KETIKA KITA DITIMPA MUSIBAH DAN KEKECEWAAN

KETIKA KITA DITIMPA MUSIBAH DAN KEKECEWAAN KETIKA KITA DITIMPA MUSIBAH DAN KEKECEWAAN

kemenag.go.id
from kemenag.go.id More from this publisher
12.08.2013 Views

M ENCERMATI K ONDISI B ATIN: KETIKA KITA DITIMPA MUSIBAH DAN KEKECEWAAN Oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA Bagi orang beragama, apapun agamanya, ada lima kondisi batin yang perlu dicermati. Pertama, ketika kita sedang ditim- pa musibah atau kekecewaan, kedua, ketika kita sedang mempunyai hajat besar, ketiga, ketika kita baru melakukan dosa besar, ke- empat, ketika kita sedang di dalam keadaan normal, dan kelima, ketika kita sudah men- capai maqam lebih tinggi. Apa dan bagai- mana kiat-kiat yang sebaiknya dilakukan jika kita mengalami salah satu di antara kelima kondisi batin ini, akan diuraikan di dalam lima tulisan bersambung, sekaligus menjadi renungan bagi kita di dalam menjalani bulan suci Ramadlan. Semoga Ramadlan kita kali ini secara kuantitas dan kualitas lebih meningkat dari pada bulan Ramadlan sebelumnya. Musibah dapat dibedakan dengan azab dan bala. Musibah adalah ujian yang harus dilewati seorang hamba dan berfungsi sebagai proses pembelajaran agar ke- hidupan masa depan kita dapat dijalani dengan lebih baik. Musibah tidak hanya me- nimpa bagi para pendosa tetapi juga orang- orang yang saleh. Berbeda dengan azab, sik- saan yang hanya diperuntukkan kepada me- reka yang durhaka seperti azab yang pernah ditimpakan umat-umat terdahulu. Azab tidak menimpa orang yang shaleh, seperti Banjir Nuh yang hanya menenggelamkan umat Nabi Nuh yang durhaka sedangkan dirinya bersa- ma pengikut setianya selamat. Demikian pula umat Nabi Shaleh, ia bersama umat setianya ISI • Apa hakekat musibah itu? • Bagaimana menjadikan musibah sebagai surat cinta Tuhan? • Bagaimana bersahabat dengan musibah? • Bagaimana Al-Qur’an & hadis berbicara tentang musibah dan kekecewaan? selamat dari wabah epidemi yang menimpa kaumnya, juga kakeknya Nabi, Abdul Muthalib selamat dari keganasan thair ababil yang memporakporandakan pasukan Abraham. Se- dangkan bala, hampir sama dengan musibah, hanya skalanya lebih personal dan berhu- bungan dengan human error atau terkait erat dengan hukum sebab-akibat. Misalnya karena kecerobohan dan kelengahan maka seseorang mengalami kecelakaan. www. depag.go.id Musibah di sini dapat dicontohkan dengan salah seorang anggota keluarga ter- cinta kita meninggal dunia, dokter memvonis kita menderita penyakit akut, atau mendapat- kan fitnah keji dari orang lain, atau mengalami kekecewaan berat, misalnya gagal dipromosi, gugur dalam seleksi, dijauhi oleh teman, dan semacamnya. Kondisi batin seperti ini pasti sangat menyakitkan dan membuat orang menjadi putus asa serta kehilangan optimisme dan harapan hidup. Bahkan kondisi seperti ini seringkali membuat seseorang berfikir atau melakukan solusi jalan pintas misalnya dengan nekat bunuh diri, menjauh dari keramaian, dan hanyut di dalam kesensaraan, atau mencebur-

M ENCERMATI K ONDISI B ATIN:<br />

<strong>KETIKA</strong> <strong>KITA</strong> <strong>DITIMPA</strong> <strong>MUSIBAH</strong><br />

