Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
22 SEPTEMBER—<br />
24 OKTOBER <strong>2012</strong><br />
22 SEPTEMBER—<br />
24 OKTOBER <strong>2012</strong><br />
Program<br />
1
2<br />
Festival Salihara, yang berlangsung secara dua tahunan, menampilkan<br />
aneka seni pertunjukan puncak. Berlangsung sebulan penuh, <strong>festival</strong> ini terisi oleh<br />
sejumlah kelompok seni dari Indonesia, Australia, Belanda, Finlandia, Kanada, Spanyol,<br />
yang dalam kombinasinya satu sama lain memberi kita keragaman, kebaruan, serta<br />
kepiawaian bentuk dan visi seni.<br />
Festival Salihara juga merupakan persembahan kami kepada para pemirsa<br />
yang bukan hanya semakin luas cakrawala apresiasinya, namun juga secara aktif<br />
mengembangkan diri. Kami percaya bahwa eksperimentasi seni yang berhasil<br />
akan memberikan penghiburan; bahwa kreativitas yang bersungguh-sungguh akan<br />
meningkatkan mutu kehidupan bersama kita.<br />
Festival Salihara, kini yang keempat, mengetengahkan karya-karya seni pentas<br />
mutakhir dari mereka yang punya reputasi tinggi di dunia internasional maupun namanama<br />
baru yang akan jadi penting di masa mendatang. Kombinasi dari semuanya<br />
akan memberikan kita lanskap lintas-budaya yang langka, layak dikenang, pun layak<br />
dijadikan tolok ukur.<br />
Festival Salihara juga mengetengahkan sejumlah instalasi seni rupa yang<br />
dibuat secara khusus di ruang-ruang terbuka Komunitas Salihara. Bagi kalangan<br />
muda, sejumlah band indie akan tampil pada sore hari pada hari-hari tertentu; bagi<br />
mereka, diadakan juga lomba memotret apa-apa yang berlangsung selama Festival,<br />
dan art toys baru juga akan digelar di Gerai Salihara. Dilihat dalam keseluruhannya,<br />
Festival Salihara ialah sebuah pesta bersama untuk merayakan imajinasi.<br />
Festival Salihara terselenggara berkat dukungan besar dari banyak pihak—<br />
sponsor, donatur, media-rekanan, para sahabat, dan—tentu saja—para seniman<br />
penampil. Kepada mereka, kami haturkan terima kasih tak terhingga.<br />
Festival Salihara adalah cara kita bersama untuk merawat sumber-sumber<br />
kreatif demi kehidupan publik yang makin sehat, majemuk dan terbuka. Selamat<br />
datang ke Festival Salihara yang keempat ini—dan selamat menikmati.
Pengantar an introduction<br />
The Salihara Festival is a biennial event that features some of the best in<br />
performing arts. For a whole month, the Festival will present works by numerous art<br />
groups and companies from Indonesia, Australia, the Netherlands, Finland, Canada, and<br />
Spain. Their presentations provide us with diversity, innovation, and virtuosity in forms<br />
and artistic visions.<br />
Salihara Festival is dedicated to the audiences who, in addition to expanding<br />
their horizons for appreciation, are also actively developing themselves. We believe that<br />
a successful art experimentation can be pleasurable; that earnest creativity will elevate<br />
our quality of life together.<br />
Salihara Festival, now in its fourth edition, showcases the latest performing art<br />
works by established names with high reputations on the world stage, as well as new<br />
names and faces that will only gain more importance in the future. The combination of<br />
all of these elements provide us with a rare and memorable transcultural landscape<br />
that is sure to set milestones as well.<br />
Salihara Festival also proudly presents a number of installation art works<br />
created especially for the open spaces in Komunitas Salihara. For the youths amongst<br />
our audience, a number of indie bands will take to the stage on certain evenings; we<br />
are also holding a photo contest with the Festival as the subject, and newly-made art<br />
toys will be displayed at Gerai Salihara. Taken in its entirety, Salihara Festival is a party<br />
gathering to celebrate the imagination.<br />
Salihara Festival is realized through the generous support from various<br />
parties—sponsors, donors, media partners, friends of Salihara, and of course, all<br />
participating artists. We wish to convey our deepest gratitude to each and everyone.<br />
Salihara Festival is a way for all of us to nurture the founts of creativity,<br />
to attain a healthier, more open and plural public life. Welcome to the 4th Salihara<br />
Festival—and we hope you have an enjoyable time celebrating with us.<br />
3
4<br />
legenda<br />
Fringe event<br />
MusiK<br />
tari<br />
teater<br />
gratis<br />
s<br />
Khusus undangan<br />
htM: rp100.000, pelajar/<br />
Mahasiswa: rp50.000<br />
SelaSa<br />
25<br />
Musik, daNces aNd more...<br />
Sandee/van nieuKerKen<br />
pianoduo (belanda)<br />
TeaTer <strong>salihara</strong>, 20:00 WiB<br />
rabu<br />
26<br />
02 03<br />
TeaTer, The QueeN aNd The reBels<br />
(raTu daN para pemBeroNTak)<br />
Saturday aCting Club (yogyaKarta,<br />
indoneSia),<br />
TeaTer <strong>salihara</strong>,20:00 WiB<br />
09<br />
Tari, amour, acide, eT Noix<br />
daniel léveillé danSe<br />
(Kanada)<br />
TeaTer <strong>salihara</strong>, 20:00 WiB<br />
16<br />
23<br />
10<br />
Musik, from easT To<br />
WesT, amir-John haddad<br />
(Spanyol), Galeri<br />
<strong>salihara</strong>, 20:00 WiB<br />
17<br />
TeaTer, chika: a documeNTary TheaTer, philoSopher’S<br />
photoS (auStralia), TeaTer <strong>salihara</strong>, 20:00 WiB<br />
24<br />
Tari, TariaN malam, nan Jombang danCe Company<br />
(padang, indoneSia), TeaTer <strong>salihara</strong>, 20:00 WiB<br />
Musik, hiGhTime<br />
reBellioN, seramBi<br />
<strong>salihara</strong>, 22.00 WiB
11<br />
kamiS<br />
Jumat<br />
27 28<br />
Pembukaan<br />
TeaTer, Nirasmara, Wayang Climen<br />
(Solo, indoneSia), dalang: Ki Jlitheng<br />
Suparman, Galeri <strong>salihara</strong>, 20:00 WiB<br />
12<br />
Sabtu<br />
22<br />
Musik, sir daNdy<br />
seramBi <strong>salihara</strong>,16:00 WiB<br />
Musik, kuNokiNi<br />
seramBi <strong>salihara</strong>, 18:30 WiB<br />
seni rupa, iNsTalasi seNi<br />
rupa, KelompoK hitam maniS,<br />
Komroden haro, oCtora,<br />
thereSia aguStina Sitompul<br />
(tere), kompleks komuNiTas<br />
<strong>salihara</strong><br />
20<br />
Jadwal Festival<br />
minggu<br />
23<br />
Musik, Glimpse: music for drums aNd mixed eNsemBle<br />
aKSan SJuman (JaKarta, indoneSia),<br />
Galeri <strong>salihara</strong>, 20:00 WiB<br />
29<br />
Musik, ¡fuerza! Kraayenhof<br />
tango enSemble (belanda)<br />
TeaTer <strong>salihara</strong>, 20:00 WiB<br />
06 07<br />
Musik, homoGeNic,<br />
seramBi <strong>salihara</strong>, 16:00 WiB<br />
peluncuran arT Toys, hyBrid<br />
rhiNo, Gerai <strong>salihara</strong>, 18:00 WiB<br />
Tari, iNG raGa, Sutradara: yudi ahmad taJudin<br />
(JaKarta, indoneSia), TeaTer <strong>salihara</strong>, 20:00 WiB<br />
13<br />
Tari, Trickle, GreeN oak & aNd The liNe BeGiNs To<br />
Blur, SuSanna leinonen Company (finlandia)<br />
TeaTer <strong>salihara</strong>, 20:00 WiB<br />
Musik, TopoloGy (ausTralia),<br />
TeaTer <strong>salihara</strong>, 20:00 WiB<br />
September<br />
OktOber<br />
5
Pembukaan<br />
opening<br />
7
8<br />
Instalasi Seni rupa<br />
/art Installations<br />
Kelompok Hitam manis<br />
Komroden Haro<br />
octora<br />
Theresia agustina Sitompul (Tere)<br />
KOMPleKs sAlihARA sAlihARA cOMPlex<br />
22 September—24 Oktober <strong>2012</strong> september 22—October 24, <strong>2012</strong><br />
Festival Salihara Keempat adalah juga perayaan seni rupa. Selama Festival,<br />
sejumlah titik di Komunitas Salihara menjadi tempat pameran karya seni rupa terpilih.<br />
Kelompok Hitam Manis menampilkan instalasi Flying Success berupa 40 tabung gas<br />
bersayap yang melayang-layang di udara. Tetabung gas yang melayang ini tentu<br />
saja sebuah kejenakaan sekaligus sindiran tentang harga gas elpiji (LPG) yang terus<br />
merangkak naik. Kelompok Hitam Manis adalah himpunan perupa muda yang sebagian<br />
besar belajar di ISI Yogyakarta dan telah tampil di sejumlah pameran seni rupa di<br />
Jakarta dan Yogyakarta.<br />
Komroden Haro menampilkan patung Dalam Hening yang berupa kalong-kalong<br />
bergelantungan di kanopi sepanjang Gerai Salihara. Koloni kalong berbahan resin<br />
poliester ini diberi warna sesuai aslinya—kecuali dua ekor berwarna perak. Dengan<br />
sikap antara tidur dan jaga, 80-an hewan nokturnal itu menawarkan keheningan di<br />
tengah hibuknya kegiatan Festival. Komroden adalah perupa yang banyak mengolah<br />
bentuk binatang dan batu. Patung-patung ini sebelumnya adalah peserta Pameran Seni<br />
Patung Baru “Simpangan”.<br />
Octora menampilkan instalasi yang merespons posisi Komunitas Salihara sebagai<br />
pusat kesenian. Tampilannya berupa petikan teks-teks sastra dalam lingkaran dan<br />
kepompong mahabesar yang melambangkan proses penting dalam kelahiran karya<br />
seni. Octora adalah pematung yang menamatkan pendidikannya di Fakultas Seni Rupa<br />
dan Desain, ITB. Ia pernah mengikuti residensi “Landing Soon #10” di Cemeti Art<br />
House, Yogyakarta (2009) dan “Bamboo Curtain Studio” di Taiwan (2010).<br />
Adapun Theresia Agustina Sitompul (Tere) menampilkan instalasi berupa bentangan<br />
kawat-kawat sling dan pipa baja antikarat. Bentangan kawat-kawat yang membentuk<br />
selubung raksasa itu menyeruak dari dinding depan Galeri Salihara. Sang seniman<br />
ingin menggambarkan keterkaitan setiap elemen yang ada di sekitar kita. Tere belajar<br />
seni rupa di ISI Yogyakarta. Pameran tunggalnya yang terakhir adalah “Prints from the<br />
Book of Genesis: Seeds of Peace”, Lawangwangi, Bandung (<strong>2012</strong>).
