30.08.2013 Views

bab ii penegakan hukum dan peninjauan kembali putusan ...

bab ii penegakan hukum dan peninjauan kembali putusan ...

bab ii penegakan hukum dan peninjauan kembali putusan ...

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

BAB II<br />

PENEGAKAN HUKUM DAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN<br />

PENGADILAN YANG TELAH MEMPEROLEH KEKUATAN<br />

HUKUM TETAP DALAM PRAKTIK PERADILAN PIDANA<br />

DI INDONESIA<br />

2.1. Penegakan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pi<strong>dan</strong>a di Indonesia<br />

Upaya <strong>penegakan</strong> <strong>hukum</strong> dalam <strong>hukum</strong> pi<strong>dan</strong>a tidak dapat dipan<strong>dan</strong>g sebagai<br />

tanggung jawab secara parsial dari pihak tertentu. Hal itu karena a<strong>dan</strong>ya keterkaitan<br />

berbagai pihak dalam penanganannya sebagai suatu sistem. Oleh karenanya, sebagai<br />

suatu sistem perlu dipahami mengenai sistem peradilan pi<strong>dan</strong>a itu sendiri.<br />

Istilah sistem peradilan pi<strong>dan</strong>a dalam berbagai referensi digunakan sebagai<br />

pa<strong>dan</strong>an dari criminal justice system. Definisi criminal justice system dalam Black’s<br />

Law Dictionary disebutkan sebagai “The system typically has three components: law<br />

enforcement (police, sheriffs, marshals), the judicial process (judges, prosecutors,<br />

defense lawyers), and corrections (prison officials, probation officers, parole<br />

officers)”. 59 Pengertian tersebut lebih menekankan pada “komponen” dalam sistem<br />

<strong>penegakan</strong> <strong>hukum</strong>, yang terdiri dari polisi, jaksa penuntut umum, hakim, advokat <strong>dan</strong><br />

lembaga pemasyarakatan. Disamping itu pengertian diatas juga menekankan kepada<br />

fungsi komponen untuk ”menegakkan <strong>hukum</strong> pi<strong>dan</strong>a”, yaitu fungsi penyidikan,<br />

proses peradilan <strong>dan</strong> pelaksanaan pi<strong>dan</strong>anya.<br />

Berbeda dengan pengertian dalam Black’s di atas, pengertian sistem peradilan<br />

pi<strong>dan</strong>a seperti dikemukakan oleh Muladi, bahwa sistem peradilan pi<strong>dan</strong>a merupakan<br />

Minn, h. 381<br />

59 Bryan A. Garner, 1999, Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, West Group, St. Paul,<br />

43


suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan <strong>hukum</strong> pi<strong>dan</strong>a sebagai sarana<br />

utamanya, baik <strong>hukum</strong> pi<strong>dan</strong>a mater<strong>ii</strong>l, <strong>hukum</strong> pi<strong>dan</strong>a formil maupun <strong>hukum</strong><br />

pelaksanaan pi<strong>dan</strong>a. 60 Pengertian yang dikemukakan Muladi tersebut, disamping<br />

memberi penekanan pada suatu ”jaringan” peradilan, juga menekankan a<strong>dan</strong>ya<br />

penggunaan <strong>hukum</strong> pi<strong>dan</strong>a oleh jaringan dalam melaksanakan tugasnya secara<br />

menyeluruh, baik <strong>hukum</strong> pi<strong>dan</strong>a substantif, <strong>hukum</strong> acara pi<strong>dan</strong>a maupun <strong>hukum</strong><br />

penitensier untuk mencapai tujuan jaringan tersebut, se<strong>dan</strong>gkan dalam pengertian<br />

Black’s terlihat lebih menekankan pada kelembagaannya (komponen).<br />

Pemahaman pengertian “sistem” dalam pendapat yang lain menurut Gordon<br />

B. Davis sebagaimana dikutip Muladi, dalam hal ini harus dilihat dalam konteks baik<br />

sebagai physical system, dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja<br />

untuk mencapai suatu tujuan, maupun sebagai abstract system, dalam arti gagasan-<br />

gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain berada dalam<br />

ketergantungan. 61 Dari pemahaman tersebut, pengertian “sistem” dalam sistem<br />

peradilan pi<strong>dan</strong>a meliputi keterpaduan bekerjanya elemen-elemen pendukung<br />

peradilan pi<strong>dan</strong>a maupun gagasan-gagasan yang tersistimatis.<br />

Definisi yang lain seperti dikemukakan Remington <strong>dan</strong> Ohlin sebagaimana<br />

dikutip oleh Romli Atmasasmita, bahwa criminal justice system dapat diartikan<br />

sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan<br />

pi<strong>dan</strong>a, <strong>dan</strong> peradilan pi<strong>dan</strong>a sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara<br />

peraturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan, praktik administrasi <strong>dan</strong> sikap atau tingkah laku<br />

sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi<br />

60 Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pi<strong>dan</strong>a, Ba<strong>dan</strong> Penerbit Universitas<br />

Diponegoro, Semarang, h. 4<br />

61 Ibid, h. 15<br />

44


yang dipersiapkan secara rasional <strong>dan</strong> dengan cara efisien untuk memberikan hasil<br />

tertentu dengan segala keterbatasannya. 62 Pengertian tersebut memberi pemahaman<br />

bahwa sistem peradilan pi<strong>dan</strong>a merupakan proses interaksi secara terpadu antara<br />

peraturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan pi<strong>dan</strong>a, praktik administrasi yang dijalankan lembaga<br />

peradilan pi<strong>dan</strong>a <strong>dan</strong> pelaksananya.<br />

Terkait dengan pengertian di atas, oleh Hagan seperti dikutip Romli<br />

Atmasasmita, membedakan pengertian antara criminal justice system <strong>dan</strong> criminal<br />

justice process. Menurut Hagan, criminal justice process adalah setiap tahap dari<br />

suatu <strong>putusan</strong> yang dihadapkan seorang tersangka kedalam proses yang<br />

membawanya kepada penentuan pi<strong>dan</strong>a baginya. Se<strong>dan</strong>gkan criminal justice system<br />

adalah interkoneksi antara ke<strong>putusan</strong> dari setiap instansi yang terlibat dalam proses<br />

peradilan pi<strong>dan</strong>a. 63 Peradilan pi<strong>dan</strong>a sebagai ”proses” menurut pengertian Hagan,<br />

didalamnya terdapat pentahapan penanganan oleh komponen-komponen terkait yang<br />

masing-masing memberikan suatu ke<strong>putusan</strong> hingga ada penentuan status <strong>hukum</strong><br />

bagi tersangka/terdakwa. Se<strong>dan</strong>gkan peradilan pi<strong>dan</strong>a sebagai ”sistem” didalamnya<br />

terdapat keterkaitan hubungan ke<strong>putusan</strong> yang dibuat setiap komponen terkait dalam<br />

prosesnya kearah suatu tujuan.<br />

Dari definisi-definisi di atas, terlihat a<strong>dan</strong>ya beberapa penekanan, yaitu :<br />

Pertama, a<strong>dan</strong>ya sistem dari suatu proses yang merupakan proses pelaksanaan<br />

tanggung jawab yang terdapat dalam suatu lembaga peradilan pi<strong>dan</strong>a. Jadi terdapat<br />

tahapan-tahapan yang berjalan secara sistematis dalam melaksanakan peradilan<br />

pi<strong>dan</strong>a.<br />

62 Romli Atmasasmita, 1996, Sistim Peradilan Pi<strong>dan</strong>a, Perspektif Eksistensialisme <strong>dan</strong><br />

Abolisionisme, Binacipta, Bandung, h. 14<br />

63 Ibid.<br />

45


Kedua, a<strong>dan</strong>ya fungsi komponen-komponen yang berperan menjalankan<br />

proses tersebut. Komponen-komponen tersebut dengan mengambil batasan yang<br />

diberikan Mardjono Reksodipoetro, bahwa yang dimaksud dengan sistem peradilan<br />

pi<strong>dan</strong>a adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga<br />

kepolisian, kejaksaan, pengadilan <strong>dan</strong> pemasyarakatan terpi<strong>dan</strong>a. 64 Jadi komponen<br />

dimaksud adalah kepolisian, kejaksaan, pengadilan <strong>dan</strong> lembaga pemasyarakatan.<br />

Diun<strong>dan</strong>gkannya Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, maka<br />

advokat sudah selayaknya menjadi bagian komponen didalamnya.<br />

Apabila dilihat dari fungsi masing-masing komponen tersebut, yaitu<br />

kepolisian yang berfungsi melakukan tugas penyidikan, kejaksaan bertugas<br />

melakukan fungsi penuntutan, pengadilan yang berfungsi melakukan tugas<br />

mengadili, advokat berfungsi melakukan tugas mendampingi <strong>dan</strong> memberikan jasa<br />

bantuan <strong>hukum</strong> terhadap tersangka/terdakwa/terpi<strong>dan</strong>a, serta fungsi lembaga<br />

pemasyarakatan yang bertugas menjalankan <strong>putusan</strong> peng<strong>hukum</strong>an <strong>dan</strong><br />

pemasyarakatan narapi<strong>dan</strong>a, urutan tersebut menunjukkan rangkaian proses yang<br />

harus dilalui dari suatu sistem yang bekerja untuk suatu tujuan tertentu.<br />

Ketiga, a<strong>dan</strong>ya penekanan bagaimana tiap-tiap komponen menjalankan<br />

tugasnya. Meskipun setiap komponen peradilan pi<strong>dan</strong>a dalam menjalankan tugasnya<br />

sebagai institusi yang berdiri sendiri <strong>dan</strong> mempunyai fungsi yang berbeda-beda,<br />

namun dalam menjalankan fungsinya tersebut semua komponen harus bekerja secara<br />

terpadu. Keterpaduan tersebut diharapkan untuk menjalin kerja antar komponen<br />

64 Mardjono Reksodipoetro, 1993, Sistem Peradilan Pi<strong>dan</strong>a Indonesia (Melihat Kepada<br />

Kejahatan <strong>dan</strong> Penegakan Hukum dalam Batas-batas Toleransi)”, Pidato Pengukuhan Penerimaan<br />

Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum pada Universitas Indonesia, Jakarta, selanjutnya<br />

disebut Marjono Reksodipoetro I, h. 1<br />

46


secara terkait, sehingga terlaksana seluruh tahap dalam proses peradilan pi<strong>dan</strong>a yang<br />

sinergis guna mencapai tujuan yang tertentu.<br />

Keempat, a<strong>dan</strong>ya tujuan dari proses bekerjanya komponen-komponen dalam<br />

sistem tersebut. Tujuan disini dipan<strong>dan</strong>g sebagai tujuan secara keseluruhan atas hasil<br />

bekerjanya seluruh komponen. Oleh karenanya pemahaman tiap-tiap komponen dari<br />

seluruh tahapan mengenai tujuan tersebut menjadi penting <strong>dan</strong> menjadi peran yang<br />

sangat besar dalam mewujudkan tujuan atas proses yaitu dalam rangka<br />

penanggulangan kejahatan.<br />

Terkait dengan pemahaman atas tujuan dari sistem peradilan pi<strong>dan</strong>a, oleh<br />

Alan Coffey sebagaimana dikutip Mardjono Reksodipoetro, dikemukakan bahwa :<br />

Peradilan pi<strong>dan</strong>a hanya dapat diberfungsi secara sistimatis apabila setiap<br />

bagian sistem tersebut mengingat akan tujuan yang hendak dicapai oleh<br />

keseluruhan bagian lainnya. Dengan kata lain, sistim tersebut tidak akan<br />

sistimatis jika hubungan antara polisi <strong>dan</strong> penuntut umum, polisi dengan<br />

pengadilan, penuntut umum dengan lembaga pemasyarakatan, lembaga<br />

pemasyarakatan <strong>dan</strong> <strong>hukum</strong> <strong>dan</strong> seterusnya, tidak harmonis. Diabaikannya<br />

hubungan fungsional diantara bagian-bagian tersebut menye<strong>bab</strong>kan sistim<br />

peradilan pi<strong>dan</strong>a rentan terhadap perpecahan (fragmentasi) <strong>dan</strong> tidak efektif. 65<br />