<strong>DAN</strong> <strong>KEKECEWAAN</strong><br />

Oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA<br />

Bagi orang beragama, apapun<br />

agamanya, ada lima kondisi batin yang perlu<br />

dicermati. Pertama, ketika kita sedang ditim-<br />

pa musibah atau kekecewaan, kedua, ketika<br />

kita sedang mempunyai hajat besar, ketiga,<br />

ketika kita baru melakukan dosa besar, ke-<br />

empat, ketika kita sedang di dalam keadaan<br />

normal, dan kelima, ketika kita sudah men-<br />

capai maqam lebih tinggi. Apa dan bagai-<br />

mana kiat-kiat yang sebaiknya dilakukan jika<br />

kita mengalami salah satu di antara kelima<br />

kondisi batin ini, akan diuraikan di dalam<br />

lima tulisan bersambung, sekaligus menjadi<br />

renungan bagi kita di dalam menjalani bulan<br />

suci Ramadlan. Semoga Ramadlan kita kali ini<br />

secara kuantitas dan kualitas lebih meningkat<br />

dari pada bulan Ramadlan sebelumnya.<br />

Musibah dapat dibedakan dengan azab<br />

dan bala. Musibah adalah ujian yang harus<br />

dilewati seorang hamba dan berfungsi<br />

sebagai proses pembelajaran agar ke-<br />

hidupan masa depan kita dapat dijalani<br />

dengan lebih baik. Musibah tidak hanya me-<br />

nimpa bagi para pendosa tetapi juga orang-<br />

orang yang saleh. Berbeda dengan azab, sik-<br />

saan yang hanya diperuntukkan kepada me-<br />

reka yang durhaka seperti azab yang pernah<br />

ditimpakan umat-umat terdahulu. Azab tidak<br />

menimpa orang yang shaleh, seperti Banjir<br />

Nuh yang hanya menenggelamkan umat Nabi<br />

Nuh yang durhaka sedangkan dirinya bersa-<br />

ma pengikut setianya selamat. Demikian pula<br />

umat Nabi Shaleh, ia bersama umat setianya<br />

ISI<br />

• Apa hakekat musibah itu?<br />

• Bagaimana menjadikan musibah sebagai surat<br />

cinta Tuhan?<br />

• Bagaimana bersahabat dengan musibah?<br />

• Bagaimana Al-Qur’an & hadis berbicara<br />

tentang musibah dan kekecewaan?<br />

selamat dari wabah epidemi yang menimpa<br />

kaumnya, juga kakeknya Nabi, Abdul Muthalib<br />

selamat dari keganasan thair ababil yang<br />

memporakporandakan pasukan Abraham. Se-<br />

dangkan bala, hampir sama dengan musibah,<br />

hanya skalanya lebih personal dan berhu-<br />

bungan dengan human error atau terkait erat<br />

dengan hukum sebab-akibat. Misalnya karena<br />

kecerobohan dan kelengahan maka seseorang<br />

mengalami kecelakaan.<br />

www. depag.go.id<br />

Musibah di sini dapat dicontohkan<br />

dengan salah seorang anggota keluarga ter-<br />

cinta kita meninggal dunia, dokter memvonis<br />

kita menderita penyakit akut, atau mendapat-<br />

kan fitnah keji dari orang lain, atau mengalami<br />

kekecewaan berat, misalnya gagal dipromosi,<br />

gugur dalam seleksi, dijauhi oleh teman, dan<br />

semacamnya. Kondisi batin seperti ini pasti<br />

sangat menyakitkan dan membuat orang<br />

menjadi putus asa serta kehilangan optimisme<br />

dan harapan hidup. Bahkan kondisi seperti ini<br />

seringkali membuat seseorang berfikir atau<br />

melakukan solusi jalan pintas misalnya dengan<br />

nekat bunuh diri, menjauh dari keramaian, dan<br />

hanyut di dalam kesensaraan, atau mencebur-


2<br />

kan diri di dalam kehidupan gelap seperti<br />

mengkonsumsi obat penenang destruktif<br />

seperti narkoba dan sejenisnya.<br />

Bagi orang yang beragama, cara<br />

