masing-masing terdiri atas tiga keping VCD yang diproduksi<br />
oleh Aneka Record, berjudul Katundung Ngada, Sutha Amerih Bapa, Tebu Sala,<br />
Gatutkaca Anggugah, Ludra Murti, Suryawati Ilang, Lata Mahosadhi dan<br />
Bimaniyu Makrangkeng serta dua seri judul VCD yang diproduksi oleh Bali<br />
Record berjudul Diah Ratna Takesi dan Kumbakarna Lina. Sumber data primer<br />
lainnya yang digunakan adalah data dari hasil wawancara atau keterangan dalang<br />
WCB (dalam hal ini I Wayan Nardayana) yang diperoleh di tempat tinggalnya Br.<br />
Batan Nyuh Kelod, Desa Batan Nyuh, Kecamatan Marga Tabanan, dan hasil<br />
wawancara masyarakat yang sudah beberapa kali menyaksikan WCB.<br />
3.3 Instrumen Penelitian<br />
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah VCD player yang<br />
digunakan dalam menyimak VCD WCB secara keseluruhan untuk memperoleh<br />
sinopsis cerita pada setiap judulnya, laptop untuk menyimak secara cermat dan<br />
mendalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB dalam setiap serinya,<br />
36
pedoman wawancara berupa daftar tanyaan, alat perekam, serta kaset yang<br />
digunakan untuk merekam wawancara dengan dalang dan masyarakat yang telah<br />
beberapa kali menonton pertunjukan WCB secara life ataupun menonton WCB<br />
dari VCD-nya. Daftar tanyaan untuk wawancara memerinci pertanyaan untuk<br />
menggali informasi tentang sumber-sumber data yang dipakai dalang WCB dalam<br />
menyusun dan memperoleh <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang disuguhkan. Hasil jawaban<br />
dalang dijadikan dasar ataupun bandingan dari analisis makna imajeri masyarakat<br />
Bali.<br />
3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data<br />
Dalam mengumpulkan data metode observasi digunakan paling awal<br />
untuk menemukan VCD-VCD WCB yang tersebar di pasaran dengan menyeleksi<br />
pemilihan VCD didasarkan atas keresmian VCD. Beberapa judul VCD WCB<br />
yang diperjualbelikan di pasaran diproduksi secara tidak resmi tanpa memiliki<br />
izin produksi sehingga dipilih 10 judul VCD WCB yang secara resmi diproduksi<br />
oleh Aneka dan Bali Record saja.<br />
Dalam penyediaan data metode simak dan cakap digunakan dalam<br />
penelitian ini. Sebagai sebuah metode penelitian <strong>bahasa</strong>, metode simak adalah<br />
pemerolehan data yang dilakukan dengan menyimak penggunaan <strong>bahasa</strong> dengan<br />
beberapa teknik dasar, seperti teknik sadap, teknik simak libat cakap, teknik<br />
simak bebas libat cakap, dan teknik catat (Mahsun, 2007:92--93). Dalam<br />
penelitian ini, data primer <strong>bahasa</strong> lisan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong><br />
WCB diperoleh dengan menyimak dan mencermati sepuluh rekaman VCD WCB<br />
37
erulang-ulang disertai dengan teknik catat dan teknik simak bebas libat cakap,<br />
selain mencatat data <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang ditemukan penyimakan rekaman ini<br />
dilakukan untuk menemukan sinopsis cerita setiap judul VCD.<br />
Dari keseluruhan <strong>bahasa</strong> verbal yang terdapat dalam rekaman pertunjukan<br />
WCB hanya data lisan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> oleh <strong>tokoh</strong>-<strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong>nya yang<br />
ditranskripsi ke bentuk tulisan karena penelitian ini berfokus pada <strong>permainan</strong><br />
<strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB saja. Data <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang ditranskripsi ke<br />
bentuk tulisan diseleksi dan dipilih sampel data yang menarik dan mewakili setiap<br />
jenis <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dalam dialog-dialog <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB dalam semua<br />
judulnya. Metode cakap digunakan dalam mewawancarai dalang dengan teknik<br />
pancing untuk memperoleh darimana dan bagaimana dalang WCB mendapat ide<br />
atau gagasan dalam <strong>permainan</strong>-<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong>nya. Di samping itu juga dalam<br />
mewawancarai masyarakat untuk memperoleh pandangannya terhadap <strong>permainan</strong><br />
<strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> dalam WCB.<br />
3.6 Metode dan Teknik Analisis Data<br />
Sebelum dianalisis, sampel data <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong><br />
diolah dengan mengecek semua sampel data <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang sudah<br />
disediakan sebelumnya berdasarkan konsep <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang digunakan.<br />
Kemudian dikelompokkan sesuai dengan masalah dan teori yang diaplikasikan.<br />
Dalam pengolahan data ini sampel data diklasifikasikan menurut<br />
pengklasifikasian jenis <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> untuk memudahkan pengujian hipotesis.<br />
38
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan analisis bersifat<br />
deskriptif dengan menggunakan metode padan, yakni metode analisis yang alat<br />
penentunya ditunjukkkan oleh <strong>bahasa</strong> itu sendiri atau referen <strong>bahasa</strong> (Sudaryanto,<br />
1992:13). Referen atau apa yang dibicarakan ditentukan identitasnya sesuai<br />
dengan standar atau pembaku dalam menentukan keselarasan, kesesuaian,<br />
kesepadanan. Metode padan ini dilakukan dengan teknik pilah unsur penentu,<br />
yakni memilah data sesuai dengan jenis penentu yang akan dipisah-pisahkan atau<br />
dibagi menjadi beberapa kategori sehingga disebut daya pilah referensial.<br />
Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis data ini adalah<br />
sebagai berikut.<br />
a. Menganalisis bentuk-bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dengan memilah struktur,<br />
pola, dan konstruksi yang ditemukan. Pemilahan ini disesuaikan dengan<br />
standar penyepadanan referen, yakni adanya unsure manipulasi bunyi dan<br />
leksikal, manipulasi dengan variasi kode dan kekreativan gaya <strong>bahasa</strong><br />
kemudian setelah menemukan bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dengan<br />
konstruksi secara umum, bentuk-bentuk ini dianalisis lagi secara spesifik<br />
dengan memilah-milah konstruksi dalam satu jenis bentuk sehingga<br />
ditemukan pengelompokan variasi bentuk yang lebih spesifik dengan<br />
menggunakan teori konstruksi Goldberg (2006).<br />
b. Menganalisis fungsi data <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dengan teori fungsi <strong>bahasa</strong><br />
Leech (1977), yakni didahului dengan mengumpulkan bentuk <strong>permainan</strong><br />
<strong>bahasa</strong> yang memiliki fungsi sama, memiliki fungsi ekspresif saja, atau<br />
informatif saja, atau kombinasi beberapa fungsi yang dipaparkan Leech<br />
39
(informatif, ekspresif, direktif, estetik, dan phatik) kemudian dibandingkan<br />
dan dihubungkan sehingga menghasilkan pengklasifikasian fungsi sosial.<br />
c. Menganalisis nilai-nilai makna sosial data <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dengan teori<br />
semiotik sosial menggunakan metode padan referensial dengan<br />
membandingkan referen-referen dengan konsep analogi dan interpretasi,<br />
kemudian disepadankan dengan cakupan makna yang harus ada dalam<br />
sebuah tuturan, yakni makna pengalaman, makna antarpelibat, makna<br />
logis, dan makna tekstual yang diajukan oleh Halliday (1978) sehingga<br />
menghasilkan beberapa nilai makna sosial yang berhubungan dengan<br />
kepercayaan atau ideologi dan kebiasaan masyarakat Bali.<br />
d. Menginterpretasi kaitan imajeri masyarakat Bali dengan leksikal-leksikal<br />
yang digunakan dalam memformulasikan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> oleh <strong>tokoh</strong><br />
<strong>punakawan</strong> WCB dalam bentuk, fungsi, dan kemaknaan data dengan daya<br />
pilah mental.<br />
3.6 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data<br />
Dalam metode penyajian hasil analisis penelitian ini digunakan metode<br />
formal dan informal. Metode formal menurut Arikunto (1989:196) adalah<br />
penyajian data berupa tabel, grafik, diagram, gambar, dan sebagainya. Dalam<br />
penelitian ini metode formal digunakan dalam menyajikan data bentuk <strong>permainan</strong><br />
<strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB dengan diagram, khususnya penyajian data<br />
<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> berdasarkan <strong>bahasa</strong> bersifat pelesetan dan figuratif.<br />
40
Metode informal adalah cara penyajian hasil pengolahan data dengan<br />
menggunakan kata-kata atau kalimat sebagai sarana (Sudaryanto, 1992:64).<br />
Metode informal dalam penelitian ini digunakan untuk menyajikan interpretasi<br />
dan analisis terhadap paradigma bentuk, fungsi, dan makna dengan penggunaan<br />
kata-kata atau kalimat.<br />
41
BAB IV<br />
BENTUK PERMAINAN BAHASA<br />
TOKOH PUNAKAWAN WAYANG CENK-BLONK<br />
4.1 Permainan Bahasa Tokoh Punakawan WCB dalam Bentuk Pelesetan<br />
Bahasa<br />
Bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB banyak ditemukan<br />
dalam pelesetan. Penggunaan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> berjenis pelesetan ternyata telah<br />
dikenal dalam budaya ber<strong>bahasa</strong> masyarakat Bali sejak dahulu. Hal ini tampak<br />
dalam kekreatifan ber<strong>bahasa</strong> yang sering disebut dengan bladbadan. Masyarakat<br />
Bali terutama zaman dahulu sangat sering menggunakan sinonim dari bladbadan<br />
yang dihasilkan sebagai pelesetan bentuk kata yang diasosiasikan dengan bentuk<br />
tandingannya (bentuk yang sebenarnya ingin diungkapkan). Fenomena <strong>bahasa</strong><br />
Indonesia yang semarak dengan <strong>bahasa</strong> pelesetan pada dekade ini juga mengambil<br />
andil dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB yang selalu mengikuti<br />
gejala <strong>bahasa</strong> yang terjadi dalam masyarakat, khususnya pada data yang<br />
menggunakan <strong>bahasa</strong> Bali dengan variasi kode sehingga ditemukan banyak data<br />
pelesetan <strong>bahasa</strong> yang digunakan.<br />
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional,<br />
2008: 845) dijelaskan bahwa ”pelesetan” berasal dari kata ”peleset” yang artinya<br />
tidak mengenai sasaran atau tidak mengenai apa yang dituju. ”Memelesetkan”<br />
berarti membuat sesuatu di luar yang sebenarnya, dan ”pelesetan” berarti hasil<br />
memelesetkan. Kendatipun secara teoretis pelesetan dimaknai sebagai sesuatu<br />
42
yang menyimpang dari sasaran, secara empirik substansi yang dikemukakan<br />
dalam banyak pelesetan sesungguhnya cukup menukik dan identik dengan<br />
substansi bentuk awalnya. Misalnya, pelesetan produk masyarakat ASMI<br />
(Akademi Sekretaris Manajer Indonesia) dipelesetkan menjadi Akademi Santapan<br />
Manajer Indonesia. Dalam pelesetan kepanjangan akronim ASMI, substansi<br />
’Sekretaris’ pada bentuk kepanjangan awal dipelesetkan dengan menggantinya<br />
menjadi ’Santapan’ yang identik terhadap fenomena sosial yang banyak terjadi<br />
pada bos ataupun manajer yang tertarik dengan sekretarisnya sehingga disebut<br />
menjadi santapan manajer.<br />
Sibarani (2002) membagi tujuh jenis pelesetan berdasarkan tingkat<br />
ke<strong>bahasa</strong>annya, yakni pelesetan fonologis, pelesetan grafis, pelesetan morfemis,<br />
pelesetan frasal, pelesetan kalimat, pelesetan ideologis, dan pelesetan wacana<br />
(diskursi). Dalam penelitian ini ditemukan jenis-jenis pelesetan menurut Sibarani,<br />
kecuali jenis pelesetan frasal dan pelesetan wacana. Pelesetan frasal, yakni<br />
pelesetan kelompok kata dengan cara menjadikannya sebagai singkatan berupa<br />
akronim. Misalnya frasa ‘botol lampu’ dipelesetkan menjadi ‘Bodoh TOLol<br />
LAMbat PUla’ (Sibarani, 2004: 97).<br />
Pelesetan merupakan salah satu bentuk linguistik yang strukturnya tidak<br />
biasa (unusual pattern) dan untuk menentukan bentuk-bentuknya dapat dianalisis<br />
dengan teori konstruksi Goldberg (2006). Dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong><br />
<strong>punakawan</strong> WCB berjenis pelesetan, bentuk pelesetan fonologis yang paling<br />
banyak ditemukan.<br />
43
4.1.1 Bentuk Pelesetan Fonologis<br />
Sibarani (2004:95) menyebutkan pelesetan fonologis (bunyi), yakni<br />
pelesetan sebuah fonem atau lebih dalam leksikon. Misalnya pada data SI 3b yang<br />
merupakan bentuk pelesetan fonologis atau bunyi pada sebuah kata /emosi/ yang<br />
dipelesetkan dengan /erosi/ berikut ini.<br />
SI 3b (01 :34)<br />
Sukir : /ratu p↔rand↔ jaNan erosi/ ‘Ratu Peranda jangan erosi<br />
!’<br />
Tualen : /emosi/ ‘emosi!’<br />
Sukir : /eh a↔ emosi/ ‘oh iya emosi’<br />
Bentuk emosi mengalami pemelesetan secara langsung menjadi erosi<br />
dengan perubahan bentuk kata secara kontraksi atau perubahan fonem /m/<br />
menjadi /r/. Konstruksi pelesetan ini terbentuk dari berubahan bentuk kata akibat<br />
terjadinya perubahan bunyi. Bentuk emosi dan erosi memiliki bunyi yang mirip.<br />
Namun, dengan perubahan salah satu fonemnya, yakni fonem /m/ menjadi fonem<br />
/r/ menyebabkan makna kedua bentuk tersebut sangat jauh berbeda. Konstruksi<br />
perubahan bentuk yang terjadi dengan pelesetan sebuah kata dengan kata lainnya<br />
yang memiliki bentuk atau bunyi mirip segera merekonstruksi imajeri pendengar<br />
dan menghasilkan efek-efek yang menyebabkannya tertawa karena tersadar<br />
adanya penyimpangan dari bentuk konvensionalnya. Efek-efek inilah yang<br />
menjadi acuan utama dari konstruksi <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong>. Data LMur 9b berikut ini<br />
juga memperlihatkan bentuk pelesetan fonologi.<br />
Sangut : /oh m↔g↔ndiN bebas/ ‘oh… lagu bebas…’<br />
Delem : /bebas/ Bebas !<br />
LMur 9a Sangut : /↔mpop dadi/ Empop boleh?<br />
44
Delem : /NoraN pop gen ↔mpop pop/ me nyebut POP saja<br />
EMPOP POP!!’<br />
Sangut : /o pop/ ‘O… Pop ?’<br />
Delem : /bebas pop bebas/ ‘Bebas! Pop bebas!’<br />
Sangut : /rok/ ‘Rock ?’<br />
Delem : /bebas/ ‘bebas!!’<br />
Sangut : /jas/ ‘Jas ?’<br />
Delem : /g↔g↔ndinN ap↔ soroh p↔NaNgo soroh pakaian ne<br />
suwud pop rok jas jess / ‘lagu apa berjenis pakaian?<br />
Setelah pop, rok, jas… jezz!!!<br />
Pada data di atas terjadi konstruksi pelesetan sebuah kata dengan<br />
memelesetkan bunyi /pop/ menjadi /↔mpop/ dengan penambahan fonem /↔/<br />
dan /m/ pada awal kata dan dilanjutkan dengan pelesetan bunyi /jes/ dari kata<br />
‘jezz’ menjadi /jas/. Kata-kata itu seolah-olah menyebutkan nama-nama pakaian,<br />
yakni rok (jenis pakaian bawah wanita), jas (jenis pakaian pria), dan pop (jenis<br />
celana pendek di bawah lutut untuk wanita). Konstruksi pelesetan ini akan<br />
membawa imajeri pendengar terhadap jenis-jenis pakaian dan menyandingkannya<br />
dengan jenis-jenis musik yang bentuk lingualnya memiliki bunyi yang mirip<br />
dengan pelafalan jenis-jenis pakaian tersebut. Jenis data pelesetan /jes/ menjadi<br />
/jas/ memiliki bentuk yang sama dengan pelesetan /emosi/ menjadi /erosi/ yang<br />
dihasilkan dari proses perubahan atau pergantian fonem (kontraksi).<br />
Data DRT 15 juga merupakan bentuk pelesetan fonologis dengan proses<br />
perubahan bentuk karena perubahan fonem, yakni pada sebuah kata /m↔ntul/<br />
yang dipelesetkan dengan /b↔ntul/ berikut ini.<br />
DRT 15a Delem : /roko biru/ ‘rokok biru’<br />
Nyoman : /napi punik↔/ ‘apa itu?’<br />
Delem : /ane m↔ntul tunas titiyaN/ ‘yang menonjol aku minta’<br />
45
Konsep awal pelesetan adalah terjadinya penyimpangan dari sasaran atau<br />
ide awal. Ide awal yang dimaksud <strong>tokoh</strong> Delem adalah bentuk kata<br />
/m↔ntul/. Namun, dengan terlebih dahulu menggunakan bentuk <strong>permainan</strong><br />
<strong>bahasa</strong> yang dikenal dengan bladbadan, <strong>tokoh</strong> Delem memelesetkan kata yang<br />
seharusnya dikatakan /m↔ntul/ menjadi /b↔ntul/ yang sebelumnya dihasilkan<br />
dari pengutaraan bladbadan /roko biru/. Pengutaraan frasa roko biru sebenarnya<br />
digunakan untuk mengurangi kesan vulgar atau jorok kata /m↔ntul /. Namun,<br />
pada dialog <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> di atas, Delem tetap mengutarakan bentuk yang<br />
ingin diutarakan dari <strong>permainan</strong> frasa roko biru dengan membuat seolah-olah<br />
lawan tutur <strong>tokoh</strong> Delem tidak mengerti dengan maksud Delem sehingga ia<br />
bertanya kembali apa maksudnya. Tokoh Delem menjawab dengan bentuk<br />
sebenarnya dari <strong>permainan</strong> kata-katanya untuk efek melucu dan dengan tujuan<br />
yang bersifat reseptif <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB menggiring imajeri penonton untuk<br />
membandingkan hasil bentuk <strong>permainan</strong> kata-katanya /b↔ntul/ ‘Bentoel’ yang<br />
merupakan sinonim bladbadan roko biru dengan /m↔ntul/. Bladbadan adalah<br />
sebuah bentuk frasa atau kalimat untuk menyatakan atau mengacu bentuk lingual<br />
tertentu dan mengalami perubahan atau pemuluran (Ginarsa, 1985). Pemuluran<br />
dan perubahan bentuk terjadi dengan pemuluran bunyi atau penambahan bunyi<br />
fonem. Untuk menyebutkan kata /m↔ntul/ yang dalam imajeri masyarakat Bali<br />
diasosiasikan dengan alat vital atau kemaluan wanita, <strong>tokoh</strong> Delem<br />
memelesetkannya dengan mencari kata yang bunyinya mirip, yakni kata<br />
/b↔ntul/ 'Bentoel' yang diperoleh dari /m↔roko biru/ yang merupakan lebel rokok<br />
46
erwarna kemasan biru yang terkenal dengan sebutan ‘Bentoel Biru’. Ide bentuk<br />
awal /m↔ntul/ dipelesetkan dengan frasa yang mengacu pada bentuk<br />
/b↔ntul/ mengalami proses penggantian fonem /m/ menjadi /b/ yang sama-sama<br />
tergolong bilabial. Bentuk /b↔ntul/ 'Bentoel' merupakan sinonim bladbadan<br />
maroko biru. Saat menyebut bentuk /m↔ntul/ <strong>tokoh</strong> Delem mengonstruksi<br />
imajeri pendengar, membangkitkan dan mengembangkan imajerinya dan mencari-<br />
cari bentuk yang memiliki bunyi yang mirip dengan bentuk sandingannya<br />
/m↔ntul/ yang berkaitan atau bersinonim dengan maroko biru dan segera<br />
menemukan bentuk sinonim tersebut berdasarkan pengalaman-pengalaman atau<br />
pengetahuannya.<br />
Contoh data SAB 11a juga menjadi bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang<br />
menarik, yakni kata /boNol/ yang dipelesetkan menjadi /beNol/ yang merupakan<br />
satuan uang dengan nomina dua setengah sen dalam <strong>bahasa</strong> Bali.<br />
SAB 11a Sangut : /kupiN duaN sen t↔Nah / ’ telinga dua setengah sen’<br />
Delem : /eNken / ‘bagaimana?’<br />
Sangut : /beNol / ‘bengol: dua setengah sen’<br />
Ide awal yang diungkapkan <strong>tokoh</strong> Sangut adalah menyebut telinga Delem yang<br />
bongol ‘tuli’. Akan tetapi, dipelesetkan menjadi bentuk bengol yang merupakan<br />
sinonim bladbadan ‘duang sen tengah’. Bentuk bengol yang diutarakan <strong>tokoh</strong><br />
Sangut merujuk pada kata yang mirip dengan bentuk lingual yang dimaksud<br />
bongol dengan pemelesetan bunyi /o/ menjadi /e/. Sinonim bladbadan duang sen<br />
tengah, yakni /beNol/ diasosiasikan dengan bentuk /boNol/ karena bunyinya yang<br />
mirip. Penyebutan langsung sinonim bladbadan kuping duang sen tengah, yakni<br />
47
eNol/ mengonstruksi imajeri pendengar dengan mencari bentuk tandingan yang<br />
memiliki bunyi mirip dengan sinonim bladbadan tersebut. Tentunya imajeri<br />
masyarakat akan langsung dapat menangkap maksud yang sebenarnya diacu,<br />
yakni /bongol/ ‘tuli’ yang memiliki bunyi mirip karena berhubungan secara logis<br />
dengan kuping ‘telinga’. Bladbadan kerap kali digunakan oleh masyarakat Bali<br />
(terutama pada zaman dahulu) dengan cara menyebutkan referen berbeda untuk<br />
maksud yang berbeda, tetapi kedua hal berbeda tersebut memiliki bentuk<br />
linguistik yang hampir sama.<br />
Berikut ini adalah tabel-tabel yang memperlihatkan beberapa contoh data<br />
yang diperoleh dari <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> bentuk pelesetan fonologis dengan proses<br />
pembentukan secara kontraksi atau pergantian fonem.<br />
Tabel 4.1 Pelesetan Bunyi dengan Proses Kontraksi (Perubahan Fonem)<br />
No<br />
Data<br />
Konstruksi<br />
Proses<br />
Pembentukan<br />
Bentuk<br />
Awal<br />
Bentuk Pelesetan<br />
SAB<br />
10a<br />
Pelesetan Langsung fonem fonem<br />
lain<br />
/i/ /a/<br />
/panc↔ sil<br />
↔/<br />
/panc↔ sal↔/<br />
LM<br />
22<br />
Pelesetan Langsung fonem fonem<br />
lain<br />
/p/ /m/<br />
/s↔nam poc<br />
o-poco/<br />
/s↔nam mocomoco/<br />
LMur<br />
9b<br />
Pelesetan Langsung fonem fonem<br />
lain /e/ /a/<br />
SI 2 Pelesetan Langsung fonem fonem<br />
lain<br />
/a/ /u/<br />
SI 3b Pelesetan Langsung fonem fonem<br />
lain<br />
/m/ /r/<br />
‘jezz’ /jes/ /jas/<br />
/sakir/ /sukir/<br />
/emosi/ /erosi/<br />
48
Tabel 4.2 Pelesetan Bunyi Sinonim Bladbadan dengan Proses Kontraksi<br />
No<br />
Data<br />
DRT<br />
15a<br />
SAB<br />
11a<br />
SAB<br />
11b<br />
Konstruksi<br />
Bladbadan + sinonim<br />
Meroko biru ‘Bentoel’<br />
Bladbadan + sinonim<br />
Kuping duang sen tengah<br />
Bengol<br />
Bladbadan + sinonim<br />
gigi keliling kota pawai<br />
Bentuk<br />
Sinonim<br />
Bentuk<br />
Tandingan<br />
49<br />
Proses<br />
Pembentukan<br />
Pelesetan<br />
/b↔ntul/ /m↔ntul/ fonem fonem lain<br />
/m/ /b/<br />
/bengol/ /boNol/ fonem fonem lain<br />
/o/ /e/<br />
/pawae/ /pawah/ fonem fonem lain<br />
/h/ /e/<br />
Contoh bladbadan juga terdapat pada pelesetan fonologis berbentuk<br />
penyisipan fonem /m/ pada kata /s↔prit/ ‘sprite’, yakni salah satu lebel minuman.<br />
Berikut ini adalah percakapan antara Delem dan Sangut saat Delem<br />
menyombongkan dirinya dengan bercerita tentang menu sarapannya sehari-hari.<br />
(16:38) Sangut : /ap↔ air minum ne / ‘apa air minumnya?’<br />
SAB 6b Delem : /ak↔dis p↔tiNan poleN / ‘burung pipit berwarna hitam<br />
putih’<br />
Sangut : /ap↔ to / ‘apa itu?’<br />
SAB 6c Delem : /↔ s↔mprit / ‘ee.. Semprit’<br />
Sangut : /s↔prit / ‘Sprite!’<br />
Delem : /α↔ α↔ s↔prit / ’ya... ya... Sprite’<br />
Semprit adalah nama kue yang terbuat dari tepung yang digoreng (Kamus Bali-<br />
Idonesia, 1978: 516). Bladbadan /ak↔dis p↔tiNan poleN / ’burung sejenis<br />
burung Pipit yang berwarna hitam-putih’ bersinonim dengan burung yang dikenal<br />
masyarakat Bali dengan P↔rit yang biasanya dilafalkan /prit/. Bentuk awal yang<br />
ingin diungkapkan adalah minuman berlabel Sprite /s↔prit / yang dikenal<br />
masyarakat sebagai minuman bersoda berkadar ringan. Pada data <strong>permainan</strong><br />
<strong>bahasa</strong> di atas <strong>tokoh</strong> Delem memelesetkan bentuk /s↔prit/ sebanyak dua kali.