The Fourth Salihara Festival is also a celebration of visual art. For the duration of<br />
the Festival, scattered around Komunitas Salihara’s premises will be spaces dedicated<br />
to exhibiting chosen installation art works. Kelompok Hitam Manis presents their<br />
installation, Flying Success, comprising of 40 winged gas cylinders, floating in the air.<br />
These flying gas cylinders are playful yet cynical jabs at the climbing prices of LPG<br />
gas. Kelompok Hitam Manis is a group of young artists, most of whom were students<br />
at ISI Yogyakarta. They have participated in numerous art exhibitions in Jakarta and<br />
Yogyakarta.<br />
Komroden Haro presents Dalam Hening (In Stillness), a colony of bats hanging from<br />
the canopy alongside Gerai Salihara. The bats are created out of polyester resin and<br />
are colored according to their natural colors, except for two silver ones. Suspended<br />
between slumber and wakefulness, the eighty-odd nocturnal animals offer a kind<br />
of tranquility in the midst of the Festival’s hustle and bustle. Komroden is an artist<br />
whose works expand upon the forms of animals and rocks. These bats have also been<br />
featured in a recent New Sculptures Exhibition “Simpangan” (Deviation).<br />
Octora presents an installation created in response to Komunitas Salihara’s position<br />
as the hub of art activities. Literary quotes arranged in a circular form and a largescale<br />
cocoon symbolizes the crucial process in begetting art works. Octora graduated<br />
from the Faculty of Art and Design, ITB. She has participated in residencies, such as<br />
“Landing Soon #10”, Cemeti Art House, Yogyakarta (2009) and “Bamboo Curtain Studio”<br />
in Taiwan (2010).<br />
Meanwhile, Theresia Agustina Sitompul (Tere) presents her installation of sling wires<br />
and stainless steel pipes. The expanse of wires forms a sort of giant sheath bursting<br />
out of Galeri Salihara’s front wall. The artist wishes to describe the connectedness<br />
between diverse elements outside ourselves. Tere studied art at ISI Yogyakarta. Her<br />
most recent solo exhibition is “Prints from the Book of Genesis: Seeds of Peace”,<br />
Lawangwangi, Bandung (<strong>2012</strong>).<br />
9
10<br />
Pentas musik<br />
/music Stage<br />
INSTALASI<br />
Sir Dandy<br />
seRAMbi sAlihARA<br />
Sabtu, 22 September <strong>2012</strong>, 16:00 WIB saturday, september 22, <strong>2012</strong>, 04:00 PM<br />
KunoKini<br />
seRAMbi sAlihARA<br />
Sabtu, 22 September <strong>2012</strong>, 18:30 WIB saturday, september 22, <strong>2012</strong>, 06:30 PM<br />
Pentas musik pembuka Festival kali ini adalah kelompok-kelompok musik yang<br />
tengah naik daun tetapi tidak termasuk ke dalam arus utama. Dengan pelbagai gaya<br />
mereka akan memberikan kita sisi lain Festival: muda, segar, penuh semangat,<br />
juga kritis. Sir Dandy (Harrington) menyajikan musik beraliran folk organic dengan<br />
sentuhan gitar akustik yang dominan. Dengan vokalis Dandi Achmad Ramdhani band<br />
ini menghasilkan lagu-lagu yang terasa jujur, spontan, dan berkesan “sersan” alias<br />
“serius tapi santai”. Akan tetapi, dari balik lirik-lirik lagu yang penuh humor, “ngasal”<br />
dan urakan itu, mengalir kritik tajam tentang banyak hal.<br />
Sebelum meluncurkan album Lesson #1 pada tahun lalu, Sir Dandy telah<br />
mengeluarkan sejumlah single yang sukses, seperti Juara Dunia, Jakarta Motor City, dan<br />
Kebakaran Hutan. Band ini juga telah tampil di Java Rockin’Land (2011), Beatfest (2011),<br />
dan Love Garage (<strong>2012</strong>).<br />
Sementara KunoKini lebih berkonsentrasi kepada musik etnik-eksperimental.<br />
Mereka mengandalkan kekuatan aneka bunyi perkusi dari khazanah Nusantara dan<br />
dunia dan memadukan mereka dengan musik kontemporer. Dan yang juga penting:<br />
suasana reggae yang terus-menerus. Lirik-liriknya (dalam bahasa Indonesia, Inggris,<br />
Jawa, dan daerah lainnya) adalah kritik sosial yang membangkitkan semangat.<br />
Dibentuk pada 2003, KunoKini pada mulanya adalah musik pengiring untuk<br />
kontingen tari mahasiswa Indonesia di Festival Folklore di Wismar, Jerman. Kelompok<br />
ini diisi oleh Bhismo, Bebi, Akbar, dan Darman. Mereka juga tampil di sejumlah<br />
<strong>festival</strong> di Indonesia, Jerman, Belanda, dan Australia. Album perdana mereka adalah<br />
Reinkarnasi (2010).
The Fourth Salihara Festival’s opening music acts are some of Indonesia’s upand-coming,<br />
non-mainstream bands and music groups. With their varied styles, they<br />
add a different dimension to the Festival: one filled with youthfulness, freshness, an<br />
indomitable spirit, as well as sharp criticisms. Sir Dandy (Harrington) takes the stage<br />
with organic folk music of predominantly acoustic guitar sounds. With vocalist Dandi<br />
Achmad Ramdhani, the songs come across as honest, spontaneous, and serious yet<br />
laidback. However, behind these humorous, seemingly random and reckless lyrics,<br />
there are sharp criticisms of various issues.<br />
Prior to releasing the album Lesson#1 last year, Sir Dandy had released a number<br />
of successful singles, such as Juara Dunia (World Champion), Jakarta Motor City, and<br />
Kebakaran Hutan (Forest Fire). This band has appeared in Java Rockin’Land (2011),<br />
Beatfest (2011), and Love Garage (<strong>2012</strong>).<br />
Meanwhile, KunoKini has chosen to concentrate on ethnic-experimental music. They<br />
take strong sound elements from various percussion instruments from Indonesia and<br />
abroad and combine them with contemporary music. More importantly though, is the<br />
continuous flow of reggae beats. Lyrics (in Indonesian, English, Javanese, and other<br />
regional languages) are social criticisms that rouse the spirit.<br />
Formed in 2003, KunoKini began as music accompaniment for the student dance<br />
contingent at the Folklore Festival held in Wismar, Germany. KunoKini consists of<br />
Bhismo, Bebi, Akbar, and Darman. They have since appeared in various <strong>festival</strong>s in<br />
Indonesia, Germany, the Netherlands, and Australia. Their first album is Reinkarnasi<br />
(2010).<br />
11
Program<br />
Utama<br />
main<br />
events<br />
13
14<br />
musik/music<br />
(Dur: 50’’)<br />
glimpse:<br />
music for Drums and<br />
mixed Ensemble<br />
AKSAN SJUMAN<br />
(JAKArtA, iNDoNeSiA)<br />
Konser ini khusus dipersiapkan untuk pembukaan Festival Salihara Keempat. Ia<br />
memadukan permainan drum dengan orkestra, sebuah perpaduan yang terbilang<br />
langka mengingat perkusi bukanlah alat musik harmonik maupun melodik<br />
sebagaimana piano, flute, gitar, atau french horn. Akan tetapi upaya ini justru<br />
menimbulkan suasana musikal yang unik dan memberikan kita pengalaman baru<br />
dalam menikmati musik yang merupakan adukan antara klasik dan kontemporer. Ia<br />
mencoba menangkap apa-apa yang tampak hanya sekilas dalam hidup kita, tetapi<br />
memiliki arti yang sangat penting.<br />
Konser ini terbagi atas dua. Yang pertama, “String Quintet & 3 Guitars” dimainkan di<br />
Galeri Salihara dan berisi lagu-lagu terbaru Aksan, di samping petikan musik-musik<br />
karyanya di sejumlah film nasional, seperti Minggu Pagi di Victoria Park, Rayya, dan<br />
Sang Penari. Sementara yang kedua, “Drums Concerto: Glimpse”, berlangsung di Teater<br />
Salihara dan berisi konser drum dalam empat bagian.<br />
Aksan Sjuman adalah musisi yang belajar piano, sebelum akhirnya memilih<br />
drum sebagai keahlian utamanya. Sempat bergabung dengan band Dewa 19, Aksan<br />
kemudian membentuk grup Wong Acid dan Potret. Selain musik pop, ia juga tampil<br />
di pentas-pentas jazz, baik di dalam maupun luar negeri. Aksan telah merilis album<br />
solo bersama musisi jazz internasional Joe Rosenberg, Peter Scheer, dan Masako<br />
Hamamura dalam kelompok Quartet East. Saat ini ia juga telah membuat rekaman<br />
untuk grup jazz eksperimental yang didirikannya, yaitu “Aksan Sjuman & the<br />
Committee of the Fest”. Ia juga mendirikan sekolah jazz Ponpin School of Music.
GAleRi sAlihARA<br />
Sabtu, 22 September <strong>2012</strong> saturday, september 22, <strong>2012</strong><br />
20:00 WIB 08:00 PM<br />
Khusus undangan invitation only<br />
Minggu, 23 September <strong>2012</strong> sunday, september 23, <strong>2012</strong><br />
20:00 WIB 08:00 PM<br />
HTM Rp50.000 Tickets Rp50,000<br />
Pelajar/Mahasiswa Rp25.000 students Rp25,000<br />
This concert is prepared especially for the opening nights of the 4th Salihara<br />
Festival. He has interweaved drumset with an orchestra ensemble, something of a rare<br />
combination as drum percussion is neither a harmonic or melodic musical instrument,<br />
unlike the piano, flute, guitar or french horn. However, this attempt actually leads to a<br />
unique musical atmosphere, providing the audience with a new experience in enjoying<br />
music, combining both classical and contemporary music. He tries to capture things<br />
that are fleeting in our lives but are nevertheless important.<br />
This concert is divided into two parts. The first, “String Quartet & 3 Guitars” will be<br />
performed in Galeri Salihara. It contains Aksan’s newest music pieces, in addition to<br />
excerpts from his music written for several domestic films, such as Minggu Pagi di<br />
Victoria Park (Sunday Morning in Victoria Park), Rayya, and Sang Penari (The Dancer).<br />
The second part, “Drums Concerto: Glimpse” will be staged in Teater Salihara, and will<br />
contain drum concertos in four parts.<br />
The musician, Aksan Sjuman was trained in piano, before finally moving on to drums,<br />
his primary instrument. He was a member of the band, Dewa 19, before founding<br />
groups, Wong Acid and Potret. In addition to pop music performances, he has appeared<br />
on many jazz show stages, both domestically and abroad. Aksan has released his solo<br />
album, in collaboration with international jazz musicians Joe Rosenberg, Peter Scheer,<br />
and Masako Hamamura, collectively known as Quartet East. Most recently, he recorded<br />
music for his alternative jazz group, “Aksan Sjuman & the Committee of the Fest.” He is<br />
founder of jazz school, Ponpin School of Music.<br />
Didukung oleh<br />
Supported by:<br />
15
16<br />
musik/music<br />
(Dur: 65’’)<br />
TeATeR sAlihARA<br />
Selasa—Rabu Tuesday—Wednesday<br />
25—26 September <strong>2012</strong> september 25—26, <strong>2012</strong><br />
20:00 WIB 08:00 PM<br />
HTM Rp50.000 Tickets Rp50,000<br />
Pelajar/Mahasiswa Rp50.000 students Rp25,000<br />
Dances and more...<br />
SANDee/VAN NieUKerKeN piANoDUo<br />
(BeLANDA/tHe NetHerLANDS)<br />
Duo piano ini, sebagaimana namanya, mengandalkan permainan dua grand piano<br />
untuk memberikan kita kekayaan musik modern abad ke-20, baik yang dihasilkan oleh<br />
komposer Belanda maupun komposer-komposer kelas dunia lainnya dari luar Belanda.<br />
Le sacre du printemps (The Rite of Spring, 1913) karya Igor Stravinsky, misalnya, adalah<br />
musik untuk balet dalam dua bagian yang bersumber pada kehidupan pagan Rusia<br />
kuna yang mengorbankan seorang perawan untuk dewa musim semi. Suasana murung<br />
di awal lantas berganti dengan gedoran suara menjelang kehancuran—berkaca pada<br />
pengalaman bangsa Eropa menjelang Perang Dunia Kesatu.<br />
Sementara Martijn Padding dengan Legatos (2005) mendekati minimalisme yang<br />
bermain dengan teknik sambungan nada yang terus-menerus. Adapun Danceworks<br />
(1993) karya Steve Martland adalah musik yang semula dipesan London Contemporary<br />
Dance Theatre untuk koreografi Shoes karya Aletta Collins.<br />
Laura Sandee dan Anna van Nieukerken sama-sama belajar piano di Royal<br />
Conservatory di Den Haag, Belanda. Sebelum membentuk duo, mereka telah main<br />
di sejumlah grup berbeda dan tampil sebagai solois. Misalnya, Laura adalah pianis<br />
ansambel musik kontemporer Insomnio dan tampil bersama Nieuw Ensemble.<br />
Sementara Anna adalah anggota Rodin Pianotrio.<br />
Laura dan Anna membentuk duo piano pada 2002. Mereka telah tampil di sejumlah<br />
<strong>festival</strong> dan acara musik penting di Belanda. Pada 2009 mereka menjadi semifinalis<br />
pada International Gaudeamus Interpreters Competition dan finalis Almere Chamber<br />
Music Competition. Duo ini telah bekerja sama dengan komponis Reza Namavar dan<br />
Gustavo Trujillo. Album mereka adalah Namavar: Raufarhafnarhreppur fragment (2006).
