14.06.2013 Views

Jurnal FWI

Jurnal FWI

Jurnal FWI

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se-Indonesia<br />

ISSN : 1858 – 0358<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

<strong>Jurnal</strong> Wacana Indonesia Merupakan <strong>Jurnal</strong> Nasional berdasarkan Surat<br />

Keputusan Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah - Lembaga Ilmu Pengetahuan<br />

Indonesia (PDII LIPI) dengan nomor ISSN 1858-0358 tanggal 29 Mei 2007<br />

Terbit 3 sekali setahun setiap bulan April, Agustus dan Desember<br />

Berisi hasil penelitian, kajian dan analisis kritis Mahasiswa dan Alumni<br />

Pascasarjana se-Indonesia<br />

Penanggung Jawab:<br />

Pengurus Pusat Forum Mahasiswa Pascasarjana se-Indonesia<br />

(Forum Wacana Indonesia)<br />

Penyunting Ahli (Mitra Bestari):<br />

Prof. Dr. Irwan Abdullah (Antropologi)<br />

Prof. DR. Djalal Tanjung (Ekologi)<br />

Dr. M. Ridhah Taqwa (Sosiologi)<br />

Prof. Dr. Iskandar Zulkarnaen (Studi Islam)<br />

DR. Ir. Rindit Pambayun, MS (Teknologi Pertanian)<br />

Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, MS (Hukum)<br />

Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum (Hukum)<br />

Prof. Dr. Ir. Zufrizal, DEA (Peternakan)<br />

Redaktur Pelaksana:<br />

Alum Simbolon (Ketua)<br />

Zuhri Humaidi (Wakil Ketua)<br />

Mustari S. Lamada (Sekretaris)<br />

Nova Ekawati (Anggota)<br />

Buyung Haris (Anggota)<br />

Layout dan Cover:<br />

Buyung Haris<br />

Diterbitkan Oleh:<br />

Forum Mahasiswa Pascasarjana se-Indonesia<br />

Sekretariat:<br />

Perumahan Dinas UGM F 13 Bulak Sumur Yogyakarta 55281<br />

Website <strong>FWI</strong>: www.ppfwi.wordpress.com<br />

Email: pp.fwi2009@gmail.com


Wacana Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

ISSN : 1858 – 0358 Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se-Indonesia<br />

Daftar Isi/Contents<br />

Daftar Isi<br />

(i ‐ ii)<br />

Editorial<br />

(iii ‐ iv)<br />

Implementasi Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia<br />

Alum Simbolon<br />

(1‐10)<br />

Pendekatan Ekosistem Terpadu: Strategi dalam Pengelolaan Laut dan<br />

Pesisir<br />

Andi Fajar Asti<br />

(11‐20)<br />

Konsumerisme sebagai Simbol Modernitas<br />

Asliah Zainal<br />

(21‐26)<br />

Potensi Daerah Karst Mikrokontinen Buton-Tukangbesi dalam<br />

Pengembangan Pariwisata Berbasis Alam dan Budaya<br />

Burhan dan Jalil<br />

(27‐36)<br />

Reinventing Pembangunan Sosial (Social Development):<br />

Upaya Pemerintah Daerah dalam Meningkatkan Derajat Pendidikan dan<br />

Kesehatan bagi Anak Terlantar<br />

Chairun Nasirin<br />

(37‐46)<br />

Prevention A Long Period Complication Of Diabetes Mellitus<br />

Lilis Novitarum<br />

(47‐56)<br />

i


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

ii<br />

Proses Pembentukan Modal Ekonomi Sosial Budaya Pengusaha Batik di<br />

Surakarta<br />

Mahendra Wijaya<br />

(57‐66)<br />

Relasi Kuasa Antara Media Televisi yang Dominatif-Hegemonik vs Audiens<br />

yang Aktif-Kritis<br />

Suatu Perspektif Cultural Studies<br />

M. Ridhah Taqwa<br />

(67‐74)<br />

Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education) dan Kontribusinya<br />

untuk Kemajuan Bangsa<br />

Muhamad Sehol<br />

(75‐82)<br />

Eksistensi Kesendirian Afasia - Dunia Tanpa Kata dan Simbol dalam<br />

Kesendirian Emosional dan Kesendirian Sosial<br />

(Teori Ego Psikologi Freud dan Teori Fenomenologi Husserl)<br />

Musdalifah Dachrud<br />

(83‐88)<br />

Peranan Media Komputer Berbasis Makromedia Flash Pada Proses Belajar<br />

Mengajar Jurusan Pendidikan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas<br />

Negeri Makassar<br />

Mustari S. Lamada<br />

(89‐96)<br />

Menyoal Ekonomi Politik Anggaran: Telaah Era Demokrasi di Indonesia<br />

Suraji<br />

(97‐105)


Editorial<br />

Wacana Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

Apa yang menarik dari sebuah jurnal? Pertanyaan seperti ini penting diajukan<br />

kembali setiap kali sebuah jurnal terbit, apalagi dalam dasawarsa terakhir di Indonesia<br />

muncul ratusan jurnal yang diterbitkan oleh banyak lembaga. Ada jurnal yang cuma terbit<br />

sekali kemudian hilang dan tak pernah jelas nasibnya, ada yang tetap terbit dengan ritme<br />

yang tidak teratur, ada juga yang secara rutin terbit meskipun dengan distribusi yang<br />

terbatas. Sulitnya, di Indonesia tidak pernah terbangun lembaga yang benar-benar<br />

memiliki disiplin dan reputasi untuk mengukur otentisitas maupun persebaran ide sebuah<br />

jurnal, misalnya dengan membuat indeks bagaimana jurnal tersebut menjadi rujukan<br />

penting dalam disiplin yang digelutinya. Parameter yang selama ini biasa dipakai adalah<br />

nilai akreditasi yang dikeluarkan oleh Direktorat Perguruan Tinggi (Dikti), yang akhirnya<br />

menjadi simbol mahapenting bagi eksistensi sebuah jurnal. <strong>Jurnal</strong> yang memiliki predikat<br />

akreditasi akan menjadi ‘lahan subur’ bagi aktualisasi diri dosen muda maupun pegawai<br />

negeri di lingkungan departemen. Aktualisasi diri yang dimaksud tidak melulu dalam<br />

pengertian dinamisasi ilmu pengetahuan seperti peran sebuah jurnal di negara Eropa dan<br />

Amerika, tetapi seringkali hanya terkait dengan peningkatan nilai kepangkatan bagi sang<br />

dosen maupun pegawai negeri, sehingga tidak jarang ia harus mengeluarkan dana yang<br />

tidak sedikit. Disinilah letak paradoksnya dunia akademik kita. Seorang penulis harus<br />

memeras otak dan keringat, menyisihkan waktu untuk penelitian maupun untuk<br />

membangun ide yang serius, dan akhirnya harus mengeluarkan dana publikasi. Dalam<br />

konteks ini menjadi penulis bukan lagi merupakan profesi yang menjanjikan, tetapi hanya<br />

bisa dilakukan oleh seseorang yang mempunyai standard kemapanan ekonomi tertentu.<br />

Tentu saja hal ini tidak keliru dan sah-sah saja dilakukan, tetapi kembali pada<br />

persoalan ‘apakah sebetulnya fungsi sebuah jurnal?’. Konon, sebuah jurnal adalah<br />

laboratorium tempat segala ide dan inovasi pemikiran diolah, karenanya ia memuat paling<br />

tidak dua peranan; pertama, sebuah jurnal merupakan indikasi dari tinggi atau rendahnya,<br />

mutu atau tidaknya, diskusi intelektual yang menghidupi suatu lembaga atau komunitas.<br />

Tulisan-tulisan yang dimuat adalah kerja intelektual yang mencerminkan erudisi, etos dan<br />

integritas dari orang-orangnya. Sebab itu, jurnal yang baik hanya akan tumbuh di dalam<br />

komunitas atau lembaga yang juga kredibel. Kedua, sebuah jurnal adalah arena<br />

kontestasi. Tulisan yang dipersiapkan untuk jurnal tidak lain adalah hasil pengembaraan<br />

ide penulisnya yang berisi eskpektasi maupun persepsinya tentang manusia dan<br />

lingkungannya. Tulisan tersebut kemudian diperbandingkan dengan tulisan lainnya dalam<br />

konfigurasi akademik yang terbuka sehingga diskusi intelektual bisa terjadi. Bukan untuk<br />

menentukan siap yang kalah atau menang, akan tetapi pertama-tama untuk mengekplorasi<br />

berbagai temuan yang berbeda serta meneropong suatu masalah dari berbagai perspektif<br />

sehingga tercipta ruang diskusif yang dinamis.<br />

Apakah jurnal yang selama ini berlabel akreditasi atau berlabel internasional<br />

sudah memenuhi dua fungsi tersebut? Agak sulit menjawab masalah ini dengan<br />

penjelasan yang singkat, akan tetapi marilah kita melihat Prisma sebagai contoh. Prisma<br />

adalah jurnal (majalah) yang muncul sejak tahun 1970-an sampai sekarang, diterbitkan<br />

oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dan<br />

dimaksudkan sebagai media informasi dan forum pembahasan masalah pembangunan<br />

ekonomi, perkembangan sosial dan perubahan kultural di Indonesia. Prisma tidak pernah<br />

meng-claimdiri berlabel akreditasi atau berlabel internasional, akan tetapi agaknya kita<br />

semua sepakat bahwa ia adalah jurnal (majalah) dengan reputasi terbaik dalam sejarah<br />

iii


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

intelektual di Indonesia. Kita ingat, di kios-kios buku di Jogja sampai sekarang Prisma<br />

edisi lama tetap diburu oleh mahasiswa dan para peminat ilmu karena ia memenuhi<br />

semacam kehausan intelektual dari khalayak yang luas. Bahkan, pada fase 1970 s/d 1990an<br />

Prisma menjadi media pentahbisan inteletual. Para cendekiawan terkemuka atau calon<br />

cendekiawan yang kelak juga akan terkemuka hampir dipastikan pernah<br />

mempublikasikan tulisannya di jurnal ini.<br />

Dengan demikian, satu hal yang relevan dikemukakan dalam pengantar editorial<br />

ini bahwa labelitas (akreditasi atau non akreditasi, internasional atau bukan) tidak<br />

memiliki korelasi dengan mutu jurnal. <strong>Jurnal</strong> pinggiran yang diterbitkan oleh komunitas<br />

tertentu boleh jadi akan membawa kesegaran baru bagi kepengapan akademik di tanah<br />

air, sebaliknya jurnal dengan label internasional dan terakreditasi boleh jadi tidak<br />

membawa signifikansi apapun, dan hanya menjadi simbol kemegahan di tengah dunia<br />

akademik kita yang memang lebih menyukai selebrasi daripada substansi.<br />

Oleh sebab itu, hemat kami sebuah jurnal pada hakikatnya adalah kerja<br />

eksperimental, upaya coba-coba yang bisa gagal. Karenanya untuk terbitan kali ini, kami<br />

sebagai pengelola jurnal Wacana Indonesia ingin menyebut jurnal ini sebagai jurnal<br />

eksperimental. Kami tidak menolak labelitas, tetapi ingin mengembalikan fungsi dasar<br />

sebuah jurnal, yakni sebagai laboratorium, sebagai arena kontestasi. Pada terbitan kali ini<br />

ada 12 tulisan yang kami muat yang bisa di bagi dalam empat isu pokok; pertama, isu<br />

supremasi hukum dan regulasi politik yang berisi tiga tulisan, yaitu tulisan Alum<br />

Simbolon; Implementasi Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Chairun<br />

Nasirin; Reinventing Pembangunan Sosial (Social Development); Upaya Pemerintah<br />

Daerah dalam Meningkatkan Derajat Pendidikan dan Kesehatan Bagi Anak Terlantar,<br />

dan Suraji; Menyoal Ekonomi Politik Anggaran; Telaah Era Demokrasi di Indonesia.<br />

Kedua, isu pengelolaan sumber daya alam dan budaya yang memuat tiga, yaitu tulisan<br />

Andi Fajar Asti; Pendekatan Ekosistem Terpadu; Strategi dalam Pengelolaan Laut dan<br />

Pesisir, Burhan dan Jalil; Potensi Daerah Karst Mikrokontinen Buton; Tukang Besi<br />

dalam Pengembangan Pariwisata Berbasis Alam dan Budaya, dan Mahendra Wijaya;<br />

Proses Pembentukan Modal Ekonomi Sosial Budaya Pengusaha Batik di Surakarta.<br />

Ketiga, media dan pola pendidikan baru yang berisi empat tulisan, yaitu tulisan M.<br />

Ridhah Taqwa; Relasi Kuasa antara Media Televisi yang Dominatif-Hegemonik vs<br />

Audiens yang Aktif-Kritis, Muhamad Sehol; Pendidikan Kecakapan Hidup dan<br />

Kontribusinya untuk Kemajuan Bangsa, Mustari S. Lamada; Peranan Media Komputer<br />

Berbasis Makromedia Flash pada PBM UNM, dan Asliah Zainal; Konsumerisme<br />

sebagai Simbol Modernitas. Keempat, isu identifikasi penyakit dan terapinya berisi dua<br />

tulisan, yaitu tulisan Lilis Novatarum; Prevention a Long Period Complication of<br />

Diabetes Mellitus, dan Musdalifah Dachrud; Eksistensi Kesendirian Afasia; Dunia<br />

Tanpa Kata dan Simbol dalam Kesendirian Emosional dan Kesendirian Sosial.<br />

Spektrum dari keseluruhan tulisan-tulisan di atas memang cukup luas, namun<br />

menarik mengikuti alur pemikiran para penulisnya yang kembali mengungkapi persoalan<br />

manusia dalam seluruh konteks kehidupannya; individu, ekonomi, sosial-budaya dan<br />

politik. Sebagai proposal pemikiran, tulisan-tulisan di atas patut ditelusuri lebih jauh,<br />

meskipun kita tidak harus selalu setuju dengan isinya. Selamat membaca!<br />

(Zuhri Humaidi)<br />

iv<br />

Yogyakarta, 21 Desember 2009<br />

Salam Redaksi


Wacana Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember Tahun 2009 (01‐10)<br />

IMPLEMENTASI PENEGAKAN HUKUM PERSAINGAN USAHA<br />

DI INDONESIA<br />

Alum Simbolon<br />

(Staf Pengajar Pada Fakultas Hukum Universitas Katolik Santo Thomas Medan)<br />

(Simbolon_alum@yahoo.com)<br />

Abstract:<br />

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli<br />

dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut UULPM), bertujuan<br />

mengupayakan persaingan usaha yang sehat dalam setiap kegiatan usaha.<br />

Persaingan sehat terhadap pelaku usahapun dituntut sehingga dikeluarkan<br />

UULPM ini yang menegaskan agar setiap pelaku usaha dalam menjalankan<br />

kegiatan usahanya bersaing sehat, dilarang praktek monopoli, dilarang<br />

bersaing tidak sehat agar tercipta iklim usaha yang kondusif, sehingga<br />

menjamin keseimbangan kesempatan berusaha bagi pelaku usaha besar,<br />

pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil. Agar penegakan hokum<br />

persaingan usaha dapat diimplementasikan dengan baik maka ketelitian dari<br />

KPPU, Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung dalam memeriksa dalam<br />

memutus perkara sangat diharapkan optimal sehingga putusannya dapat<br />

membangun perilaku pelaku usaha yang melakukan pelanggaran. Kepada<br />

pelaku usaha sebaiknya menerima dan tawakal segala utusan KPPU, jika<br />

memang melakukan pelanggaran, maka sebaiknya sadar dan melakukan<br />

perbaikan lalu melaksanakan putusan KPPU, dari pada harus mengajukan<br />

upaya hokum keberatan dan kasasi ke Mahkamah Agung menghabiskan<br />

energy, padahal diketahui bahwa perusahaannya memang melakukan<br />

pelanggaran terhadap UULPM.<br />

Kata Kunci: Penegakan Hukum, Persaingan usaha.<br />

PENDAHULUAN<br />

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan<br />

Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut UULPM), bertujuan mengupayakan<br />

persaingan usaha yang sehat dalam setiap kegiatan usaha. Persaingan sehat (fair<br />

competition) adalah hal positif yang harus dibudayakan dalam membangun bangsa maka<br />

dituntut sumber daya manusia yang utuh menyeluruh serta handal sehingga setiap orang<br />

dapat memasuki bursa manapun inilah yang dibutuhkan dalam era globalisaasi.<br />

Persaingan sehat terhadap pelaku usahapun dituntut sehingga dikeluarkan UULPM ini<br />

yang menegaskan agar setiap pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya<br />

bersaing sehat, dilarang praktek monopoli, dilarang bersaing tidak sehat agar tercipta<br />

1


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

iklim usaha yang kondusif, sehingga menjamin keseimbangan kesempatan berusaha bagi<br />

pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil.<br />

Kinerja KPPU sangat berkembang jika dibandingkan dengan kinerja pada awal<br />

pembentukan KPPU dan pemberlakuan UULPM, saat ini KPPU telah menetapkan<br />

Rancangan Strategis 2007-2012 sebagai langkah awal dalam upaya menjadi lembaga<br />

yang efektif dan kredibel, sehingga diharapkan pada tahun 2020 KPPU dapat menjadi<br />

lembaga yang setara dengan lembaga serupa di negara lain yang maju. Sebagai bentuk<br />

akuntabilitas anggota KPPU masa bakti 2006-2011, KPPU mencanangkan target strategis<br />

periode 2007-2012 dalam tiga program utama yaitu menegakkan hukum persaingan,<br />

menginternalisasikan nilai-nilai persaingan dan membangun kelembagaan yang efektif<br />

dan kredibel. Komitmen KPPU adalah persaingan sehat sejahterakan rakyat, akan tetapi<br />

harus melalui perjuangan yang panjang karena ditemui adanya tarik menarik kepentingan<br />

antara konsumen dan produsen.<br />

Anggota KPPU yang bertugas untuk periode 2006-2011 sejumlah tiga belas<br />

orang terdiri dari empat orang anggota KPPU periode sebelumnya (2000-2005) dan<br />

sembilan anggota yang dipilih melalui proses seleksi. Ketiga belas anggota KPPU<br />

tersebut telah ditugaskan menjalankan kewajibannya sesuai dengan Keputusan Presiden<br />

(Keppres) Nomor 59/P Tahun 2006 tanggal 12 Desember 2006 yang dituangkan dalam<br />

bentuk laporan tahunan. Tugas dan kewenangan KPPU diatur dalam Pasal 35 dan 36<br />

UULPM. Pasal 35 UULPM menentukan tugas KPPU antara lain; melakukan penilaian<br />

terhadap perjanjian yang mengakibatkan terjadinya praktek monopoli, melakukan<br />

penilaian ada atau tidaknya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibat<br />

terjadinya praktek monopoli, mengambil tindakan sesuai wewenang komisi, memberikan<br />

saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan praktek<br />

monopoli.<br />

METODE<br />

A. Metode Pendekatan dan Bahan Penelitian<br />

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normative yang ditunjang<br />

pendekatan yuridis empiris. Keduanya digunakan untuk menemukan, mengetahui dan<br />

mengungkapkan data. Pendekatan yuridis normative merupakan pendekatan utama dalam<br />

penelitian ini, karena titik tolak penelitian ini adalah mengungkapkan kaedah-kaedah<br />

normative, baik dari sumber yang di dokumentasikan maupun informasi dari narasumber<br />

2


Implementasi Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia<br />

Alum Simbolon<br />

yang memutus perkara-perkara pelanggaran UULPM yang diputus oleh KPPU, Hakim<br />

Pengadilan Negeri dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung. Pendekatan yuridis<br />

empiris digunakan untuk menggali asas-asas, latar belakang nilai-nilai yang mendasari,<br />

sinkronisasi vertical dan horizontal. Data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum<br />

primer yaitu berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan lain yang berkaitan<br />

dengan penelitian.<br />

Pengkajian terhadap data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum sekunder<br />

yang berkaitan dengan materi penelitian yang bersifat menjelaskan bahan hukum primer<br />

antara lain literature, hasil penelitian, seminar lokakarya dan lain sebagainya yang<br />

berkaitan dengan materi penelitian untuk memberi kejelasan terhadap data sekunder<br />

berupa bahan hukum primer dan sekunder. Maka dikaji juga bahan hukum tersier berupa<br />

bahan indeksasi peraturan perundang-undangan, dan kamus hukum yang terkait dengan<br />

materi penelitian.<br />

B. Prosedur Pengumpulan Data<br />

Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, penulis<br />

mengadakan penelitian di KPPU yang berada di ibukota negara yaitu Jakarta, dan di<br />

KPPU Daerah di Medan. Kemudian di Pengadilan Negeri tempat putusan KPPU diajukan<br />

keberatan dan Mahkamah Agung. Dalam penelitian yuridis normative yang ditunjang<br />

pendekatan yuridis empiris diperlukan data primer dan data sekunder. Data primer yaitu<br />

data yang langsung diperoleh dari sumber data di lapangan (field research).<br />

Untuk memperoleh data primer dan sekunder dalam penelitian ini terdapat dua<br />

prosedur pengumpulan data. Mengenai data sekunder diperoleh dengan cara mempelajari<br />

dan mengkaji bahan-bahan kepustakaan (literature research) yang berupa bahan-bahan<br />

hukum baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier.<br />

Bahan materi hukum primer dapat berupa, norma/kaidah baik hukum tertulis maupun<br />

tidak tertulis. Materi hukum sekunder dapat berupa hasil putusan KPPU baik yang<br />

diajukan keberatan ataupun putusan KPPU yang diterima oleh terlapor, putusan<br />

Pengadilan Negeri dan putusan Mahkamah Agung, hasil seminar, pertemuan ilmiah<br />

lainnya dan artikel ilmiah menyangkut Implementasi Penegakan Hukum Persaingan<br />

Usaha di Indonesia. Dalam pengumpulan data, pertama yang diperoleh melalui:<br />

pengumpulan data seperti catatan-catatan, kliping dan sebagainya. Data yang diperoleh<br />

dengan melihat pada perundang-undangan dan literature yang relevan dengan penelitian<br />

ini. Kemudian mengembangkan informasi dari responden yang ditetapkan, dan<br />

3


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

mengantisipasi data yang mungkin berubah yang didasarkan atas kondisi dan motivasi<br />

yang terjadi. Selanjutnya pengumpulan data yang langsung didapatkan dalam penelitian<br />

di lapangan. Data diperoleh melalui wawancara di lapangan.<br />

C. Populasi dan Sampel<br />

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kasus yang diputus oleh Komisi<br />

Pengawas Persaingan Usaha, dan hal-hal yang dilakukan KPPU tahun 2007. Populasi ini<br />

tidak akan di teliti seluruhnya tapi akan dilakukan penelitian terhadap sample. Penentuan<br />

sample merupakan suatu proses dalam memilih suatu bagian yang representatif dari<br />

seluruh populasi (Rony, 1982:9). Pengambilan sample dilakukan dengan menggunakan<br />

teknik purposive sampling, maksudnya adalah menentukan sample dengan berbagai<br />

pertimbangan atau alasan. Teknik ini digunakan untuk menentukan sample berdasarkan<br />

kegiatan yang dilakukan oleh KPPU yaitu kasus yang diputus oleh KPPU, Pengadilan<br />

Negeri dan Mahkamah Agung.<br />

D. Analisa Data<br />

Data yang diperoleh dari lapangan akan diperiksa, diteliti untuk menjamin apakah<br />

data dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan kenyataan. Kemudian proses<br />

selanjutnya analisis data yaitu berkaitan dengan kegiatan pengujian, pengkategorian,<br />

penginterpretasian dan pengambilalihan posisi sebagai hasil dari tujuan khusus dan<br />

keutamaan dari penelitian ini. Data yang terkumpul ini kemudian diidentifikasi dan<br />

dikategorikan dalam suatu sistematika tertentu. Selanjutnya dianalisis dengan<br />

mempergunakan metode analisis kualitatif yaitu metode analisis yang pada dasarnya<br />

mempergunakan cara deskriptif, normative, logis, sistematis yang berpedoman pada<br />

ketentuan hukum yang menyangkut Hukum Persaingan Usaha. Deskriptif artinya<br />

menggambarkan atau memaparkan teori yang ada dengan data yang diperoleh dari<br />

lapangan. Normatif artinya dasar yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan<br />

peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Logis artinya bahwa dalam<br />

mengalisis tidak bertentangan dengan akal dan pemikiran yang sehat. Sistematis artinya<br />

menganalisis data secara runtut yaitu data yang satu dengan data yang lain saling<br />

berkaitan. Hasil analisis inilah merupakan kesimpulan yang pada dasarnya merupakan<br />

jawaban permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Dengan prosedur analisis ini<br />

dapat diperoleh jawaban yang tepat terhadap mata rantai hubungan yang muncul dari<br />

situasi krisis ke dalam proses kebijaksanaan yang ada atau sekaligus kaitannya dengan<br />

teori yang telah dikenal.<br />

4


HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Implementasi Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia<br />

Alum Simbolon<br />

Hukum persaingan usaha merupakan kebutuhan yang sulit dipisahkan oleh<br />

hampir semua negara di dunia termasuk Indonesia, maka kecenderungan negara-negara<br />

maju untuk memiliki lembaga hukum persaingan peningkatannya sangat signifikan.<br />

Meski secara teknis berbeda, baik dalam bidang peran, wewenang dan tugas yang akan<br />

dilakukan, lembaga hukum persaingan usaha seperti paket demokratisasi bagi semua<br />

bangsa, bahkan menjadi salah satu indikator dari upaya peningkatan kesejahteraan<br />

masyarakat melalui system ekonomi pasar. Maka keberadaan KPPU menjadi sine qua<br />

non tidak hanya upaya demokratisasi politik dan ekonomi melainkan juga untuk<br />

peningkatan kesejahteraan masyarakat.<br />

yaitu:<br />

Bagian konsiderans menunjukkan empat latar belakang lahirnya UULPM ini<br />

1. Bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya<br />

kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945;<br />

2. Bahwa demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang<br />

sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan<br />

pemasaran barang dan atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif dan efisien<br />

sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar<br />

yang wajar;<br />

3. Bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi<br />

persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan<br />

kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu dengan tidak terlepas dari<br />

kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh negara Republik Indonesia terhadap<br />

perjanjian-perjanjian Internasional;<br />

4. Bahwa untuk mewujudkan point 1,2 dan 3 atas usul DPR perlu disusun UU No. 5<br />

Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak<br />

Sehat.<br />

Keempat aspek yang melatarbelakangi pembentukan UULPM dimaksudkan<br />

untuk mencapai persaingan yang sehat dan wajar dalam dunia usaha dan sekaligus<br />

menunjukkan bahwa di Indonesia telah terjadi praktek-praktek persaingan yang tidak<br />

sehat baik karena kepintaran pelaku usaha untuk mendekati pihak pemerintah atau<br />

karena apapun juga. Dampak pada akhirnya dialami oleh masyarakat, karena masyarakat<br />

yang harus menanggung akibatnya misalnya terhadap harga yang tidak kompetitief.<br />

5


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

Banyak kondisi yang merusak sendi-sendi perekonomian sehingga masyarakat yang adil<br />

dan makmur sampai kini belum terwujud. Keinginan rakyat untuk keluar dari krisis<br />

ekonomi didukung dengan adanya reformasi hukum yang merupakan salah satu upaya<br />

KPPU untuk menata kembali kegiatan usaha di Indonesia agar dapat tumbuh dan<br />

berkembang dengan baik sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat dan<br />

terhindar dari pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu.<br />

Terciptanya persaingan usaha yang sehat akan memberikan daya tarik kepada<br />

investor baik dalam maupun luar negeri untuk berinvestasi. Dengan adanya investasi<br />

yang masuk ke Indonesia tentunya akan menciptakan jutaan lapangan pekerjaan baru<br />

yang dapat mengatasi jumlah pengangguran yang semakin meningkat setiap tahunnya.<br />

Semakin banyak pelaku usaha yang berinvestasi tentunya semakin meningkatkan jumlah<br />

pilihan terhadap barang dan atau jasa yang tersedia di pasar, sehingga masyarakat akan<br />

memiliki lebih banyak pilihan terhadap barang dan atau jasa dengan kualitas dan harga<br />

bersaing. Menciptakan persaingan yang sehat bukanlah hal yang mudah seperti<br />

membalikkan telapak tangan, oleh karena itu dibutuhkan komitmen yang kuat dari<br />

segenap lapisan masyarakat, terutama pelaku usaha dan pemerintah Dan saat ini waktu<br />

yang tepat untuk mengubah paradigma berfikir pemerintah yang sebelumnya selalu<br />

menjadi penentu pasar berubah menjadi pengatur pasar saja dan persaingan diserahkan<br />

kepada mekanisme pasar. Begitu juga dengan pola berbisnis pelaku usaha perlu diberikan<br />

pemahaman bahwa banyak praktek-praktek bisnis yang selama ini dijalani pelaku usaha<br />

dan diyakini sebagai praktek bisnis yang lazim atau biasa menjalani suatu praktek bisnis<br />

yang dilarang sejak berlakunya UULPM (KPPU RI, 2007:5).<br />

KPPU menjadi tonggak utama untuk menegakkan aturan hukum dan memberikan<br />

perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha dalam upaya menciptakan persaingan<br />

usaha yang sehat. Anggota KPPU periode 2006-2011 meneruskan program periode<br />

pertama (2000-2005) yaitu pengembangan penegakan hukum, pengembangan kebijakan<br />

persaingan, pengembangan komunikasi, pengembangan kelembagaan dan pengembangan<br />

system informasi. Tetapi penekanan angota KPPU periode 2006-2011 lebih dilakukan<br />

terhadap dua fungsi utama KPPU yaitu melakukan penegakan hukum persaingan dan<br />

memberikan saran pertimbangan kepada pemerintah terkait dengan kebijakan yang<br />

berpotensi bertentangan dengan UULPM. Fungsi penegakan hukum bertujuan untuk<br />

menghilangkan berbagai hambatan persaingan berupa perilaku bisnis yang tidak sehat.<br />

Sementara proses pemberian saran pertimbangan kepada pemerintah akan mendorong<br />

6


Implementasi Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia<br />

Alum Simbolon<br />

proses reformasi regulasi menuju tercapainya kebijakan persaingan yang kondusif di<br />

seluruh sector ekonomi (Laporan KPPU RI, 2007:6).<br />

Persaingan usaha yang sehat merupakan salah satu kunci sukses bagi system<br />

ekonomi pasar yang wajar. Agar implementasi dapat mencapai hasil optimal maka<br />

dilakukan minimal dilakukan dua hal:<br />

1. Melalui penegakan hukum persaingan.<br />

2. Melalui kebijakan persaingan yang kondusif terhadap perkembangan sektor<br />

ekonomi.<br />

Melihat bahwa KPPU sudah melaksanakan tugas dalam rangka<br />

menimplementasikan penegakan hokum persaingan usaha terlihat pada table berikut:<br />

Tabel 1. Putusan KPPU Tahun 2007:<br />

No No.Perkara Pokok Perkara Tempat<br />

1 02/KPPU-L/2007 Tender Pengadaan Peralatan Gizi Tahun<br />

2006<br />

2 03/KPPU-L/2007 Pelanggaran dalam tender<br />

Pembangunan Gedung Kantor<br />

Pengadilan Negeri<br />

3 04/KPPU-L/2007 Tender LCD<br />

4 05/KPPU-L/2007 Pelanggaran tender Pekerjaan<br />

Pengerukan Alur Pelayaran Pelabuhan<br />

Belawan<br />

5 06/KPPU-L/2007 Tender Pengadaan Alat<br />

Pembasmi/Penyemprot Nyamuk<br />

6 07/KPPU-L/2007 Pelanggaran oleh Kelompok Usaha<br />

Temasek<br />

7 08/KPPU-L/2007 Tender Pengadaan Peralatan di Dinas<br />

Pertamanan dan Pemakaman<br />

8 09/KPPU-L/2007 Penetapan Harga Fumigasi oleh Ikatan<br />

Pengusaha Pengendalian Hama<br />

Indonesia (IPPHAMI)<br />

9 10/KPPU-L/2007 RSU Ratu Zalecha Martapura<br />

10 11/KPPU-L/2007 RSU Soppeng<br />

11 12/KPPU-L/2007 Pengadaan Alat Kesehatan Penunjang<br />

Puskesmas Dinas Kesehatan Kabupaten<br />

Sukabumi<br />

12 13/KPPU-<br />

L/200713/KPPU-<br />

Bibit Kelapa Sawit<br />

RSUD A. Wahab<br />

Sjahranie<br />

Padang Sidimpuan,<br />

Sumatera Utara<br />

Belawan Medan<br />

Sumatera Utara<br />

di DKI Jakarta.<br />

Kota Bengkulu<br />

Sukabumi<br />

13 14/KPPU-L/2007 Tender Multiyears Riau Riau<br />

7


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

8<br />

14 15/KPPU-L/2007 Lelang Pembangunan Mall di Kota<br />

Prabumulih<br />

15 16/KPPU-L/2007 Tender Pengadaan Pupuk PMLT (Pupuk<br />

Majemuk Lengkap Tablet)<br />

16 17/KPPU-L/2007 PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia<br />

17 18/KPPU-L/2007 Tender Paket Pengadaan TV Pendidikan<br />

Propinsi Sumatera Utara<br />

18 19/KPPU-L/2007 EMI<br />

19 20/KPPU-L/2007 Tender Pengadaan Alat Kesehatan<br />

RSUD<br />

20 21/KPPU-L/2007 Lelang Pengadaan Pipa PVC 6", 4", dan<br />

2" oleh DPU, Pertambangan dan Energi<br />

Kepulauan Riau<br />

21 22/KPPU-L/2008 Putusan Perkara No : Praktek Monopoli<br />

Jasa Kargo di Bandar Udara<br />

Hasanuddin.<br />

22 23/KPPU-L/2007 Pembangunan Kembali Pasar Melawai<br />

Blok M<br />

23 24/KPPU-L/2007 Tender Kegiatan Peningkatan Jalan<br />

Pangkalan Balai-Pengumbuk,<br />

Banyuasin.<br />

24 26/KPPU-L/2007 Kartel SMS<br />

25 27/KPPU-L/2007 Tender Pengadaan Jack-Up Drilling Rig<br />

di CNOOC SES Ltd<br />

Di Kota Prabumulih<br />

Brebes<br />

Kepulauan Riau<br />

Makassar, Sulawesi<br />

Selatan<br />

Sumatera Selatan<br />

26 28/KPPU-L/2008 Jasa Pelayanan Taksi di Kota Batam di Kota Batam<br />

27 29/KPPU-L/2007 Tender Pembangunan Jalan Hotmix di Cilacap<br />

28 30/KPPU-L/2007 Pelelangan Umum Pembangunan dan<br />

Pemeliharaan Jalan.<br />

Sumber: http://www.kppu.go.id/docs/putusan.<br />

di Kabupaten<br />

Sanggau, Kalbar<br />

Implementasi penegakan hukum yang telah dilakukan oleh KPPU antara lain<br />

adalah berhasil membongkar praktek persaingan usaha tidak sehat dalam industri<br />

telekomunikasi yang dilakukan oleh Temasek Holdings Company yang merupakan salah<br />

satu BUMN negara Singapura. Banyak perkara-perkara yang telah inkracht maupun yang<br />

telah dibayar dendanya oleh terlapor kepada negara, diantaranya Carefour dengan trading<br />

terms-nya serta exclusive dealing PT. Telkom dan Garuda Indonesia pada tahun 2007<br />

menerima dan melaksanakan Putusan KPPU. Hal yang merupakan kendala dan yang<br />

bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat sebagaimana tercantum dalam<br />

UULPM. Kegiatan evaluasi kebijakan pemerintah di tahun 2007 berjumlah 15 (lima<br />

belas) kegiatan. Sampai dengan bulan Juni 2007, karena hal ini merupakan kendala maka


Implementasi Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia<br />

Alum Simbolon<br />

KPPU melakukan evaluasi kegiatan evaluasi kebijakan yang telah dilaksanakan:<br />

Evaluasi kebijakan Pemerintah di Sektor Industri Perbukuan. Evaluasi ini merupakan<br />

inisiatif KPPU setelah KPPU menerima Menteri Pendidikan Nasional dalam diskusi<br />

tentang industri perbukuan yang telah diubah model pengelolaannya dari monopoli<br />

menuju kompetisi.<br />

KESIMPULAN<br />

Agar penegakan hokum persaingan usaha dapat diimplementasikan dengan baik<br />

maka ketelitian dari KPPU, Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung dalam memeriksa<br />

dalam memutus perkara sangat diharapkan optimal sehingga putusannya dapat<br />

membangun perilaku pelaku usaha yang melakukan pelanggaran. Kepada pelaku usaha<br />

sebaiknya menerima dan tawakal segala utusan KPPU, jika memang melakukan<br />

pelanggaran, maka sebaiknya sadar dan melakukan perbaikan lalu melaksanakan putusan<br />

KPPU, dari pada harus mengajukan upaya hokum keberatan dan kasasi ke Mahkamah<br />

Agung menghabiskan energy, padahal diketahui bahwa perusahaannya memang<br />

melakukan pelanggaran terhadap UULPM. Sebaiknya pelaku usaha dalam menjalankan<br />

kegiatan usahanya jangan melakukan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak<br />

sehat.<br />

SUMBER RUJUKAN<br />

BUKU:<br />

Adi. Rianto., 2004, Metodologi Penelitin Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta<br />

Alma, Buchari,1992, Pengantar Bisnis, Alfabeta, Bandung.<br />

Apeldoorn, L.J. Van., Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramitha.<br />

Badrulzaman. Mariam. Darus., Aneka Hukum Bisnis, Alumni Bandung, 1994.<br />

Black, Campbell, Henry., 1990, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, St. Paul, Minn,<br />

West Publishing, co.<br />

Bogert, George Gleason., 1952, Law of Trusts, Third Edition, Hornbook Series, St. Paul,<br />

Minn, West Publishing, Co.<br />

Choper, Jesse H., et. al., 2002, Selected Federal and State Administrative And Regulatory<br />

Laws, P.O. Box 64526, St. Paul, MN 55164-0526.<br />

Conte, Christopher., tanpa tahun, Garis Besar Ekonomi Amerika Serikat, Penerbit<br />

Lembaga Penerangan, Amerika Serikat.<br />

Czako, Judith., et, al., 2003, A Handbook on Anti-Dumping Investigations, Cambridge,<br />