Pertama, dengan menyebut bladbadan akedis petingan poleng yang bersinonim<br />
dengan /prit/. Kedua, dengan mendengar Delem memelesetkannya menjadi<br />
bentuk s↔mprit secara langsung mengonstruksi imajeri pendengar dan<br />
mengasosiasikannya dengan bentuk Sprite /s↔prit / yang identik dengan minuman.<br />
Penekanan bentuk tandingan Sprite /s↔prit / yang disebut Sangut untuk<br />
mengoreksi bentuk yang diucapkan Delem dapat membangkitkan imajeri<br />
masyarakat terhadap burung /prit/ yang memiliki bunyi mirip dengan<br />
/s↔prit /dengan pelesapan bunyi /s/ dan /↔/ ataupun bentuk /s↔mprit / dengan<br />
pemelesetan bunyi melalui proses penyisipan fonem /m/.<br />
Pemelesetan bunyi dengan penambahan atau penyisipan fonem juga<br />
terdapat dalam data TS 3d, yakni kata /p↔rigi / yang seharusnya /p↔rgi/. Pada<br />
data tersebut <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB menyebut bentuk kata pergi dengan<br />
pemelesetan menggunakan bladbadan /m↔titi batu/ ‘berjalan batu’ yang dalam<br />
budaya Bali jalan setapak yang terdiri atas batu-batu kerikil dikenal dengan<br />
sebutan perigi /p↔rigi/. Bentuk /p↔rigi/ diasosiasikan dengan kata pergi karena<br />
bunyinya yang mirip. Pemelesetan bunyi dengan terlebih dahulu menggunakan<br />
bladbadan dalam penyepadanan kata-kata yang memiliki bentuk mirip sebagai<br />
pelesetan cukup banyak ditemukan dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong><br />
WCB, misalnya sebagai berikut.<br />
SAB 11b: Bladbadan gigi keliling kota dianggap bersinonim dengan<br />
pawai. Bentuk tandingannya baru bisa disadari pendengar setelah bentuk<br />
sinonimnya disebutkan, yaitu pawai dengan pelafalan /pawae/. Bentuk /pawae/<br />
50
mengonstruksi imajeri pendengar untuk mencari bentuk tandingannya dan segera<br />
disadari menjadi suatu yang jenaka ketika bentuk tandingannya dikaitkan dengan<br />
gigi, yakni bentuk pawah ‘ompong’. Bentuk sinonim bladbadan diasosiasikan<br />
dengan bentuk awal atau bentuk tandingan yang dimaksud. Bladbadan yang<br />
secara kreatif diutarakan <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> inilah digunakan untuk memelesetkan<br />
bentuk kata yang sebenarnya diacu, yakni kata /pawah/ yang memiliki bunyi<br />
mirip dengan /pawae/. Pada data ini terjadi proses kontraksi antara fonem /h/ dan<br />
/e/.<br />
SAB 11c: Bladbadan bok suba Airport Ngurah Rai ‘rambut sudah Airport<br />
Ngurah Rai’ digunakan dalam memelesetkan kata uban (rambut yang telah<br />
memutih). Airport Ngurah Rai berasosiasi dengan lokasi airport tersebut, yakni<br />
di daerah Tuban, dengan menyebut akan ke Tuban asosiasi masyarakat Bali sudah<br />
tertuju pada Airport Ngurah Rai. Dengan menyebut sinonim dari bladbadan<br />
tersebut, yakni Tuban pendengar langsung dapat mengetahui bentuk tandingannya<br />
dengan mengaitkan bok ‘rambut’ dengan hal-hal yang berkaitan dengan rambut<br />
yang memiliki bunyi mirip dengan tuban. Uban dipelesetkan dengan Tuban<br />
karena bunyinya yang mirip dengan penambahan fonem dental /t/ pada awal kata.<br />
LM 11: Bladbadan angkihne suba telung dasa lima (napasnya sudah tiga<br />
puluh lima). Sinonim telung dasa lima adalah sasur. Dengan mengaitkan sinonim<br />
bladbadan ini dengan angkihne ‘napasnya’ imajeri pendengar akan tertuju pada<br />
bentuk tandingan yang merupakan maksud awal yang sebenarnya ingin<br />
diungkapkan. Tokoh <strong>punakawan</strong> WCB memformulasikan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang<br />
mengacu pada bentuk lingual yang menyerupai kata ngangsur. Bentuk telung<br />
51
dasa lima digunakan dalam memelesetkan bentuk ngangsur (terengah-engah).<br />
Dengan terlebih dahulu menggunakan bladbadan yang sinonimnya diasosiasikan<br />
dengan bentuk awal atau bentuk tandingannya, kata sasur diasosiasikan dengan<br />
ngangsur. Bentuk sasur merupakan pelesetan kata ngangsur yang dipelesetkan<br />
dengan proses pelesapan awalan sengau atau nasal /N/ dan penambahan fonem /s/.<br />
TS 3c: Boreh kayu, yang bersinonim dengan cat digunakan untuk<br />
memelesetkan kata /p↔cat↔/ ‘dipecat’. Boreh adalah racikan rempah seperti lulur<br />
yang digunakan masyarakat Bali dengan melumurkannya pada tubuh untuk<br />
menghangatkan tubuh. Jika telah mongering, boreh akan berwarna putih seperti<br />
cat sehingga masyarakat Bali menganalogikan cat dengan boreh, tetapi bedanya<br />
cat digunakan untuk melumuri kayu. Kata /p↔cat↔/ ‘dipecat’ dipelesetkan dengan<br />
bladbadan boreh kayu yang bersinonim dengan kata /cat/ kemudian diasosiasikan<br />
dengan bentuk /p↔cat↔/ dengan pelesapan afiks pada awal dan akhir kata.<br />
TS 3e: M↔odol Bali, yakni sisig yang kemudian digunakan sebagai<br />
pelesetan kata sigsigan ‘terisak-isak’. Meodol berasal dari kata odol ‘pasta gigi’.<br />
Meodol berarti berodol atau berpasta gigi. Masyarakat Bali pada zaman dahulu<br />
menggunakan sisig ‘sugi atau tembakau’ untuk membersihkan giginya. M↔odol<br />
Bali berarti ‘berpasta gigi ala Bali’, yang bersinonim dengan sisig. Bentuk<br />
bladbadan ini digunakan untuk menyandingkan bentuk tandingan yang dimaksud,<br />
yakni kata /sigsigan/. Dengan menyebut bentuk tandingan /sigsigan/, bentuk<br />
tersebut mengonstruksi kembali imajeri masyarakat pada kata atau bentuk yang<br />
mirip dengan bunyi tandingannya. Imajeri pendengar berkembang hingga<br />
menemukan bentuk dengan bunyi yang mirip dengan bentuk tandingan /sigsigan/<br />
52
yang terkait dengan bladbadan maodol Bali, yakni /sisig/ dan akhirnya menyadari<br />
sinonim bladbadan maodol Bali tersebut. Bentuk sigsigan dipelesetkan dengan<br />
hasil bladbadan M↔odol Bali ‘sisig’ yang mengalami pelesapan fonem velar /g/<br />
pada tengah kata dan afiks –an pada akhir kata.<br />
Selain menggunakan bladbadan dalam membuat pelesetan bunyi, <strong>tokoh</strong><br />
<strong>punakawan</strong> WCB juga banyak melakukan pemelesetan, baik kata maupun frasa,<br />
secara langsung dengan proses perubahan secara kontraksi (perubahan atau<br />
pergantian fonem), reduksi (pengurangan fonem dalam suatu kata), metatesis<br />
(perubahan kata karena pertukaran letak fonem-fonemnya), dan adisi<br />
(penambahan fonem).<br />
Data BM 19 merupakan pelesetan yang dibuat karena kebiasaan<br />
masyarakat Bali dalam melafalkan kata dengan melesapkan fonem /h/ di tengah,<br />
misalnya kata ngembahin ‘membuka’ biasanya akan dilafalkan /N↔mbain/,<br />
/siahan/ ‘belahan rambut’ akan dilafalkan /siaan/. Kata /balian-balian/ ‘dukun-<br />
dukun’ merupakan pelesetan dari kata balihan-balihan ‘tontonan-tontonan’ yang<br />
diutarakan <strong>tokoh</strong> Delem dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong>nya berkaitan dengan kebiasaan<br />
masyarakat Bali dalam mengucapkan kata yang memiliki fonem /h/ pada tengah<br />
kata yang ternyata menimbulkan makna sangat jauh berbeda sehingga<br />
menimbulkan candaan yang menarik.<br />
BM 19 (47:56)<br />
Delem : /kayaN ne Nut kayaN kaka Nanten ne Nut bulan pituN dina j↔g<br />
balian-baliane undaN / ‘suatu saat Ngut, saat nanti aku menikah Ngut, satu<br />
bulan tujuh harinya dukun-dukun undang!’<br />
Sangut : /nyen g↔l↔m / ‘siapa yang sakit?’<br />
Delem : /nyen g↔l↔m / ‘siapa yang sakit?’<br />
Sangut :/NudiaN NundaN balian-balian / ‘kenapa mengundang dukun- dukun ?’<br />
53
Delem : /k↔s↔nianne ↔nto / ‘kesenian itu!!’<br />
Sangut : /balih balihan j↔g balian balian ne / ‘tontonan! dukun-dukun…’<br />
Dari contoh-contoh di atas ditemukan <strong>permainan</strong> bentuk pelesetan bunyi<br />
secara bertahap dan secara langsung. Pelesetan bunyi yang mengalami proses<br />
secara bertahap maksudnya sebelum terjadi perubahan bentuk kata atau frasa<br />
didahului dengan bladbadan yang berorientasi pada bentuk sinonimnya untuk<br />
disandingkan dengan bentuk tandingannya yang merupakan bentuk awal atau ide<br />
awal yang ingin disampaikan penuturnya. Sebaliknya, pelesetan secara langsung<br />
adalah pelesetan yang secara langsung diakibatkan oleh terjadinya perubahan<br />
bunyi kata atau frasa karena proses perubahan bentuk, seperti kontraksi, reduksi,<br />
metatesis, atau adisi. Beberapa contoh data <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong><br />
WCB berjenis pelesetan fonologis dengan pelesapan fonem dan penambahan<br />
fonem dapat dilihat pada tabel-tabel berikut ini.<br />
Tabel 4.3 Pelesetan Bunyi dengan Proses Reduksi (Pelesapan Fonem)<br />
No<br />
Data<br />
SAb<br />
28<br />
BM<br />
19<br />
Konstruksi<br />
Pelesetan Langsung<br />
/d/ Ο<br />
Pelesetan Langsung<br />
/h/ Ο<br />
Proses<br />
Pembentukan<br />
Pelesapan<br />
fonem /d/<br />
Pelesapan<br />
fonem /h/<br />
54<br />
Bentuk Awal Bentuk Pelesetan<br />
/mata budaya/ /mata buaya/<br />
/balihanbalihan/<br />
Tabel 4.4 Pelesetan Bunyi Sinonim Bladbadan dengan Proses Reduksi<br />
No<br />
Data<br />
LM<br />
28a<br />
TS<br />
3c<br />
Konstruksi<br />
Bladbadan + sinonim<br />
luar negri tepuk ’Brazil’<br />
Bladbadan + sinonim<br />
maboreh kayu cat<br />
Bentuk<br />
Sinonim<br />
Bentuk<br />
Tandingan<br />
/brasil/ ‘berhasil’<br />
/b↔rhasil/<br />
/cat/ ‘pecata’<br />
/p↔cat↔/<br />
/balian-balian/<br />
Proses<br />
Pembentukan<br />
Pelesetan<br />
Pelesapan fonem<br />
/↔/ dan /h/<br />
Pelesapan fonem<br />
/p/ dan /↔/
TS<br />
3d<br />
SAB<br />
6c<br />
Bladbadan + sinonim<br />
maodol Bali Sisig<br />
Bladbadan + sinonim<br />
akedis petingan<br />
polengPerit<br />
55<br />
/sisig/ /sigsigan/ Pelesapan fonem<br />
/g/, /a/ dan /n/<br />
/prit/ ‘sprite’/s Pelesapan fonem<br />
↔prit/ /s/ dan /↔/<br />
Tabel 4.5 Pelesetan Bunyi dengn Proses Adisi (Penambahan/Penyisipan Fonem)<br />
No<br />
Data<br />
Konstruksi<br />
Proses<br />
Pembentukan<br />
Bentuk<br />
Awal<br />
Bentuk<br />
Pelesetan<br />
SAB 2c Pelesetan Langsung Penyisipan /bwah/ buah ‘buah’<br />
fonem /u/<br />
/buwah/<br />
SAB Pelesetan Langsung Penyisipan /swah/ Suah ‘sisir’<br />
2d<br />
fonem /u/<br />
/suwah/<br />
SAB 3a Pelesetan Langsung Penyisipan Beliau /b↔lilalo/<br />
fonem /l/ dan<br />
/o/<br />
/b↔lio/<br />
KL 8b Pelesetan Langsung Penyisipan<br />
fonem /a/<br />
/pon/ /paon/<br />
LMur Pelesetan Langsung Penambahan /pop/ /↔mpop/<br />
9a<br />
fonem /↔/ dan<br />
/m/<br />
BM Pelesetan Langsung Penambahan Kak Angku /kak aNkuk/<br />
21a<br />
fonem /k/ /kak aNku/<br />
Tabel 4.6 Pelesetan Bunyi Sinonim Bladbadan dengan Proses Adisi<br />
No<br />
Data<br />
SAB<br />
8b<br />
SAB<br />
11c<br />
(Penambahan/Penyisipan Fonem)<br />
Konstruksi<br />
Bladbadan + sinonim<br />
Sembilan satu sepuluh<br />
Bladbadan + sinonim<br />
Bok suba Airport Ngurah Rai<br />
Tuban<br />
Bentuk<br />
Sinonim<br />
Bentuk<br />
tandingan<br />
Proses<br />
Pembentukan<br />
Pelesetan<br />
/s↔puluh/ /s↔uluh/ Penyisipan fonem<br />
/p/<br />
/tuban/ /uban/ Penambahan<br />
fonem /t/<br />
Telah disebutkan sebelumnya dalam memelesetkan kata atau frasa secara<br />
fonologis <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB juga menggunakan <strong>permainan</strong> dengan menukar<br />
posisi fonem dalam satu kata atau frasa dalam membentuk kata atau frasa lain
sebagai pelesetan dari bentuk awalnya. Perubahan bentuk kata menjadi bentuk<br />
lain yang dipelesetkan dengan pergantian posisi fonem dapat dilihat pada data KN<br />
2 berikut ini.<br />
(37:45)<br />
Sangut : /to liu baroN di pasar di sukawati siN ad↔ nak<br />
maktinin/ ‘itu ada banyak barong di pasar Sukawati tidak<br />
ada orang yang menyembah’<br />
Delem : /adi siN ad↔ / ‘mengapa tidak ada?’<br />
Sangut : /to nak baroN kal m↔ad↔p / ‘itu barong yang akan dijual’<br />
Delem :<br />
/sub↔ lantas m↔b↔li baroNe to ab↔ ↔ k↔ pur↔, pas<br />
upati ↔<br />
to madan sakral/ ‘setelah dibeli barong itu akan dibawa ke<br />
pura, disucikan, itu namanya sakral’<br />
Sangut : /saklar/ ‘saklar?’<br />
Delem : /sakral saklar…/ ‘sakral!! saklar….’<br />
Memelesetkan kata dengan bentuk menukar posisi dua fonem yang memiliki fitur<br />
distingtif yang sama seperti pada /saklar/ dan /sakral/ menjadi <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong><br />
yang cukup menghasilkan wacana candaan yang menarik. Segmen alir /l/ dan /r/<br />
memiliki fitur yang sama, yakni /+lateral/ sehingga dalam pengucapannya, banyak<br />
masyarakat yang sering salah ucap dan bisa dijadikan lelucon.<br />
Tabel 4.7 Pelesetan Bunyi dengan Proses Metatesis (Pertukaran Fonem)<br />
No<br />
Data<br />
Konstruksi<br />
Proses<br />
Pembentukan<br />
Bentuk<br />
Awal<br />
Bentuk<br />
Pelesetan<br />
KN 2 Pelesetan Langsung Pertukaran fonem<br />
/l/ dan /r/<br />
/sakral/ /saklar/<br />
Pada data <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> bentuk pelesetan juga ditemukan proses<br />
pembentukan perubahan kata yang terjadi karena lebih dari satu proses. Data LM<br />
11 berikut ini memperlihatkan bentuk pelesetan secara bertahap dengan terlebih<br />
56
dahulu melalui bladbadan kemudian proses perubahan bentuknya terjadi, baik<br />
secara adisi maupun reduksi secara bersamaan.<br />
LM 11<br />
Tualen : /waduh k↔puN↔ nanaN teluN das↔ lim↔ aNkihe/ ‘waduh ayah<br />
dikejar hingga napas tiga puluh lima’<br />
Mredah : /eNken/ ‘bagaimana ?’<br />
Tualen : /NaNsur/ ‘terengah-engah’<br />
Bladbadan /teluN das↔ lim↔ aNkihe/ mengacu pada bentuk ide awal ngangsur<br />
‘terengah-engah’ yang memiliki bunyi yang mirip dengan sasur yang merupakan<br />
satuan nomina dari tiga puluh lima atau telung dasa lima. Bentuk /NaNsur/<br />
dipelesetkan menjadi /sasur/ dengan proses kontraksi penyisipan fonem /s/ pada<br />
tengah kata dan proses adisi dengan pelesapan fonem sengau /N/ pada awal kata<br />
dan tengah kata.<br />
Tabel 4.8 Pelesetan Bunyi Sinonim Bladbadan dengan Proses Penyisipan dan<br />
No<br />
Data<br />
LM<br />
11<br />
Pelesapan Fonem<br />
Konstruksi<br />
Bladbadan + sinonim<br />
Angkihne telung dasa lima<br />
sasur<br />
57<br />
Bentuk Bentuk Proses Pembentukan<br />
Sinonim Tandingan Pelesetan<br />
/sasur/ /NaNsur/ Penyisipan fonem /s/<br />
Pelesapan fonem /N/<br />
Data KL 8a juga memperlihatkan proses perubahan bentuk dengan terlebih<br />
dahulu melalui bladbadan yang mengakibatkan terjadi proses penyisipan dan<br />
metatesis.<br />
KL 8a<br />
Tualen : /nanaN siN Nawag Nawag Nardi panak m↔kere nanaN Nardi pianak<br />
ke griya nanaN taNkil/ ‘ayah tidak seenaknya membuat anak, ke gria<br />
ayah datang’
Mredah : /ap↔ alih/ ‘ apa dicari di sana?’<br />
Tualen : /sugr↔ titiyaN ratu p↔rand↔ keto nanaN<br />
ih cai malen ap↔ alih mai ap↔ ad↔ p↔luru eh p↔rlu keto ida /<br />
‘“Maaf Ratu Peranda”, begitu Ayah. “Eh kamu Malen, apa yang kamu<br />
cari ke sini? Ada peluru? Eh… perlu?” begitu beliau’<br />
Pada data <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> di atas bentuk perlu dipelesetkan secara langsung<br />
menjadi peluru dengan penyisipan fonem /u/ dan penukaran fonem alir /l/ dan /r/<br />
dalam satu kata yang menghasilkan wacana pelesetan yang menarik.<br />
Tabel 4.9 Pelesetan Bunyi dengan Penyisipan dan Metatesis<br />
No<br />
Data<br />
Konstruksi<br />
Proses<br />
Pembentukan<br />
KN 2 Pelesetan Langsung Pertukaran fonem<br />
/l/ dan /r/<br />
Penyisipan<br />
/u/<br />
fonem<br />
4.1.2 Bentuk Pelesetan Kepanjangan Singkatan<br />
58<br />
Bentuk Bentuk<br />
Awal Pelesetan<br />
/perlu/ /peluru/<br />
Pelesetan kepanjangan singkatan adalah pelesetan gabungan huruf yang<br />
merupakan singkatan yang sudah umum dan mengalami pemelesetan pada<br />
kepanjangan aslinya atau gabungan huruf yang dibuat sendiri dengan<br />
menjadikannya seolah-olah sebagai singkatan dan membuat kepanjangan baru.<br />
Misalnya, gabungan huruf ABG dipelesetkan menjadi ‘Anak Baru Gede’<br />
(Sibarani, 2004: 96). Hasil akhir pelesetan ini hampir sama dengan singkatan<br />
(abbreviation) atau akronim, tetapi perbedaannya terletak pada proses<br />
pembentukannya. Pelesetan pada umumnya gabungan hurufnya telah lebih dahulu<br />
ada, kepanjangannya dipelesetkan dari kepanjangan yang sebenarnya. Namun,<br />
banyak pula masyarakat mengkreasikan gabungan huruf sendiri dan memberi<br />
kepanjangannya sendiri untuk sekadar melucu atau mengungkapkan emosi
penuturnya. Bentuk pelesetan kepanjangan ini diklasifikasikan menjadi dua, yakni<br />
pelesetan singkatan umum dengan kepanjangan baru dan bentuk pelesetan<br />
singkatan yang dibuat sendiri dengan kepanjangan baru.<br />
Contoh pelesetan umum dengan kepanjangan baru dapat dilihat pada data<br />
Data LM 18 dan LM 1b<br />
LM18 (47 : 43)<br />
Sangut : /Nud↔ Nalih cewek ↔mpuk / ‘ mengapa mencari cewek<br />
empuk?’<br />
Delem : /ane b↔tul to / ‘yang betul itu?’<br />
Sangut : /cewek pe ka ka / ‘cewek PKK’<br />
Delem : /pe ka ka to/ ‘PKK itu?’<br />
Sangut : /pad↔t k↔nt↔l k↔s↔t / ‘Padat Kental Keset’<br />
Kepanjangan asli dari PKK adalah Pendidikan Kesejahteraan Keluarga.<br />
Namun, <strong>tokoh</strong> Sangut membuat kepanjangan baru yang tetap menukik atau<br />
identik dengan bentuk awalnya. Singkatan PKK biasanya digunakan mengikuti<br />
kata ‘ibu’ atau ‘ibu-ibu’ (ibu PKK, ibu-ibu PKK). Kata ibu dan cewek berkelas<br />
kata sama, yakni feminim sehingga saat pertama kali mendengar Sangut<br />
menyarankan Delem agar mencari cewek PKK, penonton akan menangkapnya<br />
sebagai cewek sekelas ibu-ibu atau ‘wanita berumur yang telah menikah’. Namun,<br />
setelah pelesetan kepanjangan PKK dijelaskan oleh Sangut dengan bentuk<br />
kepanjangan berupa kumpulan kata Pad↔t, K↔nt↔l, K↔s↔t, tentunya<br />
menimbulkan makna yang berbeda, yang identik dengan ‘wanita yang baru<br />
menginjak remaja’ sehingga bentuk tersebut menjadi wacana humor yang segar<br />
dan menarik.<br />
LM 1b<br />
Tualen : /tuwah j↔ jani hukum s↔tat↔ nagih rabuk m↔n siN maan<br />
59
abuk t↔lah hukume siN nyak mokoh,<br />
Nl↔mah hukume nagih rabuk te es pe<br />
Te es pe : tombok suwap p↔licin / ‘ya memang sekarang hukum<br />
sering minta dipupuk, jika tidak mendapatkan pupuk, hukum tidak<br />
akan subur. Sering kali hukum minta rabuk TSP. TSP: Tombok, Suap,<br />
Pelicin’<br />
TSP yang merupakan salah satu lebel pupuk buatan dengan kepanjangan asli<br />
Tri Super Phospat dikenal masyarakat sebagai pupuk perangsang cepat<br />
tumbuhnya calon bunga atau buah pada tanaman dipelesetkan kepanjangannya<br />
dengan Tombok, Suap, Pelicin yang diidentikkan sebagai media untuk<br />
merangsang para penegak hukum agar jalannya proses hukum berjalan dengan<br />
cepat dan lancar. Bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> berjenis pelesetan memang<br />
menimbulkan hal tak terduga, seperti singkatan SGM, salah satu lebel susu bayi<br />
yang kepanjangan aslinya Susu, Gula, Madu dipelesetkan dengan kepanjangan<br />
yang telah umum diketahui masyarakat Bali, yakni Sinting Gila Mengong<br />
(orientasi negatif). Namun, tanpa diduga <strong>tokoh</strong> Sangut memelesetkan kembali<br />
pelesetan yang telah dikenal tersebut dengan pelesetan yang kepanjangannya lain<br />
dengan orientasi yang positif.<br />
Sangut : /ye mawinan adan kur↔n caNe buk etik wireh panak<br />
caNe ne k↔lihan ni luh putu etik prasista<br />
sita dewi niNrat prasti niNrum es ge em/ ‘ye… penyebab<br />
nama istriku buk Etik karena anakku yang paling besar Ni<br />
Luh Putu Etik Prasista Sita Dewi Ningrat Prasti<br />
Ningrum SGM’<br />
Delem : /meh ratu j↔g m↔kudus buNut ci e nyen nyen/ ‘meh…<br />
Ratu jeg berasap mulutmu, siapa? siapa?’<br />
Sangut : /ni luh putu etik prasista sita dewi niNrat prasti niNrum<br />
es ge em/ ‘Ni Luh Putu Etik Prasista Sita Dewi Ningrat<br />
Prasti Ningrum SGM’<br />
Delem : /es ge em to ap↔ / ‘SGM itu apa?’<br />
Sangut : /siNkatan/ ‘singkatan’<br />
60
SI 10b Delem : SGM ?<br />
Sangut : Santai Gaul Melankolis<br />
Contoh bentuk pelesetan kepanjangan singkatan umum pada <strong>permainan</strong><br />
<strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB dapat dilihat pada tabel berikut ini.<br />
Tabel 4.10 Bentuk Pelesetan Kepanjangan Singkatan Umum<br />
No<br />
Data<br />
Proses Pembentukan/Contoh Bentuk Awal Bentuk Pelesetan<br />
DRT 1 /angka/ /huruf/ Kepanjangan Madat, Main, Minum, Mabuk,<br />
(kumpulan kata), Madon, Minum, Muntah, Mencret,<br />
Contoh: 5M<br />
Maling Mati<br />
LM 1b Kumpulan huruf kepanjangan Tri Super Tombok, Suap,<br />
(kumpulan kata)<br />
Contoh: TSP<br />
Phospat Pelicin<br />
LM 18 Kumpulan huruf kepanjangan Pendidikan Padet, Kentel,<br />
(kumpulan kata) Kesejahteraan Keset<br />
Contoh: PKK<br />
Keluarga<br />
GA 5b Kumpulan huruf kepanjangan Susu Telor Sembahyang Taat<br />
(Frasa)<br />
Contoh: STMJ<br />
Madu Jahe Maksiat Jalan<br />
SI 10b Kumpulan huruf kepanjangan Susu Gula Santai, Gaul,<br />
(kumpulan kata)<br />
Contoh: SGM<br />
Madu<br />
Melankolis<br />
Dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB berjenis pelesetan kepanjangan<br />
singkatan umum ditemukan tiga bentuk variasi yakni (1) kumpulan huruf berbeda<br />
dengan menyebutkan urutan huruf sesuai dengan urutan kepanjangannya yang<br />
berupa kumpulan kata, seperti PKK; (2) kumpulan huruf berbeda dengan<br />
menyebutkan urutan huruf sesuai dengan urutan kepanjangannya yang berupa<br />
frasa, seperti STMJ; (3) kumpulan beberapa huruf yang sama dengan menyebut<br />
jumlah huruf yang sama tersebut dengan angka di awal dengan kepanjangan<br />
berupa kumpulan kata, seperti 5M.<br />
Selain memelesetkan kepanjangan singkatan yang telah ada sebelumnya<br />
atau yang telah umum diketahui masyarakat dalang WCB juga membuat bentuk<br />
61
singkatan sendiri dengan kepanjangan buatan sendiri juga, misalnya pada data<br />
SAB 4 Tokoh Sangut menyebut singkatan baru TKO dengan kepanjangan Tenaga<br />
Kurang Optimal yang maksudnya hampir sama dengan singkatan <strong>bahasa</strong> Inggris<br />
KO dalam bidang olahraga tinju berkepanjangan knockout yang berarti pukulan<br />
yang membuat seseorang tidak berdaya atau identik dengan kekalahan.<br />
SAB 4<br />
Delem : / jani b↔ Nut ram↔ dew↔ akan hancur/ ‘saat inilah Ngut…Rama<br />
Dewa akan hancur’<br />
Sangut : /ram↔ dew↔ akan TKO / ‘Rama Dewa akan TKO’<br />
Delem : / TKO to / ’TKO itu?’<br />
Sangut : Tenaga Kurang Optimal<br />
Contoh beberapa singkatan gabungan huruf buatan sendiri dengan<br />
kepanjangannya yang dibuat sendiri juga dapat dilihat pada tabel berikut ini.<br />
Tabel 4.11 Pelesetan Kepanjangan Singkatan Buatan Sendiri<br />
No Data Bentuk/ Contoh Kepanjangan<br />
SAB 4 Kumpulan huruf kepanjangan<br />
(frasa)<br />
contoh: TKO<br />
Tenaga Kurang Optimal<br />
SAB 8a /Huruf/ /angka/ Kepanjangan<br />
(klausa)<br />
contoh: A3<br />
Apa Ada Amah<br />
KN 8a Kumpulan huruf kepanjangan Anak Bali Cinta Damai<br />
(klausa)<br />
Contoh: ABCD<br />
LMur 4b Kumpulan huruf kepanjangan<br />
(frasa)<br />
Contoh: ABCD<br />
Awak Badeng Sengeh Dedet<br />
BM 1a /angka/ /huruf/ kepanjangan<br />
(kumpulan kata)<br />
Contoh: 3O<br />
Otak, Otot, Ongkos<br />
BM 28b Kumpulan huruf kepanjangan<br />
(kumpulan kata)<br />
Contoh: MPP<br />
Mati Pelan-Pelan<br />
62
Dari beberapa contoh data di atas yang mewakili bentuk-bentuk pelesetan<br />
buatan sendiri beserta dengan kepanjangannya terdapat empat bentuk ditemukan,<br />
yakni (1) kumpulan huruf berbeda dengan menyebutkan urutan huruf sesuai<br />
dengan urutan kepanjangannya yang berupa frasa, seperti TKO; (2) kumpulan<br />
huruf berbeda dengan menyebutkan urutan huruf sesuai dengan urutan<br />
kepanjangannya yang berupa klausa, seperti ABCD Anak Bali Cinta Damai;<br />
(3) kumpulan beberapa huruf yang sama dengan menyebut jumlah huruf yang<br />
sama tersebut dengan angka di awal dengan kepanjangan berupa kumpulan kata,<br />
seperti 3O; (4) kumpulan beberapa huruf yang sama dengan menyebut jumlah<br />
huruf yang sama tersebut dengan angka di akhir dengan kepanjangan berupa<br />
klausa, misalnya A3.<br />
4.1.3 Bentuk Pelesetan Kepanjangan Akronim<br />
Pelesetan kepanjangan akronim adalah pelesetan sebuah kata dengan cara<br />
menjadikan atau menganggapnya sebagai singkatan berupa akronim, misalnya<br />
kata atau nama Agus diplesetkan menjadi ‘Agak GUndul Sedikit’. Akronim<br />
merupakan kependekan yang berupa gabungan huruf atau suku kata atau bagian<br />
lain yang ditulis atau dilafalkan sebagai kata yang sesuai dengan kaidah<br />
fonotaktik <strong>bahasa</strong> bersangkutan (Kridalaksana, 2008:5).<br />
Contoh <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dengan pelesetan kepanjangan akronim ini dapat<br />
dilihat pada data DRT 2 dan SAB 6a yang memelesetkan kepanjangan akronim<br />
Narkoba dan Sabu. Data DRT 2 dan SAB 6a cukup kreatif karena substansi kata<br />
dan pelesetan yang dimaksud memiliki korelasi. Akronim Narkoba dan pelesetan<br />
63
kepanjangan NAsi Rawon KOah BAkso merupakan substansi yang sama-sama<br />
berhubungan dengan mulut, yakni benda yang umumnya dikonsumsi dengan<br />
memasukkannya ke dalam mulut (dimakan) ‘ngamah’. Proses dan korelasi yang<br />
sama juga terdapat pada ‘Sabu’ dan ‘Sarapan Bubur’. Walau korelasi antara<br />
substansi kata dan pelesetannya berkaitan, yakni berjenis ‘makanan’, tetap saja<br />
kembali pada konsep pelesetan ‘menyimpang dari sasaran’. Narkoba dan sabu<br />
yang berkonotasi negatif, dipelesetkan dengan kepanjangan yang berkonotasi<br />
positif dan menyehatkan.<br />
(25 :60)<br />
DRT 2 Tualen : /το δαϕαν υμαηε, bilaN wai y↔ Namah narkoba<br />
sit↔N j↔ y↔ / ‘itu yang di sebelah Utara rumah, setiap<br />
hari dia makan narkoba, kuat dia’<br />
Mredah : /narkoba/ ‘Narkoba?’<br />
Tualen : /a↔ nasi rawon koah bakso/ ‘iya, Nasi Rawon Kuah Bakso’<br />
(16:38)<br />
SAB 6a Delem : /τ↔κ↔ κυρ↔ναν κακ↔ βυ ερικ Ναβ↔ σαβυ/ ‘datang<br />
istriku Bu Erik membawa sabu’<br />
Sangut : /σαβυ το / ‘sabu itu?’<br />
Delem : /sarapan bubur μισι βε σιτσιτ σιτ σιτ σιτ/ ‘Sarapan<br />
Bubur berisi daging suwir, wir…wir…wir…’<br />
Data Lmur 8c berikut ini juga menunjukkan pelesetan kepanjangan<br />
akronim yang berkorelasi antara makna akronim yang sebenarnya dengan<br />
pelesetan kepanjangannya.<br />
Tualen : /…. kelan nanaN Norang b↔b↔dikin cai Nalih baraN<br />
baNka, paN d↔ nyanan k↔n↔ sakit AIDS/ ‘kan ayah sudah<br />
katakan jangan kamu mencari pelacur, agar tidak terkena<br />
penyakit AIDS nanti’<br />
Mredah : /aids e ↔nto / ‘AIDS itu apa?’<br />
Tualen : A,I,D,S<br />
Mredah : A<br />
Tualen : /akibat/ ‘akibat’<br />
64
Mredah : I<br />
Tualen : /itunya/ 'itunya'<br />
Mredah : D<br />
Tualen : /dimasukkan/ 'dimasukkan'<br />
Mredah : S<br />
Tualen : /S↔mbaraNan jeg aids polon ci nyidaN siN nuluNin ben/<br />
‘ Sembarangan, jeg kena AIDS kamu, tidak bisa ditolong’<br />
Secara teoretis, pelesetan dimaknai sebagai sesuatu yang menyimpang dari<br />
