Article Format PDF - Journal | Unair

Article Format PDF - Journal | Unair Article Format PDF - Journal | Unair

journal.unair.ac.id
from journal.unair.ac.id More from this publisher
05.08.2013 Views

Anggola Dewa Permadi,“ Deskripsi Konstruksi Sosial Dalam Membentuk Identitas Simbolik Oreng Manduro” hal. 232-247 yang menggeluti pengetahuan keagamaan serta mempercayakan diri pada para pemimpin agama yang telah mengajarkan nilai-nilai dan pengetahuan agama Islam atau yang disebut dengan “ustadz”. Di Jombang terdapat berbagai tempat untuk pengajaran ilmu keagamaan seperti pondok pesantren Darul Ulum, Tebu Ireng, Denanyar, dan Siddiqiah (Windrowati, 2010). Di Kabupaten Jombang terdapat komunitas yang disebut dengan Oreng Manduro. Komunitas Oreng Manduro merupakan komunitas yang kesehariannya berbahasa Madura dan Jawa. Komunitas Oreng Manduro hidup secara berkelompok dalam empat dusun dalam satu desa, yaitu desa Manduro. Masyarakat Jombang dominan yang tidak tahu, apakah Oreng Manduro adalah asli dari keturunan masyarakat yang berasal dari pulau Madura atau tidak. Masyarakat beranggapan bahwa mereka adalah penduduk lokal yang lahir di sana dan kebanyakan dari komunitas Oreng Manduro juga tidak mau dikatakan sebagai keturunan etnis yang berasal dari pulau Madura. Pada umumnya, mereka mengaku etnis Jawa dan lebih senang disebut atau disapa sebagai “Oreng Manduro”. Oreng Manduro didalam berkomunikasi sehari-hari menggunakan bahasa Madura dan bukan Bahasa Jawa, tetapi mereka juga fasih berbahasa Jawa. Oreng Manduro menggunakan bahasa Jawa ketika berkomunikasi dengan masyarakat luar desa, yang pada umumnya masyarakat beretnis Jawa. Bahasa Madura yang dipergunakan oleh Oreng Manduro agak berbeda dengan bahasa Madura yang digunakan masyarakat pulau Madura. Di pulau Madura ada dua tipe bahasa yang digunakan yaitu kromo inggil dan ngoko, namun Oreng Manduro hanya menggunakan tipe ngoko yang mereka sebut sebagai bahasa pojok kampung. Sementara itu, masyarakat Jombang menggunakan dua tipe bahasa Jawa yaitu kromo inggil dan ngoko. Contoh kalimat yang membedakan antara tiga fenomena bahasa tersebut, yaitu: Bahasa Madura kromo inggil: “Dhe’ pare hadirin sadeje aeatore menikmati hidangan se ampon e siap agi, Bahasa Madura ngoko: Dhe’ pare hadirin tore adhe’er hidangan se mare e siap agi, Bahasa Jawa kromo inggil: Dumateng poro sederek sekalian jumeneng ngresaaken hidangan ingkang sampun disiapaken, Bahasa Jawa ngoko: Ayo konco-konco sekalian podo ngadek ngrasakno panganan seng wes disiapno, Bahasa Oreng Manduro: Reng oreng kabi tolong nadek sambi ngecepen kakanan se le esiapagih”. AntroUnairDotNet, Vol.2/No.1/Jan.-Pebruari 2013 Hal. 233

Anggola Dewa Permadi,“ Deskripsi Konstruksi Sosial Dalam Membentuk Identitas Simbolik Oreng Manduro” hal. 232-247 Dari contoh jenis serta tipe bahasa tersebut di atas tampak perbedaan dari pemakaian bahasa oleh masyarakat pulau Madura, Jawa dan Oreng Manduro. Arti berbagai ungkapan bahasa tersebut di atas dalam bahasa Indonesia, adalah “para hadirin sekalian dimohon berdiri untuk menikmati hidangan yang sudah disiapkan”. Perbedaan pemakaian bahasa tersebut merupakan fenomena yang ada di desa Manduro. Desa Manduro terdiri dari empat dusun yaitu dusun Guwo, Dander, Mato’an dan Gesing. Dalam setiap dusun juga terdapat logat dan intonasi bahasa yang bersifat campuran, misalnya ada orang dusun yang berbahasa Madura tetapi logat bicaranya seperti orang Jawa, namun juga orang dusun yang berbahasa Madura dengan logat bicaranya seperti orang pulau Madura pada umumnya. Oreng Manduro memiliki kosa kata yang berbeda dengan orang Madura dan Jawa, misalnya kosa kata untuk sebutan kerabat seperti paman atau pakde (bahasa jawa) yang disebut dengan Woo, Obek, atau Uwak, anak kecil yang disebut dengan nag kanag dan jug mburjug. Kosa kata untuk benda seperti kaus kaki yang disebut dengan mboek atau kasrut. Kosa kata kerja seperti makan yang disebut dengan ngakan, ejilet, ngecepen, serta minum dengan istilah ngenom, ejeglek. Kosa kata sifat seperti “tidak mengerti” yang diucap dengan tak taoh atau tak ngerteh. Asal mula Oreng Manduro sendiri hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti. Sampai saat ini, pencarian data belum ada sumber-sumber tertulis yang dapat dirujuk. Sumber informasi sebatas cerita-cerita rakyat yang terdapat beberapa versi dalam dongengnya, misalnya Laskar Trunojoyo dianggap sebagai nenek moyang Oreng Manduro. Berawal dari Laskar Trunojoyo dari pulau Madura melaksanakan penyerangan yang dibantu oleh Belanda terhadap kerajaan Surakarta yang dipimpin oleh Raja Amangkurat II telah berhasil mengalahkan Laskar Trunojoyo, maka mereka terpecah belah dan melarikan diri. Sisa-sisa pejuang Laskar Trunojoyo tersebut telah bersembunyi didaerah Kecamatan Kabuh, dan tidak kembali ke pulau Madura karena malu telah kalah perang. Mereka bertempat tinggal di lokasi pelarian dan menghasilkan keturunan sampai sekarang. Versi yang kedua adalah berawal ketika ada beberapa orang dari Madura yang mengasingkan diri ke Jombang. Penyebabnya adalah karena perbedaan paham, sehingga mereka melakukan migrasi karena tidak ada kecocokan yang mungkin disebab masalah perilaku. Versi AntroUnairDotNet, Vol.2/No.1/Jan.-Pebruari 2013 Hal. 234

