13.07.2013 Views

Download File

Download File

Download File

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

”Wah...” kagum Budiman. ”Luar biasa pemikiran Heru.”<br />

”Kau benar, ia adalah anak yang luar biasa. Dia adalah kebanggaanku.”<br />

”Pasti sangat menyenangkan memiliki seorang anak yang bisa dibanggakan<br />

seperti Heru, paman?” Budiman mengambil bidak kuda hitam dari papan catur dan<br />

memandanginya. ”Tidak seperti aku ini.”<br />

”Maksudmu?”<br />

”Iya... kalau paman memiliki seorang anak yang sama-sama berprofesi sebagai<br />

polisi. Sedangkan aku adalah anak seorang polisi yang... entahlah, tidak pernah ingin<br />

menjadi seorang polisi. Padahal, almarhum ayahku sangat menginginkannya dulu.<br />

Dulu... saat aku masih kecil.<br />

”Ayahku pasti sedih seandainya ia masih hidup. Bagaimana tidak? Aku adalah<br />

anak laki-laki satu-satunya yang sangat diharapkan dapat menjadi seorang polisi<br />

seperti dirinya, namun nyatanya...” Budiman berkata sedih. Entah kenapa kini ia<br />

memikirkan tentang ayahnya.<br />

”Begitukah?” komentar ayah Heru. ”Jadi ayahmu seorang polisi?” Budiman<br />

mengangguk menjawab pertanyaan itu.<br />

”Ayahku adalah seorang polisi yang baik. Dulunya ia berdinas di kota ini, di<br />

Bontang. Namun, sebelum kematiannya kami sekeluarga pindah ke pulau Jawa.<br />

Ayahku polisi yang baik, begitu yang kudengar dari cerita ibuku. Tapi kenapa beliau<br />

harus pergi begitu cepat? Aku bahkan belum sempat bermain catur dengannya. Aku<br />

terlalu kecil.”<br />

Ayah Heru terdiam. Pandangan lelaki yang mulai beranjak tua itu<br />

menerawang ke depan. Mendengar kisah Budiman, ia terpekur teringat kenangan<br />

lamanya dulu. Air mata perlahan jatuh menetes. Benarkah...<br />

”Ada apa paman?” tegur Budiman menyadari perubahan sikap ayah Heru.<br />

”Ah, tidak,” ayah Heru tersadar. Ia segera mengusap air matanya.<br />

“Paman menangis?”<br />

“Ee... mungkin....” ayah Heru berusaha menyembunyikan ekspresi sedihnya.<br />

”Apa karena ceritaku tadi?” Budiman merasa bersalah.<br />

”Bukan, bukan... hanya saja mendengar kisahmu, mengingatkanku pada<br />

seorang teman.”<br />

312

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!