This piano duo, as the name suggests, performs on two grand pianos that aims<br />
to provide us with the richness of modern twentieth century music written by Dutch<br />
and other world-class composers. For instance, Le sacre du printemps (The Rite of<br />
Spring, 1913) by Igor Stravinsky, is a two-part music for ballet, inspired by the pagan<br />
rituals of old Russia, regarding the sacrifice of virgins to the god of Spring. The<br />
lugubrious atmosphere in the beginning culminates into the pounding sounds of neardestruction—mirroring<br />
the experiences of Europe prior to the First World War.<br />
Meanwhile, Martijn Padding’s Legatos (2005), draws nearer to minimalism by<br />
playing with motifs of long, continuous melodies. Steve Martland’s Danceworks (1993)<br />
was commissioned by London Contemporary Dance Theatre for Aletta Collins’s<br />
choreography, Shoes.<br />
Laura Sandee and Anna van Nieukerken studied piano together at the Royal<br />
Conservatory, The Hague, the Netherlands. Prior to forming this duo, they each played<br />
with different groups as soloists. For instance, Laura was with the contemporary piano<br />
ensemble, Insomnio, appearing together with Nieuw Ensemble; while Anna was a<br />
member of Rodin Pianotrio.<br />
Laura and Anna formed the pianoduo in 2002. They appeared together in a number<br />
of important music stages and <strong>festival</strong>s in the Netherlands. In 2009, they were<br />
semifinalists of the International Gaudeamus Interpreters Competition and finalists of<br />
the Almere Chamber Music Competition. This duo has worked with composers such<br />
as Reza Namavar and Gustavo Trujillo. Their album is Namavar: Raufarhafnarhreppur<br />
fragment (2006).<br />
Bekerja sama dengan<br />
/in cooperation with:<br />
17
18<br />
Nirasmara adalah lakon Yunani dalam rasa Jawa. Lakon ini diadaptasi dari Lysistrata<br />
karya Aristophanes, sebuah lakon Yunani klasik. Lysistrata bercerita tentang ancaman<br />
perang yang sudah di depan mata antara Athena dan Sparta. Karenanya, para<br />
perempuan dari kedua negara kota itu mogok seks agar perang batal. Wayang Climen<br />
memindahkan peristiwa ini ke detik-detik menjelang pecahnya perang Bharatayudha<br />
yang melibatkan keluarga Pandawa dan Kurawa. Demi mencegah perang saudara,<br />
Sumbadra dan perempuan-perempuan lain di kerajaan Astina dan Amarta juga mogok<br />
seks.<br />
Lewat pementasan ini Wayang Climen telah memperluas khazanah kisah wayang<br />
purwa yang selama ini bersumber pada wiracarita Mahabharata dan Ramayana. Mereka<br />
juga pernah memainkan lakon Semar Gugat yang merupakan saduran dari novel<br />
Semar Mencari Raga karya Sindhunata. Selain saduran dari lakon-lakon klasik, seperti<br />
Widarakandhang (dari lakon Kangsa Adu Jago) dan Dewaruci.<br />
Wayang Climen identik dengan pembongkaran tradisi pertunjukan wayang purwa.<br />
Tujuannya adalah menyajikan pertunjukan wayang yang lebih sederhana bentuknya,<br />
lebih singkat durasinya, lebih sedikit pemusiknya, tidak memakan tempat terlalu luas,<br />
dan lebih murah biayanya. Juga, menonjolkan kekuatan pertunjukan wayang purwa<br />
sebagai sastra lisan yang lebih komunikatif dan menjangkau khalayak penikmat yang<br />
lebih luas.<br />
Ki Jlitheng Suparman adalah dalang yang menamatkan pendidikan di Jurusan<br />
Sastra Jawa, Fakultas Sastra, UNS Surakarta. Saat kuliah ia termasuk 10 besar dalang<br />
unggulan dalam Festival 50 Dalang di Solo (1995). Pada 2000 ia mendirikan Wayang<br />
Kampung Sebelah, sebuah kelompok wayang purwa yang menampilkan satire dan<br />
humor, dengan tokoh-tokoh dari kehidupan kita sehari-hari. Sepuluh tahun kemudian ia<br />
mendirikan Wayang Climen.
Teater/Theater<br />
(Dur: 90’’)<br />
GAleRi sAlihARA<br />
Kamis—Jumat Thursday—Friday<br />
27—28 September <strong>2012</strong> september 27—28, <strong>2012</strong><br />
20:00 WIB 08:00 PM<br />
HTM Rp50.000 Tickets Rp50,000<br />
Pelajar/Mahasiswa Rp25.000 students Rp25,000<br />
Nirasmara (Sex Strike)<br />
wAyANg cLiMeN (SoLo, iNDoNeSiA)<br />
Dalang/puppet Master: Ki Jlitheng Suparman<br />
Nirasmara is a Greek play infused with Javanese expressions. This play is an<br />
adaptation of Aristophanes’s classic Greek play, Lysistrata, that tells the story of the<br />
looming war between Athens and Sparta. As the story goes, the women in both citystates<br />
are persuaded to withhold sex as means of dissuading war. Wayang Climen<br />
transports this string of events into a wayang setting, at the eve of the Bharatayudha<br />
war brewing between Pandawa and Kurawa families. Hoping to prevent this civil war,<br />
Sumbadra and the other women in the Kingdom of Astina and of Amarta decide to<br />
abstain from sex.<br />
By staging this show, Wayang Climen has expanded the purwa repertoire, which has<br />
so far derived most—if not all—of its materials from the epic narratives of Mahabharata<br />
and Ramayana. They have also staged Semar Gugat (Semar Accuses), an adaptation<br />
of Semar Mencari Raga (Semar in Search of a Body), a novel by Sindhunata; as well as<br />
adaptations of classical plays, such as Widarakandhang (from the play, Kangsa Adu Jago<br />
[Kangsa Cockfighting]) and Dewa Ruci.<br />
Wayang Climen embodies the act of breaking down boundaries of wayang purwa<br />
plays. They aim to present wayang shows that are formatively simpler, with shorter<br />
durations and smaller musical ensembles, which do not require large venues, and<br />
are cheaper to stage. They also place significant emphasis on the strength of wayang<br />
purwa, as a form of oral tradition that is more communicative and has the potential to<br />
reach a wider audience.<br />
Puppet master Ki Jlitheng Suparman graduated from the Javanese Literature<br />
Department, Faculty of Letters, UNS Surakarta. Even as a student he proved his abilities<br />
by making the top ten at the 50 Puppeteers Festival in Solo (1995). In 2000, he founded<br />
Wayang Kampung Sebelah (Wayang from the Neighboring Village), a wayang purwa<br />
troupe known for its satirical and humorous delivery through characters derived from<br />
everyday lives. Ten years later, he founded Wayang Climen.<br />
19
20<br />
musik/music<br />
(Dur: 60’’)<br />
TeATeR sAlihARA<br />
Sabtu saturday<br />
29 September <strong>2012</strong> september 29, <strong>2012</strong><br />
20:00 WIB 08:00 PM<br />
HTM Rp50.000 Tickets Rp50,000<br />
Pelajar/Mahasiswa Rp25.000 students Rp25,000<br />
¡Fuerza!<br />
KrAAyeNHoF tANgo eNSeMBLe<br />
(BeLANDA/tHe NetHerLANDS)<br />
Kraayenhof Tango Ensemble (KTE) adalah ansambel terbaru yang dibentuk oleh<br />
Carel Kraayenhof—setelah Sexteto Canyengue. Ansambel ini menggabungkan<br />
bandoneon dengan kwartet gesek, kontrabass dan piano. Penggabungan ini<br />
berangkat dari pengalaman Carel Kraayenhof selaku solois dalam sejumlah orkestra<br />
internasional, juga dari tango Argentina, di mana bandoneon dan instrumen gesek<br />
telah berkelindan lebih dari satu abad. Sebuah kombinasi suara yang sangat<br />
menggoda dan berbeda.<br />
Dalam setiap pentasnya Kraayenhof memainkan gaya “tango nuevo”—sebuah gaya<br />
yang ditemukan oleh Astor Piazzolla, komposer Argentina yang secara revolusioner<br />
melebur genre musik jazz dan klasik ke dalam tango. Musiknya juga menyerap<br />
pengaruh dari Alberto Ginastera, Leonard Bernstein, Samuel Barber, dan Luis<br />
Bacalov. Jika karya Piazzolla telah menjadi baku dan klasik dalam khazanah tango,<br />
karya Kraayenhof mutakhir dan menyihir dengan komposisinya yang terasa intim<br />
memainkan pelbagai rinci perasaan manusia.<br />
Carel Kraayenhof pada awalnya belajar piano klasik, di samping tertarik pada musik<br />
rakyat Inggris, Skotlandia, dan Irlandia. Ia juga belajar akordeon dan concertina Inggris,<br />
sebelum akhirnya jatuh cinta pada bandoneon dan tango Argentina. Kraayenhof<br />
menerima penghargaan dari Nederlandse Vereniging van Danslereraren (2002) untuk<br />
upayanya merangsang orang Belanda belajar tango dan menerima Edison Audience<br />
Prize untuk albumnya Tango Royal (2003).<br />
Pada awal Juli tahun ini KTE meluncurkan dua album sekaligus: Puro dan ¡Fuerza!.<br />
Album terakhir berisi 12 komposisi karya Carel Kraayenhof, Astor Piazzolla dan Luis<br />
Bacalov. Komposisi-komposisi dalam ¡Fuerza! akan dimainkan di Festival Salihara<br />
Keempat.<br />
Carel Kraayenhof akan menyelenggarakan masterclass musik tango sebelum<br />
pementasan.
