PESAN PIMPINAN - DPR-RI
PESAN PIMPINAN - DPR-RI
PESAN PIMPINAN - DPR-RI
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
<strong>PESAN</strong> <strong>PIMPINAN</strong><br />
SUSUNAN REDAKSI<br />
PARLEMENTA<strong>RI</strong>A EDISI 91 TH.XLII 2012<br />
Pengawas Umum Pimpinan <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong><br />
Penanggung Jawab/<br />
Ketua Pengarah Dra. Nining Indra Shaleh, M.Si<br />
Wakil Ketua Pengarah Achmad Djuned SH, M.Hum<br />
Pimpinan Pelaksana Djaka Dwi Winarko<br />
Pimpinan Redaksi Dwi Maryanto, S.Sos<br />
Wakil Pimpinan Redaksi Dadang Prayitna, S.IP.,MH<br />
Mediantoro, SE<br />
Anggota Redaksi Dra. Trihastuti<br />
Nita Juwita, S.Sos, Sugeng Irianto, S.Sos<br />
M. Ibnur Khalid, Iwan Armanias, Suciati, S.Sos<br />
Agung Sulistiono, SH<br />
Fotografer Rizka Arinindya<br />
Sirkulasi Supriyanto<br />
Alamat Redaksi/Tata Usaha<br />
Bagian Pemberitaan <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong><br />
Lt. II Gedung Nusantara II <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong>,<br />
Jl. Jend. Gatot Soebroto<br />
Senayan, Jakarta<br />
Telp. (021) 5715348, 5715350,<br />
Fax (021) 5715341<br />
Email : penerbitan@dpr.go.id<br />
www.dpr.go.id/berita<br />
!<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
Laporan Utama<br />
DAFTAR ISI<br />
9 | Peran Parlemen Menjadi Salah Satu<br />
Ujung Tombak<br />
“Priyo mengingatkan, pada awal reformasi<br />
<strong>DPR</strong> pernah dikritik oleh mendiang Presiden<br />
Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Saat itu Gus<br />
Dur mengatakan dengan sebutan<br />
taman kanak-kanak.<br />
Tentunya, kata Priyo, yang dimaksudkan<br />
Gus Dur saat itu bahwa <strong>DPR</strong> secara<br />
kelembagaan paska Orde Baru masih<br />
belajar berdemokrasi, membangun<br />
kelembagaan yang efektif dan akuntabel.”<br />
PROFIL<br />
46 | M. Prakosa<br />
Badan Kehormatan,<br />
lanjut Prakosa, sedang menindaklanjuti<br />
yang dilakukan<br />
oleh BURT terkait dugaan<br />
adanya indikasi pembiaran<br />
proyek. “Tidak ada yang<br />
boleh lepas tanggungjawab<br />
atau lepas tangan. Kalau<br />
indikasi pembiaran itu<br />
benar terbukti maka itu jelas<br />
pelanggaran,”tegasnya.<br />
Jika dilihat secara fungsi, paparnya, tidak ada<br />
masalah dengan anggota dewan dalam menjalankan<br />
fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran. Sorotan<br />
publik muncul karena hal yang diluar dari sifat kedewanan,<br />
seperti keberadaan BURT<br />
Menurut Prakosa, seharusnya tidak dibebankan<br />
kepada anggota. “Masa anggota mengurusi rumah<br />
tangga, secara fungsi itu salah. Kita itu hanya mengawasi,<br />
mengatur anggaran dan membuat undangundang,”ungkapnya.<br />
<strong>PESAN</strong> <strong>PIMPINAN</strong><br />
> Masyarakat Religius dan Supremasi Moral<br />
LAPORAN UTAMA<br />
> Peran Parlemen Menjadi Salahsatu Ujung Tombak<br />
SUMBANG SARAN<br />
> Menata Parlemen Dengan Mengubah UU MD3<br />
PENGAWASAN<br />
> BBM: Pemerintah Harus Hati-hati Mengambil Keputusan Yang Sensitif<br />
> Haji: Mencari Format Pelaksanaan Haji Yang Baik<br />
ANGGARAN<br />
> APBN Harus Miliki Ideologi Kerakyatan<br />
LEGISLASI<br />
> RUU UU Ormas<br />
> RUU Koperasi: Dorong Kemandirian Rakyat<br />
PROFIL<br />
> M. Prakosa<br />
KUNJUNGAN LAPANGAN <strong>DPR</strong><br />
> Kunjungan Kerja Komisi VI, VII, VIII, V <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> Ke Berbagai Daerah di Indonesia<br />
SOROTAN<br />
> Pemiskinan Pengemplang Pajak Timbulkan Efek Jera<br />
LIPUTAN KHUSUS<br />
> Fit and Proper Test BPK<br />
SELEB<strong>RI</strong>TIS<br />
> Tiya Diran<br />
PERNIK<br />
> Taman <strong>DPR</strong><br />
Parlementaria Edisi 91 Tahun XLII 2012<br />
POJOK PARLE<br />
> “Hidup Penderitaan Rakyat”<br />
Sorotan<br />
57| Pemiskinan Pengemplang Pajak,<br />
Timbulkan Efek Jera<br />
Belum Lama ini kita<br />
kembali terhentak, dan<br />
dikagetkan muncul<br />
kembali kasus pajak<br />
seperti kasus Gayus II,<br />
yang kali ini menimpa<br />
pegawai pajak berinisial<br />
DW yang diduga<br />
memiliki Rp. 60 Miliar. Kejaksaan Agung (Kejagung)<br />
telah menetapkan DW sebagai tersangka pada 16<br />
Februari 2012, setelah ditetapkan sebagai tersangka,<br />
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Noor<br />
Rachmad juga mengatakan penyidik Jaksa Agung<br />
Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) telah mengajukan<br />
permohonan cekal terhadap DW.<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />
4<br />
9<br />
22<br />
28<br />
32<br />
36<br />
38<br />
42<br />
46<br />
49<br />
57<br />
60<br />
63<br />
66<br />
70
<strong>PESAN</strong> <strong>PIMPINAN</strong><br />
Masyarakat Religius<br />
dan Supremasi Moral<br />
Peradaban atau civilization<br />
didefinisikan dalam beberapa<br />
pengertian. Beberapa ilmuwan<br />
Barat seperti Samuel Huntington,<br />
Czarnowski, Rene Sedilot dan lain-lain,<br />
mengartikan civilization sebagai nilainilai,<br />
institusi-institusi dan pola pikir,<br />
termasuk khasanah pengetahuan dan<br />
kecakapan teknis yang mencapai taraf<br />
tertentu dari kebudayaan yang menjadi<br />
bagian dari suatu masyarakat dan<br />
terwariskan dari generasi ke generasi.<br />
Dalam Islam, ada istilah yang disebut<br />
hadharah, yang artinya sekumpulan<br />
konsep tentang kehidupan yang<br />
berupa peradaban spiritual (diniyah<br />
ilahiyyah) maupun hasil berpikir manusia<br />
(wadl’iyyah basyariyyah).<br />
Banyak sekali peradaban yang<br />
tumbuh, kemudian mati, bangkit<br />
kembali, dan seterusnya, yang pernah<br />
ada di muka bumi ini. Bahkan<br />
banyak pula peradaban yang hilang<br />
lenyap dari muka bumi, meskipun<br />
dulu pernah berjaya dan gilang gemilang.<br />
Tercatat, banyak sekali bekas<br />
peradaban yang pernah berjaya, namun<br />
hilang dan hanya meninggalkan<br />
bekas, seperti Machu Picchu di Peru,<br />
Angkor Wat di Kamboja, Mesir Kuno,<br />
Petra di Yordania, dan lain-lain. Bahkan<br />
ada peradaban seperti dongeng,<br />
antara ada dan tiada.<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />
Saat ini, menurut Samuel Huntington,<br />
terdapat sembilan peradaban<br />
yang masih eksis, yaitu peradaban<br />
Barat, Konfusianis, Jepang, Islam, Hindu,<br />
Slavik, Ortodoks, Amerika Latin,<br />
dan Afrika. Dari peradaban-peradaban<br />
tersebut ada tiga peradaban besar,<br />
yaitu: peradaban Barat, peradaban<br />
China dan peradaban Islam.<br />
Namun, peradaban yang tumbuh<br />
dan berkembang, sesungguhnya tidak<br />
ada yang berdiri sendiri, antarperadaban<br />
yang ada di Bumi saling<br />
berhubungan dan saling mempengaruhi.<br />
Peradaban Barat yang dianggap<br />
sedang berjaya saat ini, dipengaruhi<br />
langsung oleh peradaban Yunani-<br />
Romawi, Judeo-Kristiani, dan Islam.<br />
Bahkan disebutkan bahwa, Peradaban<br />
Barat itu bukanlah peradaban yang<br />
baru yang tumbuh di muka bumi,<br />
tetapi peradaban lama yang tumbuh<br />
kembali (re-birth) atas pilar-pilar peradaban<br />
Yunani-Romawi, Judeo-Kristiani,<br />
dan Islam, meskipun beberapa<br />
ilmuwan Barat kadang menolak adanya<br />
pengaruh Islam dalam peradaban<br />
mereka.<br />
Peradaban Islam<br />
Begitu pula peradaban Islam, pada<br />
awal-awal kelahirannya juga dipengaruhi<br />
oleh peradaban Yunani-Romawi.<br />
Saling mempengaruhi antar-peradaban<br />
memang sangat dimungkinkan,<br />
sebab bagi ilmuwan Islam, menerima<br />
warisan intelektual dari manapun<br />
datangnya bukanlan suatu kekeliruan.<br />
Bahkan sebagaimana dibuktikan<br />
dalam sejarah, umat Islam “tidak alergi”<br />
terhadap peradaban Mesopotamia,<br />
Bizantium, Persia, Hindu maupun<br />
China. Hal ini dimungkinkan, karena<br />
Islam adalah agama yang inklusif, terbuka<br />
dan toleran terhadap pengaruh<br />
“asing” sejauh tidak bertentangan<br />
dengan prinsip tauhid (tauhid).<br />
Jika umat Islam mengalami kekalahan<br />
atau kemunduran, mereka<br />
segera ingat pada QS. Ali Imron 140<br />
yang artinya:“dan masa (kejayaan dan<br />
kehancuran) itu kami pergilirkan diantara<br />
manusia (agar mereka mendapat<br />
pelajaran)”. Ayat Qur’an yang segera<br />
menjadi kesadaran inilah yang membuat<br />
umat Islam selalu optimis bahwa<br />
peradaban Islam yang sempat<br />
berjaya dan mengalami keruntuhan,<br />
akan tumbuh kembali. Al Qur’an<br />
pun menjelaskan periode masa kenabian<br />
dengan berbagai peristiwa<br />
yang mengguncang dunia, mulai dari<br />
Nabi Adam hingga Nabi Muhammad,<br />
masing-masing memiliki sejarahnya<br />
tersendiri. Dari rentetan sejarah itu,<br />
ada sebuah pesan yang tak lekang
oleh waktu, yakni nilai ketauhidan<br />
(tauhid). Artinya, Allah SWT, memiliki<br />
peran terhadap maju-mundurnya<br />
peradaban manusia.<br />
Nilai Agama dan Supremasi Moral<br />
Jika kita memetik pelajaran dari<br />
bangkit dan runtuhnya sebuah peradaban,<br />
dapat disimpulkan bahwa<br />
peradaban akan bangkit dan tetap<br />
berjaya, tatkala masyarakatnya tetap<br />
konsisten mematuhi pesan nabi dan<br />
pemimpin yang taat (pada nilai-nilai<br />
ketauhidan). Yaitu mematuhi pesan<br />
agama (religius) dan berpegang teguh<br />
nilai-nilai moral bangsanya. Namun<br />
peradaban akan cepat runtuh tatakala<br />
mereka mulai ingkar terhadap agama<br />
dan memusuhi pemimpin yang taat<br />
kepada agama dan moral bangsanya.<br />
Melihat ini, kemudian yang menjadi<br />
pertanyaan adalah, masihkah<br />
masyarakat dan bangsa kita taat terhadap<br />
nilai-nilai agama dan nilainilai<br />
moral? Masihkah para pemimpin<br />
kita bisa diteladani karena akhlak dan<br />
moralnya?<br />
Ada beberapa penyebab kehancuran<br />
peradaban bangsa, seperti<br />
kepuasan diri para ilmuwan para pemimpin,<br />
sikap hedonis dan rusaknya<br />
moral dan akhlak masyarakatnya, atau<br />
dihancurkan oleh faktor luar seperti<br />
serbuan bangsa lain atau kerusakan<br />
alam. Faktor kerusakan alam atau serbuan<br />
dari bangsa lain, tercatat pernah<br />
dialami oleh bangsa manapun. Bencana<br />
alam pernah menggilas beberapa<br />
peradaban dunia, seperti bencana<br />
gunung Vesufius di Italia, dan bahkan<br />
sampai saat inipun, beberapa peradaban<br />
masing saling curiga dan saling<br />
berperang.<br />
Dari faktor pemimpin, dalam kajian<br />
siyasah Islamiyah seorang pemimpin<br />
haruslah dapat dipercaya, berkata<br />
benar, menyampaikan kebenaran, dan<br />
memiliki kekuatan yang menunjukan<br />
kemampuan dia dalam memimpin (al<br />
qudwah). Begitu pentingnya komitmen<br />
kejujuran seorang pemimpin<br />
kepada rakyatnya, sampai-sampai<br />
agama mengharamkan surga bagi<br />
pemimpin yang mati dalam keadaan<br />
menipu rakyat. Rakyat-pun diharamkan<br />
taat kepada pemimpin yang tak<br />
bermoral yang suka membuat kezaliman.<br />
Namun sebaliknya, rakyat wajib<br />
taat kepada pemimpin yang memiliki<br />
moral yang baik sesuai ajaran agama.<br />
Pemimpin yang bermoral tentunya<br />
bekerja keras untuk kemakmuran<br />
rakyatnya, melihat dengan mata rakyat,<br />
berbicara dengan bahasa rakyat,<br />
dan menangis ketika melihat rakyatnya<br />
dihimpit kemiskinan.<br />
Dari faktor masyarakatnya, dijelaskan<br />
oleh ilmuwan Muslim Ibn Khal-<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
<strong>PESAN</strong> <strong>PIMPINAN</strong><br />
dun, bahwa yang merusak peradaban<br />
diantaranya adalah tenggelamnya<br />
masyarakat dalam kemewahan dan<br />
memperturutkan hawa nafsunya sehingga<br />
terjerumus dalam kehancuran.<br />
Ibn Khaldun juga menjelaskan bahwa<br />
tujuan pembangunan adalah terbentuknya<br />
peradaban dan kemegahan.<br />
Apabila tujuannya telah tercapai, maka<br />
secara perlahan akan berbalik menuju<br />
kehancuran dan mulai memasuki usia<br />
senja, seperti layaknya terjadi pada<br />
daur kehidupan. Peradaban adalah<br />
tujuan pembangunan dan sekaligus<br />
merupakan penyebab kehancurannya.<br />
Lebih lanjut, berpendapat, moralitas<br />
yang dihasilkan oleh peradaban<br />
dan kemegahan adalah sebuah<br />
kerusakan. Maka apabila manusia<br />
telah rusak moral dan agamanya,<br />
maka rusak pulalah kemanusiaannya<br />
dan jati dirinya. Sebab manusia dianggap<br />
sebagai manusia karena bergantung<br />
pada sejauhmana dia mampu<br />
mengambil manfaat dan menghindari<br />
bahaya secara konsisten. Namun<br />
karena keterbatasannya, manusia tidak<br />
mampu menjaga sikap konsistennya.<br />
Baik disebabkan oleh ketidakberdayaannya<br />
mensyukuri kesejahteraan,<br />
maupun karena merasa ujub dengan<br />
kemegahan yang diperolehnya.<br />
Korupsi Anti-Peradaban<br />
Seorang bangsawan Inggris<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />
Abadke-19 Lord Acton mengatakan:<br />
“power tends to corrupt; absolute<br />
power tends to corrupt absolutely”.<br />
Kekuasaan memiliki korelasi positif<br />
dengan perilaku korupsi. Korupsi biasanya<br />
dilakukan oleh orang yang memiliki<br />
kuasa, sedangkan cara berkuasa<br />
bisa dilakukan dalam sistem politik<br />
apapun. Dengan kata lain, perilaku<br />
korup sering dilakukan oleh para pemimpin,<br />
dan perilaku ini, juga bisa<br />
berlangsung dalam peradaban manapun.<br />
Korupsi telah menjadi penyakit<br />
bagi setiap peradaban dan menjadi<br />
kejahatan kemanusiaan.<br />
Ironisnya, tema korupsi, saat<br />
ini masih menjadi tema yang terus<br />
mengemuka dalam kehidupan bangsa<br />
kita. Bukan hanya terhadap masyarakatnya,<br />
para pemimpin bangsa<br />
ini, kerap diberitakan terlibat dalam<br />
berbagai kasus korupsi yang akut.<br />
Maraknya perilaku korup yang melanda<br />
bangsa ini, dikhawatirkan akibat<br />
pendidikan dan pola pembangunan<br />
masa lalu yang keliru, yang tidak<br />
dilakukan secara menyeluruh tetapi<br />
hanya dititikberatkan pada pembangunan<br />
empirik yang hanya mengacu<br />
pada tujuan-tujuan hedonis semata.<br />
Ibnu Khaldun mengatakan, bahwa<br />
pembangunan sebuah peradaban<br />
yang berkesinambungan, seharusnya<br />
tidak meninggalkan aspek-aspek spiritual<br />
dan moral bangsa. Sebab makna<br />
membangun peradaban mencakup<br />
makna umur dan kemakmuran sebagai<br />
objek tujuan. Artinya, setiap jiwa<br />
yang diberi umur harus memba<br />
ngun. Sebab kerja-kerja pembangunan<br />
adalah ibadah yang wajib dilakukan<br />
manusia selaku pemimpin (khalifah)<br />
di muka bumi demi tercapainya<br />
kemakmuran dunia akherat.<br />
Sementara, perilaku korupsi adalah<br />
perilaku yang bertolak belakang dengan<br />
upaya membangun peradaban.<br />
Kejahatan korupsi ini adalah perilaku<br />
yang jauh meninggalkan aspek-aspek<br />
spiritual dan moral sehingga jauh dari<br />
upaya membangun sebuah peradaban<br />
yang kuat. Dalam catatan sejarah<br />
pula, disimpulkan bahwa sebuah peradaban<br />
bangsa akan cepat runtuh,<br />
tatkala korupsi telah menjadi penyakit<br />
dan menggerogoti masyarakatnya.<br />
Dengan bangkit dan runtuhnya<br />
sebuah peradaban akibat adanya korupsi,<br />
sesungguhnya kita telah diperingatkan<br />
agar membangun sebuah<br />
peradaban yang benar-benar beradab,<br />
baik kepada Tuhan, kepada sesama,<br />
maupun kepada alam sekitar kita.<br />
Membangun peradaban ini, dapat<br />
dilihat jelas melalui konsep madinah<br />
atau civil society, dimana berkumpulnya<br />
sebuah komunitas yang bersamasama<br />
membangun peradaban yang<br />
didasari supremasi moral dan ruh keagamaan.<br />
Wallahu’alam Bissawab.*
PROLOG<br />
Mencari Format<br />
Ideal Perubahan<br />
UU MD3<br />
Baru-baru ini, Badan Legislasi<br />
(Baleg) <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> menyelenggarakan<br />
Workshop dan Fokus Group<br />
Discussion dengan tema : “Menata<br />
Parlemen Yang Demokratis, Efektif,<br />
dan Akuntabel”.<br />
Workshop ini diselenggarakan<br />
dengan tujuan untuk mencari masukan<br />
dalam rangka perubahan UU<br />
tentang MPR, <strong>DPR</strong>, DPD dan <strong>DPR</strong>D<br />
(MD3). Masukan-masukan tersebut<br />
akan disusun dalam bentuk proceding<br />
yang diharapkan dapat dijadikan<br />
pijakan dalam perubahan undangundang<br />
tersebut.<br />
Peserta workshop terdiri dari berbagai<br />
Lembaga/Instansi, yaitu Pimpinan<br />
MPR, Pimpinan DPD, Pimpinan<br />
alat kelengkapan <strong>DPR</strong>, Pimpinan alat<br />
kelengkapan DPD, Pimpinan Fraksi,,<br />
Anggota Badan Legislasi, Ketua Asosiasi<br />
<strong>DPR</strong>D Provinsi, Ketua Asosiasi<br />
<strong>DPR</strong>D Kabupaten/Kota, Akademisi<br />
dari Universitas Negeri/Swasta, dan<br />
LSM pemerhati parlemen.<br />
Pembicara dalam kegiatan ini<br />
Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Sae-<br />
fuddin, Wakil Ketua DPD Laode Ida,<br />
Asep Warlan Yusuf, mantan Pimpinan<br />
Baleg Ferry Mursyidan Baldan, Guru<br />
Besar Hukum Tata Negara dan Direktur<br />
Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO)<br />
Fakultas Hukum Universitas Andalas<br />
Padang Saldi Isra dan mantan Pimpinan<br />
Baleg lainnya Pataniari Siahaan.<br />
Ketua Badan Legislasi <strong>DPR</strong> Ignatius<br />
Mulyono dalam kesempatan tersebut<br />
mengatakan, keberadaan UU tentang<br />
MD3 yang dimaksudkan untuk menata<br />
sistem keparlemenan dalam satu<br />
undang-undang, banyak mendapat<br />
kritik dari berbagai kalangan, baik<br />
yang berkaitan dengan teknis pembentukan<br />
undang-undang maupun<br />
dari substansi yang dimuatnya.<br />
Terkait dengan teknis pembentukan<br />
undang-undang, penempatan 4<br />
(empat) lembaga dalam satu undangundang<br />
kiranya perlu dilakukan revisi<br />
dengan mengacu pada perintah konstitusi.<br />
Sebagaimana diketahui, dalam<br />
UUD 1945 mengenai MPR, <strong>DPR</strong> dan<br />
DPD disebutkan pengaturan lebih<br />
lanjut mengenai lembaga-lembaga<br />
tersebut diatur “dengan” undangundang.<br />
Sedangkan pengaturan lebih<br />
lanjut mengenai <strong>DPR</strong>D disebutkan<br />
diatur “dalam” undang-undang.<br />
Dari sisi teknis perundang-undangan,<br />
penggunaan kata “dengan” dan<br />
kata “dalam” memiliki makna tersendiri.<br />
Kata “dengan” diartikan dengan<br />
undang-undang tersendiri, sedangkan<br />
kata “dalam” diartikan tidak harus<br />
diatur dengan undang-undang<br />
tersendiri.<br />
Kemudian dari sisi materi muatan<br />
yang diatur dalam UU tentang MPR,<br />
<strong>DPR</strong>, DPD dan <strong>DPR</strong>D juga mengandung<br />
beberapa masalah. Diantara<br />
masalah-masalah tersebut adalah,<br />
materi muatan UU tentang MD3 banyak<br />
mengatur hal-hal yang bersifat<br />
teknis, yang semestinya menjadi materi<br />
muatan peraturan di masingmasing<br />
lembaga.<br />
Sebagai contoh, penetapan jumlah<br />
komisi yang dilakukan pada<br />
awal masa keanggotaan dewan dan<br />
permulaan tahun sidang dalam UU<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
LAPORAN PROLOG UTAMA<br />
tentang MD3 mengikat dewan dan<br />
permulaan tahun sidang dalam UU<br />
tentang MD3 mengikat dewan untuk<br />
melakukan perubahan jumlah komisi<br />
sesuai dengan dinamika dan kebutuhan<br />
komisi, beban kerja serta jumlah<br />
mitra kerja yang harus diawasi.<br />
Selain itu, penataan hubungan<br />
<strong>DPR</strong> dan DPD dalam konteks pembentukan<br />
undang-undang. Dalam konstitusi<br />
disebutkan bahwa DPD memiliki<br />
kewenangan untuk ikut membahas<br />
RUU terkait kewenangannya.<br />
Frasa “ikut membahas” dalam<br />
konstitusi belum secara jelas digambarkan<br />
dan dijelaskan oleh penyusun<br />
perubahan konstitusi, sehingga dalam<br />
beberapa undang-undang yang didalamnya<br />
mengatur mengenai pembentukan<br />
undang-undang terdapat<br />
penafsiran yang berbeda atas frasa<br />
“ikut membahas”.<br />
Permasalahan lainnya adalah<br />
ketidakjelasan dan ketidaktegasan<br />
kedudukan <strong>DPR</strong>D sebagai lembaga<br />
perwakilan rakyat di daerah. Di satu<br />
pihak anggota <strong>DPR</strong>D merupakan<br />
wakil rakyat yang dipilih secara langsung<br />
dalam pemilihan umum, di lain<br />
pihak <strong>DPR</strong>D merupakan bagian dari<br />
pemerintahan daerah yang pada prak-<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />
teknya mempunyai kedudukan yang<br />
tidak sejajar dengan kepala daerah.<br />
Konsekuensi <strong>DPR</strong>D yang diposisikan<br />
sebagai bagian dari pemerintahan<br />
daerah, maka pengaturan tentang<br />
<strong>DPR</strong>D semestinya dimuat dalam<br />
undang-undang yang mengatur tentang<br />
pemerintahan daerah.<br />
Sistem Pendukung <strong>DPR</strong>, DPD dan<br />
<strong>DPR</strong>D dalam UU tentang MD3 juga<br />
tidak diatur secara jelas, terutama<br />
pengaturan mengenai badan fungsional/keahlian<br />
dan kelompok pakar/<br />
tim ahli.<br />
Wakil Ketua <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> Priyo Budi<br />
Santoso dalam sambutan pembukaan<br />
mengatakan, untuk membangun parlemen<br />
yang demokratis, efektif dan<br />
akuntabel harus disempurnakan dahulu<br />
sistem parlemen bikameral yang<br />
Workshop dan Fokus Group Discussion “Menata Parlemen Yang Demokratis, Efektif, dan<br />
Akuntabel” yang diadakan oleh Badan Legislasi <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> di KK 2 Gedung Nusantara<br />
kita pilih.<br />
Parlemen yang kuat itu adalah<br />
parlemen yang bergerak berbasis nilai<br />
dan ideologi. Hal ini bisa terjadi bila<br />
agresi anggota parlemen didesain<br />
secara efektif. Untuk itu menurutnya,<br />
penyederhanaan partai politik sangat<br />
perlu dilakukan.<br />
Mantan Pimpinan Baleg Ferry<br />
Mursyidan Baldan mengatakan, untuk<br />
mengoptimalisasi pelaksanaan fungsi<br />
Dewan, disain idealnya adalah memulai<br />
dengan adanya alat kelengkapan<br />
yang setara terhadap fungsi-fungsi<br />
pokok Dewan, artinya Komisi, Badan<br />
Anggaran dan Badan Legislasi memiliki<br />
kedudukan yang sama.<br />
Ferry juga berpendapat, setiap<br />
anggota Komisi, Badan Anggaran dan<br />
Badan Legislasi tidak dirangkap satu<br />
sama lainnya.<br />
Wakil Ketua Dewan Perwakilan<br />
Daerah (DPD) <strong>RI</strong> Laode Ida menyampaikan,<br />
mengingat keterbatasan fungsi<br />
dan kewenangan DPD, maka dia<br />
berharap dilakukan perubahan-perubahan<br />
yaitu posisi DPD harus lebih<br />
diperkuat sehingga dalam menjalankan<br />
fungsinya dapat maksimal, bukan<br />
hanya sebagai lembaga “pelengkap”<br />
dari lembaga legislatif yang hanya<br />
memberi pertimbangan, usulan kepada<br />
<strong>DPR</strong>. Demikian juga dalam berhadapan<br />
dengan lembaga Negara lainnya<br />
yang menjadi mitra kerja DPD.<br />
Untuk itu, agar secara mendasar<br />
kembali ke akarnya hanya dapat dilakukan<br />
dengan mengamandemen<br />
pasal-pasal dalam UUD 1945 yang<br />
mengatur tentang DPD.<br />
Sementara Guru Besar Hukum<br />
Tata Negara dan Direktur Pusat Studi<br />
Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum<br />
Universitas Andalas Padang, Saldi<br />
Isra menyoroti tidak adanya kejelasan<br />
<strong>DPR</strong>D dalam fungsi legislasi<br />
Berdasarkan Undang-Undang<br />
tentang MPR, <strong>DPR</strong>, DPD dan <strong>DPR</strong>D<br />
(MD3), <strong>DPR</strong>D memiliki fungsi legislasi.<br />
Namun sering terjadi ketidakjelasan<br />
dan ketidaktegasan sebagai pemegang<br />
kekuasaan membuat peraturan<br />
daerah.<br />
Selain itu, posisi <strong>DPR</strong>D sebagai pemegang<br />
kekuasaan legislatif di daerah<br />
masih menjadi perdebatan.<br />
Pimpinan MPR, <strong>DPR</strong>, DPD, mantan<br />
Pimpinan Badan Legislasi dan Guru<br />
Besar Hukum Tata Negara Universitas<br />
Andalas mengupas dengan jelas<br />
bagaimana Menata Parlemen Yang<br />
Demokratis, Efektif, dan Akuntabel<br />
melalui perubahan Undang-Undang<br />
MD3. (tt.iky)<br />
***
LAPORAN UTAMA<br />
Peran Parlemen Menjadi<br />
Salah Satu Ujung Tombak<br />
Saat membuka Workshop yang diselenggarakan Badan Legislasi (Baleg)<br />
<strong>DPR</strong> <strong>RI</strong>, Wakil Ketua <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> H. Priyo Budi Santoso menyampaikan, demokrasi<br />
Indonesia saat ini merupakan hasil dari perjuangan panjang seluruh<br />
elemen masyarakat. Keterbukaan, kebebasan berpendapat, menguatnya<br />
hak-hak asasi manusia (HAM) dan lain sebagainya merupakan<br />
wujud dari demokrasi yang kita jalani.<br />
Parlemen sebagai salah satu pilar<br />
lembaga negara selain eksekutif<br />
dan yudikatif, dahulu hanya<br />
menjadi “stempel” kebijakan pemerintah/eksekutif,<br />
dan kini memainkan<br />
peran kontrol/pengawasan yang kritis<br />
dan lebih maju.<br />
Namun kendati demikian, kata<br />
Priyo, kita masih berada dalam dua<br />
pusaran kekuatan. Pada satu sisi ingin<br />
eksekutif berdiri kuat, tapi pada sisi<br />
lain tidak boleh melemahkan peran<br />
legislatif/parlemen. Ini sama dengan<br />
dilema yang ingin memperkuat negara,<br />
tapi sisi berbeda people power<br />
(kekuatan rakyat) harus berdiri tegak<br />
di atas segalanya.<br />
Oleh karena itu, kata Priyo, perlu<br />
eksekutif yang kuat sebagai bentuk<br />
komitmen presidensial sebagai pelaksana<br />
roda pemerintahan negara. Tapi,<br />
harus diimbangi dengan parlemen<br />
yang juga kuat sebagai representasi<br />
suara rakyat, vox populi vox dei; suara<br />
rakyat suara Tuhan.<br />
Disinilah dibutuhkan parlemen<br />
yang efektif, demokratis, dan akuntabel<br />
sebagaimana tema yang diusung<br />
pada acara Workshop. Parlemen<br />
merupakan pengawal demokrasi, jika<br />
parlemennya lumpuh, maka demokrasi<br />
pun tidak dapat berjalan dengan<br />
baik, begitu juga sebaliknya.<br />
Priyo menambahkan, pasca reformasi<br />
parlemen secara kelembagaan<br />
menjadi tumpuan demokrasi sehingga<br />
tidak heran jika acapkali menjadi<br />
pusat perhatian. Perubahan demi pe-<br />
“Priyo mengingatkan, pada awal<br />
reformasi <strong>DPR</strong> pernah dikritik oleh<br />
mendiang Presiden Abdurrahman<br />
Wahid (Gus Dur). Saat itu Gus Dur<br />
mengatakan dengan sebutan<br />
taman kanak-kanak.<br />
Tentunya, kata Priyo, yang<br />
dimaksudkan Gus Dur saat itu bahwa<br />
<strong>DPR</strong> secara kelembagaan paska Orde<br />
Baru masih belajar berdemokrasi,<br />
membangun kelembagaan yang<br />
efektif dan akuntabel.”<br />
Wakil Ketua <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> Priyo Budi Santoso memberikan sambutan pada acara workshop<br />
yang diadakan oleh Baleg <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong><br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
LAPORAN UTAMA<br />
Wakil Ketua <strong>DPR</strong> Priyo Budi Santoso (kiri) disela-sela acara Workshop dan Fokus Group Discussion<br />
rubahan harus terus dilakukan untuk<br />
membangun kelembagaan parlemen<br />
yang kuat.<br />
Priyo mengingatkan, pada awal<br />
reformasi <strong>DPR</strong> pernah dikritik oleh<br />
mendiang Presiden Abdurrahman<br />
Wahid (Gus Dur). Saat itu Gus Dur<br />
mengatakan dengan sebutan taman<br />
kanak-kanak.<br />
Tentunya, kata Priyo, yang dimaksudkan<br />
Gus Dur saat itu bahwa <strong>DPR</strong><br />
secara kelembagaan paska Orde Baru<br />
masih belajar berdemokrasi, membangun<br />
kelembagaan yang efektif<br />
dan akuntabel.<br />
Namun <strong>DPR</strong> kini menurut Priyo<br />
jauh lebih baik dari masa-masa sebelumnya.<br />
Kendati pun masih ada lubang<br />
sistem yang perlu ditambal dan<br />
dibenahi.<br />
Lebih jauh Priyo menyampaikan,<br />
di medan jalan demokrasi Indonesia<br />
yang masih terjal ini, peran parlemen/<br />
legislatif menjadi salah satu ujung<br />
tombaknya. Menurutnya, ruang yang<br />
dapat dimainkan oleh legislatif adalah<br />
dengan cara membangun check and<br />
balances terhadap pemerintah dengan<br />
baik.<br />
Check and balances ini sangat diperlukan<br />
karena dia melihat sepanjang<br />
perjalanan demokrasi paska reformasi,<br />
masih ada euphoria negatif,<br />
sekalipun perlahan mulai mereda seiring<br />
