30.08.2013 Views

permainan bahasa tokoh punakawan wayang cenk-blonk

permainan bahasa tokoh punakawan wayang cenk-blonk

permainan bahasa tokoh punakawan wayang cenk-blonk

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

1.1 Latar Belakang<br />

BAB I<br />

PENDAHULUAN<br />

Bahasa dan budaya memiliki korelasi yang sangat erat. Bahasa<br />

menggambarkan budaya masyarakat penuturnya karena dalam kegiatan<br />

berbudaya, masyarakat tidak pernah lepas dari <strong>bahasa</strong> sebagai alat interaksi.<br />

Bahasa dipandang sebagai suatu sumber daya untuk menyingkap misteri budaya,<br />

mulai dari perilaku ber<strong>bahasa</strong>, identitas, dan kehidupan penutur, pendayagunaan,<br />

dan pemberdayagunaan <strong>bahasa</strong> sampai dengan pengembangan serta pelestarian<br />

nilai-nilai budaya (Yadnya, 2004:52). Hal ini sejalan dengan pendapat Kramsch<br />

(1998:3) yang menyebutkan tiga hal yang terjalin erat antara <strong>bahasa</strong> dan budaya,<br />

yakni (1) language expresses cultural reality, (2) language embodies cultural<br />

reality, dan (3) language simbolizes cultural reality.<br />

Dalam fungsinya sebagai sarana komunikasi, <strong>bahasa</strong> digunakan oleh<br />

masyarakat dengan berbagai cara untuk tujuan tertentu. Manusia sesuai dengan<br />

julukannya sebagai homo ludens karena kegemarannya bermain untuk memenuhi<br />

kepuasan mental dan spiritualnya, menjadikan <strong>bahasa</strong> sebagai salah satu milik<br />

manusia yang sangat berharga yang tidak luput digunakan sebagai sarana<br />

<strong>permainan</strong> (Wijana dan Mohamad Rohmadi, 2010:148). Masyarakat<br />

mengkreasikan <strong>bahasa</strong> dengan bermain-main dari tataran terendah (bunyi) sampai<br />

dengan tataran tertinggi (wacana) yang secara cermat dimanfaatkan oleh para<br />

kreatornya untuk efek tertentu dalam menyampaikan berbagai ketidakterdugaan<br />

1


yang secara serta merta diharapkan dapat ditangkap sekaligus dinikmati oleh<br />

penikmatnya. Kebermaknaan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> tentu dapat ditangkap secara<br />

menyeluruh dengan pengetahuan budaya yang sama antara penutur dan<br />

pendengarnya. Dalam mengungkapkan sesuatu secara verbal, setiap penutur tentu<br />

memiliki gaya tersendiri, baik dari segi dialek situasi ber<strong>bahasa</strong> (secara formal<br />

atau informal) maupun ciri khas yang menjadi sebuah kebiasaan sosial dalam<br />

masyarakat tertentu dalam pemilihan leksikal (Fromkin: 1990).<br />

Permainan dengan sarana <strong>bahasa</strong> banyak ditemukan dalam berbagai genre<br />

ber<strong>bahasa</strong>, seperti dalam kartun, teks-teks humor, teka-teki, sampai dengan<br />

wacana-wacana kompleks, seperti tajuk rencana, puisi, iklan, novel, dan dalam<br />

percakapan lisan sehari-hari. Penggunaan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> juga bisa banyak<br />

ditemukan dalam kesenian <strong>wayang</strong> tradisional karena dalam kesenian <strong>wayang</strong><br />

selain ditampilkan karakteristik bentuk-bentuk <strong>wayang</strong> yang seni serta <strong>permainan</strong><br />

musik yang indah, <strong>bahasa</strong> atau kegiatan tutur menjadi hal yang dominan (Rota,<br />

1990).<br />

Kesenian <strong>wayang</strong> kulit kaya akan ungkapan-ungkapan verbal <strong>permainan</strong><br />

<strong>bahasa</strong> yang sarat dengan nilai-nilai filosofi dan budaya. Wayang kulit dahulu,<br />

selain sebagai pelengkap upacara ritual keagamaan juga menjadi sarana hiburan<br />

masyarakat yang sangat digemari. Akan tetapi, setelah perkembangan zaman<br />

dengan munculnya berbagai alat elektronik sebagai media hiburan, seni sastra<br />

lisan ini kurang menarik sebagai tontonan terutama di kalangan kaum muda. Hal<br />

ini disebabkan oleh <strong>wayang</strong> tradisional identik dengan konvensi <strong>bahasa</strong>, seperti<br />

<strong>bahasa</strong> pakem, <strong>bahasa</strong> klasik dan tradisional yang cukup sulit dimengerti,<br />

2


terutama di kalangan anak muda pada era ini. Padahal, dalam seni sastra lisan ini<br />

dialog-dialog para <strong>tokoh</strong> memuat nilai-nilai yang kaya akan budaya dan filsafat<br />

hidup.<br />

I Wayan Nardayana merupakan salah satu dalang muda kreatif asal<br />

Tabanan yang terkenal dengan pertunjukan <strong>wayang</strong> Cenk-Blonknya. Pengemasan<br />

pertunjukannya sangat apik dan modern dengan menggunakan alat pencahayaan<br />

yang canggih, kelir yang lebih besar, tetabuhan dan pesinden yang cakap. Bahasa<br />

yang digunakan dalam Wayang Cenk-Blonk (kemudian disingkat dengan WCB)<br />

pada dasarnya sama seperti <strong>wayang</strong>-<strong>wayang</strong> tradisional Bali lainnya yang<br />

menggunakan <strong>bahasa</strong> Kawi dan <strong>bahasa</strong> Bali. Bahasa Kawi atau Jawa Kuno<br />

biasanya digunakan oleh <strong>tokoh</strong>-<strong>tokoh</strong> atas, seperti kaum ksatria, raja, dewa, dan<br />

raksasa, sedangkan <strong>bahasa</strong> Bali digunakan oleh <strong>tokoh</strong>-<strong>tokoh</strong> bawahan atau<br />

<strong>punakawan</strong>. Dalam <strong>tokoh</strong>-<strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB inilah dalang banyak<br />

menggunakan campur kode antara <strong>bahasa</strong> Bali, Indonesia, dan Inggris seperti<br />

budaya masyarakat Bali saat ini dalam menggunakan <strong>bahasa</strong>nya. Pada <strong>tokoh</strong><br />

<strong>punakawan</strong> sang dalang bisa bereksploitasi secara kreatif dalam bermain-main<br />

dengan <strong>bahasa</strong>. Walau banyak menggunakan variasi kode, kesan klasik dan<br />

karakteristik konvensi <strong>bahasa</strong> pe<strong>wayang</strong>an yang selaras dan indah tetap tercermin<br />

dalam dialog-dialog <strong>tokoh</strong> WCB.<br />

Munculnya WCB di tengah hiburan masyarakat dengan keinovasian<br />

pementasan dan <strong>bahasa</strong>nya menyebabkan karya sastra lisan yang sebelumnya<br />

meredup ini kembali menjadi sorotan hiburan yang mampu menarik minat<br />

masyarakat, baik tua maupun muda. WCB telah mampu mengembalikan minat<br />

3


masyarakat terhadap seni tradisional <strong>wayang</strong>. Larisnya WCB dibuktikan dengan<br />

maraknya pementasan <strong>wayang</strong> ini pada berbagai acara di Bali dari acara sakral<br />

keagamaan sampai dengan acara-acara selamatan, seperti pembukaan gedung-<br />

gedung baru, acara ulang tahun, dan lain-lain dengan ongkos pementasan belasan<br />

juta untuk satu kali pertunjukan berdurasi sekitar dua setengah jam. Cukup<br />

mahalnya ongkos pementasan WCB tidak menghalangi kesempatan masyarakat<br />

untuk menyaksikan pertunjukannya karena keeksisannya tetap diperlihatkan dari<br />

beredarnya VCD WCB sejak tahun 1998 hingga sekarang yang diproduksi oleh<br />

Aneka Record dan Bali Record. Hampir setiap tahun WCB menghasilkan satu<br />

buah judul untuk dipasarkan di masyarakat dengan harga terjangkau. Selain itu<br />

dalam VCD-VCD-nya sang dalang sengaja mengumpulkan topik serta lelucon<br />

yang digemari masyarakat saat pertunjukan di beberapa tempat dalam satu judul<br />

VCD setiap tahunnya. Hingga saat ini VCD WCB yang diperjualbelikan secara<br />

resmi sebanyak sepuluh judul.<br />

Salah satu penyebab tenarnya WCB disebabkan oleh <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong><br />

oleh <strong>tokoh</strong>-<strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> yang komunikatif, ringan, dan mudah dicerna<br />

penonton. Penguasaan <strong>bahasa</strong> dan keterampilan ber<strong>bahasa</strong> dalang merupakan<br />

persyaratan utama pertunjukan <strong>wayang</strong> seperti yang disebutkan oleh Zurbuchen<br />

(1987:186) bahwa dalang adalah seniman tutur (verbal artist) sehingga<br />

keterampilan dalam memformulasikan <strong>bahasa</strong> menjadi kunci kesuksesan<br />

pertunjukan <strong>wayang</strong>.<br />

Dialog <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB sangat erat dengan fenomena-fenomena<br />

sosial yang sedang populer di tengah masyarakat walau tema yang diambil tetap<br />

4


erasal dari cerita epos Ramayana atau Mahabarata. Permainan <strong>bahasa</strong> yang<br />

disuguhkan dalam WCB merupakan manifestasi kreativitas ber<strong>bahasa</strong> yang<br />

sedang populer digunakan dalam masyarakat, yakni pemilihan leksikal yang<br />

sesuai dengan pengalaman kontekstual masyarakat Bali saat ini. Hal ini terlihat<br />

pada topik-topik dan bentuk-bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> pada<br />

VCD WCB yang semakin menunjukkan pengembangan kreativitas setiap<br />

tahunnya terutama pada tahun 2005 dan tahun-tahun setelahnya.<br />

Permainan <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB sangat dekat dengan kebiasaan<br />

masyarakat dan penuh kritik serta humor segar yang memiliki sense dan imajeri<br />

tertentu yang menghasilkan makna perwujudan mental masyarakat atau sesuatu<br />

yang berawal dari analogi konseptual pengalaman. Sebagaimana ditegaskan oleh<br />

Palmer (1996: 3) bahwa <strong>bahasa</strong> merupakan <strong>permainan</strong> simbol verbal berdasarkan<br />

imajeri. Dengan tetap menggunakan anggah-ungguhing basa Bali, campur kode,<br />

dan alih kode antara <strong>bahasa</strong> Bali, Indonesia, dan Inggris, dialog <strong>tokoh</strong>-<strong>tokoh</strong><br />

<strong>punakawan</strong> WCB menyuguhkan banyak <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong>, seperti <strong>bahasa</strong><br />

pelesetan, <strong>permainan</strong> gaya <strong>bahasa</strong>, dan <strong>permainan</strong> variasi kode yang memuat hal-<br />

hal yang memiliki muatan makna tertentu dalam imajeri masyarakat Bali.<br />

Misalnya, dalam salah satu judul VCD WCB berjudul ”Ludra Murti”,<br />

diungkapkan pelesetan ”AIDS” yang sesungguhnya merupakan singkatan dari<br />

Aquired Immune Deficiency Syndrome menjadi ”Akibat Itunya Dimasukkan<br />

Sembarangan” yang menghasilkan sebuah kelakar <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang<br />

mengundang tawa pendengarnya. Tidak banyak masyarakat Bali yang mengetahui<br />

singkatan asli AIDS, tetapi masyarakat Bali telah memiliki imajeri bahwa AIDS<br />

5


merupakan salah satu penyakit mematikan karena seks bebas sehingga<br />

kebermaknaan pelesetan yang terlontar langsung dapat diterima secara<br />

menyeluruh. Jenis <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> lainnya misalnya dalam pelesetan fonologis<br />

pada sinonim bladbadan maodol bali pada percakapan antar<strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong><br />

Delem dan Sangut berikut ini.<br />

Sangut : /sub↔ lantas mel↔m p↔rgi iN↔t mel↔m ken awak mel↔m<br />

beh ↔liN mel↔me/<br />

‘…setelah Melem pergi, ingatlah Melem dengan diri Melem,<br />

tangisan Melem…’<br />

Delem : /keNken/ ‘bagaimana?’<br />

Sangut : /maodol bali/ ‘berpasta gigi ala bali’<br />

Delem : /keNken/ ’bagaimana?’<br />

Sangut :/ sigsigan mel↔m N↔liN/ ‘tersedu-sedu Melem menangis’<br />

(WCB: Tebu Sala, 12:25)<br />

Bladbadan maodol Bali ‘pembersih gigi’ digunakan <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> Sangut<br />

untuk menyatakan kata /sigsigan/ ‘tersedu-sedu’. Dalam bladbadan kata yang<br />

bersinonim dengan bentuk bladbadan tersebut akan memiliki bunyi yang mirip<br />

dengan maksud awal yang ingin disampaikan penutur dalam hal ini /sigsigan/<br />

yang disebut dengan bentuk tandingannya. Maodol Bali ‘berpasta gigi ala Bali’<br />

bersinonim dengan sisig, yaitu sedikit tembakau yang digunakan untuk sekali<br />

bersugi (membersihkan gigi) pada masyarakat Bali zaman dahulu. Sinonim<br />

bentuk bladbadan ini digunakan untuk menyandingkan bentuk tandingan yang<br />

dimaksud, yakni kata /sigsigan/. Dengan menyebut bentuk tandingan /sigsigan/,<br />

bentuk tersebut mengonstruksi kembali imajeri masyarakat pada kata atau bentuk<br />

yang mirip dengan bunyi tandingannya. Imajeri pendengar berkembang hingga<br />

menemukan bentuk dengan bunyi yang mirip dengan bentuk tandingan /sigsigan/<br />

yang terkait dengan bladbadan maodol Bali, yakni /sisig/ dan akhirnya menyadari<br />

6


sinonim bladbadan maodol Bali tersebut. Terjadi pemelesetan bunyi antara<br />

bentuk tandingan /sigsigan/ yang merupakan acuan awal dengan sinonim bentuk<br />

bladbadan maodol Bali yakni /sisig/ dengan pelesapan fonem /g/ dan akhiran /-<br />

an/. Konstruksi bentuk yang berakibat bangkitnya imajeri pendengar inilah yang<br />

menyebabkan pendengar dalam hal ini penonton tertawa setelah menyadari dan<br />

menyepadankan bentuk sinonim yang dimaksud dengan bentuk tandingannya.<br />

Pemilihan leksikal dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang disuguhkan <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong><br />

WCB disesuaikan dengan perkembangan zaman, dalam mengungkapkan gaya<br />

ber<strong>bahasa</strong> sesawangan, yang dalam tulisan ini merupakan simile (perumpamaan),<br />

untuk menyebut berambut keriting dahulu masyarakat biasa menyebut dengan<br />

<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> ‘bokne cara sebun prit’ (rambutnya seperti sarang burung pipit)<br />

atau ‘bokne cara embotan belayag’ (rambutnya seperti tarikan sejenis ketupat<br />

yang bentuknya memanjang). Akan tetapi, <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB<br />

mengkreasikan ungkapan tersebut menjadi ‘bokne cara mi’ (rambutnya seperti<br />

mi) menjadi lebih dapat ditangkap maknanya oleh penonton karena imajeri<br />

masyarakat terhadap belayag ataupun sebun perit saat ini tidak sejelas imajeri<br />

atau gambaran akan ‘mi’. Dinamika budaya tentu berpengaruh terhadap cara<br />

ber<strong>bahasa</strong> atau pemilihan leksikal masyarakatnya.<br />

Semua imajeri tersusun oleh kebudayaan dan sejarah pribadi seseorang.<br />

Imajeri juga disusun secara sosial dan melekat dengan konstruksi sosial (Palmer,<br />

1996:49). Dari <strong>bahasa</strong> dapat ditemukan ideologi, cara pandang atau imajeri, dan<br />

budaya penutur <strong>bahasa</strong> tersebut. Lebih lanjut, Erom (2010:39) menyebutkan<br />

bahwa kebudayaan merupakan gema tradisi yang menyesuaikan dirinya dan<br />

7


menyerap serta memfusi dalam teks dan konteks kehidupan. Di dalam konteks<br />

yang berubah, imajeri, cara pandang tentang dunia yang dikonstruksikan secara<br />

budaya yang bersifat konvensional dan saling melengkapi menyiapkan butir-butir<br />

referensi yang stabil untuk menafsirkan wacana.<br />

Permainan <strong>bahasa</strong> yang banyak digunakan dalam WCB sangat menarik<br />

untuk dianalisis karena kaya akan nilai-nilai budaya. Permainan <strong>bahasa</strong> yang<br />

dilakukan secara tidak langsung dapat mencerminkan pandangan, budaya, dan<br />

imajeri masyarakat Bali serta memperlihatkan bagaimana perubahan atau<br />

dinamika kebudayaan Bali saat ini. Selain itu, penelitian khusus tentang<br />

<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> <strong>wayang</strong> juga belum pernah dilakukan<br />

sehingga penelitian ini sangat diperlukan.<br />

Dari pemaparan di atas, diketahui bahwa penelitian ini menganalisis<br />

gejala-gejala ke<strong>bahasa</strong>an yang terjadi dalam WCB khususnya pada <strong>permainan</strong><br />

<strong>bahasa</strong> yang digunakan oleh <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> untuk mengungkap budaya dan<br />

imajeri mental masyarakat Bali pada saat ini.<br />

1.2 Rumusan Masalah<br />

Berdasarkan pemaparan di atas, permasalahan yang dapat diungkap dalam<br />

penelitian ini adalah sebagai berikut.<br />

1. Bentuk-bentuk ke<strong>bahasa</strong>an apa sajakah yang terdapat dalam <strong>permainan</strong><br />

<strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB?<br />

2. Apakah fungsi <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang diungkapkan oleh <strong>tokoh</strong>-<strong>tokoh</strong><br />

<strong>punakawan</strong> dalam WCB?<br />

8


3. Makna apa sajakah yang terkandung dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong><br />

<strong>punakawan</strong> WCB yang sesuai dengan imajeri budaya masyarakat Bali saat<br />

ini?<br />

1.3 Tujuan Penelitian<br />

1.3.1 Tujuan Umum<br />

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengungkap <strong>permainan</strong><br />

<strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB yang kreatif, inovatif, dan komunikatif.<br />

Pengkajian <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB ini dilakukan sehingga<br />

diketahui hubungan tarik-menarik antara <strong>bahasa</strong> dan imajeri serta budaya<br />

masyarakat yang dimanfaatkan dengan baik oleh penutur atau kreator <strong>bahasa</strong><br />

untuk menciptakan <strong>bahasa</strong> yang menarik dan digemari pendengar.<br />

1.3.2 Tujuan Khusus<br />

Sesuai dengan permasalahan yang diangkat dan dibahas dalam<br />

penelitian ini, maka secara khusus tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.<br />

1. Menemukan bentuk-bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong>-<strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong><br />

WCB.<br />

2. Mengidentifikasi fungsi <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong>-<strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB.<br />

3. Menginterpretasi makna <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang disampaikan oleh <strong>tokoh</strong>-<br />

<strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB yang sarat dengan imajeri budaya masyarakat Bali<br />

dan gejolak budaya yang terjadi.<br />

9


1.4 Jangkauan Penelitian<br />

Adapun jangkauan dalam penelitian ini adalah sebatas <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong><br />

yang disampaikan <strong>tokoh</strong>-<strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB pada 10 judul VCD WCB yang<br />

diproduksi Aneka dan Bali Record secara resmi dan telah diperjualbelikan di<br />

pasaran. Permainan-<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> yang diteliti secara<br />

umum menggunakan <strong>bahasa</strong> daerah Bali, baik <strong>bahasa</strong> Bali yang utuh maupun<br />

<strong>bahasa</strong> Bali yang memperoleh variasi kode dari <strong>bahasa</strong> Indonesia ataupun <strong>bahasa</strong><br />

Inggris. Permainan <strong>bahasa</strong> oleh <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> ini termasuk dialog-dialog<br />

antar<strong>punakawan</strong> ataupun tuturan <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> yang sifatnya menerjemahkan<br />

atau menginterpretasi makna <strong>bahasa</strong> Kawi yang diucapkan oleh <strong>tokoh</strong> atasan<br />

seperti kaum ksatria.<br />

1.5 Manfaat Penelitian<br />

1.5.1 Manfaat Teoretis<br />

Secara teoretis penelitian ini bermanfaat untuk memberi konstribusi bagi<br />

bidang ilmu <strong>bahasa</strong> dalam ranah kekreativan ber<strong>bahasa</strong> pada bentuk-bentuk<br />

<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang menggunakan pelesetan, gaya <strong>bahasa</strong>, ataupun <strong>permainan</strong><br />

<strong>bahasa</strong> dengan variasi kode. Penelitian ini juga diharapkan menjadi media untuk<br />

meningkatkan kemampuan menganalisis fenomena budaya ber<strong>bahasa</strong> masyarakat<br />

Bali dengan membangun model kajian pengembangan linguistik kebudayaan yang<br />

bersifat aplikatif, yaitu menerapkan teori konstruksi <strong>bahasa</strong>, teori fungsi <strong>bahasa</strong>,<br />

serta teori semiotik sosial.<br />

.<br />

10


1.5.2 Manfaat Praktis<br />

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan tidak saja bermanfaat bagi<br />

pencinta seni, pengamat seni, para dalang, dan calon dalang sebagai referensi cara<br />

pengemasan <strong>bahasa</strong> yang menarik yang kebermaknaannya dapat ditangkap<br />

menyeluruh dan sebagai acuan karakteristik <strong>permainan</strong> dan gaya <strong>bahasa</strong><br />

pe<strong>wayang</strong>an tradisional inovatif yang digemari masyarakat sekarang. Namun,<br />

penelitian ini juga diharapkan dapat memberi ilustrasi penggunaan <strong>permainan</strong><br />

<strong>bahasa</strong> kepada masyarakat sebagai kekreatifan dalam berkomunikasi, seperti para<br />

pembicara atau orator, pembawa acara, penceramah ataupun pengkhotbah. Hal itu<br />

penting karena kreativitas ber<strong>bahasa</strong> yang ditunjukkan dengan bermain kata-kata<br />

dapat membantu seseorang dalam menyampaikan sesuatu yang sukar ataupun<br />

menjadikan pembicaraan menjadi lebih menarik untuk menjalin keakraban di<br />

antara pembicara dan pendengar.<br />

11


2.1 Kajian Pustaka<br />

BAB II<br />

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,<br />

DAN MODEL PENELITIAN<br />

Berdasarkan studi pustaka yang dilakukan, ada beberapa tulisan yang<br />

ditulis oleh para peneliti terdahulu yang relevan untuk dikaji dan berkontribusi<br />

dalam hubungannya dengan penelitian ini. Tulisan yang dimaksud adalah sebagai<br />

berikut.<br />

Redjasa (2001) mengkaji <strong>bahasa</strong> verbal yang terdapat dalam seni<br />

pertunjukan. Ia khusus mengkaji lelucon khas Bali yang dipentaskan dalam<br />

Drama Gong di Bali dengan menganalisis tiga hal utama, yakni (1) bentuk<br />

lelucon, (2) fungsi lelucon, dan (3) makna yang terkandung dalam lelucon<br />

tersebut. Dalam hasil penelitiannya ditemukan bahwa bentuk lelucon drama gong<br />

itu adalah cerita atau dongeng, teka-teki, puisi, dan nyanyian. Fungsi lelucon pada<br />

drama gong adalah sebagai pelipur hati, menyindir, menghilangkan rasa genting,<br />

penyaluran tenaga birahi, penyaluran rasa suka cita, penyampaian desas-desus,<br />

pemerolehan rasa simpatik, ketenaran, dan penyampaian protes sosial.<br />

Dari segi makna, dalam lelucon ditemukan variasi makna dengan<br />

penginterpretasian. Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif dan<br />

kualitatif, dengan kesimpulan bahwa semantik humor memanfaatkan keambiguan<br />

dengan mempertentangkan makna pertama dengan makna kedua. Pemanfaatan<br />

keambiguan ini dapat terjadi pada tingkat kata, kalimat, dan wacana. Penelitian<br />

12


<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB ini sedikit memiliki persamaan dengan<br />

penelitian Redjasa karena penelitian <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> ini juga banyak<br />

mengandung unsur <strong>bahasa</strong> humor yang penuh ambiguitas. Akan tetapi, dalam<br />

penelitian <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> ini tidak saja <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> jenis humor yang<br />

dianalisis, tetapi <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang sifatnya nonhumor pun dianalisis. Teori<br />

yang diterapkan juga berbeda. Redjasa mengadopsi teori-teori wacana naratif<br />

dalam penelitiannya, sedangkan penelitian ini mengaplikasikan teori imajeri<br />

dalam linguistik kebudayaan.<br />

Wijana (2002) mengkaji <strong>permainan</strong> beberapa elemen <strong>bahasa</strong> seperti angka,<br />

bilangan, dan huruf sebagai kreativitas manusia di dalam bermain dengan <strong>bahasa</strong><br />

yang merupakan pencerminan situasi sosiolinguistis di Indonesia. Dalam<br />

penelitian itu data diperoleh dari berbagai sumber, seperti grafiti, stiker, mobil<br />

pribadi, kendaraan umum, dan penulisan nama-nama pribadi.<br />

Pada penelitian tersebut ditemukan berbagai variasi bentuk <strong>permainan</strong><br />

angka, yakni sebagai representasi kata <strong>bahasa</strong> Indonesia dan <strong>bahasa</strong> daerah (misal:<br />

1/3 reng ‘seperti gareng’), sebagai representasi kata <strong>bahasa</strong> Inggris (misalnya:<br />

Up2U ‘up to you’), sebagai visualisasi lambang bunyi, representasi not lagu,<br />

representasi formula matematika, dan representasi frekuensi pembacaan. Pada<br />

data <strong>permainan</strong> bilangan ditemukan dua contoh yang merupakan bilangan <strong>bahasa</strong><br />

Inggris, misalnya bentuk yang mengacu nama seseorang Wa-one ‘wawan’. Pada<br />

<strong>permainan</strong> huruf penelitian tersebut menemukan <strong>permainan</strong> dengan menggunakan<br />

lambang bunyi untuk mempresentasikan nama (misalnya D’Must ‘Dimas’ yang<br />

13


mengacu pada nama orang) dan nama mempresentasikan lambang (misalnya Tuti<br />

non K ‘tidak memakai K karena namanya Tuti bukan Tutik).<br />

Pada tulisan tersebut sisebutkan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dengan memanfaatkan<br />

berbagai ketaksaan ini digunakan untuk maksud bermain-main, bergaya, dan<br />

merahasiakan sesuatu. Tulisan Wijana tersebut banyak memberi konstribusi<br />

dalam penelitian ini. Namun, penelitian ini mencoba untuk meluaskan analisis<br />

bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> hingga ke bentuk wacana dan lebih mengarah pada teori<br />

Sherzer (2002) yang mengacu <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> merupakan salah satu bentuk<br />

kekreatifan <strong>bahasa</strong> yang tidak saja berfungsi humor, hal serius seperti peri<strong>bahasa</strong><br />

pun dapat dikatakan sebagai <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> sesuai juga dengan pendapat<br />

Wijana (2002) yang menyatakan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> juga dapat berfungsi untuk<br />

bergaya.<br />

Antara (2007) mengkaji metafora dalam <strong>bahasa</strong> Bali (BB) lisan yang<br />

digunakan masyarakat di daerah Buleleng. Dalam penelitian itu Antara<br />

mengungkapkan bahwa dalam ber<strong>bahasa</strong> sehari-hari masyarakat Bali, khususnya<br />

masyarakat Buleleng banyak menggunakan tuturan yang sifatnya metaforis.<br />

Masalah penelitiannya meliputi bentuk metafora dalam BB, fungsi dan makna<br />

yang tersirat dari ujaran metafora BB lisan. Penelitiannya menggunakan metode<br />

kualitatif dengan dasar konsep sosiolinguistik. Penelitian tentang metafora itu<br />

didasarkan atas konsep Henle (1958) bahwa metafora adalah payung semua<br />

ungkapan <strong>bahasa</strong> yang bermakna figuratif atau majas. Analisis bentuk metafor<br />

dalam penelitiannya itu menggunakan teori struktur gramatika (morfologis dan<br />

sintaksis), analisis fungsi dikaitkan dengan situasi dan peristiwa tutur dan<br />

14


interpretasi makna metafora dianalisis dengan teori komparasi Aristoteles yang<br />

ditunjang dengan teori makna asosiasi. Disertasi Antara (2007) ini banyak<br />

memberikan kontribusi dalam penelitian <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong><br />

WCB ini karena dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong>nya banyak menggunakan <strong>bahasa</strong>-<br />

<strong>bahasa</strong> bermakna figuratif ataupun majas. Akan tetapi, dalam penelitian ini<br />

konsep metafor yang digunakan adalah konsep dari Knowles dan Rosamund<br />

Moon (2006) dan Keraf (2009) yang merupakan bagian dari bentuk figuratif. Di<br />

dalam penelitian ini, khususnya dalam bentuk metafor <strong>bahasa</strong> Bali yang<br />

digunakan <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB pada <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong>nya memunculkan<br />

variasi-variasi yang lebih kompleks dalam penggunaannya pada era globalisasi,<br />

seperti sekarang ini oleh masyarakat, yakni metafor <strong>bahasa</strong> Bali dengan adanya<br />

pencampuran <strong>bahasa</strong>-<strong>bahasa</strong> lain, seperti <strong>bahasa</strong> Inggris dan Indonesia.<br />

Suwija (2008) dalam disertasinya membandingkan dan menganalisis<br />

<strong>wayang</strong> tradisional yang menggunakan inovasi dalam pertunjukannya, khususnya<br />

bagaimana <strong>bahasa</strong>-<strong>bahasa</strong> dalang mengemukakan wacana-wacana kritik sosial<br />

dengan mengaplikasikan teori-teori wacana naratif, resepsi sastra, dan<br />

dekonstruksi.<br />

Dalam disertasi itu dipaparkan bagaimana eksistensi <strong>wayang</strong> kulit Bali,<br />

pengemasan wacana kritik sosial oleh para dalang Cenk Blonk, Joblar dan Sidia,<br />

fungsi wacana kritik sosial yang disampaikan, sasaran serta amanat yang<br />

terkandung dalam wacana kritik sosial tersebut. Dalam penelitian itu Suwija<br />

memfokuskan kajiannya hanya pada wacana kritik sosial yang terdapat dalam<br />

dialog-dialog para <strong>tokoh</strong>. Tesis ini juga memilih WCB sebagai objek penelitian<br />

15


tidak saja menganalisis wacana-wacana kritik sosial, tetapi lebih ke arah<br />

bagaimana pilihan dan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong>-<strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB yang<br />

memiliki makna berbobot dan ber-sense bagi penonton dikaitkan dengan teori<br />

linguistik kebudayaan tentang imajeri. Selain itu, dalam penelitian Suwija, hanya<br />

dianalisis salah satu pertunjukan WCB yang berjudul Lakon Diah Gagar Mayang,<br />

tetapi dalam penelitian ini sumber data diperoleh dari seluruh VCD WCB yang<br />

telah beredar di masyarakat.<br />

2.2 Konsep<br />

2.2.1 Permainan Bahasa<br />

Konsep <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dalam penelitian ini mengacu pada konsep<br />

<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> Kirshenblatt-Gimblett (1976) dan Sherzer (2002) dengan istilah<br />

Speech Play sebagai bentuk kekreatifan ber<strong>bahasa</strong>. Permainan <strong>bahasa</strong> adalah<br />

manipulasi <strong>bahasa</strong> (baik secara fonetik, leksikal, maupun sintaksis, dan lain-lain),<br />

kekreatifan gaya ber<strong>bahasa</strong>, variasi kode, atau style, yang digunakan dalam<br />

percakapan sehari-hari (Kirshenblatt-Gimblett:1976). Lebih lanjut Sherzer (2002:<br />

1) menyebutkan pula bahwa <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> adalah manipulasi elemen-elemen<br />

dan komponen-komponen <strong>bahasa</strong> dalam hubungannya dengan konteks sosial dan<br />

budaya dalam penggunaannya (language use).<br />

Kirshenblatt-Gimblett (1976) dan Sherzer (2002) lebih memilih<br />

menggunakan istilah <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> speech play yang sering juga disebut<br />

dengan linguistic games oleh beberapa linguis. Mereka menekankan <strong>permainan</strong><br />

<strong>bahasa</strong> terdiri atas kata “<strong>permainan</strong>” yang diistilahkan dengan “play” sedikit<br />

16


erbeda dengan konsep “games” yang diterjemahkan juga dengan <strong>permainan</strong>.<br />

Huizinga dan Caillois (dalam Kirshenblatt-Gimblett, 1976: 4--7) menyebutkan<br />

play bersifat bebas ‘free’ dan fleksibel dalam penggunaannya, serta mengarah<br />

pada seni dan kreativitas ber<strong>bahasa</strong> yang tidak merupakan suatu kebenaran atau<br />

kesalahan. Sebaliknya, games mengarah pada kompetisi, aturan atau model<br />

<strong>permainan</strong>, serta akan ada dua sisi yakni, sebagai pemenang dan yang tidak<br />

menang sehingga memerlukan keahlian dan strategi. Dalam play juga terdapat<br />

rules ‘aturan’ tetapi, tidak mutlak seperti dalam konsep games. Karena bersifat<br />

seni dan kreatif, <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dalam konsep ini tidak saja bersifat jenaka atau<br />

humor yang melawan norma, tetapi juga bisa mengandung makna serius (Sherzer,<br />

2002:2).<br />

Jadi dalam konsep speech play ditekankan bahwa manipulasi <strong>bahasa</strong> yang<br />

dilakukan penutur adalah aktivitas bermain-main dengan <strong>bahasa</strong> dalam<br />

komunikasi sehari-hari sehingga komponen-komponen yang ada di dalamnya<br />

sangat dipengaruhi oleh budaya penutur sedangkan linguistic games merupakan<br />

<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang semata-mata hanya sebagai hiburan misalnya dalam<br />

bentuk acak kata, teka-teki, melengkapi huruf, dan sebagainya yang dirancang<br />

sedemikian rupa untuk hiburan, misalnya dalam acara quiz ataupun <strong>permainan</strong><br />

yang biasa digunakan dalam pembelajaran <strong>bahasa</strong>. Permainan kata-kata ‘puns’,<br />

candaan ‘jokes’, peri<strong>bahasa</strong>, teka-teki, dan tanya jawab ‘verbal duelling’ termasuk<br />

dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> (Sherzer, 2002:4). Konsep speech play digunakan dalam<br />

penelitian ini karena <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> pada dialog-dialog <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong><br />

WCB merupakan manifestasi pencerminan penggunaan <strong>bahasa</strong> sehari-hari<br />

17


masyarakat Bali. Wijana (2010: 248) menyebutkan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong><br />

dimaksudkan untuk mencapai bermacam-macam tujuan, seperti melucu,<br />

mengkritik, menasihati, melarang, dan berbagai tujuan lain yang sering kali tidak<br />

mudah diidentifikasi.<br />

2.2.2 Tokoh Punakawan<br />

Punakawan merupakan salah satu <strong>tokoh</strong> dalam <strong>wayang</strong> tradisional selain<br />

<strong>tokoh</strong> raja, dewa, ksatria, dan raksasa (Amir, 1991: 63). Punakawan<br />

melambangkan rakyat jelata atau abdi raja yang berperan sebagai penerjemah dan<br />

memberi interpretasi pada <strong>bahasa</strong> para ksatria yang menggunakan <strong>bahasa</strong> Jawa<br />

Kuno. Karena melambangkan rakyat jelata, <strong>bahasa</strong> yang digunakan oleh <strong>tokoh</strong><br />

<strong>punakawan</strong> mencerminkan perilaku budaya dan ber<strong>bahasa</strong> masyarakat yang<br />

memiliki kebebasan konvensi <strong>bahasa</strong>, tetapi biasanya tetap mengikuti unda-usuk<br />

ber<strong>bahasa</strong> (Zurbuchen, 1981:267-282). Dalam pertunjukan WCB <strong>tokoh</strong><br />

<strong>punakawan</strong> yang dimaksud adalah empat <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> baku <strong>wayang</strong> kulit<br />

Bali Tualen, Meredah, Sangut, Delem, <strong>punakawan</strong> perempuan, yakni, Condong<br />

yang sering dipanggil dengan sebutan ‘Nyoman’ serta <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> kreasi<br />

tambahan Cenk, Blonk dan <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> perempuan kreasi Tu Gek.<br />

2.2.3 Wayang Cenk-Blonk<br />

Wayang Cenk-Blonk merupakan sebutan pementasan <strong>wayang</strong> Nardayana<br />

yang dulunya bernama <strong>wayang</strong> Gitaloka. Namun, seiring dengan<br />

perkembangannya masyarakat banyak menyebut-nyebut <strong>wayang</strong> ini dengan<br />

18


<strong>wayang</strong> Cenk-Blonk karena pada setiap pertunjukannya Nardayana selalu<br />

menampilkan <strong>tokoh</strong> Nang Klenceng dan Nang Eblong (yang akrab dengan<br />

panggilan Cenk dan Blonk) di samping empat <strong>punakawan</strong> baku dalam <strong>wayang</strong><br />

kulit Bali Tualen, Mredah, Sangut, dan Delem. Pemasangan dua karakter kuat<br />

Cenk dan Blonk inilah salah satu hal yang menyebabkan <strong>wayang</strong> Cenk-Blonk<br />

berbeda dari pertunjukan-pertunjukan <strong>wayang</strong> tradisional Bali lainnya yang<br />

biasanya hanya menggunakan empat <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> baku. Akhirnya pada<br />

tahun 1995 Nardayana mengganti nama <strong>wayang</strong>nya dengan <strong>wayang</strong> Cenk-Blonk<br />

hingga menjadi terkenal seperti saat ini dan mencantumkan setiap VCD-nya<br />

dengan label Wayang Cenk-Blonk.<br />

2.2.4 Bentuk<br />

Halliday dan Ruqaiya Hasan (1989:20) menyatakan bahwa bentuk <strong>bahasa</strong><br />

yang digunakan oleh pengarang berfungsi sebagai pendukung makna yang<br />

denotatif dan konotatif. Satuan-satuan ucapan yang diikuti dengan arti disebut<br />

dengan bentuk linguistik (linguistic form) (Muslich, 2008:2). Penelitian ini<br />

mengacu pada pandangan Goldberg (2006) yang menyebutkan bentuk <strong>bahasa</strong><br />

merupakan konstruksi. Konstruksi akan menghasilkan bentuk-bentuk yang pada<br />

akhirnya menghasilkan fungsi dan makna. Bentuk atau struktur dalam kajian<br />

linguistik kebudayaan lebih menekankan variasi-variasi bentuk, kode, dan<br />

subkode (Mbete, dalam Bawa, 2004: 25). Bentuk-bentuk yang disebutkan<br />

Goldberg adalah termasuk morfem, kata, idiom, bentuk leksikal tidak utuh, dan<br />

struktur linguistik yang kompleks.<br />

19


2.2.5 Fungsi<br />

Fungsi <strong>bahasa</strong> secara umum adalah sebagai alat atau media komunikasi<br />

antara penggunanya. Kata ‘fungsi’ dapat dipandang sebagai padanan kata<br />

‘penggunaan’ (Halliday dan Ruqaiya Hasan, 1989: 15) sehingga berbicara tentang<br />

fungsi <strong>bahasa</strong> dapat diartikan cara seseorang menggunakan <strong>bahasa</strong> mereka, yaitu<br />

dengan cara bertutur, menulis, mendengarkan, dan membaca untuk mencapai<br />

banyak sasaran dan tujuan (Halliday dan Ruqaiya Hasan, 1989: 20). Telah banyak<br />

linguis yang melakukan kajian fungsional, seperti Malinowski (1923), Buhler<br />

(1930), Halliday (1978), dan lain-lain. Dalam mengkaji <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong><br />

<strong>punakawan</strong> WCB sangat cocok diterapkan teori Leech (1977) karena dalam<br />

speech play terkandung kreativitas dan unsur seni yang berfungsi estetik. Leech<br />