University Press, WTO.<br />

9


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

D. Prayoga., Ayudha., et.al., (ed),1999, Persaingan Usaha dan Hukum Yang<br />

Mengaturnya di Indonesia, Elips Project & Patnership for Buseniss<br />

Competition.<br />

Erawaty, A.F. Elly., 1999, Membenahi Perilaku Pelaku Bisnis Melalu Undang-Undang<br />

No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha<br />

Tidak Sehat, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.<br />

Friedman Lawrence M., 1986, The Legal System; A social Science Perspective, New<br />

York, Russel Sage Fondation.<br />

Fromm, Bill., Tanpa tahun, Kocak dan Menyenangkan Sepuluh Hukum Bisnis dan<br />

Bagaimana Melanggarnya<br />

Fuadi, Munir., 2003, Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat,<br />

Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.<br />

---------------, 1996, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Kesatu, PT.Citra<br />

Aditya Bakti, Bandung.<br />

---------------, 1996, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Ketiga, PT.Citra<br />

Aditya Bakti, Bandung.<br />

----------------, 1996, Hukum Perkreditan Kontemporer, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.<br />

Friedman, W., 1990, Teori dan Filsafat Hukum, Idealisme Filosofis & Problema<br />

Keadilan, Rajawali Press, Jakarta.<br />

PERUNDANG-UNDANGAN :<br />

Undang-Undang Dasar 1945.<br />

Ketetapan MPR RI No.IV/MPR/1999 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara.<br />

Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan<br />

Usaha Tidak Sehat.<br />

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen<br />

Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal<br />

Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan<br />

Undang-Undang No.10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.7<br />

Tahun 1992 Tentang Perbankan.<br />

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas<br />

Keputusan Presiden RI No. 75 Tahun 1999 Tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha.<br />

Keputusan Presiden RI No.162/M tahun 2000. Pengangkatan Anggota Komisi Pengawas<br />

Persaingan Usaha Masa Jabatan 2000-2005.<br />

Keputusan Presiden RI No. 94/M Tahun 2005 Tentang Perpanjangan Keanggotaan<br />

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Masa Jabatan 2000-2005.<br />

Keputusan Presiden RI No.59/P Tahun 2006 Tentang Pemberhentian Keanggotaan<br />

komisi masa jabatan 2000-2005, dan Pengangkatan Keanggotaan KPPU masa<br />

jabatan 2006-20011<br />

10


Wacana Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember Tahun 2009 (11‐20)<br />

PENDEKATAN EKOSISTEM TERPADU: STRATEGI DALAM<br />

PENGELOLAAN LAUT DAN PESISIR<br />

Andi Fajar Asti<br />

(Presiden Direktur LSM Diagnosa Institute Sul-Sel/ www.diagnose-institute.org)<br />

(fajarpresiden@yahoo.com)<br />

Abstract:<br />

Indonesia sebagai Negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508<br />

buah dan garis pantai sepanjang 81.000 km dan juga dikenal sebagai negara<br />

mega-biodiversity dalam hal keanekaragaman hayati, serta memiliki<br />

kawasan pesisir yang sangat potensial untuk berbagai opsi pembangunan.<br />

Banyaknya limbah domestik dan tingginya tingkat sedimentasi yang masuk<br />

ke dalam wilayah pesisir, perlu dilakukan suatu bentuk pengendalian,<br />

pencemaran limbah dan pengaturan pengelolaan Daerah Aliran Sungai<br />

(DAS). Hal ini merupakan masalah kritis, sehingga perlu dilakukan tindakan<br />

langsung baik secara hukum formal maupun hukum adat untuk menciptakan<br />

pengendalian terhadap kegiatankegiatan yang dapat merusak lingkungan.<br />

Untuk menangani masalah tersebut, maka perlu dirumuskan suatu penataan<br />

ruang, pengelolaan dan pengusahaan kawasan wilayah pesisir yang memiliki<br />

dimensi keterpaduan ekologis, sektoral, disiplin ilmu serta keterpaduan antar<br />

stakeholders, sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan dapat tercapai<br />

yaitu pertumbuhan ekonomi, perbaikan kualitas lingkungan serta adanya<br />

kepedulian antar generasi.<br />

Kata Kunci: Ekosistem Terpadu, laut dan pesisir.<br />

PENDAHULUAN<br />

Indonesia sebagai Negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 buah<br />

dan garis pantai sepanjang 81.000 km dan juga dikenal sebagai negara mega-biodiversity<br />

dalam hal keanekaragaman hayati, serta memiliki kawasan pesisir yang sangat potensial<br />

untuk berbagai opsi pembangunan. Namun demikian dengan semakin meningkatnya<br />

pertumbuhan penduduk dan pesatnya kegiatan pembangunan di wilayah pesisir, bagi<br />

berbagai peruntukan (pemukiman, perikanan, pelabuhan, obyek wisata dan lain-lain),<br />

maka tekanan ekologis terhadap ekosistem dan sumberdaya pesisir dan laut itu semakin<br />

meningkat. Meningkatnya tekanan ini tentunya akan dapat mengancam keberadaan dan<br />

kelangsungan ekosistem dan sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang ada<br />

disekitarnya.<br />

Satu hal yang lebih memprihatinkan adalah, bahwa kecenderungan kerusakan<br />

lingkungan pesisir dan lautan lebih disebabkan paradigma dan praktek pembangunan<br />

yang selama ini diterapkan belum sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan<br />

11


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

berkelanjutan (sustainable development). Cenderung bersifat ekstratif serta dominasi<br />

kepentingan ekonomi pusat lebih diutamakan daripada ekonomi masyarakat setempat<br />

(pesisir). Seharusnya lebih bersifat partisipatif, transparan, dapat dipertanggung-jawabkan<br />

(accountable), efektif dan efisien, pemerataan serta mendukung supremasi hukum.<br />

Dalam mencapai tujuan-tujuan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir secara<br />

terpadu dan berkelanjutan, maka perlu dirumuskan suatu pengelolaan (strategic plan),<br />

mengintegrasikan setiap kepentingan dalam keseimbangan (proporsionality) antar<br />

dimensi ekologis, dimensi sosial, antar sektoral, disiplin ilmu dan segenap pelaku<br />

pembangunan (stakeholders).<br />

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk membantu memberikan solusi dalam<br />

menyusun strategi pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu dan berkelanjutan,<br />

berdasarkan analisis terhadap sejumlah isu dan permasalahan serta karakteristik wilayah<br />

pesisir. Pada saatnya diharapkan dapat tercapai tujuan-tujuan pembangunan ekonomi,<br />

perbaikan kualitas lingkungan serta menghindari adanya konflik jangka panjang di<br />

wilayah tersebut. Untuk itu perlu dilakukan reformasi paradigma dan pola pembangunan<br />

kelautan, yang meliputi perbaikan seperangkat kebijakan yang bersifat teknis dan bersifat<br />

pengaturan (governance).<br />

PEMBAHASAN<br />

A. Konsep Dasar Pengelolaan Terpadu<br />

Pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu menghendaki adanya<br />

keberlanjutan (sustainability) dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir. Sebagai kawasan<br />

yang dimanfaatkan untuk berbagai sektor pembangunan, wilayah pesisir memiliki<br />

kompleksitas isu, permasalahan, peluang dan tantangan.<br />

12<br />

Terdapat beberapa dasar hukum pengelolaan wilayah pesisir yaitu:<br />

1. UU No. 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya.<br />

2. UU No. 24 tahun 1992, tentang Penataan Ruang.<br />

3. UU No. 23 tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.<br />

4. UU No. 22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah.<br />

5. PP No. 69 tahun 1996, tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, Serta Bentuk<br />

dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang.<br />

6. Keputusan Presiden RI No. 32 tahun 1990, tentang Pengelolaan Kawasan<br />

Lindung.


Pendekatan Ekosistem Terpadu: Strategi dalam Pengelolaan Laut dan Pesisir<br />

Andi Fajar Asti<br />

7. Permendagri No. 8 tahun 1998, tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di<br />

Daerah.<br />

8. Berbagai Peraturan Daerah yang relevan.<br />

Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang tidak memenuhi kaidah-kaidah<br />

pembangunan yang berkelanjutan secara signifikan mempengaruhi ekosistemnya.<br />

Kegiatan pembangunan yang ada di kawasan ini akan dapat mempengaruhi produktivitas<br />

sumberdaya akibat proses produksi dan residu, dimana pemanfaatan yang berbeda dari<br />

sumberdaya pesisir kerap menimbulkan konflik yang dapat berdampak timbal balik. Oleh<br />

karena itu pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk tujuan pembangunan nasional akan<br />

dapat berhasil jika dikelola secara terpadu (Integrated Coastal Zone Management,<br />

ICZM). Pengalaman membuktikan bahwa pengelolaan atau pemanfaatan kawasan pesisir<br />

secara sektoral tidaklah efektif (Dahuri et. al 1996; Brown 1997; Cicin-Sain and Knecht<br />

1998; Kay and Alder 1999).<br />

Pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu adalah suatu proses interative dan<br />

evolusioner untuk mewujudkan pembangunan kawasan pesisir secara optimal dan<br />

berkelanjutan. Tujuan akhir dari ICZM bukan hanya untuk mengejar pertumbuhan<br />

ekonomi (economic growth) jangka pendek, melainkan juga menjamin pertumbuhan<br />

ekonomi yang dapat dinikmati secara adil dan proporsional oleh segenap pihak yang<br />

terlibat (stakeholders), dan memelihara daya dukung serta kualitas lingkungan pesisir,<br />

sehingga pembangunan dapat berlangsung secara lestari.<br />

Dalam rangka mencapai tujuan tersebut maka unsur esensial dari ICZM adalah<br />

keterpaduan (integration) dan koordinasi. Setiap kebijakan dan strategi dalam<br />

pemanfaatan sumberdaya pesisir harus berdasarkan kepada : (1) pemahaman yang baik<br />

tentang proses-proses alamiah (eko-hidrologis) yang berlangsung di kawasan pesisir yang<br />

sedang dikelola; (2) kondisi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat; dan (3)<br />

kebutuhan saat ini dan yang akan datang terhadap barang dan (produk) dan jasa<br />

lingkungan pesisir.<br />

Oleh karena tujuan ICZM adalah mewujudkan pembangunan kawasan pesisir<br />

secara berkelanjutan maka keterpaduan dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan<br />

pesisir dan laut mencakup empat aspek, yaitu : (a) keterpaduan wilayah/ekologis; (b)<br />

keterpaduan sektor; (c) keterpaduan disiplin ilmu; dan (d) keterpaduan stakeholder.<br />

Dengan kata lain, penetapan komposisi dan laju/tingkat kegiatan pembangunan pesisir<br />

13


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

yang optimal akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang dapat dirasakan oleh<br />

segenap stakeholders secara adil dan berkelanjutan.<br />

Pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu pada dasarnya merupakan<br />

suatu proses yang bersifat siklikal. Dengan demikian terlihat bahwa pendekatan<br />

keterpaduan pengelolaan/pemanfaatan kawasan pesisir dan laut menjadi sangat penting,<br />

sehingga diharapkan dapat terwujud one plan dan one management serta tercapai<br />

pembangunan yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.<br />

Secara skematik kerangka konsep studi disajikan sebagai berikut:<br />

14<br />

Kawasan Pesisir dan Laut<br />

Perikanan Pertambangan Energi<br />

Kelautan<br />

Perhubungan Laut<br />

4. EVALUASI<br />

• Analisis kemajuan dan permasalahan<br />

• Redefinisi ruang lingkup untuk<br />

pengelolaan pesisir<br />

3. IMPLEMENTASI<br />

• Kegiatan Pembangunan<br />

• Penegakan kebijakan dan<br />

• peraturan-peraturan<br />

• Pemantauan<br />

Isu, Permasalahan, peluan dan Tantangan<br />

ICZM<br />

Tahap<br />

Pengelolaan<br />

Pengelolaan Kawasan Pesisir<br />

Berkelanjutan<br />

Gambar 1. Skematik kerangka konsep studi<br />

Pariwisata Bahari DL<br />

L<br />

1. PENATAAN DAN PERENCANAAN<br />

• Identifikasi dan analisis<br />

• permasalahan<br />

• Pendefinisian tujuan dan sasaran<br />

• Pemilihan Strategi<br />

• Pemilihan struktur implementasi<br />

2. FORMULASI<br />

• Mengadopsi program secara<br />

formal<br />

• Pengamanan dana untuk<br />

• implementasi


Pendekatan Ekosistem Terpadu: Strategi dalam Pengelolaan Laut dan Pesisir<br />

Andi Fajar Asti<br />

B. Strategi Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Secara Terpadu dan<br />

Berkelanjutan.<br />

1. Strategi Pengelolaan Terpadu<br />

Wilayah pesisir dan laut merupakan tatanan ekosistem yang memiliki hubungan<br />

sangat erat dengan daerah lahan atas (upland) baik melalui aliran air sungai, air<br />

permukaan (run off) maupun air tanah (ground water), dan dengan aktivitas manusia.<br />

Keterkaitan tersebut menyebabkan terbentuknya kompleksitas dan kerentanan di wilayah<br />

pesisir. Secara konseptual, hubungan tersebut dapat digambarkan dalam keterkaitan<br />

antara lingkungan darat (bumi), lingkungan laut, dan aktivitas manusia.<br />

Pengelolaan wilayah pesisir terpadu dinyatakan sebagai proses pemanfaatan<br />

sumberdaya pesisir dan lautan serta ruang dengan mengindahkan aspek konservasi dan<br />

keberlanjutannya. Adapun konteks keterpaduan meliputi dimensi sektor, ekologis, hirarki<br />

pemerintahan, antar bangsa/negara, dan disiplin ilmu (Cicin-Sain and Knecht, 1998).<br />

Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu penting dilakukan mengingat<br />

banyaknya kegiatan-kegiatan yang dapat diimplementasikan, sehingga perlu dirumuskan<br />

suatu konsep penataan ruang (trategic plan) serta berbagai pilihan objek pembangunan<br />

yang serasi. Dalam konteks ini maka keterpaduan pengelolaan wilayah pesisir<br />

sekurangnya mengandung 3 dimensi : sektoral, bidang ilmu dan keterkaitan ekologis.<br />

Keterpaduan secara sektoral di wilayah pesisir berarti diperlukan adanya suatu<br />

kooordinasi tugas, wewenang, dan tanggung jawab antar sektor atau instansi (horizontal<br />

integration); dan antar tingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan,<br />

kabupaten, propinsi sampai pemerintah pusat (vertical integration).<br />

2. Strategi Pengelolaan Berkelanjutan<br />

Dari batasan di atas jelas bahwa pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu<br />

menghendaki adanya kesamaan visi antar stakeholders. Menyadari arti penting visi<br />

pengelolaan itu, maka perlu dipelopori perumusan visi bersama seperti terwujudnya<br />

pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan<br />

yang didukung oleh peningkatan kualitas sumberdaya manusia, penataan dan penegakan<br />

hukum, serta penataan ruang untuk terwujudnya peningkatan kesejahteraan rakyat.<br />

Mengacu pada visi tersebut, maka strategi pengelolaan wilayah pesisir terpadu dan<br />

berkelanjutan harus memperhatikan aspek sumberdaya manusia, hukum, tata ruang, dan<br />

kesejahteraan bersama.<br />

15


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

Strategi pengelolaan wilayah pesisir akan difokuskan untuk menangani isu utama<br />

yaitu konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir, yang secara simultan juga berkaitan<br />

dengan penanganan isu yang lain. Pemikiran dasar dalam perumusan strategi pengelolaan<br />

ini meliputi keberlanjutan (sustainability), perlindungan dan pelestarian, pengembangan,<br />

pemerataan, dan komunikasi. Dari pemikiran ini, dirumuskan strategi pengelolaan yang<br />

mengakomodasi nilai-nilai, isu-isu, dan visi pengelolaan.<br />

Strategi pengelolaan pesisir yang difokuskan untuk menangani isu konflik<br />

pemanfaatan ruang adalah sebagai berikut: (1) Identifikasi pengguna ruang dan<br />

kebutuhannya, (2) Penyusunan rencana tata ruang pesisir, (3) Penetapan sempadan pantai<br />

dan penanaman mangrove, (4) Pengendalian reklamasi pantai, (5) Pengetatan baku mutu<br />

limbah dan manajemen persampahan, (6) Penataan permukiman kumuh, (7) Perbaikan<br />

sistem drainase, (8) Penegakan hukum secara konsisten.<br />

Tujuan pengelolaan adalah mengatasi konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir,<br />

sehingga terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan. Adapun target pengelolaan<br />

adalah teratasinya permasalahan turunan dari konflik pemanfaatan ruang, melalui<br />

partisipasi masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah secara terpadu, yang didukung<br />

penegakan hukum secara konsisten, yaitu: (1) Tersusun dan dipatuhinya tata ruang<br />

wilayah pesisir , (2) Terkendalinya reklamasi pantai, (3) Terkendalinya pencemaran<br />

perairan, (4) Tertatanya permukiman kumuh, (5) Kembalinya sempadan pantai dan<br />

rehabilitasi mangrove, (6) Terkendalinya masalah banjir, (7) Terkendalinya masalah<br />

abrasi, (8) Terkendalinya sedimentasi.<br />

Salah satu faktor penyubur terjadinya konflik serta mempercepat kerusakan<br />

sumberdaya pesisir adalah lemahnya koordinasi antar lembaga terkait. Untuk mengatasi<br />

kondisi tersebut harus dilakukan peningkatan koordinasi kelembagaan yang melibatkan<br />

dinas/instansi daerah seperti Bappeda, Perikanan dan Kelautan, Pariwisata, Industri dan<br />

Perdagangan, Perhubungan dan kepelabuhan, BPN, dan lain-lain. Upaya yang harus<br />

dilakukan adalah menghilangkan ego sektor dengan penegasan kembali fungsi dan<br />

kewenangan masing-masing dinas/instansi terkait, serta harus ada selalu diadakan rapatrapat<br />

koordinasi untuk membicarakan berbagai hal yang menyangkut pengelolaan<br />

wilayah pesisir itu sendiri.<br />

16


Pendekatan Ekosistem Terpadu: Strategi dalam Pengelolaan Laut dan Pesisir<br />

Andi Fajar Asti<br />

C. Pendekatan Ekosistem Terpadu dalam Pengelolaan Laut dan Pesisir Antar<br />

Masyarakat Internasional<br />

Pendekatan ekosistem, seperti yang diadopsi oleh banyak perjanjian multi-lateral<br />

tentang lingkungan, menyediakan kerangka yang penting untuk menilai keanekaragaman<br />

hayati dan ekosistem dengan mengevaluasi potensi The Convention on Biological<br />

Diversity (CBD) yang merujuk kepada pendekatan ekosistem sebagai suatu strategi untuk<br />

diintegrasikan terhadap pengelolaan tanah, air, dan sumber daya alam yang<br />

mempromosikan konservasi yang berkelanjutan dengan menggunakan cara-cara yang<br />

adil. Aplikasi dan pendekatan ekosistem fokus terhadap hubungan fungsional dalam suatu<br />

proses ekosistem, perhatian terhadap manfaat distribusi yang mengalir dari ekosistem,<br />

penggunaan praktik pengelolaan adaptif, kebutuhan untuk melakukan tindakan<br />

manajemen di beberapa skala, dan kerjasama antar-sektoral.<br />

Adapun pendekatan lain, seperti pengelolaan sumber daya air terpadu dan laut<br />

dan pesisir terpadu pengelolaan kawasan, ini sesuai dengan pendekatan ekosistem dan<br />

mendukung aplikasi di berbagai sektor atau biomes, termasuk pesisir dan kelautan<br />

lingkungan. Faktanya, penerapan pendekatan ekosistem di wilayah pesisir dan laut yang<br />

dibangun pada konsep manajemen terpadu, sudah banyak digunakan untuk pengelolaan<br />

daerah-daerah tersebut.<br />

Hal ini melibatkan perencanaan komprehensif dan peraturan dari aktivitas<br />

manusia terhadap set multiple yang kompleks, dan sering konflik, objektif dan bertujuan<br />

untuk meminimalisasi konflik di antara pengguna yang menggunakan dan pengguna<br />

sementara memastikan jangka panjang kesinambungan. Pendekatan ekosistem yang<br />

merupakan evolusi terpadu pengelolaan pesisir dan laut, dengan lebih menekankan pada<br />

tujuan dan sasaran ekosistem dan hasilnya. Pindah ke sebuah pendekatan ekosistem harus<br />

dianggap sebagai langkah evolusioner dalam terpadu manajemen dan tindakan.<br />

Salah satu hal penting yang berubah secara langsung dalam ekosistem laut lebih<br />

dari 50 tahun adalah cara memancing yang memberikan efek pada struktur, fungsi dan<br />

keanakeragaman dari laut. Tekanan perikanan tangkap (memancing) sangatlah kuat pada<br />

salah satu sistem kelautan di seluruh dunia, biomassa dari ikan tangkapan di lautan (baik<br />

ikan yang di tangkap atau target tangkapan dan juga yang tidak sengaja tertangkap) telah<br />

mengalami penurunan sebesar 90 % dari level utama dari omset industri perikanan. Pada<br />

area ini stok dari ikan tangkapan di seluruh dunia mengalami penurunan, yaitu telah<br />

mengalami overfishing atau penangkapan ikan sudah melebihi kapasitas maximum<br />

17


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

kemampuan nya untuk pulih kembali. Dari penelitian sebelumnya telah digambarkan<br />

bahwa perikanan global telah mencapai puncak pada tahun 1980-an, dan sekarang<br />

menolak disamping peningkatan usaha dan juga kekuatan perikanan, dengan sedikit<br />

tanda dari kecenderungan yang berlaku<br />

Beberapa negara telah mulai melaksakan pendekatan ekosistem pada area laut<br />

secara luas misalnya Canada, Australia, Inggris, termasuk menggunakan perencanaan<br />

daerah kelautan sebagai alat untuk mengimplementasikan pendekatan ekosistem dan<br />

pembangunan kelautan dengan menggunakan tumbuh-tumbuhan.<br />

Pada tahun 2004 UNEP “Regional Sea Program” telah setuju untuk<br />

meningkatkan visi secara terbuka dan intergrasi menajemen yang berdasarkan kepada<br />

pendekatan ekosistem, yang dimana prioritas dan konsentrasinya berhubungan dengan<br />

menajemen pesisir dan laut dan sumberdaya yang terkandung didalamnya.<br />

Selama ini aplikasi yang paling ekstensif dalam pendekatan ekosistem adalah<br />

“Large Marine Ecosystem” (LME) yang merupakan proyek yang didanai oleh “Global<br />

Environmental Facility” (GEF) yang menuju kepada pembangunan kooperasi subregional<br />

terhadap ekosistem berdasarkan manajemen kelautan. LME mewakili cara<br />

pragmatik untuk membantu lebih dari 120 negara dalam mengoperasikan pendekatan<br />

ekosistem dalam suatu wilayah yang cukup luas termasuk perhatian antar garis pemisah<br />

atau garis batas. Proyek tersebut mencakup Laut Merah dan Teluk Aden, Laut<br />

Mediterania, Laut Hitam, Laut Baltik, Paparan Patagonian, Aliran arus Bengeula, Aliran<br />

arus Guinea, Kepulauan di Samudera pasifik, Laut Kuning, dan Laut Cina Selatan/Teluk<br />

Thailand. Proyek ini juga di persiapkan untuk Aliran arus Canary, Kepulauan Caribbean,<br />

Aliran arus Anghulas dan Somali, Teluk Bengal, Aliran arus Humboldt dan Teluk<br />

Meksiko.<br />

Disamping pengertian kontemporer tentang pengelolaan ekosistem dimana<br />

manusia termasuk didalamnya (pengelolaan ekosistem dikenal sebagai pengelolaan dari<br />

aktifitas manusia yang mempengaruhi ekosistem dan bukan pengelolaan ekosistem dari<br />

komponen alami mereka), banyak proyek yang menggunakan pendekatan ekosistem<br />

tetapi tidak memperhatikan pengaruh manusianya. Salah satu contohnya proyek “World<br />

Bank” yang terdapat di Tanzania dan Zanzibar (Proyek Pengelolaan Lingkungan Laut dan<br />

Pesisir (MACEMP) atau disebut “Blueprint 2050”) yang mempunyai masalah<br />

perlindungan ekologi, desain pelindungan laut (perlindungan 10% dari laut pada 2012<br />

dan bertambah menjadi 20 % pada 2025), dan pada waktu yang bersamaan juga harus<br />

18


Pendekatan Ekosistem Terpadu: Strategi dalam Pengelolaan Laut dan Pesisir<br />

Andi Fajar Asti<br />

meringankan kemiskinan dan menjamin asuransi yang berkelanjutan bagi proyek<br />

tersebut.<br />

Salah satu pemisah dalam mengimplementasikan pengelolaan dasar ekosistem<br />

adalah kurangnya pengawasan data bagi indikator ekologi dan sosial-ekonomi didalam<br />

skala ekosistem, termasuk juga kekurangan dalam data dasar. Hanya beberapa ekosistem<br />

laut yang mempunyai data sistematik dalam jangka waktu yang lama yang mengenai<br />

status dan kecenderungan dari sistem alami dan sosial. Perhatian pada komunitas pesisir<br />

yang tidak mempunyai tindakan secara periodik terhadap kondisi sosial ekonomi,<br />

menyebabkan kemustahilan dalam mengukur kemajuan dari keberhasilan MDG dalam<br />

meringankan atau mengatasi kemiskinan yang terdapat pada daerah pesisir.<br />

Pengelolaan terintegrasi batas laut dalam aturan Badan Zona Ekonomi Ekslusif<br />

(EEZ) adalah 200 mil dari garis pantai, menghendaki adanya pengembangan konsepkonsep<br />

yang baru, prosedur-prosedur, dan struktur-struktur. Seperti halnya manfaat<br />

kerjasama antar negara, dalam hal mengambarkan dan pembagian pelajaran serta praktekpraktek<br />

yang baik, seperti peningkatan formula rumusan kebijakan kelautan nasional,<br />

banyak Negara khususnya pulau kecil yang tergabung dalam (SIDS), akan membutuhkan<br />

bantuan dalam memetakan dan membatasi EEZs mereka serta mengembangkan lembaga<br />

atau institusi dan prosedur-prosedur yang baru.<br />

Suatu analisa terbaru tindakan-tindakan nasional yang berdasarkan pada<br />

Barbados Programme Action. Menurut Berjuntai et al. (2005) bahwa pengelolaan secara<br />

integral pesisir pantai sudah ada dan dibentuk oleh beberapa negara yang tergabung<br />

dalam SIDS yang berlangsung diakhir dekade, dengan demikian memerlukan<br />

pengembangan pada tahap yang berikutnya.<br />

Puncak Kebijakan kelautan yang diadakan di Lisbon, Portugal, Oktober 2005,<br />

sekitar kurang lebih 40 negara mengomentari usaha-usaha mereka untuk mengembangkan<br />

kebijakan-kebijakan integral kelautan yang berhubungan dengan konflik-konflik<br />

kesepakatan penggunaan ganda diantara mereka seperti halnya para agen pemakai dan<br />

pengelola, degradasi sumber daya laut dan kehilangan peluang untuk pembangunan<br />

ekonomi. kebijakan-kebijakan nasional yang berbeda sama halnya dengan membangun<br />

kaitan menggunakan istilah menyeluruh prinsip-prinsip dan kebutuhan yang transparan<br />

atau nyata, keterlibatan publik dan stakeholder, tunjangan untuk aksi kerjasama, dan<br />

tanggun-jawab administrasi kelautan nasional yang jelas dan transparansi. GEF (global<br />

environmental facility) mendukung pengembangan mengenai kebijakan-kebijakan<br />

19


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

regional kelautan yang mengutamakan sumber daya dan batas-batas kelautan yang<br />

disepakati 15 Large Marine Ecosystems (LMES).<br />

KESIMPULAN<br />

20<br />

Pengelolaan eksositem kawasan laut dan pesisir secar terpadu pada dasarnya<br />

adalah sama dengan mengadopsi pendekatan yang holistik dan terpadu yang meliputi<br />

dimensi lingkungan dan sosial ekonomi, tetapi skala operasi dan tingkat intervensi<br />

pengelolaannya mungkin beragam dengan mengacu pada skala geografis. Banyaknya<br />

limbah domestik dan tingginya tingkat sedimentasi yang masuk ke dalam wilayah pesisir,<br />

perlu dilakukan suatu bentuk pengendalian, pencemaran limbah dan pengaturan<br />

pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Hal ini merupakan masalah kritis, sehingga<br />

perlu dilakukan tindakan langsung baik secara hukum formal maupun hukum adat untuk<br />

menciptakan pengendalian terhadap kegiatankegiatan yang dapat merusak lingkungan.<br />

Untuk menangani masalah tersebut, maka perlu dirumuskan suatu penataan<br />

ruang, pengelolaan dan pengusahaan kawasan wilayah pesisir yang memiliki dimensi<br />

keterpaduan ekologis, sektoral, disiplin ilmu serta keterpaduan antar stakeholders,<br />

sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan dapat tercapai yaitu pertumbuhan ekonomi,<br />

perbaikan kualitas lingkungan serta adanya kepedulian antar generasi. Selain itu bantuan<br />

finansial dari Global Environmental Facility (GEF) dan instansi bilateral maupun<br />

multilateral berkontribusi terhadap penerapan konsep dan pendekatan ini pada tingkat<br />

daerah, nasional maupun regional.<br />

SUMBER RUJUKAN<br />

Cicin-Sain and R.W. Knecht. 1998. Integrated Coastal and Marine Management. Island<br />

Pres, Washington DC.<br />

Dahuri, R., J Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah<br />

Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, PT. Pradnya Paramita,Jakarta.<br />

Dahuri, R. 1999. Pengelolaan Wilayah Pesisir dalam Kontek Pengembangan Kota Pantai<br />

dan Kawasan Pantai Secara Berkelanjutan. Makalah disampaikan dalam<br />

Seminar Nasional Kemaritiman, Jakarta.<br />

Kay, R. And J. Alder. 1999. Coastal Planning and Management. E & FN Spon. London.<br />

Nybaken,W.J. 1992. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologi. Gramedia, Jakarta.<br />

Sorensen, J.C. and S.T. McCreary. 1990. Institutional Arrangement for Managing<br />

Resources and Environment 2nd ed. Coastal Publication No. 1. Renewable<br />

Resources Information Series. US National Park Services and US Agency for<br />

International Development, Washington DC.<br />

www.lestari-m3.org Powered by Joomla! Generated: 1 March, 2009, 03:54


Wacana Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember Tahun 2009 (21‐26)<br />

KONSUMERISME SEBAGAI SIMBOL MODERNITAS<br />

Asliah Zainal<br />

(Staf Pengajar pada Jurusan Dakwah STAIN Kendari)<br />

(liazain@yahoo.com)<br />

Abstract:<br />

This paper try to describe mode of consumsion the modern society and how<br />

they interprete the symbols in the social and cultural sphere.<br />

Modernity as one of the globalization impact tends to bring society in the<br />

popular culture, it is consumerism. Why people tend to paralyze their logical<br />

thinking (as the one of modern characteristic) in the way to faced<br />

commodities of capitalism. Apparently, there are close relevances between<br />

the flooding of exotic advertisement in the capitalis industry, the paralyzing<br />

of logical thinking of merchandises, and finally the rising of deceived<br />

conciousness.<br />

The result is modern society with consumerism preference brings to the<br />

situation of anomic, which is the interaction among them is the contractual<br />

interaction, mechanical solidarity, and the distance relationship. Whereas<br />

they try to built the pseudo- identity and tends to be fragile. The modern<br />

society put on the consumerism symbols because they are fear if they are not<br />

part of group.<br />

Modernity in the process of seeking the identity makes society like to create<br />

the manipulative symbols to cause themselves not be alienated from the<br />

society and culture. In that process people are in the ambiguity, in the<br />

liminal, which is arrange the communities with the manipulative symbols.<br />

Kata Kunci: Modernity, Consumersism, Popular Culture, Identity,<br />

Symbols.<br />

PENDAHULUAN<br />

Dalam alam modernitas sebagai dampak globalisasi, manusia memproduksi<br />

simbol sekaligus memaknainya sebagai referen dan atribut-atribut kemodernan. Simbolsimbol<br />

modern ini berbeda secara signifikan dengan simbol-simbol pada masyarakat<br />

tradisional.<br />

Konsumerisme merupakan salah satu gaya hidup masyarakat modern yang<br />

mengacu kepada apa yang dimakan, apa yang dikenakan, dipertontonkan, apa yang<br />

dilakukan untuk menghabiskan waktu. Konsumerisme demikian menunjukan identitas<br />

diri yang dicirikan atau disimbolkan oleh atribut-atribut tertentu. Tulisan ini berupaya<br />

untuk mengungkap pola konsumsi masyarakat modern dan bagaimana simbol-simbol<br />

modernitas tersebut dimaknai secara sosial budaya.<br />

21


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

KONSUMERISME SEBAGAI SALAH SATU BUDAYA MASSA<br />

Ciri modernitas yang membawa dampak materialisme dewasa ini diwakili oleh<br />

kehadiran mall, fasilitas dan sarana pendidikan, tempat rekreasi, tempat hiburan, bioskop,<br />

perbankanan, dan sebagainya. Ciri-ciri modernitas tersebut kemudian dihubungkan<br />

dengan pola konsumsi masyarakat modern itu sendiri. Pola konsumsi ini mengacu kepada<br />

apa yang dimakan, apa yang dikenakan, apa yang dipertontonkan, apa yang dilakukan<br />

dalam menghabiskan waktu mereka dalam kehidupan. Cara-cara manusia menghabiskan<br />

waktu pun menjadi komoditas kapitalisme. Hal-hal yang tadinya bersifat “leissure”<br />

menghabiskan waktu menjadi nilai bisnis di mata kaum pemilik modal (kapitalis). Cara<br />

manusia bersantai, bepergian, berolah raga, atau bahkan bermain dianggap sebagai<br />

sebuah “pekerjaan” tertentu (Briggs, 2006: 233).<br />

Ia menjadi bernilai bisnis dan menjadi bagian dari pola konsumsi. Konsumerisme<br />

ini merupakan salah satu dari budaya massa. Yang dimaksudkan dengan budaya massa<br />

adalah budaya yang menyenangkan, disukai banyak orang, bahkan budaya masa ini<br />

diartikulasikan sebagai budaya “sub standard” (Storey, 1993: 11). Karena sifatnya yang<br />

sub standard, maka ia sebetulnya tidak bisa diharapkan. Ia diproduksi oleh masa untuk<br />

dikonsumsi oleh masaa. Segmen pasar dari budaya pasar ini adalah sosok-sosok<br />

konsumen yang tidak bisa memilih, budaya ini dimiliki atau bahkan dikuasai tanpa<br />

berpikir panjang dan tanpa perhitungan.<br />

Mengapa manusia modern cenderung melumpuhkan sikap kritisnya dalam<br />

menyikapi budaya massa, termasuk budaya konsumerisme? Mengapa manusia modern<br />

yang konon dicirikan rasionalitas cenderung terus terbius untuk membeli komoditikomoditi<br />

dan rayuan visual eksotis dari barang-barang tersebut? Pertanyaan tersebut akan<br />

dijawab dengan asumsi bahwa ada hubungan antara kesadaran manusia, informasi, dan<br />

konsep keterasingan itu sendiri. Informasi yang diterima individu secara terus menerus<br />

yang mengarahkan pada sikap mengiyakan atau menolak, akan membentuknya menjadi<br />

transformasi informasi. Bila transformasi tersebut memberikan solusi yang<br />

mensejahterakan dan bukan mencelakakan, maka hal itu disebut sebagai proses<br />

emansipasi dan kesadaran kritis menjadi kesadaran emansipatorik (Sutrisno, t.t: 150).<br />

Penjelasan ini belumlah dapat menjawab pertanyaan mengapa jika manusia sudah<br />

memiliki tiga bentuk kesadaran demikian (kesadaran kritis, transformasi dan<br />

emansipatorik), akan tetapi menjadi tidak kritis atas rayuan komoditas konsumerisme.<br />

22


Konsumerisme Sebagai Simbol Modernitas<br />

Asliah Zainal<br />

Ada tiga hal yang menjadikan manusia menjadi tumpul daya kritisnya menghadapi<br />

rayuan visual eksotis benda-benda komoditas; (a) Banjir eksotisme iklan dalam industri<br />

kapitalis membuat apa saja menjadi benda dan mimpi serta menyadari secara kritis dalam<br />

reifikasi, (b) Kesadaran manusia dibuat terbuai oleh fethisisme atau pemberhalaan yang<br />

melumpuhkan rasioalitas. Orang lalu menjadi tidak merasaa percaya diri, tidak<br />

beridentitas karena tidak memiliki merk-merk tertentu, (c) Berlakunya kesadaran semu<br />

yang membentuk dan memberhalakan sublimasi yang seolah-olah menjadikan manusia<br />

kuat sebagaimana dimodelkan oleh iklan. Iklan telah menciptakan kesadaran semu<br />

manusia (Sutrisno, t.t: 152).<br />

Ketiga hal tersebutlah yang mengalahkan kesaran kritis manusia modern dengan<br />

eksotisme mimpi yang ditawarkan iklan menjadi mimpi-mimpi semu dan akhirnya<br />

melahirkan kesadaran semu. Oleh sebab itu, budaya massa sebagaimana halnya<br />

konsumerisme dianggap sebagai dunia impian kolektif. Mimpi dan kesadaran semu telah<br />

melahirkan manusia-manusia yang teralienasi dari dunia dan kehidupannnya.<br />

Dampak modernitas dalam masyarakat berimplikasi pada kehidupan sosial<br />

budaya. Ide-ide globalisasi dan modernisasi membawa masyarakat dari identitas<br />

pertanian kepada masyarakat industri, dari masyarakat tradisional dengan ciri mistis dan<br />

spritualitas menuju masyarakat modern yang rasional-materialistis. Belum lagi perubahan<br />

yang sangat cepat dari kebudayaan oral menunju pada kebudayaan membaca-menulis<br />

(literacy) menjadikan individu-individu mengalami kekagetan budaya (cultural shock).<br />