dengan tumbuhnya kedewasaan<br />
demokrasi kita.<br />
10 | PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />
Euforia yang Priyo maksud adalah<br />
selebrasi “kekuasaan” para pemegang<br />
kekuasaan, baik di pusat atau di daerah<br />
sehingga banyak yang keteteran<br />
dalam menjalankan pemerintahan<br />
dengan baik.<br />
Karenanya, diperlukan daya kontrol<br />
yang kuat dari parlemen terhadap<br />
eksekutif. Hal ini melihat besarnya<br />
kekuasaan, khususnya di daerah<br />
dalam mengelola kekayaannya tidak<br />
berbanding lurus dengan kesiapan<br />
perangkat sistem yang kuat yang kita<br />
miliki. Inilah yang kemudian menyebabkan<br />
eksekutif acapkali melakukan<br />
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of<br />
power).<br />
Priyo menambahkan, berdasarkan<br />
amandemen UUD 1945, sistem yang<br />
kita pilih adalah sistem parlemen bikameral<br />
(dua kamar) dengan adanya<br />
<strong>DPR</strong> dan DPD. Ke dua lembaga inilah<br />
yang akan menjalankan peran keparlemenannya,<br />
sekalipun wewenang<br />
dan tugas ke dua lembaga tersebut<br />
tidak setara.<br />
Sistem bikameral ini sampai sekarang<br />
diakui masih menjadi perdebatan<br />
dan banyak kurang. Priyo<br />
berpendapat, untuk membangun parlemen<br />
yang demokratis, efektif dan<br />
akuntabel harus disempurnakan dahulu<br />
sistem parlemen bikameral yang<br />
kita pilih ini.<br />
Parlemen yang kuat itu adalah<br />
parlemen yang bergerak berbasis nilai<br />
dan ideologi. Hal ini bisa terjadi bila<br />
agresi anggota parlemen didesain<br />
secara efektif. Untuk itu menurutnya,<br />
penyederhanaan partai politik sangat<br />
perlu dilakukan.<br />
Pernyataan ini karena kita membutuhkan<br />
konsolidasi yang cepat dan<br />
kuat di parlemen. Sebuah konsolidasi<br />
yang berbasis pada nilai/ideologi, bukan<br />
pada prinsip politik transaksional.<br />
Dengan demikian, fraksi-fraksi politik<br />
pun harus diminimalisir.<br />
Karena itu, Priyo sangat mendukung<br />
jika Parlemen Treshold (PT) pada<br />
Pemilu 2014 dinaikkan dari 2,5% menjadi<br />
5% agar parlemen dapat terbangun<br />
secara efektif dan efisien. (tt,iky)<br />
***<br />
Suasana Workshop dan Fokus Group Discussion
Tugas MPR Sosialisasikan<br />
Empat Pilar Kebangsaan<br />
Wakil Ketua MPR <strong>RI</strong> Lukman Hakim Saifudddin<br />
“Jika MPR melaksanakan tugas itu dengan<br />
lurus sehingga bersih dari korupsi, suap,<br />
dan sejenisnya, maka MPR juga sudah dapat<br />
dikatakan melaksanakan tugas secara<br />
akuntabel,” papar Lukman.<br />
Lukman Hakim Saifuddin Wakil<br />
Ketua MPR <strong>RI</strong> periode 2009 -<br />
2014 dalam memberikan masukan<br />
terkait dengan revisi UU tentang<br />
MPR, <strong>DPR</strong>, DPD dan <strong>DPR</strong>D memfokuskan<br />
pada tema “Efektivitas dan<br />
Akuntabilitas Pelaksanaan Tugas MPR<br />
<strong>RI</strong>”.<br />
Dalam konteks ketatanegaraan<br />
MPR ada beberapa tugas dan wewenang<br />
MPR <strong>RI</strong> menurut UUD 1945<br />
dan UU No. 27 Tahun 2009 tentang<br />
MPR, <strong>DPR</strong>, DPD, dan <strong>DPR</strong>D.<br />
Tugas dan kewenangan itu diantaranya,<br />
mengubah dan menetapkan<br />
UUD 1945, melantik Presiden dan/<br />
atau Wapres hasil Pemilu, memutuskan<br />
usul <strong>DPR</strong> untuk memberhentikan<br />
Presiden dan/atau Wapres dalam<br />
masa jabatannya, setelah MK memutuskan<br />
bahwa Presiden/Wapres terbukti<br />
melakukan pelanggaran hukum,<br />
melakukan perbuatan tercela dan/<br />
atau terbukti Presiden/ Wapres tidak<br />
memenuhi syarat lagi.<br />
Tugas lain secara ketatanegaraan,<br />
melantik Wapres menjadi Presiden<br />
apabila Presiden berhenti, diberhentikan,<br />
atau tidak melakukan kewajibannya<br />
dalam masa jabatannya. Memilih<br />
Wapres dari dua calon yang diusulkan<br />
Presiden apabila terjadi kekosongan<br />
jabatan Wapres dalam masa jabatannya.<br />
Dan, memilih Presiden dan Wapres<br />
apabila keduanya mangkat, berhenti,<br />
diberhentikan, atau tidak dapat<br />
melakukan kewajibannya dalam masa<br />
jabatannya secara bersamaan.<br />
Menurut Lukman, tugas dan kewenangan<br />
MPR itu bersifat sekali<br />
dan selesai. Artinya, jika MPR sudah<br />
melaksanakan tugas dan kewenangan<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 | 11
LAPORAN UTAMA<br />
Wakil Ketua MPR <strong>RI</strong> Lukman Hakim Saifudddin<br />
itu dengan lancar, MPR sudah dapat<br />
dikatakan telah melaksanakan tugas<br />
dan kewenangannya secara efektif,<br />
jelasnya.<br />
“Jika MPR melaksanakan tugas itu<br />
dengan lurus sehingga bersih dari korupsi,<br />
suap, dan sejenisnya, maka MPR<br />
juga sudah dapat dikatakan melaksanakan<br />
tugas secara akuntabel,”<br />
papar Lukman.<br />
Jadi, tandas Lukman, efektivitas<br />
dan akuntabilitas MPR dalam melaksanakan<br />
tugas dan wewenangnya<br />
adalah sejauhmana lembaga MPR<br />
mampu melaksanakan tugas dan wewenangnya<br />
sesuai dengan prosedur<br />
ketatanegaraan yang telah ditetapkan<br />
secara bersih, jujur dan penuh amanah.<br />
Agar negara tetap tertata rapi<br />
sesuai dengan aturan ketatanegaraan<br />
yang telah disepakati bersama.<br />
Menurut Lukman, MPR tidak<br />
mengalami kesulitan berarti untuk<br />
melaksanakan tugas dan wewenangnya<br />
secara efektif dan akuntabel.<br />
Karena, terangnya, ketentuan tentang<br />
pelaksanaan tugas dan wewenang<br />
MPR sudah diatur dengan jelas dalam<br />
peraturan perundang-undangan yang<br />
berlaku.<br />
Namun demikian Lukman tidak<br />
menapik kemungkin lain bisa saja<br />
1 | PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />
terjadi. Misalnya, MPR tetap memutuskan<br />
pemberhentian Presiden atau<br />
sebaliknya setelah memenuhi persyaratan<br />
segala macam peraturan terkait,<br />
namun mayoritas rakyat di luar<br />
gedung MPR secara masif tidak mau<br />
menerima keputusan itu.<br />
Apakah jika hal itu terjadi MPR<br />
dapat dianggap tidak melaksanakan<br />
tugas dan wewenangnya secara efektif<br />
dan akuntabel? Pertanyaan itu dijawab<br />
tegas Lukman, tentu saja tidak.<br />
Sebab, MPR sudah melaksanakan<br />
tugas dan wewenangnya meskipun<br />
keputusan itu tidak sesuai dengan<br />
mayoritas rakyat.<br />
Tugas MPR<br />
di Luar Ketatanegaraan<br />
Lebih jauh Lukman memaparkan, di<br />
luar tugas ketatanegaraan, MPR juga<br />
mempunyai tugas kebangsaan sesuai<br />
amanat UU No. 27 Tahun 2009 pasal<br />
15 ayat (1) huruf e yang menugaskan<br />
anggota MPR, baik <strong>DPR</strong> dan DPD untuk<br />
melakukan sosialisasi UUD 1945<br />
kepada seluruh lapisan masyarakat di<br />
Wakil Ketua MPR <strong>RI</strong> Lukman Hakim Saifudddin<br />
seluruh Indonesia di bawah koordinasi<br />
pimpinan MPR.<br />
MPR periode 2009 - 2014 menterjemahkan<br />
amanat itu dengan sosialisasi<br />
Empat Pilar Kebangsaan, yaitu
Pancasila, UUD 1945, NK<strong>RI</strong>, dan Bhinneka<br />
Tunggal Ika.<br />
Menurut Lukman, untuk mengukur<br />
akuntabilitasnya relatif mudah.<br />
Dengan melihat anggota MPR sudah<br />
menggunakan anggaran sosialisasi<br />
Empat Pilar Kebangsaan dengan<br />
benar, tepat sasaran, dan sesuai dengan<br />
ketentuan yang berlaku.<br />
Namun, lanjutnya, untuk menilai<br />
efektivitasnya akan menghadapi kerumitan,<br />
karena berkaitan dengan pertanyaan<br />
apakah sosialisasi Empat Pilar<br />
Kebangsaan itu merasuk ke kalbu<br />
dan alam pikiran peserta sosialisasi,<br />
sehingga Empat Pilar Kebangsaan itu<br />
terpatri di alam sadar dan alam bawah<br />
sadar peserta, tandasnya.<br />
Tetapi, sebuah hasil studi yang dilakukan<br />
oleh tiga lembaga, antara lain<br />
LPPM Universitas Airlangga Surabaya,<br />
CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,<br />
dan Setara Institute yang dipublikasikan<br />
akhir Desember 2011 dapat<br />
memberikan jawaban dan gambaran<br />
tentang efektivitas dari sosialisasi Empat<br />
Pilar Kebangsaan yang dilakukan<br />
oleh MPR itu. Hasil studi tersebut<br />
menunjukkan sebanyak 96% peserta<br />
sosialisasi mengakui manfaat dari<br />
program itu<br />
Menurut survey terhadap partisi-<br />
pan program sosialisasi Empat Pilar<br />
Kebangsaan menunjukkan, adanya<br />
keinginan secara sukarela untuk turut<br />
melakukan sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan<br />
di lingkungan terdekatnya.<br />
Inisiatif untuk melakukan apa yang<br />
telah mereka peroleh selama mengikuti<br />
program sosialisasi kepada lingkungan<br />
terdekatnya tampak sangat<br />
kuat diekspresikan oleh sebesar dari<br />
mereka, yaitu mencapai 91,1%.<br />
Dengan fakta itu sosialisasi Empat<br />
Pilar Kebangsaan tidak saja telah<br />
dapat meningkatkan pengetahuan<br />
dan apresiasi terhadap nilai-nilai<br />
Pancasila, UUD negara <strong>RI</strong>, NK<strong>RI</strong>, dan<br />
Bhineka Tunggal Ika tetapi juga telah<br />
mendorong minat masyarakat untuk<br />
menularkan kepada lingkungan terdekat<br />
mereka.<br />
Dengan demikian, lanjut Lukman,<br />
program sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan<br />
dapat dikatakan berhasil<br />
memberikan dampak positif bagi kelompok<br />
sasaran. “Para peserta program<br />
sosialisasi yang tersebar di 33<br />
provinsi itu telah menyatakan kesanggupan<br />
untuk menjadi agen sosialisasi<br />
empat pilar kehidupan berbangsa dan<br />
bernegara, setidaknya untuk lingkungan<br />
terdekat mereka,” katanya.<br />
Pembicara dalam acara Workshop yang diadakan oleh Baleg <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong><br />
Rekomendasi<br />
Teruskan Program<br />
Wakil Ketua MPR <strong>RI</strong> Lukman Hakim<br />
Saifuddin diakhir permaparan<br />
menyarankan, berdasarkan hasil studi<br />
itu merekomendasikan supaya program<br />
Empat Pilar Kebangsaan terus<br />
dilanjutkan serta dilakukan pengembangan<br />
dari segi teknis pelaksanaan<br />
program.<br />
Lukman memandang perlu adanya<br />
penyelenggaraan forum pelaksana<br />
tugas lembaga-lembaga negara<br />
sebagai bentuk laporan perkembangan<br />
(progress report) atas pelaksanaan<br />
fungsi, tugas dan wewenang<br />
lembaga Negara.<br />
Disamping itu, Lukman juga mengingatkan,<br />
pentingnya penentuan<br />
arah pembangunan nasional secara<br />
berkelanjutan, dan sekaligus merupakan<br />
pencerminan dari konsensus<br />
nasional yang secara sistematis tersaring<br />
dan terserap dalam satu wadah<br />
formal, serta memiliki kekuatan legitimasi.<br />
“Karena itu sudah seyogyanya<br />
diperlukan lembaga yang paling sesuai<br />
untuk merumuskan arah pembangunan<br />
nasional, baik jangka pendek<br />
maupun jangka menengah,” pungkasnya.<br />
(tt/iky)<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 | 1
LAPORAN UTAMA<br />
Berharap Posisi DPD Diperkuat<br />
Sehingga Fungsi Maksimal<br />
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) <strong>RI</strong> Laode Ida dalam<br />
kesempatan Workshop yang diselenggarakan Badan Legislasi <strong>DPR</strong><br />
menyampaikan dari hasil sebuah survey terbaru terungkap bahwa<br />
keberadaan DPD hingga kini belum dirasakan manfaatnya secara<br />
proporsional oleh masyarakat.<br />
Wakil Ketua DPD <strong>RI</strong> Laode Ida<br />
Ini kiranya kritik masyarakat yang<br />
sudah sering muncul terhadap<br />
DPD, dan hal itu dapat diterima<br />
secara terbuka. Hal ini karena posisi<br />
DPD, meskipun sudah menjalankan<br />
aktualisasi fungsinya secara maksimal,<br />
memang tidak mampu berbuat lebih<br />
banyak karena keterbatasan yang dimiliki<br />
dari segi kewenangan.<br />
Hasil survey LSI (Lembaga Survei<br />
Indonesia) pada Desember 2011<br />
menggambarkan tingginya harapan<br />
publik akan adanya penguatan dan<br />
perluasan kewenangan DPD melalui<br />
amandemen UUD 1945, seperti dalam<br />
hal pembuatan undang-undang hing-<br />
1 | PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />
ga penyusunan anggaran dan pengangkatan<br />
pejabat publik.<br />
Survei LSI itu menunjukkan sekitar<br />
87,6% responden mengetahui bahwa<br />
tugas DPD <strong>RI</strong> untuk mewakili kepentingan<br />
daerah, sekitar 78% responden<br />
berharap DPD memiliki kewenangan<br />
yang lebih luas dalam memutuskan<br />
undang-undang yang berkaitan dengan<br />
kepentingan daerah.<br />
Sebanyak 74% berharap DPD<br />
dapat menindaklanjuti hasil pengawasan<br />
terhadap pemerintah, sekitar<br />
70% responden berharap DPD bersama<br />
<strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> membuat undang-undang.<br />
Selain itu, sebanyak 71% responden<br />
berharap DPD dan <strong>DPR</strong> bisa bersamasama<br />
memberikan persetujuan atas<br />
RAPBN. Sekitar 64% juga berharap,<br />
DPD juga berwenang ikut mengangkat<br />
pejabat publik yang penting, seperti<br />
Hakim Agung, Gubernur Bank<br />
Indonesia, Panglima TNI dan Kapolri.<br />
Untuk penguatan posisi dan kewenangan<br />
DPD <strong>RI</strong> sekitar 65% responden<br />
setuju agar dilakukan melalui mekanisme<br />
amandemen UUD 1945.<br />
Melihat dari hasil survei tersebut,<br />
timbul pertanyaan dapatkah harapan<br />
masyarakat itu dipenuhi oleh DPD terkait<br />
dengan perubahan dan perbaikan<br />
perannya dalam sistem ketatanegaraan<br />
kita?<br />
Menurut Laode, ini terkait dengan<br />
kepentingan bersama untuk menata<br />
peran DPD dalam hubungannya dengan<br />
<strong>DPR</strong>, pemerintah serta lembaga<br />
negara lainnya. Tujuannya, untuk meletakkan<br />
posisi DPD agar dapat menjalankan<br />
fungsinya sebagai bagian<br />
dari lembaga legislatif yang menjalankan<br />
mandat konstituennya.<br />
Jika dilihat hubungan DPD dengan<br />
<strong>DPR</strong> dalam melaksanakan tugas dan<br />
wewenang DPD, ada beberapa hal<br />
yang perlu menjadi perhatian.<br />
Dewan Perwakilan Daerah dapat<br />
mengajukan rancangan undangundang<br />
berdasarkan program legislasi<br />
nasional. Rancangan undang-undang<br />
yang dimaksud harus disertai dengan<br />
penjelasan atau keterangan dan/atau<br />
naskah akademik dapat diusulkan<br />
oleh panitia perancang undang-
undang dan/atau panitia kerja. Usul<br />
RUU tersebut diputuskan menjadi<br />
ranca-ngan yang berasal dari DPD<br />
dalam sidang paripurna DPD.<br />
Usulan lain yang disampaikan Laode<br />
adalah, DPD juga memberikan<br />
pertimbangan terhadap Rancangan<br />
Undang-undang kepada Pimpinan<br />
<strong>DPR</strong>. Terhadap rancangan undangundang<br />
tentang APBN, DPD memberikan<br />
pertimbangan kepada <strong>DPR</strong><br />
dengan jangka waktu paling lambat<br />
empat belas hari sebelum diambil<br />
persetujuan bersama antara <strong>DPR</strong> dan<br />
Presiden.<br />
Terkait dengan RUU yang membahas<br />
tentang pajak, pendidikan dan<br />
agama, DPD memberikan pertimbangan<br />
kepada <strong>DPR</strong> dan paling lambat<br />
tiga puluh hari sejak diterimanya surat<br />
dari pimpinan <strong>DPR</strong>.<br />
Selain itu, DPD juga memiliki tugas<br />
dan wewenang dalam hal memberikan<br />
pertimbangan kepada <strong>DPR</strong> mengenai<br />
calon anggota BPK. Pertimbangan<br />
tersebut diputuskan dalam sidang<br />
paripurna DPD. Pertimbangan yang<br />
sudah diputuskan tersebut diserahkan<br />
kepada Pimpinan <strong>DPR</strong> sebagai<br />
pertimbangan DPD paling lambat tiga<br />
hari sebelum pelaksanaan pemilihan<br />
anggota BPK.<br />
Salah satu tugas DPD adalah mengawasi<br />
jalannya undang-undang.<br />
Dalam hal penyampaian hasil pengawasan<br />
tersebut, DPD menyampaikan<br />
hasil pengawasan atas undang-undang<br />
kepada <strong>DPR</strong> sebagai<br />
bahan pertimbangan. Hasil pengawasan<br />
tersebut diputuskan dalam sidang<br />
paripurna DPD.<br />
Laode menambahkan, dalam<br />
regulasi dikemukakan bahwa DPD<br />
memiliki sejumlah hak yaitu, mengajukan<br />
rancangan undang-undang<br />
yang berkaitan dengan otonomi<br />
daerah, hubungan pusat dan daerah,<br />
pembentukkan dan pemekaran serta<br />
penggabungan daerah, pengelolaan<br />
sumber daya alam dan sumber daya<br />
ekonomi lainnya, serta berkaitan dengan<br />
perimbangan keuangan pusat<br />
dan daerah,<br />
Selain itu, ikut membahas ranca-<br />
ngan undang-undang yang berkaitan<br />
dengan otonomi daerah, hubungan<br />
pusat dan daerah, pembentukan,<br />
pemekaran dan penggabungan daerah,<br />
pengelolaan sumber daya alam<br />
dan sumber daya ekonomi lainnya,<br />
serta perimbangan keuangan pusat<br />
dan daerah.<br />
DPD juga memiliki hak memberikan<br />
pertimbangan kepada <strong>DPR</strong> dalam<br />
pembahasan rancangan undangundang<br />
tentang anggaran pendapatan<br />
dan belanja negara dan rancangan<br />
undang-undang yang berkaitan dengan<br />
pajak, pendidikan dan agama.<br />
Hak yang dimiliki lainnya adalah<br />
melakukan pengawasan atas pelaksanaan<br />
undang-undang mengenai<br />
otonomi daerah, pembentukan,<br />
pemekaran dan penggabungan daerah,<br />
hubungan pusat dan daerah,<br />
pengelolaan sumber daya alam dan<br />
sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan<br />
APBN, pajak, pendidikan dan<br />
agama.<br />
Lebih jauh Laode mengatakan,<br />
secara konstitusional DPD memeiliki<br />
kewenangan yang sangat terbatas<br />
untuk memberikan pertimbangan,<br />
mengajukan usul saran kepada <strong>DPR</strong><br />
dan mengawasi pelaksanaan UU tertentu.<br />
Kewenangan legislatif sepenuhnya<br />
di <strong>DPR</strong> bersama Presiden, demikian<br />
pula dalam hal budget DPD hanya<br />
bisa memberikan pertimbangan dan<br />
usulan. Demikian pula dalam hal pengawasan<br />
terhadap pelaksanaan UU,<br />
anggaran dan kebijakan politik tertentu,<br />
semuanya harus diteruskan kepada<br />
<strong>DPR</strong> untuk ditindaklanjuti.<br />
Dalam hal ini, kewenangan DPD<br />
bersifat “konsultatif”, karena tidak<br />
mempunyai kewenangan untuk memutus,<br />
sedangkan <strong>DPR</strong> kewenangannya<br />
amat dominan, dimana semua kewenangan<br />
Presiden ada keterlibatan<br />
<strong>DPR</strong>.<br />
Menurut Laode, hubungan DPD<br />
dengan <strong>DPR</strong> penting untuk dikomunikasikan,<br />
terutama berkenaan dengan<br />
mekanisme legislasi. Sejauh ini, kata<br />
Laode, mekanisme kerja legislasi dan<br />
pengawasan dilakukan antara Komisi<br />
<strong>DPR</strong> dan Komite DPD secara parsial<br />
dan sporadic, juga bervariasi tergantung<br />
dari interaksi masing-masing.<br />
Belum ada upaya proporsional<br />
dan serius untuk secara sistemik melembagakan,<br />
padahal sesungguhnya,<br />
dengan produktifitas tingkat legislasi<br />
yang tidak memuaskan di mata rakyat,<br />
seharusnya bisa dikoreksi dengan<br />
mengembangkan sinergi <strong>DPR</strong> dan<br />
DPD.<br />
“Jadi harus ada keberanian<br />
melakukan terobosan yang sistematis<br />
dan melembaga, baik oleh Pimpinan<br />
<strong>DPR</strong> maupun DPD,” kata Laode.<br />
Beberapa Hal<br />
Yang Harus Dibenahi<br />
Menyangkut hubungan DPD dengan<br />
<strong>DPR</strong>, ada beberapa hal yang<br />
harus dibenahi dan disepakati terutama<br />
dalam aktualisasi DPD dalam<br />
menjalankan fungsinya, diantaranya<br />
adalah masalah pengaturan mekanisme<br />
kerja.<br />
Perihal masalah pengaturan mekanisme<br />
kerja ini terkait dengan beberapa<br />
hal yakni, penyusunan Program<br />
Legislasi Nasional, (Prolegnas)<br />
Prioritas Tahunan, pengajuan dan<br />
pembahasan RUU dan pertimbangan<br />
atas RUU.<br />
Mengenai penyusunan Prolegnas<br />
prioritas tahunan, selama ini DPD amat<br />
mengapresiasi atas keikutsertaan dan<br />
keterlibatan DPD dalam pembahasan<br />
Prolegnas di <strong>DPR</strong>. Hal itu menurut Laode,<br />
telah berjalan dengan baik.<br />
Namun ada harapan yang ingin<br />
dia sampaikan yaitu keikutsertaan<br />
DPD dalam penyusunan daftar RUU<br />
Prolegnas prioritas tahunan dimungkinkan<br />
hingga ke tingkat perumusan.<br />
Adapun terkait pengajuan dan<br />
pembahasan RUU, diperlukan keiikutsertaan<br />
DPD dalam pembahasan RUU<br />
bersama <strong>DPR</strong> dan Presiden, yang meliputi<br />
pengantar musyawarah, pembahasan<br />
daftar inventarisasi masalah<br />
(DIM), dan penyampaian pendapat<br />
mini.<br />
Laode juga berharap mekanisme<br />
kerja dalam pembahasan RUU yang<br />
melibatkan <strong>DPR</strong>, Pemerintah dan<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 | 1
LAPORAN UTAMA<br />
DPD, terutama pembahasan DIM dan<br />
penyampaian pendapat ini, mengikutsertakan<br />
DPD.<br />
Keikutsertaan tersebut meliputi<br />
DPD memiliki wakil dan ikut serta<br />
dalam rapat kerja antara alat kelengkapan<br />
<strong>DPR</strong> dengan Pemerintah untuk<br />
menentukan jadwal pembahasan RUU,<br />
DPD diundang dalam pembicaraan<br />
tingkat II di Rapat Paripurna <strong>DPR</strong>.<br />
DPD memiliki wakil dalam pembahasan<br />
RUU di <strong>DPR</strong> yang berjumlah<br />
paling banyak 1/3 jumlah anggota<br />
alat kelengkapan <strong>DPR</strong> yang membahas<br />
suatu RUU atau paling sedikit 6<br />
(enam) orang.<br />
Pokok-pokok gagasan lainnya<br />
yang disampaikan Laode adalah masalah<br />
pertimbangan atas RUU APBN.<br />
Dalam hal ini DPD mengingatkan<br />
bahwa <strong>DPR</strong> menerima dan menindaklanjuti<br />
pertimbangan tertulis terhadap<br />
RUU APBN yang disampaikan oleh<br />
DPD yang diberikan paling lambat 14<br />
hari sebelum diambil persetujuan bersama<br />
antara <strong>DPR</strong> dan Presiden.<br />
Dia mengharapkan, DPD diikutsertakan<br />
sejak awal pembahasan sehingga<br />
pertimbangan yang disampaikan<br />
oleh DPD tepat sasaran dan bermanfaat<br />
bagi daerah. Untuk itu, katanya,<br />
DPD meminta agar <strong>DPR</strong> mengundang<br />
DPD dalam Rapat Paripurna <strong>DPR</strong> untuk<br />
bersama-sama mendengarkan<br />
keterangan Pemerintah mengenai Pokok-pokok<br />
Pembicaraan Pendahuluan<br />
RAPBN sejak RAPBN 2011.<br />
Dia juga berharap, DPD dapat ikut<br />
serta dalam pertemuan antara <strong>DPR</strong><br />
dengan Menteri Keuangan, Bank Indonesia<br />
(BI), dan Badan Perencanaan<br />
Pembangunan Nasional (Bappenas)<br />
dalam pembicaraan tentang Rencana<br />
Kerja Pemerintah (RKP) dan ekonomi<br />
makro.<br />
Mengenai pertimbangan atas RUU<br />
tertentu, DPD berharap agar <strong>DPR</strong> mencantumkan<br />
Pasal 22D ayat (2) UUD<br />
1945 dalam konsiderans “mengingat”<br />
RUU yang mendapat pertimbangan<br />
DPD dan mencantumkan keputusan<br />
DPD dalam konsiderans “memperhatikan”<br />
dalam keputusan <strong>DPR</strong>, dan<br />
meminta Komisi <strong>DPR</strong> menyampaikan<br />
1 | PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />
paparan hasil pertimbangan DPD.<br />
Pokok gagasan selanjutnya yang<br />
disampaikan Laode adalah pengawasan<br />
atas UU tertentu. Dalam hal<br />
ini, DPD berharap agar <strong>DPR</strong> mencantumkan<br />
Pasal 22D ayat (3) UUD 1945<br />
dalam konsiderans “mengingat” UU<br />
yang direvisi apabila hasil pengawasan<br />
DPD menjadi dasar perevisian,<br />
mencantumkan keputusan DPD tentang<br />
hasil pengawasan DPD dalam<br />
konsiderans “memperhatikan” dalam<br />
keputusan <strong>DPR</strong>, dan meminta Komisi<br />
<strong>DPR</strong> menyampaikan paparan hasil<br />
pengawasan DPD.<br />
Dari beberapa catatan yang disampaikannya,<br />
Laode Ida memberikan<br />
sejumlah catatan utama sebagai<br />
kesimpulan mendasar yaitu, kedudukan<br />
DPD sebagai lembaga perwakilan<br />
daerah yang memperjuangkan aspirasi<br />
dan kepentingan daerah sudah<br />
tepat dan memang dibutuhkan kehadirannya.<br />
Namun demikian menurut Laode,<br />
seharusnya posisi DPD dapat sejajar<br />
dengan <strong>DPR</strong>, bukan lebih rendah. Di<br />
samping itu, sebagai lembaga Negara<br />
DPD mempunyai fungsi yang sangat<br />
lemah, hanya sebagai pelengkap<br />
bagi lembaga legislatif, dimana<br />
hanya sebagai lembaga konsultatif,<br />
dan pertimbangan, tidak mempunyai<br />
kewenangan dalam memutus. Selain<br />
Wakil Ketua DPD <strong>RI</strong> Laode Ida (paling kiri)<br />
juga, DPD dibatasi pada persoalanpersoalan<br />
berkaitan dengan otonomi<br />
daerah.<br />
Laode melihat, hubungan DPD<br />
dengan lembaga Negara lainnya, seperti<br />
MPR, <strong>DPR</strong> Mahkamah Konstitusi,<br />
Pemerintah Daerah dan <strong>DPR</strong>D ada,<br />
tetapi hanya pada masalah-masalah<br />
tertentu saja dan sifatnya hanya sebagai<br />
pemberi “pertimbangan”.<br />
Berdasarkan keterbatasan fungsi<br />
dan kewenangan DPD tersebut,<br />
maka dia berharap dilakukan perubahan-perubahan<br />
yaitu posisi DPD harus<br />
lebih diperkuat sehingga dalam<br />
menjalankan fungsinya dapat maksimal,<br />
bukan hanya sebagai lembaga<br />
“pelengkap” dari lembaga legislatif<br />
yang hanya memberi pertimbangan,<br />
usulan kepada <strong>DPR</strong>. Demikian juga<br />
dalam berhadapan dengan lembaga<br />
Negara lainnya yang menjadi mitra<br />
kerja DPD.<br />
Untuk itu, agar secara mendasar<br />
kembali ke akarnya hanya dapat dilakukan<br />
dengan mengamandemen<br />
pasal-pasal dalam UUD 1945 yang<br />
mengatur tentang DPD.<br />
Laode menegaskan, Anggota<br />
Dewan Perwakilan Daerah sendiri<br />
tentunya harus memperjuangkan<br />
hak-haknya supaya sejajar dengan<br />
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat.<br />
(tt,iky)
Memperkuat Posisi Baleg<br />
Dengan Cara Re-Disain<br />
Dalam memberikan masukannya terkait dengan revisi UU<br />
tentang MPR, <strong>DPR</strong>, DPD dan <strong>DPR</strong>D (MD3), mantan Pimpinan<br />
Badan Legislasi (Baleg) <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> periode 2004-2009,<br />
Ferry Mursyidan Baldan memfokuskan pada thema “Menata Alat<br />
Kelengkapan bagi Penguatan Fungsi <strong>DPR</strong>”.<br />
Alat kelengkapan <strong>DPR</strong> terdiri<br />
dari 11 Komisi dan 7 (tujuh)<br />
Badan, yang jika ditelaah dari<br />
segi fungsi pokok Dewan, fungsi<br />
Pengawasan oleh 11 Komisi, Fungsi<br />
Budgeting oleh Badan Anggaran dan<br />
Fungsi Legislasi oleh Baleg. Sementara<br />
Badan-badan lain adalah Alat Kelengkapan<br />
yang tidak berkaitan langsung<br />
dengan fungsi pokok Dewan.<br />
Untuk mengoptimalisasi pelaksanaan<br />
fungsi Dewan, menurut Ferry, disain<br />
idealnya adalah memulai dengan<br />
adanya alat kelengkapan yang setara<br />
terhadap fungsi-fungsi pokok Dewan,<br />
artinya Komisi, Badan Anggaran dan<br />
Badan Legislasi memiliki kedudukan<br />
yang sama.<br />
Ferry juga berpendapat, setiap<br />
anggota Komisi, Badan Anggaran dan<br />
Badan Legislasi tidak dirangkap satu<br />
sama lainnya. Selain itu, review terhadap<br />
mitra kerja komisi, seiring Kementerian<br />
Hukum dan HAM, Sekretariat<br />
Negara dan Sekretariat Kabinet menjadi<br />
mitra kerja Baleg, sedang Menteri<br />
Keuangan dan Bappenas mitra kerja<br />
Badan Anggaran.<br />
Dengan disain ini, kata Ferry, maka<br />
akan menegaskan bahwa masingmasing<br />
fungsi Dewan ditempatkan<br />
pada posisi yang sama, dan semua<br />
anggota terbagi dalam 3 (tiga) fungsi<br />
pokok secara permanen.<br />
Terkait dengan penggunaan hak<br />
mengajukan RUU, Ferry mengatakan,<br />
melekatnya hak mengajukan RUU Mantan Pimpinan Baleg <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> periode 2004-2009 Ferry Mursyidan Baldan<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 | 1
LAPORAN UTAMA<br />
Suasana Workshop dan Fokus Group Discussion<br />
pada anggota Dewan belum dirasa<br />
optimal karena memang daya dukungnya<br />
yang tidak memadai, seperti<br />
Program Legislasi Nasional (Prolegnas)<br />
yang masih berbasis alat kelengkapan,<br />
dalam hal ini komisi.<br />
Ferry juga menyoroti, komisi yang<br />
relatif jarang memberi support pada<br />
RUU yang diajukan oleh anggota,<br />
atau setidaknya memfasilitasi untuk<br />
dibahas, agar menjadi RUU.<br />
Menurut Ferry, persyaratan administratif<br />
yang panjang juga menjadi<br />