(1977) menekankan lima fungsi <strong>bahasa</strong>, yakni informasional, ekspresif, phatik,<br />

direktif, dan estetik.<br />

2.2.6 Makna<br />

Dalam <strong>bahasa</strong> yang diungkapkan oleh seseorang akan terkandung makna-<br />

makna tertentu yang ditangkap oleh lawan tuturnya sesuai dengan konteks sosial<br />

atau budayanya. Menurut Ferdinan de Saussure (1966) makna adalah ‘pengertian’<br />

atau ‘konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistik. etiap tanda<br />

linguistik terdiri atas dua komponen, yakni signifian “yang mengartikan” yang<br />

berupa runtutan bunyi, dan komponen signifie “yang diartikan” yang berupa<br />

pengertian atau konsep. Halliday dan Ruqaiya Hasan (1989: 4) menyebutkan<br />

20


ahwa makna merupakan sistem tanda yang merupakan jaringan-jaringan<br />

hubungan yang ditentukan oleh konteks sosial atau budaya.<br />

2.2.7 Imajeri<br />

Kata ’imajeri’ merupakan turunan dari imaji (image). Imaji merupakan<br />

suatu perwujudan mental dari sesuatu, terutama objek yang dapat dilihat, bukan<br />

dengan persepsi langsung, melainkan dengan ingatan imajinasi (Hornby,2006:46).<br />

Imajeri menitikberatkan kenyataan bahwa sebuah konsep berawal sebagai<br />

perwujudan pengalaman pancaindra, dan kemudian akan mengalami proses<br />

pembentukan, rekombinasi yang kompleks. Palmer (1996:47) menegaskan bahwa<br />

pengalaman di sekitar kita dicatat atau direkam oleh otak. Otak mengidentifikasi<br />

dan menentukan semua yang dialami oleh pancaindra. Selain itu, ada juga imajeri<br />

kompleks yang muncul dari emosi, yang disebut imajeri afektif perasaan<br />

(Palmer,1996:46). Imajeri akan membantu seseorang dalam memaknai ungkapan<br />

secara menyeluruh.<br />

2.2.8 Imajeri Budaya<br />

Telah dijelaskan bahwa imajeri adalah perwujudan mental seseorang dari<br />

analogi konseptual pengalaman. Budaya secara umum didefinisikan sebagai<br />

sesuatu yang bisa dipelajari, yang dapat digunakan sebagai perantara antara<br />

generasi satu ke generasi yang lain melalui kegiatan/peranan yang dilakukan oleh<br />

manusia melalui interaksi langsung yang sangat sering tentunya dilakukan melalui<br />

komunikasi linguistik (Duranti,1997:24). Karena budaya dapat dipelajari, budaya<br />

21


dianggap sebagai ilmu pengetahuan, yaitu bentuk dari benda-benda yang ada<br />

dalam pikiran manusia, tentang model bagaimana mereka merasakan,<br />

menghubungkan, dan menginterpretasi fenomena (Duranti,1997; Hudson, 1980;<br />

Goodenough, 1964).<br />

Dari pengertian imajeri dan budaya di atas, konsep imajeri budaya dalam<br />

penelitian ini adalah perwujudan mental atau ideologi seseorang atau masyarakat<br />

berdasarkan budaya di sekitarnya. Pilihan <strong>bahasa</strong> akan dipengaruhi oleh imajeri<br />

budaya penutur.<br />

2.3 Landasan Teori<br />

Untuk memperoleh gambaran yang komprehensif teori yang digunakan<br />

dalam penelitian ini adalah teori yang bersifat antardisiplin dengan asumsi teori-<br />

teori yang digunakan saling mendukung satu sama lainnya dalam menganalisis<br />

<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> dalam WCB. Teori yang dimaksud adalah<br />

Linguistik Kebudayaan sebagai payung yang membawahi teori konstruksi untuk<br />

menganalisis bentuk, teori fungsi <strong>bahasa</strong> dalam menganalisis fungsi, dan teori<br />

semiotik sosial untuk memaknai nilai-nilai budaya yang dihasilkan dari<br />

<strong>permainan</strong>-<strong>permainan</strong> bahsa <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB.<br />

2.3.1 Linguistik kebudayaan<br />

Linguistik kebudayaan yang juga disebut etnolinguistik adalah varian<br />

antropologi linguistik yang mengaitkan hubungan antara <strong>bahasa</strong> dan kebudayaan<br />

suatu komunitas tertentu. Linguistik kebudayaan lebih menekankan pada kajian<br />

22


atas <strong>bahasa</strong> sebagai sumber daya budaya dan tuturan sebagai praktik budaya<br />

(Duranti, 1997:1--2). Jika antropologi linguistik lebih pada kajian deskripsi<br />

mengenai <strong>bahasa</strong> suku-suku bangsa, linguistik kebudayaan mendalami makna di<br />

balik yang tampak, melalui tuturan (speech) dan <strong>bahasa</strong> (language). Pengertian<br />

linguistik kebudayaan seperti ini menempatkan linguistik kebudayaan sebagai<br />

suatu perspektif teori kognitif yang mengkaji hubungan fungsional dan maknawi<br />

antara <strong>bahasa</strong> dan kebudayaan dalam suatu komunitas.<br />

Kata-kata yang keluar dalam bentuk simbol juga merupakan representasi<br />

atas situasi masyarakat dan kebudayaan mereka. Oleh karena itu, manusia dapat<br />

dinyatakan sebagai manusia yang kreatif dalam menciptakan dunia sosial dan<br />

budaya mereka, termasuk dalam menciptakan terminologi, konsep, simbol, dan<br />

<strong>bahasa</strong> yang dapat mewakili dan menggambarkan keinginan dan fenomena yang<br />

ada di lingkungan mereka. Hal yang sama dinyatakan oleh Foley (1997:1) bahwa<br />

linguistik kebudayaan berusaha mengungkap makna di balik penggunaan <strong>bahasa</strong><br />

serta bentuk <strong>bahasa</strong> yang berbeda, laras, dan gaya <strong>bahasa</strong> (style). Palmer (1996:4)<br />

menyatakan bahwa linguistik kebudayaan merupakan gabungan dari linguistik<br />

kognitif, linguistik aliran boas (pendeskripsian gramatika <strong>bahasa</strong> yang<br />

mencerminkan ungkapan imajeri mental yang selektif), etnosemantik dan<br />

etnografi berbicara.<br />

Linguistik Kebudayaan terutama berurusan bukan bagaimana orang<br />

berbicara tentang realitas objektif, melainkan bagaimana orang-orang itu<br />

berbicara tentang dunia mereka sendiri bayangkan (Palmer, 1996:36). Permainan<br />

<strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB dengan bladbadan gigi keliling kota untuk<br />

23


menyebut bentuk pelesetan pawah ‘ompong’ dihasilkannya dari pengalaman-<br />

pengalaman yang dibayangkan sendiri oleh kreatornya, yakni sang dalang.<br />

Keliling kota yang dalam bayangannya bersinonim dengan pawai digunakan<br />

untuk memelesetkan bentuk tandingannya, yakni /pawah/ yang memiliki bunyi<br />

mirip. Bentuk keliling kota yang disebutkannya dan sinonim yang<br />

dimaksudkannya, yakni pawai diperolehnya dari pengalaman pribadi, yaitu<br />

kebiasaaan di daerah tempat tinggalnya bahwa sebuah pawai kesenian atau apa<br />

pun itu dilakukan dengan berkeliling kota. Linguistik Kebudayaan dan linguistik<br />

kognitif secara fundamental merupakan teori imajeri mental yang berusaha<br />

memahami bagaimana penutur menyebarkan tuturannya dan pendengar<br />

memahami tuturan tersebut berkaitan dengan berbagai macam imajeri. Dalam<br />

pandangan Palmer, <strong>bahasa</strong> adalah <strong>permainan</strong> simbol verbal yang berbasis pada<br />

imajeri.<br />

2.3.2 Teori Konstruksi<br />

Teori konstruksi Goldberg (2006) digunakan pada penelitian ini dalam hal<br />

menentukan bentuk-bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB.<br />

Konstruksi adalah keberpasangan bentuk dan fungsi atau penggunaan semua level<br />

gramatikal, seperti morfem, kata, idiom, leksikal parsial, dan semua pola general<br />

frasa yang beberapa aspek dari bentuk ataupun fungsinya tidak dapat diprediksi<br />

secara pasti dari komponen-komponen pembentuknya atau dari konstruksi lain<br />

yang telah ada sebelumnya (Goldberg, 2006:5). Knowles dan Rosamund Moon<br />

24


(2006: 15--17) memaparkan konstruksi idiom terdiri atas komponen metaphor dan<br />

maknanya dapat ditelusuri dengan analogi.<br />

Kerangka konstruksi dapat digunakan dalam menganalisis semantik dan<br />

kata-kata tertentu, gramatikal morfem dan pada pola frasa yang tidak lazim.<br />

Permainan <strong>bahasa</strong> memperlihatkan kreativitas ber<strong>bahasa</strong> yang banyak<br />

menggunakan pola yang tidak sesuai dengan gramatikal yang lazim. Dengan<br />

demikian teori ini digunakan dalam menganalisis bentuk-bentuk <strong>permainan</strong><br />

<strong>bahasa</strong>, seperti bentuk <strong>bahasa</strong> pelesetan, bentuk retoris, kiasan, bentuk <strong>permainan</strong><br />

kata antar<strong>bahasa</strong> dalam sebuah kalimat atau wacana dan bentuk-bentuk hiponim.<br />

Dalam dialog-dialog <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB, sang dalang mengonstruksi<br />

bentuk-bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> untuk mengonstruksi imajeri pendengarnya<br />

dalam hal ini penonton untuk tujuan tertentu. Kemudian secara kognitif dengan<br />

menyandingkan, menyepadankan, dan mengasosiasikan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong><br />

tersebut dengan hipogram-hipogramnya (terutama dalam bentuk pelesetan)<br />

pendengar akan memaknainya dengan kesan-kesan dan imajeri yang bermacam-<br />

macam.<br />

Goldberg (2006) menyebutkan prinsip-prinsip konstruksi, yakni sebagai berikut.<br />

1. Semua level deskripsi dimengerti sebagai keterlibatan dan keberpasangan<br />

antara bentuk dengan fungsi semantik atau discourse.<br />

2. Penekanan aspek-aspek bagaimana cara kita membayangkan kejadian atau<br />

peristiwa-peristiwa tertentu.<br />

25


3. ‘Apa yang kamu lihat adalah apa yang kamu peroleh’ dengan mengadopsi<br />

pendekatan bentuk sintaksis: tidak ada level-level pokok sintaksis atau tidak<br />

ada elemen-elemen secara fonologi dikemukakan.<br />

4. Konstruksi diperoleh berdasarkan input dasar dan mekanisme kognitif.<br />

5. Cross-linguistics dijelaskan dengan perbandingan batas-batas kognitif<br />

bersamaan dengan fungsi pengembangan konstruksi.<br />

6. Generalisasi <strong>bahasa</strong> khusus dalam konstruksi diperoleh dari pengetahuan yang<br />

bersifat nonlinguistik<br />

7. Keseluruhan pengetahuan <strong>bahasa</strong> ditangkap dengan jaring-jaring konstruksi:<br />

sebuah konstruksi bentuk ‘construc-i-con’.<br />

Berikut ini adalah tabel contoh bentuk dan fungsi dalam konstruksi.<br />

2.1 Bentuk dan Fungsi dalam Konstruksi<br />

Construction Form/Example Function<br />

Morpheme e.g. anti-, pre-, ing-<br />

Word e.g. Avocado, anaconda, and<br />

Complex word e.g. Daredevil, shoo-in<br />

Idiom (filled) e.g. Going great guns<br />

Idiom (partially filled) e.g. Jog (Someone’s) memory<br />

Covariational-Conditional Form: The Xer the Yer (e.g. The Meaning:link independent<br />

construction<br />

more you think about it, the less<br />

you understand)<br />

and dependent variables<br />

Ditransitive (double-object) Form: Subj /V Obj1 Obj2/ (e.g. Meaning: Transfer (intended<br />

construction<br />

He gave her a Coke; He baked<br />

her a muffin)<br />

or actual)<br />

Passive Form: Subj aux VPpp (PPby) (e.g. Discourse function: to make<br />

The armadillo was hit by a car) undergoer topical and/or<br />

actor non-topical<br />

Goldberg: 2006<br />

Bentuk lahir (surface form) sebuah ujaran dalam teori konstruksi tidak<br />

hanya berasal dari satu buah konstruksi, tetapi dapat terdiri atas kombinasi<br />

beberapa konstruksi yang berbeda. Konstruksi bisa dikombinasikan secara bebas<br />

dalam bentuk ekspresi aktual sejauh sesuai dengan logika. Goldberg memberikan<br />

26


contoh kalimat what did Liza buy the child? Dapat memiliki konstruksi sebagai<br />

berikut:<br />

1. konstruksi Liza, buy, the, child, what, did (kata)<br />

2. konstruksi ditransitif<br />

3. konstruksi pertanyaan<br />

4. konstruksi inversi subjek-auxilary<br />

5. konstruksi VP<br />

6. konstruksi NP<br />

2.3.3 Teori Fungsi Bahasa<br />

Dalam menganalisis fungsi <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB<br />

digunakan teori fungsi <strong>bahasa</strong>. Hubungan bentuk dan fungsi merupakan contoh<br />

pola komunikatif dalam dimensi yang berbeda, misalnya bertanya kepada<br />

seseorang dengan <strong>bahasa</strong> Inggris apakah mereka mempunyai rokok akan segera<br />

disadari sebagai permintaan daripada sekadar pertanyaan untuk memperoleh<br />

informasi. Dalam masyarakat Bali teks-teks verbal dalam pertunjukan <strong>wayang</strong><br />

tradisional, baik dialog, monolog, dengan konvensi <strong>bahasa</strong> maupun dengan<br />

<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> berfungsi untuk mengomunikasikan berbagai amanat dalam<br />

kehidupan masyarakat. Fungsi dalam permaianan <strong>bahasa</strong> yang banyak<br />

menggunakan bentuk-bentuk <strong>bahasa</strong> yang bermakna tak sebenarnya, kias,<br />

konotatif, nonlinier, majas, atau dikenal juga sebagai bentuk <strong>bahasa</strong> bermakna<br />

metaforis, memerlukan prinsip-prinsip pragmatik dan semantik sehingga<br />

interpretasi pemahaman maknanya dapat dimengerti secara tepat.<br />

27


Kajian atas <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB ini menggunakan<br />

teori fungsi <strong>bahasa</strong> yang dikemukakan oleh Leech (1977). Leech membedakan<br />

lima fungsi <strong>bahasa</strong>. Adapun perincian lima fungsi <strong>bahasa</strong> menurut analisis Leech,<br />

seperti berikut.<br />

a) Fungsi informasional merupakan fungsi <strong>bahasa</strong> bila penyampaiannya bersifat<br />

memberikan informasi tentang suatu hal dari penutur kepada mitra tuturnya.<br />

Orientasi fungsi ini mengarah kepada pokok persoalan.<br />

b) Fungsi ekspresif merupakan fungsi <strong>bahasa</strong> yang dapat dipakai untuk<br />

mengungkapkan perasaan dan sikap penuturnya, kata-kata sumpah serapah<br />

dan kata seru adalah contoh yang paling jelas dalam kategori ini. Orientasi<br />

fungsi ini mengarah kepada penutur atau penulis.<br />

c) Fungsi direktif merupakan fungsi <strong>bahasa</strong> dalam hal memengaruhi atau<br />

mengatur perilaku atau perasaan orang lain, seperti perintah, permohonan,<br />

lelucon dan ledekan. Fungsi kontrol sosial (dalam hal pesan yang<br />

disampaikan) lebih memberikan tekanan pada sisi penerima, bukan pada<br />

penutur.<br />

d) Fungsi phatik merupakan fungsi <strong>bahasa</strong> dalam hal untuk menjaga garis<br />

komunikasi atau hubungan sosial antara pembicara dan lawan tuturnya.<br />

Orientasi fungsi ini mengarah kepada sarana komunikasi.<br />

e) Fungsi estetik merupakan fungsi <strong>bahasa</strong> yang lebih menekankan unsur seni<br />

puitik atau estetik. Pada pertengahan tahun 1930-an Jan Mukarovsky<br />

merumuskan fungsi estetik <strong>bahasa</strong>, yaitu fungsi <strong>bahasa</strong> demi keindahan <strong>bahasa</strong><br />

itu sendiri dengan menjadikan <strong>bahasa</strong> sebagai <strong>permainan</strong> kata-kata, seperti<br />

28


dalam metafor, lelucon, dan ritme. Fungsi ini tidak diterapkan untuk kajian<br />

sastra saja, tetapi juga untuk <strong>bahasa</strong> sehari-hari (lihat Sibarani,2004:41--42).<br />

Orientasi fungsi <strong>bahasa</strong> ini mengarah pada penggunaan <strong>bahasa</strong> demi hasil<br />

karya itu sendiri dan tanpa maksud yang tersembunyi.<br />

Hubungan antara fungsi <strong>bahasa</strong> dengan orientasinya dapat dilihat dalam bagan 1<br />

berikut.<br />

Bagan 1 Hubungan antara Fungsi Bahasa dengan Orientasinya<br />

Penutur<br />

atau<br />

pembaca<br />

-----------SALURAN-----------<br />

PESAN<br />

--------------------------------<br />

Tentang<br />

POKOK PERMASALAHAN<br />

Pendengar<br />

atau<br />

pembaca<br />

Fungsi Ekspresif Phatik Informasional Estetik Direktif<br />

2.3.4 Teori Semiotik Sosial<br />

Konsep semiotik diturunkan dari konsep tanda (sign), tetapi menurut<br />

Halliday dan Hassan dan Ruqaiya Hasan (1989: 2--5) semiotik lebih luas daripada<br />

hanya menganalisis tanda, melainkan kajian tentang sistem tanda. Dengan kata<br />

lain, sebagai suatu kajian tentang makna dalam arti yang paling umum.<br />

Semiotik sosial lebih memfokuskan <strong>bahasa</strong> sebagai sistem tanda atau<br />

simbol yang sedang mengekspresikan nilai dan norma kultural dan sosial suatu<br />

masyarakat tertentu di dalam suatu proses sosial ke<strong>bahasa</strong>an (Santoso, 2003:6).<br />

29


Zamzamah (2000:1) menyatakan bahwa semiotika adalah ilmu tanda yang<br />

mempelajari fenomena sosial budaya.<br />

Dalam semiotika <strong>bahasa</strong> dilihat sebagai sistem makna yang diperoleh<br />

melalui jaringan suatu hubungan antara sistem sosiokultural suatu masyarakat dan<br />

sistem <strong>bahasa</strong> yang dipakainya. Oleh karena itu, dalam pendekatan ini<br />

kebudayaan menjadi sumber sistem makna. Dalam teori semiotik Halliday dan<br />

Hasan (1989) diungkapkan <strong>bahasa</strong> dianggap sebagai salah satu dari sejumlah<br />

sistem makna yang secara bersama-sama membentuk budaya manusia. Palmer<br />

(1996) menguraikan aspek-aspek makna terdiri atas empat aspek, yaitu tema<br />

”sense”, perasaan ”feeling”, nada ”tone”, dan tujuan ”intention”. Pengkajian<br />

makna pada hakikatnya berupa pendalaman ungkapan yang terikat<br />

penggunaannya pada kesempatan tertentu oleh individu tertentu dan antara<br />

komunitas ujaran tertentu. Artinya, mengkaji makna tidak semata-mata bersifat<br />

murni linguistik, tetapi dapat berupa kajian pragmatik yang berhubungan dengan<br />

kebudayaan.<br />

Istilah ’sosial’ menurut pandangan Halliday dan Ruqaiya Hasan (1989)<br />

dimaksudkan untuk mengemukakan dua hal secara bersama-sama, yakni sosial<br />

yang digunakan dalam arti sistem sosial yang dianggap bersinonim dengan<br />

kebudayaan sehingga batasan ’semiotik sosial’ yang dimaksud adalah sistem<br />

sosial atau kebudayaan sebagai suatu sistem makna. Halliday (1978) memaparkan<br />

elemen-elemen dalam semiotik sosial, yakni teks (text), situasi (situation), register<br />

(register), kode (code), sistem linguistik (linguistic system), dan struktur sosial<br />

30


(social structure) dalam masyarakat. Sistem makna dalam sebuah teks terdiri atas<br />

berikut ini.<br />

1. Makna pengalaman (experiential meaning). Sebuah teks, misalnya kalimat<br />

yang diujarkan penutur dapat dimengerti pendengar sebagai gambaran dari<br />

fenomena yang dapat dipandang mewakili dunia nyata sebagaimana diketahui<br />

melalui pengalaman kita. Dalam makna pengalaman ini <strong>bahasa</strong> dianggap<br />

merupakan cara berpikir atau <strong>bahasa</strong> sebagai pikiran.<br />

2. Makna antarpelibat (interpersonal meaning). Dalam makna antarpelibat<br />

kalimat dipandang dari sudut pandang fungsi dalam proses interaksi sosial.<br />

Kalimat ditafsirkan bukan sebagai sarana berpikir, melainkan sebagai sarana<br />

berbuat. Kalimat tidak hanya menyatakan kenyataan sesungguhnya, tetapi<br />

juga menyatakan interaksi antara pembicara dan pendengar. Jadi, dalam<br />

makna antarpelibat <strong>bahasa</strong> merupakan cara bertindak atau <strong>bahasa</strong> sebagai<br />

tindakan.<br />

3. Makna logis (logical meaning). Dalam setiap <strong>bahasa</strong> alami terdapat satu<br />

jaringan hubungan logis dan mendasar yang relatif kecil dan yang bukan<br />

merupakan hubungan logis yang formal, melainkan hubungan yang pada<br />

akhirnya merupakan sumber didapatkannya hubungan logis yang formal.<br />

Pemaknaan ini misalnya pada bentuk metafor yang menghubung bandingkan<br />

suatu referent secara logis.<br />

4. Makna tekstual (textual meaning). Makna yang menjadikan kalimat sebuah<br />

teks yang berbeda dengan yang terwujud, misalnya memaknai kalimat<br />

setingkat lebih jauh lagi, yakni dengan membahas intonasinya.<br />

31


Halliday dan Ruqaiya Hasan(1989:23) menyebutkan bahwa keempat unsur<br />

pemaknaan di atas semuanya akan terjalin dalam struktur wacana. Tidak ada<br />

kalimat ataupun wacana yang memiliki makna pengalaman saja, makna<br />

antarpelibat saja, makna logis saja, atau makna tekstual saja. Sebuah kalimat akan<br />

dapat dimaknai secara menyeluruh dengan pertama-tama dimaknai berdasarkan<br />

makna pengalaman, pengalaman akan suatu entitaslah yang menyebabkan penutur<br />

dapat mengungkapkannya dalam ber<strong>bahasa</strong>. Kalimat yang diutarakan penutur<br />

merupakan wakil dari gejala-gejala yang dapat dikenali. Kemudian dalam kalimat<br />

atau wacana yang dituturkan tersebut tentu melibatkan komponen-komponen<br />

pelibat, yakni penutur, lawan tutur, atau pihak ketiga sehingga dalam<br />

mengungkapkan sebuah tuturan pasti terjadi proses interaksi sosial yang<br />

melibatkan beberapa komponen pelibat tutur. Makna logis akan tampak saat<br />

menghubungbandingkan komponen-komponen dalam bentuk tuturan, hal yang<br />

paling nyata tampak pada bentuk-bentuk metafora. Namun, tidak saja metafora<br />

setiap bentuk kalimat atau wacana akan tampak makna logisya saat dilihat dari<br />

segi fungsi, berupa fungsi perintah, permintaan, atau penawaran yang secara<br />

umum dapat dianalisis dari komponen-komponen pembentuknya. Petutur dapat<br />

memaknai sebuh tuturan itu adalah sebuah permintaan atau penawaran atau fungsi<br />

lainnya yang tampak pada makna tekstual yang dihasilkan dari intonasi, struktur<br />

tematik, irama, dan pemusatan informasi.<br />

Dalam konteks kajian <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> sebagai fenomena kebudayaan,<br />

teori semiotik sosial diarahkan sebagai perspektif untuk menginterpretasikan nilai-<br />

nilai makna yang diperoleh masyarakat dari <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong><br />

32


WCB. Jadi, teori semiotik sosial lebih diarahkan untuk memahami dan<br />

menafsirkan makna-makna yang terkandung dalam kebudayaan yang dihasilkan<br />

dari konstruksi bentuk-bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB.<br />

2.4 Model Penelitian<br />

Berdasarkan permasalahan dan teori-teori yang telah dipaparkan di atas,<br />

model penelitian yang diajukan dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam<br />

bagan berikut ini.<br />

Teori Konstruksi<br />

Goldberg (2006)<br />

Bentuk<br />

Permainan Bahasa<br />

Permainan Bahasa<br />

Tokoh Punakawan WCB<br />

Linguistik Kebudayaan<br />

Teori Fungsi Bahasa<br />

Leech (1977)<br />

Fungsi Permainan<br />

Bahasa<br />

Temuan<br />

Pada penelitian ini <strong>permainan</strong>-<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> dalam<br />

sepuluh VCD WCB dijadikan acuan penelitian dengan menganalisis bentuk,<br />

fungsi, dan makna untuk memperoleh hubungan yang erat antara budaya dan<br />

<strong>bahasa</strong> masyarakat penutur yang dalam penelitian ini adalah masyarakat Bali<br />

karena dialog <strong>tokoh</strong> punakwan <strong>wayang</strong> tradisional merupakan manifestasi<br />

33<br />

Teori Semiotik<br />

Sosial Halliday<br />

(1978)<br />

Makna Permainan<br />

Bahasa dan Imajeri<br />

Budaya Masyarakat


pencerminan fenomena penggunaan <strong>bahasa</strong> suatu masyarakat dalam guyub tutur<br />

tertentu. Linguistik Kebudayaan menjadi payung penelitian ini yang membawahi<br />

teori-teori pendukung untuk menganalisis bentuk, fungsi, dan makna. Teori<br />

kontruksi Adele E. Goldberg (2006) digunakan untuk menganalisis bentuk-bentuk<br />

<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB, teori fungsi <strong>bahasa</strong> Leech (1977)<br />

digunakan dalam menganalisis fungsi-fungsi yang dihasilkan variasi bentuk<br />

<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> tersebut, dan teori Semiotik Sosial Halliday (1978) digunakan<br />

untuk menginterpretasi nilai-nilai makna sosial yang dihasilkan yang secara<br />

holistik menghasilkan temuan.<br />

34


3.1 Rancangan Penelitian<br />

BAB III<br />

METODE PENELITIAN<br />

Dalam penelitian <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB ini diterapkan<br />

pendekatan penelitian kualitatif dengan menggunakan kata-kata atau kalimat<br />

dalam suatu struktur yang logik untuk menjelaskan konsep-konsep dalam<br />

hubungan satu sama lain (Danandjaja, 1990: 96). Laporan hasil penelitian<br />

kualitatif bersifat deskriptif naratif (Moleong, 2001:14--16). Artinya, analisis data<br />

dilakukan dengan berbentuk deskripsi fenomena, bukan berupa angka-angka atau<br />

koefisien tentang hubungan antarvariabel atau tidak berupa gambar.<br />

Mekanisme kerja dalam penelitian ini adalah menganalisis <strong>permainan</strong><br />

<strong>bahasa</strong> pada dialog antar<strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> ber<strong>bahasa</strong> Bali dan <strong>bahasa</strong> Bali dengan<br />

campur kode <strong>bahasa</strong> lain, seperti <strong>bahasa</strong> Indonesia dan <strong>bahasa</strong> Inggris dalam<br />

pertunjukan WCB. Penganalisisan dilakukan dengan memilih beberapa sampel<br />

data <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang relevan dan mewakili data-data <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong><br />

lakon <strong>punakawan</strong> WCB seluruhnya. Dari situlah dijadikan titik tolak untuk<br />

memahami lebih lanjut bentuk-bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang disuguhkan,<br />

kemudian menelusuri fungsi dan makna yang terkandung di dalamnya sehingga<br />

ditemukan gambaran tentang cara pikir atau imajeri masyarakat Bali di tengah<br />

dinamika budaya yang terjadi saat ini.<br />

35


3.2 Jenis dan Sumber Data<br />

Moleong (2001: 112) menyebutkan ada dua jenis data dalam penelitian<br />

kualitatif, yakni berjenis kata-kata atau lisan dan tindakan. Untuk mendukung<br />

penelitian ini, data yang dikumpulkan menurut jenisnya adalah data lisan<br />

<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> lakon <strong>punakawan</strong> WCB.<br />

Menurut sumbernya, data <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB<br />

dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari sepuluh seri VCD<br />

WCB yang dipasarkan di masyarakat. VCD yang diamati adalah delapan seri<br />

judul WCB yang masing-masing terdiri atas tiga keping VCD yang diproduksi<br />

oleh Aneka Record, berjudul Katundung Ngada, Sutha Amerih Bapa, Tebu Sala,<br />

Gatutkaca Anggugah, Ludra Murti, Suryawati Ilang, Lata Mahosadhi dan<br />

Bimaniyu Makrangkeng serta dua seri judul VCD yang diproduksi oleh Bali<br />

Record berjudul Diah Ratna Takesi dan Kumbakarna Lina. Sumber data primer<br />

lainnya yang digunakan adalah data dari hasil wawancara atau keterangan dalang<br />

WCB (dalam hal ini I Wayan Nardayana) yang diperoleh di tempat tinggalnya Br.<br />

Batan Nyuh Kelod, Desa Batan Nyuh, Kecamatan Marga Tabanan, dan hasil<br />

wawancara masyarakat yang sudah beberapa kali menyaksikan WCB.<br />

3.3 Instrumen Penelitian<br />

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah VCD player yang<br />

digunakan dalam menyimak VCD WCB secara keseluruhan untuk memperoleh<br />

sinopsis cerita pada setiap judulnya, laptop untuk menyimak secara cermat dan<br />

mendalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB dalam setiap serinya,<br />

36


pedoman wawancara berupa daftar tanyaan, alat perekam, serta kaset yang<br />

digunakan untuk merekam wawancara dengan dalang dan masyarakat yang telah<br />

beberapa kali menonton pertunjukan WCB secara life ataupun menonton WCB<br />

dari VCD-nya. Daftar tanyaan untuk wawancara memerinci pertanyaan untuk<br />

menggali informasi tentang sumber-sumber data yang dipakai dalang WCB dalam<br />

menyusun dan memperoleh <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang disuguhkan. Hasil jawaban<br />

dalang dijadikan dasar ataupun bandingan dari analisis makna imajeri masyarakat<br />

Bali.<br />

3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data<br />

Dalam mengumpulkan data metode observasi digunakan paling awal<br />

untuk menemukan VCD-VCD WCB yang tersebar di pasaran dengan menyeleksi<br />

pemilihan VCD didasarkan atas keresmian VCD. Beberapa judul VCD WCB<br />

yang diperjualbelikan di pasaran diproduksi secara tidak resmi tanpa memiliki<br />

izin produksi sehingga dipilih 10 judul VCD WCB yang secara resmi diproduksi<br />

oleh Aneka dan Bali Record saja.<br />

Dalam penyediaan data metode simak dan cakap digunakan dalam<br />

penelitian ini. Sebagai sebuah metode penelitian <strong>bahasa</strong>, metode simak adalah<br />

pemerolehan data yang dilakukan dengan menyimak penggunaan <strong>bahasa</strong> dengan<br />

beberapa teknik dasar, seperti teknik sadap, teknik simak libat cakap, teknik<br />

simak bebas libat cakap, dan teknik catat (Mahsun, 2007:92--93). Dalam<br />

penelitian ini, data primer <strong>bahasa</strong> lisan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong><br />

WCB diperoleh dengan menyimak dan mencermati sepuluh rekaman VCD WCB<br />

37


erulang-ulang disertai dengan teknik catat dan teknik simak bebas libat cakap,<br />

selain mencatat data <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang ditemukan penyimakan rekaman ini<br />

dilakukan untuk menemukan sinopsis cerita setiap judul VCD.<br />

Dari keseluruhan <strong>bahasa</strong> verbal yang terdapat dalam rekaman pertunjukan<br />

WCB hanya data lisan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> oleh <strong>tokoh</strong>-<strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong>nya yang<br />

ditranskripsi ke bentuk tulisan karena penelitian ini berfokus pada <strong>permainan</strong><br />

<strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB saja. Data <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang ditranskripsi ke<br />

bentuk tulisan diseleksi dan dipilih sampel data yang menarik dan mewakili setiap<br />

jenis <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dalam dialog-dialog <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB dalam semua<br />

judulnya. Metode cakap digunakan dalam mewawancarai dalang dengan teknik<br />

pancing untuk memperoleh darimana dan bagaimana dalang WCB mendapat ide<br />

atau gagasan dalam <strong>permainan</strong>-<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong>nya. Di samping itu juga dalam<br />

mewawancarai masyarakat untuk memperoleh pandangannya terhadap <strong>permainan</strong><br />

<strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> dalam WCB.<br />

3.6 Metode dan Teknik Analisis Data<br />

Sebelum dianalisis, sampel data <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong><br />

diolah dengan mengecek semua sampel data <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang sudah<br />

disediakan sebelumnya berdasarkan konsep <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang digunakan.<br />

Kemudian dikelompokkan sesuai dengan masalah dan teori yang diaplikasikan.<br />

Dalam pengolahan data ini sampel data diklasifikasikan menurut<br />

pengklasifikasian jenis <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> untuk memudahkan pengujian hipotesis.<br />

38


Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan analisis bersifat<br />

deskriptif dengan menggunakan metode padan, yakni metode analisis yang alat<br />

penentunya ditunjukkkan oleh <strong>bahasa</strong> itu sendiri atau referen <strong>bahasa</strong> (Sudaryanto,<br />

1992:13). Referen atau apa yang dibicarakan ditentukan identitasnya sesuai<br />

dengan standar atau pembaku dalam menentukan keselarasan, kesesuaian,<br />

kesepadanan. Metode padan ini dilakukan dengan teknik pilah unsur penentu,<br />

yakni memilah data sesuai dengan jenis penentu yang akan dipisah-pisahkan atau<br />

dibagi menjadi beberapa kategori sehingga disebut daya pilah referensial.<br />

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis data ini adalah<br />

sebagai berikut.<br />

a. Menganalisis bentuk-bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dengan memilah struktur,<br />

pola, dan konstruksi yang ditemukan. Pemilahan ini disesuaikan dengan<br />

standar penyepadanan referen, yakni adanya unsure manipulasi bunyi dan<br />

leksikal, manipulasi dengan variasi kode dan kekreativan gaya <strong>bahasa</strong><br />

kemudian setelah menemukan bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dengan<br />

konstruksi secara umum, bentuk-bentuk ini dianalisis lagi secara spesifik<br />

dengan memilah-milah konstruksi dalam satu jenis bentuk sehingga<br />

ditemukan pengelompokan variasi bentuk yang lebih spesifik dengan<br />

menggunakan teori konstruksi Goldberg (2006).<br />

b. Menganalisis fungsi data <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dengan teori fungsi <strong>bahasa</strong><br />

Leech (1977), yakni didahului dengan mengumpulkan bentuk <strong>permainan</strong><br />

<strong>bahasa</strong> yang memiliki fungsi sama, memiliki fungsi ekspresif saja, atau<br />

informatif saja, atau kombinasi beberapa fungsi yang dipaparkan Leech<br />

39


(informatif, ekspresif, direktif, estetik, dan phatik) kemudian dibandingkan<br />

dan dihubungkan sehingga menghasilkan pengklasifikasian fungsi sosial.<br />

c. Menganalisis nilai-nilai makna sosial data <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dengan teori<br />

semiotik sosial menggunakan metode padan referensial dengan<br />

membandingkan referen-referen dengan konsep analogi dan interpretasi,<br />

kemudian disepadankan dengan cakupan makna yang harus ada dalam<br />

sebuah tuturan, yakni makna pengalaman, makna antarpelibat, makna<br />

logis, dan makna tekstual yang diajukan oleh Halliday (1978) sehingga<br />

menghasilkan beberapa nilai makna sosial yang berhubungan dengan<br />

kepercayaan atau ideologi dan kebiasaan masyarakat Bali.<br />

d. Menginterpretasi kaitan imajeri masyarakat Bali dengan leksikal-leksikal<br />

yang digunakan dalam memformulasikan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> oleh <strong>tokoh</strong><br />

<strong>punakawan</strong> WCB dalam bentuk, fungsi, dan kemaknaan data dengan daya<br />

pilah mental.<br />

3.6 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data<br />

Dalam metode penyajian hasil analisis penelitian ini digunakan metode<br />

formal dan informal. Metode formal menurut Arikunto (1989:196) adalah<br />

penyajian data berupa tabel, grafik, diagram, gambar, dan sebagainya. Dalam<br />

penelitian ini metode formal digunakan dalam menyajikan data bentuk <strong>permainan</strong><br />

<strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB dengan diagram, khususnya penyajian data<br />

<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> berdasarkan <strong>bahasa</strong> bersifat pelesetan dan figuratif.<br />

40


Metode informal adalah cara penyajian hasil pengolahan data dengan<br />

menggunakan kata-kata atau kalimat sebagai sarana (Sudaryanto, 1992:64).<br />

Metode informal dalam penelitian ini digunakan untuk menyajikan interpretasi<br />

dan analisis terhadap paradigma bentuk, fungsi, dan makna dengan penggunaan<br />

kata-kata atau kalimat.<br />

41


BAB IV<br />

BENTUK PERMAINAN BAHASA<br />

TOKOH PUNAKAWAN WAYANG CENK-BLONK<br />

4.1 Permainan Bahasa Tokoh Punakawan WCB dalam Bentuk Pelesetan<br />

Bahasa<br />

Bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB banyak ditemukan<br />

dalam pelesetan. Penggunaan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> berjenis pelesetan ternyata telah<br />

dikenal dalam budaya ber<strong>bahasa</strong> masyarakat Bali sejak dahulu. Hal ini tampak<br />

dalam kekreatifan ber<strong>bahasa</strong> yang sering disebut dengan bladbadan. Masyarakat<br />

Bali terutama zaman dahulu sangat sering menggunakan sinonim dari bladbadan<br />

yang dihasilkan sebagai pelesetan bentuk kata yang diasosiasikan dengan bentuk<br />

tandingannya (bentuk yang sebenarnya ingin diungkapkan). Fenomena <strong>bahasa</strong><br />

Indonesia yang semarak dengan <strong>bahasa</strong> pelesetan pada dekade ini juga mengambil<br />

andil dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB yang selalu mengikuti<br />

gejala <strong>bahasa</strong> yang terjadi dalam masyarakat, khususnya pada data yang<br />

menggunakan <strong>bahasa</strong> Bali dengan variasi kode sehingga ditemukan banyak data<br />

pelesetan <strong>bahasa</strong> yang digunakan.<br />

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional,<br />

2008: 845) dijelaskan bahwa ”pelesetan” berasal dari kata ”peleset” yang artinya<br />

tidak mengenai sasaran atau tidak mengenai apa yang dituju. ”Memelesetkan”<br />

berarti membuat sesuatu di luar yang sebenarnya, dan ”pelesetan” berarti hasil<br />

memelesetkan. Kendatipun secara teoretis pelesetan dimaknai sebagai sesuatu<br />

42


yang menyimpang dari sasaran, secara empirik substansi yang dikemukakan<br />

dalam banyak pelesetan sesungguhnya cukup menukik dan identik dengan<br />

substansi bentuk awalnya. Misalnya, pelesetan produk masyarakat ASMI<br />

(Akademi Sekretaris Manajer Indonesia) dipelesetkan menjadi Akademi Santapan<br />

Manajer Indonesia. Dalam pelesetan kepanjangan akronim ASMI, substansi<br />

’Sekretaris’ pada bentuk kepanjangan awal dipelesetkan dengan menggantinya<br />

menjadi ’Santapan’ yang identik terhadap fenomena sosial yang banyak terjadi<br />

pada bos ataupun manajer yang tertarik dengan sekretarisnya sehingga disebut<br />

menjadi santapan manajer.<br />

Sibarani (2002) membagi tujuh jenis pelesetan berdasarkan tingkat<br />

ke<strong>bahasa</strong>annya, yakni pelesetan fonologis, pelesetan grafis, pelesetan morfemis,<br />

pelesetan frasal, pelesetan kalimat, pelesetan ideologis, dan pelesetan wacana<br />