Individu-individu yang mengalami shok budaya ini merasakan ada gap antara<br />

kebudayaan sebelumnya yang selama ini melingkupinya menuju pada kebudayaan baru<br />

yang sama sekali tidak dikenalnya. Akibat yang bisa dipastikan adalah manusia-manusia<br />

modern menjadi teralienasi dari kebudayaan dan masyarakatnya sendiri. Istilah yang<br />

diperkenalkan Durkheim adalah anomi, sebuah keadaan dimana nilai, norma, dan aturan<br />

yang selama ini dijadikan pegangan menjadi terburai dan tercerai berai.<br />

Bentuk-bentuk alienasi masyarakat modern demikian sangat jamak ditemukan<br />

dalam msaarakat modern atau disebut pula dengan masyarakat transisional. Disebut<br />

sebagai masyarakat transisional sebab ia mengikuti cara hidup modernitas, akan tetapi<br />

belum sepenuhnya meninggalkan nilai-nilai kebudayaan lama yang selama ini dianutnya.<br />

Sifat ambiguitas inilah yang banyak melanda manusia-manusia modern yang teralienasi<br />

dari masyarakat dan kebudayaannya sendiri.<br />

23


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

Konsep destination shopping ini yang secara tidak sadar membentuk impian dan<br />

kesadaran semu para konsumer dan akhirnya melahirkan pola-pola konsumerisme yang<br />

tak akan pernah akan ada habisnya. Akhirnya, berbelanja juga dianggap sebagai sebuah<br />

pekerjaan, sebuah aktivitas sosial dan suatu saat menjadi kompetisi baik kompetisi untuk<br />

diri sendiri (memutuskan membeli atau tidak) juga terlebih untuk kompetisi pada teman<br />

dan anggota masyarakat lain (sebagai simbol status, gengsi dan image manusia modern<br />

dan tidak ketinggalan zaman).<br />

Kemodernan diidentikkan dengan gaya hidup, status, kelas sosial, gengsi, dan<br />

citra tertentu. Manusia membeli sesuatu bukan lagi ditujukan demi tujuan substansi<br />

materi benda itu sendiri akan tetapi oleh gengsi, status, dan citra pribadi dan juga<br />

kelompok. Tidak ada lagi keintiman hubungan antara dua personal atau kelompok. Satusatunya<br />

interaksi yang terjadi dalam interaksi dunia konsumerisme adalah simulacra,<br />

dangkal dan kurang bermutu (Putranto, dalam Sutrisno, t.t: 200). Hal ini bisa dijumpai<br />

dalam interaksi yang ditemukan dalam restoran-restoran cepat saji, penerimaan oleh<br />

resepsionis bank atau hotel, dan tempat-tempat perbelanjaan pada umumnya.<br />

Konsumsi bagaimanapun merupakan sektor yang anomik. Meskipun mengikuti<br />

pola hidup konsumerisme yang diperlihatkan individu menunjukan sebuah sikap pasivitas<br />

dari individu yang bersangkutan, konsumsi sesungguhnya adalah sebuah perilaku yang<br />

aktif dan kolektif. Ia bersifat aktif karena merupakan sebuah paksaan, sebuah moral oleh<br />

sistem masyarakat (Baudrillard, 2004 91). Jadi, bisa jadi konsumsi juga merupakan<br />

sebuah institusi yang berfungsi integratif dan kontrol sosial bagi anggota masyarakatnya.<br />

Pola konsumerisme yang dilakukan oleh masyarakat tertentu kemudian membentuknya<br />

menjadi masyarakat konsumsi. Masarakat konsumsi dalam kondisi demikian menjadi<br />

sarana sosialisasi pembelajaran konsumsi. Masyarakat konsumsi lewat paksaan yang<br />

dilakukan oleh kontrol sosial (melalui atomisasi pribadi konsumen) melahirkan<br />

masyarakat yang memiliki solidaritas organik, bersifat kontraktual, dan berjarak, bukan<br />

lagi masyarakat yang mengacu pada solidaritas mekanik sebagaimana awalnya atau<br />

hubungan-hubungan familiar.<br />

MAKNA SIMBOL KONSUMERISME DALAM DUNIA MODERN<br />

Simbol sebagai tanda dalam kehidupan memiliki hubungan dengan suatu tanda<br />

lain dalam kehidupan. Simbol kemudian harus dibedakan dengan tanda dan lambang<br />

tersebut. Ada tiga tipe tanda dalam kehidupan manusia sebagaimana diungkapkan Charles<br />

24


Konsumerisme Sebagai Simbol Modernitas<br />

Asliah Zainal<br />

Pierce (dalam Saifuddin, 2005: 291), yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon mencerminkan<br />

obyeknya dalam hal tertentu (salib adalah ikon Kristen); indeks memiliki keterkaitan<br />

secara fisik dengan obyeknya, misalnya mawar sebagai indeks kelompok bunga;<br />

sedangkan simbol berarti sesuatu yang berarti bagi obyeknya, karena ditafsirkan<br />

sedemikian rupa melalui kesepakatan dan penggunaannya.<br />

Karakteristik simbol sebagaimana diungkapkan diatas menerangkan bahwa<br />

simbol itu merupakan sesuatu yang arbitrer. Pemaknaan yang disimbolkan adalah mana<br />

suka tergantung atas individu atau subyek dan interest tertentu. Simbol juga<br />

merepresentasikan sesuatu yang abstrak yang tidak mudah diobservasi atau divisualisasi.<br />

Di samping itu, simbol juga dilekatkan untuk mengatur dan mengacu pada obyek yang<br />

disimbolkan.<br />

Konsumerisme sesungguhnya adalah manipulasi simbol. Simbol diciptakan untuk<br />

kemudian dimaknai secara manipulatif demi untuk mengecoh makna sebenarnya yang<br />

diacu oleh simbol-simbol tersebut. Konsumerisme dalam restoran cepat saji yang<br />

dicirikan oleh interaksi simulacra (dangkal dan kurang intim), pelayanan yang diberikan<br />

dalam hotel atau perbankan, cara manusia berbelanja, menghabiskan waktu (rekreasi),<br />

atau bermain dimanipulasi oleh simbol-simbol hubungan atau interaksi yang dangkal,<br />

kontraktual, berjarak, dan sporadik.<br />

Manusia modern yang berada dalam masa transisi dicirikan oleh identitas diri<br />

yang membingungkan (ambigu). Mereka berada dalam alam ambang yang jika mereka<br />

masih memegang nilai-nilai lama dalam ketradsionalan mereka, akan dikatakan<br />

ketinggalan zaman. Akan tetapi, jika mereka akan mengikuti pola kebudayaan baru yang<br />

serba modern nilai-nilai baru tersebut belum terbentuk secara konkrit. Manusia-manusia<br />

yang mengalami kebingungan ini berada dalam fase ambang (threshold). Manusia<br />

modern dikatakan Sairin (2002: 172) juga bisa diidentifikasi sebagai masyarakat<br />

transisional yang ambigu/liminal (neither here and nor there).<br />

Konsumerisme sesungguhnya menyimbolkan impian dan kesadaran semu.<br />

Konsumerisme memberi ruang bagi eskapisme (pelarian) bukan semata pada dunia yang<br />

lain (dunia mimpi), akan tetapi juga pelarian dari utopia manusia sendiri. Mimpi<br />

ditawarkan oleh iklan secara bombastis menjadikannya bukan semata sebagai impian<br />

semata lagi. Komoditas-komoditas yang ditawarkan iklan menjanjikan mimpi akan jadi<br />

kenyataan (the dream come true) dan akhirnya mimpi itu sendiri bukan lagi sesuatu yang<br />

utopis bagi manusia modern. Mall adalah katedral konsumsi. Konsumerisme dewasa ini<br />

25


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

dimetaforkan sebagai agama. Sebagaimana agama, ia memiliki potensi dan komoditas<br />

untuk dipuja dan ritualnya berupa pertukaran uang dan barang.<br />

KESIMPULAN<br />

Modernitas yang berada dalam proses yang terus menerus dan proses pencarian<br />

identitas, menjadikan manusia modern menciptakan simbol-simbol manipulatif untuk<br />

menjadikan dirinya tidak teralienasi dari masyarakat dan kebudayaannya. Dalam proses<br />

yang terus menerus seperti itu manusia berada dalam masyarakat yang ambigu, berada<br />

dalam alam liminal, yang membentuk komunitas-komunitas dengan ciri-ciri simbol yang<br />

manipulatif.<br />

SUMBER RUJUKAN<br />

Abdullah, Irwan. 2007. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka<br />

Pelajar.<br />

Baulrillard, Jean P. 2004. Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.<br />

Briggs, Asa & Peter Burke. 2006. Sejarah Sosial Media. Jakarta: Yayasan Obor<br />

Indonesia.<br />

Fieldman, Philip. 1980. Psychological Problems. New York: John Wiley & Sons.<br />

Klaffke, Pamela. 2003. Spree; a Cultural Hystory of Shoping. Van Couver: Arsenal Pulp<br />

Press.<br />

Saifuddin, Achmad Fedyani. 2005. Antropologi Kontemporer; Sutau Pengantar Kritis<br />

Mengenai Paradigma. Jakarta: Kencana.<br />

Sairin, Sjafri. 2002. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia; Perspektif Antropologi.<br />

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.<br />

Storey, John. 1993. Teori Budaya dan Budaya Pop; Memetakan Lanskap Konseptual<br />

Cultural Studies. Yogyakarta: Qalam.<br />

Sutrisno, Mudji, et.al. t.t. Cultural Studies; Tantangan bagi Teori-Teori Besar<br />

Kebudayaan. Depok: Koekoesan.<br />

26


Wacana Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember Tahun 2009 (27‐36)<br />

POTENSI DAERAH KARST MIKROKONTINEN BUTON-TUKANGBESI<br />

DALAM PENGEMBANGAN PARIWISATA BERBASIS ALAM DAN BUDAYA<br />

Burhan 1) dan Jalil 2)<br />

1) Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN Sultan Qaimuddin Kendari<br />

e-mail: bur99@plasa.com dan burhan.lanya@yahoo.co.id<br />

2) Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Buton, Prov. Sulawesi Tenggara<br />

Abstract:<br />

Kawasan karst merupakan hasil interaksi proses fisik dan non fisik masa lalu<br />

yang berlangsung terus menerus hingga saat ini. Daerah karst mikrokontinen<br />

Buton-Tukangbesi mempunyai struktur geologi yang sangat kompleks.<br />

Kompleksitas struktur geologi tersebutlah yang diduga mengontrol sistem<br />

kekayaan wisata alam dan budaya di daerah ini. Sistem wisata alam dan<br />

budaya daerah karst mikrokontinent Buton-Tukangbesi perlu terus<br />

dikembangkan agar dapat memberikan manfaat berlimpah bagi daerah ini.<br />

Kata Kunci: kawasan karst, mikrokontinen, pariwisata alam dan budaya.<br />

PENDAHULUAN<br />

Kawasan karst merupakan hasil interaksi proses fisik dan non fisik masa lalu<br />

yang berlangsung terus menerus hingga saat ini. Proses tersebut telah menghasilkan<br />

konfigurasi yang menarik mengenai keterkaitan antar aspek, khususnya aspek-aspek<br />

geofisik dan geologi. Keterkaitan tersebut menandai transformasi kawasan karst<br />

mikrokontinen Buton-Tukangbesi (Satyana, et al., 2008; dan Tanjung, et al., 2008) baik<br />

dimensi spasial maupun dimensi temporalnya. Harapannya akibat transformasi kawasan<br />

karst tersebut baik dimensi spasial dan temporal dapat disajikan dalam tulisan ini.<br />

Berpijak pada hasil penelitian pemodelan struktur bawah permukaan kawasan<br />

regional Sulawesi Tenggara dan kawasan Busur Banda bagian barat berdasarkan kajian<br />

anomali gravitasi (Burhan, 2009), tulisan ini juga diarahkan untuk melengkapi dan<br />

mensosialisasikan informasi mengenai keadaan karst mikrokontinen Buton-Tukangbesi,<br />

yang jika dikelola dan dikembangkan dengan baik dapat mendukung potensi<br />

pengembangan pariwisata di daerah ini, terutama wisata alam dan budaya.<br />

Penguatan data yang menjangkau dimensi spasial sekaligus temporal ini, adalah<br />

modal utama untuk merumuskan nilai strategis kawasan karst, yang dapat memandu kita<br />

kearah pelebaran visi dan rancangan pengelolaan kawasan pariwisata yang bijak.<br />

Pengelolaan kawasan pariwisata yang bijak diharapkan dapat mendukung program<br />

pemerintah dalam upaya pelestarian dan pengembangan kebudayaan dan pariwisata, yaitu<br />

27


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

untuk menumbuhkan pemahaman dan perkembangan masyarakat terhadap kebudayaan<br />

dan pariwisata, meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dan menumbuhkan sikap<br />

kritis terhadap fakta sejarah dan serta memperkokoh ketahanan bangsa (Anonim, 2008).<br />

Hal lain yang tidak kalah penting untuk disadari bahwa pembangunan bidang kebudayaan<br />

dan pariwisata memiliki peran penting dalam memperbaiki struktur kehidupan bangsa,<br />

apalagi dengan adanya persoalan kompleks dan bersifat multidimensional yang saat ini<br />

masih berlanjut setelah terjadinya krisis berkepanjangan, serta meningkatnya ancaman<br />

keamanan secara global.<br />

STRUKTUR GEOLOGI DAERAH KARST MIKROKONTINEN BUTON-<br />

TUKANGBESI<br />

Keadaan geologi daerah karst Mikrokontinent Buton-Tukangbesi telah<br />

berlangsung sejak jutaan tahun yang lalu hingga saat ini, namun secara umum telah mulai<br />

dijelaskan dan ditekuni oleh van Bemmelen (1949), Hamilton (1979), Katili (1978),<br />

Fortuin, et al. (1990), Smith dan Silver (1991), Davidson (1991), Koswara dan Sukarna<br />

(1994), Sikumbang, et al. (1995), Ali, et al. (1996), Eldburg dan Foden (1999a), Milsom,<br />

et al. (1999, 2000), Eldburg, et al., (2002), Tobing (2005), Satyana, et al., (2008) dan<br />

Tanjung, et al., (2008).<br />

Daerah karst mikrokontinen Buton-Tukangbesi mempunyai struktur geologi yang<br />

sangat kompleks. Menurut van Bemelen (1949), mikrokontinen Buton-Tukangbesi adalah<br />

salah satu pulau yang berasal dari Lengan Tenggara Sulawesi. Pecahan-pecahan Lengan<br />

Tenggara Sulawesi terdiri atas beberapa pulau yang disebut gugusan kepulauan Buton.<br />

Pulau Buton (atau Butung), Muna, Kabaena, dan Wawonii adalah pulau-pulau besar dari<br />

gugusan kepulauan ini serta Kepulauan Tukangbesi adalah gugusan pulau-pulau kecil.<br />

Pulau-pulau ini terpisah dari Lengan Tenggara Sulawesi dengan selat-selat yang cukup<br />

sempit. Kepulauan ini merupakan antiklin naik sehingga membentuk cekungan berarah<br />

baratlaut (NW). lipatan-lipatan setempat mengandung deretan coral memanjang yang<br />

berumur neogene hingga pleistocene, sebagai contoh di pulau Buton bagian selatan<br />

terdapat 14 terraces (petak-petak) pada ketinggian 703 m diatas mean sea level (gunung<br />

Kontu).<br />

Blok-blok kerak dibawah permukaan dari kepulauan Buton ini umumnya<br />

menyebar secara radial ke segala arah terutama berarah timur, tenggara, selatan dan barat<br />

daya. Bawah permukaan pulau Wawonii berarah timur hingga terhubung dengan lantai<br />

cekungan Banda bagian utara. Kedalaman batimetri mencapai 5100 m hingga 6500 m.<br />

28


Potensi Daerah Karst Mikrokontinen Buton‐Tukangbesi<br />

dalam Pengembangan Pariwisata Berbasis Alam dan Budaya<br />

Burhan dan Jalil<br />

Selanjutnya, muncul blok-irisan gugusan kepulauan Tukang Besi yang berasal dari Buton<br />

bagian tengah yang berarah tenggara. Palung Buton ini membujur sejajar (parallel)<br />

dengan blok-blok kepulauan Tukang Besi yang dipisahkan kurang lebih oleh tiga sifat<br />

(triangular blok) yang berbeda dengan pulau Hagedis (Batuatas) dan pulau Kabia. Blokblok<br />

ini berakhir pada bagian selatan Buton dan alas blok ini menerus dari arah barat<br />

hingga berakhir pada cekungan banda bagian selatan. Daerah ini mempunyai kedalaman<br />

kira-kira 2000 m. Pada pulau Batuatas terdapat lipatan coral muda pada ketinggian 193<br />

diatas mean sea level (msl). Pada daerah Buton selatan-barat terdapat punggungan yang<br />

memanjang ke barat daya melalui pulau-pulau kecil yang dimulai dari pulau Kadatua dan<br />

Siompu menerus hingga teluk Bone.<br />

Rata-rata orogenic daerah ini sangat aneh, karena susunan sayatan kerak berarah<br />

radial (beberapa di antaranya terangkat seiring waktu, terjadi tumbukan antar blok hingga<br />

sampai pada kedalaman ribuan meter). Menurut Hamilton (1979) dan Katili (1978), Pulau<br />

Buton dan Kepulauan Tukangbesi merupakan salah mikrokontinen yang berasal dari<br />

batas bagian utara benua Australia yang akibat adanya lempeng tektonik sehingga Pulau<br />

Buton berada pada posisinya saat ini. Mikrokontinen–mikrokontinen yang diduga kuat<br />

berasal dari batas bagian utara benua Australia bukan hanya pulau Buton saja, tetapi juga<br />

adalah mikrokontinen Banggai-Sula, Seram, Buru dan Kepala Burung Papua. Hal ini<br />

dilihat dari kandungan hidrokarbon yang berlimpah di daerah-daerah tersebut (Tobing,<br />

2005; Satyana et al., 2008 dan Tanjung, et al., 2008).<br />

PARIWISATA ALAM DAERAH KARST MIKROKONTINEN BUTON-<br />

TUKANGBESI<br />

Singer (2006) mengemukakan bahwa sebelumnya, banyak orang lebih mengenal<br />

Buton sebagai penghasil aspal alami terbesar di Asia yang hingga saat ini diperkirakan<br />

masih terdapat deposit aspal sekitar 650 juta ton. Saat ini, Pulau Buton tidak hanya<br />

dikenal dari aspal alamnya, tetapi juga dikenal sebagai pintu gerbang wisata di Sulawesi<br />

Tenggara. Buton dan pulau-pulau disekitarnya memiliki potensi wisata alam kelas dunia<br />

jika dikembangkan. Potensi alam tersebut antara lain : wisata bahari Pantai Nirwana,<br />

wisata bahari Taman Nasional Wakatobi, wisata bahari Pulau Kabaena, wisata bahari<br />

Basilika (Batuatas, Siompu, Liwutongkidi, Kadatua), wisata alam hutan alami<br />

Lambusango, Suaka Margasatwa Buton Utara, Wisata alam karst Wasampuarona, wisata<br />

alam daerah bekas penambangan aspal, dan wisata gua karst Buton (Purwanto, 2006).<br />

Pada tulisan ini, penulis hanya akan menulis sedikit contoh kekayaan wisata alam di<br />

29


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

daerah karst mikrokontinent Buton-Tukangbesi, yaitu Hutan Lambusango dan Taman<br />

Nasional Laut Wakatobi.<br />

Hutan Lambusango memiliki luas 65.000 ha. Hutan ini terbagi atas berbagai<br />

status yaitu : Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Hutan Lindung, dan Hutan Produksi.<br />

Posisi Hutan Lambusango terletak pada kawasan strategis, karena terletak di jantung<br />

Pulau Buton. Jarak dari Bau-Bau ke pusat Hutan Lambusango di resort Labundo-bundo<br />

sekitar 63 Km, dapat ditempuh dengan jalan darat sekitar 2 jam. Hutan Lambusango<br />

sering disebut sebagai benteng terakhir kehidupan anoa (Bubalus sp.). Anoa dikenal<br />

sebagai satwa endemik Sulawesi yang sekarang statusnya terancam punah (endangered).<br />

Hingga saat ini anoa di Hutan Lambusango masih ditemukan sekitar 100 individu. Satwa<br />

lainnya yang unik dan umum ditemui di Hutan Lambusango adalah : Julang Sulawesi<br />

(Aceros cassidix), Tangkasi (Tarsius sp.), Andoke (Macaca ochreata brunescens),<br />

Kuskus Beruang (Ailurops ursinus), dan Musang Tenggalung (Viverra tangalunga).<br />

Di Hutan Lambusango terdapat suatu kawasan unik yang disebut, Padang Kuku.<br />

Tempat ini disebut dengan hutan kerdil (cloud forest) atau hutan berkabut pegunungan<br />

tropis (tropical mount cloud forest). Kondisi hutan seperti Padang Kuku, umumnya<br />

ditemukan di wilayah lain pada daerah sub alpin (ketinggian di atas 2000 m dpL).<br />

Padahal, kawasan Padang Kuku di Hutan Lambusango hanya berada pada ketinggian<br />

300-370 m dpL, luasnya sekitar 500 ha. Wisatawan yang berkunjung di daerah ini akan<br />

akan menemukan tipe vegetasi yang lain dengan didominasi oleh pohon kerdil bengkokbengkok,<br />

dan berdaun tebal. Di Padang Kuku, jika cuaca cerah, para wisatawan dapat<br />

melihat keindahan matahari terbenam (sunset) dari puncak bukit.<br />

Berdasarkan hasil citra satelit (Gambar 4), diketahui bahwa luas terumbu karang<br />

di kepulauan Wakatobi adalah 8.816,169 hektar. Di kompleks P. Wangi-wangi dan<br />

sekitarnya (P. Kapota, P. Suma, P. Kamponaone) lebar terumbu mencapai 120 meter<br />

(jarak terpendek) dan 2,8 kilometer (jarak terjauh). Untuk P. Kaledupa dan P. Hoga, lebar<br />

terpendek terumbu adalah 60 meter dan terjauh 5,2 kilometer. Pada P. Tomia, rataan<br />

terumbunya mencapai 1,2 kilometer untuk jarak terjauh dan 130 meter untuk jarak<br />

terdekat. Kompleks atol Kaledupa mempunyai lebar terumbu 4,5 kilometer pada daerah<br />

tersempit dan 14,6 kilometer pada daerah terlebar. Panjang atol Kaledupa sekitar 48<br />

kilometer. Atol Kaledupa merupakan atol terbesar yang ada di kawasan Wakatobi.<br />

Struktur geologi daerah karst mikrokontinen Buton-Tukang besi yang cukup<br />

kompleks tersebut di atas menghadirkan keadaan bentang alam yang sangat indah, baik di<br />

30


Potensi Daerah Karst Mikrokontinen Buton‐Tukangbesi<br />

dalam Pengembangan Pariwisata Berbasis Alam dan Budaya<br />

Burhan dan Jalil<br />

atas permukaan lautnya maupun keadaan bawah lautnya. Panorama alam tersebut belum<br />

terjamah dan terkelola dengan baik, meskipun telah mampu mendatangkan banyak<br />

wisatawan mancanegara, terutama di daerah-daerah bawah laut Pulau Hoga dan sekitar<br />

Kepulauan Tukangbesi. Kawasan alam bawah laut Tukangbesi berada pada pusat dari<br />

segitiga karang dunia (the heart of coral triangle centre), sehingga kawasan taman<br />

Tukangbesi dikenal sebagai Surga Nyata Bawah Laut. Tukangbesi memiliki kekayaan<br />

sumberdaya laut yang melimpah dan eksotik. Air laut yang sangat jernih, terumbu karang<br />

yang mempesona dan dihuni oleh beragam hewan laut seperti ikan paus, ikan duyung,<br />

ikan lumba-lumba, ikan napoleon dan berbagai jenis ikan hias lainnya serta berbagai jenis<br />

tumbuhan laut, layaknya sebuah taman di lautan.<br />

Kekayaan sumberdaya alam laut yang bernilai tinggi baik jenis dan keunikannya<br />

dengan panorama bawah laut yang menakjubkan (Gambar 1), menjadikan Taman<br />

Nasional kepulauan Wakatobi dijuluki surga bawah laut di antara pusat segitiga karang<br />

dunia (The heart of coral triangle centre, Gambar 2) yaitu wilayah yang memiliki<br />

keanekaragaman terumbu karang dan keanekaragaman hayati lainnya (termasuk ikan)<br />

tertinggi di dunia, yang meliputi Philipina, Indonesia sampai kepulauan Solomon.<br />

Kekayaan keanekaragaman hayati laut menjadikan Kepulauan Wakatobi ditunjuk sebagai<br />

Taman Nasional Laut (Gambar 3), berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No<br />

393/Kpts-VI/1996 tanggal 30 Juli 1996 dan ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri<br />

Kehutanan No 7651/Kpts/II/2002 tanggal 19 Agustus 2002 dengan luasan 1.390.000 Ha.<br />

PARIWISATA BUDAYA DAERAH KARST MIKROKONTINEN BUTON-<br />

TUKANGBESI<br />

Selain keindahan alam (landscape beauty), Buton juga kaya sejarah dan budaya.<br />

Buton merupakan pusat kesultanan besar yang wilayahnya meliputi Pulau Buton, Muna,<br />

Kabaena, Kepulauan Tukangbesi, Rumbia dan Poleang, karenanya Buton memiliki<br />

kekayaan budaya yang sangat luar biasa. Hampir di seluruh pulau, dapat dijumpai<br />

peningggalan kuno yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya. Wisata budaya terbesar<br />

adalah peninggalan budaya berupa Benteng Keraton Buton di Kecamatan Wolio. Benteng<br />

keraton ini berdiri megah di atas perbukitan yang menghijau, sehingga menambah<br />

keindahan bentang alam Buton dan sekitarnya. Benteng keraton Buton ini masih berdiri<br />

kokoh di usianya yang lebih 4 abad (dibangun pada abad ke-16), dan merupakan benteng<br />

terluas di dunia dengan panjang 2.740 meter, tebal 1-2 meter dan tinggi 2-8 meter.<br />

31


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

Beberapa situs bekas peninggalan kesultanan Buton di sekitar keraton buton<br />

adalah masjid agung keraton, kasulana tombi (tiang bendera kuno), Malige (rumah<br />

kediaman Sultan), dan Makam Sultan Murhum. Masjid Agung Keraton dibangun pada<br />

abad XVII, yaitu pada masa pemerintahan kesultanan Sakiudin Durul Alam. Disamping<br />

sebagai tempat ibadah, juga dijadikan sebagai tempat bermunajat (memohon) kepada<br />

Allah, SWT, dan juga dijadikan sebagai tempat pelantikan dan pengambilan sumpah<br />

sultan Buton. Tak jauh dari Masjid Agung Keraton Buton, masih berdiri dengan tegak<br />

tiang bendera kuno yang dikenal dengan istilah kasulana tombi (bahasa wolio) yang<br />

berada pada sebelah kiri Masjid Agung Keraton Buton. Kasulana tombi ini didirikan pada<br />

tahun 1712 dengan tinggi 21 meter. Wisata budaya Makam Sultan Murhum dapat<br />

dijumpai disisi barat laut masjid. Murhum merupakan raja terkahir dari 6 raja dan sultan<br />

pertama dan 38 sultan, dan dianugerahi gelar Murhum Kaimuddin Khalifatul Hamis, yang<br />

memerintah pada kurun waktu 1538-1584.<br />

Di Buton terdapat sedikitnya lima bahasa daerah yang menggambarkan<br />

banyaknya kelompok etnis sebagai penduduk asli. Masing-masing etnis memiliki corak<br />

budaya sendiri. Adapun kelima bahasa daerah di bekas wilayah kesultanan itu adalah<br />

Wolio, Ciacia, Tukang Besi (disebut bahasa pulau-pulau), Muna, dan Moronene.<br />

Promosi wisata budaya di era Orde Baru dikemas dalam bentuk Festival Keraton<br />

setiap tanggal 12-13 September di kompleks Keraton Buton. Festival tersebut merupakan<br />

peristiwa budaya yang mampu memobilisasi partisipasi masyarakat Buton. Puluhan ribu<br />

warga masyarakat secara spontan ikut berperan dalam setiap kali festival sebagai pelaku<br />

maupun penonton. Dalam festival tersebut ditampilkan berbagai atraksi budaya antara<br />

lain peragaan upacara perkawinan adat Wolio (Buton), upacara pingitan, perebutan uang<br />

logam yang dibuang ke laut, dan pekande-kandea. Pekande-kandea merupakan pesta adat<br />

tersendiri yang menampilkan aneka ragam makanan tradisional. Di luar festival, pesta<br />

pekandekandea biasanya dilaksanakan dalam rangka hari raya Idul Fitri.<br />

Dahulu acara pekakande-kandea dijadikan wahana tempat pertemuan para mudamudi<br />

sebelum melangsungkan perkawinan. Setiap tamu yang hadir diberi makan/disuap<br />

(tompa) oleh seorang gadis cantik dan sebagai balasan dari sang tamu diberinya sedikit<br />

uang sebagai tanda hubungan kemanusiaan yang sangat baik. Selain itu, ada juga upacara<br />

Posuo. Posuo, adalah suatu upacara ritual masyarakat Buton, yang merupakan suatu<br />

proses peralihan dari gadis remaja menjadi dewasa dan dilaksanakan selama 7 hari 8<br />

malam. Dalam prosesi tersebut para gadis diberikan pengetahuan tentang pendidikan<br />

32


Potensi Daerah Karst Mikrokontinen Buton‐Tukangbesi<br />

dalam Pengembangan Pariwisata Berbasis Alam dan Budaya<br />

Burhan dan Jalil<br />

nilai-nilai etika menurut adat dan agama, di samping itu mereka juga mendapat latihan<br />

fisik untuk menuju perilaku dewasa sehingga dapat berpenampilan cantik dan anggun.<br />

PENUTUP<br />

Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan di atas, maka disimpulkan bahwa<br />

kekayaan wisata alam dan budaya di daerah Karst mikrokontinen Buton-Tukangbesi tidak<br />

terlepas dari proses fisik dan non fisik yang berlangsung terus menerus sejak masa<br />

lampau hingga saat ini. Harapannya kekayaan wisata alam dan budaya tersebut tetap<br />

dapat dipertahankan dan dikembangkan secara maksimal, bahkan semakin ditingkatkan<br />

dengan tetap mempertahankan keaslian warisan alam dan budaya tersebut.<br />

Ucapan Terima Kasih<br />

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya<br />

kepada Forum Mahasiswa Pascasarjana Se-Indonesia (<strong>FWI</strong>) yang telah<br />

mendukung dengan tiada henti-hentinya upaya penulisan ini.<br />

SUMBER RUJUKAN<br />

Anonim, 2008, Informasi Taman Nasional Wakatobi, www.tamannasionalwakatobi.org<br />

Diunduh pada tanggal 9 November 2008.<br />

Anonim, 2008, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Departemen<br />

Kebudayaan dan Pariwisata RI tahun 2007, Biro Perencanaan dan Hukum,<br />

Sekretariat Jenderal DepBudPar RI, Jakarta, Maret 2008.<br />

Ali, J. R., Milsom, J., Finch, E. M. and Mubroto, B., 1996, SE Sundaland Accretion:<br />

Palaeomagnetic Evidence of Large Plio-Pleistocene Thin-Skin Rotations in Buton.<br />

In: Hall, R. & Blundell, D. J. (eds) Tectonic Evolution of Southeast Asia.<br />

Geological Society, London, Special Publications 106, 431–443.<br />

Burhan, 2009, Pemodelan Struktur Bawah Permukaan Kawasan Regional Sulawesi<br />

Tenggara dan Kawasan Busur Banda Bagian Barat Berdasarkan Kajian Anomali<br />

Gravitasi, Tesis S2 FMIPA (tak terpublikasi), UGM, Yogyakarta.<br />

Davidson, J. W., 1991, The geology and prospectivity of Buton Island, S.E. Sulawesi,<br />

Indonesia. Jakarta: Indonesian Petroleum Association. Proceedings of the<br />

Indonesian Petroleum Association, 20th Annual Convention, pp. 209–233.<br />

Elburg, M.A., van Leeuwen, T., Foden, J., and Muhardjo, 2002, Origin Of Geochemical<br />

Variability By Arc–Continent Collision In The Biru Area, Southern Sulawesi<br />

(Indonesia), Journal of Petrology Volume 43 No.4 P.581-606.<br />

Elburg, M. A. and Foden, J., 1999a, Geochemical Response to Varying Tectonic Settings:<br />

an Example from Southern Sulawesi (Indonesia). Geochimica et Cosmochimica<br />

Acta 63, 1155–1172.<br />

33


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

Fortuin, A. R., De Smet, M. E. M., Hadiwasatra, S., van Marle, L. J., Troelstra, S. R. and<br />

Tjokrosapoetro, S., 1990, Late Cenozoic Sedimentary and Tectonic History of<br />

South Buton, Indonesia. Journal of Southeast Asian Earth Sciences 4, 107–124.<br />

Hamilton, W., 1979, Tectonics of the Indonesian Region. US Geological Survey<br />

Professional Paper 1078, 345 pp.<br />

Milsom, J., Ali, J. and Sudarwono, 1999, Structure and Collision History of the Buton<br />

Continental Fragment, Eastern Indonesia. AAPG Bulletin, 83, 1666–1689.<br />

Milsom, J., Thurow, J. and Roques, D., 2000, Sulawesi Dispersal and Evolution of the<br />

Northern Banda Arc. Jakarta: Indonesian Petroleum Association. Indonesian<br />

Petroleum Association, Proceedings of the 27th Annual Convention, pp. 495–505.<br />

Katili, J, 1978. Past and Present Geotectonic Position of Sulawesi, Indonesia.<br />

Tectonophysics 45, 289-322.<br />

Koswara, A., dan Sukarna, D., 1994, Geologi Lembar Tukangbesi, Sulawesi, Pusat<br />

Pengembangan dan Penelitian Geologi, Bandung, Indonesia.<br />

Purwanto, E., 2006, Membangun Pasar Ekowisata Buton, Editorial Buletin Lambusango<br />

Lestari, Edisi X Juni 2006.<br />

Satyana, A.H., Armandita, C., and Tarigan, R.L., 2008, Collision and Post-Collision<br />

Tectonics in Indonesia: Roles for Basin Formation and Petroleum Systems,<br />

Proceeding, IPA, 32th Convention & Exhibition, May 2008.<br />

Sikumbang, N., Sanyoto, P., Supandjono, R.J.B., Gafoer, S., 1995, Geologi Lembar<br />

Buton, Sulawesi Tenggara, P3G.<br />

Singer, H.A, 2006, Pesona Buton Sebagai Pintu Wisata di Sulawesi Tenggara, Laporan<br />

Utama Buletin Lambusango Lestari, Edisi X Juni 2006.<br />

Smith, R. B. and Silver, E. A., 1991, Geology of a Miocene Collision Complex, Buton,<br />

Eastern Indonesia. Geological Society of America Bulletin 103, 660–678.<br />

Tanjung, H., Sukarno, N., Yuskar, Y., Hermawan, H., Zeiza, A.D., Sinaga, B.P.H.,<br />

Sunandar, F., and Ferdyant, F., 2008, Field Observation of Southern Buton: an<br />

Oveview of Hidrocarbon Manifestation and its Geological Setting, Proceeding,<br />

IPA, 32th Convention & Exhibition, May 2008.<br />

Tobing, S.M., 2005, Inventarisasi Bitumen Padat di Daerah Sampolawa, Kabupaten<br />

Buton, Sulawesi Tenggara, Kolokium Hasil lapangan-DIM.<br />

van Bemmelen, R.W., 1949, The Geology of Indonesia, Vol. 1A and II, General Geology<br />

of Indonesia and Adjacent Archipelago, 2 nd Edition, Martinus, Nilhoff, The Haque,<br />

New York.<br />

34


Potensi Daerah Karst Mikrokontinen Buton‐Tukangbesi<br />

dalam Pengembangan Pariwisata Berbasis Alam dan Budaya<br />

Burhan dan Jalil<br />

Gambar 1. Keindahan Bawah Laut Taman Nasional Laut Wakatobi (Wong, 2007 dalam<br />

Anonim, 2008 )<br />

Gambar 2. Pusat segitiga Karang Dunia (Coral Tri-angle Centre)<br />

35


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

36<br />

Gambar 3. Peta Kawasan Nasional Kepulauan Wakatobi<br />

Gambar 4 Gugusan karang/atol di Kepulauan Tukangbesi<br />

Gambar 5. Kukus Beruang di Hutan Lambusango (Singer, 2006)


Wacana Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember Tahun 2009 (37‐46)<br />