The Kraayehof Tango Ensemble (KTE) is the latest ensemble put together by Carel<br />
Kraayenhof—following the Sexteto Canyengue. KTE combines bandoneon with a string<br />
quartet, contrabass and piano. This amalgamation is the result of Carel Kraayenhof’s<br />
experience as a soloist with many international orchestras, as well as through<br />
inspirations from Argentinian tango, where bandoneon and string instruments have<br />
intertwined harmoniously for more than a century. The result is an alluring and unique<br />
soundscape.<br />
Kraayenhof presents each performance in the “tango nuevo” style—introduced by<br />
the Argentinian composer Astor Piazzolla, who revolutionized genre by amalgamating<br />
jazz and classical music with tango. Kraayenhof’s music also draws influence from<br />
Alberto Ginastera, Leonard Bernstein, Samuel Barber, and Luis Bacalov. If Piazzolla’s<br />
works are now recognized as standards and classics in tango music repertoire, then,<br />
Kraayenhof’s works can be considered as the cutting-edge; they are bewitching in their<br />
compositions that seem to closely play on every detail of human feeling.<br />
At first, Carel Kraayenhof studied classical piano, in addition to folk music from<br />
England, Scotland and Ireland. He also learned to play the English concertina and<br />
accordion, before finally falling in love with bandoneon and Argentinian tango. In 2002,<br />
Kraayenhof received an award from the Nederlandse Vereniging van Danslereraren (the<br />
Dutch Society of Dance Teachers), for his contribution in promoting tango dance in the<br />
Netherlands. In 2003, he received the Edison Audience Prize for his album, Tango Royal.<br />
Early July this year, KTE released two albums simultaneously: Puro dan ¡Fuerza!.<br />
The latter comprises of 12 compositions by Carel Kraayenhof, Astor Piazzolla, and Luis<br />
Bacalov. Compositions from ¡Fuerza! will be performed at the 4th Salihara Festival.<br />
Carel Kraayenhof will lead a masterclass on tango music prior to the performance.<br />
Bekerja sama dengan<br />
/in cooperation with:<br />
21
22<br />
Teater/Theater<br />
(Dur: 120’’)<br />
The Queen and<br />
the rebels<br />
(ratu dan Para Pemberontak)<br />
Jangan percaya siapa pun di samping anda, meski ia seorang kekasih atau ratu.<br />
Ini tentu saja pikiran yang putus asa dan penuh curiga di tengah revolusi yang karutmarut.<br />
Tapi itulah yang terjadi di antara Ratu, Argia, seorang pelacur, dan Raim,<br />
kekasihnya. Mereka adalah gerombolan orang yang akan melarikan diri akibat perang<br />
saudara. Mendapati Ratu di antara mereka, Argia dan Raim mencoba memerasnya. Tapi<br />
akhirnya mereka berkolusi untuk meloloskan Ratu, Argia pun memainkan perannya<br />
sebagai Ratu dan nyawanya pun terancam. Sementara kekasihnya hanyalah seorang<br />
pengecut yang mementingkan dirinya sendiri.<br />
The Queen and the Rebels adalah lakon realis tentang tragedi kekerasan cinta dan<br />
balas dendam. Ditulis oleh Ugo Betti, dramawan Italia, dengan judul La regina e gli<br />
insorti (1949). Lakon ini menawarkan kerumitan pemanggungan lakon realis, terutama<br />
dalam menyajikan realisme yang rinci dan psikologi manusia di dalamnya. Bagi<br />
Saturday Acting Club (SAC) tema revolusi dalam naskah ini seperti peti wayang yang<br />
dibuka untuk memunculkan karakter-karakter yang harus memainkan peperangan<br />
paling rumit, di mana berbagai macam pikiran dan emosi tidak selalu muncul dalam<br />
wajah yang sesungguhnya.<br />
SAC adalah kelompok teater yang berdiri sejak 2002 di lingkungan ISI Yogyakarta.<br />
Mereka telah mementaskan lakon, antara lain, Children First (2007), Catastrophe/<br />
Bencana (2009), Holocaust Rising (2009), Kandasmara (2010) dan Lithuania (2011).<br />
Adapun Rukman Rosadi memperdalam pendidikan S1 dan S2 teater di ISI Yogyakarta.<br />
Di samping menyutradarai, ia juga bermain sebagai aktor teater dan film.
TeATeR sAlihARA<br />
Selasa—Rabu Tuesday—Wednesday<br />
02—03 Oktober <strong>2012</strong> October 02—03, <strong>2012</strong><br />
20:00 WIB 08:00 PM<br />
HTM Rp50.000 Tickets Rp50,000<br />
Pelajar/Mahasiswa Rp25.000 students Rp25,000<br />
SAtUrDAy ActiNg cLUB (yogyAKArtA, iNDoNeSiA)<br />
Sutradara/Director: rukman rosadi<br />
Do not trust anyone next to you, be they a lover or a queen. This is, obviously, a<br />
desperate and suspicious way of thinking, born in the midst of a revolution and much<br />
chaos. Nevertheless, this is exactly what happens between the Queen, Argia the<br />
prostitute, and Raim, Argia’s lover. They are part of a group of people running to escape<br />
a civil war. Upon discovering the Queen in their midst, Argia and Raim first tries to<br />
blackmail her. However, they soon find themselves colluding in the Queen’s escape.<br />
Argia impersonates Queen, thus putting her life in danger. Meanwhile, her lover proves<br />
to be a self-serving coward.<br />
The Queen and the Rebels is a realist play, of the tragedy wrought by violent love and<br />
revenge. It was written, as La regina e gli insorti (1949), by the Italian playwright, Ugo<br />
Betti. The play offers the kind of complication found in staging realist plays, especially<br />
in showing detailed realism and expressing human psychology embedded within them.<br />
For the Saturday Acting Club (SAC), the script’s revolutionary theme seems to become<br />
a wayang treasury that must be opened to let out various characters that will play their<br />
roles in the most complicated of battles, where various thoughts and emotions do not<br />
always show their true faces.<br />
SAC is a theater company founded in 2002 at ISI Yogyakarta. Since then, they have<br />
staged plays such as Children First (2007), Catastrophe (2009), Holocaust Rising (2009),<br />
Kandasmara (2010), and Lithuania (2011). Rukman Rosadi studied for his undergraduate<br />
and post-graduate degrees in theater at ISI Yogyakarta. In addition to directing, he also<br />
acts in many theater and film productions.<br />
23
24<br />
Tari/Dance<br />
(Dur: 75’’)<br />
TeATeR sAlihARA<br />
Sabtu —Minggu saturday—sunday<br />
06—07 Oktober <strong>2012</strong> October 06—07, <strong>2012</strong><br />
20:00 WIB 08:00 PM<br />
HTM Rp50.000 Tickets Rp50,000<br />
Pelajar/Mahasiswa Rp25.000 students Rp25,000<br />
Ing raga (In the Body)<br />
Sutradara/Director: yudi Ahmad tajudin<br />
(JAKArtA, iNDoNeSiA)<br />
Ing Raga adalah teater-tari yang menyajikan jalinan peristiwa dan imaji dari<br />
tubuh, gerak, bunyi dan komposisi. Sebagai pertunjukan teater ia tak memiliki plot<br />
yang linear—ia hadir sebagai rangkaian imaji dan suasana yang terus bergerak,<br />
dan meskipun berakhir ia tak sepenuhnya berhenti. Selaku pentas tari ia tak hanya<br />
rangkaian gerak dan bentuk, tapi memaparkan momen-momen meditasi atas<br />
(kuasa) tubuh. Itulah momen-momen yang menghadirkan sejenis kesadaran yang<br />
mencoba bertanya dan merenungkan kembali ihwal tubuh yang fana; ihwal pusat<br />
yang tergelincir oleh gerak-gerak sentrifugal perbedaan; ihwal kematian, kepedihan,<br />
pembusukan, penyucian dan pertanyaan tentang dosa (“Duh, apa dosaning raga?”).<br />
Semua itu berlangsung dalam balutan musik yang mencoba memaksimalkan bunyi<br />
erhu (rebab Cina)—menggantikan rebab. Musik pertunjukan ini adalah lapisan-lapisan<br />
bunyi yang berangkat dari laras pelog dan slendro ditambah sejumlah bunyi lain dari<br />
instrumen yang ada. Juga, tilas puisi-puisi liris karya Goenawan Mohamad.<br />
Ing Raga adalah sebuah teater-tari kontemporer yang berangkat dari khazanah<br />
tradisi tari bedhaya di Keraton Surakarta. Ia mencoba menafsir ulang Panji Sepuh—<br />
pentas tari yang diciptakan dan disutradarai oleh Sulistyo Tirtokusumo dan sejumlah<br />
seniman lain pada 1993.<br />
Karya ini adalah kolaborasi antara Yudi Ahmad Tajudin, Tony Prabowo dan Goenawan<br />
Mohamad. Yudi berpengalaman mementaskan teater-tari bersama Teater Garasi,<br />
Yogyakarta. Sementara Tony Prabowo dan Goenawan Mohamad telah berkolaborasi<br />
dalam sejumlah pertunjukan opera, seperti The King’s Witch (2006) dan Tan Malaka<br />
(2010). Terakhir, mereka bertiga berkolaborasi dalam pementasan Panji Sepuh (2011).
Ing Raga is a dance-theater performance, weaving events and images of the body,<br />
movement, sound, and composition. As a theater performance, it does not have a linear<br />
plot—instead, it appears as a series of continuously moving images and atmospheres that<br />
does not come to a complete stop even at the end. As a dance performance, it is not limited<br />
to a series of movements and forms, but delves into meditative moments on (powers of)<br />
the body. These are moments that situate the kind of awareness that seeks to ask and<br />
reflect upon the issues of a mortal body; of centers that slips away through centrifugal<br />
forces of opposition; issues of death, bitterness, decay, sanctification, and questions about<br />
sins (“Duh, apa dosaning raga?” Oh, what on earth are the sins of the body?)<br />
All of these are enveloped in music that tries to maximize the erhu (Chinese fiddle),<br />
as a replacement of the Javanese rebab. The music accompanying this performance<br />
is comprised of layers of sounds, utilizing the traditional pelog and slendro scales,<br />
supported by a variety of sounds from other instruments. It will also feature a trail of<br />
lyrical poetry penned by Goenawan Mohamad.<br />
Ing Raga is a contemporary dance-theater performance inspired by bedhaya<br />
traditional dance of the Surakarta royal court. It is a reinterpretation of Panji Sepuh, a<br />
dance performance created and directed by Sulistyo Tirtokusumo and several other<br />
artists in 1993.<br />
This is a collaboration between Yudi Ahmad Tajudin, Tony Prabowo, dan Goenawan<br />
Mohamad. Yudi nurtures his experience of staging dance-theater through his involvement<br />
with Teater Garasi, Yogyakarta. Meanwhile, Tony Prabowo and Goenawan Mohamad have<br />
collaborated in a number of operatic performances, such as The King’s Witch (2006) and<br />
Tan Malaka (2010). Most recently, the three of them collaborated to present Panji Sepuh<br />
(2011).<br />
25
26<br />
Tari/Dance<br />
(Dur: 60’’)<br />
amour, acide,<br />
et noix (Love, acid, and Nuts)<br />
DANieL LéVeiLLé DANSe (KANADA/cANADA)<br />
Koreografer/choreographer: Daniel Léveillé<br />
Full Body<br />
Exposure<br />
Hanya diperbolehkan bagi penonton berusia 21 tahun ke atas<br />
Penonton wajib membawa tanda bukti diri<br />
& dilarang memotret dengan alat rekam apa pun<br />
For 21 years and older<br />
ID required, no photography allowed<br />
Amour, acide, et noix (2001) berbicara tentang kesunyian, tetapi yang juga terpenting<br />
adalah kelembutan sentuhan yang tak habis-habisnya, kekerasan hidup dan hasrat<br />
untuk menghindari tubuh sebagai modus utama kehadiran manusia. Juga, tentang seni<br />
rupa yang dibentuk oleh komposisi tubuh para penari, kontras antara warna kulit yang<br />
putih dan latar panggung yang hitam, di samping permainan cahaya yang hemat dan<br />
efektif.<br />
Sementara ketelanjangan ditempatkan sebagai alternatif penting dalam membaca<br />
kembali tubuh manusia. Ia hendak mempertanyakan kembali apakah kulit adalah<br />
konstum sejati bagi tubuh manusia. Tubuh di situ telah diekspose sebagai objek klinis:<br />
jantan dan kokoh tetapi bergetar lembut oleh kekacauan organis di dalamnya. Erotisme<br />
telah dicopot untuk mendapatkan tubuh yang tertib, sporty, bertenaga, layaknya<br />
patung-patung Yunani.<br />
Daniel Léveillé adalah penari, koreografer, guru, dan perupa. Ia mendirikan Daniel<br />
Léveillé Danse di Québec, Kanada, pada 1991, setelah sebelumnya mendirikan<br />
kelompok tari dengan nama lain dan bekerja sebagai koreografer independen. Sebagai<br />
Direktur Artistik Daniel Léveillé Danse ia telah meraih banyak pengakuan internasional<br />
lewat Amour, acide, et noix. Karya ini meraih 2004 Dora Mavor Moore Award untuk<br />
kategori “Outstanding New Choreography” dan Public Dance Award pada “Dance Week<br />
Zagreb” yang diadakan oleh Croatian Institute for Movement and Dance, Kroasia.<br />
Bersama La pudeur des icebergs (2004) dan Crépuscule des océans (2007) ia telah<br />
menjadi bagian trilogi “Anatomy of Imperfection” yang ditampilkan di Dance Venice<br />
Biennale (2010).