Pemahaman di atas menegaskan bahwa proses bekerjanya peradilan pi<strong>dan</strong>a<br />

baru dapat terbentuk sebagai suatu proses yang sistematis apabila ada pemahaman<br />

yang sama diantara komponen-komponen peradilan pi<strong>dan</strong>a tentang tujuan sistim<br />

peradilan pi<strong>dan</strong>a. Apabila tidak tercipta pemahaman yang sama diantara komponen,<br />

peradilan pi<strong>dan</strong>a berpotensi akan terfragmentasi <strong>dan</strong> berjalan sendiri-sendiri,<br />

sehingga akan menye<strong>bab</strong>kan <strong>penegakan</strong> <strong>hukum</strong> dengan menggunakan sistem ini<br />

65 Mardjono Reksodipoetro, 1983, Bahan Bacaan Wajib Matakuliah Sistim Peradilan<br />

Pi<strong>dan</strong>a, Pusat Dokumentasi Hukum UI, Jakarta, selanjutnya disebut Marjono Reksodipoetro II, h. 82<br />

47


tidak akan berhasil dengan baik. Oleh Mardjono Reksodipoetro, tujuan sistem<br />

peradilan pi<strong>dan</strong>a dapat dirumuskan sebagai berikut:<br />

1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.<br />

2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas<br />

bahwa keadilan telah ditegakkan <strong>dan</strong> yang bersalah dipi<strong>dan</strong>a.<br />

3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak<br />

mengulangi lagi kejahatannya. 66<br />

Atas tujuan tersebut, Mardjono Reksodipoetro mengemukakan bahwa empat<br />

komponen dalam sistem peradilan pi<strong>dan</strong>a (kepolisian, kejaksaan, pengadilan <strong>dan</strong><br />

lembaga pemasyarakatan) diharapkan dapat bekerja sama <strong>dan</strong> dapat membentuk<br />

suatu ”integrated criminal justice system”. 67 Apabila keterpaduan dalam bekerja<br />

sistem tidak dilakukan, oleh Mardjono Reksodipoetro diperkirakan akan terdapat tiga<br />

kerugian, yaitu :<br />

1. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masingmasing<br />

instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama.<br />

2. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masingmasing<br />

instansi (sebagai subsistem dari sistem peradilan pi<strong>dan</strong>a).<br />

3. Karena tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas<br />

terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas<br />

menyeluruh dari sistem peradilan pi<strong>dan</strong>a. 68<br />

Dirangkaikannya istilah “integrated” terhadap criminal justice system,<br />

menurut Muladi dipan<strong>dan</strong>g sebagai suatu ke<strong>putusan</strong> yang berlebihan (overboding),<br />

se<strong>bab</strong> tidak ada sistem yang tidak terintegrasi atau terpadu. 69 Hal itu apabila ditarik<br />

dari pengertian system menurut Muladi, karena dalam istilah system seharusnya<br />

66 Romli Atmasasmita, Op.cit., h. 15<br />

67 Romli Atmasasmita, Op.cit., h. 15<br />

68 Romli Atmasasmita, Op.cit., h. 15<br />

69 Muladi, Op.cit., h. 119<br />

48


sudah terkandung keterpaduan (integration and coordination). 70 Keterpaduan<br />

tersebut didasarkan atas indikator-indikator sebagai berikut :<br />

1. Berorientasi pada tujuan (purposive behaviour).<br />

2. Menyeluruh dari pada sekedar penjumlahan bagian-bagiannya (wholism).<br />

3. Sistim selalu berinteraksi dengan sistem yang lebih besar (openness).<br />

4. Operasionalisasi bagian-bagiannya menciptakan sistim nilai tertentu<br />

(transformation).<br />

5. Antar bagian sistem harus cocok satu sama lain (interrelatedness).<br />

6. A<strong>dan</strong>ya mekanisme kontrol dalam rangka pengendalian secara terpadu<br />

(control mechanism). 71<br />

Meskipun demikian Muladi setuju apabila penyebutan istilah tersebut<br />

diarahkan untuk lebih memberi tekanan agar integrasi <strong>dan</strong> koordinasi lebih<br />

diperhatikan, se<strong>bab</strong> fragmentasi dalam sistem peradilan pi<strong>dan</strong>a nampaknya<br />

merupakan disturbing issue. 72 Kiranya pelaksanaan sistem peradilan pi<strong>dan</strong>a yang<br />

tidak dilakukan secara terintegrasi <strong>dan</strong> terkoordinasi dengan baik, menurut<br />

pan<strong>dan</strong>gan para ahli <strong>hukum</strong> dimungkinkan tercipta fragmentasi yang dapat<br />

menghambat tercapainya tujuan sistem tersebut dalam <strong>penegakan</strong> <strong>hukum</strong>. A<strong>dan</strong>ya<br />

wewenang diskresi juga dapat memicu timbulnya fragmentasi dalam sistem peradilan<br />

pi<strong>dan</strong>a tersebut. Jika tidak ada rasa saling pengertian <strong>dan</strong> kerjasama diantara<br />

subsistem-subsistem peradilan pi<strong>dan</strong>a, dapat menimbulkan berbagai kecurigaan yang<br />

tidak perlu, <strong>dan</strong> juga dapat berdampak negatif terhadap pencapaian tujuan sistem<br />

peradilan pi<strong>dan</strong>a.<br />

Keserempakan <strong>dan</strong> keselarasan sebagai kandungan makna dari sinkronisasi<br />

sesuai dengan makna <strong>dan</strong> ruang lingkup sistem, menurut Muladi dapat besifat :<br />

sinkronisasi struktural (structural syncronization), yaitu keserempakan <strong>dan</strong><br />

keselarasan dalam administrasi peradilan pi<strong>dan</strong>a (the administration of<br />

70 Muladi, Op.cit., h. 1<br />

71 Muladi, Op.cit., h. 119<br />

72 Muladi, Op.cit., h. 1<br />

49


justice) dalam rangka hubungan antar lembaga penegak <strong>hukum</strong>, dapat pula<br />

bersifat sinkronisasi substansial (substancial syncronization), yaitu<br />

keserempakan <strong>dan</strong> keselarasan yang bersifat vertikal <strong>dan</strong> horizontal dalam<br />

kaitannya dengan <strong>hukum</strong> positif, <strong>dan</strong> dapat pula bersifat sinkronisasi kultural<br />

(cultural syncronization), yaitu keserempakan <strong>dan</strong> keselarasan dalam<br />

menghayati pan<strong>dan</strong>gan-pan<strong>dan</strong>gan, sikap-sikap <strong>dan</strong> falsafah yang secara<br />

menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pi<strong>dan</strong>a. 73<br />

Pendapat yang lain sehubungan dengan tujuan sistem peradilan pi<strong>dan</strong>a<br />

sebagaimana dikemukakan oleh Herbert L. Packer, bahwa a pragmatic approach to<br />

the central question of what the criminal law is good for would require both a<br />

general assessment of whether the criminal process is a high speed or a lows peed<br />

instrument of social control and a series of specific assessment of its fitness for<br />

handling particular kinds of antisocial behavior. 74 Menurut Packer, bahwa suatu<br />

pendekatan pragmatis atas pertanyaan mendasar mengenai tujuan baik dari a<strong>dan</strong>ya<br />

<strong>hukum</strong> pi<strong>dan</strong>a memerlukan suatu penyelidikan secara umum tentang apakah suatu<br />

proses pi<strong>dan</strong>a merupakan suatu kendali sosial yang memiliki kecepatan tinggi atau<br />

rendah dari penyelidikan lanjutan <strong>dan</strong> bersifat khusus mengenai kemampuannya<br />

untuk mengantisipasi perilaku anti sosial.<br />

Satu-satunya cara untuk melaksanakan tugas tersebut diatas menurut Packer<br />

adalah dengan mengabstraksi kenyataan <strong>dan</strong> membangun sebuah model. One way to<br />

do this kind of job is to abstract from reality, to build a model. 75 Model yang hendak<br />

dibangun adalah :<br />

1. It has considerable utility as an index of current value choices........about<br />

how the system actually operates (yang memiliki kegunaan sebagai<br />

indeks dari suatu pilihan nilai masa kini tentang bagaimana suatu sistem<br />

d<strong>ii</strong>mplementasikan).<br />

73 Muladi, Op.cit., h. 1-2<br />

74 Herbert L. Packer, 1986, The Limits of The Criminal Sanction, Stanford University Press,<br />

Stanford, California, h. 152<br />

75 Ibid.<br />

50


2. The kind of model that might emerge from an attempt to cut loose from<br />

the law on the books and to describe, as accurately as possible, what<br />

actually goes on in the real life (sebuah model yang terbentuk dari usaha<br />

untuk membedakan secara tajam <strong>hukum</strong> dalam buku teks <strong>dan</strong><br />

mengungkapkan seakurat mungkin apa yang se<strong>dan</strong>g terjadi dalam<br />

kehidupan nyata sehari-hari).<br />

3. The kind of model we need is one that permits us to recognize explicitly<br />

the value choices that underlie the details of the criminal process (sebuah<br />

model yang dapat dipergunakan untuk mengenali secara eksplisit pilihan<br />

nilai yang melandasi rincian suatu proses pi<strong>dan</strong>a). 76<br />

Bentuk model yang cocok untuk mencapai hal di atas menurut Packer adalah<br />

model-model normatif, <strong>dan</strong> dari beberapa model normatif yang ada, tidak akan lebih<br />

dari dua model saja yang cocok, yaitu the due process model <strong>dan</strong> the crime control<br />

model. 77 Terhadap model-model yang dibangun oleh Packer tersebut, Muladi<br />

berpendapat terdapat kelemahan atas model-model itu, yaitu :<br />

1. Crime control model, sebagaimana digambarkan oleh John Griffiths<br />

sebagai model yang bertumpu pada the proposition that the repression of<br />

criminal conduct is by far the most important function to be performed by<br />

the criminal process. 78 Model ini berpan<strong>dan</strong>gan tindakan yang bersifat<br />

represif sebagai terpenting dalam melaksanakan proses peradilan pi<strong>dan</strong>a.<br />

Menurut Muladi, model ini merupakan bentuk asli dari adversary model<br />

dengan ciri-ciri penjahat dilihat sebagai musuh masyarakat yang harus<br />

dibasmi atau diasingkan, efisiensi, ketertiban umum berada diatas<br />

segalanya, tujuan pemi<strong>dan</strong>aan adalah pengasingan. 79<br />

2. Due process model, menurut Muladi tidak sepenuhnya menguntungkan,<br />

se<strong>bab</strong> meskipun model ini diliputi oleh the concept of the primacy of the<br />

76<br />

Ibid, h. 152-153<br />

77<br />

Ibid.<br />

78<br />

Muladi, Op.cit., h. 5<br />

79<br />

Muladi, Op.cit., h. 5<br />

51


individual and the complementary concept of limitation on official power<br />

<strong>dan</strong> bersifat anti outhoritarian values, namun tetap berada dalam<br />

kerangka adversary model. 80 Konsep due process model menempatkan<br />

individu pada kedudukan yang istimewa <strong>dan</strong> pembatasan kekuasaan<br />

aparat <strong>dan</strong> bersifat anti nilai-nilai kepatuhan yang mutlak. Dalam<br />

pan<strong>dan</strong>gan Muladi, hal tersebut jelas tidak sesuai dengan falsafah<br />

Pancasila, yang melihat pelaku tindak pi<strong>dan</strong>a baik sebagai makhluk<br />

individual maupun sebagai makhluk sosial. 81<br />

3. Family model dari Griffiths dinilai juga kurang memadai, karena masih<br />

terlalu offender oriented, padahal disisi lain masih terdapat korban (the<br />

victim of crime) yang memerlukan perhatian serius. 82<br />

Berdasarkan penilaian tersebut menurut Muladi, dengan mendasarkan diri<br />

pada konsep equal justice, model yang sesuai dengan sistim peradilan pi<strong>dan</strong>a<br />