REINVENTING PEMBANGUNAN SOSIAL (Social Development):<br />

UPAYA PEMERINTAH DAERAH DALAM MENINGKATKAN DERAJAT<br />

PENDIDIKAN DAN KESEHATAN BAGI ANAK TERLANTAR<br />

Chairun Nasirin<br />

Staf Pengajar pada STIKES Mataram<br />

chairunnasirin@yahoo.com<br />

Abstract:<br />

Masalah sosial di daerah serta perlunya penanganan sosial di daerah yang<br />

lebih efisien dengan mengikutsertakan masyarakat dalam proses<br />

merencanakan, melaksanakan, dan bertanggungjawab atas pembangunan di<br />

daerahnya merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam<br />

pembangunan sosial. Sementara itu pembangunan sosial sering berinteraksi<br />

dengan dimensi pembangunan sosial. Karena itu, dalam pengoperasian<br />

kekuasaan negara, muncul beragam sudut pandangan baru, dimana negara<br />

ternyata tidak berpihak pada kepentingan rakyat seluruhnya. Penyelengaraan<br />

program jaminan sosial harus melibatkan pemerintah daerah dan keterlibatan<br />

pemerintah daerah diperlukan untuk menjamin penyelenggaraan program<br />

jaminan sosial bagi penduduk di daerah agar lebih baik. Menurut Sulastomo<br />

(2008), ada beberapa peran pemerintah dalam meningkatkan jaminan sosial<br />

bagi masyarakat, yaitu: (1) pengawasan penyelenggaraan program Sistem<br />

Jaminan Sosial Nasional (SJSN), agar sesuai dengan ketentuan, (2)<br />

menyediakan anggaran tambahan untuk iuran, baik untuk “penerima bantuan<br />

iuran” ataupun masyarakat yang lain; (3) penentuan peserta “penerima<br />

bantuan iuran”; (3) penyediaan/pengadaan dan pengelolaan sarana<br />

penunjang, misalnya sarana kesehatan; mengusulkan pemanfaatan/investasi<br />

dana Sistem Jaminan Sosial Nasional di daerah terkait; dan saran/usul<br />

kebijakan penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional<br />

Kata Kunci: Reinventing, Anak Terlantar.<br />

PENDAHULUAN<br />

Semakin kompleksnya masalah sosial di daerah serta perlunya penanganan sosial<br />

di daerah yang lebih efisien dengan mengikutsertakan masyarakat dalam proses<br />

merencanakan, melaksanakan, dan bertanggungjawab atas pembangunan di daerahnya<br />

merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam pembangunan sosial. Sementara<br />

itu pembangunan sosial sering berinteraksi dengan dimensi pembangunan sosial. Karena<br />

itu, dalam pengoperasian kekuasaan negara, muncul beragam sudut pandangan baru,<br />

dimana negara ternyata tidak berpihak pada kepentingan rakyat seluruhnya. Karena itu<br />

paradigma pembangunan kesejahteraan sosial pada masa yang akan datang tentunya<br />

harus dapat merespon perkembangan permasalahan kesejahteraan sosial yang dinamis<br />

dan semakin kompleks tersebut.<br />

37


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

Dalam kenyataannya, perubahan proses pembangunan merupakan hasil tindakan<br />

yang telah direncanakan sebelumnya. Oleh karena itu, pada masa yang akan datang<br />

paradigma pembangunan kesejahteraan sosial akan lebih bertumpu pada hak asasi<br />

manusia, demokratisasi dan peningkatan peran sipil dalam pelaksanaan pembangunan<br />

kesejahteraan sosial yang lebih adil (Chamsyah, 2006), dan negara seharusnya berpihak<br />

kepada rakyat secara keseluruhan, dan bukan berpihak kepada salah satu kelompok atau<br />

golongan tertentu (Budiman, 2002).<br />

Adapun paradigma pembangunan yang dimaksudkan, Chamsyah (2006) lebih<br />

lanjut menjabarkan pembangunan yang dimaksud sebagai berikut: Pertama pembangunan<br />

menempatkan manusia sebagai subyek pembangunan. Kedua, hasil pembangunan<br />

selayaknya dinikmati oleh seluruh masyarakat. Ketiga, pembangunan mengaktualisasikan<br />

potensi dan budaya lokal. Keempat, pelayanan sosial dasar disediakan untuk semua warga<br />

negara. Kelima, pemberdayaan peyandang masalah kesejahteraan sosial menjadi<br />

komitmen bersama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Keenam,<br />

pendekatan pemberdayaan penyandang masalah kesejahteraan sosial dilakukan secara<br />

individual, keluarga, kelompok, dan komunitas secara terpadu. Oleh karena itu pengertian<br />

pembangunan yang dimaksudkan akan dapat mendorong dilakukannya antisipasi yang<br />

terus-menerus terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, termasuk perubahan yang<br />

diakibatkan oleh proses pembangunan itu sendiri (Soetomo, 2008), serta merupakan suatu<br />

orientasi pembgunan yang tiada akhir (Tjokroamidjojo, 1980).<br />

Paradigma diatas secara sederhana dapat dipahami sebagai suatu proses<br />

pengembangan kapasitas masyarakat untuk dapat membangun secara mandiri yang<br />

didalamnya juga terkandung proses belajar yang terus menerus sehingga tujuan<br />

pembangunan sosial yang diharapkan dari suatu pemerintahan diharapkan dapat:<br />

(1) meningkatkan kesejahteraan penduduk atau warga masyarakat; (2) menjamin<br />

berlakunya hukum dan ketertiban masyarakat (law and order); (3) menjamin kebebasan<br />

berpendapat dan memilih; (4) mengurangi ketegangan-ketegangan sosial; (5)<br />

mempertahankan diri dari serangan-serangan luar; dan (6) menyediakan sarana-sarana<br />

kesehatan serta pendidikan secara memadai (Suryadi, 2006).<br />

Data menunjukan bahwa pada tahun 2006 terdapat 78,96 juta anak di bawah usia<br />

18 tahun atau 35,5 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Empat puluh persen atau<br />

33,16 juta diantaranya tinggal di perkotaan, dan 45,8 juta tinggal di pedesaan (Depsos,<br />

2004). Permasalahan anak terlantar merupakan fenomena utama yang dihadapi oleh<br />

Departemen Sosial hingga saat ini. Disamping itupula, pemenuhan hak dan kebutuhan<br />

38


Reinventing Pembangunan Sosial (Social Development): Upaya Pemerintah Daerah<br />

dalam Meningkatkan Derajat Pendidikan dan Kesehatan Bagi Anak Terlantar<br />

Chairun Nasirin<br />

anak tentunya tidak terlepas dari Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang<br />

Kesejahteraan Anak dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan<br />

Anak.<br />

Karena itu, keberhasilan pembangunan kesejahteraan sosial selain ditentukan oleh<br />

kualitas pelayanan langsung, tentunya juga sangat dipengaruhi oleh sistem dan arah<br />

kebijakan sosial, serta pemberian pelayanan sosial kepada kelompok sasaran. Karena itu<br />

strategi-strategi maupun rencana-rencana untuk mengatasi masalah sosial merupakan<br />

kebijakan pemerintah yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan dalam mengatasi<br />

masalah sosial, peningkatan pemerataan, dan pendistribusian pelayanan sosial bagi<br />

masyarakat. Disamping itu, berbagai kebijakan dan program tentunya perlu<br />

ditumbuhkembangkan secara berkelanjutan agar dapat menciptakan situasi dan kondisi<br />

yang kondusif bagi perkembangan anak, yang merupakan amanah konstitusi untuk<br />

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan membangun masa depan bangsa yang lebih baik.<br />

PEMBANGUNAN SOSIAL (SOCIAL DEVELOPMENT)<br />

Pembangunan sosial merupakan bentuk karya yang terstruktur dan berimplikasi<br />

luas terhadap kualitas hidup manusia. Hal ini karena konstruksi pembangunan tersebut<br />

terdiri atas serangkaian aktivitas yang direncanakan untuk memajukan kondisi kehidupan<br />

manusia. Analogi ini menyiratkan bahwa karya terstruktur tersebut dilakukan melalui<br />

pembangunan dalam berbagai bidang kehidupan selama ini, yang ternyata telah<br />

mengantarkan Bangsa Indonesia memasuki millenium ketiga dengan berbagai<br />

konsekuensinya.<br />

Setiap negara dengan wilayah yang luas, seperti halnya Indonesia tentunya<br />

membutuhkan suatu sistem pemerintahan daerah yang efektif. Sistem ini tidak hanya<br />

sebagai alat untuk melaksanakan berbagai program pemerintah di berbagai daerah yang<br />

bersangkutan melainkan juga merupakan alat bagi masyarakat setempat agar dapat<br />

berperan serta dalam, dan menentukan prioritas untuk membangun daerahnya sendiri.<br />

Penguatan kelembagaan sosial lokal merupakan salah satu modal pembangunan<br />

kesejahteraan sosial yang dapat dilakukan melalui strategi pemberdayaan. Strategi ini<br />

merupakan upaya yang di arahkan langsung pada akar persoalannya, yaitu dengan<br />

meningkatkan kemampuan berbagai kelembagaan sosial lokal, serta menurut Dasgupta &<br />

Serageldin (1999) sebagai social progress dari suatu kelompok masyarakat, yang dapat<br />

39


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

menjadi faktor penguat dalam menunjang keberhasilan pembangunan kesejahteraan sosial<br />

di daerah.<br />

40<br />

Kehidupan masyarakat yang sejahtera merupakan kondisi ideal dan menjadi<br />

dambaan setiap warga masyarakat (Soetomo, 2008), karena itu merupakan kewajiban<br />

negara (state obligation) untuk memberikan jaminan pada setiap warga untuk<br />

memperoleh akses yang baik terhadap berbagai kebutuhan dasar manusia (Raper, 2008).<br />

Masalah sosial yang terkait dengan keterlantaran anak merupakan fenomena sosial yang<br />

tidak dapat dihindari keberadaannya dalam kehidupan masyarakat, terutama bagi<br />

masyarakat yang tinggal di perkotaan, dimana salah satu faktor dominan yang akan<br />

mempengaruhi perkembangan masalah sosial tersebut adalah kemiskinan. Masalah<br />

kemiskinan di Indonesia merupakan salah satu dampak negatif terhadap meningkatnya<br />

arus urbanisasi dari daerah pedesaan menuju kota.<br />

Terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia, serta kurangnya pengetahuan dan<br />

ketrampilan menyebabkan mereka banyak mempertahankan hidupnya dengan terpaksa<br />

menjadi anak terlantar (Gwads, dkk, 2008; dan Hendayana, dkk. 2008) memahami bahwa<br />

keterlantaran dan tidak memiliki rumah tinggal tetap serta tidak mempunyai pekerjaan<br />

tetap merupakan salah satu pemicu bagi anak untuk bekerja di jalan-jalan (street<br />

economy) untuk mencukupi ekonomi keluarga mereka.<br />

Keterlantaran (neglected) merupakan fenomena sosial yang banyak kita jumpai<br />

terjadi tidak saja di Indonesia, namun juga pada belahan dunia lainnya. Le Roux (1998)<br />

berpendapat bahwa “The phenomenon of neglected children children, an offspring of the<br />

modern urban evirontment, represents one of humanity’s most complex and serious<br />

challengges”. Fenomena keterlantaran ini tentunya tidak terlepas dari adanya urbanisasi<br />

yang mengharapkan adanya perubahan kehidupan dan penghidupan pada arah yang lebih<br />

baik dimasa mendatang. Chang, Rhee & Berthold (2008) berpendapat bahwa kebanyakan<br />

anak-anak yang mengalami masalah keterlantaran ini karena mereka pada umumnya tidak<br />

mempunyai rumah tinggal yang tetap, serta orang tua mereka tidak mampu untuk<br />

membeli rumah bagi keluarga mereka. Selain itu, adanya faktor lain yang tidak<br />

menunjang bagi keluarga dalam meningkatkan kesejaheraan hidup, seperti pendapatan<br />

rendah (low paying jobs) dibawah rata-rata serta tidak mempunyai pekerjaan yang tetap.<br />

Masalah keterlantaran umumnya banyak dialami oleh anak-anak yang kurang<br />

beruntung secara ekonomi yang sebagian besar dari mereka berasal dari keluarga miskin<br />

dan tidak mempunyai kemampuan untuk memberdayakan dirinya. Selain itu, kondisi


Reinventing Pembangunan Sosial (Social Development): Upaya Pemerintah Daerah<br />

dalam Meningkatkan Derajat Pendidikan dan Kesehatan Bagi Anak Terlantar<br />

Chairun Nasirin<br />

ekonomi merupakan salah satu variabel penting dalam proses perumusan kebijakan<br />

(Winarno, 2007). Oleh karena itu, para aktor yang terlibat dalam merumuskan suatu<br />

kebijakan khususnya kebijakan sosial bagi anak terlantar tentunya tidak bisa terlepas dari<br />

konsdisi sosial ekonomi yang melingkupinya.<br />

Dengan diberlakukannya UU Nomor 32 Tahun 2004 menggatikan UU Nomor 22<br />

Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, daerah diberikan kewenangan untuk dapat<br />

mengatur jalannya fungsi pemerintahan, seperti halnya upaya pemerintah dalam<br />

meningkatkan kemandirian anak terlantar. Karena itu, walaupun Indonesia menganut<br />

prinsip negara kesatuan dimana pusat kekuasaan berada pada pemerintah pusat, namun<br />

dengan menyadari keberagaman yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, baik kondisi sosial,<br />

ekonomi maupun budaya, dan dengan diberlakukannya kebijakan ini tentunya hal-hal<br />

yang berkaitan dengan masalah sosial seperti halnya anak terlantar (neglected) tentunya<br />

dapat berjalan baik.<br />

Karena itu, keberhasilan pembangunan kesejahteraan sosial selain ditentukan oleh<br />

kualitas pelayanan langsung, tentunya juga sangat dipengaruhi oleh sistem dan arah<br />

kebijakan sosial, serta pemberian pelayanan sosial kepada kelompok sasaran. Karena itu<br />

strategi-strategi maupun rencana-rencana untuk mengatasi masalah sosial merupakan<br />

kebijakan pemerintah yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan dalam mengatasi<br />

masalah sosial, peningkatan pemerataan, dan pendistribusian pelayanan sosial bagi<br />

masyarakat. Disamping itu, berbagai kebijakan dan program tentunya perlu<br />

ditumbuhkembangkan secara berkelanjutan agar dapat menciptakan situasi dan kondisi<br />

yang kondusif bagi perkembangan anak, yang merupakan amanah konstitusi untuk<br />

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan membangun masa depan bangsa yang lebih baik.<br />

ARTI PENTINGNYA PENDIDIKAN DAN KESEHATAN BAGI ANAK<br />

TERLANTAR<br />

Pentingnya pendidikan bagi anak yang mengalami masalah sosial seperti anak<br />

terlantar, dimaksudkan sebagai upaya pemerintahan daerah dalam mengangkat anak-anak<br />

penyandang masalah sosial ke taraf pendidikan yang lebih bermutu dan berkualitas.<br />

Pentingnya pendidikan bagi anak yang mengalami masalah sosial, seperti anak terlantar,<br />

menurut Peters (2007) bahwa pendidikan dapat menciptakan anak lebih kreatif dan dapat<br />

membangun kepercayaan dirinya. Sehingga deskriminasi pendidikan bagi anak yang<br />

mengalami masalah sosial ini dapat diatasi oleh pemerintah dalam rangka membangun<br />

bangsa dan negara.<br />

41


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

Disamping itu, sekolah-sekolah umum yang menangani masalah anak terlantar ini<br />

juga diharapkan tidak terjadi adanya diskriminasi perlakuan dalam pendidikan, sehingga<br />

pendidikan itupula dapat dirasakan oleh yang mengalami masalah sosial tersebut. Hal ini<br />

karena pendidikan juga merupakan kebijakan sebuah negara dalam menghasilkan<br />

sumberdaya manusia yang diperlukan, dan merupakan human capital investment, yang<br />

dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi sektor publik maupun sektor swasta. Karena<br />

itu wajar bila sekolah dirancang dan diselenggarakan sesuai dengan cita-cita dan<br />

kebutuhan yang berkembang dalam suatu masyarakat dan negara. Dengan kata lain,<br />

pendidikan sesungguhnya merupakan instrumen dan sekaligus investasi yang penting<br />

artinya, tidak hanya bagi kelangsungan hidup suatu negara dan masyarakat, tetapi juga<br />

untuk kemajuan negara beserta masyarakat itu sendiri.<br />

Hubungan sosial keluarga merupakan bagian penting bagi kehidupan anak.<br />

Roditti (2005) menyarankan beberapa pendekatan dalam mengatasi anak, yaitu: (a)<br />

emotional support yang berhubungan dengan masalah sosial, dimana seseorang dapat<br />

mengungkapkan perasaan untuk mengatasi masalah yang dihadapi; (b) informational<br />

support; seperti menyiapkan pendidikan tanpa harus membayar uang sekolah yang mahal<br />

bagi mereka yang kurang mampu, serta dapat memberikan banyak informasi yang terkait<br />

dengan masalah keterlantaran dalam rangka meningkatkan kesejahteraan negara; (c)<br />

concrete services, yaitu memberikan pelayanan anak, melakukan kegiatan sosial<br />

membantu mereka yang kurang beruntung, dan memberikan pengetahuan yang berkaitan<br />

dengan tata cara perawatan kebersihan lingkungan.<br />

UPAYA PEMERINTAH UNTUK MENCAPAI TUJUAN PEMBANGUNAN<br />

Peningkatan perlindungan dan kesejahteraan sosial merupakan upaya untuk<br />

mencapai tujuan pembangunan kesejahteraan sosial yang bercita-cita mewujudkan<br />

keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan dalam pengoperasian kekuasaan<br />

negara, muncul beragam sudut pandangan baru, dimana negara ternyata tidak berpihak<br />

pada kepentingan rakyat seluruhnya (Suryadi, 2006). Lebih lanjut dijelaskan bahwa<br />

negara seharusnya berpihak pada rakyat secara keseluruhan dan tidak berpihak kepada<br />

salah satu kelompok tertentu, yang sebagian masyarakat tersebut hidup dalam kondisi<br />

yang tidak menguntungkan dan mengalami kesulitan serta keterbatasan dalam mengakses<br />

berbagai pelayanan sosial. Hal tersebut umumnya diakibatkan oleh kejadian perubahan<br />

sosial ekonomi yang berkepanjangan yang berakibat pada masih adanya masyarakat<br />

dengan kondisi yang memerlukan perlindungan sosial, seperti halnya anak terlantar<br />

42


Reinventing Pembangunan Sosial (Social Development): Upaya Pemerintah Daerah<br />

dalam Meningkatkan Derajat Pendidikan dan Kesehatan Bagi Anak Terlantar<br />

Chairun Nasirin<br />

(neglected children). Karena itu harapan dan tujuan dalam pembangunan tentunya tidak<br />

terlepas dari peningkatkan kesejahteraan penduduk atau warga masyarakat dalam rangka<br />

mengurangi ketegangan-ketegangan sosial.<br />

Rawls (2006) dalam bukunya yang berjudul ‘A Theory of Justice’, menjelaskan<br />

bahwa untuk mencapai keadilan sosial, terdapat dua prinsip keadilan, (1) setiap orang<br />

mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang<br />

sama bagi semua orang; (2) ketimpangan sosial dan ekonomi mesti diatur sedemikian<br />

rupa sehingga (a) dapat diharpakan memberi keuntungan semua orang, dan (b) semua<br />

posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang. Karena itu Ikbar (2006) menyarankan<br />

masalah ekonomi lebih merupakan suatu integrated social science of public purpose. Dan<br />

masalah sosial, tentunya merupakan masalah yang tidak terlepas dari masalah kemiskinan<br />

yang membutuhkan penanganan khusus dari pemerintah.<br />

Dalam konsep pembangunan sosial yang ditawarkan diatas, tujuan pembangunan<br />

mencakup peningkatan kesejahteraan bagi anak terlantar dan pemerataan pendapatan.<br />

Karena itu, pembangunan juga tidak terlepas pada aspek-aspek kualitatif dari<br />

pembangunan, yaitu pada hal-hal yang mencakup masalah kemiskinan, kesenjangan, dan<br />

human resource development. Disamping itu, pentingnya peranan kaum elit terhadap<br />

kaum marginal dan kelompok minoritas dalam pembangunan merupakan suatu hal utama<br />

dalam pemerataan pembangunan. Oleh sebab itu, fungsi pemerintah tentunya erat<br />

kaitannya dengan pemerataan kesejahteraan bagi penduduk di daerah dan dapat<br />

terdistribusi secara proporsional.<br />

KEBIJAKAN SOSIAL BAGI ANAK TERLANTAR<br />

Dalam beberapa literatur di jelaskan bahwa keterlantaran dan kenakalan anak<br />

merupakan masalah sosial yang erat kaitannya dengan permasalahan kebijakan sosial.<br />

Kebijakan sosial kadang dinyatakan sebagai bentuk respon terhadap masalah sosial.<br />

Walaupun demikian, sebetulnya kebijakan sosial mempunyai kedudukan lebih dari<br />

sekedar respon terhadap masalah sosial (Chapple, dkk. 2005; Soetomo, 2008). Hal itu<br />

disebabkan oleh karena kebijakan sosial yang tidak hanya memberikan fokus perhatian<br />

terhadap masalah itu sendiri, akan tetapi juga merancang suatu relasi sosial.<br />

Lain halnya dengan Soetomo (2008) yang menjelaskan adanya dua bentuk respon<br />

yang berkaitan dengan masalah sosial ini, yaitu respon langsung dan respon tidak<br />

langsung. Respon langsung yaitu respon yang ditujukan kepada kelompok sasaran<br />

43


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

tertentu yang menjadi penyandang masalah misalnya anak terlantar atau orang miskin.<br />

Bentuknya dapat berupa pemberian pelayanan atau bantuan untuk meringankan beban<br />

kehidupan kelompok ini, atau paling tidak agar penyandang masalah ini dapat tetap hidup<br />

walaupun dalam kondisi minimal yang sesuai dengan harkat martabatnya sebagai<br />

manusia. Respon tidak langsung yaitu dalam menangani masalah tentunya tidak langsung<br />

pada penyandang masalah, melainkan pada pihak yang terkait dengan masalah tersebut.<br />

Masalah sosial merupakan kondisi yang tidak diharapkan, dengan demikian<br />

dibutuhkan upaya untuk melakukan perubahan, perbaikan atau pemecahan masalah serta<br />

kebijakan sosial yang merupakan salah satu bentuk upaya tersebut. Karena itu dalam<br />

suatu kebijakan tentunya tidak terlepas dari unsur-unsur pada pelayanan, seperti<br />

kesehatan, pendidikan, perumahan, dan bukan masalah teknis melainkan cenderung pada<br />

segi regulasi dan distribusinya.<br />

Pemberdayaan merupakan suatu strategi pembangunan yang diarahkan langsung<br />

pada akar persoalannya yaitu dengan meningkatkan kemampuan berbagai kelembagaan<br />

sosial lokal yang diduga dapat menjadi faktor penguat dalam menunjang keberhasilan<br />

pembangunan kesejahteraan sosial di daerah (Friedmann, 1992). Pemberdayaan<br />

(empowering) hanya dapat terjadi dalam suatu lingkungan institusi yang kondusif yang<br />

terdiri dari sistem fungsi legislasi dan proses pemilihan yang tepat, legal dan yudisial.<br />

Terwujudnya pembangunan manusia yang berkelanjutuan (sustainable human<br />

development) tidak hanya tergantung pada kemampuan negara untuk dapat memerintah<br />

dengan baik, namun juga pemerintah tersebut tentunya harus mampu menyediakan<br />

pekerjaan yang dapat memfasilitasi interaksi sosial dan politik, serta dapat memobilisasi<br />

berbagai kelompok di dalam masyarakat untuk terlibat dalam aktivitas sosial, ekonomi,<br />

dan politik. Dan dapat menciptakan mekanisme alokasi manfaat sosial (social benefits),<br />

dan memberikan suara kelompok miskin dan keterlantaran dalam pembentukan keputusan<br />

politik dan pemerintah (political and government decision making) untuk melindungi dan<br />

memperkuat budaya, keyakinan agama dan nilai-nilai.<br />

KESIMPULAN<br />

Kehadiran pemerintahan dan keberadaan pemerintah adalah sesuatu yang penting<br />

bagi proses kehidupan masyarakat, sekecil apapun kelompoknya, bahkan sebagai individu<br />

sekalipun membutuhkan pelayanan pemerintah (Sarundajang, 2002). Dan secara sadar<br />

44


Reinventing Pembangunan Sosial (Social Development): Upaya Pemerintah Daerah<br />

dalam Meningkatkan Derajat Pendidikan dan Kesehatan Bagi Anak Terlantar<br />

Chairun Nasirin<br />

atau tidak sadar, harus diakui bahwa banyak sisi kehidupan kita sehari-hari yang erat<br />

hubungannya dengan fungsi-fungsi pemerintah di dalamnya.<br />

Penyelengaraan program jaminan sosial harus melibatkan pemerintah daerah dan<br />

keterlibatan pemerintah daerah diperlukan untuk menjamin penyelenggaraan program<br />

jaminan sosial bagi penduduk di daerah agar lebih baik. Menurut Sulastomo (2008), ada<br />

beberapa peran pemerintah dalam meningkatkan jaminan sosial bagi masyarakat, yaitu:<br />

(1) pengawasan penyelenggaraan program Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), agar<br />

sesuai dengan ketentuan, (2) menyediakan anggaran tambahan untuk iuran, baik untuk<br />

“penerima bantuan iuran” ataupun masyarakat yang lain; (3) penentuan peserta “penerima<br />

bantuan iuran”; (3) penyediaan/pengadaan dan pengelolaan sarana penunjang, misalnya<br />

sarana kesehatan; mengusulkan pemanfaatan/investasi dana Sistem Jaminan Sosial<br />

Nasional di daerah terkait; dan saran/usul kebijakan penyelenggaraan Sistem Jaminan<br />

Sosial Nasional.<br />

Karena itu, pemerintah memiliki tugas melindungi masyarakat dari pelanggaran<br />

dan invasi masyarakat lainnya dan sejauh mungkin bertugas melindungi setiap anggota<br />

masyarakat dari ketidakadilan atau tekanan dari tekanan dari anggota masyarakat lainnya<br />

(Muluk, 2007). Disisi lain sudah menjadi idaman bagi masyarakat negara-negara di dunia<br />

untuk memperloleh tata pemerintahan yang baik (good governance) yang mampu<br />

mengelola pemerintahan secara baik pula. Oleh karena itu, Kessler, dkk (2005)<br />

menyarankan perlunya best practice bagi pemerintah dalam membuat suatu kebijakan<br />

dalam menangani masalah sosial dengan melakukan pendekatan sistem bagi anak yang<br />

mempunyai masalah sosial tersebut.<br />

SUMBER RUJUKAN<br />

Chamsyah, Bachtiar. 2006. Reinventing Departemen Sosial Dalam Konteks<br />

pembangunan Sosial Indonesia. Jakarta: RM Books.<br />

Chapple, Constance L. 2005. Child Neglect and Adolescent Violence: Examining the<br />

Effects of Self-Control and Peer rejection. Journal of Violence and Victims.<br />

Vol. 20 (1).<br />

Chang, Janet., Rhee, Siyon & Berthold, S. megan. 2008. Child Abuse and Neglect in<br />

Cambodian Refugee families: Characteristics and Implications for Practice.<br />

Journal of Child Welfare. 87 (1).<br />

Dasgupta, Partha & Serageldin, I. 1999. Social Capital A Multifaceted Perspective.<br />

Washington, DC: The World Bank.<br />

Ikbar, Yanuar. 2006. Ekonomi Politik Internasional Implementasi Konsep Dan Teori.<br />

Bandung: Refika Aditama.<br />

45


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

Kessler, Michelle L, Gira, Emmanuelle & Poertner, John. 2005. Moving Best Parctice to<br />

Evidence-Based Practice in Child Welfare. The Journal of Contemporary Social<br />

Services. Vol. 82 (2).<br />

Raper, Michael. 2008. Negara Tanpa Jaminan Sosial Tiga Pilar Jaminan Sosial di<br />

Australia dan Indonesia. Jakarta: TURC.<br />

Rawls, John. 2006. Teori Keadilan Dasar-Dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan<br />

Kesejahteraan Sosial Dalam Negara. (edisi Bahasa Indonesia). Yogyakarta:<br />

Pustaka Pelajar.<br />

Roditti, Martha G. 2008. Undersatnding Communities of Neglectful Parents: Child<br />

Caregiving Networks and Child Neglect. Journal of Child Welfare. Vol. 82 (2).<br />

Sarundajang, S.H. 2002. Arus Balik kekuasaan Daerah. Jakarta: CV. Muliasari.<br />

Suryadi, Budi. 2006. Ekonomi Politik Modern Suatu pengantar. Yogyakarta: IRCiSoD.<br />

Suyanto, Bagong. 2003. Pelanggaran Hak dan Perlindungan Sosial Bagi Anak Rawan.<br />

Surabaya: Airlangga University Press.<br />

Suyanto, Bagong & Karnaji. 2005. Kemiskinan Dan Kesenjangan Sosial: Ketika<br />

Pembangunan Tak Berpihak Kepada Rakyat Miskin. Surabaya: Airlangga<br />

University Press.<br />

Sulastomo. 2008. Sistem Jaminan Sosial Nasional Sebuah Introduksi. Jakarta:<br />

RajaGrafindo Persada.<br />

Winarno, Budi. 2007. Kebijakan Publik Teori & Proses.Yogyakarta: Media Pressindo.<br />

46


Wacana Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember Tahun 2009 (47‐56)<br />

PREVENTION A LONG PERIOD COMPLICATION OF DIABETES MELLITUS<br />

Lilis Novitarum<br />

(Staf Pengajar STIKes Santa Elisabeth Medan)<br />

Abstract:<br />

Diabetes mellitus is one of from many metabolic diseases that increase<br />

because underway lifestyle. Many factor can influence this disease, such as:<br />

age, lifestyle, overweight, ethnic and homeland. When Diabetes Mellitus is<br />

not handling immediately can make along period complication that make<br />

Damage organ system, in fact disablement or death. If the patient of DM can<br />

controlled and maintain Blood Glucose Degree in limit normally every time,<br />

so it can decrease along period complication. For avoid the complication is<br />

needful independent handling, until the patient have to knowledge, skill and<br />

attitude for adaptive with implementation of diabetes in daily living.<br />

Behavior is a response or reaction individual for stimulus is come from<br />

outside although inside itself. Obedience is definition as fidelity of patient to<br />

implement therapy method that the doctor recommended or another staff<br />

health. The behavior factor has a big influence for health status an individual<br />

or community.<br />

Kata Kunci: Diabetes Mellitus, a long Period Complication, Behavior.<br />

PENDAHULUAN<br />

Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) merupakan diabetes yang<br />

tidak tergantung insulin. Penatalaksanaan terapi bagi penderita diabetes melitus meliputi<br />

diet diabetes, latihan fisik, penyuluhan kesehatan masyarakat, obat hipoglikemi, dan<br />

cangkok pankreas. Untuk menghindari komplikasi diperlukan penanganan secara mandiri<br />

sehingga pasien DM harus mempunyai pengetahuan, ketrampilan dan sikap untuk<br />

menyesuaikan dirinya dengan penatalaksanaan diabetes dalam kehidupan sehari-hari.<br />

Perilaku merupakan respon atau reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal<br />

dari luar maupun dari dalam dirinya sendiri. Kepatuhan didefinisikan sebagai ketaatan<br />

pasien melaksanakan cara pengobatan yang disarankan oleh dokternya atau yang lain.<br />

NIDDM pada mulanya diatasi dengan diet dan latihan. Jika kenaikan glukosa<br />

darah tetap terjadi, maka diet dan latihan tersebut dilengkapi dengan obat hipoglikemik<br />

oral. Sedangkan intervensi diet untuk mengendalikan glukosa darah merupakan salah<br />

satu intervensi penting bagi pasien NIDDM. Tujuan intervensi diet ini adalah mengatur<br />

kadar glukosa dan lemak darah,mendapatkan berat badan yang seimbang, dan<br />

menghasilkan status gizi yang adekuat. Pengobatan diabetes tergantung pada<br />

pengontrolan diet dan pengobatan.<br />

47


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

Penderita NIDDM meliputi 90 % sampai 95 % dari penderita diabetes melitus.<br />

Dalam 30 tahun atau sekitar tahun 2020, penduduk Indonesia akan meningkat sebesar 40<br />

% dengan peningkatan jumlah pasien diabetes yang jauh lebih besar yaitu 86 % sampai<br />

dengan 136 %. Di Jawa Timur sudah dilakukan survei dan didapatkan bahwa prevalensi<br />

diabetes di pedesaan adalah 1,47 % dan di perkotaan adalah 1,43%.<br />

Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM)<br />

NIDDM merupakan diabetes yang tidak tergantung insulin (Smeltzer, 2002).<br />

Pada NIDDM terdapat 2 permasalahan utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu :<br />

resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan<br />

reseptor khusus di permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor<br />

tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa dalam sel. Resistensi<br />

insulin pada NIDDM disertai dengan penurunan reaksi intrasel. Pada orang yang<br />

kegemukan atau terlalu banyak makan makanan yang mewah, hepar akan tetap<br />

memetabolisme makanan menjadi glukosa yang dilepaskan dalam darah. Awalnya sel<br />

beta pankreas mengkompensasi dengan meningkatkan insulin. Sehingga insulin akan<br />

terikat pada reseptor khusus di permukaan sel dan terjadilah reaksi intra sel. Tetapi jika<br />

peningkatan glukosa terjadi secara terus menerus maka sel beta pankreas akan mengalami<br />

kelelahan yang akhirnya terjadi gangguan sekresi insulin (Waspadji, 1999).<br />

2002):<br />

48<br />

Faktor-faktor resiko yang menunjang terjadinya NIDDM menurut (Smeltzer,<br />

Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun)<br />

Obesitas<br />

Riwayat keluarga<br />

Kelompok etnik (di Amerika Serikat, golongan Hispanik serta penduduk asli<br />

Amerika tertentu memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk menderita diabetes<br />

tipe II dibandingkan golongan Afro-Amerika)<br />

Meningkatnya prevalensi Diabetes mellitus di berbagai negara berkembang<br />

sebagai akibat dari peningkatan kemakmuran negara yang bersangkutan.<br />

Peningkatan gaya hidup terutama di kota-kota besar menyebabkan meningkatnya<br />

prevalensi penyakit degeneratif, seperti Diabetes Melitus. Di samping itu, cara hidup<br />

yang sangat sibuk dengan pekerjaan dari pagi sampai sore hari bahkan sampai malam hari<br />

duduk di belakang meja akan menyebabkan tidak ada kesempatan untuk rekreasi dan<br />

olahraga. Apalagi bagi para eksekutif yang hampir tiap hari harus lunch atau dinner


Prevention a Long Period Complication of Diabetes Mellitus<br />

Lilis Novitarum<br />

dengan relasinya dengan menu makanan barat yang “wah”. Pola hidup yang beresiko<br />

seperti inilah yang menyebabkan tingginya prevalensi penyakit Diabetes Mellitus.<br />

Komplikasi Jangka Panjang Diabetes Melitus (DM)<br />

Komplikasi jangka panjang DM menurut Waspadji (1999) pada dasarnya terjadi<br />

pada semua pembuluh darah di seluruh bagian tubuh ( Angiopati Diabetik ). Angiopati<br />

diabetik dibagi menjadi 2, yaitu makroangiopati (makrovaskuler) dan mikroangiopati<br />

(mikrovaskuler). Komplikasi jangka panjang DM (Smeltzer, 2002):<br />

1. Makrovaskuler<br />

Berbagai tipe penyakit makrovaskuler dapat terjadi tergantung pada lokasi lesi<br />

aterosklerotik.<br />

a. Penyakit Arteri Koroner<br />

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa penyakit arteri koroner menyebabkan 50 %<br />

hingga 60 % dari semua kematian pada pasien diabetes. Salah satu ciri unik pada<br />

penyakit arteri koroner yang diderita oleh pasien diabetes adalah tidak terdapat<br />

gejala iskhemik yang khas karena neuropati yang menyertai diabetes mempengaruhi<br />

neuroreseptor sehingga menumpulkan nyeri. Jadi pasien mungkin tidak<br />

memperlihatkan tanda-tanda awal penurunan aliran darah koroner dan dapat<br />

mengalami infark miokard asimtomatik dimana gejala khas yang lainnya tidak<br />

dialami.<br />

b. Penyakit Serebrovaskuler<br />

Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah serebral atau pembentukan<br />

embolus di tempat lain dalam sistem pembuluh darah yang kemudian terbawa aliran<br />

darah sehinga terjepit dalam pembuluh darah serebral dapat menimbulkan serangan<br />

iskhemik sepintas (Transient Ischemic Attack : TIA) dan stroke.<br />

Kesembuhan dari serangan stroke dapat terhalang pada pasien yang kadar glukosa<br />

darahnya tinggi ketika dan segera setelah diagnosis cerebrovaskular accident dibuat.<br />

Gejala penyakit ini mencakup keluhan pusing atau vertigo, gangguan penglihatan,<br />

bicara pelo dan kelemahan.<br />

c. Penyakit Vaskuler Perifer<br />

Tanda dan gejala penyakit vaskuler perifer dapat mencakup berkurangnya denyut<br />

nadi perifer dan klaudikasio intermiten (nyeri pada pantat atau betis ketika berjalan.<br />

Bentuk penyakit oklusif arteri yang parah pada ekstremitas bawah ini merupakan<br />

penyebab utama meningkatnya insidens gangren dan amputasi pada pasien diabetes.<br />

49


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

2. Mikrovaskuler<br />

Ada dua tempat dimana gangguan fungsi kapiler dapat berakibat serius, yaitu<br />

mata dan ginjal.<br />

a. Retinopati diabetik<br />

Kelainan mata ini disebabkan oleh perubahan dalam pembuluh darah kecil pada<br />

retina mata. 3 stadium utama retinopati :<br />

50<br />

• Retinopati non proliferatif<br />

Sebanyak 90% penderita diabetes memperlihatkan manifestasi klinis yang<br />

membuktikan adanya retinopati non proliferatif. Komplikasinya adalah edeme<br />

makula, terjadi kurang lebih 10% penderita IDDM dan NIDDM dan dapat<br />

mengakibatkan distorsi visual serta kehilangan penglihatan total.<br />

• Retinopati pra proliferatif<br />

Seperti retinopati non proliferatif, jika mengalami perubahan visual terjadi<br />

selama stadium pra proliferatif maka keadaan ini biasanya disebabkan edema<br />

makula.<br />

• Retinopati proliferatif<br />

Gangguan penglihatan yang berhubungan dengan retinopati proliferatif ini<br />

disebabkan oleh perdarahan vitreus atau ablasio retina . Apabila terjadi<br />

perdarahan, korpus vitreus akan menjadi keruh dan tidak dapat<br />

•<br />

mentransmisikan cahaya, akibatnya akan terjadi kehilangan penglihatan.<br />

Konsekuensi lain dari perdarahan vitreus adalah terbentuknya jaringan parut<br />

fibrosa yang disebabkan resorbsi darah ke dalam korpus vitreus. Jaringan<br />

parut ini dapat menarik retina sehingga terjadi ablasio retina dan akhirnya<br />

terjadi kebutaan.<br />

Gejala yang menunjukkan perdarahan adalah :<br />

Klien melaporkan benda tampak melayang/mengambang<br />

• Klien melaporkan benda seperti sarang laba-laba<br />

• Klien melaporkan perubahan penglihatan yang mendadak (penglihatan<br />

yang berkabut)<br />

Komplikasi oftalmologi yang lain adalah :<br />

• Katarak : katarak terjadi pada usia yang lebih muda di antara pasien-pasien<br />

yang lain.<br />

• Glaukoma : glaukoma terjadi dengan frekuensi yang agak lebih tinggi pada<br />

populasi diabetes.