TeATeR sAlihARA<br />
Selasa Tuesday<br />
09 Oktober <strong>2012</strong> October 09, <strong>2012</strong><br />
20:00 WIB 08:00 PM<br />
HTM Rp100.000 Tickets Rp100,000<br />
Mahasiswa Rp50.000 students Rp50,000<br />
Amour, acide, et noix (2001) speaks of solitude, but most importantly of the<br />
endless tenderness of touch, the harshness of life and the desire to eschew one’s<br />
body as the main means of human existence. It also speaks of a form of art built by<br />
the compositions of dancers’ bodies, the contrasts between white skin and black<br />
background, as well as the sparse and effective plays of light.<br />
Meanwhile, nudity is placed as an important alternative to re-read the human body.<br />
It wishes to ask, once again, whether the skin is the only true body costume. Here, the<br />
body is exposed as a clinical object: masculine and strong, yet softly vibrating through<br />
the organic chaos within. Eroticism has been stripped away, to get to the energetic,<br />
sporty, and orderly form, as found in Greek statues.<br />
Daniel Léveillé is a dancer, choreographer, teacher, and artist. He founded the Daniel<br />
Léveillé Danse in Québec, Canada in 1991. Prior to it, he had set up another dance<br />
troupe under a different name, and had worked as an independent choreographer. As<br />
artistic director of Daniel Léveillé Danse, he has received many international acclaim<br />
for his work, Amour, acide, et noix. It received the 2004 Dora Mavor Moore Award<br />
for “Outstanding New Choreography” and the Public Dance Award at Dance Week<br />
Zagreb, organized by the Croatian Institute for Movement and Dance. With La pudeur<br />
des icebergs (2004) and Crépuscule des océans (2007), it is presented as part of the<br />
“Anatomy of Imperfection” trilogy, staged at Dance Venice Biennale (2010).<br />
Photo: John Morstad<br />
Didukung oleh<br />
/Supported by:<br />
27
28<br />
musik/music<br />
(Dur: 60’’)<br />
GAleRi sAlihARA<br />
Rabu—Kamis Wednesday—Thursday<br />
10—11 Oktober <strong>2012</strong> October 10—11, <strong>2012</strong><br />
20:00 WIB 08:00 PM<br />
HTM Rp50.000 Tickets Rp50,000<br />
Pelajar/Mahasiswa Rp25.000 students Rp25,000<br />
From East to West<br />
AMir-JoHN HADDAD<br />
(SpANyoL/SpAiN)<br />
Amir-John Haddad adalah seorang multi-instrumentalis. Ia yang mampu memainkan<br />
pelbagai alat musik, terutama yang dipetik: dari yang tradisional semisal oud dari<br />
Arab Saudi, saz dari Turki, gitar flamenco, hingga gitar elektrik berleher tiga. Dengan<br />
kemampuannya memainkan aneka alat musik itu ia sebenarnya sedang meramu seni<br />
tradisional dengan sesuara modern, antara Timur sebagai khazanah tradisi dan Barat<br />
yang memberikannya pengetahuan dan teknologi modern dalam bermusik.<br />
Pementasan From East to West tidak sekadar memberikan kita pelbagai suara dari<br />
instrumen musik yang berbeda, tetapi juga permainan gaya musik yang beragam:<br />
musik rakyat, oriental, funk, rock, dan lain sebagainya. Begitulah, dari setiap negeri<br />
yang disinggahinya, sang musisi selalu menyerap tradisi musik setempat dan<br />
meleburkannya ke dalam musiknya dengan harapan menemukan keluasan dan<br />
kekayaan musik dunia. Setiap musiknya membuktikan pengaruh yang luas, di samping<br />
keragaman emosi, suara, atmosfer yang terbentuk ke dalam lanskap musikal.<br />
Dikenal sebagai komposer yang sangat orisinal dan musisi dengan sensibilitas<br />
musik yang luar biasa, Amir-John Haddad dilahirkan di Freiburg, Jerman, dari ibu<br />
berdarah Kolombia dan ayah asal Palestina. Bersama band Radio Tarifa dari Spanyol<br />
ia pernah tur keliling dunia selama sepuluh tahun dan berkolaborasi dengan tak<br />
kurang dari 32 musisi dan kelompok musik berbeda. Ia juga telah menerbitkan album<br />
solo flamenco Pasando Por Tabernas (2006). Pada 1999 ia menjadi juara ke-1 untuk<br />
komposisi musiknya di VIII Certamen Nacional de Coreografía para Danza Española y<br />
Flamenco, Spanyol.
Amir-John Haddad is a multi-instrumentalist musician. He plays a wide range of<br />
musical instruments, especially plucked strings instruments: from traditional ones<br />
such as the Saudi Arabian oud, the Turkish saz, flamenco guitar, to three-necked<br />
electric guitars. Through his expertise in these various instruments, he combines<br />
traditional art with modern sounds, between the East as his traditional repertoire, and<br />
the West that has provided him with modern technologies and knowledge in making<br />
music.<br />
From East to West does not only provide us with a variety of diverse sounds and<br />
musical instruments, but also with a range of musical styles: folk music, oriental,<br />
funk, rock, etc. The musician absorbs local music traditions from each place he visits,<br />
internalizing them with his music, in hopes that he may find the depth and richness of<br />
world music. Each of his music proves these wide-ranging influences, in addition to the<br />
diversity of emotions, sounds, and atmosphere created in his musical landscape.<br />
A very original composer and musician with a great sense of music, Amir-John<br />
Haddad was born in Freiburg, Germany, from a Colombian mother and a Palestinian<br />
father. For ten years, he toured the world with the Spanish band Radio Tarifa. He has<br />
collaborated with at least 32 musicians and music groups. He has also released a<br />
flamenco solo album, Pasando Por Tabernas (2006). In 1999, his musical composition<br />
won first prize at the VIII Certamen Nacional de Coreografia para Danza Española y<br />
Flamenco, in Spain.<br />
Photo:<br />
http://www.womex.com<br />
29
30<br />
Tari/Dance<br />
(Dur: 50’’)<br />
Trickle, green oak &<br />
and the Line<br />
Begins to Blur<br />
SUSANNA LeiNoNeN coMpANy<br />
(FiNLANDiA/FiNLAND)<br />
Koreografer/choreographer: Susanna Leinonen<br />
Susanna Leinonen Company dikenal sebagai kelompok tari yang menampilkan<br />
koreografi-koreografi dengan bahasa gerak yang unik, kuat, dan personal. Di Festival<br />
Salihara kali ini mereka akan menampilkan dua karya dari masa yang berbeda.Trickle,<br />
Green Oak (2003, 18 menit) adalah koreografi dengan empat penari. Mengambil kosagerak<br />
balet karya ini menyejajarkan kekuatan tubuh manusia dengan kerapuhannya.<br />
Kostum penari yang berupa tutu putih berbulu menimbulkan kontras yang tinggi<br />
dengan latar panggung yang hitam sepenuhnya. Dalam beberapa momen gerakangerakannya<br />
menegaskan estetika Butoh.<br />
Adapun And The Line Begins to Blur (2009, 30 menit) dimainkan oleh tujuh penari.<br />
Ini adalah versi baru dari karya Susanna yang sebelumnya dipesan oleh Skånes<br />
Dansteater pada 2008. Karya ini menampilkan suasana horor pada kostum, gerak,<br />
cahaya dan musiknya. Ia juga mengaburkan batas antara individu dan masyarakat,<br />
antara keindahan gerak yang brutal dan sisi gelap manusia. Gerakan-gerakan yang<br />
menyimbolkan kekuatan masa lalu yang gelap datang dan melebur dengan kekuatan<br />
dan ikhtiar manusia hari ini. Gerakan-gerakannya memukau karena energik sekaligus<br />
plastis.<br />
Susanna Leinonen Company didirikan pada 2001. Dalam setiap pementasannya<br />
kelompok ini senantiasa memadukan koreografi, musik, dan aspek visual. Pada<br />
2010 kelompok ini mendapatkan dukungan penuh sebagai “proyek ekspor utama”<br />
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Finlandia. Di samping bekerja dengan<br />
kelompoknya, Susanna Leinonen juga bekerja sebagai koreografer pada lembaga tari<br />
dan balet terpenting di Finlandia, seperti Finnish National Ballet, Skånes Dansteater<br />
dan Danish Dance Theatre.
TeATeR sAlihARA<br />
Jumat—Sabtu Friday—saturday<br />
12—13 Oktober <strong>2012</strong> October 12—13, <strong>2012</strong><br />
20:00 WIB 08:00 PM<br />
HTM Rp100.000 Tickets Rp100,000<br />
Pelajar/Mahasiswa Rp50.000 students Rp50,000<br />
Susanna Leinonen Company is known for their choreographies, presented with<br />
unique, strong, and personal movement language. At Salihara Festival, they will stage<br />
two works from two distinct periods of time. Trickle, Green Oak (2003, 18 mins) is<br />
a choreography of four dancers. Adopting ballet vocabularies, this work aligns the<br />
strength of human bodies with their fragility. White tutus on the dancers cause sharp<br />
contrast against dense dark background. Sometimes, their movements highlight Butoh<br />
dance aesthetics.<br />
Meanwhile, And the Line Begins to Blur (2009, 30 mins) is presented by seven<br />
dancers. This is Susanna’s newest version, commissioned by Skånes Dansteater in<br />
2008. It conveys an atmosphere of horror through its costume, movements, lighting,<br />
and music. It blurs the line between the individual person and society, between the<br />
beauty found in brutal gestures and the dark side of humanity. Each movement<br />
symbolizes how the strength of a dark past has come and coalesces with the strength<br />
and endeavor of people today. The choreography presents electrifying movements, as<br />
they are at once energetic and plastic.<br />
Susanna Leinonen Company was founded in 2001. In each of their performances, this<br />
dance company perfectly fuses choreography with music and visual aspects. In 2010,<br />
the Company received full support from the Finnish Ministry of Education as a primary<br />
cultural export project. In addition to her work with the Company, Susanna Leinonen<br />
also works as choreographer at some of the most important dance and ballet institutes<br />
in Finland, such as the Finnish National Ballet, Skånes Dansteater and Danish Dance<br />
Theatre.<br />
Photo: Heikki Tuuli<br />
Didukung oleh<br />
/Supported by:<br />
31
32<br />
Chika Honda adalah tokoh historis yang menginspirasi pementasan ini. Ia seorang<br />
turis Jepang yang dipenjara di Australia dengan tuduhan menyelundupkan 13<br />
kg heroin. Selama 10 tahun ia menjalani hukuman, tanpa merasa bersalah telah<br />
melakukan kejahatan itu. Chika akhirnya dibebaskan pada 2002 dan kini bekerja<br />
sebagai seorang pelayan di Omiya, Jepang. Kasus ini dikenal dengan sebutan “The<br />
Melbourne Case”.<br />
Chika: A Documentary Theater adalah pementasan yang berlapis-lapis dan melintasi<br />
batas: musik langsung, tarian, narasi, gambar dokumenter, arsip video dan rekaman<br />
wawancara. Penderitaan Chika selama menjalani hukuman sebagian muncul lewat<br />
rekaman dokumenter, selebihnya menjelma jadi eksplorasi gerak yang penuh patahan<br />
dan kesakitan dari penari Yumi Umiumare, ditimpali permainan instrumen musik<br />
tradisional Jepang: koto, shakuhachi, dan wadaiko. Semua ini menghadirkan dunia<br />
surealis Chika sebagai pesakitan.<br />
Diproduksi oleh Mayu Kanamori, pentas ini adalah kolaborasi yang tidak biasa<br />
untuk mengingatkan kembali penderitaan manusia dan konsekuensi hukum yang<br />
diterimannya. Mayu Kanamori adalah seniman kelahiran Jepang yang kini menetap di<br />
Sydney, Australia. Karyanya menggabungkan fotografi, performance art, video, cerita,<br />
yang melintasi pelbagai genre dan disiplin seni. Pentas ini disutradarai oleh Malcolm<br />
Blaylock, seniman yang berpengalaman sebagai direktur artistik Darwin Festival dan<br />
La Boite Theatre, Brisbane.<br />
Pada mulanya Chika diproduksi untuk sebuah workshop di Melbourne pada 2003,<br />
kemudian mencapai sukses lewat pementasan di sejumlah <strong>festival</strong> di Australia dan<br />
mancanegara.