(diskursi). Dalam penelitian ini ditemukan jenis-jenis pelesetan menurut Sibarani,<br />

kecuali jenis pelesetan frasal dan pelesetan wacana. Pelesetan frasal, yakni<br />

pelesetan kelompok kata dengan cara menjadikannya sebagai singkatan berupa<br />

akronim. Misalnya frasa ‘botol lampu’ dipelesetkan menjadi ‘Bodoh TOLol<br />

LAMbat PUla’ (Sibarani, 2004: 97).<br />

Pelesetan merupakan salah satu bentuk linguistik yang strukturnya tidak<br />

biasa (unusual pattern) dan untuk menentukan bentuk-bentuknya dapat dianalisis<br />

dengan teori konstruksi Goldberg (2006). Dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong><br />

<strong>punakawan</strong> WCB berjenis pelesetan, bentuk pelesetan fonologis yang paling<br />

banyak ditemukan.<br />

43


4.1.1 Bentuk Pelesetan Fonologis<br />

Sibarani (2004:95) menyebutkan pelesetan fonologis (bunyi), yakni<br />

pelesetan sebuah fonem atau lebih dalam leksikon. Misalnya pada data SI 3b yang<br />

merupakan bentuk pelesetan fonologis atau bunyi pada sebuah kata /emosi/ yang<br />

dipelesetkan dengan /erosi/ berikut ini.<br />

SI 3b (01 :34)<br />

Sukir : /ratu p↔rand↔ jaNan erosi/ ‘Ratu Peranda jangan erosi<br />

!’<br />

Tualen : /emosi/ ‘emosi!’<br />

Sukir : /eh a↔ emosi/ ‘oh iya emosi’<br />

Bentuk emosi mengalami pemelesetan secara langsung menjadi erosi<br />

dengan perubahan bentuk kata secara kontraksi atau perubahan fonem /m/<br />

menjadi /r/. Konstruksi pelesetan ini terbentuk dari berubahan bentuk kata akibat<br />

terjadinya perubahan bunyi. Bentuk emosi dan erosi memiliki bunyi yang mirip.<br />

Namun, dengan perubahan salah satu fonemnya, yakni fonem /m/ menjadi fonem<br />

/r/ menyebabkan makna kedua bentuk tersebut sangat jauh berbeda. Konstruksi<br />

perubahan bentuk yang terjadi dengan pelesetan sebuah kata dengan kata lainnya<br />

yang memiliki bentuk atau bunyi mirip segera merekonstruksi imajeri pendengar<br />

dan menghasilkan efek-efek yang menyebabkannya tertawa karena tersadar<br />

adanya penyimpangan dari bentuk konvensionalnya. Efek-efek inilah yang<br />

menjadi acuan utama dari konstruksi <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong>. Data LMur 9b berikut ini<br />

juga memperlihatkan bentuk pelesetan fonologi.<br />

Sangut : /oh m↔g↔ndiN bebas/ ‘oh… lagu bebas…’<br />

Delem : /bebas/ Bebas !<br />

LMur 9a Sangut : /↔mpop dadi/ Empop boleh?<br />

44


Delem : /NoraN pop gen ↔mpop pop/ me nyebut POP saja<br />

EMPOP POP!!’<br />

Sangut : /o pop/ ‘O… Pop ?’<br />

Delem : /bebas pop bebas/ ‘Bebas! Pop bebas!’<br />

Sangut : /rok/ ‘Rock ?’<br />

Delem : /bebas/ ‘bebas!!’<br />

Sangut : /jas/ ‘Jas ?’<br />

Delem : /g↔g↔ndinN ap↔ soroh p↔NaNgo soroh pakaian ne<br />

suwud pop rok jas jess / ‘lagu apa berjenis pakaian?<br />

Setelah pop, rok, jas… jezz!!!<br />

Pada data di atas terjadi konstruksi pelesetan sebuah kata dengan<br />

memelesetkan bunyi /pop/ menjadi /↔mpop/ dengan penambahan fonem /↔/<br />

dan /m/ pada awal kata dan dilanjutkan dengan pelesetan bunyi /jes/ dari kata<br />

‘jezz’ menjadi /jas/. Kata-kata itu seolah-olah menyebutkan nama-nama pakaian,<br />

yakni rok (jenis pakaian bawah wanita), jas (jenis pakaian pria), dan pop (jenis<br />

celana pendek di bawah lutut untuk wanita). Konstruksi pelesetan ini akan<br />

membawa imajeri pendengar terhadap jenis-jenis pakaian dan menyandingkannya<br />

dengan jenis-jenis musik yang bentuk lingualnya memiliki bunyi yang mirip<br />

dengan pelafalan jenis-jenis pakaian tersebut. Jenis data pelesetan /jes/ menjadi<br />

/jas/ memiliki bentuk yang sama dengan pelesetan /emosi/ menjadi /erosi/ yang<br />

dihasilkan dari proses perubahan atau pergantian fonem (kontraksi).<br />

Data DRT 15 juga merupakan bentuk pelesetan fonologis dengan proses<br />

perubahan bentuk karena perubahan fonem, yakni pada sebuah kata /m↔ntul/<br />

yang dipelesetkan dengan /b↔ntul/ berikut ini.<br />

DRT 15a Delem : /roko biru/ ‘rokok biru’<br />

Nyoman : /napi punik↔/ ‘apa itu?’<br />

Delem : /ane m↔ntul tunas titiyaN/ ‘yang menonjol aku minta’<br />

45


Konsep awal pelesetan adalah terjadinya penyimpangan dari sasaran atau<br />

ide awal. Ide awal yang dimaksud <strong>tokoh</strong> Delem adalah bentuk kata<br />

/m↔ntul/. Namun, dengan terlebih dahulu menggunakan bentuk <strong>permainan</strong><br />

<strong>bahasa</strong> yang dikenal dengan bladbadan, <strong>tokoh</strong> Delem memelesetkan kata yang<br />

seharusnya dikatakan /m↔ntul/ menjadi /b↔ntul/ yang sebelumnya dihasilkan<br />

dari pengutaraan bladbadan /roko biru/. Pengutaraan frasa roko biru sebenarnya<br />

digunakan untuk mengurangi kesan vulgar atau jorok kata /m↔ntul /. Namun,<br />

pada dialog <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> di atas, Delem tetap mengutarakan bentuk yang<br />

ingin diutarakan dari <strong>permainan</strong> frasa roko biru dengan membuat seolah-olah<br />

lawan tutur <strong>tokoh</strong> Delem tidak mengerti dengan maksud Delem sehingga ia<br />

bertanya kembali apa maksudnya. Tokoh Delem menjawab dengan bentuk<br />

sebenarnya dari <strong>permainan</strong> kata-katanya untuk efek melucu dan dengan tujuan<br />

yang bersifat reseptif <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB menggiring imajeri penonton untuk<br />

membandingkan hasil bentuk <strong>permainan</strong> kata-katanya /b↔ntul/ ‘Bentoel’ yang<br />

merupakan sinonim bladbadan roko biru dengan /m↔ntul/. Bladbadan adalah<br />

sebuah bentuk frasa atau kalimat untuk menyatakan atau mengacu bentuk lingual<br />

tertentu dan mengalami perubahan atau pemuluran (Ginarsa, 1985). Pemuluran<br />

dan perubahan bentuk terjadi dengan pemuluran bunyi atau penambahan bunyi<br />

fonem. Untuk menyebutkan kata /m↔ntul/ yang dalam imajeri masyarakat Bali<br />

diasosiasikan dengan alat vital atau kemaluan wanita, <strong>tokoh</strong> Delem<br />

memelesetkannya dengan mencari kata yang bunyinya mirip, yakni kata<br />

/b↔ntul/ 'Bentoel' yang diperoleh dari /m↔roko biru/ yang merupakan lebel rokok<br />

46


erwarna kemasan biru yang terkenal dengan sebutan ‘Bentoel Biru’. Ide bentuk<br />

awal /m↔ntul/ dipelesetkan dengan frasa yang mengacu pada bentuk<br />

/b↔ntul/ mengalami proses penggantian fonem /m/ menjadi /b/ yang sama-sama<br />

tergolong bilabial. Bentuk /b↔ntul/ 'Bentoel' merupakan sinonim bladbadan<br />

maroko biru. Saat menyebut bentuk /m↔ntul/ <strong>tokoh</strong> Delem mengonstruksi<br />

imajeri pendengar, membangkitkan dan mengembangkan imajerinya dan mencari-<br />

cari bentuk yang memiliki bunyi yang mirip dengan bentuk sandingannya<br />

/m↔ntul/ yang berkaitan atau bersinonim dengan maroko biru dan segera<br />

menemukan bentuk sinonim tersebut berdasarkan pengalaman-pengalaman atau<br />

pengetahuannya.<br />

Contoh data SAB 11a juga menjadi bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang<br />

menarik, yakni kata /boNol/ yang dipelesetkan menjadi /beNol/ yang merupakan<br />

satuan uang dengan nomina dua setengah sen dalam <strong>bahasa</strong> Bali.<br />

SAB 11a Sangut : /kupiN duaN sen t↔Nah / ’ telinga dua setengah sen’<br />

Delem : /eNken / ‘bagaimana?’<br />

Sangut : /beNol / ‘bengol: dua setengah sen’<br />

Ide awal yang diungkapkan <strong>tokoh</strong> Sangut adalah menyebut telinga Delem yang<br />

bongol ‘tuli’. Akan tetapi, dipelesetkan menjadi bentuk bengol yang merupakan<br />

sinonim bladbadan ‘duang sen tengah’. Bentuk bengol yang diutarakan <strong>tokoh</strong><br />

Sangut merujuk pada kata yang mirip dengan bentuk lingual yang dimaksud<br />

bongol dengan pemelesetan bunyi /o/ menjadi /e/. Sinonim bladbadan duang sen<br />

tengah, yakni /beNol/ diasosiasikan dengan bentuk /boNol/ karena bunyinya yang<br />

mirip. Penyebutan langsung sinonim bladbadan kuping duang sen tengah, yakni<br />

47


eNol/ mengonstruksi imajeri pendengar dengan mencari bentuk tandingan yang<br />

memiliki bunyi mirip dengan sinonim bladbadan tersebut. Tentunya imajeri<br />

masyarakat akan langsung dapat menangkap maksud yang sebenarnya diacu,<br />

yakni /bongol/ ‘tuli’ yang memiliki bunyi mirip karena berhubungan secara logis<br />

dengan kuping ‘telinga’. Bladbadan kerap kali digunakan oleh masyarakat Bali<br />

(terutama pada zaman dahulu) dengan cara menyebutkan referen berbeda untuk<br />

maksud yang berbeda, tetapi kedua hal berbeda tersebut memiliki bentuk<br />

linguistik yang hampir sama.<br />

Berikut ini adalah tabel-tabel yang memperlihatkan beberapa contoh data<br />

yang diperoleh dari <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> bentuk pelesetan fonologis dengan proses<br />

pembentukan secara kontraksi atau pergantian fonem.<br />

Tabel 4.1 Pelesetan Bunyi dengan Proses Kontraksi (Perubahan Fonem)<br />

No<br />

Data<br />

Konstruksi<br />

Proses<br />

Pembentukan<br />

Bentuk<br />

Awal<br />

Bentuk Pelesetan<br />

SAB<br />

10a<br />

Pelesetan Langsung fonem fonem<br />

lain<br />

/i/ /a/<br />

/panc↔ sil<br />

↔/<br />

/panc↔ sal↔/<br />

LM<br />

22<br />

Pelesetan Langsung fonem fonem<br />

lain<br />

/p/ /m/<br />

/s↔nam poc<br />

o-poco/<br />

/s↔nam mocomoco/<br />

LMur<br />

9b<br />

Pelesetan Langsung fonem fonem<br />

lain /e/ /a/<br />

SI 2 Pelesetan Langsung fonem fonem<br />

lain<br />

/a/ /u/<br />

SI 3b Pelesetan Langsung fonem fonem<br />

lain<br />

/m/ /r/<br />

‘jezz’ /jes/ /jas/<br />

/sakir/ /sukir/<br />

/emosi/ /erosi/<br />

48


Tabel 4.2 Pelesetan Bunyi Sinonim Bladbadan dengan Proses Kontraksi<br />

No<br />

Data<br />

DRT<br />

15a<br />

SAB<br />

11a<br />

SAB<br />

11b<br />

Konstruksi<br />

Bladbadan + sinonim<br />

Meroko biru ‘Bentoel’<br />

Bladbadan + sinonim<br />

Kuping duang sen tengah<br />

Bengol<br />

Bladbadan + sinonim<br />

gigi keliling kota pawai<br />

Bentuk<br />

Sinonim<br />

Bentuk<br />

Tandingan<br />

49<br />

Proses<br />

Pembentukan<br />

Pelesetan<br />

/b↔ntul/ /m↔ntul/ fonem fonem lain<br />

/m/ /b/<br />

/bengol/ /boNol/ fonem fonem lain<br />

/o/ /e/<br />

/pawae/ /pawah/ fonem fonem lain<br />

/h/ /e/<br />

Contoh bladbadan juga terdapat pada pelesetan fonologis berbentuk<br />

penyisipan fonem /m/ pada kata /s↔prit/ ‘sprite’, yakni salah satu lebel minuman.<br />

Berikut ini adalah percakapan antara Delem dan Sangut saat Delem<br />

menyombongkan dirinya dengan bercerita tentang menu sarapannya sehari-hari.<br />

(16:38) Sangut : /ap↔ air minum ne / ‘apa air minumnya?’<br />

SAB 6b Delem : /ak↔dis p↔tiNan poleN / ‘burung pipit berwarna hitam<br />

putih’<br />

Sangut : /ap↔ to / ‘apa itu?’<br />

SAB 6c Delem : /↔ s↔mprit / ‘ee.. Semprit’<br />

Sangut : /s↔prit / ‘Sprite!’<br />

Delem : /α↔ α↔ s↔prit / ’ya... ya... Sprite’<br />

Semprit adalah nama kue yang terbuat dari tepung yang digoreng (Kamus Bali-<br />

Idonesia, 1978: 516). Bladbadan /ak↔dis p↔tiNan poleN / ’burung sejenis<br />

burung Pipit yang berwarna hitam-putih’ bersinonim dengan burung yang dikenal<br />

masyarakat Bali dengan P↔rit yang biasanya dilafalkan /prit/. Bentuk awal yang<br />

ingin diungkapkan adalah minuman berlabel Sprite /s↔prit / yang dikenal<br />

masyarakat sebagai minuman bersoda berkadar ringan. Pada data <strong>permainan</strong><br />

<strong>bahasa</strong> di atas <strong>tokoh</strong> Delem memelesetkan bentuk /s↔prit/ sebanyak dua kali.


Pertama, dengan menyebut bladbadan akedis petingan poleng yang bersinonim<br />

dengan /prit/. Kedua, dengan mendengar Delem memelesetkannya menjadi<br />

bentuk s↔mprit secara langsung mengonstruksi imajeri pendengar dan<br />

mengasosiasikannya dengan bentuk Sprite /s↔prit / yang identik dengan minuman.<br />

Penekanan bentuk tandingan Sprite /s↔prit / yang disebut Sangut untuk<br />

mengoreksi bentuk yang diucapkan Delem dapat membangkitkan imajeri<br />

masyarakat terhadap burung /prit/ yang memiliki bunyi mirip dengan<br />

/s↔prit /dengan pelesapan bunyi /s/ dan /↔/ ataupun bentuk /s↔mprit / dengan<br />

pemelesetan bunyi melalui proses penyisipan fonem /m/.<br />

Pemelesetan bunyi dengan penambahan atau penyisipan fonem juga<br />

terdapat dalam data TS 3d, yakni kata /p↔rigi / yang seharusnya /p↔rgi/. Pada<br />

data tersebut <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB menyebut bentuk kata pergi dengan<br />

pemelesetan menggunakan bladbadan /m↔titi batu/ ‘berjalan batu’ yang dalam<br />

budaya Bali jalan setapak yang terdiri atas batu-batu kerikil dikenal dengan<br />

sebutan perigi /p↔rigi/. Bentuk /p↔rigi/ diasosiasikan dengan kata pergi karena<br />

bunyinya yang mirip. Pemelesetan bunyi dengan terlebih dahulu menggunakan<br />

bladbadan dalam penyepadanan kata-kata yang memiliki bentuk mirip sebagai<br />

pelesetan cukup banyak ditemukan dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong><br />

WCB, misalnya sebagai berikut.<br />

SAB 11b: Bladbadan gigi keliling kota dianggap bersinonim dengan<br />

pawai. Bentuk tandingannya baru bisa disadari pendengar setelah bentuk<br />

sinonimnya disebutkan, yaitu pawai dengan pelafalan /pawae/. Bentuk /pawae/<br />

50


mengonstruksi imajeri pendengar untuk mencari bentuk tandingannya dan segera<br />

disadari menjadi suatu yang jenaka ketika bentuk tandingannya dikaitkan dengan<br />

gigi, yakni bentuk pawah ‘ompong’. Bentuk sinonim bladbadan diasosiasikan<br />

dengan bentuk awal atau bentuk tandingan yang dimaksud. Bladbadan yang<br />

secara kreatif diutarakan <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> inilah digunakan untuk memelesetkan<br />

bentuk kata yang sebenarnya diacu, yakni kata /pawah/ yang memiliki bunyi<br />

mirip dengan /pawae/. Pada data ini terjadi proses kontraksi antara fonem /h/ dan<br />

/e/.<br />

SAB 11c: Bladbadan bok suba Airport Ngurah Rai ‘rambut sudah Airport<br />

Ngurah Rai’ digunakan dalam memelesetkan kata uban (rambut yang telah<br />

memutih). Airport Ngurah Rai berasosiasi dengan lokasi airport tersebut, yakni<br />

di daerah Tuban, dengan menyebut akan ke Tuban asosiasi masyarakat Bali sudah<br />

tertuju pada Airport Ngurah Rai. Dengan menyebut sinonim dari bladbadan<br />

tersebut, yakni Tuban pendengar langsung dapat mengetahui bentuk tandingannya<br />

dengan mengaitkan bok ‘rambut’ dengan hal-hal yang berkaitan dengan rambut<br />

yang memiliki bunyi mirip dengan tuban. Uban dipelesetkan dengan Tuban<br />

karena bunyinya yang mirip dengan penambahan fonem dental /t/ pada awal kata.<br />

LM 11: Bladbadan angkihne suba telung dasa lima (napasnya sudah tiga<br />

puluh lima). Sinonim telung dasa lima adalah sasur. Dengan mengaitkan sinonim<br />

bladbadan ini dengan angkihne ‘napasnya’ imajeri pendengar akan tertuju pada<br />

bentuk tandingan yang merupakan maksud awal yang sebenarnya ingin<br />

diungkapkan. Tokoh <strong>punakawan</strong> WCB memformulasikan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang<br />

mengacu pada bentuk lingual yang menyerupai kata ngangsur. Bentuk telung<br />

51


dasa lima digunakan dalam memelesetkan bentuk ngangsur (terengah-engah).<br />

Dengan terlebih dahulu menggunakan bladbadan yang sinonimnya diasosiasikan<br />

dengan bentuk awal atau bentuk tandingannya, kata sasur diasosiasikan dengan<br />

ngangsur. Bentuk sasur merupakan pelesetan kata ngangsur yang dipelesetkan<br />

dengan proses pelesapan awalan sengau atau nasal /N/ dan penambahan fonem /s/.<br />

TS 3c: Boreh kayu, yang bersinonim dengan cat digunakan untuk<br />

memelesetkan kata /p↔cat↔/ ‘dipecat’. Boreh adalah racikan rempah seperti lulur<br />

yang digunakan masyarakat Bali dengan melumurkannya pada tubuh untuk<br />

menghangatkan tubuh. Jika telah mongering, boreh akan berwarna putih seperti<br />

cat sehingga masyarakat Bali menganalogikan cat dengan boreh, tetapi bedanya<br />

cat digunakan untuk melumuri kayu. Kata /p↔cat↔/ ‘dipecat’ dipelesetkan dengan<br />

bladbadan boreh kayu yang bersinonim dengan kata /cat/ kemudian diasosiasikan<br />

dengan bentuk /p↔cat↔/ dengan pelesapan afiks pada awal dan akhir kata.<br />

TS 3e: M↔odol Bali, yakni sisig yang kemudian digunakan sebagai<br />

pelesetan kata sigsigan ‘terisak-isak’. Meodol berasal dari kata odol ‘pasta gigi’.<br />

Meodol berarti berodol atau berpasta gigi. Masyarakat Bali pada zaman dahulu<br />

menggunakan sisig ‘sugi atau tembakau’ untuk membersihkan giginya. M↔odol<br />

Bali berarti ‘berpasta gigi ala Bali’, yang bersinonim dengan sisig. Bentuk<br />

bladbadan ini digunakan untuk menyandingkan bentuk tandingan yang dimaksud,<br />

yakni kata /sigsigan/. Dengan menyebut bentuk tandingan /sigsigan/, bentuk<br />

tersebut mengonstruksi kembali imajeri masyarakat pada kata atau bentuk yang<br />

mirip dengan bunyi tandingannya. Imajeri pendengar berkembang hingga<br />

menemukan bentuk dengan bunyi yang mirip dengan bentuk tandingan /sigsigan/<br />

52


yang terkait dengan bladbadan maodol Bali, yakni /sisig/ dan akhirnya menyadari<br />

sinonim bladbadan maodol Bali tersebut. Bentuk sigsigan dipelesetkan dengan<br />

hasil bladbadan M↔odol Bali ‘sisig’ yang mengalami pelesapan fonem velar /g/<br />

pada tengah kata dan afiks –an pada akhir kata.<br />

Selain menggunakan bladbadan dalam membuat pelesetan bunyi, <strong>tokoh</strong><br />

<strong>punakawan</strong> WCB juga banyak melakukan pemelesetan, baik kata maupun frasa,<br />

secara langsung dengan proses perubahan secara kontraksi (perubahan atau<br />

pergantian fonem), reduksi (pengurangan fonem dalam suatu kata), metatesis<br />

(perubahan kata karena pertukaran letak fonem-fonemnya), dan adisi<br />

(penambahan fonem).<br />

Data BM 19 merupakan pelesetan yang dibuat karena kebiasaan<br />

masyarakat Bali dalam melafalkan kata dengan melesapkan fonem /h/ di tengah,<br />

misalnya kata ngembahin ‘membuka’ biasanya akan dilafalkan /N↔mbain/,<br />

/siahan/ ‘belahan rambut’ akan dilafalkan /siaan/. Kata /balian-balian/ ‘dukun-<br />

dukun’ merupakan pelesetan dari kata balihan-balihan ‘tontonan-tontonan’ yang<br />

diutarakan <strong>tokoh</strong> Delem dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong>nya berkaitan dengan kebiasaan<br />

masyarakat Bali dalam mengucapkan kata yang memiliki fonem /h/ pada tengah<br />

kata yang ternyata menimbulkan makna sangat jauh berbeda sehingga<br />

menimbulkan candaan yang menarik.<br />

BM 19 (47:56)<br />

Delem : /kayaN ne Nut kayaN kaka Nanten ne Nut bulan pituN dina j↔g<br />

balian-baliane undaN / ‘suatu saat Ngut, saat nanti aku menikah Ngut, satu<br />

bulan tujuh harinya dukun-dukun undang!’<br />

Sangut : /nyen g↔l↔m / ‘siapa yang sakit?’<br />

Delem : /nyen g↔l↔m / ‘siapa yang sakit?’<br />

Sangut :/NudiaN NundaN balian-balian / ‘kenapa mengundang dukun- dukun ?’<br />

53


Delem : /k↔s↔nianne ↔nto / ‘kesenian itu!!’<br />

Sangut : /balih balihan j↔g balian balian ne / ‘tontonan! dukun-dukun…’<br />

Dari contoh-contoh di atas ditemukan <strong>permainan</strong> bentuk pelesetan bunyi<br />

secara bertahap dan secara langsung. Pelesetan bunyi yang mengalami proses<br />

secara bertahap maksudnya sebelum terjadi perubahan bentuk kata atau frasa<br />

didahului dengan bladbadan yang berorientasi pada bentuk sinonimnya untuk<br />

disandingkan dengan bentuk tandingannya yang merupakan bentuk awal atau ide<br />

awal yang ingin disampaikan penuturnya. Sebaliknya, pelesetan secara langsung<br />

adalah pelesetan yang secara langsung diakibatkan oleh terjadinya perubahan<br />

bunyi kata atau frasa karena proses perubahan bentuk, seperti kontraksi, reduksi,<br />

metatesis, atau adisi. Beberapa contoh data <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong><br />

WCB berjenis pelesetan fonologis dengan pelesapan fonem dan penambahan<br />

fonem dapat dilihat pada tabel-tabel berikut ini.<br />

Tabel 4.3 Pelesetan Bunyi dengan Proses Reduksi (Pelesapan Fonem)<br />

No<br />

Data<br />

SAb<br />

28<br />

BM<br />

19<br />

Konstruksi<br />

Pelesetan Langsung<br />

/d/ Ο<br />

Pelesetan Langsung<br />

/h/ Ο<br />

Proses<br />

Pembentukan<br />

Pelesapan<br />

fonem /d/<br />

Pelesapan<br />

fonem /h/<br />

54<br />

Bentuk Awal Bentuk Pelesetan<br />

/mata budaya/ /mata buaya/<br />

/balihanbalihan/<br />

Tabel 4.4 Pelesetan Bunyi Sinonim Bladbadan dengan Proses Reduksi<br />

No<br />

Data<br />

LM<br />

28a<br />

TS<br />

3c<br />

Konstruksi<br />

Bladbadan + sinonim<br />

luar negri tepuk ’Brazil’<br />

Bladbadan + sinonim<br />

maboreh kayu cat<br />

Bentuk<br />

Sinonim<br />

Bentuk<br />

Tandingan<br />

/brasil/ ‘berhasil’<br />

/b↔rhasil/<br />

/cat/ ‘pecata’<br />

/p↔cat↔/<br />

/balian-balian/<br />

Proses<br />

Pembentukan<br />

Pelesetan<br />

Pelesapan fonem<br />

/↔/ dan /h/<br />

Pelesapan fonem<br />

/p/ dan /↔/


TS<br />

3d<br />

SAB<br />

6c<br />

Bladbadan + sinonim<br />

maodol Bali Sisig<br />

Bladbadan + sinonim<br />

akedis petingan<br />

polengPerit<br />

55<br />

/sisig/ /sigsigan/ Pelesapan fonem<br />

/g/, /a/ dan /n/<br />

/prit/ ‘sprite’/s Pelesapan fonem<br />

↔prit/ /s/ dan /↔/<br />

Tabel 4.5 Pelesetan Bunyi dengn Proses Adisi (Penambahan/Penyisipan Fonem)<br />

No<br />

Data<br />

Konstruksi<br />

Proses<br />

Pembentukan<br />

Bentuk<br />

Awal<br />

Bentuk<br />

Pelesetan<br />

SAB 2c Pelesetan Langsung Penyisipan /bwah/ buah ‘buah’<br />

fonem /u/<br />

/buwah/<br />

SAB Pelesetan Langsung Penyisipan /swah/ Suah ‘sisir’<br />

2d<br />

fonem /u/<br />

/suwah/<br />

SAB 3a Pelesetan Langsung Penyisipan Beliau /b↔lilalo/<br />

fonem /l/ dan<br />

/o/<br />

/b↔lio/<br />

KL 8b Pelesetan Langsung Penyisipan<br />

fonem /a/<br />

/pon/ /paon/<br />

LMur Pelesetan Langsung Penambahan /pop/ /↔mpop/<br />

9a<br />

fonem /↔/ dan<br />

/m/<br />

BM Pelesetan Langsung Penambahan Kak Angku /kak aNkuk/<br />

21a<br />

fonem /k/ /kak aNku/<br />

Tabel 4.6 Pelesetan Bunyi Sinonim Bladbadan dengan Proses Adisi<br />

No<br />

Data<br />

SAB<br />

8b<br />

SAB<br />

11c<br />

(Penambahan/Penyisipan Fonem)<br />

Konstruksi<br />

Bladbadan + sinonim<br />

Sembilan satu sepuluh<br />

Bladbadan + sinonim<br />

Bok suba Airport Ngurah Rai<br />

Tuban<br />

Bentuk<br />

Sinonim<br />

Bentuk<br />

tandingan<br />

Proses<br />

Pembentukan<br />

Pelesetan<br />

/s↔puluh/ /s↔uluh/ Penyisipan fonem<br />

/p/<br />

/tuban/ /uban/ Penambahan<br />

fonem /t/<br />

Telah disebutkan sebelumnya dalam memelesetkan kata atau frasa secara<br />

fonologis <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB juga menggunakan <strong>permainan</strong> dengan menukar<br />

posisi fonem dalam satu kata atau frasa dalam membentuk kata atau frasa lain


sebagai pelesetan dari bentuk awalnya. Perubahan bentuk kata menjadi bentuk<br />

lain yang dipelesetkan dengan pergantian posisi fonem dapat dilihat pada data KN<br />

2 berikut ini.<br />

(37:45)<br />

Sangut : /to liu baroN di pasar di sukawati siN ad↔ nak<br />

maktinin/ ‘itu ada banyak barong di pasar Sukawati tidak<br />

ada orang yang menyembah’<br />

Delem : /adi siN ad↔ / ‘mengapa tidak ada?’<br />

Sangut : /to nak baroN kal m↔ad↔p / ‘itu barong yang akan dijual’<br />

Delem :<br />

/sub↔ lantas m↔b↔li baroNe to ab↔ ↔ k↔ pur↔, pas<br />

upati ↔<br />

to madan sakral/ ‘setelah dibeli barong itu akan dibawa ke<br />

pura, disucikan, itu namanya sakral’<br />

Sangut : /saklar/ ‘saklar?’<br />

Delem : /sakral saklar…/ ‘sakral!! saklar….’<br />

Memelesetkan kata dengan bentuk menukar posisi dua fonem yang memiliki fitur<br />

distingtif yang sama seperti pada /saklar/ dan /sakral/ menjadi <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong><br />

yang cukup menghasilkan wacana candaan yang menarik. Segmen alir /l/ dan /r/<br />

memiliki fitur yang sama, yakni /+lateral/ sehingga dalam pengucapannya, banyak<br />

masyarakat yang sering salah ucap dan bisa dijadikan lelucon.<br />

Tabel 4.7 Pelesetan Bunyi dengan Proses Metatesis (Pertukaran Fonem)<br />

No<br />

Data<br />

Konstruksi<br />

Proses<br />

Pembentukan<br />

Bentuk<br />

Awal<br />

Bentuk<br />

Pelesetan<br />

KN 2 Pelesetan Langsung Pertukaran fonem<br />

/l/ dan /r/<br />

/sakral/ /saklar/<br />

Pada data <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> bentuk pelesetan juga ditemukan proses<br />

pembentukan perubahan kata yang terjadi karena lebih dari satu proses. Data LM<br />

11 berikut ini memperlihatkan bentuk pelesetan secara bertahap dengan terlebih<br />

56


dahulu melalui bladbadan kemudian proses perubahan bentuknya terjadi, baik<br />

secara adisi maupun reduksi secara bersamaan.<br />

LM 11<br />

Tualen : /waduh k↔puN↔ nanaN teluN das↔ lim↔ aNkihe/ ‘waduh ayah<br />

dikejar hingga napas tiga puluh lima’<br />

Mredah : /eNken/ ‘bagaimana ?’<br />

Tualen : /NaNsur/ ‘terengah-engah’<br />

Bladbadan /teluN das↔ lim↔ aNkihe/ mengacu pada bentuk ide awal ngangsur<br />

‘terengah-engah’ yang memiliki bunyi yang mirip dengan sasur yang merupakan<br />

satuan nomina dari tiga puluh lima atau telung dasa lima. Bentuk /NaNsur/<br />

dipelesetkan menjadi /sasur/ dengan proses kontraksi penyisipan fonem /s/ pada<br />

tengah kata dan proses adisi dengan pelesapan fonem sengau /N/ pada awal kata<br />

dan tengah kata.<br />

Tabel 4.8 Pelesetan Bunyi Sinonim Bladbadan dengan Proses Penyisipan dan<br />

No<br />

Data<br />

LM<br />

11<br />

Pelesapan Fonem<br />

Konstruksi<br />

Bladbadan + sinonim<br />

Angkihne telung dasa lima<br />

sasur<br />

57<br />

Bentuk Bentuk Proses Pembentukan<br />

Sinonim Tandingan Pelesetan<br />

/sasur/ /NaNsur/ Penyisipan fonem /s/<br />

Pelesapan fonem /N/<br />

Data KL 8a juga memperlihatkan proses perubahan bentuk dengan terlebih<br />

dahulu melalui bladbadan yang mengakibatkan terjadi proses penyisipan dan<br />

metatesis.<br />

KL 8a<br />

Tualen : /nanaN siN Nawag Nawag Nardi panak m↔kere nanaN Nardi pianak<br />

ke griya nanaN taNkil/ ‘ayah tidak seenaknya membuat anak, ke gria<br />

ayah datang’


Mredah : /ap↔ alih/ ‘ apa dicari di sana?’<br />

Tualen : /sugr↔ titiyaN ratu p↔rand↔ keto nanaN<br />

ih cai malen ap↔ alih mai ap↔ ad↔ p↔luru eh p↔rlu keto ida /<br />

‘“Maaf Ratu Peranda”, begitu Ayah. “Eh kamu Malen, apa yang kamu<br />

cari ke sini? Ada peluru? Eh… perlu?” begitu beliau’<br />

Pada data <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> di atas bentuk perlu dipelesetkan secara langsung<br />

menjadi peluru dengan penyisipan fonem /u/ dan penukaran fonem alir /l/ dan /r/<br />

dalam satu kata yang menghasilkan wacana pelesetan yang menarik.<br />

Tabel 4.9 Pelesetan Bunyi dengan Penyisipan dan Metatesis<br />

No<br />

Data<br />

Konstruksi<br />

Proses<br />

Pembentukan<br />

KN 2 Pelesetan Langsung Pertukaran fonem<br />

/l/ dan /r/<br />

Penyisipan<br />

/u/<br />

fonem<br />

4.1.2 Bentuk Pelesetan Kepanjangan Singkatan<br />

58<br />

Bentuk Bentuk<br />

Awal Pelesetan<br />

/perlu/ /peluru/<br />

Pelesetan kepanjangan singkatan adalah pelesetan gabungan huruf yang<br />

merupakan singkatan yang sudah umum dan mengalami pemelesetan pada<br />

kepanjangan aslinya atau gabungan huruf yang dibuat sendiri dengan<br />

menjadikannya seolah-olah sebagai singkatan dan membuat kepanjangan baru.<br />

Misalnya, gabungan huruf ABG dipelesetkan menjadi ‘Anak Baru Gede’<br />

(Sibarani, 2004: 96). Hasil akhir pelesetan ini hampir sama dengan singkatan<br />

(abbreviation) atau akronim, tetapi perbedaannya terletak pada proses<br />

pembentukannya. Pelesetan pada umumnya gabungan hurufnya telah lebih dahulu<br />

ada, kepanjangannya dipelesetkan dari kepanjangan yang sebenarnya. Namun,<br />

banyak pula masyarakat mengkreasikan gabungan huruf sendiri dan memberi<br />

kepanjangannya sendiri untuk sekadar melucu atau mengungkapkan emosi


penuturnya. Bentuk pelesetan kepanjangan ini diklasifikasikan menjadi dua, yakni<br />

pelesetan singkatan umum dengan kepanjangan baru dan bentuk pelesetan<br />

singkatan yang dibuat sendiri dengan kepanjangan baru.<br />

Contoh pelesetan umum dengan kepanjangan baru dapat dilihat pada data<br />

Data LM 18 dan LM 1b<br />

LM18 (47 : 43)<br />

Sangut : /Nud↔ Nalih cewek ↔mpuk / ‘ mengapa mencari cewek<br />

empuk?’<br />

Delem : /ane b↔tul to / ‘yang betul itu?’<br />

Sangut : /cewek pe ka ka / ‘cewek PKK’<br />

Delem : /pe ka ka to/ ‘PKK itu?’<br />

Sangut : /pad↔t k↔nt↔l k↔s↔t / ‘Padat Kental Keset’<br />

Kepanjangan asli dari PKK adalah Pendidikan Kesejahteraan Keluarga.<br />

Namun, <strong>tokoh</strong> Sangut membuat kepanjangan baru yang tetap menukik atau<br />

identik dengan bentuk awalnya. Singkatan PKK biasanya digunakan mengikuti<br />

kata ‘ibu’ atau ‘ibu-ibu’ (ibu PKK, ibu-ibu PKK). Kata ibu dan cewek berkelas<br />

kata sama, yakni feminim sehingga saat pertama kali mendengar Sangut<br />

menyarankan Delem agar mencari cewek PKK, penonton akan menangkapnya<br />

sebagai cewek sekelas ibu-ibu atau ‘wanita berumur yang telah menikah’. Namun,<br />

setelah pelesetan kepanjangan PKK dijelaskan oleh Sangut dengan bentuk<br />

kepanjangan berupa kumpulan kata Pad↔t, K↔nt↔l, K↔s↔t, tentunya<br />

menimbulkan makna yang berbeda, yang identik dengan ‘wanita yang baru<br />

menginjak remaja’ sehingga bentuk tersebut menjadi wacana humor yang segar<br />

dan menarik.<br />

LM 1b<br />

Tualen : /tuwah j↔ jani hukum s↔tat↔ nagih rabuk m↔n siN maan<br />

59


abuk t↔lah hukume siN nyak mokoh,<br />

Nl↔mah hukume nagih rabuk te es pe<br />

Te es pe : tombok suwap p↔licin / ‘ya memang sekarang hukum<br />

sering minta dipupuk, jika tidak mendapatkan pupuk, hukum tidak<br />

akan subur. Sering kali hukum minta rabuk TSP. TSP: Tombok, Suap,<br />

Pelicin’<br />

TSP yang merupakan salah satu lebel pupuk buatan dengan kepanjangan asli<br />

Tri Super Phospat dikenal masyarakat sebagai pupuk perangsang cepat<br />

tumbuhnya calon bunga atau buah pada tanaman dipelesetkan kepanjangannya<br />

dengan Tombok, Suap, Pelicin yang diidentikkan sebagai media untuk<br />

merangsang para penegak hukum agar jalannya proses hukum berjalan dengan<br />

cepat dan lancar. Bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> berjenis pelesetan memang<br />

menimbulkan hal tak terduga, seperti singkatan SGM, salah satu lebel susu bayi<br />

yang kepanjangan aslinya Susu, Gula, Madu dipelesetkan dengan kepanjangan<br />

yang telah umum diketahui masyarakat Bali, yakni Sinting Gila Mengong<br />

(orientasi negatif). Namun, tanpa diduga <strong>tokoh</strong> Sangut memelesetkan kembali<br />

pelesetan yang telah dikenal tersebut dengan pelesetan yang kepanjangannya lain<br />

dengan orientasi yang positif.<br />

Sangut : /ye mawinan adan kur↔n caNe buk etik wireh panak<br />

caNe ne k↔lihan ni luh putu etik prasista<br />

sita dewi niNrat prasti niNrum es ge em/ ‘ye… penyebab<br />

nama istriku buk Etik karena anakku yang paling besar Ni<br />

Luh Putu Etik Prasista Sita Dewi Ningrat Prasti<br />

Ningrum SGM’<br />

Delem : /meh ratu j↔g m↔kudus buNut ci e nyen nyen/ ‘meh…<br />

Ratu jeg berasap mulutmu, siapa? siapa?’<br />

Sangut : /ni luh putu etik prasista sita dewi niNrat prasti niNrum<br />

es ge em/ ‘Ni Luh Putu Etik Prasista Sita Dewi Ningrat<br />

Prasti Ningrum SGM’<br />

Delem : /es ge em to ap↔ / ‘SGM itu apa?’<br />

Sangut : /siNkatan/ ‘singkatan’<br />

60


SI 10b Delem : SGM ?<br />

Sangut : Santai Gaul Melankolis<br />

Contoh bentuk pelesetan kepanjangan singkatan umum pada <strong>permainan</strong><br />

<strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB dapat dilihat pada tabel berikut ini.<br />