Prevention a Long Period Complication of Diabetes Mellitus<br />

Lilis Novitarum<br />

b. Nefropati<br />

Penyandang IDDM sering memperlihatkan tanda-tanda permulaan penyakit renal<br />

setelah 15 hingga 20 tahun kemudian, sementara pasien NIDDM dapat terkena<br />

penyakit renal dalam waktu 10 tahun sejak diagnosis diabetes ditegakkan.<br />

Sebagian besar tanda dan gejala disfungsi renal pada penyandang diabetes serupa<br />

dengan pasien non-DM.<br />

Tanda dan gejala :<br />

Kardiovaskuler : hipertensi, pitting edema (kaki dan tangan), edema periorbital,<br />

pembesaran vena leher. Integumen : warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering<br />

bersisik, pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar.<br />

Pulmoner : sputum kental dan liat, napas dangkal, napas kusmaul.<br />

Gastrointestinal : napas bau amonia, ulserasi dan perdarahan mulut, anoreksia,<br />

mual-muntah, konstipasi dan diare, perdarahan saluran cerna.<br />

Muskuloskeletal : kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang 4 .<br />

c. Neuropati Diabetes<br />

Neuropati dalam diabetes mengacu pada sekelompok penyakit yang menyerang<br />

semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensori motor), otonom dan spinal.<br />

Neuropati dalam diabetes mengacu pada sekelompok penyakit yang menyerang<br />

semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensori motor), otonom dan spinal.<br />

2 tipe neuropati diabetik yang sering muncul :<br />

• Polineuropati sensorik<br />

Polineuropati ini sering mengenai bagian distal serabut saraf khususnya<br />

ekstremitas bawah.<br />

Gejala awal : parestesia (rasa tertusuk-tusuk, kesemutan dan rasa terbakar)<br />

khususnya pada malam hari. Dengan bertambah beratnya neuropati, kaki<br />

terasa baal (mati rasa). Di samping itu penurunan fungsi proprioseptif<br />

(kesadaran terhadap postur tubuh serta gerakan tubuh dan terhadap posisi serta<br />

berat badan) dan penurunan sensibilitas terhadap sentuhan ringan dapat<br />

menimbulkan gaya berjalan terhuyung-huyung.<br />

• Neuropati otonom sistem saraf pusat<br />

Neuropati pada otonom mengakibatkan berbagai disfungsi yang mengenai<br />

hampir seluruh organ tubuh.<br />

Gejala : nocturnal diare, distensi bladder, takikardi, muka bengkak.<br />

51


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

PENCEGAHAN KOMPLIKASI JANGKA PANJANG DM<br />

Untuk menunda munculnya komplikasi penyakit DM maka pasien DM<br />

dianjurkan melakukan hal-hal seperti berikut :<br />

1. Melakukan Perencanaan makan (Diet)<br />

Dalam konsensus yang telah disepakati, kata diet diganti dengan istilah<br />

perencanaan makanan (meal planning) untuk memberikan kesan kepada pasien agar<br />

tidak terlalu menakutkan, karena kata diet selalu dihubungkan dengan pasien atau dengan<br />

segala larangan jenis makanan sehingga kepatuhan pasien menjadi lemah. Dalam<br />

merencanakan diet pada penderita DM harus dipikirkan matang-matang apakah diet itu<br />

akan dipatuhi atau tidak. Jalan terbaik untuk itu adalah kita harus membuat perencanaan<br />

makanan yang cocok untuk setiap penderita, artinya perencanaan makanan harus<br />

dilakukan secara individualisasi sesuai dengan cara hidup, pola jam kerjanya, latar<br />

belakang budaya, tingkat pendidikan, penghasilan, dan lain-lain. Menurut Smeltzer<br />

(2002) Diet untuk mengendalikan kalori dapat dilakukan dengan menghitung kebutuhan<br />

kalori seseorang dengan menggunakan rumus Harris Benedict untuk menentukan Basal<br />

Energy Expenditure (BEE).<br />

BEE (Wanita) = 655 + (9.6 x Berat Badan dalam kg) + (5 x Tinggi Badan<br />

dalam cm) – (4.7 x umur dalam tahun)<br />

BEE (Laki-laki) = 66 + (13.7 x Berat Badan dalam kg) + (5 x Tinggi Badan<br />

dalam cm) – (6.8 x umur dalam tahun)<br />

Menurut Gibson (1990) apabila penderita tidak mengetahui tinggi badannya dan<br />

penderita harus bedrest maka dipakai rumus tinggi badan dengan pengukuran knee hight<br />

(KH):<br />

Laki-laki : [2.02 x KH (cm)] – [(0.04 x umur (th)] + 64.19<br />

Wanita : [1.83 x KH (cm)] – [0.24 x umur (th)] + 84.88<br />

Faktor aktivitas kemudian dikalikan dengan BEE untuk menghasilkan jumlah<br />

kalori yang diperlukan agar berat badan dapat dipertahankan dengan jumlah prosentase<br />

sebagai berikut (Dirjen Pelayanan Medik Depkes RI dan WHO, 1998) :<br />

aktivitas ringan/tidur : 20 % dari BEE<br />

aktivitas sedang : 35 % dari BEE<br />

aktivitas berat : 50 % dari BEE<br />

52


Prevention a Long Period Complication of Diabetes Mellitus<br />

Lilis Novitarum<br />

sedangkan tingkat kegiatan sehari-hari untuk penghitungan kalori adalah sebagai berikut:<br />

Tabel 1. Tingkat kegiatan sehari-hari untuk penghitungan kalori<br />

Mengendarai mobil<br />

Memancing<br />

Kerja lab.<br />

Kerja sekretaris<br />

Mengajar<br />

Ringan Sedang Berat<br />

Kerja rumah tangga<br />

Bersepeda<br />

Bowling<br />

Jalan cepat<br />

Berkebun<br />

Aerobic<br />

Bersepeda<br />

Memanjat<br />

Menari<br />

Lari<br />

Sumber data : Dirjen Pelayanan Medik Depkes RI dan WHO, 1998<br />

Dalam melaksanakan diet diabetes sehari-hari hendaklah mengikuti pedoman 3 J<br />

(Jumlah, Jadwal, Jenis ), artinya :<br />

J 1 : Jumlah kalori yang diberikan harus habis, jangan dikurangi atau ditambah.<br />

Penentuan jumlah kalori diet diabetes disesuaikan dengan status gizi penderita,<br />

adanya kasus-kasus tertentu, aktivitas, BB dan TB.<br />

J 2 : Jadwal diet harus diikuti sesuai dengan intervalnya. Pada dasarnya diet diberikan<br />

dengan 3 kali makan utama dan 3 kali makan antara (snack = kudapan) dalam jarak<br />

waktu interval 3 jam.<br />

J 3 : Jenis makanan yang manis harus dihindari termasuk pantang buah golongan A dan<br />

makanan lain yang manis. Buah-buahan yang termasuk golongan A, yaitu : sawo,<br />

jeruk, nanas, rambutan, durian, nangka, anggur dan sebagainya. Sedangkan buah<br />

yang dianjurkan adalah buah yang kurang manis (buah golongan B) misalnya :<br />

pepaya, kedondong, apel, pisang, salak, tomat, semangka.<br />

Berikut ini makanan yang harus dipantang dan yang boleh dimakan adalah<br />

sebagai berikut (Dirjen Pelayanan Medik Depkes RI dan WHO, 1998):<br />

1). Dilarang secara mutlak semua makanan yang mengandung gula, seperti: gula,<br />

glukosa, selai, marmelede, madu, sirop, coklat, kue tarcis, buah-buahan kaleng,<br />

lemon, bir.<br />

2). Yang boleh dimakan secara terbatas adalah es krim, cake, bubur, kentang, puding,<br />

nasi, buah-buahan, mentega, margarin.<br />

3). Yang boleh dimakan secara bebas adalah daging, ikan laut, telur, sayuran, sop<br />

bening, teh dan kopi tanpa gula, susu.<br />

53


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

54<br />

Langkah-langkah dalam menggunakan daftar penukar untuk merencanakan diet:<br />

1. Hitung kebutuhan Kkal setiap hari<br />

2. Bagi Kkal yang diijinkan di antara protein, karbohidrat dan lemak (biasanya protein<br />

diberikan 12-20 % atau 0,8 g per kg BB, karbohidrat 50-60 %, dan lemak 30 % dari<br />

total Kkal.)<br />

3. Tentukan beberapa penukar dari daftar yang dapat memenuhi jumlah karbohidrat,<br />

lemak dan protein.<br />

4. Buat penukar makanan dan snack didistribusikan tiap hari.<br />

Pasien harus mengkonsumsi makanan penukar dalam jumlah yang sama dan pada<br />

waktu yang sama setiap harinya (Moore, 1997). Setiap kali makan harus mengandung<br />

karbohidrat, lemak, protein untuk memperlambat pencernaan dan absorbsi. Jika<br />

menggunakan insulin, makanan dan snack harus dikoordinasikan dengan mula kerja atau<br />

aktivitas puncak, dan lama kerja insulin. Karbohidrat harus selalu ada pada segala<br />

aktivitas insulin untuk mencegah terjadinya hipoglikemia.<br />

Karbohidrat kompleks (serat dan tepung) harus ditekankan dan serat dianjurkan<br />

untuk dikonsumsi 35-45 g/hari. Serat yang larut mempunyai pektin, gum, dan<br />

hemiselulose yang mempunyai efek menurunkan kolesterol dan gula darah. Sumber serat<br />

yang baik adalah buah-buahan.<br />

Lemak. Karena prevalensi penyakit jantung koroner pada DM. Lemak jenuh<br />

harus dibatasi sampai sepertiga atau kurang dari kalori lemak yang dianjurkan dan lemak<br />

tak jenuh harus memenuhi sepertiga dari total kalori lemak.<br />

Alkohol. Alkohol mempunyai banyak hal yang tidak menguntungkan untuk<br />

penderita DM, dan alkohol memberikan 7 Kkal /gram di mana dapat memberikan<br />

kontribusi terhadap kelebihan BB dan dapat memperburuk hiperlipidemia dan dapat<br />

mencetuskan hipoglikemia terutama bila tidak makan. Walaupun demikian, bila pasien<br />

sangat ingin dan disetujui oleh dokternya maka alkohol masih bisa diminum. Diharapkan<br />

tidak lebih dari 57 g sekali minum dan frekuensinya tidak lebih dari 1-2 kali seminggu.<br />

Makanan harus dimakan pada waktu minum alkohol atau sebelum tidur jika alkohol<br />

diminum pada larut malam. Adalah lebih baik bila penderita DM dengan kegemukan<br />

untuk tidak minum alkohol sama sekali.<br />

Natrium. Direkomendasikan pada individu dengan DM untuk makan tidak lebih<br />

dari 3 g natrium setiap harinya, karena kecenderungan akan hipertensi.


Prevention a Long Period Complication of Diabetes Mellitus<br />

Lilis Novitarum<br />

Pemanis diabetes. Pemanis bergizi atau mengandung kalori dan tak bergizi atau<br />

bebas kalori dapat dipakai dalam jumlah sedang pada individu dengan DM. Pemanis<br />

bergizi termasuk sukrosa (gula pasir), fruktosa, dan sorbitol sebagai gula alkohol. Dalam<br />

jumlah kecil dapat dipakai dalam perencanaan diet. Sorbitol dan fruktosa sering<br />

digunakan pada produk “bebas gula”. Pemanis tidak bergizi di pasaran seperti aspartam<br />

dan sakarin.<br />

2. Melakukan Olah Raga teratur<br />

Dianjurkan melakukan olahraga selama satu jam setiap hari. Khusus bagi<br />

penderita DM, dilakukan latihan senam, berupa pemanasan 10 menit, inti 20 menit, dan<br />

pendinginan 10 menit, dengan frekuensi latihan 3-5 kali per minggu. Dengan olah raga<br />

maka tubuh akan berusaha meningkatkan metabolisme yang memerlukan energi dari<br />

glukosa sehingga akan menurunkan kadar glukosa dalam darah. Hal ini bila dilakukan<br />

secara teratur akan menjaga kadar glukosa darah normal dan akan mencegah terjadinya<br />

komplikasi DM.<br />

3. Mengkonsumsi Obat teratur<br />

Pasien DM akan memerlukan pengobatan dalam jangka waktu yang lama. Untuk<br />

obat-obatan DM disarankan diminum atau diinjeksikan dengan dosis yang tepat dan<br />

waktu yang tepat. Dengan dosis yang tepat akan menyebabkan pengontrolan glukosa<br />

darah terjadi, tetapi sebaliknya jika pasien memakan obat dalam dosis yang berlebihan<br />

dengan harapan supaya bisa cepat menurunkan kadar gula darah akan menyebabkan<br />

hipoglikemia pada pasien yang kalau dibiarkan saja akan menyebabkan penurunan<br />

kesadaran. Dengan waktu yang tepat maka pengontrolan glukosa dalam darah akan<br />

terjadi dengan baik.<br />

4. Melakukan kontrol gula darah secara teratur<br />

Pemeriksaan laboratorium juga sangat menunjang pencegahan komplikasi DM.<br />

Dengan teraturnya pemeriksaan gula darah maka tim medis dan pasien akan mengetahui<br />

kestabilan gula darah. Bila gula darah stabil maka secara bertahap pihak medis akan<br />

menurunkan dosis obat diabetes supaya tidak terjadi hipoglikemik.<br />

55


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

PENUTUP<br />

Pada dasarnya komplikasi DM bisa dicegah dengan gaya hidup yang sehat dari<br />

pasien itu sendiri. Tetapi tidak menutup kemungkinan, walaupun pasien mempunyai<br />

pengetahuan cukup tetapi tidak mau merubah gaya hidupnya akan menyebabkan<br />

komplikasi jangka panjang DM. Hal ini sangat berhubungan dengan penatalaksanaan<br />

pengobatan DM memerlukan waktu yang panjang sehingga pasien merasa bosan dan<br />

kurang patuh terhadap terapinya.<br />

SUMBER RUJUKAN<br />

Bagian Gizi RS dr. Cipto Mangunkusumo & Persatuan Ahli Gizi Indonesia. 1996.<br />

Penuntun Diet. PT Gramedia. Jakarta.<br />

Smeltzer & Bare. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Volume 2 Edisi Alih Bahasa. EGC.<br />

Jakarta.<br />

Depkes RI. 1990. Dasar-dasar Perilaku Manusia. Depkes RI. Jakarta.<br />

Dirjen Pelayanan Medik Depkes RI dan WHO. 1998. Pedoman Diet Diabetes Melitus Di<br />

Rumah Sakit. Jakarta : FKUI.<br />

Gibson, Rosalinds. 1990. Principles of Nutritional assessment. New York : Oxford<br />

University Press.<br />

Ignativius, Donna D & Bayne, Marilyn Larner. 1991. Medical-Surgical Nursing : a<br />

nursing process approach. Philadelphia : W. B. Saunders Company.<br />

Kee, Joyce L & hayes, evelyn R. 1996. Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan.<br />

EGC. Jakarta.<br />

Moore, Mary Courtney. 1997. Terapi Diet Dan Nutrisi. Hipokrates. Jakarta.<br />

Penyusun Kamus Pusat Pembinaan & Pengembangan Bahasa. 1990. Kamus Besar<br />

Bahasa Indonesia. Balai pustaka. Jakarta.<br />

Sarwono, Solita. 1997. Sosiologi Kesehatan. Gajahmada Univercity. Yogyakarta.<br />

Tjokropranowo, Askandar. 1994. Diabetes Melitus. PT Gramedia Pustaka Tama. Jakarta<br />

Waspadji. 1999. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit FKUI. Jakarta<br />

56


Wacana Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember Tahun 2009 (57‐66)<br />

PROSES PEMBENTUKAN MODAL EKONOMI SOSIAL BUDAYA<br />

PENGUSAHA BATIK DI SURAKARTA<br />

Mahendra Wijaya<br />

Jurusan Sosiologi FISIP UNS<br />

mahendrawijaya_uns@yahoo.co.id<br />

Abstract<br />

The goal of this research is to understand the process of the economy social<br />

culture formation of batik industrialist. The research method is naturalistic<br />

inquiry. The batik craffman (pengrajin pembatik) and trades women (bakul<br />

batik) is interrelated with the structue of nuclear family. Parent give a<br />

knowledge and skill of batik work or batik trading (culture capital) to their<br />

childs since underage. The parent motivated their teenagers for work in<br />

batik (economy capital). Batik craffman need capital and fine works by<br />

relationship with supervisor who works on supervisor (social capital)<br />

The process of economy social culture capital formation of owner (juragan)<br />

and big trades (saudagar) is interrelation with the extended family<br />

structure.. Economic capital such is business and money, social capital such<br />

as social netwoking and the culture capital such knowledge skill exercion<br />

formed and grow up on a extended family as generation to generation.<br />

Kata Kunci: economy capital, social capital , cultural capital and capital<br />

formation.<br />

PENDAHULUAN<br />

Keberadaan batik tulis dengan corak atau pola batik Surakarta berasal dari<br />

Karaton Surakarta (Doellah, 2002: 10). Pakoe Boewono III membuat busana dengan gaya<br />

batik Surakarta baik corak atau pola, warna maupun makna pemakaiannya. Pada awal<br />

abad ke 20, di bawah hegemoni budaya Karaton Kasunanan Surakarta telah berkembang<br />

produsen sekaligus pedagang batik pribumi yang dikenal istilah lokal dengan sebutan<br />

juragan Mbok Mase. Ia dikenal sebagai orang yang bekerja keras, disiplin,ulet, tidak gila<br />

hormat tapi hemat, tidak mau kompromi, menabung dan tidak berfoya-foya (Soedarmono,<br />

1987: 119). Pada tahun 1912 berdiri assosiasi dagang produsen dan pedagang batik<br />

pribumi muslim pertama Sarekat Dagang Islam (SDI) Keberadaan assosiasi dagang itu<br />

meningkatkan jaringan organisasi produksi dan perdagangan batik meluas dari<br />

Laweyan sampai ke pelosok kota-kota besar di Indonesia.<br />

57


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

Pemerintah kolonialis Belanda melakukan tekanan politik ekonomi secara terusmenerus<br />

akhirnya membuat Sarekat Dagang Islam menjadi lemah dan mengakibatkan<br />

kemunduran jaringan perdagangan batik pribumi (Larson, 2001: 72). Kemunduran<br />

tersebut berangsur-angsur menimbulkan pergeseran dari industri rumah tangga mandiri<br />

ke nempakke, yaitu jaringan hubungan relasional antar unit-unit usaha produksi<br />

terspesialisasi sebagai suatu cara untuk bertahan.<br />

Pemerintahan Orde Lama mengeluarkan kebijakan program benteng yang<br />

bertujuan untuk menumbuhkan kewiraswastaan pribumi. Program benteng secara umum<br />

dianggap distorsi dan gagal menumbuhkan wiraswasta pribumi di Indonesia, namun di<br />

bidang perbatikan program tersebut menimbulkan efek positif, yaitu pemupukan modal,<br />

penyerapan tenaga kerja, peningkatan keterampilan kerja, dan meluasnya industri batik<br />

tulis dan cap di berbagai penjuru Kota Surakarta (Nurhandiantomo, 2004: 66).<br />

Orde Baru memiliki kebijakan mengejar pertumbuhan ekonomi yang<br />

mengutamakan industri padat modal, teknologi mekanisasi impor, dan produk massal.<br />

Pada tahun 1970-an, terjadi pertumbuhan industri garmen dan printing bermotif batik<br />

yang mempunyai nilai kompetitif yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk batik<br />

cap. Persaingan ekonomi komersial secara terus-menerus mengakibatkan batik cap kalah<br />

bersaing baik dari segi kualitas maupun harga. Akan tetapi industri kerajinan batik tulis<br />

di Surakarta tetap dapat bertahan. Hal itu disebabkan oleh kemampuan pengusaha batik<br />

dalam mempertahankan spesifikasi produk batik tulis, yang corak dan fungsi<br />

pemakaiannya terkait dengan adat Jawa serta kekuatan modal ekonomi social budaya<br />

(Dwiningrum, 1997: 5-7).<br />

Pada bulan Mei 1988 di Surakarta terjadi kerusuhan sosial. Ironisnya dalam<br />

kondisi ekonomi terpuruk, pada pertengahan Oktober 1999 terjadi lagi kerusuhan sosial<br />

Surakarta (Mulyadi, 1999: 467). Kerusuhan sosial beruntun tersebut mengakibatkan harga<br />

bahan baku batik impor naik hingga 300 persen, permintaan masyarakat akan kain batik<br />

menurun dan industri batik tulis, cap dan printing cenderung menurun. Dalam kurun<br />

waktu yang relatif cepat industri kerajinan batik kembali bangkit yang ditandai dengan<br />

beroperasinya 170 unit usaha batik di kampung batik Laweyan dan 25 unit usaha batik di<br />

kampung batik Kauman serta 36 unit usaha batik yang lokasi usahanya tersebar di dalam<br />

Kota Surakarta. Tekanan terhadap industri kerajinan batik terus berlangsung dari waktu<br />

ke waktu dan pengusaha batik selalu dapat mengatasinya.<br />

58


Proses Pembentukan Modal Ekonomi Sosial Budaya Pengusaha Batik di Surakarta<br />

Mahendra Wijaya<br />

KERANGKA TEORITIK<br />

Modal sosial sebagai suatu kepercayaan, norma-norma resiprositas dan jaringan<br />

sosial yang memungkinkan terbentuknya koordinasi dan kerja sama untuk berbagi<br />

keuntungan dalam mencapai tujuan kesejahteraan bersama. Sebagaimana halnya<br />

Bourdieu (Bourdieu, 1988) mengemukakan modal terdiri dari modal ekonomi dan modal<br />

sosial. Modal ekonomi terkait dengan kepemilikan barang, benda dan uang yang dapat<br />

digunakan bagi keperluan investasi. Modal sosial terkait dengan keterikatan dalam<br />

hubungan-hubungan sosial, sedangkan modal budaya terkait dengan penguasaan<br />

pengetahuan. Keduanya dapat digunakan sebagai alat untuk memperoleh kedudukan<br />

sosial.<br />

Putnam membagi tipologi modal sosial menjadi pola bonding social capital dan<br />

bridging social capital (Putnam, 2000). Pola bonding social capital, jaringan sosial<br />

yang terbentuk secara eksklusif (inward looking). Sebaliknya pola bridging sosial capital,<br />

jaringan sosial terbentuk secara inklusif (outward looking). Dalam konteks jaringan<br />

sosial ekonomi, Rutten mengungkapkan jaringan hubungan relasional antar aktor-aktor<br />

ekonomi dalam proses industrialisasi di Asia menggunakan pola jaringan sosial ekonomi<br />

mutualisme dan dominasi (Rutten, 2003: 22). Pola jaringan sosial ekonomi mutualisme<br />

mengikuti hubungan balance reciprocity dan pola jaringan sosial ekonomi dominasi<br />

mengikuti hubungan general reciprocity. Pola jaringan sosial ekonomi dapat membentuk<br />

pola bonding social capital atau pola bridging social capital. Pola jaringan sosial<br />

ekonomi yang terbentuk melalui kerja sama antara industri di suatu daerah dengan<br />

daerah lain cenderung membentuk pola bridging social capital. Sebaliknya jaringan<br />

sosial ekonomi dominasi antara industri besar dengan pekerja rumahan di dalam suatu<br />

ruangan daerah tertentu cenderung membentuk pola bonding sosial capital.<br />

Karenanya penelitian ini menggunakan metode naturalistic inquary, yaitu suatu<br />

cara untuk menggambarkan proses pembentukan modal ekonomi sosial budaya. Dalam<br />

naturalistic inquary peneliti sebagai kunci utama dalam mengumpulkan data dan<br />

menafsir data. Informan diperlakukan sebagai subyek dan hubungannya dengan peneliti<br />

bersifat interaktif (Lincoln, 1985). Lokasi penelitian di kampung batik Laweyan dan<br />

Pasar Klewer dengan alasan sebagai berikut: pertama, Kota Surakarta berhubungan<br />

dengan “cultural heritage” warisan budaya batik khas Jawa. Kedua, kampung batik<br />

59


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

Laweyan dan Pasar Klewer merupakan sub culture area produksi dan perdagangan<br />

batik.<br />

Jenis data terdiri dua, yakni data primer dan sekunder. Data sekunder meliputi<br />

sejarah, dokumen, artefak, catatan-catatan, peta, monografi, memo dan lain-lain. Data<br />

tersebut akan diperoleh dari pengusaha batik dan istansi terkait. Sedangkan data primer<br />

meliputi kata-kata, aktivitas sehari-hari, teks naratif, simbol simbol, dan lain-lain. Data<br />

primer diperoleh langsung dari juragan, saudagar, pengrajin, pembatik, konsumen batik<br />

dan tokoh perbatikan yang terkait.<br />

SEJARAH INDUSTRI BATIK<br />

1. Sejarah Industri Kerajinan Batik Tulis Surakarta<br />

Asal usul batik tulis Jawa kuno, baik dari segi corak maupun sisi komersialnya<br />

tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kerajaan Mataraman. Desa Laweyan merupakan desa<br />

kuno yang sudah ada sebelum berdirinya kerajaan Pajang. Penduduk desa Laweyan<br />

hanyalah masyarakat kecil atau biasa disebut wong lumrah, tidak banyak meninggalkan<br />

situs sejarah yang berarti. Desa Laweyan 15 baru dianggap berarti setelah dikaitkan<br />

dengan keberadaan situs sejarah Ki Ageng Anis seorang pejabat negara kadipaten<br />

Pajang yang bertempat tinggal di Laweyan pada tahun 1546 Masehi (Priyatmono, 2000).<br />

Kampung batik Laweyan di Surakarta berkembang sebagai kampung santri yang taat<br />

menjalankan ibadah Agama Islam. Arti dan makna kerja sebagai ibadah dan sillahturohmi<br />

mendatangkan barokah telah mengakar ke dalam kehidupan sosial ekonomi para santri.<br />

Keberadaan batik tidak hanya sebagai simbol seni budaya Jawa namun juga sebagai<br />

simbol kesejahteraan santri dan kemakmuran masjid. Hal itu mendukung terpeliharanya<br />

hubungan saling percaya, norma-norma resiprositas dan kerja sama dalam hubunganhubungan<br />

produksi dan dagang<br />

Keberadaan batik tulis corak Surakarta muncul sejak Pakoe Boewono II<br />

memberikan wasiat kepada Pakoe Boewono III untuk membuat busana sendiri dengan<br />

corak Surakarta Raja Pakoe Boewono menciptakan dan memberi maka pola batik terkait<br />

dengan tradisi budaya Jawa. Tradisi budaya Jawa tidak lepas dari tata cara dan upacara.<br />

Tata cara dapat diartikan sebagai proses jalannya upacara, artinya ubarampe yang<br />

dipergunakan sebagai sarana upacara. Batik sebagai umbarampe upacara tradisi Jawa<br />

mengandung makna simbolis yang berisi tentang suatu doa kepada Tuhan.<br />

60


Proses Pembentukan Modal Ekonomi Sosial Budaya Pengusaha Batik di Surakarta<br />

Mahendra Wijaya<br />

Pemanfaatan batik sebagai sarana upacara tradisi Jawa memberi kekuatan batin bagi<br />

pelaku-pelakunya dan untuk nguri-uri budaya keraton.<br />

2. Sejarah Industri Kerajinan Batik Non Tulis (Batik Cap dan Printing)<br />

Batik cap muncul sekitar tahun 1815 di Semarang, batik cap merupakan hasil<br />

suatu proses membikin stempel dari tembaga untuk membuat lukisan lilin pada kain<br />

dengan cara dicapkan (Susanto, 1980). Stempel disebut cap, pengerjaannya disebut<br />

mencap dan hasil kain yang dicap disebut kain batik cap. Perkembangan teknologi batik<br />

tersebut melipatgandakan produksi sekitar 10 kali lipat, waktu produksi lebih cepat, dan<br />

biaya lebih murah daripada batik tulis. Batik cap dibawa dari Kota Semarang ke Kota<br />

Surakarta sekitar awal abad ke 20. Batik cap berkembang dengan cepatnya di Laweyan<br />

dan Kauman Surakarta, sehingga kawasan tersebut terkenal dengan sebutan tempatnya<br />

juragan batik dan saudagar batik.<br />

Istilah batik printing muncul sekitar tahun 1970-an, berawal dari perubahan<br />

penggunaan bahan baku kain berbahan serat buatan, seperti polyester, polamyda , dan<br />

lycra. Proses pembatikan pada kain berbahan serat buatan dengan cara menggunakan<br />

teknik sablon dan cetak printing. Kain hasil teknik-teknik tersebut biasanya disebut<br />

dengan tekstil dengan pola yang tersusun dari ragam hias batik atau batik printing.<br />

Pertumbuhan industri batik printing terkait dengan kebijakan pemerintahan Orde Baru<br />

yang berorientasi pada ekonomi komersial dalam mengejar pertumbuhan ekonomi. Mode<br />

produksi manufaktur batik printing menghasilkan batik printing secara massal, kualitas<br />

halus dan harga relatif murah dibandingkan dengan batik cap.<br />

INDUSTRI KERAJINAN BATIK MASA KINI DI SURAKARTA<br />

Struktur ekonomi Kota Surakarta masih bertumpu pada sektor industri<br />

pengolahan, perdagangan, rumah makan dan hotel. Hal itu tampak dari sebagian besar<br />

atau sebanyak 67,10 persen penduduk Kota Surakarta bekerja di bidang industri<br />

pengolahan dan perdagangan, rumah makan, serta hotel. Salah satu sub bidang industri<br />

pengolahan dan perdagangan adalah industri batik. Industri batik tersebar di wilayah<br />

Laweyan, Kauman, Pasar Kliwon, dan lainnya. Pusat perdagangan batik beroperasi di 38<br />

pasar tradisional dan beberapa pasar modern yang terdapat di Kota Surakarta.<br />

Perkembangan industri batik di Kota Surakarta terkonsentrasi di sentra-sentra<br />

industri batik Laweyan, Kauman, Pasar Kliwon, dan industri batik mandiri lainnya<br />

tersebar di berbagai wilayah di Surakarta. Industri batik masih menjadi andalan ekonomi<br />

61


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

yang dapat memberi peluang kerja dan pendapatan bagi ribuan tenaga kerja di Kota<br />

Surakarta dan sekitarnya. Pada tahun 2006, perkembangan jumlah industri batik yang<br />

dapat bertahan dari tekanan ekonomi sebanyak 231 unit industri, masing-masing di<br />

kampung batik Laweyan terdapat 170 industri, Kauman sebanyak 25 industri dan lainnya<br />

tersebar di berbagai wilayah di Surakarta sebanyak 36 industri. Industri kerajinan batik<br />

tulis, cap, dan printing tersebut dapat memberikan kesempatan kerja dan pendapatan bagi<br />

ribuan tenaga kerja yang berasal dari Surakarta dan sekitarnya. Oleh sebab itu industri<br />

batik menjadi salah satu tumpuan utama perekonomian Kota Surakarta.<br />

PEMBENTUKAN MODAL EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA<br />

Proses pembentukkan modal ekonomi sosial budaya dapat terakumulasi melalui<br />

investasi, warisan dan keuntungan sesuai dengan kesempatan yang dimiliki oleh<br />

pemiliknya untuk mengoperasionalkan penempatannya. Pengelola industri rumah tangga<br />

batik tulis dan kios batik di kampung batik Laweyan dan Kauman Surakarta dikenal<br />

dengan sebutan pengrajin pembatik dan bakul wade. Pengelola pabrikan batik<br />

cap/manufaktur batik printing dan toko batik dikenal dengan sebutan juragan dan<br />

saudagar batik.<br />

1. Juragan dan Saudagar Batik.<br />

Proses pembentukan modal ekonomi sosial budaya terkait dengan struktur<br />

keluarga besar juragan dan saudagar batik. Struktur keluarga besar di Laweyan Solo<br />

terdiri dari Mbok Masse sepuh-Mas Nganten sepuh dan Mbok Mase-Mas Nganten serta<br />

Den Bagus-Den Rara adalah serangkaian kakek-nenek, bapak-ibu dan anak perempuan–<br />

anak laki-laki yang gigih dan ulet mengelola usaha batik. Keluarga besar<br />

mengembangkan kelompok usaha induk-semang berdasarkan ikatan kekerabatan menurut<br />

garis keturunan. Hubungan induk (orang tua) dan semang (anak) berdasarkan hubungan<br />

saling percaya, hubungan saling tolong-menolong dan hubungan kerja sama di bidang<br />

usaha perbatikan. Keluarga besar berfungsi memberikan perlindungan sosial-ekonomi<br />

bagi para anggotanya dan menjamin para anggotanya untuk memperoleh pekerjaan dan<br />

pendapatan di bidang usaha perbatikan. Kelompok induk semang sebagai saluran kerja<br />

sama bisnis, seperti saling memberikan informasi pasar, saling pinjam meminjam<br />

barangan dagangan, modal uang tunai dan saling pinjam-meminjam sarana transportasi<br />

serta saling memberi order pekerjaan.<br />

62


Proses Pembentukan Modal Ekonomi Sosial Budaya Pengusaha Batik di Surakarta<br />

Mahendra Wijaya<br />

Juragan batik dan saudagar batik membentuk modal ekonomi, sosial dan<br />

budaya seraca turun–temurun. Akumumulasi modal ekonomi, jaringan sosial ekonomi<br />

dan pengetahuan usaha secara turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya.<br />

Akumulasi modal ekonomi dimanfaatkan untuk mengembangkan pabrikan batik cap dan<br />

manufaktur batik printing. Akumulasi modal sosial dimanfaatkan untuk mengembangkan<br />

jaringan hubungan produksi dan hubungan dagang. Akumulasi pengetahuan dan<br />

ketrampilan usaha digunakan sebagai acuan pengambilan keputusan dalam setiap<br />

menjalankan kegiatan usaha.<br />

Modal uang tunai yang digunakan untuk biaya operasional produksi dan biaya<br />

operasional pemasaran sebesar 3 kali siklus kerja. Satu siklus kerja selama 1 bulan.<br />

Rumusan modal operasional usaha sebanyak 3 kali berhubungan mekanisme perputaran<br />

modal uang tunai yang dijalankan oleh juragan dan saudagar batik dalam<br />

mengembangkan usahanya. Juragan dan saudagar batik mengembangkan mekanisme<br />

pengeluaran dan pemasukan modal uang tunai sebagai berikut: Pertama, juragan dan<br />

saudagar mengeluarkan sejumlah uang tunai untuk biaya produksi atau perdagangan<br />

selama satu bulan atau satu siklus kerja usaha. Kedua, juragan dan saudagar<br />

mengembangkan strategi penjualan ngalap nyaur kepada sejumlah pelanggan pedagang<br />

baik dari dalam dan luar kota. Para pelanggan pedagang mengambil barang dagangan<br />

bulan ke satu membayar barang dagangan tersebut pada bulan kedua. Ketiga, juragan<br />

batik dan saudagar batik memberi kelonggaran tambahan waktu pembayaran pada bulan<br />

ketiga pada para pelanggan pedagang. Keempat, juragan dan saudagar menyediakan<br />

sejumlah modal uang tunai untuk biaya operasional produksi dan penjualan selama tiga<br />

siklus kerja atau tiga kali.<br />

2. Pengrajin Pembatik dan Bakul Batik<br />

Proses pembentukan modal ekonomi sosial budaya dikalangan pengrajin<br />

pembatik dan bakul batik terkait dengan struktur keluarga inti. Orang tua memberikan<br />

pengetahuan dan ketrampilan membatik/berdagang batik kepada anak-anaknya sejak usia<br />

dini (sekitar 12 tahun). Kemudian orang tua mendorong anak-anaknya yang menginjak<br />

remaja (sekitar 16 tahun) untuk mencari nafkah sendiri. Pengrajin pembatik<br />

membutuhkan modal usaha berupa bahan baku kain, malam dan peralatan membatik<br />

seperti canting, anglo, gawangan, dingklik, tepas, dan lain-lain. Pengrajin pembatik<br />

berusaha menjalin hubungan kerja dengan para mandor penggarap atau carik di sekitar<br />

lingkungan tempat tinggalnya. Jika ada order, maka para mandor penggarap atau carik<br />

akan memberi modal usaha, pekerjaan dan pendapatan kepada pengrajin pembatik.<br />

63


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

Seorang pengrajin pembatik menyelesaikan sehelai kain batik tulis butuh waktu sekitar<br />

dua minggu hingga satu bulan tergantung rumit tidaknya pola batik yang dikerjakan.<br />

Hubungan ketetanggaan mendorong terbentuknya jalinan hubungan kerja kontrak<br />

borongan. Mandor penggarap memberi order pekerjaan, modal usaha, upah sedangkan<br />

pengrajin pembatik menyediakan tenaga, ketrampilan dan kepatuhan.<br />

Orang tua memberi pengetahuan dan ketrampilan berdagang kepada anak sejak<br />

usia remaja atau sekitar 15 tahun. Para bakul batik memperoleh modal barang dagangan<br />

dengan cara srempetan, ngempit dan nempil dari juragan atau saudagar batik. Seorang<br />

bakul batik memperoleh pinjaman barang dagangan dengan cara srempetan jika ia telah<br />

dipercaya oleh juragan atau saudagar batik. Juragan atau saudagar batik memberi<br />

waktu pinjaman barang dagangan tanpa bunga selama 7 hari. Jika para bakul batik<br />

mengambil barang dagangan pada hari Senin, maka hari Senin pagi berikutnya harus<br />

membayar barangan dagangan tersebut kepada juragan atau saudagar batik. Ngempit<br />

hampir sama dengan srempetan hanya waktunya lebih terbatas, hari ini pinjam besok pagi<br />

harus mengembalikan atau elunasi. Sementara itu jika bakul batik tidak memiliki<br />

barang dagangan tertentu yang dibutuhkan konsumen maka ia akan nempil barang<br />

dagangan dari juragan atau saudagar. Bakul batik memperoleh keuntungan dari selisih<br />

harga jual konsumen dikurangi harga dasar yang ditetapkan oleh juragan atau saudagar<br />

batik. saudagar batik .Hal itu menunjukkan modal barang dagangan bakul batik sangat<br />

tergantung dari juragan atau saudagar batik.<br />

Dalam pemahaman budaya Jawa, orang yang telah menerima bantuan dari<br />

mereka akan merasa berhutang budi dan wajib mengembalikan bantuan itu di masa<br />

depan “ utang dhuwit iso dilunasi utang budi digowo mati”. Pengrajin pembatik dan<br />

bakul batik merasa berhutang budi pada juragan dan saudagar batik.Pengrajin<br />

pembatik dan bakul batik memiliki keyakinan bahwa mendapat order pekerjaan dan<br />

pinjaman materi merupakan sesuatu yang berhubungan budi pekerti. Secara tidak<br />

langsung nilai budaya ini diintrumentalisasi oleh para juragan dan saudagar batik kedalam<br />

hubungan produksi dan dagang untuk mendukung aktivitasnya. Pengrajin pembatik dan<br />

bakul batik mengembangkan modal sosial saling percaya, norma tolong menolong dan<br />

kerja sama dalam kelompok-kelompok kekerabatan, ketatanggaan dan keagamaan di<br />

pedesaan. Mereka mengembangkan norma tolong menolong dengan ungkapan tepo<br />

slro. Artinya jika seseorang ingin ditolong maka ia harus menolong orang lain.<br />

