13.07.2013 Views

Download File

Download File

Download File

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

”Oh....” tubuh Budiman bergetar. Ia tak menyangka kalau ayahnya sebaik itu.<br />

Ia tak menyangka kalau ayahnya meninggal hanya karena sebuah kebaikan yang<br />

sangat indah itu.<br />

”Itulah kata-kata yang takkan bisa aku lupakan. Itulah kalimat-kalimat<br />

persahabatan yang akan selalu menggangguku. Kalimat persahabatan yang justru aku<br />

nodai dengan pengkhianatan.”<br />

Tubuh Budiman jatuh berlutut di atas lantai. Kedua tangannya tertahan pula di<br />

atas lantai. Kepalanya tertunduk ke lantai. Ia menangis, menangis dengan sangat<br />

sedih. Air mata jatuh berlinang membasahi lantai ruang tamu. ”Kenapa... kenapa kau<br />

bisa sekejam itu? Kenapa?” isaknya.<br />

Melihat Budiman menangis, Rusdi ikut meneteskan air mata. Ia kecewa pada<br />

dirinya sendiri. Ia kecewa karena telah membuat anak laki-laki yang saat terakhir ia<br />

temui dulu tersenyum manis kepadanya itu kini menangis.<br />

“Man, aku benar-benar menyesal. Aku benar-benar merasa bersalah...”<br />

tuturnya ikut terisak. ”Setelah kepergian ayahmu itu, aku segera menemui Saman<br />

untuk menghentikan sihir yang kukirim. Tetapi semuanya terlambat. Sihir itu tak bisa<br />

dihentikan.... Aku telah membunuh seorang sahabat yang sangat memperhatikan<br />

aku... Aku telah melakukan sebuah kesalahan besar yang seharusnya tak kulakukan.”<br />

Kepala Budiman yang tadi tertunduk kini bergerak menoleh ke arah Rusdi.<br />

Budiman kembali menatap Rusdi dengan penuh kebencian.<br />

”Sekarang, apa kau puas?” tanyanya kasar. ”Sekarang apa kau senang? Apa<br />

kau senang melihat kesengsaraan keluarga kami?”<br />

”Apa yang terjadi?”<br />

”Kepergian ayah telah menyisakan kesedihan yang sangat dalam. Ibuku terus-<br />

menerus sakit mengingat ayah. Sepeninggal ayah, ibuku seorang diri membanting<br />

tulang membesarkan ketiga anaknya. Aku, kakakku, dan adikku. Seorang diri!”<br />

Budiman tersenyum kecut mengenang semua kenangan pahit itu. Air mata benar-<br />

benar membasahi seluruh wajahnya saat ini. ”Kami melalui hari-hari paling berat,<br />

hari-hari yang tak terbayangkan....<br />

”Aku cukup mengerti dan merelakan kalau ayahku meninggal karena suatu<br />

penyakit. Tapi, ketika aku tahu yang sebenarnya terjadi, aku tak bisa membiarkan hal<br />

327

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!