faktor yang menyebabkan anggota<br />
enggan untuk mengajukan RUU. Selain<br />
itu, penyusunan Prolegnas yang<br />
tidak melibatkan anggota, sehingga<br />
memunculkan kesan bahwa hak mengajukan<br />
RUU pada dirinya, hanya<br />
bersifat administratif, tidak substantif.<br />
Dengan posisi yang kuat dari<br />
Badan Legislasi, seperti usulan redisain,<br />
maka tahapan pembentukan<br />
UU dapat dilakukan dengan lebih<br />
singkat.<br />
Dimulai dari tahap perencanaan,<br />
dalam tahap ini penyusunan Prolegnas<br />
hendaknya tidak berdasarkan<br />
judul UU, tapi konten atau substansi<br />
pokok, yang bisa saja menjadi lebih<br />
dari 1 judul UU. Selain itu, <strong>DPR</strong> juga<br />
tidak terbebani pada jumlah pencapaian<br />
penyelesaian.<br />
Dalam tahap penyusunan dan harmonisasi<br />
UU, dengan re-disain, maka<br />
sepenuhnya dilakukan oleh Baleg<br />
yang keanggotaannya sudah full, bu-<br />
1 | PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />
kan lagi sisa waktu.<br />
Pada tahap selanjutnya, tahap<br />
pembahasan, jika usul <strong>DPR</strong>, maka<br />
pembahasan dilakukan oleh Komisi<br />
yang mengusulkan, supaya tidak kehilangan<br />
“ruh” tujuan pembentukan<br />
UU, jika RUU berasal dari Pemerintah,<br />
maka pembuatan Daftar Inventarisasi<br />
Masalah (DIM) hanya untuk substansi<br />
pokok saja.<br />
Berkaitan dengan waktu, menurut<br />
Ferry, ada baiknya ditetapkan batas<br />
waktu pembahasan pembentukkan<br />
UU, misalnya 2 atau 3 masa sidang,<br />
yang jika tidak selesai maka pembahasannya<br />
diambil alih oleh Baleg, dan<br />
komisi yang bersangkutan tidak boleh<br />
membentuk UU dalam 1 (satu) Tahun<br />
Masa Sidang.<br />
Terkait dengan pembatasan waktu<br />
ini, perlu ditetapkan batasan waktu<br />
setiap tahapan pembentukkan UU,<br />
termasuk penyusunan DIM yang jika<br />
tidak dipenuhi, maka Fraksi yang bersangkutan<br />
dianggap tidak memiliki<br />
pendapat/pandangan.<br />
Selain menyoroti tahapan mekanisme<br />
pembentukkan UU , Ferry<br />
juga memandang perlunya penataan<br />
Fraksi dalam penguatan fungsi <strong>DPR</strong>.<br />
Meski bukan Alat Kelengkapan<br />
Dewan, namun secara politis, Fraksi<br />
memiliki kewenangan besar dalam<br />
proses pengambilan keputusan di<br />
Dewan. Dalam hal ini timbul pertanyaan,<br />
bisakah kita memulai penataan<br />
dengan “Memperketat” syarat pem-<br />
bentukkan Fraksi.<br />
Hal ini bisa dimulai dengan jumlah<br />
nominal, yakni sekurang-kurangnya<br />
memiliki anggota 20% dari jumlah<br />
anggota Dewan atau 5 (lima) terbesar<br />
perolehan kursi, maka Partai tersebut<br />
dapat membentuk Fraksi.<br />
Dalam hal ini, tidak lagi dikenal<br />
adanya Fraksi gabungan, jika perolehan<br />
suaranya dibawah 20% atau<br />
perolehannya tidak masuk 5 besar,<br />
maka wajib bergabung dengan Fraksi<br />
yang ada.<br />
Kewajiban Melaporkan<br />
Kinerjanya<br />
Politisi Partai Golkar ini juga mengatakan<br />
pentingnya bagi Dewan<br />
melaporkan kinerjanya. Menurut<br />
Ferry, kewajiban melaporkan kinerja<br />
sebagai Anggota Dewan, cukup<br />
dilakukan pada setiap masa Reses,<br />
karena sejatinya masa reses adalah<br />
masa melaporkan apa-apa yang dilakukan<br />
selama masa sidang, termasuk<br />
menyerap aspirasi masyarakat di<br />
Dapilnya.<br />
Sedangkan laporan menyeluruh<br />
dalam konteks Dewan, bisa dituangkan<br />
dalam memori akhir masa jabatan<br />
Dewan secara kolektif, yang berisi<br />
apa-apa yang menjadi target, apa<br />
yang dicapai, apa yang tidak dapat dicapai<br />
dan penyebabnya.<br />
Dengan demikian, kata Ferry, maka<br />
tugas-tugas dalam melaksanakan<br />
fungsi Dewan diemban secara kolektif,<br />
sedang tugas-tugas politik sebagai<br />
wakil rakyat lebih personal atau kolektif<br />
dalam lingkup Dapil.<br />
Secara keseluruhan, optimalnya<br />
pelaksanaan fungsi Dewan tidak semata<br />
tergantung pada aturan main,<br />
tapi lebih pada kesadaran kerja kolektif,<br />
karena semua kewenangan kenegaraan<br />
yang diberi oleh UU adalah<br />
pada Dewan bukan Personal anggota<br />
Dewan.<br />
Sedang untuk personal Anggota<br />
Dewan, menurut Ferry, diberi fasilitas,<br />
hak bahkan imunitas untuk dapat<br />
melaksanakan tugas Dewan secara<br />
Kelembagaan/Kolektif. (tt,iky)<br />
***
Tidak Ada Kejelasan <strong>DPR</strong>D<br />
Dalam Fungsi Legislasi<br />
Berdasarkan Undang-Undang tentang MPR, <strong>DPR</strong>, DPD dan<br />
<strong>DPR</strong>D (MD3), <strong>DPR</strong>D memiliki fungsi legislasi. Namun sering terjadi<br />
ketidakjelasan dan ketidaktegasan sebagai pemegang kekuasaan<br />
membuat peraturan daerah.<br />
Selain itu, posisi <strong>DPR</strong>D sebagai<br />
pemegang kekuasaan legislatif<br />
di daerah masih menjadi<br />
perdebatan. Dalam hal ini timbul pertanyaan,<br />
bagaimana mendisain kemandirian<br />
<strong>DPR</strong>D dalam konsep trias<br />
politika?<br />
Guru Besar Hukum Tata Negara<br />
dan Direktur Pusat Studi Konstitusi<br />
(PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas<br />
Andalas Padang, Saldi Isra menyoroti<br />
beberapa pasal dalam UUD 1945, UU<br />
MD3, UU tentang Pemerintahan Daerah,<br />
dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang<br />
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.<br />
Dalam Pasal 18 ayat (3) UUD<br />
1945 berbunyi : Pemerintahan daerah<br />
provinsi, daerah kabupaten, dan<br />
kota memiliki <strong>DPR</strong>D yang anggotaanggotanya<br />
dipilih melalui pemilihan<br />
umum.<br />
Pasal 18 Ayat (6) UUD 1945 berbunyi<br />
: Pemerintahan daerah berhak<br />
menetapkan peraturan daerah<br />
dan peraturan-peraturan lain untuk<br />
melaksanakan otonomi dan tugas<br />
pembantuan.<br />
Sementara Pasal 291 UU tentang<br />
MPR, <strong>DPR</strong>, DPD dan <strong>DPR</strong>D mengatakan,<br />
<strong>DPR</strong>D provinsi merupakan<br />
lembaga perwakilan rakyat daerah<br />
yang berkedudukan sebagai unsur<br />
penyelenggara pemerintahan daerah<br />
provinsi.<br />
Pasal 292 UU MD3, Ayat 1, <strong>DPR</strong>D<br />
provinsi mempunyai fungsi legislasi,<br />
anggaran dan pengawasan. Ayat 2<br />
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum<br />
Universitas Andalas Padang, Saldi Isra<br />
berbunyi ke tiga fungsi sebagaimana<br />
dimaksud pada ayat (1) dijalankan<br />
dalam kerangka representasi rakyat di<br />
provinsi.<br />
Pasal 293 UU MD3 ayat (1) berbunyi<br />
: <strong>DPR</strong>D provinsi mempunyai tugas<br />
dan wewenang membentuk peraturan<br />
daerah provinsi bersama gubernur.<br />
Selain itu, membahas dan memberikan<br />
persetujuan rancangan peraturan<br />
daerah mengenai anggaran pendapatan<br />
dan belanja daerah provinsi yang<br />
diajukan oleh Gubernur.<br />
Ayat 2 mengatakan, ketentuan<br />
lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan<br />
tugas dan wewenang sebagaimana<br />
dimaksud pada ayat (1) diatur<br />
dengan peraturan <strong>DPR</strong>D provinsi<br />
tentang tata tertib.<br />
Saldi menambahkan, dalam UU<br />
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan<br />
Daerah Pasal 41 disebutkan<br />
<strong>DPR</strong>D memiliki fungsi legislasi, anggaran<br />
dan pengawasan.<br />
Sementara Pasal 42 (ayat 1) menyebutkan,<br />
<strong>DPR</strong>D mempunyai tugas<br />
dan wewenang membentuk Perda<br />
yang dibahas dengan kepala daerah<br />
untuk mendapat persetujuan bersama<br />
dan membahas dan menyetujui rancangan<br />
Perda tentang APBD bersama<br />
dengan kepala daerah.<br />
Dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang<br />
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,<br />
Pasal 1 Angka 7 menyebutkan,<br />
Peraturan Daerah Provinsi<br />
adalah Peraturan Perundang-Undangan<br />
yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan<br />
Rakyat Daerah Provinsi de-<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 | 1
LAPORAN UTAMA<br />
ngan persetujuan bersama Gubernur.<br />
Undang-undang yang sama Pasal<br />
34 ayat (1) mengatakan, penyusunan<br />
Prolegda Provinsi dilaksanakan oleh<br />
<strong>DPR</strong>D Provinsi dan Pemerintahan<br />
Daerah Provinsi.<br />
Berdasarkan penjelasan normatif<br />
tersebut, kata Saldi, ada beberapa hal<br />
yang perlu mendapat perhatian yaitu,<br />
<strong>DPR</strong>D disebutkan sebagai bagian dari<br />
unsur penyelenggaraan pemerintahan<br />
daerah.<br />
Pengaturan demikian menurut<br />
Saldi Isra, tidak memungkinkan<br />
penerapan konsep Trias Politika dalam<br />
pengertian “pemisahan kekuasaan”.<br />
Ketentuan yang ada lebih dekat dengan<br />
penerapan Trias Politika dalam<br />
pengertian “pembagian Kekuasaan”.<br />
Dengan posisi demikian, menjadi<br />
sulit meletakkan <strong>DPR</strong>D sama dan sebangun<br />
dengan model fungsi legislasi<br />
<strong>DPR</strong>.<br />
Saldi juga menjelaskan, tiga UU<br />
yang ada (UU MD3, UU No. 32/2004<br />
dan UU No. 12/2011) tidak mengelaborasi<br />
bagaimana detailnya proses<br />
legislasi di <strong>DPR</strong>D. Dengan begitu,<br />
proses lebih banyak mengandalkan<br />
peraturan <strong>DPR</strong>D.<br />
Sejauh ini, katanya, penyusunan<br />
dan substansi Peraturan <strong>DPR</strong>D lebih<br />
banyak merujuk kepada Peraturan<br />
Workshop dan Fokus Group Discussion yang diadakan oleh Baleg <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong><br />
0 | PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />
Pemerintah (PP).<br />
Jika memang hendak menempatkan<br />
<strong>DPR</strong>D sebagai unsur penyelenggaraan<br />
pemerintahan daerah, sebaiknya<br />
pengaturan fungsi legislasi lebih<br />
didetailkan dalam UU Pemerintahan<br />
Daerah.<br />
PP Tidak Sinkron<br />
Dalam kesempatan Workshop kali<br />
ini, Saldi juga menyoroti, saat ini peraturan<br />
yang memberi arahan pembentukan<br />
Tata Tertib <strong>DPR</strong>D yang diatur<br />
dalam PP seringkali tidak sinkron<br />
dengan peraturan yang lebih tinggi<br />
(UU).<br />
Di sini timbul pertanyaan, regulasi<br />
apa yang perlu disusun untuk menjadi<br />
pedoman dalam penyusunan Tatib,<br />
apakah langsung pendelegasian dari<br />
UU yang berimplikasi pada ketidaksamaan<br />
Tatib di masing-masing <strong>DPR</strong>D<br />
atau perlu ada peraturan selevel PP<br />
yang menjadi pedoman penyusunan<br />
Tatib. Karena hal ini juga berimplikasi<br />
pada pengalokasian anggaran yang<br />
bisa dibenarkan menurut peraturan<br />
perundang-undangan.<br />
Sejauh ini, yang menentukan substansi<br />
Tatib <strong>DPR</strong>D tidak hanya pengaturan<br />
yang ada dalam PP. Praktek<br />
menunjukkan, acapkali muncul<br />
(Peraturan Menteri dan Surat Edaran<br />
Menteri) yang mengatur substansi<br />
Tatib.<br />
Karena “perintah” yang beragam<br />
tersebut, sangat mungkin terjadi disinkronisasi<br />
antara yang satu dengan<br />
yang lain. Oleh karena itu, akan menjadi<br />
jauh lebih baik jika UU mengatur<br />
semacam “pedoman” penyusunan<br />
Tatib <strong>DPR</strong>D. Paling tidak, UU mengatur<br />
substansi apa saja yang diatur<br />
dalam Tatib <strong>DPR</strong>D, Namun demikian,<br />
apapun level pengaturannya menurut<br />
Saldi, sebaiknya disediakan ruang<br />
bagi <strong>DPR</strong>D untuk adanya kreatifitas.<br />
Saldi menambahkan, pengaturan<br />
di tingkat UU tidak selalu memberi ruang<br />
yang lebih leluasa. Boleh saja diberi<br />
ruang untuk adanya perbedaan.<br />
Meskipun demikian, katanya, untuk<br />
semua substansi yang ditentukan<br />
dalam UU harus berlaku sama untuk<br />
semua Tatib <strong>DPR</strong>D.<br />
Dalam pengertian itu, semua substansi<br />
yang diatur dalam UU harus<br />
dimuat dalam Tatib <strong>DPR</strong>D. Kelonggaran<br />
yang diberikan kepada <strong>DPR</strong>D<br />
hanya sebatas mengakomodasi<br />
kekhasan daerah dan tidak diperkenankan<br />
bertentangan dengan substansi<br />
yang ada dalam UU.<br />
Selain itu, karena ini menyangkut<br />
kelembagaan, lebih baik kalau ada<br />
aturan internal yang pokok-pokoknya<br />
diatur dalam UU.<br />
Sudah Efektifkah<br />
Alat Kelengkapan<br />
Hal lain yang menjadi sorotan<br />
adalah, saat ini di <strong>DPR</strong>D terdapat<br />
alat kelengkapan baik berupa Komisi<br />
maupun Badan-badan. Apakah alat<br />
kelengkapan ini sudah efektif dan<br />
efisien dalam mengemban pelaksanaan<br />
fungsi dan wewenang <strong>DPR</strong>D.?<br />
Jika dilihat Pasal 302 (1) UU MD3,<br />
Alat Kelengkapan <strong>DPR</strong>D provinsi terdiri<br />
atas : Pimpinan, Badan Musyawarah,<br />
Komisi, Badan Legislasi daerah,<br />
Badan Anggaran, Badan Kehormatan<br />
dan Alat Kelengkapan lain yang diperlukan<br />
dan dibentuk oleh rapat<br />
paripurna.<br />
Dalam hal penentuan Pimpinan<br />
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
erasal dari partai politik berdasarkan<br />
urutan perolehan kursi terbanyak di<br />
<strong>DPR</strong>D provinsi (Kabupaten/Kota).<br />
Ketua <strong>DPR</strong>D (provinsi/kabupaten/<br />
kota) ialah anggota <strong>DPR</strong>D provinsi<br />
yang berasal dari partai politik yang<br />
memperoleh kursi terbanyak pertama<br />
di <strong>DPR</strong>D provinsi.<br />
Menurut Saldi, pola pengisian<br />
Pimpinan (termasuk Ketua <strong>DPR</strong>D)<br />
yang didasarkan kepada raihan urutan<br />
suara di <strong>DPR</strong>D telah menghilangkan<br />
sebuah proses yang demokratis<br />
di <strong>DPR</strong>D.<br />
Selain itu, katanya, pola pengisian<br />
yang demikian potensial “membunuh”<br />
kesempatan bagi partai politik<br />
lain yang kebetulan tidak berasal<br />
dari partai politik yang memiliki suara<br />
terbesar.<br />
Tambah lagi, kalau suara antara<br />
yang meraih posisi teratas hanya<br />
berselisih tipis dengan posisi berikutnya,<br />
aturan ini terasa “zalim” untuk<br />
hadirnya Ketua yang lebih mumpuni.<br />
Mungkin bisa dicek ke lapangan, betapa<br />
banyaknya seorang anggota <strong>DPR</strong>D<br />
menjadi ketua hanya karena keharusan<br />
ketentuan yang sejalan dengan<br />
proses demokrasi yang berkualitas.<br />
Sementara menyoroti Badan Legislasi<br />
Daerah, jika dilihat Pasal 36 UU<br />
No. 12/2011, penyusunan Prolegda<br />
Provinsi antara <strong>DPR</strong>D Provinsi dan<br />
Pemda Provinsi dikoordinasikan oleh<br />
<strong>DPR</strong>D Provinsi melalui alat kelengkapan<br />
<strong>DPR</strong>D Provinsi yang khusus<br />
menangani bidang legislasi.<br />
Ayat (2) UU ini juga mengatakan,<br />
penyusunan Prolegda Provinsi di<br />
lingkungan <strong>DPR</strong>D Provinsi dikoordinasikan<br />
oleh alat kelengkapan <strong>DPR</strong>D<br />
Provinsi yang khusus menangani bidang<br />
legislasi.<br />
Ayat (3) menyebutkan, penyusunan<br />
Prolegda Provinsi di lingkungan<br />
Pemerintah Daerah Provinsi dikoordinasikan<br />
oleh Biro Hukum dan dapat<br />
mengikutsertakan instansi vertikal<br />
terkait.<br />
Ayat selanjutnya mengatakan, ketentuan<br />
lebih lanjut mengenai tata<br />
cara penyusunan Prolegda Provinsi di<br />
lingkungan <strong>DPR</strong>D Provinsi sebagaima-<br />
Workshop dan Fokus Group Discussion yang diadakan oleh Baleg <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong><br />
na dimaksud pada ayat (2) diatur dengan<br />
Peraturan <strong>DPR</strong>D Provinsi.<br />
Sistem Kepegawaian<br />
Yang Tepat<br />
Bahasan lainnya yang menjadi sorotan<br />
Saldi Isra adalah sistem kepegawaian<br />
seperti apa yang tepat bagi<br />
pendukung Dewan.<br />
Menurutnya, kelompok pakar/tim<br />
ahli belum diatur dengan jelas dalam<br />
UU MD 3. Di sini timbul pertanyaan<br />
sistem pendukung keahlian yang<br />
bagaimana yang diperlukan Dewan<br />
untuk mendukung pelaksanaan tugas<br />
dan kewenangannya ?<br />
Dalam hal ini, Saldi berpandangan<br />
staf pendukung merupakan keniscayaan.<br />
staf pendukung diperlukan sesu<br />
ai dengan keahlian yang diperlukan.<br />
Dalam hal ini, staf pendukung tidak<br />
dalam status PNS.<br />
Kalau di daerah, staf pendukung<br />
ini dapat dimulai dari ahli di alat kelengkapan<br />
dan kalau keuangan memungkinkan,<br />
dapat juga diusahakan<br />
staf ahli untuk anggota. (tt/iky)<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 | 1
LAPORAN SUMBANG UTAMA SARAN<br />
Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, SH, MH<br />
Menata Parlemen<br />
Dengan Mengubah<br />
UU MD<br />
Penataan kelembagaan parlemen<br />
memang harus dilakukan<br />
melalui amandemen UUD 1945<br />
yang kelima, tidak cukup hanya<br />
dengan mengubah UU No. 27 Tahun<br />
2009 tentang MPR, <strong>DPR</strong>, DPD, <strong>DPR</strong>D<br />
(UU MD3). Apabila penataan itu di-<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />
pandang sebagai sesuatu yang fondamental<br />
maka harus dimulai dengan<br />
perubahan/amandemen UUD 1945<br />
yang kelima. Karena sulit akan didapatkan<br />
penataan kelembagaan parlemen<br />
yang akan benar-benar demokratis,<br />
efektif, dan akuntabel berdasarkan<br />
Perlu dijelaskan yang<br />
dimaksud dengan unsur<br />
partai politik adalah orang<br />
yang duduk di MPR itu<br />
benar-benar mewakili<br />
partai politik. Pengisiannya<br />
melalui pemilihan umum (pemilu)<br />
khusus untuk MPR.<br />
Dalam Pemilu tersebut ada<br />
orang-orang Parpol yang<br />
hanya duduk di <strong>DPR</strong>.<br />
Dengan demikian, anggota <strong>DPR</strong><br />
tidak merangkap sebagai anggota<br />
MPR, meski pengisiannya<br />
bersamaan dalam<br />
Pemilu.<br />
Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, SH, MH<br />
Kepala Program Doktor dan<br />
Magister Ilmu Hukum Pascasarjana<br />
Universitas Padjadjaran Bandung<br />
Pancasila apabila penataannya hanya<br />
dilakukan dengan mengubah UU tentang<br />
MD3.<br />
Untuk mengubah UUD 1945 memerlukan<br />
suatu kajian yang sangat<br />
mendalam, komprehensif, konsisten,<br />
serta dilakukan oleh para ahli ketatanegaraan<br />
(dalam arti luas) yang<br />
sudah teruji dan diakui kepakarannya.<br />
Karena itu, untuk mengubah UUD<br />
1945 diperlukan waktu yang cukup<br />
dengan forum yang luas dan melibatkan<br />
banyak keahlian. Sehingga,<br />
untuk sementara ini dapat dimaklumi<br />
dengan mengubah UU tentang<br />
MD3 jauh lebih mudah dari pada mengubah<br />
UUD 1945.<br />
Sehingga, pemikiran dalam<br />
melakukan penataan kelembagaan<br />
parlemen, dibagi dalam dua tataran.<br />
Tataran pertama, penataan melalui<br />
perubahan UUD 1945 pasca amandemen<br />
keempat, dengan dilakukan<br />
amandemen UUD 1945 yang kelima.<br />
Tataran kedua, penataan dilakukan<br />
hanya dengan mengubah UU tentang<br />
MD3, dengan tetap mengacu pada<br />
kelembagaan parlemen seperti diatur<br />
dalam UUD 1945 yang sekarang ini<br />
berlaku.<br />
Pengertian Umum Konstitusi<br />
dan Negara Hukum<br />
Menurut James Brice, konstitusi<br />
diartikan sebagai a frame of political<br />
society, organized through and by<br />
law, that is to say one in which law has<br />
established permanent institutions<br />
with recognised functions and definite<br />
rights. “Again a constitution may<br />
be said to be a collection of principles
according to which the powers of the<br />
government, the rights of the governed,<br />
and relations between the two<br />
are adjusted”. (CF. Strong, Modern<br />
Political Constitutions)<br />
Konstitusi diartikan Sir Keneth C.<br />
Wheare, sebagai sekumpulan ketentuan<br />
hukum tertinggi yang tersusun<br />
di dalam suatu dokumen yang mengatur<br />
pemerintahan negara.<br />
Pendapat senada dikemukakan<br />
oleh S.E. Finner , konstitusi sebagai<br />
sekumpulan norma hukum yang<br />
mengatur alokasi fungsi, kekuasaan,<br />
serta tugas-tugas di antara berbagai<br />
lembaga negara, serta yang menentukan<br />
hubungan-hubungan di antara<br />
lembaga-lembaga negara tersebut<br />
dengan rakyat, dan biasanya termodifikasi<br />
di dalam suatu dokumen.<br />
Sementara itu, Benyamin Akzin<br />
dalam sebuah artikel berjudul “On the<br />
Satbility and Reality of Constitution”<br />
berpendapat, konstitusi merupakan<br />
dokumen atau sekumpulan dokumen<br />
serta kebiasaan ketatanegaraan,<br />
baik yang ditetapkan secara formal<br />
maupun yang disepakati sebagai<br />
ketentuan dasar mengenai susunan<br />
dan fungsi negara, serta menetapkan<br />
pula secara pasti dan efektif kerangka<br />
dasar proses-proses pemerintahan<br />
dan proses-proses yuridis ketatanegaraan.<br />
Loewenstain berpendapat, konstitusi<br />
merupakan suatu sarana dasar<br />
untuk mengawasi proses-proses<br />
kekuasaan. Oleh karena itu, setiap<br />
konstitusi senantiasa mempunyai<br />
dua tujuan, yaitu untuk memberikan<br />
pembatasan dan pengawasan terhadap<br />
kekuasaan politik, dan untuk<br />
membebaskan kekuasaan dari kontrol<br />
mutlak para penguasa, serta menetapkan<br />
bagi para penguasa tersebut<br />
batas-batas kekuasaannya.<br />
Muhammad Tahir Azhary mengambil<br />
inspirasi dari sistem hukum<br />
Islam mengajukan pandangan tentang<br />
ciri-ciri nomokrasi atau negara hukum<br />
yang baik itu mengandung sembilan<br />
prinsip. Kesembilan prinsip itu : 1.<br />
Prinsip kekuasaan sebagai amanah.<br />
2. Prinsip musyawarah. 3. Prinsip keadilan.<br />
4. Prinsip persamaan. 5. Prinsip<br />
pengakuan dan perlindungan terhadap<br />
hak-hak asasi manusia. 6. Prinsip<br />
peradilan yang bebas. 7. Prinsip perdamaian.<br />
8. Prinsip kesejahteraan. 9.<br />
Prinsip ketaatan rakyat.<br />
Jimly Ashiddiqie berpendapat,<br />
dianut dan dipraktekkannya prinsip<br />
demokrasi atau kedaulatan rakyat<br />
yang menjamin peran serta masyarakat<br />
dalam proses pengambilan keputusan<br />
kenegaraan, sehingga setiap<br />
peraturan perundang-undangan yang<br />
ditetapkan dan ditegakkan mencer-<br />
Jajaran Pimpinan Sidang Bersama <strong>DPR</strong>-DPD 16 Agustus 2011<br />
minkan nilai-nilai keadilan yang hidup<br />
ditengah masyarakat.<br />
Hukum dan peraturan perundangundangan<br />
yang berlaku tidak boleh<br />
ditetapkan dan diterapkan secara<br />
sepihak oleh dan/atau hanya untuk<br />
kepentingan penguasa secara bertentangan<br />
dengan prinsip-prinsip demokrasi.<br />
Karena hukum tidak dimaksudkan<br />
hanya menjamin kepentingan<br />
segelintir orang yang berkuasa, melainkan<br />
menjamin kepentingan akan<br />
rasa adil bagi semua orang tanpa<br />
kecuali.<br />
Dengan demikian, cita negara hukum<br />
(rechtsstaat) yang dikembangkan<br />
bukanlah ‘absolute rechtssaat’,<br />
melainkan ‘democratische rechtsstaat’<br />
atau negara hukum yang demokratis.<br />
Dalam setiap negara hukum yang<br />
bersifat nomokratis harus dijamin<br />
adanya demokrasi, sebagaimana di<br />
dalam setiap negara demokrasi harus<br />
dijamin penyelenggaraannya berdasar<br />
atas hukum.<br />
Penataan Kelembagaan<br />
Parlemen Melalui<br />
Amandemen UUD 1945<br />
Konstitusi, menurut Hans Kelsen<br />
dan kemudian dikembangkan oleh<br />
muridnya Hans Nawiasky serta<br />
Adolf Merkl, paling tidak memuat dua<br />
norma utama, yaitu staatsfundamen-<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
SUMBANG SARAN<br />
talnorm (norma fundamental negara)<br />
dan staasgrundgesetz (aturan dasar<br />
negara).<br />
Dengan demikian, kedudukan<br />
norma yang terdapat dalam konstitusi<br />
merupakan kristalisasi dari hasil<br />
perjuangan politik bangsa di waktu<br />
yang lampau, pandangan tokohtokoh<br />
bangsa yang hendak diwujudkan,<br />
baik untuk waktu sekarang, maupun<br />
untuk masa yang akan datang.<br />
Juga merupakan suatu kehendak<br />
dalam hal perkembangan kehidupan<br />
ke-tatanegaraan bangsa yang akan<br />
dipimpin, serta tingkat-tingkat tertinggi<br />
perkembangan ketatanegaraan<br />
bangsa.<br />
Jika ditelusuri, terjadinya reformasi<br />
konstitusi (constitutional reforms)<br />
di berbagai negara yang ditandai<br />
dengan perubahan terhadap materi<br />
muatan konstitusi, menurut beberapa<br />
literature antara lain James L.<br />
Sundquist dalam bukunya ”Constitution<br />
Reform and Effective Government”<br />
(1992); Barber Conable (1984)<br />
seorang Republican veteran; Arthur M.<br />
Schlesinger Jr. Dalam artikelnya berjudul<br />
“Leave The Constitution” (1966)<br />
dan K.C. Wheare “Modern Constructions”<br />
(1971) mengatakan, bahwa<br />
perubahan konstitusi suatu negara<br />
itu sekurang-kurangnya berkisar pada<br />
tiga isu utama.<br />
Pertama, menyangkut pertanyaan<br />
sejauhmanakah pencapaian negara<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />
kesejahteraan (welvaartstaat/welfare<br />
state) mewujudkan dalam kehidupan<br />
warga negaranya? Indikasinya, apakah<br />
negara diselenggarakan dengan<br />
tidak efisien, dengan menghamburhamburkan<br />
sumber daya (resources)<br />
dengan dalih untuk dan atas nama<br />
negara, yang oleh konstitusi justru diberikan<br />
kekuasaan kepada pemerintah<br />
untuk melakukannya.<br />
Selain itu, stabilitas negara pun<br />
menjadi amat terancam, antara lain<br />
berimplikasi pada benturan ideologi<br />
yang amat hebat, sehingga terjadi<br />
perpecahan di antara anak bangsa.<br />
Serta yang terpenting, kesejahteraan<br />
(prosperity) tidak menjadi bagian<br />
dalam pendekatan penyelenggaraan<br />
negara dan pemerintahan.<br />
Kedua, apakah negara hukum (rechtstaat/rule<br />
of law) telah menjadi<br />
landasan dalam penyelenggaraan<br />
negara. Indikasinya, hukum sudah<br />
tidak berjalan efektif untuk mengatasi<br />
berbagai bentuk kejahatan dan<br />
pelanggaran yang dilakukan oleh<br />
pejabat/instansi publik maupun masyarakat.<br />
Hambatan konstitusionalnya kekuasaan<br />
kehakiman tidak diberikan<br />
kedudukan yang merdeka. Dengan<br />
kata lain, tidak adanya jaminan konstitusional<br />
untuk mewujudkan independent<br />
of judiciary.<br />
Ketiga, bagaimanakah kedaulatan<br />
rakyat (volksoevereiniteit/democracy)<br />
para anggota parlemen saat mengikuti Sidang Bersama <strong>DPR</strong>-DPD 16 Agustus 2011<br />
menjadi tulang punggung atau pilar<br />
dalam membangun negara. Indikasinya,<br />
jalannya pemerintahan yang berbahaya<br />
(adventurous governments)<br />
yang mengancam atau mengganggu<br />
kebebasan warga negara (individual<br />
liberties) dan hak-hak asasi warga<br />
negara lainnya.<br />
Singkatnya, latar belakang suatu<br />
negara untuk melakukan reformasi<br />
(perubahan) konstitusinya didasarkan<br />
pada penilaian (assessment)<br />
apakah ada hambatan secara konstitusional<br />
untuk mewujudkan negara<br />
kesejahteraan. Kemudian pilar-pilar<br />
negara hukum sudah terancam untuk<br />
ambruk, di mana kekuasaan kehakiman<br />
dan atau institusi penegak hukum<br />
berada pada posisi sun ordinasi<br />
terhadap lembaga negara lainnya.<br />
Serta apakah kedaulatan rakyat atau<br />
demokrasi sudah mandeg, sehingga<br />
lembaga perwakilan rakyat sangat<br />
sulit untuk mendayagunakan fungsi<br />
dan tanggung jawabnya, dan hak-hak<br />
rakyat tidak mendapat perlindungan<br />
semestinya.<br />
Ada beberapa pokok pikiran yang<br />
mendasar dapat menjadi inspirasi<br />
dalam melakukan amandemen atau<br />
perubahan terhadap UUD 1945 dari<br />
paparan di atas, yaitu :<br />
a. Pembentukan konstitusi itu merupakan<br />
kesepakatan rakyat yang<br />
dijalankan oleh wakil-wakilnya<br />
yang benar-benar amanah.<br />
b. Pembentukan konstitusi merupakan<br />
proses yuridis (hukum<br />
ketatanegaraan), selain proses<br />
politik, sehingga dalam proses<br />
pembahasan penyusunan konstitusi<br />
harus berpikir dan bersikap<br />
sebagai seorang negarawan yang<br />
berpengetahuan, berpengala-<br />
c.<br />
man, dan berpengaruh.<br />
Dalam membentuk konstitusi harus<br />
didasarkan kepada nilai-nilai<br />
filosofis dari negara yang bersangkutan,<br />
bukan semata-mata<br />
meniru atau mengadopsi dari<br />
negara lain secara begitu saja,<br />
yang tentunya dapat berbeda<br />
atau bahkan bertentangan dengan<br />
nilai-nilai ideologisnya.