Pengrajin pembatik dan bakul batik memanfaatkan kelompok-kelompok sosial<br />

keagamaan sebagai media kerja sama untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan.<br />

64


KESIMPULAN<br />

Proses Pembentukan Modal Ekonomi Sosial Budaya Pengusaha Batik di Surakarta<br />

Mahendra Wijaya<br />

Proses pembentukan modal ekonomi sosial budaya dikalangan pengrajin<br />

pembatik dan bakul batik terkait dengan struktur keluarga inti. Orang tua<br />

memberikan pengetahuan dan ketrampilan membatik/berdagang batik (modal budaya )<br />

kepada anak-anaknya sejak usia dini. Kemudian orang tua mendorong anak-anaknya<br />

yang menginjak remaja untuk mencari nafkah sendiri (modal ekonomi). Pengrajin<br />

pembatik membutuhkan modal usaha dan pekerjaan dengan cara menjalin hubungan<br />

kerja dengan para mandor penggarap (modal social). Jaringan sosial ekonomi<br />

perbatikan di dalam sentra industri mengikuti pola bonding sosial capital.<br />

Proses pembentukan modal ekonomi sosial budaya juragan dan saudagar batik<br />

terkait dengan struktur keluarga besar. Modal ekonomi (perusahaan dan uang), modal<br />

social (jaringan sosia) dan modal budaya (pengetahuan dan ketrampilan usaha)<br />

terbentuk dan berkembang melalui keluarga besar secara turun-temurun. Jaringan<br />

sosial ekonomi perbatikan dari sentra industri ke luar sentra industri (pasar dan<br />

perusahaan batik) mengikuti pola bridging social capital.<br />

Kebijakan pengembangan industri rumah tangga (pengrajin pembatik dan bakul)<br />

sebaiknya lebih berorientasi pada pengembangan modal budaya seperti pelatihan<br />

membuat pola batik,teknik pewarnaan dan pembukuan sederhana. Sedangkan kebijakan<br />

pengembangan pabrikan batik cap dan manufacture batik printing sebaiknya lebih<br />

bereorientasi pada pengembangan modal social seperti jaringan pemasaran.<br />

SUMBER RUJUKAN<br />

Bourdieu, Pierre .1988. Homo Academikus. Polity Press. English.<br />

Braudel, Fernand. 1982. The Wheels Of Commerce. (Volume 2 of Civilization and<br />

Capitalism. 15 th – 18 Century). Harper and Row. New York.<br />

Clyde, Mitchell J. 1967. Social Networks in Urban Situations Analyses of Personal<br />

Relationships in Central African Towns. Manchester University Press.<br />

Manchester<br />

Doellah, H Santosa.2002. Batik Pengaruh Zaman dan Lingkungan. Penerbit Danarhadi<br />

Surakarta. Surakarta.<br />

Dwiningrum, Siti Irene.1997. Strategi Kelangsungan Saudagar Batik di DaerahIstimewa<br />

Yogyakarta. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.<br />

Geertz, Cllifford.1973. The Interpretation of Culture. Basic Book. London.<br />

65


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

Honggopuro , Kalinggo KRT . 2002. Bathik Sebagai Busana dalam Tatanan dan<br />

Tuntunan. Penerbit. Yayasan Peduli Karaton Surakarta Hadiningrat. Surakarta.<br />

Larson, George D.1990. Masa Menjelang Revolusi Kraton dan Kehidupan Politik di<br />

Surakarta 1912-1942. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.<br />

Lincoln, Yvonna S and Guba, Egon C.1985. Naturalistic Inquary. Beverly Hill:Sage<br />

Publication. California.<br />

Mulyadi, Hari M dan Sudarmono.1999 Runtuhnya Kekuasaan Kraton Alit.<br />

Studi.RadikalisasiSosial. Wong Solo dan kerusuhan Mei 1998. LPTP. Central<br />

Grafika. Surakarta.<br />

Nurhadiantomo.2004.Konflik Konflik Sosial Pri da- Non Pri Dan Hukum<br />

Keadilan Sosial Muhammadiyah University Press. Surakarta.<br />

Putnam, Robert D.2000. Bowling Alone: the Collapse and Revival of American<br />

Community. .Simon and Schuster. New York.<br />

Soedarmono.1987. Munculnya Kelompok Saudagar Batik di Laweyan Pada Awal Abad<br />

XX.Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.<br />

Susanto, Sewan SK. 1980. Seni Kerajinan Batik Indonesia. Departemen Perindustrian<br />

R.I. Jakarta.<br />

66


Wacana Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember Tahun 2009 (67‐74)<br />

RELASI KUASA ANTARA MEDIA TELEVISI YANG DOMINATIF-<br />

HEGEMONIK VS AUDIENS YANG AKTIF-KRITIS<br />

Suatu Perspektif Cultural Studies<br />

M. Ridhah Taqwa<br />

(Staf Pengajar Fisip Unsri dan Ketua Umum Forum Mahasiswa Pascasarjana Se<br />

Indonesia)<br />

(ridhotaqwa@gmail.com)<br />

Abstract:<br />

The media of television which is the way of live for human in<br />

postmodernism period. The influenced is more signify in making the society<br />

culture based on capitalist ideology (market). There are three models to<br />

understand the media which more dominated by economy politics important<br />

such us manipulative models, plurality and hegemonic. From 3 model<br />

understanding are identified 3 models industry ideology media are (1) as<br />

representative for all circle society, (2) as class dominate, and (3) as<br />

hegemonic space for whom has the power as politic economy. Furthermore,<br />

because of the orientation of third ideology have tendencies nowadays, is<br />

much better the audiences conditioned is not only passive but should be<br />

critics for political and economic interest of media industry, particularly<br />

television.<br />

Kata Kunci : media, audiens, plurality, hegemoni, aktif, kritis.<br />

PENDAHULUAN<br />

Selama satu dekade terakhir Televisi mengalami perkembangan yang sangat<br />

pesat. Selain jumlah stasiun TV dalam dan luar negeri yang makin banyak, jam tayang<br />

yang semakin lama (24 jam), juga ditandai dengan pemirsa yang makin signifikan<br />

jumlahnya pertahun. Waktu yang dihabiskan untuk menyaksikan berbagai tayangan<br />

media semakin lama, karena program TV yang ditayangkan pun semakin bervariasi.<br />

Semua itu merupakan konsekuensi logis dari perkembangan teknologi informasikomunikasi<br />

yang sangat pesat, sehingga berbagai peristiwa di berbagai belahan dunia<br />

dapat dinikmati dalam waktu yang bersamaan, saat berlangsungnya peristiwa itu, seperti<br />

siaran langsung pertandingan sepak bola. Media pun semakin signifikan pengaruhnya<br />

terhadap kehidupan masyarakat, seiring dengan makin bervariasinya berita-informasi,<br />

iklan dan hiburan yang diproduksi media, khususnya media Televisi.<br />

Mengingat banyak dimensi yang terkait dengan keberadaan media, maka materi<br />

bahasan ini akan difokuskan pada analisis teks media dan kedudukan audiens dengan<br />

menggunakan pendekatan cultural studies (CS). Pilihan pendekatan ini terutama dengan<br />

67


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

alasan bahwa pendekatan CS mengakomodasi sejumlah pendekatan dari berbagai disiplin<br />

ilmu sosial, seiring dengan kompleksitasnya dimensi (ekonomi, politik, sosial dan<br />

budaya) media itu sendiri, khususnya TV. Dengan demikian fenomena yang dianalisis<br />

diharapkan semakin tajam dan yang paling penting komprehensif.<br />

TIGA MODEL MEMAHAMI MEDIA<br />

Perhatian terhadap media dari perspektif CS terutama setelah perkembangan TV<br />

yang semakin mengglobal, sehingga berubah dari siaran pelayanan publik menuju ke arah<br />

TV komersial yang didominasi oleh korporasi multi-media sebagai suatu upaya<br />

menemukan sinergi dan konvergensi. Dengan perubahan tersebut kepentingan ekonomi<br />

politik terhadap media pun berkembang, dan pemahaman kita terhadap media hendaknya<br />

didasarkan pada kepentingan tersebut. Dalam konteks ini, Barker mencoba menawarkan<br />

3 model untuk memahami berita atau informasi yang disampaikan melalui media, yaitu:<br />

1. Model Manipulatif<br />

Dalam model ini media dilihat sebagi refleksi masyarakat yang didominasi kelas<br />

dan idiologi secara sadar yang disodorkan oleh pengendali alokatif. Hal ini sebagai<br />

konsekuensi langsung dan aktif dari terkonsentrasinya kepemilikan media di tangan<br />

orang-orang yang mapan, atau oleh manipulasi pemerintah dan tekanan informal lain.<br />

Meskipun ada banyak contoh manipulasi langsung atas berita, namun model ini dianggap<br />

terlalu kasar dalam konteks demokrasi plural barat. Kebebasan semu diberikan pada<br />

pengendali operasional dan atau wartawan, dan sejumlah kendala hukum dan pengaturan<br />

berita serta posisi penonton. Ringkasnya, model ini menggunakan kekuasaan ekonomi<br />

politik untuk mendominasi media, termasuk TV. Pada masa kekuasaan orde baru model<br />

manifulatif inilah yang banyak dikembangkan sebagai instrumen penguasa mengontrol<br />

media massa, khususnya melalui Departemen Penerangan dan PWI.<br />

2. Model Pluralis<br />

Model ini menyatakan bahwa kekuatan pasar yang mengarah pada pluralitas<br />

pasar dan aneka ragam suara yang mengarah kepada penonton yang berbeda. Jika terjadi<br />

konsentrasi pemilikan media, maka tidak terjadi kontrol kepemilikan karena adanya<br />

independensi staf profesional. Media dapat menayangkan satu isu, dan menyingkirkan isu<br />

lain dengan alasan bahwa penenton menentukan pilihannya berdasar pada mekanisme<br />

pasar. Hanya pemirsa yang sadar akan pandangan politik dan gaya presentasional media<br />

yang dapat memilih atau menonton acara yang disukai. Model ini tampaknya cukup<br />

68


Relasi Kuasa Antara Media Televisi yang Dominative‐Hegemonik vs Audiens yang Aktif‐Kritis<br />

M. Ridhah Taqwa<br />

demokratis, karena memberikan ruang terbuka bagi pemirsa untuk menentukan pilihan<br />

dari sejumlah alternatif stasiun dan siaran TV.<br />

3. Model Hegemonik<br />

Model ini cukup populer bagi Cultural Studies. Meskipun kebudayaan tertentu<br />

dapat dikonstruksi dalam berbagai ragam makna, namun suatu unsur makna berpotensi<br />

sebagai induk atau yang dominan. Proses penciptaan, pemeliharan dan reproduksi<br />

serangkaian makna inilah yang oleh Gramsci disebut hegemoni budaya. Hegemoni bukan<br />

diterima, melainkan dimenangkan dan terus dimenangkan dan dinegosiasikan ulang, dan<br />

selanjutnya menjadikan kebudayaan sebagai lahan konflik dan perjuangan untuk mencari<br />

makna. Dengan model hegemonik ini, idiologi berita bukan akibat intervensi langsung<br />

pemilik atau manipulasi secara sadar oleh wartawan, melainkan akibat rutinitas dan<br />

praktek kerja para staf. Wartawan berita mempelajari konvensi dan kode, bagaimana<br />

berbagai hal dilakukan, memproduksi idiologi sebagai suatu common sence.<br />

Menurut Zia dan van Loon ada 4 komponen dasar dari industri media yang<br />

mengemas pesan dan produk, yaitu : (1) pesan atau produk itu sendiri; (2) khalayak yang<br />

meneguk pesan dan mengkomsumsi produk; (3) teknologi yang selalu berubah, yang<br />

membentuk, baik industri maupun cara pesan tersebut dikomunikasikan; dan (4)<br />

penampakan akhir produk tersebut. Keempat komponen ini secara simultan berinteraksi<br />

di sekitar dunia sosial dan budaya, menempati ruang yang diperjuangkan secara terusmenerus.<br />

Jadi perubahan bentuk ruang budaya, pesan-produk dan proses jual beli akan<br />

menimbulkan pola dominasi dan representasi yang berbeda-beda. Dengan mengacu pada<br />

tiga model idiologi media dan empat komponen dasar industri media, akan dicoba untuk<br />

menganalisis sejumlah tema dan kemudian dihubungkan dengan posisi atau perilaku<br />

audiens, bersifat aktif atau pasif.<br />

Media sebagai Ruang Dominasi Kelas<br />

Sementara itu, jika model manipulatif yang berlaku maka kelas yang berkuasalah,<br />

baik secara ekonomi maupun politik yang terwakili kepentingannya dalam industri media.<br />

Mereka yang memiliki sumberdaya untuk mengontrol isi media, dan dengan kemampuan<br />

pengendalian alokatif ini, maka media dapat diintervensi untuk memuat atau tidak<br />

memuat materi tertentu di dalam media. Dengan demikian, model ini lebih<br />

mengandalkan power dibanding dengan kekuatan idiologis.<br />

69


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

Untuk mendalami lebih jauh tentang kemampuan suatu rezim mengontrol secara<br />

sistematis isi media, kita dapat berkaca pada masa pemerintahan orde baru, khususnya<br />

pada pengendalian bahasa media. Pada masa ini media (khususnya cetak) sering<br />

berurusan secara intensif dengan birokrasi. Hasil survai LP3Y pada tahun 1992 misalnya,<br />

menemukan bahwa 46% informasi yang dipublikasikan media cetak bersumber dari<br />

pemerintah, 39% dari masyarakat, komunitas politik dan bisnis, dan 15% dari berbagai<br />

sumber.<br />

Menurut Dakhidae tidak ada suatu periode dalam sejarah dimana suatu rezim<br />

memberi perhatian yang sangat besar terhadap bahasa, sebagaimana rezim orde baru.<br />

Rezim ini merasa perlu mengawasi bahasa dan memelihara semacam hukum atau aturan<br />

bagi perilaku linguistik. Kecenderungan kontrol berbahsa ini berlanjut terus hingga akhir<br />

kekuasaan orde baru meskipun dengan skala kecil dan terbatas. Menjelang runtuhnya<br />

kekuasaan orde baru, seorang penyiar SCTV (Ira Koesno) misalnya, sempat diskorsing<br />

setelah keceplosan bertanya yang dipandang mengusik dominasi kekuasaan orde baru<br />

dalam wawancara dengan Sarwono Kusumaatmaja.<br />

Media Sebagai Ruang Hegemonik<br />

Model hegemonik lebih halus karena dengan rutinitas dari praktek kerja para staf<br />

media yang telah melembaga sehingga kekuatan dominasi tersebut tidak lagi terasa. Jadi<br />

ada permain dibelakang layar yang tidak menunjukan penampakannya, namun<br />

pengaruhnya sangat kuat. Dengan demikian media dapat menjadi sarana bagi suatu<br />

kelompok mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain. Dalam konteks ini<br />

teori Gramsci tentang hegemoni layak dijadikan rujukan yang menekankan pada<br />

bagaimana penerimaan kelompok yang didominasi terhadap kehadiran kelompok yang<br />

dominan berlangsung dalam suatu proses yang damai, tanpa tindakan kekerasan.<br />

Antonio Gramsci yang mempopulerkan konsep hegemoni berpendapat bahwa<br />

kekuatan dan dominasi kapitalis tidak hanya melalui dimensi materail dari sarana<br />

ekonomi dan relasi produksi tetapi juga kekuatan (force) dan hegemoni. Yang pertama<br />

menggunakan daya paksa untuk membuat orang banyak mengikuti dan mematuhi syaratsyarat<br />

suatu cara produksi atau nilai-nilai tertentu, sedang yang kedua meliputi perluasan<br />

dan pelestarian ‘kepatuhan aktif’ (secara sukerala) dari kelompok yang didominasi oleh<br />

kelas penguasa lewat penggunaan kepemimpinan intelektual, moral dan politik. Dengan<br />

demikian proses hegemoni bekerja melalui cara kerja yang tampak wajar.<br />

70


Relasi Kuasa Antara Media Televisi yang Dominative‐Hegemonik vs Audiens yang Aktif‐Kritis<br />

M. Ridhah Taqwa<br />

Apa yang disebut sebagai nilai berita dalam kerja-kerja jurnalistik seringkali<br />

secara tidak sadar menggiring pada upaya untuk memarjinalkan kelompok bawah yang<br />

justru sudah menjadi korban. Kasus-kasus pemerkosaan dilayar kaca misalnya, seringkali<br />

menampakan sisi perempuan malang, seorang pekerja malam, janda cantik dan lainnya.<br />

Common sense lain yang berhubungan praktek kerja jurnalis adalah kecenderungan untuk<br />

menempatkan unsur dramatisasi dalam pemberitaan. Hal ini berhubungan dengan<br />

kebisaan untuk menampilkan apa yang menarik diberitakan bagi publik. Berita<br />

demonstrasi misalnya, yang ditampilkan adalah bentrokannya, bukan materi<br />

demonstrasinya.<br />

Perilaku Audiens: Aktif vs Pasif<br />

Ada dua arus pemikiran tentang perilaku audiens (massa). Di satu sisi ada yang<br />

memandang audiens bersifat aktif, sedang disisi lain ada pula yang memandang audien<br />

bersifat pasif. Kedua arus pemikiran ini sudah lama berdebat seru tentang, apakah benar<br />

audien benar-benar merupakan partner dialog yang relatif seimbang atau sebaliknya<br />

mereka telah menjadi korban yang relatif pasif dan akan menerima apa saja yang<br />

diberikan kepada mereka. Kunci perdebatan budaya ini berputar disekitar kemungkinan<br />

dialog dengan media yang pada kenyataannya ditransformasikan menjadi sesuatu yang<br />

lebih bersifat monolog. Dalam monolog seseorang berbicara untuk menapikan semua<br />

orang lain. Para audien tidak bisa memberikan respon, mereka hanya menyerap apa yang<br />

diberikan atau disodorkan oleh media.<br />

Adorno dan Horkheimer memberikan sebuah ekspresi bahwa dialog media betulbetul<br />

sebuah monolog pada pihak budaya industri. Selanjutnya keduanya mencoba<br />

merumuskan tiga persoalan tentang posisi audien dalam budaya industri pada buku<br />

Dialectic of Enlightenment, yaitu :<br />

1). Budaya industri melihat dan menciptakan audiens tunggal. Argumen ini<br />

mengisyaratkan bahwa budaya industri sendiri adalah budaya monolitik, maka<br />

audiens budaya industri juga akan monolitik pula;<br />

2). Audien monolitik yang tunggal dari budaya industri adalah massa yang pasif,<br />

mereka tidak aktif baik pada, maupun untuk diri mereka sendiri<br />

3). Dalam massa audien tunggal masing-masing individu merasa asing dengan<br />

individu lainnya. Keduanya menegaskan bahwa media komunikasi modern<br />

mempunyai dampak pengasingan; bukanlah sekedar paradoks intelektual.<br />

71


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

Berbeda dengan paradigma audiens pasif, kerangka kerja yang telah<br />

mendominasi penelitian terhadap penonton dalam tradisi cultural studies, yaitu paradigma<br />

audiens aktif. Tradisi ini menunjukkan bahwa penonton bukanlah orang bodoh secara<br />

kultural melainkan produsen makna aktif dalam konteks budaya mereka sendiri.<br />

Paradigma ini berkembang sebagai reaksi atas berbagai hasil kajian atas penonton dengan<br />

asumsi bahwa penonton TV memiliki karakter pasif dengan makna dan pesan TV yang<br />

diterima begitu saja. Banyak hasil penelitian yang memahami aktifitas penonton dalam<br />

konteks perilaku menyatakan bahwa penonton meniru kekerasan dalam televisi. Yang<br />

lain menggunakan korelasi statistik untuk membuktikan bahwa menonton TV memiliki<br />

efek tertentu.<br />

Para pendukung pendekatan audiens aktif berpendapat bahwa bukti-bukti<br />

perilaku penonton tidak sekedar inkonklusif dan kontradiktif. Penonton TV bukanlah<br />

massa yang tak terbedakan yang terdiri dari kumpulan individu dan terisolasi. Namun<br />

penonton adalah suatu aktivitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang<br />

terkait erat dengan makna. Audiens adalah produsen makna aktif dan tidak sekedar<br />

menerima begitu saja makna tekstual yang diidentifikasi oleh para kritikus. Mereka<br />

melakukannya berdasarkan atas kompetensi kultural yang dimiliki sebelumnya yang<br />

dibangun dalam konteks bahasa dan relasi social. Jadi paradigma audiens aktif<br />

merepresentasikan suatu perpindahan minat dari angka kepada makna, dari satu makna<br />

tekstual kepada makna tekstual lain, dari penonton umum ke penonton khusus.<br />

Akhirnya pendukung positif penonton TV dalam tradisi cultural studies<br />

menyimpulkan:<br />

72<br />

Penonton dikonsepsikan sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan<br />

pengetahuan luas, bukan produk dari teks yang distrukturkan;<br />

Makin terikat oleh cara teks distrukturkan dan oleh konteks demostik dan<br />

konteks budaya dalam menonton;<br />

Penonton perlu dipahami dalam konteks dimana mereka menonton TV dan<br />

kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas sehari-hari;<br />

Penonton dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas,<br />

mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat;


Relasi Kuasa Antara Media Televisi yang Dominative‐Hegemonik vs Audiens yang Aktif‐Kritis<br />

M. Ridhah Taqwa<br />

Proses konstruksi makna dan tempat TV dalam rutinitas bergeser dari<br />

kebudayaan yang satu ke kebudayaan lain, berubah dalam konteks kelas dan<br />

gender dalam komunitas budaya yang sama.<br />

Dengan semakin banyaknya stasiun penyiaran swasta, apakah kecenderungan itu<br />

berarti pemaknaan terhadap teks media/TV semakin berkurang, atau justru sebaliknya.<br />

Semakin banyak pilihan program bagi penonton, semakin banyak pula yang harus<br />

dimaknai. Apakah dengan semakin banyaknya stasiun penyiaran dan variasi program,<br />

audiens semakin pasif atau semakin aktif dan kritis untuk menyikapi dominasi dan<br />

hegemoni industri media? Fenomena inilah yang menarik dan masih perlu untuk dikaji<br />

lebih lanjut.<br />

SUMBER RUJUKAN<br />

Barker, Chris. 2005. Cultural Studiers, Teori dan Praktek. Kreasi Wacana. Yogjakarta.<br />

Eriyanto. 2005. Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media. Cetakan 4, LKIS.<br />

Yogjakarta.<br />

Horkheimer, Max dan Theodor W. Adorno. 1969. Dialectic of Enlightenment. The<br />

Seabury Press, New York.<br />

Harris, David. 1992. From Class Struggle to the Politics of Pleasure, the Effects of<br />

Granscianism on Cultural Studies. Routledge, London and New York.<br />

Kellner, Douglas. 1995. Media Culture: Cultural Studies, Identity and Politics between<br />

the Modern and the Postmodern. Routledge, London and New York.<br />

Latif, Yudi dan Idi Subandy Ibrahim, (editor). 1996. Bahasa dan kekuasaan: Politik<br />

Wacana di Panggung Orde Baru. Mizan, Bandung.<br />

Piliang, Yasraf A. 2004. Dunia yang dilipat, Tamasya Melampaui Batas-Batas<br />

Kebudayaan. Jalasutra, Yogyakarta.<br />

Sardar, Ziauddin dan Borin Van Loon. 2001. Cultural Studies for Beginners. Mizan,<br />

Bandung.<br />

Tester, Keith. 2003. Media, Budaya dan Moralitas. Juxtapose- Kreasi Wacana.<br />

Yogjakarta.<br />

http://rumputliar.wordpress.com/2009/02/25/review-kuliah-hari-ini-status-ontologisetnografi-media/<br />

Diunduh 25 September 2009.<br />

http://books.google.co.id/books?. Diunduh 25 September 2009.<br />

http://budiirawanto.multiply.com/journal/item/12/Media_dan_Anak_Sekadar-<br />

Mengelola_Kecemasan.<br />

73


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

http://www.virtual.co.id/blog/cyberpr/pergeseran-peran-agenda-setting-komunikasimassa-dan-apa-maknanya/<br />

http://www.lambah.net/index.php?option=com_content&task=view&id=58&Itemid=1<br />

74


Wacana Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember Tahun 2009 (75‐82)<br />

PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP (Life Skill Education) DAN<br />

KONTRIBUSINYA UNTUK KEMAJUAN BANGSA<br />

Muhamad Sehol<br />

(Mahasiswa Pendidikan Sains Program Pascasarjana Univ. Negeri Yogyakarta)<br />

(msehol@yahoo.com)<br />

Abstract:<br />

Dalam rancangan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) secara tersirat telah<br />

mengakomodasi kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada pencapaian<br />

kecakapan hidup bagi setiap peserta didik. Pengembangan tersebut<br />

menyangkut pengembagan dimensi manusia seutuhnya yaitu pada aspekaspek<br />

moral, akhlak, budi pekerti, pengetahuan, keterampilan, kesehatan, seni<br />

dan budaya. Pengembangan aspek-aspek tersebut bermuara pada<br />

peningkatan pengembangan kecakapan hidup yang diwujudkan melalui<br />

pencapaian kompetensi peserta didik untuk bertahan hidup serta<br />

menyesuaikan diri agar berhasil dalam kehidupan.<br />

Kata Kunci: Life, Skill, Education.<br />

PENDAHULUAN<br />

Konsep pendidikan kecakapan hidup atau life skill education telah menjadi<br />

wacana yang gencar dikumandangkan jajaran Departemen Pendidikan Nasional sejak<br />

beberapa tahun yang lalu, dan sampai hari ini telah menjadi suatu kebijakan pemerintah<br />

dalam bidang pendidikan. Dalam rancangan kurikulum berbasis kompetensi (KBK)<br />

secara tersirat telah mengakomodasi kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada<br />

pencapaian kecakapan hidup bagi setiap peserta didik. Hal ini diperkuat dengan terbitnya<br />

PP nomor 19 Tahun 2005 Pasal 13 dan Panduan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan<br />

(KTSP) yang dikeluarkan oleh BSNP, bahwa pada tingkat pendidikan dasar dan<br />

menengah atau sederajat dapat memasukkan pendidikan kecakapan hidup. Baik PP<br />

maupun dalam panduan BSNP tersebut tidak memberikan ketegasan bahwa sekolah<br />

diharuskan memasukkan pendidikan kecakapan hidup. Namun demikian, sekolah tetap<br />

diberi keleluasaan untuk mengimplementasikan pendidikan kecakapan hidup dalam<br />

proses pembelajaran. Hal inipun akan berimplikasi terhadap perlunya sekolah<br />

menyiapkan seperangkat pendukung pelaksanaan pembelajaran yang mengembangkan<br />

kegiatan-kegiatan yang berorientasi kepada kecakapan hidup.<br />

Pengembangan tersebut menyangkut pengembagan dimensi manusia seutuhnya<br />

yaitu pada aspek-aspek moral, akhlak, budi pekerti, pengetahuan, keterampilan,<br />

kesehatan, seni dan budaya. Pengembangan aspek-aspek tersebut bermuara pada<br />

75


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

peningkatan pengembangan kecakapan hidup yang diwujudkan melalui pencapaian<br />

kompetensi peserta didik untuk bertahan hidup serta menyesuaikan diri agar berhasil<br />

dalam kehidupan. Oleh karena itu, pendidikan kecakapan hidup dalam KTSP terintegrasi<br />

melalui kegiatan-kegiatan pembelajaran yang ada pada setiap mata pelajaran, sehingga<br />

tidak berdampak pada alokasi waktu yang ditetapkan.<br />

76<br />

Dalam paper ini, akan dikaji berbagai perspektif kecakapan hidup sebagai<br />

bagian dari upaya merespon dinamika ketersediaan SDM handal untuk menopang<br />

kemajuan bangsa, khususnya di bidang pendidikan.<br />

PENGERTIAN DAN KONSEP DASAR KECAKAPAN HIDUP<br />

Banyak pendapat dan literatur yang mengemukakan bahwa pengertian<br />

kecakapan hidup bukan sekedar keterampilan untuk bekerja (vokasional) tetapi memiliki<br />

makna yang lebih luas. WHO (1997) mendefinisikan bahwa kecakapan hidup sebagai<br />

keterampilan atau kemampuan untuk dapat beradaptasi dan berperilaku positif, yang<br />

memungkinkan seseorang mampu menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan dalam<br />

kehidupan secara lebih efektif. Kecakapan hidup mencakup lima jenis, yaitu: (1)<br />

kecakapan mengenal diri, (2) kecakapan berpikir, (3) kecakapan sosial, (4) kecakapan<br />

akademik, dan (5) kecakapan kejuruan.<br />

Barrie Hopson dan Scally (1981) mengemukakan bahwa kecakapan hidup<br />

merupakan pengembangan diri untuk bertahan hidup, tumbuh, dan berkembang,<br />

memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan berhubungan baik secara individu,<br />

kelompok maupun melalui sistem dalam menghadapi situasi tertentu. Sementara Brolin<br />

(1989) mengartikan lebih sederhana yaitu bahwa kecakapan hidup merupakan interaksi<br />

dari berbagai pengetahuan dan kecakapan sehingga seseorang mampu hidup mandiri.<br />

Pengertian kecakapan hidup tidak semata-mata memiliki kemampuan tertentu<br />

(vocational job), namun juga memiliki kemampuan dasar pendukung secara fungsional<br />

seperti: membaca, menulis, dan berhitung, merumuskan dan memecahkan masalah,<br />

mengelola sumber daya, bekerja dalam kelompok, dan menggunakan teknologi<br />

(Dikdasmen, 2002).<br />

Konsep kecakapan hidup sejak lama menjadi perhatian para ahli dalam<br />

pengembangan kurikulum. Tyler (1947) dan Taba (1962) misalnya, mengemukakan<br />

bahwa kecakapan hidup merupakan salah satu fokus analisis dalam pengembangan<br />

kurikulum pendidikan yang menekankan pada kecakapan hidup dan bekerja.


Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education)<br />

dan Kontribusinya untuk Kemajuan Bangsa<br />

Muhamad Sehol<br />

Pengembangan kecakapan hidup itu mengedepankan aspek-aspek berikut: (1)<br />

kemampuan yang relevan untuk dikuasai peserta didik, (2) materi pembelajaran sesuai<br />

dengan tingkat perkembangan peserta didik, (3) kegiatan pembelajaran dan kegiatan<br />

peserta didik untuk mencapai kompetensi, (4) fasilitas, alat dan sumber belajar yang<br />

memadai, dan (5) kemampuan-kemampuan yang dapat diterapkan dalam kehidupan<br />

peserta didik. Kecakapan hidup akan memiliki makna yang luas apabila kegiatan<br />

pembelajaran yang dirancang memberikan dampak positif bagi peserta didik dalam<br />

membantu memecahkan problematika kehidupannya, serta mengatasi problematika<br />

hidup dan kehidupan yang dihadapi secara proaktif dan reaktif guna menemukan solusi<br />

dari permasalahannya (Dikdaksmen, 2002).<br />

Berdasarkan pernyataan di atas, sekolah/daerah memiliki kewenangan yang luas<br />

untuk mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan kondisi peserta<br />

didik, keadaan sekolah, potensi dan kebutuhan daerah. Berkenaan dengan itu, Indonesia<br />

yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang memiliki keanekaragaman<br />

multikultur (adat istiadat, tata cara, bahasa, kesenian, kerajinan, keterampilan daerah, dll)<br />

merupakan ciri khas yang memperkaya nilai-nilai kehidupan bangsa. Keanekaragaman<br />

harus selalu dilestarikan dan dikembangkan dengan tetap mempertahankan nilai-nilai<br />

luhur bangsa Indonesia melalui upaya pendidikan kecakapan hidup. Pengenalan keadaan<br />

lingkungan, sosial, dan budaya kepada peserta didik memungkinkan mereka untuk lebih<br />

mengakrabkan dengan lingkungan kehidupan peserta didik. Pengenalan dan<br />

pengembangan lingkungan melalui pendidikan diarahkan untuk menunjang peningkatan<br />

kualitas sumber daya manusia, dan pada akhirnya diarahkan untuk meningkatkan<br />

kompetensi peserta didik.<br />

Kebijakan yang berkaitan dengan dimasukkannya program pendidikan<br />

kecakapan hidup dalam Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL)<br />

dilandasi kenyataan bahwa dalam pendidikan tidak hanya mengejar pengetahuan semata<br />

tetapi juga pada pengembangan keterampilan, sikap, dan nilai-nilai tertentu yang dapat<br />

direfleksikan dalam kehidupan peserta didik. Sekolah tempat program pendidikan<br />

dilaksanakan merupakan bagian dari masyarakat. Oleh karena itu, program pendidikan<br />

kecakapan hidup di sekolah perlu memberikan wawasan yang luas pada peserta didik<br />

mengenai keterampilan-keterampilan tertentu yang berkaitan dengan pengalaman peserta<br />

didik dalam keseharian pada lingkungannya. Untuk memudahkan pelaksanaan program<br />

pendidikan kecakapan hidup diperlukan adanya model pengembangan yang bersifat<br />

umum untuk membantu guru/sekolah dalam mengembangkan muatan kecakapan hidup<br />

77


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

dalam proses pembelajaran. Pendidikan kecakapan hidup bukan merupakan mata<br />

pelajaran yang berdiri sendiri melainkan terintegrasi melalui matapelajaran-<br />

matapelajaran, sehingga pedidikan kecapakan hidup dapat merupakan bagian dari semua<br />

mata pelajaran yang ada.i samping itu perlu kesadaran bersama bahwa peningkatan mutu<br />

pendidikan merupakan komitmen untuk meningkatkan mutu sumberdaya manusia, baik<br />

sebagai pribadi maupun sebagai modal dasar pembangunan bangsa, dan pemerataan daya<br />

tampung pendidikan harus disertai dengan pemerataan mutu pendidikan sehingga<br />

mampu menjangkau seluruh masyarakat.<br />

KONSEP KECAKAPAN HIDUP<br />

78<br />

Menurut konsepnya, kecakapan hidup dapat dibagi menjadi dua jenis utama,<br />

yaitu: (i) Kecakapan hidup generik (generic life skill/GLS), dan (ii). Kecakapan hidup<br />

spesifik (specific life skill/SLS).<br />

Masing-masing jenis kecakapan itu dapat dibagi menjadi sub kecakapan.<br />

Kecakapan hidup generik terdiri atas kecakapan personal (personal skill), dan kecakapan<br />

sosial (social skill). Kecakapan personal mencakup kecakapan dalam memahami diri<br />

(self awareness skill) dan kecakapan berpikir (thinking skill). Kecakapan mengenal diri<br />

pada dasarnya merupakan penghayatan diri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa,<br />

sebagai anggota masyarakat dan warga negara, serta menyadari dan mensyukuri<br />

kelebihan dan kekurangan yang dimiliki sekaligus sebagai modal dalam meningkatkan<br />

dirinya sebagai individu yang bermanfaat bagi lingkungannya. Kecapakan berpikir<br />

mencakup antara lain kecakapan mengenali dan menemukan informasi, mengolah, dan<br />

mengambil keputusan, serta memecahkan masalah secara kreatif. Sedangkan dalam<br />

kecakapan sosial mencakup kecakapan berkomunikasi (communication skill) dan<br />

kecakapan bekerjasama (collaboration skill).<br />

Kecakapan hidup spesifik adalah kecakapan untuk menghadapi pekerjaan atau<br />

keadaan tertentu. Kecakapan ini terdiri dari kecakapan akademik (academic skill) atau<br />

kecakapan intelektual, dan kecakapan vokasional (vocational skill). Kecakapan akademik<br />

terkait dengan bidang pekerjaan yang lebih memerlukan pemikiran atau kerja intelektual.<br />

Kecakapan vokasional terkait dengan bidang pekerjaan yang lebih memerlukan<br />

keterampilan motorik. Kecakapan vokasional terbagi atas kecakapan vokasional dasar<br />

(basic vocational skill) dan kecakapan vokasional khusus (occupational skill).


Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education)<br />

dan Kontribusinya untuk Kemajuan Bangsa<br />

Muhamad Sehol<br />

Menurut konsep di atas, kecakapan hidup adalah kemampuan dan keberanian<br />

untuk menghadapi problema kehidupan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari<br />

dan menemukan solusi untuk mengatasinya. Apabila hal ini dapat dicapai, maka<br />

ketergantungan terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan, yang berakibat pada<br />

meningkatnya angka pengangguran, dapat diturunkan, yang berarti produktivitas<br />

nasional akan meningkat secara bertahap. Konsep kecakapan hidup sebagaimana telah<br />

dijelaskan di atas, dapat diilustrasikan sebagai berikut :<br />

Gambar 1. Konsep kecakapan hidup<br />

PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP DAN STANDAR ISI<br />

Pendidikan kecakapan hidup sudah menjadi suatu kebijakan seiring dengan<br />

berlakunya Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan. Standar isi dan standar<br />

kompetensi lulusan tersebut menjadi acuan daerah/sekolah dalam mengembangkan<br />

kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) pada masing-masing jenjang pendidikan.<br />

Oleh karena itu, pengembangan kecakapan hidup dengan sendirinya harus mengacu<br />

kepada standar-standar yang telah ditetapkan pemerintah. Standar isi dan standar<br />

kompetensi lulusan merupakan salah satu bagian dari Standar Nasional Pendidikan.<br />

Standar isi terdiri dari: ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan<br />

dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata<br />

pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh satuan pendidikan.<br />

Dokumen standar isi mencakup: (1) kerangka dasar kurikulum, (2) struktur kurikulum,<br />

(3) standar kompetensi dan kompetensi dasar, (4) beban belajar, dan (5) kalender<br />

pendidikan.<br />

79


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KECAKAPAN<br />

HIDUP<br />

80<br />

Keberhasilan pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup sangat ditentukan oleh<br />

program/rancangan yang disusun sekolah dan kreativitas guru dalam merumuskan dan<br />

menentukan metode pembelajarannya. Langkah-langkah yang ditempuh dalam<br />

penyusunan program pembelajaran sebagai berikut:<br />

berikut:<br />

1. Mengidentifikasi standar kompetensi dan kompetensi dasar<br />

2. Mengidentifikasi bahan kajian/materi pembelajaran<br />

3. Mengembangkan indikator<br />

4. Mengembangkan kegiatan pembelajaran yang bermuatan kecakapan hidup<br />

5. Menentukan bahan/alat/sumber yang digunakan<br />

6. Mengembangkan alat penilaian yang sesuai dengan aspek kecakapan hidup<br />

Pendidikan kecakapan hidup dikembangkan dengan memperhatikan beberapa hal<br />

1. Pembentukan kepribadian peserta didik secara utuh baik keimanan, ketaqwaan,<br />

dan akhlak mulia<br />

2. Mengakomodasi semua mata pelajaran untuk dapat menunjang peningkatan iman<br />

dan takwa serta akhlak mulia, serta meningkatkan toleransi dan kerukunan antar<br />

umat beragama dengan mempertimbangkan norma-norma agama yang berlaku<br />

3. Memungkinkan pengembangan keragaman potensi, minat dan bakat, kecerdasan<br />

intelektual, emosional, spiritual, dan kinestetik peserta didik secara optimal sesuai<br />

dengan tingkat perkembangannya<br />

4. Sesuai tuntutan dunia kerja dan kebutuhan kehidupan Program kecakapan hidup<br />

hendaknya memungkinkan untuk membekali peserta didik dalam memasuki<br />

dunia kerja/usaha serta relevan dengan kebutuhan kehidupan sesuai dengan<br />

tingkat perkembangan peserta didik<br />

5. Kecakapan-kecakapan yang perlu dikembangkan mencakup: kecakapan personal,<br />

sosial, akademis, dan vokasional<br />

6. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni<br />

7. Mempertimbangkan lima kelompok mata pelajaran berikut:<br />

a) Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia<br />

b) Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian<br />

c) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi<br />

d) Kelompok mata pelajaran estetika<br />

e) Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan<br />

Semua dimensi kecakapan hidup secara berkelanjutan harus dimiliki oleh peserta<br />

didik sejak TK hingga sekolah menengah, dan bahkan perguruan tinggi sekalipun. Akan


Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education)<br />

dan Kontribusinya untuk Kemajuan Bangsa<br />

Muhamad Sehol<br />

tetapi dalam praktik pengembangannya, penekanan pendidikan kecakapan hidup tetap<br />

mempertimbangkan tingkat perkembangan peserta didik sesuai dengan jenis dan jenjang<br />

pendidikan. Kecakapan hidup pada TK dan sekolah dasar (SD) berbeda dengan sekolah<br />

menengah pertama (SMP), demikian pula kecakapan hidup pada sekolah menengah<br />

pertama berbeda dengan sekolah menengah atas (SMA), bergantung kepada tingkat<br />

perkembagan psikologis dan fisiologis peserta didik. Gambar berikut ini merupakan<br />

contoh dominasi pendidikan kecakapan hidup pada jenis/jenjang pendidikan TK/SD/<br />

SMP, SMA, dan SMK.<br />

PENEKANAN PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP DI TIAP JENJANG<br />

PENDIDIKAN<br />

Secara umum dapat dikatakan bahwa pendidikan kecakapan hidup yang<br />

diberikan sampai dengan jenjang sekolah menengah lebih berorientasi pada upaya<br />

mempersiapkan peserta didik menghadapi era informasi dan era globalisasi. Pada intinya<br />

pendidikan kecakapan hidup ini membantu dan membekali peserta didik dalam<br />

pengembangan kemampuan belajar, menyadari dan mensyukuri potensi diri, berani<br />

menghadapi problema kehidupan, serta mampu memecahkan persoalan secara kreatif.<br />

Pendidikan kecakapan hidup bukan mata pelajaran baru, akan tetapi sebagai alat dan<br />

bukan sebagai tujuan. Penerapan konsep pendidikan kecakapan hidup terkait dengan<br />

kondisi peserta didik dan lingkungannya seperti substansi yang dipelajari, karakter<br />

peserta didik, kondisi sekolah dan lingkungannya.<br />

Lebih lanjut penekanan pembelajaran kecakapan hidup pada masing-masing<br />

jenjang dapat digambarkan sebagai berikut:<br />

TK SD SMP SMA Si S2 dst<br />

Gambar 2. Penekanan pembelajaran kecakapan hidup pada masing-masing jenjang<br />

Gambar di atas menunujukkan penekanan porsi pembelajaran antara kecakapan<br />

hidup dan substansi mata pelajaran yang ada di masing-masing jenjang pendidikan. Pada<br />

jenjang TK/SD/SMP, porsi kecakapan hidup sangat besar dan porsi substansi mata<br />

pelajaran masih kecil. Sedangkan pada jenjang SMA, porsi kecakapan hidup makin<br />

berkurang dan substansi mata pelajaran semakin bertambah. Begitu pula pada jenjang S1<br />

dan S2, porsi kecakapan hidup semakin berkurang karena porsi akademik semakin besar.<br />

81


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

PELAKSANAAN PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP<br />

82<br />

Pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup terintegrasi dengan beragam mata<br />

pelajaran yang ada di semua jenis dan jenjang pendidikan. Misalnya pada mata pelajaran<br />

Matematika yang mengintegrasikan pendidikan kecakapan hidup di dalamnya, selain<br />

mengajarkan peserta didik agar pandai matematika, juga pandai memanfaatkannya dalam<br />

kehidupan sehari-hari, seperti: membaca data, menganalisis data, membuat kesimpulan,<br />

mempelajari ilmu lain, dan sebagainya.<br />

LIFE SKILL DALAM APLIKASINYA MENGATASI PENGANGGURAN<br />

a) Community College<br />

Dalam rangka menampung anak putus sekolah SLTP/MTs dan tamatan<br />

SMU atau MA dan yang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi maka perlu<br />

dikembangkan lembaga pendidikan pelatihan yang dapat memberikan kecakapan<br />

vocational yang disebut sebagai community college.<br />

b) Profil kecakapan Vokasional yang berkembang di masyarakat<br />

1. Prrofil Life Skill yang dikembangkan oleh SMK<br />

SMK melalui penerapan kurikulum mengmbangkan Kejuruan terkesan<br />

hanya terkonsentrasi pada kejuruan tertentu seperti teknologi bisnis dan<br />

manajemen.<br />

2. Prrofil Life Skill yang dikembangkan oleh Balai Latihan Kerja<br />

BLK mengembangkan Latihan Kerja UKM Seperti : Teknologi mekanik,<br />

otomotif, listrik, konstruksi tata niaga dan aneka pertanian .<br />

3. Profil Kecakapan Vokasional yang dikembangkan lembaga pendidikan dan<br />

pelatihan<br />

c) Pengembangan life skill pada SMU yang berkeunggulan khusus<br />

Penyelenggaraan SMU berwawasan khusus dengan asumsi bahwa<br />

pendidikan di SMU tidak hanya berorientasi pada academic skillnya tetapi juga<br />

penguasaan keterampilan kejuruan tertentu. Hal karena banyak lulusan SMU<br />

(46,9%) tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi. Dengan demikian<br />

pengembangan SMU berkeunggulan khusus akan menciptakan output yang<br />

memiliki kmampuan ganda.<br />

SUMBER RUJUKAN<br />

Balitbang Puskur 2008, Model pendidikan life skill, Jakarta : Depdiknas<br />

Anwar (2006), Pendidikan Kecakapan Hidup, Bandung : Alfa Beta


Wacana Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember Tahun 2009 (83‐88)<br />

EKSISTENSI KESENDIRIAN AFASIA - DUNIA TANPA KATA DAN SIMBOL -<br />

DALAM KESENDIRIAN EMOSIONAL DAN KESENDIRIAN SOSIAL<br />

(Teori Ego Psikologi Freud dan Teori Fenomenologi Husserl)<br />

Musdalifah Dachrud<br />

(Staf Pengajar STAIN Manado)<br />

(iffah_dachrud@yahoo.com)<br />

Abstract:<br />

Bertambahnya jumlah gangguan peredaran darah otak (CDV) atau istilah<br />

medis lain cedera pembulu darah otak (CVA) dan trauma kapitis,<br />

mmengindikasikan jumlah kasus dengan gejala sisa neurologik juga makin<br />

meningkat. Gejala sisa elementer yang paling menyolok adalah hemiparesis<br />

dan gejala sisa fungsi luhur yang paling banyak adalah afasia. Pada kasus<br />

CVD/CVA, kemungkinan seorang pasien menderita afasia adalah 25%,<br />

karena separuhnya menderita hemiparesis dekstra dan separuh dari ini<br />

mungkin menderita afasia.<br />

Kata Kunci: Afasia, Kesendirian, emosional, social.<br />

PENDAHULUAN<br />

The Agency for Health Care Policy and Research Post-Stroke Rehabilitation<br />

Clinical Practice Guidelines mendefinisikan afasia sebagai hilangnya kemampuan untuk<br />

berkomunikasi dengan lisan bahkan isyarat, atau secara tertulis atau ketidakmampuan<br />

untuk memahami komunikasi tersebut atau hilangnya kemampuan berbahasa (Gresham,<br />

1995).<br />

Darley (1982) mengemukakan bahwa afasia biasanya melukiskan tentang suatu<br />

kerusakan atau pelemahan bahasa akibat terjadinya cedera otak pada area dominan bahasa<br />

cerebral hemisphere.<br />

Afasia dapat terjadi mengikuti stroke dan traumatic brain injury, dan dapat pula<br />

dihubungkan dengan penyakit yang mempengaruhi unsur dan fungsi otak (Nadau et al.,<br />

2000)<br />

Definisi lain mengungkapkan afasia dicirikan sebagai permasalahan bahasa dan<br />

cognitive communication yang berhubungan denngan kerusakan otak lainnya seperti<br />

dementia, dan traumatic brain injury (Orange, 1998). Bagaimanapun, penjelasan terhadap<br />

afasia tidak sederhana semata-mata sebagai kekacauan berbahasa, melainkan sebagai<br />

suatu kesatuan klinis yang kompleks.<br />

83


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

Secara klinis Kertezs (1979) menguraikan afasia sebagai bagian dari neurology<br />

dimana gangguan terjadi pada pusat bahasa yang ditandai oleh paraphasias, kesukaran<br />

menemukan kata-kata, pemahaman yang berbeda dan berubah lemah, berkaitan puala<br />

dengan gangguan membaca dan menulis yang lazim seperti dysarthria, konstruksi nonverbal,<br />

kesulitan menyelesaikan masalah serta kelemahan dalam memberi dan merespon<br />

melalui isyarat (impairment of gasture).<br />

Penderita afasia dalam psikologi dikategorikan dalam developmental<br />

psychopathology. Perkembangan kehidupan mereka berbeda dengan individu normal<br />

lainnya. Beberapa kajian tentang penderita afasia lebih banyak dikaitkan dengan<br />

neurologi atau neurolinguistik (Fabbro, 2001). Sehingga menjadi motivasi tersendiri<br />

untuk mengadakan pengkajian yang berbeda dengan kajian yang telah ada sebelumnya.<br />

Tulisan ini akan lebih difokuskan pada kajian fenomena psikologis penderita afasia yang<br />

terasing dalam kesendirian karena kehilangan dunia kata dan simbol yang pernah<br />

dimilikinya<br />

KESENDIRIAN TANPA KATA DAN SIMBOL<br />

Hidup tanpa perantara komunikasi baik kata maupun simbol dengan dunia diluar<br />

diri ibarat keterasingan hidup akibat putusnya jembatan yang menghubungkan. Dunia<br />

diam tanpa stimulus dan respon, itulah yang dirasakan oleh para penderita afasia.<br />

Dampak dari kerusakan berbahasa adalah pada kehidupan interpersonal, dengan<br />

kemampuan seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain. Interaksi mengisyaratkan<br />

simbol-simbol dan tanda-tanda yang mengartikan suatu hal sebagai persetujuan pada<br />

konteks kultur tertentu (Charon, 1989). Kata-kata, uang, tanda-tanda dan banyak ekspresi<br />

non verbal lainnya seperti mengangguk untuk ya dan menggeleng untuk tidak adalah<br />

contoh dari simbol-simbol. Untuk tujuan berkomunikasi, harus digunakan simbol-simbol<br />

yang sesuai yang diterima sebagai pembawa arti dalam masyarakat. Komunikasi juga<br />

melibatkan kemampuan memacu sebuah arti tertentu dalam pikiran orang lain dan<br />

memahami apa yang ingin disampaikan oleh orang lain. Dan bagi afasia, kesulitan yang<br />

parah adalah hilangnnya simbol-simbol yang penting untuk bahasa. Bukan hanya kata<br />

lisan atau tulisan yang hilang dan tidak memiliki arti, tetapi juga simbol-simbol<br />

pelengkap seperti mengangguk dan menggeleng, mengenali ekspresi kesenangan atau<br />

kesedihan ataukah suara yang meninggi dalam kemarahan.<br />

84


Eksistensi Kesendirian Afasia‐Dunia Tanpa Kata dan Simbol<br />

Dalam Kesendirian Emosional dan Kesendirian Sosial<br />

Musdalifah Dachrud<br />

Akibat gangguan kemampuan untuk simbolisasi, eksistensi yang paling serius<br />

dari afasia muncul dalam wujud kesendirian, perasaan malu, tersingkir, sikap dan<br />

pengalaman dengan orang lain menjadi berubah menjadi kegagalan.<br />

KESENDIRIAN SOSIAL<br />

Menjadi bagian dari orang lain adalah hal yang didambakan oleh setiap orang.<br />

Siapapun akan membutuhkan dan berkeinginan untuk merasakan secara menyeluruh<br />

dalam dirinya bahwa ia adalah orang yang memiliki arti atau hidupnya bermakna bagi<br />

orang lain (Zammuner, 2008). Terasing dari kehidupan bertetangga, bersahabat,<br />

berkenalan, atau kontak sosial lainnya merupakan kesendirian dalam dunia sosial (Nolen,<br />

2006; Caciappo, 2002 dan Vandewater, 1997). Sebagaimana halnya keberadaan penderita<br />

afasia yang memperjuangkan kembalinya kemampuan berbahasa yang pernah begitu<br />

mudah mengantarkannnya dalam berkomunikasi.<br />

Perasaan kesendirian, terkurung dalam tubuh, muncul sebagai hal yang<br />

menciptakan jarak dengan orang lain. Ketidakmampuan mengenali siapa lawan bicara,<br />

situasi saat berbicara, dimana berbicara karena ketidakmampuan berkomunikasi dengan<br />

lancar. Terjadi kesalah pahaman dalam berkomunikasi mengakibatkan identitas diri<br />

sepertinya menghilang dan menganggap diri sebagai orang cacat. Tidak tahu akan diri<br />

dan tidak mampu mempertahankan harga diri membuat mudah dalam menilai buruk<br />

terhadap maksud-maksud baik orang lain. Kesendirian pun semakin diperkuat saat orang<br />

lain mengabaikan dan tidak peduli dengan komunikasi yang dilakukan dengan<br />

mengisolasi diri. Berbagai kondisi sulit itu memunculkan perasaan-perasaan keterasingan<br />

yang mencakup kehidupan internal dan dunia sekitar (Van der Gaag, 2005).<br />

KESENDIRIAN EMOSIONAL<br />

Komunikasi verval tiba-tiba berhenti (afasia Broca) atau dapat berbicara lancar<br />

namun tidak masuk akal (afasia Wernicke). Menemukan diri sendiri dalam situasi seperti<br />

ini pada umumnya diterima sebagai pengalaman yang menakutkan sebagai akibat yang<br />

berhubungan dengan perasaan-perasaan terkejut dan takut. Bahkan ada yang bingung dan<br />

tidak dapat bertindak secara rasional. Gejolak pun muncul karena ketidakmampuan<br />

untuk menerima bahwa diri tidak dapat berbicara.<br />

Penderita afasia yang mengalami depresi saat menemukan dirinya sebagai orang<br />

yang afasia akan mengalami pengurangan kepercayaan diri, yang dapat merubah citra<br />

85


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

dirinya (Tenner, Gerstenberger dan Keller, 1989). Pengalaman depresi lebih lanjut akan<br />

dapat mempengaruhi motivasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan kebebasan<br />

fungsional, karena kegagalan untuk ikut berpartisipasi dalam komunitas akibat<br />

kemampuan verbal yang rusak, sering menghasilkan perasaan-perasaan kesendirian dan<br />

isolasi. (Wahrborg, 1991).<br />

KONSEP ISOLASI DALAM TEORI EGO PSIKOLOGI FREUD<br />

Konsep dari ego psikologi digunakan oleh pakar ego psikologi (Freud, 1966;<br />

Blanck dan Blanck, 1974) untuk menjelaskan proses-proses mental dimana perasaanperasaan<br />

terpisah dari pikiran. Isolasi sebagai sebuah karakteristik personal dalam<br />

kenyataanya dapat menjadi hal yang problematis, tetapi disisi lain juga merupakan sebuah<br />

sumber penting dalam momen-momen ancaman dan panik. Isolasi perasaan-perasaan<br />

sepertinya menjadi kemungkinan yang dapat mengesampingkannya untuk bertindak<br />

dalam suatu cara yang rasional. Orang akan menjadi sadar akan afasianya saat dia sedang<br />

sendiri dirumah, atau ditempat rehabilitasi saat perawat meninggalkannya sendiri.<br />

Kemampuan pengetahuannya dengan segera menunjukkan bahwa dia harus menekan<br />

perasaannya untuk mendapatkan bantuan orang lain dan memakai kemampaun isolasi dan<br />

rasionalitasnya sebagai sebuah strategi sadar. Hal ini berlawanan dengan teori mekanisme<br />

pertahanan psikologi tidak sadar dimana menghadapinya dengan penyingkapan dan<br />

pembebasan perasaan-perasaan tertekan yang telah diasingkan pada bagian pikiran yang<br />

berbeda (Breuer dan Freud, 1895)<br />

TEORI FENOMENOLOGI HUSSERL<br />

Teori fenomenologi dari intensionalitas membantu memahami penangkapan<br />

realitas non verbal dan pre reflektif semacam ini. Dengan memakai konsep<br />

“intensionalitas”, Husserl tidak meragukan tentang kekuatan bawaan dari apa yang<br />

disebut sebagai “sikap alami” yaitu “terbenam setiap hari dalam keberadaan dan<br />

pengalaman seseorang, dimana kita meremehkan bahwa dunia adalah seperti apa yang<br />

kita terima, dan bahwa orang lain mengalami dunia seperti yang kita alami” (Husserl,<br />

1970; Dahlberg et al., 2001). Dalam tindakan intensionalitas, kita tidak merefleksikan<br />

secara kritis, kita hanya ada dalam dunia keseharian dimana kita tinggal.<br />

Saat terjadi afasia, maka terjadi kehilangan kemampuan untuk bergerak dari<br />

sebuah sikap alami ke sebuah sikap yang lebih reflektif. Dunia sekitar dipahami dalam<br />

86


Eksistensi Kesendirian Afasia‐Dunia Tanpa Kata dan Simbol<br />

Dalam Kesendirian Emosional dan Kesendirian Sosial<br />

Musdalifah Dachrud<br />

cara yang sama seperti udara yang dihirup. Jelas tidak perlu untuk menganalisa<br />

pengalaman-pengalaman yang sudah ada selama tidak memiliki akses pada kata-kata.<br />

Apakah mungkin untuk mengenali realita secara intensional tanpa kata-kata?<br />

Menurut Marleau-Ponty (1989), salah satu pengikut Husserl, kesimpulan semacam ini<br />

sepertinya tidak masuk akal. Kata-kata bukanlah sebuah prasyarat untuk pemikiran.<br />

Sebaliknya pemikiran adalah prasyarat untuk bahasa.<br />

Kata tidaklah tanpa arti, karena dibalik dunia ada sebuah operasi kategorial, tapi<br />

arti ini adalah sesuatu yang tidak dimiliki kata dan tidak memiliki, karena kata<br />

dipikirkan baru memiliki arti, kata tetap menjadi sebuah wadah kosong. Ini<br />

hanyalah sebuah fenomena artikulasi suara, atau kesadaran akan fenomena<br />

semacam itu, tapi dalam setiap kasus bahasa ini terjadi, tapi merupakan sebuah<br />

penyertaan eksternal dari pemikiran (Marleau Ponty, 1989, h. 177).<br />

Lebih lanjut satu aspek dari intensionalitas adalah kemampuan untuk berpikir<br />

keseluruhan, tanpa kata-kata segera setelah terserang afasia. Pasien afasia tidak hanya<br />

menangkap dan mengenali realitanya, tetapi juga selanjutnya akan terkejut dengan<br />

ketenangan dan juga kemampuannya untuk menangani situasi akut. Bahkan yang<br />

memiliki elemen-elemen yang kuat, seperti pada afasia impresif akan ingat dan mampu<br />

menjelaskan tahap akut, meskipun terdapat fakta bahwa ada kebingungan ketika ini<br />

muncul.<br />

Oleh karena itu, afasia tidak menurunkan persepsi atau kemampuan cepat untuk<br />

mengenali sesuatu sebagai sesuatu, namun sebaliknya; tindakan intensionalitas muncul<br />

sebagai sebuah pengalaman yang lebih kuat daripada sebelumnya katika kata-kata hilang<br />

yang diinterpretasikan sebagai sebuah “bahasa meta”, sebuah bahasa non verbal dan<br />

tenang, tersembunyi dibalik bahasa verbal dan tidak dapat diakses oleh seseorang yang<br />

dapat berbicara. “Bahasa meta” adalah arti yang sempurna dan lengkap, terdiri dari<br />

keseluruhan arti. Arti ini dipahami sebagai kebenaran yang absolut, tidak lagi<br />

mempertimbangkan pilihan-pilihan atau alternatif-alternatif lainnya, karena makna sudah<br />

ada.<br />

Dalam proses ini, bahasa tidak dianggap sebagai sebuah kumpulan aturan-aturan<br />

yang pasti. Keajaiban nyata dari bahasa akan ditemukan ketika pasien afasia menemukan<br />

arti dalam kata-kata orang lain dan mampu mengekspresikan arti sendiri.<br />

87


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

DAFTAR RUJUKAN<br />

Blanck, G., & Blanck, R. (1974). Ego psychology _/ Theory and Practice. New York:<br />

Columbia University Press.<br />

Brindley, P., Copeland M., Demain C., and Martin P. (1989). A comparison of the<br />

speech of ten chronic Broca’s aphasics following intensive and non intensive<br />

periods of therapy. Aphasiology, 3:695-479.<br />

Charon, J. M. (1989). Symbolic Interactionism. An Introduction, an Interpretation, an<br />

Integration. Englewood Cliffs: Prentice Hall.<br />

Dahlberg, K., Drew, N., & Nystro¨m, M. (2001). Reflective Lifeworld Research. Lund:<br />

Studentlitteratur.<br />

Darley, FL. (1982). Aphasia. Philadelphia, Pa: WB Saunders.<br />

Ferro, J. M., & Madureira, S. (1997). Aphasia. Type, Age and Cerebral Infarct<br />

Localisation. Journal of Neurology, 244, 505_/509.<br />

Freud, A. (1966). The writings of Anna Freud. Vol II The ego and the mechanism of<br />

defence. New York: International Hallmark Press.<br />

Kertesz, A. (1979). Aphasia and Associated Disorders: Taxonomy, Localization and<br />

Racovery. Naw York: Grune and Startton.<br />

Laska, A. C., Hellbom, A., Murray, V., Kahan, T., & von Arbin, M. (2001). Aphasia in<br />

Acute Stroke and Relation to Outcome. Journal of Internal Medicine, 24, 413-<br />

422.<br />

Merleau-Ponty, M. (1989). Phenomenology of Perception. Translated by Colin Smith.<br />

London: Routledge.<br />

Nadeau, S., Rothi, L. J. G., & Crosson, B. (2000). Preface. In S. Nadeau, L. J. G. Rothi,<br />

& B. Crosson (Eds.), Aphasia and language: Theory to practice. New York:<br />

Guilford Press.<br />

Nolen-Hoeksema, S., Ahrens, C. (2002). Age, Differences and Similarities in the<br />

Correlates of Depressive Symptoms. Psychology and Aging, 17 (I), 116-124.<br />

Orange, JB., and Kertesz A. (1998). Efficacy of language therapy for aphasia. In:<br />

Physical Medicine and Rehabilitation: State of the Art Reviews. Philadelphia,<br />

Pa: Hanley-Belfus, Inc; :501–517.<br />

Poeck, K., Huber W., and Willmes K. (1989). Outcome of intensive language treatment<br />

in aphasia. Journal Speech Hear Disorder, 54:471–479<br />

Teasell, R., Doherty D., Speechley M., Foley N., and Bhogal SK. (2002). Evidence-based<br />

review of stroke rehabilitation. Heart and Stroke Foundation Ontario and<br />

Ministry of Health and Long-Term Care of Ontario.<br />

Tanner, D. C., Gerstenberger, D. L., & Keller, C. S. (1989). Guidelines for Treatment of<br />

Chronic Depression in the Aphatic Patient. Rehabilitation Nursing, 2, 80_/81.<br />

Vandewater, E. A., Ostrove, J. M., & Stewart, A. J. (1997). Predicting women’s wellbeing<br />

in midlife: The importance of personality depelovement and social role<br />

involvements. Journal of Personality and Social Psychology, 72, 1147-1160.<br />

Zammuner, V. L. (2008). Italian’s social and emotional loneliness: The result of five<br />

studies. International Journal of Sciences, 3 (2), 108-120.<br />

88


Wacana Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember Tahun 2009 (89‐96)<br />

PERANAN MEDIA KOMPUTER BERBASIS MAKROMEDIA FLASH<br />

PADA PROSES BELAJAR MENGAJAR JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK<br />

ELEKTRO FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR<br />

Mustari S. Lamada<br />

(Staf Pengajar Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik UNM)<br />

(mustarilamada@yahoo.com)<br />

Abstract:<br />

The research aim at finding out the student’s learning achievement who<br />

were thougt by using computer media based on Makromedia Flash and those<br />

who were not thougt the media. The research is non equivalent control group<br />

design research in valuing to variable namely independent variable: (1) the<br />

student’s learning by using computer media based on makromedia (2) The<br />

student’s learning without using computer media based on makromedia<br />

flash. The dependent variable the student learning achievement in electrical<br />

installation of education electrical engineering department, engineering<br />

faculty in makassar state university consisted of 74 student’s. In analyzing<br />

the data of the research the statistic to be used was the descriptive and<br />

imperential statistic, with t-test. The result of statistic analysis showed that<br />

the mean score of leaving electrical installation of the student’s who were<br />

tought by using computer media based on makromedia flash 20,06 mean<br />

while the mean score of learning electrical installation of the student who<br />

were thougt without using the media was 16,35. the result of the research<br />

showed that there was significant difference of the leaving achievement in<br />

electrical installation of education electrical department, engineering faculty,<br />

makassar state university between the taught by using computer media based<br />

on makromedia flash and those who did not use the media.<br />

Kata-kata Kunci: Media Komputer, Makromedia Flash, Rangkaian Listrik.<br />

PENDAHULUAN<br />

Pendidikan saat ini sedang digalakkan oleh setiap negara di dunia. Perkembangan<br />

ilmu pengetahuan dan teknologi membuat dunia pendidikan menyesuaikan diri pada<br />

perubahan yang serba kompleks dalam kehidupan masyarakat. Sistem pendidikan pada<br />

masa lampau tidak mampu menghasilkan sumber daya manusia yang sesuai dengan<br />

tuntutan zaman saat ini, oleh karena itu setiap ilmu pengetahuan perlu dikembangkan<br />

karena sarana yang akan digunakan semakin canggih dan modern sehingga sumber daya<br />

manusia harus mampu mengikuti perkembangan tersebut. Seiring dengan perkembangan<br />

ilmu pengetahuan dan teknologi secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi<br />

segala aspek kehidupan termasuk aspek pendidikan (Sadiman, 2000). Munculnya produk<br />

teknologi yang dapat digunakan dalam pendidikan memberi kesempatan kepada pendidik<br />

untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui proses belajar mengajar..<br />

89


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

Secara umum, belajar dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku akibat<br />

interaksi individu dengan lingkungan. Perilaku ini mengandung pengertian yang<br />

luas, yang mencakup pengetahuan, pemahaman, keterampilan, sikap, dan sebagainya.<br />

Setiap perilaku ada yang nampak (diamati) ada pula yang tidak bisa diamati. Perilaku<br />

yang bisa diamati disebut penampilan atau behavioral performance, sedangkan yang<br />

tidak bisa diamati disebut kecenderungan perilaku behavioral tendensi. Dalam pengertian<br />

lain belajar adalah suatu aktivitas yang dilakukan secara sadar untuk mendapatkan sejumlah<br />

kesan dari bahan yang telah dipelajari. Hasil dari aktivitas belajar terjadilah<br />

perubahan dalam diri individu. Dengan demikian belajar dikatakan berhasil bila terjadi<br />

perubahan dalam diri individu. Secara psikologis belajar merupakan suatu proses<br />

perubahan, yaitu perubahan dalam tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan<br />

lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut Sardiman (2000),<br />

bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku atau kemampuan, dengan serangkaian<br />

kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati, mendengar, meniru dan sebagainya.<br />

Perubahan yang didapatkan adalah kemampuan baru yang bertahan lama, karena<br />

adanya usaha pada individu yang belajar. Sedangkan Slameto (1995) mengemukakan<br />

bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh<br />

suatu perubahan tingkah laku secara keseluruhan sebagai hasil dari pengalaman<br />

individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannyaDengan fasilitas dan<br />

kemampuan komputer materi pelajaran yang telah dimanipulasi dengan baik melalui<br />

program aplikasi akan lebih mudah dimengerti oleh peserta didik lebih meningkatkan<br />

minat belajar peserta didik, serta memberikan dorongan lebih kuat kepada peserta didik<br />

untuk mengikuti pelajaran. komputer merupakan salah satu media alternatif yang dapat<br />

digunakan dengan cara membuat suatu program mengenai materi yang akan diajarkan<br />

kemudian hasilnya langsung disampaikan di depan peserta didik secara visualisasi,<br />

animasi dan simulasi.<br />

Dengan memanfaatkan komputer sebagai media pembelajaran, dalam hal ini<br />

program Makromedia Flash yang dirancang sebagai aplikasi presentasi khususnya<br />

dalam PBM akan memudahkan pengajar dalam mengajar dan memudahkan memahami<br />

bahan kajian, serta dapat menciptakan iklim belajar-mengajar yang menarik dan<br />

menyenangkan, sehingga dapat menumbuhkan rasa percaya diri dalam mencapai tujuan<br />

yang telah dirumuskan, artinya peserta didik dengan sendirinya dapat meningkatkan<br />

minat belajar, sehingga mampu berpikir, bertindak, dan berbuat.<br />

90<br />

Penggunaan media komputer berbasis Makromedia Flash dalam PBM


Peranan Media Komputer Berbasis Makromedia Flash<br />

pada PBM Jurusan Pendidikan Teknik Elektro Fakultas Teknik UNM<br />

Mustari S. Lamada<br />

dianggap merupakan hal yang baru, khususnya pada mahasiswa Jurusan Pendidikan<br />

Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar. Namun, Melalui<br />

penggunaan media pembelajaran yang optimal, dalam proses belajar mengajar,<br />

khususnya media komputer sebagai sumber informasi peserta didik. Program tersebut<br />

dipandang cukup efektif dan efisien dalam rangka mengantarkan peserta didik untuk<br />

menyerap materi pelajaran dengan mudah.<br />

METODE<br />

Penelitian ini merupakan penelitian Non Equivalent Control Grup Design dan<br />

melibatkan dua variabel yaitu variabel bebas: 1) Pembelajaran menggunakan media<br />

komputer berbasis Makromedia Flash 2) Pembelajaran tanpa menggunakan media dan<br />

variabel terikat: Hasil belajar rangkaian listrik mahasiswa Jurusan Pendidikan Teknik<br />

Elektro Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar sebanyak 74 mahasiswa.<br />

Variabel yang akan diselidiki dalam penelitian ini adalah:Variabel bebas, yaitu:<br />

Kelompok Eksperimen yaitu pembelajaran rangkaian listrik dengan menggunakan<br />

media komputer berbasis Makromedia Flash. Kelompok kontrol adalah Pembelajaran<br />

rangkaian listrik dengan yang tidak menggunakan media komputer. Variabel terikat,<br />

yaitu hasil belajar rangkaian listrik yang dicapai oleh mahasiswa Jurusan Pendidikan<br />

Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar.<br />

Pengujian hipotesis ini menggunakan uji-t dua pihak. Hipotesisnya adalah:<br />

“terdapat perbedaan yang signifikan dalam pencapaian hasil belajar rangkaian listrik<br />

mahasiswa yang diajar pada pola pembelajaran menggunakan media komputer berbasis<br />

Makromedia Flash dengan mahasiswa yang diajar pada pola pembelajaran yang tidak<br />

menggunakan media.<br />

Dilihat dari jenis variabel yang diteliti serta ada tidaknya perlakuan yang<br />

sengaja dilakukan, maka penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian<br />

eksperimen.<br />

HASIL<br />

Hasil pengumpulan data menunjukkkan bahwa terdapat perbedaan antara<br />

kelompok mahasiswa yang diajar dengan menggunakan media komputer berbasis<br />

Makromedia Flash sebagai kelompok eksperimen dan kelompok mahasiswa yang diajar<br />

dengan yang tidak menggunakan media sebagai kontrol.<br />

91


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

92<br />

Tabel 1. Statistik Hasil Belajar Mahasiswa Teknik Elektro FT UNM<br />

Statistik<br />

Ukuran sampel<br />

Skor tertinggi<br />

Skor terendah<br />

Rentang skor<br />

Skor rata-rata<br />

Standar deviasi<br />

Varians<br />

Nilai Statistik<br />

Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol<br />

16<br />

24<br />

15<br />

9<br />

20,06<br />

2,59<br />

15,16<br />

17<br />

22<br />

12<br />

10<br />

16,35<br />

3,04<br />

17,54<br />

Tabel.1 di atas menunjukkan bahwa skor rata-rata yang diperoleh mahasiswa<br />

pada kelompok eksperimen adalah 20,06 dari skor total (30) yang mungkin dicapai. Jika<br />

skor hasil belajar mahasiswa yang diajar dengan pola pembelajaran menggunakan media<br />

komputer berbasis Makromedia Flash kedalam tiga kategori, maka diperoleh distribusi<br />

frekuensi skor dan persentase seperti yang ditunjukkan sebagai berikut (1) ketegori redah<br />

25% (2) kategori sedang 50 % (3) kategori tinggi 25%. Hasil penelitian menunjukkan<br />

bahwa hasil belajar mahasiswa yang berada pada kategori rendah memiliki persentase<br />

25% dengan jumlah mahasiswa sebanyak 4 orang. Pada kategori sedang memiliki<br />

persentase 50% dengan jumlah mahasiswa sebanyak 8 orang, sedangkan pada kategori<br />

tinggi memiliki persentase 25% dengan jumlah mahasiswa sebanyak 4 orang. Hal ini<br />

dapat pula dilihat pada grafik (4.1) skor hasil belajar rangkaian listrik. Dengan demikian<br />

dapat disimpulkan bahwa pembelajaran menggunakan media komputer berbasis<br />

Makromedia Flash berada pada kategori sedang.<br />

Selanjutnya untuk kelompok kontrol menunjukkan bahwa skor rata-rata yang<br />

diperoleh mahasiswa pada kelompok eksperimen adalah 16,35 dari skor total (30) yang<br />

mungkin dicapai. Jika skor hasil belajar mahasiswa yang diajar dengan pola pembelajaran<br />

yang tidak menggunakan media dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu kelompok<br />

yang berada pada kategori rendah memiliki persentase 29,41% dengan jumlah mahasiswa<br />

sebanyak 5 orang. Pada kategori sedang memiliki persentase 47,06% dengan jumlah<br />

mahasiswa sebanyak 8 orang, sedangkan pada kategori tinggi memiliki persentase<br />

23,53% dengan jumlah mahasiswa sebanyak 4 orang. Hal ini dapat pula dilihat pada<br />

grafik (4.2) skor hasil belajar rangkaian listrik. Dengan demikian dapat disimpulkan<br />

bahwa pembelajaran yang tidak menggunakan media berada pada kategori sedang.