Indonesia adalah model yang realistik yang memperhatikan pelbagai kepentingan<br />

yang harus dilindungi oleh <strong>hukum</strong> pi<strong>dan</strong>a, yaitu kepentingan negara, kepentingan<br />

umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pi<strong>dan</strong>a <strong>dan</strong> kepentingan<br />

korban kejahatan. 83 Model tersebut oleh Muladi disebut sebagai model<br />

keseimbangan, yaitu model yang bertumpu pada konsep daad-daderstrafrecht.<br />

Model keseimbangan kepentingan yang bertumpu konsep daad-daderstrafrecht<br />

tersebut terlihat belum terakomodir dalam <strong>hukum</strong> acara pi<strong>dan</strong>a yang berlaku saat ini,<br />

yaitu Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pi<strong>dan</strong>a (KUHAP),<br />

80 Muladi, Op.cit., h.5<br />

81 Muladi, Op.cit., h.5<br />

82 Muladi, Op.cit., h.5<br />

83 Muladi, Op.cit., h.5<br />

52


yang bertumpu pada konsep daderstrafrecht yang lebih memberi penekanan pada<br />

pelaku tindak pi<strong>dan</strong>a.<br />

Keperpihakan Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara<br />

Pi<strong>dan</strong>a pada pelaku tindak pi<strong>dan</strong>a, terlihat dari sepuluh asas yang terkandung<br />

didalamnya, yaitu :<br />

1. Perlakuan yang sama dimuka <strong>hukum</strong>, tanpa diskriminasi apapun.<br />

2. Praduga tidak bersalah.<br />

3. Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) <strong>dan</strong> rehabilitasi.<br />

4. Hak untuk memperoleh bantuan <strong>hukum</strong>.<br />

5. Hak kehadiran terdakwa dimuka pengadilan.<br />

6. Peradilan yang bebas dilakukan dengan cepat <strong>dan</strong> sederhana.<br />

7. Peradilan yang terbuka untuk umum.<br />

8. Pelanggaran atas hak-hak warga negara (penangkapan, penahanan,<br />

penggeledahan <strong>dan</strong> penyitaan) harus didasarkan pada un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g <strong>dan</strong><br />

dilakukan dengan surat perintah (tertulis).<br />

9. Hak seseorang tersangka untuk diberitahukan tentang persangkaan <strong>dan</strong><br />

pendakwaan terhadapnya.<br />

10. Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan <strong>putusan</strong>. 84<br />

Penegakan <strong>hukum</strong> pi<strong>dan</strong>a dalam kerangka sistem peradilan pi<strong>dan</strong>a di<br />

Indonesia yang sampai saat ini masih melandaskan diri pada Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor<br />

8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pi<strong>dan</strong>a (KUHAP), memang dirasakan belum<br />

mewakili berbagai kepentingan. Sebagai contoh, mengenai kepentingan korban<br />

dalam proses peradilan pi<strong>dan</strong>a yang diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum, juga masih<br />

ada perbedaan yang menyolok dengan kepentingan pelaku tindak pi<strong>dan</strong>a. Oleh<br />

karenanya tujuan yang hendak dicapai dalam sistem peradilan pi<strong>dan</strong>a sebagaimana<br />

dikemukakan Mardjono Reksodipoetro, yaitu antara lain menyelesaikan kasus<br />

kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan,<br />

agaknya tidak akan terlaksana secara baik.<br />

84 Mardjono Reksodipoetro II, Op.cit., h. 11-12<br />

53


Mengambil pengertian <strong>penegakan</strong> <strong>hukum</strong> menurut Satjipto Rahardjo, bahwa<br />

<strong>penegakan</strong> <strong>hukum</strong> adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan<br />

<strong>hukum</strong> menjadi kenyataan. Se<strong>dan</strong>gkan keinginan-keinginan <strong>hukum</strong> itu sendiri adalah<br />

pikiran-pikiran ba<strong>dan</strong> pembuat un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g yang dirumuskan dalam peraturan-<br />

peraturan <strong>hukum</strong>, 85 maka dalam proses <strong>penegakan</strong> <strong>hukum</strong> oleh para pejabat penegak<br />

<strong>hukum</strong> disini terkait erat dengan peraturan-peraturan <strong>hukum</strong> yang telah ada. Oleh<br />

karenanya menurut Satjipto Rahardjo, perumusan pikiran pembuat <strong>hukum</strong> yang<br />

dituangkan dalam peraturan <strong>hukum</strong> akan turut menentukan bagaimana <strong>penegakan</strong><br />

<strong>hukum</strong> itu dijalankan. 86<br />

Memperhatikan pengertian <strong>penegakan</strong> <strong>hukum</strong> menurut Satjipto Rahardjo di<br />

atas, dapat disimpulkan bahwa pembuat <strong>hukum</strong> (un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g) juga dapat<br />

diartikan sebagai komponen yang turut menentukan dalam sistem peradilan pi<strong>dan</strong>a,<br />

karena bagaimanapun juga tindakan-tindakan dalam proses <strong>penegakan</strong> <strong>hukum</strong> yang<br />

dilakukan oleh para pejabat penegak <strong>hukum</strong> juga terikat aturan-aturan <strong>hukum</strong> yang<br />

berlaku hasil perumusan para pembuat <strong>hukum</strong> (un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g). Dengan selarasnya<br />

tindakan antara komponen penegak <strong>hukum</strong> secara terstruktur, substansial maupun<br />

kultural sebagai suatu sistem sebagaimana dikemukakan Muladi diatas dengan<br />

bertumpu pada konsep keseimbangan, maka <strong>penegakan</strong> <strong>hukum</strong> dalam sistem<br />

peradilan pi<strong>dan</strong>a di Indonesia diharapkan dapat mencapai keinginan-keinginan sesuai<br />

<strong>hukum</strong>.<br />

85 Satjipto Rahardjo I, Op.cit., h. 24<br />

86 Satjipto Rahardjo I, Op.cit., h. 24<br />

54


2.2. Fungsi Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang Telah Memperoleh<br />

Kekuatan Hukum Tetap Dalam Perkara Pi<strong>dan</strong>a<br />

Istilah <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> terhadap <strong>putusan</strong> pengadilan yang telah<br />

memperoleh kekuatan <strong>hukum</strong> tetap dalam <strong>hukum</strong> positif di Indonesia mulai dikenal<br />

sejak negara Indonesia merdeka, yaitu termuat dalam Pasal 15 Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g<br />

Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,<br />

yang menyatakan, ”Terhadap <strong>putusan</strong> Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan<br />

<strong>hukum</strong> yang tetap, dapat dimohonkan <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong>, hanya apabila terdapat<br />

hal-hal atau keadaan, yang ditentukan dengan un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g”. Ketentuan tentang<br />

<strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> tersebut ditegaskan <strong>kembali</strong> dalam Pasal 21 Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g<br />

Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,<br />

yaitu ”Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan<br />

un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g, terhadap <strong>putusan</strong> Pengadilan, yang telah memperoleh kekuatan<br />

<strong>hukum</strong> yang tetap dapat dimintakan <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> kepada Mahkamah Agung,<br />

dalam perkara perdata <strong>dan</strong> pi<strong>dan</strong>a oleh pihak-pihak yang berkepentingan”.<br />

Apabila dibandingkan dengan Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 19 Tahun 1964,<br />

ketentuan Pasal 21 Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 14 Tahun 1970 menambah ketentuan<br />

bahwa <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> dapat diajukan baik terhadap perkara perdata maupun<br />

perkara pi<strong>dan</strong>a <strong>dan</strong> <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> diajukan kepada Mahkamah Agung. Khusus<br />

dalam perkara pi<strong>dan</strong>a, istilah <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> terakhir termuat dalam Un<strong>dan</strong>g-<br />

un<strong>dan</strong>g Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pi<strong>dan</strong>a (KUHAP), yaitu<br />

sebagaimana diatur dalam Bab XVIII, Bagian Kedua, Pasal 263 sampai dengan Pasal<br />

269 KUHAP. Dalam Pasal 263 KUHAP dinyatakan, ”Terhadap <strong>putusan</strong> pengadilan<br />

55


yang telah memperoleh kekuatan <strong>hukum</strong> tetap, kecuali <strong>putusan</strong> bebas atau lepas dari<br />

segala tuntutan <strong>hukum</strong>, terpi<strong>dan</strong>a atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan<br />

<strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> kepada Mahkamah Agung”.<br />

Setelah keluarnya KUHAP pada tahun 1981, istilah <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong><br />

termuat lagi dalam Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah<br />

Agung, sebagaimana termuat dalam Pasal 28, Pasal 34 <strong>dan</strong> Pasal 66 sampai dengan<br />

Pasal 77. Selain termuat dalam Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 14 Tahun 1985 tersebut, juga<br />

termuat dalam Pasal 23 <strong>dan</strong> Pasal 24 Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 48 Tahun 2009 tentang<br />

Kekuasaan Kehakiman.<br />

Sebenarnya dalam praktik peradilan di Indonesia, <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> sudah<br />

lama dikenal <strong>dan</strong> diberlakukan. Pada awalnya istilah yang dipergunakan untuk<br />

<strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> untuk perkara perdata adalah Request Civiel (rekes sipil)<br />

sebagaimana diatur Reglement op de Rechtsvordering (Rv) (S.1847 jo. 1847-52 jo.<br />

1849-63), se<strong>dan</strong>gkan dalam perkara pi<strong>dan</strong>a adalah Herziening sebagaimana diatur<br />

dalam Pasal 356 sampai dengan Pasal 360 Titel ke-18 Reglement op de<br />

Strafvordering (Rs) (S. 1847-40 jo. 57), yaitu <strong>hukum</strong> acara pi<strong>dan</strong>a yang berlaku<br />

untuk memeriksa <strong>dan</strong> mengadili penduduk golongan Eropa, Timur Asing <strong>dan</strong><br />

Tionghoa ataupun yang dipersamakan dengan mereka. Istilah tersebut seperti<br />

disebutkan oleh Oemar Seno Adji, bahwa lembaga <strong>hukum</strong> ”<strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong>”<br />

meliputi baik perkara pi<strong>dan</strong>a maupun perkara perdata masing-masing merupakan<br />

”herziening” <strong>dan</strong> ”request civiel”. 87 Se<strong>dan</strong>gkan bagi penduduk asli (Bumi Putera)<br />

yang berlaku ketika itu adalah Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) (S. 1848-<br />

Jakarta, h. 12.<br />

87 Oemar Seno Adji, 1981, Herziening Ganti Rugi, Suap, Perkembangan Delik, Erlangga,<br />

56


57 jo. S. 1926-559) untuk daerah Jawa <strong>dan</strong> Madura, <strong>dan</strong> untuk daerah luar Jawa <strong>dan</strong><br />

Madura diberlakukan Rechtreglement Buitengewesten (RBg) (S. 1927-227). Akan<br />

tetapi untuk perkara pi<strong>dan</strong>a, HIR maupun RBg sama sekali tidak mengenal tentang<br />

<strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> tersebut.<br />

Selain termuat dalam Reglement op de Strafvordering, Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g<br />

Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,<br />

Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok<br />

Kekuasaan Kehakiman, KUHAP, Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 14 Tahun 1985 tentang<br />

Mahkamah Agung maupun dalam Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 48 Tahun 2009 tentang<br />

Kekuasaan Kehakiman tersebut diatas, istilah <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> dalam perkara<br />

pi<strong>dan</strong>a juga dapat dijumpai dalam beberapa Peraturan Mahkamah Agung Republik<br />

Indonesia (PERMA). Antara lain dalam PERMA Nomor 1 Tahun 1969, PERMA<br />

Nomor 1 Tahun 1980 <strong>dan</strong> terakhir PERMA Nomor 1 Tahun 1982. Keluarnya<br />

PERMA Nomor 1 Tahun 1982 mempertegas penggunaan istilah <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong><br />

baik terhadap perkara pi<strong>dan</strong>a maupun perkara perdata. Hal tersebut sebagaimana<br />

terlihat dalam Pasal 1 ayat (3) PERMA Nomor 1 Tahun 1982, yang menentukan<br />

”Upaya <strong>hukum</strong> luar biasa yang selama ini dikenal dengan istilah request civiel/rekes<br />

sipil tidak dipergunakan lagi <strong>dan</strong> diganti dengan istilah ”<strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong>”.<br />

Apa yang dimaksud dengan <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> dalam <strong>hukum</strong> positif<br />