d.<br />
e.<br />
Bahwa konstitusi itu harus mampu<br />
mambawa masyarakatnya kepada<br />
kesejahteraan yang didasarkan<br />
kepada negara hukum dan<br />
demokrasi.<br />
Setiap kali ada upaya penataan<br />
lembaga-lembaga negara yang<br />
termuat dalam konstitusi perlu<br />
terlebih dahulu ditetapkan landasan<br />
filosofis yang menjadi fundamen<br />
bagi pendirian lembagalembaga<br />
negara tersebut.<br />
Bagi bangsa Indonesia, fundamen<br />
filosofis bangunan lembaga-lembaga<br />
negara yang hendak didirikan tersebut<br />
yaitu Pancasila. Dalam konteks<br />
kehidupan ketatanegaraan, dalam sila<br />
keempat dari Pancasila menegaskan,<br />
bahwa adanya landasan bagaimana<br />
negara dijalankan dan bagaimana<br />
hubungan antar pemegang kekuasaan<br />
dalam negara di bangun.<br />
Sila keempat itu selengkapnya<br />
berbunyi “kerakyatan yang dipimpin<br />
oleh hikmah kebijaksanaan dalam<br />
permusyawaratan/perwakilan”. Apabila<br />
rumusan sila keempat itu dijadikan<br />
titik tolak dalam membangun<br />
sistem demokrasi, maka dalam sila<br />
keempat terdapat muatan demokrasi<br />
dalam arti materi dan sekaligus juga<br />
bermuatan sistem demokrasi dalam<br />
arti formil.<br />
Perlu dijelaskan, sistem demokrasi<br />
dalam arti materiil, bahwa demokrasi<br />
Indonesia berlandaskan kerakyatan<br />
yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan.<br />
Maknanya, negara <strong>RI</strong> menganut<br />
ajaran kedaulatan rakyat atau<br />
demokrasi yang dalam penyelenggaraannya<br />
dipandu oleh suatu hikmah<br />
kebijaksanaan.<br />
Yang dimaksud dengan hikmah<br />
kebijaksanaan adalah demokrasi itu<br />
harus berpegang teguh kepada nilainilai<br />
Ketuhanan, berperikemanusiaan<br />
yang adil dan beradab, menjunjung<br />
persatuan Indonesia, dan ditujukan<br />
bagi keadilan sosial bagi seluruh rakyat<br />
Indonesia.<br />
Adapun demokrasi dalam arti<br />
formil, dalam sila keempat mengandung<br />
makna yakni dalam penye-<br />
Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, SH, MH<br />
Kepala Program Doktor dan<br />
Magister Ilmu Hukum Pascasarjana<br />
Universitas Padjadjaran Bandung<br />
lenggaraan demokrasi berlandaskan<br />
pada Permusyawaratan/Perwakilan.<br />
Maknanya, permusyawatan adalah<br />
tempat/wadah, fungsi, prosedur,<br />
proses, dan mekanisme untuk bermusyawarah<br />
dalam menjalankan kedaulatan<br />
rakyat.<br />
Dalam konteks negara yang Bhinneka<br />
Tunggal Ika, maka bermusyawarah<br />
akan mendekatkan pada<br />
kehendak bersama. Artinya, tidak ada<br />
kesewenang-wenangan dari mayoritas<br />
dan tidak ada tindakan tirani dari<br />
minoritas, namun mengutamakan toleransi,<br />
saling memberi dan menerima,<br />
dan kebersamaan menjadi hikmat<br />
menyelenggarakan negara demi kepentingan<br />
rakyat.<br />
Karena permusyawaratan itu bermakna<br />
sebagai wadah, fungsi, dan<br />
proses bermusyawarah, maka pemaknaan<br />
berikutnya digandeng dengan<br />
perwakilan. Perwakilan adalah wujud<br />
dari representative democracy. Artinya,<br />
ada lembaga yang mewakili rakyat<br />
dalam menyelenggarakan negara.<br />
Lembaga yang mewakili rakyat itu<br />
disebut parlemen. Dengan demikian,<br />
apabila bangsa Indonesia memang<br />
memerlukan penamaan dari sistem<br />
demokrasi Indonesia maka dapat<br />
disebut sebagai sistem demokrasi<br />
Permusyawaratan/Perwakilan.<br />
Sistem Permusyawaratan/<br />
Perwakilan<br />
Dalam kajian akademik seringkali<br />
diperdebatkan apakah Negara Indonesia<br />
dalam keparlemenan itu menganut<br />
sistem unicameral (satu kamar),<br />
bicameral (dua kamar), tricameral<br />
(tiga kamar). Oleh para Pendiri Negara<br />
Indonesia sudah diciptakan<br />
sistem demokrasi yang benar-benar<br />
khas Indonesia adalah demokrasi Permusyawaratan/Perwakilan.<br />
Basis utama dari sistem demokrasi<br />
Permusyawaratan/Perwakilan adalah<br />
Persatuan Indonesia dan Bhinneka<br />
Tunggal Ika. Permusyawaratan sebagai<br />
wadah diciptakan lembaga negara<br />
yang bernama Majelis Permusyawaratan<br />
Rakyat (MPR). Kehadiran<br />
lembaga MPR supaya seluruh rakyat<br />
Indonesia yang beraneka ragam akan<br />
mempunyai wakil dalam Majelis. Intinya,<br />
MPR merupakan wadah yang berfungsi<br />
mewujudkan Bhinneka Tunggal<br />
Ika dalam menyelenggarakan negara,<br />
dengan mengutamakan prinsip perbedaan<br />
dalam kesatuan dan kesatuan<br />
dalam perbedaan.<br />
Untuk itu hemat saya, MPR itu<br />
merupakan lembaga perwakilan<br />
rakyat tertinggi. Karena MPR merupakan<br />
lembaga perwakilan rakyat<br />
tertinggi maka harus diisi oleh orangorang<br />
atas pilihan rakyat, yang dapat<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
SUMBANG SARAN<br />
mencerminkan kebhinnekaan yang<br />
ada pada rakyat Indonesia.<br />
Supaya MPR benar-benar mencerminkan<br />
Bhinneka Tunggal Ika, unsur-unsur<br />
yang ada di MPR harus<br />
mencerminkan kebhinnekaan dengan<br />
ada unsur dari partai politik (Parpol),<br />
Daerah, utusan Golongan, juga<br />
Perseorangan.<br />
Perlu dijelaskan yang dimaksud<br />
dengan unsur partai politik adalah<br />
orang yang duduk di MPR itu benarbenar<br />
mewakili partai politik. Pengisiannya<br />
melalui pemilihan umum<br />
(pemilu) khusus untuk MPR. Dalam<br />
Pemilu tersebut ada orang-orang<br />
Parpol yang hanya duduk di <strong>DPR</strong>. Dengan<br />
demikian, anggota <strong>DPR</strong> tidak<br />
merangkap sebagai anggota MPR,<br />
meski pengisiannya bersamaan dalam<br />
Pemilu.<br />
Unsur dari Daerah adalah orangorang<br />
yang duduk di MPR yang<br />
benar-benar mewakili Pemerintah<br />
Daerah. Cara pengisiannya dipilih oleh<br />
<strong>DPR</strong>D Propinsi atas usulan gubernur.<br />
Jumlah orang dari unsur Daerah untuk<br />
masing-masing propinsi adalah 3<br />
orang. Berbeda dengan DPD (Dewan<br />
Perwakilan Daerah) yang dipilih secara<br />
langsung melalui Pemilu untuk<br />
mewakili Daerah.<br />
Unsur utusan Golongan adalah<br />
tokoh-tokoh yang mewakili organisasi<br />
masyarakat yang terkemuka, dan<br />
tokoh-tokoh nasional yang benarbenar<br />
sudah diakui reputasinya. Utusan<br />
Golongan ini dipilih oleh <strong>DPR</strong> dan<br />
DPD atas usulan dari Presiden.<br />
Unsur Perseorangan adalah orangorang<br />
yang independen, bukan anggota<br />
parpol. Pengisian orang-orang<br />
dari unsur perseorangan tersebut<br />
dilakukan melalui pemilu, dan tata<br />
caranya sama seperti ketika pemilihan<br />
anggota DPD sekarang ini. Jumlah<br />
anggota MPR dari unsur perseorangan<br />
adalah 5 orang dipilih dari masing-masing<br />
propinsi.<br />
Sedangkan Pemilu itu adalah untuk<br />
memilih anggota MPR dari unsur<br />
parpol dan unsur perseorangan, <strong>DPR</strong><br />
dari parpol, <strong>DPR</strong>D juga dari parpol,<br />
dan DPD dari perseorangan. De-<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />
ngan demikian keanggotaan MPR itu<br />
benar-benar mencerminkan kebhinnekaan,<br />
mewakili parpol, mewakili<br />
daerah, utusan daerah, golongan, dan<br />
orang perseorangan. Anggota <strong>DPR</strong><br />
dan anggota DPD tidak merangkap<br />
menjadi anggota MPR.<br />
Dengan komposisi MPR demikian,<br />
tugas dan wewenang selain yang telah<br />
diatur dalam UUD 1945 pasca amandemen,<br />
juga ditambah wewenangnya<br />
antara lain, menetapkan GBHN dan<br />
melakukan pengawasan terhadap<br />
Presiden, <strong>DPR</strong>, dan DPD. MPR perlu<br />
diberikan menetapkan GBHN karena<br />
untuk menjaga kesinambungan pembangunan.<br />
Dalam UUD 1945 yang berlaku<br />
sekarang ini, <strong>DPR</strong>/DPD tidak ada yang<br />
mengawasi. Namun ke depan perlu<br />
MPR diberikan wewenang mengawasi<br />
selain terhadap Presiden dalam<br />
melaksanakan UUD 1945 dan GBHN,<br />
juga <strong>DPR</strong> dan DPD dalam melaksanakan<br />
UUD 1945 dan GBHN.<br />
Berkaitan dengan keberadaan<br />
DPD ada dua kemungkinan. Pertama,<br />
diperkuat kedudukan, fungsi, dan wewenangnya<br />
kurang lebih setara dengan<br />
<strong>DPR</strong>, atau kemungkinan kedua<br />
dibubarkan atau dihapuskan.<br />
Apabila diperkuat, DPD akan banyak<br />
berperan secara signifikan dalam<br />
memperjuangkan aspirasi daerah<br />
dalam pembentukan UU dan APBN.<br />
Namun, apabila tidak diperkuat dalam<br />
pengertian sama seperti keadaan DPD<br />
sekarang ini sebaiknya dihapus saja<br />
keberadaan DPD dalam struktur ketatanegaraan<br />
Indonesia. Dan, sebagai<br />
pengganti yang mewakili aspirasi<br />
Daerah adalah utusan Daerah yang<br />
berada di MPR berasal dari unsur<br />
Daerah.<br />
Perubahan UU No. 27/2009<br />
tentang MD3<br />
Dari pengaturan kelembagaan ketatanegaraan<br />
berdasarkan UUD 1945,<br />
menurut hemat saya, akan melahirkan<br />
tiga undang-undang, yaitu UU tentang<br />
<strong>DPR</strong> dan DPD, UU tentang <strong>DPR</strong>D<br />
yang bersatu dengan UU tentang<br />
Pemerintah Daerah. UU tentang MPR<br />
harus tersendiri (sui generis) tidak<br />
digabung dengan <strong>DPR</strong>, DPD, dan apalagi<br />
dengan <strong>DPR</strong>D, karena MPR diposisikan<br />
sebagai lembaga negara yang<br />
“tertinggi”, yang berwenang membentuk/mengubah<br />
UUD, mengangkat<br />
dan memberhentikan Presiden dan<br />
Wakil Presiden, serta tambahan kewenangan<br />
baru antara lain menetapkan<br />
GBHN, mengawasi lembaga-lembaga<br />
negara yang ada “dibawahnya”,<br />
dan menyelesaikan sengketa antar<br />
lembaga negara.<br />
UU tentang MPR mengatur secara<br />
lengkap tentang kedudukan, tugas,<br />
fungsi, wewenang, cara pengisian dan<br />
pemberhentian keanggotaan, hubungan<br />
dengan lembaga-lembaga negara<br />
lain, dan hal-hal lain yang lazim<br />
mengatur kelembagaan.<br />
UU tentang MPR tidak digabung<br />
dengan lembaga <strong>DPR</strong>, DPD, <strong>DPR</strong>D<br />
karena lembaga MPR benar-benar<br />
merupakan cerminan dari sistem<br />
demokrasi Permusyawaratan/Perwakilan,<br />
Bhinneka Tunggal Ika, Persatuan<br />
Indonesia.<br />
MPR bersidang paling kurang setahun<br />
sekali. Watak dan ciri sidangsidang<br />
MPR, senantiasa begitu luas<br />
dan terbuka melibatkan semua komponen<br />
bangsa, tokoh-tokoh yang<br />
berwibawa, dan perdebatan serta argumentasi<br />
yang begitu berkualitas,<br />
semuanya diabdikan demi kemaslahatan<br />
dan kemajuan bangsa.<br />
Karena itu, MPR jangan dikerdilkan<br />
atau bahkan seolah menjadi lembaga<br />
“pelengkap penderita”, antara ada dan<br />
tiada. Sungguh disayangkan sekarang<br />
ini, MPR menjadi jauh dari pelibatan<br />
rakyat melalui tokoh-tokohnya, dan<br />
jauh dari nilai-nilai Permusyawaratan/<br />
Perwakilan.<br />
Hal itu tentunya telah menafikan<br />
dan menegasikan sejarah perjuangan<br />
bangsa, pemikiran yang genius<br />
dari founding fathers Indonesia, sikap<br />
yang menjauh dari prinsip dasar<br />
sistem demokrasi Permusyawaratan/<br />
Perwakilan.<br />
Diciptakannya MPR oleh founding<br />
fathers Indonesia , dalam kaca mata<br />
perkembangan demokrasi di dunia,
menurut hemat saya, merupakan<br />
temuan yang sangat luar biasa, meskipun<br />
dalam perjalanannya pernah disalahgunakan<br />
oleh penguasa Orde<br />
Lama maupun Orde Baru. Karena itu,<br />
Negara wajib menempatkan kembali<br />
harkat, derajat, dan martabat MPR sebagai<br />
lembaga negara yang memang<br />
berjiwa Indonesia.<br />
Dengan menempatkan MPR sebagai<br />
lembaga “penjelmaan rakyat”,<br />
dalam arti wadah, jiwa, pikiran dan<br />
karsa rakyat, kekisruhan, friksi, dan<br />
kegaduhan di antara lembaga-lembaga<br />
negara dapat “diselesaikan” melalui<br />
forum MPR, tempat bermusyawarah,<br />
mendekatkan hal yang berbeda, dan<br />
mencari solusi dan jalan keluar yang<br />
terbaik bagi kepentingan bangsa dan<br />
Negara. Hal ini juga merupakan suatu<br />
ajang pembuktian bagi para negarawan<br />
yang senantiasa berorientasi<br />
bagi kemaslahatan rakyat.<br />
Sekarang ini, ketika terjadi “konflik”<br />
antar lembaga negara seolah<br />
penyelesaiannya diambil alih oleh<br />
elit-elit politik dengan menggunakan<br />
forum-forum nonformal dan di media<br />
massa. Hasilnya, masyarakat dibuat<br />
bingung, terjadi pro kontra yang tidak<br />
rasional dan tidak produktif. Bahkan,<br />
kemudian masalahnya menjadi<br />
berkembang ke penghujatan pribadi<br />
atau kelompok, dan terkadang terkesan<br />
tidak serius (lebih sekedar hiburan<br />
politik), sangat tidak mencerahkan<br />
dan tidak mencerdaskan.<br />
Karena itu, MPR perlu didukung<br />
oleh supporting system (sekretariat<br />
dan keahlian) yang memadai dan<br />
handal. MPR bukan merupakan joint<br />
session antara <strong>DPR</strong> dan DPD lagi.<br />
Sidang-sidang MPR adalah sidangsidang<br />
yang memberikan kejelasan<br />
dan kepastian arah dan langkah yang<br />
akan membawa Indonesia ke keadaan<br />
yang mencerdaskan kehidupan bangsa,<br />
memajukan kesejahteraan umum,<br />
melindungi bangsa dan tumpah darah<br />
Indonesia, dan ikut serta dalam<br />
perdamaian dunia.<br />
Dengan demikian, semua lembaga-lembaga<br />
negara “di bawah” MPR<br />
yang melaksanakan misi tersebut<br />
senantiasa diawasi oleh MPR agar tidak<br />
keluar dari jalurnya, atau terjadi<br />
pembiaran, pengabaian atau melalaikannya.<br />
MPR akan dengan sigap dan<br />
responsif secara proporsional untuk<br />
mengingatkannya.<br />
UU yang mengatur <strong>DPR</strong> dan DPD<br />
dibuat tersendiri karena kedua lembaga<br />
tersebut ditempatkan sebagai<br />
“parlemen harian” yang tugas dan kewajiban<br />
utamanya membuat UU dan<br />
menetapkan APBN.<br />
Sedangkan pengaturan mengenai<br />
<strong>DPR</strong>D harus diselaraskan dengan pengaturan<br />
Pemerintah Daerah. Karena<br />
keberadaan <strong>DPR</strong>D merupakan bagian<br />
dari Pemerintahan Daerah seperti dinyatakan<br />
dalam Bab VI Pemerintahan<br />
Daerah UUD 1945.<br />
Meskipun keberadaan <strong>DPR</strong>D diatur<br />
dalam UU tentang Pemerintahan<br />
Daerah, namun kedudukan, fungsi,<br />
dan kewenangan <strong>DPR</strong>D harus benarbenar<br />
diposisikan sebagai lembaga<br />
parlemen daerah, yang memiliki kewenangan<br />
dan fungsi signifikan dalam<br />
pembentukan Perda, APBD, dan pengawasan.<br />
Pengaturan <strong>DPR</strong>D harus<br />
diatur lengkap dengan UU tentang<br />
Pemerintahan Daerah, dan sedikit kemungkinan<br />
(hal-hal yang sangat teknis<br />
saja) porsi yang diatur dalam PP<br />
dan Permendagri. Pemerintah melalui<br />
PP dan Permendagri tidak boleh mengatur<br />
lembaga <strong>DPR</strong>D yang berakibat<br />
“pelemahan” kedudukan dan fungsi<br />
<strong>DPR</strong>D.<br />
Hal mengenai materi muatan<br />
UU yang mengatur MPR, <strong>DPR</strong>, DPD,<br />
<strong>DPR</strong>D tidak terlalu rigid dan mengatur<br />
hal-hal teknis. Hal-hal teknis keparlemenan<br />
dapat diatur dalam tata tertib<br />
dari masing-masing lembaga negara.<br />
Hal yang diatur terlampau teknis<br />
akan menyulitkan dalam membangun<br />
dinamika dan sikap responsiveness<br />
dari lembaga tersebut sebagai wakil<br />
rakyat.<br />
Khusus mengenai DPD apabila<br />
benar-benar akan diperkuat kedudukan,<br />
fungsi, dan wewenangnya maka<br />
dalam UU tentang <strong>DPR</strong> dan DPD<br />
perlu dilakukan sharing of power dengan<br />
<strong>DPR</strong>. Meskipun UUD 1945 tidak<br />
mengeksplisitkan peran yang signifikan<br />
DPD dalam pembentukan UU,<br />
APBN, dan pengawasan, namun apabila<br />
<strong>DPR</strong> “rela” berbagi dengan DPD<br />
merupakan hal yang sangat positif<br />
bagi penyelenggaraan Negara.<br />
Menurut hemat saya, meskipun<br />
<strong>DPR</strong> rela berbagi kekuasan dengan<br />
DPD, sesungguhnya tidak akan<br />
mengurangi kekuasaan <strong>DPR</strong>. Justru<br />
manfaatnya, <strong>DPR</strong> memiliki mitra yang<br />
tangguh untuk membentuk UU dan<br />
APBN.<br />
Namun apabila ternyata <strong>DPR</strong> enggan<br />
untuk berbagi kekuasaan dengan<br />
DPD, dan kekuasaan DPD sama seperti<br />
sekarang ini, sebaiknya keberadaan<br />
DPD dihapuskan saja dalam struktur<br />
organisasi ketatanegaraan Indonesia.<br />
Karena apabila DPD tidak diberikan<br />
kewenangan yang signifikan dalam<br />
membentuk UU, APBN, dan pengawasan<br />
akan terjadi kemubadziran<br />
saja.***<br />
Pertemuan para Pimpinan Lembaga Tingggi Negara di Gedung Nusantara V <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong><br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
SUMBANG PENGAWASAN SARAN<br />
Masalah BBM :<br />
Pemerintah Harus Hati-hati<br />
Mengambil Keputusan<br />
Yang Sensitif<br />
Beberapa waktu lalu, masyarakat<br />
kita dicemaskan dengan<br />
rencana pemerintah menaikkan<br />
harga Bahan Bakar Minyak (BBM)<br />
bersubsidi. Pasalnya masyarakat khawatir<br />
kenaikan harga BBM biasanya<br />
berdampak pada kenaikan harga<br />
kebutuhan pokok dan transportasi.<br />
Pemerintah dinilai tidak peduli pada<br />
kesulitan sebagian masyarakat yang<br />
berpenghasilan rendah.<br />
Sementara pemerintah berpendapat<br />
dengan menaikkan harga<br />
BBM merupakan suatu kebijakan yang<br />
harus dilaksanakan, mengingat harga<br />
minyak dunia sudah sangat tinggi,<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />
sehingga bila tidak dinaikkan, maka<br />
subsidi BBM akan memberatkan<br />
APBN dan dapat mengancam perekonomian<br />
nasional.<br />
Berbagai aksi penolakan kenaikan<br />
BBM pun bermunculan di sejumlah<br />
kota besar di Indonesia, mulai dari<br />
mahasiswa, buruh, sampai beberapa<br />
Kepala Daerah pun turun ke jalan menolak<br />
kebijakan pemerintah tersebut.<br />
Mereka menolak pemerintah menaikkan<br />
harga BBM dari Rp 4.500,-/liter<br />
menjadi Rp 6.000,-/liter.<br />
Rencana pemerintah menaikkan<br />
harga BBM bersubsidi mendapat dukungan<br />
dari lima partai koalasi di <strong>DPR</strong><br />
Internet/ yendi-bengkulu.blogspot.com<br />
antara lain Demokrat, Golkar, PAN,<br />
PPP dan PKB. Sementara saat itu sikap<br />
PKS masih belum jelas. Dibarisan yang<br />
menolak kebijakan pemerintah ada<br />
PDIP, Gerindra dan Hanura.<br />
Rapat-rapat Komisi <strong>DPR</strong> dengan<br />
pemerintah telah melakukan pembahasan<br />
secara intens mengenai masalah<br />
BBM bersubsidi, dan <strong>DPR</strong> telah<br />
memberikan rekomendasi terhadap<br />
langkah-langkah yang perlu diambil<br />
pemerintah.<br />
Pemerintah juga diminta mempersiapkan<br />
Program Kerja Tim Koordinasi<br />
Penanggulangan, Penyalahgunaan,<br />
Penyediaan dan Pendistribusian BBM
(TKP4BBM) dalam rangka mengawal<br />
penggunaan BBM agar tepat sasaran.<br />
Rapat Badan Anggaran <strong>DPR</strong> yang<br />
membahas APBN Perubahan 2012<br />
termasuk didalamnya pembahasan<br />
kenaikan BBM berjalan sangat alot<br />
dan sempat diwarnai aksi walkout<br />
dari Fraksi Gerindra dan Hanura.<br />
Badan Anggaran <strong>DPR</strong> gagal mencapai<br />
kesepakatan dan memutuskan membawa<br />
soal kenaikan harga BBM ke<br />
dalam Rapat Paripurna <strong>DPR</strong>.<br />
Rapat Paripurna <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> (30/3)<br />
yang berlangsung hingga dini hari<br />
menempuh jalan pemungutan suara<br />
(voting) secara terbuka untuk pengambilan<br />
keputusan.<br />
Dalam mekanisme ini, anggota<br />
fraksi <strong>DPR</strong> dihadapkan pada dua opsi<br />
pilihan. Opsi pertama, Pasal 7 ayat 6<br />
RUU tentang Perubahan UU Nomor<br />
22 Tahun 2011 tentang APBN Tahun<br />
Anggaran 2012 tetap, tidak berubah.<br />
Artinya tak ada kenaikan BBM.<br />
Opsi kedua, menambahkan ayat<br />
6 butir a yang memberi kesempatan<br />
kepada pemerintah untuk menaikkan<br />
harga BBM, namun dengan persyaratan.<br />
Bilamana harga minyak<br />
mentah rata-rata Indonesia dalam kurun<br />
waktu berjalan yaitu enam bulan<br />
mengalami kenaikan atau penurunan<br />
lebih dari 15 persen, maka pemerintah<br />
diberikan kewenangan untuk melakukan<br />
penyesuaian harga BBM bersubsidi<br />
dan kebijakan pendukungnya.<br />
Hasilnya, mayoritas anggota fraksi<br />
<strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> menyetujui opsi kedua dengan<br />
jumlah 356 suara. Sementara hanya<br />
82 anggota yang menyetujui opsi<br />
pertama. Jumlah dukungan terhadap<br />
opsi pertama cukup kecil karena hanya<br />
terdiri dari Fraksi PKS dan Gerindra.<br />
Dua fraksi yang konsisten sejak<br />
awal menolak memutuskan untuk<br />
walk-out, yaitu PDIP dan Hanura.<br />
Sebagai hasil akhir, Rapat Paripurna<br />
<strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> memutuskan bahwa kenaikan<br />
harga BBM yang rencananya berlaku<br />
1 April 2012, gagal dilaksanakan<br />
dan <strong>DPR</strong> memutuskan tambahan<br />
Pasal 7 ayat 6a pada UU Nomor 22<br />
Tahun 2011 tentang APBN 2012. Intinya,<br />
pemerintah baru boleh mengubah<br />
harga BBM jika harga rata-rata<br />
minyak mentah Indonesia (Indonesia<br />
Crude Price/ICP) mengalami perubahan<br />
sebesar 15 persen selama enam<br />
bulan.<br />
Keputusan tersebut menjadi sebuah<br />
antiklimaks baik bagi pemerintah<br />
yang sudah bersiap-siap menaikkan<br />
harga BBM, maupun bagi<br />
partai oposisi dan para demonstran<br />
yang menolak pilihan kenaikan BBM.<br />
Meskipun harga BBM tidak jadi naik,<br />
namun tetap terbuka kemungkinan<br />
sewaktu-waktu harga BBM dinaikkan.<br />
Pada dasarnya semua sepakat<br />
bahwa pemerintah berkewajiban<br />
menjamin kesejahteraan rakyat dan<br />
menetapkan kebijakan-kebijakan<br />
yang menjamin terciptanya kesejahteraan<br />
masyarakat secara keseluruhan.<br />
Namun kita pun setuju bahwa<br />
subsidi yang diberikan pemerintah<br />
harus tepat sasaran kepada sektor<br />
dan pihak yang benar-benar membutuhkan.<br />
Subsidi yang tidak tepat<br />
hanya akan mengakibatkan pemborosan<br />
dan menghambat pembangunan<br />
nasional.<br />
Saat ini yang dibutuhkan adalah<br />
kearifan semua pihak. Bagi pihak<br />
yang menentang kebijakan kenaikan<br />
harga BBM, diharapkan dapat memahami<br />
tujuan kenaikan harga tersebut<br />
adalah untuk mengurangi subsidi<br />
yang tidak tepat sasaran menjadi subsidi<br />
yang ditujukan kepada masyarakat<br />
berpenghasilan rendah.<br />
Bagi pemerintah sendiri, hendaknya<br />
dipahami bahwa kritik atas rencana<br />
kenaikan harga BBM tersebut<br />
bukan dimaksudkan untuk membenci<br />
pemerintah, tetapi sebagai suatu alat<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. | Edisi XLII, 91 2012 TH. XLII, | 2012 |<br />
Internet/ batursajalur.blogspot.com
PENGAWASAN<br />
kontrol terhadap fungsi pemerintahan<br />
yang sebenarnya, yaitu melindungi<br />
rakyat seluruhnya.<br />
Kita semua yakin, seluruh rakyat<br />
akan mendukung kenaikan harga<br />
BBM bila pengurangan subsidi tersebut<br />
dapat direalisasikan kepada sektor-sektor<br />
yang benar-benar bermanfaat<br />
bagi kehidupan masyarakat<br />
luas, misalnya mewujudkan sekolah<br />
dan fasilitas kesehatan gratis untuk<br />
rakyat miskin, pembangunan infrastruktur<br />
di daerah-daerah yang tertinggal,<br />
daerah perbatasan, sehingga<br />
dapat mewujudkan pemerataan kesempatan<br />
dalam perekonomian dan<br />
penghidupan yang layak bagi seluruh<br />
warga negara.<br />
Pengalihan subsidi BBM hendaknya<br />
tidak diberikan dalam bentuk<br />
Bantuan Langsung Tunai (BLT),<br />
karena hanya bersifat sementara dan<br />
tidak mendidik, bahkan cenderung<br />
mendidik masyarakat memiliki mental<br />
pengemis.<br />
Anggota Komisi VII <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> Daryatmo<br />
Mardiyanto menyatakan se-<br />
Anggota Komisi VII <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> Daryatmo Mardiyanto<br />
0 | PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />
belum dilakukan revisi terhadap UU<br />
APBN Tahun Anggaran 2012, UU yang<br />
berlaku adalah UU APBN yang sudah<br />
disetujui pada Oktober 2011 dimana<br />
pada pasal 7 ayat 6 dinyatakan bahwa<br />
harga BBM tidak akan dinaikkan.<br />
“Jika dinaikkan, maka pemerintah<br />
melanggar UU dan kami (<strong>DPR</strong>) berkepentingan<br />
untuk mengingatkan. Kami<br />
akan berusaha mencegah pemerintah,”<br />
ujar Daryatmo.<br />
Daryatmo menyatakan bahwa<br />
masalah BBM menyangkut hajat<br />
hidup orang banyak, oleh karenanya<br />
pemerintah diminta untuk berhatihati<br />
dalam mengambil keputusan<br />
yang berkaitan dengan masalah<br />
tersebut. “Masalah BBM harus menjadi<br />
perhatian kita sehingga sensitifitas<br />
yang sangat tinggi terhadap policy<br />
dalam budget yang kurang baik harus<br />
menjadi perhatian pemerintah agar<br />
berhati-hati melakukan keputusankeputusan<br />
yang sensitif,” terang politisi<br />
dari Partai Demokrasi Indonesia<br />
Perjuangan tersebut.<br />
Karena setiap kenaikan BBM ham-<br />
pir dipastikan berimbas kepada kenaikan-kenaikan<br />
harga lainnya. Dan<br />
indikasi hal tersebut memang menunjukkan<br />
bahwa sebelum kenaikan harga<br />
BBM sudah terjadi kenaikan harga<br />
bahan baku dan sembako lainnya. “Ini<br />
menunjukkan bahwa kenaikan harga<br />
BBM menjadi elemen sentral bagi terjadinya<br />
kegiatan ekonomi di tingkat<br />
masyarakat yang saling terkait dan<br />
berantai, atau disebut dengan efek<br />
domino,” papar Daryatmo.<br />
Daryatmo tidak sependapat jika<br />
dalam menentukan harga minyak<br />
dalam negeri berdasarkan pada<br />
pendekatan pasar atau diserahkan<br />
kepada mekanisme pasar.<br />
Berkaitan dengan rencana pemerintah<br />
untuk melakukan pembatasan<br />
BBM, Daryatmo mempertanyakan,<br />
“Apakah kita yakin hal itu tidak akan<br />
berpengaruh terhadap roda perekonomian<br />
nasional dan masyarakat?,”<br />
tegasnya.<br />
Daryatmo menjelaskan kata pembatasan<br />
mengkonotasikan seolaholah<br />
BBM itu hanya satu-satunya<br />
dalam kehidupan kita, karena masih<br />
ada bahan bakar lain seperti gas<br />
atau energi terbarukan misalnya panas<br />
bumi atau bio ethanol dan bio<br />
gas. Saat ini memang 80% didominasi<br />
oleh minyak.<br />
Namun menurut Daryatmo jika<br />
pembatasan dalam pengertian penghematan,<br />
maka akan membatasi kegiatan<br />
mesin penggerak yang akan<br />
menimbulkan gejolak di sisi lain. “Dan<br />
suply and demand menjadi hukum<br />
ekonomi, volume dibatasi sementara<br />
kebutuhan masih sama maka akan<br />
terjadi kenaikan harga,” paparnya.<br />
Jika subsidi dianggap tidak tepat<br />
sasaran, Daryatmo tidak sependapat.<br />
Menurut survey yang dilakukan fraksinya<br />
(Fraksi PDIP) selama satu bulan<br />
pada Januari 2011 di Jabodetabek tidak<br />
menunjukkan demikian.<br />
“Sebagian besar subsidi BBM dinikmati<br />
masyarakat kelompok bawah.<br />
Survey yang kami lakukan saat membahas<br />
pembatasan BBM yang diusulkan<br />
oleh Pemerintah, hasilnya total<br />
premium yang dikonsumsi oleh rumah
tangga, 64% dikonsumsi oleh sepeda<br />
motor sedangkan untuk kendaraan<br />
mobil hanya 36%,” jelas Daryatmo.<br />
Mengingat sebagian besar pemilik<br />
sepeda motor adalah masyarakat<br />
menengah ke bawah, maka selama<br />
ini sebagian besar subsidi premium<br />
(64%) dikonsumsi oleh kelompok masyarakat<br />
menengah ke bawah dan bukan<br />
oleh kelompok masyarakat atas.<br />
Kemudian konsumsi premium<br />
bagi kendaraan mobil 36%, namun<br />
dalam gambaran pola kepemilikan<br />
atau pembelian kendaraan di Jabodetabek<br />
51% adalah dengan sistem<br />
kredit, 48% pembelian tunai dan 1%<br />
merupakan hibah.<br />
Dari prosentase tersebut, 51%<br />
yang membeli mobil dengan sistem<br />
kredit tidak bisa dikategorikan kelompok<br />
atas karena tidak bisa melakukan<br />
saving (menabung). “Cara mengkredit<br />
kendaraan mobil tersebut sebagai<br />
cara mereka saving (menabung).<br />
Ini menggambarkan bahwa subsidi<br />
dinikmati oleh kelompok masyarakat<br />
bawah,” ujar anggota <strong>DPR</strong> dari Daerah<br />
Pemilihan Jawa Tengah II.<br />
“Sedangkan dari data Survei Sosial<br />
Ekonomi Nasional (Susenas) BPS<br />
menunjukkan, ternyata 65% bensin<br />
dikonsumsi oleh kelompok ma-<br />
syarakat menengah dan bawah yang<br />
pendapatan per kapitanya kurang dari<br />
4 dollar, termasuk masyarakat miskin<br />
yang pendapatan per kapitanya<br />
kurang dari 2 dollar. Maka hasil survei<br />
membantah anggapan bahwa subsidi<br />
tidak tepat sasaran,” tambahnya.<br />
Saat ini yang terpenting menurut<br />
Daryatmo fungsi negara adalah<br />
Demo menolak kenaikan BBM di depan Gedung <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong><br />
melindungi seluruh tumpah darah<br />
dan segenap bangsa Indonesia. Oleh<br />
karena itu, maka subsidi harus tetap<br />
diteruskan karena merupakan pemberian<br />
perlindungan kepada kelompok<br />
masyarakat untuk bisa membantu<br />
dirinya sendiri sebelum dilepas untuk<br />
bisa berkompetisi secara penuh dengan<br />
yang lainnya. (sc)<br />
Antrian pengisian bensin disalahsatu SPBU di Jakarta menjelang kenaikan BBM<br />
Internet/ kaltengpos.web.id Internet/ flickr.com<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 | 1
Internet/ gambaronline.com<br />
PENGAWASAN<br />
Mencari Format Terbaik<br />
Pelaksanaan Haji<br />
Perbaikan penyelenggaraan rukun<br />
Islam kelima senantiasa<br />
menjadi harapan besar rakyat<br />
Indonesia. Betapa tidak! Meski memiliki<br />
calon haji terbesar di dunia dan<br />
mengirimkan sekitar 200 ribu orang<br />
lebih jemaah per tahun, selalu saja<br />
ada persoalan krusial dalam pelaksanaan<br />
penyelenggaraan haji.<br />
Maka wajar apabila belum lama ini,<br />
<strong>DPR</strong> dan Komisi Pemberantasan Korupsi<br />
(KPK) mengintensifkan pengawasan<br />
operasionalisasi haji. Terakhir,<br />
kepada parlemen, KPK membeberkan<br />
fakta bahwa telah terjadi pemborosan<br />
biaya penyelenggaraan ibadah haji<br />
atau BPIH (dulu ONH atau ongkos<br />
naik haji) sebesar 253,6 juta dolar AS<br />
atau Rp 2,3 triliun (kurs Rp 9.200/do-<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />
lar AS).<br />
Inefisiensi tersebut terjadi pada<br />
tahun 2007-2009. Salah satu penyebab<br />
pemborosan adalah penggunaan<br />
model sewa carter pesawat (bukan<br />