terbaik yang harus dilakukan ialah kembali<br />

kepada Tuhan. Kita harus yakin bahwa<br />

sebesar apapun sebuah problem pasti itu<br />

masih tetap di ambang batas kemampuan<br />

daya dukung hamba-Nya. Allah Swt, Tuhan<br />

Yang Maha Pengasih, tidak mungkin<br />

membebani sesuatu di luar batas<br />

kemampuan dan daya dukung hamba-Nya.<br />

”Allah tidak akan membebani hamba-Nya<br />

melainkan sesuai dengan kesanggupannya”<br />

(Q.S. al-Baqarah/2:286).<br />

Dalam perspektif tasawuf, musibah<br />

atau kekecewaan hidup adalah salah satu<br />

wujud ”surat cinta” Tuhan kepada hamba-<br />

Nya. Mungkin Tuhan merindukan hamba-Nya<br />

tetapi yang bersangkutan terkeco dan<br />

tersesat dengan kesenangan duniawinya.<br />

Akhirnya Tuhan mengutus musibah atau<br />

kekecewaan kepadanya dan ternyata ia secara<br />

efektif kembali kepada Tuhannya. Seseorang<br />

yang hidup di dalam kemewahanan atau<br />

dalam kondisi berkecukupan seringkali lebih<br />

sulit untuk melakukan pendakian (taraqqi)<br />

kepada Tuhannya, karena semua<br />

kebutuhannya terpenuhi. Dalam keadaan<br />

seperti ini banyak orang yang lalai untuk<br />

berdoa. Ibadah yang dilakukan sebatas<br />

kewajiban, bukan betul-betul karena<br />

mencintai Tuhannya. Tingkat kekhusyukan<br />

ibadahnya dengan sendirinya lemah.<br />

Kiat menyikapi musibah kita harus<br />

tawakkal, menyerahkan diri secara total dan<br />

sepenuhnya kepada Allah Swt. Kita harus<br />

yakin bahwa musibah dan kekecewaan ini<br />

adalah pilihan terbaik Tuhan untuk kita.<br />

Ketika Kita Ditimpa Musibah dan Kekecewaan<br />

Allah SWT mencintai hamba-Nya dan ingin<br />

menyelamatkannya dari siksaan lebih pedih<br />

dan lebih lama. Nabi pernah bersabda:<br />

”Tidaklah seorang muslim ditimpa musibah,<br />

kedukaan, penyakit, kesulitan hidup,<br />

kesengsaraan, hingga semisal duri yang<br />

menusuk kakinya, melainkan itu semua<br />

berfungsi sebagai pencuci dosa masa<br />

lampau” (Hadis Muttafaq ’Alaih/sangat<br />

shahih). Dalam kesempatan lain Rasulullah<br />

pernah bersabda: ”Jika Allah SWT<br />

menghendaki kebaikan kepada hamba-Nya<br />

maka Ia menyegerakan siksaan-Nya (di<br />

dunia) dan jika Allah SWT menghendaki<br />

sebaliknya kepada hamba-Nya maka Ia<br />

menunda siksaan-Nya di hari kiyamat”<br />

(Hadis dari Anas, riwayat Turmudzi).<br />

Musibah dan kekecewaan tidak mesti<br />

diratapi terlalu lama, bahkan sebaliknya kita<br />

perlu mengambil hikmah yang amat penting<br />

darinya. Seringkali kita harus bersyukur<br />

bahwa musibah memang membawa<br />

kekecewaan hidup tetapi pada saat<br />

bersamaan kita bisa merasakan adanya<br />

kedekatan khusus diri kita dengan Tuhan.<br />

Bahkan kedekatan itu tidak pernah dirasakan<br />

sebelumnya. Seringkali justru rasa kedekatan<br />

itu lebih menonjol ketimbang rasa<br />

kekecewaan itu. Ini artinya musibah<br />

membawa nikmat dan betul-betul musibah<br />

terasa sebagai ”surat cinta” Tuhan kepada<br />

kekasih-Nya. Semenjak musibah itu terjadi<br />

maka semenjak itu terjadi perubahan total<br />

hubungan diri kita dengan Tuhan.<br />

Sebelumnya kita berjarak dengan Tuhan<br />

tetapi dengan musibah itu kita tidak lagi mau<br />

berpisah dan berjarak dengan Tuhan.<br />

Musibah kita sikapi dengan tawakkal<br />

dan mengikhlaskan diri kita kepada-Nya.