PEMBAHASAN<br />

Peranan Media Komputer Berbasis Makromedia Flash<br />

pada PBM Jurusan Pendidikan Teknik Elektro Fakultas Teknik UNM<br />

Mustari S. Lamada<br />

Dari hasil analisis deskriptif pada tabel 4.1, yang memperlihatkan bahwa<br />

berdasarkan kategori, hasil belajar rangkaian listrik Mahasiswa Jurusan Pendidikan Teknik<br />

Elektro Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar yang mengikuti pembelajaran<br />

dengan menggunakan media komputer berbasis Makromedia Flash lebih baik<br />

dibandingkan dengan yang tidak menggunakan media. Jika hasil belajar rangkaian listrik<br />

Mahasiswa Jurusan Pendidikan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Negeri<br />

Makassar yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan media komputer berbasis<br />

Makromedia Flash dikategorikan sedang maka secara klasikal hasil belajar yang tidak<br />

menggunakan media dikategorikan rendah. Selain itu berdasarkan skor rata-rata, hasil<br />

belajar rangkaian listrik Mahasiswa Jurusan Pendidikan Teknik Elektro Fakultas Teknik<br />

Universitas Negeri Makassar yang menggunakan media komputer berbasis Makromedia<br />

Flash lebih tinggi dari pada yang tidak menggunakan media. Jika skor rata-rata hasil<br />

belajar rangkaian listrik Mahasiswa Jurusan Pendidikan Teknik Elektro Fakultas Teknik<br />

Universitas Negeri Makassar yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan media<br />

komputer berbasis Makromedia Flash sebesar 20,06, sedangkan yang tidak menggunakan<br />

media sebesar 16,35.<br />

Adanya perbedaan skor hasil belajar dari kedua kelompok dalam penelitian ini<br />

tentunya tidak terlepas dari prediksi teori-teori yang telah dikemukakan pada bab terdahulu<br />

yang menyatakan bahwa dengan menggunakan pembelajaran berbasis komputer maka,<br />

mahasiswa lebih termotivasi dan lebih terfokus perhatiannya pada proses pembelajaran<br />

sedang berlangsung. Selain itu animo mahasiswa untuk tetap memperhatikan penjelasan<br />

pengajar pada saat pembelajaran yang dimediasi dengan komputer sangat besar. Hal ini<br />

terlihat jelas pada saat penulis melakukan penelitian, dimana kelas yang diajar dengan<br />

menggunakan media komputer mahasiswa memperhatikan pengajar dalam menyajikan<br />

materi pelajaran dan interaksi tanya jawab antara mahasiswa dengan pengajar begitu<br />

lancar. Selain itu dengan gerakan-gerakan tiga dimensi yang dipancarkan oleh layar<br />

komputer dengan menggunakan LCD semakin memberikan hasrat keingintahuan<br />

mahasiswa terhadap materi pelajaran yang dipaparkan.<br />

Untuk memperkuat hasil analisis dskriptif tersebut maka dilakukan pengujian<br />

lanjutan dengan menggunakan statistik inferensial. Berdasarkan hasil analisis inferensial<br />

terlihat bahwa terdapat perbedaan yang berarti antara hasil belajar rangkaian listrik<br />

mahasiswa yang diajar pada pola pembelajaran menggunakan media komputer berbasis<br />

93


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

Makromedia Flash dengan mahasiswa yang diajar dengan pola pembelajaran yang tidak<br />

menggunakan media dengan nilai thitung sebesar 3,79. Dapat pula dikatakan bahwa terdapat<br />

pengaruh positif pada pola pembelajaran menggunakan media komputer berbasis<br />

Makromedia Flash dan yang tidak menggunakan media. selain itu Nilai ini semakin<br />

memperjelas bahwa kontribusi sebuah media pembelajaran sangat besar dalam<br />

menentukan tingkat hasil belajar rangkaian listrik. Adanya perbedaan skor antara<br />

mahasiswa yang diajar dengan menggunakan media komputer berbasis Makromedia Flash<br />

dengan mahasiswa yang diajar dengan yang tidak menggunakan media, itu disebabkan<br />

oleh beberapa faktor yakni tidak terstrukturnya metode pembelajaran sehingga<br />

mengakibatkan mahasiswa yang diajar dengan yang tidak menggunakan media kurang<br />

memperlihatkan semangat belajar sekalipun sebenarnya pembelajaran yang tidak<br />

menggunakan media memiliki kelebihan tersendiri, sehingga hal tersebut mengakibatkan<br />

skor mahasiswa yang diajar dengan menggunakan media komputer berbasis Makromedia<br />

Flash lebih tinggi dibandingkan skor perolehan mahasiswa yang diajar dengan yang tidak<br />

menggunakan media, semakin memperjelas tingkat kontribusi media komputer berbasis<br />

Makromedia Flash dalam meningkatkan daya serap mahasiswa terhadap materi pelajaran<br />

rangkaian listrik.<br />

Menyimak hasil penelitian, dapat dipaparkan bahwa pembelajaran pada pola<br />

pembelajaran menggunakan media komputer berbasis Makromedia Flash lebih efektif,<br />

karena menempatkan mahasiswa dalam proses penemuan, dimana semua mahasiswa<br />

dituntut untuk berpartisipasi langsung dalam melengkapi dan memecahkan masalah yang<br />

sedang dihadapi. Kenyataan ini sejalan dengan kajian teori dan hipotesis yang telah<br />

dikemukakan, bahwa pada pola pembelajaran menggunakan media komputer berbasis<br />

Makromedia Flash mahasiswa akan termotivasi dalam mengikuti materi pelajaran yang<br />

disajikan.<br />

Pola pembelajaran menggunakan media komputer berbasis Makromedia Flash<br />

lebih mengaktifkan mahasiswa dalam proses belajar mengajar. Dimana semua mahasiswa<br />

diarahkan langsung untuk mengetahui seluruh rangkaian proses pembelajaran, mulai dari<br />

mengenal alat, bahan, tujuan yang ingin dicapai, sehingga semua mahasiswa berperan<br />

aktif dalam proses belajar mengajar terutama pada saat melakukan praktikum nantinya.<br />

Dalam hal ini semua mahasiswa mempunyai kesempatan mencari jawaban dan<br />

menemukan sendiri solusi setiap permasalahan. Dengan cara ini akan membuat suasana<br />

belajar menyenangkan dan tidak membosankan, akibatnya semua mahasiswa turut untuk<br />

94


Peranan Media Komputer Berbasis Makromedia Flash<br />

pada PBM Jurusan Pendidikan Teknik Elektro Fakultas Teknik UNM<br />

Mustari S. Lamada<br />

memikirkan dan menemukan ide-ide kreatif sehingga tercipta sikap ilmiah yang pada<br />

akhirnya akan meningkatkan hasil belajarnya.<br />

Berbeda halnya pada pola pembelajaran yang tidak menggunakan media,<br />

walaupun metode ini menempatkan mahasiswa pada penemuan pemecahan masalah<br />

namun masih cenderung didominasi oleh pengajar dimana pengajar sengaja<br />

memperagakan tindakan, proses atau prosedur yang dilakukan kepada mahasiswa sendiri,<br />

sehingga tidak semua mahasiswa dapat terlibat langsung dengan bahan pelajaran,<br />

terutama ketika mahasiswa mendemonstrasikan alat di depan kelompok tidak semua<br />

mahasiswa dapat memperhatikan, akibatnya sebagian mahasiswa kurang termotivasi dan<br />

antusias pada saat pembelajaran berlangsung.<br />

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikemukakan bahwa pola pembelajaran<br />

menggunakan media komputer berbasis Makromedia Flash lebih baik dari pada pola<br />

pembelajaran yang tidak menggunakan media. Dengan demikian salah satu upaya yang<br />

dapat dilakukan untuk meningkatkan hasil belajar rangkaian listrik mahasiswa adalah<br />

dengan memberikan pola pembelajaran menggunakan media komputer berbasis<br />

Makromedia Flash khususnya bagi mahasiswa Jurusan Pendidikan Teknik Elektro<br />

Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar.<br />

Oleh karena itu pembelajaran dengan menggunakan media komputer berbasis<br />

Makromedia Flash sangatlah diperlukan terutama pada mata kuliah yang materinya<br />

membahas masalah-masalah rangkaian listrik. Selain itu sebelum menerapkan<br />

pembelajaran dengan menggunakan media komputer berbasis Makromedia Flash seorang<br />

pengajar terlebih dahulu memperkenalkan instruksi-instruksi yang dilakukan dalam<br />

pembelajaran tersebut agar mahasiswa mempunyai pengetahuan dasar tentang penggunaan<br />

komputer sebagai media pembelajaran. selain itu kemampuan pengajar terhadap sarana<br />

komputer sangat diharapkan agar supaya tidak ketinggalan di dalam menghadapi<br />

perkembangan kemajuan teknologi komputer.<br />

KESIMPULAN<br />

Dari hasil penelitian disempulkan bahwa terdapat perbedaan skor antara<br />

mahasiswa yang diajar dengan menggunakan media komputer berbasis Makromedia Flash<br />

dengan mahasiswa yang diajar dengan yang tidak menggunakan media, itu disebabkan<br />

oleh beberapa faktor yakni tidak terstrukturnya metode pembelajaran sehingga<br />

mengakibatkan mahasiswa yang diajar dengan yang tidak menggunakan media kurang<br />

95


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

memperlihatkan semangat belajar sekalipun sebenarnya pembelajaran yang tidak<br />

menggunakan media memiliki kelebihan tersendiri, sehingga hal tersebut mengakibatkan<br />

skor mahasiswa yang diajar dengan menggunakan media komputer berbasis Makromedia<br />

Flash lebih tinggi dibandingkan skor perolehan mahasiswa yang diajar dengan yang tidak<br />

menggunakan media, semakin memperjelas tingkat kontribusi media komputer berbasis<br />

Makromedia Flash dalam meningkatkan daya serap mahasiswa terhadap materi pelajaran<br />

rangkaian listrik. Hasil belajar rangkaian listrik mahasiswa yang diajar dengan<br />

menggunakan media komputer berbasis Makromedia Flash yaitu (20,06) lebih tinggi<br />

dibandingkan dengan mahasiswa yang diajar dengan yang tidak menggunakan media<br />

yaitu (16,35). Terdapat perbedaan hasil belajar yang berarti antara mahasiswa yang diajar<br />

dengan menggunakan media komputer berbasis Makromedia Flash dengan siswa yang<br />

diajar dengan yang tidak menggunakan media.<br />

DAFTAR RUJUKAN<br />

Arif S. Sadiman, Dkk. 2000. Media Pendidikan. Jakarta: CV. Rajawali.<br />

Caronge.1983. Media Pendidikan. MIPA IKIP Ujungpandang.<br />

Sudjana, 1987. Model Mengajar CBSA. Bandung: Sinar Baru.<br />

Sardiman, 2000. Media Pendidikan IV. Jakarta: Depdikbud.<br />

Slameto,1991. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Bima<br />

Aksara.<br />

Syafiie dan Machfud. 1992. Pandai Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud.<br />

Syaiful Bachri Djamarah & Aswan Zain. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka<br />

Cipta.<br />

Sudjana, 1992. Metode Statistik Bandung: Tarsito<br />

96


Wacana Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember Tahun 2009 (97‐105)<br />

MENYOAL EKONOMI POLITIK ANGGARAN: TELAAH ERA DEMOKRASI<br />

DI INDONESIA<br />

Suraji<br />

Kandidat Doktor UGM & Direktur Eksekutif Matapena Institute<br />

Menterjemahkan Buku Teories Political Economics Karya JAMES A.<br />

CAPORASO&DAVID P. LEVINE. Cambridge University Press, 1992.<br />

diterbitkan oleh Pustaka Pelajar, 2009<br />

Abstract:<br />

The effort to determine the appropriate formulation in the determining of<br />

financials is the financial forward to whom and how is to actualize it? Thus<br />

the finance should have dimension on the justice. Furthermore, the finance<br />

of political economy certainly will closely relate to the effort of the state and<br />

government to give any appropriate social guarantee to the people especially<br />

to the people under the poverty line. The pattern of the relationship of which<br />

transparent, accountable, democratic between the government with the<br />

people and the prejudice will prevent while the state/government/legislation<br />

able to conduct the good process and profitable toward the society and not<br />

the officials. The finance also could be perceived as the political perspective<br />

whereas it could be translated as the state guarantee to struggle the social<br />

finance of which more prioritized rather than the official expenditures<br />

finance or the given institutions.<br />

Thus the political and economical context of finance will relate with<br />

whoever have role and ability in state in giving guarantee toward its society.<br />

However in fact the political economy is perceived and conducted in short<br />

term context and only bring profit to the related parties. The regulation in the<br />

program determination is only lies on the level of mutual interest of the<br />

actor, whereas the society often does not know the process and the<br />

participation in determining to what extent the process which happened.<br />

Even the society does not know how many percent of the finance to be<br />

granted to their prosperity.<br />

Related to the analysis of political economy in the finance are the certain in<br />

the study of social knowledge because the political economy used the<br />

supradisciplinary approach. The focus of this analysis is on every issue or<br />

obligation, of which directly or indirectly involving the public interest and<br />

also in a great number of their consideration to be granted in the problems<br />

relate to the public policy. It is may caused by the political economy in<br />

principal relates to the political decision concern on the finance conditions<br />

and whoever has right to be granted those finance. Thus it should be answer<br />

about the political economy of finance is how the public finance.<br />

Kata Kunci: Finance – Political Economy – Society<br />

PENDAHULUAN<br />

Pembicaraan mengenai masalah anggaran dihubungkan dengan kajian ekonomi<br />

politik memang masih sangat asing di bahas oleh ilmuan, baik ilmuan ekonomi yang<br />

97


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

khusus mengkaji ekonomi politik maupun para sarjana hukum ekonomi yang memang<br />

didesain untuk terlibat langsung dalam proses anggaran. Anggaran yang menjadi inti dari<br />

pengelolaan pemerintah telah mengalami banyak masalah terutama berkaitan dengan<br />

proses politik dan penentuan anggaran yang dikhususkan untuk rakyat.<br />

Dalam banyak kasus terutama di negara-negara berkembang, termasuk di<br />

dalamnya adalah Indonesia, anggaran masih dipahami sebagai aturan formal dan sesuatu<br />

yang menguntungkan pihak aktor ataupun institusi kelembagaan negara dan secara<br />

yuridis anggaran sekedar dipahami sebagai aturun baku yang sudah ada. Padahal<br />

anggaran sejak awal hingga saat ini merupakan bagian integral dari sistem politik bangsa,<br />

karena anggaran diletakkan pada pengambilan kebijakan publik oleh negara, artinya<br />

dapat dimaknai sebagai investasi politik warga dengan memiliki hak untuk menentukan<br />

dalam setiap proses politik yang diselenggarakan negara, serta anggaran tersebut sesuai<br />

dengan sesuatu yang dibutuhkan oleh rakyat.<br />

PEMBAHASAN<br />

A. Esensi Anggaran<br />

Dalam memahami persoalan politik dan demokrasi dalam merekonstruksikan<br />

Indonesia adalah tergantung pada jenis elite yang berkuasa. Jika elit yang berkuasa di<br />

negeri ini memahami rakyatnya, memahami perbedaan, dan memahami kondisi<br />

bangsanya maka demokrasi akan menampakkan wujudnya sesuai yang diharapkan.<br />

Seperti pendapat Linz dan Stepen (2000) yang menjelaskan bahwa kejatuhan dan<br />

kebangkitan kembali demokrasi tidak menelaah variabel-variabel konflik kelas atau<br />

kendala ekonomi tetapi dengan mencurahkan perhatian pada perilaku elit atau<br />

kepemimpinan. Peran elit politik menjelmakan peran hakikat negara serta konsep negara<br />

bagi kekuasan negara tersebut.<br />

Dalam memahami beberapa konsep negara, tentu tidak lepas dari teori negara<br />

kontemporer yang sangat terkenal yaitu: Pertama, bentuk negara kesatuan yang terdiri<br />

dari negara kesatuan dengan sistem sentralisasi yaitu pemerintahan pusat<br />

menyelenggarakan seluruh urusan kenegaraan, sementara pemerintah daerah merupakan<br />

pihak yang dimintai untuk melaksanakan perintah pusat. Kedua, Sistem desentralisasi<br />

yaitu daerah diberikan kebebasan dan kewenangan untuk mengurus rumah tangganya<br />

sendiri secara otonomi (Kansil, 2001). Sistem keduanya telah dinikmati oleh negeri ini<br />

pada era orde baru dan era roformasi. Keduanya memaknai negara sebagai alat<br />

98


Menyoal Ekonomi Politik Anggaran: Telaah Era Demokrasi di Indonesia<br />

Suraji<br />

kekuasaan dan pendistribusian kekuasaan secara otonomi. Fungsi yang terakir kini telah<br />

dimaknai sebagai keharusan di dalam membangun negara atapun daerah yang diyakini<br />

sebagai alat untuk lebih baik.<br />

Konsep negara juga dimaknai oleh Russel (1954) sebagai pembagian kekuasaan<br />

yang mentertibkan kebutuhan rakyat diatas segalanya. Sehingga pemusatan kekuasaan<br />

politik akan berdampak pada penghancuran kemampuan umat manusia (Parma, 2001).<br />

Maka nilai positif yang dikembangankan bagi demokrasi dan desentralisasi adalah<br />

terbangunnya nilai-nilai dari komunitas politik yang dapat berupa kesatuan bangsa<br />

(national unity), pemerintahan demokratis (democratic government), kemandirian sebagai<br />

penjelmaan dari otonomi, efisiensi administrasi dan pembangunan sosial ekonomi<br />

(Leemans, 1970).<br />

Perubahan yang tengah terjadi secara struktural dan fundamental di era reformasi<br />

di Indonesia saat ini memberikan hikmah terselubung bahwa transparansi, akuntabilitas,<br />

keadilan dan partisipasi publik dalam pembangunan sosial ekonomi harus menjadi bagian<br />

dari paradigma pembangunan. Distribusi kekuasaan politik, administrasif, fiskal dan<br />

pembangunan ekonomi ke daerah diyakini akan menciptakan partisipasi publik yang<br />

besar untuk membangun daerah (wilayah) masing-masing, sehingga kesenjangan<br />

antardaerah dapat dikurangi. Keharusan pengelolaan aset dengan program restrukturisasi<br />

aset dan pengembangan infrastuktur teknologi informasi manajemen aset dilandasi<br />

dengan kebijakan umum atas pemisahan wewenang pengelolaan antara pemerintah pusat<br />

dan daerah.<br />

Sinyalemen ini sudah menjadi kenyataan di banyak daerah. Beberapa saat lalu,<br />

Departemen Dalam Negeri mengajukan permohonan ke kejaksaan dan kepolisian untuk<br />

memeriksa anggota DPRD di 18 propinsi, baik dalam kasus pidana maupun perdata. Ada<br />

dua sangkaan pada mereka : pertama, dugaan kejahatan individual dan kedua, kejahatan<br />

kolektif.<br />

Kejahatan individual dilakukan sendiri-sendiri oleh anggota dewan bekerjasama<br />

dengan pihak lain, baik di dalam maupun di luar pemerintah. Sedangkan kejahatan<br />

kolektif adalah manipulasi mata anggaran untuk kepentingan individu melalui keputusan<br />

dewan. Indikasi tersebut terlihat pada kebijakan rapel kenaikan gaji anggota dewan,<br />

penambahan fasilitas atas nama peningkatan kinerja semisal pengadaan laptop bagi<br />

anggota dewan, maupun biaya komunikasi yang terjadi hampir bersamaan dengan<br />

kenaikan gaji pegawai pemerintah di tengah-tengah penderitaan rakyat/masyarakat yang<br />

99


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

belum sepenuhnya bangkit dari keterpurukan dari dampak krisis moneter serta keuangan<br />

negara yang selalu disebut-sebut dalam jumlah yang mengkhawatirkan; hanya bisa terjadi<br />

jika terjadi sinergi mutualisme antara eksekutif dan legislatif. Permasalahan yang terjadi<br />

saat ini adalah:<br />

1. Masalah di balik otonomi<br />

100<br />

Di balik harapan yang serba indah tersirat berbagai kekhawatiran. Banyak<br />

analis meragukan kesiapan daerah, terutama dari sisi keuangan, sisi yang paling<br />

sering diperdebatkan. Dari sisi keuangan ini pila menyeruak kekhawatiran IMF yang<br />

bercermin dari pengalaman beberapa negara Amerika Latin. Kekhawatiran ini<br />

ditambah lagi dengan kekhawatiran 'desentralisasi' korupsi.<br />

Yang lebih ekstrim adalah kekhawatiran munculnya 'raja-raja' kecil di daerah<br />

yang tidak kalah hebatnya dalam ber-KKN, karena justru lepasnya peran kontrol dari<br />

"pusat". "Pusat" di sini bukan hanya berarti pemerintah pusat, tetapi juga pressure<br />

group seperti media, LSM, dan kampus. Keberasdaan kelompok penekan yang tidak<br />

merata di daerah dapar mengurangi fungsi kontrol dari pihak-pihak di luar<br />

pemerintahan.<br />

2. Perubahan Paradigma<br />

Sindroma 'raja kecil' yang mungkin muncul harus dicegah sejak awal, jika<br />

tidak ingin cita-cita indah otonomi layu sebelum berkembangdan berakhir dengan<br />

kekecewaan masyarakat daerah yang sangat mendambakan kemajuan. Atas kegagalan<br />

ini para punggawa di daerah tidak dapat lagi berkelit dan mencari kambing hitam<br />

bahwa kegagalan itu karena 'orang pusat'. Otonomi telah memberikan otoritas yang<br />

lebih luas kepada para pelaku di daerah dan dengan sendirinya juga memberikan<br />

tanggungjawab yang lebih besar.<br />

Diperlukan perubahan sudut pandang (paradigm shift) para pejabat dan<br />

pegawai pemerintah daerah untuk meresapi makna dari layanan publik (public<br />

services). Artinya para pegawai adalah 'alat' untuk melayani publik, dan bukan<br />

sebaliknya publik harus melayani mereka. Paradigma ini harus tercermin dalam<br />

kesadaran peran (role awareness) dan tertuang dalam budaya organisasi<br />

(organization culture) pemerintah daerah. Setiap orang yang menduduki setiap posisi<br />

dalam struktur organisasi, harus sadar tentang peran yang harus dijalankan dan<br />

mengacu kepada paradigma layanan masyarakat. Budaya organisasi harus diperkuat,<br />

sehingga setiap anggota oragnisasi yang bernama pemerintah daerah mempunyai


Menyoal Ekonomi Politik Anggaran: Telaah Era Demokrasi di Indonesia<br />

Suraji<br />

referensi nilai yang sama, mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh<br />

dilakukan.<br />

3. Manajemen Otonomi<br />

Secara konseptual dalam membangun kemandirian daerah pasca otonomi<br />

daerah, harus mengacu kepada kaidah-kaidah perencanaan strategis, manajemen<br />

strategis, dan evaluasi strategis dalam rangka mengelola, dan memanfaatkan seluruh<br />

potensi sumber daya yang dimiliki daerah.<br />

Terdapat empat hal utama yang harus diperhatikan dalam menyusun Rencana<br />

Strategis Pembangunan, yaitu sistem informasi, manajemen tata ruang wilayah,<br />

sistem jaringan kerjasama, serta pedoman operasionalnya. Dalam sistem informasi<br />

pembangunan dilakukan kajian yang meliputi proses identifikasi dan analisis<br />

terhadap potensi, kendala, peluang, dan tantangan pembangunan, berikut kajian<br />

terhadap potensi pengembangan sumber daya, tingkat produktifitas, kelayakan<br />

pengembangannya, serta kerangka waktunya. Dalam kajian ini sebaiknya juga<br />

meliputi informasi dan akses jaringan pemasaran sumber daya dalam lingkup lokal,<br />

regional, nasional, dan internasional. Perencanaan yang berkaitan dengan manajemen<br />

tata ruang wilayah akan bertumpu pada kajian yang meliputi proses identifikasi dan<br />

analisis terhadap perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian tata ruang wilayah<br />

daratan, lautan, dan udara.<br />

Kecenderungan organisasi jejaring (network organization) yang melanda<br />

dunia bisnis juga patut diterapkan dalam organisasi pemerintah daerah. Kajian<br />

mengenai jejaring ini meliputi proses identifikasi dan analisis terhadap sistem,<br />

pola/bentuk, dan mekanisme kerja sama yang dapat dilakukan oleh semua pihak,<br />

dalam lingkup lokal, regional, nasional, maupun internasional.<br />

Sejauh ini terdapat tiga mistifikasi terhadap anggaran. Pertama, anggaran adalah<br />

persoalan rumit dan rewel. Untuk memahaminya, seseorang harus memiliki kecakapan<br />

dan tingkat pendidikan tertentu. Tidaklah mudah mementahkan anggapan yang mendarah<br />

daging itu karena anggaran memiliki struktur, sistem dan mekanisme yang biasanya<br />

hanya dimengerti oleh mereka dengan kecakapan khusus. Dan sialnya, (atau untungnya?)<br />

akses terhadap dokumen-dokumen yang terkait dengan anggaran tidak dimilik semua<br />

orang. Dalam banyak kasus terutama di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia,<br />

anggaran masih dipahami sebagai aturan formal dan sesuatu yang mengntungkan pihak<br />

aktor atau institusi kelembagaan negara dan secara yuridis anggaran sekedar dipahami<br />

101


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

sebagai aturan baku yang sudah ada. Kedua, anggaran hanyalah urusan proyek-proyek<br />

pembangunan dan sumber finansial lainnya. Ujung-ujungnya pada keengganan<br />

pemerintah untuk keluar dari kungkungan cengkeraman indikator-indikator yang<br />

mengaburkan implikasinya pada kelompok masyarakat yang rentan. Kaum miskin dan<br />

warga rentan justru menjadi pemikul beban dari implikasi anggaran. Ketiga, anggaran<br />

adalah semata-mata urusan yang boleh dimonopoli pemerintah. Setidaknya sejak merdeka<br />

hingga saat ini pemerintah selalu mendudukkan anggaran sebagai persoalan yang sangat<br />

eksklusif di wilayah monopoli mereka, tanpa ada ruang keterlibatan bagi masyarakat<br />

(Fuady, 2002)<br />

Salah satu unsur yang penting yang harus dipenuhi dalam penentuan anggaran<br />

adalah tersedianya ruang yang luas bagi rakyat atas akses seluruh proses sosial, politik<br />

dan ekonomi. Terpenuhinya unsur keterbukaan dalam pengelolaan anggaran oleh<br />

merupakan syarat terpenting bagi terwujudnya demokrasi anggaran. Sebab aspek inilah<br />

yang dituntut oleh mekanisme kerja sistem politik yang demokratis, dimana keterbukaan<br />

atau transparansi menjadi penting disediakan oleh negara (Irianto, 2005).<br />

Penyimpangan yang terjadi akibat dari ekonomi politik anggaran, maka<br />

diperlukan cara-cara baru dalam merumuskan dan mengelola anggaran agar dapat<br />

memberikan pelayanan kepada rakyat. Cara-cara sepihak, memperjuangkan golongan,<br />

institusi sendiri adalah pengkianatan terhadap rakyat. Menurut Syafii (2004) sebagai<br />

moral politik kotor yang dapat merusak institusi negara yang telah diberikan mandat oleh<br />

rakyatnya. Rakyat telah memberikan kewenangan kepada negara untuk mengatur<br />

kehidupan bersama yang beradab, sekalipun dilingkungan masyarakat sendiri terdapat<br />

pihak yang apriori. Sikap demikian perlu dihadirkan dengan wajah yang menyejukkan di<br />

era saat ini untuk mencapai kesejahteraan umum dengan mengarahkan semua tindakan<br />

politik untuk kepentingan bersama (Suseno, 2003).<br />

Upaya untuk menemukan formulasi yang tepat dalam penentuan anggaran adalah<br />

mengenai keadilan anggaran, yang terkait dengan erat dengan usaha negara dan<br />

pemerintah memberikan jaminan sosial yang tepat bagi rakyat terutama pada lapisan<br />

masyarakat yang rentan. Pola hubungan yang transparan, terukur, serta demokratis antara<br />

pemerintah dan masyarakat akan mereduksi rasa curiga manakala negara melalui<br />

pemerintah di eksekutif dan dewan di legislatif mampu melakukan proses dengan baik<br />

dan memerhatikan kepentingan rakyat yang secara nyata dapat dirasakan rakyat.<br />

102


B. Ekonomi Politik Anggaran.<br />

Menyoal Ekonomi Politik Anggaran: Telaah Era Demokrasi di Indonesia<br />

Suraji<br />

Kemunculan ilmu ekonomi politik menimbulkan perdebatan tentang apa<br />

tanggung jawab dari negara (atau negarawan/pejabat) dalam kaitannya dengan ke negara.<br />

Perdebatan ini masih berlangsung sampai sekarang dan tetap menjadi sebuah pertanyaan<br />

utama di dalam ilmu ekonomi politik. Apakah negara bertanggungjawab untuk<br />

menentukan kebutuhan mana yang akan dipenuhi dan bertanggungjawab untuk<br />

menggalang sumber daya untuk menjamin berhasilnya pemenuhan itu? Ataukah<br />

kebutuhan masyarakat akan dapat dipenuhi dengan lebih baik kalau penggalangan sumber<br />

daya diserahkan kepada pihak swasta? Pertanyaan lainnya adalah apakah masalahmasalah<br />

seperti perumahan, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dll. disediakan oleh<br />

warga negara sendiri atau swasta dengan menggunakan sumber daya yang mereka miliki<br />

sendiri? Ataukah kebutuhan-kebutuhan itu harus dipenuhi oleh negara?<br />

Perdebatan ini mengandung beberapa masalah di dalamnya dimana masalahmasalah<br />

ini berusaha dijawab oleh berbagai pendekatan yang ada dalam ekonomi politik.<br />

Pendekatan-pendekatan yang paling menonjol selama ini dapat dibagi menjadi dua<br />

kelompok.<br />

1). Masalah-masalah yang timbul karena ide tentang pasar yang mengatur dirinya<br />

sendiri (self regulating market). Pertanyaannya adalah sejauh mana sebuah sistem<br />

yang terdiri dari pelaku-pelaku pasar yang bertindak atas nama pribadi dan<br />

mementingkan kepentingan dirinya sendiri lewat kontrak pertukaran mampu<br />

memuaskan kebutuhan mereka dengan sumber daya yang terbatas jumlahnya?.<br />

Untuk masa modern sekarang, pertanyaan ini sama dengan pertanyaan apakah<br />

intervensi politik ke dalam perekonomian bisa meningkatkan atau justru<br />

menghambat pemenuhan kebutuhan?<br />

2). Masalah-masalah tentang konsep agenda publik. Bagaimana hubungan antara<br />

kebutuhan publik dengan kebutuhan pribadi? Apakah tujuan dari didirikannya<br />

negara adalah semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pribadi dari para warga<br />

negara sehingga perekonomian akan diregulasi oleh negara hanya selama<br />

perekonomian tidak berhasil memenuhi kebutuhan pribadi saat sumber daya yang<br />

tersedia sebenarnya mencukupi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu? Sejauh<br />

mana relevansi dari kepentingan pribadi dengan penetapan tujuan-tujuan publik?<br />

103


<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />

Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

KESIMPULAN<br />

Secara umum masalah anggaran adalah masalah yang menjadi tanggungjawab<br />

negara untuk memberikan pelayanan, keadilan, dan hak-hak bagi publik. Apa yang terjadi<br />

pada saat ini persoalan anggaran menjadi arena baru bagi kekuasan dan elit-elit<br />

kepentingan untuk berebut mengajukan ketersediaan anggaran yang diasumsikan menurut<br />

mereka semata untuk kepentingan publik. Walaupun terjadi era otonomi, perubahan<br />

paradigma pengelolaan anggaran, kepentingan anggaran tetap terjadi baik di tingkat<br />

daerah maupun nasional.<br />

Upaya yang harus diformulasikan dalam masalah anggaran adalah bagaimana<br />

keadilan anggaran menjadi political will oleh pihak eksekutif mapun legislatif, maka<br />

ekonomi politik anggaran adalah bagaimana negara memberikan jaminan sosial yang<br />

tepat bagi rakyat atas dasar hak-hak rakyat sebagai pihak yang dilayani bukan<br />

penggebiran anggaran dengan dalih untuk rakyat. Dengan demikian anggaran dapat<br />

dimaknai sebagai terbangunnya sistem anggaran yang menggambarkan adanya<br />

kesetaraan, keadilan, partisipasi dan pertanggungjawaban pemerintah dalam peningkatan<br />

pelayanan publik bagi masyarakat.<br />

Terkait dengan analisis ekonomi politik dalam anggaran adalah keharusan dalam<br />

kajian ilmu-ilmu sosial karena ekonomi politik menggunakan pendekatan supradisiplin<br />

(supradiciplinary approach). Fokus analisisnya adalah pada setiap isu atau kebijakan,<br />

yang langsung ataupun tidak langsung yang melibatkan kepentingan publik serta sebagian<br />

besar perhatianya dicurahkan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan kebijakan<br />

publik. Hal ini juga karena ekonomi politik pada dasarnya menyangkut keputusan politik<br />

mengenai kondisi anggaran dan siapa yang berhak menerima anggaran tersebut. Sehingga<br />

dapat dijawab analisis ekonomi politik anggaran adalah bagaimana anggaran utuk rakyat.<br />

SUMBER RUJUKAN<br />

James A.Caporasa dan David P.Levine, 1992, Teori-teori Ekonomi Politik, Cambridge<br />

University Press.<br />

Edi Slamet Irianto, 2005, Pajak dan demokrasi Negara, Pustaka Pelajar Yogyakrta.<br />

Liz dan Stepen, 2000, Pilitical Man, The Social Bases of Politics, New York.<br />

Franz Magnis Suseno, 2003, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan<br />

Modern, Geamedia.<br />

Puro Santoso, 2004, Dalam Kata Sambutan Menjaring Anggaran Untuk rakyat, Yayasan<br />

Trifa& IDEA.<br />

104


Menyoal Ekonomi Politik Anggaran: Telaah Era Demokrasi di Indonesia<br />

Suraji<br />

Annonymous. 2000. Modul workshop. IDEA-Yogyakarta. Workshop Penganggaran<br />

Daerah untuk Anggota DPRD Propindi DIY, 6-9 November 2000.<br />

---------------. 2003. Rekaman Proses. IDEA-Yogyakarta. Workshop Partisipasi<br />

Masyarakat dalam Anggaran, 28-29 Juli 2003.<br />

Dahl, Robert. 2001. Perihal Demokrasi. Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi secara<br />

singkat. YOI. Jakarta.<br />

Etzioni, Amitai. 1985. Organisasi-organisasi Modern. UI Press. Jakarta.<br />

Haryatmoko. 2003. Etika Politik dan Kekuasaan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta.<br />

Munir, Badrul. Perencanaan Anggaran Kinerja. Memangkas Inefisiensi Anggaran<br />

daerah. Samawa Center. Mataram.<br />

Santoso, Purwo. 2004. Menjaring Anggaran untuk Rakyat. Yayasan Tifa-Idea.<br />

Yogyakarta<br />

Siregar, Doll. 2002. Optimalisasi Pemberdayaan Harta Kekayaan Negara. Peran<br />

Konsultan Penilai dalam Pemulihan Ekonomi Nasional. Gramedia Pustaka<br />

Utama. Jakarta<br />

Thomas, Vinod. et al. 2001. The Quality of Growth (terjemahan). Gramedia Pustaka<br />

Utama. Jakarta.<br />

Wahab, Solichin Abdul. 1999. Ekonomi Politik Pembangunan. Bisnis Indonesia era<br />

Orde Baru da ditengah krisis moneter. Brawijaya University Press. Malang.<br />

Varma, SP. 2001. Teori Politik Modern (cetakan keenam). Rajawali Press. Jakarta.<br />

Lain-lain :<br />

UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah<br />

UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan<br />

Pemerintahan Daerah<br />

Dominasi Politisasi Birokrasi oleh Irsyam Mahrus; Sabtu 4 Maret 2000. KCM.<br />

Langkah Awal Reformasi Birokrasi. (Memahami Perombakan di Sekretariat Negara).<br />

oleh Irsyam Mahrus; Sabtu 29 Januari 2000. KCM.<br />

Politik Anggaran Publik. 2002. PR Cyber Media.<br />

Teories Political Economics Karya JAMES A. CAPORASO DAN DAVID P. LEVINE.<br />

Cambridge University Press, 1992. di terjemahkan oleh SURAJI Pustaka<br />

Pelajar, 2009.<br />

105


ISSN : 1858 – 0358 Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />

<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se-Indonesia<br />

PERSYARATAN DAN PETUNJUK PENULISAN ARTIKEL<br />

1. Tulisan dapat berupa Artikel Hasil Penelitian maupun Artikel Konseptual (lepas) di bidang<br />

berbagai disiplin ilmu. Artikel dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris<br />

sepanjang 10 - 15 halaman, ukuran kertas A4 dengan tipe huruf Standar (Body), font 12, spasi<br />

1,5, margin 4-3, 4-3. Artikel harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Inggris 100 - 150 kata<br />

dan kata kunci 3 - 5 kata.<br />

2. Sistematika artikel hasil penelitian harus memuat : Judul, Nama Penulis, Lembaga Asal dan<br />

email), Abstrak, Kata Kunci, Pendahuluan, Perumusan Masalah, Metode Penelitian, Hasil<br />

Penelitian dan Pembahasan, Kesimpulan dan Daftar Pustaka.<br />

3. Sistematika Artikel Konseptual (lepas) harus memuat: Judul, Nama Penulis, Abstrak, Kata<br />

Kunci, Pendahuluan, Pembahasan (langsung dibuat dengan sub judul sesuai dngan kebutuhan),<br />

Penutup dan Daftar Pustaka.<br />

4. Penulisan Daftar Pustaka disusun secara alphabets dengan ketentuan sebagai berikut:<br />

a) Buku: Penulisan dimulai dengan nama pengarang (dimulai dengan nama belakang<br />

pengarang dan tanpa gelar), tahun penerbitan, judul buku (dicetak miring), penerbit, tempat<br />

penerbitan.<br />

b) Makalah: Penulisan dimulai dengan nama pengarang (dimulai dengan nama belakang<br />

pengarang dan tanpa gelar), judul makalah (diawali dan diakhiri dengan tanda petik), nama<br />

forumnya/seminar, tempat , tanggal dan tahun.<br />

c) Artikel Suatu <strong>Jurnal</strong>: Penulisan dimulai dengan nama penulis artikel (dimulai dengan nama<br />

belakang dan tanpa gelar) judul artikel dimulai dan diakhiri dengan tanda petik), nama jurnal<br />

(dicetak miring) volume, nomor, bulan dan tahun.<br />

d) Karangan/Esai dalam suatu buku kumpulan karangan/esai. Penulisan dimulai dengan nama<br />

pengarang (dimulai dengan nama belakang dan tanpa gelar) judul karangan/esai (dimulai<br />

dan diakhiri dengan tanda petik), tempat tulisan dimuat dicetak miring),<br />

e) webside, tanggal diakses.<br />

5. Daftar Pustaka hendaknya dirujuk dari edisi mutakhir (terbitan 10 tahun terakhir) dan sangat<br />

disarankan berasal dari jurnal.<br />

6. Penulisan kutipan menggunakan model bodynote. Cara penulisan seperti pada angka 4 di atas,<br />

tetapi nama pengarang tidak dibalik penulisannya. Penulisan halaman disingkat menjadi “hlm”.<br />

7. Artikel dalam bentuk print out, disket atau via email yang disertai dengan Curriculum Vitae<br />

dapat dikirim atau diserahkan secara langsung paling lambat 1 (satu) bulan sebelum bulan<br />

penerbitan kepada: JURNAL WACANA INDONESIA.<br />

8. Dewan Penyunting berhak menyeleksi dan mengedit artikel yang masuk. Kepastian pemuatan<br />

atau penolakan artikel akan diberitahukan melalui email. Penulisan yang artikelnya dimuat,<br />

memberi kontribusi percetakan sejumlah Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) dan bagi artikel hasil<br />

penelitian dan Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) bagi artikel konseptual (lepas). Artikel yang<br />

tidak dimuat tidak dikembalikan.<br />

9. Jumlah halaman jurnal Wacana Indonesia sebanyak 100 - 120 halaman<br />

Forum Mahasiswa Pascasarjana se-Indonesia<br />

Sekretariat:<br />

Perumahan Dinas UGM F 13 Bulak Sumur Yogyakarta 55281<br />

Website <strong>FWI</strong>: www.ppfwi.wordpress.com<br />

Email: pp.fwi2009@gmail.com

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!