pembelian tiket) dan mekanisme<br />
penunjukan langsung (bukan tender)<br />
yang tak sesuai Keputusan Presiden<br />
Nomor 80 Tahun 2003. KPK juga<br />
menemukan penggunaan biaya tak<br />
langsung (indirect cost) yang tidak<br />
menunjang pelayanan terhadap jemaah.<br />
Bahkan KPK secara tegas mengusulkan<br />
moratorium pendaftaran haji.<br />
Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas<br />
menyatakan, manajemen pengelolaan<br />
keuangan haji saat ini berpotensi korupsi.<br />
Hingga Februari 2012 saja jum-<br />
lah pendaftar calon haji sudah mencapai<br />
1,4 juta orang dengan jumlah<br />
setoran awal mencapai Rp 38 triliun.<br />
Dalam kondisi ini, Ketua Fraksi<br />
Partai Golkar (FPG) Setya Novanto<br />
berpandangan perlu dilakukan pemisahan<br />
antara regulator dan operator,<br />
untuk menjamin transparansi penyelenggaraan<br />
haji juga diperlukan<br />
Kantor Akuntan Publik independen<br />
guna mengaudit keuangan pelaksanaan<br />
perjalanan ibadah umat Muslim<br />
tersebut.<br />
Menurut Novanto, dalam penyelenggaraan<br />
ibadah haji, Kementerian<br />
Agama seharusnya bertindak sebagai<br />
regulator yang berfungsi sebagai<br />
penenentu kebijakan. Sedangkan sebagai<br />
pelaksana atau operator adalah
institusi yang terpisah yang diisi oleh<br />
Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan tenaga<br />
profesional.<br />
“Dalam hal ini institusi penyelenggaraan<br />
haji bisa berbentuk badan<br />
yang langsung di bawah Presiden,”<br />
ujarnya pada seminar Membangun<br />
Sistem Penyelenggaraan Ibadah Haji<br />
yang Baik, Profesional dan Amanah<br />
yang diselenggarakan oleh Fraksi Partai<br />
Golkar di Gedung <strong>DPR</strong>/MPR beberapa<br />
waktu lalu.<br />
Novanto mengemukakan dengan<br />
dilakukannya pemisahan itu maka<br />
berbagai kendala haji selama ini bisa<br />
dikurangi. Setya menyebutkan salah<br />
satu persoalan yang dihadapi oleh<br />
jemaah calon haji termasuk masalah<br />
pemondokan.<br />
Ia menambahkan pemondokan jamaah<br />
masih jauh dari Masjidil Haram<br />
dan tidak mungkin ditempuh dengan<br />
jalan kaki sehingga banyak jamaah<br />
yang menggunakan mobil bak terbuka.<br />
Untuk mengatasi masalah pemondokan,<br />
Novanto mengatakan perlu<br />
dibangun sebuah pemondokan yang<br />
permanen agar jemaah bisa tenang<br />
beribadah.<br />
Dia menceritakan pengalamannya<br />
ketika mendapati sebagai jemaah<br />
calon haji tidak bisa ditampung karena<br />
kurangnya tempat pemondokan.<br />
Padahal, kata dia dana haji yang terkumpul<br />
hingga saat ini telah mencapai<br />
kurang lebih sekitar Rp35,3 triliun.<br />
“Besar dana haji yang ada saat ini<br />
belum menyentuh perbaikan pelayanan<br />
haji. Padahal jika dana tersebut<br />
digunakan secara maksimal tentunya<br />
dapat mengurangi beban biaya penyelenggaraan<br />
ibadah haji,” ujarnya.<br />
Terkait usulan moratorium pendaftaran<br />
calon haji, <strong>DPR</strong> secara tegas<br />
menolak usulan KPK tersebut. Wakil<br />
Ketua Komisi VIII <strong>DPR</strong>, Radityo Gondo<br />
Gambiro mengatakan pendaftaran<br />
haji dan pengelolaan keuangan merupakan<br />
kegiatan terpisah. Karenanya<br />
usulan moratorium yang dikaitkan<br />
dengan pengelolaan keuangan, dinilai<br />
tidak tepat.<br />
Radityo menjelaskan dalam kunjungan<br />
kerja Komisi VIII ke sejum-<br />
lah daerah, anggota dewan kerap<br />
mendapat pertanyaan mengenai<br />
wacana moraorium pendaftaran haji.<br />
Namun para ulama termasuk yang<br />
tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia<br />
(MUI) di daerah, melontarkan<br />
reaksi keras. “Mereka tak setuju kalau<br />
pendaftaran itu harus dihentikan karena<br />
haji kan urusan syariat,” kata Radityo<br />
kepada wartawan di<br />
Jakarta, Minggu (26/2).<br />
Namun, Radityo<br />
mendesak dilakukannya<br />
perbaikan sistem pe<br />
ngelolaan keuangan dari<br />
setoran awal calon jemaah<br />
haji. Menurutnya,<br />
Badan Pemeriksa Keuangan<br />
(BPK) perlu melakukan<br />
audit investigatif.<br />
“Ini bukan untuk mencari-cari<br />
kesalahan, tapi<br />
bagaimana membangun<br />
sistem yang lebih sehat,”<br />
cetusnya.<br />
Dia pun mengingatkan<br />
perlunya transparansi<br />
dan akuntabilitas pengelolaan<br />
setoran awal calon<br />
jemaah haji itu. Dicontohkannya,<br />
pemerintah<br />
telah menaikkan dana<br />
setoran awal dari Rp 20<br />
Wakil Ketua Komisi VIII <strong>DPR</strong> Radityo Gondo Gambiro<br />
juta menjadi Rp 25 juta. “Ini apakah<br />
demi mengurangi jumlah pendaftar,<br />
atau ada maksud lain?” ucapnya.<br />
Radityo menambahkan, kenaikan<br />
jumlah setoran awal pendaftaran<br />
dapat dilakukan asalkan dibarengi<br />
dengan pengelolaan yang transparans<br />
dan ada akuntabilitas penggunaannya.<br />
“Jadi audit investigasi tetap<br />
Setya Novanto Ketua Fraksi Partai Golkar<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
PENGAWASAN<br />
Seminar membangun penyelenggaraan ibadah haji yang diselenggarakan Fraksi Partai Golkar di<br />
Gedung Nusantara IV beberapa waktu yang lalu.<br />
dilakukan, tapi BPK juga membangun<br />
sistem manajemen keuangan haji<br />
yang lebih baik. Ini tak kalah penting<br />
karena ini tidak hanya dipakai untuk<br />
sekali musim haji,” imbuh dia.<br />
Saat ini Komisi VIII <strong>DPR</strong> juga tengah<br />
mendorong pembentukan<br />
badan khusus sebagai penyelenggara<br />
ibadah haji. Badan itu akan melengkapi<br />
Komisi Pengawas Ibadah Haji<br />
(KPIH) yang dibentuk sesuai amanat<br />
UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang<br />
Penyelenggaraan Ibadah Haji (PIH).<br />
“Selama ini kan yang jadi persoalan<br />
pemerintah menjadi regulator,<br />
pelaksana, sekaligus pengawas. Nanti<br />
lewat revisi UU PIH, kita bentuk badan<br />
khusus penyelenggara haji. Badan<br />
khusus itu bukan berarti swastanisasi,<br />
karena langsung di bawah presiden.,”<br />
pungkasnya.<br />
Hal senada juga diungkapkan<br />
Wakil Ketua Komisi VIII Chairunnisa<br />
yang menolak permintaan KPK untuk<br />
membekukan atau melakukan moratorium<br />
pendaftaran haji. Pihaknya<br />
beralasan, tidak ada yang bisa menolak<br />
masyarakat yang ingin mendaftarkan<br />
diri menjadi calon jamaah haji.<br />
Meski begitu, <strong>DPR</strong> mendukung adanya<br />
pembekuan sementara setoran<br />
awal haji, yang dibebankan kepada<br />
setiap calon jamaah.<br />
Menurut politisi dari Partai Golkar<br />
itu, setoran awal penyelenggaraan<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />
haji itu bisa dibayarkan setelah calon<br />
jamaah mengetahui jadwal keberangkatannya.<br />
“Untuk setoran, nanti dulu.<br />
Tunggu daftar antrian selesai atau<br />
menunggu Kementerian Agama<br />
memberangkatkan calon jamaah yang<br />
telah menyetor dengan jumlah keseluruhan<br />
mencapai Rp 32<br />
triliun itu,” jelas Chairunnisa,<br />
di Gedung <strong>DPR</strong>/MPR,<br />
Jakarta, Selasa (6/3).<br />
Oleh karena itu, Komisi<br />
VIII <strong>DPR</strong> kata dia menargetkan<br />
agar segera menyelesaikan<br />
revisi undangundang<br />
tentang haji, yaitu<br />
UU Nomor 13 Tahun 2008.<br />
Dengan adanya revisi<br />
mengenai setoran awal<br />
ini, diharapkan aturan<br />
mengenai haji dapat lebih<br />
ditegakkan dan tidak<br />
merugikan masyarakat.<br />
“Kami harapkan akhir<br />
tahun ini bisa selesai. Dan<br />
kami juga tetap mengawasi<br />
supaya hal ini tidak<br />
menjadi persoalan terusmenerus<br />
dan merugikan<br />
masyarakat,” imbuh Chairunnisa.<br />
Selain itu, Chairunnisa<br />
menambahkan, selama<br />
ini memang belum ada<br />
aturan yang mengawasi<br />
bunga dana setoran awal ibadah haji<br />
yang diperkirakan mencapai Rp 2 miliar<br />
itu. Karena itu, pihaknya juga akan<br />
memasukkan pengelolaan mengenai<br />
bunga setoran awal penyelenggaraan<br />
ibadah haji kedalam revisi undangundang<br />
ibadah haji. “Pengelolaan<br />
mengenai bunga juga harus diawasi<br />
dan dibuatkan aturan pengelolaannya,”<br />
sebutnya.<br />
Sama halnya dengan Setya Novanto,<br />
anggota Komisi VIII Zulkarnaen<br />
Djabar juga berpandangan agar seluruh<br />
keuangan haji dan penggunaan<br />
dana haji yang saat ini dikelola Kementerian<br />
Agama diaudit oleh Kantor<br />
Akuntan Publik independen. Menurutnya,<br />
audit independen itu diperlukan<br />
guna menciptakan transparansi<br />
dan akuntabilitas pengelolaan keuangan<br />
negara.<br />
“Saya kira, untuk menciptakan<br />
pemerintahan yang bersih dan tidak<br />
menimbulkan praduga tak bersalah,<br />
ada baiknya dana haji yang ada sekarang<br />
ini diaudit oleh Akuntan Publik<br />
Wakil Ketua Komisi VIII <strong>DPR</strong> Chairunnisa
Independen dan selanjutnya hasil audit<br />
tersebut diumumkan kepada publik,”<br />
ujar Zulkaranen.<br />
Dia menjelaskan, pelaksanaan UU<br />
No 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan<br />
Ibadah Haji (PIH) terdapat<br />
banyak kelemahan dan berpotensi<br />
menimbulkan penyimpangan. Penyimpangan<br />
itu antara lain soal pembentukan<br />
Panitia Penyelenggaraan<br />
Haji (PPIH), Biaya Penyelenggara Ibadah<br />
Haji, dan Komisi Pengawas Haji<br />
Indonesia.<br />
“Secara prinsip, perlu dihindari<br />
kebijakan ibadah haji yang mengarah<br />
pada in-efisiensi dan monopoli.<br />
Pemerintah harus mengembangkan<br />
semangat untuk perbaikan mutu<br />
pelayanan dan biaya penyelenggaraan<br />
ibadah haji yang murah,” katanya.<br />
Sedangkan untuk menghindari<br />
daftar tunggu (waiting list), menurut<br />
Zulkarnaen sudah saatnya pemerintah<br />
menerapkan moratorium setoran<br />
awal dana haji. Moratorium yang dimaksudkan,<br />
ujarnya, adalah bahwa<br />
jemaah tetap diperbolehkan mendaftar<br />
tapi tanpa menyetor dana setoran<br />
awal haji.<br />
Meski begitu, Menteri Agama<br />
Suryadharma Ali dibeberapa media<br />
menyatakan akan menguji usul<br />
KPK untuk menghentikan sementara<br />
pendaftaran haji (moratorium). Sebab,<br />
ada kemungkinan ongkos naik haji<br />
akan meningkat jika biaya itu baru<br />
dibayar sebelum jemaah haji berangkat<br />
ke Tanah Suci.<br />
“Akan diuji dulu, termasuk barangkali<br />
untuk menghindari jangan sampai<br />
ada penyelewengan uang satu rupiah<br />
pun di Kementerian. Bisa jadi ada pikiran<br />
seperti itu. Jadi, orang pada saat<br />
mau berangkat saja setornya. Bisa saja<br />
kayak begitu,” kata Suryadharma.<br />
Menurut dia, usul setoran satu<br />
kali saat akan berangkat haji bisa<br />
menimbulkan konsekuensi negatif.<br />
“Konsekuensinya, biaya haji bisa lebih<br />
mahal dan pengaturannya bisa lebih<br />
ruwet. Sekarang, kalau orang setor di<br />
bank, dia tahu kapan harus berangkat,”<br />
dia menjelaskan.<br />
Suryadharma menilai pembayaran<br />
biaya penyelenggaraan ibadah haji<br />
(BPIH) sejak jauh hari, seperti selama<br />
ini dilakukan, dapat menghemat di<br />
sejumlah pos biaya. Sebab, sejumlah<br />
biaya dapat dibayar dari bunga hasil<br />
pengendapan pembayaran biaya itu<br />
di bank. Menurut dia, besaran biaya<br />
haji masih dapat dihitung bersama<br />
<strong>DPR</strong> dan diaudit Badan Pemeriksa<br />
Keuangan (BPK). “Kemudian pelaksanaannya<br />
dikontrol <strong>DPR</strong>, DPD, Inspektur<br />
Jenderal, dan badan-badan<br />
terkait,”katanya.<br />
Menanggapi usul anggota Komisi<br />
VIII <strong>DPR</strong> agar penyelenggaraan haji<br />
dikelola badan khusus di luar Kementerian,<br />
Menteri Agama menilainya<br />
belum tentu lebih baik. Namun usul<br />
tersebut akan dilaksanakan jika Undang-Undang<br />
Penyelenggaraan Haji<br />
diubah. “Pelaksanaan tergantung<br />
undang-undang. Kalau menyatakan<br />
lepas, ya, akan dilepas,” katanya.<br />
Dalam makalahnya, saat menjadi<br />
pembicara dalam seminar yang diselenggarakan<br />
Fraksi Partai Golkar, 5<br />
Maret lalu, Profesor Azyumardi Azra<br />
menjelaskan sepanjang sejarah Penyelenggaraan<br />
Ibadah Haji (PIH) sejak<br />
masa kolonial Belanda sampai sekarang<br />
ini, hampir selalu terjadi penyelewengan<br />
pengelolaan dan pendanaan<br />
oleh pihak-pihak swasta.<br />
Sebab itu, penanggungjawab dan<br />
PIH semestinya tetap berada pada<br />
otoritas dan tangan pemerintah, namun<br />
demikian, masyarakat melalui<br />
mekanisme tertentu dapat mengawasi<br />
PIH oleh pemerintah.<br />
Disini Azyumardi mengingatkan,<br />
perlunya mempertimbangkan tentang<br />
urgensi Komisi Pengawas Haji Indonesia<br />
(KPIH) mengingat telah begitu<br />
banyaknya ‘Komisi’ negara yang tidak<br />
efektif; atau cukup dengan semacam<br />
dewan pengawas saja.<br />
Secara ideal menurut Azyumardi,<br />
PIH dapat berupa sebuah badan khusus/lembaga<br />
negara yang bisa disebut<br />
sebagai Badan Otoritas Ibadah<br />
Haji (BOIH—untuk tidak menggunakan<br />
istilah BPIH, yang akan bisa rancu<br />
dengan Biaya Penyelenggaraan Ibadah<br />
Haji). BOIH atau nama lain yang<br />
Profesor Azyumardi Azra<br />
dipandang lebih pas, yang di bentuk<br />
pemerintah bersama <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> memiliki<br />
hubungan kordinatif, evaluative<br />
dan supervise dengan Kementerian<br />
Agama.<br />
Dalam pidato penutupan Masa<br />
Sidang III, Ketua <strong>DPR</strong> Marzuki Alie<br />
mengatakan terkaitnya adanya sorotan<br />
terhadap tidak transparannya pengelolaan<br />
dana setoran calon jamaah<br />
haji yang dikelola oleh Kementerian<br />
Agama.<br />
Dalam hal ini, jelas Marzuki, kita<br />
tentu setuju apabila dilakukan audit secara<br />
menyeluruh terhadap dana-dana<br />
yang disetorkan oleh calon jamaah<br />
haji. “Dewan juga perlu mempertimbangkan<br />
adanya revisi UU No.13 Tahun<br />
2008 tentang Penyelenggaraan<br />
Ibadah haji dalam rangka cetak biru<br />
mengenai tata kelola penyelenggaraan<br />
ibadah haji yang sehat,”katanya.<br />
Terkait dengan usulan KPK untuk<br />
penghentian sementara pendaftaran<br />
calon jamaah haji yang berpotensi<br />
penyelewengan, Marzuki menjelaskan,<br />
butuh pemikiran dan kajian yang<br />
mendalam agar tidak memunculkan<br />
persoalan baru yang terkesan menghalangi<br />
calon jamaah haji dalam<br />
melakukan ibadahnya.<br />
“Peningkatan kualitas pelayanan<br />
dan manajeman penyelenggaraan haji<br />
dan transparansi pengelolaan dana<br />
tentunya menjadi persoalan utama<br />
yang harus segera diselesaikan,”tega<br />
snya.(nt)<br />
***<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
ANGGARAN<br />
APBN Harus Miliki<br />
Ideologi Kerakyatan<br />
Baru pertama kali dalam sejarah<br />
<strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> melakukan voting terkait<br />
pembahasan anggaran di<br />
APBNP 2012 khususnya mengenai<br />
subsidi BBM. Memang, kita akui BBM<br />
merupakan salah satu variabel yang<br />
benar-benar menyentuh rakyat kecil.<br />
Kenaikan BBM secara langsung maupun<br />
tidak langsung dapat meningkatkan<br />
berbagai macam kebutuhan<br />
bahan pokok.<br />
“Kemampuan <strong>DPR</strong> itu mengubah<br />
dan paling menolak APBN seperti voting<br />
BBM paripurna lalu,itu baru pertama<br />
kali <strong>DPR</strong> melakukan voting terkait<br />
Anggaran Pemerintah,”Ujar Wakil<br />
Ketua Komisi XI <strong>DPR</strong> Harry Azhar Azis<br />
kepada parlementaria melalui telepon<br />
baru-baru ini.<br />
Menurut Harry, indikator di dalam<br />
APBN khususnya mengenai subsidi<br />
bagi orang miskin belum menyentuh<br />
langsung penduduk miskin tersebut.<br />
“seharusnya pemerintah menerapkan<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />
atau melakukan pendataan pernama<br />
atau peralamat dan apa saja yang<br />
diberikan,”katanya.<br />
Pemerintah, lanjutnya, harus memahami<br />
bahwa kekayaan alam dan<br />
sumber daya yang ada diperuntukkan<br />
bagi kepentingan rakyat. “saat<br />
ini pemerintah tidak memiliki standar<br />
yang jelas bahkan selama ini<br />
<strong>DPR</strong> belum pernah mendapatkan<br />
laporan triwulan terkait APBN dan<br />
sebagainya,”paparnya. Bahkan, pengawasan<br />
di <strong>DPR</strong> itu cenderung sporadis<br />
dan tidak terfokus kepada hasil<br />
dari outcomes APBN tersebut.<br />
Dia menambahkan, angka kemiskinan<br />
tersebut tidak berpengaruh<br />
secara langsung dengan APBN. Angka<br />
kemiskinan naik dan turun dengan<br />
sendirinya. “kita tidak pernah sedikitpun<br />
menelusuri belanja pemerintah<br />
dari APBN secara detail,”ujarnya.<br />
Pemerintah, tambahnya, tidak<br />
memiliki ideologi pembelanjaan ru-<br />
piah dimana sebenarnya anggaran<br />
tersebut seharusnya diperuntukkan<br />
untuk kesejahteraan rakyat. “Kedepan<br />
harus disesuaikan ideologi untuk<br />
rakyat Indonesia, dan tetap fokus<br />
terhadap pengentasan kemiskinan di<br />
Indonesia,”katanya.<br />
Menurutnya, persoalan APBN masih<br />
berkutat di daya serap yang masih<br />
rendah bahkan seringkali pekerjaan<br />
banyak dikebut pada akhir tahun. Ini<br />
semua menandakan birokrasi yang<br />
ada masih rendah kinerjanya. “Ini<br />
masih jelak birokrasinya hasilnya,<br />
artinya meskipun sudah remunerasi<br />
diberikan ternyata tidak menunjukkan<br />
produktivitas dari para birokrat<br />
tersebut,”terangnya.<br />
Defisit APBN<br />
Persoalan defisit memang menjadi<br />
masalah yang pelik dihadapi<br />
oleh Indonesia, karena konon paling<br />
besar porsinya setelah anggaran
pendidikan, yang dipatok 20 persen<br />
adalah subsidi energi yang mencapai<br />
15 persen, lebih dari total belanja<br />
negara, bahkan di APBN-P mungkin<br />
mendekati 20 persen.<br />
Ketua Komisi XI <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> Emir Moeis<br />
mengatakan defisit anggaran yang<br />
saat ini masih tercatat dalam APBN<br />
2012 sebesar 1,5 persen, dan tidak<br />
perlu diperlebar hingga 2,3 persen.<br />
Menurut dia, pemerintah masih<br />
memiliki upaya untuk menutup defisit<br />
tersebut, salah satunya dengan<br />
mengoptimalkan penyerapan ang-<br />
Wakil Ketua Komisi XI <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> Harry Azhar Azis<br />
garan. “Sisa anggaran masih banyak,<br />
penyerapan anggaran masih dibawah<br />
90 persen, buat apa defisit,” ujarnya.<br />
Emir mengatakan pemerintah tidak<br />
perlu menambah sumber pembiayaan<br />
melalui penerbitan surat<br />
berharga negara. Namun, lanjut dia,<br />
penerbitan surat berharga negara<br />
boleh dilakukan sebagai upaya untuk<br />
membiayai pembangunan sarana infrastruktur.<br />
“Boleh, tapi jual obligasi<br />
ritel, dari dulu saya bilang kalau jual<br />
obligasi yang langsung ke proyek,”<br />
ujarnya.<br />
Terkait program kompensasi BBM,<br />
lanjut Emir, pemberian kompensasi<br />
bagi masyarakat tidak mampu yang<br />
akan terdampak langsung akibat kenaikan<br />
BBM, tidak berfungsi efektif.<br />
“Bantuan tersebut lebih maksimal di-<br />
gunakan untuk pembangunan di desa,<br />
sehingga masyarakat dapat memanfaatkan<br />
sarana tersebut untuk meningkatkan<br />
kesejahterannya,”katanya.<br />
Ketua Badan Anggaran (Banggar)<br />
Melchias Markus Mekeng mengatakan,<br />
akhirnya Pemerintah dan<br />
<strong>DPR</strong> telah menyepakati defisit anggaran<br />
negara dalam APBN-P 2012 menjadi<br />
Rp 190,1 triliun atau 2,23% PDB.<br />
Melchias menjelaskan membengkaknya<br />
defisit tersebut karena memperhitungkan<br />
selisih antara target<br />
penerimaan negara dan hibah Rp<br />
1.358,2 triliun dan belanja negara Rp<br />
1.548,3 triliun.<br />
Untuk menutup defisit tersebut,<br />
target utang pemerintah dinaikkan Rp<br />
22,6 triliun menjadi Rp 156,16 triliun.<br />
Adapun rinciannya adalah sebagai<br />
berikut: Pinjaman luar negeri awalnya<br />
turun Rp 2,53 triliun menjadi minus<br />
Rp 4,42 triliun, Penerbitan surat berharga<br />
negara (netto) naik Rp 25 triliun<br />
menjadi Rp 159,59 triliun, Pinjaman<br />
dalam negeri (neto) naik Rp 131 miliar<br />
menjadi Rp 991,2 miliar.<br />
Menanggapi defisit, jauh-jauh hari<br />
Presiden SBY bahkan telah menginstruksikan<br />
empat hal pokok untuk<br />
menjaga defisit pada APBNP 2012 ini,<br />
Presiden meminta untuk dilakukan<br />
penghematan energi dilakukan secara<br />
serius di seluruh Tanah Air sehingga<br />
akan dijadikan sebuah gerakan nasional.<br />
Kemudian langkah kedua, Presiden<br />
meminta konversi BBM ke BBG<br />
dipercepat implementasinya. Ketiga,<br />
penerimaan negara harus ditingkatkan<br />
seperti penerimaan pajak dan<br />
usaha tambang. Dan yang keempat<br />
adalah Presiden meminta penghematan<br />
anggaran di kantor Kementerian<br />
dan Lembaga Negara serta pemerintahan<br />
daerah. “Ini semua untuk menjaga<br />
agar defisit tetap terjaga dan tidak<br />
melebihi yang ditetapkan UU.<br />
Presiden juga menegaskan penerimaan<br />
dan pengeluaran APBN harus<br />
tetap dijaga keseimbangannya untuk<br />
menghindari utang baru. “Kita perlu<br />
menjaga rasio utang terhadap PDB<br />
secara sehat di angka 25 persen. Kita<br />
tidak ingin kondisi makro terganggu.<br />
Ini usaha untuk menyelamatkan<br />
ekonomi,”kata Presiden SBY kepada<br />
pers.<br />
***<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />
Internet/ berita8.com
ANGGARAN LEGISLASI<br />
Revisi UU Ormas :<br />
Berdayakan Ormas<br />
lebih produktif,<br />
kontributif, dan tidak<br />
kontradiktif<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />
Internet/ tegoeh.multiply.com
Keberadaan Undang-Undang<br />
Nomor 8 Tahun 1985 tentang<br />
Organisasi Kemasyarakatan (UU<br />
Ormas) saat ini dipandang tidak sejalan<br />
lagi dengan perkembangan dan<br />
kondisi saat ini, karena tidak mampu<br />
menampung aspirasi yang berkembang<br />
dan tidak mampu lagi mengatur<br />
berbagai masalah organisasi masyarakat.<br />
UU Ormas dinilai tidak tegas,<br />
karena tidak menimbulkan efek jera<br />
bagi ormas yang menimbulkan ekses<br />
negatif serta meresahkan masyarakat.<br />
Namun di sisi lain masyarakat masih<br />
menginginkan dan mempertahankan<br />
Undang-Undang Nomor 8 Tahun<br />
1985 tentang Organisasi Kemasyarakat<br />
sebagai regulasi yang mengatur<br />
berdirinya sebuah organisasi kemasyarakatan.<br />
Berdasarkan hal tersebut di atas,<br />
<strong>DPR</strong> berinisiatif merevisi Undang-<br />
Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang<br />
Organisasi Kemasyarakatan. <strong>DPR</strong> menilai<br />
Undang-undang Nomor 8 Tahun<br />
1985 sebagai pengatur, belum kuat<br />
sebagai payung hukum.<br />
Rapat Paripurna <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> 20 September<br />
2011 telah memutuskan membentuk<br />
Panitia Khusus (Pansus) yang<br />
bertugas membahas Revisi UU Ormas<br />
tersebut.<br />
Pansus RUU Ormas diharapkan<br />
dapat merumuskan regulasi bagi organisasi<br />
kemasyarakatan yang lebih<br />
partisipasif dalam pembangunan serta<br />
lebih profesional. Sehingga kebebasan<br />
berorganisasi tidak dimanfaatkan oleh<br />
pihak-pihak yang anti demokrasi dan<br />
anti persatuan nasional untuk memprovokasi<br />
terjadi konflik antar suku,<br />
ras, agama, maupun antar golongan.<br />
Saat ini Pansus RUU Ormas telah<br />
masuk pada pembahasan bersama<br />
pemerintah. Pansus RUU Ormas juga<br />
telah melakukan penjaringan melalui<br />
Rapat Dengar Pendapat/Rapat Dengar<br />
Pendapat Umum untuk mencari<br />
masukan positif dan konstruktif secara<br />
langsung bagi RUU Ormas dengan<br />
berbagai kalangan, baik instansi<br />
pemerintah, para pakar, ormas maupun<br />
LSM atau NGO. Hal ini dilakukan<br />
agar RUU Ormas nantinya benarbenar<br />
dapat mengakomodir berbagai<br />
kepentingan ormas di Indonesia.<br />
Bahkan Pansus RUU Ormas sudah<br />
mensosialisasikan RUU tersebut ke<br />
beberapa daerah untuk menampung<br />
usulan yang bisa diadopsi didalamnya<br />
dari berbagai kalangan, seperti<br />
pemerintah daerah, pelaku ormas di<br />
daerah maupun perguruan-perguruan<br />
tinggi. Mengingat banyaknya ormas<br />
yang ada di daerah baik yang merupakan<br />
cabang ormas pusat maupun<br />
ormas yang memang berkembang di<br />
daerah.<br />
Abdul Malik Haramain Ketua Pansus<br />
RUU Ormas menyatakan bahwa<br />
revisi UU Ormas bertujuan memberdayakaan<br />
Ormas agar lebih produktif,<br />
kontributif, dan tidak kontradiktif<br />
dalam melakukan pergerakan di masyarakat.<br />
Haramain memastikan UU tentang<br />
Ormas bebas dari pasal karet. “Kita<br />
memastikan hal itu tak terjadi seperti<br />
masa Orde Baru,” katanya.<br />
Ia mengatakan, dalam UU Ormas<br />
yang baru, pasal-pasal untuk memberikan<br />
sanksi jelas parameternya. Ia<br />
juga mengungkapkan, pembekuan<br />
Ketua Pansus RUU Ormas Abdul Malik Haramain<br />
ataupun pembubaran suatu Ormas<br />
juga akan melalui pengadilan, sehingga<br />
pemerintah tak semena-mena<br />
membubarkan.<br />
“Kita tetap menginginkan pengadilan<br />
sebagai yang mengadili dalam<br />
perkara tersebut, sehingga pemerintah<br />
tidak semena-mena,” jelasnya.<br />
Ia mengatakan, RUU Ormas yang<br />
saat ini masih dibahas, isinya 60<br />
persen berbeda dengan UU Nomor 8<br />
Tahun 1985 tentang Ormas. “Ini bisa<br />
dikatakan baru karena lebih dari 60<br />
persen berbeda,” katanya.<br />
“Kita tidak terburu-buru ingin<br />
segera disahkan, karena jangan sampai<br />
nanti justru memunculkan masalah<br />
baru,” terang Anggota Komisi II<br />
<strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> ini.<br />
RUU Ormas yang terdiri dari 57<br />
pasal dan 19 bab selain mengatur<br />
larangan dan kewajiban, juga secara<br />
khusus mengatur sanksi terhadap ormas<br />
yang melakukan pelanggaran.<br />
“RUU Ormas mengatur khusus soal<br />
sanksi. Sanksi akan diputuskan melalui<br />
mekanisme pengadilan,” ujarnya.<br />
Sanksi tersebut bisa berupa sanksi<br />
administratif, pembekuan sementara,<br />
hingga pembubaran. Hanya saja itu ti-<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
Internet<br />
LEGISLASI<br />
dak langsung diputuskan pemerintah,<br />
namun melalui proses di pengadilan.<br />
Menurut politisi Partai Kebangkitan<br />
Bangsa ini, perlunya mekanisme sanksi<br />
ini diambil melalui keputusan pengadilan,<br />
agar pemerintah tidak represif<br />
dalam melakukan pembekuan atau<br />
pembubaran ormas. “Ini diatur seperti<br />
itu, untuk membatasi kesewenangan<br />
pemerintah. Kita harapkan nantinya<br />
pengadilan menjadi filter,” katanya.<br />
Tentang proses pengusulan atau<br />
pelaporan hingga putusan dari pengadilan,<br />
Haramain mengatakan, jangka<br />
waktunya hanya berlangsung 30 hari.<br />
Sementara tentang pengadilan apa<br />
nantinya yang ditunjuk untuk mengurus<br />
sengketa ormas ini, masih menjadi<br />
perdebatan.<br />
Apakah nanti Mahkamah Konstitusi,<br />
Pengadilan Negeri atau Pengadilan<br />
Tata Usaha Negara, ini masih diperdebatkan.<br />
Ia menambahkan, hal lain yang<br />
perlu ditegaskan pada pembahasan<br />
RUU Ormas adalah pembubaran Ormas<br />
melalui mekanisme pengadilan.<br />
Melalui mekanisme pengadilan,<br />
kata dia, Ormas yang bersangkutan<br />
dengan pelanggaran hukum diberi<br />
kesempatan membela diri sehingga<br />
ada penegakkan hukum secara adil.<br />
“Pembubaran Ormas dicegah agar<br />
tidak menjadi kewenangan Kemenda-<br />
0 | PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />
gri,” katanya.<br />
Menurut Haramain, dengan mekanisme<br />
pengadilan kepentingan<br />
pemerintah untuk membubarkan Ormas<br />
karena alasan di luar hukum bisa<br />
dicegah. Pembubaran Ormas melalui<br />
mekanisme pengadilan juga merupakan<br />
semangat demokrasi yang memandang<br />
semua pihak sama di mata<br />
hukum.<br />
Haramain menambahkan, muculnya<br />
kembali desakan pembubaran<br />
Ormas yang bertindak anarkistis terjadi<br />
karena pemerintah belum mampu<br />
mengelola Ormas tersebut. “Penegakan<br />
hukum belum tegas sehingga<br />
masih ada Ormas yang berani bertindak<br />
anarkis dan meresahkan masyarakat,”<br />
katanya.<br />
Sedangkan Wakil Ketua Pansus<br />
RUU Ormas Deding Ishak menyatakan,<br />
sejatinya UU Ormas sebagai wadah<br />
partisipasif aktif masyarakat yang berbanding<br />
lurus dengan tujuan kehidupan<br />
berbangsa dan bernegara yang<br />
pelaksanaannya tentu dalam konteks<br />
bagaimana memberdayakan masyarakat<br />
dan memberikan kontribusi<br />
bagi usaha-usaha pencapaian tujuan<br />
pelaksanaan pembangunan.<br />
Sementara dalam konteks Indonesia<br />
sebagai negara hukum tentunya<br />
pengaturan sebuah keberadaan<br />
dan peran organisasi diharapkan akan<br />
membantu bagaimana peran ormas<br />
nantinya. “Hanya undang-undanglah<br />
yang bisa mengaturnya,” ujar Deding.<br />
Dijelaskan Deding, bahwa berdasarkan<br />
Pasal 28 Undang-Undang<br />
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun<br />
1945, paradigma berserikat dan<br />
berkumpul dibedakan dalam dua wadah,<br />
yaitu Partai Politik dan Organisasi<br />
non Partai Politik (Organisasi Masyarakat).<br />
Dengan demikian, menurut Deding<br />
dapat dipahami bahwa ormas<br />
mencakup keseluruhan organisasi<br />
sosial yang ada, baik organisasi keagamaan,<br />
OKP, LSM/NGO’s, organisasi<br />
sosial (Orsos), organisasi profesi<br />
maupun organisasi sosial lainnya?<br />
Bagaimana kelemahan, hambatan<br />
dan tantangan dalam penerapan Undang-Undang<br />
Nomor 8 Tahun 1985<br />
tentang Organisasi Kemasyarakat.<br />
“Itu juga menjadi salah satu dasar<br />
pengaturan dalam Undang-Undang<br />
tentang Ormas yang menempatkan<br />
organisasi kemasyarakatan sebagai<br />
wadah partisipasi masyarakat dalam<br />
pembangunan,” jelas politisi Partai<br />
Golkar tersebut.<br />
Melalui pengaturan dalam undangundang<br />
itulah maka pelembagaan<br />
partisipasi masyarakat diharapkan<br />
dapat terlaksana dan memperoleh<br />
perhatian pemerintah, ujar Deding se-
Wakil Ketua Pansus RUU Ormas Deding Ishak<br />
raya menambahkan karena berkaitan<br />
dengan aspirasi sejumlah orang dengan<br />
argumentasi yang kuat.<br />
Selain mengatur ormas-ormas<br />
lokal, RUU Ormas juga mengatur<br />
keberadaan ormas-ormas asing.<br />
Menurut Michael Watimena (F-PD),<br />
hal tersebut dimaksudkan agar keberadaan<br />
ormas asing di Indonesia<br />
diatur secara tegas dan kegiatannya<br />