Tabel 4.10 Bentuk Pelesetan Kepanjangan Singkatan Umum<br />

No<br />

Data<br />

Proses Pembentukan/Contoh Bentuk Awal Bentuk Pelesetan<br />

DRT 1 /angka/ /huruf/ Kepanjangan Madat, Main, Minum, Mabuk,<br />

(kumpulan kata), Madon, Minum, Muntah, Mencret,<br />

Contoh: 5M<br />

Maling Mati<br />

LM 1b Kumpulan huruf kepanjangan Tri Super Tombok, Suap,<br />

(kumpulan kata)<br />

Contoh: TSP<br />

Phospat Pelicin<br />

LM 18 Kumpulan huruf kepanjangan Pendidikan Padet, Kentel,<br />

(kumpulan kata) Kesejahteraan Keset<br />

Contoh: PKK<br />

Keluarga<br />

GA 5b Kumpulan huruf kepanjangan Susu Telor Sembahyang Taat<br />

(Frasa)<br />

Contoh: STMJ<br />

Madu Jahe Maksiat Jalan<br />

SI 10b Kumpulan huruf kepanjangan Susu Gula Santai, Gaul,<br />

(kumpulan kata)<br />

Contoh: SGM<br />

Madu<br />

Melankolis<br />

Dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB berjenis pelesetan kepanjangan<br />

singkatan umum ditemukan tiga bentuk variasi yakni (1) kumpulan huruf berbeda<br />

dengan menyebutkan urutan huruf sesuai dengan urutan kepanjangannya yang<br />

berupa kumpulan kata, seperti PKK; (2) kumpulan huruf berbeda dengan<br />

menyebutkan urutan huruf sesuai dengan urutan kepanjangannya yang berupa<br />

frasa, seperti STMJ; (3) kumpulan beberapa huruf yang sama dengan menyebut<br />

jumlah huruf yang sama tersebut dengan angka di awal dengan kepanjangan<br />

berupa kumpulan kata, seperti 5M.<br />

Selain memelesetkan kepanjangan singkatan yang telah ada sebelumnya<br />

atau yang telah umum diketahui masyarakat dalang WCB juga membuat bentuk<br />

61


singkatan sendiri dengan kepanjangan buatan sendiri juga, misalnya pada data<br />

SAB 4 Tokoh Sangut menyebut singkatan baru TKO dengan kepanjangan Tenaga<br />

Kurang Optimal yang maksudnya hampir sama dengan singkatan <strong>bahasa</strong> Inggris<br />

KO dalam bidang olahraga tinju berkepanjangan knockout yang berarti pukulan<br />

yang membuat seseorang tidak berdaya atau identik dengan kekalahan.<br />

SAB 4<br />

Delem : / jani b↔ Nut ram↔ dew↔ akan hancur/ ‘saat inilah Ngut…Rama<br />

Dewa akan hancur’<br />

Sangut : /ram↔ dew↔ akan TKO / ‘Rama Dewa akan TKO’<br />

Delem : / TKO to / ’TKO itu?’<br />

Sangut : Tenaga Kurang Optimal<br />

Contoh beberapa singkatan gabungan huruf buatan sendiri dengan<br />

kepanjangannya yang dibuat sendiri juga dapat dilihat pada tabel berikut ini.<br />

Tabel 4.11 Pelesetan Kepanjangan Singkatan Buatan Sendiri<br />

No Data Bentuk/ Contoh Kepanjangan<br />

SAB 4 Kumpulan huruf kepanjangan<br />

(frasa)<br />

contoh: TKO<br />

Tenaga Kurang Optimal<br />

SAB 8a /Huruf/ /angka/ Kepanjangan<br />

(klausa)<br />

contoh: A3<br />

Apa Ada Amah<br />

KN 8a Kumpulan huruf kepanjangan Anak Bali Cinta Damai<br />

(klausa)<br />

Contoh: ABCD<br />

LMur 4b Kumpulan huruf kepanjangan<br />

(frasa)<br />

Contoh: ABCD<br />

Awak Badeng Sengeh Dedet<br />

BM 1a /angka/ /huruf/ kepanjangan<br />

(kumpulan kata)<br />

Contoh: 3O<br />

Otak, Otot, Ongkos<br />

BM 28b Kumpulan huruf kepanjangan<br />

(kumpulan kata)<br />

Contoh: MPP<br />

Mati Pelan-Pelan<br />

62


Dari beberapa contoh data di atas yang mewakili bentuk-bentuk pelesetan<br />

buatan sendiri beserta dengan kepanjangannya terdapat empat bentuk ditemukan,<br />

yakni (1) kumpulan huruf berbeda dengan menyebutkan urutan huruf sesuai<br />

dengan urutan kepanjangannya yang berupa frasa, seperti TKO; (2) kumpulan<br />

huruf berbeda dengan menyebutkan urutan huruf sesuai dengan urutan<br />

kepanjangannya yang berupa klausa, seperti ABCD Anak Bali Cinta Damai;<br />

(3) kumpulan beberapa huruf yang sama dengan menyebut jumlah huruf yang<br />

sama tersebut dengan angka di awal dengan kepanjangan berupa kumpulan kata,<br />

seperti 3O; (4) kumpulan beberapa huruf yang sama dengan menyebut jumlah<br />

huruf yang sama tersebut dengan angka di akhir dengan kepanjangan berupa<br />

klausa, misalnya A3.<br />

4.1.3 Bentuk Pelesetan Kepanjangan Akronim<br />

Pelesetan kepanjangan akronim adalah pelesetan sebuah kata dengan cara<br />

menjadikan atau menganggapnya sebagai singkatan berupa akronim, misalnya<br />

kata atau nama Agus diplesetkan menjadi ‘Agak GUndul Sedikit’. Akronim<br />

merupakan kependekan yang berupa gabungan huruf atau suku kata atau bagian<br />

lain yang ditulis atau dilafalkan sebagai kata yang sesuai dengan kaidah<br />

fonotaktik <strong>bahasa</strong> bersangkutan (Kridalaksana, 2008:5).<br />

Contoh <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dengan pelesetan kepanjangan akronim ini dapat<br />

dilihat pada data DRT 2 dan SAB 6a yang memelesetkan kepanjangan akronim<br />

Narkoba dan Sabu. Data DRT 2 dan SAB 6a cukup kreatif karena substansi kata<br />

dan pelesetan yang dimaksud memiliki korelasi. Akronim Narkoba dan pelesetan<br />

63


kepanjangan NAsi Rawon KOah BAkso merupakan substansi yang sama-sama<br />

berhubungan dengan mulut, yakni benda yang umumnya dikonsumsi dengan<br />

memasukkannya ke dalam mulut (dimakan) ‘ngamah’. Proses dan korelasi yang<br />

sama juga terdapat pada ‘Sabu’ dan ‘Sarapan Bubur’. Walau korelasi antara<br />

substansi kata dan pelesetannya berkaitan, yakni berjenis ‘makanan’, tetap saja<br />

kembali pada konsep pelesetan ‘menyimpang dari sasaran’. Narkoba dan sabu<br />

yang berkonotasi negatif, dipelesetkan dengan kepanjangan yang berkonotasi<br />

positif dan menyehatkan.<br />

(25 :60)<br />

DRT 2 Tualen : /το δαϕαν υμαηε, bilaN wai y↔ Namah narkoba<br />

sit↔N j↔ y↔ / ‘itu yang di sebelah Utara rumah, setiap<br />

hari dia makan narkoba, kuat dia’<br />

Mredah : /narkoba/ ‘Narkoba?’<br />

Tualen : /a↔ nasi rawon koah bakso/ ‘iya, Nasi Rawon Kuah Bakso’<br />

(16:38)<br />

SAB 6a Delem : /τ↔κ↔ κυρ↔ναν κακ↔ βυ ερικ Ναβ↔ σαβυ/ ‘datang<br />

istriku Bu Erik membawa sabu’<br />

Sangut : /σαβυ το / ‘sabu itu?’<br />

Delem : /sarapan bubur μισι βε σιτσιτ σιτ σιτ σιτ/ ‘Sarapan<br />

Bubur berisi daging suwir, wir…wir…wir…’<br />

Data Lmur 8c berikut ini juga menunjukkan pelesetan kepanjangan<br />

akronim yang berkorelasi antara makna akronim yang sebenarnya dengan<br />

pelesetan kepanjangannya.<br />

Tualen : /…. kelan nanaN Norang b↔b↔dikin cai Nalih baraN<br />

baNka, paN d↔ nyanan k↔n↔ sakit AIDS/ ‘kan ayah sudah<br />

katakan jangan kamu mencari pelacur, agar tidak terkena<br />

penyakit AIDS nanti’<br />

Mredah : /aids e ↔nto / ‘AIDS itu apa?’<br />

Tualen : A,I,D,S<br />

Mredah : A<br />

Tualen : /akibat/ ‘akibat’<br />

64


Mredah : I<br />

Tualen : /itunya/ 'itunya'<br />

Mredah : D<br />

Tualen : /dimasukkan/ 'dimasukkan'<br />

Mredah : S<br />

Tualen : /S↔mbaraNan jeg aids polon ci nyidaN siN nuluNin ben/<br />

‘ Sembarangan, jeg kena AIDS kamu, tidak bisa ditolong’<br />

Secara teoretis, pelesetan dimaknai sebagai sesuatu yang menyimpang dari<br />

sasarannya, tetapi jika substansi yang digunakan memiliki korelasi yang dekat<br />

dengan sasaran, menjadikan pelesetan tersebut lebih menarik. Kepanjangan asli<br />

dari AIDS ‘Aquired Immune Deficiency Syndrome’ tidak banyak diketahui oleh<br />

masyarakat Bali walaupun akronim ini sering kali digunakan dalam percakapan<br />

mereka sehari-hari. Secara umum masyarakat hanya mengetahui AIDS<br />

merupakan penyakit mematikan yang disebabkan oleh sering berganti-ganti<br />

pasangan dalam berhubungan seksual. Pelesetan kepanjangan huruf yang dibaca<br />

seolah-olah sebagai kata ‘AIDS’ dengan kepanjangan berupa klausa (Akibat<br />

Itunya Dimasukkan Sembarangan) menjadi sesuatu yang tak terduga, tetapi<br />

menukik terhadap substansi yang dimaksud.<br />

Inti penyingkatan dalam <strong>permainan</strong> pelesetan ini adalah membentuk<br />

akronim sebagai kata baru yang memiliki makna untuk membangun humor. Dari<br />

beberapa contoh yang ditemukan, pelesetan kepanjangan akronim yang terdapat<br />

pada dialog-dialog <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB dapat dikelompokkan menjadi empat,<br />

yakni (1) akronim yang dibentuk dengan mempertahankan silabel awal, (2)<br />

akronim yang dibentuk dengan mempertahankan huruf awal, (3) akronim yang<br />

dibentuk dengan mempertahankan silabel awal dan juga huruf awal, (4) akronim<br />

65


yang dibentuk dengan mempertahankan suku akhir kata pertama dan suku awal<br />

kata kedua.<br />

Contoh dan proses pembentukan pelesetan kepanjangan akronim ini dapat dilihat<br />

pada tabel-tabel berikut ini<br />

Tabel 4.12 Akronim yang Dibentuk dengan Mempertahankan Silabel Awal<br />

No Data Proses Pembentukan Akronim Pelesetan Kepanjangan<br />

DRT Mempertahankan silabel Nakula NAsi KUah LAwar<br />

19b awal<br />

SAB 6a Mempertahankan silabel<br />

awal<br />

Sabu SArapan BUbur<br />

SAB 12 Mempertahankan silabel<br />

awal<br />

Delem DEngang LEMpuyengan<br />

Pada data di atas pelesetan kepanjangan ‘NAsi KUah LAwar’ dibentuk untuk<br />

menghasilkan kata nakula yang dianggap sebagai akronim dengan<br />

memanjangkannya sesuai dengan silabel-silabel yang membentuknya, yakni<br />

nakula (na-ku-la). Silabel pertama ‘na’ membentuk kepanjangan Nasi, silabel<br />

kedua ‘ku’ menjadi Kuah, dan silabel terakhir ‘la’ dipanjangkan dengan Lawar.<br />

Hal yang sama terjadi pada data SAB 6a dan SAB 12.<br />

Akronim yang dibentuk dengan pelesetan kepanjangan yang<br />

mempertahankan huruf awal dilakukan <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB, seperti data<br />

AIDS di atas dan beberapa contoh yang sama dapat dilihat pada tabel berikut ini.<br />

Tabel 4.13 Akronim yang Dibentuk dengan Mempertahankan Huruf Awal<br />

No Data Proses Pembentukan Akronim Pelesetan Kepanjangan<br />

SI 1 Mempertahankan huruf<br />

awal<br />

DUIT Doa Usaha Inisiatif Tekun<br />

SI 7 Mempertahankan huruf<br />

awal<br />

PIL Pria Idaman Lain<br />

LMur 2 Mempertahankan huruf AIDS Angkuh, Iri hati, Dengki,<br />

awal<br />

‘Aquired<br />

Immune<br />

Sombong<br />

66


LMur 8c Mempertahankan huruf<br />

awal<br />

Deficiency<br />

Syndrome’<br />

AIDS<br />

‘Aquired<br />

Immune<br />

Deficiency<br />

Syndrome’<br />

67<br />

Akibat Itunya Dimasukkan<br />

Sembarangan<br />

Data yang sedikit berbeda ditemukan pada DRT 2 berikut ini, yakni selain<br />

mempertahankan silabel awal akronim yang dihasilkan juga dibentuk dengan<br />

mempertahankan huruf awal. Pelesetan kepanjangan NAsi Rawon KOah BAkso<br />

dibuatkan akronimnya dengan NaRKoBa. Kata NAsi merupakan kepanjangan<br />

dari silabel ‘Na’, Rawon merupakan kepanjangan dari huruf ‘R’, KOah<br />

merupakan kepanjangan dari ‘Ko’, dan BAkso merupakan kepanjangan dari<br />

silabel ‘Ba’.<br />

Tabel 4.14 Akronim yang Dibentuk dengan Mempertahankan Silabel Awal dan<br />

Huruf Awal<br />

No Data Proses Pembentukan Akronim Pelesetan Kepanjangan<br />

DRT 2 Mempertahankan<br />

dan huruf awal<br />

silabel Narkoba NAsi Rawon KOah BAkso<br />

SAB 13 Mempertahankan silabel<br />

dan huruf awal<br />

Asber Asal BERnyawa<br />

Tabel 4.15 Akronim yang Dibentuk dengan Mempertahankan Suku Akhir Kata<br />

Pertama dan Suku Awal Kata Kedua<br />

No Data Proses Pembentukan Akronim Pelesetan Kepanjangan<br />

BM 21b Mempertahankan suku akhir<br />

kata pertama dan suku awal<br />

kata kedua<br />

Kuwir mangKU WIRya<br />

BM 21c Mempertahankan suku akhir<br />

kata pertama dan suku awal<br />

kata kedua<br />

Kucit mangKU CITra


Data BM 21b dan BM 21c di atas merupakan akronim yang dibentuk dari<br />

pelesetan kepanjangan yang dibuat dengan mempertahankan silabel akhir kata<br />

pertama dan silbel awal kata kedua yang menyusun pelesetan kepanjangan<br />

tersebut. Frasa mangKu Wirya (nama panggilan) dianggap sebagai pelesetan<br />

kepanjangan dari akronim kuwir (yang dalam <strong>bahasa</strong> Bali berarti bebek) dengan<br />

mempertahankan silabel akhir kata pertama, yakni ‘ku’ dan silabel awal kata<br />

kedua ‘wir’ sehingga membentuk kata yang dianggap seolah-olah sebagai<br />

akronim ‘kuwir’. Hal serupa juga terjadi pada data BM 21c. Pada pelesetan<br />

kepanjangan mangKU CITra yang mempertahankan silabel atau suku akhir kata<br />

pertama “KU” dan silabel pertama kata kedua “CIT” menghasilkan kata yang<br />

dianggap sebagai akronim “KUCIT” yang dalam <strong>bahasa</strong> Bali berarti babi.<br />

Permainan <strong>bahasa</strong> bentuk pelesetan kepanjangan akronim ini tentu sangat lucu<br />

jika didengar oleh masyarakat Bali yang dalam pergaulan sosialnya biasa<br />

menyebut atau memanggil seorang mangku (pemuka agama) dengan panggilan<br />

“Ku” kemudian dilanjutkan dengan nama pendek mangku tersebut. Hal tak<br />

terduga dari hasil pemelesetan Mangku Wirya atau Mangku Citra jika<br />

dipendekkan menghasilkan kata “Kuwir” dan “Kucit” yang merupakan nama-<br />

nama hewan yang kesannya sangat bertolak belakang dengan imajeri masyarakat<br />

tentang “Mangku”<br />

4.1.4 Bentuk Pelesetan Ekspresi<br />

Bentuk <strong>permainan</strong> pelesetan <strong>bahasa</strong> berikutnya yang ditemukan dalam<br />

<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB adalah bentuk pelesetan ekspresi. Pada<br />

68


pelesetan ekspresi terjadi pemelesetan cara mengungkapkan, yakni sebuah kalimat<br />

atau frasa dipelesetkan bentuknya dengan cara mengikuti struktur dan intonasi<br />

kalimat atau frasa sebenarnya, tetapi mengubah kata-katanya sehingga mengubah<br />

makna keseluruhan struktur (Sibarani, 2004:97). Pada pertunjukan WCB berjudul<br />

“Sutha Amerih Bapa” ditemukan bentuk pelesetan ekspresi, yaitu pada<br />

percakapan Delem dan Sangut pada data SAB 10b-10f. Tokoh <strong>punakawan</strong> WCB<br />

menggunakan <strong>permainan</strong> dengan pelesetan ekspresi ini dalam memelesetkan isi<br />

sila-sila Pancasila yang tentunya sangat umum diketahui masyarakat. Pemilihan<br />

sila-sila Pancasila ini agaknya erat berkaitan dengan maksud-maksud yang<br />

bersifat reseptif, yakni agar pendengarnya langsung dengan spontan dapat<br />

mengembalikan penyimpangan-penyimpangan yang dibuat sedemikian rupa<br />

kepada hipogramnya. Wijana (2010) menyebutkan bahwa semakin mudah<br />

<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> itu dihubungkan dengan hipogramnya semakin spontan resolusi<br />

dan penikmatan humor itu dan semakin tinggi pula tingkat kelucuannya. Pada data<br />

tersebut Delem memelesetkan sila-sila dalam Pancasila dengan intonasi yang<br />

sama. Namun, memelesetkan kata-katanya sehingga asosiasinya berubah dari<br />

makna atau maksudnya yang konvensional. Bentuk <strong>permainan</strong> pelesetan ekspresi<br />

ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini.<br />

Tabel 4.16 Pelesetan Ekspresi<br />

No<br />

Data<br />

Proses Pembentukan Bentuk awal Bentuk pelesetan<br />

SAB Mempertahankan beberapa Ketuhanan yang Keuangan yang<br />

10b elemen kata yang<br />

terkandung pada bentuk<br />

awal serta mempertahankan<br />

silabel awal pada awal kata<br />

dan silabel akhir pada akhir<br />

kata<br />

Maha Esa<br />

Maha Kuasa<br />

69


SAB<br />

10c<br />

SAB<br />

10e<br />

SAB<br />

10f<br />

SAB<br />

10d<br />

Mempertahankan beberapa<br />

elemen kata yang<br />

terkandung pada bentuk<br />

awal serta mempertahankan<br />

silabel awal pada awal kata<br />

dan silabel akhir pada akhir<br />

kata<br />

Mempertahankan beberapa<br />

elemen kata yang<br />

terkandung pada bentuk<br />

awal serta mempertahankan<br />

silabel awal pada awal kata<br />

Mempertahankan beberapa<br />

elemen kata yang<br />

terkandung pada bentuk<br />

awal serta mempertahankan<br />

silabel awal pada awal kata<br />

Mempertahankan silabel<br />

awal pada awal kata dan<br />

silabel akhir pada akhir kata<br />

Kemanusiaan yang<br />

Adil dan Beradab<br />

Kerakyatan yang<br />

Dipimpin oleh<br />

Hikmat<br />

Kebijaksanaan dan<br />

Permusyawaratan<br />

Keadilan Sosial bagi<br />

seluruh Rakyat<br />

Indonesia<br />

70<br />

Kemanusiaan yang<br />

Kikir dan Biadab<br />

Kesengsaraan yang<br />

Dipimpin oleh<br />

Perselingkuhan dan<br />

Perjudian<br />

Kebatilan bagi<br />

Seluruh Rakyat<br />

Pecinta Kemewahan<br />

Persatuan Indonesia Perseteruan<br />

Manusia<br />

Dari pengklasifikasian proses pembentukan pelesetan ekspresi di atas<br />

ditemukan tiga variasi pengelompokan pembentukan pelesetan ekspresi yang<br />

dapat disepadankan dengan hipogram aslinya. Ketiga variasi tersebut adalah (1)<br />

pembentukan dengan mempertahankan beberapa elemen kata yang terkandung<br />

pada bentuk awal serta mempertahankan silabel awal pada awal kata dan silabel<br />

akhir pada akhir kata, (2) pembentukan dengan mempertahankan beberapa elemen<br />

kata yang terkandung pada bentuk awal serta mempertahankan silabel awal pada<br />

awal kata, dan (3) mempertahankan silabel awal pada awal kata dan silabel akhir<br />

pada akhir kata. Dalam SAB 10b dan 10c bentuk pelesetan tetap mempertahankan<br />

kesamaan silabel awal pada awal kata dan silabel akhir pada akhir kata yang<br />

menyusunnya dan dilakukan dengan substitusi bunyi (ketuhanan menjadi<br />

keuangan) atau (beradab menjadi biadab) yang tetap mempertahankan persajakan


demi menjaga keestetisannya. Pada data SAB 10e <strong>permainan</strong> dibentuk dengan<br />

mempertahankan beberapa elemen kata pada bentuk awal (yang Dipimpin oleh)<br />

dan dibentuk dengan substitusi kata (kebijaksanaan diganti dengan<br />

perselingkuhan, permusyawaratan dengan perjudian). Data SAB 10f juga hampir<br />

sama proses pembentukannya dengan data SAB 10e. Namun, bentuk silabel akhir<br />

pada akhir kata tidak dipertahankan, dan data SAB 10d yang memelesetkan isi<br />

sila ketiga Pancasila proses pembentukannya hanya mempertahankan silabel awal<br />

pada awal kata (Persatuan-Perseteruan) dan dengan substitusi kata (Indonesia<br />

menjadi manusia).<br />

4.1.5 Bentuk Pelesetan Ideologis<br />

Pelesetan ideologis adalah plesetan sebuah ide menjadi ide lain dengan<br />

bentuk linguistik yang sama (Sibarani,2004:97). Dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong><br />

<strong>punakawan</strong> WCB ditemukan beberapa <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dengan memelesetkan<br />

ide dari bentuk lingual yang sama.<br />

Pada data GA 9 terjadi pemelesetan konsep ’dewa’ berkelas kata nomina<br />

yang bermakna dewa-dewa yang di-sungsung masyarakat beragama dengan<br />

’dewa’ berkelas kata nomina juga, tetapi bermakna nama seseorang pada<br />

masyarakat Bali yang berkasta atau bertingkat sosial Wesya.<br />

Delem : /NoyoN NoyoN Nut jani keNken pidabdabe<br />

arta asta grahast↔ e m↔k↔jaN<br />

jani kal k↔ suargan m↔k↔jaN<br />

matiaN dew↔ e m↔k↔jaN di<br />

suargan j↔g konyaN matiaN<br />

tombak dew↔ m↔k↔jaN disuargan<br />

GA 9 kayaN dew↔ dangin umah matiaN/<br />

71


’diam! diam Ngut! Sekarang bagaimana mengumpulkan semua<br />

artha, asta dan grahasta. Sekarang ini kita akan ke Surga<br />

semua, bunuh semua Dewa yang ada di Surga, semua<br />

bunuh! Tusuk dengan tombak semua Dewa di surga<br />

sampai Dewa yang di sebelah timur rumah juga bunuh!’<br />

Sangut : Yang paling mengetahui banyak ilmu di Wanaprasta<br />

adalah Sang Sahadewa. Beliau mengetahui berbagai<br />

magic. White magic, black magic, dan segala gic gic-nya<br />

sampai ke<br />

DRT 20 magic-jar, itu sang Sahadewa.<br />

Data DRT 20 memelesetkan ide awal dari penggunaan kata magic yang<br />

mengacu pada kesaktian, white magic ’kesaktian untuk berbuat kebaikan atau<br />

menolong’ dan black magic ’ilmu hitam’ yang biasa disebut dalam masyarakat<br />

Bali untuk menyebut kesaktian yang dimiliki seseorang dalam berbuat kejahatan<br />

atau sering disebut dengan ilmu pengeleakan. Namun, dalam mengutarakan jenis-<br />

jenis kesaktian tersebut disisipi bentuk lingual magic jar ’mesin penghangat nasi’<br />

yang mengandung bentuk lingual magic dengan ide yang berbeda. Hal yang sama<br />

terjadi pada penggunan kata puting dalam puting beliung yang merupakan<br />

penamaan jenis angin kencang yang mampu memporak-porandakan benda-benda<br />

di sekitarnya dipelesetkan idenya dengan frasa puting nyonyo ’puting susu’.<br />

Tabel 4.17 Pelesetan Ideologis<br />

Data Proses Pembentukan /Contoh Bentuk pelesetan<br />

DRT<br />

20<br />

Bentuk: A (n) A: (n)<br />

Contoh: White magic, black magic, dan<br />

segala gic gic-nya sampai ke magic jar<br />

magic jar<br />

(penanak nasi)<br />

GA 9 Bentuk: A (n) A: (n)<br />

Contoh:<br />

/tembak dew↔ m↔k↔jaN di suargan, kaya<br />

N<br />

dew↔ daNin umahe/<br />

dew↔ (nama orang)<br />

GA Bentuk: A (n) A: (n) puting nyonyo<br />

72


19b Contoh: /m↔suaN aNin bar↔t to<br />

putiN b↔liuN ap↔ b↔liuN putiN<br />

ap↔ putiN nyonyo/<br />

(anggota badan)<br />

Dari data pelesetan ideologis, bentuk-bentuk pelesetan ini ditemukan dalam<br />

bentuk struktur yang sama, yakni bentuk lingual dengan kelas kata nomina<br />

dipelesetkan menjadi ide yang lain dengan bentuk lingual sama dan kelas kata<br />

yang sama pula.<br />

4.2 Permainan Bahasa Tokoh Punakawan WCB dalam Bentuk Gaya Bahasa<br />

Pertunjukan WCB merupakan jenis pertunjukan seni sehingga <strong>bahasa</strong>nya<br />

pun banyak menggunakan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang mengandung unsur-unsur seni<br />

atau estetik. Penggunaan bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dengan style atau gaya <strong>bahasa</strong><br />

banyak terdapat dalam dialog <strong>tokoh</strong> WCB, terutama pada <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> yang<br />

berfungsi sebagai penyalur cerita.<br />

Keraf (2009) menyebutkan figure of speech (gaya <strong>bahasa</strong>) adalah suatu<br />

penyimpangan <strong>bahasa</strong> secara evaluatif atau secara emotif dari <strong>bahasa</strong> biasa, entah<br />

dalam ejaan, pembentukan kata, konstruksi, atau aplikasi sebuah istilah untuk<br />

memperoleh kejelasan, penekanan, hiasan, humor atau sesuatu efek yang lain<br />

dengan masih mempertahankan makna denotatifnya atau menyimpang dari makna<br />

denotatifnya. Jika gaya <strong>bahasa</strong> (style) yang digunakan masih mempertahankan<br />

makna dasarnya atau makna denotatifnya, berarti <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> tersebut<br />

berbentuk retoris dan jika bentuk gaya <strong>bahasa</strong> yang digunakan menyimpang dari<br />

makna denotatifnya, berarti <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> tersebut berbentuk kiasan. Bentuk<br />

<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dengan menggunakan gaya <strong>bahasa</strong> merupakan bentuk<br />

73


penyimpangan <strong>bahasa</strong> atau manipulasi untuk efek atau tujuan tertentu. Permainan<br />

<strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB banyak menggunakan bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong><br />

dengan gaya <strong>bahasa</strong> berjenis retoris dan kiasan.<br />

4.2.1 Bentuk Retoris<br />

Gaya <strong>bahasa</strong> retoris adalah penyimpangan dari konstruksi biasa dalam<br />

tuturan untuk mencapai efek tertentu, tetapi tetap mempertahankan makna<br />

denotatif atau makna dasarnya. Sherzer (2002: 4) menyebutkan bahwa secara<br />

intrinsik <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> tereksploitasi pada retorika dan <strong>bahasa</strong> yang bersifat<br />

puitik. Disebutkan pula bahwa <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> terjadi, baik dalam bentuk<br />

asosiasi, repetisi, maupun paralelisme yang bersifat kreatif. Dalam data <strong>permainan</strong><br />

<strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB yang ditemukan, terdapat bentuk <strong>permainan</strong><br />

berjenis retoris ini dalam dua jenis, yakni <strong>permainan</strong> bunyi akhir kata berupa<br />

vokal yang sama (aliterasi) dan perulangan kata dengan bunyi konsonan yang<br />

sama (asonansi). Bentuk retoris dengan perulangan bunyi seperti aliterasi dan<br />

asonansi ini disebutkan Keraf (2009:130) biasa digunakan dalam puisi, prosa<br />

untuk estetik atau untuk penekanan.<br />

Data DRT 10 berikut ini merupakan contoh bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong><br />

berjenis retoris berstruktur puitik dengan perulangan bunyi vokal yang sama pada<br />

akhir frasa penyusun isi dan sampiran.<br />

(1:03:33)<br />

DRT 10 Delem : /mamul↔ padi y↔ mamul↔ timun/ ‘bertanam padi ya<br />

bertanam mentimun’<br />

Sangut : /mamul↔ nyuh y↔ mamul↔ sawah/ 'bertanam kelapa ya<br />

bertanam sawah’<br />

74


Delem : /ne muani y↔ kimud-kimud / 'yang laki-laki malumalu’<br />

Sangut : /sane luh y↔ galak-galak / ‘yang perempuan agresif’<br />

Verbal dueling ‘<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dengan bersahut-sahutan’ antara <strong>tokoh</strong> Sangut<br />

dan Delem ini berjenis retoris, yakni terbentuk dari repetisi bunyi vokal yang<br />

sama pada akhir frasa. Bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> retoris ini berstruktur puitik yang<br />

terdiri atas sampiran dan isi. Frasa /mamul↔ timun/ yang diakhiri oleh vokal /u/<br />

pada sampiran mengalami repetisi bunyi vokal akhir /u/ juga pada frasa<br />

/y↔ kimud-kimud/ pada isi. Hal serupa juga terjadi pada bunyi vokal akhir pada<br />

sampiran kedua dan isi kedua, dengan perulangan bunyi vokal /a/ pada<br />

/y↔ mamul↔ sawah/ pada sampiran dan /y↔ galak-galak/. Perbedaan bunyi<br />

vokal antara sampiran dan isi dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> retoris ini menghasilkan<br />

pola sajak (a,b,a,b,). Keraf (2009) menyebut bentuk retoris dengan repetisi bunyi<br />

vokal seperti ini dengan istilah asonansi. Asonansi juga tercermin pada ujaran<br />

yang mengalami repetisi bunyi vokal yang sama seperti pada ujaran dalam bentuk<br />

pantun dua seuntai pada data KN 4 di bawah ini.<br />

Delem: / kol↔ NoraN ya k↔baaN honda<br />

kol↔ NoraN yes k↔baaN mersedes<br />

kol↔ NoraN oke k↔baaN ceroke /<br />

‘asalkan bilang ya aku beri Honda. Asalkan bilang yes kuberi Mercedes.<br />

Asalkan bilang oke ku beri Cerokee.’<br />

Contoh <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> di atas mengandung unsur retoris yang<br />

menyerupai pantun dua baris pada setiap barisnya. Kemunculan vokal yang sama<br />

pada akhir kata /ya/ dan /honda/, /yes/ dan /mersedes/, serta /oke/ dan /ceroke/<br />

menghasilkan wacana <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang kreatif dengan pola sajak a-a.<br />

75


Pemanfaatan aspek bunyi seperti tersebut di atas dilakukan untuk memperoleh<br />

kearkaisan struktur kalimat sehingga kedengarannya lebih estetis.<br />

Dua contoh bentuk retoris di atas memperlihatkan penyimpangan bentuk<br />

konstruksi dalam menyebutkan suatu maksud. Pada data DRT 10 tuturan dalang<br />

sebagai penutur ingin mengungkapkan bahwa pada zaman sekarang ini kaum<br />

wanita disebut lebih agresif dibandingkan dengan kaum pria dengan <strong>permainan</strong><br />

<strong>bahasa</strong> berbentuk pantun dengan perulangan bunyi vokal pada akhir frasa pada<br />

sampiran dan isi. Penyimpangan bentuk yang sengaja dibuat untuk efek estetis<br />

tersebut tidak mengubah makna dasar yang ingin diungkap penutur. Hal yang<br />

sama juga terjadi pada data kedua, yakni pada data KN 4. Data KN 4<br />

menunjukkan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dengan bentuk retoris pengulangan bunyi vokal<br />

untuk efek penekanan tersebut tidak mengubah maksud denotatif penutur yang<br />

pada dasarnya ingin menyebut bahwa ia akan memberikan apa pun kepada wanita<br />

yang menjadi pasangannya.<br />

Beberapa bentuk retoris dengan repetisi vokal yang sama dapat dilihat pada<br />

tabel berikut ini (selengkapnya pada lampiran).<br />

Tabel 4.18 Bentuk Retoris Asonansi 1<br />

No Data<br />

Bentuk retoris<br />

(sajak)<br />

Contoh<br />

DRT 10 a,b, a,b /m↔mula padi y↔ m↔mula timun,<br />

m↔mula nyuh y↔ m↔mula sawah<br />

ane muani y↔ kimud-kimud,<br />

ane luh y↔ galak-galak/<br />

‘Bertanam padi ya bertanam mentimun,<br />

bertanam kelapa ya bertanam sawah,<br />

Yang laki malu-malu,<br />

yang wanita agresif<br />

DRT 14 a,b, a,b /tonden m↔sandal sub↔ m↔g↔njit<br />

76


LM 3c a,b, a,b<br />

LM 17 a,b, a,b<br />

konden k↔nal rag↔ sub↔ g↔nit/<br />

'belum bersandal sudah berjalan,<br />

belum kenal kamu sudah genit'<br />

77<br />

/b↔lahan pane b↔lahan paso ad↔ kene ad↔ keto/<br />

'pecahan pane (periuk tanah) pecahan paso (periuk<br />

tanah), ada begini ada begitu'<br />

/tiNkih t↔mu buwah r↔r↔k, aNkihan kamu bonne<br />

b↔r↔k cagr↔k/<br />

'kemiri temu lawak buah rerek, napasmu baunya<br />

busuk’<br />

Pada contoh-contoh data yang terdapat dalam tabel di atas dapat dilihat<br />

penggunaan repetisi bunyi vokal untuk menghasilkan efek bunyi yang selaras.<br />

Pada data LM 3c –yang merupakan wewangsalan yang sering digunakan<br />

masyarakat Bali—penggunaan kata /pane/ dan /paso/ dilakukan hanya untuk<br />

menghasilkan bunyi yang selaras dengan kata /kene/ dan /keto/ padahal kata pane<br />

dan paso bersinonim. Kata pane pada sampiran hanya digunakan untuk<br />

menyelaraskan dan memberi efek penekanan dan estetis untuk kata kene pada isi<br />

dan paso pada sampiran untuk kata keto pada isi sehingga menghasilkan sajak a-<br />

b-a-b.<br />

Tabel di bawah ini memperlihatkan contoh bentuk perulangan bunyi vokal<br />

dengan sajak a-a.<br />

Tabel 4.19 Bentuk Retoris Asonansi 2<br />

No Data<br />

Bentuk retoris<br />

(sajak)<br />

SAB 22 a-a<br />

Contoh<br />

/tutur suba luntur, jani yen poNah<br />

payu Namah, dew↔ b↔ m↔g↔di amah m↔m↔di /<br />

'nasihat sudah luntur, sekarang jika tidak tahu malu<br />

bisa makan, dewa sudah pergi dihabisi oleh memedi<br />

(makhluk halus)’


KN 4 a-a<br />

KL 3c a-a<br />

TS 1c a-a<br />

TS 1a a-a<br />

BM 9 a-a<br />

BM 3j a-a<br />

78<br />

/kol↔ NoraN ya k↔baaN honda,<br />

kol↔ NoraN yes k↔baang mersedes,<br />

kola ngorang oke kebaaN ceroke /<br />

‘hanya dengan bilang ya kuberi Honda, hanya dengan<br />

bilang yes kuberi Mercedes, hanya dengan bilang oke<br />

kuberi Cerokee’<br />

/jl↔m↔ mul↔ m↔mul↔s<br />

jl↔m↔ mal↔s car↔ pal↔s, lem↔s klias-kli↔s/<br />

‘orang yang suka tidur, orang malas seperti kait<br />

pancing, lemas<br />

/i r↔juna bin jl↔m↔ j↔lek m↔leklek<br />

NurusaN m↔solek, Nalih cewek di komplek/<br />

‘Si Arjuna lagi, manusia jelek, hanya bersolek saja,<br />

mencari cewek di komplek (tempat prostitusi)’<br />

/darmawaNs↔ j↔l↔m↔ uyak tutur,<br />

tutur sub↔ luntur amah titiran.<br />

jani nyen poNah payu Namah<br />

yen pag↔h ye k↔pagah, dew↔ b↔ ng↔lew↔,<br />

widi b↔ m↔g↔di amah m↔m↔di,<br />

agam↔ b↔ gamaN, patut b↔ buntut /<br />

‘Darmawangsa orang-orang banyak nasihat, nasihat<br />

sudah luntur dimakan burung dara, sekarang kalau<br />

tidak tahu malu bisa makan, jika membatasi diri akan<br />

dipenjara, dewa sudah tidak mau tahu, Widhi (Tuhan)<br />

sudah pergi dihabisi memedi (makhluk halus), agama<br />

sudah kabur, kebenaran sudah berada pada posisi<br />

akhir’<br />

/kambiN.. m↔gliliN glalaN-gliliN,<br />

Nal↔Nin niNrat sane b↔liN,<br />

wireh ne muani tuara eliN, m↔li kambiN luas keliliN,<br />

siN buuN ya tuNgaN-tuNgiN misi kaiN-kaiN/<br />

‘kambing, berguling-guling, memberi bantal seorang<br />

ningrat yang sedang hamil, karena suaminya tidak<br />

peduli, beli kambing keliling, jadilah dia menungging<br />

sambil bersuara seperti anjing ‘kaing-kaing’’<br />

/m↔kit↔ Nalih mantu j↔g hantu<br />

ab↔ ci mulih,nanaN tu↔ lantas dadiaN↔<br />

p↔mbantu /<br />

‘ingin mencari menantu, hantu yang kamu bawa<br />

pulang, ayah tua lalu dijadikannya pembantu’


Dari data <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> retoris yang ditemukan terdapat dua bentuk retoris<br />

pengulangan vokal (asonansi), yakni bentuk dengan sajak berpola a-b-a-b dan<br />

pola a-a yang secara umum bertujuan untuk menghasilkan keindahan atau bernilai<br />

estetik. Pada pola sajak a-a terjadinya pengulangan bunyi vokal yang sama pada<br />

beberapa kata selain mengandung unsur estetik juga bertujuan memberi<br />

penekanan terhadap <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang diungkapkan.<br />

Selain bentuk retoris asonansi, ditemukan pula bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong><br />

berjenis retoris dalam repetisi konsonan atau aliterasi. Pada kasus aliterasi terjadi<br />

pengulangan konsonan dalam sebuah kalimat atau klausa pada awal kata-kata<br />

yang menghimpunnya. Misalnya pada data KL 2 dalam tabel di bawah terjadi<br />

pengulangan fonem konsonan nasal /m/ dan /n/ pada kata /manise/ dan /man↔sin/.<br />

Contoh data yang lainnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.<br />

Tabel 4.20 Bentuk Retoris dengan Repetisi Konsonan (Aliterasi)<br />

No Data<br />

Bentuk retoris<br />

(sajak)<br />

KN 8b a-a<br />

KL 2 a-a<br />

TS 8 a-a<br />

Contoh<br />

79<br />

/yen ub↔ ajak liu j↔g bali b↔ to, yen p↔didian<br />

balu/<br />

‘jika sudah berbanyak, pasti Bali itu, jika sendiri<br />

janda’<br />

/j↔g sinah sub↔ manise man↔sin b↔li/<br />

‘jelas sudah manis itu akan memanaskan kakak’<br />

/yen nak muani ne sastrawan ne luh sastrawati<br />

yen ne muani ne b↔gundal luh ne b↔gundil<br />

ne muani nuNgaN ne luh nuNgiN/<br />

‘jika yang laki sastrawan yang perempuan sastrawati,<br />

jika yang laki-laki raksasa laki-laki yang perempuan<br />

raksasa perempuan, yang laki menunggang yang<br />

perempuan menungging’