sasarannya, tetapi jika substansi yang digunakan memiliki korelasi yang dekat<br />
dengan sasaran, menjadikan pelesetan tersebut lebih menarik. Kepanjangan asli<br />
dari AIDS ‘Aquired Immune Deficiency Syndrome’ tidak banyak diketahui oleh<br />
masyarakat Bali walaupun akronim ini sering kali digunakan dalam percakapan<br />
mereka sehari-hari. Secara umum masyarakat hanya mengetahui AIDS<br />
merupakan penyakit mematikan yang disebabkan oleh sering berganti-ganti<br />
pasangan dalam berhubungan seksual. Pelesetan kepanjangan huruf yang dibaca<br />
seolah-olah sebagai kata ‘AIDS’ dengan kepanjangan berupa klausa (Akibat<br />
Itunya Dimasukkan Sembarangan) menjadi sesuatu yang tak terduga, tetapi<br />
menukik terhadap substansi yang dimaksud.<br />
Inti penyingkatan dalam <strong>permainan</strong> pelesetan ini adalah membentuk<br />
akronim sebagai kata baru yang memiliki makna untuk membangun humor. Dari<br />
beberapa contoh yang ditemukan, pelesetan kepanjangan akronim yang terdapat<br />
pada dialog-dialog <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB dapat dikelompokkan menjadi empat,<br />
yakni (1) akronim yang dibentuk dengan mempertahankan silabel awal, (2)<br />
akronim yang dibentuk dengan mempertahankan huruf awal, (3) akronim yang<br />
dibentuk dengan mempertahankan silabel awal dan juga huruf awal, (4) akronim<br />
65
yang dibentuk dengan mempertahankan suku akhir kata pertama dan suku awal<br />
kata kedua.<br />
Contoh dan proses pembentukan pelesetan kepanjangan akronim ini dapat dilihat<br />
pada tabel-tabel berikut ini<br />
Tabel 4.12 Akronim yang Dibentuk dengan Mempertahankan Silabel Awal<br />
No Data Proses Pembentukan Akronim Pelesetan Kepanjangan<br />
DRT Mempertahankan silabel Nakula NAsi KUah LAwar<br />
19b awal<br />
SAB 6a Mempertahankan silabel<br />
awal<br />
Sabu SArapan BUbur<br />
SAB 12 Mempertahankan silabel<br />
awal<br />
Delem DEngang LEMpuyengan<br />
Pada data di atas pelesetan kepanjangan ‘NAsi KUah LAwar’ dibentuk untuk<br />
menghasilkan kata nakula yang dianggap sebagai akronim dengan<br />
memanjangkannya sesuai dengan silabel-silabel yang membentuknya, yakni<br />
nakula (na-ku-la). Silabel pertama ‘na’ membentuk kepanjangan Nasi, silabel<br />
kedua ‘ku’ menjadi Kuah, dan silabel terakhir ‘la’ dipanjangkan dengan Lawar.<br />
Hal yang sama terjadi pada data SAB 6a dan SAB 12.<br />
Akronim yang dibentuk dengan pelesetan kepanjangan yang<br />
mempertahankan huruf awal dilakukan <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB, seperti data<br />
AIDS di atas dan beberapa contoh yang sama dapat dilihat pada tabel berikut ini.<br />
Tabel 4.13 Akronim yang Dibentuk dengan Mempertahankan Huruf Awal<br />
No Data Proses Pembentukan Akronim Pelesetan Kepanjangan<br />
SI 1 Mempertahankan huruf<br />
awal<br />
DUIT Doa Usaha Inisiatif Tekun<br />
SI 7 Mempertahankan huruf<br />
awal<br />
PIL Pria Idaman Lain<br />
LMur 2 Mempertahankan huruf AIDS Angkuh, Iri hati, Dengki,<br />
awal<br />
‘Aquired<br />
Immune<br />
Sombong<br />
66
LMur 8c Mempertahankan huruf<br />
awal<br />
Deficiency<br />
Syndrome’<br />
AIDS<br />
‘Aquired<br />
Immune<br />
Deficiency<br />
Syndrome’<br />
67<br />
Akibat Itunya Dimasukkan<br />
Sembarangan<br />
Data yang sedikit berbeda ditemukan pada DRT 2 berikut ini, yakni selain<br />
mempertahankan silabel awal akronim yang dihasilkan juga dibentuk dengan<br />
mempertahankan huruf awal. Pelesetan kepanjangan NAsi Rawon KOah BAkso<br />
dibuatkan akronimnya dengan NaRKoBa. Kata NAsi merupakan kepanjangan<br />
dari silabel ‘Na’, Rawon merupakan kepanjangan dari huruf ‘R’, KOah<br />
merupakan kepanjangan dari ‘Ko’, dan BAkso merupakan kepanjangan dari<br />
silabel ‘Ba’.<br />
Tabel 4.14 Akronim yang Dibentuk dengan Mempertahankan Silabel Awal dan<br />
Huruf Awal<br />
No Data Proses Pembentukan Akronim Pelesetan Kepanjangan<br />
DRT 2 Mempertahankan<br />
dan huruf awal<br />
silabel Narkoba NAsi Rawon KOah BAkso<br />
SAB 13 Mempertahankan silabel<br />
dan huruf awal<br />
Asber Asal BERnyawa<br />
Tabel 4.15 Akronim yang Dibentuk dengan Mempertahankan Suku Akhir Kata<br />
Pertama dan Suku Awal Kata Kedua<br />
No Data Proses Pembentukan Akronim Pelesetan Kepanjangan<br />
BM 21b Mempertahankan suku akhir<br />
kata pertama dan suku awal<br />
kata kedua<br />
Kuwir mangKU WIRya<br />
BM 21c Mempertahankan suku akhir<br />
kata pertama dan suku awal<br />
kata kedua<br />
Kucit mangKU CITra
Data BM 21b dan BM 21c di atas merupakan akronim yang dibentuk dari<br />
pelesetan kepanjangan yang dibuat dengan mempertahankan silabel akhir kata<br />
pertama dan silbel awal kata kedua yang menyusun pelesetan kepanjangan<br />
tersebut. Frasa mangKu Wirya (nama panggilan) dianggap sebagai pelesetan<br />
kepanjangan dari akronim kuwir (yang dalam <strong>bahasa</strong> Bali berarti bebek) dengan<br />
mempertahankan silabel akhir kata pertama, yakni ‘ku’ dan silabel awal kata<br />
kedua ‘wir’ sehingga membentuk kata yang dianggap seolah-olah sebagai<br />
akronim ‘kuwir’. Hal serupa juga terjadi pada data BM 21c. Pada pelesetan<br />
kepanjangan mangKU CITra yang mempertahankan silabel atau suku akhir kata<br />
pertama “KU” dan silabel pertama kata kedua “CIT” menghasilkan kata yang<br />
dianggap sebagai akronim “KUCIT” yang dalam <strong>bahasa</strong> Bali berarti babi.<br />
Permainan <strong>bahasa</strong> bentuk pelesetan kepanjangan akronim ini tentu sangat lucu<br />
jika didengar oleh masyarakat Bali yang dalam pergaulan sosialnya biasa<br />
menyebut atau memanggil seorang mangku (pemuka agama) dengan panggilan<br />
“Ku” kemudian dilanjutkan dengan nama pendek mangku tersebut. Hal tak<br />
terduga dari hasil pemelesetan Mangku Wirya atau Mangku Citra jika<br />
dipendekkan menghasilkan kata “Kuwir” dan “Kucit” yang merupakan nama-<br />
nama hewan yang kesannya sangat bertolak belakang dengan imajeri masyarakat<br />
tentang “Mangku”<br />
4.1.4 Bentuk Pelesetan Ekspresi<br />
Bentuk <strong>permainan</strong> pelesetan <strong>bahasa</strong> berikutnya yang ditemukan dalam<br />
<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB adalah bentuk pelesetan ekspresi. Pada<br />
68
pelesetan ekspresi terjadi pemelesetan cara mengungkapkan, yakni sebuah kalimat<br />
atau frasa dipelesetkan bentuknya dengan cara mengikuti struktur dan intonasi<br />
kalimat atau frasa sebenarnya, tetapi mengubah kata-katanya sehingga mengubah<br />
makna keseluruhan struktur (Sibarani, 2004:97). Pada pertunjukan WCB berjudul<br />
“Sutha Amerih Bapa” ditemukan bentuk pelesetan ekspresi, yaitu pada<br />
percakapan Delem dan Sangut pada data SAB 10b-10f. Tokoh <strong>punakawan</strong> WCB<br />
menggunakan <strong>permainan</strong> dengan pelesetan ekspresi ini dalam memelesetkan isi<br />
sila-sila Pancasila yang tentunya sangat umum diketahui masyarakat. Pemilihan<br />
sila-sila Pancasila ini agaknya erat berkaitan dengan maksud-maksud yang<br />
bersifat reseptif, yakni agar pendengarnya langsung dengan spontan dapat<br />
mengembalikan penyimpangan-penyimpangan yang dibuat sedemikian rupa<br />
kepada hipogramnya. Wijana (2010) menyebutkan bahwa semakin mudah<br />
<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> itu dihubungkan dengan hipogramnya semakin spontan resolusi<br />
dan penikmatan humor itu dan semakin tinggi pula tingkat kelucuannya. Pada data<br />
tersebut Delem memelesetkan sila-sila dalam Pancasila dengan intonasi yang<br />
sama. Namun, memelesetkan kata-katanya sehingga asosiasinya berubah dari<br />
makna atau maksudnya yang konvensional. Bentuk <strong>permainan</strong> pelesetan ekspresi<br />
ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini.<br />
Tabel 4.16 Pelesetan Ekspresi<br />
No<br />
Data<br />
Proses Pembentukan Bentuk awal Bentuk pelesetan<br />
SAB Mempertahankan beberapa Ketuhanan yang Keuangan yang<br />
10b elemen kata yang<br />
terkandung pada bentuk<br />
awal serta mempertahankan<br />
silabel awal pada awal kata<br />
dan silabel akhir pada akhir<br />
kata<br />
Maha Esa<br />
Maha Kuasa<br />
69
SAB<br />
10c<br />
SAB<br />
10e<br />
SAB<br />
10f<br />
SAB<br />
10d<br />
Mempertahankan beberapa<br />
elemen kata yang<br />
terkandung pada bentuk<br />
awal serta mempertahankan<br />
silabel awal pada awal kata<br />
dan silabel akhir pada akhir<br />
kata<br />
Mempertahankan beberapa<br />
elemen kata yang<br />
terkandung pada bentuk<br />
awal serta mempertahankan<br />
silabel awal pada awal kata<br />
Mempertahankan beberapa<br />
elemen kata yang<br />
terkandung pada bentuk<br />
awal serta mempertahankan<br />
silabel awal pada awal kata<br />
Mempertahankan silabel<br />
awal pada awal kata dan<br />
silabel akhir pada akhir kata<br />
Kemanusiaan yang<br />
Adil dan Beradab<br />
Kerakyatan yang<br />
Dipimpin oleh<br />
Hikmat<br />
Kebijaksanaan dan<br />
Permusyawaratan<br />
Keadilan Sosial bagi<br />
seluruh Rakyat<br />
Indonesia<br />
70<br />
Kemanusiaan yang<br />
Kikir dan Biadab<br />
Kesengsaraan yang<br />
Dipimpin oleh<br />
Perselingkuhan dan<br />
Perjudian<br />
Kebatilan bagi<br />
Seluruh Rakyat<br />
Pecinta Kemewahan<br />
Persatuan Indonesia Perseteruan<br />
Manusia<br />
Dari pengklasifikasian proses pembentukan pelesetan ekspresi di atas<br />
ditemukan tiga variasi pengelompokan pembentukan pelesetan ekspresi yang<br />
dapat disepadankan dengan hipogram aslinya. Ketiga variasi tersebut adalah (1)<br />
pembentukan dengan mempertahankan beberapa elemen kata yang terkandung<br />
pada bentuk awal serta mempertahankan silabel awal pada awal kata dan silabel<br />
akhir pada akhir kata, (2) pembentukan dengan mempertahankan beberapa elemen<br />
kata yang terkandung pada bentuk awal serta mempertahankan silabel awal pada<br />
awal kata, dan (3) mempertahankan silabel awal pada awal kata dan silabel akhir<br />
pada akhir kata. Dalam SAB 10b dan 10c bentuk pelesetan tetap mempertahankan<br />
kesamaan silabel awal pada awal kata dan silabel akhir pada akhir kata yang<br />
menyusunnya dan dilakukan dengan substitusi bunyi (ketuhanan menjadi<br />
keuangan) atau (beradab menjadi biadab) yang tetap mempertahankan persajakan
demi menjaga keestetisannya. Pada data SAB 10e <strong>permainan</strong> dibentuk dengan<br />
mempertahankan beberapa elemen kata pada bentuk awal (yang Dipimpin oleh)<br />
dan dibentuk dengan substitusi kata (kebijaksanaan diganti dengan<br />
perselingkuhan, permusyawaratan dengan perjudian). Data SAB 10f juga hampir<br />
sama proses pembentukannya dengan data SAB 10e. Namun, bentuk silabel akhir<br />
pada akhir kata tidak dipertahankan, dan data SAB 10d yang memelesetkan isi<br />
sila ketiga Pancasila proses pembentukannya hanya mempertahankan silabel awal<br />
pada awal kata (Persatuan-Perseteruan) dan dengan substitusi kata (Indonesia<br />
menjadi manusia).<br />
4.1.5 Bentuk Pelesetan Ideologis<br />
Pelesetan ideologis adalah plesetan sebuah ide menjadi ide lain dengan<br />
bentuk linguistik yang sama (Sibarani,2004:97). Dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong><br />
<strong>punakawan</strong> WCB ditemukan beberapa <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dengan memelesetkan<br />
ide dari bentuk lingual yang sama.<br />
Pada data GA 9 terjadi pemelesetan konsep ’dewa’ berkelas kata nomina<br />
yang bermakna dewa-dewa yang di-sungsung masyarakat beragama dengan<br />
’dewa’ berkelas kata nomina juga, tetapi bermakna nama seseorang pada<br />
masyarakat Bali yang berkasta atau bertingkat sosial Wesya.<br />
Delem : /NoyoN NoyoN Nut jani keNken pidabdabe<br />
arta asta grahast↔ e m↔k↔jaN<br />
jani kal k↔ suargan m↔k↔jaN<br />
matiaN dew↔ e m↔k↔jaN di<br />
suargan j↔g konyaN matiaN<br />
tombak dew↔ m↔k↔jaN disuargan<br />
GA 9 kayaN dew↔ dangin umah matiaN/<br />
71
’diam! diam Ngut! Sekarang bagaimana mengumpulkan semua<br />
artha, asta dan grahasta. Sekarang ini kita akan ke Surga<br />
semua, bunuh semua Dewa yang ada di Surga, semua<br />
bunuh! Tusuk dengan tombak semua Dewa di surga<br />
sampai Dewa yang di sebelah timur rumah juga bunuh!’<br />
Sangut : Yang paling mengetahui banyak ilmu di Wanaprasta<br />
adalah Sang Sahadewa. Beliau mengetahui berbagai<br />
magic. White magic, black magic, dan segala gic gic-nya<br />
sampai ke<br />
DRT 20 magic-jar, itu sang Sahadewa.<br />
Data DRT 20 memelesetkan ide awal dari penggunaan kata magic yang<br />
mengacu pada kesaktian, white magic ’kesaktian untuk berbuat kebaikan atau<br />
menolong’ dan black magic ’ilmu hitam’ yang biasa disebut dalam masyarakat<br />
Bali untuk menyebut kesaktian yang dimiliki seseorang dalam berbuat kejahatan<br />
atau sering disebut dengan ilmu pengeleakan. Namun, dalam mengutarakan jenis-<br />
jenis kesaktian tersebut disisipi bentuk lingual magic jar ’mesin penghangat nasi’<br />
yang mengandung bentuk lingual magic dengan ide yang berbeda. Hal yang sama<br />
terjadi pada penggunan kata puting dalam puting beliung yang merupakan<br />
penamaan jenis angin kencang yang mampu memporak-porandakan benda-benda<br />
di sekitarnya dipelesetkan idenya dengan frasa puting nyonyo ’puting susu’.<br />
Tabel 4.17 Pelesetan Ideologis<br />
Data Proses Pembentukan /Contoh Bentuk pelesetan<br />
DRT<br />
20<br />
Bentuk: A (n) A: (n)<br />
Contoh: White magic, black magic, dan<br />
segala gic gic-nya sampai ke magic jar<br />
magic jar<br />
(penanak nasi)<br />
GA 9 Bentuk: A (n) A: (n)<br />
Contoh:<br />
/tembak dew↔ m↔k↔jaN di suargan, kaya<br />
N<br />
dew↔ daNin umahe/<br />
dew↔ (nama orang)<br />
GA Bentuk: A (n) A: (n) puting nyonyo<br />
72
19b Contoh: /m↔suaN aNin bar↔t to<br />
putiN b↔liuN ap↔ b↔liuN putiN<br />
ap↔ putiN nyonyo/<br />
(anggota badan)<br />
Dari data pelesetan ideologis, bentuk-bentuk pelesetan ini ditemukan dalam<br />
bentuk struktur yang sama, yakni bentuk lingual dengan kelas kata nomina<br />
dipelesetkan menjadi ide yang lain dengan bentuk lingual sama dan kelas kata<br />
yang sama pula.<br />
4.2 Permainan Bahasa Tokoh Punakawan WCB dalam Bentuk Gaya Bahasa<br />
Pertunjukan WCB merupakan jenis pertunjukan seni sehingga <strong>bahasa</strong>nya<br />
pun banyak menggunakan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang mengandung unsur-unsur seni<br />
atau estetik. Penggunaan bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dengan style atau gaya <strong>bahasa</strong><br />
banyak terdapat dalam dialog <strong>tokoh</strong> WCB, terutama pada <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> yang<br />
berfungsi sebagai penyalur cerita.<br />
Keraf (2009) menyebutkan figure of speech (gaya <strong>bahasa</strong>) adalah suatu<br />
penyimpangan <strong>bahasa</strong> secara evaluatif atau secara emotif dari <strong>bahasa</strong> biasa, entah<br />
dalam ejaan, pembentukan kata, konstruksi, atau aplikasi sebuah istilah untuk<br />
memperoleh kejelasan, penekanan, hiasan, humor atau sesuatu efek yang lain<br />
dengan masih mempertahankan makna denotatifnya atau menyimpang dari makna<br />
denotatifnya. Jika gaya <strong>bahasa</strong> (style) yang digunakan masih mempertahankan<br />
makna dasarnya atau makna denotatifnya, berarti <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> tersebut<br />
berbentuk retoris dan jika bentuk gaya <strong>bahasa</strong> yang digunakan menyimpang dari<br />
makna denotatifnya, berarti <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> tersebut berbentuk kiasan. Bentuk<br />
<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dengan menggunakan gaya <strong>bahasa</strong> merupakan bentuk<br />
73
penyimpangan <strong>bahasa</strong> atau manipulasi untuk efek atau tujuan tertentu. Permainan<br />
<strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB banyak menggunakan bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong><br />
dengan gaya <strong>bahasa</strong> berjenis retoris dan kiasan.<br />
4.2.1 Bentuk Retoris<br />
Gaya <strong>bahasa</strong> retoris adalah penyimpangan dari konstruksi biasa dalam<br />
tuturan untuk mencapai efek tertentu, tetapi tetap mempertahankan makna<br />
denotatif atau makna dasarnya. Sherzer (2002: 4) menyebutkan bahwa secara<br />
intrinsik <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> tereksploitasi pada retorika dan <strong>bahasa</strong> yang bersifat<br />
puitik. Disebutkan pula bahwa <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> terjadi, baik dalam bentuk<br />
asosiasi, repetisi, maupun paralelisme yang bersifat kreatif. Dalam data <strong>permainan</strong><br />
<strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB yang ditemukan, terdapat bentuk <strong>permainan</strong><br />
berjenis retoris ini dalam dua jenis, yakni <strong>permainan</strong> bunyi akhir kata berupa<br />
vokal yang sama (aliterasi) dan perulangan kata dengan bunyi konsonan yang<br />
sama (asonansi). Bentuk retoris dengan perulangan bunyi seperti aliterasi dan<br />
asonansi ini disebutkan Keraf (2009:130) biasa digunakan dalam puisi, prosa<br />
untuk estetik atau untuk penekanan.<br />
Data DRT 10 berikut ini merupakan contoh bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong><br />
berjenis retoris berstruktur puitik dengan perulangan bunyi vokal yang sama pada<br />
akhir frasa penyusun isi dan sampiran.<br />
(1:03:33)<br />
DRT 10 Delem : /mamul↔ padi y↔ mamul↔ timun/ ‘bertanam padi ya<br />
bertanam mentimun’<br />
Sangut : /mamul↔ nyuh y↔ mamul↔ sawah/ 'bertanam kelapa ya<br />
bertanam sawah’<br />
74
Delem : /ne muani y↔ kimud-kimud / 'yang laki-laki malumalu’<br />
Sangut : /sane luh y↔ galak-galak / ‘yang perempuan agresif’<br />
Verbal dueling ‘<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dengan bersahut-sahutan’ antara <strong>tokoh</strong> Sangut<br />
dan Delem ini berjenis retoris, yakni terbentuk dari repetisi bunyi vokal yang<br />
sama pada akhir frasa. Bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> retoris ini berstruktur puitik yang<br />
terdiri atas sampiran dan isi. Frasa /mamul↔ timun/ yang diakhiri oleh vokal /u/<br />
pada sampiran mengalami repetisi bunyi vokal akhir /u/ juga pada frasa<br />
/y↔ kimud-kimud/ pada isi. Hal serupa juga terjadi pada bunyi vokal akhir pada<br />
sampiran kedua dan isi kedua, dengan perulangan bunyi vokal /a/ pada<br />
/y↔ mamul↔ sawah/ pada sampiran dan /y↔ galak-galak/. Perbedaan bunyi<br />
vokal antara sampiran dan isi dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> retoris ini menghasilkan<br />
pola sajak (a,b,a,b,). Keraf (2009) menyebut bentuk retoris dengan repetisi bunyi<br />
vokal seperti ini dengan istilah asonansi. Asonansi juga tercermin pada ujaran<br />
yang mengalami repetisi bunyi vokal yang sama seperti pada ujaran dalam bentuk<br />
pantun dua seuntai pada data KN 4 di bawah ini.<br />
Delem: / kol↔ NoraN ya k↔baaN honda<br />
kol↔ NoraN yes k↔baaN mersedes<br />
kol↔ NoraN oke k↔baaN ceroke /<br />
‘asalkan bilang ya aku beri Honda. Asalkan bilang yes kuberi Mercedes.<br />
Asalkan bilang oke ku beri Cerokee.’<br />
Contoh <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> di atas mengandung unsur retoris yang<br />
menyerupai pantun dua baris pada setiap barisnya. Kemunculan vokal yang sama<br />
pada akhir kata /ya/ dan /honda/, /yes/ dan /mersedes/, serta /oke/ dan /ceroke/<br />
menghasilkan wacana <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang kreatif dengan pola sajak a-a.<br />
75
Pemanfaatan aspek bunyi seperti tersebut di atas dilakukan untuk memperoleh<br />
kearkaisan struktur kalimat sehingga kedengarannya lebih estetis.<br />
Dua contoh bentuk retoris di atas memperlihatkan penyimpangan bentuk<br />
konstruksi dalam menyebutkan suatu maksud. Pada data DRT 10 tuturan dalang<br />
sebagai penutur ingin mengungkapkan bahwa pada zaman sekarang ini kaum<br />
wanita disebut lebih agresif dibandingkan dengan kaum pria dengan <strong>permainan</strong><br />
<strong>bahasa</strong> berbentuk pantun dengan perulangan bunyi vokal pada akhir frasa pada<br />
sampiran dan isi. Penyimpangan bentuk yang sengaja dibuat untuk efek estetis<br />
tersebut tidak mengubah makna dasar yang ingin diungkap penutur. Hal yang<br />
sama juga terjadi pada data kedua, yakni pada data KN 4. Data KN 4<br />
menunjukkan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dengan bentuk retoris pengulangan bunyi vokal<br />
untuk efek penekanan tersebut tidak mengubah maksud denotatif penutur yang<br />
pada dasarnya ingin menyebut bahwa ia akan memberikan apa pun kepada wanita<br />
yang menjadi pasangannya.<br />
Beberapa bentuk retoris dengan repetisi vokal yang sama dapat dilihat pada<br />
tabel berikut ini (selengkapnya pada lampiran).<br />
Tabel 4.18 Bentuk Retoris Asonansi 1<br />
No Data<br />
Bentuk retoris<br />
(sajak)<br />
Contoh<br />
DRT 10 a,b, a,b /m↔mula padi y↔ m↔mula timun,<br />
m↔mula nyuh y↔ m↔mula sawah<br />
ane muani y↔ kimud-kimud,<br />
ane luh y↔ galak-galak/<br />
‘Bertanam padi ya bertanam mentimun,<br />
bertanam kelapa ya bertanam sawah,<br />
Yang laki malu-malu,<br />
yang wanita agresif<br />
DRT 14 a,b, a,b /tonden m↔sandal sub↔ m↔g↔njit<br />
76
LM 3c a,b, a,b<br />
LM 17 a,b, a,b<br />
konden k↔nal rag↔ sub↔ g↔nit/<br />
'belum bersandal sudah berjalan,<br />
belum kenal kamu sudah genit'<br />
77<br />
/b↔lahan pane b↔lahan paso ad↔ kene ad↔ keto/<br />
'pecahan pane (periuk tanah) pecahan paso (periuk<br />
tanah), ada begini ada begitu'<br />
/tiNkih t↔mu buwah r↔r↔k, aNkihan kamu bonne<br />
b↔r↔k cagr↔k/<br />
'kemiri temu lawak buah rerek, napasmu baunya<br />
busuk’<br />
Pada contoh-contoh data yang terdapat dalam tabel di atas dapat dilihat<br />
penggunaan repetisi bunyi vokal untuk menghasilkan efek bunyi yang selaras.<br />
Pada data LM 3c –yang merupakan wewangsalan yang sering digunakan<br />
masyarakat Bali—penggunaan kata /pane/ dan /paso/ dilakukan hanya untuk<br />
menghasilkan bunyi yang selaras dengan kata /kene/ dan /keto/ padahal kata pane<br />
dan paso bersinonim. Kata pane pada sampiran hanya digunakan untuk<br />
menyelaraskan dan memberi efek penekanan dan estetis untuk kata kene pada isi<br />
dan paso pada sampiran untuk kata keto pada isi sehingga menghasilkan sajak a-<br />
b-a-b.<br />
Tabel di bawah ini memperlihatkan contoh bentuk perulangan bunyi vokal<br />
dengan sajak a-a.<br />
Tabel 4.19 Bentuk Retoris Asonansi 2<br />
No Data<br />
Bentuk retoris<br />
(sajak)<br />
SAB 22 a-a<br />
Contoh<br />
/tutur suba luntur, jani yen poNah<br />
payu Namah, dew↔ b↔ m↔g↔di amah m↔m↔di /<br />
'nasihat sudah luntur, sekarang jika tidak tahu malu<br />
bisa makan, dewa sudah pergi dihabisi oleh memedi<br />
(makhluk halus)’
KN 4 a-a<br />
KL 3c a-a<br />
TS 1c a-a<br />
TS 1a a-a<br />
BM 9 a-a<br />
BM 3j a-a<br />
78<br />
/kol↔ NoraN ya k↔baaN honda,<br />
kol↔ NoraN yes k↔baang mersedes,<br />
kola ngorang oke kebaaN ceroke /<br />
‘hanya dengan bilang ya kuberi Honda, hanya dengan<br />
bilang yes kuberi Mercedes, hanya dengan bilang oke<br />
kuberi Cerokee’<br />
/jl↔m↔ mul↔ m↔mul↔s<br />
jl↔m↔ mal↔s car↔ pal↔s, lem↔s klias-kli↔s/<br />
‘orang yang suka tidur, orang malas seperti kait<br />
pancing, lemas<br />
/i r↔juna bin jl↔m↔ j↔lek m↔leklek<br />
NurusaN m↔solek, Nalih cewek di komplek/<br />
‘Si Arjuna lagi, manusia jelek, hanya bersolek saja,<br />
mencari cewek di komplek (tempat prostitusi)’<br />
/darmawaNs↔ j↔l↔m↔ uyak tutur,<br />
tutur sub↔ luntur amah titiran.<br />
jani nyen poNah payu Namah<br />
yen pag↔h ye k↔pagah, dew↔ b↔ ng↔lew↔,<br />
widi b↔ m↔g↔di amah m↔m↔di,<br />
agam↔ b↔ gamaN, patut b↔ buntut /<br />
‘Darmawangsa orang-orang banyak nasihat, nasihat<br />
sudah luntur dimakan burung dara, sekarang kalau<br />
tidak tahu malu bisa makan, jika membatasi diri akan<br />
dipenjara, dewa sudah tidak mau tahu, Widhi (Tuhan)<br />
sudah pergi dihabisi memedi (makhluk halus), agama<br />
sudah kabur, kebenaran sudah berada pada posisi<br />
akhir’<br />
/kambiN.. m↔gliliN glalaN-gliliN,<br />
Nal↔Nin niNrat sane b↔liN,<br />
wireh ne muani tuara eliN, m↔li kambiN luas keliliN,<br />
siN buuN ya tuNgaN-tuNgiN misi kaiN-kaiN/<br />
‘kambing, berguling-guling, memberi bantal seorang<br />
ningrat yang sedang hamil, karena suaminya tidak<br />
peduli, beli kambing keliling, jadilah dia menungging<br />
sambil bersuara seperti anjing ‘kaing-kaing’’<br />
/m↔kit↔ Nalih mantu j↔g hantu<br />
ab↔ ci mulih,nanaN tu↔ lantas dadiaN↔<br />
p↔mbantu /<br />
‘ingin mencari menantu, hantu yang kamu bawa<br />
pulang, ayah tua lalu dijadikannya pembantu’
Dari data <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> retoris yang ditemukan terdapat dua bentuk retoris<br />
pengulangan vokal (asonansi), yakni bentuk dengan sajak berpola a-b-a-b dan<br />
pola a-a yang secara umum bertujuan untuk menghasilkan keindahan atau bernilai<br />
estetik. Pada pola sajak a-a terjadinya pengulangan bunyi vokal yang sama pada<br />
beberapa kata selain mengandung unsur estetik juga bertujuan memberi<br />
penekanan terhadap <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang diungkapkan.<br />
Selain bentuk retoris asonansi, ditemukan pula bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong><br />
berjenis retoris dalam repetisi konsonan atau aliterasi. Pada kasus aliterasi terjadi<br />
pengulangan konsonan dalam sebuah kalimat atau klausa pada awal kata-kata<br />
yang menghimpunnya. Misalnya pada data KL 2 dalam tabel di bawah terjadi<br />
pengulangan fonem konsonan nasal /m/ dan /n/ pada kata /manise/ dan /man↔sin/.<br />
Contoh data yang lainnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.<br />
Tabel 4.20 Bentuk Retoris dengan Repetisi Konsonan (Aliterasi)<br />
No Data<br />
Bentuk retoris<br />
(sajak)<br />
KN 8b a-a<br />
KL 2 a-a<br />
TS 8 a-a<br />
Contoh<br />
79<br />
/yen ub↔ ajak liu j↔g bali b↔ to, yen p↔didian<br />
balu/<br />
‘jika sudah berbanyak, pasti Bali itu, jika sendiri<br />
janda’<br />
/j↔g sinah sub↔ manise man↔sin b↔li/<br />
‘jelas sudah manis itu akan memanaskan kakak’<br />
/yen nak muani ne sastrawan ne luh sastrawati<br />
yen ne muani ne b↔gundal luh ne b↔gundil<br />
ne muani nuNgaN ne luh nuNgiN/<br />
‘jika yang laki sastrawan yang perempuan sastrawati,<br />
jika yang laki-laki raksasa laki-laki yang perempuan<br />
raksasa perempuan, yang laki menunggang yang<br />
perempuan menungging’
Repetisi konsonan /b/ pada kata balu setelah kata bali dalam KN 8b<br />
digunakan dalang untuk efek penekanan terhadap kata sebelumnya. Pada KN 8b<br />
repetisi digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang berlawanan. Disebutkan jika<br />
Bali identik dengan banyak orang. Hal ini terjadi karena imajeri masyrakat<br />
terhadap Pulau Bali yang menjadi salah satu tempat tujuan wisatawan dan pencari<br />
kerja sehingga Bali menjadi tempat tujuan banyak orang, sedangkan balu ‘janda’<br />
identik dengan kesendirian. Hal yang sama juga tercermin pada data KL 2 yang<br />
menunjukkan sesuatu yang berlawanan, yakni sesuatu yang manis (orientasi<br />
positif) pada kata /manise/ akan menyebabkan sesuatu yang memanas (orientasi<br />
negatif) pada kata /man↔sin/. Sedikit berbeda repetisi konsonan data TS 8 yang<br />
sepertinya pada awalnya dilakukan untuk menunjukkan sesuatu yang berlawanan<br />
pula, seperti bentuk sastrawan dan sastrawati, begundal dan begundil. Namun,<br />
repetisi konsonan berikutnya (nunggang dan nungging) menunjukkan humor yang<br />
berorientasi vulgar.<br />
4.2.2 Bentuk Kiasan<br />
Bentuk kiasan adalah bentuk penyimpangan pada struktur atau bentuk<br />
yang biasa dengan pemakaian leksem yang maknanya menyimpang dari makna<br />
denotasinya. Secara umum bentuk kiasan dibentuk berdasarkan perbandingan atau<br />
persamaan (Keraf, 2009: 136). Dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB<br />
ditemukan bentuk-bentuk yang mengacu pada bentuk kiasan berjenis metafora,<br />
simile (perumpamaan), dan eponim.<br />
80
4.2.2.1 Metafora<br />
Permainan <strong>bahasa</strong> berbentuk metafora merupakan bentuk ke<strong>bahasa</strong>an yang<br />
menggunakan sistem kognitif (Lakoff: 1980), yaitu konsep yang terkumpul dari<br />
pengalaman dan budaya seseorang (Palmer: 1996; Foley: 1997). Dalam metafora<br />
terjadi perbandingan antara sumber bentuk (source) dan target. Knowles (2006)<br />
menyebutkan bahwa metafora adalah <strong>bahasa</strong> nonliteral yang terbentuk dari<br />
perbandingan atau identifikasi secara implisit sebagai pengungkapan jenis dari<br />
sesuatu yang bermakna figuratif. Jika kita menyebutkan seseorang adalah serigala,<br />
itu artinya kita membandingkannya dengan serigala, yakni asosiasi yang umum<br />
terhadap serigala yaitu kelicikannya. Dengan demikian, seseorang yang disebut<br />
sebagai serigala berarti seseorang yang memiliki karakter identik dengan serigala<br />
yang licik. Bentuk metafora dapat digambarkan sebagai berikut.<br />
Dia serigala<br />
A : B<br />
terbanding (Tb) pembanding (Pb)<br />
Referent A (target) dibandingkan dengan referent B (source) yang memiliki<br />
kualitas atau karakter yang sama. Analisis bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> berjenis<br />
metafora oleh <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB adalah sebagai berikut.<br />
SAB 17 t↔rus rag↔ gen dadianga bemp↔r<br />
(A) Tb (n) : (B) Pb (n)<br />
’terus aku saja : dijadikan bamper ’<br />
’terus aku saja yang disuruh menghadapi musuh lebih dulu ’<br />
(C) (D)<br />
81
Data SAB di atas merupakan bentuk metafora dengan membandingkan antara<br />
rag↔ ’saya’ dan bamper. Komponen terbanding (Tb) yang merupakan kelas kata<br />
nomina (n) dibandingkan secara implisit dengan komponen pembanding (Pb)<br />
bamper yang juga merupakan kelas kata nomina (n). (Tb) saya atau<br />
rag↔ dibandingkan dengan bamper yang berasosiasi dengan posisi di depan.<br />
Bamper merupakan bagian pengaman mobil yang letaknya di depan untuk<br />
melindungi mobil jika terjadi benturan. Arti metaforais bentuk metafora di atas<br />
diberi simbol (C) untuk instrumen Tb dan (D) untuk (Pb). (A) berbanding dengan<br />
(B) sama dengan (C) berbanding dengan (D) yang dianggap sebagai makna<br />
metafora dalam perbandingan ini, yaitu pemahaman makna pada (D) mengacu<br />
pada makna (A) sehingga A : B = C : D, yang pada akhirnya A = D. Pada data ini<br />
dihasilkan bentuk Tb (n) : Pb (n), target atau komponen terbanding Tb yang<br />
berkelas kata nomina dibandingkan dengan bentuk lain, yakni source (Pb) yang<br />
juga dalam kelas nomina.<br />
Data LM 1 berikut ini juga memiliki bentuk (Tb) berbanding dengan (Pb).<br />
Namun, (Tb) yang merupakan frasa nomina dibandingkan dengan (Pb) yang<br />
merupakan frasa verba.<br />
LM 1 / tuah j↔ nyak jani hukume s↔tat↔ nagih rabuk /<br />
(A) Tb (NP) : (B) Pb (VP)<br />
’memang hukum sekarang : selalu minta dipupuk’<br />
’(C) hukum saat ini (D) selalu membutuhkan tombokan’<br />
82
Data GA 15c di bawah ini memiliki bentuk (Tb) berbanding dengan (Pb) dengan<br />
(Tb) berupa kalimat yang dibandingkan dengan komponen (Pb) yang juga berupa<br />
kalimat.<br />
GA 15c /ci kal b↔rag tato nag↔ ci b↔rubah dadi tato linduN /<br />
(A) Tb (K) : (B) Pb (K)<br />
’kamu akan kurus : tato nagamu berubah menjadi tato belut’<br />
’(C) kamu akan kurus : (D) badanmu akan menciut’<br />
Data berikutnya adalah data DRT 23a, dengan struktur yang berbeda, yakni<br />
kalimat jenis metafora dengan bentuk komponen (Pb) mendahului komponen<br />
(Tb). Pada data DRT 23a dibawah ini komponen (Tb) berfrasa verba<br />
dibandingkan dengan komponen (Pb) berfrasa nomina dengan komponen<br />
pembanding mendahului komponen terbanding. Data selanjutnnya merupakan<br />
variasi bentuk metafora dengan komponen (Pb) mendahului komponen (Tb).<br />
/m↔luab-luab kanti buNut ci Nl↔m↔sin nak luh /<br />
(B) Pb (NP) : (A) Tb (VP)<br />
’sampai mendidih mulutmu : merayu wanita’<br />
’(D) m↔k↔lo ’Dari tadi mulut kamu’ (C) merayu wanita’<br />
SAB 16 / m↔ul↔t basaN wake /<br />
(B) Pb (AdvP) : (A) Tb (NP)<br />
’berulat : perut ku’<br />
’(D) g↔d↔g ’kesal’ (C) aku’<br />
83
KL 1 /sapt↔ timir↔ e N↔kos sik :<br />
mas↔ ken awak bline bagus,<br />
awak bli mabuk bli ken k↔bagusan,<br />
mas↔ bli sugih,<br />
mabuk bli ken k↔sugihan /<br />
(B) Pb (K) : (A) Tb (K)<br />
’Sapta timira ngekos di raga kakak : merasa dengan diri tampan, mabuk<br />
kakak dengan ketampanan, merasa<br />
kakak kaya mabuk kakak dengan<br />
kekayaan’<br />
’(D) Sapta Timira ada pada diri kakak (C) merasa dengan diri tampan,<br />
mabuk kakak dengan<br />
ketampanan, merasa kakak kaya<br />
mabuk kakak dengan kekayaan’<br />
Dari beberapa contoh data yang mewakili <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> berjenis<br />
metafora, ditemukan bentuk-bentuk perbandingan secara implisit dengan empat<br />
variasi struktur komponen terbanding mendahului komponen pembanding, yaitu<br />
(1) (A)Tb (NP) : (B) Pb (VP), (2) (A) Tb (K) : (B) Pb (K), (3) (A) Tb (NP) : (B)<br />
Pb (AdjP), dan (4) (A) Tb (Adj) : (B) Pb (K). Di saming itu ditemukan tujuh<br />
variasi struktur komponen pembanding mendahului komponen terbanding, yaitu<br />
(1) (B) Pb (NP) : (A) Tb (VP), (2) (B) Pb (AdvP) : (A) Tb (NP), (3) (B) Pb (NP)<br />
: (A) Tb (NP), (4) (B) Pb (K) : (A) Tb (K), (5) (B) Pb (AdjP) : (A) Tb (K), (6)<br />
(B) Pb (VP) : (A) Tb (VP), dan (7) (B) Pb (AdvP) : (A) Tb (VP). Tabel di bawah<br />
ini menunjukkan bentuk-bentuk yang mewakili <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dengan<br />
metafora pada data yang ditemukan.<br />
Tabel 4.21 Permainan Bahasa Metafora dengan Komponen (Tb) Mendahului (Pb)<br />
No<br />
Data<br />
Bentuk Contoh Metafora<br />
84
DRT<br />
11<br />
DRT<br />
15c<br />
(A) Tb (NP) : (B) Pb (AdjP) /bon ci pait m↔kilit/<br />
'baumu pahit berkilit'<br />
(A) Tb (NP) : (B) Pb (VP) /nak bajaN mar↔ m↔kl↔pit /<br />
'anak perempuan yang baru saja<br />
menginjak remaja'<br />
/aNgane Nalih kitiran d↔ m↔pik↔t<br />
NaNgon guak,<br />
m↔laib kitiranne l↔m/<br />
'keinginan mencari burung perkutut<br />
jangan memancingnya dengan<br />
kucing hitam besar, lari burung<br />
KN 3b (A) Tb (K) : (B) (Pb (K)<br />
KL<br />
10c<br />
perkututnya Lem!<br />
(A) Tb (NP) : (B) Pb (VP) /doN matan ci aduh dewa ratu 6000<br />
wat nyalaN/ 'matamu aduh... dewa<br />
ratu 6000 watt menyala’<br />
TS 5a (A) Tb (AdjP) : (B) Pb (K) /b↔s du↔g daN yaN dron↔ b↔s li<br />
wat<br />
s↔ks↔k<br />
disket komput↔re misi tutur/<br />
'terlalu pintar Dang Hyang Drona,<br />
terlalu sesak disket komputernya<br />
berisi nasihat’<br />
SI 17 (A) Tb (NP) : (B) Pb (AdjP) /caN diar↔pne gen siN m↔luap/<br />
'aku di depannya saja tidak tumpah’<br />
SI 17 (A) Tb (NP) : (B) Pb (AdjP) /NudiyaN mel↔m N↔rodok/<br />
'mengapa Melem mendidih’<br />
Tabel 4.22 Permainan Bahasa Metafora dengan Komponen (Pb) Mendahului (Tb)<br />
No<br />
Data<br />
Bentuk Contoh Metafora<br />
KN 10c (B) Pb (AdjP) : (A) Tb (K) /↔ntut somboN munyinne k↔ras ko<br />
la siN m↔bo/<br />
'kentut sombong bunyinya keras,<br />
tetapi tidak berbau’<br />
KN 13 (B) Pb (VP) : (A) Tb (VP) /aNgona bola ratu bin t↔ndaN↔ kaN<br />
in bin tendaNa kauh/<br />
'dijadikan bola Ratu, lagi ditendang<br />
ke timur lagi ditendang ke barat'<br />
KL 11 (B) Pb (AdvP) : (A) Tb (VP) /j↔g t↔luN met↔r caN N↔mikmik<br />
siN<br />
N↔rti ci/<br />
85
4.2.2.2 Bentuk Simile<br />
86<br />
'tiga meter aku berbicara tidak<br />
mengerti kamu'<br />
Simile yang dikenal dengan gaya <strong>bahasa</strong> perumpamaan juga merupakan<br />
suatu <strong>permainan</strong> ber<strong>bahasa</strong> dengan analogi atau perbandingan, tetapi secara<br />
eksplisit dan ditandai dengan instrumen banding (IB) antara source (pembanding)<br />
dan target (terbanding). IB ini dapat berupa kata like, as, compare, resamble<br />
’seperti, bagai, sama, banding, dll’ (Knowles: 2006) atau dalam <strong>bahasa</strong> Bali<br />
misalnya dengan menggunakan IB: car↔, buk↔, tan bin↔, s↔kadi.<br />
Dia seperti serigala<br />
A : B<br />
Terbanding (Tb) Instrumen banding (IB) pembanding (Pb)<br />
Terdapat tujuh macam bentuk struktur yang ditemukan pada <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong><br />
berjenis simile ini, yakni enam dengan instrumen pembanding (IB) di antara<br />
komponen terbanding (Tb) dan komponen pembanding (Pb) dan satu bentuk<br />
struktur dengan IB yang terletak di awal komponen pembanding dan terbanding<br />
seperti pada data DRT 25a berikut ini.<br />
/ car↔ batun buluane tiyaN d↔m↔n ken bli /<br />
'seperti biji rambutan saya mencintai kakak’<br />
IB (car↔ ) Pb Tb<br />
Permainan <strong>bahasa</strong> ini menggunakan perbandingan di dalam pengungkapan<br />
perasaan cintanya yang diumpamakan bagai biji rambutan yang tunggal. Kata<br />
cara ’seperti’ yang digunakan sebagai instrumen banding terletak sebelum
komponen Pb yang kemudian langsung diikuti oleh komponen terbandingnya.<br />
Dalam budaya Bali, masyarakat banyak menggunakan bentuk ini di dalam<br />
mengungkapkan perasaan penuturnya yang dalam, baik perasaan senang, sedih,<br />
maupun kekesalan dan amarah. Bentuk dengan struktur IB di antara komponen Tb<br />
dan Pb dapat dilihat pada data LM 22b,<br />
/ bonne car↔ kambiN m↔uy↔N /<br />
’Baunya/aromanya seperti kambing yang diputar-putar di udara’<br />
Tb IB Pb<br />
Contoh data di atas mengungkapkan bau masam bagai bau kambing yang diputar<br />
di udara. Permainan <strong>bahasa</strong> perbandingan ini menggunakan kambing sebagai<br />
komponen pembanding yang identik dengan bau asam atau pesing.<br />
Beberapa contoh simile yang ditemukan pada <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong><br />
<strong>punakawan</strong> WCB yang mewakili bentuk-bentuk atau strukturnya dirangkum pada<br />
tabel berikut ini.<br />
Tabel 4.23 Bentuk Simile<br />
No<br />
Data<br />
Bentuk Contoh Simile<br />
LM (A) Tb (NP) IB (B) Pb (NP) /bonne car↔ kambiN m↔uy↔N/<br />
22b<br />
'baunya seperti kambing yang diputarputar'<br />
LM 27a (A) Tb (VP) IB (B) Pb (NP) /N↔luluk nas ci car↔ bola liga iNgris<br />
to/<br />
'bergelinding kepalamu seperti bola<br />
Liga Inggris itu'<br />
SI 14d (A) Tb (K) IB (B) Pb (NP) /y↔n kur↔n kak↔ paN ci nawaN buk<br />
erik, putih gadiN,<br />
kuniN laNsat baNkiaN c↔nik jit<br />
g↔de car↔ kuda australi/<br />
87
DRT<br />
22<br />
(A) Tb (K) IB (B) Pb (K)<br />
'kalau istriku, supaya kamu tahu, Bu<br />
Erick, putih gading, kuning langsat,<br />
pinggang kecil bokong besar seperti<br />
kuda Australia'<br />
88<br />
/y↔n cai Nelawan saN bim↔<br />
cai kal car↔ makpak batu/<br />
'jika kamu melawan Sang Bima, kamu<br />
akan seperti mengunyah batu'<br />
KL 4 (A) Tb (NP) IB (B) Pb (K) /panjak dini di gumi leNkane bli t↔n<br />
bin↔ car↔ kidaN N↔tis di punyan<br />
kayune g↔de/<br />
'warga di sini, di negeri Lengka ini<br />
Kak, bagaikan kijang yang berteduh di<br />
bawah pohon kayu yang besar'<br />
SI 14a (A) Tb (NP) IB (B) Pb (N) /bok kritiN car↔ mi/<br />
'rambutnya keriting seperti mie'<br />
SI 14c (A) Tb (NP) IB (B) Pb (NP) /gidatne jantuk car↔ be lohan/<br />
DRT<br />
25a<br />
'jidatnya menonjol seperti ikan Lohan'<br />
IB (B) Pb (NP) (A) Tb (K) /car↔ batun buluane tiyaN d↔m↔n k<br />
en<br />
bli/<br />
'seperti biji rambutan perasaan cinta<br />
saya ke Kakak'<br />
Secara umum komponen pembanding dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> ini selalu<br />
berposisi sesudah IB. Pada bentuk dengan struktur IB di antara komponen Tb dan<br />
Pb ditemukan komponen Tb atau (A) selalu pada posisi sebelum IB seperti (A) Tb<br />
(NP) IB (B) Pb (NP), (A) Tb (VP) IB (B) Pb (NP), (A) Tb (K) IB (B) Pb (NP),<br />
(A) Tb (K) IB (B) Pb (K), (A) Tb (NP) IB (B) Pb (K), (A) Tb (NP) IB (B) Pb (N)<br />
dan bentuk struktur dengan IB berposisi pada awal kalimat, yakni IB (B) Pb (NP)<br />
(A) Tb (K).<br />
4.2.2.3 Bentuk Eponim
Tokoh <strong>punakawan</strong> WCB banyak menggunakan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dengan<br />
kekreatifan gaya <strong>bahasa</strong> eponim, yaitu penggunaan nama yang dihubungkan<br />
dengan sifat tertentu. Misalnya dalam mengungkapkan seseorang yang cantik,<br />
<strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB menggunakan nama Madona atau Cut Tari sebagai<br />
sandingannya. Power Rangers yang saat ini dikenal sebagai <strong>tokoh</strong> pahlawan<br />
dalam imajinasi anak-anak dan petinju Lenox Louis digunakan sebagai<br />
pembanding untuk mengutarakan seseorang yang kuat. Tentunya pemilihan nama<br />
yang digunakan disesuaikan dengan imajeri masyarakat atau nama-nama yang<br />
sedang hangat diperbincangkan dalam masyarakat. Permainan <strong>bahasa</strong> jenis ini<br />
menghasilkan sensasi tersendiri dalam imajeri masyarakat yang menimbulkan<br />
gelak tawa. Bentuk-bentuk dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> ini menyerupai bentuk simile<br />
karena terdapat unsur perbandingan secara eksplisit, tetapi menggunakan nama-<br />
nama populer dalam masyarakat. Karena menggunakan nama-nama populer yang<br />
sedang hangat dalam imajeri masyarakat, komponen pembandingnya selalu<br />
merupakan frasa nomina atau kata dalam kelas nomina.<br />
Tabel 4.24 Bentuk Eponim<br />
No<br />
Data<br />
Struktur Bentuk Contoh Eponim<br />
KN 17a (A) Tb (NP) IB (B) Pb (NP) /k↔kuatan saN aNgada itu s↔tara<br />
d↔Nan k↔kuatan lenok luwis/<br />
‘kekuatan Sang Anggada itu setara<br />
dengan kekuatan Lenox Louis’<br />
KL 7b (A) Tb (N) IB (B) Pb (N) /yen nanaN m↔jalan car↔ rano kar<br />
no/<br />
‘jika ayah berjalan seperti Rano<br />
Karno’<br />
LM 7 (A) Tb (N) IB (B) Pb (N) /nyen nyidaN ny↔rihin hanoman na<br />
k<br />
hanoman l↔bih sakti ken<br />
89
pow↔r renj↔s/<br />
‘siapa bisa mengalahkan Hanoman?<br />
Hanoman itu lebih sakti daripada<br />
Power Rangers’<br />
SI 6a (A) Tb (N) IB (B) Pb (NP) /rabinne car↔ madona cantikne/<br />
‘istrinya bagai Madona cantiknya’<br />
SI 16h (A) Tb (N) IB (B) Pb (N) /kur↔n ci e car↔ atun j↔n↔ngne/<br />
‘istrimu seperti Atun tampangnya’<br />
BM 2c (A) Tb (N) IB (B) Pb (N) /memen cai ne cantik car↔ cut tari /<br />
'ibumu cantik seperti Cut Tari'<br />
Pada jenis kekreatifan gaya ber<strong>bahasa</strong> ini ditemukan bentuk struktur yang<br />
sama, yakni perbandingan dengan membandingkan kata dalam kelas nomina atau<br />
frasa nomina dengan nomina atau frasa nomina juga. Di samping itu terdapat IB<br />
di antara komponen Tb dan Pb, baik berupa perbandingan setara dengan<br />
menggunakan IB car↔ ‘seperti’, ‘setara dengan’ maupun perbandingan<br />
bertingkat dengan menggunakan kata ‘lebih dari’.<br />
4.3 Permainan Bahasa dengan Bentuk Hiponimi<br />
Hiponimi adalah semacam relasi antarkata yang berwujud atas-bawah atau<br />
dalam suatu makna terkandung sejumlah komponen yang lain (Keraf, 2009:38).<br />
Dalam hiponim kelas atas (superordinat) tercakup sejumlah komponen yang lebih<br />
kecil (hiponim). Tokoh <strong>punakawan</strong> WCB menggunakan kekreatifan dengan<br />
menggunakan <strong>permainan</strong> kata dengan menyebut kata-kata dengan relasi sama atau<br />
menyebutkan superordinat suatu kata dan menyebutkan kata-kata yang berelasi<br />
dengan superordinat tersebut atau langsung menyebutkan hiponim-hiponim yang<br />
mengacu pada suatu subordinat yang tanpa disebutkan sudah dapat diterka dari<br />
penyebutan hiponim-hiponimnya. Data SI 12 dan SI 13 berikut ini merupakan<br />
90
contoh dari <strong>permainan</strong> bentuk hiponimi yang dilakukan <strong>tokoh</strong>-<strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong><br />
WCB.<br />
SI 12<br />
(35 :34) Sangut : /adane mul↔ i wayan senter / ‘namanya memang I<br />
Wayan Senter’<br />
Delem : /ne madenan/ ‘yang nomor dua (Made)?’<br />
Sangut : /made batre / ‘Made Baterai’<br />
Delem : /nyoman/ ‘yang ketiga (Nyoman)?’<br />
Sangut : /balon/ ‘Balon (bola lampu)’<br />
Delem : /k↔tut/ ‘yang keempat (ketut)?’<br />
Sangut : /k↔pitiNan / ‘ tempat bola lampu’<br />
‘<br />
Delem : /nah ne bin sik an / ‘nah yang satu lagi?<br />
Sangut : /wayan balik saklar/ ‘Wayan Balik Saklar’<br />
Delem : /ah ap↔ balik saklar/ ‘ ah…. apa balik saklar!<br />
Sangut : /nak adan pidan kan beruntut adanne/ ‘zaman dulu<br />
pemberian nama kan<br />
beruntut<br />
Delem : /j↔g model model / ‘ada-ada saja’<br />
SI 13<br />
(36:00) Sangut : /i g↔de putu gas /<br />
‘I Gede Putu Gas’<br />
Delem : /mih ny↔r↔m ny↔r↔maN adanne ne made nan/<br />
‘Mih… tambah aneh-aneh namanya. Yang nomor dua (Made)?<br />
Sangut : /made rim / ‘Made Rim (Rem)’<br />
Delem : /nyoman/ ‘yang ketiga (Nyoman)?’<br />
Sangut : /kopliN/ ‘Kopling’<br />
Delem : /ketut/ ‘yang keempat (Ketut)?<br />
Sangut : /start↔r/ ‘Starter’<br />
Delem : /nah ane bin sik/ ‘nah, yang satu lagi?’<br />
Sangut : /wayan balik kunci kontak/ ‘wayan Balik kunci kontak’<br />
Delem : /ah .wayan balik kunci kontak/ ‘ah Wayan Balik Kunci<br />
Kontak’<br />
91
Permainan <strong>bahasa</strong> di atas didasarkan atas imajeri masyarakat Bali pada<br />
zaman dahulu dengan memberi nama anak-anak mereka dengan nama yang<br />
berurutan dari Wayan, Gede atau Putu untuk anak pertama, kemudian Made untuk<br />
anak kedua, Nyoman untuk anak ketiga, Ketut untuk anak keempat, dan anak<br />
kelima biasa disebut dengan Wayan Balik. Nama anak-anak dalam pertalian<br />
saudara dalam budaya masyarakat Bali terdahulu biasanya berurutan, baik dari<br />
urutan bunyi misalnya Wayan Gledag, Made Gledug, Nyoman Gledig;<br />
mengelompok misalnya menggunakan nama-nama bunga, seperti Putu Mawa<br />
(Mawar), Made Soka (Soka), Nyoman Sandat (Kenanga) maupun menggunakan<br />
nama buah-buahan, seperti Wayan Sentul, Made Klecung (nama buah-buahan<br />
hutan yang rasanya agak masam), Nyoman Ceroring (duku), Ketut Salak yang<br />
diberikan oleh orangtua mereka ataupun merupakan nama panggilan akrab dalam<br />
pergaulan sosialnya. Pemberian nama seseorang pada zaman dahulu di Bali<br />
biasanya dikaitkan dengan kejadian yang sedang berlangsung saat ia dilahirkan<br />
atau yang menjadi karakteristiknya, misalnya seseorang yang bernama Salak<br />
identik dengan kulitnya yang putih bagai daging buah salak, Klecung karena<br />
parasnya dianggap masam, dan sebagainya. Dalang WCB membuat <strong>permainan</strong><br />
<strong>bahasa</strong> dengan menggunakan kebiasaan masyarakat Bali dalam memberi nama<br />
secara berurutan ini dengan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> berbentuk hiponimi seperti contoh<br />
di atas.<br />
Data SI 12 menggunakan nama dengan superordinat “I Wayan Senter”<br />
kemudian dilanjutkan dengan hiponim-hiponim yang merupakan bagian dari<br />
senter, seperti batre ‘batere’, balon ‘bola lampu’, kepitingan ‘piting atau tempat<br />
92
menjepit bola lampu’, dan saklar ‘stop kontak’. Data SI 13 menyebutkan<br />
hiponim-hiponim yang berupa bagian-bagian dari kendaraan bermotor, hanya<br />
tidak disebutkan superordinatnya. Namun, imajeri ataupun ingatan pendengar<br />
dengan mendengar hiponim-hiponim tersebut akan tertuju pada kendaraan<br />
bermotor.<br />
Tabel 4.25 Struktur Bentuk Permainan Bahasa dengan Hiponimi<br />
Data Struktur Bentuk Contoh<br />
SI 12 Superordinat hiponim Senter batre, balon, kepitingan,<br />
saklar<br />
SI 13 hiponim Superordinat gas, rim, kopling, starter, kunci kontak<br />
Ο ( motor)<br />
4.4 Bentuk Permainan Kata Antar<strong>bahasa</strong><br />
Permainan kata antar<strong>bahasa</strong> (interlanguage) adalah <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong><br />
dengan pemanfaatan kehomoniman aksidental kata-kata yang berasal dari<br />
leksikon <strong>bahasa</strong> yang berbeda (Wijana dan Muhammad Rohmadi, 2010:85).<br />
Menjamurnya penggunaan <strong>bahasa</strong> Indonesia dalam budaya Bali dan banyaknya<br />
interaksi dengan turis mancanegara menyebabkan masyarakat Bali saat ini<br />
terbiasa menggunakan <strong>bahasa</strong> dengan alih kode atau campur kode. Campur kode<br />
adalah percampuran dua <strong>bahasa</strong> atau lebih atau ragam <strong>bahasa</strong> dalam suatu tindak<br />
<strong>bahasa</strong> tanpa ada sesuatu dalam situasi ber<strong>bahasa</strong> itu yang menuntut percampuran<br />
<strong>bahasa</strong> itu (Jendra, 2007: 166). Penggunaan campur kode ini dilakukan <strong>tokoh</strong><br />
<strong>punakawan</strong> WCB dengan memanfaatkan kata-kata berhomonim (persamaan<br />
bentuk, tetapi berbeda makna) dan leksikon dengan bunyi dan makna mirip, tetai<br />
dari leksikon <strong>bahasa</strong> yang berbeda untuk menghasilkan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang<br />
menarik.<br />
93
Pada LM 21a terdapat kehomoniman antara ‘uap’ dalam <strong>bahasa</strong> Indonesia<br />
yang dihasilkan dari temperatur yang tinggi dengan uap dalam <strong>bahasa</strong> Bali yang<br />
mengandung arti mengusap ke bagian tubuh. Dengan demikian, leksikon pertama,<br />
yakni ‘uap’ dalam <strong>bahasa</strong> Indonesia (disimbolkan dengan A) berubah maknanya<br />
saat diungkapkan dalam konteks yang berbeda (yang disimbolkan dengan A:).<br />
Walau berbentuk leksikon yang sama, terjadi perubahan identitas dari keterangan<br />
(Adv) menjadi kata kerja (V). Perbedaan makna dalam leksikon yang sama<br />
antar<strong>bahasa</strong> yang berbeda ini menghasilkan bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang<br />
mengundang tawa penonton.<br />
LM 21a<br />
Delem : /di kamar mandi kak↔ j↔g mbok nyoman ci mandi uap / ‘sewaktu<br />
aku di kamar mandi, Mbok Nyomanmu mandi uap’<br />
Sangut : /↔mbeh keNken madan mandi uap / ‘mbeh… seperti apa itu mandi<br />
uap?’<br />
Delem : /ad↔ yeh t↔Nan ember Nut paN nyandaN ajak dadua colek uap uap<br />
uap mandi uap/ ‘ada air setengah ember Ngut, agar cukup untuk<br />
berdua. Colek,usap, usap, usap…. mandi uap’<br />
Sangut : /kikikkikiki / ‘hihihihi’<br />
Mandi uap menjadi tren kebiasaan masyarakat saat ini yang biasanya dilakukan<br />
untuk mengeluarkan toksin-toksin dalam tubuh saat melakukan terapi SPA<br />
maknanya menjadi berbeda jika bentuk lingual ini digunakan pada <strong>bahasa</strong> Bali<br />
yang berarti mengusap. Dengan demikian, mandi uap dalam <strong>bahasa</strong> Bali adalah<br />
mandi dengan hanya menggunakan sedikit air yang diusap-usapkan ke tubuh. Hal<br />
ini biasanya digunakan oleh masyarakat zaman dahulu karena minimnya<br />
persediaan air atau dilakukan untuk membersihkan badan seseorang yang sedang<br />
sakit.<br />
94
Data KN 21 merupakan <strong>permainan</strong> kumpulan kehomoniman kata dalam<br />
<strong>bahasa</strong> yang berbeda. Dalam data ini bentuk frasa nomina dalam <strong>bahasa</strong><br />
Indonesia ‘kebutuhan hidup semakin kompleks’ dimanipulasi sedikit ejaannya<br />
menjadi kalimat dalam <strong>bahasa</strong> Bali butuh idup komplek ‘burung (kemaluan laki-<br />
laki) hidup ya ke komplek’<br />
A (NP) A: (K)<br />
KN21 Cenk : /belajarlah ci tuntut ilmu setiNgi-tiNginya<br />
pikirne s↔bab jaman globalisasi<br />
d↔ dadi ap↔<br />
Blonk<br />
kebutuhan idup s↔makin kompleks / ’belajarlah kamu..<br />
tuntut ilmu setinggi-tingginya, jangan akan jadi apa<br />
dipikirkan, sebab zaman globalisasi kebutuhan hidup<br />
semakin kompleks’<br />
: /o yen butuh idup komplek/ ‘oh.. kalau burung hidup ke<br />
komplek’<br />
Cenk : /otak ci dul / ‘otakmu dul!!’<br />
Persamaan leksikon ‘butuh’ dalam <strong>bahasa</strong> Bali dan Indonesia dimanfaatkan <strong>tokoh</strong><br />
<strong>punakawan</strong> WCB dalam mengkreasikan <strong>permainan</strong> antar<strong>bahasa</strong> ini, butuh atau<br />
‘kebutuhan‘ yang berkelas kata nomina dalam <strong>bahasa</strong> Indonesia bersinonim<br />
dengan keperluan, dimanipulasi sedikit dengan pelesapan afiksasi menjadi ‘butuh’<br />
berkelas kata nomina juga yang dalam <strong>bahasa</strong> Bali berarti ‘kemaluan laki-laki’. Di<br />
samping itu, leksikon kompleks dalam <strong>bahasa</strong> Indonesia yang bersinonim dengan<br />
beranekaragam dialihkan dalam imajeri masyarakat Bali dengan suatu tempat<br />
prostitusi di Bali yang dikenal dengan sebutan ‘komplek’. Penggabungan<br />
leksikon-leksikon antar<strong>bahasa</strong> tersebut menjadi wahana penyampaian lelucon<br />
berbau porno yang mengundang tawa.<br />
95
Satu data yang menarik lagi adalah penggunaan manipulasi bunyi dalam<br />
kehomoniman antar<strong>bahasa</strong> <strong>bahasa</strong> Bali dan Inggris berikut ini<br />
KL 5<br />
Sangut : /Norin timpal ne Norin bar↔N N↔laksanaaN<br />
to panak caNe m↔bas↔ bali panak mel↔me m↔bas↔ iNgris,<br />
panak mel↔me b↔rg↔lut d↔Nan toris luar n↔gri b↔rg↔lim<br />
aN dolar<br />
panak caNe b↔rg↔lut deNan nyanyat di dicarike<br />
to panak mel↔me makan keju panak caNe makan siNkoN<br />
to panak mel↔me Norang oh. me mad↔ to panak caNe NoraN o<br />
meme made / ‘memberi tahu teman yang member tahu juga harus<br />
melaksanakan. Itu anakku ber<strong>bahasa</strong> Bali anak Melem ber<strong>bahasa</strong><br />
Inggris, anak Melem bergelut dengan turis luar negeri bergelimang<br />
dolar anakku bergelut dengan lumpur di sawah, itu anak Melem makan<br />
keju anakku makan singkong, itu anak Melem bilang oh.. my mother<br />
itu anakku bilang o.. meme Made’<br />