Teater/Theater<br />
(Dur: 60’’)<br />
TeATeR sAlihARA<br />
Selasa—Rabu Tuesday—Wednesday<br />
16—17 Oktober <strong>2012</strong> October 16—17, <strong>2012</strong><br />
20:00 WIB 08:00 PM<br />
HTM Rp50.000 Tickets Rp50,000<br />
Pelajar/Mahasiswa Rp25.000 students Rp25,000<br />
Chika: a Documentary<br />
Theater<br />
pHiLoSopHer’S pHotoS (AUStrALiA)<br />
Kreator/creator: Mayu Kanamori<br />
This performance is inspired by a real-life figure, Chika Honda. A Japanese tourist,<br />
she was convicted in Australia, accused of smuggling 13 kgs of heroin. She spent 10<br />
years in prison, although she continually maintained her innocence of the crime. She<br />
was released on parole in 2002. She currently works as a waitress in Omiya, Japan.<br />
Her case is now known as “the Melbourne Case”.<br />
Chika: A Documentary Theater is a multi-layered, boundary-surpassing performance,<br />
which incorporates live music, dance, narration, documentary footage, archival video,<br />
and recorded interviews. Chika’s hardships throughout her detention appears partly<br />
through documentary records, and partly transformed through expressions found in<br />
broken and tortured movements, as conveyed by dancer Yumi Umiumare, accompanied<br />
by music created using Japanese traditional instruments: koto, shakuhachi, and<br />
wadaiko. All of these elements come together to present the surrealistic world of Chika<br />
as a prisoner.<br />
Produced by Mayu Kanamori, this stage performance is an unusual, extraordinary<br />
collaboration, to remind the world of human suffering and the legal consequences one<br />
can experience. Mayu Kanamori is a Japanese-born artist, currently residing in Sydney,<br />
Australia. Her work pulls together elements from photography, performance art, video,<br />
and story-telling, crossing various genres and art disciplines. This performance is<br />
directed by Malcolm Blaylock, an artist and artistic director of Darwin Festival and La<br />
Boite Theatre, Brisbane.<br />
Chika was produced through a workshop in Melbourne in 2003, before finally gaining<br />
accolades in numerous <strong>festival</strong>s in Australia and abroad.<br />
33
34<br />
Pada mulanya, sepuluh tangan bermain dalam satu grand piano. Kemudian tiap<br />
musisi tampil dengan instrumen masing-masing. Mereka bekerja sama secara intensif<br />
menciptakan musik yang mereka turunkan dari tradisi musik kamar, rock progresif,<br />
dan improvisasi teaterikal seperti dalam jazz dan musik indie. Mereka bermain-main<br />
antara susunan komposisi yang baku dan improvisasi yang menantang virtuositas.<br />
Hasilnya adalah sebuah perjalanan emosional yang bertenaga, menyenangkan, lembut,<br />
meditatif, berani dan riang.<br />
Dengan fluiditas yang terjaga dan tiap bagian berbeda satu sama lain, nyaris tanpa<br />
repetisi yang berlebihan, tak pelak, Ten Hands adalah bahasa musik yang istimewa dari<br />
Topology. Ten Hands tampil perdana di Brisbane Powerhouse, 14 November 2010, dan<br />
tahun lalu ia mencetak sukses di Ghent Festival, Belgia.<br />
Topology terdiri dari Christa Powell (violin), John Babbage (saksofon), Bernard Hoey<br />
(viola), Therese Milanovic (piano), Robert Davidson (kontrabass). Topology mengolah<br />
karya orisinal dengan melintasi batas aneka genre musik. Berdiri sejak 1997, kwintet<br />
ini adalah ensemble-in-residence di Brisbane Powerhouse—di samping tampil di<br />
sejumlah <strong>festival</strong> bergengsi di Australia dan negeri-negeri lainnya.<br />
Topology telah bekerja sama dengan sejumlah seniman di bidang teater, musik<br />
klasik, musik seni kontemporer, balet, jazz kontemporer, musik pop, komedi, musik<br />
Asia, dan musik pribumi Australia. Juga dengan komposer internasional yang penting:<br />
Tim Brady (Kanada), Steve Reich (AS), Andrew Poppy (Inggris), dan sejumlah komposer<br />
Australia.<br />
Topology akan menyelenggarakan masterclass komposisi musik sebelum<br />
pementasan.
musik/music<br />
(Dur: 60’’)<br />
TeATeR sAlihARA<br />
Sabtu saturday<br />
20 Oktober <strong>2012</strong> October 20, <strong>2012</strong><br />
20:00 WIB 08:00 PM<br />
HTM Rp50.000 Tickets Rp50,000<br />
Pelajar/Mahasiswa Rp25.000 students Rp25,000<br />
Ten Hands<br />
topoLogy (AUStrALiA)<br />
In the beginning, ten hands play on one grand piano. Then, each musician appears<br />
with their own instruments. They work intensely together to create music derived from<br />
diverse traditions, from chamber music, progressive rock, to theatrical improvisations<br />
such as jazz and indie music. They play around between standard compositional<br />
constructions and improvisations that challenge one’s virtuosity. The result is a<br />
powerful emotional journey, joyful, soft, meditative, bold, and playful.<br />
With measured fluidity, and recognizable stylistic diversity from one part to the next,<br />
almost without any over-repetitions, it is undeniable that Ten Hands is a distinctive<br />
kind of musical language presented by Topology. Ten Hands premiered at Brisbane<br />
Powerhouse on 14 November 2010. Last year, it was successfully received at the Ghent<br />
Festival in Belgium.<br />
Topology is made up of Christa Powell (violin), John Babbage (saxophone), Bernard<br />
Hoey (viola), Therese Milanovic (piano), and Robert Davidson (contrabass). They<br />
cultivate sounds and original compositions that transcend musical genres. Founded in<br />
1997, the quintet is Brisbane Powerhouse’s ensemble-in-residence. They also perform<br />
at various notable <strong>festival</strong>s, in Australia and other countries around the world.<br />
Topology has worked together with many artists, in theater, classical music,<br />
contemporary music, ballet, contemporary jazz, pop music, comedy, Asian music,<br />
as well as Australian indigenous music. Topology has also worked with important<br />
international composers: Tim Brady (Canada), Steve Reich (USA), Andrew Poppy (UK),<br />
as well as a many Australian composers.<br />
Topology will lead a masterclass on music composition prior to the performance.<br />
Bekerja sama dengan<br />
/in cooperation with:<br />
35
36<br />
Tari/Dance<br />
(Dur: 75’’)<br />
TeATeR sAlihARA<br />
Selasa—Rabu Tuesday—Wednesday<br />
23—24 Oktober <strong>2012</strong> October 23—24, <strong>2012</strong><br />
20:00 WIB 08:00 PM<br />
HTM Rp50.000 Tickets Rp50,000<br />
Pelajar/Mahasiswa Rp25.000 students Rp25,000<br />
Tarian malam<br />
(Night Dances)<br />
NAN JoMBANg DANce coMpANy<br />
(pADANg, iNDoNeSiA)<br />
Koreografer/choreographer: ery Mefri<br />
Ketika Nan Jombang Dance Company tengah berlatih tari di Kota Padang, Sumatera<br />
Barat, 30 September 2009, gempa berkekuatan 7,6 SR mengguncang kota itu. Bencana<br />
itu kemudian mendorong Ery Mefri dan para penarinya mengembangkan karya baru<br />
berjudul Tarian Malam. Sebuah koreografi tentang keteguhan jiwa manusia dalam<br />
menghadapi efek buruk bencana alam. Suara ratapan perempuan berkelindan dengan<br />
pukulan tambur dan gerak penari yang penuh tenaga dan menggugah perasaan.<br />
Tarian Malam mempersoalkan kembali konsep dosa dan posisi perempuan sebagai<br />
ibu bumi dan penjaga harmoni dunia. Gempa yang merusakkan segalanya itu telah<br />
dilihat sebagai semacam hukuman atas dosa-dosa manusia dan perempuanlah yang<br />
bertugas mengembalikannya kepada tata semula. Karya ini adalah produksi bersama<br />
Brisbane Powerhouse, Darwin Festival, Australia, dan Esplanade-Theaters on the Bay,<br />
Singapura.<br />
Ery Mefri mengembangkan kosa-gerak dan suara dari khazanah tradisi<br />
Minangkabau. Seperti gerakan silat dalam Randai, Tari Piring, dan musikalitas puisi<br />
dalam Petatah-Petitih. Dengan prinsip “alam terkembang jadi guru” ia telah menyerap<br />
dan menyegarkan tradisi tari Minangkabau seraya memperkayanya dengan anasir tari<br />
modern.<br />
Sejak didirikan pada 1983 Nan Jombang Dance Company telah memproduksi<br />
pelbagai koreografi dan dipentaskan pada acara kesenian di dalam dan di luar negeri.<br />
Misalnya, The Big Question di Indonesian Dance Festival (1994), Ratok Piring dan<br />
Sarikaik di Brisbane Powerhouse, Australia (2007), dan Rantau Berbisik di Haus der<br />
Kulturen der Welt, Berlin, Jerman (2011).<br />
David Walters, penata cahaya pertunjukan ini, akan menyelenggarakan lokakarya<br />
tata cahaya sebelum pementasan.