Repetisi konsonan /b/ pada kata balu setelah kata bali dalam KN 8b<br />

digunakan dalang untuk efek penekanan terhadap kata sebelumnya. Pada KN 8b<br />

repetisi digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang berlawanan. Disebutkan jika<br />

Bali identik dengan banyak orang. Hal ini terjadi karena imajeri masyrakat<br />

terhadap Pulau Bali yang menjadi salah satu tempat tujuan wisatawan dan pencari<br />

kerja sehingga Bali menjadi tempat tujuan banyak orang, sedangkan balu ‘janda’<br />

identik dengan kesendirian. Hal yang sama juga tercermin pada data KL 2 yang<br />

menunjukkan sesuatu yang berlawanan, yakni sesuatu yang manis (orientasi<br />

positif) pada kata /manise/ akan menyebabkan sesuatu yang memanas (orientasi<br />

negatif) pada kata /man↔sin/. Sedikit berbeda repetisi konsonan data TS 8 yang<br />

sepertinya pada awalnya dilakukan untuk menunjukkan sesuatu yang berlawanan<br />

pula, seperti bentuk sastrawan dan sastrawati, begundal dan begundil. Namun,<br />

repetisi konsonan berikutnya (nunggang dan nungging) menunjukkan humor yang<br />

berorientasi vulgar.<br />

4.2.2 Bentuk Kiasan<br />

Bentuk kiasan adalah bentuk penyimpangan pada struktur atau bentuk<br />

yang biasa dengan pemakaian leksem yang maknanya menyimpang dari makna<br />

denotasinya. Secara umum bentuk kiasan dibentuk berdasarkan perbandingan atau<br />

persamaan (Keraf, 2009: 136). Dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB<br />

ditemukan bentuk-bentuk yang mengacu pada bentuk kiasan berjenis metafora,<br />

simile (perumpamaan), dan eponim.<br />

80


4.2.2.1 Metafora<br />

Permainan <strong>bahasa</strong> berbentuk metafora merupakan bentuk ke<strong>bahasa</strong>an yang<br />

menggunakan sistem kognitif (Lakoff: 1980), yaitu konsep yang terkumpul dari<br />

pengalaman dan budaya seseorang (Palmer: 1996; Foley: 1997). Dalam metafora<br />

terjadi perbandingan antara sumber bentuk (source) dan target. Knowles (2006)<br />

menyebutkan bahwa metafora adalah <strong>bahasa</strong> nonliteral yang terbentuk dari<br />

perbandingan atau identifikasi secara implisit sebagai pengungkapan jenis dari<br />

sesuatu yang bermakna figuratif. Jika kita menyebutkan seseorang adalah serigala,<br />

itu artinya kita membandingkannya dengan serigala, yakni asosiasi yang umum<br />

terhadap serigala yaitu kelicikannya. Dengan demikian, seseorang yang disebut<br />

sebagai serigala berarti seseorang yang memiliki karakter identik dengan serigala<br />

yang licik. Bentuk metafora dapat digambarkan sebagai berikut.<br />

Dia serigala<br />

A : B<br />

terbanding (Tb) pembanding (Pb)<br />

Referent A (target) dibandingkan dengan referent B (source) yang memiliki<br />

kualitas atau karakter yang sama. Analisis bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> berjenis<br />

metafora oleh <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB adalah sebagai berikut.<br />

SAB 17 t↔rus rag↔ gen dadianga bemp↔r<br />

(A) Tb (n) : (B) Pb (n)<br />

’terus aku saja : dijadikan bamper ’<br />

’terus aku saja yang disuruh menghadapi musuh lebih dulu ’<br />

(C) (D)<br />

81


Data SAB di atas merupakan bentuk metafora dengan membandingkan antara<br />

rag↔ ’saya’ dan bamper. Komponen terbanding (Tb) yang merupakan kelas kata<br />

nomina (n) dibandingkan secara implisit dengan komponen pembanding (Pb)<br />

bamper yang juga merupakan kelas kata nomina (n). (Tb) saya atau<br />

rag↔ dibandingkan dengan bamper yang berasosiasi dengan posisi di depan.<br />

Bamper merupakan bagian pengaman mobil yang letaknya di depan untuk<br />

melindungi mobil jika terjadi benturan. Arti metaforais bentuk metafora di atas<br />

diberi simbol (C) untuk instrumen Tb dan (D) untuk (Pb). (A) berbanding dengan<br />

(B) sama dengan (C) berbanding dengan (D) yang dianggap sebagai makna<br />

metafora dalam perbandingan ini, yaitu pemahaman makna pada (D) mengacu<br />

pada makna (A) sehingga A : B = C : D, yang pada akhirnya A = D. Pada data ini<br />

dihasilkan bentuk Tb (n) : Pb (n), target atau komponen terbanding Tb yang<br />

berkelas kata nomina dibandingkan dengan bentuk lain, yakni source (Pb) yang<br />

juga dalam kelas nomina.<br />

Data LM 1 berikut ini juga memiliki bentuk (Tb) berbanding dengan (Pb).<br />

Namun, (Tb) yang merupakan frasa nomina dibandingkan dengan (Pb) yang<br />

merupakan frasa verba.<br />

LM 1 / tuah j↔ nyak jani hukume s↔tat↔ nagih rabuk /<br />

(A) Tb (NP) : (B) Pb (VP)<br />

’memang hukum sekarang : selalu minta dipupuk’<br />

’(C) hukum saat ini (D) selalu membutuhkan tombokan’<br />

82


Data GA 15c di bawah ini memiliki bentuk (Tb) berbanding dengan (Pb) dengan<br />

(Tb) berupa kalimat yang dibandingkan dengan komponen (Pb) yang juga berupa<br />

kalimat.<br />

GA 15c /ci kal b↔rag tato nag↔ ci b↔rubah dadi tato linduN /<br />

(A) Tb (K) : (B) Pb (K)<br />

’kamu akan kurus : tato nagamu berubah menjadi tato belut’<br />

’(C) kamu akan kurus : (D) badanmu akan menciut’<br />

Data berikutnya adalah data DRT 23a, dengan struktur yang berbeda, yakni<br />

kalimat jenis metafora dengan bentuk komponen (Pb) mendahului komponen<br />

(Tb). Pada data DRT 23a dibawah ini komponen (Tb) berfrasa verba<br />

dibandingkan dengan komponen (Pb) berfrasa nomina dengan komponen<br />

pembanding mendahului komponen terbanding. Data selanjutnnya merupakan<br />

variasi bentuk metafora dengan komponen (Pb) mendahului komponen (Tb).<br />

/m↔luab-luab kanti buNut ci Nl↔m↔sin nak luh /<br />

(B) Pb (NP) : (A) Tb (VP)<br />

’sampai mendidih mulutmu : merayu wanita’<br />

’(D) m↔k↔lo ’Dari tadi mulut kamu’ (C) merayu wanita’<br />

SAB 16 / m↔ul↔t basaN wake /<br />

(B) Pb (AdvP) : (A) Tb (NP)<br />

’berulat : perut ku’<br />

’(D) g↔d↔g ’kesal’ (C) aku’<br />

83


KL 1 /sapt↔ timir↔ e N↔kos sik :<br />

mas↔ ken awak bline bagus,<br />

awak bli mabuk bli ken k↔bagusan,<br />

mas↔ bli sugih,<br />

mabuk bli ken k↔sugihan /<br />

(B) Pb (K) : (A) Tb (K)<br />

’Sapta timira ngekos di raga kakak : merasa dengan diri tampan, mabuk<br />

kakak dengan ketampanan, merasa<br />

kakak kaya mabuk kakak dengan<br />

kekayaan’<br />

’(D) Sapta Timira ada pada diri kakak (C) merasa dengan diri tampan,<br />

mabuk kakak dengan<br />

ketampanan, merasa kakak kaya<br />

mabuk kakak dengan kekayaan’<br />

Dari beberapa contoh data yang mewakili <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> berjenis<br />

metafora, ditemukan bentuk-bentuk perbandingan secara implisit dengan empat<br />

variasi struktur komponen terbanding mendahului komponen pembanding, yaitu<br />

(1) (A)Tb (NP) : (B) Pb (VP), (2) (A) Tb (K) : (B) Pb (K), (3) (A) Tb (NP) : (B)<br />

Pb (AdjP), dan (4) (A) Tb (Adj) : (B) Pb (K). Di saming itu ditemukan tujuh<br />

variasi struktur komponen pembanding mendahului komponen terbanding, yaitu<br />

(1) (B) Pb (NP) : (A) Tb (VP), (2) (B) Pb (AdvP) : (A) Tb (NP), (3) (B) Pb (NP)<br />

: (A) Tb (NP), (4) (B) Pb (K) : (A) Tb (K), (5) (B) Pb (AdjP) : (A) Tb (K), (6)<br />

(B) Pb (VP) : (A) Tb (VP), dan (7) (B) Pb (AdvP) : (A) Tb (VP). Tabel di bawah<br />

ini menunjukkan bentuk-bentuk yang mewakili <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dengan<br />

metafora pada data yang ditemukan.<br />

Tabel 4.21 Permainan Bahasa Metafora dengan Komponen (Tb) Mendahului (Pb)<br />

No<br />

Data<br />

Bentuk Contoh Metafora<br />

84


DRT<br />

11<br />

DRT<br />

15c<br />

(A) Tb (NP) : (B) Pb (AdjP) /bon ci pait m↔kilit/<br />

'baumu pahit berkilit'<br />

(A) Tb (NP) : (B) Pb (VP) /nak bajaN mar↔ m↔kl↔pit /<br />

'anak perempuan yang baru saja<br />

menginjak remaja'<br />

/aNgane Nalih kitiran d↔ m↔pik↔t<br />

NaNgon guak,<br />

m↔laib kitiranne l↔m/<br />

'keinginan mencari burung perkutut<br />

jangan memancingnya dengan<br />

kucing hitam besar, lari burung<br />

KN 3b (A) Tb (K) : (B) (Pb (K)<br />

KL<br />

10c<br />

perkututnya Lem!<br />

(A) Tb (NP) : (B) Pb (VP) /doN matan ci aduh dewa ratu 6000<br />

wat nyalaN/ 'matamu aduh... dewa<br />

ratu 6000 watt menyala’<br />

TS 5a (A) Tb (AdjP) : (B) Pb (K) /b↔s du↔g daN yaN dron↔ b↔s li<br />

wat<br />

s↔ks↔k<br />

disket komput↔re misi tutur/<br />

'terlalu pintar Dang Hyang Drona,<br />

terlalu sesak disket komputernya<br />

berisi nasihat’<br />

SI 17 (A) Tb (NP) : (B) Pb (AdjP) /caN diar↔pne gen siN m↔luap/<br />

'aku di depannya saja tidak tumpah’<br />

SI 17 (A) Tb (NP) : (B) Pb (AdjP) /NudiyaN mel↔m N↔rodok/<br />

'mengapa Melem mendidih’<br />

Tabel 4.22 Permainan Bahasa Metafora dengan Komponen (Pb) Mendahului (Tb)<br />

No<br />

Data<br />

Bentuk Contoh Metafora<br />

KN 10c (B) Pb (AdjP) : (A) Tb (K) /↔ntut somboN munyinne k↔ras ko<br />

la siN m↔bo/<br />

'kentut sombong bunyinya keras,<br />

tetapi tidak berbau’<br />

KN 13 (B) Pb (VP) : (A) Tb (VP) /aNgona bola ratu bin t↔ndaN↔ kaN<br />

in bin tendaNa kauh/<br />

'dijadikan bola Ratu, lagi ditendang<br />

ke timur lagi ditendang ke barat'<br />

KL 11 (B) Pb (AdvP) : (A) Tb (VP) /j↔g t↔luN met↔r caN N↔mikmik<br />

siN<br />

N↔rti ci/<br />

85


4.2.2.2 Bentuk Simile<br />

86<br />

'tiga meter aku berbicara tidak<br />

mengerti kamu'<br />

Simile yang dikenal dengan gaya <strong>bahasa</strong> perumpamaan juga merupakan<br />

suatu <strong>permainan</strong> ber<strong>bahasa</strong> dengan analogi atau perbandingan, tetapi secara<br />

eksplisit dan ditandai dengan instrumen banding (IB) antara source (pembanding)<br />

dan target (terbanding). IB ini dapat berupa kata like, as, compare, resamble<br />

’seperti, bagai, sama, banding, dll’ (Knowles: 2006) atau dalam <strong>bahasa</strong> Bali<br />

misalnya dengan menggunakan IB: car↔, buk↔, tan bin↔, s↔kadi.<br />

Dia seperti serigala<br />

A : B<br />

Terbanding (Tb) Instrumen banding (IB) pembanding (Pb)<br />

Terdapat tujuh macam bentuk struktur yang ditemukan pada <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong><br />

berjenis simile ini, yakni enam dengan instrumen pembanding (IB) di antara<br />

komponen terbanding (Tb) dan komponen pembanding (Pb) dan satu bentuk<br />

struktur dengan IB yang terletak di awal komponen pembanding dan terbanding<br />

seperti pada data DRT 25a berikut ini.<br />

/ car↔ batun buluane tiyaN d↔m↔n ken bli /<br />

'seperti biji rambutan saya mencintai kakak’<br />

IB (car↔ ) Pb Tb<br />

Permainan <strong>bahasa</strong> ini menggunakan perbandingan di dalam pengungkapan<br />

perasaan cintanya yang diumpamakan bagai biji rambutan yang tunggal. Kata<br />

cara ’seperti’ yang digunakan sebagai instrumen banding terletak sebelum


komponen Pb yang kemudian langsung diikuti oleh komponen terbandingnya.<br />

Dalam budaya Bali, masyarakat banyak menggunakan bentuk ini di dalam<br />

mengungkapkan perasaan penuturnya yang dalam, baik perasaan senang, sedih,<br />

maupun kekesalan dan amarah. Bentuk dengan struktur IB di antara komponen Tb<br />

dan Pb dapat dilihat pada data LM 22b,<br />

/ bonne car↔ kambiN m↔uy↔N /<br />

’Baunya/aromanya seperti kambing yang diputar-putar di udara’<br />

Tb IB Pb<br />

Contoh data di atas mengungkapkan bau masam bagai bau kambing yang diputar<br />

di udara. Permainan <strong>bahasa</strong> perbandingan ini menggunakan kambing sebagai<br />

komponen pembanding yang identik dengan bau asam atau pesing.<br />

Beberapa contoh simile yang ditemukan pada <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong><br />

<strong>punakawan</strong> WCB yang mewakili bentuk-bentuk atau strukturnya dirangkum pada<br />

tabel berikut ini.<br />

Tabel 4.23 Bentuk Simile<br />

No<br />

Data<br />

Bentuk Contoh Simile<br />

LM (A) Tb (NP) IB (B) Pb (NP) /bonne car↔ kambiN m↔uy↔N/<br />

22b<br />

'baunya seperti kambing yang diputarputar'<br />

LM 27a (A) Tb (VP) IB (B) Pb (NP) /N↔luluk nas ci car↔ bola liga iNgris<br />

to/<br />

'bergelinding kepalamu seperti bola<br />

Liga Inggris itu'<br />

SI 14d (A) Tb (K) IB (B) Pb (NP) /y↔n kur↔n kak↔ paN ci nawaN buk<br />

erik, putih gadiN,<br />

kuniN laNsat baNkiaN c↔nik jit<br />

g↔de car↔ kuda australi/<br />

87


DRT<br />

22<br />

(A) Tb (K) IB (B) Pb (K)<br />

'kalau istriku, supaya kamu tahu, Bu<br />

Erick, putih gading, kuning langsat,<br />

pinggang kecil bokong besar seperti<br />

kuda Australia'<br />

88<br />

/y↔n cai Nelawan saN bim↔<br />

cai kal car↔ makpak batu/<br />

'jika kamu melawan Sang Bima, kamu<br />

akan seperti mengunyah batu'<br />

KL 4 (A) Tb (NP) IB (B) Pb (K) /panjak dini di gumi leNkane bli t↔n<br />

bin↔ car↔ kidaN N↔tis di punyan<br />

kayune g↔de/<br />

'warga di sini, di negeri Lengka ini<br />

Kak, bagaikan kijang yang berteduh di<br />

bawah pohon kayu yang besar'<br />

SI 14a (A) Tb (NP) IB (B) Pb (N) /bok kritiN car↔ mi/<br />

'rambutnya keriting seperti mie'<br />

SI 14c (A) Tb (NP) IB (B) Pb (NP) /gidatne jantuk car↔ be lohan/<br />

DRT<br />

25a<br />

'jidatnya menonjol seperti ikan Lohan'<br />

IB (B) Pb (NP) (A) Tb (K) /car↔ batun buluane tiyaN d↔m↔n k<br />

en<br />

bli/<br />

'seperti biji rambutan perasaan cinta<br />

saya ke Kakak'<br />

Secara umum komponen pembanding dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> ini selalu<br />

berposisi sesudah IB. Pada bentuk dengan struktur IB di antara komponen Tb dan<br />

Pb ditemukan komponen Tb atau (A) selalu pada posisi sebelum IB seperti (A) Tb<br />

(NP) IB (B) Pb (NP), (A) Tb (VP) IB (B) Pb (NP), (A) Tb (K) IB (B) Pb (NP),<br />

(A) Tb (K) IB (B) Pb (K), (A) Tb (NP) IB (B) Pb (K), (A) Tb (NP) IB (B) Pb (N)<br />

dan bentuk struktur dengan IB berposisi pada awal kalimat, yakni IB (B) Pb (NP)<br />

(A) Tb (K).<br />

4.2.2.3 Bentuk Eponim


Tokoh <strong>punakawan</strong> WCB banyak menggunakan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dengan<br />

kekreatifan gaya <strong>bahasa</strong> eponim, yaitu penggunaan nama yang dihubungkan<br />

dengan sifat tertentu. Misalnya dalam mengungkapkan seseorang yang cantik,<br />

<strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB menggunakan nama Madona atau Cut Tari sebagai<br />

sandingannya. Power Rangers yang saat ini dikenal sebagai <strong>tokoh</strong> pahlawan<br />

dalam imajinasi anak-anak dan petinju Lenox Louis digunakan sebagai<br />

pembanding untuk mengutarakan seseorang yang kuat. Tentunya pemilihan nama<br />

yang digunakan disesuaikan dengan imajeri masyarakat atau nama-nama yang<br />

sedang hangat diperbincangkan dalam masyarakat. Permainan <strong>bahasa</strong> jenis ini<br />

menghasilkan sensasi tersendiri dalam imajeri masyarakat yang menimbulkan<br />

gelak tawa. Bentuk-bentuk dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> ini menyerupai bentuk simile<br />

karena terdapat unsur perbandingan secara eksplisit, tetapi menggunakan nama-<br />

nama populer dalam masyarakat. Karena menggunakan nama-nama populer yang<br />

sedang hangat dalam imajeri masyarakat, komponen pembandingnya selalu<br />

merupakan frasa nomina atau kata dalam kelas nomina.<br />

Tabel 4.24 Bentuk Eponim<br />

No<br />

Data<br />

Struktur Bentuk Contoh Eponim<br />

KN 17a (A) Tb (NP) IB (B) Pb (NP) /k↔kuatan saN aNgada itu s↔tara<br />

d↔Nan k↔kuatan lenok luwis/<br />

‘kekuatan Sang Anggada itu setara<br />

dengan kekuatan Lenox Louis’<br />

KL 7b (A) Tb (N) IB (B) Pb (N) /yen nanaN m↔jalan car↔ rano kar<br />

no/<br />

‘jika ayah berjalan seperti Rano<br />

Karno’<br />

LM 7 (A) Tb (N) IB (B) Pb (N) /nyen nyidaN ny↔rihin hanoman na<br />

k<br />

hanoman l↔bih sakti ken<br />

89


pow↔r renj↔s/<br />

‘siapa bisa mengalahkan Hanoman?<br />

Hanoman itu lebih sakti daripada<br />

Power Rangers’<br />

SI 6a (A) Tb (N) IB (B) Pb (NP) /rabinne car↔ madona cantikne/<br />

‘istrinya bagai Madona cantiknya’<br />

SI 16h (A) Tb (N) IB (B) Pb (N) /kur↔n ci e car↔ atun j↔n↔ngne/<br />

‘istrimu seperti Atun tampangnya’<br />

BM 2c (A) Tb (N) IB (B) Pb (N) /memen cai ne cantik car↔ cut tari /<br />

'ibumu cantik seperti Cut Tari'<br />

Pada jenis kekreatifan gaya ber<strong>bahasa</strong> ini ditemukan bentuk struktur yang<br />

sama, yakni perbandingan dengan membandingkan kata dalam kelas nomina atau<br />

frasa nomina dengan nomina atau frasa nomina juga. Di samping itu terdapat IB<br />

di antara komponen Tb dan Pb, baik berupa perbandingan setara dengan<br />

menggunakan IB car↔ ‘seperti’, ‘setara dengan’ maupun perbandingan<br />

bertingkat dengan menggunakan kata ‘lebih dari’.<br />

4.3 Permainan Bahasa dengan Bentuk Hiponimi<br />

Hiponimi adalah semacam relasi antarkata yang berwujud atas-bawah atau<br />

dalam suatu makna terkandung sejumlah komponen yang lain (Keraf, 2009:38).<br />

Dalam hiponim kelas atas (superordinat) tercakup sejumlah komponen yang lebih<br />

kecil (hiponim). Tokoh <strong>punakawan</strong> WCB menggunakan kekreatifan dengan<br />

menggunakan <strong>permainan</strong> kata dengan menyebut kata-kata dengan relasi sama atau<br />

menyebutkan superordinat suatu kata dan menyebutkan kata-kata yang berelasi<br />

dengan superordinat tersebut atau langsung menyebutkan hiponim-hiponim yang<br />

mengacu pada suatu subordinat yang tanpa disebutkan sudah dapat diterka dari<br />

penyebutan hiponim-hiponimnya. Data SI 12 dan SI 13 berikut ini merupakan<br />

90


contoh dari <strong>permainan</strong> bentuk hiponimi yang dilakukan <strong>tokoh</strong>-<strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong><br />

WCB.<br />

SI 12<br />

(35 :34) Sangut : /adane mul↔ i wayan senter / ‘namanya memang I<br />

Wayan Senter’<br />

Delem : /ne madenan/ ‘yang nomor dua (Made)?’<br />

Sangut : /made batre / ‘Made Baterai’<br />

Delem : /nyoman/ ‘yang ketiga (Nyoman)?’<br />

Sangut : /balon/ ‘Balon (bola lampu)’<br />

Delem : /k↔tut/ ‘yang keempat (ketut)?’<br />

Sangut : /k↔pitiNan / ‘ tempat bola lampu’<br />

‘<br />

Delem : /nah ne bin sik an / ‘nah yang satu lagi?<br />

Sangut : /wayan balik saklar/ ‘Wayan Balik Saklar’<br />

Delem : /ah ap↔ balik saklar/ ‘ ah…. apa balik saklar!<br />

Sangut : /nak adan pidan kan beruntut adanne/ ‘zaman dulu<br />

pemberian nama kan<br />

beruntut<br />

Delem : /j↔g model model / ‘ada-ada saja’<br />

SI 13<br />

(36:00) Sangut : /i g↔de putu gas /<br />

‘I Gede Putu Gas’<br />

Delem : /mih ny↔r↔m ny↔r↔maN adanne ne made nan/<br />

‘Mih… tambah aneh-aneh namanya. Yang nomor dua (Made)?<br />

Sangut : /made rim / ‘Made Rim (Rem)’<br />

Delem : /nyoman/ ‘yang ketiga (Nyoman)?’<br />

Sangut : /kopliN/ ‘Kopling’<br />

Delem : /ketut/ ‘yang keempat (Ketut)?<br />

Sangut : /start↔r/ ‘Starter’<br />

Delem : /nah ane bin sik/ ‘nah, yang satu lagi?’<br />

Sangut : /wayan balik kunci kontak/ ‘wayan Balik kunci kontak’<br />

Delem : /ah .wayan balik kunci kontak/ ‘ah Wayan Balik Kunci<br />

Kontak’<br />

91


Permainan <strong>bahasa</strong> di atas didasarkan atas imajeri masyarakat Bali pada<br />

zaman dahulu dengan memberi nama anak-anak mereka dengan nama yang<br />

berurutan dari Wayan, Gede atau Putu untuk anak pertama, kemudian Made untuk<br />

anak kedua, Nyoman untuk anak ketiga, Ketut untuk anak keempat, dan anak<br />

kelima biasa disebut dengan Wayan Balik. Nama anak-anak dalam pertalian<br />

saudara dalam budaya masyarakat Bali terdahulu biasanya berurutan, baik dari<br />

urutan bunyi misalnya Wayan Gledag, Made Gledug, Nyoman Gledig;<br />

mengelompok misalnya menggunakan nama-nama bunga, seperti Putu Mawa<br />

(Mawar), Made Soka (Soka), Nyoman Sandat (Kenanga) maupun menggunakan<br />

nama buah-buahan, seperti Wayan Sentul, Made Klecung (nama buah-buahan<br />

hutan yang rasanya agak masam), Nyoman Ceroring (duku), Ketut Salak yang<br />

diberikan oleh orangtua mereka ataupun merupakan nama panggilan akrab dalam<br />

pergaulan sosialnya. Pemberian nama seseorang pada zaman dahulu di Bali<br />

biasanya dikaitkan dengan kejadian yang sedang berlangsung saat ia dilahirkan<br />

atau yang menjadi karakteristiknya, misalnya seseorang yang bernama Salak<br />

identik dengan kulitnya yang putih bagai daging buah salak, Klecung karena<br />

parasnya dianggap masam, dan sebagainya. Dalang WCB membuat <strong>permainan</strong><br />

<strong>bahasa</strong> dengan menggunakan kebiasaan masyarakat Bali dalam memberi nama<br />

secara berurutan ini dengan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> berbentuk hiponimi seperti contoh<br />

di atas.<br />

Data SI 12 menggunakan nama dengan superordinat “I Wayan Senter”<br />

kemudian dilanjutkan dengan hiponim-hiponim yang merupakan bagian dari<br />

senter, seperti batre ‘batere’, balon ‘bola lampu’, kepitingan ‘piting atau tempat<br />

92


menjepit bola lampu’, dan saklar ‘stop kontak’. Data SI 13 menyebutkan<br />

hiponim-hiponim yang berupa bagian-bagian dari kendaraan bermotor, hanya<br />

tidak disebutkan superordinatnya. Namun, imajeri ataupun ingatan pendengar<br />

dengan mendengar hiponim-hiponim tersebut akan tertuju pada kendaraan<br />

bermotor.<br />

Tabel 4.25 Struktur Bentuk Permainan Bahasa dengan Hiponimi<br />

Data Struktur Bentuk Contoh<br />

SI 12 Superordinat hiponim Senter batre, balon, kepitingan,<br />

saklar<br />

SI 13 hiponim Superordinat gas, rim, kopling, starter, kunci kontak<br />

Ο ( motor)<br />

4.4 Bentuk Permainan Kata Antar<strong>bahasa</strong><br />

Permainan kata antar<strong>bahasa</strong> (interlanguage) adalah <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong><br />

dengan pemanfaatan kehomoniman aksidental kata-kata yang berasal dari<br />

leksikon <strong>bahasa</strong> yang berbeda (Wijana dan Muhammad Rohmadi, 2010:85).<br />

Menjamurnya penggunaan <strong>bahasa</strong> Indonesia dalam budaya Bali dan banyaknya<br />

interaksi dengan turis mancanegara menyebabkan masyarakat Bali saat ini<br />

terbiasa menggunakan <strong>bahasa</strong> dengan alih kode atau campur kode. Campur kode<br />

adalah percampuran dua <strong>bahasa</strong> atau lebih atau ragam <strong>bahasa</strong> dalam suatu tindak<br />

<strong>bahasa</strong> tanpa ada sesuatu dalam situasi ber<strong>bahasa</strong> itu yang menuntut percampuran<br />

<strong>bahasa</strong> itu (Jendra, 2007: 166). Penggunaan campur kode ini dilakukan <strong>tokoh</strong><br />

<strong>punakawan</strong> WCB dengan memanfaatkan kata-kata berhomonim (persamaan<br />

bentuk, tetapi berbeda makna) dan leksikon dengan bunyi dan makna mirip, tetai<br />

dari leksikon <strong>bahasa</strong> yang berbeda untuk menghasilkan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang<br />

menarik.<br />

93


Pada LM 21a terdapat kehomoniman antara ‘uap’ dalam <strong>bahasa</strong> Indonesia<br />

yang dihasilkan dari temperatur yang tinggi dengan uap dalam <strong>bahasa</strong> Bali yang<br />

mengandung arti mengusap ke bagian tubuh. Dengan demikian, leksikon pertama,<br />

yakni ‘uap’ dalam <strong>bahasa</strong> Indonesia (disimbolkan dengan A) berubah maknanya<br />

saat diungkapkan dalam konteks yang berbeda (yang disimbolkan dengan A:).<br />

Walau berbentuk leksikon yang sama, terjadi perubahan identitas dari keterangan<br />

(Adv) menjadi kata kerja (V). Perbedaan makna dalam leksikon yang sama<br />

antar<strong>bahasa</strong> yang berbeda ini menghasilkan bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang<br />

mengundang tawa penonton.<br />

LM 21a<br />

Delem : /di kamar mandi kak↔ j↔g mbok nyoman ci mandi uap / ‘sewaktu<br />

aku di kamar mandi, Mbok Nyomanmu mandi uap’<br />

Sangut : /↔mbeh keNken madan mandi uap / ‘mbeh… seperti apa itu mandi<br />

uap?’<br />

Delem : /ad↔ yeh t↔Nan ember Nut paN nyandaN ajak dadua colek uap uap<br />

uap mandi uap/ ‘ada air setengah ember Ngut, agar cukup untuk<br />

berdua. Colek,usap, usap, usap…. mandi uap’<br />

Sangut : /kikikkikiki / ‘hihihihi’<br />

Mandi uap menjadi tren kebiasaan masyarakat saat ini yang biasanya dilakukan<br />

untuk mengeluarkan toksin-toksin dalam tubuh saat melakukan terapi SPA<br />

maknanya menjadi berbeda jika bentuk lingual ini digunakan pada <strong>bahasa</strong> Bali<br />

yang berarti mengusap. Dengan demikian, mandi uap dalam <strong>bahasa</strong> Bali adalah<br />

mandi dengan hanya menggunakan sedikit air yang diusap-usapkan ke tubuh. Hal<br />

ini biasanya digunakan oleh masyarakat zaman dahulu karena minimnya<br />

persediaan air atau dilakukan untuk membersihkan badan seseorang yang sedang<br />

sakit.<br />

94


Data KN 21 merupakan <strong>permainan</strong> kumpulan kehomoniman kata dalam<br />

<strong>bahasa</strong> yang berbeda. Dalam data ini bentuk frasa nomina dalam <strong>bahasa</strong><br />

Indonesia ‘kebutuhan hidup semakin kompleks’ dimanipulasi sedikit ejaannya<br />

menjadi kalimat dalam <strong>bahasa</strong> Bali butuh idup komplek ‘burung (kemaluan laki-<br />

laki) hidup ya ke komplek’<br />

A (NP) A: (K)<br />

KN21 Cenk : /belajarlah ci tuntut ilmu setiNgi-tiNginya<br />

pikirne s↔bab jaman globalisasi<br />

d↔ dadi ap↔<br />

Blonk<br />

kebutuhan idup s↔makin kompleks / ’belajarlah kamu..<br />

tuntut ilmu setinggi-tingginya, jangan akan jadi apa<br />

dipikirkan, sebab zaman globalisasi kebutuhan hidup<br />

semakin kompleks’<br />

: /o yen butuh idup komplek/ ‘oh.. kalau burung hidup ke<br />

komplek’<br />

Cenk : /otak ci dul / ‘otakmu dul!!’<br />

Persamaan leksikon ‘butuh’ dalam <strong>bahasa</strong> Bali dan Indonesia dimanfaatkan <strong>tokoh</strong><br />

<strong>punakawan</strong> WCB dalam mengkreasikan <strong>permainan</strong> antar<strong>bahasa</strong> ini, butuh atau<br />

‘kebutuhan‘ yang berkelas kata nomina dalam <strong>bahasa</strong> Indonesia bersinonim<br />

dengan keperluan, dimanipulasi sedikit dengan pelesapan afiksasi menjadi ‘butuh’<br />

berkelas kata nomina juga yang dalam <strong>bahasa</strong> Bali berarti ‘kemaluan laki-laki’. Di<br />

samping itu, leksikon kompleks dalam <strong>bahasa</strong> Indonesia yang bersinonim dengan<br />

beranekaragam dialihkan dalam imajeri masyarakat Bali dengan suatu tempat<br />

prostitusi di Bali yang dikenal dengan sebutan ‘komplek’. Penggabungan<br />

leksikon-leksikon antar<strong>bahasa</strong> tersebut menjadi wahana penyampaian lelucon<br />

berbau porno yang mengundang tawa.<br />

95


Satu data yang menarik lagi adalah penggunaan manipulasi bunyi dalam<br />

kehomoniman antar<strong>bahasa</strong> <strong>bahasa</strong> Bali dan Inggris berikut ini<br />

KL 5<br />

Sangut : /Norin timpal ne Norin bar↔N N↔laksanaaN<br />

to panak caNe m↔bas↔ bali panak mel↔me m↔bas↔ iNgris,<br />

panak mel↔me b↔rg↔lut d↔Nan toris luar n↔gri b↔rg↔lim<br />

aN dolar<br />

panak caNe b↔rg↔lut deNan nyanyat di dicarike<br />

to panak mel↔me makan keju panak caNe makan siNkoN<br />

to panak mel↔me Norang oh. me mad↔ to panak caNe NoraN o<br />

meme made / ‘memberi tahu teman yang member tahu juga harus<br />

melaksanakan. Itu anakku ber<strong>bahasa</strong> Bali anak Melem ber<strong>bahasa</strong><br />

Inggris, anak Melem bergelut dengan turis luar negeri bergelimang<br />

dolar anakku bergelut dengan lumpur di sawah, itu anak Melem makan<br />

keju anakku makan singkong, itu anak Melem bilang oh.. my mother<br />

itu anakku bilang o.. meme Made’<br />

Pada <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dengan menggunakan campur kode di atas terjadi<br />

perubahan variasi <strong>bahasa</strong> dari <strong>bahasa</strong> Inggris my mother dengan pelafalan<br />

/me mad↔/ dilanjutkan dengan frasa <strong>bahasa</strong> Bali meme Made /meme made/.<br />

Pelafalan my mother dengan /me mad↔/ seperti yang banyak dilakukan<br />

masyarakat Bali dalam melafalkan frasa dalam <strong>bahasa</strong> Inggris tersebut sengaja<br />

dilakukan demi menyepadankannya dengan pelafalan frasa <strong>bahasa</strong> Bali /meme<br />

made/. Kemiripan pelafalan antar<strong>bahasa</strong> tersebut menghasilkan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong><br />

yang menarik karena secara tidak langsung makna dari kedua <strong>bahasa</strong> berbeda<br />

yang pelafalannya mirip tersebut juga mirip.<br />

Tabel 4.26 Struktur Bentuk Permainan Bahasa dengan Permainan Antar<strong>bahasa</strong><br />

No Data Bentuk Contoh<br />

LM 21a A (Adv) A: (V) Mandi uap uap ‘meraup wajah’<br />

KL 5 A (NP) A: (NP) oh my mother oh meme made<br />

/oh me mad↔ oh meme made/<br />

96


KN 21 A (NP) A: (K) Kebutuhan hidup semakin kompleks<br />

butuh idup komplek ‘burung (kemaluan)<br />

hidup ya ke kompleks (tempat prostitusi)<br />

BAB V<br />

FUNGSI PERMAINAN BAHASA<br />

TOKOH PUNAKAWAN WAYANG CENK-BLONK<br />

97


Dalam kajian Linguistik Kebudayaan antara bentuk, fungsi, dan makna<br />

ada benang merah yang menghubungkan satu sama lainnya. Hubungan sebab<br />

akibat yang logis tampak dari bentuk, fungsi, dan makna dari sebuah tuturan.<br />

Artinya komponen bentuk menyediakan dan memberikan peluang untuk<br />

mengemukakan eksistensi komponen fungsi. Komponen fungsi yang menerima<br />

peluang dari komponen bentuk selanjutnya menyediakan dan memberi peluang<br />

yang sama terhadap mengemukanya eksistensi komponen makna. Sang dalang<br />

sebagai kreator tentu memiliki maksud tertentu hingga memproduksi dan<br />

memformulasi bentuk-bentuk kreatif <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> pada <strong>tokoh</strong><br />

<strong>punakawan</strong>nya dan bentuk-bentuk yang dihasilkannya tentu memiliki kegunaan.<br />

Sehubungan dengan itu, dalam bab ini dianalisis fungsi-fungsi yang dihasilkan<br />

bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB yang sebelumnya dibahas pada<br />

bab IV yang setidaknya memunculkan lima fungsi. Kelima fungsi yang dimaksud<br />

adalah fungsi menghibur, fungsi menghibur dan informatif (infotainment), fungsi<br />

menghibur dan mendidik (edutainment), fungsi pengembangan kreativitas<br />

ber<strong>bahasa</strong> Bali, dan fungsi kritik sosial.<br />

5.1 Fungsi Menghibur<br />

Hal dominan yang ingin dicapai seorang entertain adalah agar<br />

penikmatnya merasa terhibur. Dalam seni pe<strong>wayang</strong>an, <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> menjadi<br />

pusat hiburan karena pada <strong>tokoh</strong>-<strong>tokoh</strong> inilah dalang memiliki hak untuk<br />

98


menggunakan dan menghasilkan <strong>bahasa</strong>-<strong>bahasa</strong> kreatif, baik demi keindahan<br />

maupun menghasilkan efek-efek jenaka sebagai humor yang dapat menghibur<br />

penonton. Kayam (1981:134) dengan tegas menyatakan bahwa di samping<br />

sebagai mass media, pertunjukan <strong>wayang</strong> kulit juga berfungsi sebagai mass<br />

entertainment. Dari pernyataan tersebut dapat diasumsikan bahwa dalam <strong>wayang</strong><br />

banyak tersedia hiburan yang dapat mengubah perasaan penonton menjadi senang.<br />

Sesuai dengan teori dari Leech (1977) tentang fungsi <strong>bahasa</strong>, fungsi<br />

menghibur ini sesuai dengan fungsi direktif, yakni fungsi <strong>bahasa</strong> yang dapat<br />

memengaruhi perasaan dan perilaku orang lain dalam hal ini memengaruhi agar<br />

merasa senang karena terhibur. Dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB<br />

bentuk-bentuk yang dapat memengaruhi perasaan pendengar ada pada <strong>permainan</strong><br />

<strong>bahasa</strong> yang sifatnya melucu atau humor dan yang berbentuk retoris. Permainan<br />

<strong>bahasa</strong> yang sifatnya melucu akan dirasa jenaka oleh pendengar sehingga<br />

memengaruhi perasaannya menjadi senang kemudian <strong>permainan</strong> berbentuk retoris<br />

yang bersifat kreatif juga dapat membuat pendengar terbuai dan menikmatinya<br />

sebagai hiburan. Namun, dalam bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> retoris <strong>tokoh</strong><br />

<strong>punakawan</strong> WCB orientasi terhadap keestetikan atau keindahan yang paling<br />

utama agar nantinya dapat berfungsi direktif. Berikut ini adalah contoh <strong>permainan</strong><br />

<strong>bahasa</strong> berbentuk retoris yang berfungsi menghibur,<br />

DRT 10 Delem : /m↔mul↔ padi y↔ m↔mul↔ timun/ ‘bertanam padi ya<br />

bertanam mentimun’<br />

Sangut : /m↔mul↔ nyuh y↔ m↔mul↔ sawah/ ‘bertanam kelapa<br />

ya bertanam sawah’<br />

Delem : /ne muani y↔ kimud kimud/ ‘yang pria malu-malu’<br />

Sangut : /sane luh galak galak/ ‘yang wanita galak-galak (agresif)’<br />

99


100<br />

Fungsi menghibur yang dihasilkan dari bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> retoris di<br />

atas karena bentuk asonansi yang terjadi pada setiap silabel akhir frasa.<br />

Penyisipan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> retoris di atas hanya untuk menghasilkan keindahan<br />

dalam ber<strong>bahasa</strong> yang secara direktif dapat memengaruhi perasaan pendengarnya.<br />

Bentuk retoris di atas dalam <strong>bahasa</strong> Bali disebut dengan peparikan atau sejenis<br />

pantun. Persamaan sajak yang dihasilkan secara apik dalam sampiran dan isi<br />

peparikan selain untuk keindahan dapat dirasakan sebagai hiburan. Paling tidak<br />

pendengarnya akan tersenyum setelah penyepadanan bentuk padi dengan muani,<br />

nyuh dengan luh, timun dengan kimud, dan sawah dengan galak. Bentuk yang<br />

sama juga dapat diperlihatkan pada data DRT 14 dan KN 4 berikut.<br />

DRT 14 Delem : /man man / ‘Man…. Man….’<br />

Nyoman : /doN sir↔ niki m↔nyoman-nyoman ken tiyaN<br />

sajan tonden m↔sandal sub↔ m↔g↔njit konden k<br />

↔nal rag↔ sub↔ g↔nit / ‘Siapa ini memanggilmanggila<br />

saya Nyoman? Belum bersandal sudah berjinjit,<br />

belum kenal kamu sudah genit’<br />

Penyepadanan asonansi pada <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> di atas juga berfungsi<br />

menghibur, tidak ada hubungan antara tonden m↔sandal dengan<br />

konden k↔nal ataupun sub↔ m↔g↔njit dengan sub↔ g↔nit. Pemasangan<br />

bentuk-bentuk tersebut hanya untuk keindahan dan menghasilkan efek jenaka.<br />

Data KN 4 lebih menunjukkan kekreatifan dalang dengan membentuk pola<br />

konstruksi seperti sajak dengan <strong>permainan</strong> asonansi. Penataan dan pemasangan<br />

bentuk-bentuk leksikal yang sesuai dengan imajeri masyarakat saat ini<br />

menghasilkan bentuk keseluruhan yang jenaka dan menghibur. Bentuk estetik<br />

yang ditonjolkan dalam <strong>permainan</strong> repetisi bunyi ini mengembangkan imajeri


101<br />

masyarakat yang bermacam-macam sesuai dengan pengalamannya masing-<br />

masing.<br />

KN 4<br />

Delem: / kol↔ NoraN ya k↔baaN honda<br />

kol↔ NoraN yes k↔baaN mersedes<br />

kol↔ NoraN oke k↔baaN ceroke /<br />

‘asalkan bilang ya aku beri Honda.<br />

Asalkan bilang yes kuberi Mercedes.<br />

Asalkan bilang oke ku beri Cerokee.’<br />

Fungsi menghibur yang paling jelas tampak pada bentuk-bentuk<br />

<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang berjenis humor. Dalam WCB bentuk inilah yang paling<br />

ditunggu-tunggu penonton karena dalang WCB terkenal dengan kekreatifannya<br />

memformulasikan humor.<br />

Gara (1999) menyebut humor terjadi jika dua dunia “bertabrakan”, yakni<br />

dua persepsi atau lebih berbeda dan berlawanan, lalu diinferensikan sesuai dengan<br />

pengalaman apresiatornya masing-masing. Dalam humor sesuatu yang tak terduga<br />

harus terjadi yang mengguncang kita keluar dari pola biasa, lalu kita tertawa.<br />

Tertawa secara umum menjadi simbol rasa terhibur. Hal inilah yang menjadi<br />

acuan seorang dalang. Dalam fungsinya sebagai wahana hiburan, <strong>permainan</strong><br />

<strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB ditata apik oleh dalangnya dan disesuaikan<br />

dengan perkembangan zaman sehingga pendengar merasa masuk dalam<br />

<strong>permainan</strong>-<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> tersebut. Fungsi hiburan dalam humor banyak<br />

terdapat pada <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB berbentuk pelesetan.<br />

SI 3b (01 :34)<br />

Sukir : /ratu p↔rand↔ jaNan erosi/ ‘Ratu Peranda jangan erosi<br />

!’<br />

Tualen : /emosi/ ‘emosi!’