Pada <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dengan menggunakan campur kode di atas terjadi<br />
perubahan variasi <strong>bahasa</strong> dari <strong>bahasa</strong> Inggris my mother dengan pelafalan<br />
/me mad↔/ dilanjutkan dengan frasa <strong>bahasa</strong> Bali meme Made /meme made/.<br />
Pelafalan my mother dengan /me mad↔/ seperti yang banyak dilakukan<br />
masyarakat Bali dalam melafalkan frasa dalam <strong>bahasa</strong> Inggris tersebut sengaja<br />
dilakukan demi menyepadankannya dengan pelafalan frasa <strong>bahasa</strong> Bali /meme<br />
made/. Kemiripan pelafalan antar<strong>bahasa</strong> tersebut menghasilkan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong><br />
yang menarik karena secara tidak langsung makna dari kedua <strong>bahasa</strong> berbeda<br />
yang pelafalannya mirip tersebut juga mirip.<br />
Tabel 4.26 Struktur Bentuk Permainan Bahasa dengan Permainan Antar<strong>bahasa</strong><br />
No Data Bentuk Contoh<br />
LM 21a A (Adv) A: (V) Mandi uap uap ‘meraup wajah’<br />
KL 5 A (NP) A: (NP) oh my mother oh meme made<br />
/oh me mad↔ oh meme made/<br />
96
KN 21 A (NP) A: (K) Kebutuhan hidup semakin kompleks<br />
butuh idup komplek ‘burung (kemaluan)<br />
hidup ya ke kompleks (tempat prostitusi)<br />
BAB V<br />
FUNGSI PERMAINAN BAHASA<br />
TOKOH PUNAKAWAN WAYANG CENK-BLONK<br />
97
Dalam kajian Linguistik Kebudayaan antara bentuk, fungsi, dan makna<br />
ada benang merah yang menghubungkan satu sama lainnya. Hubungan sebab<br />
akibat yang logis tampak dari bentuk, fungsi, dan makna dari sebuah tuturan.<br />
Artinya komponen bentuk menyediakan dan memberikan peluang untuk<br />
mengemukakan eksistensi komponen fungsi. Komponen fungsi yang menerima<br />
peluang dari komponen bentuk selanjutnya menyediakan dan memberi peluang<br />
yang sama terhadap mengemukanya eksistensi komponen makna. Sang dalang<br />
sebagai kreator tentu memiliki maksud tertentu hingga memproduksi dan<br />
memformulasi bentuk-bentuk kreatif <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> pada <strong>tokoh</strong><br />
<strong>punakawan</strong>nya dan bentuk-bentuk yang dihasilkannya tentu memiliki kegunaan.<br />
Sehubungan dengan itu, dalam bab ini dianalisis fungsi-fungsi yang dihasilkan<br />
bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB yang sebelumnya dibahas pada<br />
bab IV yang setidaknya memunculkan lima fungsi. Kelima fungsi yang dimaksud<br />
adalah fungsi menghibur, fungsi menghibur dan informatif (infotainment), fungsi<br />
menghibur dan mendidik (edutainment), fungsi pengembangan kreativitas<br />
ber<strong>bahasa</strong> Bali, dan fungsi kritik sosial.<br />
5.1 Fungsi Menghibur<br />
Hal dominan yang ingin dicapai seorang entertain adalah agar<br />
penikmatnya merasa terhibur. Dalam seni pe<strong>wayang</strong>an, <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> menjadi<br />
pusat hiburan karena pada <strong>tokoh</strong>-<strong>tokoh</strong> inilah dalang memiliki hak untuk<br />
98
menggunakan dan menghasilkan <strong>bahasa</strong>-<strong>bahasa</strong> kreatif, baik demi keindahan<br />
maupun menghasilkan efek-efek jenaka sebagai humor yang dapat menghibur<br />
penonton. Kayam (1981:134) dengan tegas menyatakan bahwa di samping<br />
sebagai mass media, pertunjukan <strong>wayang</strong> kulit juga berfungsi sebagai mass<br />
entertainment. Dari pernyataan tersebut dapat diasumsikan bahwa dalam <strong>wayang</strong><br />
banyak tersedia hiburan yang dapat mengubah perasaan penonton menjadi senang.<br />
Sesuai dengan teori dari Leech (1977) tentang fungsi <strong>bahasa</strong>, fungsi<br />
menghibur ini sesuai dengan fungsi direktif, yakni fungsi <strong>bahasa</strong> yang dapat<br />
memengaruhi perasaan dan perilaku orang lain dalam hal ini memengaruhi agar<br />
merasa senang karena terhibur. Dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB<br />
bentuk-bentuk yang dapat memengaruhi perasaan pendengar ada pada <strong>permainan</strong><br />
<strong>bahasa</strong> yang sifatnya melucu atau humor dan yang berbentuk retoris. Permainan<br />
<strong>bahasa</strong> yang sifatnya melucu akan dirasa jenaka oleh pendengar sehingga<br />
memengaruhi perasaannya menjadi senang kemudian <strong>permainan</strong> berbentuk retoris<br />
yang bersifat kreatif juga dapat membuat pendengar terbuai dan menikmatinya<br />
sebagai hiburan. Namun, dalam bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> retoris <strong>tokoh</strong><br />
<strong>punakawan</strong> WCB orientasi terhadap keestetikan atau keindahan yang paling<br />
utama agar nantinya dapat berfungsi direktif. Berikut ini adalah contoh <strong>permainan</strong><br />
<strong>bahasa</strong> berbentuk retoris yang berfungsi menghibur,<br />
DRT 10 Delem : /m↔mul↔ padi y↔ m↔mul↔ timun/ ‘bertanam padi ya<br />
bertanam mentimun’<br />
Sangut : /m↔mul↔ nyuh y↔ m↔mul↔ sawah/ ‘bertanam kelapa<br />
ya bertanam sawah’<br />
Delem : /ne muani y↔ kimud kimud/ ‘yang pria malu-malu’<br />
Sangut : /sane luh galak galak/ ‘yang wanita galak-galak (agresif)’<br />
99
100<br />
Fungsi menghibur yang dihasilkan dari bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> retoris di<br />
atas karena bentuk asonansi yang terjadi pada setiap silabel akhir frasa.<br />
Penyisipan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> retoris di atas hanya untuk menghasilkan keindahan<br />
dalam ber<strong>bahasa</strong> yang secara direktif dapat memengaruhi perasaan pendengarnya.<br />
Bentuk retoris di atas dalam <strong>bahasa</strong> Bali disebut dengan peparikan atau sejenis<br />
pantun. Persamaan sajak yang dihasilkan secara apik dalam sampiran dan isi<br />
peparikan selain untuk keindahan dapat dirasakan sebagai hiburan. Paling tidak<br />
pendengarnya akan tersenyum setelah penyepadanan bentuk padi dengan muani,<br />
nyuh dengan luh, timun dengan kimud, dan sawah dengan galak. Bentuk yang<br />
sama juga dapat diperlihatkan pada data DRT 14 dan KN 4 berikut.<br />
DRT 14 Delem : /man man / ‘Man…. Man….’<br />
Nyoman : /doN sir↔ niki m↔nyoman-nyoman ken tiyaN<br />
sajan tonden m↔sandal sub↔ m↔g↔njit konden k<br />
↔nal rag↔ sub↔ g↔nit / ‘Siapa ini memanggilmanggila<br />
saya Nyoman? Belum bersandal sudah berjinjit,<br />
belum kenal kamu sudah genit’<br />
Penyepadanan asonansi pada <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> di atas juga berfungsi<br />
menghibur, tidak ada hubungan antara tonden m↔sandal dengan<br />
konden k↔nal ataupun sub↔ m↔g↔njit dengan sub↔ g↔nit. Pemasangan<br />
bentuk-bentuk tersebut hanya untuk keindahan dan menghasilkan efek jenaka.<br />
Data KN 4 lebih menunjukkan kekreatifan dalang dengan membentuk pola<br />
konstruksi seperti sajak dengan <strong>permainan</strong> asonansi. Penataan dan pemasangan<br />
bentuk-bentuk leksikal yang sesuai dengan imajeri masyarakat saat ini<br />
menghasilkan bentuk keseluruhan yang jenaka dan menghibur. Bentuk estetik<br />
yang ditonjolkan dalam <strong>permainan</strong> repetisi bunyi ini mengembangkan imajeri
101<br />
masyarakat yang bermacam-macam sesuai dengan pengalamannya masing-<br />
masing.<br />
KN 4<br />
Delem: / kol↔ NoraN ya k↔baaN honda<br />
kol↔ NoraN yes k↔baaN mersedes<br />
kol↔ NoraN oke k↔baaN ceroke /<br />
‘asalkan bilang ya aku beri Honda.<br />
Asalkan bilang yes kuberi Mercedes.<br />
Asalkan bilang oke ku beri Cerokee.’<br />
Fungsi menghibur yang paling jelas tampak pada bentuk-bentuk<br />
<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang berjenis humor. Dalam WCB bentuk inilah yang paling<br />
ditunggu-tunggu penonton karena dalang WCB terkenal dengan kekreatifannya<br />
memformulasikan humor.<br />
Gara (1999) menyebut humor terjadi jika dua dunia “bertabrakan”, yakni<br />
dua persepsi atau lebih berbeda dan berlawanan, lalu diinferensikan sesuai dengan<br />
pengalaman apresiatornya masing-masing. Dalam humor sesuatu yang tak terduga<br />
harus terjadi yang mengguncang kita keluar dari pola biasa, lalu kita tertawa.<br />
Tertawa secara umum menjadi simbol rasa terhibur. Hal inilah yang menjadi<br />
acuan seorang dalang. Dalam fungsinya sebagai wahana hiburan, <strong>permainan</strong><br />
<strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB ditata apik oleh dalangnya dan disesuaikan<br />
dengan perkembangan zaman sehingga pendengar merasa masuk dalam<br />
<strong>permainan</strong>-<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> tersebut. Fungsi hiburan dalam humor banyak<br />
terdapat pada <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB berbentuk pelesetan.<br />
SI 3b (01 :34)<br />
Sukir : /ratu p↔rand↔ jaNan erosi/ ‘Ratu Peranda jangan erosi<br />
!’<br />
Tualen : /emosi/ ‘emosi!’
Sukir : /eh a↔ emosi/ ‘oh iya emosi’<br />
102<br />
Pada data di atas bentuk “erosi” keluar dari pola biasa, maksudnya kata<br />
tersebut tidak sesuai jika dideretkan dengan kata-kata sebelumnya. Keadaan yang<br />
keluar dari pola biasanya inilah menyebabkan pendengar merasa aneh<br />
mendengarnya, terlebih lagi dilakukan penyebutan bentuk tandingannya yang<br />
merupakan ide yang sebenarnya. Dengan membandingkan bunyinya yang mirip<br />
penonton akan merasa hal itu sebagai kejenakaan yang menyebabkannya terhibur.<br />
Bentuk pelesetan lain yang berfungsi menghibur diperlihatkan dalam data DRT 20<br />
dan SAB 4 berikut ini.<br />
DRT 20<br />
Sangut : Yang paling mengetahui banyak ilmu di Wanaprasta adalah Sang<br />
Sahadewa. Beliau mengetahui berbagai magic. White magic, black<br />
Magic, dan segala gic gic-nya sampai ke magic-jar, itu sang<br />
Sahadewa<br />
SAB 4<br />
Delem : / jani b↔ Nut ram↔ dew↔ akan hancur/ ‘saat inilah Ngut…Rama<br />
Dewa akan hancur’<br />
Sangut : /ram↔ dew↔ akan TKO / ‘Rama Dewa akan TKO’<br />
Delem : / TKO to / ’TKO itu?’<br />
Sangut : Tenaga Kurang Optimal<br />
Pemelesetan ide yang diperlihatkan pada data DRT 20 memperlihatkan<br />
terjadi penyimpangan “pola” biasanya. Ide berbagai macam kekuatan atau<br />
kesaktian yang dihasilkan bentuk white magic dan black magic yang terkesan<br />
serius segera memecahkan keseriusan pendengar menjadi kejenakaan saat ide ini<br />
terkontaminasi dengan bentuk magic jar yang memiliki bentuk penyusun yang<br />
mirip dengan bentuk atau pola awalnya.
103<br />
Data DRT 14 berikut ini juga memperlihatkan fungsi menghibur yang<br />
dihasilkan dari <strong>permainan</strong> berbentuk simile yang memanfaatkan pemilihan kata<br />
yang inovatif sesuai dengan imajeri masyarakat saat ini.<br />
Delem : /kulit kur↔n ci s↔l↔m di↔t, buNutne p↔luN NiduN len liNgah,<br />
pipi c↔nik t↔lah pipine uyak buNut.<br />
di muwane buNut gen m↔kacakan./<br />
‘kulit istrimu hitam legam, bibirnya hitam, dan lebar, pipi kecil,<br />
wajahnya penuh isi bibir’<br />
SI 14a /bok kritiN car↔ mi / ‘rambutnya kriting seperti mie’<br />
SI 14b /batisne b↔lah b↔lah / ‘kakinya pecah-pecah’<br />
SI 14 c /aduh gidatne jantuk car↔ be lohan hahahaha /<br />
‘aduh… jidatnya menonjol seperti ikan Lohan hahahaha’<br />
Fungsi ekspresif yang berorientasi pada perasaan penutur, yakni <strong>tokoh</strong> Delem<br />
terhadap lawan tuturnya (<strong>tokoh</strong> Sangut) ditunjukkan dari kesan wacana di atas.<br />
Permainan <strong>bahasa</strong> berbentuk simile dan metafora ini diungkapkan <strong>tokoh</strong> Delem<br />
yang seolah-olah mengejek <strong>tokoh</strong> Sangut dengan mengata-ngatai istri Sangut<br />
dengan celaan yang mengundang tawa penonton. Penggunaan pola-pola yang<br />
tidak sesuai dengan pola sebenarnya dirasakan penonton yang juga merupakan<br />
pelibat tutur pada bentuk-bentuk simile /bok kritiN car↔ mi / dan<br />
gidatne jantuk car↔ be lohan / ‘ jidatnya menonjol seperti ikan Lohan’. Pada<br />
saat <strong>tokoh</strong> Delem menyebutkan hal ini suara tawa penonton terdengar dalam<br />
rekaman VCD yang menandakan bentuk ini dianggap lucu. Bentuk simile bok<br />
kriting cara mi ‘rambutnya kriting seperti mie’ keluar dari pola awal yang<br />
diketahui masyarakat Bali bahwa ungkapan yang membudaya didengarnya untuk<br />
penyebutan rambut seseorang yang kriting adalah bok kriting cara embotan belayag<br />
‘rambut kriting seperti tarikan sejenis ketupat yang bentuknya memanjang’ atau bok
104<br />
kriting cara sebun perit ‘rambutnya seperti sarang burung pipit’. Pergeseran pemilihan<br />
leksikal belayag dan sebun perit menjadi mie inilah yang mengundang tawa<br />
pendengarnya. Mengembangkan dan memperkaya imajeri dapat dilakukan dengan<br />
pengalaman secara langsung. Imajeri yang diperoleh dari pengalaman melihat<br />
langsung akan lebih kuat melekat dibandingkan dengan imajeri yang diperoleh<br />
dari hanya mendengar saja. Imajeri masyarakat akan mie lebih dekat di otak<br />
masyarakat saat ini daripada belayag ataupun sebun perit sehingga dengan<br />
menyebut mie yang menyimpang dari pola atau bentuk yang biasanya didengar<br />
dan pengalaman kontekstualnya dengan mie menyebabkan bentuk ini menjadi<br />
menarik dan menghibur.<br />
5.2 Fungsi Informatif dan Menghibur (Infotainment)<br />
Istilah infotainment merupakan istilah dalam <strong>bahasa</strong> Inggris yang menjadi<br />
istilah populer dalam masyarakat sebagai berita ringan yang menghibur atau<br />
informasi hiburan. Infotainment merupakan kependekan dari istilah Inggris<br />
information-entertainment yang lebih dikenal masyarakat berhubungan dengan<br />
acara televisi yang menyajikan berita selebritis dan memiliki ciri khas<br />
penyampaian. Pada penelitian ini istilah infotainment digunakan untuk<br />
menyebutkan fungsi <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB yang berfungsi<br />
sebagai informasi, tetapi dibungkus dengan hiburan. Agar sebuah informasi dapat<br />
diterima dengan baik oleh pendengarnya, dalang WCB menyelipkan <strong>permainan</strong>-<br />
<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang sifatnya menghibur pada dialog-dialog <strong>punakawan</strong> yang<br />
berfungsi informative. Unsur humor atau lelucon diselipkan agar pendengar
105<br />
tertarik dan jika sudah tertarik, otomatis pesan yang sebenarnya ingin<br />
disampaikan dapat diterima.<br />
LMur 8c Tualen : / kelan nanaN Norang b↔b↔dikin cai Nalih baraN<br />
baNka, paN d↔ nyanan k↔n↔ sakit AIDS/ ‘kan ayah bilang<br />
jangan kamu mencari pelacur, agar tidak terkena penyakit<br />
AIDS nanti’<br />
Mredah : /aids e ↔nto / ‘AIDS itu apa?’<br />
Tualen : A,I,D,S<br />
Mredah : A<br />
Tualen : /akibat/ ‘akibat’<br />
Mredah : I<br />
Tualen : /itunya/ 'itunya'<br />
Mredah : D<br />
Tualen : /dimasukkan/ 'dimasukkan'<br />
Mredah : S<br />
Tualen : /S↔mbaraNan jeg aids polon ci nyidaN siN nuluNin ben/<br />
‘ Sembarangan, jeg kena AIDS kamu, tidak bisa ditolong’<br />
Bentuk pelesetan kepanjangan dari singkatan AIDS Aquired Immune<br />
Deficiency Syndrome menjadi ”Akibat Itunya Dimasukkan Sembarangan”<br />
sebenarnya berfungsi informasional yang orientasinya mengarah pada topik<br />
pembicaraan, yakni AIDS. Pemelesetan kepanjangan ini dilakukan <strong>tokoh</strong>-<strong>tokoh</strong><br />
<strong>punakawan</strong> di atas untuk menarik antusias pendengar agar menyimak pelesetan<br />
kepanjangannya yang berbau agak porno ini. Fungsi awal yang ditunjukkan pada<br />
wacana di atas adalah untuk menyampaikan informasi, tetapi dalang melalui<br />
<strong>tokoh</strong> Tualen membuat informasi yang disampaikan tersebut menjadi suatu hal<br />
yang menarik dan kebermaknaannya dapat diperoleh dengan baik dan hati yang<br />
senang oleh pendengarnya dengan menyelipkan lelucon berbau agak porno.<br />
Secara tidak langsung lelucon berbau agak porno ini memiliki fungsi informasi<br />
bagi pendengarnya, yakni pesan yang ingin disampaikan dalang lewat <strong>tokoh</strong>
106<br />
<strong>punakawan</strong>nya bahwa AIDS yang disebarkan oleh virus HIV ini dapat terjadi jika<br />
seseorang sering berganti-ganti pasangan. Hal itu diwakili oleh kata barang<br />
bangka ‘barang tidak berguna’ yang merupakan istilah masyarakat Bali untuk<br />
menyebut pelacur atau wanita yang sering berganti-ganti pasangan. Pengutaraan<br />
<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> di atas menetralkan kesan “sok menasihati” yang mungkin<br />
dirasakan pendengar. Adanya sisipan pelesetan yang sifatnya menghibur ini juga<br />
dapat menghindari rasa tersinggung yang mungkin saja dirasakan pendengar yang<br />
memiliki kasus penyakit AIDS.<br />
Data KN 21 di bawah ini juga menunjukkan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang<br />
berfungsi informatif yang dibungkus dengan bentuk lelucon sebagai<br />
entertainment.<br />
KN21 Cenk : /belajarlah ci tuntut ilmu setiNgi-tiNginya<br />
pikirne s↔bab jaman globalisasi<br />
d↔ dadi ap↔<br />
Blonk<br />
kebutuhan idup s↔makin kompleks / ’belajarlah kamu..<br />
tuntut ilmu setinggi-tingginya, jangan akan jadi apa<br />
dipikirkan, sebab zaman globalisasi kebutuhan hidup<br />
semakin kompleks’<br />
: /o yen butuh idup komplek/ ‘oh.. kalau burung (kelamin<br />
laki-laki) hidup ke komplek?’<br />
Cenk : /otak ci dul / ‘otakmu dul!!’<br />
Bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> pelesetan ideologi di atas pada awalnya merupakan<br />
suatu pesan yang ditangkap pendengar sebagai informasi bahwa “kebutuhan hidup<br />
yang semakin kompleks” pada zaman sekarang ini. Penyelipan bentuk pelesetan<br />
yang hampir sama dengan hipogramnya menjadi ‘butuh idup komplek' dalam<br />
<strong>bahasa</strong> Bali yang bermakna vulgar secara direktif akan memengaruhi perasaan<br />
pendengar menjadi terhibur. Di samping itu, menyebabkan pesan awal yang
107<br />
disampaikan dalang melalui <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong>nya tersebut dapat melekat lebih<br />
lama atau dapat dengan lebih mudah diingat pendengar sebagai suatu informasi.<br />
Data KN 8b berikut ini merupakan informasi yang diperoleh pendengar<br />
bahwa Bali identik dengan kebersamaan. Fungsi informasional diperoleh dari<br />
orientasi pada topik dengan penandaan berupa <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong>. Penggunaan<br />
bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> aliterasi dengan repetisi konsonan /b/ pada awal kata<br />
yang diperlihatkan dengan perbandingan yang terbalik atau berantonim. Informasi<br />
yang diperoleh pendengar Bali identik dengan kehidupan bersama dan banyaknya<br />
penduduk Bali saat ini karena Bali menjadi tempat tujuan wisata ataupun tempat<br />
untuk mencari nafkah. Permainan <strong>bahasa</strong> aliterasi ditunjukkan dengan<br />
menyandingkan kata /bali/ dan /balu/ ‘janda’ yang identik dengan kesendirian<br />
menjadi sebuah humor yang menghibur.<br />
KN 8b<br />
Malen : /bali suka kebersamaan/<br />
Mredah : /bali d↔m↔n idup ajak liu/ ‘Bali suka hidup berbanyak’<br />
Malen : /bali d↔m↔n idup ajak liu/ ‘Bali suka hidup<br />
berbanyak’<br />
Mredah : /yen ub↔ ajak liu/ ‘jika sudah berbanyak?’<br />
Malen : /j↔g bali b↔ to/ ‘Bali itu!’<br />
Mredah : /yen pedidian/ ‘jika sendiri?’<br />
Malen : /balu / ‘janda’<br />
Mredah : /ne k↔l aluhan ken m↔ju / ‘kok gampang seperti itu’<br />
5.3 Fungsi Mendidik dan Menghibur (Edutainment)
108<br />
Fungsi menghibur dan mendidik di sini disamakan dengan istilah<br />
edutainment. Edutainment juga merupakan istilah yang sedang populer digunakan<br />
pada acara pertelevisian saat ini untuk menyebut program acara untuk anak-anak<br />
yaitu sejenis film yang mendidik, sebut saja salah satunya Dora dan Kawan-<br />
Kawan yang merupakan kartun yang berisi pelajaran bagi anak-anak usia dini<br />
dalam berhitung, bernyanyi, pengenalan warna, dan lain-lain. Edutainment<br />
merupakan penggabungan dua istilah dalam <strong>bahasa</strong> Inggris, yaitu education dan<br />
entertainment. Arti education sendiri adalah pendidikan, sedangkan entertainment<br />
berarti hiburan. Istilah edutainment memiliki arti bahwa adanya proses dalam<br />
pendidikan itu menjadi hiburan dan adanya hiburan itu akan menjadikan nilai<br />
pendidikan.<br />
Seni pe<strong>wayang</strong>an sangat erat dengan ajaran dan filsafat kehidupan. Dalam<br />
WCB banyak nilai normatif yang disajikan dalam dialog-dialog setiap lakonnya.<br />
Tokoh <strong>punakawan</strong> yang memiliki konvensi ber<strong>bahasa</strong> bebas dimanfaatkan para<br />
dalang dalam mentransmisikan nilai-nilai mendidik, baik dengan anjuran, ajakan,<br />
suruhan, pengarahan, pembiasaan, maupun pemberian contoh yang harus dijauhi<br />
dengan menggunakan <strong>bahasa</strong> yang lugas. Dalang WCB dapat dengan baik<br />
mentransmisikan nilai-nilai mendidik dan keteladanan tersebut terutama dengan<br />
menggunakan <strong>permainan</strong>-<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang menghibur pada <strong>tokoh</strong><br />
<strong>punakawan</strong>. Hal ini dilakukan agar terdidik, yakni pendengar tidak merasa<br />
terbebani.<br />
Leech (1977: 48) menyatakan fungsi direktif <strong>bahasa</strong> akan tampak jelas<br />
pada permohonan dan suruhan. Permainan <strong>bahasa</strong> dapat diaplikasikan di dalam
109<br />
mengungkapkan permohonan atau menyuruh seseorang untuk menghasilkan efek-<br />
efek tertentu. Topik dalam kalimat yang berfungsi direktif memberikan tekanan<br />
pada sisi penerima, maksudnya ujaran tersebut ditujukan kepada penerima hingga<br />
terpengaruh perasaannya dan melakukan sesuatu setelah mendengarnya. Dua<br />
konsep menghibur dan mendidik di sini tampaknya sama-sama menggunakan<br />
<strong>bahasa</strong> dengan fungsi direktif seperti yang disebutkan Leech (1977) karena pada<br />
prinsipnya kedua hal yang digabungkan tersebut sama-sama berorientasi kepada<br />
pendengarnya. Data DRT 3, DRT 9a dan BM 3j berikut ini merupakan beberapa<br />
contoh yang menunjukkan fungsi <strong>bahasa</strong> direktif yang penggunaannya sebagai<br />
pengarahan.<br />
menghibur.<br />
Data DRT 2 berikut ini dapat ditangkap pendengar sebagai anjuran yang<br />
(25 :60)<br />
DRT 2 Tualen : /το δαϕαν υμαηε, bilaN wai y↔ Namah narkoba<br />
sit↔N j↔ y↔ / ‘itu yang di sebelah utara rumah, setiap<br />
hari dia makan narkoba, kuat dia’<br />
Mredah : /narkoba/ ‘Narkoba?’<br />
Tualen : /a↔ nasi rawon koah bakso/ ‘iya, Nasi Rawon Kuah Bakso’<br />
Contoh di atas tampak seperti sebuah informasi baru bahwa ada narkoba yang bisa<br />
membuat orang siteng ‘sehat’. Akan tetapi, sebenarnya pesan yang<br />
ditransformasikan <strong>tokoh</strong> Tualen ini merupakan suruhan. Secara implisit <strong>tokoh</strong><br />
Tualen ingin menunjukkan contoh bahwa ada sesuatu yang disebutnya juga<br />
narkoba (seperti imajeri masyarakat terhadap kesan negatif narkoba: narkotika<br />
dan obat-obatan terlarang). Namun, narkoba yang disebutkan untuk kesehatan<br />
dan rasanya lebih enak daripada NarKOtik dan oBAt-obatan terlarang adalah<br />
NAsi Rawon KOah BAkso. Dengan memelesetkan kepanjangan akronim narkoba
110<br />
menjadi NAsi Rawon Koah Bakso <strong>tokoh</strong> Tualen secara tidak langsung mengajak<br />
pendengar untuk menjauhi narkoba (narkotik dan obat-obatan terlarang) dan<br />
menganjurkan mengonsumsi narkoba (nasi rawon koah bakso) yang lebih<br />
menyehatkan.<br />
Data SI 1 berikut ini juga sejenis dengan data DRT 2. Dengan<br />
menggunakan bentuk pelesetan kepanjangan akronim, <strong>tokoh</strong> Tualen<br />
mengembangkan imajeri penonton akan hubungan yang biasanya dianggap<br />
mendasar antara uang (duit) dengan upacara yadnya di Bali. Konseptual yang<br />
dimiliki kebanyakan masyarakat terhadap keperluan yadnya yang memerlukan<br />
dana yang banyak dikaburkan <strong>tokoh</strong> Tualen yang berusaha mengubah mainset<br />
masyarakat terhadap uang (duit) yang banyak menjadi tolok ukur untuk sebuah<br />
yadnya menjadi suatu pemikiran yang salah.<br />
SI 1 Mredah : /ap↔ dasar yadny↔ e/ ‘apa yang mendasari yadnya?’<br />
Tualen : ‘DUIT’<br />
Mredah : /ap↔ / ‘apa?’<br />
Tualen : ‘DUIT’<br />
Mredah : DUIT e to ? ‘duit itu?’<br />
Tualen : ‘D, U, I, T<br />
Mredah : D ?<br />
Tualen : /doa, s↔tata stiti bakti riN ida sang yang<br />
widi m↔dasar b↔n p↔pin↔h ane suci nirmal↔/ ‘Doa.<br />
Berbakti pada Ida Sang Hyang Widhi berdasar pikiran yang<br />
suci’<br />
Mredah : /doa / ‘doa?’<br />
Tualen : /doa/ ’doa’<br />
Mredah : ‘U?’<br />
Tualen : /utsah↔, N↔l↔mah lan m↔bakti k↔ pur↔,<br />
pul↔s Nanti di pur↔ siN mulih-mulih ulian m↔bakti,<br />
nunas ica paN nyak sugih,<br />
yen siN titinan b↔n ny↔mak gae siN<br />
m↔gl↔buk pise uluN uli laNit tuluN / ‘Usaha. Seharian<br />
sembahyang ke pura, sampai tidur di pura tidak pulang-
111<br />
pulang karena sembahyang, minta agar kaya jika tidak<br />
bekerja dengan keras, tidak akan jatuh uang dari langit’<br />
Mredah : /dasarne / ‘dasarnya?’<br />
Tualen : /utsah↔ to dasarne / ‘usaha, itu dasarnya<br />
Mredah : I ?<br />
Tualen : /inisiatif,<br />
d↔ timpale kanti nunden i rag↔ m↔yadny↔ irag↔<br />
p↔didi N↔lah kit↔ e yadnya e / ‘Inisiatif. Jangan sampai<br />
orang lain menyuruh kita ber-yadnya, harus kita sendiri yang<br />
memiliki keinginan’<br />
Mredah : T ?<br />
Tualen : /t↔kun/ ‘Tekun’<br />
Saat mendengar dasar yadnya adalah duit, terdengar tawa penonton pada<br />
rekaman pertunjukan WCB berjudul Suryawati Ilang ini. Hal tersebut<br />
menggambarkan bahwa celotehan <strong>tokoh</strong> Tualen ini dirasakan benar dan disetujui<br />
oleh penonton. Rasa antusias masyarakat untuk mendengar kelanjutan dialog<br />
<strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> ini semakin meningkat karena dalam benaknya pasti setelah itu<br />
banyak humor yang sifatnya menyindir akan disebutkan apalagi <strong>tokoh</strong> Mredah<br />
menyebut huruf “D” yang menjadi karakteristik keinovatifan WCB dalam<br />
membuat pelesetan kepanjangan singkatan dengan bersahut-sahutan antar<strong>tokoh</strong><br />
dalam menyebut huruf penyusun dan kepanjangannya yang dianggap lucu,<br />
menarik, dan mengena dalam konteks kehidupan. Namun, memanfaatkan rasa<br />
terhibur masyarakat ini <strong>tokoh</strong> Tualen ternyata menyebutkan kepanjangan akronim<br />
duit menjadi Doa, Utsaha, Inisiatif, dan Tekun dengan penjelasannya mendidik<br />
untuk memengaruhi atau membuat mainset masyarakat akan perlunya duit yang<br />
banyak untuk yadnya memudar. Dengan menyebut kepanjangan kata yang<br />
dianggap akronim DUIT <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> ini berusaha menyadarkan pendengar<br />
bahwa hal yang paling penting yang mendasari yadnya itu bukanlah sekadar uang<br />
(duit), melainkan doa, utsaha, inisiatif, dan ketekunan.