Indonesia yang ada juga tidak dijelaskan. Dalam beberapa <strong>hukum</strong> positif hanya<br />

disebutkan bahwa terhadap <strong>putusan</strong> pengadilan yang telah memperoleh kekuatan<br />

<strong>hukum</strong> tetap dapat dimintakan <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> kepada Mahkamah Agung dengan<br />

beberapa persyaratannya.<br />

57


Suatu <strong>putusan</strong> pengadilan dapat dikatakan telah memperoleh kekuatan <strong>hukum</strong><br />

tetap (in kracht van gewijsde), dalam <strong>hukum</strong> acara pi<strong>dan</strong>a yang sekarang berlaku<br />

(KUHAP) maupun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang<br />

Pelaksanaan Kitab Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Hukum Acara Pi<strong>dan</strong>a, sama sekali tidak<br />

mengaturnya. Namun dalam Ke<strong>putusan</strong> Menteri Kehakiman Nomor M.14-PW.07.03<br />

Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP, disebutkan bahwa<br />

<strong>putusan</strong> pengadilan baru dinyatakan telah mempunyai kekuatan <strong>hukum</strong> tetap apabila<br />

tenggang waktu untuk berfikir telah dilampaui 7 (tujuh) hari setelah <strong>putusan</strong><br />

pengadilan tingkat pertama <strong>dan</strong> 14 (empat belas) hari setelah <strong>putusan</strong> pengadilan<br />

tingkat banding.<br />

Ternyata agak sulit menemukan pengertian istilah <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> dalam<br />

peraturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan yang telah ada. Dalam kepustakaan, seperti<br />

dikemukakan oleh A. Hamzah <strong>dan</strong> Ir<strong>dan</strong> Dahlan, diartikan bahwa <strong>peninjauan</strong><br />

<strong>kembali</strong> yaitu hak terpi<strong>dan</strong>a untuk meminta memperbaiki ke<strong>putusan</strong> pengadilan yang<br />

telah menjadi tetap, sebagai akibat kekeliruan atau kelalaian hakim dalam<br />

menjatuhkan <strong>putusan</strong>nya. 88 Pendapat lain seperti dikemukakan oleh H. Adami<br />

Chazawi, bahwa <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> adalah upaya <strong>hukum</strong> luar biasa untuk melawan<br />

<strong>putusan</strong> pemi<strong>dan</strong>aan yang telah tetap <strong>dan</strong> hanya boleh diajukan oleh terpi<strong>dan</strong>a atau<br />

ahli warisnya. 89 Oemar Seno Adji merumuskan <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> sebagai<br />

herziening yang sama halnya dengan ”request civiel” dilakukan oleh Mahkamah<br />

Agung terhadap <strong>putusan</strong> pi<strong>dan</strong>a yang mengandung pemi<strong>dan</strong>aan yang telah<br />

88<br />

A. Hamzah <strong>dan</strong> Ir<strong>dan</strong> Dahlan, 1987, Upaya Hukum Dalam Perkara Pi<strong>dan</strong>a, Bina Aksara,<br />

Jakarta, h. 4.<br />

89<br />

Adami Chazawi, 2010, Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pi<strong>dan</strong>a, Penegakan<br />

Hukum dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat, Sinar Grafika, Jakarta, selanjutnya disebut<br />

Adam Chazawi I, h. 1.<br />

58


memperoleh kekuatan <strong>hukum</strong> yang tetap. 90 Black’s Law Dictionary memberi definisi<br />

<strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> atau judicial review sebagai a court’s review of a lower court’s<br />

or an administrative body’s factual or legal findings. 91<br />

Rumusan-rumusan pengertian tersebut hampir sama dengan rumusan<br />

ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Ditinjau dari unsur yang menyertai ketentuan<br />

Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut, landasan untuk dapat mengajukan <strong>peninjauan</strong><br />

<strong>kembali</strong> dalam perkara pi<strong>dan</strong>a terlihat telah diatur secara limitatif, yaitu pertama,<br />

<strong>putusan</strong> pengadilan yang dimintakan <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> telah memperoleh kekuatan<br />

<strong>hukum</strong> tetap. Kedua, bukan merupakan <strong>putusan</strong> bebas atau lepas dari segala tuntutan<br />

<strong>hukum</strong>. Ketiga, diajukan oleh terpi<strong>dan</strong>a atau ahli warisnya.<br />

Ketentuan di atas memperlihatkan bahwa latar belakang dibentuknya<br />

lembaga <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> adalah semata-mata untuk kepentingan terpi<strong>dan</strong>a, yaitu<br />

memberikan perlindungan hak terdakwa dari kesalahan penerapan <strong>hukum</strong> oleh<br />

pengadilan. Namun dalam ketentuan Pasal 24 ayat (1) Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 48<br />

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dinyatakan ”Terhadap <strong>putusan</strong><br />

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan <strong>hukum</strong> tetap, pihak-pihak yang<br />

bersangkutan dapat mengajukan <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> kepada Mahkamah Agung,<br />

apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g”.<br />

Pihak-pihak yang dimaksud dalam Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 48 Tahun 2009<br />

tersebut tidak menjelaskan apakah <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> terbatas hanya untuk<br />

terpi<strong>dan</strong>a atau ahli warisnya saja sebagaimana secara limitatif ditentukan dalam<br />

KUHAP, ataukah ada pihak lain yang juga boleh mengajukan <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong><br />

90 Oemar Seno Adji, Op.cit., h. 51.<br />

91 Bryan A. Garner, Op.cit, h. 852.<br />

59


seperti halnya Jaksa Penuntut Umum. Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 48 Tahun 2009 dalam<br />

penjelasan Pasal 24 ayat (1) hanya menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan ”hal<br />

atau keadaan tertentu”, antara lain adalah ditemukannya bukti baru (novum) <strong>dan</strong>/atau<br />

a<strong>dan</strong>ya kekhilafan atau kekeliruan hakim dalam menerapkan <strong>hukum</strong>nya.<br />

Pengajuan <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> juga harus didasarkan atas alasan yang cukup.<br />

Secara doktriner terdapat dua alasan penting dalam pengajuan <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong>,<br />

yaitu a<strong>dan</strong>ya ”conflict van rechtspraak” <strong>dan</strong> a<strong>dan</strong>ya ”novum”. 92 Yang dimaksud<br />

dengan conflict van rechtspraak adalah terdapatnya <strong>putusan</strong>-<strong>putusan</strong> yang berlainan<br />

dengan keadaan-keadaan yang dinyatakan terbukti, tetapi ternyata satu dengan<br />

lainnya bertentangan. 93 Se<strong>dan</strong>gkan novum adalah a<strong>dan</strong>ya suatu keadaan baru yang<br />

menimbulkan dugaan kuat, jika diketahui keadaan itu pada waktu si<strong>dan</strong>g masih<br />

berlangsung hasilnya akan berupa <strong>putusan</strong> bebas atau lepas dari tuntutan <strong>hukum</strong> atau<br />

tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima <strong>dan</strong> juga terhadap perkara itu<br />

diterapkan ketentuan pi<strong>dan</strong>a yang lebih ringan. 94<br />

Alasan diperkenankannya pengajuan <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> di atas, secara<br />

substansial hampir sama dengan ketentuan Pasal 263 ayat (2) KUHAP, yaitu :<br />

a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa<br />

jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu si<strong>dan</strong>g masih berlangsung,<br />

hasilnya akan berupa <strong>putusan</strong> bebas atau <strong>putusan</strong> lepas dari segala<br />

tuntutan <strong>hukum</strong> atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau<br />

terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pi<strong>dan</strong>a yang lebih ringan.<br />

b. apabila dalam pelbagai <strong>putusan</strong>, terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah<br />

terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar <strong>dan</strong> alasan <strong>putusan</strong><br />

yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu<br />

dengan yang lain.<br />

c. apabila <strong>putusan</strong> itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim<br />

suatu kekeliruan yang nyata.<br />

92 Oemar Seno Adji, Op.cit., h. 49.<br />

93 Oemar Seno Adji, Op.cit., h. 38.<br />

94 Oemar Seno Adji, Op.cit., h. 39.<br />

60


Berdasarkan Pasal 263 ayat (2) KUHAP tersebut, terlihat a<strong>dan</strong>ya tiga unsur<br />

alasan pengajuan <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong>, yaitu pertama, terdapatnya keadaan baru,<br />

kedua, terdapat <strong>putusan</strong> yang saling bertentangan, <strong>dan</strong> yang ketiga, terdapat<br />

kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata.<br />

Di samping harus memenuhi landasan <strong>dan</strong> alasan yang cukup, pengajuan<br />

<strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> juga harus memenuhi persyaratan tertentu. Sahnya pengajuan<br />

<strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> menurut M. Yahya Harahap adalah a<strong>dan</strong>ya surat permintaan<br />

<strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong>. Tanpa surat permintaan yang memuat alasan-alasan sebagai<br />

dasar, permintaan yang demikian dianggap tidak ada. 95 Pendapat tersebut menurut<br />

M. Yahya Harahap didukung oleh Pasal 264 ayat (1) <strong>dan</strong> ayat (4) KUHAP. 96<br />

Pasal 264 ayat (1) KUHAP menegaskan, ”Permintaan <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong><br />

oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 264 ayat (1) diajukan kepada<br />

panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan<br />

menyebutkan secara jelas alasannya”. Pasal 264 ayat (4) KUHAP menegaskan,<br />

”Dalam hal pemohon <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> adalah terpi<strong>dan</strong>a yang kurang memahami<br />

<strong>hukum</strong>, panitera ketika menerima permintaan <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> wajib menanyakan<br />

apakah alasan ia mengajukan permintaan tersebut <strong>dan</strong> untuk itu panitera<br />

membuatkan surat permintaan <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong>”.<br />

Berdasarkan ketentuan Pasal 264 ayat (1) <strong>dan</strong> ayat (4) tersebut, maka<br />

menurut M. Yahya Harahap, bahwa sebagai syarat formal permohonan <strong>peninjauan</strong><br />

<strong>kembali</strong> adalah a<strong>dan</strong>ya ”surat permintaan” yang memuat alasan yang menjadi dasar<br />

95 M. Yahya Harahap, 2001, Pembahasan Permasalahan <strong>dan</strong> Penerapan KUHAP, Edisi<br />

Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, h. 598.<br />

96 Ibid.<br />

61


permintaan <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong>. 97 Se<strong>dan</strong>gkan yang menjadi syarat mater<strong>ii</strong>l pengajuan<br />

<strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> agar permintaan <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> dapat diterima <strong>dan</strong><br />

dibenarkan oleh Mahkamah Agung, menurut H. Adami Chazawi adalah (1) a<strong>dan</strong>ya<br />

keadaan baru (novum), (2) ada beberapa <strong>putusan</strong> yang saling bertentangan (conflict<br />

van rechtspraak), <strong>dan</strong> (3) <strong>putusan</strong> memperlihatkan a<strong>dan</strong>ya kekhilafan hakim atau<br />

kekeliruan nyata. 98 Syarat mater<strong>ii</strong>l tersebut termuat dalam Pasal 263 ayat (2)<br />

KUHAP.<br />

Keadaan baru (novum) yang dapat dijadikan landasan permintaan <strong>peninjauan</strong><br />

<strong>kembali</strong> adalah keadaan baru yang mempunyai sifat <strong>dan</strong> kualitas menimbulkan<br />

dugaan kuat, yaitu :<br />

1. Jika keadaan baru itu diketahui atau ditemukan <strong>dan</strong> dikemukakan pada<br />

waktu si<strong>dan</strong>g berlangsung, dapat menjadi faktor <strong>dan</strong> alasan untuk<br />

menjatuhkan <strong>putusan</strong> bebas atau <strong>putusan</strong> lepas dari segala tuntutan<br />