The Nan Jombang Dance Company was in the middle of a dance rehearsal in Padang,<br />
West Sumatra, when the city was hit by a 7.6 magnitude earthquake. This disaster<br />
inspired Ery Mefri and his dancers to develop a new choreography, titled Tarian Malam<br />
(Night Dances). This work reflects upon the resilience of a human soul in the face of<br />
disaster’s adverse effects. The haunting wails of women are intertwined with rhythmic<br />
drumbeats and the dancers’ movements, full of energy and endlessly evocative.<br />
Tarian Malam re-inquires our concepts of sin and the position of women as “mother<br />
earth” and as custodian of world harmony. The all-encompassing devastation wrought<br />
by the earthquake has been seen as a kind of punishment for the sins of mankind; and<br />
that it is the task of women to restore it [nature] to its original order. This work is a<br />
joint production by Brisbane Powerhouse, Darwin Festival, Australia and Esplanade-<br />
Theaters on the Bay, Singapore.<br />
Ery Mefri develops a rich vocabulary of dance movements and voice works, mined<br />
from the rich heritage of Minangkabau tradition: Silat gestures in Randai, Tari Piring<br />
(Plate Dance), and musicalized poetry in Petatah-Petitih (proverbs and sayings). With<br />
the principle, alam terkembang menjadi guru (nature blossoms to be our teacher), he<br />
has absorbed and refreshed the Minangkabau dance tradition, while at the same time,<br />
enriching it with modern dance elements.<br />
Since its founding in 1983 Nan Jombang Dance Company has produced numerous<br />
choreographies shown in various arts events at home and abroad, such as: The Big<br />
Question at the Indonesian Dance Festival (1994); Ratok Piring (Cries of the Plate) and<br />
Sarikaik (Fellowship) at Brisbane Powerhouse, Australia (2007); and Rantau Berbisik<br />
(Whisperings of Exile) at Haus der Kulturen der Welt, Berlin, Germany (2011).<br />
David Walters, lighting designer of this performance, will lead a workshop on lighting<br />
design prior to the performance.<br />
37
Program<br />
Pendamping<br />
fringe<br />
events<br />
39
40<br />
Pentas musik<br />
/music Stage<br />
INSTALASI<br />
Homogenic<br />
seRAMbi sAlihARA<br />
Sabtu, 06 Oktober <strong>2012</strong>, 16:00 WIB saturday, October 06, <strong>2012</strong>, 04:00 PM<br />
Hightime rebellion<br />
seRAMbi sAlihARA<br />
Rabu, 24 Oktober <strong>2012</strong>, 22:00 WIB Wednesday, October 24, <strong>2012</strong>, 10:00 PM<br />
Di samping Sir Dandy dan KunoKini, pentas musik pendamping Festival Salihara<br />
Keempat juga akan menampilkan Homogenic dan Hightime rebellion. Lewat mereka<br />
kita mendapatkan warna lain musik indie kita yang tengah bertumbuh dan kebetulan<br />
digerakkan oleh anak muda. Homogenic akan tampil dengan musik mereka yang<br />
bergenre elektronik pop. Ringan tetapi penuh dengan penjelajahan bunyi-bunyi<br />
elektronik yang memberikan kita asosiasi bunyi yang beragam. Homogenic juga<br />
mencoba menyederhanakan musik elektronik dengan menghadirkan suara perempuan<br />
yang terasa ringan, manis, dan enak di telinga seraya membicarakan dunia anak muda<br />
dengan kompleksitas masalahnya.<br />
Homogenic adalah band indie asal Bandung, Jawa Barat, yang berdiri sejak 2002<br />
dan digawangi oleh Deena Dellyana (synthesizer/programming), Grahadea Kusuf<br />
(synthesizer/programming) dan Amandia Syachridar (vokal). Album terakhir mereka<br />
adalah Let’s Talk (<strong>2012</strong>).<br />
Hightime Rebellion akan menutup pentas pendamping Festival Salihara Keempat<br />
dengan musik mereka yang memadukan Brit pop, funk, folk, rock, dan irama yang<br />
danceable. Meski mengandalkan vokal perempuan, warna folk yang bertumpu pada<br />
petikan gitar akustik membawa kita kepada lanskap yang luas dan menjelajah, di<br />
samping bebunyian yang lebih kaya dan bersemangat sebagaimana dalam rock.<br />
Hightime Rebellion adalah adalah band indie dari Jakarta dengan personel Rendy<br />
(vokal/piano/gitar/penulis lirik), Pulung (bass), Jason (gitar), dan Reza (drum) yang<br />
berdiri pada, 2007, ditambah dengan Miyane (vokal) dan Adji (gitar). Hightime Rebellion<br />
telah tampil di sejumlah pentas musik di Tanah Air, antara lain, Java Rockin’Land<br />
(2011) dan Beatfest (2011).
In addition to Sir Dandy and KunoKini, the 4th Salihara Festival’s stage for supporting<br />
music acts will also feature Homogenic and Hightime rebellion. Through them, we<br />
can also experience a different side of our growing indie scene, incidentally led by the<br />
youths of today. Homogenic appears with their electro-pop music. Light and breezy, yet<br />
rich in exploration of various electronica sounds, we are drawn into a sea of diverse<br />
sound associations. Homogenic also tries to simplify electronica, by introducing the<br />
voice of a young girl that is light, sweet, and pleasant to the ear, all the while speaking<br />
of a youth’s world with all its complex issues.<br />
Founded in 2002, Homogenic is a Bandung-based indie band comprised of Deena<br />
Dellyana (synthesizer/programming), Grahadea Kusuf (synthesizer/programming), and<br />
Amandia Syachridar (vocals). Let’s Talk (2010) is their newest album.<br />
Hightime Rebellion will close the 4th Salihara Festival’s Music Stage performances<br />
with their unique brand of music, a blend of Brit pop, funk, folk, rock, and immensely<br />
danceable tunes. Although they rely on female vocals, folksy tunes driven by acoustic<br />
guitar usher us to a wide and expansive landscape, in addition to the richer and more<br />
energetic sounds found in rock music.<br />
This Jakarta-based indie band was founded in 2007 It is composed of Rendy (vocals/<br />
piano/guitar/lyricist), Pulung (bass), Jason (guitar), and Reza (drum). They are also<br />
joined by Miyane (vocals) and Adji (guitar). Hightime Rebellion has appeared on many<br />
Indonesian music stages, including Java Rockin’Land (2011) and Beatfest (2011).<br />
41
42<br />
Lomba Foto<br />
Photo Contest<br />
Kirim foto kamu mengenai Festival Salihara Keempat<br />
& dapatkan kesempatan memamerkan karyamu di<br />
dunia maya & kompleks Komunitas Salihara.<br />
send in your photos of the 4th <strong>salihara</strong><br />
<strong>festival</strong>, and you may be in for a chance<br />
to exhibit your works online and offline at<br />
Komunitas <strong>salihara</strong>.<br />
Persyaratan UmUm:<br />
1. Lomba ini terbuka untuk umum. Tidak ada batasan usia atau kewarganegaraan.<br />
2. Jenis kamera yang digunakan tidak dibatasi, kamera ponsel sekalipun.<br />
3. Lomba tertutup untuk Dewan Juri dan Panitia.<br />
Persyaratan KhUsUs<br />
1. Peserta mendaftar dengan membuat akun di www.kufoto.com.<br />
2. Foto diambil di kompleks Komunitas Salihara selama Festival Salihara Keempat, 22<br />
September—24 Oktober <strong>2012</strong>.<br />
3. Kategori subjek foto yang dilombakan terbagi dua, yaitu foto pertunjukan dan foto kegiatan<br />
Festival.<br />
a. Foto pertunjukan hanya bisa diambil saat gladi bersih pertunjukan. Peserta yang berminat<br />
ikut, wajib mendaftar ke foto@<strong>salihara</strong>.org dalam kurun waktu H-7 hingga H-1 setiap gladi<br />
bersih. Tempat terbatas. Jadwal tiap gladi bersih akan diumumkan melalui akun twitter<br />
@<strong>salihara</strong> dan @ku _foto.<br />
b. Foto kegiatan Festival bisa berupa foto kejadian, human interest, suasana dan subjek atau<br />
objek apa pun yang ada dan berlangsung selama Festival di kompleks Komunitas Salihara.<br />
4. Ukuran file foto maksimal 700 KB per foto dengan format JPG, GIF, PNG.<br />
5. Lima foto yang dipilih peserta untuk dilombakan dikumpulkan paling lambat 25 Oktober <strong>2012</strong><br />
ke foto@<strong>salihara</strong>.org.<br />
6. Penjurian akan menghasilkan 13 foto terpilih untuk tiap kategori, masing-masing berupa 3 foto<br />
terpilih utama dan 10 foto terpilih.<br />
7. Pengumuman foto-foto terpilih: 26 November <strong>2012</strong>, melalui www.<strong>salihara</strong>.org dan www.kufoto.<br />
com.<br />
8. Dua puluh enam karya pilihan Dewan Juri akan dipamerkan secara online di www.<strong>salihara</strong>.org<br />
dan www.kufoto.com.<br />
9. Keputusan Dewan Juri adalah mutlak dan tidak bisa diganggu gugat.<br />
Dewan Juri:<br />
1. Oscar Motuloh (Direktur Galeri Foto Jurnalistik Antara & Fotografer)<br />
2. Anton Ismael (Fotografer)<br />
3. Danny Tumbelaka (kufoto.com)<br />
Hadiah:<br />
Masing-masing peserta yang karyanya menjadi foto pilihan utama Dewan Juri akan<br />
mendapatkan paket hadiah senilai Rp 1.000.000,-<br />
Tiap foto yang dikirim—baik yang untuk dilombakan ataupun bukan—berkesempatan untuk<br />
dipamerkan dalam bentuk slideshow di kompleks Komunitas Salihara selama Festival berlangsung.<br />
Pengumpulan foto melalui unggahan ke:<br />
a. Website www.kufoto.com dengan menyertakan tagar #<strong>festival</strong><strong>salihara</strong> #FS<strong>2012</strong> dan #kufoto.<br />
b. Twitter dengan mention @<strong>salihara</strong> @ku_foto dan menyertakan tagar #<strong>festival</strong><strong>salihara</strong><br />
#FS<strong>2012</strong> dan #kufoto.
General terms:<br />
1. This contest is open to the public. There are no age or nationality restrictions.<br />
2. There are no camera restrictions. You are welcome to use the camera on your phones.<br />
3. This contest is closed to members of the judging panel and Festival organizers.<br />
sPecial terms:<br />
1. Entrants must register, by creating an account, at www.kufoto.com<br />
2. Photos must be taken on Komunitas Salihara premises during the 4th Salihara Festival,<br />
September 22—October 24, <strong>2012</strong>.<br />
3. There are two subject categories, performance photographs and Festival activities<br />
photographs.<br />
a. Performance photographs may only be taken during dress rehearsals. Interested entrants<br />
must register first through foto@<strong>salihara</strong>.org, one to seven days prior to each dress<br />
rehearsal. Spaces are limited. Schedules for each dress rehearsal will be announced<br />
through @<strong>salihara</strong> and @ku_foto twitter accounts.<br />
b. Festival activities photographs may include photos of events, human interest, atmosphere,<br />
any subject or object encountered during the Festival period on Komunitas Salihara<br />
premises.<br />
4. Maximum file size for each image: 700KB, saved in JPG, GIF, or PNG format.<br />
5. Five photographs chosen by the entrants for competition must be submitted to foto@<strong>salihara</strong>.<br />
org, by October 25, <strong>2012</strong> at the latest.<br />
6. The judging panel will choose 13 photographs for each category, i.e. three best photographs<br />
and 10 favorites.<br />
7. Chosen photographs will be announced on November 26, <strong>2012</strong>, through www.<strong>salihara</strong>.org and<br />
www.kufoto.com<br />
8. All twenty-six photographs as chosen by the judging panel will be exhibited online, on www.<br />
<strong>salihara</strong>.org and www.kufoto.com<br />
9. Judges’ decisions are final and no correspondence will be entered into.<br />
Judging panel:<br />
1. Oscar Motuloh (Photographer and Director of the “Antara” Gallery of Photojournalism)<br />
2. Anton Ismael (Photographer)<br />
3. Danny Tumbelaka (kufoto.com)<br />
prizes:<br />
Each entrant whose work is chosen as best photograph by the Judging Panel will receive a<br />
prize package valued at Rp1,000,000.<br />
Each eligible photograph—either for the contest or not —might be included in a photo slideshow to<br />
be shown at Komunitas Salihara during the Festival period.<br />
Photographs/images must be uploaded to:<br />
a. Www.kufoto.com website, with the hashtags #<strong>festival</strong><strong>salihara</strong> #FS<strong>2012</strong> and #kufoto<br />
b. Twitter, by mentioning both @<strong>salihara</strong> and @ku_foto, withe the hashtags #<strong>festival</strong><strong>salihara</strong><br />
#FS<strong>2012</strong> and #kufoto<br />
Bekerja sama dengan<br />
/in cooperation with:<br />
43
44<br />
Peluncuran art Toys<br />
/art Toys Launch<br />
INSTALASI<br />
Hybrid rhino<br />
MAriNe rAMDHANi & MArwAN iSLAMi a.k.a AiSH<br />
(BANDUNg, iNDoNeSiA)<br />
GeRAi sAlihARA<br />
Sabtu, 06 Oktober <strong>2012</strong>, 18:00 WIB saturday, October 06, <strong>2012</strong>, 06:00 PM<br />
Alkisah, tersebutlah seekor badak bernama Plum yang hidup di sebuah planet<br />
antah-berantah. Ia diburu oleh penguasa jahat di negerinya. Menghindari buruan itu<br />
ia terbang dan kapalnya terdampar di Ujung Kulon, Banten. Di hutan itu ia bertemu<br />
dengan Bismarck, badak bercula satu penghuni suaka alam itu. Mereka akhirnya<br />
menikah dan lahirlah badak hibrida bernama Jouwe. Bentuk tubuhnya merupakan<br />
paduan antara tubuh manusia, badak, dan semut. Badak hibrida ini juga bersayap dan<br />
bisa berubah ke warna apa saja dengan cepat—dan mereka semua adalah adalah art<br />
toys.<br />
Jika Jouwe sudah diluncurkan dan dipamerkan di sejumlah tempat, kini Marine<br />
Ramdhani akan meluncurkan Plum—Bismarck belum. Marine akan berkolaborasi<br />
dengan Aish yang dikenal sebagai ilustrator komik/manga dan desainer urban toys.<br />
Aish akan menggambar langsung di tubuh Plum yang berjumlah 10 buah. Plum yang<br />
sudah digambari dan dinomori itu akan diluncurkan serempak di seluruh blog art toys<br />
di seluruh dunia. Di samping peluncuran, akan ada juga pameran komik dan pemutaran<br />
film tentang pameran art toys karya Marine.<br />
Marine Ramdhani adalah seniman dan wirausahawan muda yang mengembangkan<br />
gaya hidup indie di Bandung. Setelah menerbitkan majalah gaya hidup indie dan<br />
perusahaan rekaman indie, ia bersama tiga temannya kemudian mendirikan<br />
MyTummyToys, sebuah usaha untuk mendesain, memproduksi dan memasarkan<br />
urban toys. Sebagai salah satu andalan Marine, Jouwe pernah dipamerkan di KÖln<br />
dan DÜsseldorf, Jerman (2010), Los Angeles, Amerika Serikat (2010) dan Amsterdam,<br />
Belanda (2010).