112<br />
Data DRT 9a dan KN 3 berikut ini merupakan anjuran, arahan yang<br />
diformulasikan dalam dialog <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> sebagai nilai-nilai keteladanan<br />
dengan menggunakan hiburan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> berbentuk kias, yakni simile dan<br />
metafora.<br />
(49 : 52)<br />
DRT 9a Tualen : /kelan d↔ iju-iju nigtig taNkah N↔raosaN awak paliN jujur<br />
NraosaN awak paliN suci brut asal baNke meN<br />
gen bon ↔ntute nu j↔le m↔lahe m↔kilit di awake. brut<br />
asal c↔nan↔ bon ↔ntute ne mirib tamp↔tin to / ‘jangan<br />
buru-buru memukul dada, menyebut diri paling jujur,<br />
menyebut diri paling suci, bruuut…. Asal bangkai kucing<br />
masih bau kentutmu berarti baik buruk masih melilit di<br />
tubuh. Bruut asal berbau cendana kentutmu, ini mungkin bisa<br />
disimpan itu’<br />
KN3 Sangut : /car↔ pane misi yeh, dij↔ j↔ yehe misi yeh ↔niN ditu bulanne<br />
m↔lawat yen pane misi yeh pu↔k sinah bulan siN m↔lawat.<br />
ida saN yang widi m↔rag↔ suci lan p↔pin↔h suci aNgon<br />
Nalih l↔m! aNgane Nalih kitiran d↔ m↔pik↔t NaNgon guak<br />
m↔laib kitirne l↔m/<br />
‘seperti periuk tanah yang berisi air, di mana air yang bersih di<br />
situ bayangan bulan akan tampak, jika periuk tanah berisi air<br />
kotor bayangan bulan tidak akan tampak. Ida Sang Hyang Widhi<br />
itu suci, jadi pikiran yang suci digunakan untuk mencarinya Lem!<br />
Jika ingin mencari burung perkutut, jangan menjerat dengan<br />
kucing hitam, lari nanti burung perkututnya Lem’.<br />
Pada data DRT 9a tampak fungsi direktif pada kata /d↔ iju-iju nigtig taNkah/<br />
‘jangan buru-buru memukul dada’. Fungsi direktif yang bermaksud untuk<br />
melarang ada pada kata /d↔/ yang identik dengan suruhan atau ciri pada kalimat<br />
imperatif dan “memukul dada” yang mengasosiasikan perilaku sombong karena<br />
setiap manusia pasti mempunyai kekurangan atau kelemahan yang diasosiasikan<br />
dengan metafora asal baNke meN gen bon ↔ntute nu j↔le m↔lahe m↔kilit
113<br />
di awake. ‘asal masih berbau kentutmu berarti baik buruk itu masih melilit<br />
ditubuhmu’. Penggunaan lelucon “bruut” yang menandakan bunyi kentut<br />
kemudian dilanjutkan dengan bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dengan metafora<br />
menghasilkan wejangan yang terbungkus dengan efek-efek menghibur. Hal yang<br />
sama juga terjadi pada data KN 3 yang dalam wacana-wacananya mengandung<br />
unsur didikan moral dan religius dengan menggunakan kreativitas gaya ber<strong>bahasa</strong><br />
/aNgane Nalih kitiran d↔ m↔pik↔t NaNgon guak m↔laib kitirne l↔m/ ‘jika<br />
ingin mencari burung perkutut, jangan menjerat dengan burung gagak hitam, lari<br />
nanti burung perkututnya Lem!’. Penggunaan asosiasi guak dan kitiran yang<br />
memiliki kesan tertentu bagi masyarakat Bali hingga membuat penontonnya<br />
tertawa karena imajeri yang dibangkitkan <strong>tokoh</strong> Sangut menjadikan wacana yang<br />
berfungsi mengimbau ini menjadi terasa segar dan menarik.<br />
5.4 Fungsi Pengembangan Kreativitas Ber<strong>bahasa</strong> Bali<br />
Permainan-<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB banyak menunjukkan<br />
kreativitas ber<strong>bahasa</strong> Bali yang berperan dalam pelestarian <strong>bahasa</strong> dan budaya.<br />
Walau banyak mendapat variasi kode dari <strong>bahasa</strong> Indonesia dan <strong>bahasa</strong> Inggris<br />
dengan menggunakan kata-kata atau pilihan kata yang banyak bersifat kekinian,<br />
banyak juga <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong>nya membangkitkan imajeri masyarakat terhadap<br />
leksikal-laksikal yang belum dikenal. Dalam <strong>permainan</strong>-<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong><br />
<strong>punakawan</strong> WCB masih banyak juga kata yang mungkin jarang digunakan<br />
masyarakat saat ini karena jarang atau tidak pernah sama sekali mengetahui hal<br />
tersebut. Dengan memformulasikan dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong>nya yang bersifat
114<br />
melucu <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> memperkenalkan leksikal-leksikal tersebut dengan cara-<br />
cara kreatif.<br />
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:739) disebutkan kreativitas<br />
memiliki pengertian (1) Kemampuan untuk mencipta; daya cipta; (2) perihal<br />
berkreasi; kekreatifan. Sesuai dengan fungsinya sebagai pengembangan<br />
kreativitas ber<strong>bahasa</strong> Bali, <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> pada <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong><br />
menunjukkan suatu perihal berkreasi, yakni mengkreasikan bentuk-bentuk yang<br />
sudah ada dengan pembaruan yang bersifat inovatif. Permainan <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong><br />
<strong>punakawan</strong> WCB banyak menunjukkan pengembangan kreativitas ber<strong>bahasa</strong> Bali<br />
dengan menggunakan bentuk bladbadan.<br />
Saat ini bladbadan sangat jarang digunakan dalam komunikasi masyarakat<br />
Bali padahal dahulu bladbadan menjadi istilah yang sering digunakan masyarakat<br />
untuk merujuk sesuatu atau memelesetkan acuan yang dimaksud dengan sinonim<br />
bladbadan tersebut. Bentuk bladbadan dan maknanya bersifat konvensional.<br />
Misalnya, madon jaka ‘berdaun enau’ yang bersinonim dengan ron, yaitu nama<br />
daun jaka (enau) dengan memulurkan bunyinya, memberi awalan –ma dan<br />
akhiran –an menjadi makaronan kemudian diasosiasikan bunyinya dengan<br />
makurenan ‘bersuami-istri’. Bladbadan majempong bebek ‘bermahkota bebek’<br />
yang bersinonim dengan jambul dan diasosiasikan dengan bentuk ngambul<br />
‘merajuk’. Bladbadan-bladbadan seperti itu diperoleh masyarakat pada pelajaran<br />
<strong>bahasa</strong> daerah Bali saat duduk di bangku SD dengan cara menghafal. Bladbadan-<br />
bladbadan ini akan tetap memiliki bentuk yang sama dengan arti yang sama<br />
karena dianggap sebagai paribasa <strong>bahasa</strong> Bali.
115<br />
Dengan memanfaatkan pengetahuan masyarakat Bali akan bentuk-bentuk<br />
bladbadan konvensional yang dikenal turun-temurun tersebutlah dalang WCB<br />
berkreasi menghasilkan istilah-istilah seperti bladbadan ini pada <strong>permainan</strong><br />
<strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong>nya.<br />
SAB 11a Sangut : /kupiN duaN sen t↔Nah / ’ telinga dua setengah sen’<br />
Delem : /eNken / ‘bagaimana?’<br />
Sangut : /beNol / ‘bengol: dua setengah sen’<br />
Contoh SAB 11a di atas menunjukkan kreativitas ber<strong>bahasa</strong> Bali dengan<br />
menggunakan bladbadan yang dibuat sendiri oleh dalang WCB. Dengan<br />
menyebut bladbadan kuping duang sen tengah <strong>tokoh</strong> Sangut ingin menyatakan<br />
bahwa Delem bongol ‘tuli’. Duang sen tengah ‘dua setengah sen’ yang<br />
bersinonim dengan bengol dalam <strong>bahasa</strong> Bali diasosiasikan dengan bentuk bongol<br />
karena kemiripan bunyi. Namun, bentuk sinonim duang sen tengah itu langsung<br />
disebut <strong>tokoh</strong> Sangut (tidak seperti bagaimana biasanya dengan menyebutkan<br />
sinonim yang sudah mengalami pemuluran bunyi) agar pendengar bisa<br />
membandingkannya dengan bentuk tandingannya. Dalang pasti telah menyadari<br />
istilah bengol untuk menyebut nominal uang dua setengah sen sudah tidak biasa di<br />
dengar masyarakat saat ini terutama kaum remaja. Hal itu terjadi karena uang<br />
dalam satuan nilai ini sudah tidak ada pada zaman sekarang. Kemaknaan<br />
bladbadan akan segera ditangkap imajeri mayarakat saat <strong>tokoh</strong> Sangut menyebut<br />
bentuk sinonimnya dan bila dikaitkan dengan telinga pastilah bentuk yang<br />
dimaksud adalah bongol.<br />
Kekreatifan ber<strong>bahasa</strong> pada <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> ini juga dapat menambah<br />
pembendaharaan <strong>bahasa</strong> Bali masyarakat. Secara tidak langsung masyarakat akan
116<br />
mengetahui bentuk leksikal <strong>bahasa</strong> Bali pada zaman dahulu yang mungkin baru<br />
diketahuinya dengan mendengar <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB.<br />
Permainan <strong>bahasa</strong> dengan menggunakan bladbadan pada data SAB 6b di<br />
bawah ini juga menunjukkan pengembangan kreativitas <strong>bahasa</strong> Bali. Dalang<br />
menyusun dan mengembangkan bladbadan pada <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong>nya untuk<br />
menyebut kata Sprite yang merupakan salah satu label minuman yang dikenal<br />
masyarakat umum ini. Penggunaan istilah akedis petingan poleng dalam<br />
menyebut jenis minumaan Sprite yang diminum <strong>tokoh</strong> Delem. Istilah yang<br />
dianggap bladbadan akedis petingan poleng bersinonim atau mengacu pada nama<br />
burung Perit /prit/ yang diasosiasikan dengan Sprite yang dilafalkan /s↔prit/<br />
setelah mengalami pemuluran bunyi. Kreativitas ini dapat membangkitkan imajeri<br />
masyarakat terhadap istilah yang dibuat seperti bladbadan ini dan tersedia<br />
peluang masyarakat akan menggunakannya dalam interaksi sosial. Istilah ini dapat<br />
memperkaya bladbadan yang dikenal masyarakat Bali.<br />
(16:38) Sangut : /ap↔ air minum ne / ‘apa air minumnya?’<br />
SAB 6b Delem : /ak↔dis p↔tiNan poleN / ‘burung pipit berwarna hitam<br />
putih’<br />
Sangut : /ap↔ to / ‘apa itu?’<br />
SAB 6c Delem : /↔ s↔mprit / ‘ee.. Semprit’<br />
Sangut : /s↔prit / ‘Sprite!’<br />
Delem : /α↔ α↔ s↔prit / ’ya... ya... Sprite’<br />
Masih sangat banyak istilah yang dianggap sebagai bladbadan berfungsi<br />
sebagai pengembangan kreativitas ber<strong>bahasa</strong> Bali yang disebutkan dalam<br />
<strong>permainan</strong>-<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB. Beberapa di antaranya<br />
adalah gigi keliling kota yang bersinonim dengan /pawai/ kemudian diasosiasikan
117<br />
dengan /pawah/ ‘ompong’, bok suba airport Ngurah Rai yang bersinonim dengan<br />
Tuban kemudian diasosiasikan dengan uban ‘rambut yang memutih’, bayu suba<br />
cara bojog tua yang bersinonim dengan <strong>bahasa</strong> Indonesia kera yang dibunyikan<br />
seperti pelafalan <strong>bahasa</strong> Bali /k↔r↔/, dan sebagainya. Kreativitas ber<strong>bahasa</strong> ini<br />
tentunya berdampak sangat baik terhadap pengembangan dan kebertahanan<br />
<strong>bahasa</strong> Bali. Masyarakat akan lebih tertarik menggunakan istilah-istilah berbentuk<br />
bladbadan yang kreatif ini kerena pemilihan leksikalnya sesuai dengan imajeri<br />
masyarakat saat ini. Dengan meggunakan bladbadan-bladbadan baru ini<br />
setidaknya dapat membangkitkan budaya ber<strong>bahasa</strong> menggunakan bladbadan di<br />
tengah masyarkat yang modern.<br />
5.5 Fungsi Kritik Sosial<br />
Kwant (1975: 4) menyebutkan bahwa kritik adalah sesuatu yang bernilai<br />
besar bahkan merupakan salah satu nilai eksistensi kemanusiaan dan merupakan<br />
sumber dari segala kemajuan. Sasaran kritik adalah kenyataan yang dihadapi.<br />
Dengan demikian, kritik akan muncul jika seseorang menyadari kenyataan yang<br />
dihadapinya tidak sesuai dengan yang seharusnya. Kritik adalah penilaian atas<br />
kenyataan yang dihadapi seseorang dalam sorotan norma.<br />
Permainan <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB banyak mengandung fungsi<br />
kritikan terhadap kenyataan yang ada dan berkembang di masyarakat. Fenomena<br />
ketimpangan yang terjadi di masyarakat yang berhasil diamati dan “direkam” oleh<br />
dalang WCB disosialisasikan kembali dalam nuansa kritik pada <strong>tokoh</strong><br />
<strong>punakawan</strong>nya yang menjelmakan rakyat biasa yang derajatnya sama dengan
118<br />
masyarakat. Fungsi <strong>bahasa</strong> ekspresif, informasional, dan direktif akan<br />
berkombinasi di dalam pengungkapan kritik. Fungsi ekspresif akan ditunjukkan<br />
dari cara penutur mengungkapkan kritikannya yang menggambarkan perasaan<br />
ketidakpuasan terhadap sesuatu. Fungsi <strong>bahasa</strong> informasional akan tampak pada<br />
orientasi topik pembicaraan, yakni akan ada informasi yang diperoleh pendengar<br />
saat penutur melakukan kritikannya, sedangkan fungsi direktif <strong>bahasa</strong> digunakan<br />
untuk memengaruhi perasaan petutur. Data LMur 3 berikut ini adalah <strong>permainan</strong><br />
<strong>bahasa</strong> metafora yang ada pada dialog <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB sebagai kritikan<br />
terhadap kenyataan yang biasa terjadi dalam masyarakat.<br />
(58 :39)<br />
Mredah : /ap↔ dasarne to naN/ ‘apa dasarnya itu Yah?’<br />
Tualen : /pis/ ‘uang’<br />
Mredah : /ap↔/ ‘apa?’<br />
Tualen : /pis ci nyak dadi p↔mimpin siN maan pis<br />
kursi gen baaNne<br />
ap↔ buin car↔ jani e gumine gumi laNse/<br />
‘uang! Kamu mau jadi pemimpin tidak dapat uang, kursi<br />
saja diberi? Apalagi seperti sekarang ini zaman langsai<br />
(tirai kain)’<br />
LMur 3 Mredah : /gumi laNse to/ ‘zaman tirai kain itu apa?<br />
Tualen : /asal l↔bian pisne galir kerek ne keto / ‘asal uangnya<br />
lebih banyak maka akan galir (lancar) kereknya begitu…’<br />
Mredah : /asal b↔dikan / ‘jika sedikit?’<br />
Tualen : /s↔k↔tan/ ‘macet-macetan’<br />
Kata langse dalam konteks gumi langse ‘zaman tirai kain’ merupakan<br />
bentuk metafora yang menyandingkan dengan keadaan atau zaman ini. Langse<br />
adalah semacam tirai yang terbuat dari kain, bagian atasnya dirajut dengan benang<br />
atau tali yang melintas sejumlah uang kepeng dan selalu berpasangan sehingga
119<br />
untuk membukanya langse bisa ditarik ke kanan atau ke kiri. Tirai ini biasanya<br />
digunakan sebagai pembatas panggung dalam pertunjukan teater tradisional Bali<br />
seperti pada arja, topeng, dan sebagainya. Kata langse tersebut merupakan simbol<br />
kritik dan protes terhadap fenomena sosiokultural yang sedang marak terjadi<br />
dalam masyarakat. Uang adalah alat jitu yang biasa digunakan sebagai ukuran<br />
lancar tidaknya penyelesaian masalah. Jika jumlah uang banyak, maka segala<br />
sesuatu yang berurusan dengan lembaga-lembaga tertentu akan dengan mudah<br />
terselesaikan dan jika uangnya sedikit, maka penyelesaiannya akan lebih lambat.<br />
Hal tersebut diumpamakan bagai langse yang jika rajutan bagian atasnya banyak<br />
terdiri atas uang kepeng, maka ketika dibuka akan lebih galir atau lancar dibuka.<br />
Namun, jika uang kepengnya sedikit biasanya akan lebih keras atau kurang lancar<br />
dibuka. Dalang WCB melalui <strong>tokoh</strong>-<strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong>nya mengkritik tanpa<br />
membabi buta, tetapi dengan memilih <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> perumpamaan yang tepat<br />
kritikan-kritikannya dapat dengan lugas diungkapkan dan diterima masyarakat.<br />
Data LM 1a, 1b, 1c, dan KN 22 di bawah ini merupakan kritikan sosial<br />
terhadap keadaan hukum yang terjadi di masyarakat saat ini.<br />
41:53<br />
LM 1a Tualen :<br />
/tuwah j↔ jani hukum s↔tat↔ nagih rabuk m↔n siN maan<br />
LM<br />
1b rabuk t↔lah hukume siN nyak mokoh Nl↔<br />
mah hukume nagih<br />
LM 1c rabuk TSP /<br />
TSP : tombok suwap p↔licin / ‘ya memang sekarang hukum<br />
sering minta dipupuk, jika tidak mendapatkan pupuk,<br />
hukum tidak akan gendut. Sering kali hukum minta rabuk<br />
TSP. TSP: Tombok, Suap, Pelicin’
120<br />
Kata rabuk ‘pupuk’ di atas merupakan simbol kritikan terhadap hukum yang<br />
terjadi saat ini yang memerlukan “dipupuk” agar “gemuk”. Metafora ini<br />
menganalogikan pupuk dengan sesuatu yang harus diberikan pada penegak<br />
hukum jika sedang mengalami kasus, baik dalam hukum maupun persidangan.<br />
Sesuatu yang diberikan ini diumpamakan bagai pupuk yang dapat mempercepat<br />
tumbuhnya tanaman. Pupuk yang dimaksud disebutkan dengan bentuk pelesetan<br />
kepanjangan singkatan TSP (Tri Sulfur Phospat) menjadi “Tombok, Suap,<br />
Pelicin”. Saat ini hukum diibaratkan bagai tanaman yang perlu dipupuk agar<br />
jalannya lancar seperti pertumbuhan tanaman yang lancar tanpa kekurangan sari-<br />
sari makanan dari pupuknya.<br />
Data KN 22 berikut ini juga merupakan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> berbentuk<br />
perumpamaan yang berfungsi sebagai kritik sosial terhadap perilaku hukum saat<br />
ini.<br />
KN 22<br />
Cenk : /kadaN kala hukume to car↔ sau car↔ p↔ncar/ ‘kadang kala hukum itu<br />
seperti jala’<br />
Blonk : /ngudiaN keto / ‘kenapa seperti itu?’<br />
Cenk : /nyalian nagih k↔t↔s t↔k↔ juk↔ jak p↔ncare juk↔<br />
ken sau e be ulam agung t↔k↔ uwug p↔ncare uwug sawu e/ ‘ikan<br />
kecil-kecil yang akan lepas tertangkap juga oleh jala, ikan yang besar<br />
datang, rusak jalanya’<br />
Blonk : /oh keto/ ‘oh begitu’<br />
Fungsi <strong>bahasa</strong> ekspresif tampak pada cara penutur yang diperankan oleh<br />
Cenk dengan pengungkapan sau atau pencar ‘jala’. Dengan menganalogikan<br />
hukum dengan jala memperlihatkan perasaan penutur akan ketidakpuasan<br />
terhadap kenyataan yang terjadi. Hukum disebut bagai jala karena kenyataan yang
121<br />
sering terjadi dalam hukum bahwa seseorang yang berkelas sosial rendah atau<br />
miskin jika memiliki kasus di pengadilan, pasti akan segera dihukum dengan<br />
mudah. Walau kesalahannya kecil, pasti bisa ditangkap dengan mudah seperti jala<br />
yang menangkap be nyalian ‘ikan kecil-kecil’. Akan tetapi, jika seseorang<br />
berkelas sosial tinggi, mempunyai wewenang, dan kaya yang disimbolkan dengan<br />
ulam agung ‘ikan besar’, hukuman seakan-akan sangat sulit untuk menjeratnya.<br />
Bahkan, bisa rusak akibat kewenangan dan sogokan yang tinggi. Fungsi <strong>bahasa</strong><br />
direktif mengambil bagian pada <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> untuk mengkritik. Hal itu<br />
terjadi karena dengan kritikan tersebut diharapkan agar pihak yang merasakan<br />
atau dikritik akan terpengaruh perasaannya dan menjadi sadar.
BAB VI<br />
MAKNA PERMAINAN BAHASA<br />
TOKOH PUNAKAWAN WAYANG CENK-BLONK<br />
DAN IMAJERI MASYARAKAT BALI<br />
122<br />
Permainan <strong>bahasa</strong> yang bersifat semiotika merupakan usaha untuk<br />
menganalisis suatu sistem tanda berdasarkan budaya dan keadaan sosial<br />
masyarakat yang menentukan bentuk-bentuk <strong>permainan</strong> apa yang memungkinkan<br />
<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> tersebut mempunyai makna. Dalam konteks linguistik<br />
kebudayaan, <strong>bahasa</strong> adalah susunan makna yang berhubungan secara khusus<br />
dengan konteks situasi tertentu yang disebut register (Halliday dan Ruqaiya<br />
Hasan, 1994:53). Berkaitan dengan konteks situasi, linguistik kebudayaan dapat<br />
mengkaji referen-referen atau tanda-tanda yang digunakan dalam menyampaikan<br />
<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> seperti dalam jenis metafora dan sebagainya. Secara semiotik<br />
kebudayaan itu merupakan reaksi dari competence yang dimiliki bersama oleh<br />
anggota suatu masyarakat untuk mengenal lambang-lambang,<br />
menginterpretasikan, dan menghasilkan sesuatu. Perkembangan zaman akan<br />
memengaruhi penggunaan sistem tanda dalam menyampaikan makna tertentu.<br />
Teori semiotik sosial—yakni pemaknaan yang diperoleh dari sistem tanda yang<br />
terbentuk karena faktor sosial dan budaya masyarakat— diarahkan untuk
123<br />
memahami dan menafsirkan nilai-nilai makna sosial yang terkandung dalam<br />
kebudayaan.<br />
Halliday dan Ruqaiya Hasan (1994: 34) menyebutkan bahwa makna dalam<br />
sebuah ujaran yang berupa kalimat atau wacana akan terdiri atas makna<br />
pengalaman, makna antarpelibat, makna logis, dan makna tekstual yang terjalin<br />
bersama-sama dalam satu struktur. Pengalaman seseorang akan menyebabkannya<br />
dapat mengutarakan dan memahami sesuatu. Makna pengalaman ini erat<br />
kaitannya dengan imajeri.<br />
Dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> punakwan WCB terkandung filosofi<br />
budaya Bali sejak dahulu hingga pergeseran atau perkembangan budaya yang<br />
terjadi saat ini. Permainan-<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang diujarkan <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong><br />
WCB tentu bermaksud untuk menyampaikan makna-makna tertentu yang secara<br />
tidak langsung menunjukkan imajeri budaya masyarakat Bali. Di dalam<br />
menentukan maksud atau makna dari <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> ini digunakan makna-<br />
makna menurut Halliday (1994) –pengalaman, antarpelibat, logis, dan tekstual –<br />
dalam menganalisisnya.<br />
6.1 Makna Permainan Bahasa Tokoh Punakawan WCB<br />
Pada <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB yang dikumpulkan<br />
diperoleh beberapa makna yang mengandung nilai-nilai sosial. Nilai-nilai makna<br />
yang dimaksud adalah kerendahan hati, menghormati seseorang yang berkelas<br />
sosial lebih tinggi, Tuhan Mahasuci sehingga diperlukan pemikiran dan perbuatan<br />
suci untuk mendekatkan diri dengan-Nya, perlunya ber-yadnya, pemimpin adalah
124<br />
pelindung rakyat, menjauhi sesuatu yang menyebabkan kemabukan, pelestarian<br />
<strong>bahasa</strong> daerah, dan keadaan hukum yang buruk.<br />
6.1.1 Makna Kerendahan Hati<br />
Beberapa bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB memiliki<br />
makna yang menunjukkan kerendahan hati, seperti pada data DRT 9 dan LM 20<br />
berikut.<br />
DRT 9a Tualen : /kelan d↔ iju-iju nigtig taNkah,<br />
NraosaN awak paliN jujur,<br />
NeraosaN awak paliN suci brut asal baNke meN gen bon<br />
↔ntute nu j↔le m↔lahe m↔kilit di awake./<br />
‘jangan terburu-buru menepuk dada, menyebut diri paling<br />
jujur, menyebut diri paling suci. Bruuut… asal masih<br />
bangkai kucing bau kentutmu, baik buruk masih ada pada<br />
ragamu’<br />
Permainan <strong>bahasa</strong> jenis metafora nigtig taNkah ‘menepuk dada’ dan<br />
bangke meN gen bon ↔ntute 'bangkai kucing bau kentutmu' merupakan<br />
ungkapan proses atau tindakan dan keadaan yang menampilkan makna<br />
pengalaman karena merupakan gambaran dari fenomena gabungan dalam dunia<br />
nyata. Kalimat tersebut diungkapkan karena pengalaman atau imajeri yang<br />
dimiliki penutur dan lawan tutur. Menepuk dada merupakan sistem penandaan<br />
yang dalam imajeri masyarakat adalah suatu tindakan seseorang untuk<br />
menunjukkan dirinya benar atau hebat. Frasa bangke meN gen bon ↔ntute<br />
‘bangkai kucing bau kentutmu’ mengantarkan imajeri pendengar pada kebusukan<br />
yang dihasilkan dari makna logis. Dari pengalaman penutur ataupun pendengar<br />
terhadap sistem tanda ‘bangkai kucing’ yang berbau busuk dianalogikan secara<br />
logika dengan hal-hal yang buruk atau tidak baik. Kalimat-kalimat <strong>permainan</strong>
125<br />
<strong>bahasa</strong> tersebut juga ditafsirkan sebagai sarana berbuat karena terdapat kata<br />
d↔ 'jangan' yang menyatakan perintah (command). Hal ini menunjukkan adanya<br />
pelibat dalam wacana tersebut, yakni penutur kepada seseorang yang<br />
diperintahnya sehingga makna ini merupakan makna antarpelibat. Dalam makna<br />
pengalaman <strong>bahasa</strong> merupakan cara berpikir, sedangkan dalam makna<br />
antarpelibat <strong>bahasa</strong> merupakan cara bertindak (Halliday dan Ruqaiya Hasan,<br />
1994: 28). Kemudian secara tekstual, intonasi pengucapannya menekankan pada<br />
/d↔ iju-iju nigtig taNkah/ ‘jangan buru-buru menepuk dada’ dan<br />
/nu j↔le m↔lahe m↔kilit di awake./ ‘baik buruk masih ada dalam ragamu’<br />
menunjukkan bahwa wacana ini bermakna suruhan agar pendengar selalu rendah<br />
diri karena dalam diri manusia pasti masih terdapat kekurangan atau kejelekan.<br />
Data berikut ini juga menunjukkan makna kerendahan hati yang<br />
membudaya diturunkan kepada keturunannya dengan wejangan atau nasihat-<br />
nasihat yang diformulasikan dalam bentuk metafora. Pada contoh ini diperlihatkan<br />
<strong>tokoh</strong> Sangut menasihati temannya dengan mengingat kembali kata-kata<br />
‘bapaknya’ terdahulu.<br />
LM20 Sangut : /gus tut d↔ b↔s t↔g↔h n↔gakin awak gus tut<br />
endepin bin dik, dilacur t↔puk uluN j↔g m↔gl↔buk di<br />
paNkuNe ↔luN nyanan di b↔ten<br />
kaNgoaN p↔ endepin bin dik keto bapak caN/<br />
‘Gus Tut, jangan terlalu tinggi menempatkan diri Gus Tut,<br />
rendahkan sedikit, pada saat sial jatuh jeg terpelanting di<br />
jurang, patah-patah nanti di bawah. Cukup rendahkan<br />
posisinya lagi sedikit, begitu bapakku member tahu’<br />
Wacana tersebut memiliki makna lebih luas daripada apa yang tersurat,<br />
yang pada intinya pelibat dalam tuturan sebaiknya berendah hati karena dengan
126<br />
kerendahan hati kita dapat terhindar dari hal-hal yang menyakitkan. Ungkapan ini<br />
menjadi filosofi budaya atau imajeri budaya yang telah ada dan diturunkan dari<br />
nenek moyang masyarakat penuturnya. Hal tersebut tampak pada frasa<br />
/keto bapak caN / 'begitu Bapakku member tahuku’. ’Bapak’ dalam wacana ini<br />
mewakili orang tua atau leluhur terdahulu. Makna wacana ini dapat dimengerti<br />
jika pengalaman antara penutur dan petuturnya akan pangkung sama. Karena<br />
penggunaan kata pangkung sebagai penanda dihasilkan dari gabungan<br />
pengalaman penutur atau imajeri penutur dan lawan tutur. Pangkung ‘jurang’<br />
menjadi penanda pengalaman yang dihasilkan dari pengalaman budaya<br />
masyarakat yang secara logika dianalogikan dengan kesialan.<br />
Penganalogian antara pangkung dengan kesialan ini merupakan cara<br />
berpikir penuturnya yang akrab dengan gambaran pangkung. Seseorang yang<br />
tidak pernah melihat seperti apa pangkung pasti tidak akan menganalogikannya<br />
dengan kesialan. Pangkung ‘jurang’ yang ada dalam imajeri masyarakat Bali<br />
terutama yang tinggal di daerah pedesaan sebagai jurang atau suatu lahan yang<br />
menjorok ke bawah. Pengalaman masyarakat akan pangkung akan<br />
mengembangkan imajeri mereka akan tingginya tebing pangkung dan bila<br />
seseorang sampai terjatuh ke jurang atau pangkung tersebut, pasti akan terluka<br />
atau bisa sampai meninggal (terkesan sebagai suatu kesialan) sehingga imajeri<br />
rasa takut jika sampai terjatuh di pangkung akan dimiliki seseorang yang memiliki<br />
pengalaman dengan tempat ini. Dalam makna antarpelibat, terjadi interaksi<br />
antarpelibat, yakni penutur, lawan tutur dan bapak penutur yang menjadikan<br />
<strong>bahasa</strong> sebagai sarana berbuat. Maksudnya dibuat oleh penutur yang ditujukan
127<br />
kepada pendengar atau petuturnya. Makna antarpelibat ini akan menghasilkan<br />
fungsi apa yang dihasilkan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang diungkapkan penutur, dalam<br />
hal ini memberi informasi dan nasihat.<br />
6.1.2 Makna Menghormati Seseorang yang Berkelas Sosial Lebih Tinggi<br />
Dalam budaya masyarakat Bali yang mengenal sistem kasta, kelas sosial<br />
menjadi batasan yang memengaruhi cara ber<strong>bahasa</strong> dan berperilaku<br />
masyarakatnya. Permainan <strong>bahasa</strong> ini menunjukkan makna seorang bawahan<br />
harus menjunjung dan menghormati atasannya yang tentunya memiliki kelas<br />
sosial lebih tinggi.<br />
DRT 3 Tualen : /iraga dadi par↔kan paN siN N↔laNkahaN karaN di ulu,<br />
maNda t↔n car↔ kupiN N↔liwataN tanduk /<br />
‘kita menjadi bawahan agar tidak melangkahi pekarangan<br />
yang di depan, agar tidak seperti telinga melewati tanduk’<br />
Frasa car↔ kupiN N↔liwataN tanduk ‘telinga melewati tanduk’ hadir karena<br />
pengalaman penutur, yakni gambaran dari fenomena dunia nyata adalah sesuatu<br />
yang aneh jika telinga melewati tanduk karena posisi telinga secara alami berada<br />
di bawah tanduk. Frasa ini menunjukkan makna pengalaman.<br />
Dalam makna logis frasa dalam perumpamaan tersebut secara logika<br />
dimaknai dengan analogi telinga melewati tanduk adalah hal yang aneh atau<br />
sesuatu yang tidak sepantasnya. Secara logis teks di atas bermakna tidak<br />
sepantasnya seorang bawahan (abdi) melangkahi atau mendahului atasannya yang<br />
dianalogikan dengan /karaN di ulu/ 'pekarangan di depan'. Dalam makna<br />
pengalaman pekarangan di depan atau posisi di depan adalah posisi bagi
128<br />
seseorang yang memiliki wewenang atau menjadi pemimpin, yang secara logika<br />
dianalogikan dengan atasan atau seseorang yang memiliki kelas sosial lebih<br />
tinggi. Makna antarpelibat ditunjukkan dari kata iraga 'kita' (kata ganti orang<br />
ketiga) yang menandakan pelibat dalam wacana tersebut adalah penutur dan yang<br />
mendengarkan tuturannya. Jadi, dalam makna antarpelibat ada pelibat-pelibat<br />
tutur yang menyebabkan penutur mengatakan ujarannya. Di samping itu, ada<br />
maksud tertentu yang ingin dicapai penutur dengan mengungkapkan tuturannya.<br />
Dalam hal ini penutur ingin menyampaikan pesan yang dapat sebagai arahan atau<br />
ajakan.<br />
6.1.3 Makna Tuhan adalah Mahasuci sehingga Diperlukan Pemikiran dan<br />
Perbuatan yang Suci untuk Mendekatkan Diri pada-Nya<br />
Dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB banyak ditemukan<br />
wacana yang bermakna religi karena hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari<br />
pertunjukkan <strong>wayang</strong> yang berfungsi selain sebagai tontonan juga sebagai<br />
tuntunan hidup. Tuntunan hidup dapat diperoleh masyarakat sebagai pemeluk<br />
agama dari ajaran agama. Dalam dialog-dialog <strong>tokoh</strong> WCB banyak digunakan<br />
kata Ida Sang Hyang Widhi untuk menyebut Tuhan karena agama Hindu menjadi<br />
agama mayoritas masyarakat Bali.<br />
KN3 Sangut : /car↔ pane misi yeh, dij↔ j↔ yehe misi yeh ↔niN ditu bulanne<br />
m↔lawat yen pane misi yeh pu↔k sinah bulan siN m↔lawat.<br />
ida saN yang widi m↔rag↔ suci lan p↔pin↔h suci aNgon<br />
Nalih l↔m! aNgane Nalih kitiran<br />
d↔ m↔pik↔t NaNgon guak m↔laib kitirne l↔m/
129<br />
‘seperti periuk tanah yang berisi air, di mana air yang bersih di<br />
situ bayangan bulan akan tampak, jika periuk tanah berisi air<br />
kotor, bayangan bulan tidak akan tampak. Ida Sang Hyang Widhi<br />
itu suci, jadi pikiran yang suci digunakan untuk mencarinya Lem!<br />
Jika ingin mencari burung perkutut, jangan menjerat dengan<br />
burung gagak, lari nanti burung perkututnya Lem’.<br />
Wacana di atas secara keseluruhan bermakna bahwa sebagai seorang yang<br />
beragama kita patut untuk berperilaku baik dan memiliki pemikiran yang baik<br />
atau suci karena Tuhan akan melindungi orang-orang yang benar. Kalimat<br />
/dij↔ j↔ yehe misi yeh ↔niN ditu bulanne m↔lawat yen pane misi yeh pu↔k<br />
sinah bulan siN m↔lawat/ ‘di mana air yang bersih di situ bayangan bulan akan<br />
tampak, jika periuk tanah berisi air kotor, bayangan bulan tidak akan tampak’<br />
merupakan suatu keadaan yang diungkapkan penutur karena pengalamannya akan<br />
yeh ening ‘air bersih’ yeh puek ‘air kotor’, bulan, serta pengalaman akan bayangan<br />
bulan yang tampak pada air bersih. Kalimat tersebut merupakan cara berpikirnya<br />
atau dalam hal ini disebut dengan imajeri budayanya, yaitu imajeri yang diperoleh<br />
dari pengalaman budaya. Makna kalimat tersebut dihasilkan berdasarkan<br />
pengalaman penutur.<br />
Makna antarpelibat dapat dengan jelas tampak pada bentuk kalimat suruhan<br />
(command) yang ditandai dengan tanda seru yang berarti, bahwa kalimat tersebut<br />
ditujukan untuk menyuruh seseorang (dalam konteks ini kepada Delem). Makna<br />
logis diperoleh dari perbandingan antara bulan yang disepadankan dengan Tuhan<br />
yang posisinya dianggap di langit atau di atas dan air bersih diidentikkan dengan<br />
pikiran yang bersih atau perbuatan yang bersih. Permainan <strong>bahasa</strong><br />
/aNgane Nalih kitiran d↔ m↔pik↔t NaNgon guak m↔laib kitirne / selain
130<br />
bermakna antarpelibat juga bermakna berdasarkan pengalaman pelibat tuturan,<br />
yakni imajeri masyarakat Bali akan kitiran ‘burung perkutut’ yang dianggap<br />
burung bertuah sehingga digemari masyarakat sebagai burung peliharaan.<br />
Sebaliknya guak ‘burung gagak yang dalam imajeri masyarakat melambangkan<br />
burung yang kotor karena memakan bangkai. Pengalaman masyarakat Bali<br />
terutama di daerah pedesaan mungkin masih dekat dengan burung gagak ini<br />
karena biasa menjadi penanda akan ada seseorang yang meninggal. Kepercayaan<br />
datangnya burung gagak atau bunyi burung gagak menjadi simbol kematian<br />
merupakan kepercayaan yang membudaya dalam masyarakat Bali sehingga secara<br />
logika makna <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> metafora di atas menandakan Tuhan adalah sosok<br />
yang dicari masyarakat karena menjadi penyelamat. Untuk memperolehnya<br />
jangan menggunakan perilaku yang jahat yang dianalogikan dengan guak (gagak<br />
hitam) yang melambangkan hal yang buruk atau kekotoran.<br />
Data KL 6 juga bermakna kepercayaan bahwa Tuhan itu suci sehingga<br />
umatnya pun harus berperilaku suci atau baik untuk dekat dengan-Nya. Data KL 6<br />
merupakan sindiran yang diungkapkan dengan bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dalam<br />
jenis metafora yang pada intinya bermakna suruhan.<br />
KL 6 Sangut : /aduh suwud m↔tirt↔ yatr↔ kur↔n timpale silih↔ to<br />
adanne m↔agama nuut k↔bo k↔bo ne manjus di tukade<br />
m↔sil↔man di pasih k↔das, b↔ k↔das biin m↔nekan k↔<br />
buke. to siN pocol y↔/ ‘aduh.. selesai ber-tirta yatra istri teman<br />
diselingkuhi, itu namanya beragama meniru kerbau. Kerbau<br />
mandi di sungai, berendam di laut bersih, setelah bersih lagi naik<br />
ke lumpur kan rugi ya’<br />
Wacana yang diungkapkan penutur merupakan gambaran fenomena dunia<br />
nyata yang diperoleh dari pengalamannya dengan mendengar atau melihat.