<strong>hukum</strong>. atau<br />

2. Keadaan baru itu jika ditemukan <strong>dan</strong> diketahui pada waktu si<strong>dan</strong>g<br />

berlangsung, dapat menjadi alasan <strong>dan</strong> faktor untuk menjatuhkan <strong>putusan</strong><br />

yang menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima. atau<br />

3. Dapat dijadikan alasan <strong>dan</strong> faktor untuk menjatuhkan <strong>putusan</strong> dengan<br />

menerapkan ketentuan pi<strong>dan</strong>a yang lebih ringan. 99<br />

Parameter yang dapat dijadikan dasar bahwa pengaruh keadaan baru tersebut<br />

sangat kuat adalah :<br />

1. Didukung oleh sekurang-kurangnya minimal dua alat bukti yang sah<br />

sebagaimana dimaksud Pasal 183 KUHAP.<br />

2. Berdasarkan <strong>hukum</strong> pembuktian, ”keadaan baru” tersebut mempunyai<br />

hubungan <strong>dan</strong> pengaruh langsung, karenanya dapat digunakan sebagai<br />

dasar pertimbangan untuk membatalkan <strong>putusan</strong> pemi<strong>dan</strong>aan semula yang<br />

dilawan dengan upaya <strong>hukum</strong> <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong>.<br />

3. Berupa syarat-syarat yang diperlukan untuk dapat dijatuhkannya amar<br />

pembebasan, lepas dari segala tuntutan <strong>hukum</strong>, tuntutan penuntut umum<br />

97 Ibid.<br />

98 Adami Chazawi I, Op.cit., h. 61.<br />

99 M. Yahya Harahap, Op.cit., h. 598.<br />

62


tidak dapat diterima, atau diterapkannya aturan pi<strong>dan</strong>a yang lebih<br />

ringan. 100<br />

Maksud dari syarat mater<strong>ii</strong>l kedua, yaitu a<strong>dan</strong>ya beberapa <strong>putusan</strong> yang<br />

saling bertentangan (conflict van rechtspraak) adalah apabila dalam pelbagai <strong>putusan</strong><br />

terdapat :<br />

1. Pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti.<br />

2. Kemudian pernyataan tentang terbuktinya hal atau keadaan itu dijadikan<br />

sebagai dasar <strong>dan</strong> alasan <strong>putusan</strong> dalam suatu perkara.<br />

3. Akan tetapi dalam <strong>putusan</strong> perkara lain hal atau keadaan yang dinyatakan<br />

terbukti itu saling bertentangan antara <strong>putusan</strong> yang satu dengan yang<br />

lainnya. 101<br />

Beberapa <strong>putusan</strong> yang saling bertentangan (conflict van rechtspraak)<br />

dimaksud di atas harus memenuhi syarat, yaitu :<br />

1. Antara pelbagai <strong>putusan</strong> itu harus terdapat hubungan yang erat.<br />

2. Dua atau lebih <strong>putusan</strong> tersebut harus sudah mempunyai kekuatan <strong>hukum</strong><br />

tetap. 102<br />

Maksud dari syarat mater<strong>ii</strong>l ketiga pengajuan <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong>, yaitu<br />

<strong>putusan</strong> memperlihatkan a<strong>dan</strong>ya kekhilafan hakim atau kekeliruan nyata. Menurut H.<br />

Adami Chazawi adalah kekhilafan atau kekeliruan <strong>putusan</strong> itu harus nyata, artinya<br />

terang benderang, mudah dilihat atau mudah diketahui, tanpa harus menggunakan<br />

kekuatan pikir <strong>dan</strong> nalar secara khusus yang ditujukan untuk menguji<br />

kebenarannya. 103 Kekhilafan atau kekeliruan hakim secara nyata dapat terjadi pada<br />

pertimbangan <strong>hukum</strong> <strong>dan</strong> amar <strong>putusan</strong> yang dibuatnya. Antara pertimbangan <strong>hukum</strong><br />

<strong>dan</strong> amar <strong>putusan</strong> berkaitan erat, karena amar <strong>putusan</strong> tidak boleh menyimpang dari<br />

100 Adami Chazawi, Op.cit., h. 65.<br />

101 M. Yahya Harahap, Op.cit., h. 600.<br />

102 Adami Chazawi, Op.cit., h. 80.<br />

103 Adami Chazawi, Op.cit., h. 84.<br />

63


pertimbangan <strong>hukum</strong>nya. Tiap amar <strong>putusan</strong> harus didasari pertimbangan <strong>hukum</strong>,<br />

sehingga apabila pertimbangan <strong>hukum</strong>nya tidak mendukung amar <strong>putusan</strong>, maka<br />

<strong>putusan</strong> itu dapat dipan<strong>dan</strong>g sebagai <strong>putusan</strong> yang memperlihatkan a<strong>dan</strong>ya<br />

kekhilafan hakim atau kekeliruan nyata.<br />

Setelah memperhatikan alasan maupun persyaratan pengajuan <strong>peninjauan</strong><br />

<strong>kembali</strong> di atas, maka perlu diketahui terhadap <strong>putusan</strong> apa saja yang dapat<br />

dimintakan <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong>. Mengacu pada Pasal 263 ayat (1) KUHAP, maka<br />

kiranya dapat diketahui bahwa <strong>putusan</strong> yang dapat dimintakan <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong><br />

adalah sebagai berikut :<br />

1. Semua <strong>putusan</strong> pengadilan yang telah memperoleh kekuatan <strong>hukum</strong> tetap.<br />

2. Semua <strong>putusan</strong> pengadilan.<br />

3. Kecuali terhadap <strong>putusan</strong> bebas <strong>dan</strong> lepas dari segala tuntutan <strong>hukum</strong>.<br />

Peninjauan <strong>kembali</strong> terhadap <strong>putusan</strong> yang telah mempunyai kekuatan <strong>hukum</strong><br />

tetap (in kracht van gewijsde) baru terbuka setelah upaya <strong>hukum</strong> biasa berupa<br />

banding atau kasasi telah tertutup. Artinya, sudah tidak ada lagi upaya <strong>hukum</strong> biasa<br />

yang harus dilalui lagi atau karena batas waktu pengajuan upaya <strong>hukum</strong> biasa telah<br />

terlampaui. Putusan pengadilan yang dapat dimintakan <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> adalah<br />

<strong>putusan</strong> pengadilan pada semua tingkat, yaitu <strong>putusan</strong> pengadilan tingkat pertama<br />

(Pengadilan Negeri), <strong>putusan</strong> pengadilan tingkat banding (Pengadilan Tinggi)<br />

maupun <strong>putusan</strong> pengadilan tingkat kasasi (Mahkamah Agung), asalkan <strong>putusan</strong>-<br />

<strong>putusan</strong> disetiap tingkat tersebut telah memperoleh kekuatan <strong>hukum</strong> tetap.<br />

Meskipun permintaan <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> dapat diajukan terhadap <strong>putusan</strong><br />

semua tingkat pengadilan yang telah memperoleh kekuatan <strong>hukum</strong> tetap, akan tetapi<br />

64


un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g menentukan pengecualian. Pengecualian dimaksud adalah<br />

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP, yaitu terhadap <strong>putusan</strong><br />

bebas (vrijspraak) atau terhadap <strong>putusan</strong> lepas dari segala tuntutan <strong>hukum</strong> (onslag<br />

rechts vervolging).<br />

Pengecualian tersebut oleh un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g dimaksudkan semata-mata untuk<br />

kepentingan terpi<strong>dan</strong>a, yaitu memberi kesempatan kepada terpi<strong>dan</strong>a untuk membela<br />

kepentingannya agar dapat terlepas dari kekeliruan pemi<strong>dan</strong>aan yang dijatuhkan<br />

kepa<strong>dan</strong>ya. Oleh karenanya, dari sisi ini dipan<strong>dan</strong>g sangat logis pengecualian<br />

tersebut, karena sangat tidak wajar bagi terpi<strong>dan</strong>a yang telah dibebaskan dari<br />

pemi<strong>dan</strong>aan atau telah dilepaskan dari segala tuntutan <strong>hukum</strong>, ia mengajukan<br />

keberatan dengan melakukan pengajuan <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong>. Atas dasar itulah<br />

menurut sejarahnya upaya <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> terhadap <strong>putusan</strong> yang telah<br />

memperoleh kekuatan <strong>hukum</strong> tetap tidak diperkenankan terhadap <strong>putusan</strong> bebas atau<br />

lepas dari segala tuntutan <strong>hukum</strong>.<br />

2.3. Perkembangan Pengaturan Peninjauan Kembali Sebagai Upaya Hukum<br />

Luar Biasa di Indonesia<br />

Lembaga <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> sebagai upaya <strong>hukum</strong> luar biasa dalam sejarah<br />

perkembangan peradilan di Indonesia sebenarnya telah lama dikenal. Hal tersebut<br />

dapat diketahui dari <strong>hukum</strong> acara yang dipergunakan dalam pengadilan untuk<br />

golongan Eropah ketika itu, yaitu Reglement op de Rechtsvordering (S.1847 jo.<br />

1847-52 jo. 1849-63) untuk perkara perdata <strong>dan</strong> Reglement op de Strafvordering (S.<br />

1847-40 jo. 57) untuk perkara pi<strong>dan</strong>a. Kedua <strong>hukum</strong> acara tersebut telah mengatur<br />

tentang <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> terhadap <strong>putusan</strong> pengadilan yang telah berkekuatan<br />

65


tetap. Menurut Reglement op de Rechtsvordering, Peninjauan <strong>kembali</strong> dalam perkara<br />

perdata disebut dengan istilah Request Civiel, se<strong>dan</strong>gkan menurut Reglement op de<br />

Strafvordering, <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> dalam perkara pi<strong>dan</strong>a disebut dengan istilah<br />

herziening.<br />

Berbeda dengan <strong>hukum</strong> acara yang berlaku bagi golongan Eropah, dalam<br />

<strong>hukum</strong> acara yang berlaku di pengadilan (Landraad <strong>dan</strong> Raad van Justitie) untuk<br />

golongan Bumi Putera <strong>dan</strong> golongan Timur Asing, yaitu Het Herziene Indonesisch<br />

Reglement (HIR) (S. 1848-57 jo. S. 1926-559) untuk daerah Jawa <strong>dan</strong> Madura,<br />

se<strong>dan</strong>gkan untuk daerah luar Jawa <strong>dan</strong> Madura diberlakukan Rechtreglement<br />

Buitengewesten (RBg) (S. 1927-227), ternyata dalam kedua <strong>hukum</strong> acara tersebut<br />

tidak diatur mengenai lembaga <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong>, baik untuk perkara perdata<br />

(request civiel) maupun untuk perkara pi<strong>dan</strong>a (herziening).<br />

Ketika terjadi pendudukan Bala Tentara Jepang pada tahun 1942, dengan<br />

Osamu Serei Nomor 34 Tahun 1942 telah menghapuskan ba<strong>dan</strong> peradilan yang<br />

dibentuk Pemerintahan Kolonial Belanda untuk golongan rakyat Eropah, yaitu<br />

Residentiegerecht, Raad van Justitie <strong>dan</strong> HoogGerechtshof. Osamu Serei Nomor 34<br />

Tahun 1942 menetapkan Tihoo Hooin sebagai pengganti Landraad, Kootoo Hooin<br />

sebagai pengganti Raad van Justitie <strong>dan</strong> Saikoo Hooin sebagai pengganti Hoog-<br />

Gerechtshof. 104 Ba<strong>dan</strong>-ba<strong>dan</strong> peradilan bentukan Bala Tentara Jepang tersebut<br />

menjadi pengadilan untuk rakyat pada umumnya (termasuk golongan Eropah) baik<br />

untuk perkara perdata maupun perkara pi<strong>dan</strong>a pada tingkat pertama, tingkat banding<br />

<strong>dan</strong> tingkat kasasi.<br />

104 H.R. Purwoto S. Gandasubrata, 1998, Renungan Hukum, Ikatan Hakim Indonesia<br />

(IKAHI) Cabang Mahkamah Agung R.I., Jakarta, h. 135.<br />

66


Pemberlakuan Osamu Serei yang menghapuskan pengadilan untuk golongan<br />

Eropah tersebut, menghapus pula <strong>hukum</strong> acara yang diatur dalam Reglement op de<br />

Rechtsvordering (BRv) <strong>dan</strong> Reglement op de Straf vordering (RRv). Oleh karenanya<br />

ba<strong>dan</strong> peradilan seperti Tihoo Hooin, Kootoo Hooin <strong>dan</strong> Saikoo Hooin dalam<br />

mengadili perkara baik perkara perdata maupun perkara pi<strong>dan</strong>a menggunakan <strong>hukum</strong><br />

acara yang diatur dalam HIR <strong>dan</strong> RBg. Dengan berlakunya HIR <strong>dan</strong> RBg tersebut<br />

lembaga <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> tidak ada lagi, karena dalam kedua <strong>hukum</strong> acara<br />

tersebut tidak mengatur lembaga <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong>.<br />