dapat diawasi dan dikontrol.<br />
“Dalam RUU Ormas akan dibuat<br />
aturan tegas bagi ormas asing, dengan<br />
mewajibkan mereka memberikan<br />
laporan berkala, baik dalam pendanaan<br />
maupun program kegiatan.<br />
Misalnya, tiga bulan, enam bulan atau<br />
setiap tahun,” kata Michael.<br />
Pengaturan terhadap ormas asing<br />
kata Michael, berguna untuk mengetahui<br />
berapa besar dana yang didapatkan<br />
dari penyandang dana mereka di<br />
luar negeri dan dana itu digunakan<br />
untuk kegiatan apa saja.”Karena,<br />
seringkali kita tidak tahu berapa dana<br />
yang mereka dapatkan dari funding<br />
luar dan untuk apa kebutuhannya. Seharusnya<br />
dijelaskan keberadaan eksistensi<br />
dan sumber keuangan mereka,”<br />
ujarnya.<br />
Meski begitu pihaknya sampai saat<br />
ini belum dapat memastikan berapa<br />
jumlah ormas asing yang beroperasi<br />
di Indonesia. Selama ini keberadaan<br />
mereka belum dapat dikontrol<br />
sepenuhnya oleh pemerintah.<br />
“Mereka dalam melakukan kegiatan<br />
di Indonesia di luar pengontrolan<br />
dari pemerintah. Padahal, mereka<br />
disinyalir sering membocorkan informasi<br />
rahasia ke luar negeri,” katanya.<br />
Ia mensyinyalir keberadaan ormas<br />
asing berada di Indonesia karena dibiayai<br />
penyandang dana untuk maksud<br />
tertentu. “Sehingga keberadaannya<br />
perlu diatur dalam RUU Ormas secara<br />
lebih tegas,” ujarnya.<br />
Untuk itu lanjut dia, ormas asing<br />
yang belum terdaftar diimbau untuk<br />
segera mendaftarkan diri ke pemerintah.<br />
“Sekarang mereka seperti jamur<br />
di musim hujan, tetapi nanti mereka<br />
suka tidak suka harus mendaftar untuk<br />
inventarisasi, baik ke Kementerian<br />
Hukum dan HAM, maupun Kementerian<br />
Dalam Negeri,” katanya.<br />
Politisi dari Partai Demokrat itu<br />
melihat adanya suatu kebutuhan yang<br />
sangat kuat untuk melakukan perubahan<br />
secara menyeluruh terhadap UU<br />
Nomor 5 1985 tentang ormas yang<br />
sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi<br />
dan dinamika saat ini dan ke depan.<br />
(sc)<br />
Wakil Ketua Pansus RUU Ormas Michael Wattimena<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 | 1
LEGISLASI<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
<strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> dan Pemerintah merevisi<br />
Undang-Undang Nomor 25<br />
Tahun 1992 Tentang Perkoperasian.<br />
Pasalnya, pemerintah dinilai<br />
masih kurang memperhatikan Koperasi,<br />
karena itu perlu semacam program<br />
khusus Koperasi yang Sistematik.<br />
Pembahasan RUU yang merupakan<br />
usul inisiatif Pemerintah dilakukan secara<br />
maraton dengan Panitia Khusus<br />
(Pansus) <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong>. Lebih dari 1000 Daftar<br />
Inventaris Masalah (DIM) menandakan<br />
perbedaan pendapat antara<br />
Pemerintah dengan <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> siknifikan<br />
baik besaran maupun kedalaman.<br />
UU Koperasi harus direvisi karena<br />
pada kenyataannya koperasi tidak<br />
berkembang seperti yang diinginkan,<br />
misalnya sebagai tidak berkembangnya<br />
koperasi sebagai pelaku usaha,<br />
tidak seperti pelaku usaha lainnya<br />
seperti BUMN dan swasta. apa permasalahan<br />
yang memberatkan koperasi<br />
sehingga kopersi tidak bisa berada<br />
pada level of playing field yang sama<br />
dengan swasta dan BUMN.<br />
Harus ada upaya untuk mengurangi<br />
beban-beban yang memberatkan<br />
koperasi, sehingga koperasi menjadi<br />
indentitas, dan dapat menjadi level of<br />
playing field yang sama. Tetapi tanpa<br />
harus mengorbankan prinsip dan nilai<br />
koperasi.<br />
Wakil Ketua Pansus RUU Perkoperasian<br />
Erik Satrya Wardhana dari Fraksi<br />
Partai Hati Nurani Rakyat (F-P.Hanura)<br />
mengatakan perdebatan terjadi dimulai<br />
dari pembahasan judul. Masih ada-<br />
nya perbedaan pendapat mengenai<br />
judul yaitu RUU Koperasi atau RUU<br />
Perkoperasian. “Perbedaannya antara<br />
lain mengenai judul, yang diusulkan<br />
Pemerintah adalah RUU Koperasi,<br />
tetapi beberapa fraksi di <strong>DPR</strong> meminta<br />
diubah menjadi RUU Perkoperasian,”<br />
kata politisi asal pemilihan Jawa Barat<br />
III itu.<br />
Salah satu kegiatan Koperasi<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
LEGISLASI<br />
Wakil Ketua Pansus RUU Perkoperasian Erik Satrya Wardhana<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />
Terkait pemberian nama atau judul<br />
memang sepertinya tidak prinsip, namun<br />
menurut Erik Satrya ini berimplikasi<br />
pada konsistensi penekanan.<br />
Karena kalau dilihat dalam struktur<br />
sistematika RUU ini ada bab tentang<br />
pemberdayaan koperasi, yang mengisyaratkan<br />
mengenai adanya peran<br />
Pemerintah dan gerakan koperasi.<br />
“Peran Pemerintah dan gerakan koperasi<br />
berada diluar kelembagaan<br />
koperasi itu sendiri. Jadi RUU ini lebih<br />
baik diberi Judul RUU Perkoperasian,”<br />
paparnya.<br />
Pemerintah dinilai terlalu menyederhanakan<br />
penafsiran atau implementasi<br />
dari amanat UUD 1945 Pasal<br />
33, beberapa fraksi menginginkan ada<br />
ketegasan itu. Bukan hanya di pendahuluan<br />
tetapi juga pada beberapa<br />
pasal.<br />
Pasal 33 Ayat (1) mengamanatkan<br />
Perekonomian disusun sebagai usaha<br />
bersama berdasar atas asas kekeluargaan.<br />
Dan Ayat (4) Perekonomian nasional<br />
diselenggarakan berdasar atas<br />
demokrasi ekonomi dengan prinsip<br />
kebersamaan, efisiensi berkeadilan,<br />
berkelanjutan, berwawasan lingkungan,<br />
kemandirian, serta dengan<br />
menjaga keseimbangan kemajuan
dan kesatuan ekonomi nasional.<br />
Erik Satrya mengutarakan, bahwa<br />
<strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> menginginkan adanya kejelasan<br />
mengenai penjewantahan usaha<br />
bersama dan asas kekeluargaan<br />
dalam RUU ini. Dia mengingatkan<br />
UUD 1945 sebelum amandemen pada<br />
penjelasannya menegaskan bahwa<br />
badan usaha yang sesuai dengan itu<br />
adalah Koperasi. Artinya memang<br />
RUU Perkoperasian ini harus menterjemahkan<br />
prinsip dan nilai yang ada di<br />
dalam UUD 1945.<br />
RUU ini nantinya tidak hanya mengatur<br />
koperasi sebagi suatu entitas,<br />
tatapi juga menyangkut peran-peran<br />
lain di luar koperasi, misalnya peran<br />
Pemerintah. Pemerintah harus terus<br />
mendampingi perkembangan koperasi.<br />
Karena didalamnya ada semangat<br />
sebagaimana di amanatkan Pasal 33<br />
sebagai suatu usaha bersama berdasarkan<br />
asas kekeluargaan, Erik Satrya<br />
mengungkapkan kalau koperasi<br />
tidak difasilitasi Pemerintah, maka<br />
dikhawatirkan koperasi akan tetap<br />
sulit berkembang, karena lingkungan<br />
eksternal tidak berubah yang mengarah<br />
pada lingkungan usaha yang lebih<br />
individualistik.<br />
Ada dua jiwa yang berbeda, antara<br />
koperasi dengan lingkungan. Lingkungan<br />
yang Erik maksud adalah baik<br />
konsumen maupun pelaku usaha lainnya,<br />
seperti BUMN dan swasta yang<br />
berprinsip ekonomi relative materialistik<br />
dan individualistik. “Koperasi<br />
berasas kekeluargaan, tetapi koperasi<br />
harus tetap eksis,”katanya.<br />
Berkembangnya koperasi juga tidak<br />
terlepas dari pengelolaan yang<br />
profesionalisme, Erik Satrya mencoba<br />
mengusulkan dalam perubahan UU<br />
ini, misalnya struktur organisasi koperasi<br />
dibuat sama dengan struktur<br />
korporasi.<br />
Dia menjelaskan Struktur koperasi<br />
saat ini ada badan pengawas,<br />
pengurus, setelah itu managemen.<br />
Kemudian permasalahannya timbul<br />
adalah pengurus merangkap sebagai<br />
mana-gemen, sedangkan badan pengawas<br />
yang terjadi adalah antara ada<br />
Wakil Ketua Pansus RUU Perkoperasian Erik Satrya Wardhana saat di wawancara oleh tim parle<br />
dan tiada, secara formal ada tetapi<br />
dalam prakteknya jarang sekali badan<br />
pengawas yang berperan. “Saya usulkan<br />
untuk dirubah, badan pengawas<br />
diganti namanya dengan pengurus<br />
tetapi fungsi mirip dengan badan<br />
komisaris di korporasi, sedangkan<br />
pengurus diubah namanya menjadi<br />
direksi atau managemen yang pada<br />
korperasi adalah dewan direksi,” papar<br />
Erik Satrya.<br />
Menurutnya, hal itu dimungkinkan<br />
sepanjang pengurus yang berfungsi<br />
seperti dewan direksi di korporasi itu<br />
diangkat oleh rapat anggota. Konsep<br />
Koperasi Unit Desa dikembangkan<br />
tidak hanya di desa tapi juga di<br />
kota. Yang terhimpun dalam koperasi<br />
sekunder. Sehingga akan menjadi<br />
kekuatan ekonomi. Setelah itu, lanjutnya,<br />
perlu dikembangkan koperasi<br />
produksi, Pemerintah relative kurang<br />
memperhatikan UKM, sehingga koperasi<br />
relatif kurang tersentuh.<br />
Pemerintah sangat diharapkan<br />
memberikan perhatian khusus terhadap<br />
upaya peningkatan aktivitas<br />
koperasi. Dengan majunya perkoperasian<br />
menjadikan anggota koperasi<br />
merasakan manfaat nyata yang dirasakan<br />
dalam memenuhi kebutuhan<br />
hidupnya, dengan fasilitas dan kemudahan<br />
yang didapatkan dari menjadi<br />
anggota koperasi tersebut. “Koperasi<br />
di Indonesia harus bermanfaat dan<br />
dibutuhkan oleh rakyat Indonesia,”<br />
tegasnya. (as)<br />
***<br />
Salah satu kegiatan Koperasi<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
PROFIL PROFIL<br />
M. Prakosa<br />
Berjuang Bangkitkan<br />
Citra <strong>DPR</strong><br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 90 TH. XLII, 2012 |
Meskipun hanya menjabat<br />
satu tahun pada era kabinet<br />
Abdurahman Wahid, Prakosa<br />
lebih dikenal akrab sebagai mantan<br />
Pertanian, begitu juga pada kabinet<br />
Gotong Royong di era pergantian<br />
kepemimpinan saat Megawati Soekarnoputri<br />
menjadi Presiden, Prakosa<br />
juga masih dipercaya menduduki kursi<br />
kabinet. Ketika itu, Prakosa diberi<br />
mandat sebagai Menteri Kehutanan<br />
hingga akhir periode kepemimpinan<br />
Megawati. (2001-2004).<br />
Ketertarikan Prakosa pada bidang<br />
pertanian dan kehutanan memang<br />
sudah dimulai sejak dirinya masih Kuliah.<br />
Bahkan dia mengambil Fakultas<br />
Kehutanan di Universitas ternama.<br />
Pria kelahiran Yogyakarta yang memiliki<br />
karakter kalem dan cenderung<br />
sabar ini menggantikan posisi Ketua<br />
BK dari PDIP yang lalu yaitu Gayus<br />
Lumbuun. Sebelumnya pimpinan BK<br />
dikenal orang yang berkarakter kuat<br />
dengan nada bicara keras. Memang<br />
dari sisi background bertolak 180 derajat<br />
dengan dirinya, yang berasal dari<br />
Fakultas Kehutanan.<br />
Keinginan kuat untuk belajar<br />
membuat Prakosa cepat beradaptasi<br />
dengan pekerjaan barunya sebagai<br />
Ketua BK. Pria kelahiran Yogyakarta<br />
4 Maret 1960 belum menunjukkan<br />
emosi selama masa kepemimpinannya.<br />
”Bagi saya yang penting menjalankan<br />
tugas sebaik-baiknya berdasarkan<br />
amanat partai,”katanya.<br />
Belum lama ini, BK memang<br />
disibukkan oleh berbagai urusan<br />
baik pelanggaran etika dari anggota<br />
Dewan maupun pengumpulan data<br />
terkait renovasi ruang Banggar <strong>DPR</strong>.<br />
Khusus masalah renovasi Banggar,<br />
BK telah mengumpulkan bukti secara<br />
marathon dengan memanggil<br />
berbagai pihak diantaranya pimpinan<br />
BURT, Pimpinan Banggar, Setjen <strong>DPR</strong>,<br />
maupun pihak kontraktor bahkan<br />
konsultan pengawas renovasi ruang<br />
Banggar tersebut.<br />
Baru saja usai Prakosa mengadakan<br />
rapat tertutup mengenai renovasi<br />
banggar, dengan wajah terlihat letih,<br />
Prakosa masih bersemangat menang-<br />
gapi wartawan yang berusaha mengklarifikasi<br />
hasil rapat BK tersebut.<br />
Dengan sabar dirinya menjelaskan<br />
satu-persatu kepada wartawan televisi<br />
maupun cetak yang mengerubuninya.<br />
Dengan kalimat yang teratur,<br />
dan lugas dia menjelaskan bahwa<br />
memang terdapat lima pelanggaran<br />
yang berhubungan dengan renovasi<br />
banggar, oleh karena itu BK telah meminta<br />
kepada KPK untuk menindaklanjuti<br />
laporan yang telah dilakukan<br />
oleh Ketua <strong>DPR</strong> pada bulan Januari<br />
2012. “BK menduga adanya mark<br />
up dan permasalahan hukum yang<br />
berkaitan dengan proyek pengadaan<br />
di lingkungan <strong>DPR</strong>,” tegasnya saat itu<br />
kepada wartawan<br />
Badan Kehormatan, lanjut Prakosa,<br />
sedang menindaklanjuti yang<br />
dilakukan oleh BURT terkait dugaan<br />
adanya indikasi pembiaran proyek.<br />
“Tidak ada yang boleh lepas tanggungjawab<br />
atau lepas tangan. Kalau<br />
M. Prakosa saat konferensi pers di Gedung <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong><br />
indikasi pembiaran itu benar terbukti<br />
maka itu jelas pelanggaran,”tegasnya.<br />
Jika dilihat secara fungsi, paparnya,<br />
tidak ada masalah dengan<br />
anggota dewan dalam menjalankan<br />
fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran.<br />
Sorotan publik muncul karena<br />
hal yang diluar dari sifat kedewanan,<br />
seperti keberadaan BURT<br />
Menurut Prakosa, seharusnya<br />
tidak dibebankan kepada anggota.<br />
“Masa anggota mengurusi rumah<br />
tangga, secara fungsi itu salah. Kita<br />
itu hanya mengawasi, mengatur<br />
anggaran dan membuat undangundang,”ungkapnya.<br />
Pernyataan Prakosa kepada Media<br />
massa tersebut mencerminkan<br />
sosok pemimpin yang tegas dan berwibawa<br />
serta mampu memberikan<br />
solusi bagi masalah-masalah kebangsaan<br />
saat ini. Bahkan meski masih<br />
baru sudah terdapat keputusan yang<br />
dibuat oleh BK. Di kepemimpinannya,<br />
BK <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> telah menetapkan tiga<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
PROFIL<br />
M. Prakosa saat di lantik menjadi Ketua BK <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong><br />
vonis kode etik bagi anggota dewan<br />
yang berstatus terdakwa.<br />
Diawal-awal masa kepemimpinan<br />
memang banyak orang yang merasa<br />
ragu mengenai kapasitas dan kapabilitas<br />
seorang Muhammad Prakosa,<br />
pasalnya dia memiliki background<br />
yang bukan berasal dari hukum.<br />
”Semuanya tidak masalah, di BK tetap<br />
saja tugas kedewanan,” katanya.<br />
Menurutnya, sebagai seorang<br />
Ketua BK harus berpegangan kepada<br />
aturan tata tertib dan kode etik beracara<br />
BK yang disahkan 2011 lalu. ”Di<br />
Undang Undang MD3 UU 27 tahun<br />
2009, Ada di pasal 213 hingga 219.<br />
tinggal dihayati,” ujarnya.<br />
Dia menambahkan, Kode etik itukan<br />
ilmu yang common sense, karena<br />
itu semua orang menyadari ada dan<br />
diperlukan kode etik. “Jadi saya santai<br />
saja bertugas di sini,” ujarnya.<br />
Prakosa mengakui tugasnya<br />
sebagai Ketua BK tentu lebih berat<br />
dibandingkan dengan anggota <strong>DPR</strong><br />
biasa, seorang pimpinan harus menjadi<br />
contoh bagi anggota lainnya,<br />
misalnya kedisiplinan. Dengan tugasnya<br />
yang dobel baik di Komisi, pansus<br />
maupun di BK, dia mengaku waktunya<br />
memang banyak tersita di rumah<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 90 TH. XLII, 2012 |<br />
rakyat. Namun ada hal yang tidak<br />
boleh ditinggalkannya yaitu olahraga<br />
rutin setiap pagi. ”Setiap pagi saya<br />
wajib olahraga. Paling tidak jogging,<br />
di rumah” jelasnya.<br />
Disiplin diri sendiri<br />
Ketua BK Muhammad Prakosa<br />
menyadari beban berat sebagai<br />
seorang pimpinan BK yaitu berusaha<br />
menegakkan etika namun disatu sisi<br />
pencitraan dewan semakin terpuruk<br />
karena perilaku anggotanya.<br />
“Untuk bisa menegakkan aturan,<br />
kita harus mematuhi peraturan itu<br />
sendiri. Itu salah satu cara meningkatkan<br />
citra <strong>DPR</strong> yang saat ini sering<br />
menjadi bulan-bulanan di masyarakat,”<br />
ujar Prakosa beberapa waktu<br />
lalu.<br />
Dia mengakui seringkali beberapa<br />
diantara 560 anggota dewan<br />
melanggar kode etik atau melakukan<br />
ketidakpatutan yang seharusnya tidak<br />
dilakukan sebagai seorang representasi<br />
rakyat.<br />
Menyinggung kunjungan luar<br />
negeri yang dipandang menghamburkan<br />
uang negara dan paripurna<br />
yang jadi tolak ukur malas tidaknya<br />
seorang anggota, Menurut Prakosa,<br />
hal-hal semacam itu perlu di kaji ulang<br />
dan dievaluasi, karena menyangkut citra<br />
dan persepsi rakyat terhadap anggota<br />
dewan yang bisa meruntuhkan<br />
segalanya.<br />
“BK berkomitmen, baik pimpinan<br />
maupun anggota akan terus<br />
melakukan perbaikan untuk membangun<br />
persepsi yang positif dari<br />
<strong>DPR</strong>, dan itu harus dimulai sekarang.<br />
Ini konsepnya penegakan citra secara<br />
menyeluruh,”jelas Prakosa.<br />
Tidak hanya perbaikan secara<br />
lembaga saja yang menjadi fokus utama<br />
dari BK namun secara personal BK<br />
merekomendasikan untuk bisa menjaga<br />
tingkah laku dan kode etik seorang<br />
dewan, termasuk terbuka menerima<br />
berbagai pengaduan masyarakat jika<br />
ada pelanggaran yang dilakukan anggota<br />
dewan secara personal. Demi<br />
perbaikan itu BK telah memberikan<br />
kerangka perbaikan citra PR secara<br />
menyeluruh kepada pimpinan <strong>DPR</strong>.<br />
“Kita sudah berikan usulan kepada<br />
kepada pimpinan, termasuk mengkaji<br />
ulang UU MD3 untuk mempertegas<br />
fungsi anggota dewan dalam<br />
menjalankannya, sehingga tidak tumpang<br />
tindih dengan fungsi lain diluar<br />
kedewanan,” ujarnya.***
KUNJUNGAN KERJA<br />
Menuju Bandar Udara<br />
Kelas Dunia<br />
Komisi VI <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> mendukung pengembangan<br />
bandar udara di Provinsi Bali.<br />
Pasalnya, kapasitas serta fasilitasnya sudah tidak<br />
memadai lagi untuk menampung aktivitas penumpang<br />
dan arus barang (cargo) yang semakin meningkat.<br />
Hal itu diungkapkan Wakil Ketua<br />
Komisi VI <strong>DPR</strong> Aria Bima<br />
(F-PDI Perjuangan) saat pertemuan<br />
dengan jajaran Direksi Angkasa<br />
Pura I (Persero) Provinsi Bali, Jum’at<br />
(16/3) dalam rangka kunjungan spesifik<br />
Pengelolaan dan Pengembangan<br />
Bandar Udara oleh BUMN PT. Angkasa<br />
Pura I (Persero) di Provinsi Bali.<br />
“Pengembangan Bandara Internasional<br />
Ngurah Rai, Bali, diharapkan dapat<br />
memberikan peningkatan pelayanan<br />
agar sesuai dengan standar bandara<br />
kelas dunia,” ujar Bima.<br />
Pemerintah telah mencanangkan<br />
program Masterplan Percepatan dan<br />
Perluasan Pembangunan Ekonomi<br />
Indonesia (MP3EI), dimana salah satu<br />
strategi pelaksanaan MP3EI dilakukan<br />
dengan mengembangkan potensi<br />
ekonomi di koridor ekonomi Bali-<br />
Nusa Tenggara Barat (NTB) sebagai<br />
pintu gerbang pariwisata dan pendukung<br />
pangan nasional. “Jadi Bali<br />
merupakan pintu gerbang kegiatan<br />
ekonomi utama pariwisata di Indonesia,<br />
pada tahun 2011 tercatat 40<br />
persen masuk dari sini” jelasnya.<br />
Pada kesempatan itu, ujar Bima,<br />
Komisi VI <strong>DPR</strong> berharap agar pengembangan<br />
Bandara Internasional Ngurah<br />
Rai, Bali memberikan kontribusi yang<br />
nyata bagi perkembangan perekonomian<br />
nasional umumnya, dan pereko-<br />
nomian di Provinsi Bali, serta dapat<br />
turut serta mensukseskan program<br />
MP3EI yang telah dicanangkan oleh<br />
pemerintah.<br />
Menurutnya, semakin berkembangnya<br />
perekonomian suatu daerah/<br />
wilayah, maka kebutuhan pengembangan<br />
prasarana bandar udara sangat<br />
mendesak dan penting. Begitu<br />
juga permintaan akan angkutan udara<br />
semakin meningkat, dan jumlah<br />
penumpang setiap tahun akan meningkat<br />
pula. “Oleh karenanya, agar<br />
mampu mengimbangi pertumbuhan<br />
tersebut, beberapa bandara Indonesia<br />
perlu diperluas secara signifikan,”<br />
jelasnya.<br />
<strong>DPR</strong> juga berharap agar PT. Angkasa<br />
Pura I sebagai salah satu Badan<br />
Usaha Milik Negara (BUMN) yang<br />
bergerak di bidang pelayanan jasa<br />
navigasi penerbangan dan pengelolaan<br />
bandar udara dapat mencapai<br />
visinya menjadi perusahaan pengelola<br />
bandar udara kelas dunia yang memberikan<br />
manfaat dan nilai tambah ke-<br />
Komisi VI <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> saat meninjau Bandara Internasional Ngurah Rai Bali<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
KUNJUNGAN KERJA<br />
pada stakeholder.<br />
Menurutnya, peningkatan fasilitas<br />
dan pelayanan kebandarudaraan<br />
akan berpengaruh signifikan terhadap<br />
program peningkatan daya saing nasional.<br />
Oleh karena itu, BUMN kebandarudaraan<br />
dalam menyelenggarakan<br />
usaha jasanya diharapkan mampu<br />
meningkatkan kualitas pelayanan sehingga<br />
dapat meningkatkan nilai investasi<br />
dan kenyamanan, tuturnya.<br />
Sementara itu Direktur PT. Angkasa<br />
Pura I (Persero) Bali, Tommy<br />
Soetomo menjelaskan, pembangunan<br />
terminal internaional dari 65.000<br />
m2 menjadi 139.000 m2 untuk target<br />
penumpang 16 juta penumpang per<br />
tahun. Sedangkan pengembangan<br />
terminal domestik yang semula seluas<br />
13.000 m2 akan didemolish menjadi<br />
apron, dan kegiatan terminal domestik<br />
akan menempati eks terminal internasional<br />
seluas 65.000 m2 dengan<br />
target penumpang 9,4 juta penumpang<br />
per tahun.<br />
Untuk mempertahankan kualitas<br />
pelayanan atas lonjakan calon penumpang<br />
dan keluhan penumpang<br />
sehubungan dengan bandara yang<br />
sedang dilakukan saat ini PT. Angkasa<br />
Pura I melakukan antisipasi, antara<br />
lain salah satuhnya merenovasi terminal<br />
domestik dengan memperluas<br />
area ruang tunggu penumpang dan<br />
pengoperasian “buggy car” untuk<br />
penumpang lanjut usia, anak-anak,<br />
cacat dan orang sakit, paparnya.<br />
Rapat Gabungan untuk<br />
Tuntaskan Masalah<br />
Kualanamu<br />
Pembangunan Bandar Udara<br />
Kualanamu, Sumatera Utara pengganti<br />
Bandara Polonia yang sudah<br />
tidak memadai dinilai berlarut-larut.<br />
Target penyelesaian akhir tahun 2012<br />
yang disesuaikan untuk kesekian kalinya,<br />
dikhawatirkan tidak dapat dipenuhi<br />
memperhatikan ragam persoalan<br />
proyek kerja sama pusat dan<br />
daerah yang sudah dimulai sejak tahun<br />
2007 lalu.<br />
“Masyarakat sudah kenyang<br />
dengan janji, tahun 2007 Gubernur<br />
0 | PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />
Rudolf Pardede berjanji selesai 2 tahun.<br />
Tahun 2009 Wapres JK datang<br />
menguatkan akan selesai tahun itu<br />
disambut tepuk tangan, ternyata<br />
meleset. Tahun selanjutnya Presiden<br />
SBY datang berjanji lagi akhir tahun<br />
2010 kita resmikan. Kemudian 2011,<br />
Menko Perekonomian menyebut selesai<br />
tahun itu, ternyata tidak. Janji<br />
selanjutnya akhir tahun ini mulai digunakan,”<br />
kata anggota Komisi VI<br />
dari FPAN Nasril Bahar saat melakukan<br />
pertemuan dengan Pimpinan PT.<br />
Angkasa Pura II di Medan, Sumut, Kamis<br />
(15/3/12).<br />
Ia meminta dalam pertemuan<br />
yang merupakan rangkaian kunjungan<br />
spesifik meninjau pelaksanaan<br />
pembangunan Bandara Kualanamu<br />
ini diharapkan pihak Angkasa Pura<br />
II terbuka menyampaikan hambatan<br />
dalam pelaksanaan proyek. Baginya<br />
persoalan pembangunan dengan<br />
anggaran Rp.2,9 triliun tidak bisa ditimpakan<br />
sepenuhnya kepada Angkasa<br />
Pura II, karena melibatkan banyak<br />
pihak seperti Pemerintah Pusat, PU,<br />
investor, Pemprov dan Pemkab.<br />
Anggota Komisi VI dari FPDIP Sukur<br />
Nababan mempertanyakan belum<br />
beresnya pembebasan lahan untuk<br />
jalan menuju bandara. Baginya bandara<br />
sebagus apapun tetap tidak akan<br />
berfungsi apabila infrastruktur eksternal<br />
tidak selesai. Ia menyebut kasus<br />
gedung kargo yang tuntas dibangun<br />
tahun 2007 lalu karena belum digunakan<br />
akhirnya biaya maintenance<br />
menjadi beban PT. Angkasa Pura II.<br />
Hal senada disampaikan Chairuman<br />
Harahap dari FPG yang juga<br />
meragukan Kualanamu bisa beroperasi<br />
akhir tahun ini. “Kami minta report<br />
bukan angin sorganya. Masyarakat sudah<br />
tahu, 2012 akan diresmikan. Kita<br />
khawatir ini tidak akan terjadi, sepertinya<br />
akan diundur 2013,” tandas wakil<br />
rakyat dari dapil Sumut II ini.<br />
Ketua Tim Kunjungan Spesifik<br />
Komisi VI, Agus Hermanto mendukung<br />
agar seluruh permasalahan<br />
pembangunan Bandara Kualanamu<br />
dapat dipetakan dan dipilah-pilah.<br />
“Apabila dipandang perlu, saya men-<br />
dukung pelaksanaan rapat gabungan<br />
Komisi VI dengan Komisi V, sekaligus<br />
menghadirkan Menteri Perhubungan<br />
dan kementrian lainya,” tegas politisi<br />
FPD ini. Percepatan pelaksanaan<br />
proyek merupakan tanggung jawab<br />
seluruh instansi terkait sehingga diharapkan<br />
target penyelesaian tahun<br />
2012 ini dapat dipenuhi.<br />
Direktur Operasi Tehnik PT.<br />
Angkasa Pura II, Salahuddin Rafie<br />
menekankan penuntasan pembangunan<br />
Bandara Kualanamu sudah semakin<br />
mendesak karena Bandara Polonia<br />
yang memiliki kapasitas 900 ribu<br />
penumpang/tahun saat ini traffic-nya<br />
sudah mencapai 7 juta penumpang/<br />
tahun.<br />
Ia meminta dukungan agar kendala<br />
pembebasan lahan yang masih<br />
membayangi pembangunan jalan<br />
akses menuju bandara dapat diatasi.<br />
“Kebutuhan jalan 150 miliar rupiah<br />
tapi pemerintah provinsi baru menyiapkan<br />
19 miliar. Jalan tol perlu 900<br />
hari untuk konstruksi, pembebasan<br />
lahan baru 25 persen. Mohon dukungan<br />
terutama bagi akses masuk<br />
menuju bandara ini,” imbuhnya.<br />
Beberapa bagian fasilitas bandara<br />
yang sepenuhnya dirancang dan<br />
dibangun oleh putra terbaik bangsa<br />
sudah berhasil dituntaskan seperti,<br />
terminal kargo, bangunan security,<br />
gedung otoritas bandara, bangunan<br />
taxiway, dan area parkir.<br />
Terminal yang dapat menampung<br />
8.1 juta penumpang/tahun memasuki<br />
tahap penyelesaian interior. Gedung<br />
ditata modern dengan mengadopsi<br />
kearifan lokal menerapkan package<br />
sending system 100 persen otomatis<br />
pertama kali di Indonesia. Sistem ini<br />
dapat menangani 5000 bagasi perjam,<br />
dengan conveyor otomatis, barcode,<br />
pengaturan jurusan, penanganan<br />
lebih cepat dan aman karena tidak ditangani<br />
orang perorang.<br />
“Kami berharap semua konstruksi<br />
dapat diselesaikan pada akhir 2012<br />
sehingga bandara baru yang menjadi<br />
kebanggaan warga Sumut ini dapat<br />
beroperasi penuh awal 2013,” demikian<br />
Salahuddin Rafie. (Iw/iky)
Komisi VI <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> Dukung<br />
Revitalisasi Pabrik Gula<br />
Wakil Ketua Komisi VI <strong>DPR</strong> Agus Hermanto<br />
Pada kesempatan itu, Komisi VI<br />
<strong>DPR</strong> meminta agar Program<br />
Pemerintah swasembada gula,<br />
disamping menghasilkan kecukupan<br />
kebutuhan dalam negeri, juga menumbuhkan<br />
struktur industri yang<br />
kuat serta bermuara pada kesejahteraan<br />
petani tebu.<br />
Hal tersebut mengemuka saat<br />
Komisi VI <strong>DPR</strong> mengadakan Kunjungan<br />
Kerja Spesifik ke Pabrik Gula PT<br />
Perkebunan Nusantara (PTPN) IX di<br />
Provinsi Jawa Tengah, beberapa waktu<br />
lalu. Kunjungan tersebut bertujuan<br />
meninjau pabrik gula setempat dalam<br />
rangka revitalisasi pabrik yang ada.<br />
Wakil Ketua Komisi VI <strong>DPR</strong> Agus<br />
Hermanto mengatakan, pengembangan<br />
industri tebu dikaitkan dengan<br />
dengan program swasembada gula<br />
nasional harus diletakkan dalam konteks<br />
pembangunan industri yang lebih<br />
<strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> mendukung Revitalisasi pabrik gula untuk<br />
pencapaian target swasembada gula benar-benar<br />
tercapai pada tahun 2014.<br />
komprehensif dan terintegritas, yaitu<br />
industri nasional yang berbasis tebu.<br />
Dahulu, lanjutnya, Indonesia pernah<br />
mengalami kejayaan gula, dan<br />
menjadi salah satu Negara pengekpor<br />
gula terbesar di dunia. “Agro<br />
ekosistem, dimana jumlah lahan dan<br />
tenaga kerja yang tersedia sangat potensial<br />
untuk menjadikan Indonesia sebagai<br />
produsen gula dunia,”ujarnya.<br />
Saat ini, kebutuhan konsumsi<br />
gula rumah tangga dan gula untuk<br />
industri dalam negeri saat ini diperkirakan<br />
lebih dari 4,8 juta ton. Namun<br />
pertumbuhan kebutuhan konsumsi<br />
Gudang Gula Bulog<br />
dalam negeri tersebut tidak diikuti<br />
dengan peningkatan produksi industri<br />
gula yang sepadan, sementara pabrikpabrik<br />
gula (PG) milik BUMN yang<br />
ada sudah tua sehingga industri gula<br />
dalam negeri tidak mampu mencukupi<br />
kebutuhan gula untuk kebutuhan<br />
konsumsi maupun untuk industri. ‘hal<br />
itu mengakibatkan Indonesia menjadi<br />
pengimpor gula Kristal putih dalam<br />
kurung waktu yang panjang,”ujarnya.<br />
Komisi VI <strong>DPR</strong>, lanjutnya, menginginkan<br />
tercapainya sasaran industri<br />
gula BUMN dan swasta yang berkualitas,<br />
dilihat dari sisi kualitas produk,<br />
Internet/seputarsulawesi.com<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 | 1
KUNJUNGAN KERJA<br />
kuantitas, biaya produksi yang kompetitif,<br />
meningkatkan minat petani<br />
menanam tebu, mendukung pembentukan<br />
dan pertumbuhan industri<br />
hilir berbasis tebu dan bermuara pada<br />
swasembada gula pada 2014.<br />
Menurut perhitungan proyeksi<br />
swasembada gula dari Pemerintah,<br />
dengan asumsi kebutuhan gula konsumsi<br />
rumah tangga meningkat 1,83%<br />
pertahun dan gula industri 5% pertahun.<br />
Maka pada tahun 2014 dibutuhkan<br />
2,956 juta ton gula konsumsi<br />
rumah tangga (GKP) dan 2,744 juta<br />
ton gula kebutuhan industri, sehingga<br />
total kebutuhan adalah 5,7 juta ton.<br />
Untuk target GKP swasembada<br />
2014 sebesar 2,956 juta ton tersebut,<br />
tingkat produksi GKP dari BUMN<br />
masih dapat dikembangkan hingga<br />
mencapai 2,275 juta ton, sedangkan<br />
dari produsen swasta dapat mencapai<br />
1,2 juta ton, sehingga total adalah<br />
3,494 juta ton. Dengan demikian diperhitungkan<br />
pada tahun 2014 akan<br />
diperoleh surplus sebesar sekitar 538<br />
ribu ton GKP atausekitar 18% diatas<br />