131<br />
Menyebutkan analogi antara kebiasaan kerbau dengan seseorang yang kurang taat<br />
akan perintah agama dengan melakukan perselingkuhan merupakan hal yang tidak<br />
benar menurut agama penutur. Hal-hal tersebut merupakan kumpulan makna dari<br />
makna pengalaman dan logis. Jika diperhatikan lebih saksama, terdapat pola yang<br />
sama antara tanda-tanda yang dibandingkan. Dari makna pengalaman diperoleh<br />
imajeri bahwa seseorang yang melakukan tirta yatra ‘perjalanan suci untuk<br />
melakukan persembahyangan’ artinya telah melakukan pembersihan diri secara<br />
batiniah kemudian jika kembali melakukan perbuatan tidak senonoh seperti<br />
perselingkuhan semua pembersihan rohani yang dilakukannya akan percuma.<br />
Persepsi tersebut dianalogikan dengan analogi berpola sama jika telah melakukan<br />
(X), yakni pembersihan dan kembali melakukan (Y), yakni hal yang<br />
menyebabkan kotor, maka akan terjadi (Z), yaitu percuma atau kesia-siaan.<br />
Pembanding yang digunakan adalah kebiasaan kerbau yang telah melakukan (X),<br />
yakni berendam di air sehingga tubuhnya bersih kemudian kembali melakukan<br />
(Y), yakni bermain-main di lumpur, maka akan terjadi (Z), yakni badannya<br />
kembali kotor (percuma).<br />
Susunan tematik seperti ini yang mengungkapkan segi-segi susunan kalimat<br />
selain intonasi merupakan makna tekstual yang terdapat dalam teks tersebut.<br />
Secara tidak langsung teks tersebut bermakna suruhan oleh penutur kepada<br />
pendengarnya agar tidak mencontoh hal tersebut. Hal itu menandakan bermakna<br />
antarpelibat yaitu ada pelibat-pelibat tutur sebagai pengungkap tutur berupa pesan<br />
dan ada pendengar sebagai penerima informasi yang berupa nasihat. Penggunaan<br />
kerbau sebagai objek pembanding bertujuan untuk membangkitkan kembali
132<br />
imajeri masyarakat terhadap hewan yang gemar bermain-main di lumpur yang<br />
sangat dekat dalam imajeri masyarakat Bali terdahulu yang sebagian besar<br />
bermatapencaharian sebagai petani.<br />
6.1.4 Makna Perlunya Ber-yadnya<br />
Dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang dilakukan <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB terdapat<br />
tuntunan hidup agar kita selalu ber-yadnya karena ber-yadnya sangat dianjurkan<br />
oleh agama. Dari <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong>nya tersirat makna bahwa yadnya dapat<br />
dilakukan tidak saja dengan menggunakan materi, seperti uang. Namun, memiliki<br />
inisiatif, ketekunan, berusaha dengan baik, dan berdoa merupakan cara ber-<br />
yadnya juga.<br />
SI 1 Mredah : /ap↔ dasar yadny↔ e/ ‘apa yang mendasari yadnya?’<br />
Tualen : ‘DUIT’<br />
Mredah : /ap↔ / ‘apa?’<br />
Tualen : ‘DUIT’<br />
Mredah : DUIT e to ? ‘duit itu?’<br />
Tualen : ‘D, U, I, T<br />
Mredah : D ?<br />
Tualen : /doa, s↔tata stiti bakti riN ida sang yang<br />
widi m↔dasar b↔n p↔pin↔h ane suci nirmal↔/ ‘Doa.<br />
Berbakti pada Ida Sang Hyang Widhi berdasar pikiran yang<br />
suci’<br />
Mredah : /doa / ‘doa?’<br />
Tualen : /doa/ ’doa’<br />
Mredah : ‘U?’<br />
Tualen : /utsah↔, N↔l↔mah lan m↔bakti k↔ pur↔,<br />
pul↔s Nanti di pur↔ siN mulih-mulih ulian m↔bakti,<br />
nunas ica paN nyak sugih,<br />
yen siN titinan b↔n ny↔mak gae siN<br />
m↔gl↔buk pise uluN uli laNit tuluN / ‘Usaha. Seharian<br />
sembahyang ke pura, sampai tidur di pura tidak pulangpulang<br />
karena sembahyang, minta agar kaya jika tidak<br />
bekerja dengan keras tidak akan jatuh uang dari langit’
133<br />
Mredah : /dasarne / ‘dasarnya?’<br />
Tualen : /utsah↔ to dasarne / ‘usaha, itu dasarnya<br />
Mredah : I ?<br />
Tualen : /inisiatif,<br />
d↔ timpale kanti nunden i rag↔ m↔yadny↔ irag↔<br />
p↔didi N↔lah kit↔ e yadnya e / ‘Inisiatif. Jangan sampai<br />
orang lain menyuruh kita ber-yadnya, harus kita sendiri yang<br />
memiliki keinginan’<br />
Mredah : T ?<br />
Tualen : /t↔kun/ ‘Tekun’<br />
Dari data di atas, diketahui bahwa pelafalan dengan menggunakan huruf<br />
kapital menandakan intonasi yang keras dan tegas seperti /DUIT/. Penonton WCB<br />
yang memiliki imajeri yang sama, saat mendengar jawaban <strong>tokoh</strong> Tualen atas<br />
pertanyaan anaknya Mredah akan dasar yadnya pasti akan tertawa atau tersenyum<br />
mendengar jawaban keras dan tegas <strong>tokoh</strong> Tualen yang menjawab /DUIT/. Hal<br />
tersebut terjadi karena imajeri masyarakat akan yadnya di Bali, seperti upakara-<br />
upakara ataupun sumbangan terhadap upakara-upakara yang biasa dilakukannya<br />
cukup mengeluarkan dana yang banyak. Pemaknaan secara langsung ini<br />
merupakan makna pengalaman dan tekstual yang dihasilkan dari intonasi<br />
pengucapannya. Pengalaman masyarakat atas pengeluaran dana yang banyak<br />
untuk malakukan yadnya tersebut segera terhapuskan oleh <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong><br />
pelesetan <strong>tokoh</strong> Tualen dengan memelesetkan kata DUIT menjadi kepanjangan<br />
Doa, Usaha, Inisiatif, dan Tekun.<br />
Pelesetan ini dimaknai secara logis dengan kata-kata yang menyusun<br />
kepanjangan kata DUIT yang seolah-olah menjadikannya sebuah singkatan. Huruf<br />
“D” mengacu pada kata Duit, “U” mengacu pada kata Utsaha, “I” mengacu pada<br />
kata Inisiatif, dan “T” mengacu pada kata Tekun yang secara logis berhubungan<br />
dengan kata yadnya yang berarti korban suci. Korban suci di sini berarti
134<br />
pengorbanan yang dilakukan seseorang dengan ikhlas untuk hal-hal yang bersifat<br />
ritual keagamaan. Hubungan antara kata-kata yang menyusun akronim DUIT<br />
mempunyai kesan sangat mudah diraih oleh siapa saja termasuk oleh orang yang<br />
tidak memiliki uang. Hal itu mengisyaratkan makna bahwa ujaran tersebut<br />
menghasilkan ideologi begitu mudahnya ber-yadnya. Makna antarpelibat yang<br />
dihasilkan dari <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> ini merupakan informasi dan nasihat penutur<br />
terhadap mitra tuturnya, yakni Mredah dan penonton agar tidak berat hati<br />
melakukan yadnya dan memengaruhi pendengar yang merupakan pelibat dalam<br />
teks tersebut. Dari keempat unsur makna tersebut dapat diperoleh maksud<br />
pernyataan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> itu secara jelas bahwa ber-yadnya tidak harus<br />
dilakukan jika seseorang memiliki uang atau duit saja. Dalam keadaan tidak<br />
mempunyai uang pun kita dapat ber-yadnya dengan berdoa, usaha keras, inisiatif<br />
yang tinggi dan ketekunan.<br />
6.1.5 Makna Pemimpin Adalah Pelindung Rakyatnya<br />
KL 4 Sangut : /yen tiyaN NiN↔taN i panjak dini di gumi l↔ngkane bli<br />
t↔n bin↔ car↔ kidaN N↔tis di punyan kayune g↔de nak<br />
g↔de je punyan kayune kalo lacur kayune siN m↔don dij↔ y↔<br />
kidaNe maan tis ane p↔ntiN p↔ng↔tis, p↔Nayuh sane<br />
p↔rluaN↔ ken rakyate siN bli raosaN↔ t↔duN jagat<br />
paN nyidaN bli Netisin rakyate./<br />
‘kalau saya mengingatkan kakak, rakyat di sini di bumi Lengka<br />
ini kak, seperti kijang berteduh di bawah pohon kayu besar, besar<br />
sih pohonnya tetapi sayangnya tak berdaun, bagaimana kijang<br />
memperoleh keteduhan? Yang penting peneduh, pelindung yang<br />
dibutuhkan rakyat, kan kakak disebut dengan payung rakyat, agar<br />
kakak bisa meneduhi rakyat.’
135<br />
Pada <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> di atas ungkapan simile /car↔ kidaN N↔tis<br />
di punyan kayune g↔de / ‘bagai kijang berteduh di bawah pohon kayu’<br />
merupakan ujaran yang diutarakan penutur dengan menggunakan tanda-tanda<br />
seperti kijang dan pohon kayu merupakan makna pengalaman penutur. Makna<br />
logis punyan kayu ‘pohon kayu’ yang merupakan pohon besar dengan jumlah<br />
daun yang sedikit tidak akan bisa meneduhi kijang disandingkan dengan seorang<br />
pemimpin yang kurang bisa mengayomi rakyat yang berada di bawahnya. Makna<br />
tekstual diperoleh dari intonasi penekanan pada <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> tersebut dan<br />
tema yang sesuai antara komponen pembanding dan terbanding. Teks ini menjadi<br />
bermakna juga karena ada komponen pelibat di dalamnya yang menunjukkan teks<br />
tersebut bermakna suruhan. Dari makna pengalaman, antarpelibat, dan logis<br />
dihasilkan suatu nilai makna sosial yang mengacu kepada seorang pemimpin yang<br />
memiliki kewajiban untuk melindungi rakyatnya atau dianalogikan dengan<br />
pemerintah yang memiliki kewajiban seutuhnya untuk melindungi rakyat di<br />
bawahnya.<br />
Permainan <strong>bahasa</strong> yang menunjukkan makna bahwa pemimpin adalah<br />
pelindung atau pengayom rakyatnya juga terdapat pada data LM 2 berikut ini.<br />
LM 2 Tualen : /paN d↔ j↔ i dew↔ dadi p↔mimpin k↔na sakit AIDS<br />
kew↔h p↔mimpinne k↔n↔ sakit AIDS/ ‘agar kamu tidak<br />
menjadi pemimpin yang terkena penyakit AIDS, susah jika<br />
pemimpin terkena penyakit AIDS’<br />
Mredah : /p↔mimpin ap↔ k↔n↔ sakit AIDS /‘pemimpin apa terkena<br />
penyakit AIDS?’<br />
Tualen : /liu p↔mimpinne k↔n↔ sakit AIDS/ ‘banyak pemimpin kita<br />
terkena penyakit AIDS’<br />
Mredah : /AIDS ento / ‘AIDS itu?’
Tualen : A, I, D, S<br />
Mredah : ‘A?’<br />
Tualen : /aNkuh/ ‘Angkuh’<br />
Mredah : ‘I ?’<br />
Tualen : /iri hati / ‘Iri hati’<br />
Mredah : ‘D ?’<br />
Tualen : /d↔Nki/ ‘Dengki’<br />
Mredah : ‘S ?’<br />
Tualen : /somboN/ ‘Sombong’<br />
136<br />
Pada jenis <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dengan pelesetan ini terdapat pengungkapan<br />
sindiran kepada pemimpin yang pada intinya memberi himbauan bagi pemimpin<br />
untuk menyadari kewajibannya yang harus melindungi bawahan atau rakyatnya.<br />
Pemimpin tidaklah pantas bersikap sewenang-wenang, angkuh ataupun sombong<br />
dengan kedudukannya yang tinggi. Makna pengalaman diperoleh dari penggunaan<br />
kata AIDS yang menggambarkan fenomena dunia nyata atau sesuatu yang saat ini<br />
sedang mewabah dalam masyarakat. Imajeri masyarakat terhadap kata AIDS<br />
adalah suatu penyakit yang membahayakan dan harus dihindari. Konotasi negatif<br />
terhadap kata AIDS ini secara logika digunakan dalam memaknai pelesetan<br />
tersebut berkonotasi negatif juga, dengan memberi kepanjangan pelesetan<br />
Angkuh, Iri hati, Dengki, dan Sombong. Hal itu mengimbau pelibat tutur<br />
khususnya pendengar agar menjauhi sifat-sifat buruk tersebut jika menjadi<br />
seorang pemimpin. Secara tekstual makna pelesetan ini menekankan intonasi pada<br />
kata AIDS dan pelesetan kepanjangannya yang berkonotasi negatif. Di pihak lain,<br />
dengan pengetahuan budaya tingkah laku pendengar akan memaknainya sebagai<br />
imbauan atau suruhan (command).<br />
6.1.6 Makna Menjauhi Sesuatu yang Mengakibatkan Kemabukan
137<br />
DRT 1<br />
Tualen : /kij↔ y↔ mr↔dah m↔lali<br />
kayaN k↔jani tonden t↔k↔ nanaN j↔j↔h cai k↔n↔ p↔nyakit<br />
5M / ‘ke mana ini Mredah pergi sampai sekarang belum datang,<br />
ayah takut kamu kena penyakit 5M’<br />
Mredah : /M p↔rtama / ‘M pertama?’<br />
Tualen : /minum k↔r↔N/ ‘suka Minum ’<br />
Mredah : /M k↔dua / ‘M kedua?’<br />
Tualen : /k↔r↔N minum mabuk / ‘suka minum Mabuk’<br />
Mredah : /M k↔tiga / ‘M ketiga?’<br />
Tualen : /k↔r↔N mabuk muntah / ‘sering mabuk Muntah’<br />
Mredah : /M k↔↔mpat / ‘M keempat?’<br />
Tualen : /lewat muntah mencret/ ‘setelah muntah Mencret’<br />
Mredah : /M k↔lima/ ‘M kelima?’<br />
Tualen : /muntah mencret mati b↔ ci/‘muntah, mencret Mati dah kamu’<br />
DRT 2 Tualen : /to dajan umahe bilaN wai y↔<br />
Namah narkoba sit↔N j↔ y↔/<br />
‘ itu di sebelah utara rumah setiap hari mengkonsumsi<br />
Narkoba, tetapi dia sehat’<br />
Mredah : /narkoba / ‘narkoba?’<br />
Tualen : /a↔, nasi rawon koah bakso / ‘iya, NAsi Rawon KOah<br />
BAkso’<br />
SAB 6a Delem : /t↔k↔ kur↔nan kak↔ buk erik Nab↔ sabu/ ‘datang<br />
istriku Bu Erick membawa sabu’<br />
Sangut : /sabu to / ‘ Sabu itu?’<br />
Delem : /sarapan bubur misi be sitsit, sit sit sit/ ‘SArapan BUbur<br />
berisi daging suwir, wir… wir..’<br />
Ketiga data <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dalam jenis pelesetan di atas diutarakan<br />
dengan makna agar pendengar menjauhi hal-hal yang mengakibatkan kemabukan.<br />
Data DRT 1 mengungkapkan makna minum-minuman keras adalah<br />
membahayakan kesehatan dengan menggunakan pelesetan 5M yang dalam<br />
budaya agama Hindu dikenal dengan Panca “M” (5M), yakni Madat (suka<br />
merokok atau mengisap ganja), Main (suka berjudi), Madon (suka berzinah),
138<br />
Minum (minum minuman keras), dan Maling (suka mencuri) dipelesetkan dengan<br />
kepanjangan yang hampir mirip, yakni Minum, Mabuk, Muntah, Mencret, Mati<br />
yang secara logis bermakna urutan kejadian dalam kepanjangan tersebut akan<br />
merusak tubuh seseorang yang akan menyebabkan menemui ajal. Makna tekstual<br />
dapat didengar dari intonasi penutur saat menyebutkan pelesetan tersebut dengan<br />
penekanan pada setiap kepanjangan huruf-huruf yang menyusun 5M dan susunan<br />
tema yang sesuai dengan urutan kejadian. Makna antarpelibat dapat dimaknai<br />
bahwa tuturan ini ditujukan oleh <strong>tokoh</strong> Tualen kepada Mredah yang sebenarnya<br />
teks tersebut merupakan wejangan dengan makna agar Mredah menjauhi hal-hal<br />
tersebut.<br />
Pelesetan ‘Narkoba’ dan ‘Sabu’ dalam makna pengalaman diperoleh<br />
sebagai gambaran fenomena dalam masyarakat saat ini yang merupakan<br />
pengalaman penutur dari mendengar atau melihat kondisi yang terjadi dalam<br />
masyarakat saat ini. Pelesetan-pelesetan tersebut tidak sekadar memelesetkan<br />
kata-kata, seperti narkoba dan sabu. Namun, dalam makna logika kepanjangan<br />
‘narkoba’, yakni Nasi Rawon Koah Bakso yang menyebabkan pengonsumsinya<br />
siteng ‘kuat atau sehat’ bermakna bahwa lebih baik mengonsumsi nasi rawon<br />
berkuah bakso karena dapat menyehatkan tubuh dibandingkan dengan<br />
mengonsumsi narkoba (Narkotika dan Obat-obatan Terlarang) yang dapat<br />
merusak kesehatan tubuh. Makna suruhan atau tindakan yang seharusnya<br />
ditujukan agar pelibat sebagai pendengarnya melakukan tindakan tersebut<br />
mencirikannya dalam makna antarpelibat.
6.1.7 Makna Pelestarian Bahasa Daerah<br />
139<br />
Meredupnya pemakaian <strong>bahasa</strong> daerah dalam hal ini <strong>bahasa</strong> Bali juga<br />
menjadi perhatian WCB yang diungkapkannya dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> pada<br />
dialog-dialog <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> pertunjukan <strong>wayang</strong>nya. Berikut ini data<br />
<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang menunjukkan makna pelestarian <strong>bahasa</strong> daerah.<br />
KL 5 Sangut : /Norin timpal ne Norin bar↔N N↔laksanaaN. to panak caNe<br />
m↔bas↔ bali panak meleme m↔bas↔ iNgris,<br />
panak mel↔me b↔rg↔lut d↔Nan<br />
toris luar n↔g↔ri b↔rg↔limaN<br />
dolar panak cane b↔rg↔lut d↔Nan nyayat di carike,<br />
to panak mel↔me makan keju, panak caNe makan singkoN,<br />
to panak mel↔me NoraN oh….me mad↔, to panak caNe NoraN<br />
oh… meme made./<br />
‘ member tahu teman yang member tahu harus ikut melaksanakan.<br />
Itu anakku ber<strong>bahasa</strong> Bali anak Melem ber<strong>bahasa</strong> Inggris, anak<br />
Melem bergelut dengan turis luar negeri bergelimang dolar, anakku<br />
bergelut dengan lumpur di sawah, itu anak Melem makan keju,<br />
anakku makan singkong. Itu anak Melem bilang oh…. My mother,<br />
anakku bilang oh… Meme Made’<br />
Permainan kata antar<strong>bahasa</strong> ini dihasilkan dari pengalaman penutur dan dikaitkan<br />
dengan imajeri masyarakat saat ini, yakni pemakaian leksikal mother atau mom<br />
yang saat ini sering didengarnya dalam masyarakat kita yang sedang semarak<br />
menggunakan <strong>bahasa</strong> Inggris dalam komunikasi. Pengalamanlah yang<br />
menyebabkannya dapat menghasilkan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> seperti itu. Setiap<br />
competence pasti didahului oleh pengalaman. Inilah makna pengalaman yang<br />
dihasilkan dari teks <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> tersebut. Dalam makna antarpelibat si<br />
penutur mengutarakan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> tersebut karena memiliki maksud<br />
tertentu, yakni menyindir masyarakat dan secara tidak langsung menyuruh lawan<br />
tuturnya agar jangan sampai melupakan penggunaan <strong>bahasa</strong> daerah di tengah
140<br />
kemajuan teknologi dan semaraknya penggunaan <strong>bahasa</strong> internasional dalam<br />
masyarakat. Dalam makna tekstual susunan leksikal dalam frasa tersebut<br />
memperlihatkan tema yang sama, yakni menyebut atau memanggil ‘ibu’ dengan<br />
tekanan intonasi yang sama antara dua <strong>bahasa</strong> tersebut. Makna logika yang<br />
dihasilkan bahwa <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> tersebut membandingkan cara menyebut ibu<br />
dalam dua <strong>bahasa</strong> berbeda, tetapi dengan repetisi konsonan yang terstruktur<br />
sehingga menghasilkan bunyi yang mirip.<br />
Penggunaan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dengan memanfaatkan kehomoniman kata-<br />
kata antar<strong>bahasa</strong> seperti di atas bertujuan untuk menarik perhatian petutur yang<br />
dalam konteks ini termasuk penonton. Hal itu disesuaikan dengan pengalaman<br />
penonton terhadap pemakaian frasa <strong>bahasa</strong> asing yang saat ini banyak dilakukan<br />
masyarakat. Dengan menggunakan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> tersebut secara tidak<br />
langsung WCB memasukkan nilai-nilai mempertahankan <strong>bahasa</strong> daerah dengan<br />
mengembangkan imajeri masyarakat terhadap penggunaan frasa-frasa antar<strong>bahasa</strong><br />
tersebut.<br />
6.1.8 Makna Keadaan Hukum yang Buruk<br />
Keadaan hukum yang terjadi dalam budaya masyarakat sekarang ini pun<br />
sering manjadi topik atau tema dalam dialog-dialog <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB. Hal<br />
itu sering dikemas dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong>, seperti <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dalam<br />
dialog <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> berikut.<br />
KN 22<br />
Cenk : /kadaN kala hukume to car↔ sau car↔ p↔ncar/ ‘kadang kala hukum itu<br />
seperti jala’
Blonk : /ngudiaN keto / ‘kenapa seperti itu?’<br />
Cenk : /nyalian nagih k↔t↔s t↔k↔ juk↔ jak p↔ncare juk↔<br />
ken sau e be ulam agung t↔k↔ uwug p↔ncare uwug sawue/ ‘ikan<br />
kecil-kecil yang akan lepas tertangkap juga oleh jala, ikan yang besar<br />
datang, rusak jalanya’<br />
Blonk : /oh keto/ ‘oh begitu’<br />
141<br />
Pemaknaan teks dengan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> di atas memerlukan pemaknaan<br />
metaforis. Makna logis yang diperoleh dari teks di atas adalah menganalogikan<br />
pencar ‘jala’ dengan penjara, nyalian ‘ikan kecil-kecil’ dengan rakyat kecil, dan<br />
ulam agung ‘ikan besar’ disepadankan dengan masyarakat kelas atas yang berduit.<br />
Makna logis dalam teks di atas dapat menghasilkan makna secara metaforis, yakni<br />
jika seseorang yang melakukan kejahatan berasal dari kelas bawah atau miskin,<br />
hukum akan dengan tegas menghukum atau memenjarakannya. Namun, jika<br />
seseorang yang bersalah tersebut berasal dari kelas atas, hukum yang ada bisa<br />
menjadi lemah dan orang tersebut dapat dengan mudah terbebas dari hukum.<br />
Penggunaan referent (tanda) pencar ‘jala’, be nyalian ‘ikan kecil-kecil’,<br />
ulam agung ‘ikan besar’ sebagai tanda untuk menyepadankan topik yang<br />
dimaksud dalam teks tentu diperoleh penutur dari pengalamannya akan jala<br />
dengan ikan-ikan kecil dan besar sehingga mampu menggunakannya sebagai<br />
komponen pembanding dalam teks yang dimaksud. Di pihak lain dengan<br />
pengalaman dan imajerinya pendengar dapat memaknainya secara logis. Secara<br />
tekstual penyebutan ikan besar dengan <strong>bahasa</strong> Bali halus ulam agung dan ikan<br />
kecil-kecil dengan <strong>bahasa</strong> Bali kepara atau biasa be nyalian menunjukkan kualitas<br />
dari bentuk-bentuk tersebut. Secara konteks budaya Bali <strong>bahasa</strong> Bali halus<br />
biasanya digunakan pada orang-orang berkasta ataupun saat ini <strong>bahasa</strong> Bali halus<br />
digunakan seseorang jika berbicara dengan seseorang yang dianggap memiliki
142<br />
wewenang, kekuasaan, atau berlimpah harta untuk menunjukkan rasa hormat.<br />
Sebaliknya orang yang miskin, tidak mempunyai wewenang atau kekuasaan<br />
biasanya akan dianggap remeh. Hal tersebut berpengaruh terhadap cara seseorang<br />
menggunakan <strong>bahasa</strong> untuk berbincang dengannya, yakni menggunakan <strong>bahasa</strong><br />
Bali kepara. Bentuk ulam agung dan be nyalian menunjukkan sistem tanda yang<br />
dihasilkan dari budaya seseorang dan menunjukkan suatu kesan tertentu.<br />
Analisis yang sama juga terjadi pada data LM 1 berikut ini. Makna secara<br />
metaforis diperoleh berdasarkan makna logis kalimat tersebut. Rabuk ‘pupuk’<br />
dalam konteks ini disepadankan dengan tombokan karena memiliki fungsi yang<br />
sama sebagai penyubur atau penyebab sesuatu menjadi cepat dalam berproses.<br />
Makna antarpelibat ditunjukkan bahwa kalimat-kalimat tersebut merupakan<br />
informasi yang disampaikan penutur kepada lawan tuturnya yang juga menjadi<br />
pelibat dalam teks tersebut termasuk juga penonton. Makna kontekstual diperoleh<br />
dari intonasi penutur saat berujar dengan kalimat-kalimatnya. Terjadi ketukan<br />
diam pada akhir <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong><br />
tuwah j↔ jani hukum s↔tat↔ nagih rabuk yang ditandai dengan transkripsi teks<br />
penanda koma. Intonasi tersebut mengisyaratkan bentuk metafora ini memiliki<br />
maksud keseluruhan dari teks yang diungkapkan.<br />
Penggunaan leksikal-leksikal seperti rabuk ‘pupuk’ dan TSP dihasilkan dari<br />
pengalaman-pengalaman penutur. TSP yang merupakan salah satu jenis pupuk ini<br />
penyebutannya sering dijumpai dalam kehidupan sosial terlebih lagi Bali yang<br />
merupakan daerah agraris. Dengan demikian, bertani atau berkebun merupakan<br />
lapangan pekerjaan banyak masyarakatnya. Jadi istilah pupuk dan jenis pupuk ini
143<br />
diketahui secara umum. Makna tekstual yang dihasilkan dari kalimat berstruktur<br />
deklaratif ini menandakan bahwa kalimat tersebut merupakan sebuah informasi<br />
dengan hukum menjadi fokus pembicaraannya. Makna logis yang diperoleh dari<br />
penyandingan analogi rabuk yang dikenakan pada hukum, terlebih-lebih pelesetan<br />
kepanjangan jenis pupuk TSP yang disebutkan mengesankan sesuatu yang tidak<br />
baik atau buruk.<br />
LM 1<br />
Tualen: / tuwah j↔ jani hukum s↔tat↔ nagih rabuk,<br />
m↔n siN maan rabuk t↔lah hukume siN nyak mokoh. ng↔l↔mah<br />
hukumme nagih rabuk TSP<br />
TSP : tombok suap p↔licin / ‘memang sekarang ini hukum minta diberi<br />
pupuk, jika tidak memperoleh pupuk, hukum tidak mau gemuk. Terusterusan<br />
hukum minta diberi pupuk TSP, TSP: Tombok Suap Pelicin’<br />
6.2 Kaitan Imajeri Masyarakat Bali dengan Permainan Bahasa Tokoh<br />
Punakawan WCB<br />
Dari contoh-contoh bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong>, fungsi dan maknanya dapat<br />
dilihat dari penggunaan leksikal-leksikal yang mewakili maksud-maksud atau<br />
topik pembicaraan dalam kreativitas bermain-main dengan <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong><br />
<strong>punakawan</strong> WCB. Dalam mengungkapkan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong><br />
<strong>punakawan</strong>nya dalang WCB menyesuaikan pilihan-pilihan kata sesuai imajeri<br />
masyarakat saat ini sehingga <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> itu segera dapat ditangkap<br />
masyarakat. Paribasa yang konvensional dan membudaya dalam budaya Bali<br />
tetap digunakan dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB selain bentuk-<br />
bentuk baru yang lebih menarik dan lebih bermakna sesuai dengan imajeri<br />
masyarakat pada zaman ini.
144<br />
Bahasa tentu dipengaruhi oleh budaya yang terus berkembang. Di samping<br />
itu, budaya masyarakat juga memengaruhi cara ber<strong>bahasa</strong>nya sehingga terjadilah<br />
perubahan-perubahan dalam mengungkapkan sesuatu yang sama yang<br />
dipengaruhi budaya dan imajeri masyarakat saat itu. Berikut ini beberapa data<br />
<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB yang menunjukkan perubahan leksikal<br />
yang digunakan dalam menyebut maksud yang sama atau makna yang sama.<br />
SAB 17 Blonk : /NudiaN rag↔ orinne m↔siat t↔rus rag↔ gen dadiaN↔<br />
bemp↔r di malu bangk↔ y↔ rag↔ si malu/ ‘kenapa<br />
aku disuruh bertarung terus? Aku saja dijadikan bamper<br />
di depan, mati ya aku jadi lebih dulu’<br />
Kata bamper di atas bermakna menjadi tameng di depan atau posisi di depan<br />
untuk melindungi yang ada di belakangnya. Kata tersebut dalam masyarakat Bali<br />
biasa disebut dengan pag↔han ‘pagar’ yang terdiri atas pohon-pohon kecil yang<br />
ditempatkan di depan pekarangan rumah untuk melindungi rumah.<br />
LM 7 Tualen : /nyen nyidaN ny↔rihin anoman<br />
nak anoman l↔bih sakti ken pow↔r renj↔rs / ‘siapa<br />
bisa mengalahkan Hanoman? Hanoman itu lebih sakti<br />
daripada Power Rangers’<br />
Power Rangers digunakan untuk menyebutkan seseorang yang kuat. Dahulu<br />
seseorang yang kuat biasanya dilambangkan dengan Bima, yakni salah satu<br />
saudara Panca Pandawa yang bertubuh kuat dan paling sakti. Power Rangers<br />
sangat sesuai dengan imajeri masyarakat saat ini terutama penonton yang berusia<br />
muda (anak-anak) karena <strong>tokoh</strong> ini sudah biasa disaksikan di televisi sebagai<br />
<strong>tokoh</strong> hero yang kuat. Imajeri mereka terhadap <strong>tokoh</strong> ini sangat melekat di dalam
145<br />
memori yang kemudian dibangkitkan oleh <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong><br />
WCB.<br />
Memperbesar, memperluas, mengembangkan, dan memperkaya imajeri<br />
seseorang dilakukan dengan cara mengalami sesuatu, baik secara langsung<br />
maupun tidak langsung. Secara langsung dilakukan dengan langsung melihat,<br />
mendengar, mencium, mengecap, atau meraba suatu entitas. Cara langsung<br />
memiliki kesan (impression) yang kuat. Dengan imajeri masyarakat tentang<br />
kekuatan Power Rangers yang sangat melekat dalam memorinya karena<br />
pengalaman menonton langsung aksi super hero ini di televisi <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong><br />
WCB mengembangkan memori anak-anak tersebut dengan menyandingkan<br />
kekuatan Power Rangers dengan Hanoman. Menyebut Hanoman lebih sakti<br />
daripada Power Rangers membuat imajeri mereka berkembang terhadap <strong>tokoh</strong><br />
Hanoman yang selama ini belum begitu dikenal. Setelah mendengar <strong>permainan</strong><br />
<strong>bahasa</strong> tersebut imajeri masyarakat terhadap Hanoman akan terbentuk dalam otak<br />
mereka sebagai sosok atau <strong>tokoh</strong> yang sangat sakti dan kuat, bahkan melebihi<br />
kekuatan Power Rangers.<br />
LM 27 a Cenk : / j↔g N↔luluk nas ci car↔ bola<br />
liga inggris to j↔g leklek<br />
b↔ten jaN↔ car↔ pong-pongan nas ci e/ ‘bergelinding<br />
kepalamu seperti bola Inggris itu. Ditaruh di bawah<br />
kepalamu seperti kelapa yang digerek tupai’<br />
Permainan <strong>bahasa</strong> dengan menyepadankan kepala dengan bola liga Inggris<br />
dan pongpongan ‘kelapa yang digerek tupai’ mencerminkan imajeri masyarakat.<br />
Penyepadanan kepala dengan pongpongan sudah menjadi hal yang konvensional
146<br />
dalam paribasa <strong>bahasa</strong> Bali dari dahulu dan segera dapat ditangkap imajeri<br />
masyarakat atau penonton yang sudah tua karena mereka memiliki pengalaman<br />
langsung dengan pongpongan ‘kelapa yang digerek tupai’ yang sering ditemukan<br />
zaman dahulu di kebun-kebun mereka. Namun imajeri ini mungkin tidak dimiliki<br />
oleh masyarakat kaum remaja saat ini. Hal itu terjadi karena saat ini pongpongan<br />
sukar ditemukan terlebih lagi jika di daerah perkotaan. Dengan mengganti<br />
komponen pembandingnya dengan bola liga Inggris menjadi lebih dapat<br />
disesuaikan dengan imajeri masyarakat segala umur yang menjadikannya lebih<br />
menarik dan lebih dapat dimaknai oleh masyarakat saat ini. Penyandingan antara<br />
pongpongan dengan bola liga Inggris juga dapat mengembangkan imajeri<br />
masyarakat terhadap istilah pongpongan yang akan menambah pengetahuan<br />
masyarakat terutama kaum muda akan leksikal dalam <strong>bahasa</strong> Bali ini.<br />
Dua <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> di bawah ini merupakan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang pada<br />
dasarnya bermaksud sama, yakni menunjukkan seseorang yang kebingungan,<br />
tetapi menggunakan leksikal-leksikal yang berbeda.<br />
KN 15 Delem : /kenken ne car↔ cicing tamplig honda<br />
to NudiaN mlinc↔r/ ‘kenapa ini seperti anjing ditabrak<br />
Honda? Itu mengapa berputar-putar?’<br />
LM6b Tualen : /ci malunan mati, dew↔ ratu mredah i ayuk pontag<br />
pantig car↔ linduN uyahin kalin cai mati / ’kamu duluan<br />
meninggal, ya Tuhan Mredah Si Ayuk pontang-panting<br />
seperti belut diberi garam’<br />
Data LM 6b merupakan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> konvensional yang terdapat dalam<br />
paribasa Bali untuk menyebut seseorang yang kebingungan. Permainan <strong>bahasa</strong><br />
dengan makna yang sama dilakukan secara kreatif sesuai dengan imajeri<br />
masyarakat saat ini dengan menyebutkannya seperti dalam data KN 15. Belut
147<br />
yang diberi garam akan meloncat ke sana kemari bagai orang yang kebingungan.<br />
Namun, imajeri masyarakat saat ini lebih mudah membayangkan anjing yang<br />
diserempet atau tertabrak motor yang disebut dengan Honda.<br />
KL 7b Malen : /yen nanaN m↔jalan car↔ rano karno / ‘jika ayah berjalan<br />
bagai Rano Karno..’<br />
Dahulu masyarakat Bali jika menyebut seseorang yang tampan akan<br />
menyandingkannya dengan Rejun↔ ‘Arjuna’, yakni salah satu anggota Pandawa<br />
yang paling tampan. Namun, imajeri masyarakat saat ini lebih jelas dengan<br />
ketampanan atau kecantikan para artis yang sering kali dilihatnya pada layar kaca<br />
sehingga pada data KL 7b yang dimaksudkan dengan Rano Karno adalah tampan.<br />
Hal yang sama tampak dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> untuk mengungkapkan<br />
kecantikan atau kejelekan paras wanita yang disepadankan juga dengan artis.<br />
Dahulu untuk menyebutkan seseorang yang cantik pada masyarakat Bali disebut<br />
j↔geg s↔kadi dewi ratih ‘secantik Dewi Ratih (Dewi Bulan). Namun, dalam<br />
<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB terdapat teks yang menyebut seseorang<br />
yang cantik bagai Krisdayanti ataupun Madona. Hal ini mungkin lebih sesuai<br />
dengan imajeri masyarakat saat ini karena kesan yang lebih kuat diperoleh<br />
masyarakat dari pengalaman langsung. Kesan terhadap kecantikan seseorang yang<br />
dilihat secara langsung dengan mata jauh lebih kuat dan bertahan lama dalam<br />
memory ‘ingatan’ daripada hanya mendengar deskripsi seorang pengagum wanita<br />
cantik. Penggunaan Krisdayanti, Madona, atau Cut Tari tentunya akan lebih<br />
mengembangkan imajeri masyarakat daripada Dewi Ratih yang lebih lemah<br />
kesannya karena tidak pernah dilihat, tetapi hanya pengalaman dengan mendengar<br />
kecantikan Dewi Ratih yang dimiliki.
148<br />
SI 6a Tualen : /rabinne car↔ madona cantikne/ ‘istrinya bagai Madona<br />
cantiknya’<br />
SI 16g / kur↔n kak↔ e orang car↔ krisdayanti.<br />
y↔n kur↔n ci e<br />
SI 16h car↔ atun j↔n↔Nne/ ‘istriku sudah kubilang bagai<br />
Krisdayanti, sedangkan istrimu seperti Atun tampangnya’<br />
Untuk menyebut seseorang yang berambut kriting dahulu disebut dengan<br />
bokne kriting car↔ embotan b↔layag ‘rambutnya kriting bagai tarikan sejenis<br />
ketupat yang bentuknya memanjang’. Belayag yang ditarik akan melingkar seperti<br />
pir dan jika ditarik semakin panjang, akan bertekstur melengkung-lengkung.<br />
Imajeri masyarakat akan belayag tidak sebaik imajerinya terhadap mie yang juga<br />
memiliki tekstur melengkung-lengkung sehingga dalang menggunakannya dalam<br />
menyepadankan rambut yang kriting.<br />
SI 14a / bok kritiN car↔ mi / ‘rambutnya keriting seperti mie’<br />
SI 14c / gidatne jantuk car↔ be lohan hahahaha/ ‘jidatnya menonjol seperti<br />
Lohan’<br />
Jidat Lohan yang ke depan disepadankan dengan jantuk, yakni jidat seseorang<br />
yang maju. Kata “Lohan” dekat dengan imajeri masyarakat saat ini karena sempat<br />
menjadi jenis ikan yang populer dipelihara masyarakat. pengalaman masyarakat<br />
terhadap jenis ikan ini menyebabkan imajeri yang terekam dalam otaknya sangat<br />
jelas terhadap jenis ikan ini terutama bentuk jidat yang menjadi popularitasnya<br />
sehingga pemilihan leksikal ini dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> bentuk simile di atas<br />
menjadi menarik dan kebermaknaannya dapat dirasakan secara menyeluruh.<br />
BM 3e Tualen: /baNkiaN c↔nik, jit g↔de, bok m↔rebondiN,<br />
kulit putih car↔ neon / ‘pinggang kecil, bokong besar, rambut<br />
di-rebonding, kulit putih seperti neon’
149<br />
Seseorang yang berkulit putih dahulu biasa disebut dengan kulitne putih<br />
car↔ salak klumadin, yakni buah salak yang telah dikupas dan dibersihkan.<br />
Namun, dengan menyebut kulit putih seperti neon kebermaknaannya dapat lebih<br />
dapat dimengerti masyarakat saat ini. Zaman dahulu sebelum ada neon<br />
masyarakat Bali hanya menggunakan lampu pijar sebagai penerangan yang<br />
identik dengan warna kuning. Kulit seseorang yang putih diidentikkan dengan<br />
buah salak yang sudah dibersihkan karena imajeri putih, bersih, dan halusnya<br />
daging buah salak yang telah dibersihkan tersimpan dalam memori masyarakat<br />
sangat kuat. Namun, saat ini cahaya putih dan terangnya lampu neon jika<br />
disandingkan dengan putihnya daging buah salak akan sangat jauh perbedaannya.<br />
Imajeri masyarakat terhadap lampu neon pun saat ini sudah dimiliki oleh hampir<br />
semua tingkatan usia masyarakat sehingga penggunaan neon dalam memaknai<br />
<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> tersebut menjadi lebih berkesan kuat.<br />
Kreativitas <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB dalam menggunakan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong><br />
yang menyesuaikan dengan imajeri masyarakat inilah yang menyebabkan wacana-<br />
wacana yang disampaikannya melalui dialog <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> menjadi sangat<br />
menarik dan mudah dimaknai oleh masyarakat yang menonton pertunjukannya.<br />
Pemakaian <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB dengan kreativitas,<br />
inovatif, dan keterbukaannya terhadap <strong>bahasa</strong>-<strong>bahasa</strong> nondaerah tidak<br />
melunturkan nilai-nilai budaya terdahulu. Hal itu terjadi karena dalam setiap judul<br />
pertunjukannya yang beredar di masyarakat dalang WCB sangat banyak<br />
menyelipkan filosofis, keindahan ber<strong>bahasa</strong>, dan <strong>bahasa</strong> pakem sebagai kode tutur<br />
budaya lokal. Permainan <strong>bahasa</strong> seperti paribasa Bali yang konvensional dan
150<br />
sering digunakan dari zaman dahulu banyak diselipkan. Bahkan, terkadang dalam<br />
kreativitasnya mengubah leksikon-leksikon yang lebih dekat dengan imajeri<br />
masyarakat saat ini pun <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB sering menyelipkan paribasa<br />
konvensionalnya.<br />
Justru <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB yang bersifat baru, kreatif,<br />
menarik dan mudah dimaknai ini menjadi pancingan bagi kaum muda untuk<br />
kembali meminati pertunjukan <strong>wayang</strong> tradisional. Di samping itu, secara tidak<br />
langsung pertunjukan tersebut mengenalkan kaum muda akan <strong>permainan</strong>-<br />
<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> konvensional seperti paribasa dan leksikal-leksikal <strong>bahasa</strong> Bali<br />
yang saat ini jarang atau sama sekali belum diketahui demi pelestarian budaya dan<br />
<strong>bahasa</strong> daerah.
7.1 Simpulan<br />
BAB VII<br />
SIMPULAN DAN SARAN<br />
151<br />
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan terhadap <strong>permainan</strong><br />
<strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB yang meliputi aspek bentuk, fungsi, dan makna<br />
sebagaimana disajikan pada bab IV, V, dan VI dapat disimpulkan beberapa hal<br />
sebagai berikut.<br />
1. Bentuk-bentuk yang ditemukan dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong><br />
WCB dapat digolongkan dalam empat jenis, yakni <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> berjenis<br />
pelesetan, <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dalam bentuk kreativitas gaya <strong>bahasa</strong>, bentuk<br />
<strong>permainan</strong> kata antar<strong>bahasa</strong>, dan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> berbentuk hiponim. Pada<br />
bentuk pelesetan ditemukan lima variasi bentuk, yakni (a) bentuk pelesetan<br />
bunyi (fonologis) yang terbentuk melalui proses pembentukan kontraksi,
152<br />
reduksi, adisi, metatesis, gabungan antara adisi dan reduksi, dan gabungan<br />
antara reduksi dengan metatesis; (b) bentuk pelesetan kepanjangan singkatan,<br />
yang terbentuk dari dua pengklasifikasian bentuk, yakni singkatan umum<br />
yang kepanjangannya mengalami pelesetan dan singkatan yang dibuat sendiri<br />
meniru struktur bentuk yang ada dengan membuat sendiri kepanjangannya; (c)<br />
bentuk pelesetan kepanjangan akronim yang dibentuk dengan<br />
mempertahankan silabel awal, mempertahankan huruf awal, mempertahankan<br />
silabel awal dan huruf awal, dan mempertahankan suku akhir kata pertama<br />
dan suku awal kata kedua; (d) bentuk pelesetan ekspresi; dan (e) bentuk<br />
pelesetan ideologis dengan bentuk lingual kelas kata nomina dipelesetkan<br />
menjadi ide yang lain dengan bentuk lingual sama dan kelas kata yang sama<br />
pula. Permainan <strong>bahasa</strong> dengan penggunaan gaya <strong>bahasa</strong> diklasifikasikan<br />
menjadi empat, yakni (a) bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> retoris dengan dua variasi,<br />
yakni repetisi /pengulangan bunyi vokal (asonansi) dan repetisi /pengulangan<br />
bunyi konsonan (aliterasi), (b) bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> kiasan dibedakan<br />
menjadi tiga, yakni metafor, simile, dan eponim, (c) pada bentuk <strong>permainan</strong><br />
kata antar<strong>bahasa</strong> ditemukan variasi campur kode antara <strong>bahasa</strong> Bali dan<br />
<strong>bahasa</strong> Indonesia serta campur kode antara <strong>bahasa</strong> Bali dan <strong>bahasa</strong> Inggris,<br />
dan (d) pada <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> berbentuk hiponim ditemukan bentuk secara<br />
eksplisit antara superordinat dan hiponimnya dan bentuk secara implisit.<br />
2. Dari bentuk-bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang ditemukan dapat diidentifikasi<br />
lima fungsi sosial yang dihasilkan, yakni (a) fungsi menghibur, (b) fungsi<br />
informatif dengan menghibur (infotainment), (c) fungsi mendidik yang
153<br />
menghibur (edutainment), (d) fungsi pengembangan kreativitas ber<strong>bahasa</strong><br />
Bali, dan (e) fungsi kritik sosial.<br />
3. Fungsi-fungsi sosial yang dihasilkan dari variasi bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong><br />
<strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB menghasilkan makna nilai-nilai sosial yang dapat<br />
diinterpretasikan secara umum menjadi delapan makna nilai sosial, yakni<br />
makna kerendahan hati, menghormati seseorang yang berkelas sosial lebih<br />
tinggi, Tuhan adalah mahasuci untuk mencapainya diperlukan pemikiran dan<br />
perbuatan yang suci, kewajiban ber-yadnya, pemimpin adalah pelindung<br />
rakyat, menjauhi sesuatu yang mengakibatkan kemabukan, pelestarian <strong>bahasa</strong><br />
daerah, keadaan hukum yang buruk.<br />
4. Imajeri memiliki peranan yang besar dalam memaknai sesuatu sehingga untuk<br />
menghasilkan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang menarik diperlukan kata-kata yang<br />
sesuai dengan imajeri petutur. Tokoh <strong>punakawan</strong> WCB banyak menggunakan<br />
leksikal yang sesuai dengan imajeri masyarakat saat ini dalam <strong>permainan</strong><br />
<strong>bahasa</strong>nya sehingga menarik bagi masyarakat. Selain itu, melalui <strong>permainan</strong><br />
<strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB dapat mengembangkan imajeri masyarakat<br />
terhadap suatu entitas yang belum terlalu jelas diketahui atau sama sekali<br />
belum diketahui masyrakat—terutama para remaja dan anak-anak— sehingga<br />
dari <strong>permainan</strong> bahsa tersebut imajeri dan pengetahuan budaya dan <strong>bahasa</strong><br />
daerah masyarakat bertambah.<br />
7.2 Saran
154<br />
Menganalisis <strong>bahasa</strong> pada pertunjukan <strong>wayang</strong> memang tiada batasnya<br />
karena pertunjukan <strong>wayang</strong> tidak sebatas pertunjukan seni yang menampilkan<br />
cerita, musik, lagu, ataupun seni gerak (tarian). Bahasa menjadi hal yang sangat<br />
penting di dalam pertunjukan <strong>wayang</strong> selain kelihaian dalang memainkan<br />
<strong>wayang</strong>nya. Untuk melanjutkan penelitian hal mendesak yang sebenarnya sangat<br />
menarik dan diperlukan dalam penelitian ini adalah analisis yang lebih mendalam<br />
terhadap imajeri dalam penggunaan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB.<br />
Selain gejala <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> banyak gejala <strong>bahasa</strong> yang belum tersentuh dalam<br />
penelitian ini, seperti penggunaan unda-usuk <strong>bahasa</strong> Bali yang menjadi budaya<br />
tutur masyarakat Bali sejak dahulu, pemakaian <strong>bahasa</strong> Kawi dan karakteristik<br />
<strong>bahasa</strong> yang digunakan pada setiap <strong>tokoh</strong> <strong>wayang</strong> dapat menjadi kajian yang<br />
menarik. Wayang yang berasal dari kata bayang-bayang merupakan simbol atau<br />
pencerminan karakteristik manusia dalam berbagai karakter. Oleh karena itu<br />
meneliti cara-cara atau karakteristik ber<strong>bahasa</strong> setiap <strong>tokoh</strong> pun dapat<br />
menghasilkan penelitian linguistik yang unik.
DAFTAR PUSTAKA<br />
155<br />
Amir, Hazim. 1991. Nilai-Nilai Etis dalam Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar<br />
Harapan.<br />
Antara, I Gusti. Putu. 2007. ”Metafora Bahasa Bali di Kabupaten Buleleng”<br />
(Disertasi). Denpasar, Universitas Udayana.<br />
Arikunto, Suharsimi. 1989. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik.<br />
Jakarta : Bina Aksara.<br />
Budiasa, I Made. 1998. Kajian Nilai Budaya dan Gaya Bahasa Lakon Mina<br />
Kencana. Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.<br />
Danandjaja, James. 1990. “Metode Penelitian Kualitatif Dalam Penelitian<br />
Folklor”. Dalam Aminuddin (editor). Pengembangan Penelitian Kualitatif<br />
Dalam Bidang Bahasa Dan Sastra.<br />
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:<br />
PT Gramedia Pustaka Utama.<br />
Duranti, Alesandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge<br />
University Press.
156<br />
Erom, Kletus. 2010. ”Sistem Pemarkahan Nomina Bahasa Manggarai<br />
(Disertasi). Denpasar: Universitas Udayana.<br />
Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistics. An Introduction. Oxford:<br />
Blackwell Publishers.<br />
Fromkin, Victoria dkk. 1990. An Introduction to Language. Second Edition.<br />
Sydney: Harcout Brace Jovanovich Group.<br />
Gara, I Wayan. 1999. “Wacana Humor Pabrik Kata-Kata Joger: Sebuah Kajian<br />
Linguistik Kebudayaan” (Tesis). Denpasar. Universitas Udayana.<br />
Ginarsa, Ketut. 1985. Paribasa Bali. Singaraja: CV. Kayumas Agung.<br />
Goldberg, Adele E. 2006. Constraction At Work: The Nature of Generalization<br />
in Language. New York: Oford University Press.<br />
Halliday, M.A.K. 1978. Language as Social Semiotic. London: Edward Arnold<br />
Halliday, M.A.K, dan Ruqaiya Hasan. 1989. Language, Context, and Text:<br />
Aspects of Language in A Social-Semiotic Perspective. Victoria: Deakin<br />
University Press.<br />
Halliday, M.A.K, dan Ruqaiya Hasan. 1994. Bahasa, Konteks, dan Teks. Aspek-<br />
Aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial. (Asruddin Barori Tou).<br />
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.<br />
Henle, P. 1958. Metaphor (Language, Thought, and Culture). Ann Abor:<br />
University of Michigan Press.<br />
Jendra, I Wayan. 2007. Sosiolinguistik Teori dan Penerapannya. Surabaya:<br />
Paramita.<br />
Kayam, Umar. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan.<br />
Keraf, Gorys. 2009. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta.: PT Gramedia Pustaka<br />
Utama.<br />
Kirshenblatt-Gimblett, Barbara. 1976. Speech Play. Philadelphia: University of<br />
Pensylvania Press.<br />
Knowles, Murray and Rosamund Moon. 2006. Introducing Metaphor. London<br />
and New York: Roullede Taylor and Francis Group.<br />
Kramsch, Claire. 1998. Language and Culture. Oxford: Oxford University<br />
Press.
157<br />
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: PT.Gramedia<br />
Pustaka Utama.<br />
Kwant, R.C. 1975. Manusia dan Kritik. Diindonesiakan oleh A. Soedarminto dari<br />
Mens en Kritiek. Yogyakarta: Kanisius.<br />
Leech, Geoffrey. 1977. Semantics. England: Hazel Watson & Viney Ltd<br />
Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa:Tahapan Strategi, Metode dan<br />
Tekniknya. Ed. Revisi, 4. Jakarta: PT Raja Grafindo..<br />
Mbete, Aron Meko. 2004. ”Linguistik Kebudayaan: Rintisan Konsep dan<br />
Beberapa Aspek Kajiannya. Dalam Bawa, I Wayan dan I Wayan Cika<br />
(Penyunting). Bahasa dalam Persepektif Kebudayaan. Denpasar:<br />
Universitas Udayana.<br />
Moiij, J.J.A. 1976. Study of Metaphor. Amsterdam: North Hollands Publishing<br />
Coy.<br />
Moleong. L. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya<br />
Offsett.<br />
Muslich, Masnur. 2008. Tata Bentuk Bahasa Indonesia Kajian ke Arah<br />
Tata<strong>bahasa</strong> Deskriptif. Jakarta: Bumi Aksara.<br />
Oka, I Gusti Ngurah dan Suparno. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Dirjen Dikti<br />
Depdiknas.<br />
Palmer, Gary B. 1996. Toward a Theory of Cultural Linguistics. Austin:<br />
University of Texas Press.<br />
Rahyono, F.X. 2009. Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta:<br />
Wedatamawidyasastra.<br />
Ramlan. 1983. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: CV ”Karyono”<br />
Redjasa, I Ketut. 2001. ”Wacana Lelucon Drama Gong di Bali” (Tesis).<br />
Denpasar. Universitas Udayana.<br />
Rota, Ketut. 1990. Retorika Sebagai Ragam Bahasa Panggung dalam Seni<br />
Pertunjukan Wayang Kulit Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan dan<br />
Kebudayaan.<br />
Santoso, Riyadi. 2003. Semiotika Sosial Pandangan Terhadap Bahasa.<br />
Surabaya: Pustaka Eureka dan JP Press.
158<br />
Saussure, Ferdinand de. 1996. Course in General Linguistics. New York: Mc<br />
Grawhill Book Company.<br />
Sherzer, Joel. 2002. Speech Play and Verbal Art. United States of America:<br />
University of Texas Press.<br />
Sibarani, Robert. 2002. Fenomena Pelesetan Bahasa dalam Bahasa Indonesia.<br />
Buku Panduan Kongres Linguistik Nasional X. Bali 17--20 Juli.<br />
Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik. Medan: Poda.<br />
Sudaryanto. 1992. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar<br />
Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta<br />
Wacana University Press<br />
Suwija, I Nyoman. 2008. Wacana Kritik Sosial Wayang Cenk Blonk, Joblar dan<br />
Sidia. Disertasi. Denpasar: Universitas Udayana.<br />
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya<br />
Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2010. Analisis Wacana<br />
Pragmatik Kajian Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka.<br />
Wijana, I Dewa Putu. 2002. Angka, Bilangan, dan Huruf dalam Permainan<br />
Bahasa. Buku Panduan Kongres Linguistik Nasional X. Bali 17-20 Juli.<br />
Yadnya, Putra. 2004. ”Menuju Linguistik Kebudayaan sebagai Ilmu: Sebuah<br />
Perspektif Filsafat Ilmu”. dalam Bahasa dalam Perspektif Kebudayaan.<br />
Denpasar: Universitas Udayana.<br />
Zamzamah, Sarjinah. 2000. “Semiotika dalam Berhala” dalam Tonil Volume 1,<br />
Nomor 1.Yogyakarta.<br />
Zurbuchen, Mary Sabina. 1987. The Language of Balinese Shadow Theater.<br />
New Jersey: Princeton University Press.