Once upon a time, on a planet far, far away, lived a rhino named Plum. The planet’s<br />
evil rulers were after her. She took to flight to escape her pursuers, and crash landed<br />
in Ujung Kulon, Banten. In the forest, she met Bismarck, the one-horned rhino who lived<br />
in that nature reserve. They were finally married. Now, they have a child, a hybrid rhino<br />
called Jouwe. Its body is an amalgamation of forms—human, rhino, and ant. This hybrid<br />
rhino has wings, too, and can change colors very quickly. All of them are art toys.<br />
Jouwe was actually released a while ago, and has been exhibited in many locations.<br />
Now, Marine Ramdhani will launch Plum—though not Bismarck yet. Here, Marine will<br />
collaborate with Aish, a manga/comic illustrator and urban toys designer. Aish will<br />
create illustrations directly onto Plum’s body, ten in all. Illustrated and then numbered,<br />
Plum will be launched simultaneously in art toys blogs around the world. In addition<br />
to this launching event, there will be a comic exhibition and a film presentation on<br />
Marine’s art toys exhibitions.<br />
Marine Ramdhani is a young artist and entrepreneur who works to help cultivate<br />
indie lifestyle in Bandung. After publishing an indie lifestyle magazine and setting<br />
up an indie recording outfit, he and three friends founded MyTummyToys, a company<br />
that produces, designs, and markets urban toys. One of Marine’s best-known creation,<br />
Jouwe, has been exhibited in Cologne and DÜsseldorf, Germany (2010), Los Angeles,<br />
USA (2010), and Amsterdam, the Netherlands (2010).<br />
45
Informasi Acara & Tiket Pertunjukan<br />
informasi acara & reservasi tiket (kecuali pameran)<br />
021-789-1202, 0817-077-1913, 0812-8184-5500<br />
0857-193-111-50, 0838-9963-0361, 021-9974-5934<br />
info@<strong>salihara</strong>.org, tiket@<strong>salihara</strong>.org<br />
media@<strong>salihara</strong>.org (khusus wartawan)<br />
informasi pameran & galeri Salihara<br />
0816-557-684, galeri@<strong>salihara</strong>.org<br />
informasi gerai Salihara<br />
0878-210-88369, gerai@<strong>salihara</strong>.org<br />
• Pemesanan dapat dilakukan melalui telepon, SMS, dan/atau online di www.<strong>salihara</strong>.org<br />
• Pembayaran dapat dilakukan secara langsung di loket Salihara, atau transfer/setor ke:<br />
Bank BCA No. 450-356-5555 a.n. Yay. Utan Kayu<br />
Bank BNI No. 0244-08-1437 a.n. Yayasan Utan Kayu<br />
Bank Mandiri No. 127-00-45464748 a.n. Yayasan Utan Kayu<br />
Bank Permata No. 4000-678-231, a.n. Yayasan Utan Kayu<br />
• Pembayaran melalui transfer dianggap sah setelah bukti transfer difaks ke 021-781-8849. Bukti<br />
transfer asli wajib ditunjukkan saat mengambil tiket.<br />
• Pemesanan tiket yang tidak dilunasi dalam 3 hari akan dianggap batal.<br />
• Pemesanan tiket pertunjukan ditutup pada hari H-2 pukul 17:00 WIB. Setelah itu, loket Salihara<br />
hanya melayani pembelian secara langsung.<br />
• Pelajar/Mahasiswa yang ingin mendapatkan tiket harga khusus wajib membawa kartu pelajar/<br />
mahasiswa.<br />
• Tiket yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan.<br />
• Wartawan yang ingin meliput wajib memberi konfirmasi maksimal hari H-1 pukul 17:00 WIB,<br />
ka rena jumlah tiket untuk wartawan sangat terbatas.<br />
Waktu Operasional<br />
Komunikasi & Loket Salihara<br />
Senin—Jumat, 09:00—17:00 WIB<br />
Sabtu, 16:00—20:00 WIB<br />
Minggu dan hari libur nasional tutup.<br />
Bila ada acara, waktu operasional<br />
diperpanjang hingga<br />
pukul 20:00 WIB<br />
46<br />
Tiket<br />
Festival Salihara<br />
Keempat<br />
juga tersedia di<br />
Rajakarcis.com<br />
pameran<br />
Senin—Sabtu, 11:00—20:00 WIB<br />
Minggu: 11:00—15:00 WIB<br />
Hari libur nasional tutup<br />
gerai Salihara<br />
Senin—Sabtu, 12:00—20:00 WIB<br />
Hari libur nasional tutup
Peraturan untuk Penonton di Teater Salihara<br />
• Penonton yang datang terlambat tidak diperbolehkan masuk ke dalam ruang pertunjukan<br />
karena akan mengganggu jalannya acara.<br />
• Penonton dilarang keras makan, minum dan merokok di dalam ruang teater.<br />
• Pemotretan hanya bisa dilakukan oleh fotografer panitia acara dan/atau Komunitas Salihara.<br />
Cahaya dari layar kamera digital mengganggu penonton sekitar. Bunyi-bunyian yang berasal<br />
dari kamera tidak hanya mengganggu penonton sekitar, namun juga pengisi acara dan perekaman<br />
audio yang dilakukan. Apabila membutuhkan gambar, sila hubungi arsip@<strong>salihara</strong>.org.<br />
• Gladi Resik terbuka untuk pemotretan oleh pewarta foto, dengan konfirmasi sebelumnya.<br />
Sewa Ruang<br />
Ruang-ruang di Komunitas Salihara terbuka untuk disewa. Untuk keterangan lebih lanjut,<br />
hubungi 021-789-1202 ext. 305, 0838-9963-0361, atau sewa@<strong>salihara</strong>.org.<br />
47
48<br />
.
U<br />
FaTmawaTi<br />
POnDOk inDah<br />
PeJaTen BaraT<br />
kemang<br />
anTasari<br />
Jl. HaRSono RM<br />
Jl. WaRung JaTi BaRaT Jl. WaRung JaTi BaRaT<br />
DeParTemen<br />
PerTanian<br />
mamPang<br />
kUningan<br />
PeJaTen<br />
ViLLage<br />
Jl. JaTi MuRni<br />
Jl. T.B. SiMaTupang<br />
Jl. JaTi padang<br />
rePUBLika<br />
Jl.peJaTen Raya<br />
Jl. JaTi padang uTaRa<br />
Jl. Ragunan Raya<br />
masJiD<br />
aL ikhLas<br />
ragUnan<br />
sman 28<br />
POmPa<br />
Bensin<br />
Jl. SaWo Manila<br />
kanTOr CamaT<br />
Pasar minggU<br />
LegenDa<br />
TOL Lingkar LUar JakarTa<br />
GPS:<br />
6°17'1"S 106°50'17"E<br />
Jl. Siaga Raya<br />
Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta 12520, Indonesia<br />
Parkir terbatas, kami melayani Pemesanan taksi di temPat<br />
limited Parking, taxi booking on site<br />
Jl. SaliHaRa<br />
kOmUniTas<br />
saLihara<br />
gedung KanToR dan<br />
FaSiliTaS puBliK<br />
HalTe TRanS JaKaRTa<br />
JaluR KeReTa api<br />
7-eLeVen<br />
UniVersiTas<br />
nasiOnaL<br />
Jl.peJaTen<br />
Jl. peRTanian iii<br />
ViLa<br />
PeJaTen<br />
mas<br />
TerminaL<br />
Dan Pasar<br />
minggU<br />
Jl. peRTanian iii<br />
LenTeng agUng<br />
DePOk<br />
gereJa<br />
keLUarga<br />
kUDUs<br />
Jl. Raya paSaR Minggu<br />
Jl. Raya paSaR Minggu<br />
Jl. TanJung BaRaT<br />
PanCOran<br />
TeBeT<br />
sTasiUn<br />
Pasar<br />
minggU<br />
kamPUng ramBUTan<br />
Pasar reBO<br />
49
IKLAN SPONSOR<br />
51
Mengucapkan Selamat atas terselenggaranya<br />
Festival Salihara <strong>2012</strong><br />
53
54<br />
sponsor:<br />
mitra media:<br />
mitra LoKet:
Ucapan Terima Kasih acknowledgement<br />
Komunitas Salihara mengucapkan terima kasih kepada<br />
Komunitas Salihara wishes to thank<br />
adaro energy<br />
anmaro<br />
anton ismael<br />
andrew ross<br />
Bca<br />
Brisbane powerhouse<br />
danny tumbelaka<br />
detikHot<br />
djarum apresiasi Budaya<br />
esquire<br />
green radio<br />
indopos<br />
Jawa pos<br />
departemen pariwisata dan ekonomi Kreatif<br />
erasmus Huis<br />
Hendro masto<br />
Jan eikenboom<br />
Kedutaan Besar Kerajaan Belanda<br />
Kioen moe<br />
Koran tempo<br />
Kufoto.com<br />
Leineroebana dance company<br />
majalah Berita mingguan tempo<br />
metro tv<br />
okezone.com<br />
oscar motuloh<br />
ps magazine<br />
rajakarcis.com<br />
robert van den Bos<br />
sWa<br />
t.p. rahmat<br />
tempo Bahasa inggris<br />
tempo.co<br />
the Jakarta post<br />
travelounge<br />
Wati gandarum<br />
55
Pencetakan buku ini didukung oleh<br />
Djarum Apresiasi Budaya<br />
56