Sukir : /eh a↔ emosi/ ‘oh iya emosi’<br />

102<br />

Pada data di atas bentuk “erosi” keluar dari pola biasa, maksudnya kata<br />

tersebut tidak sesuai jika dideretkan dengan kata-kata sebelumnya. Keadaan yang<br />

keluar dari pola biasanya inilah menyebabkan pendengar merasa aneh<br />

mendengarnya, terlebih lagi dilakukan penyebutan bentuk tandingannya yang<br />

merupakan ide yang sebenarnya. Dengan membandingkan bunyinya yang mirip<br />

penonton akan merasa hal itu sebagai kejenakaan yang menyebabkannya terhibur.<br />

Bentuk pelesetan lain yang berfungsi menghibur diperlihatkan dalam data DRT 20<br />

dan SAB 4 berikut ini.<br />

DRT 20<br />

Sangut : Yang paling mengetahui banyak ilmu di Wanaprasta adalah Sang<br />

Sahadewa. Beliau mengetahui berbagai magic. White magic, black<br />

Magic, dan segala gic gic-nya sampai ke magic-jar, itu sang<br />

Sahadewa<br />

SAB 4<br />

Delem : / jani b↔ Nut ram↔ dew↔ akan hancur/ ‘saat inilah Ngut…Rama<br />

Dewa akan hancur’<br />

Sangut : /ram↔ dew↔ akan TKO / ‘Rama Dewa akan TKO’<br />

Delem : / TKO to / ’TKO itu?’<br />

Sangut : Tenaga Kurang Optimal<br />

Pemelesetan ide yang diperlihatkan pada data DRT 20 memperlihatkan<br />

terjadi penyimpangan “pola” biasanya. Ide berbagai macam kekuatan atau<br />

kesaktian yang dihasilkan bentuk white magic dan black magic yang terkesan<br />

serius segera memecahkan keseriusan pendengar menjadi kejenakaan saat ide ini<br />

terkontaminasi dengan bentuk magic jar yang memiliki bentuk penyusun yang<br />

mirip dengan bentuk atau pola awalnya.


103<br />

Data DRT 14 berikut ini juga memperlihatkan fungsi menghibur yang<br />

dihasilkan dari <strong>permainan</strong> berbentuk simile yang memanfaatkan pemilihan kata<br />

yang inovatif sesuai dengan imajeri masyarakat saat ini.<br />

Delem : /kulit kur↔n ci s↔l↔m di↔t, buNutne p↔luN NiduN len liNgah,<br />

pipi c↔nik t↔lah pipine uyak buNut.<br />

di muwane buNut gen m↔kacakan./<br />

‘kulit istrimu hitam legam, bibirnya hitam, dan lebar, pipi kecil,<br />

wajahnya penuh isi bibir’<br />

SI 14a /bok kritiN car↔ mi / ‘rambutnya kriting seperti mie’<br />

SI 14b /batisne b↔lah b↔lah / ‘kakinya pecah-pecah’<br />

SI 14 c /aduh gidatne jantuk car↔ be lohan hahahaha /<br />

‘aduh… jidatnya menonjol seperti ikan Lohan hahahaha’<br />

Fungsi ekspresif yang berorientasi pada perasaan penutur, yakni <strong>tokoh</strong> Delem<br />

terhadap lawan tuturnya (<strong>tokoh</strong> Sangut) ditunjukkan dari kesan wacana di atas.<br />

Permainan <strong>bahasa</strong> berbentuk simile dan metafora ini diungkapkan <strong>tokoh</strong> Delem<br />

yang seolah-olah mengejek <strong>tokoh</strong> Sangut dengan mengata-ngatai istri Sangut<br />

dengan celaan yang mengundang tawa penonton. Penggunaan pola-pola yang<br />

tidak sesuai dengan pola sebenarnya dirasakan penonton yang juga merupakan<br />

pelibat tutur pada bentuk-bentuk simile /bok kritiN car↔ mi / dan<br />

gidatne jantuk car↔ be lohan / ‘ jidatnya menonjol seperti ikan Lohan’. Pada<br />

saat <strong>tokoh</strong> Delem menyebutkan hal ini suara tawa penonton terdengar dalam<br />

rekaman VCD yang menandakan bentuk ini dianggap lucu. Bentuk simile bok<br />

kriting cara mi ‘rambutnya kriting seperti mie’ keluar dari pola awal yang<br />

diketahui masyarakat Bali bahwa ungkapan yang membudaya didengarnya untuk<br />

penyebutan rambut seseorang yang kriting adalah bok kriting cara embotan belayag<br />

‘rambut kriting seperti tarikan sejenis ketupat yang bentuknya memanjang’ atau bok


104<br />

kriting cara sebun perit ‘rambutnya seperti sarang burung pipit’. Pergeseran pemilihan<br />

leksikal belayag dan sebun perit menjadi mie inilah yang mengundang tawa<br />

pendengarnya. Mengembangkan dan memperkaya imajeri dapat dilakukan dengan<br />

pengalaman secara langsung. Imajeri yang diperoleh dari pengalaman melihat<br />

langsung akan lebih kuat melekat dibandingkan dengan imajeri yang diperoleh<br />

dari hanya mendengar saja. Imajeri masyarakat akan mie lebih dekat di otak<br />

masyarakat saat ini daripada belayag ataupun sebun perit sehingga dengan<br />

menyebut mie yang menyimpang dari pola atau bentuk yang biasanya didengar<br />

dan pengalaman kontekstualnya dengan mie menyebabkan bentuk ini menjadi<br />

menarik dan menghibur.<br />

5.2 Fungsi Informatif dan Menghibur (Infotainment)<br />

Istilah infotainment merupakan istilah dalam <strong>bahasa</strong> Inggris yang menjadi<br />

istilah populer dalam masyarakat sebagai berita ringan yang menghibur atau<br />

informasi hiburan. Infotainment merupakan kependekan dari istilah Inggris<br />

information-entertainment yang lebih dikenal masyarakat berhubungan dengan<br />

acara televisi yang menyajikan berita selebritis dan memiliki ciri khas<br />

penyampaian. Pada penelitian ini istilah infotainment digunakan untuk<br />

menyebutkan fungsi <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB yang berfungsi<br />

sebagai informasi, tetapi dibungkus dengan hiburan. Agar sebuah informasi dapat<br />

diterima dengan baik oleh pendengarnya, dalang WCB menyelipkan <strong>permainan</strong>-<br />

<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang sifatnya menghibur pada dialog-dialog <strong>punakawan</strong> yang<br />

berfungsi informative. Unsur humor atau lelucon diselipkan agar pendengar


105<br />

tertarik dan jika sudah tertarik, otomatis pesan yang sebenarnya ingin<br />

disampaikan dapat diterima.<br />

LMur 8c Tualen : / kelan nanaN Norang b↔b↔dikin cai Nalih baraN<br />

baNka, paN d↔ nyanan k↔n↔ sakit AIDS/ ‘kan ayah bilang<br />

jangan kamu mencari pelacur, agar tidak terkena penyakit<br />

AIDS nanti’<br />

Mredah : /aids e ↔nto / ‘AIDS itu apa?’<br />

Tualen : A,I,D,S<br />

Mredah : A<br />

Tualen : /akibat/ ‘akibat’<br />

Mredah : I<br />

Tualen : /itunya/ 'itunya'<br />

Mredah : D<br />

Tualen : /dimasukkan/ 'dimasukkan'<br />

Mredah : S<br />

Tualen : /S↔mbaraNan jeg aids polon ci nyidaN siN nuluNin ben/<br />

‘ Sembarangan, jeg kena AIDS kamu, tidak bisa ditolong’<br />

Bentuk pelesetan kepanjangan dari singkatan AIDS Aquired Immune<br />

Deficiency Syndrome menjadi ”Akibat Itunya Dimasukkan Sembarangan”<br />

sebenarnya berfungsi informasional yang orientasinya mengarah pada topik<br />

pembicaraan, yakni AIDS. Pemelesetan kepanjangan ini dilakukan <strong>tokoh</strong>-<strong>tokoh</strong><br />

<strong>punakawan</strong> di atas untuk menarik antusias pendengar agar menyimak pelesetan<br />

kepanjangannya yang berbau agak porno ini. Fungsi awal yang ditunjukkan pada<br />

wacana di atas adalah untuk menyampaikan informasi, tetapi dalang melalui<br />

<strong>tokoh</strong> Tualen membuat informasi yang disampaikan tersebut menjadi suatu hal<br />

yang menarik dan kebermaknaannya dapat diperoleh dengan baik dan hati yang<br />

senang oleh pendengarnya dengan menyelipkan lelucon berbau agak porno.<br />

Secara tidak langsung lelucon berbau agak porno ini memiliki fungsi informasi<br />

bagi pendengarnya, yakni pesan yang ingin disampaikan dalang lewat <strong>tokoh</strong>


106<br />

<strong>punakawan</strong>nya bahwa AIDS yang disebarkan oleh virus HIV ini dapat terjadi jika<br />

seseorang sering berganti-ganti pasangan. Hal itu diwakili oleh kata barang<br />

bangka ‘barang tidak berguna’ yang merupakan istilah masyarakat Bali untuk<br />

menyebut pelacur atau wanita yang sering berganti-ganti pasangan. Pengutaraan<br />

<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> di atas menetralkan kesan “sok menasihati” yang mungkin<br />

dirasakan pendengar. Adanya sisipan pelesetan yang sifatnya menghibur ini juga<br />

dapat menghindari rasa tersinggung yang mungkin saja dirasakan pendengar yang<br />

memiliki kasus penyakit AIDS.<br />

Data KN 21 di bawah ini juga menunjukkan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang<br />

berfungsi informatif yang dibungkus dengan bentuk lelucon sebagai<br />

entertainment.<br />

KN21 Cenk : /belajarlah ci tuntut ilmu setiNgi-tiNginya<br />

pikirne s↔bab jaman globalisasi<br />

d↔ dadi ap↔<br />

Blonk<br />

kebutuhan idup s↔makin kompleks / ’belajarlah kamu..<br />

tuntut ilmu setinggi-tingginya, jangan akan jadi apa<br />

dipikirkan, sebab zaman globalisasi kebutuhan hidup<br />

semakin kompleks’<br />

: /o yen butuh idup komplek/ ‘oh.. kalau burung (kelamin<br />

laki-laki) hidup ke komplek?’<br />

Cenk : /otak ci dul / ‘otakmu dul!!’<br />

Bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> pelesetan ideologi di atas pada awalnya merupakan<br />

suatu pesan yang ditangkap pendengar sebagai informasi bahwa “kebutuhan hidup<br />

yang semakin kompleks” pada zaman sekarang ini. Penyelipan bentuk pelesetan<br />

yang hampir sama dengan hipogramnya menjadi ‘butuh idup komplek' dalam<br />

<strong>bahasa</strong> Bali yang bermakna vulgar secara direktif akan memengaruhi perasaan<br />

pendengar menjadi terhibur. Di samping itu, menyebabkan pesan awal yang


107<br />

disampaikan dalang melalui <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong>nya tersebut dapat melekat lebih<br />

lama atau dapat dengan lebih mudah diingat pendengar sebagai suatu informasi.<br />

Data KN 8b berikut ini merupakan informasi yang diperoleh pendengar<br />

bahwa Bali identik dengan kebersamaan. Fungsi informasional diperoleh dari<br />

orientasi pada topik dengan penandaan berupa <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong>. Penggunaan<br />

bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> aliterasi dengan repetisi konsonan /b/ pada awal kata<br />

yang diperlihatkan dengan perbandingan yang terbalik atau berantonim. Informasi<br />

yang diperoleh pendengar Bali identik dengan kehidupan bersama dan banyaknya<br />

penduduk Bali saat ini karena Bali menjadi tempat tujuan wisata ataupun tempat<br />

untuk mencari nafkah. Permainan <strong>bahasa</strong> aliterasi ditunjukkan dengan<br />

menyandingkan kata /bali/ dan /balu/ ‘janda’ yang identik dengan kesendirian<br />

menjadi sebuah humor yang menghibur.<br />

KN 8b<br />

Malen : /bali suka kebersamaan/<br />

Mredah : /bali d↔m↔n idup ajak liu/ ‘Bali suka hidup berbanyak’<br />

Malen : /bali d↔m↔n idup ajak liu/ ‘Bali suka hidup<br />

berbanyak’<br />

Mredah : /yen ub↔ ajak liu/ ‘jika sudah berbanyak?’<br />

Malen : /j↔g bali b↔ to/ ‘Bali itu!’<br />

Mredah : /yen pedidian/ ‘jika sendiri?’<br />

Malen : /balu / ‘janda’<br />

Mredah : /ne k↔l aluhan ken m↔ju / ‘kok gampang seperti itu’<br />

5.3 Fungsi Mendidik dan Menghibur (Edutainment)


108<br />

Fungsi menghibur dan mendidik di sini disamakan dengan istilah<br />

edutainment. Edutainment juga merupakan istilah yang sedang populer digunakan<br />

pada acara pertelevisian saat ini untuk menyebut program acara untuk anak-anak<br />

yaitu sejenis film yang mendidik, sebut saja salah satunya Dora dan Kawan-<br />

Kawan yang merupakan kartun yang berisi pelajaran bagi anak-anak usia dini<br />

dalam berhitung, bernyanyi, pengenalan warna, dan lain-lain. Edutainment<br />

merupakan penggabungan dua istilah dalam <strong>bahasa</strong> Inggris, yaitu education dan<br />

entertainment. Arti education sendiri adalah pendidikan, sedangkan entertainment<br />

berarti hiburan. Istilah edutainment memiliki arti bahwa adanya proses dalam<br />

pendidikan itu menjadi hiburan dan adanya hiburan itu akan menjadikan nilai<br />

pendidikan.<br />

Seni pe<strong>wayang</strong>an sangat erat dengan ajaran dan filsafat kehidupan. Dalam<br />

WCB banyak nilai normatif yang disajikan dalam dialog-dialog setiap lakonnya.<br />

Tokoh <strong>punakawan</strong> yang memiliki konvensi ber<strong>bahasa</strong> bebas dimanfaatkan para<br />

dalang dalam mentransmisikan nilai-nilai mendidik, baik dengan anjuran, ajakan,<br />

suruhan, pengarahan, pembiasaan, maupun pemberian contoh yang harus dijauhi<br />

dengan menggunakan <strong>bahasa</strong> yang lugas. Dalang WCB dapat dengan baik<br />

mentransmisikan nilai-nilai mendidik dan keteladanan tersebut terutama dengan<br />

menggunakan <strong>permainan</strong>-<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang menghibur pada <strong>tokoh</strong><br />

<strong>punakawan</strong>. Hal ini dilakukan agar terdidik, yakni pendengar tidak merasa<br />

terbebani.<br />

Leech (1977: 48) menyatakan fungsi direktif <strong>bahasa</strong> akan tampak jelas<br />

pada permohonan dan suruhan. Permainan <strong>bahasa</strong> dapat diaplikasikan di dalam


109<br />

mengungkapkan permohonan atau menyuruh seseorang untuk menghasilkan efek-<br />

efek tertentu. Topik dalam kalimat yang berfungsi direktif memberikan tekanan<br />

pada sisi penerima, maksudnya ujaran tersebut ditujukan kepada penerima hingga<br />

terpengaruh perasaannya dan melakukan sesuatu setelah mendengarnya. Dua<br />

konsep menghibur dan mendidik di sini tampaknya sama-sama menggunakan<br />

<strong>bahasa</strong> dengan fungsi direktif seperti yang disebutkan Leech (1977) karena pada<br />

prinsipnya kedua hal yang digabungkan tersebut sama-sama berorientasi kepada<br />

pendengarnya. Data DRT 3, DRT 9a dan BM 3j berikut ini merupakan beberapa<br />

contoh yang menunjukkan fungsi <strong>bahasa</strong> direktif yang penggunaannya sebagai<br />

pengarahan.<br />

menghibur.<br />

Data DRT 2 berikut ini dapat ditangkap pendengar sebagai anjuran yang<br />

(25 :60)<br />

DRT 2 Tualen : /το δαϕαν υμαηε, bilaN wai y↔ Namah narkoba<br />

sit↔N j↔ y↔ / ‘itu yang di sebelah utara rumah, setiap<br />

hari dia makan narkoba, kuat dia’<br />

Mredah : /narkoba/ ‘Narkoba?’<br />

Tualen : /a↔ nasi rawon koah bakso/ ‘iya, Nasi Rawon Kuah Bakso’<br />

Contoh di atas tampak seperti sebuah informasi baru bahwa ada narkoba yang bisa<br />

membuat orang siteng ‘sehat’. Akan tetapi, sebenarnya pesan yang<br />

ditransformasikan <strong>tokoh</strong> Tualen ini merupakan suruhan. Secara implisit <strong>tokoh</strong><br />

Tualen ingin menunjukkan contoh bahwa ada sesuatu yang disebutnya juga<br />

narkoba (seperti imajeri masyarakat terhadap kesan negatif narkoba: narkotika<br />

dan obat-obatan terlarang). Namun, narkoba yang disebutkan untuk kesehatan<br />

dan rasanya lebih enak daripada NarKOtik dan oBAt-obatan terlarang adalah<br />

NAsi Rawon KOah BAkso. Dengan memelesetkan kepanjangan akronim narkoba


110<br />

menjadi NAsi Rawon Koah Bakso <strong>tokoh</strong> Tualen secara tidak langsung mengajak<br />

pendengar untuk menjauhi narkoba (narkotik dan obat-obatan terlarang) dan<br />

menganjurkan mengonsumsi narkoba (nasi rawon koah bakso) yang lebih<br />

menyehatkan.<br />

Data SI 1 berikut ini juga sejenis dengan data DRT 2. Dengan<br />

menggunakan bentuk pelesetan kepanjangan akronim, <strong>tokoh</strong> Tualen<br />

mengembangkan imajeri penonton akan hubungan yang biasanya dianggap<br />

mendasar antara uang (duit) dengan upacara yadnya di Bali. Konseptual yang<br />

dimiliki kebanyakan masyarakat terhadap keperluan yadnya yang memerlukan<br />

dana yang banyak dikaburkan <strong>tokoh</strong> Tualen yang berusaha mengubah mainset<br />

masyarakat terhadap uang (duit) yang banyak menjadi tolok ukur untuk sebuah<br />

yadnya menjadi suatu pemikiran yang salah.<br />

SI 1 Mredah : /ap↔ dasar yadny↔ e/ ‘apa yang mendasari yadnya?’<br />

Tualen : ‘DUIT’<br />

Mredah : /ap↔ / ‘apa?’<br />

Tualen : ‘DUIT’<br />

Mredah : DUIT e to ? ‘duit itu?’<br />

Tualen : ‘D, U, I, T<br />

Mredah : D ?<br />

Tualen : /doa, s↔tata stiti bakti riN ida sang yang<br />

widi m↔dasar b↔n p↔pin↔h ane suci nirmal↔/ ‘Doa.<br />

Berbakti pada Ida Sang Hyang Widhi berdasar pikiran yang<br />

suci’<br />

Mredah : /doa / ‘doa?’<br />

Tualen : /doa/ ’doa’<br />

Mredah : ‘U?’<br />

Tualen : /utsah↔, N↔l↔mah lan m↔bakti k↔ pur↔,<br />

pul↔s Nanti di pur↔ siN mulih-mulih ulian m↔bakti,<br />

nunas ica paN nyak sugih,<br />

yen siN titinan b↔n ny↔mak gae siN<br />

m↔gl↔buk pise uluN uli laNit tuluN / ‘Usaha. Seharian<br />

sembahyang ke pura, sampai tidur di pura tidak pulang-


111<br />

pulang karena sembahyang, minta agar kaya jika tidak<br />

bekerja dengan keras, tidak akan jatuh uang dari langit’<br />

Mredah : /dasarne / ‘dasarnya?’<br />

Tualen : /utsah↔ to dasarne / ‘usaha, itu dasarnya<br />

Mredah : I ?<br />

Tualen : /inisiatif,<br />

d↔ timpale kanti nunden i rag↔ m↔yadny↔ irag↔<br />

p↔didi N↔lah kit↔ e yadnya e / ‘Inisiatif. Jangan sampai<br />

orang lain menyuruh kita ber-yadnya, harus kita sendiri yang<br />

memiliki keinginan’<br />

Mredah : T ?<br />

Tualen : /t↔kun/ ‘Tekun’<br />

Saat mendengar dasar yadnya adalah duit, terdengar tawa penonton pada<br />

rekaman pertunjukan WCB berjudul Suryawati Ilang ini. Hal tersebut<br />

menggambarkan bahwa celotehan <strong>tokoh</strong> Tualen ini dirasakan benar dan disetujui<br />

oleh penonton. Rasa antusias masyarakat untuk mendengar kelanjutan dialog<br />

<strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> ini semakin meningkat karena dalam benaknya pasti setelah itu<br />

banyak humor yang sifatnya menyindir akan disebutkan apalagi <strong>tokoh</strong> Mredah<br />

menyebut huruf “D” yang menjadi karakteristik keinovatifan WCB dalam<br />

membuat pelesetan kepanjangan singkatan dengan bersahut-sahutan antar<strong>tokoh</strong><br />

dalam menyebut huruf penyusun dan kepanjangannya yang dianggap lucu,<br />

menarik, dan mengena dalam konteks kehidupan. Namun, memanfaatkan rasa<br />

terhibur masyarakat ini <strong>tokoh</strong> Tualen ternyata menyebutkan kepanjangan akronim<br />

duit menjadi Doa, Utsaha, Inisiatif, dan Tekun dengan penjelasannya mendidik<br />

untuk memengaruhi atau membuat mainset masyarakat akan perlunya duit yang<br />

banyak untuk yadnya memudar. Dengan menyebut kepanjangan kata yang<br />

dianggap akronim DUIT <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> ini berusaha menyadarkan pendengar<br />

bahwa hal yang paling penting yang mendasari yadnya itu bukanlah sekadar uang<br />

(duit), melainkan doa, utsaha, inisiatif, dan ketekunan.


112<br />

Data DRT 9a dan KN 3 berikut ini merupakan anjuran, arahan yang<br />

diformulasikan dalam dialog <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> sebagai nilai-nilai keteladanan<br />

dengan menggunakan hiburan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> berbentuk kias, yakni simile dan<br />

metafora.<br />

(49 : 52)<br />

DRT 9a Tualen : /kelan d↔ iju-iju nigtig taNkah N↔raosaN awak paliN jujur<br />

NraosaN awak paliN suci brut asal baNke meN<br />

gen bon ↔ntute nu j↔le m↔lahe m↔kilit di awake. brut<br />

asal c↔nan↔ bon ↔ntute ne mirib tamp↔tin to / ‘jangan<br />

buru-buru memukul dada, menyebut diri paling jujur,<br />

menyebut diri paling suci, bruuut…. Asal bangkai kucing<br />

masih bau kentutmu berarti baik buruk masih melilit di<br />

tubuh. Bruut asal berbau cendana kentutmu, ini mungkin bisa<br />

disimpan itu’<br />

KN3 Sangut : /car↔ pane misi yeh, dij↔ j↔ yehe misi yeh ↔niN ditu bulanne<br />

m↔lawat yen pane misi yeh pu↔k sinah bulan siN m↔lawat.<br />

ida saN yang widi m↔rag↔ suci lan p↔pin↔h suci aNgon<br />

Nalih l↔m! aNgane Nalih kitiran d↔ m↔pik↔t NaNgon guak<br />

m↔laib kitirne l↔m/<br />

‘seperti periuk tanah yang berisi air, di mana air yang bersih di<br />

situ bayangan bulan akan tampak, jika periuk tanah berisi air<br />

kotor bayangan bulan tidak akan tampak. Ida Sang Hyang Widhi<br />

itu suci, jadi pikiran yang suci digunakan untuk mencarinya Lem!<br />

Jika ingin mencari burung perkutut, jangan menjerat dengan<br />

kucing hitam, lari nanti burung perkututnya Lem’.<br />

Pada data DRT 9a tampak fungsi direktif pada kata /d↔ iju-iju nigtig taNkah/<br />

‘jangan buru-buru memukul dada’. Fungsi direktif yang bermaksud untuk<br />

melarang ada pada kata /d↔/ yang identik dengan suruhan atau ciri pada kalimat<br />

imperatif dan “memukul dada” yang mengasosiasikan perilaku sombong karena<br />

setiap manusia pasti mempunyai kekurangan atau kelemahan yang diasosiasikan<br />

dengan metafora asal baNke meN gen bon ↔ntute nu j↔le m↔lahe m↔kilit


113<br />

di awake. ‘asal masih berbau kentutmu berarti baik buruk itu masih melilit<br />

ditubuhmu’. Penggunaan lelucon “bruut” yang menandakan bunyi kentut<br />

kemudian dilanjutkan dengan bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dengan metafora<br />

menghasilkan wejangan yang terbungkus dengan efek-efek menghibur. Hal yang<br />

sama juga terjadi pada data KN 3 yang dalam wacana-wacananya mengandung<br />

unsur didikan moral dan religius dengan menggunakan kreativitas gaya ber<strong>bahasa</strong><br />

/aNgane Nalih kitiran d↔ m↔pik↔t NaNgon guak m↔laib kitirne l↔m/ ‘jika<br />

ingin mencari burung perkutut, jangan menjerat dengan burung gagak hitam, lari<br />

nanti burung perkututnya Lem!’. Penggunaan asosiasi guak dan kitiran yang<br />

memiliki kesan tertentu bagi masyarakat Bali hingga membuat penontonnya<br />

tertawa karena imajeri yang dibangkitkan <strong>tokoh</strong> Sangut menjadikan wacana yang<br />

berfungsi mengimbau ini menjadi terasa segar dan menarik.<br />

5.4 Fungsi Pengembangan Kreativitas Ber<strong>bahasa</strong> Bali<br />

Permainan-<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB banyak menunjukkan<br />

kreativitas ber<strong>bahasa</strong> Bali yang berperan dalam pelestarian <strong>bahasa</strong> dan budaya.<br />

Walau banyak mendapat variasi kode dari <strong>bahasa</strong> Indonesia dan <strong>bahasa</strong> Inggris<br />

dengan menggunakan kata-kata atau pilihan kata yang banyak bersifat kekinian,<br />

banyak juga <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong>nya membangkitkan imajeri masyarakat terhadap<br />

leksikal-laksikal yang belum dikenal. Dalam <strong>permainan</strong>-<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong><br />

<strong>punakawan</strong> WCB masih banyak juga kata yang mungkin jarang digunakan<br />

masyarakat saat ini karena jarang atau tidak pernah sama sekali mengetahui hal<br />

tersebut. Dengan memformulasikan dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong>nya yang bersifat


114<br />

melucu <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> memperkenalkan leksikal-leksikal tersebut dengan cara-<br />

cara kreatif.<br />

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:739) disebutkan kreativitas<br />

memiliki pengertian (1) Kemampuan untuk mencipta; daya cipta; (2) perihal<br />

berkreasi; kekreatifan. Sesuai dengan fungsinya sebagai pengembangan<br />

kreativitas ber<strong>bahasa</strong> Bali, <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> pada <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong><br />

menunjukkan suatu perihal berkreasi, yakni mengkreasikan bentuk-bentuk yang<br />

sudah ada dengan pembaruan yang bersifat inovatif. Permainan <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong><br />

<strong>punakawan</strong> WCB banyak menunjukkan pengembangan kreativitas ber<strong>bahasa</strong> Bali<br />

dengan menggunakan bentuk bladbadan.<br />

Saat ini bladbadan sangat jarang digunakan dalam komunikasi masyarakat<br />

Bali padahal dahulu bladbadan menjadi istilah yang sering digunakan masyarakat<br />

untuk merujuk sesuatu atau memelesetkan acuan yang dimaksud dengan sinonim<br />

bladbadan tersebut. Bentuk bladbadan dan maknanya bersifat konvensional.<br />

Misalnya, madon jaka ‘berdaun enau’ yang bersinonim dengan ron, yaitu nama<br />

daun jaka (enau) dengan memulurkan bunyinya, memberi awalan –ma dan<br />

akhiran –an menjadi makaronan kemudian diasosiasikan bunyinya dengan<br />

makurenan ‘bersuami-istri’. Bladbadan majempong bebek ‘bermahkota bebek’<br />

yang bersinonim dengan jambul dan diasosiasikan dengan bentuk ngambul<br />

‘merajuk’. Bladbadan-bladbadan seperti itu diperoleh masyarakat pada pelajaran<br />

<strong>bahasa</strong> daerah Bali saat duduk di bangku SD dengan cara menghafal. Bladbadan-<br />

bladbadan ini akan tetap memiliki bentuk yang sama dengan arti yang sama<br />

karena dianggap sebagai paribasa <strong>bahasa</strong> Bali.


115<br />

Dengan memanfaatkan pengetahuan masyarakat Bali akan bentuk-bentuk<br />

bladbadan konvensional yang dikenal turun-temurun tersebutlah dalang WCB<br />

berkreasi menghasilkan istilah-istilah seperti bladbadan ini pada <strong>permainan</strong><br />

<strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong>nya.<br />

SAB 11a Sangut : /kupiN duaN sen t↔Nah / ’ telinga dua setengah sen’<br />

Delem : /eNken / ‘bagaimana?’<br />

Sangut : /beNol / ‘bengol: dua setengah sen’<br />

Contoh SAB 11a di atas menunjukkan kreativitas ber<strong>bahasa</strong> Bali dengan<br />

menggunakan bladbadan yang dibuat sendiri oleh dalang WCB. Dengan<br />

menyebut bladbadan kuping duang sen tengah <strong>tokoh</strong> Sangut ingin menyatakan<br />

bahwa Delem bongol ‘tuli’. Duang sen tengah ‘dua setengah sen’ yang<br />

bersinonim dengan bengol dalam <strong>bahasa</strong> Bali diasosiasikan dengan bentuk bongol<br />

karena kemiripan bunyi. Namun, bentuk sinonim duang sen tengah itu langsung<br />

disebut <strong>tokoh</strong> Sangut (tidak seperti bagaimana biasanya dengan menyebutkan<br />

sinonim yang sudah mengalami pemuluran bunyi) agar pendengar bisa<br />

membandingkannya dengan bentuk tandingannya. Dalang pasti telah menyadari<br />

istilah bengol untuk menyebut nominal uang dua setengah sen sudah tidak biasa di<br />

dengar masyarakat saat ini terutama kaum remaja. Hal itu terjadi karena uang<br />

dalam satuan nilai ini sudah tidak ada pada zaman sekarang. Kemaknaan<br />

bladbadan akan segera ditangkap imajeri mayarakat saat <strong>tokoh</strong> Sangut menyebut<br />

bentuk sinonimnya dan bila dikaitkan dengan telinga pastilah bentuk yang<br />

dimaksud adalah bongol.<br />

Kekreatifan ber<strong>bahasa</strong> pada <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> ini juga dapat menambah<br />

pembendaharaan <strong>bahasa</strong> Bali masyarakat. Secara tidak langsung masyarakat akan


116<br />

mengetahui bentuk leksikal <strong>bahasa</strong> Bali pada zaman dahulu yang mungkin baru<br />

diketahuinya dengan mendengar <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB.<br />

Permainan <strong>bahasa</strong> dengan menggunakan bladbadan pada data SAB 6b di<br />

bawah ini juga menunjukkan pengembangan kreativitas <strong>bahasa</strong> Bali. Dalang<br />

menyusun dan mengembangkan bladbadan pada <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong>nya untuk<br />

menyebut kata Sprite yang merupakan salah satu label minuman yang dikenal<br />

masyarakat umum ini. Penggunaan istilah akedis petingan poleng dalam<br />

menyebut jenis minumaan Sprite yang diminum <strong>tokoh</strong> Delem. Istilah yang<br />

dianggap bladbadan akedis petingan poleng bersinonim atau mengacu pada nama<br />

burung Perit /prit/ yang diasosiasikan dengan Sprite yang dilafalkan /s↔prit/<br />

setelah mengalami pemuluran bunyi. Kreativitas ini dapat membangkitkan imajeri<br />

masyarakat terhadap istilah yang dibuat seperti bladbadan ini dan tersedia<br />

peluang masyarakat akan menggunakannya dalam interaksi sosial. Istilah ini dapat<br />

memperkaya bladbadan yang dikenal masyarakat Bali.<br />

(16:38) Sangut : /ap↔ air minum ne / ‘apa air minumnya?’<br />

SAB 6b Delem : /ak↔dis p↔tiNan poleN / ‘burung pipit berwarna hitam<br />

putih’<br />

Sangut : /ap↔ to / ‘apa itu?’<br />

SAB 6c Delem : /↔ s↔mprit / ‘ee.. Semprit’<br />

Sangut : /s↔prit / ‘Sprite!’<br />

Delem : /α↔ α↔ s↔prit / ’ya... ya... Sprite’<br />

Masih sangat banyak istilah yang dianggap sebagai bladbadan berfungsi<br />

sebagai pengembangan kreativitas ber<strong>bahasa</strong> Bali yang disebutkan dalam<br />

<strong>permainan</strong>-<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB. Beberapa di antaranya<br />

adalah gigi keliling kota yang bersinonim dengan /pawai/ kemudian diasosiasikan


117<br />

dengan /pawah/ ‘ompong’, bok suba airport Ngurah Rai yang bersinonim dengan<br />

Tuban kemudian diasosiasikan dengan uban ‘rambut yang memutih’, bayu suba<br />

cara bojog tua yang bersinonim dengan <strong>bahasa</strong> Indonesia kera yang dibunyikan<br />

seperti pelafalan <strong>bahasa</strong> Bali /k↔r↔/, dan sebagainya. Kreativitas ber<strong>bahasa</strong> ini<br />

tentunya berdampak sangat baik terhadap pengembangan dan kebertahanan<br />

<strong>bahasa</strong> Bali. Masyarakat akan lebih tertarik menggunakan istilah-istilah berbentuk<br />

bladbadan yang kreatif ini kerena pemilihan leksikalnya sesuai dengan imajeri<br />

masyarakat saat ini. Dengan meggunakan bladbadan-bladbadan baru ini<br />

setidaknya dapat membangkitkan budaya ber<strong>bahasa</strong> menggunakan bladbadan di<br />

tengah masyarkat yang modern.<br />

5.5 Fungsi Kritik Sosial<br />

Kwant (1975: 4) menyebutkan bahwa kritik adalah sesuatu yang bernilai<br />

besar bahkan merupakan salah satu nilai eksistensi kemanusiaan dan merupakan<br />

sumber dari segala kemajuan. Sasaran kritik adalah kenyataan yang dihadapi.<br />

Dengan demikian, kritik akan muncul jika seseorang menyadari kenyataan yang<br />

dihadapinya tidak sesuai dengan yang seharusnya. Kritik adalah penilaian atas<br />

kenyataan yang dihadapi seseorang dalam sorotan norma.<br />

Permainan <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB banyak mengandung fungsi<br />

kritikan terhadap kenyataan yang ada dan berkembang di masyarakat. Fenomena<br />

ketimpangan yang terjadi di masyarakat yang berhasil diamati dan “direkam” oleh<br />

dalang WCB disosialisasikan kembali dalam nuansa kritik pada <strong>tokoh</strong><br />

<strong>punakawan</strong>nya yang menjelmakan rakyat biasa yang derajatnya sama dengan


118<br />

masyarakat. Fungsi <strong>bahasa</strong> ekspresif, informasional, dan direktif akan<br />

berkombinasi di dalam pengungkapan kritik. Fungsi ekspresif akan ditunjukkan<br />

dari cara penutur mengungkapkan kritikannya yang menggambarkan perasaan<br />

ketidakpuasan terhadap sesuatu. Fungsi <strong>bahasa</strong> informasional akan tampak pada<br />

orientasi topik pembicaraan, yakni akan ada informasi yang diperoleh pendengar<br />

saat penutur melakukan kritikannya, sedangkan fungsi direktif <strong>bahasa</strong> digunakan<br />

untuk memengaruhi perasaan petutur. Data LMur 3 berikut ini adalah <strong>permainan</strong><br />