Ketika Kita Ditimpa Musibah dan Kekecewaan<br />

Semua itu sudah suratan takdir dan telah<br />

tercatat di buku blue print (lauh amhfudz).<br />

Jalanilah kehidupan ini dengan datar dan<br />

lurus. Kekuatan tawakkal dan ikhlas akan<br />

meberikan power dan keajaiban di dalam diri<br />

kita. Ini jaminan Tuhan: ”Jangan berduka cita,<br />

sesungguhnya Allah bersama kita” (Q.S. al-<br />

Taubah/9:40).<br />

Kiat menjalani dan mempertahankan<br />

sikap tawakkal dalam diri kita, diajarkan oleh<br />

kalangan guru-guru tasawuf, dengan<br />

menghayati secara mendalam dua kalimat<br />

syahadat. ”Tidak ada Tuhan selain Allah dan<br />

Muhammad adalah Rusul Allah”. Dengan<br />

diawali kalimat negasi, menafikan segalanya,<br />

kalau perlu menafikan keberadaan wujud kita<br />

sendiri. Seolah-olah yang ada dan eksis di<br />

jangat ini hanyalah Dia, Allah SWT. Kita<br />

melenyapkan hakekat dan substansi diri kita<br />

lalu larut kepada suatu Wujud Yang Maha<br />

Abadi. Kita bagaikan mayat yang hanyut di<br />

sungai, ke manapun sungai itu bermuara di<br />

situlah kita akan dibawa. Terimalah dirinya<br />

apapun adanya, karena semua orang<br />

membawa takdir dirinya masing-masing.<br />

Ma’rifah seperti ini lebih mudah muncul<br />

ketika kita sedang sujud di atas hamparan<br />

sajadah di hadapan kebesaran Allah Swt.<br />

Lupakanlah musibah dan kekecewaan itu,<br />

hilangkanlah semuanya, kalau perlu<br />

lupakanlah keberadaan dirinya, seolah-olah<br />

yang ada hanyalah Dia Sendiri. Tidak ada lagi<br />

sosok yang ditipa musibah, tidak ada juga<br />

sosok orang yang mendatangkan musibah,<br />

tidak ada lagi dendam dan tidak ada lagi<br />

yang sakit. Semuanya kembali dan menyatu<br />

dengan-Nya. Seolah musibah itu datang<br />

untuk menghapus memori gelap masa<br />

lampau kita.<br />

3<br />

Ikhlas yang sesungguhnya memberi-<br />

kan rasa optimisme ke dalam diri setiap<br />

orang. Orang yang menjalani keikhlasan<br />

penuh tidak akan pernah merasa sedih, sakit,<br />

lelah, dan kecewa, karena semua yang dila-<br />

kukan semata-mata karena Allah SWT. Karya<br />

dan pengabdian yang dilakukan bukan<br />

karena Allah SWT itulah yang sering<br />

menyedot energi batin seseorang. Yang<br />

bersangkutan sering merasa kecewa, lelah.<br />

Bahkan sakit karena harapannya berbeda<br />

dengan respons yang diberikan orang lain<br />

terhadapnya. Jika semunya kita niatkan<br />

seikhlasnya dan kita serahkan sepenuhnya<br />

kepada Allah SWT maka hidup ini pasti<br />

tenang, tidak akan merasa kecewa, tidak<br />

akan bersedih, tidak pernah merasa jatuh,<br />

dan mungkin tidak akan pernah lagi kita<br />

merasa sakit, Allahu Akbar.<br />

Nasaruddin Umar

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!