13.07.2013 Views

Download File

Download File

Download File

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Puas mengamati pemandangan Mahakam, Budiman lalu berjalan menyusuri<br />

tepian jembatan. Ia melewati orang-orang yang tengah bersantai di tepi jembatan.<br />

Langkahnya terhenti ketika ia melihat seorang wanita tengah bersandar di pagar<br />

pembatas jembatan. Wanita itu memandang jauh ke depan. Wajahnya mengguratkan<br />

kesedihan.<br />

”Hai,” sapa Budiman.<br />

Wanita itu menoleh. ”Budiman rupanya,” balas wanita itu.<br />

”Kau sering ke sini?” tanya Budiman.<br />

”Hanya kalau aku sedang sedih,” jawab wanita itu. ”Air Mahakam yang<br />

tenang dan semilirnya angin bisa menenangkan perasaan.”<br />

”Memangnya apa yang sedang kau pikirkan San?” tanya Budiman lagi.<br />

Wanita itu adalah Santi. ”Apakah berhubungan dengan Irfan?”<br />

Santi mengangguk lemah. ”Sepertinya sampai kapanpun hubungan kami akan<br />

menggantung seperti ini.”<br />

”Ayolah San,” Budiman menyemangati. ”Jangan berpikiran seperti itu.<br />

Kelihatan kok, kalau Irfan itu benar-benar mencintaimu.”<br />

”Aku tahu,” sahut Santi sedih. ”Tapi sudah kukatakan bukan, kalau aku<br />

menginginkan kejelasan hubungan. Aku menginginkan pernikahan, itu saja. Sudah<br />

cukup lama aku menunggu, tetapi Irfan belum juga menyatakan hal itu. Kenapa sih<br />

dia?”<br />

”Apa kau sudah mengutarakan keinginanmu itu?”<br />

”Sudah, tapi si bodoh itu hanya menjawab kalau ia belum siap dengan<br />

berbagai alasan. Padahal, apa lagi yang ia tunggu? Ia sudah cukup sebagai seorang<br />

lelaki yang siap menikah. Apa yang kurang? Aku muak!” Santi berkata penuh emosi.<br />

”Ia mengatakannya kira-kira dua tahun yang lalu. Dan, aku masih menunggu<br />

ketidakpastian ini. Hubungan kami memang sudah berjalan lama, kau tahu sendiri<br />

kan? Tapi hubungan seperti ini pasti akan ada akhirnya bukan?”<br />

terlalu emosi.”<br />

”San, tenanglah,” Budiman mencoba menenangkan kawannya itu. ”Jangan<br />

”Padahal...” Santi melanjutkan, ”padahal aku begitu mencintainya. Aku tidak<br />

ingin kehilangan dirinya. Karena itulah, ketika ia memutuskan merantau ke<br />

Kalimantan, aku pun rela menyusulnya, dengan harapan ia akan melamarku suatu hari<br />

245

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!