<strong>bahasa</strong> metafora yang ada pada dialog <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB sebagai kritikan<br />

terhadap kenyataan yang biasa terjadi dalam masyarakat.<br />

(58 :39)<br />

Mredah : /ap↔ dasarne to naN/ ‘apa dasarnya itu Yah?’<br />

Tualen : /pis/ ‘uang’<br />

Mredah : /ap↔/ ‘apa?’<br />

Tualen : /pis ci nyak dadi p↔mimpin siN maan pis<br />

kursi gen baaNne<br />

ap↔ buin car↔ jani e gumine gumi laNse/<br />

‘uang! Kamu mau jadi pemimpin tidak dapat uang, kursi<br />

saja diberi? Apalagi seperti sekarang ini zaman langsai<br />

(tirai kain)’<br />

LMur 3 Mredah : /gumi laNse to/ ‘zaman tirai kain itu apa?<br />

Tualen : /asal l↔bian pisne galir kerek ne keto / ‘asal uangnya<br />

lebih banyak maka akan galir (lancar) kereknya begitu…’<br />

Mredah : /asal b↔dikan / ‘jika sedikit?’<br />

Tualen : /s↔k↔tan/ ‘macet-macetan’<br />

Kata langse dalam konteks gumi langse ‘zaman tirai kain’ merupakan<br />

bentuk metafora yang menyandingkan dengan keadaan atau zaman ini. Langse<br />

adalah semacam tirai yang terbuat dari kain, bagian atasnya dirajut dengan benang<br />

atau tali yang melintas sejumlah uang kepeng dan selalu berpasangan sehingga


119<br />

untuk membukanya langse bisa ditarik ke kanan atau ke kiri. Tirai ini biasanya<br />

digunakan sebagai pembatas panggung dalam pertunjukan teater tradisional Bali<br />

seperti pada arja, topeng, dan sebagainya. Kata langse tersebut merupakan simbol<br />

kritik dan protes terhadap fenomena sosiokultural yang sedang marak terjadi<br />

dalam masyarakat. Uang adalah alat jitu yang biasa digunakan sebagai ukuran<br />

lancar tidaknya penyelesaian masalah. Jika jumlah uang banyak, maka segala<br />

sesuatu yang berurusan dengan lembaga-lembaga tertentu akan dengan mudah<br />

terselesaikan dan jika uangnya sedikit, maka penyelesaiannya akan lebih lambat.<br />

Hal tersebut diumpamakan bagai langse yang jika rajutan bagian atasnya banyak<br />

terdiri atas uang kepeng, maka ketika dibuka akan lebih galir atau lancar dibuka.<br />

Namun, jika uang kepengnya sedikit biasanya akan lebih keras atau kurang lancar<br />

dibuka. Dalang WCB melalui <strong>tokoh</strong>-<strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong>nya mengkritik tanpa<br />

membabi buta, tetapi dengan memilih <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> perumpamaan yang tepat<br />

kritikan-kritikannya dapat dengan lugas diungkapkan dan diterima masyarakat.<br />

Data LM 1a, 1b, 1c, dan KN 22 di bawah ini merupakan kritikan sosial<br />

terhadap keadaan hukum yang terjadi di masyarakat saat ini.<br />

41:53<br />

LM 1a Tualen :<br />

/tuwah j↔ jani hukum s↔tat↔ nagih rabuk m↔n siN maan<br />

LM<br />

1b rabuk t↔lah hukume siN nyak mokoh Nl↔<br />

mah hukume nagih<br />

LM 1c rabuk TSP /<br />

TSP : tombok suwap p↔licin / ‘ya memang sekarang hukum<br />

sering minta dipupuk, jika tidak mendapatkan pupuk,<br />

hukum tidak akan gendut. Sering kali hukum minta rabuk<br />

TSP. TSP: Tombok, Suap, Pelicin’


120<br />

Kata rabuk ‘pupuk’ di atas merupakan simbol kritikan terhadap hukum yang<br />

terjadi saat ini yang memerlukan “dipupuk” agar “gemuk”. Metafora ini<br />

menganalogikan pupuk dengan sesuatu yang harus diberikan pada penegak<br />

hukum jika sedang mengalami kasus, baik dalam hukum maupun persidangan.<br />

Sesuatu yang diberikan ini diumpamakan bagai pupuk yang dapat mempercepat<br />

tumbuhnya tanaman. Pupuk yang dimaksud disebutkan dengan bentuk pelesetan<br />

kepanjangan singkatan TSP (Tri Sulfur Phospat) menjadi “Tombok, Suap,<br />

Pelicin”. Saat ini hukum diibaratkan bagai tanaman yang perlu dipupuk agar<br />

jalannya lancar seperti pertumbuhan tanaman yang lancar tanpa kekurangan sari-<br />

sari makanan dari pupuknya.<br />

Data KN 22 berikut ini juga merupakan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> berbentuk<br />

perumpamaan yang berfungsi sebagai kritik sosial terhadap perilaku hukum saat<br />

ini.<br />

KN 22<br />

Cenk : /kadaN kala hukume to car↔ sau car↔ p↔ncar/ ‘kadang kala hukum itu<br />

seperti jala’<br />

Blonk : /ngudiaN keto / ‘kenapa seperti itu?’<br />

Cenk : /nyalian nagih k↔t↔s t↔k↔ juk↔ jak p↔ncare juk↔<br />

ken sau e be ulam agung t↔k↔ uwug p↔ncare uwug sawu e/ ‘ikan<br />

kecil-kecil yang akan lepas tertangkap juga oleh jala, ikan yang besar<br />

datang, rusak jalanya’<br />

Blonk : /oh keto/ ‘oh begitu’<br />

Fungsi <strong>bahasa</strong> ekspresif tampak pada cara penutur yang diperankan oleh<br />

Cenk dengan pengungkapan sau atau pencar ‘jala’. Dengan menganalogikan<br />

hukum dengan jala memperlihatkan perasaan penutur akan ketidakpuasan<br />

terhadap kenyataan yang terjadi. Hukum disebut bagai jala karena kenyataan yang


121<br />

sering terjadi dalam hukum bahwa seseorang yang berkelas sosial rendah atau<br />

miskin jika memiliki kasus di pengadilan, pasti akan segera dihukum dengan<br />

mudah. Walau kesalahannya kecil, pasti bisa ditangkap dengan mudah seperti jala<br />

yang menangkap be nyalian ‘ikan kecil-kecil’. Akan tetapi, jika seseorang<br />

berkelas sosial tinggi, mempunyai wewenang, dan kaya yang disimbolkan dengan<br />

ulam agung ‘ikan besar’, hukuman seakan-akan sangat sulit untuk menjeratnya.<br />

Bahkan, bisa rusak akibat kewenangan dan sogokan yang tinggi. Fungsi <strong>bahasa</strong><br />

direktif mengambil bagian pada <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> untuk mengkritik. Hal itu<br />

terjadi karena dengan kritikan tersebut diharapkan agar pihak yang merasakan<br />

atau dikritik akan terpengaruh perasaannya dan menjadi sadar.


BAB VI<br />

MAKNA PERMAINAN BAHASA<br />

TOKOH PUNAKAWAN WAYANG CENK-BLONK<br />

DAN IMAJERI MASYARAKAT BALI<br />

122<br />

Permainan <strong>bahasa</strong> yang bersifat semiotika merupakan usaha untuk<br />

menganalisis suatu sistem tanda berdasarkan budaya dan keadaan sosial<br />

masyarakat yang menentukan bentuk-bentuk <strong>permainan</strong> apa yang memungkinkan<br />

<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> tersebut mempunyai makna. Dalam konteks linguistik<br />

kebudayaan, <strong>bahasa</strong> adalah susunan makna yang berhubungan secara khusus<br />

dengan konteks situasi tertentu yang disebut register (Halliday dan Ruqaiya<br />

Hasan, 1994:53). Berkaitan dengan konteks situasi, linguistik kebudayaan dapat<br />

mengkaji referen-referen atau tanda-tanda yang digunakan dalam menyampaikan<br />

<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> seperti dalam jenis metafora dan sebagainya. Secara semiotik<br />

kebudayaan itu merupakan reaksi dari competence yang dimiliki bersama oleh<br />

anggota suatu masyarakat untuk mengenal lambang-lambang,<br />

menginterpretasikan, dan menghasilkan sesuatu. Perkembangan zaman akan<br />

memengaruhi penggunaan sistem tanda dalam menyampaikan makna tertentu.<br />

Teori semiotik sosial—yakni pemaknaan yang diperoleh dari sistem tanda yang<br />

terbentuk karena faktor sosial dan budaya masyarakat— diarahkan untuk


123<br />

memahami dan menafsirkan nilai-nilai makna sosial yang terkandung dalam<br />

kebudayaan.<br />

Halliday dan Ruqaiya Hasan (1994: 34) menyebutkan bahwa makna dalam<br />

sebuah ujaran yang berupa kalimat atau wacana akan terdiri atas makna<br />

pengalaman, makna antarpelibat, makna logis, dan makna tekstual yang terjalin<br />

bersama-sama dalam satu struktur. Pengalaman seseorang akan menyebabkannya<br />

dapat mengutarakan dan memahami sesuatu. Makna pengalaman ini erat<br />

kaitannya dengan imajeri.<br />

Dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> punakwan WCB terkandung filosofi<br />

budaya Bali sejak dahulu hingga pergeseran atau perkembangan budaya yang<br />

terjadi saat ini. Permainan-<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang diujarkan <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong><br />

WCB tentu bermaksud untuk menyampaikan makna-makna tertentu yang secara<br />

tidak langsung menunjukkan imajeri budaya masyarakat Bali. Di dalam<br />

menentukan maksud atau makna dari <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> ini digunakan makna-<br />

makna menurut Halliday (1994) –pengalaman, antarpelibat, logis, dan tekstual –<br />

dalam menganalisisnya.<br />

6.1 Makna Permainan Bahasa Tokoh Punakawan WCB<br />

Pada <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB yang dikumpulkan<br />

diperoleh beberapa makna yang mengandung nilai-nilai sosial. Nilai-nilai makna<br />

yang dimaksud adalah kerendahan hati, menghormati seseorang yang berkelas<br />

sosial lebih tinggi, Tuhan Mahasuci sehingga diperlukan pemikiran dan perbuatan<br />

suci untuk mendekatkan diri dengan-Nya, perlunya ber-yadnya, pemimpin adalah


124<br />

pelindung rakyat, menjauhi sesuatu yang menyebabkan kemabukan, pelestarian<br />

<strong>bahasa</strong> daerah, dan keadaan hukum yang buruk.<br />

6.1.1 Makna Kerendahan Hati<br />

Beberapa bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB memiliki<br />

makna yang menunjukkan kerendahan hati, seperti pada data DRT 9 dan LM 20<br />

berikut.<br />

DRT 9a Tualen : /kelan d↔ iju-iju nigtig taNkah,<br />

NraosaN awak paliN jujur,<br />

NeraosaN awak paliN suci brut asal baNke meN gen bon<br />

↔ntute nu j↔le m↔lahe m↔kilit di awake./<br />

‘jangan terburu-buru menepuk dada, menyebut diri paling<br />

jujur, menyebut diri paling suci. Bruuut… asal masih<br />

bangkai kucing bau kentutmu, baik buruk masih ada pada<br />

ragamu’<br />

Permainan <strong>bahasa</strong> jenis metafora nigtig taNkah ‘menepuk dada’ dan<br />

bangke meN gen bon ↔ntute 'bangkai kucing bau kentutmu' merupakan<br />

ungkapan proses atau tindakan dan keadaan yang menampilkan makna<br />

pengalaman karena merupakan gambaran dari fenomena gabungan dalam dunia<br />

nyata. Kalimat tersebut diungkapkan karena pengalaman atau imajeri yang<br />

dimiliki penutur dan lawan tutur. Menepuk dada merupakan sistem penandaan<br />

yang dalam imajeri masyarakat adalah suatu tindakan seseorang untuk<br />

menunjukkan dirinya benar atau hebat. Frasa bangke meN gen bon ↔ntute<br />

‘bangkai kucing bau kentutmu’ mengantarkan imajeri pendengar pada kebusukan<br />

yang dihasilkan dari makna logis. Dari pengalaman penutur ataupun pendengar<br />

terhadap sistem tanda ‘bangkai kucing’ yang berbau busuk dianalogikan secara<br />

logika dengan hal-hal yang buruk atau tidak baik. Kalimat-kalimat <strong>permainan</strong>


125<br />

<strong>bahasa</strong> tersebut juga ditafsirkan sebagai sarana berbuat karena terdapat kata<br />

d↔ 'jangan' yang menyatakan perintah (command). Hal ini menunjukkan adanya<br />

pelibat dalam wacana tersebut, yakni penutur kepada seseorang yang<br />

diperintahnya sehingga makna ini merupakan makna antarpelibat. Dalam makna<br />

pengalaman <strong>bahasa</strong> merupakan cara berpikir, sedangkan dalam makna<br />

antarpelibat <strong>bahasa</strong> merupakan cara bertindak (Halliday dan Ruqaiya Hasan,<br />

1994: 28). Kemudian secara tekstual, intonasi pengucapannya menekankan pada<br />

/d↔ iju-iju nigtig taNkah/ ‘jangan buru-buru menepuk dada’ dan<br />

/nu j↔le m↔lahe m↔kilit di awake./ ‘baik buruk masih ada dalam ragamu’<br />

menunjukkan bahwa wacana ini bermakna suruhan agar pendengar selalu rendah<br />

diri karena dalam diri manusia pasti masih terdapat kekurangan atau kejelekan.<br />

Data berikut ini juga menunjukkan makna kerendahan hati yang<br />

membudaya diturunkan kepada keturunannya dengan wejangan atau nasihat-<br />

nasihat yang diformulasikan dalam bentuk metafora. Pada contoh ini diperlihatkan<br />

<strong>tokoh</strong> Sangut menasihati temannya dengan mengingat kembali kata-kata<br />

‘bapaknya’ terdahulu.<br />

LM20 Sangut : /gus tut d↔ b↔s t↔g↔h n↔gakin awak gus tut<br />

endepin bin dik, dilacur t↔puk uluN j↔g m↔gl↔buk di<br />

paNkuNe ↔luN nyanan di b↔ten<br />

kaNgoaN p↔ endepin bin dik keto bapak caN/<br />

‘Gus Tut, jangan terlalu tinggi menempatkan diri Gus Tut,<br />

rendahkan sedikit, pada saat sial jatuh jeg terpelanting di<br />

jurang, patah-patah nanti di bawah. Cukup rendahkan<br />

posisinya lagi sedikit, begitu bapakku member tahu’<br />

Wacana tersebut memiliki makna lebih luas daripada apa yang tersurat,<br />

yang pada intinya pelibat dalam tuturan sebaiknya berendah hati karena dengan


126<br />

kerendahan hati kita dapat terhindar dari hal-hal yang menyakitkan. Ungkapan ini<br />

menjadi filosofi budaya atau imajeri budaya yang telah ada dan diturunkan dari<br />

nenek moyang masyarakat penuturnya. Hal tersebut tampak pada frasa<br />

/keto bapak caN / 'begitu Bapakku member tahuku’. ’Bapak’ dalam wacana ini<br />

mewakili orang tua atau leluhur terdahulu. Makna wacana ini dapat dimengerti<br />

jika pengalaman antara penutur dan petuturnya akan pangkung sama. Karena<br />

penggunaan kata pangkung sebagai penanda dihasilkan dari gabungan<br />

pengalaman penutur atau imajeri penutur dan lawan tutur. Pangkung ‘jurang’<br />

menjadi penanda pengalaman yang dihasilkan dari pengalaman budaya<br />

masyarakat yang secara logika dianalogikan dengan kesialan.<br />

Penganalogian antara pangkung dengan kesialan ini merupakan cara<br />

berpikir penuturnya yang akrab dengan gambaran pangkung. Seseorang yang<br />

tidak pernah melihat seperti apa pangkung pasti tidak akan menganalogikannya<br />

dengan kesialan. Pangkung ‘jurang’ yang ada dalam imajeri masyarakat Bali<br />

terutama yang tinggal di daerah pedesaan sebagai jurang atau suatu lahan yang<br />

menjorok ke bawah. Pengalaman masyarakat akan pangkung akan<br />

mengembangkan imajeri mereka akan tingginya tebing pangkung dan bila<br />

seseorang sampai terjatuh ke jurang atau pangkung tersebut, pasti akan terluka<br />

atau bisa sampai meninggal (terkesan sebagai suatu kesialan) sehingga imajeri<br />

rasa takut jika sampai terjatuh di pangkung akan dimiliki seseorang yang memiliki<br />

pengalaman dengan tempat ini. Dalam makna antarpelibat, terjadi interaksi<br />

antarpelibat, yakni penutur, lawan tutur dan bapak penutur yang menjadikan<br />

<strong>bahasa</strong> sebagai sarana berbuat. Maksudnya dibuat oleh penutur yang ditujukan


127<br />

kepada pendengar atau petuturnya. Makna antarpelibat ini akan menghasilkan<br />

fungsi apa yang dihasilkan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang diungkapkan penutur, dalam<br />

hal ini memberi informasi dan nasihat.<br />

6.1.2 Makna Menghormati Seseorang yang Berkelas Sosial Lebih Tinggi<br />

Dalam budaya masyarakat Bali yang mengenal sistem kasta, kelas sosial<br />

menjadi batasan yang memengaruhi cara ber<strong>bahasa</strong> dan berperilaku<br />

masyarakatnya. Permainan <strong>bahasa</strong> ini menunjukkan makna seorang bawahan<br />

harus menjunjung dan menghormati atasannya yang tentunya memiliki kelas<br />

sosial lebih tinggi.<br />

DRT 3 Tualen : /iraga dadi par↔kan paN siN N↔laNkahaN karaN di ulu,<br />

maNda t↔n car↔ kupiN N↔liwataN tanduk /<br />

‘kita menjadi bawahan agar tidak melangkahi pekarangan<br />

yang di depan, agar tidak seperti telinga melewati tanduk’<br />

Frasa car↔ kupiN N↔liwataN tanduk ‘telinga melewati tanduk’ hadir karena<br />

pengalaman penutur, yakni gambaran dari fenomena dunia nyata adalah sesuatu<br />

yang aneh jika telinga melewati tanduk karena posisi telinga secara alami berada<br />

di bawah tanduk. Frasa ini menunjukkan makna pengalaman.<br />

Dalam makna logis frasa dalam perumpamaan tersebut secara logika<br />

dimaknai dengan analogi telinga melewati tanduk adalah hal yang aneh atau<br />

sesuatu yang tidak sepantasnya. Secara logis teks di atas bermakna tidak<br />

sepantasnya seorang bawahan (abdi) melangkahi atau mendahului atasannya yang<br />

dianalogikan dengan /karaN di ulu/ 'pekarangan di depan'. Dalam makna<br />

pengalaman pekarangan di depan atau posisi di depan adalah posisi bagi


128<br />

seseorang yang memiliki wewenang atau menjadi pemimpin, yang secara logika<br />

dianalogikan dengan atasan atau seseorang yang memiliki kelas sosial lebih<br />

tinggi. Makna antarpelibat ditunjukkan dari kata iraga 'kita' (kata ganti orang<br />

ketiga) yang menandakan pelibat dalam wacana tersebut adalah penutur dan yang<br />

mendengarkan tuturannya. Jadi, dalam makna antarpelibat ada pelibat-pelibat<br />

tutur yang menyebabkan penutur mengatakan ujarannya. Di samping itu, ada<br />

maksud tertentu yang ingin dicapai penutur dengan mengungkapkan tuturannya.<br />

Dalam hal ini penutur ingin menyampaikan pesan yang dapat sebagai arahan atau<br />

ajakan.<br />

6.1.3 Makna Tuhan adalah Mahasuci sehingga Diperlukan Pemikiran dan<br />

Perbuatan yang Suci untuk Mendekatkan Diri pada-Nya<br />

Dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB banyak ditemukan<br />

wacana yang bermakna religi karena hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari<br />

pertunjukkan <strong>wayang</strong> yang berfungsi selain sebagai tontonan juga sebagai<br />

tuntunan hidup. Tuntunan hidup dapat diperoleh masyarakat sebagai pemeluk<br />

agama dari ajaran agama. Dalam dialog-dialog <strong>tokoh</strong> WCB banyak digunakan<br />

kata Ida Sang Hyang Widhi untuk menyebut Tuhan karena agama Hindu menjadi<br />

agama mayoritas masyarakat Bali.<br />

KN3 Sangut : /car↔ pane misi yeh, dij↔ j↔ yehe misi yeh ↔niN ditu bulanne<br />

m↔lawat yen pane misi yeh pu↔k sinah bulan siN m↔lawat.<br />

ida saN yang widi m↔rag↔ suci lan p↔pin↔h suci aNgon<br />

Nalih l↔m! aNgane Nalih kitiran<br />

d↔ m↔pik↔t NaNgon guak m↔laib kitirne l↔m/


129<br />

‘seperti periuk tanah yang berisi air, di mana air yang bersih di<br />

situ bayangan bulan akan tampak, jika periuk tanah berisi air<br />

kotor, bayangan bulan tidak akan tampak. Ida Sang Hyang Widhi<br />

itu suci, jadi pikiran yang suci digunakan untuk mencarinya Lem!<br />

Jika ingin mencari burung perkutut, jangan menjerat dengan<br />

burung gagak, lari nanti burung perkututnya Lem’.<br />

Wacana di atas secara keseluruhan bermakna bahwa sebagai seorang yang<br />

beragama kita patut untuk berperilaku baik dan memiliki pemikiran yang baik<br />

atau suci karena Tuhan akan melindungi orang-orang yang benar. Kalimat<br />

/dij↔ j↔ yehe misi yeh ↔niN ditu bulanne m↔lawat yen pane misi yeh pu↔k<br />

sinah bulan siN m↔lawat/ ‘di mana air yang bersih di situ bayangan bulan akan<br />

tampak, jika periuk tanah berisi air kotor, bayangan bulan tidak akan tampak’<br />

merupakan suatu keadaan yang diungkapkan penutur karena pengalamannya akan<br />

yeh ening ‘air bersih’ yeh puek ‘air kotor’, bulan, serta pengalaman akan bayangan<br />

bulan yang tampak pada air bersih. Kalimat tersebut merupakan cara berpikirnya<br />

atau dalam hal ini disebut dengan imajeri budayanya, yaitu imajeri yang diperoleh<br />

dari pengalaman budaya. Makna kalimat tersebut dihasilkan berdasarkan<br />

pengalaman penutur.<br />

Makna antarpelibat dapat dengan jelas tampak pada bentuk kalimat suruhan<br />

(command) yang ditandai dengan tanda seru yang berarti, bahwa kalimat tersebut<br />

ditujukan untuk menyuruh seseorang (dalam konteks ini kepada Delem). Makna<br />

logis diperoleh dari perbandingan antara bulan yang disepadankan dengan Tuhan<br />

yang posisinya dianggap di langit atau di atas dan air bersih diidentikkan dengan<br />

pikiran yang bersih atau perbuatan yang bersih. Permainan <strong>bahasa</strong><br />

/aNgane Nalih kitiran d↔ m↔pik↔t NaNgon guak m↔laib kitirne / selain


130<br />

bermakna antarpelibat juga bermakna berdasarkan pengalaman pelibat tuturan,<br />

yakni imajeri masyarakat Bali akan kitiran ‘burung perkutut’ yang dianggap<br />

burung bertuah sehingga digemari masyarakat sebagai burung peliharaan.<br />

Sebaliknya guak ‘burung gagak yang dalam imajeri masyarakat melambangkan<br />

burung yang kotor karena memakan bangkai. Pengalaman masyarakat Bali<br />

terutama di daerah pedesaan mungkin masih dekat dengan burung gagak ini<br />

karena biasa menjadi penanda akan ada seseorang yang meninggal. Kepercayaan<br />

datangnya burung gagak atau bunyi burung gagak menjadi simbol kematian<br />

merupakan kepercayaan yang membudaya dalam masyarakat Bali sehingga secara<br />

logika makna <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> metafora di atas menandakan Tuhan adalah sosok<br />

yang dicari masyarakat karena menjadi penyelamat. Untuk memperolehnya<br />

jangan menggunakan perilaku yang jahat yang dianalogikan dengan guak (gagak<br />

hitam) yang melambangkan hal yang buruk atau kekotoran.<br />

Data KL 6 juga bermakna kepercayaan bahwa Tuhan itu suci sehingga<br />

umatnya pun harus berperilaku suci atau baik untuk dekat dengan-Nya. Data KL 6<br />

merupakan sindiran yang diungkapkan dengan bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dalam<br />

jenis metafora yang pada intinya bermakna suruhan.<br />

KL 6 Sangut : /aduh suwud m↔tirt↔ yatr↔ kur↔n timpale silih↔ to<br />

adanne m↔agama nuut k↔bo k↔bo ne manjus di tukade<br />

m↔sil↔man di pasih k↔das, b↔ k↔das biin m↔nekan k↔<br />

buke. to siN pocol y↔/ ‘aduh.. selesai ber-tirta yatra istri teman<br />

diselingkuhi, itu namanya beragama meniru kerbau. Kerbau<br />

mandi di sungai, berendam di laut bersih, setelah bersih lagi naik<br />

ke lumpur kan rugi ya’<br />

Wacana yang diungkapkan penutur merupakan gambaran fenomena dunia<br />

nyata yang diperoleh dari pengalamannya dengan mendengar atau melihat.


131<br />

Menyebutkan analogi antara kebiasaan kerbau dengan seseorang yang kurang taat<br />

akan perintah agama dengan melakukan perselingkuhan merupakan hal yang tidak<br />

benar menurut agama penutur. Hal-hal tersebut merupakan kumpulan makna dari<br />

makna pengalaman dan logis. Jika diperhatikan lebih saksama, terdapat pola yang<br />

sama antara tanda-tanda yang dibandingkan. Dari makna pengalaman diperoleh<br />

imajeri bahwa seseorang yang melakukan tirta yatra ‘perjalanan suci untuk<br />

melakukan persembahyangan’ artinya telah melakukan pembersihan diri secara<br />

batiniah kemudian jika kembali melakukan perbuatan tidak senonoh seperti<br />

perselingkuhan semua pembersihan rohani yang dilakukannya akan percuma.<br />

Persepsi tersebut dianalogikan dengan analogi berpola sama jika telah melakukan<br />

(X), yakni pembersihan dan kembali melakukan (Y), yakni hal yang<br />

menyebabkan kotor, maka akan terjadi (Z), yaitu percuma atau kesia-siaan.<br />

Pembanding yang digunakan adalah kebiasaan kerbau yang telah melakukan (X),<br />

yakni berendam di air sehingga tubuhnya bersih kemudian kembali melakukan<br />

(Y), yakni bermain-main di lumpur, maka akan terjadi (Z), yakni badannya<br />

kembali kotor (percuma).<br />

Susunan tematik seperti ini yang mengungkapkan segi-segi susunan kalimat<br />

selain intonasi merupakan makna tekstual yang terdapat dalam teks tersebut.<br />

Secara tidak langsung teks tersebut bermakna suruhan oleh penutur kepada<br />

pendengarnya agar tidak mencontoh hal tersebut. Hal itu menandakan bermakna<br />

antarpelibat yaitu ada pelibat-pelibat tutur sebagai pengungkap tutur berupa pesan<br />

dan ada pendengar sebagai penerima informasi yang berupa nasihat. Penggunaan<br />

kerbau sebagai objek pembanding bertujuan untuk membangkitkan kembali


132<br />

imajeri masyarakat terhadap hewan yang gemar bermain-main di lumpur yang<br />

sangat dekat dalam imajeri masyarakat Bali terdahulu yang sebagian besar<br />

bermatapencaharian sebagai petani.<br />

6.1.4 Makna Perlunya Ber-yadnya<br />

Dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang dilakukan <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB terdapat<br />

tuntunan hidup agar kita selalu ber-yadnya karena ber-yadnya sangat dianjurkan<br />

oleh agama. Dari <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong>nya tersirat makna bahwa yadnya dapat<br />

dilakukan tidak saja dengan menggunakan materi, seperti uang. Namun, memiliki<br />

inisiatif, ketekunan, berusaha dengan baik, dan berdoa merupakan cara ber-<br />

yadnya juga.<br />

SI 1 Mredah : /ap↔ dasar yadny↔ e/ ‘apa yang mendasari yadnya?’<br />

Tualen : ‘DUIT’<br />

Mredah : /ap↔ / ‘apa?’<br />

Tualen : ‘DUIT’<br />

Mredah : DUIT e to ? ‘duit itu?’<br />

Tualen : ‘D, U, I, T<br />

Mredah : D ?<br />

Tualen : /doa, s↔tata stiti bakti riN ida sang yang<br />

widi m↔dasar b↔n p↔pin↔h ane suci nirmal↔/ ‘Doa.<br />

Berbakti pada Ida Sang Hyang Widhi berdasar pikiran yang<br />

suci’<br />

Mredah : /doa / ‘doa?’<br />

Tualen : /doa/ ’doa’<br />

Mredah : ‘U?’<br />

Tualen : /utsah↔, N↔l↔mah lan m↔bakti k↔ pur↔,<br />

pul↔s Nanti di pur↔ siN mulih-mulih ulian m↔bakti,<br />

nunas ica paN nyak sugih,<br />

yen siN titinan b↔n ny↔mak gae siN<br />

m↔gl↔buk pise uluN uli laNit tuluN / ‘Usaha. Seharian<br />

sembahyang ke pura, sampai tidur di pura tidak pulangpulang<br />

karena sembahyang, minta agar kaya jika tidak<br />

bekerja dengan keras tidak akan jatuh uang dari langit’


133<br />

Mredah : /dasarne / ‘dasarnya?’<br />

Tualen : /utsah↔ to dasarne / ‘usaha, itu dasarnya<br />

Mredah : I ?<br />

Tualen : /inisiatif,<br />

d↔ timpale kanti nunden i rag↔ m↔yadny↔ irag↔<br />

p↔didi N↔lah kit↔ e yadnya e / ‘Inisiatif. Jangan sampai<br />

orang lain menyuruh kita ber-yadnya, harus kita sendiri yang<br />

memiliki keinginan’<br />

Mredah : T ?<br />

Tualen : /t↔kun/ ‘Tekun’<br />

Dari data di atas, diketahui bahwa pelafalan dengan menggunakan huruf<br />

kapital menandakan intonasi yang keras dan tegas seperti /DUIT/. Penonton WCB<br />

yang memiliki imajeri yang sama, saat mendengar jawaban <strong>tokoh</strong> Tualen atas<br />

pertanyaan anaknya Mredah akan dasar yadnya pasti akan tertawa atau tersenyum<br />

mendengar jawaban keras dan tegas <strong>tokoh</strong> Tualen yang menjawab /DUIT/. Hal<br />

tersebut terjadi karena imajeri masyarakat akan yadnya di Bali, seperti upakara-<br />

upakara ataupun sumbangan terhadap upakara-upakara yang biasa dilakukannya<br />

cukup mengeluarkan dana yang banyak. Pemaknaan secara langsung ini<br />

merupakan makna pengalaman dan tekstual yang dihasilkan dari intonasi<br />

pengucapannya. Pengalaman masyarakat atas pengeluaran dana yang banyak<br />

untuk malakukan yadnya tersebut segera terhapuskan oleh <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong><br />

pelesetan <strong>tokoh</strong> Tualen dengan memelesetkan kata DUIT menjadi kepanjangan<br />

Doa, Usaha, Inisiatif, dan Tekun.<br />

Pelesetan ini dimaknai secara logis dengan kata-kata yang menyusun<br />

kepanjangan kata DUIT yang seolah-olah menjadikannya sebuah singkatan. Huruf<br />

“D” mengacu pada kata Duit, “U” mengacu pada kata Utsaha, “I” mengacu pada<br />

kata Inisiatif, dan “T” mengacu pada kata Tekun yang secara logis berhubungan<br />

dengan kata yadnya yang berarti korban suci. Korban suci di sini berarti


134<br />

pengorbanan yang dilakukan seseorang dengan ikhlas untuk hal-hal yang bersifat<br />

ritual keagamaan. Hubungan antara kata-kata yang menyusun akronim DUIT<br />

mempunyai kesan sangat mudah diraih oleh siapa saja termasuk oleh orang yang<br />

tidak memiliki uang. Hal itu mengisyaratkan makna bahwa ujaran tersebut<br />

menghasilkan ideologi begitu mudahnya ber-yadnya. Makna antarpelibat yang<br />

dihasilkan dari <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> ini merupakan informasi dan nasihat penutur<br />

terhadap mitra tuturnya, yakni Mredah dan penonton agar tidak berat hati<br />

melakukan yadnya dan memengaruhi pendengar yang merupakan pelibat dalam<br />

teks tersebut. Dari keempat unsur makna tersebut dapat diperoleh maksud<br />

pernyataan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> itu secara jelas bahwa ber-yadnya tidak harus<br />

dilakukan jika seseorang memiliki uang atau duit saja. Dalam keadaan tidak<br />

mempunyai uang pun kita dapat ber-yadnya dengan berdoa, usaha keras, inisiatif<br />

yang tinggi dan ketekunan.<br />

6.1.5 Makna Pemimpin Adalah Pelindung Rakyatnya<br />

KL 4 Sangut : /yen tiyaN NiN↔taN i panjak dini di gumi l↔ngkane bli<br />

t↔n bin↔ car↔ kidaN N↔tis di punyan kayune g↔de nak<br />

g↔de je punyan kayune kalo lacur kayune siN m↔don dij↔ y↔<br />

kidaNe maan tis ane p↔ntiN p↔ng↔tis, p↔Nayuh sane<br />

p↔rluaN↔ ken rakyate siN bli raosaN↔ t↔duN jagat<br />

paN nyidaN bli Netisin rakyate./<br />

‘kalau saya mengingatkan kakak, rakyat di sini di bumi Lengka<br />

ini kak, seperti kijang berteduh di bawah pohon kayu besar, besar<br />

sih pohonnya tetapi sayangnya tak berdaun, bagaimana kijang<br />

memperoleh keteduhan? Yang penting peneduh, pelindung yang<br />

dibutuhkan rakyat, kan kakak disebut dengan payung rakyat, agar<br />

kakak bisa meneduhi rakyat.’


135<br />

Pada <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> di atas ungkapan simile /car↔ kidaN N↔tis<br />

di punyan kayune g↔de / ‘bagai kijang berteduh di bawah pohon kayu’<br />

merupakan ujaran yang diutarakan penutur dengan menggunakan tanda-tanda<br />

seperti kijang dan pohon kayu merupakan makna pengalaman penutur. Makna<br />

logis punyan kayu ‘pohon kayu’ yang merupakan pohon besar dengan jumlah<br />

daun yang sedikit tidak akan bisa meneduhi kijang disandingkan dengan seorang<br />

pemimpin yang kurang bisa mengayomi rakyat yang berada di bawahnya. Makna<br />

tekstual diperoleh dari intonasi penekanan pada <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> tersebut dan<br />

tema yang sesuai antara komponen pembanding dan terbanding. Teks ini menjadi<br />

bermakna juga karena ada komponen pelibat di dalamnya yang menunjukkan teks<br />

tersebut bermakna suruhan. Dari makna pengalaman, antarpelibat, dan logis<br />

dihasilkan suatu nilai makna sosial yang mengacu kepada seorang pemimpin yang<br />

memiliki kewajiban untuk melindungi rakyatnya atau dianalogikan dengan<br />

pemerintah yang memiliki kewajiban seutuhnya untuk melindungi rakyat di<br />

bawahnya.<br />

Permainan <strong>bahasa</strong> yang menunjukkan makna bahwa pemimpin adalah<br />

pelindung atau pengayom rakyatnya juga terdapat pada data LM 2 berikut ini.<br />

LM 2 Tualen : /paN d↔ j↔ i dew↔ dadi p↔mimpin k↔na sakit AIDS<br />

kew↔h p↔mimpinne k↔n↔ sakit AIDS/ ‘agar kamu tidak<br />

menjadi pemimpin yang terkena penyakit AIDS, susah jika<br />

pemimpin terkena penyakit AIDS’<br />

Mredah : /p↔mimpin ap↔ k↔n↔ sakit AIDS /‘pemimpin apa terkena<br />

penyakit AIDS?’<br />

Tualen : /liu p↔mimpinne k↔n↔ sakit AIDS/ ‘banyak pemimpin kita<br />

terkena penyakit AIDS’<br />

Mredah : /AIDS ento / ‘AIDS itu?’


Tualen : A, I, D, S<br />

Mredah : ‘A?’<br />

Tualen : /aNkuh/ ‘Angkuh’<br />

Mredah : ‘I ?’<br />

Tualen : /iri hati / ‘Iri hati’<br />

Mredah : ‘D ?’<br />

Tualen : /d↔Nki/ ‘Dengki’<br />

Mredah : ‘S ?’<br />

Tualen : /somboN/ ‘Sombong’<br />

136<br />

Pada jenis <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dengan pelesetan ini terdapat pengungkapan<br />

sindiran kepada pemimpin yang pada intinya memberi himbauan bagi pemimpin<br />

untuk menyadari kewajibannya yang harus melindungi bawahan atau rakyatnya.<br />

Pemimpin tidaklah pantas bersikap sewenang-wenang, angkuh ataupun sombong<br />

dengan kedudukannya yang tinggi. Makna pengalaman diperoleh dari penggunaan<br />

kata AIDS yang menggambarkan fenomena dunia nyata atau sesuatu yang saat ini<br />

sedang mewabah dalam masyarakat. Imajeri masyarakat terhadap kata AIDS<br />

adalah suatu penyakit yang membahayakan dan harus dihindari. Konotasi negatif<br />

terhadap kata AIDS ini secara logika digunakan dalam memaknai pelesetan<br />

tersebut berkonotasi negatif juga, dengan memberi kepanjangan pelesetan<br />

Angkuh, Iri hati, Dengki, dan Sombong. Hal itu mengimbau pelibat tutur<br />

khususnya pendengar agar menjauhi sifat-sifat buruk tersebut jika menjadi<br />

seorang pemimpin. Secara tekstual makna pelesetan ini menekankan intonasi pada<br />

kata AIDS dan pelesetan kepanjangannya yang berkonotasi negatif. Di pihak lain,<br />

dengan pengetahuan budaya tingkah laku pendengar akan memaknainya sebagai<br />

imbauan atau suruhan (command).<br />

6.1.6 Makna Menjauhi Sesuatu yang Mengakibatkan Kemabukan


137<br />

DRT 1<br />

Tualen : /kij↔ y↔ mr↔dah m↔lali<br />

kayaN k↔jani tonden t↔k↔ nanaN j↔j↔h cai k↔n↔ p↔nyakit<br />

5M / ‘ke mana ini Mredah pergi sampai sekarang belum datang,<br />

ayah takut kamu kena penyakit 5M’<br />

Mredah : /M p↔rtama / ‘M pertama?’<br />

Tualen : /minum k↔r↔N/ ‘suka Minum ’<br />

Mredah : /M k↔dua / ‘M kedua?’<br />

Tualen : /k↔r↔N minum mabuk / ‘suka minum Mabuk’<br />

Mredah : /M k↔tiga / ‘M ketiga?’<br />

Tualen : /k↔r↔N mabuk muntah / ‘sering mabuk Muntah’<br />

Mredah : /M k↔↔mpat / ‘M keempat?’<br />

Tualen : /lewat muntah mencret/ ‘setelah muntah Mencret’<br />

Mredah : /M k↔lima/ ‘M kelima?’<br />

Tualen : /muntah mencret mati b↔ ci/‘muntah, mencret Mati dah kamu’<br />

DRT 2 Tualen : /to dajan umahe bilaN wai y↔<br />

Namah narkoba sit↔N j↔ y↔/<br />

‘ itu di sebelah utara rumah setiap hari mengkonsumsi<br />

Narkoba, tetapi dia sehat’<br />

Mredah : /narkoba / ‘narkoba?’<br />

Tualen : /a↔, nasi rawon koah bakso / ‘iya, NAsi Rawon KOah<br />

BAkso’<br />

SAB 6a Delem : /t↔k↔ kur↔nan kak↔ buk erik Nab↔ sabu/ ‘datang<br />

istriku Bu Erick membawa sabu’<br />

Sangut : /sabu to / ‘ Sabu itu?’<br />

Delem : /sarapan bubur misi be sitsit, sit sit sit/ ‘SArapan BUbur<br />

berisi daging suwir, wir… wir..’<br />

Ketiga data <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dalam jenis pelesetan di atas diutarakan<br />

dengan makna agar pendengar menjauhi hal-hal yang mengakibatkan kemabukan.<br />

Data DRT 1 mengungkapkan makna minum-minuman keras adalah<br />

membahayakan kesehatan dengan menggunakan pelesetan 5M yang dalam<br />

budaya agama Hindu dikenal dengan Panca “M” (5M), yakni Madat (suka<br />

merokok atau mengisap ganja), Main (suka berjudi), Madon (suka berzinah),


138<br />

Minum (minum minuman keras), dan Maling (suka mencuri) dipelesetkan dengan<br />

kepanjangan yang hampir mirip, yakni Minum, Mabuk, Muntah, Mencret, Mati<br />

yang secara logis bermakna urutan kejadian dalam kepanjangan tersebut akan<br />

merusak tubuh seseorang yang akan menyebabkan menemui ajal. Makna tekstual<br />

dapat didengar dari intonasi penutur saat menyebutkan pelesetan tersebut dengan<br />

penekanan pada setiap kepanjangan huruf-huruf yang menyusun 5M dan susunan<br />

tema yang sesuai dengan urutan kejadian. Makna antarpelibat dapat dimaknai<br />

bahwa tuturan ini ditujukan oleh <strong>tokoh</strong> Tualen kepada Mredah yang sebenarnya<br />

teks tersebut merupakan wejangan dengan makna agar Mredah menjauhi hal-hal<br />

tersebut.<br />

Pelesetan ‘Narkoba’ dan ‘Sabu’ dalam makna pengalaman diperoleh<br />

sebagai gambaran fenomena dalam masyarakat saat ini yang merupakan<br />

pengalaman penutur dari mendengar atau melihat kondisi yang terjadi dalam<br />

masyarakat saat ini. Pelesetan-pelesetan tersebut tidak sekadar memelesetkan<br />

kata-kata, seperti narkoba dan sabu. Namun, dalam makna logika kepanjangan<br />

‘narkoba’, yakni Nasi Rawon Koah Bakso yang menyebabkan pengonsumsinya<br />

siteng ‘kuat atau sehat’ bermakna bahwa lebih baik mengonsumsi nasi rawon<br />

berkuah bakso karena dapat menyehatkan tubuh dibandingkan dengan<br />

mengonsumsi narkoba (Narkotika dan Obat-obatan Terlarang) yang dapat<br />

merusak kesehatan tubuh. Makna suruhan atau tindakan yang seharusnya<br />

ditujukan agar pelibat sebagai pendengarnya melakukan tindakan tersebut<br />

mencirikannya dalam makna antarpelibat.