Anggola Dewa Permadi,“ Deskripsi Konstruksi Sosial Dalam Membentuk Identitas Simbolik Oreng Manduro” hal. 232-247<br />

yang menggeluti pengetahuan keagamaan serta mempercayakan diri pada para pemimpin agama<br />

yang telah mengajarkan nilai-nilai dan pengetahuan agama Islam atau yang disebut dengan<br />

“ustadz”. Di Jombang terdapat berbagai tempat untuk pengajaran ilmu keagamaan seperti<br />

pondok pesantren Darul Ulum, Tebu Ireng, Denanyar, dan Siddiqiah (Windrowati, 2010).<br />

Di Kabupaten Jombang terdapat komunitas yang disebut dengan Oreng Manduro.<br />

Komunitas Oreng Manduro merupakan komunitas yang kesehariannya berbahasa Madura dan<br />

Jawa. Komunitas Oreng Manduro hidup secara berkelompok dalam empat dusun dalam satu<br />

desa, yaitu desa Manduro.<br />

Masyarakat Jombang dominan yang tidak tahu, apakah Oreng Manduro adalah asli dari<br />

keturunan masyarakat yang berasal dari pulau Madura atau tidak. Masyarakat beranggapan<br />

bahwa mereka adalah penduduk lokal yang lahir di sana dan kebanyakan dari komunitas Oreng<br />

Manduro juga tidak mau dikatakan sebagai keturunan etnis yang berasal dari pulau Madura.<br />

Pada umumnya, mereka mengaku etnis Jawa dan lebih senang disebut atau disapa sebagai<br />

“Oreng Manduro”.<br />

Oreng Manduro didalam berkomunikasi sehari-hari menggunakan bahasa Madura dan<br />

bukan Bahasa Jawa, tetapi mereka juga fasih berbahasa Jawa. Oreng Manduro menggunakan<br />

bahasa Jawa ketika berkomunikasi dengan masyarakat luar desa, yang pada umumnya<br />

masyarakat beretnis Jawa. Bahasa Madura yang dipergunakan oleh Oreng Manduro agak<br />

berbeda dengan bahasa Madura yang digunakan masyarakat pulau Madura. Di pulau Madura ada<br />

dua tipe bahasa yang digunakan yaitu kromo inggil dan ngoko, namun Oreng Manduro hanya<br />

menggunakan tipe ngoko yang mereka sebut sebagai bahasa pojok kampung. Sementara itu,<br />

masyarakat Jombang menggunakan dua tipe bahasa Jawa yaitu kromo inggil dan ngoko. Contoh<br />

kalimat yang membedakan antara tiga fenomena bahasa tersebut, yaitu: Bahasa Madura kromo<br />

inggil: “Dhe’ pare hadirin sadeje aeatore menikmati hidangan se ampon e siap agi, Bahasa<br />

Madura ngoko: Dhe’ pare hadirin tore adhe’er hidangan se mare e siap agi, Bahasa Jawa kromo<br />

inggil: Dumateng poro sederek sekalian jumeneng ngresaaken hidangan ingkang sampun<br />

disiapaken, Bahasa Jawa ngoko: Ayo konco-konco sekalian podo ngadek ngrasakno panganan<br />

seng wes disiapno, Bahasa Oreng Manduro: Reng oreng kabi tolong nadek sambi ngecepen<br />

kakanan se le esiapagih”.<br />

Antro<strong>Unair</strong>DotNet, Vol.2/No.1/Jan.-Pebruari 2013 Hal. 233

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!