Pada tahun 1945 yaitu dengan diproklamirkannya kemerdekaan Republik<br />

Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, yang d<strong>ii</strong>kuti dengan pemberlakuan<br />

Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Dasar 1945 (UUD 1945), berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan<br />

UUD 1945, yang menentukan ”Segala ba<strong>dan</strong> <strong>dan</strong> peraturan yang ada masih langsung<br />

berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Dasar ini”,<br />

maka HIR <strong>dan</strong> RBg sebagai <strong>hukum</strong> acara dalam pemeriksaan perkara di pengadilan<br />

tetap berlaku. Oleh karena HIR <strong>dan</strong> RBg tidak mengenal lembaga <strong>peninjauan</strong><br />

<strong>kembali</strong>, maka dengan demikian lembaga <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> dalam praktik<br />

peradilan tidak pernah ada.<br />

Kemudian pada tahun 1951 ketika diberlakukan Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Darurat<br />

Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan<br />

Kesatuan Susunan, Kekuasaan <strong>dan</strong> Acara Pengadilan Sipil, dalam Pasal 6 ayat (1)<br />

ditetapkan bahwa ”Pada saat peraturan ini mulai berlaku, oleh segala Pengadilan<br />

Negeri, oleh segala Kejaksaan pa<strong>dan</strong>ya <strong>dan</strong> oleh Pengadilan Tinggi dalam daerah<br />

Republik Indonesia, ”Reglemen Indonesia yang dibaharui” (Staatsblad 1941 No. 44)<br />

67


seberapa mungkin harus diambil sebagai pedoman tentang acara perkara pi<strong>dan</strong>a<br />

sipil”.<br />

Melalui Pasal 393 Reglemen Indonesia yang dibaharui (Staatsblad 1941 No.<br />

44) atau HIR, sebenarnya telah diberi kemungkinan dalam hal-hal yang sangat<br />

diperlukan menggunakan ketentuan-ketentuan <strong>dan</strong> prosedur yang ditentukan dalam<br />

Reglemen Hukum Acara Perdata yang dipakai pengadilan golongan Eropah seperti<br />

Raad van Justitie <strong>dan</strong> Hooggerechtshof oleh beberapa Pengadilan Negeri kota besar<br />

seperti Jakarta, Semarang <strong>dan</strong> Surabaya, dengan seijin Gouverneur-Generaal<br />

(Presiden Republik Indonesia) setelah meminta pertimbangan Hooggerechtshof<br />

(Mahkamah Agung Indonesia), seperti halnya terhadap lembaga <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong><br />

(request civiel). Namun hal itu dalam praktik tidak pernah dijumpai. Untuk perkara<br />

pi<strong>dan</strong>a, dalam HIR tidak ada ketentuan yang menunjuk dapat digunakannya lembaga<br />

<strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> (herziening) seperti yang diatur dalam Reglement op de Straf<br />

vordering (RSv).<br />

Penggunaan lembaga <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> dalam perkara pi<strong>dan</strong>a terhadap<br />

<strong>putusan</strong>-<strong>putusan</strong> pengadilan yang dianggap keliru atau kurang tepat dalam praktik<br />

muncul <strong>kembali</strong> pada sekitar tahun 1960-an. Namun berdasarkan yurisprudensi, pada<br />

umumnya permohonan <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> dalam perkara pi<strong>dan</strong>a ketika itu<br />

dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard), karena dianggap tidak<br />

ada dasar <strong>hukum</strong>nya. 105<br />

Keluarnya Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 19 Tahun 1964 Tentang Ketentuan-<br />

Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana terlihat pada Pasal 15 yang<br />

105 Ibid, h. 136<br />

68


menetapkan, bahwa ”Terhadap <strong>putusan</strong> pengadilan yang telah mempunyai kekuatan<br />

<strong>hukum</strong> yang tetap, dapat dimohon <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong>, hanya apabila terdapat hal-<br />

hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g”. Hal itu<br />

sebenarnya menunjukkan bahwa sejak saat itu lembaga <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> sebagai<br />

<strong>hukum</strong> positif dapat dipergunakan dalam perkara pi<strong>dan</strong>a. Namun ketentuan tersebut<br />

masih memerlukan peraturan pelaksananya, seperti terlihat pada penjelasan Pasal 15<br />

un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g tersebut, yaitu ”Syarat-syaratnya ditetapkan dalam <strong>hukum</strong> acara”.<br />

Se<strong>dan</strong>gkan <strong>hukum</strong> acara mengenai lembaga <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> ketika itu belum<br />

ada, sehingga menimbulkan kesulitan dalam praktik pengadilan.<br />

Karena begitu lamanya belum ada juga peraturan pelaksana mengenai<br />

lembaga <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> tersebut, maka untuk mengisi kekosongan <strong>hukum</strong> <strong>dan</strong><br />

demi kesatuan serta kepastian <strong>hukum</strong> dalam menangani perkara <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong><br />

oleh pengadilan, pada tanggal 19 Juli 1969 Mahkamah Agung R.I. mengeluarkan<br />

Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1969 mengenai tambahan<br />

<strong>hukum</strong> acara Mahkamah Agung dengan lembaga ”<strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong>” suatu<br />

<strong>putusan</strong> pengadilan yang telah memperoleh kekuatan <strong>hukum</strong> yang tetap beserta<br />

peraturan pelaksanaannya. PERMA tersebut mengatur secara terperinci alasan-alasan<br />

maupun tata cara pengajuan <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> terhadap <strong>putusan</strong> pengadilan yang<br />

sudah mempunyai kekuatan <strong>hukum</strong> tetap, baik dalam perkara perdata maupun<br />

perkara pi<strong>dan</strong>a.<br />

Ternyata keluarnya PERMA tersebut menimbulkan keberatan dari Menteri<br />

Kehakiman, karena menganggap bahwa PERMA tersebut bertentangan dengan<br />

ketentuan Pasal 15 Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 19 Tahun 1964, yang menentukan bahwa<br />

69


hal ini harus ditentukan dengan un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g. 106 Menteri Kehakiman menganggap,<br />

bahwa Mahkamah Agung telah membuat ”law making”, yang merupakan wewenang<br />

Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat <strong>dan</strong> bukan “rule making” yang<br />

merupakan wewenang Mahkamah Agung, yang hanya dapat membuat ”interne<br />

regeling” untuk pengadilan saja. 107 Menanggapi keberatan yang diajukan oleh<br />

Menteri Kehakiman <strong>dan</strong> untuk menenggang rasa terhadap pendapat Menteri<br />

Kehakiman tersebut, maka Mahkamah Agung menunda berlakunya PERMA <strong>dan</strong><br />

mempersilahkan pengadilan membentuk yurisprudensi tentang <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong><br />

perkara perdata <strong>dan</strong> pi<strong>dan</strong>a dengan mengacu pada isi PERMA itu. 108<br />

Lembaga <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> (herziening) sebagai upaya <strong>hukum</strong> luar biasa,<br />

<strong>kembali</strong> serius dibicarakan oleh kalangan <strong>hukum</strong> setelah munculnya kasus Sengkon<br />

Bin Yakin <strong>dan</strong> Karta alias Karung alias Encep Bin Salam, yang dikenal secara luas<br />

dengan kasus Sengkon <strong>dan</strong> Karta. Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Bekasi<br />

Nomor 2/K.T.S/Bks/1977 tanggal 20 Oktober 1977, Sengkon <strong>dan</strong> Karta masing-<br />

masing di<strong>hukum</strong> dengan pi<strong>dan</strong>a penjara selama 12 (dua belas) tahun <strong>dan</strong> 7 (tujuh)<br />

tahun atas perbuatan pembunuhan, <strong>dan</strong> oleh Pengadilan Tinggi Bandung dalam<br />

tingkat banding, <strong>putusan</strong> pengadilan tingkat pertama tersebut dikuatkan. Namun<br />

karena Sengkon <strong>dan</strong> Karta tidak mengajukan kasasi, maka <strong>putusan</strong> tersebut menjadi<br />

berkekuatan <strong>hukum</strong> tetap, sehingga mereka menjalani pi<strong>dan</strong>anya di Lembaga<br />

Pemasyarakatan. Ternyata didalam Lembaga Pemasyarakatan ada narapi<strong>dan</strong>a lain<br />

bernama Gunel yang mengakui bahwa dialah yang membunuh korban <strong>dan</strong> bukan<br />

Sengkon <strong>dan</strong> Karta sebagai pelakunya. Atas pengakuannya itu Gunel diajukan<br />

106 Ibid, h. 137<br />

107 Ibid. h. 137<br />

108 Ibid. h. 137<br />

70


kemuka si<strong>dan</strong>g pengadilan <strong>dan</strong> di<strong>hukum</strong> melakukan pembunuhan, <strong>dan</strong> terhadap<br />

<strong>putusan</strong> tersebut Gunel menerima <strong>putusan</strong> pengadilan.<br />

Berdasarkan <strong>putusan</strong> pengadilan yang sudah berkekuatan <strong>hukum</strong> tetap atas<br />

nama Gunel tersebut, para kuasa <strong>hukum</strong> Sengkon <strong>dan</strong> Karta mengajukan<br />

permohonan <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> ke Mahkamah Agung. Kuasa <strong>hukum</strong> Sengkon <strong>dan</strong><br />

Karta mendesak terus agar perkara <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> tersebut dapat diperiksa.<br />

Kasus Sengkon <strong>dan</strong> Karta menjadi mengemuka <strong>dan</strong> terus menjadi perbincangan oleh<br />

para pakar <strong>hukum</strong>. Kemudian Mahkamah Agung atas persetujuan Dewan Perwakilan<br />

Rakyat (DPR) mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 1980 Tentang Peninjauan<br />

Kembali Putusan yang telah Memperoleh Kekuatan Hukum yang Tetap, sebagai<br />

pengaturan sementara sebelum diatur dengan un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g.<br />

PERMA Nomor 1 Tahun 1980 pada intinya tidak banyak berbeda dengan<br />

PERMA Nomor 1 Tahun 1969, yaitu mengatur permasalahan <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong><br />

terhadap <strong>putusan</strong> pengadilan yang telah memperoleh kekuatan <strong>hukum</strong> tetap baik<br />

dalam perkara perdata <strong>dan</strong> maupun perkara pi<strong>dan</strong>a. Berdasarkan PERMA Nomor 1<br />

Tahun 1980 tersebut Mahkamah Agung mengadili Permohonan <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong><br />

yang diajukan kuasa <strong>hukum</strong> Sengkon <strong>dan</strong> Karta. Dalam <strong>putusan</strong>nya Mahkamah<br />

Agung membebaskan kedua ter<strong>hukum</strong> Sengkon <strong>dan</strong> Karta dari segala tuduhan. 109<br />

Meskipun ketika itu pemberlakuan PERMA Nomor 1 Tahun 1980 tersebut<br />

menjadi masalah yang kontroversial dikalangan para pakar <strong>hukum</strong>, karena dianggap<br />

tidak mencerminkan asas-asas yang digariskan dalam Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 14<br />

Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, namun tetap dipan<strong>dan</strong>g<br />

109 Putusan Mahkamah Agung tanggal 31 Januari 1981 Nomor 6 PKK/Kr/1980<br />

71


sebagai suatu pemecahan yuridis, yaitu untuk menampung permasalahan yang<br />

muncul akibat kekhilafan atau kekeliruan aparat peradilan, seperti halnya kasus<br />

Sengkon <strong>dan</strong> Karta.<br />

Pada tahun 1981, yaitu dengan diberlakukannya Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 8<br />

Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pi<strong>dan</strong>a (KUHAP), <strong>hukum</strong> acara pi<strong>dan</strong>a yang<br />

berasal dari zaman kolonial, yaitu HIR <strong>dan</strong> RBg dinyatakan tidak berlaku lagi,<br />

karena dianggap sudah tidak sesuai dengan keadaan Negara Indonesia sebagai negara<br />