tatal kebutuhan.<br />
Gima mencapai target kumulatif<br />
produksi sebesar 2,275 juta ton yang<br />
berasal dari BUMN gula diperlukan<br />
peningkatan produktivitas agregat.<br />
Langkah yang dilakukan seperti sinergi<br />
kebijakan antara Pemerintah<br />
Pusat dan Pemerintah Daerah, Pembangunan<br />
dan pembenahan infrastruktur<br />
agroindustri terutama di<br />
daerah pengembangan baru, Tata<br />
Wilayah perkebunan tebu yang sesuai<br />
dengan master plan pembangunan<br />
ekonomi nasional dari Pemerintah,<br />
Peningkatan peran lebaga Ristek<br />
dan Pengembangan terutama dalam<br />
mengantisipasi masalah perubahan<br />
iklim dan variasi kondisi pertanahan<br />
di wilayah <strong>RI</strong>, Peningkatan Iptek dan<br />
SDM yang mendukung pengembangan<br />
industri nasional berbasis tebu,<br />
Peningkatan penyuluhan pendampingan<br />
dan fasilitas bagi petani tebu,<br />
Pengembangan tata niaga yang menarik<br />
baik bagi petani maupun pabrikan,<br />
Organisasi dan koordinasi yang<br />
kuat dalam mengelola pelaksanaaan<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />
program swasembada gula nasional.<br />
Menurut Agus, Pemerintah harus<br />
memberikan solusi masalah terkait on<br />
farm yang dapat menjadi penghambat<br />
produksi dan produktivitas budidaya<br />
tebu, diantaranya yaitu sulitnya<br />
untuk mendapatkan lahan baru atau<br />
bahkan mempertahankan lahan yang<br />
sudah ada.<br />
“Lahan baru yang dibutuhkan<br />
bagi pencapaian swasembada gula<br />
2014 seluas 360 ribu ha. Selain itu, Penataan<br />
varietas tebu yang masih terhambat<br />
baik dari segi pengembangan<br />
maupun segi budi daya,”ujarnya.<br />
Selanjutnya, Pemerintah juga<br />
harus segera mencarikan solusi masalah<br />
pada sisi off farm, yaitu pada sisi<br />
produksi gula pleh PG-PG terutama<br />
PG milik BUMN, antara lain tingkat<br />
efisiensi pabrik dibawah standar dimana<br />
peralatan pabrik di masing-masing<br />
proses produksi tingkat efiensinya<br />
rendah.<br />
Selain itu, teknologi alat-alat<br />
produksi yang tergolong tertinggal<br />
jauh dari proses produksi autonation<br />
sehingga kinerjanya rendah, belum<br />
berkembangnya diversifikasi produk<br />
dari PG termasuk produk yang dapat<br />
menjadi sumber energy sehingga<br />
dapat meningkatkan daya saing industri<br />
gula. “Kedala lainnya yaitu tidak<br />
adanya sinergi diantara bidang engineering<br />
PG milik BUMN sehingga tidak<br />
terjadi perpindahan pengetahuan<br />
mengenai permasalahan di masingmasing<br />
pabrik, Lokasi masing-masing<br />
PG berjauhan sehinga span of control<br />
dari managemen menjadi terlalu luas<br />
yang mengakibatkan kurangnya perhatian<br />
pada pengelolaan pabrik gula<br />
BUMN,”ujarnya.<br />
Industri gula Kristal putih (GKP)<br />
saat ini didominasi oleh BUMN (PTPN<br />
II, VII, IX, X, XI, XIV dan PT RNI) yang<br />
menguasai 51 PG yang menghasilkan<br />
55% dari produk gula nasional. Tercatat<br />
10 perusahaan swasta produsn<br />
GKR yang terdiri dari 6 PMA dan 4<br />
PMDN, namun masih ada 2 PMDN<br />
yang belum merealisasikan pembangunan<br />
pabriknya.<br />
Kunjungan Spesifik <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> pada<br />
masa persidangan III tahun sidang<br />
2011-2012 ke Jawa Tengah dalam<br />
rangka Revitalisasi Pabrik Gula PTPN<br />
IX tersebut dipimpin Wakil Ketua<br />
Komisi VI Agus Hermanto (F-PD), dan<br />
beranggotakan Hari Kartana (F-PD),<br />
Lili Asdjudireja, Marzuki Daud (F-PG),<br />
Hendrawan Supratikno (F-PDIP), Fahri<br />
Hamzah (F-PKS), dan Abdul Wachid<br />
(F-Gerindra).<br />
Dalam Kunjungan di PTPN<br />
IX tersebut Lili Asdjudireja (F-PG)<br />
mengkritisi masih rendahnya tingkat<br />
efisiensi pabrik, dan mempertanyakan<br />
kendala produksi yang dihadapi, serta<br />
efektifitas manfaat 9 unit Low Grade<br />
yang dimiliki Pabrik Gula PTPN IX.<br />
Hari Kartana mempertanyakan<br />
ketersediaan tenaga listrik dan menyarankan<br />
agar pabrik gula perlu<br />
memperbarui kemasan dimaksudkan<br />
agar hasil produksi kemasan dapat<br />
bersaing dengan produk impor.<br />
Sementara Hendrawan Supratikno<br />
(F-PDIP) mengatakan pabrik<br />
gula rending harus bekerja lebih keras<br />
untuk meningkatkan produktifikasnya<br />
dan dapat bersaing dengan pabrik<br />
gula milik swasta. Sedangkan Fahri<br />
Hamzahmengingatkan bahwa Indonesia<br />
adalah pasar yang sangat potensial<br />
bagi produk gula, jika pabrik<br />
gula BUMN tidak dapat meningkatkan<br />
produktivitasnya, dia mengkhawatirkan<br />
akan kalah bersaing dengan<br />
Pabrik milik swasta dan produk gula<br />
impor akan terus membanjiri pasar<br />
dalam negeri.<br />
Menjawab beberapa pertanyaan<br />
Anggota Dewan tersebut, Direktur<br />
Utama PTPN IX S. Haryanto mengatakan<br />
sasaran kinerja yang telah<br />
disusun sudah mempertimbangkan<br />
saran saat Rapat Dengar Pendapat<br />
Komisi VI <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong>, untuk tidak terlalu<br />
terpaku dengan roadmap tetapi tetap<br />
harus realistis.<br />
Sedangkan untuk fungsi low<br />
grade, haryono menjelaskan bahwa<br />
pengoperasian mesin loe grade<br />
adalah untuk mengantisipasi jika mesin-mesin<br />
lama mengalami gangguan<br />
dan kerusakan. (parle)<br />
***
Sulbar Berpotensi Bangun<br />
Pabrik Pupuk Pertama di Kawasan Timur<br />
Komisi VII <strong>DPR</strong> menyoroti aset gas yang ada di blok Sebuku di wilayah<br />
Pulau Laria-Lariang. Potensi gas di blok Sebuku tersebut diharapkan dapat<br />
mendorong pembangunan pabrik Pupuk di sekitar Sulbar.<br />
“Sulbar sebagai provinsi harus<br />
ada industri, harus ada keadilan.<br />
Sulbar juga merupakan koridor<br />
ekonomi, yang memiliki daerah pertanian<br />
dan perkebunan yang banyak<br />
terdapat wilayah Sulbar, sehingga sudah<br />
sepantasnya pabrik pupuk juga di<br />
bangun di provinsi ini,”ujar anggota<br />
Komisi VII <strong>DPR</strong> Nazzaruddin Kiemas<br />
dari PDIP saat Kunker Sulbar barubaru<br />
ini. apabila hal ini terjadi, lanjutnya,<br />
maka pabrik ini akan menjadi<br />
pabrik pertama yang ada di Indonesia<br />
bagian timur.<br />
Dia mengungkapkan bahwa<br />
pabrik tambahan pupuk kaltim itu<br />
sendiri belum di bangun. “Jadi kalo<br />
belum dibangun toh haknya tetap<br />
sama untuk PKT tapi di bangunnya di<br />
Sulbar. Jadi hak gasnya tetap sama.<br />
PKTnya pun ada keuntungan pipanya<br />
lebih pendengan maka biayanya lebih<br />
murah,” paparnya.<br />
Wakil Ketua Komisi VII Zainuddin Amali saat melakukan pertemuan dengan Pemprov Sulbar<br />
Memang ada masalah teknis Mendagri bahwa memang benar<br />
masalah palung namun menurut posisi block Sebuku di Sulbar, se-<br />
masukan para ahli hal itu dapat diahingga potensi sumber daya yang<br />
tasi dengan menggunakan teknologi ada menjadi milik Sulbar. “Sulbar juga<br />
canggih. “Untuk pemerintah cost re- merupakan wilayah NK<strong>RI</strong>, sehingga<br />
covery hanya sepertiganya. Jadi saling tidak semata-mata untuk masyarakat<br />
menguntungan dan untuk Sulbar be- Sulbar. Tetapi prioritas diperuntulum<br />
ada industrinya,”ujarnya.<br />
kan bagaimana mempersejahterakan<br />
mawsyarakat Sulbar dimana blok Se-<br />
Blok Sebuku Bagian Sulbar buku itu berada,”katanya.<br />
Pada kesempatan itu, <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> Kemudian kedepannya, lanjutnya,<br />
memberikan dukungan secara politis harus diformalkan didalam keputusan<br />
terhadap Block Sebuku yang ada di politik di <strong>DPR</strong>, bahwa sebagai laporan<br />
pulau Laria-Lariang, menjadi bagian komisi VII memberikan dukungan se-<br />
dari provinsi Sulawesi Barat. “block cara politik bahwa blok sebuku yang<br />
Sebuku yang berada di wilayah pulau berada di pulau Laria-Lariang menjadi<br />
Laria-Lariang yang harus menjadi milik bagian dari provinsi Sulbar, kemudian<br />
Sulbar dilihat secara historis adminis- olahan dan lain-lainnya harus terputrative,”<br />
Tegas Wakil Ketua Komisi VII sat di Sulbar.<br />
Zainudin Amali.<br />
Dia menambahkan, pihaknya<br />
Menurut Zainudin, berdasar- akan berkoordinasi dengan komisi VI<br />
kan penjelasan Gubernur Sulbar de- <strong>DPR</strong> yang membidangi industri dan<br />
ngan dikuatkan bukti adanya Surat BUMN, supaya bagian dari pupuk kal-<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
KUNJUNGAN KERJA<br />
tim yang ada di Pusri dapat membuka<br />
industri di Sulbar. “Sementara mengenai<br />
keterlambatan dapat diteloransi<br />
sampai dua tahun, namun efeknya<br />
masyarakat merasakan secara langsung<br />
apa yang terkandung di dalam<br />
perut bumi mereka,”ujarnya.<br />
Menurutnya, rakyat setempat tidak<br />
memberikan dukungan penuh,<br />
karena mereka tidak merasakan langsung<br />
dari dampak investasi tersebut.<br />
“Tempatnya dieploitasi SDA, tapi tidak<br />
merasakan manfaatnya,”katanya.<br />
Dia melanjutkan, bahwa kita semua<br />
harus merubah paradigma tersebut,<br />
karena merupakan kewajiban kita untuk<br />
mensejahterakan rakyat sekitar<br />
lokasi setempat.<br />
Angka Kemiskinan Tinggi<br />
Pada tempat yang berbeda, tim<br />
Komisi VII <strong>DPR</strong> juga melakukan kunjungan<br />
ke Papua Barat, pada kesempatan<br />
itu, Anggota Komisi VII <strong>DPR</strong><br />
Satya Widya Yudha (F-PG) menyoroti<br />
tingginya angka kemiskinan di Teluk<br />
Bintuni, Papua Barat mencapai 46<br />
persen. “Ini sangat ironi sekali, padahal<br />
masyarakat setempat bersebelahan<br />
dengan LNG Tangguh yang<br />
kita anggap sebagai LNG center ketiga<br />
di Indonesia setelah LNG Arun-<br />
Aceh dan LNG Bontang-Kalimantan<br />
Timur,” ungkap Satya saat ditemui tim<br />
Parle usai meninjau LNG Tangguh,<br />
Papua Barat dalam rangka kunjungan<br />
kerja Komisi VII <strong>DPR</strong> ke Provinsi Papua<br />
Tim Kunker Komisi VII saat meninjau langsung LNG Tangguh<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />
Barat, Selasa (17/4).<br />
Menurut Satya, LNG Tangguh<br />
adalah mega-proyek yang membangun<br />
kilang LNG di Teluk Bintuni-<br />
Papua Barat untuk menampung gas<br />
alam yang berasal dari beberapa blok<br />
disekitar teluk Bintuni. Seperti Blok<br />
Berau, Blok Wiriagar dan Blok Muturi.<br />
LNG Tangguh ini melengkapi pengilangan<br />
gas yang sudah ada di Indonesia,<br />
yaitu LNG Arun-Aceh dan LNG<br />
Bontang-Kalimantan Timur, jelasnya.<br />
Ia meminta kepada pemerintah<br />
agar masalah ini dapat ditindaklanjuti<br />
dan ditangani secara serius dalam<br />
menangani pengalokasian gas domestik<br />
untuk daerah-daerah dimana LNG<br />
itu berada. Karena tidak ada alokasi<br />
gas Tangguh untuk domestik khususnya<br />
untuk daerah setempat sehingga<br />
dalam jangka pendek yang bisa dilakukan<br />
listriknya dapat digunakan<br />
untuk kepentingan sendiri. Pasalnya,<br />
Tangguh memiliki kelebihan pasokan,<br />
yang dapat diberikan kepada rakyat<br />
setempat sebesar 5 MW.<br />
“Tapi kedepan tidak cukup dengan<br />
itu, kedepan kita minta supaya<br />
ada gas yang dedikasi kepada daerah<br />
setempat untuk mengembangkan<br />
tidak hanya cuma listrik tapi juga<br />
city gas (gas kota), dan itu harus bisa<br />
mengalir ke daerah Kabupaten Bintuni<br />
dimana LNG Tangguh itu berada,”<br />
pinta Satya.<br />
Menurut Satya, pemerintah seharusnya<br />
sudah bisa merubah para-<br />
digma saat ini, dengan tidak lagi<br />
mengandalkan penerimaan negara<br />
saja tapi juga pada pembangunan<br />
dan pertumbuhan ekonomi. “Sehingga<br />
dalam pengembangan Tangguh<br />
kedepan tidak lagi bertumpuh hanya<br />
menjual gas ke luar negeri untuk<br />
pemasukan devisa negara yang besar<br />
tetapi harus melihat yang ada disekeli<br />
lingnya. Bagaimana caranya Tangguh<br />
itu berperan didalam mengembangkan<br />
atau memberikan pertumbuhan<br />
ekonomi di Papua Barat khususnya,”<br />
katanya.<br />
Untuk itu, lanjutnya, Komisi VII<br />
menitikberatkan kepada listrik karena<br />
kekurangan supply listrik dilokasi dimana<br />
disitu merupakan sumber gas<br />
itu membeikan kecemburuan bagi<br />
masyarakat setempat. Karena masyarakat<br />
setempat tidak diberikan<br />
listrik dengan baik yang sementara<br />
berdekatan dengan sumber gas besar.<br />
“Ini jadi program yang harus<br />
segera direalisasikan oleh Pemerintah,”<br />
tegasnya.<br />
Satya menambahkan, Komisi VII<br />
<strong>DPR</strong> akan memanggil Kementerian<br />
ESDM bahkan kalau bisa dalam waktu<br />
dekat akan minta adanya kunjungan<br />
spesifik dengan mengundang kehadiran<br />
Menteri ESDM atau Wamen ESDM<br />
untuk meninjau LNG Tangguh Papua<br />
Barat. “Disitu nanti Menteri ESDM atau<br />
Wamen ESDM dapat melihat langsung<br />
dan mendapatkan informasi yang detail<br />
dari daerah setempat, baik Kabupaten<br />
Bintuni maupun Pemerintah<br />
Provinsi Papua Barat,” katanya.<br />
Menurut Satya ini sangat penting,<br />
karena permintaan Bupati Kabupaten<br />
Teluk Bintuni Papua Barat ini<br />
harus kita difollow-upi seperti adanya<br />
city gas (gas kota), listrik yang ada<br />
disekitar daerah itu harus betul-betul<br />
kita prioritaskan.<br />
Untuk itu, lanjutnya, Komisi VII<br />
akan merencanakan meminta kepada<br />
Kementerian ESDM agar menangani<br />
ini secara serius dan melakukan kunjungan<br />
spesifik bersama ke LNG Tangguh.<br />
“Itu menjadi program prioritas<br />
kita kedepan ini,” tuturnya.***
Anggota <strong>DPR</strong> dari Fraksi Partai<br />
Demokrat Milton Pakpahan<br />
mengatakan, sektor energi, Indonesia<br />
masih menghadapi tantangan<br />
utama yaitu peningkatan kebutuhan<br />
dan konsumsi yang tidak diimbangi<br />
secara proporsional oleh peningkatan<br />
pasokan dan ketersediaan. “Peningkatan<br />
produksi minyak dan gas bumi<br />
serta pertambangan mineral dan batubara<br />
belum dapat dilaksanakan<br />
dengan optimal,” ujarnya.<br />
Saat ini, lanjutnya, Komisi VII<br />
sedang melaksanakan proses perubahan<br />
Undang-Undang Nomor 22<br />
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas<br />
Bumi, kata Milton seraya menambahkan<br />
perubahan dimaksud untuk<br />
memperbaiki tatakelola minyak dan<br />
gas bumi kita. “Hal tersebut sangat<br />
berkaitan erat dan perlu mendapatkan<br />
perhatian, mengingat Provinsi<br />
Papua Barat merupakan salah satu<br />
daerah penghasil migas yang cukup<br />
besar,” jelasnya.<br />
Terkait de-ngan sektor ketenagalistrikan,<br />
Milton menjelaskan, kita<br />
masih dihadapkan pada persoalan<br />
keterbatasan pasokan yang belum<br />
mampu memenuhi seluruh kebutuhan.<br />
Terlebih lagi di Provinsi Papua<br />
Barat yang juga masih terdapat ma-<br />
salah besar dalam pemenuhan<br />
kebutuhan pasokan listrik.<br />
“Sampai saat ini hanya<br />
sebagian kecil masyarakat<br />
di Papua Barat yang dapat<br />
menikmati listrik, sedangkan<br />
sebagian besar yang lain<br />
masih dalam kondisi gelap<br />
gulita dan belum menikmati<br />
terangnya listrik,” jelasnya.<br />
Menurutnya, yang utama<br />
yaitu bagaimana upaya<br />
untuk mempercepat pembangunan<br />
sektor ketenagalistrikan<br />
dan pengembangan<br />
ener-gi di Provinsi Papua<br />
Barat, karena Provinsi Papua Barat<br />
memiliki sumber energi yang cukup<br />
besar dan memiliki banyak sumber<br />
energi alternatif yang dapat dikembangkan.<br />
“Begitu juga dengan bidang lingkungan<br />
hidup serta riset dan teknologi<br />
(ristek) perlu mendapatkan perhatian<br />
yang serius, khususnya terkait dengan<br />
kerusakan dan upaya konservasi lingkungan<br />
hidup,” paparnya.<br />
Dia menambahkan, perlindungan<br />
dan pelestarian masyarakat dan tanah<br />
adat di bumi Papua Barat juga harus<br />
diprioritaskan sedangkan pengem-<br />
Anggota <strong>DPR</strong> Fraksi Partai Demokrat Milton Pakpahan (kanan)<br />
bangan riset dan teknologi dilakukan<br />
dalam upaya untuk meningkatkan nilai<br />
tambah dalam pemanfaatan sumber<br />
daya alam yang kita miliki, serta<br />
peningkatan daya saing dan produktivitas<br />
perekonomian juga perlu terus<br />
kita kembangkan guna melakukan akselerasi<br />
pembangunan.<br />
Milton berharap, kunjungan kerja<br />
ini dapat mencapai tujuan dan dapat<br />
bermanfaat bagi masyarakat serta<br />
memberikan dukungan terhadap program-program<br />
yang telah dicanangkan<br />
oleh Pemerintah Provinsi Papua<br />
Barat. (as/iw).<br />
Prioritaskan Program PKH<br />
dan KUBE Gorontalo<br />
Pemerintah Provinsi Gorontalo meminta kepada Tim Kunjungan Kerja<br />
Komisi VIII <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> untuk memperjuangkan Program Keluarga Harapan (PKH) dan<br />
Program Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Gorontalo.<br />
Hal tersebut disampaikan Gubernur<br />
Gorontalo Ruslie Habibie<br />
saat pertemuan dengan<br />
Tim Kunjungan Kerja Komisi VIII ke<br />
Provinsi Gorontalo yang dipimpin<br />
Wakil Ketua Komisi VIII Gondo Radityo<br />
Gambiro di Gedung Wanita<br />
Balelimbui, Gorontalo, Senin malam<br />
(16/4). “Kami harapkan saat pembahasan<br />
anggaran di pusat, Gorontalo<br />
mendapatkan prioritas untuk pro-<br />
gram tersebut,”kata Ruslie.<br />
Kepala Dinas Sosial Provinsi<br />
Gorontalo Baihaki Natsir yang turut<br />
hadir pada pertemuan tersebut,<br />
menjelaskan masih ada satu kabupaten<br />
yang belum mendapatkan program<br />
PKH yaitu Pohuwato.<br />
Untuk Program KUBE, dijelaskan<br />
bahwa masih banyak masyarakat<br />
Gorontalo yang tinggal di bukit-bukit,<br />
jika tidak di relokasi dikhawatirkan<br />
banyak terjadi penggundulan hutan<br />
akibat ladang berpindah sehingga<br />
dapat mengakibatkan longsor. “Kami<br />
juga telah mengusulkan 1000 rumah<br />
layak huni, karena faktanya masyarakat<br />
Gorontalo mayoritas memiliki<br />
rumah kurang layak, sementara setiap<br />
program telah kami usulkan dengan<br />
melampirkan proposal by name, by<br />
photo,”tambahnya.<br />
Ketua Tim Gondo Radityo Gam-<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
KUNJUNGAN KERJA<br />
biro mengatakan, meskipun APBNP<br />
2012 sudah diketok, namun Komisi<br />
VIII berjanji akan memperjuangkan<br />
hal tersebut saat Rapat Kerja dengan<br />
Kementerian Sosial.<br />
Anggota <strong>DPR</strong> dari PKS Jajuli Juwaeni<br />
menjelaskan bahwa dalam<br />
pembahasan APBNP tidak ada anggaran<br />
tambahan baik untuk PKH<br />
ataupun KUBE. Fokusnya kemarin<br />
untuk mengantisipasi jika BBM naik.<br />
Sedangkan untuk PKH ada tambahan,<br />
tapi hanya untuk menambah indeks.<br />
Namun demikian menurutnya berbagai<br />
masukan yang disampaikan akan<br />
menjadi prioritas Komisi VIII.<br />
Saat kunjungan ke Ponpes Bubohu,<br />
tim Kunjungan Kerja Komisi VIII<br />
<strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> yang dipimpin Wakil Ketua<br />
Komisi VIII Gondo Radityo Gambiro<br />
merasa Kagum pada Pondok<br />
Pesantren (Ponpes) bernuansa alam di<br />
Bubohu, Kabupaten Gorontalo.”Kami<br />
kagum dan bangga pada konsep<br />
alam dan religius yang diterapkan<br />
pada pondok pesantren Bubohu,” ujar<br />
Gondo saat berkunjung ke ponpes<br />
alam Bubohu pimpinan Yosef Ma’ruf<br />
, Selasa (17/4).<br />
Pada kesempatan tersebut Gondo<br />
juga meresmikan Kartu Pos Desa<br />
Wisata Bubohu yang diterbitkan<br />
Ponpes alam tersebut. Kartu pos yang<br />
Wakil Ketua Komisi VIII Gondo Radityo Gambiro<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 90 TH. XLII, 2012 |<br />
merupakan photo-photo ponpes<br />
alam dan lingkungan alam sekitar dijadikan<br />
sebagai brosure atau promosi<br />
bagi ponpes alam.<br />
Serahkan Bantuan<br />
Pada kesempatan berbeda, Tim<br />
Kunjungan Kerja Komisi VIII <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong><br />
menyerahkan bantuan Pembangunan<br />
Ruang Kelas Baru bagi Madrasah<br />
Aliyah Muhammadiyah Molowahu<br />
Gorontalo.Bantuan sebesar Rp 197<br />
juta dari Direktorat Jenderal Pendidikan<br />
Islam direktorat pendidikan<br />
madrasah Kementerian Agama diserahkan<br />
langsung Ketua Tim Gondo<br />
Radityo Gambiro saat meninjau<br />
Madrasah Aliyah Muhamadiyah di<br />
Molowahu Gorontalo, Senin (16/4).<br />
Madrasah Aliyah Molowahu<br />
Gorontalo ditetapkan sebagai penerima<br />
bantuan karena merupakan<br />
Madrasah yang didirkan atas dana<br />
masyarakat pada 2007 dan bangunan<br />
sekolahnya dibangun dari bantuan<br />
PNPM Mandiri pada 2010.<br />
Selain Madrasah, Tim kunjungan<br />
Komisi VIII <strong>DPR</strong> juga memberikan<br />
bantuan kepada Panti Sosial Tresna<br />
Werdha Ilomata Gorontalo. Panti<br />
sosial tersebut mendapatkan Bantuan<br />
Pemenuhan Kebutuhan Dasar Tahun<br />
2012 dari Kementerian Sosial. Bantuan<br />
sebesar Rp 38.325.000 bagi 35<br />
orang penghuni panti werdha ilomata<br />
diserahkan langsung Wakil Ketua<br />
Komisi VIII Chairunnisa saat meninjau<br />
panti tersebut, Selasa (17/4).<br />
Chairunnisa meminta kepada<br />
Kepala Dinas Sosial Provinsi Gorontalo<br />
dan pengurus panti untuk benarbenar<br />
memperhatikan Panti dan jika<br />
memang ada kekurangan dana harap<br />
diinfokan kepada pemerintah daerah<br />
setempat. “Jika kita informasikan kepada<br />
Pemerintah daerah, saya yakin<br />
pemda akan memberikan perhatiannya,<br />
pemerintah melalui APBN hanya<br />
dapat membantu pada pemenuhan<br />
kebutuhan dasar,” kata Chairunnisa.<br />
Dia menambahkan, dibutuhkan<br />
keikhlasan dan waktu untuk mengurus<br />
panti, mengasuh manula merupakan<br />
amal ibadah yang akan mendapat-<br />
kan pahala. “Kita anggap saja seperti<br />
mengurus ortu sendiri,”terangnya.<br />
Jadi Embarkasi Haji Penuh<br />
Gubernur Provinsi Gorontalo<br />
Ruslie Habibie mengharapkan kepastiannya<br />
agar Bandara Jalaluddin<br />
Gorontalo untuk ditingkatkan dari<br />
Embarkasi Haji Antara (EHA) menjadi<br />
Embarkasi penuh. Permintaan<br />
tersebut disampaikan oleh Ruslie<br />
saat Komisi VIII melakukan Kunjungan<br />
Kerja yang dipimpin Wakil Ketua<br />
Komisi VIII Gondo Radityo Gambiro di<br />
Gedung Wanita Balelimbui,Gorontalo,<br />
Senin Malam (16/4).<br />
Ketua <strong>DPR</strong>D Gorontalo Marthen<br />
A Taha yang turut hadir dalam pertemuan<br />
tersebut menerangkan bahwa<br />
sejak 2008 Bandara Jalaluddin sudah<br />
menjadi EHA. Seluruh pengurusan haji<br />
dan asramanya di urus di Gorontalo.<br />
“Dengan adanya EHA waktu perjalanan<br />
menjadi sedikit. Hanya menginap<br />
semalam di asrama Gorontalo,<br />
keesokannya langsung berangkat ke<br />
Makasar. Di Makasar hanya pindah<br />
pesawat” papar Marthen.<br />
Menurutnya, berbagai persyaratan<br />
dari kementerian agama dan<br />
perhubungan belum bisa dipenuhi.<br />
“Bandara Jalaluddin belum bisa didarati<br />
pesawat berbadan besar, demikian<br />
pula dengan terminalnya masih<br />
sangat terbatas. Namun dari sisi pengurusan<br />
haji dan asrama Pemerintah<br />
Daerah telah berusaha memenuhi<br />
persyaratannya dengan membangun<br />
kamar sampai mencapai jumlah yang<br />
ditentukan dari anggaran APBD.<br />
Yang menjadi masalah saat ini<br />
adalah bandara ex bandara hasanuddin<br />
yang digunakan untuk jemaah haji<br />
sudah tidak bisa digunakan untuk haji,<br />
sedangkan bandara hasanudin baru<br />
tidak bisa digunakan untuk haji.<br />
Ketua Tim Komisi VIII Gondo<br />
Radityo Gambiro menjawab bahwa<br />
permintaan tersebut juga diminta<br />
oleh Bandara di Nusa Tenggara Barat.<br />
“Kami akan berusaha mempertanyakan<br />
hal tersebut, namun tidak hanya<br />
masalah bandara tapi juga dengan<br />
peningkatannya,” kata Gondo. (sc)
SOROTAN<br />
Pemiskinan Pengemplang Pajak,<br />
Timbulkan Efek Jera<br />
Belum Lama ini kita kembali terhentak, dan dikagetkan muncul kembali kasus<br />
pajak seperti kasus Gayus II, yang kali ini menimpa pegawai pajak berinisial DW<br />
yang diduga memiliki Rp. 60 Miliar. Kejaksaan Agung (Kejagung) telah<br />
menetapkan DW sebagai tersangka pada 16 Februari 2012, setelah ditetapkan<br />
sebagai tersangka, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Noor Rachmad<br />
juga mengatakan penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus<br />
(Jampidsus) telah mengajukan permohonan cekal terhadap DW.<br />
Anggota Fraksi Partai Golkar<br />
Satya Widya Yudha<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 90 91 TH. XLII, 2012 |
SOROTAN<br />
Kemudian, beberapa waktu lalu,<br />
penyidik juga telah melakukan<br />
penggeledahan, penyitaan,<br />
serta pemblokiran terhadap aset DW.<br />
Dari hasil penggeledahan, penyidik<br />
menemukan dokumen, sertifikat,<br />
uang dalam pecahan rupiah dan dollar,<br />
serta logam mulia berupa emas<br />
yang saat ini sudah disita penyidik.<br />
Menanggapi persoalan itu, Satya<br />
W. Yudha dari Partai Golkar mengatakan,<br />
kasus pengemplangan<br />
pajak merupakan bentuk sinyalemen<br />
APBN yang tidak efisien. Karena banyaknya<br />
kebocoran didalam APBN selama<br />
kurun waktu 10 tahun terakhir,<br />
bahkan diprediksi kebocoran bisa<br />
sampai 20 persen.<br />
“Faktor kebocoran itu macammacam<br />
dari sisi pajak karena bermacam<br />
tipe pajak ada pajak di perusahaan-perusahaan<br />
royalti serta wajib<br />
pajak, kemudian kedua kebocoran<br />
di penerimaan yang lain sehingga<br />
menurut hemat saya penyelesaian<br />
pajak yang menjadi sokogurunya<br />
kita dimana pendapatan kita APBN<br />
25 persen migas sisanya pajak itu sangat<br />
mengganggu kesehatan APBN<br />
kalau diteruskan menambah defisit<br />
anggaran,”ujarnya.<br />
Menurutnya, tindakan pemerintah<br />
menambah belanja hingga defisit 3<br />
persen itu sangat ironis sekali, dimana<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 90 TH. XLII, 2012 |<br />
Anggota dari F-Golkar Satya W. Yudha<br />
banyaknya kebocoran pajak negara.<br />
“Kita meminta ada pemeriksaan yang<br />
melekat baik dimiliki kementerian<br />
keuangan dan inspektorat-inspektorat<br />
di departemen hingga pendapatan<br />
negara tidak diselewengkan,”katanya.<br />
Kejadian ini, lanjut Satya, seperti<br />
api dan sekam permasalahan pajak<br />
tidak transparan, bahkan kita tidak<br />
pernah tahu berapa total wajib pajak<br />
yang betul-betul terdaftar dan taksiran<br />
pajak yang benar. Artinya bisa saja<br />
sebuah perusahaan menggelapkan<br />
taxasi tidak seperti asli atau realnya.<br />
Dia mendesak Kementerian atau<br />
lembaga, BPK, BPKP ikut turut serta<br />
audit pajak agar taxasi pajak betulbetul<br />
akurat sehingga kita mengetahui<br />
pendapatan utuh dari sektor pajak.<br />
“Saat ini kita memang sering dikejutkan<br />
terbongkarnya kasus pajak karena<br />
membayar lebih ternyata kurang. Ini<br />
sudah mengejala bahkan banyak pihak<br />
yang mengatakan APBN kita bisa<br />
menanggung subsidi BBM, jika pajak<br />
tidak diselewengkan,”ujarnya.<br />
Pendekatan pajak sekarang ini<br />
ada dua, pertama wajib pajak melapor<br />
karena dia menganggap ketika<br />
mendapatkan kartu identitas pajak,<br />
pihaknya mendapatkan kemudahan<br />
seperti tidak perlu membayar fiskal<br />
ketika keluar negeri dan sebagainya.<br />
Apapun juga dikaitkan dengan kartu<br />
wajib pajaknya yang paling penting<br />
kejujurannya.<br />
Menurutnya, pemerintah bisa<br />
melakukan sistem satu pintu, misal-
nya saja dengan sistem standarisasi<br />
dimana para wajib pajak dapat mengisi<br />
online dan mendapatkan total<br />
pajak yang dibayar. “Itu dapat menjadi<br />
langkah yang bagus dengan memangkas<br />
birokrasi yang ada,”katanya.<br />
Namun terdapat kendala jika bicara<br />
barang maka perlu bukti-bukti<br />
otentik dengan cara menggiatkan<br />
inspeksi pajaknya. “ini kombinasi dua<br />
sistem, orang dipermudah sehingga<br />
orang mudah mengkalkulasinya, kemudian<br />
inspeksi pajak juga tetap<br />
bekerja dia mengetahui persis yang<br />
dilaporkan sesuai yang dimiliki sebenarnya.<br />
Karena itu <strong>DPR</strong> meminta<br />
instansi pajak atau karyawan pajak<br />
tidak main-main dalam hal ini karena<br />
mempengaruhi sumber pendapatan<br />
nasional,”tegasnya.<br />
Saya mengusulkan, perlu ada<br />
sanksi hukum yang tegas terhadap<br />
penyeleweng pajak. Jadi tidak hanya<br />
dimutasi, dipindahkan bahkan dikeluarkan<br />
dalam hal ini sanksi administrasi<br />
semata tetapi harus dengan<br />
cara pemiskinan bagi para tersangka<br />
tersebut. “Wacana pemiskinan itu<br />
menjadi penting karena menimbulkan<br />
efek jera., misal seperti kasus Dhana<br />
harus disita betul dan dimiskinkan<br />
dan dikembalikan kepada posisi awal.<br />
Ini harus dicermati apabila hanya<br />
sanksi biasa mereka masih lenggang<br />
kangkung,”katanya.<br />
Kedua sistem sindikat biasanya<br />
berjenjang pada sistem birokrasi dan<br />
biasanya menggunakan karyawan<br />
dibawah sebagai penerima dana yang<br />
tentunya akan menyetor keatasannya.<br />
“Jadi tidak hanya stop kepada orang<br />
tersebut tetapi sumbernya yang<br />
memperoleh kue yang besar. Harus<br />
disikat habis karena ini sudah menjadi<br />
wabah dan tidak mudah menjadikan<br />
pengemplang pajak dan penghitung<br />
pajak bila menyeleweng jadikan musuh<br />
bersama membuat APBN kita kedodoran.<br />
Sementara Ketua panitia kerja<br />
(Panja) Mafia Pajak <strong>DPR</strong> Tjatur Sapto<br />
Edy mendesak Kepolisian dan Kejaksaan<br />
memprioritaskan pengusutan<br />
skandal mafia pajak ‘kakap’. <strong>DPR</strong><br />
menyindir kinerja Kepolisian dan Kejaksaan<br />
yang hanya berkutat di kasus<br />
pajak dengan kerugian keuangan<br />
negara miliarian rupiah.<br />
“Ada beberapa kasus yang besar<br />
yang kita minta Dirjen Pajak untuk<br />
menindaklanjuti kasus-kasus itu di internal.<br />
Kemudian diproses oleh penegak<br />
hukum, tapi kan sampai sekarang<br />
mereka jarang memproses pelanggar<br />
pajak yang besar. Kalau hanya fokus<br />
di kasus DW (Dhana Widyatmika), itu<br />
kecil,” kata Tjatur<br />
Menurutnya upaya pemberantasan<br />
korupsi di sektor pajak harus<br />
ditunjukkan dengan komitmen penegakan<br />
hukum. “Kasus DW dan Gayus<br />
itu masih level anak buah, sementara<br />
proses hukum untuk atasan mereka<br />
mandek termasuk perusahaan besar<br />
wajib pajak yang menunggak dengan<br />
cara kongkalikong di Ditjen Pajak. Ini<br />
