13.07.2013 Views

Download File

Download File

Download File

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

enar-benar anak yang tak berbakti,” sesal Budiman. ”Aku tak tahu apakah kalian<br />

mendengarkanku, tapi izinkanlah aku mengatakan barang sedikit pada kalian.”<br />

Budiman memandang pada nisan ayahnya. Ia tersenyum kemudian berkata,<br />

”Ayah, aku tahu kau tak pernah punya dendam. Dendam yang selama ini ada,<br />

hanyalah kebodohanku saja. Sekarang semuanya sudah selesai. Rusdi, teman ayah itu<br />

telah menerima balasan dari apa yang telah ia perbuat. Memang sedih, tapi inilah<br />

yang memang harus aku lalui.<br />

”Kau tahu ayah... setelah mendengar semua kisah mengenai ayah, aku<br />

semakin yakin. Aku pun semakin bangga padamu ayah. Aku bangga menjadi anakmu,<br />

aku sangat bangga.” Budiman menitikkan air mata. Ia langsung saja menghapus air<br />

matanya. ”Mungkin kau tak pernah bangga padaku karena aku ini bukan anak yang<br />

berbakti, tapi percayalah... aku sangat bangga padamu, ayah...”<br />

Pandangan Budiman beralih pada nisan ibunya. Ia tersenyum dan kemudian<br />

berkata, ”Ibu, begitukah yang ibu alami sewaktu dulu? Begitukah ketika ibu memilih<br />

ayah dulu?” Budiman terbatuk. Ia menenangkan dirinya kemudian berkata lagi. ”Lihat<br />

ibu, sekarang aku sudah lulus. Sekarang aku sudah besar. Aku bahkan berani<br />

menghadapi takdirku hingga aku mendengar semua tentangmu. Mungkin aku<br />

mengecewakan ibu karena sifatku yang keras kepala. Maafkan aku ibu...<br />

”Ibu, tahukah kau... sekarang aku sudah bisa memasak mie ayam sendiri.<br />

Resepmu waktu itu benar-benar aku gunakan. Ibu tahu apa kata mereka? Apa yang<br />

dikatakan orang-orang yang telah memakan mie ayam buatanku?” Budiman<br />

menitikkan air mata lagi. Ia pun langsung menghapusnya. ”Mereka bilang... mereka<br />

bilang enak, bu...” Budiman berhenti bicara. Tiba-tiba wajah ibunya terbayang jelas.<br />

Ia pun kini menitikkan air mata lagi. ”Ibu bilang aku jangan menangis, tapi kumohon<br />

biarkanlah sekali ini saja bu...<br />

”Ibu... siapapun ibu, dan bagaimana sifat ibu, ibu tetaplah ibuku. Aku sangat<br />

menyayangi ibu. Dan satu lagi bu... aku sangat bangga pada ibu. Ibu adalah wanita<br />

terhebat yang pernah ada dalam sejarah hidupku. Terima kasih bu, karena telah<br />

merawatku selama ini. Andai aku bisa membalas lebih, tapi sepertinya sangatlah<br />

susah. Kasihmu... takkan pernah tergantikan.<br />

”Aku tak berharap kau akan bangga padaku setelah apa yang selama ini aku<br />

lakukan. Tapi bu, yakinlah... aku sangat bangga padamu, melebihi diriku sendiri.”<br />

428

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!