<strong>hukum</strong> berdasarkan Pancasila <strong>dan</strong> Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Dasar 1945. Dalam Bab XVIII<br />

bagian Kedua KUHAP telah diatur tentang <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> <strong>putusan</strong> pengadilan<br />

yang telah mempunyai kekuatan <strong>hukum</strong> tetap.<br />

Sejak berlakunya KUHAP sebagai landasan <strong>hukum</strong> acara pi<strong>dan</strong>a, maka sejak<br />

saat itu pula lembaga <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> dalam perkara pi<strong>dan</strong>a telah diatur dengan<br />

un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g. Dengan demikian peraturan mengenai lembaga <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong><br />

sebagaimana termuat dalam PERMA Nomor 1 Tahun 1980 harus dicabut. Kemudian<br />

berdasarkan PERMA Nomor 1 Tahun 1982 sebagai penyempurnaan PERMA Nomor<br />

1 Tahun 1980, dinyatakan bahwa peraturan tentang <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> perkara<br />

pi<strong>dan</strong>a dicabut, se<strong>dan</strong>gkan peraturan tentang perkara perdata dipertahankan <strong>dan</strong><br />

diperinci lebih lanjut.<br />

2.4. Hak Pengajuan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pi<strong>dan</strong>a<br />

Asas due process of law sebagai manifestasi pengakuan hak-hak asasi<br />

manusia dalam proses peradilan pi<strong>dan</strong>a menjadi asas yang sangat penting <strong>dan</strong> harus<br />

dijunjung tinggi oleh semua pihak terutama bagi lembaga-lembaga penegak <strong>hukum</strong>.<br />

Asas due process of law sebagai asas utama perlindungan hak warga negara melalui<br />

72


proses <strong>hukum</strong> yang adil, juga merupakan jaminan atas hak-hak yang dimiliki<br />

tersangka atau terdakwa maupun terpi<strong>dan</strong>a. Hak warga negara (civil rights) tersebut<br />

merupakan hak seseorang untuk membela diri <strong>dan</strong> menuntut hak-haknya dengan<br />

pengakuan asas kebersamaan kedudukannya didalam <strong>hukum</strong> (equality before the<br />

law) melalui proses <strong>hukum</strong> yang adil (due process of law) yang dalam hal ini adalah<br />

mekanisme proses peradilan pi<strong>dan</strong>a. 110<br />

Hak due process of law dalam pelaksanaan tindakan <strong>penegakan</strong> <strong>hukum</strong>,<br />

bersumber dari cita-cita “negara <strong>hukum</strong>” yang menjunjung tinggi “supremasi<br />

<strong>hukum</strong>” (the law is supreme) yang menegaskan “kita diperintah oleh <strong>hukum</strong>” <strong>dan</strong><br />

“bukan oleh orang” (government of law and not of men). 111 Dari asas tersebut, dalam<br />

pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa, setiap institusi pada setiap tingkat<br />

pemeriksaan dalam melaksanakan fungsi <strong>dan</strong> kewenangannya harus berpegang pada<br />

ketentuan <strong>hukum</strong> yang ada, dalam hal ini adalah <strong>hukum</strong> acara pi<strong>dan</strong>a. Oleh<br />

karenanya prinsip “perlakuan” <strong>dan</strong> dengan “cara yang jujur” sebagai konsep due<br />

process of law sebagai wujud perlindungan <strong>hukum</strong> terhadap tersangka atau terdakwa<br />

dapat terpenuhi.<br />

Asas due process of law dalam KUHAP menurut Mardjono Reksodiputro,<br />

tercermin dari sepuluh prinsip perlindungan hak warga negara sebagaimana<br />

ditemukan dalam penjelasan KUHAP, yaitu :<br />

1. perlakuan yang sama dimuka <strong>hukum</strong>, tanpa diskriminasi apapun.<br />

2. praduga tidak bersalah.<br />

3. hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) <strong>dan</strong> rehabilitasi.<br />

4. hak untuk mendapatkan bantuan <strong>hukum</strong>.<br />

5. hak kehadiran terdakwa dimuka pengadilan.<br />

110 I Gusti Ketut Ariawan, Op.cit., h. 8-9<br />

111 M. Yahya Harahap, Op.cit., h. 95<br />

73


6. peradilan yang bebas dilakukan dengan cepat <strong>dan</strong> sederhana.<br />

7. peradilan yang terbuka untuk umum.<br />

8. pelanggaran atas hak-hak warga negara (penangkapan, penahanan,<br />

penggeledahan <strong>dan</strong> penyitaan) harus didasarkan un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g <strong>dan</strong><br />

dilakukan dengan surat perintah (tertulis).<br />

9. kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan <strong>dan</strong> atau<br />

penahanan selain wajib diberi tahu dakwaan <strong>dan</strong> dasar <strong>hukum</strong> apa yang<br />

didakwakan kepa<strong>dan</strong>ya, juga wajib diberitahu haknya itu, termasuk hak<br />

untuk menghubungi <strong>dan</strong> minta bantuan penasihat <strong>hukum</strong>.<br />

10. kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan <strong>putusan</strong><strong>putusan</strong>nya.<br />

112<br />

Negara Republik Indonesia yang dalam konstitusi telah mengikrarkan diri<br />

sebagai negara <strong>hukum</strong> sebagaimana terlihat pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang<br />

memberikan jaminan persamaan kedudukan dalam <strong>hukum</strong> bagi setiap warga<br />

negaranya, juga merupakan konsekuensi dari suatu negara <strong>hukum</strong>. Karena sebagai<br />

negara <strong>hukum</strong> menurut Sri Sumantri, harus memenuhi beberapa unsur, yaitu :<br />

1. pemerintah dalam melaksanakan tugas <strong>dan</strong> kewajibannya harus berdasar<br />

atas <strong>hukum</strong> atau peraturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan.<br />

2. a<strong>dan</strong>ya jaminan terhadap hak asasi manusia (warga negara).<br />

3. a<strong>dan</strong>ya pembagian kekuasaan dalam negara.<br />

4. a<strong>dan</strong>ya pengawasan dari ba<strong>dan</strong>-ba<strong>dan</strong> peradilan. 113<br />

Pendapat yang hampir sama juga diutarakan oleh Friedrich Julius Stahl,<br />

bahwa suatu negara <strong>hukum</strong> ditandai oleh a<strong>dan</strong>ya empat unsur pokok, yaitu :<br />

1. pengakuan <strong>dan</strong> perlindungan terhadap HAM.<br />

2. negara didasarkan pada teori Trias Politica.<br />

3. pemerintah didasarkan pada un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g (wetmatig bestuur).<br />

4. ada peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus<br />

perbuatan melanggar <strong>hukum</strong> oleh pemerintah (onrechmatige<br />

overheidsdaat). 114<br />

Dari kedua pendapat diatas menunjukkan arti, bahwa negara mempunyai<br />

tanggung jawab atas perlindungan hak-hak warga negara sebagai perwuju<strong>dan</strong><br />

112<br />

Mien Rukmini, Op.cit., h. 84-85<br />

113<br />

Sri Sumantri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni,<br />

Bandung, h. 29<br />

114<br />

Muh. Tahir Ashary, 1992, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, h. 66<br />

74


penghargaan akan hak asasi manusia. Perwuju<strong>dan</strong> penghargaan hak asasi tersebut<br />

apabila terlaksana dengan memberikan posisi yang seimbang, termasuk dalam proses<br />

peradilan pi<strong>dan</strong>a, akan memberi harapan bagi setiap orang, termasuk dalam hal ini<br />

adalah bagi tersangka, terdakwa maupun terpi<strong>dan</strong>a dalam mempertahankan hak-<br />

haknya secara seimbang pula.<br />

Kesimbangan dalam hidup yang dimiliki oleh setiap orang tersebut<br />

merupakan salah satu aspek perlindungan hak asasi manusia. Dalam hal tersebut,<br />

dikatakan oleh Djoko Prakoso <strong>dan</strong> Agus Ismunarso, bahwa pada dasarnya hak asasi<br />

manusia ditandai oleh dua ciri. Pertama, kesimbangan antara hak <strong>dan</strong> kewajiban.<br />

Kedua, kesimbangan antara kepentingan perseorangan <strong>dan</strong> kepentingan umum<br />

(masyarakat). Jadi, perlindungan HAM meliputi dua unsur, yaitu hak asasi<br />

perseorangan <strong>dan</strong> hak asasi masyarakat. 115<br />

Nilai keseimbangan tersebut ditinjau dari segi <strong>hukum</strong>, menurut Barda<br />

Nawawi Arief, adalah keseimbangan antara aspek kemanusiaan <strong>dan</strong> aspek<br />

kemasyarakatan, mengandung makna antara hak-hak perorangan (individual) disatu<br />

pihak <strong>dan</strong> hak-hak kemasyarakatan (sosial) dilain pihak. Dengan perkataan lain,<br />

<strong>hukum</strong> harus merupakan manifestasi <strong>dan</strong> sekaligus pelindung HAM secara individual<br />

<strong>dan</strong> HAM sebagai satu kesatuan hak komunitas. 116<br />

Pendapat di atas dapat dipahami karena pada dasarnya hak asasi manusia<br />

seperti dikemukakan Masyhur Effendi, adalah hak asasi / hak kodrat / hak mutlak<br />

milik umat manusia, orang per orang, dimiliki umat manusia sejak lahir sampai<br />

115 Djoko Prakoso <strong>dan</strong> Agus Ismunarso, 1987, Hak Asasi Tersangka <strong>dan</strong> Peranan Psikologi<br />

Dalam Kontek KUHAP, Bina Aksara, Jakarta, h. 9<br />

116 Barda Nawawi Arief, 1992, ”Perlindungan HAM Dalam Hukum Positif di Indonesia”,<br />

dalam, Himpunan Naskah Lokakarya Nasional Tentang Hak-HAM, Ba<strong>dan</strong> Penelitian <strong>dan</strong><br />

Pengembangan Departemen Luar Negeri, Jakarta, selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief II, h. 89.<br />

75


meninggal dunia. Dalam pelaksanaannya didampingi kewajiban <strong>dan</strong><br />

bertanggungjawab. 117<br />

A<strong>dan</strong>ya jaminan terhadap hak asasi manusia setiap warga negara sebagai<br />

salah satu unsur negara <strong>hukum</strong>, dalam proses peradilan pi<strong>dan</strong>a menjadi aspek yang<br />

fundamental. Oleh karena a<strong>dan</strong>ya asas persamaan kedudukan didalam <strong>hukum</strong> dalam<br />

proses peradilan pi<strong>dan</strong>a, menjadi tuntutan yang harus diwujudkan. Implementasi<br />

dalam proses peradilan pi<strong>dan</strong>a di Indonesia, terhadap pihak-pihak yang berhadapan,<br />

yaitu terhadap terdakwa disatu pihak <strong>dan</strong> penuntut umum di pihak yang lain, hakim<br />

dituntut bersikap tidak memihak (impartial).<br />

Asas persamaan kedudukan dimuka <strong>hukum</strong> sejak proses penyidikan sampai<br />

dengan pemeriksaan di si<strong>dan</strong>g pengadilan, diharapkan dapat memberikan jaminan<br />

kepastian <strong>hukum</strong> untuk melindungi baik bagi kepentingan negara maupun<br />

kepentingan terdakwa, serta lebih jauh tentunya juga bagi kepentingan korban.<br />

KUHAP sebagai <strong>hukum</strong> formil dalam proses peradilan pi<strong>dan</strong>a di Indonesia telah<br />

merumuskan sejumlah hak bagi terdakwa sebagai pelindung terhadap kemungkinan<br />

pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh para pejabat penegak <strong>hukum</strong>.<br />

Hak-hak dimaksud sebagaimana diatur dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 68<br />

KUHAP, yaitu :<br />

1. Hak untuk segera diperiksa <strong>dan</strong> diajukan ke pengadilan serta diadili<br />

(Pasal 50 ayat (1), ayat (2) <strong>dan</strong> ayat (3) KUHAP).<br />

117 H. A. Masyhur Effendi, 1994, Dimensi Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum<br />

Nasional <strong>dan</strong> Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 143.<br />

76


2. Hak untuk mengetahui dengan jelas <strong>dan</strong> bahasa yang dimengerti olehnya<br />

tentang apa yang disangkakan <strong>dan</strong> apa yang didakwakan (Pasal 51 butir a<br />

<strong>dan</strong> butir b KUHAP).<br />

3. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau<br />

hakim (Pasal 52 KUHAP).<br />

4. Hak untuk mendapat juru bahasa (Pasal 53 ayat (1) KUHAP).<br />

5. Hak untuk mendapat bantuan <strong>hukum</strong> pada setiap tingkat pemeriksaan<br />

(Pasal 54 KUHAP).<br />

6. Hak untuk mendapat nasihat <strong>hukum</strong> dari penasihat <strong>hukum</strong> yang ditunjuk<br />

oleh pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan bagi<br />

tersangka atau terdakwa yang diancam pi<strong>dan</strong>a mati atau lima belas tahun<br />

atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan<br />

pi<strong>dan</strong>a lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat <strong>hukum</strong><br />

sendiri, dengan biaya cuma-cuma (Pasal 56 KUHAP).<br />

7. Hak tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing yang dikenakan<br />

penahanan untuk menghubungi <strong>dan</strong> berbicara dengan perwakilan<br />

negaranya (Pasal 57 ayat (2) KUHAP).<br />

8. Hak untuk menghubungi <strong>dan</strong> menerima kunjungan dokter pribadinya bagi<br />

tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan (Pasal 58 KUHAP).<br />

9. Hak pemberitahuan tentang penahanan atas diri tersangka atau terdakwa<br />

kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau<br />

terdakwa untuk mendapatkan bantuan <strong>hukum</strong> atau jaminan bagi<br />

penangguhannya (Pasal 59 KUHAP).<br />

77


10. Hak untuk menghubungi <strong>dan</strong> menerima kunjungan dari pihak yang<br />

mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya guna mendapatkan<br />

jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun mendapatkan bantuan<br />

<strong>hukum</strong> (Pasal 60 KUHAP).<br />

11. Hak untuk menghubungi <strong>dan</strong> menerima sanak keluarganya secara<br />

langsung atau dengan perantaraan penasihat <strong>hukum</strong>nya untuk kepentingan<br />

pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan (Pasal 61 KUHAP).<br />

12. Hak untuk berhubungan melalui surat menyurat dengan penasihat<br />

<strong>hukum</strong>nya atau dengan sanak keluarganya (Pasal 62 KUHAP).<br />

13. Hak untuk menghubungi <strong>dan</strong> menerima kunjungan dari rohaniwan (Pasal<br />

63 KUHAP).<br />

14. Hak untuk diadili di si<strong>dan</strong>g pengadilan yang terbuka untuk umum (Pasal<br />

64 KUHAP).<br />

15. Hak untuk mengajukan saksi atau seseorang yang memiliki keahlian<br />

khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya<br />

(a de charge) (Pasal 65 KUHAP).<br />

16. Hak untuk minta banding terhadap <strong>putusan</strong> pengadilan tingkat pertama<br />

kecuali terhadap <strong>putusan</strong> bebas, lepas dari segala tuntutan <strong>hukum</strong> <strong>dan</strong><br />

<strong>putusan</strong> pengadilan dalam acara cepat (Pasal 67 KUHAP).<br />

17. Hak untuk menuntut ganti kerugian <strong>dan</strong> rehabilitasi (Pasal 68 KUHAP).<br />

Dari rumusan hak-hak sebagaimana tersebut di atas setidak-tidaknya negara<br />

telah menjamin kepastian <strong>hukum</strong> perlindungan hak asasi terhadap terdakwa. Akan<br />

tetapi, apabila dilihat <strong>kembali</strong> dari asas persamaan kedudukan didalam <strong>hukum</strong><br />

78


(equality before the law) dalam proses peradilan pi<strong>dan</strong>a, masih terlihat kurang<br />

a<strong>dan</strong>ya keseimbangan perhatian khususnya bagi korban tindak pi<strong>dan</strong>a. Perhatian<br />

negara lebih banyak merangkum kepentingan terdakwa dalam proses peradilan<br />

pi<strong>dan</strong>a. Namun sebaliknya perhatian terhadap korban tindak pi<strong>dan</strong>a belum banyak<br />

dijamin dalam proses peradilan pi<strong>dan</strong>a.<br />

Perhatian terhadap korban tindak pi<strong>dan</strong>a dalam KUHAP terlihat hanya<br />

mengenai permasalahan ganti kerugian seperti dirumuskan dalam Pasal 98 KUHAP,<br />

yaitu ”Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan didalam suatu pemeriksaan<br />

perkara pi<strong>dan</strong>a oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka<br />

hakim ketua si<strong>dan</strong>g atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk<br />

menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pi<strong>dan</strong>a itu”.<br />

Perhatian terhadap korban tindak pi<strong>dan</strong>a seperti itu dipan<strong>dan</strong>g sebagai pendekatan<br />

yang terlalu sempit. Hal tersebut karena hanya memusatkan perhatian pada<br />

penggantian kerugian yang bersifat finansial, tidak memikirkan dampak lainnya yang<br />

bersifat psikologis. Padahal, korban tindak pi<strong>dan</strong>a atau korban kejahatan menurut<br />

Muladi, harus diartikan sebagai seseorang yang telah menderita kerugian sebagai<br />

akibat suatu kejahatan <strong>dan</strong> atau yang rasa keadilannya secara langsung telah<br />

terganggu sebagai akibat pengalamannya sebagai target (sasaran). 118<br />

Demikian juga dalam hal pengajuan upaya <strong>hukum</strong> terhadap suatu <strong>putusan</strong><br />

pengadilan, terdakwa atau terpi<strong>dan</strong>a oleh KUHAP masih diberi ruang untuk<br />

mempertahankan hak-haknya melakukan tinjauan ulang melalui upaya banding,<br />

kasasi <strong>dan</strong> bahkan pengajuan permintaan <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> terhadap <strong>putusan</strong> yang<br />

118 Muladi, Op.cit., h. 66<br />

79


telah memperoleh kekuatan <strong>hukum</strong> tetap. Dalam hal upaya <strong>hukum</strong> di atas, memang<br />

disamping terdakwa atau terpi<strong>dan</strong>a, KUHAP juga memberikan hak kepada<br />

jaksa/penuntut umum untuk melakukan upaya banding maupun kasasi terhadap<br />

<strong>putusan</strong> pengadilan yang dipan<strong>dan</strong>g kurang tepat. Posisi jaksa/penuntut umum disini<br />

tentunya atas nama negara untuk mempertahankan kepentingan umum. Namun<br />

KUHAP tidak secara tegas menentukan apakah memberi hak kepada jaksa/penuntut<br />

umum untuk dapat mengajukan <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> terhadap <strong>putusan</strong> yang telah<br />

berkekuatan tetap atau tidak.<br />

Menurut ketentuan Pasal 67 KUHAP, terdakwa atau penuntut umum berhak<br />

untuk minta banding terhadap <strong>putusan</strong> pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap<br />

<strong>putusan</strong> bebas, lepas dari segala tuntutan <strong>hukum</strong> yang menyangkut masalah kurang<br />

tepatnya penerapan <strong>hukum</strong> <strong>dan</strong> <strong>putusan</strong> pengadilan dalam acara cepat. Se<strong>dan</strong>gkan<br />

menurut Pasal 244 KUHAP, menentukan bahwa terhadap <strong>putusan</strong> pi<strong>dan</strong>a yang<br />

diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari pada Mahkamah<br />

Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan<br />

kasasi kepada Mahkamah Agung. Dari kedua ketentuan tersebut, jelas bahwa<br />

terhadap <strong>putusan</strong> pengadilan tingkat pertama yang dianggap kurang tepat, terdakwa<br />

atau penuntut umum diberi hak untuk melakukan banding <strong>dan</strong> terhadap <strong>putusan</strong><br />

pengadilan tingkat banding, terdakwa atau penuntut umum diberi hak untuk<br />

mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.<br />

Diberikannya hak yang sama kepada terdakwa <strong>dan</strong> penuntut umum oleh<br />

un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g dalam melakukan upaya <strong>hukum</strong> banding maupun kasasi,<br />

menunjukkan antara terdakwa <strong>dan</strong> penuntut umum didudukkan sebagai pihak yang<br />

80


sama dalam kepentingan <strong>hukum</strong>nya. Namun dalam kepentingan pengajuan<br />

<strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> terhadap <strong>putusan</strong> Pengadian yang telah memperoleh kekuatan<br />

<strong>hukum</strong> tetap, KUHAP baru memberi peluang kepada terpi<strong>dan</strong>a atau ahli warisnya<br />

saja. Hal itu dapat disimpulkan dari Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Di sini KUHAP<br />

belum mengakomodir kepentingan korban tindak pi<strong>dan</strong>a yang dalam hal ini diwakili<br />

oleh jaksa. Apabila dilihat dari sisi kepentingan korban tindak pi<strong>dan</strong>a, asas<br />

persamaan kedudukan didalam <strong>hukum</strong> dalam KUHAP terlihat belum terpenuhi.<br />

Sejarah telah memperlihatkan bahwa terjadinya ketidaktertiban dalam<br />

masyarakat <strong>dan</strong> negara dipengaruhi oleh a<strong>dan</strong>ya hubungan-hubungan sosial di<br />

masyarakat yang tidak harmonis. Ketidakharmonisan yang terjadi di masyarakat<br />

selalu melibatkan a<strong>dan</strong>ya pelaku <strong>dan</strong> a<strong>dan</strong>ya korban. Dalam sejarah perkembangan<br />

<strong>hukum</strong> pi<strong>dan</strong>a juga memperlihatkan, bahwa pada awalnya reaksi atas terjadinya<br />

suatu tindak pi<strong>dan</strong>a merupakan hak dari korban, sehingga berakibat a<strong>dan</strong>ya saling<br />

dendam yang berkelanjutan <strong>dan</strong> tidak berkesudahan. Untuk mengatasi masalah<br />

tersebut kemudian muncul gagasan ganti kerugian dengan sejumlah harta atas<br />

terjadinya tindak pi<strong>dan</strong>a. Namun ternyata dalam perkembangannya, atas terjadinya<br />

suatu tindak pi<strong>dan</strong>a dirasakan tidak hanya melibatkan pelaku <strong>dan</strong> korban saja,<br />

melainkan juga telah menimbulkan gangguan ketertiban masyarakat. Dari keadaan<br />

seperti itu menurut Marjono Reksodiputro, yang muncul adalah hubungan antara<br />

pelaku dengan masyarakat (negara) yang pada akhirnya yang perlu diperhatikan<br />

81


adalah ketertiban masyarakat serta negaralah yang menuntut ganti rugi pada pelaku<br />

<strong>dan</strong> sekaligus hilanglah hak korban untuk menuntut ganti kerugian. 119<br />

Mengingat begitu luasnya dampak yang ditimbulkan akibat terjadinya tindak<br />

pi<strong>dan</strong>a, maka dengan mempertimbangkan segi ketertiban masyarakat (social order)<br />

yang lebih besar, masalah upaya <strong>hukum</strong> dalam perkara pi<strong>dan</strong>a khususnya hak<br />

pengajuan <strong>peninjauan</strong> <strong>kembali</strong> terhadap <strong>putusan</strong> pengadilan yang telah memperoleh<br />

kekuatan <strong>hukum</strong> tetap, perlu penyelarasan <strong>kembali</strong> mengingat bahwa hak asasi<br />

bukanlah monopoli golongan tertentu, melainkan adalah milik seluruh makhluk<br />

hidup. Sehingga ke depan asas persamaan kedudukan didepan <strong>hukum</strong> (equality<br />

before the law) betul-betul dapat menyentuh setiap golongan. Hal tersebut untuk<br />

tujuan mencapai keseimbangan kepentingan perseorangan <strong>dan</strong> kepentingan<br />

masyarakat (negara).<br />

119 Marjono Reksodiputro, 1994, HAM dalam Sistim Peradilan Pi<strong>dan</strong>a Kumpulan<br />

Karangan, LKUI, Jakarta, selanjutnya disebut Marjono Reksodiputro III, h. 75<br />

82

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!