6.1.7 Makna Pelestarian Bahasa Daerah<br />

139<br />

Meredupnya pemakaian <strong>bahasa</strong> daerah dalam hal ini <strong>bahasa</strong> Bali juga<br />

menjadi perhatian WCB yang diungkapkannya dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> pada<br />

dialog-dialog <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> pertunjukan <strong>wayang</strong>nya. Berikut ini data<br />

<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang menunjukkan makna pelestarian <strong>bahasa</strong> daerah.<br />

KL 5 Sangut : /Norin timpal ne Norin bar↔N N↔laksanaaN. to panak caNe<br />

m↔bas↔ bali panak meleme m↔bas↔ iNgris,<br />

panak mel↔me b↔rg↔lut d↔Nan<br />

toris luar n↔g↔ri b↔rg↔limaN<br />

dolar panak cane b↔rg↔lut d↔Nan nyayat di carike,<br />

to panak mel↔me makan keju, panak caNe makan singkoN,<br />

to panak mel↔me NoraN oh….me mad↔, to panak caNe NoraN<br />

oh… meme made./<br />

‘ member tahu teman yang member tahu harus ikut melaksanakan.<br />

Itu anakku ber<strong>bahasa</strong> Bali anak Melem ber<strong>bahasa</strong> Inggris, anak<br />

Melem bergelut dengan turis luar negeri bergelimang dolar, anakku<br />

bergelut dengan lumpur di sawah, itu anak Melem makan keju,<br />

anakku makan singkong. Itu anak Melem bilang oh…. My mother,<br />

anakku bilang oh… Meme Made’<br />

Permainan kata antar<strong>bahasa</strong> ini dihasilkan dari pengalaman penutur dan dikaitkan<br />

dengan imajeri masyarakat saat ini, yakni pemakaian leksikal mother atau mom<br />

yang saat ini sering didengarnya dalam masyarakat kita yang sedang semarak<br />

menggunakan <strong>bahasa</strong> Inggris dalam komunikasi. Pengalamanlah yang<br />

menyebabkannya dapat menghasilkan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> seperti itu. Setiap<br />

competence pasti didahului oleh pengalaman. Inilah makna pengalaman yang<br />

dihasilkan dari teks <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> tersebut. Dalam makna antarpelibat si<br />

penutur mengutarakan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> tersebut karena memiliki maksud<br />

tertentu, yakni menyindir masyarakat dan secara tidak langsung menyuruh lawan<br />

tuturnya agar jangan sampai melupakan penggunaan <strong>bahasa</strong> daerah di tengah


140<br />

kemajuan teknologi dan semaraknya penggunaan <strong>bahasa</strong> internasional dalam<br />

masyarakat. Dalam makna tekstual susunan leksikal dalam frasa tersebut<br />

memperlihatkan tema yang sama, yakni menyebut atau memanggil ‘ibu’ dengan<br />

tekanan intonasi yang sama antara dua <strong>bahasa</strong> tersebut. Makna logika yang<br />

dihasilkan bahwa <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> tersebut membandingkan cara menyebut ibu<br />

dalam dua <strong>bahasa</strong> berbeda, tetapi dengan repetisi konsonan yang terstruktur<br />

sehingga menghasilkan bunyi yang mirip.<br />

Penggunaan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dengan memanfaatkan kehomoniman kata-<br />

kata antar<strong>bahasa</strong> seperti di atas bertujuan untuk menarik perhatian petutur yang<br />

dalam konteks ini termasuk penonton. Hal itu disesuaikan dengan pengalaman<br />

penonton terhadap pemakaian frasa <strong>bahasa</strong> asing yang saat ini banyak dilakukan<br />

masyarakat. Dengan menggunakan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> tersebut secara tidak<br />

langsung WCB memasukkan nilai-nilai mempertahankan <strong>bahasa</strong> daerah dengan<br />

mengembangkan imajeri masyarakat terhadap penggunaan frasa-frasa antar<strong>bahasa</strong><br />

tersebut.<br />

6.1.8 Makna Keadaan Hukum yang Buruk<br />

Keadaan hukum yang terjadi dalam budaya masyarakat sekarang ini pun<br />

sering manjadi topik atau tema dalam dialog-dialog <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB. Hal<br />

itu sering dikemas dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong>, seperti <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dalam<br />

dialog <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> berikut.<br />

KN 22<br />

Cenk : /kadaN kala hukume to car↔ sau car↔ p↔ncar/ ‘kadang kala hukum itu<br />

seperti jala’


Blonk : /ngudiaN keto / ‘kenapa seperti itu?’<br />

Cenk : /nyalian nagih k↔t↔s t↔k↔ juk↔ jak p↔ncare juk↔<br />

ken sau e be ulam agung t↔k↔ uwug p↔ncare uwug sawue/ ‘ikan<br />

kecil-kecil yang akan lepas tertangkap juga oleh jala, ikan yang besar<br />

datang, rusak jalanya’<br />

Blonk : /oh keto/ ‘oh begitu’<br />

141<br />

Pemaknaan teks dengan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> di atas memerlukan pemaknaan<br />

metaforis. Makna logis yang diperoleh dari teks di atas adalah menganalogikan<br />

pencar ‘jala’ dengan penjara, nyalian ‘ikan kecil-kecil’ dengan rakyat kecil, dan<br />

ulam agung ‘ikan besar’ disepadankan dengan masyarakat kelas atas yang berduit.<br />

Makna logis dalam teks di atas dapat menghasilkan makna secara metaforis, yakni<br />

jika seseorang yang melakukan kejahatan berasal dari kelas bawah atau miskin,<br />

hukum akan dengan tegas menghukum atau memenjarakannya. Namun, jika<br />

seseorang yang bersalah tersebut berasal dari kelas atas, hukum yang ada bisa<br />

menjadi lemah dan orang tersebut dapat dengan mudah terbebas dari hukum.<br />

Penggunaan referent (tanda) pencar ‘jala’, be nyalian ‘ikan kecil-kecil’,<br />

ulam agung ‘ikan besar’ sebagai tanda untuk menyepadankan topik yang<br />

dimaksud dalam teks tentu diperoleh penutur dari pengalamannya akan jala<br />

dengan ikan-ikan kecil dan besar sehingga mampu menggunakannya sebagai<br />

komponen pembanding dalam teks yang dimaksud. Di pihak lain dengan<br />

pengalaman dan imajerinya pendengar dapat memaknainya secara logis. Secara<br />

tekstual penyebutan ikan besar dengan <strong>bahasa</strong> Bali halus ulam agung dan ikan<br />

kecil-kecil dengan <strong>bahasa</strong> Bali kepara atau biasa be nyalian menunjukkan kualitas<br />

dari bentuk-bentuk tersebut. Secara konteks budaya Bali <strong>bahasa</strong> Bali halus<br />

biasanya digunakan pada orang-orang berkasta ataupun saat ini <strong>bahasa</strong> Bali halus<br />

digunakan seseorang jika berbicara dengan seseorang yang dianggap memiliki


142<br />

wewenang, kekuasaan, atau berlimpah harta untuk menunjukkan rasa hormat.<br />

Sebaliknya orang yang miskin, tidak mempunyai wewenang atau kekuasaan<br />

biasanya akan dianggap remeh. Hal tersebut berpengaruh terhadap cara seseorang<br />

menggunakan <strong>bahasa</strong> untuk berbincang dengannya, yakni menggunakan <strong>bahasa</strong><br />

Bali kepara. Bentuk ulam agung dan be nyalian menunjukkan sistem tanda yang<br />

dihasilkan dari budaya seseorang dan menunjukkan suatu kesan tertentu.<br />

Analisis yang sama juga terjadi pada data LM 1 berikut ini. Makna secara<br />

metaforis diperoleh berdasarkan makna logis kalimat tersebut. Rabuk ‘pupuk’<br />

dalam konteks ini disepadankan dengan tombokan karena memiliki fungsi yang<br />

sama sebagai penyubur atau penyebab sesuatu menjadi cepat dalam berproses.<br />

Makna antarpelibat ditunjukkan bahwa kalimat-kalimat tersebut merupakan<br />

informasi yang disampaikan penutur kepada lawan tuturnya yang juga menjadi<br />

pelibat dalam teks tersebut termasuk juga penonton. Makna kontekstual diperoleh<br />

dari intonasi penutur saat berujar dengan kalimat-kalimatnya. Terjadi ketukan<br />

diam pada akhir <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong><br />

tuwah j↔ jani hukum s↔tat↔ nagih rabuk yang ditandai dengan transkripsi teks<br />

penanda koma. Intonasi tersebut mengisyaratkan bentuk metafora ini memiliki<br />

maksud keseluruhan dari teks yang diungkapkan.<br />

Penggunaan leksikal-leksikal seperti rabuk ‘pupuk’ dan TSP dihasilkan dari<br />

pengalaman-pengalaman penutur. TSP yang merupakan salah satu jenis pupuk ini<br />

penyebutannya sering dijumpai dalam kehidupan sosial terlebih lagi Bali yang<br />

merupakan daerah agraris. Dengan demikian, bertani atau berkebun merupakan<br />

lapangan pekerjaan banyak masyarakatnya. Jadi istilah pupuk dan jenis pupuk ini


143<br />

diketahui secara umum. Makna tekstual yang dihasilkan dari kalimat berstruktur<br />

deklaratif ini menandakan bahwa kalimat tersebut merupakan sebuah informasi<br />

dengan hukum menjadi fokus pembicaraannya. Makna logis yang diperoleh dari<br />

penyandingan analogi rabuk yang dikenakan pada hukum, terlebih-lebih pelesetan<br />

kepanjangan jenis pupuk TSP yang disebutkan mengesankan sesuatu yang tidak<br />

baik atau buruk.<br />

LM 1<br />

Tualen: / tuwah j↔ jani hukum s↔tat↔ nagih rabuk,<br />

m↔n siN maan rabuk t↔lah hukume siN nyak mokoh. ng↔l↔mah<br />

hukumme nagih rabuk TSP<br />

TSP : tombok suap p↔licin / ‘memang sekarang ini hukum minta diberi<br />

pupuk, jika tidak memperoleh pupuk, hukum tidak mau gemuk. Terusterusan<br />

hukum minta diberi pupuk TSP, TSP: Tombok Suap Pelicin’<br />

6.2 Kaitan Imajeri Masyarakat Bali dengan Permainan Bahasa Tokoh<br />

Punakawan WCB<br />

Dari contoh-contoh bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong>, fungsi dan maknanya dapat<br />

dilihat dari penggunaan leksikal-leksikal yang mewakili maksud-maksud atau<br />

topik pembicaraan dalam kreativitas bermain-main dengan <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong><br />

<strong>punakawan</strong> WCB. Dalam mengungkapkan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong><br />

<strong>punakawan</strong>nya dalang WCB menyesuaikan pilihan-pilihan kata sesuai imajeri<br />

masyarakat saat ini sehingga <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> itu segera dapat ditangkap<br />

masyarakat. Paribasa yang konvensional dan membudaya dalam budaya Bali<br />

tetap digunakan dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB selain bentuk-<br />

bentuk baru yang lebih menarik dan lebih bermakna sesuai dengan imajeri<br />

masyarakat pada zaman ini.


144<br />

Bahasa tentu dipengaruhi oleh budaya yang terus berkembang. Di samping<br />

itu, budaya masyarakat juga memengaruhi cara ber<strong>bahasa</strong>nya sehingga terjadilah<br />

perubahan-perubahan dalam mengungkapkan sesuatu yang sama yang<br />

dipengaruhi budaya dan imajeri masyarakat saat itu. Berikut ini beberapa data<br />

<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB yang menunjukkan perubahan leksikal<br />

yang digunakan dalam menyebut maksud yang sama atau makna yang sama.<br />

SAB 17 Blonk : /NudiaN rag↔ orinne m↔siat t↔rus rag↔ gen dadiaN↔<br />

bemp↔r di malu bangk↔ y↔ rag↔ si malu/ ‘kenapa<br />

aku disuruh bertarung terus? Aku saja dijadikan bamper<br />

di depan, mati ya aku jadi lebih dulu’<br />

Kata bamper di atas bermakna menjadi tameng di depan atau posisi di depan<br />

untuk melindungi yang ada di belakangnya. Kata tersebut dalam masyarakat Bali<br />

biasa disebut dengan pag↔han ‘pagar’ yang terdiri atas pohon-pohon kecil yang<br />

ditempatkan di depan pekarangan rumah untuk melindungi rumah.<br />

LM 7 Tualen : /nyen nyidaN ny↔rihin anoman<br />

nak anoman l↔bih sakti ken pow↔r renj↔rs / ‘siapa<br />

bisa mengalahkan Hanoman? Hanoman itu lebih sakti<br />

daripada Power Rangers’<br />

Power Rangers digunakan untuk menyebutkan seseorang yang kuat. Dahulu<br />

seseorang yang kuat biasanya dilambangkan dengan Bima, yakni salah satu<br />

saudara Panca Pandawa yang bertubuh kuat dan paling sakti. Power Rangers<br />

sangat sesuai dengan imajeri masyarakat saat ini terutama penonton yang berusia<br />

muda (anak-anak) karena <strong>tokoh</strong> ini sudah biasa disaksikan di televisi sebagai<br />

<strong>tokoh</strong> hero yang kuat. Imajeri mereka terhadap <strong>tokoh</strong> ini sangat melekat di dalam


145<br />

memori yang kemudian dibangkitkan oleh <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong><br />

WCB.<br />

Memperbesar, memperluas, mengembangkan, dan memperkaya imajeri<br />

seseorang dilakukan dengan cara mengalami sesuatu, baik secara langsung<br />

maupun tidak langsung. Secara langsung dilakukan dengan langsung melihat,<br />

mendengar, mencium, mengecap, atau meraba suatu entitas. Cara langsung<br />

memiliki kesan (impression) yang kuat. Dengan imajeri masyarakat tentang<br />

kekuatan Power Rangers yang sangat melekat dalam memorinya karena<br />

pengalaman menonton langsung aksi super hero ini di televisi <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong><br />

WCB mengembangkan memori anak-anak tersebut dengan menyandingkan<br />

kekuatan Power Rangers dengan Hanoman. Menyebut Hanoman lebih sakti<br />

daripada Power Rangers membuat imajeri mereka berkembang terhadap <strong>tokoh</strong><br />

Hanoman yang selama ini belum begitu dikenal. Setelah mendengar <strong>permainan</strong><br />

<strong>bahasa</strong> tersebut imajeri masyarakat terhadap Hanoman akan terbentuk dalam otak<br />

mereka sebagai sosok atau <strong>tokoh</strong> yang sangat sakti dan kuat, bahkan melebihi<br />

kekuatan Power Rangers.<br />

LM 27 a Cenk : / j↔g N↔luluk nas ci car↔ bola<br />

liga inggris to j↔g leklek<br />

b↔ten jaN↔ car↔ pong-pongan nas ci e/ ‘bergelinding<br />

kepalamu seperti bola Inggris itu. Ditaruh di bawah<br />

kepalamu seperti kelapa yang digerek tupai’<br />

Permainan <strong>bahasa</strong> dengan menyepadankan kepala dengan bola liga Inggris<br />

dan pongpongan ‘kelapa yang digerek tupai’ mencerminkan imajeri masyarakat.<br />

Penyepadanan kepala dengan pongpongan sudah menjadi hal yang konvensional


146<br />

dalam paribasa <strong>bahasa</strong> Bali dari dahulu dan segera dapat ditangkap imajeri<br />

masyarakat atau penonton yang sudah tua karena mereka memiliki pengalaman<br />

langsung dengan pongpongan ‘kelapa yang digerek tupai’ yang sering ditemukan<br />

zaman dahulu di kebun-kebun mereka. Namun imajeri ini mungkin tidak dimiliki<br />

oleh masyarakat kaum remaja saat ini. Hal itu terjadi karena saat ini pongpongan<br />

sukar ditemukan terlebih lagi jika di daerah perkotaan. Dengan mengganti<br />

komponen pembandingnya dengan bola liga Inggris menjadi lebih dapat<br />

disesuaikan dengan imajeri masyarakat segala umur yang menjadikannya lebih<br />

menarik dan lebih dapat dimaknai oleh masyarakat saat ini. Penyandingan antara<br />

pongpongan dengan bola liga Inggris juga dapat mengembangkan imajeri<br />

masyarakat terhadap istilah pongpongan yang akan menambah pengetahuan<br />

masyarakat terutama kaum muda akan leksikal dalam <strong>bahasa</strong> Bali ini.<br />

Dua <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> di bawah ini merupakan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang pada<br />

dasarnya bermaksud sama, yakni menunjukkan seseorang yang kebingungan,<br />

tetapi menggunakan leksikal-leksikal yang berbeda.<br />

KN 15 Delem : /kenken ne car↔ cicing tamplig honda<br />

to NudiaN mlinc↔r/ ‘kenapa ini seperti anjing ditabrak<br />

Honda? Itu mengapa berputar-putar?’<br />

LM6b Tualen : /ci malunan mati, dew↔ ratu mredah i ayuk pontag<br />

pantig car↔ linduN uyahin kalin cai mati / ’kamu duluan<br />

meninggal, ya Tuhan Mredah Si Ayuk pontang-panting<br />

seperti belut diberi garam’<br />

Data LM 6b merupakan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> konvensional yang terdapat dalam<br />

paribasa Bali untuk menyebut seseorang yang kebingungan. Permainan <strong>bahasa</strong><br />

dengan makna yang sama dilakukan secara kreatif sesuai dengan imajeri<br />

masyarakat saat ini dengan menyebutkannya seperti dalam data KN 15. Belut


147<br />

yang diberi garam akan meloncat ke sana kemari bagai orang yang kebingungan.<br />

Namun, imajeri masyarakat saat ini lebih mudah membayangkan anjing yang<br />

diserempet atau tertabrak motor yang disebut dengan Honda.<br />

KL 7b Malen : /yen nanaN m↔jalan car↔ rano karno / ‘jika ayah berjalan<br />

bagai Rano Karno..’<br />

Dahulu masyarakat Bali jika menyebut seseorang yang tampan akan<br />

menyandingkannya dengan Rejun↔ ‘Arjuna’, yakni salah satu anggota Pandawa<br />

yang paling tampan. Namun, imajeri masyarakat saat ini lebih jelas dengan<br />

ketampanan atau kecantikan para artis yang sering kali dilihatnya pada layar kaca<br />

sehingga pada data KL 7b yang dimaksudkan dengan Rano Karno adalah tampan.<br />

Hal yang sama tampak dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> untuk mengungkapkan<br />

kecantikan atau kejelekan paras wanita yang disepadankan juga dengan artis.<br />

Dahulu untuk menyebutkan seseorang yang cantik pada masyarakat Bali disebut<br />

j↔geg s↔kadi dewi ratih ‘secantik Dewi Ratih (Dewi Bulan). Namun, dalam<br />

<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB terdapat teks yang menyebut seseorang<br />

yang cantik bagai Krisdayanti ataupun Madona. Hal ini mungkin lebih sesuai<br />

dengan imajeri masyarakat saat ini karena kesan yang lebih kuat diperoleh<br />

masyarakat dari pengalaman langsung. Kesan terhadap kecantikan seseorang yang<br />

dilihat secara langsung dengan mata jauh lebih kuat dan bertahan lama dalam<br />

memory ‘ingatan’ daripada hanya mendengar deskripsi seorang pengagum wanita<br />

cantik. Penggunaan Krisdayanti, Madona, atau Cut Tari tentunya akan lebih<br />

mengembangkan imajeri masyarakat daripada Dewi Ratih yang lebih lemah<br />

kesannya karena tidak pernah dilihat, tetapi hanya pengalaman dengan mendengar<br />

kecantikan Dewi Ratih yang dimiliki.


148<br />

SI 6a Tualen : /rabinne car↔ madona cantikne/ ‘istrinya bagai Madona<br />

cantiknya’<br />

SI 16g / kur↔n kak↔ e orang car↔ krisdayanti.<br />

y↔n kur↔n ci e<br />

SI 16h car↔ atun j↔n↔Nne/ ‘istriku sudah kubilang bagai<br />

Krisdayanti, sedangkan istrimu seperti Atun tampangnya’<br />

Untuk menyebut seseorang yang berambut kriting dahulu disebut dengan<br />

bokne kriting car↔ embotan b↔layag ‘rambutnya kriting bagai tarikan sejenis<br />

ketupat yang bentuknya memanjang’. Belayag yang ditarik akan melingkar seperti<br />

pir dan jika ditarik semakin panjang, akan bertekstur melengkung-lengkung.<br />

Imajeri masyarakat akan belayag tidak sebaik imajerinya terhadap mie yang juga<br />

memiliki tekstur melengkung-lengkung sehingga dalang menggunakannya dalam<br />

menyepadankan rambut yang kriting.<br />

SI 14a / bok kritiN car↔ mi / ‘rambutnya keriting seperti mie’<br />

SI 14c / gidatne jantuk car↔ be lohan hahahaha/ ‘jidatnya menonjol seperti<br />

Lohan’<br />

Jidat Lohan yang ke depan disepadankan dengan jantuk, yakni jidat seseorang<br />

yang maju. Kata “Lohan” dekat dengan imajeri masyarakat saat ini karena sempat<br />

menjadi jenis ikan yang populer dipelihara masyarakat. pengalaman masyarakat<br />

terhadap jenis ikan ini menyebabkan imajeri yang terekam dalam otaknya sangat<br />

jelas terhadap jenis ikan ini terutama bentuk jidat yang menjadi popularitasnya<br />

sehingga pemilihan leksikal ini dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> bentuk simile di atas<br />

menjadi menarik dan kebermaknaannya dapat dirasakan secara menyeluruh.<br />

BM 3e Tualen: /baNkiaN c↔nik, jit g↔de, bok m↔rebondiN,<br />

kulit putih car↔ neon / ‘pinggang kecil, bokong besar, rambut<br />

di-rebonding, kulit putih seperti neon’


149<br />

Seseorang yang berkulit putih dahulu biasa disebut dengan kulitne putih<br />

car↔ salak klumadin, yakni buah salak yang telah dikupas dan dibersihkan.<br />

Namun, dengan menyebut kulit putih seperti neon kebermaknaannya dapat lebih<br />

dapat dimengerti masyarakat saat ini. Zaman dahulu sebelum ada neon<br />

masyarakat Bali hanya menggunakan lampu pijar sebagai penerangan yang<br />

identik dengan warna kuning. Kulit seseorang yang putih diidentikkan dengan<br />

buah salak yang sudah dibersihkan karena imajeri putih, bersih, dan halusnya<br />

daging buah salak yang telah dibersihkan tersimpan dalam memori masyarakat<br />

sangat kuat. Namun, saat ini cahaya putih dan terangnya lampu neon jika<br />

disandingkan dengan putihnya daging buah salak akan sangat jauh perbedaannya.<br />

Imajeri masyarakat terhadap lampu neon pun saat ini sudah dimiliki oleh hampir<br />

semua tingkatan usia masyarakat sehingga penggunaan neon dalam memaknai<br />

<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> tersebut menjadi lebih berkesan kuat.<br />

Kreativitas <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB dalam menggunakan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong><br />

yang menyesuaikan dengan imajeri masyarakat inilah yang menyebabkan wacana-<br />

wacana yang disampaikannya melalui dialog <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> menjadi sangat<br />

menarik dan mudah dimaknai oleh masyarakat yang menonton pertunjukannya.<br />

Pemakaian <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB dengan kreativitas,<br />

inovatif, dan keterbukaannya terhadap <strong>bahasa</strong>-<strong>bahasa</strong> nondaerah tidak<br />

melunturkan nilai-nilai budaya terdahulu. Hal itu terjadi karena dalam setiap judul<br />

pertunjukannya yang beredar di masyarakat dalang WCB sangat banyak<br />

menyelipkan filosofis, keindahan ber<strong>bahasa</strong>, dan <strong>bahasa</strong> pakem sebagai kode tutur<br />

budaya lokal. Permainan <strong>bahasa</strong> seperti paribasa Bali yang konvensional dan


150<br />

sering digunakan dari zaman dahulu banyak diselipkan. Bahkan, terkadang dalam<br />

kreativitasnya mengubah leksikon-leksikon yang lebih dekat dengan imajeri<br />

masyarakat saat ini pun <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB sering menyelipkan paribasa<br />

konvensionalnya.<br />

Justru <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB yang bersifat baru, kreatif,<br />

menarik dan mudah dimaknai ini menjadi pancingan bagi kaum muda untuk<br />

kembali meminati pertunjukan <strong>wayang</strong> tradisional. Di samping itu, secara tidak<br />

langsung pertunjukan tersebut mengenalkan kaum muda akan <strong>permainan</strong>-<br />

<strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> konvensional seperti paribasa dan leksikal-leksikal <strong>bahasa</strong> Bali<br />

yang saat ini jarang atau sama sekali belum diketahui demi pelestarian budaya dan<br />

<strong>bahasa</strong> daerah.


7.1 Simpulan<br />

BAB VII<br />

SIMPULAN DAN SARAN<br />

151<br />

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan terhadap <strong>permainan</strong><br />

<strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB yang meliputi aspek bentuk, fungsi, dan makna<br />

sebagaimana disajikan pada bab IV, V, dan VI dapat disimpulkan beberapa hal<br />

sebagai berikut.<br />

1. Bentuk-bentuk yang ditemukan dalam <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong><br />

WCB dapat digolongkan dalam empat jenis, yakni <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> berjenis<br />

pelesetan, <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> dalam bentuk kreativitas gaya <strong>bahasa</strong>, bentuk<br />

<strong>permainan</strong> kata antar<strong>bahasa</strong>, dan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> berbentuk hiponim. Pada<br />

bentuk pelesetan ditemukan lima variasi bentuk, yakni (a) bentuk pelesetan<br />

bunyi (fonologis) yang terbentuk melalui proses pembentukan kontraksi,


152<br />

reduksi, adisi, metatesis, gabungan antara adisi dan reduksi, dan gabungan<br />

antara reduksi dengan metatesis; (b) bentuk pelesetan kepanjangan singkatan,<br />

yang terbentuk dari dua pengklasifikasian bentuk, yakni singkatan umum<br />

yang kepanjangannya mengalami pelesetan dan singkatan yang dibuat sendiri<br />

meniru struktur bentuk yang ada dengan membuat sendiri kepanjangannya; (c)<br />

bentuk pelesetan kepanjangan akronim yang dibentuk dengan<br />

mempertahankan silabel awal, mempertahankan huruf awal, mempertahankan<br />

silabel awal dan huruf awal, dan mempertahankan suku akhir kata pertama<br />

dan suku awal kata kedua; (d) bentuk pelesetan ekspresi; dan (e) bentuk<br />

pelesetan ideologis dengan bentuk lingual kelas kata nomina dipelesetkan<br />

menjadi ide yang lain dengan bentuk lingual sama dan kelas kata yang sama<br />

pula. Permainan <strong>bahasa</strong> dengan penggunaan gaya <strong>bahasa</strong> diklasifikasikan<br />

menjadi empat, yakni (a) bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> retoris dengan dua variasi,<br />

yakni repetisi /pengulangan bunyi vokal (asonansi) dan repetisi /pengulangan<br />

bunyi konsonan (aliterasi), (b) bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> kiasan dibedakan<br />

menjadi tiga, yakni metafor, simile, dan eponim, (c) pada bentuk <strong>permainan</strong><br />

kata antar<strong>bahasa</strong> ditemukan variasi campur kode antara <strong>bahasa</strong> Bali dan<br />

<strong>bahasa</strong> Indonesia serta campur kode antara <strong>bahasa</strong> Bali dan <strong>bahasa</strong> Inggris,<br />

dan (d) pada <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> berbentuk hiponim ditemukan bentuk secara<br />

eksplisit antara superordinat dan hiponimnya dan bentuk secara implisit.<br />

2. Dari bentuk-bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang ditemukan dapat diidentifikasi<br />

lima fungsi sosial yang dihasilkan, yakni (a) fungsi menghibur, (b) fungsi<br />

informatif dengan menghibur (infotainment), (c) fungsi mendidik yang


153<br />

menghibur (edutainment), (d) fungsi pengembangan kreativitas ber<strong>bahasa</strong><br />

Bali, dan (e) fungsi kritik sosial.<br />

3. Fungsi-fungsi sosial yang dihasilkan dari variasi bentuk <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong><br />

<strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB menghasilkan makna nilai-nilai sosial yang dapat<br />

diinterpretasikan secara umum menjadi delapan makna nilai sosial, yakni<br />

makna kerendahan hati, menghormati seseorang yang berkelas sosial lebih<br />

tinggi, Tuhan adalah mahasuci untuk mencapainya diperlukan pemikiran dan<br />

perbuatan yang suci, kewajiban ber-yadnya, pemimpin adalah pelindung<br />

rakyat, menjauhi sesuatu yang mengakibatkan kemabukan, pelestarian <strong>bahasa</strong><br />

daerah, keadaan hukum yang buruk.<br />

4. Imajeri memiliki peranan yang besar dalam memaknai sesuatu sehingga untuk<br />

menghasilkan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> yang menarik diperlukan kata-kata yang<br />

sesuai dengan imajeri petutur. Tokoh <strong>punakawan</strong> WCB banyak menggunakan<br />

leksikal yang sesuai dengan imajeri masyarakat saat ini dalam <strong>permainan</strong><br />

<strong>bahasa</strong>nya sehingga menarik bagi masyarakat. Selain itu, melalui <strong>permainan</strong><br />

<strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB dapat mengembangkan imajeri masyarakat<br />

terhadap suatu entitas yang belum terlalu jelas diketahui atau sama sekali<br />

belum diketahui masyrakat—terutama para remaja dan anak-anak— sehingga<br />

dari <strong>permainan</strong> bahsa tersebut imajeri dan pengetahuan budaya dan <strong>bahasa</strong><br />

daerah masyarakat bertambah.<br />

7.2 Saran


154<br />

Menganalisis <strong>bahasa</strong> pada pertunjukan <strong>wayang</strong> memang tiada batasnya<br />

karena pertunjukan <strong>wayang</strong> tidak sebatas pertunjukan seni yang menampilkan<br />

cerita, musik, lagu, ataupun seni gerak (tarian). Bahasa menjadi hal yang sangat<br />

penting di dalam pertunjukan <strong>wayang</strong> selain kelihaian dalang memainkan<br />

<strong>wayang</strong>nya. Untuk melanjutkan penelitian hal mendesak yang sebenarnya sangat<br />

menarik dan diperlukan dalam penelitian ini adalah analisis yang lebih mendalam<br />

terhadap imajeri dalam penggunaan <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> <strong>tokoh</strong> <strong>punakawan</strong> WCB.<br />

Selain gejala <strong>permainan</strong> <strong>bahasa</strong> banyak gejala <strong>bahasa</strong> yang belum tersentuh dalam<br />

penelitian ini, seperti penggunaan unda-usuk <strong>bahasa</strong> Bali yang menjadi budaya<br />

tutur masyarakat Bali sejak dahulu, pemakaian <strong>bahasa</strong> Kawi dan karakteristik<br />

<strong>bahasa</strong> yang digunakan pada setiap <strong>tokoh</strong> <strong>wayang</strong> dapat menjadi kajian yang<br />

menarik. Wayang yang berasal dari kata bayang-bayang merupakan simbol atau<br />

pencerminan karakteristik manusia dalam berbagai karakter. Oleh karena itu<br />

meneliti cara-cara atau karakteristik ber<strong>bahasa</strong> setiap <strong>tokoh</strong> pun dapat<br />

menghasilkan penelitian linguistik yang unik.


DAFTAR PUSTAKA<br />

155<br />

Amir, Hazim. 1991. Nilai-Nilai Etis dalam Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar<br />

Harapan.<br />

Antara, I Gusti. Putu. 2007. ”Metafora Bahasa Bali di Kabupaten Buleleng”<br />

(Disertasi). Denpasar, Universitas Udayana.<br />

Arikunto, Suharsimi. 1989. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik.<br />

Jakarta : Bina Aksara.<br />

Budiasa, I Made. 1998. Kajian Nilai Budaya dan Gaya Bahasa Lakon Mina<br />

Kencana. Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.<br />

Danandjaja, James. 1990. “Metode Penelitian Kualitatif Dalam Penelitian<br />

Folklor”. Dalam Aminuddin (editor). Pengembangan Penelitian Kualitatif<br />

Dalam Bidang Bahasa Dan Sastra.<br />

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:<br />

PT Gramedia Pustaka Utama.<br />

Duranti, Alesandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge<br />

University Press.


156<br />

Erom, Kletus. 2010. ”Sistem Pemarkahan Nomina Bahasa Manggarai<br />

(Disertasi). Denpasar: Universitas Udayana.<br />

Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistics. An Introduction. Oxford:<br />

Blackwell Publishers.<br />

Fromkin, Victoria dkk. 1990. An Introduction to Language. Second Edition.<br />

Sydney: Harcout Brace Jovanovich Group.<br />

Gara, I Wayan. 1999. “Wacana Humor Pabrik Kata-Kata Joger: Sebuah Kajian<br />

Linguistik Kebudayaan” (Tesis). Denpasar. Universitas Udayana.<br />

Ginarsa, Ketut. 1985. Paribasa Bali. Singaraja: CV. Kayumas Agung.<br />

Goldberg, Adele E. 2006. Constraction At Work: The Nature of Generalization<br />

in Language. New York: Oford University Press.<br />

Halliday, M.A.K. 1978. Language as Social Semiotic. London: Edward Arnold<br />

Halliday, M.A.K, dan Ruqaiya Hasan. 1989. Language, Context, and Text:<br />

Aspects of Language in A Social-Semiotic Perspective. Victoria: Deakin<br />

University Press.<br />

Halliday, M.A.K, dan Ruqaiya Hasan. 1994. Bahasa, Konteks, dan Teks. Aspek-<br />

Aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial. (Asruddin Barori Tou).<br />

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.<br />

Henle, P. 1958. Metaphor (Language, Thought, and Culture). Ann Abor:<br />

University of Michigan Press.<br />

Jendra, I Wayan. 2007. Sosiolinguistik Teori dan Penerapannya. Surabaya:<br />

Paramita.<br />

Kayam, Umar. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan.<br />

Keraf, Gorys. 2009. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta.: PT Gramedia Pustaka<br />

Utama.<br />

Kirshenblatt-Gimblett, Barbara. 1976. Speech Play. Philadelphia: University of<br />

Pensylvania Press.<br />

Knowles, Murray and Rosamund Moon. 2006. Introducing Metaphor. London<br />

and New York: Roullede Taylor and Francis Group.<br />

Kramsch, Claire. 1998. Language and Culture. Oxford: Oxford University<br />

Press.


157<br />

Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: PT.Gramedia<br />

Pustaka Utama.<br />

Kwant, R.C. 1975. Manusia dan Kritik. Diindonesiakan oleh A. Soedarminto dari<br />

Mens en Kritiek. Yogyakarta: Kanisius.<br />

Leech, Geoffrey. 1977. Semantics. England: Hazel Watson & Viney Ltd<br />

Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa:Tahapan Strategi, Metode dan<br />

Tekniknya. Ed. Revisi, 4. Jakarta: PT Raja Grafindo..<br />

Mbete, Aron Meko. 2004. ”Linguistik Kebudayaan: Rintisan Konsep dan<br />

Beberapa Aspek Kajiannya. Dalam Bawa, I Wayan dan I Wayan Cika<br />

(Penyunting). Bahasa dalam Persepektif Kebudayaan. Denpasar:<br />

Universitas Udayana.<br />

Moiij, J.J.A. 1976. Study of Metaphor. Amsterdam: North Hollands Publishing<br />

Coy.<br />

Moleong. L. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya<br />

Offsett.<br />

Muslich, Masnur. 2008. Tata Bentuk Bahasa Indonesia Kajian ke Arah<br />

Tata<strong>bahasa</strong> Deskriptif. Jakarta: Bumi Aksara.<br />

Oka, I Gusti Ngurah dan Suparno. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Dirjen Dikti<br />

Depdiknas.<br />

Palmer, Gary B. 1996. Toward a Theory of Cultural Linguistics. Austin:<br />

University of Texas Press.<br />

Rahyono, F.X. 2009. Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta:<br />

Wedatamawidyasastra.<br />

Ramlan. 1983. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: CV ”Karyono”<br />

Redjasa, I Ketut. 2001. ”Wacana Lelucon Drama Gong di Bali” (Tesis).<br />

Denpasar. Universitas Udayana.<br />

Rota, Ketut. 1990. Retorika Sebagai Ragam Bahasa Panggung dalam Seni<br />

Pertunjukan Wayang Kulit Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan dan<br />

Kebudayaan.<br />

Santoso, Riyadi. 2003. Semiotika Sosial Pandangan Terhadap Bahasa.<br />

Surabaya: Pustaka Eureka dan JP Press.


158<br />

Saussure, Ferdinand de. 1996. Course in General Linguistics. New York: Mc<br />

Grawhill Book Company.<br />

Sherzer, Joel. 2002. Speech Play and Verbal Art. United States of America:<br />

University of Texas Press.<br />

Sibarani, Robert. 2002. Fenomena Pelesetan Bahasa dalam Bahasa Indonesia.<br />

Buku Panduan Kongres Linguistik Nasional X. Bali 17--20 Juli.<br />

Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik. Medan: Poda.<br />

Sudaryanto. 1992. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar<br />

Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta<br />

Wacana University Press<br />

Suwija, I Nyoman. 2008. Wacana Kritik Sosial Wayang Cenk Blonk, Joblar dan<br />

Sidia. Disertasi. Denpasar: Universitas Udayana.<br />

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya<br />

Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2010. Analisis Wacana<br />

Pragmatik Kajian Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka.<br />

Wijana, I Dewa Putu. 2002. Angka, Bilangan, dan Huruf dalam Permainan<br />

Bahasa. Buku Panduan Kongres Linguistik Nasional X. Bali 17-20 Juli.<br />

Yadnya, Putra. 2004. ”Menuju Linguistik Kebudayaan sebagai Ilmu: Sebuah<br />

Perspektif Filsafat Ilmu”. dalam Bahasa dalam Perspektif Kebudayaan.<br />

Denpasar: Universitas Udayana.<br />

Zamzamah, Sarjinah. 2000. “Semiotika dalam Berhala” dalam Tonil Volume 1,<br />

Nomor 1.Yogyakarta.<br />

Zurbuchen, Mary Sabina. 1987. The Language of Balinese Shadow Theater.<br />

New Jersey: Princeton University Press.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!