harus segera diselesaikan,” terangnya.<br />
(si/iw)<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 90 91 TH. XLII, 2012 |
LIPUTAN KHUSUS<br />
Fit And Proper Test BPK<br />
INTEG<strong>RI</strong>TAS DAN<br />
KEJUJURAN,<br />
Modal Pimpin BPK <strong>RI</strong><br />
0 0 | | PARLEMENTA<strong>RI</strong>A PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | | Edisi Edisi 91 91 TH. TH. XLII, XLII, 2012 2012 |<br />
|
Integritas, kejujuran maupun track<br />
record seorang calon anggota<br />
BPK menjadi point penting bagi<br />
seseorang yang ingin mendaftar<br />
menjadi anggota BPK. Sebelumnya<br />
uji kelayakan dan kepatutan diikuti<br />
oleh 35 calon untuk mencari pengganti<br />
Wakil BPK Herman Widyananda<br />
yang wafat tahun lalu, dan anggota<br />
BPK Sapto Amal Damandari. Dari 35<br />
calon ternyata mengundurkan diri<br />
dua orang yaitu mantan Kepala BPH<br />
Migas Tubagus Haryono mundur, dan<br />
Nursanita Nasution juga menyatakan<br />
mundur jadi calon Anggota Badan<br />
Pemeriksa Keuangan (BPK). Kini sisa<br />
calon anggota tinggal 33 orang.<br />
“Tadinya memang ada 35 orang,<br />
Pengunduran dirinya tersebut karena<br />
belum dua tahun sebagai kuasa badan<br />
anggaran, terkait masa jabatannya sebagai<br />
kepala BPH migas,” jelas Wakil<br />
ketua Harry Azhar Azis kepada parle.<br />
Menurut Harry, Kriteria yang diharapkan<br />
dari dua anggota BPK<br />
nantinya, berdasarkan kriteria-kriteria<br />
undang-undang secara khusus yakni<br />
harus lulus secara track record. Kemudian<br />
harus lulus tentang kompetensi<br />
secara proporsional, serta integritas<br />
diri yang menjadi bahan pertimbangan<br />
komisi XI untuk memilih dua<br />
anggota BPK.<br />
“Ketika calon yang terpilih ternyata<br />
dari golongan partai maka mereka harus<br />
meninggalkan partainya, sebelum<br />
terpilih mereka masih boleh mengikuti<br />
partainya,” pungkas Harry.<br />
Ke-33 orang tersebut mendapat<br />
cecaran pertanyaan dari Komisi XI<br />
<strong>DPR</strong>, mulai pertanyaan kemampuan<br />
menganalisa, integritas, kejujuran<br />
bahkan kapasitas dari calon diteliti<br />
sedemikian rupa oleh anggota Komisi<br />
XI <strong>DPR</strong>. Guna mendapatkan dua nama<br />
anggota BPK yang mumpuni, <strong>DPR</strong><br />
melakukan rapat secara marathon<br />
sehingga diharapkan mendapatkan<br />
calon yang sesuai harapan masyarakat<br />
Indonesia.<br />
Rapat fit and proper test calon anggota<br />
BPK, dimulai dari tanggal 22-29<br />
Februari 2012, masing-masing calon<br />
berusaha memaparkan programnya<br />
kepada seluruh anggota Komisi XI<br />
<strong>DPR</strong>. Ada beberapa calon yang memiliki<br />
program menarik misalnya saja,<br />
auditor Utama KN II BPK Syafri Adnan<br />
Ketua Komisi XI <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> Emir Moeis saat memimpin fit and proper test calon Anggota BPK <strong>RI</strong><br />
Badaruddin yang berjanji akan mengaudit<br />
semua anggaran pada kinerja<br />
berjalan jika terpilih sebagai anggota<br />
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)<br />
“Saya akan bekerja semaksimal<br />
mungkin jika menjadi anggota BPK,<br />
salah satunya mengaudit semua<br />
anggaran pada kinerja yang berjalan<br />
nantinya,” ujarnya saat mengikuti<br />
pelaksanaan uji kepatutan dan kelayakan<br />
anggota BPK di Gedung <strong>DPR</strong>.<br />
Menurutnya, dari sekitar 4.000-<br />
5.000 auditor yang dimiliki Indonesia<br />
saat ini, yang mempunyai kualifikasi<br />
untuk audit kinerja hanya sekitar 350<br />
auditor. “Jadi nantinya kita tingkatkan<br />
terus sampai tahun 2015 sekitar 1.700<br />
auditor,”paparnya. Namun meskipun<br />
dianggap memiliki pengalaman kerja<br />
yang mumpuni ternyata Syafri masih<br />
belum cukup menarik perhatian<br />
anggota Komisi XI <strong>DPR</strong> untuk dipilih,<br />
akhirnya berdasarkan rapat internal<br />
Komisi XI <strong>DPR</strong> dipilihlah dua orang<br />
anggota yaitu Sapto Amal Damandari<br />
dan Agung Firman Sampurna sebagai<br />
anggota BPK <strong>RI</strong> Periode 2012-2017.<br />
Persetujuan Paripurna<br />
Pada Rapat Paripurna, kedua nama<br />
tersebut akhirnya dibacakan oleh<br />
Wakil Ketua Komisi XI <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong>, Achsanul<br />
Qosasih terkait materi Paripurna<br />
pembahasan pencalonan dan pemilihan<br />
Anggota BPK periode 2012-2017<br />
untuk dimintakan persetujuan Paripurna<br />
<strong>DPR</strong> <strong>RI</strong>.<br />
Achsanul mengatakan, berdasarkan<br />
keputusan rapat Badan Musyawarah<br />
<strong>DPR</strong> <strong>RI</strong>, Komisi XI <strong>DPR</strong> diberikan<br />
tugas untuk membahas<br />
pencalonan anggota BPK <strong>RI</strong> dalam<br />
rangka menindaklanjuti Surat Ketua<br />
BPK No.174/S/I/09/2011 tertanggal<br />
15 September 2011 perihal Penggantian<br />
Antar Waktu dan pemberitahuan<br />
berakhirnya masa jabatan anggota<br />
BPK.<br />
Komisi XI <strong>DPR</strong> juga telah melakukan<br />
uji kelayakan kepada 33 calon<br />
anggota BPK. Selanjutnya dalam rapat<br />
internal Komisi XI pada 7 Maret 2012,<br />
dilakukan pengambilan keputusan<br />
melalui pemungutan suara (voting).<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 | 1
LIPUTAN KHUSUS<br />
Pimpinan <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> Marzuki Alie dan Pramono Anung bersama dua anggota BPK <strong>RI</strong> Sapto Amal Damandari (paling kanan) dan Agung Firman Sampurna<br />
Dalam voting tersebut, lanjut<br />
Achsanul ada enam kandidat yang<br />
berhasil mendapat dukungan suara<br />
yaitu Sapto Amal Damandari dengan<br />
34 suara, Agung Firman Sampurna<br />
mendapat 28 suara, Syafri A. Baharuddin<br />
memperoleh 24 suara, Parwito<br />
memperoleh 24 suara, Dharma Bakti<br />
mendapat 1 suara, dan Agus Purwanto<br />
mendapat 1 suara. Berdasarkan<br />
hasil tersebut, Komisi XI menyepakati<br />
bahwa kandidat dengan perolehan<br />
suara terbanyak pertama dan kedua<br />
yang terpilih menjadi Anggota BPK<br />
periode 2012-2017.<br />
Seperti diketahui, dua anggota<br />
BPK yang baru tersebut akan menempati<br />
dua posisi kosong di BPK<br />
pada Mei 2012 mendatang. Pertama,<br />
posisi sebagai Anggota III BPK yang<br />
membidangi mengenai Pemeriksaan<br />
Pengelolaan dan Tanggung Jawab<br />
Keuangan Negara Bidang Lembaga<br />
Negara, Kesejahteraan Rakyat, Kesekretariatan<br />
Negara, Aparatur Negara,<br />
Riset dan Teknologi yang saat ini masih<br />
dirangkap oleh Wakil Ketua BPK,<br />
Hasan Bisri.<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />
Kedua, posisi sebagai Anggota V<br />
BPK yang membidangi Pemeriksaan<br />
Pengelolaan dan Tanggung Jawab<br />
Keuangan Daerah dan Kekayaan Daerah<br />
yang Dipisahkan pada Wilayah I<br />
(Sumatera dan Jawa). Posisi ini sebelumnya<br />
diisi oleh Sapto Amal Damandari<br />
yang akan berakhir masa tugasnya<br />
pada Mei mendatang. (si)<br />
***<br />
suasana fit and proper test calon Anggota BPK <strong>RI</strong>
SELEB<strong>RI</strong>TIS<br />
Tiya Diran<br />
Sampai Sekarang Belum Tergoda<br />
Setiap acara kenegaraan yang<br />
dihadiri Presiden atau tamu<br />
mancanegara hampir selalu dipastikan<br />
disitu ada Tiya Diran sebagai<br />
master of ceremony. Master sebuah<br />
acara pastinya tokoh kunci, itulah sebabnya<br />
penyiar TV<strong>RI</strong> berkulit hitam<br />
manis ini selalu tampil total, mulai<br />
dari memeriksa kesiapan sound system,<br />
membangun komunikasi dengan<br />
tim pendukung acara dan tentu gladi<br />
bersih yang benar-benar bersih.<br />
“Keberhasilan sebuah acara tergantung<br />
bagaimana persiapan termasuk<br />
komunikasi yang terbangun diantara<br />
seluruh tim pendukung,” kata Tiya<br />
disela-sela gladi bersih pembukaan<br />
Konferensi Parlemen Anggota OKI<br />
(PUIC) di Palembang, Sumsel, beberapa<br />
waktu lalu. Beberapa kali ia terlihat<br />
bicara dengan sound engineer agar<br />
output dari pengeras suaranya bisa<br />
lebih baik. Senyum selalu mengambang<br />
dari bibirnya ketika memberikan<br />
aba-aba kepada petugas gladi bersih.<br />
Beberapa kali ia harus mengulang komando<br />
dengan intonasi yang tetap<br />
terjaga, tidak ada kesan kesal dari<br />
nada suaranya.<br />
MC pada Konferensi Internasional<br />
PUIC yang dihadiri Presiden SBY,<br />
Sekjen OKI, Ketua <strong>DPR</strong> dan anggota<br />
parlemen dari 45 negara Islam adalah<br />
salah satu acara resmi kenegaraan<br />
yang berhasil dipandunya dengan<br />
baik. Daftar lainnya tentu masih panjang<br />
diantaranya acara Presidential<br />
Lectures di Istana Negara dengan<br />
pembicara antara lain, Sekjen PBB<br />
Koffi Annan (2010), Prince of Wales<br />
(2008), Asean – Uni Eropa Business<br />
Summit, World Geothermal Energy<br />
Congress.<br />
Penggemar jagoan banyak akal<br />
Indiana Jones ini ternyata tidak hanya<br />
piawai menjadi MC tetapi juga menjadi<br />
penerjemah berkesinambungan<br />
– simultaneous interpreter. Kebisaan<br />
ini telah mengantarnya keliling dunia<br />
pada acara-acara besar seperti G 20<br />
Summit di Korea, KTT APEC di Jepang,<br />
Google’s SAVE di Irlandia atau Million<br />
Dollar Round Table di Atlanta, Georgia,<br />
USA.<br />
Menjadi seorang MC baginya<br />
Tiya Diran<br />
adalah seni mengendalikan diri. Salah<br />
satu pengalaman paling berkesan dan<br />
menegangkan yang pernah dialaminya<br />
adalah pada saat menjadi MC<br />
kenegaraan acara penganugerahan<br />
Democracy Award di Grand Hyatt,<br />
Bali. Acara yang dihadiri Presiden SBY<br />
dan tamu-tamu penting lain yang<br />
sudah berjalan beberapa waktu sontak<br />
terhenti. Apa pasal..., mati lampu.<br />
| | PARLEMENTA<strong>RI</strong>A PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | | Edisi Edisi 91 91 TH. TH. XLII, XLII, 2012 2012 |<br />
|
SELEB<strong>RI</strong>TIS<br />
Tiya Diran bersama rekan penyiar TV<strong>RI</strong><br />
Ballroom yang terletak di basement<br />
itu gelap gulita selama lebih kurang<br />
2 menit.<br />
Panitia penyelenggara panik, ge-<br />
Tiya Diran bersama Presiden Timor Leste<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />
nerator yang seharusnya bisa cepat<br />
berfungsi ternyata mogok. Ditengah<br />
remang cahaya lampu darurat ketua<br />
panitia dengan terbata-bata meminta<br />
maaf<br />
dan mencoba<br />
menjelaskan<br />
kepada Presiden<br />
SBY dan<br />
hadirin bahwa<br />
upaya perbaikan<br />
saat ini<br />
tengah berlangsung.<br />
K e t i k a<br />
akhirnya lampu<br />
menyala<br />
kembali Tiya<br />
segera memutar<br />
otak<br />
mencari kata<br />
pembuka untukmencairkan<br />
suasana<br />
yang terlanjur<br />
beku. “Saya<br />
bilang, Pak<br />
Presiden mati<br />
lampu tadi<br />
d i s e n g a j a ,<br />
seperti buku<br />
Tiya Diran bersama Ibu Any Yudhoyono<br />
ibu Kartini habis gelap terbitlah terang.<br />
Demikian pula acara penghargaan Democracy<br />
Award ini seakan memperlihatkan<br />
perjalanan demokrasi Indonesia<br />
yang harus melewati lorong gelap<br />
terlebih dahulu dan kemudian sampai<br />
pada satu titik munculnya sinar, itulah<br />
saat penghargaan bagi demokrasi<br />
kita.” Hadirin bertepuk tangan, kebekuan<br />
cair kembali.<br />
Alumni Lester B. Pearson College,<br />
Canada ini memang serba bisa, ibarat<br />
kata santai bisa resmi juga boleh. Baginya<br />
humor penting dalam melewati<br />
tantangan demi tantangan kehidupan,<br />
ini berhasil dibawakannya dengan renyah<br />
di panggung MC dalam porsi<br />
wajar sehingga tidak merusak hakekat<br />
utama sebuah acara. Pilihan kata, intonasi,<br />
kostum yang tepat membuat<br />
acara resmi yang dipandunya mengalir,<br />
jauh dari bosan atau kaku.<br />
Tampil di banyak acara kenegaraan<br />
pastinya banyak menarik perhatian<br />
pejabat baik di pusat maupun di daerah<br />
sehingga menambah jam terbang<br />
Tiya sebagai MC lintas provinsi. Seperti<br />
minggu lalu ia diundang khusus<br />
seorang bupati untuk membawakan<br />
satu acara didaerahnya. Honornya<br />
pasti tinggi dong?. Ia tergelak sambil
mengelak. “Pastinya ada tarif, alhamdulillah<br />
kalau yang ngundang mau<br />
mengikuti itu.”<br />
Wanita kelahiran 23 November<br />
ini kembali terbahak ketika ditanya<br />
berapa tarif ngemsi kalau yang mengundang<br />
anggota <strong>DPR</strong>. “Wakil kita<br />
di <strong>DPR</strong> pasti ada yang kaya juga kan..<br />
tapi saya juga punya banyak teman,<br />
kalau teman cincailah haha..,” imbuh<br />
pembawa acara upacara pembukaan<br />
Sea Games XXVI Palembang bersama<br />
Tantowi Yahya yang juga anggota<br />
Komisi I <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong>. “Uang penting tapi<br />
bekerja tidak selalu untuk uang-kan,<br />
saya juga sering mendukung acaraacara<br />
sosial.”<br />
TV<strong>RI</strong> dan UU Penyiaran<br />
Menjadi MC papan atas tidak<br />
membuat Tiya Diran melupakan<br />
akarnya TV<strong>RI</strong>, stasiun televisi plat<br />
merah yang sudah digelutinya sejak<br />
tahun 1985. “Aku harus mengakui<br />
TV<strong>RI</strong>-lah yang pertama kali membesarkan<br />
aku, dimulai dengan jadi penyiar<br />
tahun 1985, sekarang tetap di<br />
TV<strong>RI</strong> walaupun godaan banyak untuk<br />
pergi. Bagi aku TV<strong>RI</strong> tetap dihati dan<br />
tidak pernah tergoda pindah kelain<br />
hati.” jelasnya sambil kembali tersenyum,<br />
deretan gigi putih mempertegas<br />
pesona seorang Tiya.<br />
Cerita kemudian mengalir tentang<br />
kondisi televisi tertua di republik<br />
yang diibaratkan bagai kapal besar,<br />
penuh penumpang yang semakin<br />
sulit bergerak. Dinamika bangsa inilah<br />
yang membuat TV<strong>RI</strong> merana. Era<br />
orde baru ketika mereka masih muda<br />
bergairah, kreativitas adalah tabu.<br />
Mereka bekerja tapi dengan tangan<br />
diikat. Mendadak sontak orde baru<br />
tumbang, muncullah era reformasi.<br />
Tangan terikat dilepas tapi mereka<br />
kemudian langsung disuruh lomba<br />
lari sprint dengan stasiun televisi baru<br />
ditingkat nasional maupun lokal.<br />
“Kita jelas terseok, TV swasta muncul<br />
dengan modal besar, SDM fresh<br />
graduate dengan tenaga penuh. Sementara<br />
TV<strong>RI</strong> yang seakan baru lepas<br />
kungkungan mana mungkin bisa berlari<br />
dengan tenaga dan dana yang<br />
dibatasi,” keluhnya. UU Penyiaran<br />
memberi TV<strong>RI</strong> peran baru menjadi<br />
Lembaga Penyiaran Publik. Ini menjadi<br />
nafas baru, namun ternyata belum<br />
cukup karena tidak didukung peningkatan<br />
anggaran untuk memproduksi<br />
program siaran berkualitas.<br />
Tiya Diran berharap revisi UU Penyiaran<br />
yang sedang digarap Komisi I<br />
<strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> dapat kembali mendorong kebangkitan<br />
stasiun televisi milik bangsa<br />
ini. Peran TV Publik menurutnya<br />
patut dipertahankan, karena masyarakat<br />
saat ini sangat memerlukan stasiun<br />
televisi penyeimbang ditengah<br />
pesatnya perkembangan TV Swasta<br />
yang notabene dimiliki segelintir pengusaha<br />
yang membawa misi kelompok<br />
atau partai politik tertentu.<br />
“Posisi publik sudah pas, kita menjadi<br />
televisi penyeimbang memberi<br />
pilihan pada masyarakat. Swasta kebanyakan<br />
dimiliki individu dengan<br />
kepentingan tertentu, seperti partai<br />
politik dan sebagainya. TV<strong>RI</strong> berada<br />
ditengah, indenpen, bukan kepanjangan<br />
pemerintah, bukan pula kelompok<br />
tertentu seperti parpol,” urainya.<br />
Kedekatan dengan tokoh parpol<br />
membuat Tiya juga tidak luput dari<br />
godaan untuk terjun berpolitik praktis.<br />
Namun sejauh ini ia masih mampu<br />
bertahan dengan profesi yang sudah<br />
terlanjur dicintainya. “Saya lebih suka<br />
freelance, bebas tidak terikat. Banyak<br />
yang udah dorong-dorong tapi tetep<br />
gak mau, tak tergoda. Saya ngemsi<br />
aja, penterjemah, sampai kapan?...<br />
sampai gak laku lagi kali ya,” katanya,<br />
kali ini kembali diiringi derai tawa ceria.<br />
(iky)<br />
***<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
PERNIK<br />
Taman <strong>DPR</strong><br />
Kawasan Hijau Sekaligus<br />
Area Penyerapan Air<br />
Gedung <strong>DPR</strong> yang mempunyai nilai arsistik yang cukup tinggiini merupakan salah satu<br />
gedung yang bersejarah di Indonesia.<br />
Salah satu taman di sekitar kawasan Gedung <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong><br />
Gedung ini dirancang dan dibangun<br />
antara lain oleh Ir. Soejoedi<br />
dan Ir. Soetami serta ratusan armada<br />
semut, armada muda dan mahasiswa<br />
dari berbagai perguruan tinggi<br />
teknik yang ada di Indonesia, yang<br />
bergotong-royong dengan puluhan<br />
tenaga senior dari berbagai macam<br />
departemen, instansi pemerintah dan<br />
perusahaan-perusahaan swasta.<br />
Kepala Sub Bagian Halaman Akhmad<br />
mengatakan, bahwa kawasan<br />
komplek tersebut sekarang sudah<br />
menjadi salah satu obyek wisata<br />
penting dan juga mendapat perhatian<br />
yang cukup tinggi di Jakarta. Luas<br />
lahan yang mencapai 38 Ha menjadi-<br />
| | PARLEMENTA<strong>RI</strong>A PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | | Edisi Edisi 91 91 TH. TH. XLII, XLII, 2012 2012 |<br />
|<br />
kan kawasan komplek perkantoran<br />
para wakil rakyat ini juga dijadikan<br />
sebagai kawasan yang memiliki fungsi<br />
penyerapan air yang cukup tinggi<br />
bagi lingkungan perkantoran di sekitar<br />
Senayan.<br />
Akhmad mengemukakan, pohonpohon<br />
yang ada disekitar kawasan<br />
komplek ini cukup tinggi dan besarbesar<br />
dan cukup rindang yang hampir<br />
merata keseluruh lahan kosong di kawasan<br />
komplek senayan ini menjadikan<br />
kawasan ini sebagai tempat yang<br />
nyaman dan membawa ketenangan<br />
untuk beraktifitas.<br />
Sebagai tempat yang cukup representasi<br />
dari pengayoman mereka<br />
yang akan menyampaikan aspirasi<br />
masyarakatnya, kawasan komplek gedung<br />
ini selalu terbuka untuk semua<br />
kalangan masyarakat, baik yang ingin<br />
menyampaikan aspirasi, wisata, study<br />
tour, penelitian bahkan juga sangat<br />
terbuka bagi masyarakat.<br />
Akhmad juga menambahkan, taman<br />
yang ada dilokasi komplek perkantoran<br />
ini selain dijadikan fungsi<br />
daerah penyerapan air, juga merupakan<br />
kawasan yang dapat membuat<br />
suatu keindahan dan membawa kesejukan<br />
tersendiri bagi para karyawan<br />
dan karyawati Setjen MPR/<strong>DPR</strong> dan<br />
DPD serta para pengemudi maupun<br />
para anggota Dewan, juga para pen-
gunjung yang sengaja datang ke gedung<br />
Dewan ini.<br />
Menurut petugas pertamanan<br />
Setjen <strong>DPR</strong> staf Abd Haris mengengemukankan,<br />
bahwa taman yang ada di<br />
lokasi ini di bagi dua zona, zona pertama<br />
di depan gedungMPR/<strong>DPR</strong>/DPD,<br />
sedangkan zona ke dua yang ada dibelakang<br />
gedung, sementara luas taman<br />
yang ada di gedung Dewan ini<br />
adalah 20 persen dari sisa bangunan<br />
yang luas lahannya mencapai kurang<br />
lebih 38 hektare.<br />
Abd Haris selaku koordinator<br />
petugas taman dan halaman yang<br />
kesehariannya mengurus taman dan<br />
halam tersebut menambahkan, bahwa<br />
petugas yang setiap hari merawat<br />
taman dikelola oleh pihak ke tiga<br />
yaitu dikelola oleh dua perusahaan<br />
Perseroan Terbatas (PT) dengan jumlah<br />
petugas kurang lebih 100 orang<br />
pertugas yang setiap harinya.<br />
Petugas taman yang berasal dari<br />
asli Betawi ini juga menjelasakan<br />
bahwa dari 100 orang<br />
karyawan yang mengelola<br />
taman ini juga ada<br />
daftar piketnya yang dilakukan<br />
setiap hari libur<br />
biasa maupun libur besar<br />
seperti hari raya idul<br />
adha maupun hari raya<br />
idul fitri, setiap kali piket<br />
sebanyak dua orang setiap<br />
bertugas piket.<br />
Selain taman out<br />
door juga ada taman in<br />
door, taman in door biasa-nya<br />
tanaman yang<br />
ditanam didalam sebuah<br />
pot, dan tanaman ini<br />
ditempatkan di ruangan-ruangan<br />
pimpinan<br />
Dewan, Pimpinan Komisi<br />
dan juga diruangan Pimpinan Fraksi<br />
atau ditempatkan dilorong-lorong<br />
diseluruh gedung ini.<br />
Abd. Haris lelaki yang setiap<br />
hari menggeluti taman ini juga me-<br />
Kepala Sub Bagian Halaman Akhmad<br />
ngatakan, bahwa tanaman yang<br />
ada dilokasi sekitar gedung ini bermacam-macam<br />
jenis dari tanaman<br />
perdu sampai tanaman pohon besa,r<br />
disana ada beberapa jenisnyang ber-<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
POJOK PARLE<br />
bunga seperti soka, bougenvil, evorbia,<br />
merak, melati, mawar, jasmin,<br />
melati rombusta, rosanda, rowelia,<br />
asalea, hujan mas, pisang lady, aliris,<br />
bromolia, oliander lambago dan masih<br />
banyak lagi yang tidak disebutkan<br />
jenisnya.<br />
Ada juga beberapa jenis pohon<br />
atau tanaman yang berfungsi sebagai<br />
pohon pelindung seperti palm<br />
anggur, palm ponix, palm raja, palm<br />
kuning, palm jepang, palm tupai, dan<br />
juga palm putri, ada juga jenis tanaman<br />
yang ditanam sebagai pelindung<br />
sekaligus sebagai penghias, seperti<br />
pandan bali, pandan afrika, pandan<br />
sugi braziliz, aliria dan juga agave<br />
parigata, meranti, ekor kuda, dan<br />
sanse veira.<br />
Sementara pohon besar sebagai<br />
pohon pelindung yang dinama di taman<br />
gedung Dewan ini juga banyak<br />
jenisnya seperti, mahoni, jati, akasia,<br />
kelapa sawit, salam, kupu-kupu, ketapang<br />
tingkat, ketapang col, tanjung,<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />
angsana, satu tangan, bungur, kayu<br />
putih, glondongan tiang, samania saman,<br />
mundu, kabu buya, petai, damar<br />
lautkayu manis, sepatu dea, perdamaian,<br />
dadap merah, cemara lilin,<br />
juga masih banyak lagi yang tidak<br />
disebutkan disini.<br />
Aris mengatakan ada jenis pohon<br />
kelapa yang berada didepan gedung<br />
Utama <strong>DPR</strong> yang berjumlah 7 pohon<br />
tersebut, apabila pohon kelapa tersebut<br />
ada yang mati, itu segera dicarikan<br />
penggantinya, itu yang selalu<br />
mendapat perhatian secara khusus<br />
entah kenapa pohon kelapa tersebut<br />
mendapat perhatian dan perawatan<br />
khusus dari pada tanaman yang lainnya.<br />
Rumput-rumput yang ditanam<br />
ditaman ini juga beragam jenisnya<br />
seperti rumput gajah, rumpaut jepang,<br />
rumput manila, rumput gapes<br />
mini sementara rumput-rumput liar<br />
juga tumbuh dikawan ini dan semua<br />
ditata dengan apik dan cukup indah<br />
dipandang mata.<br />
Mesin atau alat potong rumput<br />
yang digunakan oleh para petugas<br />
yang merawat rumput dan tanaman<br />
hias yang ada di komplek perkantoran<br />
ini, mereka menggunakan mesin jenis<br />
Beaver dan Rover dorong juga ada<br />
mesing gendong yang dipergunakan<br />
oleh para petugas potong rumput.<br />
Jenis pohon yang berbuah juga<br />
ditanam seperti mangga, nangka,<br />
rambutan, jamblang, matoa, buni, jeruk<br />
bali, sawo jawa, sawo duren, sawo<br />
kecik, jambu biji, jambu air, sirsak,<br />
asem jawa, belimbing, kelapa, bisbol,<br />
rukem, kurma, teen, juga masih<br />
banyah pohon buah lagi yang belum<br />
disebutkan.<br />
Aris juga mengeluhkan tentang<br />
kendala yang selama ini dihadapai<br />
apabila sudah memasuki musim kemarau,<br />
air sangat susah didapat untuk<br />
menyiram tanaman yang ada,<br />
sementara air pam yang ada dilokasi<br />
gedung tidak terpenuhi untuk diper-
gunakan menyiram tanaman, sedangkan<br />
tanaman harus disiram setiap hari<br />
tiga kali.<br />
Air yang dipergunakan untuk menyiram<br />
adalah air tanah yang diambil<br />
dari sumur yang dibuat, namun hingga<br />
saat ini air sumur juga belum memadai,<br />
dia mengatakan semestinya<br />
sumur yang ada dilokasi taman ini<br />
kuranag lebih 20 pompa air tanah, namun<br />
pompa air tanah yang ada hingga<br />
saat ini cuma ada 5 pompa, maka<br />
dia meminta agar segera dibuatkan<br />
sumur tambahan agar nanti di musim<br />
kemarau tanaman dapat tersiran dengan<br />
merata, imbuhnya.<br />
Dia juga mengeluhkan dengan<br />
adanya piaraan rusa yang ada dilokasi<br />
taman yang semua hanya berjumlah<br />
25 ekor, namun dengan populasi<br />
yang cepat berkembang biaknya dan<br />
sekarang rusa-rusa tersebut sudah<br />
mencapai kurang lebih 70 ekor, itu<br />
juga memerlukan tanaman rumput<br />
yang segar dan memadai, mengingat<br />
rumput-rumput yang ada dilokasi<br />
rusa sudah ludes habis disikat<br />
oleh kawanan rusa.<br />
Sementara rusa-rusa yang ada<br />
dilokasi tersebut sementara diberi<br />
makan selain rumput juga diberi<br />
makan, sayur-saturan, seperti ubi<br />
jalar, wortel, serta dicampuri dedek<br />
dengan garam, juga masih diberitambahan<br />
obat-obatan berupa vitamin,<br />
rusa-rusa tersebut diberi makan<br />
sehati tiga kali pagi siang siang dan<br />
sori hariserta air minum yang cukup,<br />
kata Aris. (Spy).<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |
POJOK PARLE<br />
“Hidup Penderitaan Rakyat”<br />
<strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> sudah sering kali menggelar Rapat Paripurna.<br />
Namun berbeda dengan Rapat Paripurna yang<br />
diselenggarakan pada hari Jum’at, 30 Maret lalu,<br />
Rapat kali ini menjadi hari yang penuh dinantikan<br />
segenap bangsa Indonesia.<br />
Betapa tidak, rapat kali ini salah<br />
satu agendanya akan mengesahkan<br />
APBN-Perubahan 2012<br />
yang memulai pembahasannya sejak<br />
sebulan lalu akibat adanya peningkatan<br />
harga minyak dunia.<br />
Jadi rapat kali ini juga memutuskan<br />
: jadi tidaknya BBM bersubsidi dinaikkan<br />
per 1 April 2012.<br />
Suasana pagi itu di gedung Parlemen<br />
tampak berbeda dari hari-hari<br />
biasanya. Mobil-mobil van dari stasiun-stasiun<br />
TV swasta sudah mulai<br />
memasang peralatannya sehari sebelum<br />
acara dimulai.<br />
Kesibukan itu tidak hanya terlihat<br />
bagi insan Pers, tapi segenap regu<br />
pengamanan baik dari jajaran TNI<br />
maupun Polri tampak sudah siaga<br />
mengamankan jalannya rapat pari-<br />
Suasana Rapat Paripurna bahas kenaikan BBM, 30 Maret 2012<br />
0 | PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />
purna.<br />
Selain mengesahkan APBN-P<br />
2012, sidang juga mengagendakan<br />
dua acara lainnya diantaranya Penetapan<br />
Tata Cara Penyusunan Prolegnas.<br />
Dua agenda rapat ini berjalan mulus<br />
tidak menghabiskan waktu yang begitu<br />
lama.<br />
Dan agenda pengesahan APBN-P<br />
2012 baru dimulai pada pukul 14.30.<br />
Pimpinan Rapat mempersilahkan masing-masing<br />
Fraksi menyampaikan<br />
pendapatnya terkait dengan kenaikan<br />
BBM. Selama berlangsungnya rapat,<br />
hujan interupsi mewarnai jalannya sidang<br />
paripurna.<br />
Fraksi PPP mengusulkan kenaikan<br />
harga BBM dilakukan apabila harga<br />
minyak internasional sebesar 10<br />
persen diatas asumsi harga minyak<br />
dalam APBN-P 2012. “PPP meyakini<br />
kemampuan masyarakat yang masih<br />
kesulitan, untuk itu Fraksi PPP menghimbau<br />
agar ditunda sampai kondisi<br />
riil masyarakat siap,” ujar anggota<br />
<strong>DPR</strong> dari Fraksi PPP Romihurmuzy<br />
Menurut Romi, PPP yakin pemerintah<br />
mampu menganalisis harga minyak<br />
dunia sesuai konteks mikro dan<br />
makro ekonomi karena itu kita menyerahkan<br />
sepenuhnya kepada pemerintah<br />
terkait kenaikan harga BBM.<br />
Setelah F-PKB dan F-PAN, giliran<br />
F-PKS menyampaikan pendapat fraksinya<br />
yang disampaikan Abdul Hakim.<br />
Abdul Hakim membuka dengan<br />
kata : Assalamualikum dilanjutkan<br />
dengan salam yang sering dikumandangkan<br />
F-PDI Perjuangan “merdeka”.<br />
Ternyata salam itu tidak berhenti<br />
sampai di situ, Abdul Hakim dengan<br />
suara lantang melanjutkan lagi dengan<br />
“Hidup Penderitaan Rakyat”.<br />
Mendengar salam yang diucapkan<br />
Abdul Hakim, mendadak pecahlah<br />
tawa seisi ruang rapat paripurna. Seiisi
gedung yang penuh sesak mendadak<br />
bergumuruh suara dan tawa yang<br />
mengikuti sidang.<br />
Terdengar celetukan-celetukan<br />
kecil dari anggota yang lain :” Pak Hakim………<br />
rakyat itu sudah sengsara,<br />
jangan lagi Hidup penderitaan rakyat,”<br />
kata anggota yang mengomentari.<br />
Anggota lainnya ada yang menimpali<br />
:” rakyat sudah menderita Pak<br />
Hakim ……… gimana mau hidup,”<br />
tambah anggota yang mengomentari<br />
berikutnya.<br />
Ternyata yang mengomentari tidak<br />
hanya dari anggota, wartawan yang<br />
memadati balkon pun berceletuk :”<br />
Bapak………. Jangan kelewat semangat<br />
dong jangan-jangan yang dimaksud<br />
Hidup Rakyat !<br />
Demo BBM di depan Gedung <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong><br />
Tidak salah juga jika F-PKS terlalu<br />
bersemangat, karena selaian F-PDI<br />
Perjuangan, Fraksi Gerindra dan Fraksi<br />
Hanura, F-PKS juga menolak kenaikan<br />
BBM .<br />
Fraksi PKS mengatakan. agar harga<br />
BBM subsidi dinaikkan pemerintah<br />
apabila harga minyak internasional<br />
naik 20% di atas asumsi harga minyak<br />
dalam APBN-P 2012.<br />
Rapat sempat mengalami skors<br />
pada pukul 16.30 untuk memberikan<br />
kesempatan kepada fraksi untuk<br />
melakukan lobi. Skors kemudian dicabut<br />
pada pukul 22.30, namun sempat<br />
mengalami penundaan selama<br />
Abdul Hakim Anggota dari F-PKS<br />
10 menit menunggu kehadiran fraksi<br />
PDI-Perjuangan yang belum hadir di<br />
ruang rapat. Rapat kemudian dibuka<br />
lagi pada pukul 22.45.<br />
Rapat yang berakhir pada pukul<br />
01.00 dini hari mengambil keputusan<br />
untuk menunda kenaikan harga<br />
BBM bersubsidi serta memungkinkan<br />
adanya penyesuaian apabila harga<br />
rata-rata minyak mentah mengalami<br />
deviasi lebih 15 persen dalam enam<br />
bulan terakhir.<br />
Hasil final Rapat Paripurna ini sejenak<br />
melegakan seluruh masyarakat<br />
Indonesia, setelah dari pagi hingga<br />
malam hari aksi demo mewarnai<br />
jalannya sidang paripurna. (tt)<br />
Suasana Rapat Paripurna bahas kenaikan BBM<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 | 1
POJOK PARLE<br />
| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |