You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se-Indonesia<br />
ISSN : 1858 – 0358<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
<strong>Jurnal</strong> Wacana Indonesia Merupakan <strong>Jurnal</strong> Nasional berdasarkan Surat<br />
Keputusan Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah - Lembaga Ilmu Pengetahuan<br />
Indonesia (PDII LIPI) dengan nomor ISSN 1858-0358 tanggal 29 Mei 2007<br />
Terbit 3 sekali setahun setiap bulan April, Agustus dan Desember<br />
Berisi hasil penelitian, kajian dan analisis kritis Mahasiswa dan Alumni<br />
Pascasarjana se-Indonesia<br />
Penanggung Jawab:<br />
Pengurus Pusat Forum Mahasiswa Pascasarjana se-Indonesia<br />
(Forum Wacana Indonesia)<br />
Penyunting Ahli (Mitra Bestari):<br />
Prof. Dr. Irwan Abdullah (Antropologi)<br />
Prof. DR. Djalal Tanjung (Ekologi)<br />
Dr. M. Ridhah Taqwa (Sosiologi)<br />
Prof. Dr. Iskandar Zulkarnaen (Studi Islam)<br />
DR. Ir. Rindit Pambayun, MS (Teknologi Pertanian)<br />
Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, MS (Hukum)<br />
Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum (Hukum)<br />
Prof. Dr. Ir. Zufrizal, DEA (Peternakan)<br />
Redaktur Pelaksana:<br />
Alum Simbolon (Ketua)<br />
Zuhri Humaidi (Wakil Ketua)<br />
Mustari S. Lamada (Sekretaris)<br />
Nova Ekawati (Anggota)<br />
Buyung Haris (Anggota)<br />
Layout dan Cover:<br />
Buyung Haris<br />
Diterbitkan Oleh:<br />
Forum Mahasiswa Pascasarjana se-Indonesia<br />
Sekretariat:<br />
Perumahan Dinas UGM F 13 Bulak Sumur Yogyakarta 55281<br />
Website <strong>FWI</strong>: www.ppfwi.wordpress.com<br />
Email: pp.fwi2009@gmail.com
Wacana Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
ISSN : 1858 – 0358 Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se-Indonesia<br />
Daftar Isi/Contents<br />
Daftar Isi<br />
(i ‐ ii)<br />
Editorial<br />
(iii ‐ iv)<br />
Implementasi Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia<br />
Alum Simbolon<br />
(1‐10)<br />
Pendekatan Ekosistem Terpadu: Strategi dalam Pengelolaan Laut dan<br />
Pesisir<br />
Andi Fajar Asti<br />
(11‐20)<br />
Konsumerisme sebagai Simbol Modernitas<br />
Asliah Zainal<br />
(21‐26)<br />
Potensi Daerah Karst Mikrokontinen Buton-Tukangbesi dalam<br />
Pengembangan Pariwisata Berbasis Alam dan Budaya<br />
Burhan dan Jalil<br />
(27‐36)<br />
Reinventing Pembangunan Sosial (Social Development):<br />
Upaya Pemerintah Daerah dalam Meningkatkan Derajat Pendidikan dan<br />
Kesehatan bagi Anak Terlantar<br />
Chairun Nasirin<br />
(37‐46)<br />
Prevention A Long Period Complication Of Diabetes Mellitus<br />
Lilis Novitarum<br />
(47‐56)<br />
i
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
ii<br />
Proses Pembentukan Modal Ekonomi Sosial Budaya Pengusaha Batik di<br />
Surakarta<br />
Mahendra Wijaya<br />
(57‐66)<br />
Relasi Kuasa Antara Media Televisi yang Dominatif-Hegemonik vs Audiens<br />
yang Aktif-Kritis<br />
Suatu Perspektif Cultural Studies<br />
M. Ridhah Taqwa<br />
(67‐74)<br />
Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education) dan Kontribusinya<br />
untuk Kemajuan Bangsa<br />
Muhamad Sehol<br />
(75‐82)<br />
Eksistensi Kesendirian Afasia - Dunia Tanpa Kata dan Simbol dalam<br />
Kesendirian Emosional dan Kesendirian Sosial<br />
(Teori Ego Psikologi Freud dan Teori Fenomenologi Husserl)<br />
Musdalifah Dachrud<br />
(83‐88)<br />
Peranan Media Komputer Berbasis Makromedia Flash Pada Proses Belajar<br />
Mengajar Jurusan Pendidikan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas<br />
Negeri Makassar<br />
Mustari S. Lamada<br />
(89‐96)<br />
Menyoal Ekonomi Politik Anggaran: Telaah Era Demokrasi di Indonesia<br />
Suraji<br />
(97‐105)
Editorial<br />
Wacana Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
Apa yang menarik dari sebuah jurnal? Pertanyaan seperti ini penting diajukan<br />
kembali setiap kali sebuah jurnal terbit, apalagi dalam dasawarsa terakhir di Indonesia<br />
muncul ratusan jurnal yang diterbitkan oleh banyak lembaga. Ada jurnal yang cuma terbit<br />
sekali kemudian hilang dan tak pernah jelas nasibnya, ada yang tetap terbit dengan ritme<br />
yang tidak teratur, ada juga yang secara rutin terbit meskipun dengan distribusi yang<br />
terbatas. Sulitnya, di Indonesia tidak pernah terbangun lembaga yang benar-benar<br />
memiliki disiplin dan reputasi untuk mengukur otentisitas maupun persebaran ide sebuah<br />
jurnal, misalnya dengan membuat indeks bagaimana jurnal tersebut menjadi rujukan<br />
penting dalam disiplin yang digelutinya. Parameter yang selama ini biasa dipakai adalah<br />
nilai akreditasi yang dikeluarkan oleh Direktorat Perguruan Tinggi (Dikti), yang akhirnya<br />
menjadi simbol mahapenting bagi eksistensi sebuah jurnal. <strong>Jurnal</strong> yang memiliki predikat<br />
akreditasi akan menjadi ‘lahan subur’ bagi aktualisasi diri dosen muda maupun pegawai<br />
negeri di lingkungan departemen. Aktualisasi diri yang dimaksud tidak melulu dalam<br />
pengertian dinamisasi ilmu pengetahuan seperti peran sebuah jurnal di negara Eropa dan<br />
Amerika, tetapi seringkali hanya terkait dengan peningkatan nilai kepangkatan bagi sang<br />
dosen maupun pegawai negeri, sehingga tidak jarang ia harus mengeluarkan dana yang<br />
tidak sedikit. Disinilah letak paradoksnya dunia akademik kita. Seorang penulis harus<br />
memeras otak dan keringat, menyisihkan waktu untuk penelitian maupun untuk<br />
membangun ide yang serius, dan akhirnya harus mengeluarkan dana publikasi. Dalam<br />
konteks ini menjadi penulis bukan lagi merupakan profesi yang menjanjikan, tetapi hanya<br />
bisa dilakukan oleh seseorang yang mempunyai standard kemapanan ekonomi tertentu.<br />
Tentu saja hal ini tidak keliru dan sah-sah saja dilakukan, tetapi kembali pada<br />
persoalan ‘apakah sebetulnya fungsi sebuah jurnal?’. Konon, sebuah jurnal adalah<br />
laboratorium tempat segala ide dan inovasi pemikiran diolah, karenanya ia memuat paling<br />
tidak dua peranan; pertama, sebuah jurnal merupakan indikasi dari tinggi atau rendahnya,<br />
mutu atau tidaknya, diskusi intelektual yang menghidupi suatu lembaga atau komunitas.<br />
Tulisan-tulisan yang dimuat adalah kerja intelektual yang mencerminkan erudisi, etos dan<br />
integritas dari orang-orangnya. Sebab itu, jurnal yang baik hanya akan tumbuh di dalam<br />
komunitas atau lembaga yang juga kredibel. Kedua, sebuah jurnal adalah arena<br />
kontestasi. Tulisan yang dipersiapkan untuk jurnal tidak lain adalah hasil pengembaraan<br />
ide penulisnya yang berisi eskpektasi maupun persepsinya tentang manusia dan<br />
lingkungannya. Tulisan tersebut kemudian diperbandingkan dengan tulisan lainnya dalam<br />
konfigurasi akademik yang terbuka sehingga diskusi intelektual bisa terjadi. Bukan untuk<br />
menentukan siap yang kalah atau menang, akan tetapi pertama-tama untuk mengekplorasi<br />
berbagai temuan yang berbeda serta meneropong suatu masalah dari berbagai perspektif<br />
sehingga tercipta ruang diskusif yang dinamis.<br />
Apakah jurnal yang selama ini berlabel akreditasi atau berlabel internasional<br />
sudah memenuhi dua fungsi tersebut? Agak sulit menjawab masalah ini dengan<br />
penjelasan yang singkat, akan tetapi marilah kita melihat Prisma sebagai contoh. Prisma<br />
adalah jurnal (majalah) yang muncul sejak tahun 1970-an sampai sekarang, diterbitkan<br />
oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dan<br />
dimaksudkan sebagai media informasi dan forum pembahasan masalah pembangunan<br />
ekonomi, perkembangan sosial dan perubahan kultural di Indonesia. Prisma tidak pernah<br />
meng-claimdiri berlabel akreditasi atau berlabel internasional, akan tetapi agaknya kita<br />
semua sepakat bahwa ia adalah jurnal (majalah) dengan reputasi terbaik dalam sejarah<br />
iii
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
intelektual di Indonesia. Kita ingat, di kios-kios buku di Jogja sampai sekarang Prisma<br />
edisi lama tetap diburu oleh mahasiswa dan para peminat ilmu karena ia memenuhi<br />
semacam kehausan intelektual dari khalayak yang luas. Bahkan, pada fase 1970 s/d 1990an<br />
Prisma menjadi media pentahbisan inteletual. Para cendekiawan terkemuka atau calon<br />
cendekiawan yang kelak juga akan terkemuka hampir dipastikan pernah<br />
mempublikasikan tulisannya di jurnal ini.<br />
Dengan demikian, satu hal yang relevan dikemukakan dalam pengantar editorial<br />
ini bahwa labelitas (akreditasi atau non akreditasi, internasional atau bukan) tidak<br />
memiliki korelasi dengan mutu jurnal. <strong>Jurnal</strong> pinggiran yang diterbitkan oleh komunitas<br />
tertentu boleh jadi akan membawa kesegaran baru bagi kepengapan akademik di tanah<br />
air, sebaliknya jurnal dengan label internasional dan terakreditasi boleh jadi tidak<br />
membawa signifikansi apapun, dan hanya menjadi simbol kemegahan di tengah dunia<br />
akademik kita yang memang lebih menyukai selebrasi daripada substansi.<br />
Oleh sebab itu, hemat kami sebuah jurnal pada hakikatnya adalah kerja<br />
eksperimental, upaya coba-coba yang bisa gagal. Karenanya untuk terbitan kali ini, kami<br />
sebagai pengelola jurnal Wacana Indonesia ingin menyebut jurnal ini sebagai jurnal<br />
eksperimental. Kami tidak menolak labelitas, tetapi ingin mengembalikan fungsi dasar<br />
sebuah jurnal, yakni sebagai laboratorium, sebagai arena kontestasi. Pada terbitan kali ini<br />
ada 12 tulisan yang kami muat yang bisa di bagi dalam empat isu pokok; pertama, isu<br />
supremasi hukum dan regulasi politik yang berisi tiga tulisan, yaitu tulisan Alum<br />
Simbolon; Implementasi Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Chairun<br />
Nasirin; Reinventing Pembangunan Sosial (Social Development); Upaya Pemerintah<br />
Daerah dalam Meningkatkan Derajat Pendidikan dan Kesehatan Bagi Anak Terlantar,<br />
dan Suraji; Menyoal Ekonomi Politik Anggaran; Telaah Era Demokrasi di Indonesia.<br />
Kedua, isu pengelolaan sumber daya alam dan budaya yang memuat tiga, yaitu tulisan<br />
Andi Fajar Asti; Pendekatan Ekosistem Terpadu; Strategi dalam Pengelolaan Laut dan<br />
Pesisir, Burhan dan Jalil; Potensi Daerah Karst Mikrokontinen Buton; Tukang Besi<br />
dalam Pengembangan Pariwisata Berbasis Alam dan Budaya, dan Mahendra Wijaya;<br />
Proses Pembentukan Modal Ekonomi Sosial Budaya Pengusaha Batik di Surakarta.<br />
Ketiga, media dan pola pendidikan baru yang berisi empat tulisan, yaitu tulisan M.<br />
Ridhah Taqwa; Relasi Kuasa antara Media Televisi yang Dominatif-Hegemonik vs<br />
Audiens yang Aktif-Kritis, Muhamad Sehol; Pendidikan Kecakapan Hidup dan<br />
Kontribusinya untuk Kemajuan Bangsa, Mustari S. Lamada; Peranan Media Komputer<br />
Berbasis Makromedia Flash pada PBM UNM, dan Asliah Zainal; Konsumerisme<br />
sebagai Simbol Modernitas. Keempat, isu identifikasi penyakit dan terapinya berisi dua<br />
tulisan, yaitu tulisan Lilis Novatarum; Prevention a Long Period Complication of<br />
Diabetes Mellitus, dan Musdalifah Dachrud; Eksistensi Kesendirian Afasia; Dunia<br />
Tanpa Kata dan Simbol dalam Kesendirian Emosional dan Kesendirian Sosial.<br />
Spektrum dari keseluruhan tulisan-tulisan di atas memang cukup luas, namun<br />
menarik mengikuti alur pemikiran para penulisnya yang kembali mengungkapi persoalan<br />
manusia dalam seluruh konteks kehidupannya; individu, ekonomi, sosial-budaya dan<br />
politik. Sebagai proposal pemikiran, tulisan-tulisan di atas patut ditelusuri lebih jauh,<br />
meskipun kita tidak harus selalu setuju dengan isinya. Selamat membaca!<br />
(Zuhri Humaidi)<br />
iv<br />
Yogyakarta, 21 Desember 2009<br />
Salam Redaksi
Wacana Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember Tahun 2009 (01‐10)<br />
IMPLEMENTASI PENEGAKAN HUKUM PERSAINGAN USAHA<br />
DI INDONESIA<br />
Alum Simbolon<br />
(Staf Pengajar Pada Fakultas Hukum Universitas Katolik Santo Thomas Medan)<br />
(Simbolon_alum@yahoo.com)<br />
Abstract:<br />
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli<br />
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut UULPM), bertujuan<br />
mengupayakan persaingan usaha yang sehat dalam setiap kegiatan usaha.<br />
Persaingan sehat terhadap pelaku usahapun dituntut sehingga dikeluarkan<br />
UULPM ini yang menegaskan agar setiap pelaku usaha dalam menjalankan<br />
kegiatan usahanya bersaing sehat, dilarang praktek monopoli, dilarang<br />
bersaing tidak sehat agar tercipta iklim usaha yang kondusif, sehingga<br />
menjamin keseimbangan kesempatan berusaha bagi pelaku usaha besar,<br />
pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil. Agar penegakan hokum<br />
persaingan usaha dapat diimplementasikan dengan baik maka ketelitian dari<br />
KPPU, Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung dalam memeriksa dalam<br />
memutus perkara sangat diharapkan optimal sehingga putusannya dapat<br />
membangun perilaku pelaku usaha yang melakukan pelanggaran. Kepada<br />
pelaku usaha sebaiknya menerima dan tawakal segala utusan KPPU, jika<br />
memang melakukan pelanggaran, maka sebaiknya sadar dan melakukan<br />
perbaikan lalu melaksanakan putusan KPPU, dari pada harus mengajukan<br />
upaya hokum keberatan dan kasasi ke Mahkamah Agung menghabiskan<br />
energy, padahal diketahui bahwa perusahaannya memang melakukan<br />
pelanggaran terhadap UULPM.<br />
Kata Kunci: Penegakan Hukum, Persaingan usaha.<br />
PENDAHULUAN<br />
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan<br />
Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut UULPM), bertujuan mengupayakan<br />
persaingan usaha yang sehat dalam setiap kegiatan usaha. Persaingan sehat (fair<br />
competition) adalah hal positif yang harus dibudayakan dalam membangun bangsa maka<br />
dituntut sumber daya manusia yang utuh menyeluruh serta handal sehingga setiap orang<br />
dapat memasuki bursa manapun inilah yang dibutuhkan dalam era globalisaasi.<br />
Persaingan sehat terhadap pelaku usahapun dituntut sehingga dikeluarkan UULPM ini<br />
yang menegaskan agar setiap pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya<br />
bersaing sehat, dilarang praktek monopoli, dilarang bersaing tidak sehat agar tercipta<br />
1
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
iklim usaha yang kondusif, sehingga menjamin keseimbangan kesempatan berusaha bagi<br />
pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil.<br />
Kinerja KPPU sangat berkembang jika dibandingkan dengan kinerja pada awal<br />
pembentukan KPPU dan pemberlakuan UULPM, saat ini KPPU telah menetapkan<br />
Rancangan Strategis 2007-2012 sebagai langkah awal dalam upaya menjadi lembaga<br />
yang efektif dan kredibel, sehingga diharapkan pada tahun 2020 KPPU dapat menjadi<br />
lembaga yang setara dengan lembaga serupa di negara lain yang maju. Sebagai bentuk<br />
akuntabilitas anggota KPPU masa bakti 2006-2011, KPPU mencanangkan target strategis<br />
periode 2007-2012 dalam tiga program utama yaitu menegakkan hukum persaingan,<br />
menginternalisasikan nilai-nilai persaingan dan membangun kelembagaan yang efektif<br />
dan kredibel. Komitmen KPPU adalah persaingan sehat sejahterakan rakyat, akan tetapi<br />
harus melalui perjuangan yang panjang karena ditemui adanya tarik menarik kepentingan<br />
antara konsumen dan produsen.<br />
Anggota KPPU yang bertugas untuk periode 2006-2011 sejumlah tiga belas<br />
orang terdiri dari empat orang anggota KPPU periode sebelumnya (2000-2005) dan<br />
sembilan anggota yang dipilih melalui proses seleksi. Ketiga belas anggota KPPU<br />
tersebut telah ditugaskan menjalankan kewajibannya sesuai dengan Keputusan Presiden<br />
(Keppres) Nomor 59/P Tahun 2006 tanggal 12 Desember 2006 yang dituangkan dalam<br />
bentuk laporan tahunan. Tugas dan kewenangan KPPU diatur dalam Pasal 35 dan 36<br />
UULPM. Pasal 35 UULPM menentukan tugas KPPU antara lain; melakukan penilaian<br />
terhadap perjanjian yang mengakibatkan terjadinya praktek monopoli, melakukan<br />
penilaian ada atau tidaknya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibat<br />
terjadinya praktek monopoli, mengambil tindakan sesuai wewenang komisi, memberikan<br />
saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan praktek<br />
monopoli.<br />
METODE<br />
A. Metode Pendekatan dan Bahan Penelitian<br />
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normative yang ditunjang<br />
pendekatan yuridis empiris. Keduanya digunakan untuk menemukan, mengetahui dan<br />
mengungkapkan data. Pendekatan yuridis normative merupakan pendekatan utama dalam<br />
penelitian ini, karena titik tolak penelitian ini adalah mengungkapkan kaedah-kaedah<br />
normative, baik dari sumber yang di dokumentasikan maupun informasi dari narasumber<br />
2
Implementasi Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia<br />
Alum Simbolon<br />
yang memutus perkara-perkara pelanggaran UULPM yang diputus oleh KPPU, Hakim<br />
Pengadilan Negeri dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung. Pendekatan yuridis<br />
empiris digunakan untuk menggali asas-asas, latar belakang nilai-nilai yang mendasari,<br />
sinkronisasi vertical dan horizontal. Data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum<br />
primer yaitu berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan lain yang berkaitan<br />
dengan penelitian.<br />
Pengkajian terhadap data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum sekunder<br />
yang berkaitan dengan materi penelitian yang bersifat menjelaskan bahan hukum primer<br />
antara lain literature, hasil penelitian, seminar lokakarya dan lain sebagainya yang<br />
berkaitan dengan materi penelitian untuk memberi kejelasan terhadap data sekunder<br />
berupa bahan hukum primer dan sekunder. Maka dikaji juga bahan hukum tersier berupa<br />
bahan indeksasi peraturan perundang-undangan, dan kamus hukum yang terkait dengan<br />
materi penelitian.<br />
B. Prosedur Pengumpulan Data<br />
Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, penulis<br />
mengadakan penelitian di KPPU yang berada di ibukota negara yaitu Jakarta, dan di<br />
KPPU Daerah di Medan. Kemudian di Pengadilan Negeri tempat putusan KPPU diajukan<br />
keberatan dan Mahkamah Agung. Dalam penelitian yuridis normative yang ditunjang<br />
pendekatan yuridis empiris diperlukan data primer dan data sekunder. Data primer yaitu<br />
data yang langsung diperoleh dari sumber data di lapangan (field research).<br />
Untuk memperoleh data primer dan sekunder dalam penelitian ini terdapat dua<br />
prosedur pengumpulan data. Mengenai data sekunder diperoleh dengan cara mempelajari<br />
dan mengkaji bahan-bahan kepustakaan (literature research) yang berupa bahan-bahan<br />
hukum baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier.<br />
Bahan materi hukum primer dapat berupa, norma/kaidah baik hukum tertulis maupun<br />
tidak tertulis. Materi hukum sekunder dapat berupa hasil putusan KPPU baik yang<br />
diajukan keberatan ataupun putusan KPPU yang diterima oleh terlapor, putusan<br />
Pengadilan Negeri dan putusan Mahkamah Agung, hasil seminar, pertemuan ilmiah<br />
lainnya dan artikel ilmiah menyangkut Implementasi Penegakan Hukum Persaingan<br />
Usaha di Indonesia. Dalam pengumpulan data, pertama yang diperoleh melalui:<br />
pengumpulan data seperti catatan-catatan, kliping dan sebagainya. Data yang diperoleh<br />
dengan melihat pada perundang-undangan dan literature yang relevan dengan penelitian<br />
ini. Kemudian mengembangkan informasi dari responden yang ditetapkan, dan<br />
3
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
mengantisipasi data yang mungkin berubah yang didasarkan atas kondisi dan motivasi<br />
yang terjadi. Selanjutnya pengumpulan data yang langsung didapatkan dalam penelitian<br />
di lapangan. Data diperoleh melalui wawancara di lapangan.<br />
C. Populasi dan Sampel<br />
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kasus yang diputus oleh Komisi<br />
Pengawas Persaingan Usaha, dan hal-hal yang dilakukan KPPU tahun 2007. Populasi ini<br />
tidak akan di teliti seluruhnya tapi akan dilakukan penelitian terhadap sample. Penentuan<br />
sample merupakan suatu proses dalam memilih suatu bagian yang representatif dari<br />
seluruh populasi (Rony, 1982:9). Pengambilan sample dilakukan dengan menggunakan<br />
teknik purposive sampling, maksudnya adalah menentukan sample dengan berbagai<br />
pertimbangan atau alasan. Teknik ini digunakan untuk menentukan sample berdasarkan<br />
kegiatan yang dilakukan oleh KPPU yaitu kasus yang diputus oleh KPPU, Pengadilan<br />
Negeri dan Mahkamah Agung.<br />
D. Analisa Data<br />
Data yang diperoleh dari lapangan akan diperiksa, diteliti untuk menjamin apakah<br />
data dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan kenyataan. Kemudian proses<br />
selanjutnya analisis data yaitu berkaitan dengan kegiatan pengujian, pengkategorian,<br />
penginterpretasian dan pengambilalihan posisi sebagai hasil dari tujuan khusus dan<br />
keutamaan dari penelitian ini. Data yang terkumpul ini kemudian diidentifikasi dan<br />
dikategorikan dalam suatu sistematika tertentu. Selanjutnya dianalisis dengan<br />
mempergunakan metode analisis kualitatif yaitu metode analisis yang pada dasarnya<br />
mempergunakan cara deskriptif, normative, logis, sistematis yang berpedoman pada<br />
ketentuan hukum yang menyangkut Hukum Persaingan Usaha. Deskriptif artinya<br />
menggambarkan atau memaparkan teori yang ada dengan data yang diperoleh dari<br />
lapangan. Normatif artinya dasar yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan<br />
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Logis artinya bahwa dalam<br />
mengalisis tidak bertentangan dengan akal dan pemikiran yang sehat. Sistematis artinya<br />
menganalisis data secara runtut yaitu data yang satu dengan data yang lain saling<br />
berkaitan. Hasil analisis inilah merupakan kesimpulan yang pada dasarnya merupakan<br />
jawaban permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Dengan prosedur analisis ini<br />
dapat diperoleh jawaban yang tepat terhadap mata rantai hubungan yang muncul dari<br />
situasi krisis ke dalam proses kebijaksanaan yang ada atau sekaligus kaitannya dengan<br />
teori yang telah dikenal.<br />
4
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Implementasi Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia<br />
Alum Simbolon<br />
Hukum persaingan usaha merupakan kebutuhan yang sulit dipisahkan oleh<br />
hampir semua negara di dunia termasuk Indonesia, maka kecenderungan negara-negara<br />
maju untuk memiliki lembaga hukum persaingan peningkatannya sangat signifikan.<br />
Meski secara teknis berbeda, baik dalam bidang peran, wewenang dan tugas yang akan<br />
dilakukan, lembaga hukum persaingan usaha seperti paket demokratisasi bagi semua<br />
bangsa, bahkan menjadi salah satu indikator dari upaya peningkatan kesejahteraan<br />
masyarakat melalui system ekonomi pasar. Maka keberadaan KPPU menjadi sine qua<br />
non tidak hanya upaya demokratisasi politik dan ekonomi melainkan juga untuk<br />
peningkatan kesejahteraan masyarakat.<br />
yaitu:<br />
Bagian konsiderans menunjukkan empat latar belakang lahirnya UULPM ini<br />
1. Bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya<br />
kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945;<br />
2. Bahwa demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang<br />
sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan<br />
pemasaran barang dan atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif dan efisien<br />
sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar<br />
yang wajar;<br />
3. Bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi<br />
persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan<br />
kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu dengan tidak terlepas dari<br />
kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh negara Republik Indonesia terhadap<br />
perjanjian-perjanjian Internasional;<br />
4. Bahwa untuk mewujudkan point 1,2 dan 3 atas usul DPR perlu disusun UU No. 5<br />
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak<br />
Sehat.<br />
Keempat aspek yang melatarbelakangi pembentukan UULPM dimaksudkan<br />
untuk mencapai persaingan yang sehat dan wajar dalam dunia usaha dan sekaligus<br />
menunjukkan bahwa di Indonesia telah terjadi praktek-praktek persaingan yang tidak<br />
sehat baik karena kepintaran pelaku usaha untuk mendekati pihak pemerintah atau<br />
karena apapun juga. Dampak pada akhirnya dialami oleh masyarakat, karena masyarakat<br />
yang harus menanggung akibatnya misalnya terhadap harga yang tidak kompetitief.<br />
5
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
Banyak kondisi yang merusak sendi-sendi perekonomian sehingga masyarakat yang adil<br />
dan makmur sampai kini belum terwujud. Keinginan rakyat untuk keluar dari krisis<br />
ekonomi didukung dengan adanya reformasi hukum yang merupakan salah satu upaya<br />
KPPU untuk menata kembali kegiatan usaha di Indonesia agar dapat tumbuh dan<br />
berkembang dengan baik sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat dan<br />
terhindar dari pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu.<br />
Terciptanya persaingan usaha yang sehat akan memberikan daya tarik kepada<br />
investor baik dalam maupun luar negeri untuk berinvestasi. Dengan adanya investasi<br />
yang masuk ke Indonesia tentunya akan menciptakan jutaan lapangan pekerjaan baru<br />
yang dapat mengatasi jumlah pengangguran yang semakin meningkat setiap tahunnya.<br />
Semakin banyak pelaku usaha yang berinvestasi tentunya semakin meningkatkan jumlah<br />
pilihan terhadap barang dan atau jasa yang tersedia di pasar, sehingga masyarakat akan<br />
memiliki lebih banyak pilihan terhadap barang dan atau jasa dengan kualitas dan harga<br />
bersaing. Menciptakan persaingan yang sehat bukanlah hal yang mudah seperti<br />
membalikkan telapak tangan, oleh karena itu dibutuhkan komitmen yang kuat dari<br />
segenap lapisan masyarakat, terutama pelaku usaha dan pemerintah Dan saat ini waktu<br />
yang tepat untuk mengubah paradigma berfikir pemerintah yang sebelumnya selalu<br />
menjadi penentu pasar berubah menjadi pengatur pasar saja dan persaingan diserahkan<br />
kepada mekanisme pasar. Begitu juga dengan pola berbisnis pelaku usaha perlu diberikan<br />
pemahaman bahwa banyak praktek-praktek bisnis yang selama ini dijalani pelaku usaha<br />
dan diyakini sebagai praktek bisnis yang lazim atau biasa menjalani suatu praktek bisnis<br />
yang dilarang sejak berlakunya UULPM (KPPU RI, 2007:5).<br />
KPPU menjadi tonggak utama untuk menegakkan aturan hukum dan memberikan<br />
perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha dalam upaya menciptakan persaingan<br />
usaha yang sehat. Anggota KPPU periode 2006-2011 meneruskan program periode<br />
pertama (2000-2005) yaitu pengembangan penegakan hukum, pengembangan kebijakan<br />
persaingan, pengembangan komunikasi, pengembangan kelembagaan dan pengembangan<br />
system informasi. Tetapi penekanan angota KPPU periode 2006-2011 lebih dilakukan<br />
terhadap dua fungsi utama KPPU yaitu melakukan penegakan hukum persaingan dan<br />
memberikan saran pertimbangan kepada pemerintah terkait dengan kebijakan yang<br />
berpotensi bertentangan dengan UULPM. Fungsi penegakan hukum bertujuan untuk<br />
menghilangkan berbagai hambatan persaingan berupa perilaku bisnis yang tidak sehat.<br />
Sementara proses pemberian saran pertimbangan kepada pemerintah akan mendorong<br />
6
Implementasi Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia<br />
Alum Simbolon<br />
proses reformasi regulasi menuju tercapainya kebijakan persaingan yang kondusif di<br />
seluruh sector ekonomi (Laporan KPPU RI, 2007:6).<br />
Persaingan usaha yang sehat merupakan salah satu kunci sukses bagi system<br />
ekonomi pasar yang wajar. Agar implementasi dapat mencapai hasil optimal maka<br />
dilakukan minimal dilakukan dua hal:<br />
1. Melalui penegakan hukum persaingan.<br />
2. Melalui kebijakan persaingan yang kondusif terhadap perkembangan sektor<br />
ekonomi.<br />
Melihat bahwa KPPU sudah melaksanakan tugas dalam rangka<br />
menimplementasikan penegakan hokum persaingan usaha terlihat pada table berikut:<br />
Tabel 1. Putusan KPPU Tahun 2007:<br />
No No.Perkara Pokok Perkara Tempat<br />
1 02/KPPU-L/2007 Tender Pengadaan Peralatan Gizi Tahun<br />
2006<br />
2 03/KPPU-L/2007 Pelanggaran dalam tender<br />
Pembangunan Gedung Kantor<br />
Pengadilan Negeri<br />
3 04/KPPU-L/2007 Tender LCD<br />
4 05/KPPU-L/2007 Pelanggaran tender Pekerjaan<br />
Pengerukan Alur Pelayaran Pelabuhan<br />
Belawan<br />
5 06/KPPU-L/2007 Tender Pengadaan Alat<br />
Pembasmi/Penyemprot Nyamuk<br />
6 07/KPPU-L/2007 Pelanggaran oleh Kelompok Usaha<br />
Temasek<br />
7 08/KPPU-L/2007 Tender Pengadaan Peralatan di Dinas<br />
Pertamanan dan Pemakaman<br />
8 09/KPPU-L/2007 Penetapan Harga Fumigasi oleh Ikatan<br />
Pengusaha Pengendalian Hama<br />
Indonesia (IPPHAMI)<br />
9 10/KPPU-L/2007 RSU Ratu Zalecha Martapura<br />
10 11/KPPU-L/2007 RSU Soppeng<br />
11 12/KPPU-L/2007 Pengadaan Alat Kesehatan Penunjang<br />
Puskesmas Dinas Kesehatan Kabupaten<br />
Sukabumi<br />
12 13/KPPU-<br />
L/200713/KPPU-<br />
Bibit Kelapa Sawit<br />
RSUD A. Wahab<br />
Sjahranie<br />
Padang Sidimpuan,<br />
Sumatera Utara<br />
Belawan Medan<br />
Sumatera Utara<br />
di DKI Jakarta.<br />
Kota Bengkulu<br />
Sukabumi<br />
13 14/KPPU-L/2007 Tender Multiyears Riau Riau<br />
7
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
8<br />
14 15/KPPU-L/2007 Lelang Pembangunan Mall di Kota<br />
Prabumulih<br />
15 16/KPPU-L/2007 Tender Pengadaan Pupuk PMLT (Pupuk<br />
Majemuk Lengkap Tablet)<br />
16 17/KPPU-L/2007 PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia<br />
17 18/KPPU-L/2007 Tender Paket Pengadaan TV Pendidikan<br />
Propinsi Sumatera Utara<br />
18 19/KPPU-L/2007 EMI<br />
19 20/KPPU-L/2007 Tender Pengadaan Alat Kesehatan<br />
RSUD<br />
20 21/KPPU-L/2007 Lelang Pengadaan Pipa PVC 6", 4", dan<br />
2" oleh DPU, Pertambangan dan Energi<br />
Kepulauan Riau<br />
21 22/KPPU-L/2008 Putusan Perkara No : Praktek Monopoli<br />
Jasa Kargo di Bandar Udara<br />
Hasanuddin.<br />
22 23/KPPU-L/2007 Pembangunan Kembali Pasar Melawai<br />
Blok M<br />
23 24/KPPU-L/2007 Tender Kegiatan Peningkatan Jalan<br />
Pangkalan Balai-Pengumbuk,<br />
Banyuasin.<br />
24 26/KPPU-L/2007 Kartel SMS<br />
25 27/KPPU-L/2007 Tender Pengadaan Jack-Up Drilling Rig<br />
di CNOOC SES Ltd<br />
Di Kota Prabumulih<br />
Brebes<br />
Kepulauan Riau<br />
Makassar, Sulawesi<br />
Selatan<br />
Sumatera Selatan<br />
26 28/KPPU-L/2008 Jasa Pelayanan Taksi di Kota Batam di Kota Batam<br />
27 29/KPPU-L/2007 Tender Pembangunan Jalan Hotmix di Cilacap<br />
28 30/KPPU-L/2007 Pelelangan Umum Pembangunan dan<br />
Pemeliharaan Jalan.<br />
Sumber: http://www.kppu.go.id/docs/putusan.<br />
di Kabupaten<br />
Sanggau, Kalbar<br />
Implementasi penegakan hukum yang telah dilakukan oleh KPPU antara lain<br />
adalah berhasil membongkar praktek persaingan usaha tidak sehat dalam industri<br />
telekomunikasi yang dilakukan oleh Temasek Holdings Company yang merupakan salah<br />
satu BUMN negara Singapura. Banyak perkara-perkara yang telah inkracht maupun yang<br />
telah dibayar dendanya oleh terlapor kepada negara, diantaranya Carefour dengan trading<br />
terms-nya serta exclusive dealing PT. Telkom dan Garuda Indonesia pada tahun 2007<br />
menerima dan melaksanakan Putusan KPPU. Hal yang merupakan kendala dan yang<br />
bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat sebagaimana tercantum dalam<br />
UULPM. Kegiatan evaluasi kebijakan pemerintah di tahun 2007 berjumlah 15 (lima<br />
belas) kegiatan. Sampai dengan bulan Juni 2007, karena hal ini merupakan kendala maka
Implementasi Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia<br />
Alum Simbolon<br />
KPPU melakukan evaluasi kegiatan evaluasi kebijakan yang telah dilaksanakan:<br />
Evaluasi kebijakan Pemerintah di Sektor Industri Perbukuan. Evaluasi ini merupakan<br />
inisiatif KPPU setelah KPPU menerima Menteri Pendidikan Nasional dalam diskusi<br />
tentang industri perbukuan yang telah diubah model pengelolaannya dari monopoli<br />
menuju kompetisi.<br />
KESIMPULAN<br />
Agar penegakan hokum persaingan usaha dapat diimplementasikan dengan baik<br />
maka ketelitian dari KPPU, Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung dalam memeriksa<br />
dalam memutus perkara sangat diharapkan optimal sehingga putusannya dapat<br />
membangun perilaku pelaku usaha yang melakukan pelanggaran. Kepada pelaku usaha<br />
sebaiknya menerima dan tawakal segala utusan KPPU, jika memang melakukan<br />
pelanggaran, maka sebaiknya sadar dan melakukan perbaikan lalu melaksanakan putusan<br />
KPPU, dari pada harus mengajukan upaya hokum keberatan dan kasasi ke Mahkamah<br />
Agung menghabiskan energy, padahal diketahui bahwa perusahaannya memang<br />
melakukan pelanggaran terhadap UULPM. Sebaiknya pelaku usaha dalam menjalankan<br />
kegiatan usahanya jangan melakukan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak<br />
sehat.<br />
SUMBER RUJUKAN<br />
BUKU:<br />
Adi. Rianto., 2004, Metodologi Penelitin Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta<br />
Alma, Buchari,1992, Pengantar Bisnis, Alfabeta, Bandung.<br />
Apeldoorn, L.J. Van., Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramitha.<br />
Badrulzaman. Mariam. Darus., Aneka Hukum Bisnis, Alumni Bandung, 1994.<br />
Black, Campbell, Henry., 1990, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, St. Paul, Minn,<br />
West Publishing, co.<br />
Bogert, George Gleason., 1952, Law of Trusts, Third Edition, Hornbook Series, St. Paul,<br />
Minn, West Publishing, Co.<br />
Choper, Jesse H., et. al., 2002, Selected Federal and State Administrative And Regulatory<br />
Laws, P.O. Box 64526, St. Paul, MN 55164-0526.<br />
Conte, Christopher., tanpa tahun, Garis Besar Ekonomi Amerika Serikat, Penerbit<br />
Lembaga Penerangan, Amerika Serikat.<br />
Czako, Judith., et, al., 2003, A Handbook on Anti-Dumping Investigations, Cambridge,<br />
University Press, WTO.<br />
9
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
D. Prayoga., Ayudha., et.al., (ed),1999, Persaingan Usaha dan Hukum Yang<br />
Mengaturnya di Indonesia, Elips Project & Patnership for Buseniss<br />
Competition.<br />
Erawaty, A.F. Elly., 1999, Membenahi Perilaku Pelaku Bisnis Melalu Undang-Undang<br />
No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha<br />
Tidak Sehat, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.<br />
Friedman Lawrence M., 1986, The Legal System; A social Science Perspective, New<br />
York, Russel Sage Fondation.<br />
Fromm, Bill., Tanpa tahun, Kocak dan Menyenangkan Sepuluh Hukum Bisnis dan<br />
Bagaimana Melanggarnya<br />
Fuadi, Munir., 2003, Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat,<br />
Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.<br />
---------------, 1996, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Kesatu, PT.Citra<br />
Aditya Bakti, Bandung.<br />
---------------, 1996, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Ketiga, PT.Citra<br />
Aditya Bakti, Bandung.<br />
----------------, 1996, Hukum Perkreditan Kontemporer, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.<br />
Friedman, W., 1990, Teori dan Filsafat Hukum, Idealisme Filosofis & Problema<br />
Keadilan, Rajawali Press, Jakarta.<br />
PERUNDANG-UNDANGAN :<br />
Undang-Undang Dasar 1945.<br />
Ketetapan MPR RI No.IV/MPR/1999 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara.<br />
Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan<br />
Usaha Tidak Sehat.<br />
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen<br />
Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal<br />
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan<br />
Undang-Undang No.10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.7<br />
Tahun 1992 Tentang Perbankan.<br />
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas<br />
Keputusan Presiden RI No. 75 Tahun 1999 Tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha.<br />
Keputusan Presiden RI No.162/M tahun 2000. Pengangkatan Anggota Komisi Pengawas<br />
Persaingan Usaha Masa Jabatan 2000-2005.<br />
Keputusan Presiden RI No. 94/M Tahun 2005 Tentang Perpanjangan Keanggotaan<br />
Komisi Pengawas Persaingan Usaha Masa Jabatan 2000-2005.<br />
Keputusan Presiden RI No.59/P Tahun 2006 Tentang Pemberhentian Keanggotaan<br />
komisi masa jabatan 2000-2005, dan Pengangkatan Keanggotaan KPPU masa<br />
jabatan 2006-20011<br />
10
Wacana Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember Tahun 2009 (11‐20)<br />
PENDEKATAN EKOSISTEM TERPADU: STRATEGI DALAM<br />
PENGELOLAAN LAUT DAN PESISIR<br />
Andi Fajar Asti<br />
(Presiden Direktur LSM Diagnosa Institute Sul-Sel/ www.diagnose-institute.org)<br />
(fajarpresiden@yahoo.com)<br />
Abstract:<br />
Indonesia sebagai Negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508<br />
buah dan garis pantai sepanjang 81.000 km dan juga dikenal sebagai negara<br />
mega-biodiversity dalam hal keanekaragaman hayati, serta memiliki<br />
kawasan pesisir yang sangat potensial untuk berbagai opsi pembangunan.<br />
Banyaknya limbah domestik dan tingginya tingkat sedimentasi yang masuk<br />
ke dalam wilayah pesisir, perlu dilakukan suatu bentuk pengendalian,<br />
pencemaran limbah dan pengaturan pengelolaan Daerah Aliran Sungai<br />
(DAS). Hal ini merupakan masalah kritis, sehingga perlu dilakukan tindakan<br />
langsung baik secara hukum formal maupun hukum adat untuk menciptakan<br />
pengendalian terhadap kegiatankegiatan yang dapat merusak lingkungan.<br />
Untuk menangani masalah tersebut, maka perlu dirumuskan suatu penataan<br />
ruang, pengelolaan dan pengusahaan kawasan wilayah pesisir yang memiliki<br />
dimensi keterpaduan ekologis, sektoral, disiplin ilmu serta keterpaduan antar<br />
stakeholders, sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan dapat tercapai<br />
yaitu pertumbuhan ekonomi, perbaikan kualitas lingkungan serta adanya<br />
kepedulian antar generasi.<br />
Kata Kunci: Ekosistem Terpadu, laut dan pesisir.<br />
PENDAHULUAN<br />
Indonesia sebagai Negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 buah<br />
dan garis pantai sepanjang 81.000 km dan juga dikenal sebagai negara mega-biodiversity<br />
dalam hal keanekaragaman hayati, serta memiliki kawasan pesisir yang sangat potensial<br />
untuk berbagai opsi pembangunan. Namun demikian dengan semakin meningkatnya<br />
pertumbuhan penduduk dan pesatnya kegiatan pembangunan di wilayah pesisir, bagi<br />
berbagai peruntukan (pemukiman, perikanan, pelabuhan, obyek wisata dan lain-lain),<br />
maka tekanan ekologis terhadap ekosistem dan sumberdaya pesisir dan laut itu semakin<br />
meningkat. Meningkatnya tekanan ini tentunya akan dapat mengancam keberadaan dan<br />
kelangsungan ekosistem dan sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang ada<br />
disekitarnya.<br />
Satu hal yang lebih memprihatinkan adalah, bahwa kecenderungan kerusakan<br />
lingkungan pesisir dan lautan lebih disebabkan paradigma dan praktek pembangunan<br />
yang selama ini diterapkan belum sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan<br />
11
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
berkelanjutan (sustainable development). Cenderung bersifat ekstratif serta dominasi<br />
kepentingan ekonomi pusat lebih diutamakan daripada ekonomi masyarakat setempat<br />
(pesisir). Seharusnya lebih bersifat partisipatif, transparan, dapat dipertanggung-jawabkan<br />
(accountable), efektif dan efisien, pemerataan serta mendukung supremasi hukum.<br />
Dalam mencapai tujuan-tujuan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir secara<br />
terpadu dan berkelanjutan, maka perlu dirumuskan suatu pengelolaan (strategic plan),<br />
mengintegrasikan setiap kepentingan dalam keseimbangan (proporsionality) antar<br />
dimensi ekologis, dimensi sosial, antar sektoral, disiplin ilmu dan segenap pelaku<br />
pembangunan (stakeholders).<br />
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk membantu memberikan solusi dalam<br />
menyusun strategi pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu dan berkelanjutan,<br />
berdasarkan analisis terhadap sejumlah isu dan permasalahan serta karakteristik wilayah<br />
pesisir. Pada saatnya diharapkan dapat tercapai tujuan-tujuan pembangunan ekonomi,<br />
perbaikan kualitas lingkungan serta menghindari adanya konflik jangka panjang di<br />
wilayah tersebut. Untuk itu perlu dilakukan reformasi paradigma dan pola pembangunan<br />
kelautan, yang meliputi perbaikan seperangkat kebijakan yang bersifat teknis dan bersifat<br />
pengaturan (governance).<br />
PEMBAHASAN<br />
A. Konsep Dasar Pengelolaan Terpadu<br />
Pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu menghendaki adanya<br />
keberlanjutan (sustainability) dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir. Sebagai kawasan<br />
yang dimanfaatkan untuk berbagai sektor pembangunan, wilayah pesisir memiliki<br />
kompleksitas isu, permasalahan, peluang dan tantangan.<br />
12<br />
Terdapat beberapa dasar hukum pengelolaan wilayah pesisir yaitu:<br />
1. UU No. 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya.<br />
2. UU No. 24 tahun 1992, tentang Penataan Ruang.<br />
3. UU No. 23 tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.<br />
4. UU No. 22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah.<br />
5. PP No. 69 tahun 1996, tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, Serta Bentuk<br />
dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang.<br />
6. Keputusan Presiden RI No. 32 tahun 1990, tentang Pengelolaan Kawasan<br />
Lindung.
Pendekatan Ekosistem Terpadu: Strategi dalam Pengelolaan Laut dan Pesisir<br />
Andi Fajar Asti<br />
7. Permendagri No. 8 tahun 1998, tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di<br />
Daerah.<br />
8. Berbagai Peraturan Daerah yang relevan.<br />
Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang tidak memenuhi kaidah-kaidah<br />
pembangunan yang berkelanjutan secara signifikan mempengaruhi ekosistemnya.<br />
Kegiatan pembangunan yang ada di kawasan ini akan dapat mempengaruhi produktivitas<br />
sumberdaya akibat proses produksi dan residu, dimana pemanfaatan yang berbeda dari<br />
sumberdaya pesisir kerap menimbulkan konflik yang dapat berdampak timbal balik. Oleh<br />
karena itu pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk tujuan pembangunan nasional akan<br />
dapat berhasil jika dikelola secara terpadu (Integrated Coastal Zone Management,<br />
ICZM). Pengalaman membuktikan bahwa pengelolaan atau pemanfaatan kawasan pesisir<br />
secara sektoral tidaklah efektif (Dahuri et. al 1996; Brown 1997; Cicin-Sain and Knecht<br />
1998; Kay and Alder 1999).<br />
Pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu adalah suatu proses interative dan<br />
evolusioner untuk mewujudkan pembangunan kawasan pesisir secara optimal dan<br />
berkelanjutan. Tujuan akhir dari ICZM bukan hanya untuk mengejar pertumbuhan<br />
ekonomi (economic growth) jangka pendek, melainkan juga menjamin pertumbuhan<br />
ekonomi yang dapat dinikmati secara adil dan proporsional oleh segenap pihak yang<br />
terlibat (stakeholders), dan memelihara daya dukung serta kualitas lingkungan pesisir,<br />
sehingga pembangunan dapat berlangsung secara lestari.<br />
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut maka unsur esensial dari ICZM adalah<br />
keterpaduan (integration) dan koordinasi. Setiap kebijakan dan strategi dalam<br />
pemanfaatan sumberdaya pesisir harus berdasarkan kepada : (1) pemahaman yang baik<br />
tentang proses-proses alamiah (eko-hidrologis) yang berlangsung di kawasan pesisir yang<br />
sedang dikelola; (2) kondisi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat; dan (3)<br />
kebutuhan saat ini dan yang akan datang terhadap barang dan (produk) dan jasa<br />
lingkungan pesisir.<br />
Oleh karena tujuan ICZM adalah mewujudkan pembangunan kawasan pesisir<br />
secara berkelanjutan maka keterpaduan dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan<br />
pesisir dan laut mencakup empat aspek, yaitu : (a) keterpaduan wilayah/ekologis; (b)<br />
keterpaduan sektor; (c) keterpaduan disiplin ilmu; dan (d) keterpaduan stakeholder.<br />
Dengan kata lain, penetapan komposisi dan laju/tingkat kegiatan pembangunan pesisir<br />
13
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
yang optimal akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang dapat dirasakan oleh<br />
segenap stakeholders secara adil dan berkelanjutan.<br />
Pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu pada dasarnya merupakan<br />
suatu proses yang bersifat siklikal. Dengan demikian terlihat bahwa pendekatan<br />
keterpaduan pengelolaan/pemanfaatan kawasan pesisir dan laut menjadi sangat penting,<br />
sehingga diharapkan dapat terwujud one plan dan one management serta tercapai<br />
pembangunan yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.<br />
Secara skematik kerangka konsep studi disajikan sebagai berikut:<br />
14<br />
Kawasan Pesisir dan Laut<br />
Perikanan Pertambangan Energi<br />
Kelautan<br />
Perhubungan Laut<br />
4. EVALUASI<br />
• Analisis kemajuan dan permasalahan<br />
• Redefinisi ruang lingkup untuk<br />
pengelolaan pesisir<br />
3. IMPLEMENTASI<br />
• Kegiatan Pembangunan<br />
• Penegakan kebijakan dan<br />
• peraturan-peraturan<br />
• Pemantauan<br />
Isu, Permasalahan, peluan dan Tantangan<br />
ICZM<br />
Tahap<br />
Pengelolaan<br />
Pengelolaan Kawasan Pesisir<br />
Berkelanjutan<br />
Gambar 1. Skematik kerangka konsep studi<br />
Pariwisata Bahari DL<br />
L<br />
1. PENATAAN DAN PERENCANAAN<br />
• Identifikasi dan analisis<br />
• permasalahan<br />
• Pendefinisian tujuan dan sasaran<br />
• Pemilihan Strategi<br />
• Pemilihan struktur implementasi<br />
2. FORMULASI<br />
• Mengadopsi program secara<br />
formal<br />
• Pengamanan dana untuk<br />
• implementasi
Pendekatan Ekosistem Terpadu: Strategi dalam Pengelolaan Laut dan Pesisir<br />
Andi Fajar Asti<br />
B. Strategi Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Secara Terpadu dan<br />
Berkelanjutan.<br />
1. Strategi Pengelolaan Terpadu<br />
Wilayah pesisir dan laut merupakan tatanan ekosistem yang memiliki hubungan<br />
sangat erat dengan daerah lahan atas (upland) baik melalui aliran air sungai, air<br />
permukaan (run off) maupun air tanah (ground water), dan dengan aktivitas manusia.<br />
Keterkaitan tersebut menyebabkan terbentuknya kompleksitas dan kerentanan di wilayah<br />
pesisir. Secara konseptual, hubungan tersebut dapat digambarkan dalam keterkaitan<br />
antara lingkungan darat (bumi), lingkungan laut, dan aktivitas manusia.<br />
Pengelolaan wilayah pesisir terpadu dinyatakan sebagai proses pemanfaatan<br />
sumberdaya pesisir dan lautan serta ruang dengan mengindahkan aspek konservasi dan<br />
keberlanjutannya. Adapun konteks keterpaduan meliputi dimensi sektor, ekologis, hirarki<br />
pemerintahan, antar bangsa/negara, dan disiplin ilmu (Cicin-Sain and Knecht, 1998).<br />
Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu penting dilakukan mengingat<br />
banyaknya kegiatan-kegiatan yang dapat diimplementasikan, sehingga perlu dirumuskan<br />
suatu konsep penataan ruang (trategic plan) serta berbagai pilihan objek pembangunan<br />
yang serasi. Dalam konteks ini maka keterpaduan pengelolaan wilayah pesisir<br />
sekurangnya mengandung 3 dimensi : sektoral, bidang ilmu dan keterkaitan ekologis.<br />
Keterpaduan secara sektoral di wilayah pesisir berarti diperlukan adanya suatu<br />
kooordinasi tugas, wewenang, dan tanggung jawab antar sektor atau instansi (horizontal<br />
integration); dan antar tingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan,<br />
kabupaten, propinsi sampai pemerintah pusat (vertical integration).<br />
2. Strategi Pengelolaan Berkelanjutan<br />
Dari batasan di atas jelas bahwa pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu<br />
menghendaki adanya kesamaan visi antar stakeholders. Menyadari arti penting visi<br />
pengelolaan itu, maka perlu dipelopori perumusan visi bersama seperti terwujudnya<br />
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan<br />
yang didukung oleh peningkatan kualitas sumberdaya manusia, penataan dan penegakan<br />
hukum, serta penataan ruang untuk terwujudnya peningkatan kesejahteraan rakyat.<br />
Mengacu pada visi tersebut, maka strategi pengelolaan wilayah pesisir terpadu dan<br />
berkelanjutan harus memperhatikan aspek sumberdaya manusia, hukum, tata ruang, dan<br />
kesejahteraan bersama.<br />
15
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
Strategi pengelolaan wilayah pesisir akan difokuskan untuk menangani isu utama<br />
yaitu konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir, yang secara simultan juga berkaitan<br />
dengan penanganan isu yang lain. Pemikiran dasar dalam perumusan strategi pengelolaan<br />
ini meliputi keberlanjutan (sustainability), perlindungan dan pelestarian, pengembangan,<br />
pemerataan, dan komunikasi. Dari pemikiran ini, dirumuskan strategi pengelolaan yang<br />
mengakomodasi nilai-nilai, isu-isu, dan visi pengelolaan.<br />
Strategi pengelolaan pesisir yang difokuskan untuk menangani isu konflik<br />
pemanfaatan ruang adalah sebagai berikut: (1) Identifikasi pengguna ruang dan<br />
kebutuhannya, (2) Penyusunan rencana tata ruang pesisir, (3) Penetapan sempadan pantai<br />
dan penanaman mangrove, (4) Pengendalian reklamasi pantai, (5) Pengetatan baku mutu<br />
limbah dan manajemen persampahan, (6) Penataan permukiman kumuh, (7) Perbaikan<br />
sistem drainase, (8) Penegakan hukum secara konsisten.<br />
Tujuan pengelolaan adalah mengatasi konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir,<br />
sehingga terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan. Adapun target pengelolaan<br />
adalah teratasinya permasalahan turunan dari konflik pemanfaatan ruang, melalui<br />
partisipasi masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah secara terpadu, yang didukung<br />
penegakan hukum secara konsisten, yaitu: (1) Tersusun dan dipatuhinya tata ruang<br />
wilayah pesisir , (2) Terkendalinya reklamasi pantai, (3) Terkendalinya pencemaran<br />
perairan, (4) Tertatanya permukiman kumuh, (5) Kembalinya sempadan pantai dan<br />
rehabilitasi mangrove, (6) Terkendalinya masalah banjir, (7) Terkendalinya masalah<br />
abrasi, (8) Terkendalinya sedimentasi.<br />
Salah satu faktor penyubur terjadinya konflik serta mempercepat kerusakan<br />
sumberdaya pesisir adalah lemahnya koordinasi antar lembaga terkait. Untuk mengatasi<br />
kondisi tersebut harus dilakukan peningkatan koordinasi kelembagaan yang melibatkan<br />
dinas/instansi daerah seperti Bappeda, Perikanan dan Kelautan, Pariwisata, Industri dan<br />
Perdagangan, Perhubungan dan kepelabuhan, BPN, dan lain-lain. Upaya yang harus<br />
dilakukan adalah menghilangkan ego sektor dengan penegasan kembali fungsi dan<br />
kewenangan masing-masing dinas/instansi terkait, serta harus ada selalu diadakan rapatrapat<br />
koordinasi untuk membicarakan berbagai hal yang menyangkut pengelolaan<br />
wilayah pesisir itu sendiri.<br />
16
Pendekatan Ekosistem Terpadu: Strategi dalam Pengelolaan Laut dan Pesisir<br />
Andi Fajar Asti<br />
C. Pendekatan Ekosistem Terpadu dalam Pengelolaan Laut dan Pesisir Antar<br />
Masyarakat Internasional<br />
Pendekatan ekosistem, seperti yang diadopsi oleh banyak perjanjian multi-lateral<br />
tentang lingkungan, menyediakan kerangka yang penting untuk menilai keanekaragaman<br />
hayati dan ekosistem dengan mengevaluasi potensi The Convention on Biological<br />
Diversity (CBD) yang merujuk kepada pendekatan ekosistem sebagai suatu strategi untuk<br />
diintegrasikan terhadap pengelolaan tanah, air, dan sumber daya alam yang<br />
mempromosikan konservasi yang berkelanjutan dengan menggunakan cara-cara yang<br />
adil. Aplikasi dan pendekatan ekosistem fokus terhadap hubungan fungsional dalam suatu<br />
proses ekosistem, perhatian terhadap manfaat distribusi yang mengalir dari ekosistem,<br />
penggunaan praktik pengelolaan adaptif, kebutuhan untuk melakukan tindakan<br />
manajemen di beberapa skala, dan kerjasama antar-sektoral.<br />
Adapun pendekatan lain, seperti pengelolaan sumber daya air terpadu dan laut<br />
dan pesisir terpadu pengelolaan kawasan, ini sesuai dengan pendekatan ekosistem dan<br />
mendukung aplikasi di berbagai sektor atau biomes, termasuk pesisir dan kelautan<br />
lingkungan. Faktanya, penerapan pendekatan ekosistem di wilayah pesisir dan laut yang<br />
dibangun pada konsep manajemen terpadu, sudah banyak digunakan untuk pengelolaan<br />
daerah-daerah tersebut.<br />
Hal ini melibatkan perencanaan komprehensif dan peraturan dari aktivitas<br />
manusia terhadap set multiple yang kompleks, dan sering konflik, objektif dan bertujuan<br />
untuk meminimalisasi konflik di antara pengguna yang menggunakan dan pengguna<br />
sementara memastikan jangka panjang kesinambungan. Pendekatan ekosistem yang<br />
merupakan evolusi terpadu pengelolaan pesisir dan laut, dengan lebih menekankan pada<br />
tujuan dan sasaran ekosistem dan hasilnya. Pindah ke sebuah pendekatan ekosistem harus<br />
dianggap sebagai langkah evolusioner dalam terpadu manajemen dan tindakan.<br />
Salah satu hal penting yang berubah secara langsung dalam ekosistem laut lebih<br />
dari 50 tahun adalah cara memancing yang memberikan efek pada struktur, fungsi dan<br />
keanakeragaman dari laut. Tekanan perikanan tangkap (memancing) sangatlah kuat pada<br />
salah satu sistem kelautan di seluruh dunia, biomassa dari ikan tangkapan di lautan (baik<br />
ikan yang di tangkap atau target tangkapan dan juga yang tidak sengaja tertangkap) telah<br />
mengalami penurunan sebesar 90 % dari level utama dari omset industri perikanan. Pada<br />
area ini stok dari ikan tangkapan di seluruh dunia mengalami penurunan, yaitu telah<br />
mengalami overfishing atau penangkapan ikan sudah melebihi kapasitas maximum<br />
17
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
kemampuan nya untuk pulih kembali. Dari penelitian sebelumnya telah digambarkan<br />
bahwa perikanan global telah mencapai puncak pada tahun 1980-an, dan sekarang<br />
menolak disamping peningkatan usaha dan juga kekuatan perikanan, dengan sedikit<br />
tanda dari kecenderungan yang berlaku<br />
Beberapa negara telah mulai melaksakan pendekatan ekosistem pada area laut<br />
secara luas misalnya Canada, Australia, Inggris, termasuk menggunakan perencanaan<br />
daerah kelautan sebagai alat untuk mengimplementasikan pendekatan ekosistem dan<br />
pembangunan kelautan dengan menggunakan tumbuh-tumbuhan.<br />
Pada tahun 2004 UNEP “Regional Sea Program” telah setuju untuk<br />
meningkatkan visi secara terbuka dan intergrasi menajemen yang berdasarkan kepada<br />
pendekatan ekosistem, yang dimana prioritas dan konsentrasinya berhubungan dengan<br />
menajemen pesisir dan laut dan sumberdaya yang terkandung didalamnya.<br />
Selama ini aplikasi yang paling ekstensif dalam pendekatan ekosistem adalah<br />
“Large Marine Ecosystem” (LME) yang merupakan proyek yang didanai oleh “Global<br />
Environmental Facility” (GEF) yang menuju kepada pembangunan kooperasi subregional<br />
terhadap ekosistem berdasarkan manajemen kelautan. LME mewakili cara<br />
pragmatik untuk membantu lebih dari 120 negara dalam mengoperasikan pendekatan<br />
ekosistem dalam suatu wilayah yang cukup luas termasuk perhatian antar garis pemisah<br />
atau garis batas. Proyek tersebut mencakup Laut Merah dan Teluk Aden, Laut<br />
Mediterania, Laut Hitam, Laut Baltik, Paparan Patagonian, Aliran arus Bengeula, Aliran<br />
arus Guinea, Kepulauan di Samudera pasifik, Laut Kuning, dan Laut Cina Selatan/Teluk<br />
Thailand. Proyek ini juga di persiapkan untuk Aliran arus Canary, Kepulauan Caribbean,<br />
Aliran arus Anghulas dan Somali, Teluk Bengal, Aliran arus Humboldt dan Teluk<br />
Meksiko.<br />
Disamping pengertian kontemporer tentang pengelolaan ekosistem dimana<br />
manusia termasuk didalamnya (pengelolaan ekosistem dikenal sebagai pengelolaan dari<br />
aktifitas manusia yang mempengaruhi ekosistem dan bukan pengelolaan ekosistem dari<br />
komponen alami mereka), banyak proyek yang menggunakan pendekatan ekosistem<br />
tetapi tidak memperhatikan pengaruh manusianya. Salah satu contohnya proyek “World<br />
Bank” yang terdapat di Tanzania dan Zanzibar (Proyek Pengelolaan Lingkungan Laut dan<br />
Pesisir (MACEMP) atau disebut “Blueprint 2050”) yang mempunyai masalah<br />
perlindungan ekologi, desain pelindungan laut (perlindungan 10% dari laut pada 2012<br />
dan bertambah menjadi 20 % pada 2025), dan pada waktu yang bersamaan juga harus<br />
18
Pendekatan Ekosistem Terpadu: Strategi dalam Pengelolaan Laut dan Pesisir<br />
Andi Fajar Asti<br />
meringankan kemiskinan dan menjamin asuransi yang berkelanjutan bagi proyek<br />
tersebut.<br />
Salah satu pemisah dalam mengimplementasikan pengelolaan dasar ekosistem<br />
adalah kurangnya pengawasan data bagi indikator ekologi dan sosial-ekonomi didalam<br />
skala ekosistem, termasuk juga kekurangan dalam data dasar. Hanya beberapa ekosistem<br />
laut yang mempunyai data sistematik dalam jangka waktu yang lama yang mengenai<br />
status dan kecenderungan dari sistem alami dan sosial. Perhatian pada komunitas pesisir<br />
yang tidak mempunyai tindakan secara periodik terhadap kondisi sosial ekonomi,<br />
menyebabkan kemustahilan dalam mengukur kemajuan dari keberhasilan MDG dalam<br />
meringankan atau mengatasi kemiskinan yang terdapat pada daerah pesisir.<br />
Pengelolaan terintegrasi batas laut dalam aturan Badan Zona Ekonomi Ekslusif<br />
(EEZ) adalah 200 mil dari garis pantai, menghendaki adanya pengembangan konsepkonsep<br />
yang baru, prosedur-prosedur, dan struktur-struktur. Seperti halnya manfaat<br />
kerjasama antar negara, dalam hal mengambarkan dan pembagian pelajaran serta praktekpraktek<br />
yang baik, seperti peningkatan formula rumusan kebijakan kelautan nasional,<br />
banyak Negara khususnya pulau kecil yang tergabung dalam (SIDS), akan membutuhkan<br />
bantuan dalam memetakan dan membatasi EEZs mereka serta mengembangkan lembaga<br />
atau institusi dan prosedur-prosedur yang baru.<br />
Suatu analisa terbaru tindakan-tindakan nasional yang berdasarkan pada<br />
Barbados Programme Action. Menurut Berjuntai et al. (2005) bahwa pengelolaan secara<br />
integral pesisir pantai sudah ada dan dibentuk oleh beberapa negara yang tergabung<br />
dalam SIDS yang berlangsung diakhir dekade, dengan demikian memerlukan<br />
pengembangan pada tahap yang berikutnya.<br />
Puncak Kebijakan kelautan yang diadakan di Lisbon, Portugal, Oktober 2005,<br />
sekitar kurang lebih 40 negara mengomentari usaha-usaha mereka untuk mengembangkan<br />
kebijakan-kebijakan integral kelautan yang berhubungan dengan konflik-konflik<br />
kesepakatan penggunaan ganda diantara mereka seperti halnya para agen pemakai dan<br />
pengelola, degradasi sumber daya laut dan kehilangan peluang untuk pembangunan<br />
ekonomi. kebijakan-kebijakan nasional yang berbeda sama halnya dengan membangun<br />
kaitan menggunakan istilah menyeluruh prinsip-prinsip dan kebutuhan yang transparan<br />
atau nyata, keterlibatan publik dan stakeholder, tunjangan untuk aksi kerjasama, dan<br />
tanggun-jawab administrasi kelautan nasional yang jelas dan transparansi. GEF (global<br />
environmental facility) mendukung pengembangan mengenai kebijakan-kebijakan<br />
19
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
regional kelautan yang mengutamakan sumber daya dan batas-batas kelautan yang<br />
disepakati 15 Large Marine Ecosystems (LMES).<br />
KESIMPULAN<br />
20<br />
Pengelolaan eksositem kawasan laut dan pesisir secar terpadu pada dasarnya<br />
adalah sama dengan mengadopsi pendekatan yang holistik dan terpadu yang meliputi<br />
dimensi lingkungan dan sosial ekonomi, tetapi skala operasi dan tingkat intervensi<br />
pengelolaannya mungkin beragam dengan mengacu pada skala geografis. Banyaknya<br />
limbah domestik dan tingginya tingkat sedimentasi yang masuk ke dalam wilayah pesisir,<br />
perlu dilakukan suatu bentuk pengendalian, pencemaran limbah dan pengaturan<br />
pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Hal ini merupakan masalah kritis, sehingga<br />
perlu dilakukan tindakan langsung baik secara hukum formal maupun hukum adat untuk<br />
menciptakan pengendalian terhadap kegiatankegiatan yang dapat merusak lingkungan.<br />
Untuk menangani masalah tersebut, maka perlu dirumuskan suatu penataan<br />
ruang, pengelolaan dan pengusahaan kawasan wilayah pesisir yang memiliki dimensi<br />
keterpaduan ekologis, sektoral, disiplin ilmu serta keterpaduan antar stakeholders,<br />
sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan dapat tercapai yaitu pertumbuhan ekonomi,<br />
perbaikan kualitas lingkungan serta adanya kepedulian antar generasi. Selain itu bantuan<br />
finansial dari Global Environmental Facility (GEF) dan instansi bilateral maupun<br />
multilateral berkontribusi terhadap penerapan konsep dan pendekatan ini pada tingkat<br />
daerah, nasional maupun regional.<br />
SUMBER RUJUKAN<br />
Cicin-Sain and R.W. Knecht. 1998. Integrated Coastal and Marine Management. Island<br />
Pres, Washington DC.<br />
Dahuri, R., J Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah<br />
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, PT. Pradnya Paramita,Jakarta.<br />
Dahuri, R. 1999. Pengelolaan Wilayah Pesisir dalam Kontek Pengembangan Kota Pantai<br />
dan Kawasan Pantai Secara Berkelanjutan. Makalah disampaikan dalam<br />
Seminar Nasional Kemaritiman, Jakarta.<br />
Kay, R. And J. Alder. 1999. Coastal Planning and Management. E & FN Spon. London.<br />
Nybaken,W.J. 1992. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologi. Gramedia, Jakarta.<br />
Sorensen, J.C. and S.T. McCreary. 1990. Institutional Arrangement for Managing<br />
Resources and Environment 2nd ed. Coastal Publication No. 1. Renewable<br />
Resources Information Series. US National Park Services and US Agency for<br />
International Development, Washington DC.<br />
www.lestari-m3.org Powered by Joomla! Generated: 1 March, 2009, 03:54
Wacana Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember Tahun 2009 (21‐26)<br />
KONSUMERISME SEBAGAI SIMBOL MODERNITAS<br />
Asliah Zainal<br />
(Staf Pengajar pada Jurusan Dakwah STAIN Kendari)<br />
(liazain@yahoo.com)<br />
Abstract:<br />
This paper try to describe mode of consumsion the modern society and how<br />
they interprete the symbols in the social and cultural sphere.<br />
Modernity as one of the globalization impact tends to bring society in the<br />
popular culture, it is consumerism. Why people tend to paralyze their logical<br />
thinking (as the one of modern characteristic) in the way to faced<br />
commodities of capitalism. Apparently, there are close relevances between<br />
the flooding of exotic advertisement in the capitalis industry, the paralyzing<br />
of logical thinking of merchandises, and finally the rising of deceived<br />
conciousness.<br />
The result is modern society with consumerism preference brings to the<br />
situation of anomic, which is the interaction among them is the contractual<br />
interaction, mechanical solidarity, and the distance relationship. Whereas<br />
they try to built the pseudo- identity and tends to be fragile. The modern<br />
society put on the consumerism symbols because they are fear if they are not<br />
part of group.<br />
Modernity in the process of seeking the identity makes society like to create<br />
the manipulative symbols to cause themselves not be alienated from the<br />
society and culture. In that process people are in the ambiguity, in the<br />
liminal, which is arrange the communities with the manipulative symbols.<br />
Kata Kunci: Modernity, Consumersism, Popular Culture, Identity,<br />
Symbols.<br />
PENDAHULUAN<br />
Dalam alam modernitas sebagai dampak globalisasi, manusia memproduksi<br />
simbol sekaligus memaknainya sebagai referen dan atribut-atribut kemodernan. Simbolsimbol<br />
modern ini berbeda secara signifikan dengan simbol-simbol pada masyarakat<br />
tradisional.<br />
Konsumerisme merupakan salah satu gaya hidup masyarakat modern yang<br />
mengacu kepada apa yang dimakan, apa yang dikenakan, dipertontonkan, apa yang<br />
dilakukan untuk menghabiskan waktu. Konsumerisme demikian menunjukan identitas<br />
diri yang dicirikan atau disimbolkan oleh atribut-atribut tertentu. Tulisan ini berupaya<br />
untuk mengungkap pola konsumsi masyarakat modern dan bagaimana simbol-simbol<br />
modernitas tersebut dimaknai secara sosial budaya.<br />
21
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
KONSUMERISME SEBAGAI SALAH SATU BUDAYA MASSA<br />
Ciri modernitas yang membawa dampak materialisme dewasa ini diwakili oleh<br />
kehadiran mall, fasilitas dan sarana pendidikan, tempat rekreasi, tempat hiburan, bioskop,<br />
perbankanan, dan sebagainya. Ciri-ciri modernitas tersebut kemudian dihubungkan<br />
dengan pola konsumsi masyarakat modern itu sendiri. Pola konsumsi ini mengacu kepada<br />
apa yang dimakan, apa yang dikenakan, apa yang dipertontonkan, apa yang dilakukan<br />
dalam menghabiskan waktu mereka dalam kehidupan. Cara-cara manusia menghabiskan<br />
waktu pun menjadi komoditas kapitalisme. Hal-hal yang tadinya bersifat “leissure”<br />
menghabiskan waktu menjadi nilai bisnis di mata kaum pemilik modal (kapitalis). Cara<br />
manusia bersantai, bepergian, berolah raga, atau bahkan bermain dianggap sebagai<br />
sebuah “pekerjaan” tertentu (Briggs, 2006: 233).<br />
Ia menjadi bernilai bisnis dan menjadi bagian dari pola konsumsi. Konsumerisme<br />
ini merupakan salah satu dari budaya massa. Yang dimaksudkan dengan budaya massa<br />
adalah budaya yang menyenangkan, disukai banyak orang, bahkan budaya masa ini<br />
diartikulasikan sebagai budaya “sub standard” (Storey, 1993: 11). Karena sifatnya yang<br />
sub standard, maka ia sebetulnya tidak bisa diharapkan. Ia diproduksi oleh masa untuk<br />
dikonsumsi oleh masaa. Segmen pasar dari budaya pasar ini adalah sosok-sosok<br />
konsumen yang tidak bisa memilih, budaya ini dimiliki atau bahkan dikuasai tanpa<br />
berpikir panjang dan tanpa perhitungan.<br />
Mengapa manusia modern cenderung melumpuhkan sikap kritisnya dalam<br />
menyikapi budaya massa, termasuk budaya konsumerisme? Mengapa manusia modern<br />
yang konon dicirikan rasionalitas cenderung terus terbius untuk membeli komoditikomoditi<br />
dan rayuan visual eksotis dari barang-barang tersebut? Pertanyaan tersebut akan<br />
dijawab dengan asumsi bahwa ada hubungan antara kesadaran manusia, informasi, dan<br />
konsep keterasingan itu sendiri. Informasi yang diterima individu secara terus menerus<br />
yang mengarahkan pada sikap mengiyakan atau menolak, akan membentuknya menjadi<br />
transformasi informasi. Bila transformasi tersebut memberikan solusi yang<br />
mensejahterakan dan bukan mencelakakan, maka hal itu disebut sebagai proses<br />
emansipasi dan kesadaran kritis menjadi kesadaran emansipatorik (Sutrisno, t.t: 150).<br />
Penjelasan ini belumlah dapat menjawab pertanyaan mengapa jika manusia sudah<br />
memiliki tiga bentuk kesadaran demikian (kesadaran kritis, transformasi dan<br />
emansipatorik), akan tetapi menjadi tidak kritis atas rayuan komoditas konsumerisme.<br />
22
Konsumerisme Sebagai Simbol Modernitas<br />
Asliah Zainal<br />
Ada tiga hal yang menjadikan manusia menjadi tumpul daya kritisnya menghadapi<br />
rayuan visual eksotis benda-benda komoditas; (a) Banjir eksotisme iklan dalam industri<br />
kapitalis membuat apa saja menjadi benda dan mimpi serta menyadari secara kritis dalam<br />
reifikasi, (b) Kesadaran manusia dibuat terbuai oleh fethisisme atau pemberhalaan yang<br />
melumpuhkan rasioalitas. Orang lalu menjadi tidak merasaa percaya diri, tidak<br />
beridentitas karena tidak memiliki merk-merk tertentu, (c) Berlakunya kesadaran semu<br />
yang membentuk dan memberhalakan sublimasi yang seolah-olah menjadikan manusia<br />
kuat sebagaimana dimodelkan oleh iklan. Iklan telah menciptakan kesadaran semu<br />
manusia (Sutrisno, t.t: 152).<br />
Ketiga hal tersebutlah yang mengalahkan kesaran kritis manusia modern dengan<br />
eksotisme mimpi yang ditawarkan iklan menjadi mimpi-mimpi semu dan akhirnya<br />
melahirkan kesadaran semu. Oleh sebab itu, budaya massa sebagaimana halnya<br />
konsumerisme dianggap sebagai dunia impian kolektif. Mimpi dan kesadaran semu telah<br />
melahirkan manusia-manusia yang teralienasi dari dunia dan kehidupannnya.<br />
Dampak modernitas dalam masyarakat berimplikasi pada kehidupan sosial<br />
budaya. Ide-ide globalisasi dan modernisasi membawa masyarakat dari identitas<br />
pertanian kepada masyarakat industri, dari masyarakat tradisional dengan ciri mistis dan<br />
spritualitas menuju masyarakat modern yang rasional-materialistis. Belum lagi perubahan<br />
yang sangat cepat dari kebudayaan oral menunju pada kebudayaan membaca-menulis<br />
(literacy) menjadikan individu-individu mengalami kekagetan budaya (cultural shock).<br />
Individu-individu yang mengalami shok budaya ini merasakan ada gap antara<br />
kebudayaan sebelumnya yang selama ini melingkupinya menuju pada kebudayaan baru<br />
yang sama sekali tidak dikenalnya. Akibat yang bisa dipastikan adalah manusia-manusia<br />
modern menjadi teralienasi dari kebudayaan dan masyarakatnya sendiri. Istilah yang<br />
diperkenalkan Durkheim adalah anomi, sebuah keadaan dimana nilai, norma, dan aturan<br />
yang selama ini dijadikan pegangan menjadi terburai dan tercerai berai.<br />
Bentuk-bentuk alienasi masyarakat modern demikian sangat jamak ditemukan<br />
dalam msaarakat modern atau disebut pula dengan masyarakat transisional. Disebut<br />
sebagai masyarakat transisional sebab ia mengikuti cara hidup modernitas, akan tetapi<br />
belum sepenuhnya meninggalkan nilai-nilai kebudayaan lama yang selama ini dianutnya.<br />
Sifat ambiguitas inilah yang banyak melanda manusia-manusia modern yang teralienasi<br />
dari masyarakat dan kebudayaannya sendiri.<br />
23
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
Konsep destination shopping ini yang secara tidak sadar membentuk impian dan<br />
kesadaran semu para konsumer dan akhirnya melahirkan pola-pola konsumerisme yang<br />
tak akan pernah akan ada habisnya. Akhirnya, berbelanja juga dianggap sebagai sebuah<br />
pekerjaan, sebuah aktivitas sosial dan suatu saat menjadi kompetisi baik kompetisi untuk<br />
diri sendiri (memutuskan membeli atau tidak) juga terlebih untuk kompetisi pada teman<br />
dan anggota masyarakat lain (sebagai simbol status, gengsi dan image manusia modern<br />
dan tidak ketinggalan zaman).<br />
Kemodernan diidentikkan dengan gaya hidup, status, kelas sosial, gengsi, dan<br />
citra tertentu. Manusia membeli sesuatu bukan lagi ditujukan demi tujuan substansi<br />
materi benda itu sendiri akan tetapi oleh gengsi, status, dan citra pribadi dan juga<br />
kelompok. Tidak ada lagi keintiman hubungan antara dua personal atau kelompok. Satusatunya<br />
interaksi yang terjadi dalam interaksi dunia konsumerisme adalah simulacra,<br />
dangkal dan kurang bermutu (Putranto, dalam Sutrisno, t.t: 200). Hal ini bisa dijumpai<br />
dalam interaksi yang ditemukan dalam restoran-restoran cepat saji, penerimaan oleh<br />
resepsionis bank atau hotel, dan tempat-tempat perbelanjaan pada umumnya.<br />
Konsumsi bagaimanapun merupakan sektor yang anomik. Meskipun mengikuti<br />
pola hidup konsumerisme yang diperlihatkan individu menunjukan sebuah sikap pasivitas<br />
dari individu yang bersangkutan, konsumsi sesungguhnya adalah sebuah perilaku yang<br />
aktif dan kolektif. Ia bersifat aktif karena merupakan sebuah paksaan, sebuah moral oleh<br />
sistem masyarakat (Baudrillard, 2004 91). Jadi, bisa jadi konsumsi juga merupakan<br />
sebuah institusi yang berfungsi integratif dan kontrol sosial bagi anggota masyarakatnya.<br />
Pola konsumerisme yang dilakukan oleh masyarakat tertentu kemudian membentuknya<br />
menjadi masyarakat konsumsi. Masarakat konsumsi dalam kondisi demikian menjadi<br />
sarana sosialisasi pembelajaran konsumsi. Masyarakat konsumsi lewat paksaan yang<br />
dilakukan oleh kontrol sosial (melalui atomisasi pribadi konsumen) melahirkan<br />
masyarakat yang memiliki solidaritas organik, bersifat kontraktual, dan berjarak, bukan<br />
lagi masyarakat yang mengacu pada solidaritas mekanik sebagaimana awalnya atau<br />
hubungan-hubungan familiar.<br />
MAKNA SIMBOL KONSUMERISME DALAM DUNIA MODERN<br />
Simbol sebagai tanda dalam kehidupan memiliki hubungan dengan suatu tanda<br />
lain dalam kehidupan. Simbol kemudian harus dibedakan dengan tanda dan lambang<br />
tersebut. Ada tiga tipe tanda dalam kehidupan manusia sebagaimana diungkapkan Charles<br />
24
Konsumerisme Sebagai Simbol Modernitas<br />
Asliah Zainal<br />
Pierce (dalam Saifuddin, 2005: 291), yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon mencerminkan<br />
obyeknya dalam hal tertentu (salib adalah ikon Kristen); indeks memiliki keterkaitan<br />
secara fisik dengan obyeknya, misalnya mawar sebagai indeks kelompok bunga;<br />
sedangkan simbol berarti sesuatu yang berarti bagi obyeknya, karena ditafsirkan<br />
sedemikian rupa melalui kesepakatan dan penggunaannya.<br />
Karakteristik simbol sebagaimana diungkapkan diatas menerangkan bahwa<br />
simbol itu merupakan sesuatu yang arbitrer. Pemaknaan yang disimbolkan adalah mana<br />
suka tergantung atas individu atau subyek dan interest tertentu. Simbol juga<br />
merepresentasikan sesuatu yang abstrak yang tidak mudah diobservasi atau divisualisasi.<br />
Di samping itu, simbol juga dilekatkan untuk mengatur dan mengacu pada obyek yang<br />
disimbolkan.<br />
Konsumerisme sesungguhnya adalah manipulasi simbol. Simbol diciptakan untuk<br />
kemudian dimaknai secara manipulatif demi untuk mengecoh makna sebenarnya yang<br />
diacu oleh simbol-simbol tersebut. Konsumerisme dalam restoran cepat saji yang<br />
dicirikan oleh interaksi simulacra (dangkal dan kurang intim), pelayanan yang diberikan<br />
dalam hotel atau perbankan, cara manusia berbelanja, menghabiskan waktu (rekreasi),<br />
atau bermain dimanipulasi oleh simbol-simbol hubungan atau interaksi yang dangkal,<br />
kontraktual, berjarak, dan sporadik.<br />
Manusia modern yang berada dalam masa transisi dicirikan oleh identitas diri<br />
yang membingungkan (ambigu). Mereka berada dalam alam ambang yang jika mereka<br />
masih memegang nilai-nilai lama dalam ketradsionalan mereka, akan dikatakan<br />
ketinggalan zaman. Akan tetapi, jika mereka akan mengikuti pola kebudayaan baru yang<br />
serba modern nilai-nilai baru tersebut belum terbentuk secara konkrit. Manusia-manusia<br />
yang mengalami kebingungan ini berada dalam fase ambang (threshold). Manusia<br />
modern dikatakan Sairin (2002: 172) juga bisa diidentifikasi sebagai masyarakat<br />
transisional yang ambigu/liminal (neither here and nor there).<br />
Konsumerisme sesungguhnya menyimbolkan impian dan kesadaran semu.<br />
Konsumerisme memberi ruang bagi eskapisme (pelarian) bukan semata pada dunia yang<br />
lain (dunia mimpi), akan tetapi juga pelarian dari utopia manusia sendiri. Mimpi<br />
ditawarkan oleh iklan secara bombastis menjadikannya bukan semata sebagai impian<br />
semata lagi. Komoditas-komoditas yang ditawarkan iklan menjanjikan mimpi akan jadi<br />
kenyataan (the dream come true) dan akhirnya mimpi itu sendiri bukan lagi sesuatu yang<br />
utopis bagi manusia modern. Mall adalah katedral konsumsi. Konsumerisme dewasa ini<br />
25
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
dimetaforkan sebagai agama. Sebagaimana agama, ia memiliki potensi dan komoditas<br />
untuk dipuja dan ritualnya berupa pertukaran uang dan barang.<br />
KESIMPULAN<br />
Modernitas yang berada dalam proses yang terus menerus dan proses pencarian<br />
identitas, menjadikan manusia modern menciptakan simbol-simbol manipulatif untuk<br />
menjadikan dirinya tidak teralienasi dari masyarakat dan kebudayaannya. Dalam proses<br />
yang terus menerus seperti itu manusia berada dalam masyarakat yang ambigu, berada<br />
dalam alam liminal, yang membentuk komunitas-komunitas dengan ciri-ciri simbol yang<br />
manipulatif.<br />
SUMBER RUJUKAN<br />
Abdullah, Irwan. 2007. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka<br />
Pelajar.<br />
Baulrillard, Jean P. 2004. Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.<br />
Briggs, Asa & Peter Burke. 2006. Sejarah Sosial Media. Jakarta: Yayasan Obor<br />
Indonesia.<br />
Fieldman, Philip. 1980. Psychological Problems. New York: John Wiley & Sons.<br />
Klaffke, Pamela. 2003. Spree; a Cultural Hystory of Shoping. Van Couver: Arsenal Pulp<br />
Press.<br />
Saifuddin, Achmad Fedyani. 2005. Antropologi Kontemporer; Sutau Pengantar Kritis<br />
Mengenai Paradigma. Jakarta: Kencana.<br />
Sairin, Sjafri. 2002. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia; Perspektif Antropologi.<br />
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.<br />
Storey, John. 1993. Teori Budaya dan Budaya Pop; Memetakan Lanskap Konseptual<br />
Cultural Studies. Yogyakarta: Qalam.<br />
Sutrisno, Mudji, et.al. t.t. Cultural Studies; Tantangan bagi Teori-Teori Besar<br />
Kebudayaan. Depok: Koekoesan.<br />
26
Wacana Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember Tahun 2009 (27‐36)<br />
POTENSI DAERAH KARST MIKROKONTINEN BUTON-TUKANGBESI<br />
DALAM PENGEMBANGAN PARIWISATA BERBASIS ALAM DAN BUDAYA<br />
Burhan 1) dan Jalil 2)<br />
1) Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN Sultan Qaimuddin Kendari<br />
e-mail: bur99@plasa.com dan burhan.lanya@yahoo.co.id<br />
2) Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Buton, Prov. Sulawesi Tenggara<br />
Abstract:<br />
Kawasan karst merupakan hasil interaksi proses fisik dan non fisik masa lalu<br />
yang berlangsung terus menerus hingga saat ini. Daerah karst mikrokontinen<br />
Buton-Tukangbesi mempunyai struktur geologi yang sangat kompleks.<br />
Kompleksitas struktur geologi tersebutlah yang diduga mengontrol sistem<br />
kekayaan wisata alam dan budaya di daerah ini. Sistem wisata alam dan<br />
budaya daerah karst mikrokontinent Buton-Tukangbesi perlu terus<br />
dikembangkan agar dapat memberikan manfaat berlimpah bagi daerah ini.<br />
Kata Kunci: kawasan karst, mikrokontinen, pariwisata alam dan budaya.<br />
PENDAHULUAN<br />
Kawasan karst merupakan hasil interaksi proses fisik dan non fisik masa lalu<br />
yang berlangsung terus menerus hingga saat ini. Proses tersebut telah menghasilkan<br />
konfigurasi yang menarik mengenai keterkaitan antar aspek, khususnya aspek-aspek<br />
geofisik dan geologi. Keterkaitan tersebut menandai transformasi kawasan karst<br />
mikrokontinen Buton-Tukangbesi (Satyana, et al., 2008; dan Tanjung, et al., 2008) baik<br />
dimensi spasial maupun dimensi temporalnya. Harapannya akibat transformasi kawasan<br />
karst tersebut baik dimensi spasial dan temporal dapat disajikan dalam tulisan ini.<br />
Berpijak pada hasil penelitian pemodelan struktur bawah permukaan kawasan<br />
regional Sulawesi Tenggara dan kawasan Busur Banda bagian barat berdasarkan kajian<br />
anomali gravitasi (Burhan, 2009), tulisan ini juga diarahkan untuk melengkapi dan<br />
mensosialisasikan informasi mengenai keadaan karst mikrokontinen Buton-Tukangbesi,<br />
yang jika dikelola dan dikembangkan dengan baik dapat mendukung potensi<br />
pengembangan pariwisata di daerah ini, terutama wisata alam dan budaya.<br />
Penguatan data yang menjangkau dimensi spasial sekaligus temporal ini, adalah<br />
modal utama untuk merumuskan nilai strategis kawasan karst, yang dapat memandu kita<br />
kearah pelebaran visi dan rancangan pengelolaan kawasan pariwisata yang bijak.<br />
Pengelolaan kawasan pariwisata yang bijak diharapkan dapat mendukung program<br />
pemerintah dalam upaya pelestarian dan pengembangan kebudayaan dan pariwisata, yaitu<br />
27
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
untuk menumbuhkan pemahaman dan perkembangan masyarakat terhadap kebudayaan<br />
dan pariwisata, meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dan menumbuhkan sikap<br />
kritis terhadap fakta sejarah dan serta memperkokoh ketahanan bangsa (Anonim, 2008).<br />
Hal lain yang tidak kalah penting untuk disadari bahwa pembangunan bidang kebudayaan<br />
dan pariwisata memiliki peran penting dalam memperbaiki struktur kehidupan bangsa,<br />
apalagi dengan adanya persoalan kompleks dan bersifat multidimensional yang saat ini<br />
masih berlanjut setelah terjadinya krisis berkepanjangan, serta meningkatnya ancaman<br />
keamanan secara global.<br />
STRUKTUR GEOLOGI DAERAH KARST MIKROKONTINEN BUTON-<br />
TUKANGBESI<br />
Keadaan geologi daerah karst Mikrokontinent Buton-Tukangbesi telah<br />
berlangsung sejak jutaan tahun yang lalu hingga saat ini, namun secara umum telah mulai<br />
dijelaskan dan ditekuni oleh van Bemmelen (1949), Hamilton (1979), Katili (1978),<br />
Fortuin, et al. (1990), Smith dan Silver (1991), Davidson (1991), Koswara dan Sukarna<br />
(1994), Sikumbang, et al. (1995), Ali, et al. (1996), Eldburg dan Foden (1999a), Milsom,<br />
et al. (1999, 2000), Eldburg, et al., (2002), Tobing (2005), Satyana, et al., (2008) dan<br />
Tanjung, et al., (2008).<br />
Daerah karst mikrokontinen Buton-Tukangbesi mempunyai struktur geologi yang<br />
sangat kompleks. Menurut van Bemelen (1949), mikrokontinen Buton-Tukangbesi adalah<br />
salah satu pulau yang berasal dari Lengan Tenggara Sulawesi. Pecahan-pecahan Lengan<br />
Tenggara Sulawesi terdiri atas beberapa pulau yang disebut gugusan kepulauan Buton.<br />
Pulau Buton (atau Butung), Muna, Kabaena, dan Wawonii adalah pulau-pulau besar dari<br />
gugusan kepulauan ini serta Kepulauan Tukangbesi adalah gugusan pulau-pulau kecil.<br />
Pulau-pulau ini terpisah dari Lengan Tenggara Sulawesi dengan selat-selat yang cukup<br />
sempit. Kepulauan ini merupakan antiklin naik sehingga membentuk cekungan berarah<br />
baratlaut (NW). lipatan-lipatan setempat mengandung deretan coral memanjang yang<br />
berumur neogene hingga pleistocene, sebagai contoh di pulau Buton bagian selatan<br />
terdapat 14 terraces (petak-petak) pada ketinggian 703 m diatas mean sea level (gunung<br />
Kontu).<br />
Blok-blok kerak dibawah permukaan dari kepulauan Buton ini umumnya<br />
menyebar secara radial ke segala arah terutama berarah timur, tenggara, selatan dan barat<br />
daya. Bawah permukaan pulau Wawonii berarah timur hingga terhubung dengan lantai<br />
cekungan Banda bagian utara. Kedalaman batimetri mencapai 5100 m hingga 6500 m.<br />
28
Potensi Daerah Karst Mikrokontinen Buton‐Tukangbesi<br />
dalam Pengembangan Pariwisata Berbasis Alam dan Budaya<br />
Burhan dan Jalil<br />
Selanjutnya, muncul blok-irisan gugusan kepulauan Tukang Besi yang berasal dari Buton<br />
bagian tengah yang berarah tenggara. Palung Buton ini membujur sejajar (parallel)<br />
dengan blok-blok kepulauan Tukang Besi yang dipisahkan kurang lebih oleh tiga sifat<br />
(triangular blok) yang berbeda dengan pulau Hagedis (Batuatas) dan pulau Kabia. Blokblok<br />
ini berakhir pada bagian selatan Buton dan alas blok ini menerus dari arah barat<br />
hingga berakhir pada cekungan banda bagian selatan. Daerah ini mempunyai kedalaman<br />
kira-kira 2000 m. Pada pulau Batuatas terdapat lipatan coral muda pada ketinggian 193<br />
diatas mean sea level (msl). Pada daerah Buton selatan-barat terdapat punggungan yang<br />
memanjang ke barat daya melalui pulau-pulau kecil yang dimulai dari pulau Kadatua dan<br />
Siompu menerus hingga teluk Bone.<br />
Rata-rata orogenic daerah ini sangat aneh, karena susunan sayatan kerak berarah<br />
radial (beberapa di antaranya terangkat seiring waktu, terjadi tumbukan antar blok hingga<br />
sampai pada kedalaman ribuan meter). Menurut Hamilton (1979) dan Katili (1978), Pulau<br />
Buton dan Kepulauan Tukangbesi merupakan salah mikrokontinen yang berasal dari<br />
batas bagian utara benua Australia yang akibat adanya lempeng tektonik sehingga Pulau<br />
Buton berada pada posisinya saat ini. Mikrokontinen–mikrokontinen yang diduga kuat<br />
berasal dari batas bagian utara benua Australia bukan hanya pulau Buton saja, tetapi juga<br />
adalah mikrokontinen Banggai-Sula, Seram, Buru dan Kepala Burung Papua. Hal ini<br />
dilihat dari kandungan hidrokarbon yang berlimpah di daerah-daerah tersebut (Tobing,<br />
2005; Satyana et al., 2008 dan Tanjung, et al., 2008).<br />
PARIWISATA ALAM DAERAH KARST MIKROKONTINEN BUTON-<br />
TUKANGBESI<br />
Singer (2006) mengemukakan bahwa sebelumnya, banyak orang lebih mengenal<br />
Buton sebagai penghasil aspal alami terbesar di Asia yang hingga saat ini diperkirakan<br />
masih terdapat deposit aspal sekitar 650 juta ton. Saat ini, Pulau Buton tidak hanya<br />
dikenal dari aspal alamnya, tetapi juga dikenal sebagai pintu gerbang wisata di Sulawesi<br />
Tenggara. Buton dan pulau-pulau disekitarnya memiliki potensi wisata alam kelas dunia<br />
jika dikembangkan. Potensi alam tersebut antara lain : wisata bahari Pantai Nirwana,<br />
wisata bahari Taman Nasional Wakatobi, wisata bahari Pulau Kabaena, wisata bahari<br />
Basilika (Batuatas, Siompu, Liwutongkidi, Kadatua), wisata alam hutan alami<br />
Lambusango, Suaka Margasatwa Buton Utara, Wisata alam karst Wasampuarona, wisata<br />
alam daerah bekas penambangan aspal, dan wisata gua karst Buton (Purwanto, 2006).<br />
Pada tulisan ini, penulis hanya akan menulis sedikit contoh kekayaan wisata alam di<br />
29
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
daerah karst mikrokontinent Buton-Tukangbesi, yaitu Hutan Lambusango dan Taman<br />
Nasional Laut Wakatobi.<br />
Hutan Lambusango memiliki luas 65.000 ha. Hutan ini terbagi atas berbagai<br />
status yaitu : Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Hutan Lindung, dan Hutan Produksi.<br />
Posisi Hutan Lambusango terletak pada kawasan strategis, karena terletak di jantung<br />
Pulau Buton. Jarak dari Bau-Bau ke pusat Hutan Lambusango di resort Labundo-bundo<br />
sekitar 63 Km, dapat ditempuh dengan jalan darat sekitar 2 jam. Hutan Lambusango<br />
sering disebut sebagai benteng terakhir kehidupan anoa (Bubalus sp.). Anoa dikenal<br />
sebagai satwa endemik Sulawesi yang sekarang statusnya terancam punah (endangered).<br />
Hingga saat ini anoa di Hutan Lambusango masih ditemukan sekitar 100 individu. Satwa<br />
lainnya yang unik dan umum ditemui di Hutan Lambusango adalah : Julang Sulawesi<br />
(Aceros cassidix), Tangkasi (Tarsius sp.), Andoke (Macaca ochreata brunescens),<br />
Kuskus Beruang (Ailurops ursinus), dan Musang Tenggalung (Viverra tangalunga).<br />
Di Hutan Lambusango terdapat suatu kawasan unik yang disebut, Padang Kuku.<br />
Tempat ini disebut dengan hutan kerdil (cloud forest) atau hutan berkabut pegunungan<br />
tropis (tropical mount cloud forest). Kondisi hutan seperti Padang Kuku, umumnya<br />
ditemukan di wilayah lain pada daerah sub alpin (ketinggian di atas 2000 m dpL).<br />
Padahal, kawasan Padang Kuku di Hutan Lambusango hanya berada pada ketinggian<br />
300-370 m dpL, luasnya sekitar 500 ha. Wisatawan yang berkunjung di daerah ini akan<br />
akan menemukan tipe vegetasi yang lain dengan didominasi oleh pohon kerdil bengkokbengkok,<br />
dan berdaun tebal. Di Padang Kuku, jika cuaca cerah, para wisatawan dapat<br />
melihat keindahan matahari terbenam (sunset) dari puncak bukit.<br />
Berdasarkan hasil citra satelit (Gambar 4), diketahui bahwa luas terumbu karang<br />
di kepulauan Wakatobi adalah 8.816,169 hektar. Di kompleks P. Wangi-wangi dan<br />
sekitarnya (P. Kapota, P. Suma, P. Kamponaone) lebar terumbu mencapai 120 meter<br />
(jarak terpendek) dan 2,8 kilometer (jarak terjauh). Untuk P. Kaledupa dan P. Hoga, lebar<br />
terpendek terumbu adalah 60 meter dan terjauh 5,2 kilometer. Pada P. Tomia, rataan<br />
terumbunya mencapai 1,2 kilometer untuk jarak terjauh dan 130 meter untuk jarak<br />
terdekat. Kompleks atol Kaledupa mempunyai lebar terumbu 4,5 kilometer pada daerah<br />
tersempit dan 14,6 kilometer pada daerah terlebar. Panjang atol Kaledupa sekitar 48<br />
kilometer. Atol Kaledupa merupakan atol terbesar yang ada di kawasan Wakatobi.<br />
Struktur geologi daerah karst mikrokontinen Buton-Tukang besi yang cukup<br />
kompleks tersebut di atas menghadirkan keadaan bentang alam yang sangat indah, baik di<br />
30
Potensi Daerah Karst Mikrokontinen Buton‐Tukangbesi<br />
dalam Pengembangan Pariwisata Berbasis Alam dan Budaya<br />
Burhan dan Jalil<br />
atas permukaan lautnya maupun keadaan bawah lautnya. Panorama alam tersebut belum<br />
terjamah dan terkelola dengan baik, meskipun telah mampu mendatangkan banyak<br />
wisatawan mancanegara, terutama di daerah-daerah bawah laut Pulau Hoga dan sekitar<br />
Kepulauan Tukangbesi. Kawasan alam bawah laut Tukangbesi berada pada pusat dari<br />
segitiga karang dunia (the heart of coral triangle centre), sehingga kawasan taman<br />
Tukangbesi dikenal sebagai Surga Nyata Bawah Laut. Tukangbesi memiliki kekayaan<br />
sumberdaya laut yang melimpah dan eksotik. Air laut yang sangat jernih, terumbu karang<br />
yang mempesona dan dihuni oleh beragam hewan laut seperti ikan paus, ikan duyung,<br />
ikan lumba-lumba, ikan napoleon dan berbagai jenis ikan hias lainnya serta berbagai jenis<br />
tumbuhan laut, layaknya sebuah taman di lautan.<br />
Kekayaan sumberdaya alam laut yang bernilai tinggi baik jenis dan keunikannya<br />
dengan panorama bawah laut yang menakjubkan (Gambar 1), menjadikan Taman<br />
Nasional kepulauan Wakatobi dijuluki surga bawah laut di antara pusat segitiga karang<br />
dunia (The heart of coral triangle centre, Gambar 2) yaitu wilayah yang memiliki<br />
keanekaragaman terumbu karang dan keanekaragaman hayati lainnya (termasuk ikan)<br />
tertinggi di dunia, yang meliputi Philipina, Indonesia sampai kepulauan Solomon.<br />
Kekayaan keanekaragaman hayati laut menjadikan Kepulauan Wakatobi ditunjuk sebagai<br />
Taman Nasional Laut (Gambar 3), berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No<br />
393/Kpts-VI/1996 tanggal 30 Juli 1996 dan ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri<br />
Kehutanan No 7651/Kpts/II/2002 tanggal 19 Agustus 2002 dengan luasan 1.390.000 Ha.<br />
PARIWISATA BUDAYA DAERAH KARST MIKROKONTINEN BUTON-<br />
TUKANGBESI<br />
Selain keindahan alam (landscape beauty), Buton juga kaya sejarah dan budaya.<br />
Buton merupakan pusat kesultanan besar yang wilayahnya meliputi Pulau Buton, Muna,<br />
Kabaena, Kepulauan Tukangbesi, Rumbia dan Poleang, karenanya Buton memiliki<br />
kekayaan budaya yang sangat luar biasa. Hampir di seluruh pulau, dapat dijumpai<br />
peningggalan kuno yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya. Wisata budaya terbesar<br />
adalah peninggalan budaya berupa Benteng Keraton Buton di Kecamatan Wolio. Benteng<br />
keraton ini berdiri megah di atas perbukitan yang menghijau, sehingga menambah<br />
keindahan bentang alam Buton dan sekitarnya. Benteng keraton Buton ini masih berdiri<br />
kokoh di usianya yang lebih 4 abad (dibangun pada abad ke-16), dan merupakan benteng<br />
terluas di dunia dengan panjang 2.740 meter, tebal 1-2 meter dan tinggi 2-8 meter.<br />
31
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
Beberapa situs bekas peninggalan kesultanan Buton di sekitar keraton buton<br />
adalah masjid agung keraton, kasulana tombi (tiang bendera kuno), Malige (rumah<br />
kediaman Sultan), dan Makam Sultan Murhum. Masjid Agung Keraton dibangun pada<br />
abad XVII, yaitu pada masa pemerintahan kesultanan Sakiudin Durul Alam. Disamping<br />
sebagai tempat ibadah, juga dijadikan sebagai tempat bermunajat (memohon) kepada<br />
Allah, SWT, dan juga dijadikan sebagai tempat pelantikan dan pengambilan sumpah<br />
sultan Buton. Tak jauh dari Masjid Agung Keraton Buton, masih berdiri dengan tegak<br />
tiang bendera kuno yang dikenal dengan istilah kasulana tombi (bahasa wolio) yang<br />
berada pada sebelah kiri Masjid Agung Keraton Buton. Kasulana tombi ini didirikan pada<br />
tahun 1712 dengan tinggi 21 meter. Wisata budaya Makam Sultan Murhum dapat<br />
dijumpai disisi barat laut masjid. Murhum merupakan raja terkahir dari 6 raja dan sultan<br />
pertama dan 38 sultan, dan dianugerahi gelar Murhum Kaimuddin Khalifatul Hamis, yang<br />
memerintah pada kurun waktu 1538-1584.<br />
Di Buton terdapat sedikitnya lima bahasa daerah yang menggambarkan<br />
banyaknya kelompok etnis sebagai penduduk asli. Masing-masing etnis memiliki corak<br />
budaya sendiri. Adapun kelima bahasa daerah di bekas wilayah kesultanan itu adalah<br />
Wolio, Ciacia, Tukang Besi (disebut bahasa pulau-pulau), Muna, dan Moronene.<br />
Promosi wisata budaya di era Orde Baru dikemas dalam bentuk Festival Keraton<br />
setiap tanggal 12-13 September di kompleks Keraton Buton. Festival tersebut merupakan<br />
peristiwa budaya yang mampu memobilisasi partisipasi masyarakat Buton. Puluhan ribu<br />
warga masyarakat secara spontan ikut berperan dalam setiap kali festival sebagai pelaku<br />
maupun penonton. Dalam festival tersebut ditampilkan berbagai atraksi budaya antara<br />
lain peragaan upacara perkawinan adat Wolio (Buton), upacara pingitan, perebutan uang<br />
logam yang dibuang ke laut, dan pekande-kandea. Pekande-kandea merupakan pesta adat<br />
tersendiri yang menampilkan aneka ragam makanan tradisional. Di luar festival, pesta<br />
pekandekandea biasanya dilaksanakan dalam rangka hari raya Idul Fitri.<br />
Dahulu acara pekakande-kandea dijadikan wahana tempat pertemuan para mudamudi<br />
sebelum melangsungkan perkawinan. Setiap tamu yang hadir diberi makan/disuap<br />
(tompa) oleh seorang gadis cantik dan sebagai balasan dari sang tamu diberinya sedikit<br />
uang sebagai tanda hubungan kemanusiaan yang sangat baik. Selain itu, ada juga upacara<br />
Posuo. Posuo, adalah suatu upacara ritual masyarakat Buton, yang merupakan suatu<br />
proses peralihan dari gadis remaja menjadi dewasa dan dilaksanakan selama 7 hari 8<br />
malam. Dalam prosesi tersebut para gadis diberikan pengetahuan tentang pendidikan<br />
32
Potensi Daerah Karst Mikrokontinen Buton‐Tukangbesi<br />
dalam Pengembangan Pariwisata Berbasis Alam dan Budaya<br />
Burhan dan Jalil<br />
nilai-nilai etika menurut adat dan agama, di samping itu mereka juga mendapat latihan<br />
fisik untuk menuju perilaku dewasa sehingga dapat berpenampilan cantik dan anggun.<br />
PENUTUP<br />
Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan di atas, maka disimpulkan bahwa<br />
kekayaan wisata alam dan budaya di daerah Karst mikrokontinen Buton-Tukangbesi tidak<br />
terlepas dari proses fisik dan non fisik yang berlangsung terus menerus sejak masa<br />
lampau hingga saat ini. Harapannya kekayaan wisata alam dan budaya tersebut tetap<br />
dapat dipertahankan dan dikembangkan secara maksimal, bahkan semakin ditingkatkan<br />
dengan tetap mempertahankan keaslian warisan alam dan budaya tersebut.<br />
Ucapan Terima Kasih<br />
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya<br />
kepada Forum Mahasiswa Pascasarjana Se-Indonesia (<strong>FWI</strong>) yang telah<br />
mendukung dengan tiada henti-hentinya upaya penulisan ini.<br />
SUMBER RUJUKAN<br />
Anonim, 2008, Informasi Taman Nasional Wakatobi, www.tamannasionalwakatobi.org<br />
Diunduh pada tanggal 9 November 2008.<br />
Anonim, 2008, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Departemen<br />
Kebudayaan dan Pariwisata RI tahun 2007, Biro Perencanaan dan Hukum,<br />
Sekretariat Jenderal DepBudPar RI, Jakarta, Maret 2008.<br />
Ali, J. R., Milsom, J., Finch, E. M. and Mubroto, B., 1996, SE Sundaland Accretion:<br />
Palaeomagnetic Evidence of Large Plio-Pleistocene Thin-Skin Rotations in Buton.<br />
In: Hall, R. & Blundell, D. J. (eds) Tectonic Evolution of Southeast Asia.<br />
Geological Society, London, Special Publications 106, 431–443.<br />
Burhan, 2009, Pemodelan Struktur Bawah Permukaan Kawasan Regional Sulawesi<br />
Tenggara dan Kawasan Busur Banda Bagian Barat Berdasarkan Kajian Anomali<br />
Gravitasi, Tesis S2 FMIPA (tak terpublikasi), UGM, Yogyakarta.<br />
Davidson, J. W., 1991, The geology and prospectivity of Buton Island, S.E. Sulawesi,<br />
Indonesia. Jakarta: Indonesian Petroleum Association. Proceedings of the<br />
Indonesian Petroleum Association, 20th Annual Convention, pp. 209–233.<br />
Elburg, M.A., van Leeuwen, T., Foden, J., and Muhardjo, 2002, Origin Of Geochemical<br />
Variability By Arc–Continent Collision In The Biru Area, Southern Sulawesi<br />
(Indonesia), Journal of Petrology Volume 43 No.4 P.581-606.<br />
Elburg, M. A. and Foden, J., 1999a, Geochemical Response to Varying Tectonic Settings:<br />
an Example from Southern Sulawesi (Indonesia). Geochimica et Cosmochimica<br />
Acta 63, 1155–1172.<br />
33
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
Fortuin, A. R., De Smet, M. E. M., Hadiwasatra, S., van Marle, L. J., Troelstra, S. R. and<br />
Tjokrosapoetro, S., 1990, Late Cenozoic Sedimentary and Tectonic History of<br />
South Buton, Indonesia. Journal of Southeast Asian Earth Sciences 4, 107–124.<br />
Hamilton, W., 1979, Tectonics of the Indonesian Region. US Geological Survey<br />
Professional Paper 1078, 345 pp.<br />
Milsom, J., Ali, J. and Sudarwono, 1999, Structure and Collision History of the Buton<br />
Continental Fragment, Eastern Indonesia. AAPG Bulletin, 83, 1666–1689.<br />
Milsom, J., Thurow, J. and Roques, D., 2000, Sulawesi Dispersal and Evolution of the<br />
Northern Banda Arc. Jakarta: Indonesian Petroleum Association. Indonesian<br />
Petroleum Association, Proceedings of the 27th Annual Convention, pp. 495–505.<br />
Katili, J, 1978. Past and Present Geotectonic Position of Sulawesi, Indonesia.<br />
Tectonophysics 45, 289-322.<br />
Koswara, A., dan Sukarna, D., 1994, Geologi Lembar Tukangbesi, Sulawesi, Pusat<br />
Pengembangan dan Penelitian Geologi, Bandung, Indonesia.<br />
Purwanto, E., 2006, Membangun Pasar Ekowisata Buton, Editorial Buletin Lambusango<br />
Lestari, Edisi X Juni 2006.<br />
Satyana, A.H., Armandita, C., and Tarigan, R.L., 2008, Collision and Post-Collision<br />
Tectonics in Indonesia: Roles for Basin Formation and Petroleum Systems,<br />
Proceeding, IPA, 32th Convention & Exhibition, May 2008.<br />
Sikumbang, N., Sanyoto, P., Supandjono, R.J.B., Gafoer, S., 1995, Geologi Lembar<br />
Buton, Sulawesi Tenggara, P3G.<br />
Singer, H.A, 2006, Pesona Buton Sebagai Pintu Wisata di Sulawesi Tenggara, Laporan<br />
Utama Buletin Lambusango Lestari, Edisi X Juni 2006.<br />
Smith, R. B. and Silver, E. A., 1991, Geology of a Miocene Collision Complex, Buton,<br />
Eastern Indonesia. Geological Society of America Bulletin 103, 660–678.<br />
Tanjung, H., Sukarno, N., Yuskar, Y., Hermawan, H., Zeiza, A.D., Sinaga, B.P.H.,<br />
Sunandar, F., and Ferdyant, F., 2008, Field Observation of Southern Buton: an<br />
Oveview of Hidrocarbon Manifestation and its Geological Setting, Proceeding,<br />
IPA, 32th Convention & Exhibition, May 2008.<br />
Tobing, S.M., 2005, Inventarisasi Bitumen Padat di Daerah Sampolawa, Kabupaten<br />
Buton, Sulawesi Tenggara, Kolokium Hasil lapangan-DIM.<br />
van Bemmelen, R.W., 1949, The Geology of Indonesia, Vol. 1A and II, General Geology<br />
of Indonesia and Adjacent Archipelago, 2 nd Edition, Martinus, Nilhoff, The Haque,<br />
New York.<br />
34
Potensi Daerah Karst Mikrokontinen Buton‐Tukangbesi<br />
dalam Pengembangan Pariwisata Berbasis Alam dan Budaya<br />
Burhan dan Jalil<br />
Gambar 1. Keindahan Bawah Laut Taman Nasional Laut Wakatobi (Wong, 2007 dalam<br />
Anonim, 2008 )<br />
Gambar 2. Pusat segitiga Karang Dunia (Coral Tri-angle Centre)<br />
35
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
36<br />
Gambar 3. Peta Kawasan Nasional Kepulauan Wakatobi<br />
Gambar 4 Gugusan karang/atol di Kepulauan Tukangbesi<br />
Gambar 5. Kukus Beruang di Hutan Lambusango (Singer, 2006)
Wacana Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember Tahun 2009 (37‐46)<br />
REINVENTING PEMBANGUNAN SOSIAL (Social Development):<br />
UPAYA PEMERINTAH DAERAH DALAM MENINGKATKAN DERAJAT<br />
PENDIDIKAN DAN KESEHATAN BAGI ANAK TERLANTAR<br />
Chairun Nasirin<br />
Staf Pengajar pada STIKES Mataram<br />
chairunnasirin@yahoo.com<br />
Abstract:<br />
Masalah sosial di daerah serta perlunya penanganan sosial di daerah yang<br />
lebih efisien dengan mengikutsertakan masyarakat dalam proses<br />
merencanakan, melaksanakan, dan bertanggungjawab atas pembangunan di<br />
daerahnya merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam<br />
pembangunan sosial. Sementara itu pembangunan sosial sering berinteraksi<br />
dengan dimensi pembangunan sosial. Karena itu, dalam pengoperasian<br />
kekuasaan negara, muncul beragam sudut pandangan baru, dimana negara<br />
ternyata tidak berpihak pada kepentingan rakyat seluruhnya. Penyelengaraan<br />
program jaminan sosial harus melibatkan pemerintah daerah dan keterlibatan<br />
pemerintah daerah diperlukan untuk menjamin penyelenggaraan program<br />
jaminan sosial bagi penduduk di daerah agar lebih baik. Menurut Sulastomo<br />
(2008), ada beberapa peran pemerintah dalam meningkatkan jaminan sosial<br />
bagi masyarakat, yaitu: (1) pengawasan penyelenggaraan program Sistem<br />
Jaminan Sosial Nasional (SJSN), agar sesuai dengan ketentuan, (2)<br />
menyediakan anggaran tambahan untuk iuran, baik untuk “penerima bantuan<br />
iuran” ataupun masyarakat yang lain; (3) penentuan peserta “penerima<br />
bantuan iuran”; (3) penyediaan/pengadaan dan pengelolaan sarana<br />
penunjang, misalnya sarana kesehatan; mengusulkan pemanfaatan/investasi<br />
dana Sistem Jaminan Sosial Nasional di daerah terkait; dan saran/usul<br />
kebijakan penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional<br />
Kata Kunci: Reinventing, Anak Terlantar.<br />
PENDAHULUAN<br />
Semakin kompleksnya masalah sosial di daerah serta perlunya penanganan sosial<br />
di daerah yang lebih efisien dengan mengikutsertakan masyarakat dalam proses<br />
merencanakan, melaksanakan, dan bertanggungjawab atas pembangunan di daerahnya<br />
merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam pembangunan sosial. Sementara<br />
itu pembangunan sosial sering berinteraksi dengan dimensi pembangunan sosial. Karena<br />
itu, dalam pengoperasian kekuasaan negara, muncul beragam sudut pandangan baru,<br />
dimana negara ternyata tidak berpihak pada kepentingan rakyat seluruhnya. Karena itu<br />
paradigma pembangunan kesejahteraan sosial pada masa yang akan datang tentunya<br />
harus dapat merespon perkembangan permasalahan kesejahteraan sosial yang dinamis<br />
dan semakin kompleks tersebut.<br />
37
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
Dalam kenyataannya, perubahan proses pembangunan merupakan hasil tindakan<br />
yang telah direncanakan sebelumnya. Oleh karena itu, pada masa yang akan datang<br />
paradigma pembangunan kesejahteraan sosial akan lebih bertumpu pada hak asasi<br />
manusia, demokratisasi dan peningkatan peran sipil dalam pelaksanaan pembangunan<br />
kesejahteraan sosial yang lebih adil (Chamsyah, 2006), dan negara seharusnya berpihak<br />
kepada rakyat secara keseluruhan, dan bukan berpihak kepada salah satu kelompok atau<br />
golongan tertentu (Budiman, 2002).<br />
Adapun paradigma pembangunan yang dimaksudkan, Chamsyah (2006) lebih<br />
lanjut menjabarkan pembangunan yang dimaksud sebagai berikut: Pertama pembangunan<br />
menempatkan manusia sebagai subyek pembangunan. Kedua, hasil pembangunan<br />
selayaknya dinikmati oleh seluruh masyarakat. Ketiga, pembangunan mengaktualisasikan<br />
potensi dan budaya lokal. Keempat, pelayanan sosial dasar disediakan untuk semua warga<br />
negara. Kelima, pemberdayaan peyandang masalah kesejahteraan sosial menjadi<br />
komitmen bersama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Keenam,<br />
pendekatan pemberdayaan penyandang masalah kesejahteraan sosial dilakukan secara<br />
individual, keluarga, kelompok, dan komunitas secara terpadu. Oleh karena itu pengertian<br />
pembangunan yang dimaksudkan akan dapat mendorong dilakukannya antisipasi yang<br />
terus-menerus terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, termasuk perubahan yang<br />
diakibatkan oleh proses pembangunan itu sendiri (Soetomo, 2008), serta merupakan suatu<br />
orientasi pembgunan yang tiada akhir (Tjokroamidjojo, 1980).<br />
Paradigma diatas secara sederhana dapat dipahami sebagai suatu proses<br />
pengembangan kapasitas masyarakat untuk dapat membangun secara mandiri yang<br />
didalamnya juga terkandung proses belajar yang terus menerus sehingga tujuan<br />
pembangunan sosial yang diharapkan dari suatu pemerintahan diharapkan dapat:<br />
(1) meningkatkan kesejahteraan penduduk atau warga masyarakat; (2) menjamin<br />
berlakunya hukum dan ketertiban masyarakat (law and order); (3) menjamin kebebasan<br />
berpendapat dan memilih; (4) mengurangi ketegangan-ketegangan sosial; (5)<br />
mempertahankan diri dari serangan-serangan luar; dan (6) menyediakan sarana-sarana<br />
kesehatan serta pendidikan secara memadai (Suryadi, 2006).<br />
Data menunjukan bahwa pada tahun 2006 terdapat 78,96 juta anak di bawah usia<br />
18 tahun atau 35,5 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Empat puluh persen atau<br />
33,16 juta diantaranya tinggal di perkotaan, dan 45,8 juta tinggal di pedesaan (Depsos,<br />
2004). Permasalahan anak terlantar merupakan fenomena utama yang dihadapi oleh<br />
Departemen Sosial hingga saat ini. Disamping itupula, pemenuhan hak dan kebutuhan<br />
38
Reinventing Pembangunan Sosial (Social Development): Upaya Pemerintah Daerah<br />
dalam Meningkatkan Derajat Pendidikan dan Kesehatan Bagi Anak Terlantar<br />
Chairun Nasirin<br />
anak tentunya tidak terlepas dari Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang<br />
Kesejahteraan Anak dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan<br />
Anak.<br />
Karena itu, keberhasilan pembangunan kesejahteraan sosial selain ditentukan oleh<br />
kualitas pelayanan langsung, tentunya juga sangat dipengaruhi oleh sistem dan arah<br />
kebijakan sosial, serta pemberian pelayanan sosial kepada kelompok sasaran. Karena itu<br />
strategi-strategi maupun rencana-rencana untuk mengatasi masalah sosial merupakan<br />
kebijakan pemerintah yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan dalam mengatasi<br />
masalah sosial, peningkatan pemerataan, dan pendistribusian pelayanan sosial bagi<br />
masyarakat. Disamping itu, berbagai kebijakan dan program tentunya perlu<br />
ditumbuhkembangkan secara berkelanjutan agar dapat menciptakan situasi dan kondisi<br />
yang kondusif bagi perkembangan anak, yang merupakan amanah konstitusi untuk<br />
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan membangun masa depan bangsa yang lebih baik.<br />
PEMBANGUNAN SOSIAL (SOCIAL DEVELOPMENT)<br />
Pembangunan sosial merupakan bentuk karya yang terstruktur dan berimplikasi<br />
luas terhadap kualitas hidup manusia. Hal ini karena konstruksi pembangunan tersebut<br />
terdiri atas serangkaian aktivitas yang direncanakan untuk memajukan kondisi kehidupan<br />
manusia. Analogi ini menyiratkan bahwa karya terstruktur tersebut dilakukan melalui<br />
pembangunan dalam berbagai bidang kehidupan selama ini, yang ternyata telah<br />
mengantarkan Bangsa Indonesia memasuki millenium ketiga dengan berbagai<br />
konsekuensinya.<br />
Setiap negara dengan wilayah yang luas, seperti halnya Indonesia tentunya<br />
membutuhkan suatu sistem pemerintahan daerah yang efektif. Sistem ini tidak hanya<br />
sebagai alat untuk melaksanakan berbagai program pemerintah di berbagai daerah yang<br />
bersangkutan melainkan juga merupakan alat bagi masyarakat setempat agar dapat<br />
berperan serta dalam, dan menentukan prioritas untuk membangun daerahnya sendiri.<br />
Penguatan kelembagaan sosial lokal merupakan salah satu modal pembangunan<br />
kesejahteraan sosial yang dapat dilakukan melalui strategi pemberdayaan. Strategi ini<br />
merupakan upaya yang di arahkan langsung pada akar persoalannya, yaitu dengan<br />
meningkatkan kemampuan berbagai kelembagaan sosial lokal, serta menurut Dasgupta &<br />
Serageldin (1999) sebagai social progress dari suatu kelompok masyarakat, yang dapat<br />
39
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
menjadi faktor penguat dalam menunjang keberhasilan pembangunan kesejahteraan sosial<br />
di daerah.<br />
40<br />
Kehidupan masyarakat yang sejahtera merupakan kondisi ideal dan menjadi<br />
dambaan setiap warga masyarakat (Soetomo, 2008), karena itu merupakan kewajiban<br />
negara (state obligation) untuk memberikan jaminan pada setiap warga untuk<br />
memperoleh akses yang baik terhadap berbagai kebutuhan dasar manusia (Raper, 2008).<br />
Masalah sosial yang terkait dengan keterlantaran anak merupakan fenomena sosial yang<br />
tidak dapat dihindari keberadaannya dalam kehidupan masyarakat, terutama bagi<br />
masyarakat yang tinggal di perkotaan, dimana salah satu faktor dominan yang akan<br />
mempengaruhi perkembangan masalah sosial tersebut adalah kemiskinan. Masalah<br />
kemiskinan di Indonesia merupakan salah satu dampak negatif terhadap meningkatnya<br />
arus urbanisasi dari daerah pedesaan menuju kota.<br />
Terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia, serta kurangnya pengetahuan dan<br />
ketrampilan menyebabkan mereka banyak mempertahankan hidupnya dengan terpaksa<br />
menjadi anak terlantar (Gwads, dkk, 2008; dan Hendayana, dkk. 2008) memahami bahwa<br />
keterlantaran dan tidak memiliki rumah tinggal tetap serta tidak mempunyai pekerjaan<br />
tetap merupakan salah satu pemicu bagi anak untuk bekerja di jalan-jalan (street<br />
economy) untuk mencukupi ekonomi keluarga mereka.<br />
Keterlantaran (neglected) merupakan fenomena sosial yang banyak kita jumpai<br />
terjadi tidak saja di Indonesia, namun juga pada belahan dunia lainnya. Le Roux (1998)<br />
berpendapat bahwa “The phenomenon of neglected children children, an offspring of the<br />
modern urban evirontment, represents one of humanity’s most complex and serious<br />
challengges”. Fenomena keterlantaran ini tentunya tidak terlepas dari adanya urbanisasi<br />
yang mengharapkan adanya perubahan kehidupan dan penghidupan pada arah yang lebih<br />
baik dimasa mendatang. Chang, Rhee & Berthold (2008) berpendapat bahwa kebanyakan<br />
anak-anak yang mengalami masalah keterlantaran ini karena mereka pada umumnya tidak<br />
mempunyai rumah tinggal yang tetap, serta orang tua mereka tidak mampu untuk<br />
membeli rumah bagi keluarga mereka. Selain itu, adanya faktor lain yang tidak<br />
menunjang bagi keluarga dalam meningkatkan kesejaheraan hidup, seperti pendapatan<br />
rendah (low paying jobs) dibawah rata-rata serta tidak mempunyai pekerjaan yang tetap.<br />
Masalah keterlantaran umumnya banyak dialami oleh anak-anak yang kurang<br />
beruntung secara ekonomi yang sebagian besar dari mereka berasal dari keluarga miskin<br />
dan tidak mempunyai kemampuan untuk memberdayakan dirinya. Selain itu, kondisi
Reinventing Pembangunan Sosial (Social Development): Upaya Pemerintah Daerah<br />
dalam Meningkatkan Derajat Pendidikan dan Kesehatan Bagi Anak Terlantar<br />
Chairun Nasirin<br />
ekonomi merupakan salah satu variabel penting dalam proses perumusan kebijakan<br />
(Winarno, 2007). Oleh karena itu, para aktor yang terlibat dalam merumuskan suatu<br />
kebijakan khususnya kebijakan sosial bagi anak terlantar tentunya tidak bisa terlepas dari<br />
konsdisi sosial ekonomi yang melingkupinya.<br />
Dengan diberlakukannya UU Nomor 32 Tahun 2004 menggatikan UU Nomor 22<br />
Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, daerah diberikan kewenangan untuk dapat<br />
mengatur jalannya fungsi pemerintahan, seperti halnya upaya pemerintah dalam<br />
meningkatkan kemandirian anak terlantar. Karena itu, walaupun Indonesia menganut<br />
prinsip negara kesatuan dimana pusat kekuasaan berada pada pemerintah pusat, namun<br />
dengan menyadari keberagaman yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, baik kondisi sosial,<br />
ekonomi maupun budaya, dan dengan diberlakukannya kebijakan ini tentunya hal-hal<br />
yang berkaitan dengan masalah sosial seperti halnya anak terlantar (neglected) tentunya<br />
dapat berjalan baik.<br />
Karena itu, keberhasilan pembangunan kesejahteraan sosial selain ditentukan oleh<br />
kualitas pelayanan langsung, tentunya juga sangat dipengaruhi oleh sistem dan arah<br />
kebijakan sosial, serta pemberian pelayanan sosial kepada kelompok sasaran. Karena itu<br />
strategi-strategi maupun rencana-rencana untuk mengatasi masalah sosial merupakan<br />
kebijakan pemerintah yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan dalam mengatasi<br />
masalah sosial, peningkatan pemerataan, dan pendistribusian pelayanan sosial bagi<br />
masyarakat. Disamping itu, berbagai kebijakan dan program tentunya perlu<br />
ditumbuhkembangkan secara berkelanjutan agar dapat menciptakan situasi dan kondisi<br />
yang kondusif bagi perkembangan anak, yang merupakan amanah konstitusi untuk<br />
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan membangun masa depan bangsa yang lebih baik.<br />
ARTI PENTINGNYA PENDIDIKAN DAN KESEHATAN BAGI ANAK<br />
TERLANTAR<br />
Pentingnya pendidikan bagi anak yang mengalami masalah sosial seperti anak<br />
terlantar, dimaksudkan sebagai upaya pemerintahan daerah dalam mengangkat anak-anak<br />
penyandang masalah sosial ke taraf pendidikan yang lebih bermutu dan berkualitas.<br />
Pentingnya pendidikan bagi anak yang mengalami masalah sosial, seperti anak terlantar,<br />
menurut Peters (2007) bahwa pendidikan dapat menciptakan anak lebih kreatif dan dapat<br />
membangun kepercayaan dirinya. Sehingga deskriminasi pendidikan bagi anak yang<br />
mengalami masalah sosial ini dapat diatasi oleh pemerintah dalam rangka membangun<br />
bangsa dan negara.<br />
41
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
Disamping itu, sekolah-sekolah umum yang menangani masalah anak terlantar ini<br />
juga diharapkan tidak terjadi adanya diskriminasi perlakuan dalam pendidikan, sehingga<br />
pendidikan itupula dapat dirasakan oleh yang mengalami masalah sosial tersebut. Hal ini<br />
karena pendidikan juga merupakan kebijakan sebuah negara dalam menghasilkan<br />
sumberdaya manusia yang diperlukan, dan merupakan human capital investment, yang<br />
dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi sektor publik maupun sektor swasta. Karena<br />
itu wajar bila sekolah dirancang dan diselenggarakan sesuai dengan cita-cita dan<br />
kebutuhan yang berkembang dalam suatu masyarakat dan negara. Dengan kata lain,<br />
pendidikan sesungguhnya merupakan instrumen dan sekaligus investasi yang penting<br />
artinya, tidak hanya bagi kelangsungan hidup suatu negara dan masyarakat, tetapi juga<br />
untuk kemajuan negara beserta masyarakat itu sendiri.<br />
Hubungan sosial keluarga merupakan bagian penting bagi kehidupan anak.<br />
Roditti (2005) menyarankan beberapa pendekatan dalam mengatasi anak, yaitu: (a)<br />
emotional support yang berhubungan dengan masalah sosial, dimana seseorang dapat<br />
mengungkapkan perasaan untuk mengatasi masalah yang dihadapi; (b) informational<br />
support; seperti menyiapkan pendidikan tanpa harus membayar uang sekolah yang mahal<br />
bagi mereka yang kurang mampu, serta dapat memberikan banyak informasi yang terkait<br />
dengan masalah keterlantaran dalam rangka meningkatkan kesejahteraan negara; (c)<br />
concrete services, yaitu memberikan pelayanan anak, melakukan kegiatan sosial<br />
membantu mereka yang kurang beruntung, dan memberikan pengetahuan yang berkaitan<br />
dengan tata cara perawatan kebersihan lingkungan.<br />
UPAYA PEMERINTAH UNTUK MENCAPAI TUJUAN PEMBANGUNAN<br />
Peningkatan perlindungan dan kesejahteraan sosial merupakan upaya untuk<br />
mencapai tujuan pembangunan kesejahteraan sosial yang bercita-cita mewujudkan<br />
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan dalam pengoperasian kekuasaan<br />
negara, muncul beragam sudut pandangan baru, dimana negara ternyata tidak berpihak<br />
pada kepentingan rakyat seluruhnya (Suryadi, 2006). Lebih lanjut dijelaskan bahwa<br />
negara seharusnya berpihak pada rakyat secara keseluruhan dan tidak berpihak kepada<br />
salah satu kelompok tertentu, yang sebagian masyarakat tersebut hidup dalam kondisi<br />
yang tidak menguntungkan dan mengalami kesulitan serta keterbatasan dalam mengakses<br />
berbagai pelayanan sosial. Hal tersebut umumnya diakibatkan oleh kejadian perubahan<br />
sosial ekonomi yang berkepanjangan yang berakibat pada masih adanya masyarakat<br />
dengan kondisi yang memerlukan perlindungan sosial, seperti halnya anak terlantar<br />
42
Reinventing Pembangunan Sosial (Social Development): Upaya Pemerintah Daerah<br />
dalam Meningkatkan Derajat Pendidikan dan Kesehatan Bagi Anak Terlantar<br />
Chairun Nasirin<br />
(neglected children). Karena itu harapan dan tujuan dalam pembangunan tentunya tidak<br />
terlepas dari peningkatkan kesejahteraan penduduk atau warga masyarakat dalam rangka<br />
mengurangi ketegangan-ketegangan sosial.<br />
Rawls (2006) dalam bukunya yang berjudul ‘A Theory of Justice’, menjelaskan<br />
bahwa untuk mencapai keadilan sosial, terdapat dua prinsip keadilan, (1) setiap orang<br />
mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang<br />
sama bagi semua orang; (2) ketimpangan sosial dan ekonomi mesti diatur sedemikian<br />
rupa sehingga (a) dapat diharpakan memberi keuntungan semua orang, dan (b) semua<br />
posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang. Karena itu Ikbar (2006) menyarankan<br />
masalah ekonomi lebih merupakan suatu integrated social science of public purpose. Dan<br />
masalah sosial, tentunya merupakan masalah yang tidak terlepas dari masalah kemiskinan<br />
yang membutuhkan penanganan khusus dari pemerintah.<br />
Dalam konsep pembangunan sosial yang ditawarkan diatas, tujuan pembangunan<br />
mencakup peningkatan kesejahteraan bagi anak terlantar dan pemerataan pendapatan.<br />
Karena itu, pembangunan juga tidak terlepas pada aspek-aspek kualitatif dari<br />
pembangunan, yaitu pada hal-hal yang mencakup masalah kemiskinan, kesenjangan, dan<br />
human resource development. Disamping itu, pentingnya peranan kaum elit terhadap<br />
kaum marginal dan kelompok minoritas dalam pembangunan merupakan suatu hal utama<br />
dalam pemerataan pembangunan. Oleh sebab itu, fungsi pemerintah tentunya erat<br />
kaitannya dengan pemerataan kesejahteraan bagi penduduk di daerah dan dapat<br />
terdistribusi secara proporsional.<br />
KEBIJAKAN SOSIAL BAGI ANAK TERLANTAR<br />
Dalam beberapa literatur di jelaskan bahwa keterlantaran dan kenakalan anak<br />
merupakan masalah sosial yang erat kaitannya dengan permasalahan kebijakan sosial.<br />
Kebijakan sosial kadang dinyatakan sebagai bentuk respon terhadap masalah sosial.<br />
Walaupun demikian, sebetulnya kebijakan sosial mempunyai kedudukan lebih dari<br />
sekedar respon terhadap masalah sosial (Chapple, dkk. 2005; Soetomo, 2008). Hal itu<br />
disebabkan oleh karena kebijakan sosial yang tidak hanya memberikan fokus perhatian<br />
terhadap masalah itu sendiri, akan tetapi juga merancang suatu relasi sosial.<br />
Lain halnya dengan Soetomo (2008) yang menjelaskan adanya dua bentuk respon<br />
yang berkaitan dengan masalah sosial ini, yaitu respon langsung dan respon tidak<br />
langsung. Respon langsung yaitu respon yang ditujukan kepada kelompok sasaran<br />
43
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
tertentu yang menjadi penyandang masalah misalnya anak terlantar atau orang miskin.<br />
Bentuknya dapat berupa pemberian pelayanan atau bantuan untuk meringankan beban<br />
kehidupan kelompok ini, atau paling tidak agar penyandang masalah ini dapat tetap hidup<br />
walaupun dalam kondisi minimal yang sesuai dengan harkat martabatnya sebagai<br />
manusia. Respon tidak langsung yaitu dalam menangani masalah tentunya tidak langsung<br />
pada penyandang masalah, melainkan pada pihak yang terkait dengan masalah tersebut.<br />
Masalah sosial merupakan kondisi yang tidak diharapkan, dengan demikian<br />
dibutuhkan upaya untuk melakukan perubahan, perbaikan atau pemecahan masalah serta<br />
kebijakan sosial yang merupakan salah satu bentuk upaya tersebut. Karena itu dalam<br />
suatu kebijakan tentunya tidak terlepas dari unsur-unsur pada pelayanan, seperti<br />
kesehatan, pendidikan, perumahan, dan bukan masalah teknis melainkan cenderung pada<br />
segi regulasi dan distribusinya.<br />
Pemberdayaan merupakan suatu strategi pembangunan yang diarahkan langsung<br />
pada akar persoalannya yaitu dengan meningkatkan kemampuan berbagai kelembagaan<br />
sosial lokal yang diduga dapat menjadi faktor penguat dalam menunjang keberhasilan<br />
pembangunan kesejahteraan sosial di daerah (Friedmann, 1992). Pemberdayaan<br />
(empowering) hanya dapat terjadi dalam suatu lingkungan institusi yang kondusif yang<br />
terdiri dari sistem fungsi legislasi dan proses pemilihan yang tepat, legal dan yudisial.<br />
Terwujudnya pembangunan manusia yang berkelanjutuan (sustainable human<br />
development) tidak hanya tergantung pada kemampuan negara untuk dapat memerintah<br />
dengan baik, namun juga pemerintah tersebut tentunya harus mampu menyediakan<br />
pekerjaan yang dapat memfasilitasi interaksi sosial dan politik, serta dapat memobilisasi<br />
berbagai kelompok di dalam masyarakat untuk terlibat dalam aktivitas sosial, ekonomi,<br />
dan politik. Dan dapat menciptakan mekanisme alokasi manfaat sosial (social benefits),<br />
dan memberikan suara kelompok miskin dan keterlantaran dalam pembentukan keputusan<br />
politik dan pemerintah (political and government decision making) untuk melindungi dan<br />
memperkuat budaya, keyakinan agama dan nilai-nilai.<br />
KESIMPULAN<br />
Kehadiran pemerintahan dan keberadaan pemerintah adalah sesuatu yang penting<br />
bagi proses kehidupan masyarakat, sekecil apapun kelompoknya, bahkan sebagai individu<br />
sekalipun membutuhkan pelayanan pemerintah (Sarundajang, 2002). Dan secara sadar<br />
44
Reinventing Pembangunan Sosial (Social Development): Upaya Pemerintah Daerah<br />
dalam Meningkatkan Derajat Pendidikan dan Kesehatan Bagi Anak Terlantar<br />
Chairun Nasirin<br />
atau tidak sadar, harus diakui bahwa banyak sisi kehidupan kita sehari-hari yang erat<br />
hubungannya dengan fungsi-fungsi pemerintah di dalamnya.<br />
Penyelengaraan program jaminan sosial harus melibatkan pemerintah daerah dan<br />
keterlibatan pemerintah daerah diperlukan untuk menjamin penyelenggaraan program<br />
jaminan sosial bagi penduduk di daerah agar lebih baik. Menurut Sulastomo (2008), ada<br />
beberapa peran pemerintah dalam meningkatkan jaminan sosial bagi masyarakat, yaitu:<br />
(1) pengawasan penyelenggaraan program Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), agar<br />
sesuai dengan ketentuan, (2) menyediakan anggaran tambahan untuk iuran, baik untuk<br />
“penerima bantuan iuran” ataupun masyarakat yang lain; (3) penentuan peserta “penerima<br />
bantuan iuran”; (3) penyediaan/pengadaan dan pengelolaan sarana penunjang, misalnya<br />
sarana kesehatan; mengusulkan pemanfaatan/investasi dana Sistem Jaminan Sosial<br />
Nasional di daerah terkait; dan saran/usul kebijakan penyelenggaraan Sistem Jaminan<br />
Sosial Nasional.<br />
Karena itu, pemerintah memiliki tugas melindungi masyarakat dari pelanggaran<br />
dan invasi masyarakat lainnya dan sejauh mungkin bertugas melindungi setiap anggota<br />
masyarakat dari ketidakadilan atau tekanan dari tekanan dari anggota masyarakat lainnya<br />
(Muluk, 2007). Disisi lain sudah menjadi idaman bagi masyarakat negara-negara di dunia<br />
untuk memperloleh tata pemerintahan yang baik (good governance) yang mampu<br />
mengelola pemerintahan secara baik pula. Oleh karena itu, Kessler, dkk (2005)<br />
menyarankan perlunya best practice bagi pemerintah dalam membuat suatu kebijakan<br />
dalam menangani masalah sosial dengan melakukan pendekatan sistem bagi anak yang<br />
mempunyai masalah sosial tersebut.<br />
SUMBER RUJUKAN<br />
Chamsyah, Bachtiar. 2006. Reinventing Departemen Sosial Dalam Konteks<br />
pembangunan Sosial Indonesia. Jakarta: RM Books.<br />
Chapple, Constance L. 2005. Child Neglect and Adolescent Violence: Examining the<br />
Effects of Self-Control and Peer rejection. Journal of Violence and Victims.<br />
Vol. 20 (1).<br />
Chang, Janet., Rhee, Siyon & Berthold, S. megan. 2008. Child Abuse and Neglect in<br />
Cambodian Refugee families: Characteristics and Implications for Practice.<br />
Journal of Child Welfare. 87 (1).<br />
Dasgupta, Partha & Serageldin, I. 1999. Social Capital A Multifaceted Perspective.<br />
Washington, DC: The World Bank.<br />
Ikbar, Yanuar. 2006. Ekonomi Politik Internasional Implementasi Konsep Dan Teori.<br />
Bandung: Refika Aditama.<br />
45
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
Kessler, Michelle L, Gira, Emmanuelle & Poertner, John. 2005. Moving Best Parctice to<br />
Evidence-Based Practice in Child Welfare. The Journal of Contemporary Social<br />
Services. Vol. 82 (2).<br />
Raper, Michael. 2008. Negara Tanpa Jaminan Sosial Tiga Pilar Jaminan Sosial di<br />
Australia dan Indonesia. Jakarta: TURC.<br />
Rawls, John. 2006. Teori Keadilan Dasar-Dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan<br />
Kesejahteraan Sosial Dalam Negara. (edisi Bahasa Indonesia). Yogyakarta:<br />
Pustaka Pelajar.<br />
Roditti, Martha G. 2008. Undersatnding Communities of Neglectful Parents: Child<br />
Caregiving Networks and Child Neglect. Journal of Child Welfare. Vol. 82 (2).<br />
Sarundajang, S.H. 2002. Arus Balik kekuasaan Daerah. Jakarta: CV. Muliasari.<br />
Suryadi, Budi. 2006. Ekonomi Politik Modern Suatu pengantar. Yogyakarta: IRCiSoD.<br />
Suyanto, Bagong. 2003. Pelanggaran Hak dan Perlindungan Sosial Bagi Anak Rawan.<br />
Surabaya: Airlangga University Press.<br />
Suyanto, Bagong & Karnaji. 2005. Kemiskinan Dan Kesenjangan Sosial: Ketika<br />
Pembangunan Tak Berpihak Kepada Rakyat Miskin. Surabaya: Airlangga<br />
University Press.<br />
Sulastomo. 2008. Sistem Jaminan Sosial Nasional Sebuah Introduksi. Jakarta:<br />
RajaGrafindo Persada.<br />
Winarno, Budi. 2007. Kebijakan Publik Teori & Proses.Yogyakarta: Media Pressindo.<br />
46
Wacana Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember Tahun 2009 (47‐56)<br />
PREVENTION A LONG PERIOD COMPLICATION OF DIABETES MELLITUS<br />
Lilis Novitarum<br />
(Staf Pengajar STIKes Santa Elisabeth Medan)<br />
Abstract:<br />
Diabetes mellitus is one of from many metabolic diseases that increase<br />
because underway lifestyle. Many factor can influence this disease, such as:<br />
age, lifestyle, overweight, ethnic and homeland. When Diabetes Mellitus is<br />
not handling immediately can make along period complication that make<br />
Damage organ system, in fact disablement or death. If the patient of DM can<br />
controlled and maintain Blood Glucose Degree in limit normally every time,<br />
so it can decrease along period complication. For avoid the complication is<br />
needful independent handling, until the patient have to knowledge, skill and<br />
attitude for adaptive with implementation of diabetes in daily living.<br />
Behavior is a response or reaction individual for stimulus is come from<br />
outside although inside itself. Obedience is definition as fidelity of patient to<br />
implement therapy method that the doctor recommended or another staff<br />
health. The behavior factor has a big influence for health status an individual<br />
or community.<br />
Kata Kunci: Diabetes Mellitus, a long Period Complication, Behavior.<br />
PENDAHULUAN<br />
Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) merupakan diabetes yang<br />
tidak tergantung insulin. Penatalaksanaan terapi bagi penderita diabetes melitus meliputi<br />
diet diabetes, latihan fisik, penyuluhan kesehatan masyarakat, obat hipoglikemi, dan<br />
cangkok pankreas. Untuk menghindari komplikasi diperlukan penanganan secara mandiri<br />
sehingga pasien DM harus mempunyai pengetahuan, ketrampilan dan sikap untuk<br />
menyesuaikan dirinya dengan penatalaksanaan diabetes dalam kehidupan sehari-hari.<br />
Perilaku merupakan respon atau reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal<br />
dari luar maupun dari dalam dirinya sendiri. Kepatuhan didefinisikan sebagai ketaatan<br />
pasien melaksanakan cara pengobatan yang disarankan oleh dokternya atau yang lain.<br />
NIDDM pada mulanya diatasi dengan diet dan latihan. Jika kenaikan glukosa<br />
darah tetap terjadi, maka diet dan latihan tersebut dilengkapi dengan obat hipoglikemik<br />
oral. Sedangkan intervensi diet untuk mengendalikan glukosa darah merupakan salah<br />
satu intervensi penting bagi pasien NIDDM. Tujuan intervensi diet ini adalah mengatur<br />
kadar glukosa dan lemak darah,mendapatkan berat badan yang seimbang, dan<br />
menghasilkan status gizi yang adekuat. Pengobatan diabetes tergantung pada<br />
pengontrolan diet dan pengobatan.<br />
47
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
Penderita NIDDM meliputi 90 % sampai 95 % dari penderita diabetes melitus.<br />
Dalam 30 tahun atau sekitar tahun 2020, penduduk Indonesia akan meningkat sebesar 40<br />
% dengan peningkatan jumlah pasien diabetes yang jauh lebih besar yaitu 86 % sampai<br />
dengan 136 %. Di Jawa Timur sudah dilakukan survei dan didapatkan bahwa prevalensi<br />
diabetes di pedesaan adalah 1,47 % dan di perkotaan adalah 1,43%.<br />
Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM)<br />
NIDDM merupakan diabetes yang tidak tergantung insulin (Smeltzer, 2002).<br />
Pada NIDDM terdapat 2 permasalahan utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu :<br />
resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan<br />
reseptor khusus di permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor<br />
tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa dalam sel. Resistensi<br />
insulin pada NIDDM disertai dengan penurunan reaksi intrasel. Pada orang yang<br />
kegemukan atau terlalu banyak makan makanan yang mewah, hepar akan tetap<br />
memetabolisme makanan menjadi glukosa yang dilepaskan dalam darah. Awalnya sel<br />
beta pankreas mengkompensasi dengan meningkatkan insulin. Sehingga insulin akan<br />
terikat pada reseptor khusus di permukaan sel dan terjadilah reaksi intra sel. Tetapi jika<br />
peningkatan glukosa terjadi secara terus menerus maka sel beta pankreas akan mengalami<br />
kelelahan yang akhirnya terjadi gangguan sekresi insulin (Waspadji, 1999).<br />
2002):<br />
48<br />
Faktor-faktor resiko yang menunjang terjadinya NIDDM menurut (Smeltzer,<br />
Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun)<br />
Obesitas<br />
Riwayat keluarga<br />
Kelompok etnik (di Amerika Serikat, golongan Hispanik serta penduduk asli<br />
Amerika tertentu memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk menderita diabetes<br />
tipe II dibandingkan golongan Afro-Amerika)<br />
Meningkatnya prevalensi Diabetes mellitus di berbagai negara berkembang<br />
sebagai akibat dari peningkatan kemakmuran negara yang bersangkutan.<br />
Peningkatan gaya hidup terutama di kota-kota besar menyebabkan meningkatnya<br />
prevalensi penyakit degeneratif, seperti Diabetes Melitus. Di samping itu, cara hidup<br />
yang sangat sibuk dengan pekerjaan dari pagi sampai sore hari bahkan sampai malam hari<br />
duduk di belakang meja akan menyebabkan tidak ada kesempatan untuk rekreasi dan<br />
olahraga. Apalagi bagi para eksekutif yang hampir tiap hari harus lunch atau dinner
Prevention a Long Period Complication of Diabetes Mellitus<br />
Lilis Novitarum<br />
dengan relasinya dengan menu makanan barat yang “wah”. Pola hidup yang beresiko<br />
seperti inilah yang menyebabkan tingginya prevalensi penyakit Diabetes Mellitus.<br />
Komplikasi Jangka Panjang Diabetes Melitus (DM)<br />
Komplikasi jangka panjang DM menurut Waspadji (1999) pada dasarnya terjadi<br />
pada semua pembuluh darah di seluruh bagian tubuh ( Angiopati Diabetik ). Angiopati<br />
diabetik dibagi menjadi 2, yaitu makroangiopati (makrovaskuler) dan mikroangiopati<br />
(mikrovaskuler). Komplikasi jangka panjang DM (Smeltzer, 2002):<br />
1. Makrovaskuler<br />
Berbagai tipe penyakit makrovaskuler dapat terjadi tergantung pada lokasi lesi<br />
aterosklerotik.<br />
a. Penyakit Arteri Koroner<br />
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa penyakit arteri koroner menyebabkan 50 %<br />
hingga 60 % dari semua kematian pada pasien diabetes. Salah satu ciri unik pada<br />
penyakit arteri koroner yang diderita oleh pasien diabetes adalah tidak terdapat<br />
gejala iskhemik yang khas karena neuropati yang menyertai diabetes mempengaruhi<br />
neuroreseptor sehingga menumpulkan nyeri. Jadi pasien mungkin tidak<br />
memperlihatkan tanda-tanda awal penurunan aliran darah koroner dan dapat<br />
mengalami infark miokard asimtomatik dimana gejala khas yang lainnya tidak<br />
dialami.<br />
b. Penyakit Serebrovaskuler<br />
Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah serebral atau pembentukan<br />
embolus di tempat lain dalam sistem pembuluh darah yang kemudian terbawa aliran<br />
darah sehinga terjepit dalam pembuluh darah serebral dapat menimbulkan serangan<br />
iskhemik sepintas (Transient Ischemic Attack : TIA) dan stroke.<br />
Kesembuhan dari serangan stroke dapat terhalang pada pasien yang kadar glukosa<br />
darahnya tinggi ketika dan segera setelah diagnosis cerebrovaskular accident dibuat.<br />
Gejala penyakit ini mencakup keluhan pusing atau vertigo, gangguan penglihatan,<br />
bicara pelo dan kelemahan.<br />
c. Penyakit Vaskuler Perifer<br />
Tanda dan gejala penyakit vaskuler perifer dapat mencakup berkurangnya denyut<br />
nadi perifer dan klaudikasio intermiten (nyeri pada pantat atau betis ketika berjalan.<br />
Bentuk penyakit oklusif arteri yang parah pada ekstremitas bawah ini merupakan<br />
penyebab utama meningkatnya insidens gangren dan amputasi pada pasien diabetes.<br />
49
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
2. Mikrovaskuler<br />
Ada dua tempat dimana gangguan fungsi kapiler dapat berakibat serius, yaitu<br />
mata dan ginjal.<br />
a. Retinopati diabetik<br />
Kelainan mata ini disebabkan oleh perubahan dalam pembuluh darah kecil pada<br />
retina mata. 3 stadium utama retinopati :<br />
50<br />
• Retinopati non proliferatif<br />
Sebanyak 90% penderita diabetes memperlihatkan manifestasi klinis yang<br />
membuktikan adanya retinopati non proliferatif. Komplikasinya adalah edeme<br />
makula, terjadi kurang lebih 10% penderita IDDM dan NIDDM dan dapat<br />
mengakibatkan distorsi visual serta kehilangan penglihatan total.<br />
• Retinopati pra proliferatif<br />
Seperti retinopati non proliferatif, jika mengalami perubahan visual terjadi<br />
selama stadium pra proliferatif maka keadaan ini biasanya disebabkan edema<br />
makula.<br />
• Retinopati proliferatif<br />
Gangguan penglihatan yang berhubungan dengan retinopati proliferatif ini<br />
disebabkan oleh perdarahan vitreus atau ablasio retina . Apabila terjadi<br />
perdarahan, korpus vitreus akan menjadi keruh dan tidak dapat<br />
•<br />
mentransmisikan cahaya, akibatnya akan terjadi kehilangan penglihatan.<br />
Konsekuensi lain dari perdarahan vitreus adalah terbentuknya jaringan parut<br />
fibrosa yang disebabkan resorbsi darah ke dalam korpus vitreus. Jaringan<br />
parut ini dapat menarik retina sehingga terjadi ablasio retina dan akhirnya<br />
terjadi kebutaan.<br />
Gejala yang menunjukkan perdarahan adalah :<br />
Klien melaporkan benda tampak melayang/mengambang<br />
• Klien melaporkan benda seperti sarang laba-laba<br />
• Klien melaporkan perubahan penglihatan yang mendadak (penglihatan<br />
yang berkabut)<br />
Komplikasi oftalmologi yang lain adalah :<br />
• Katarak : katarak terjadi pada usia yang lebih muda di antara pasien-pasien<br />
yang lain.<br />
• Glaukoma : glaukoma terjadi dengan frekuensi yang agak lebih tinggi pada<br />
populasi diabetes.
Prevention a Long Period Complication of Diabetes Mellitus<br />
Lilis Novitarum<br />
b. Nefropati<br />
Penyandang IDDM sering memperlihatkan tanda-tanda permulaan penyakit renal<br />
setelah 15 hingga 20 tahun kemudian, sementara pasien NIDDM dapat terkena<br />
penyakit renal dalam waktu 10 tahun sejak diagnosis diabetes ditegakkan.<br />
Sebagian besar tanda dan gejala disfungsi renal pada penyandang diabetes serupa<br />
dengan pasien non-DM.<br />
Tanda dan gejala :<br />
Kardiovaskuler : hipertensi, pitting edema (kaki dan tangan), edema periorbital,<br />
pembesaran vena leher. Integumen : warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering<br />
bersisik, pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar.<br />
Pulmoner : sputum kental dan liat, napas dangkal, napas kusmaul.<br />
Gastrointestinal : napas bau amonia, ulserasi dan perdarahan mulut, anoreksia,<br />
mual-muntah, konstipasi dan diare, perdarahan saluran cerna.<br />
Muskuloskeletal : kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang 4 .<br />
c. Neuropati Diabetes<br />
Neuropati dalam diabetes mengacu pada sekelompok penyakit yang menyerang<br />
semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensori motor), otonom dan spinal.<br />
Neuropati dalam diabetes mengacu pada sekelompok penyakit yang menyerang<br />
semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensori motor), otonom dan spinal.<br />
2 tipe neuropati diabetik yang sering muncul :<br />
• Polineuropati sensorik<br />
Polineuropati ini sering mengenai bagian distal serabut saraf khususnya<br />
ekstremitas bawah.<br />
Gejala awal : parestesia (rasa tertusuk-tusuk, kesemutan dan rasa terbakar)<br />
khususnya pada malam hari. Dengan bertambah beratnya neuropati, kaki<br />
terasa baal (mati rasa). Di samping itu penurunan fungsi proprioseptif<br />
(kesadaran terhadap postur tubuh serta gerakan tubuh dan terhadap posisi serta<br />
berat badan) dan penurunan sensibilitas terhadap sentuhan ringan dapat<br />
menimbulkan gaya berjalan terhuyung-huyung.<br />
• Neuropati otonom sistem saraf pusat<br />
Neuropati pada otonom mengakibatkan berbagai disfungsi yang mengenai<br />
hampir seluruh organ tubuh.<br />
Gejala : nocturnal diare, distensi bladder, takikardi, muka bengkak.<br />
51
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
PENCEGAHAN KOMPLIKASI JANGKA PANJANG DM<br />
Untuk menunda munculnya komplikasi penyakit DM maka pasien DM<br />
dianjurkan melakukan hal-hal seperti berikut :<br />
1. Melakukan Perencanaan makan (Diet)<br />
Dalam konsensus yang telah disepakati, kata diet diganti dengan istilah<br />
perencanaan makanan (meal planning) untuk memberikan kesan kepada pasien agar<br />
tidak terlalu menakutkan, karena kata diet selalu dihubungkan dengan pasien atau dengan<br />
segala larangan jenis makanan sehingga kepatuhan pasien menjadi lemah. Dalam<br />
merencanakan diet pada penderita DM harus dipikirkan matang-matang apakah diet itu<br />
akan dipatuhi atau tidak. Jalan terbaik untuk itu adalah kita harus membuat perencanaan<br />
makanan yang cocok untuk setiap penderita, artinya perencanaan makanan harus<br />
dilakukan secara individualisasi sesuai dengan cara hidup, pola jam kerjanya, latar<br />
belakang budaya, tingkat pendidikan, penghasilan, dan lain-lain. Menurut Smeltzer<br />
(2002) Diet untuk mengendalikan kalori dapat dilakukan dengan menghitung kebutuhan<br />
kalori seseorang dengan menggunakan rumus Harris Benedict untuk menentukan Basal<br />
Energy Expenditure (BEE).<br />
BEE (Wanita) = 655 + (9.6 x Berat Badan dalam kg) + (5 x Tinggi Badan<br />
dalam cm) – (4.7 x umur dalam tahun)<br />
BEE (Laki-laki) = 66 + (13.7 x Berat Badan dalam kg) + (5 x Tinggi Badan<br />
dalam cm) – (6.8 x umur dalam tahun)<br />
Menurut Gibson (1990) apabila penderita tidak mengetahui tinggi badannya dan<br />
penderita harus bedrest maka dipakai rumus tinggi badan dengan pengukuran knee hight<br />
(KH):<br />
Laki-laki : [2.02 x KH (cm)] – [(0.04 x umur (th)] + 64.19<br />
Wanita : [1.83 x KH (cm)] – [0.24 x umur (th)] + 84.88<br />
Faktor aktivitas kemudian dikalikan dengan BEE untuk menghasilkan jumlah<br />
kalori yang diperlukan agar berat badan dapat dipertahankan dengan jumlah prosentase<br />
sebagai berikut (Dirjen Pelayanan Medik Depkes RI dan WHO, 1998) :<br />
aktivitas ringan/tidur : 20 % dari BEE<br />
aktivitas sedang : 35 % dari BEE<br />
aktivitas berat : 50 % dari BEE<br />
52
Prevention a Long Period Complication of Diabetes Mellitus<br />
Lilis Novitarum<br />
sedangkan tingkat kegiatan sehari-hari untuk penghitungan kalori adalah sebagai berikut:<br />
Tabel 1. Tingkat kegiatan sehari-hari untuk penghitungan kalori<br />
Mengendarai mobil<br />
Memancing<br />
Kerja lab.<br />
Kerja sekretaris<br />
Mengajar<br />
Ringan Sedang Berat<br />
Kerja rumah tangga<br />
Bersepeda<br />
Bowling<br />
Jalan cepat<br />
Berkebun<br />
Aerobic<br />
Bersepeda<br />
Memanjat<br />
Menari<br />
Lari<br />
Sumber data : Dirjen Pelayanan Medik Depkes RI dan WHO, 1998<br />
Dalam melaksanakan diet diabetes sehari-hari hendaklah mengikuti pedoman 3 J<br />
(Jumlah, Jadwal, Jenis ), artinya :<br />
J 1 : Jumlah kalori yang diberikan harus habis, jangan dikurangi atau ditambah.<br />
Penentuan jumlah kalori diet diabetes disesuaikan dengan status gizi penderita,<br />
adanya kasus-kasus tertentu, aktivitas, BB dan TB.<br />
J 2 : Jadwal diet harus diikuti sesuai dengan intervalnya. Pada dasarnya diet diberikan<br />
dengan 3 kali makan utama dan 3 kali makan antara (snack = kudapan) dalam jarak<br />
waktu interval 3 jam.<br />
J 3 : Jenis makanan yang manis harus dihindari termasuk pantang buah golongan A dan<br />
makanan lain yang manis. Buah-buahan yang termasuk golongan A, yaitu : sawo,<br />
jeruk, nanas, rambutan, durian, nangka, anggur dan sebagainya. Sedangkan buah<br />
yang dianjurkan adalah buah yang kurang manis (buah golongan B) misalnya :<br />
pepaya, kedondong, apel, pisang, salak, tomat, semangka.<br />
Berikut ini makanan yang harus dipantang dan yang boleh dimakan adalah<br />
sebagai berikut (Dirjen Pelayanan Medik Depkes RI dan WHO, 1998):<br />
1). Dilarang secara mutlak semua makanan yang mengandung gula, seperti: gula,<br />
glukosa, selai, marmelede, madu, sirop, coklat, kue tarcis, buah-buahan kaleng,<br />
lemon, bir.<br />
2). Yang boleh dimakan secara terbatas adalah es krim, cake, bubur, kentang, puding,<br />
nasi, buah-buahan, mentega, margarin.<br />
3). Yang boleh dimakan secara bebas adalah daging, ikan laut, telur, sayuran, sop<br />
bening, teh dan kopi tanpa gula, susu.<br />
53
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
54<br />
Langkah-langkah dalam menggunakan daftar penukar untuk merencanakan diet:<br />
1. Hitung kebutuhan Kkal setiap hari<br />
2. Bagi Kkal yang diijinkan di antara protein, karbohidrat dan lemak (biasanya protein<br />
diberikan 12-20 % atau 0,8 g per kg BB, karbohidrat 50-60 %, dan lemak 30 % dari<br />
total Kkal.)<br />
3. Tentukan beberapa penukar dari daftar yang dapat memenuhi jumlah karbohidrat,<br />
lemak dan protein.<br />
4. Buat penukar makanan dan snack didistribusikan tiap hari.<br />
Pasien harus mengkonsumsi makanan penukar dalam jumlah yang sama dan pada<br />
waktu yang sama setiap harinya (Moore, 1997). Setiap kali makan harus mengandung<br />
karbohidrat, lemak, protein untuk memperlambat pencernaan dan absorbsi. Jika<br />
menggunakan insulin, makanan dan snack harus dikoordinasikan dengan mula kerja atau<br />
aktivitas puncak, dan lama kerja insulin. Karbohidrat harus selalu ada pada segala<br />
aktivitas insulin untuk mencegah terjadinya hipoglikemia.<br />
Karbohidrat kompleks (serat dan tepung) harus ditekankan dan serat dianjurkan<br />
untuk dikonsumsi 35-45 g/hari. Serat yang larut mempunyai pektin, gum, dan<br />
hemiselulose yang mempunyai efek menurunkan kolesterol dan gula darah. Sumber serat<br />
yang baik adalah buah-buahan.<br />
Lemak. Karena prevalensi penyakit jantung koroner pada DM. Lemak jenuh<br />
harus dibatasi sampai sepertiga atau kurang dari kalori lemak yang dianjurkan dan lemak<br />
tak jenuh harus memenuhi sepertiga dari total kalori lemak.<br />
Alkohol. Alkohol mempunyai banyak hal yang tidak menguntungkan untuk<br />
penderita DM, dan alkohol memberikan 7 Kkal /gram di mana dapat memberikan<br />
kontribusi terhadap kelebihan BB dan dapat memperburuk hiperlipidemia dan dapat<br />
mencetuskan hipoglikemia terutama bila tidak makan. Walaupun demikian, bila pasien<br />
sangat ingin dan disetujui oleh dokternya maka alkohol masih bisa diminum. Diharapkan<br />
tidak lebih dari 57 g sekali minum dan frekuensinya tidak lebih dari 1-2 kali seminggu.<br />
Makanan harus dimakan pada waktu minum alkohol atau sebelum tidur jika alkohol<br />
diminum pada larut malam. Adalah lebih baik bila penderita DM dengan kegemukan<br />
untuk tidak minum alkohol sama sekali.<br />
Natrium. Direkomendasikan pada individu dengan DM untuk makan tidak lebih<br />
dari 3 g natrium setiap harinya, karena kecenderungan akan hipertensi.
Prevention a Long Period Complication of Diabetes Mellitus<br />
Lilis Novitarum<br />
Pemanis diabetes. Pemanis bergizi atau mengandung kalori dan tak bergizi atau<br />
bebas kalori dapat dipakai dalam jumlah sedang pada individu dengan DM. Pemanis<br />
bergizi termasuk sukrosa (gula pasir), fruktosa, dan sorbitol sebagai gula alkohol. Dalam<br />
jumlah kecil dapat dipakai dalam perencanaan diet. Sorbitol dan fruktosa sering<br />
digunakan pada produk “bebas gula”. Pemanis tidak bergizi di pasaran seperti aspartam<br />
dan sakarin.<br />
2. Melakukan Olah Raga teratur<br />
Dianjurkan melakukan olahraga selama satu jam setiap hari. Khusus bagi<br />
penderita DM, dilakukan latihan senam, berupa pemanasan 10 menit, inti 20 menit, dan<br />
pendinginan 10 menit, dengan frekuensi latihan 3-5 kali per minggu. Dengan olah raga<br />
maka tubuh akan berusaha meningkatkan metabolisme yang memerlukan energi dari<br />
glukosa sehingga akan menurunkan kadar glukosa dalam darah. Hal ini bila dilakukan<br />
secara teratur akan menjaga kadar glukosa darah normal dan akan mencegah terjadinya<br />
komplikasi DM.<br />
3. Mengkonsumsi Obat teratur<br />
Pasien DM akan memerlukan pengobatan dalam jangka waktu yang lama. Untuk<br />
obat-obatan DM disarankan diminum atau diinjeksikan dengan dosis yang tepat dan<br />
waktu yang tepat. Dengan dosis yang tepat akan menyebabkan pengontrolan glukosa<br />
darah terjadi, tetapi sebaliknya jika pasien memakan obat dalam dosis yang berlebihan<br />
dengan harapan supaya bisa cepat menurunkan kadar gula darah akan menyebabkan<br />
hipoglikemia pada pasien yang kalau dibiarkan saja akan menyebabkan penurunan<br />
kesadaran. Dengan waktu yang tepat maka pengontrolan glukosa dalam darah akan<br />
terjadi dengan baik.<br />
4. Melakukan kontrol gula darah secara teratur<br />
Pemeriksaan laboratorium juga sangat menunjang pencegahan komplikasi DM.<br />
Dengan teraturnya pemeriksaan gula darah maka tim medis dan pasien akan mengetahui<br />
kestabilan gula darah. Bila gula darah stabil maka secara bertahap pihak medis akan<br />
menurunkan dosis obat diabetes supaya tidak terjadi hipoglikemik.<br />
55
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
PENUTUP<br />
Pada dasarnya komplikasi DM bisa dicegah dengan gaya hidup yang sehat dari<br />
pasien itu sendiri. Tetapi tidak menutup kemungkinan, walaupun pasien mempunyai<br />
pengetahuan cukup tetapi tidak mau merubah gaya hidupnya akan menyebabkan<br />
komplikasi jangka panjang DM. Hal ini sangat berhubungan dengan penatalaksanaan<br />
pengobatan DM memerlukan waktu yang panjang sehingga pasien merasa bosan dan<br />
kurang patuh terhadap terapinya.<br />
SUMBER RUJUKAN<br />
Bagian Gizi RS dr. Cipto Mangunkusumo & Persatuan Ahli Gizi Indonesia. 1996.<br />
Penuntun Diet. PT Gramedia. Jakarta.<br />
Smeltzer & Bare. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Volume 2 Edisi Alih Bahasa. EGC.<br />
Jakarta.<br />
Depkes RI. 1990. Dasar-dasar Perilaku Manusia. Depkes RI. Jakarta.<br />
Dirjen Pelayanan Medik Depkes RI dan WHO. 1998. Pedoman Diet Diabetes Melitus Di<br />
Rumah Sakit. Jakarta : FKUI.<br />
Gibson, Rosalinds. 1990. Principles of Nutritional assessment. New York : Oxford<br />
University Press.<br />
Ignativius, Donna D & Bayne, Marilyn Larner. 1991. Medical-Surgical Nursing : a<br />
nursing process approach. Philadelphia : W. B. Saunders Company.<br />
Kee, Joyce L & hayes, evelyn R. 1996. Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan.<br />
EGC. Jakarta.<br />
Moore, Mary Courtney. 1997. Terapi Diet Dan Nutrisi. Hipokrates. Jakarta.<br />
Penyusun Kamus Pusat Pembinaan & Pengembangan Bahasa. 1990. Kamus Besar<br />
Bahasa Indonesia. Balai pustaka. Jakarta.<br />
Sarwono, Solita. 1997. Sosiologi Kesehatan. Gajahmada Univercity. Yogyakarta.<br />
Tjokropranowo, Askandar. 1994. Diabetes Melitus. PT Gramedia Pustaka Tama. Jakarta<br />
Waspadji. 1999. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit FKUI. Jakarta<br />
56
Wacana Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember Tahun 2009 (57‐66)<br />
PROSES PEMBENTUKAN MODAL EKONOMI SOSIAL BUDAYA<br />
PENGUSAHA BATIK DI SURAKARTA<br />
Mahendra Wijaya<br />
Jurusan Sosiologi FISIP UNS<br />
mahendrawijaya_uns@yahoo.co.id<br />
Abstract<br />
The goal of this research is to understand the process of the economy social<br />
culture formation of batik industrialist. The research method is naturalistic<br />
inquiry. The batik craffman (pengrajin pembatik) and trades women (bakul<br />
batik) is interrelated with the structue of nuclear family. Parent give a<br />
knowledge and skill of batik work or batik trading (culture capital) to their<br />
childs since underage. The parent motivated their teenagers for work in<br />
batik (economy capital). Batik craffman need capital and fine works by<br />
relationship with supervisor who works on supervisor (social capital)<br />
The process of economy social culture capital formation of owner (juragan)<br />
and big trades (saudagar) is interrelation with the extended family<br />
structure.. Economic capital such is business and money, social capital such<br />
as social netwoking and the culture capital such knowledge skill exercion<br />
formed and grow up on a extended family as generation to generation.<br />
Kata Kunci: economy capital, social capital , cultural capital and capital<br />
formation.<br />
PENDAHULUAN<br />
Keberadaan batik tulis dengan corak atau pola batik Surakarta berasal dari<br />
Karaton Surakarta (Doellah, 2002: 10). Pakoe Boewono III membuat busana dengan gaya<br />
batik Surakarta baik corak atau pola, warna maupun makna pemakaiannya. Pada awal<br />
abad ke 20, di bawah hegemoni budaya Karaton Kasunanan Surakarta telah berkembang<br />
produsen sekaligus pedagang batik pribumi yang dikenal istilah lokal dengan sebutan<br />
juragan Mbok Mase. Ia dikenal sebagai orang yang bekerja keras, disiplin,ulet, tidak gila<br />
hormat tapi hemat, tidak mau kompromi, menabung dan tidak berfoya-foya (Soedarmono,<br />
1987: 119). Pada tahun 1912 berdiri assosiasi dagang produsen dan pedagang batik<br />
pribumi muslim pertama Sarekat Dagang Islam (SDI) Keberadaan assosiasi dagang itu<br />
meningkatkan jaringan organisasi produksi dan perdagangan batik meluas dari<br />
Laweyan sampai ke pelosok kota-kota besar di Indonesia.<br />
57
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
Pemerintah kolonialis Belanda melakukan tekanan politik ekonomi secara terusmenerus<br />
akhirnya membuat Sarekat Dagang Islam menjadi lemah dan mengakibatkan<br />
kemunduran jaringan perdagangan batik pribumi (Larson, 2001: 72). Kemunduran<br />
tersebut berangsur-angsur menimbulkan pergeseran dari industri rumah tangga mandiri<br />
ke nempakke, yaitu jaringan hubungan relasional antar unit-unit usaha produksi<br />
terspesialisasi sebagai suatu cara untuk bertahan.<br />
Pemerintahan Orde Lama mengeluarkan kebijakan program benteng yang<br />
bertujuan untuk menumbuhkan kewiraswastaan pribumi. Program benteng secara umum<br />
dianggap distorsi dan gagal menumbuhkan wiraswasta pribumi di Indonesia, namun di<br />
bidang perbatikan program tersebut menimbulkan efek positif, yaitu pemupukan modal,<br />
penyerapan tenaga kerja, peningkatan keterampilan kerja, dan meluasnya industri batik<br />
tulis dan cap di berbagai penjuru Kota Surakarta (Nurhandiantomo, 2004: 66).<br />
Orde Baru memiliki kebijakan mengejar pertumbuhan ekonomi yang<br />
mengutamakan industri padat modal, teknologi mekanisasi impor, dan produk massal.<br />
Pada tahun 1970-an, terjadi pertumbuhan industri garmen dan printing bermotif batik<br />
yang mempunyai nilai kompetitif yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk batik<br />
cap. Persaingan ekonomi komersial secara terus-menerus mengakibatkan batik cap kalah<br />
bersaing baik dari segi kualitas maupun harga. Akan tetapi industri kerajinan batik tulis<br />
di Surakarta tetap dapat bertahan. Hal itu disebabkan oleh kemampuan pengusaha batik<br />
dalam mempertahankan spesifikasi produk batik tulis, yang corak dan fungsi<br />
pemakaiannya terkait dengan adat Jawa serta kekuatan modal ekonomi social budaya<br />
(Dwiningrum, 1997: 5-7).<br />
Pada bulan Mei 1988 di Surakarta terjadi kerusuhan sosial. Ironisnya dalam<br />
kondisi ekonomi terpuruk, pada pertengahan Oktober 1999 terjadi lagi kerusuhan sosial<br />
Surakarta (Mulyadi, 1999: 467). Kerusuhan sosial beruntun tersebut mengakibatkan harga<br />
bahan baku batik impor naik hingga 300 persen, permintaan masyarakat akan kain batik<br />
menurun dan industri batik tulis, cap dan printing cenderung menurun. Dalam kurun<br />
waktu yang relatif cepat industri kerajinan batik kembali bangkit yang ditandai dengan<br />
beroperasinya 170 unit usaha batik di kampung batik Laweyan dan 25 unit usaha batik di<br />
kampung batik Kauman serta 36 unit usaha batik yang lokasi usahanya tersebar di dalam<br />
Kota Surakarta. Tekanan terhadap industri kerajinan batik terus berlangsung dari waktu<br />
ke waktu dan pengusaha batik selalu dapat mengatasinya.<br />
58
Proses Pembentukan Modal Ekonomi Sosial Budaya Pengusaha Batik di Surakarta<br />
Mahendra Wijaya<br />
KERANGKA TEORITIK<br />
Modal sosial sebagai suatu kepercayaan, norma-norma resiprositas dan jaringan<br />
sosial yang memungkinkan terbentuknya koordinasi dan kerja sama untuk berbagi<br />
keuntungan dalam mencapai tujuan kesejahteraan bersama. Sebagaimana halnya<br />
Bourdieu (Bourdieu, 1988) mengemukakan modal terdiri dari modal ekonomi dan modal<br />
sosial. Modal ekonomi terkait dengan kepemilikan barang, benda dan uang yang dapat<br />
digunakan bagi keperluan investasi. Modal sosial terkait dengan keterikatan dalam<br />
hubungan-hubungan sosial, sedangkan modal budaya terkait dengan penguasaan<br />
pengetahuan. Keduanya dapat digunakan sebagai alat untuk memperoleh kedudukan<br />
sosial.<br />
Putnam membagi tipologi modal sosial menjadi pola bonding social capital dan<br />
bridging social capital (Putnam, 2000). Pola bonding social capital, jaringan sosial<br />
yang terbentuk secara eksklusif (inward looking). Sebaliknya pola bridging sosial capital,<br />
jaringan sosial terbentuk secara inklusif (outward looking). Dalam konteks jaringan<br />
sosial ekonomi, Rutten mengungkapkan jaringan hubungan relasional antar aktor-aktor<br />
ekonomi dalam proses industrialisasi di Asia menggunakan pola jaringan sosial ekonomi<br />
mutualisme dan dominasi (Rutten, 2003: 22). Pola jaringan sosial ekonomi mutualisme<br />
mengikuti hubungan balance reciprocity dan pola jaringan sosial ekonomi dominasi<br />
mengikuti hubungan general reciprocity. Pola jaringan sosial ekonomi dapat membentuk<br />
pola bonding social capital atau pola bridging social capital. Pola jaringan sosial<br />
ekonomi yang terbentuk melalui kerja sama antara industri di suatu daerah dengan<br />
daerah lain cenderung membentuk pola bridging social capital. Sebaliknya jaringan<br />
sosial ekonomi dominasi antara industri besar dengan pekerja rumahan di dalam suatu<br />
ruangan daerah tertentu cenderung membentuk pola bonding sosial capital.<br />
Karenanya penelitian ini menggunakan metode naturalistic inquary, yaitu suatu<br />
cara untuk menggambarkan proses pembentukan modal ekonomi sosial budaya. Dalam<br />
naturalistic inquary peneliti sebagai kunci utama dalam mengumpulkan data dan<br />
menafsir data. Informan diperlakukan sebagai subyek dan hubungannya dengan peneliti<br />
bersifat interaktif (Lincoln, 1985). Lokasi penelitian di kampung batik Laweyan dan<br />
Pasar Klewer dengan alasan sebagai berikut: pertama, Kota Surakarta berhubungan<br />
dengan “cultural heritage” warisan budaya batik khas Jawa. Kedua, kampung batik<br />
59
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
Laweyan dan Pasar Klewer merupakan sub culture area produksi dan perdagangan<br />
batik.<br />
Jenis data terdiri dua, yakni data primer dan sekunder. Data sekunder meliputi<br />
sejarah, dokumen, artefak, catatan-catatan, peta, monografi, memo dan lain-lain. Data<br />
tersebut akan diperoleh dari pengusaha batik dan istansi terkait. Sedangkan data primer<br />
meliputi kata-kata, aktivitas sehari-hari, teks naratif, simbol simbol, dan lain-lain. Data<br />
primer diperoleh langsung dari juragan, saudagar, pengrajin, pembatik, konsumen batik<br />
dan tokoh perbatikan yang terkait.<br />
SEJARAH INDUSTRI BATIK<br />
1. Sejarah Industri Kerajinan Batik Tulis Surakarta<br />
Asal usul batik tulis Jawa kuno, baik dari segi corak maupun sisi komersialnya<br />
tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kerajaan Mataraman. Desa Laweyan merupakan desa<br />
kuno yang sudah ada sebelum berdirinya kerajaan Pajang. Penduduk desa Laweyan<br />
hanyalah masyarakat kecil atau biasa disebut wong lumrah, tidak banyak meninggalkan<br />
situs sejarah yang berarti. Desa Laweyan 15 baru dianggap berarti setelah dikaitkan<br />
dengan keberadaan situs sejarah Ki Ageng Anis seorang pejabat negara kadipaten<br />
Pajang yang bertempat tinggal di Laweyan pada tahun 1546 Masehi (Priyatmono, 2000).<br />
Kampung batik Laweyan di Surakarta berkembang sebagai kampung santri yang taat<br />
menjalankan ibadah Agama Islam. Arti dan makna kerja sebagai ibadah dan sillahturohmi<br />
mendatangkan barokah telah mengakar ke dalam kehidupan sosial ekonomi para santri.<br />
Keberadaan batik tidak hanya sebagai simbol seni budaya Jawa namun juga sebagai<br />
simbol kesejahteraan santri dan kemakmuran masjid. Hal itu mendukung terpeliharanya<br />
hubungan saling percaya, norma-norma resiprositas dan kerja sama dalam hubunganhubungan<br />
produksi dan dagang<br />
Keberadaan batik tulis corak Surakarta muncul sejak Pakoe Boewono II<br />
memberikan wasiat kepada Pakoe Boewono III untuk membuat busana sendiri dengan<br />
corak Surakarta Raja Pakoe Boewono menciptakan dan memberi maka pola batik terkait<br />
dengan tradisi budaya Jawa. Tradisi budaya Jawa tidak lepas dari tata cara dan upacara.<br />
Tata cara dapat diartikan sebagai proses jalannya upacara, artinya ubarampe yang<br />
dipergunakan sebagai sarana upacara. Batik sebagai umbarampe upacara tradisi Jawa<br />
mengandung makna simbolis yang berisi tentang suatu doa kepada Tuhan.<br />
60
Proses Pembentukan Modal Ekonomi Sosial Budaya Pengusaha Batik di Surakarta<br />
Mahendra Wijaya<br />
Pemanfaatan batik sebagai sarana upacara tradisi Jawa memberi kekuatan batin bagi<br />
pelaku-pelakunya dan untuk nguri-uri budaya keraton.<br />
2. Sejarah Industri Kerajinan Batik Non Tulis (Batik Cap dan Printing)<br />
Batik cap muncul sekitar tahun 1815 di Semarang, batik cap merupakan hasil<br />
suatu proses membikin stempel dari tembaga untuk membuat lukisan lilin pada kain<br />
dengan cara dicapkan (Susanto, 1980). Stempel disebut cap, pengerjaannya disebut<br />
mencap dan hasil kain yang dicap disebut kain batik cap. Perkembangan teknologi batik<br />
tersebut melipatgandakan produksi sekitar 10 kali lipat, waktu produksi lebih cepat, dan<br />
biaya lebih murah daripada batik tulis. Batik cap dibawa dari Kota Semarang ke Kota<br />
Surakarta sekitar awal abad ke 20. Batik cap berkembang dengan cepatnya di Laweyan<br />
dan Kauman Surakarta, sehingga kawasan tersebut terkenal dengan sebutan tempatnya<br />
juragan batik dan saudagar batik.<br />
Istilah batik printing muncul sekitar tahun 1970-an, berawal dari perubahan<br />
penggunaan bahan baku kain berbahan serat buatan, seperti polyester, polamyda , dan<br />
lycra. Proses pembatikan pada kain berbahan serat buatan dengan cara menggunakan<br />
teknik sablon dan cetak printing. Kain hasil teknik-teknik tersebut biasanya disebut<br />
dengan tekstil dengan pola yang tersusun dari ragam hias batik atau batik printing.<br />
Pertumbuhan industri batik printing terkait dengan kebijakan pemerintahan Orde Baru<br />
yang berorientasi pada ekonomi komersial dalam mengejar pertumbuhan ekonomi. Mode<br />
produksi manufaktur batik printing menghasilkan batik printing secara massal, kualitas<br />
halus dan harga relatif murah dibandingkan dengan batik cap.<br />
INDUSTRI KERAJINAN BATIK MASA KINI DI SURAKARTA<br />
Struktur ekonomi Kota Surakarta masih bertumpu pada sektor industri<br />
pengolahan, perdagangan, rumah makan dan hotel. Hal itu tampak dari sebagian besar<br />
atau sebanyak 67,10 persen penduduk Kota Surakarta bekerja di bidang industri<br />
pengolahan dan perdagangan, rumah makan, serta hotel. Salah satu sub bidang industri<br />
pengolahan dan perdagangan adalah industri batik. Industri batik tersebar di wilayah<br />
Laweyan, Kauman, Pasar Kliwon, dan lainnya. Pusat perdagangan batik beroperasi di 38<br />
pasar tradisional dan beberapa pasar modern yang terdapat di Kota Surakarta.<br />
Perkembangan industri batik di Kota Surakarta terkonsentrasi di sentra-sentra<br />
industri batik Laweyan, Kauman, Pasar Kliwon, dan industri batik mandiri lainnya<br />
tersebar di berbagai wilayah di Surakarta. Industri batik masih menjadi andalan ekonomi<br />
61
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
yang dapat memberi peluang kerja dan pendapatan bagi ribuan tenaga kerja di Kota<br />
Surakarta dan sekitarnya. Pada tahun 2006, perkembangan jumlah industri batik yang<br />
dapat bertahan dari tekanan ekonomi sebanyak 231 unit industri, masing-masing di<br />
kampung batik Laweyan terdapat 170 industri, Kauman sebanyak 25 industri dan lainnya<br />
tersebar di berbagai wilayah di Surakarta sebanyak 36 industri. Industri kerajinan batik<br />
tulis, cap, dan printing tersebut dapat memberikan kesempatan kerja dan pendapatan bagi<br />
ribuan tenaga kerja yang berasal dari Surakarta dan sekitarnya. Oleh sebab itu industri<br />
batik menjadi salah satu tumpuan utama perekonomian Kota Surakarta.<br />
PEMBENTUKAN MODAL EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA<br />
Proses pembentukkan modal ekonomi sosial budaya dapat terakumulasi melalui<br />
investasi, warisan dan keuntungan sesuai dengan kesempatan yang dimiliki oleh<br />
pemiliknya untuk mengoperasionalkan penempatannya. Pengelola industri rumah tangga<br />
batik tulis dan kios batik di kampung batik Laweyan dan Kauman Surakarta dikenal<br />
dengan sebutan pengrajin pembatik dan bakul wade. Pengelola pabrikan batik<br />
cap/manufaktur batik printing dan toko batik dikenal dengan sebutan juragan dan<br />
saudagar batik.<br />
1. Juragan dan Saudagar Batik.<br />
Proses pembentukan modal ekonomi sosial budaya terkait dengan struktur<br />
keluarga besar juragan dan saudagar batik. Struktur keluarga besar di Laweyan Solo<br />
terdiri dari Mbok Masse sepuh-Mas Nganten sepuh dan Mbok Mase-Mas Nganten serta<br />
Den Bagus-Den Rara adalah serangkaian kakek-nenek, bapak-ibu dan anak perempuan–<br />
anak laki-laki yang gigih dan ulet mengelola usaha batik. Keluarga besar<br />
mengembangkan kelompok usaha induk-semang berdasarkan ikatan kekerabatan menurut<br />
garis keturunan. Hubungan induk (orang tua) dan semang (anak) berdasarkan hubungan<br />
saling percaya, hubungan saling tolong-menolong dan hubungan kerja sama di bidang<br />
usaha perbatikan. Keluarga besar berfungsi memberikan perlindungan sosial-ekonomi<br />
bagi para anggotanya dan menjamin para anggotanya untuk memperoleh pekerjaan dan<br />
pendapatan di bidang usaha perbatikan. Kelompok induk semang sebagai saluran kerja<br />
sama bisnis, seperti saling memberikan informasi pasar, saling pinjam meminjam<br />
barangan dagangan, modal uang tunai dan saling pinjam-meminjam sarana transportasi<br />
serta saling memberi order pekerjaan.<br />
62
Proses Pembentukan Modal Ekonomi Sosial Budaya Pengusaha Batik di Surakarta<br />
Mahendra Wijaya<br />
Juragan batik dan saudagar batik membentuk modal ekonomi, sosial dan<br />
budaya seraca turun–temurun. Akumumulasi modal ekonomi, jaringan sosial ekonomi<br />
dan pengetahuan usaha secara turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya.<br />
Akumulasi modal ekonomi dimanfaatkan untuk mengembangkan pabrikan batik cap dan<br />
manufaktur batik printing. Akumulasi modal sosial dimanfaatkan untuk mengembangkan<br />
jaringan hubungan produksi dan hubungan dagang. Akumulasi pengetahuan dan<br />
ketrampilan usaha digunakan sebagai acuan pengambilan keputusan dalam setiap<br />
menjalankan kegiatan usaha.<br />
Modal uang tunai yang digunakan untuk biaya operasional produksi dan biaya<br />
operasional pemasaran sebesar 3 kali siklus kerja. Satu siklus kerja selama 1 bulan.<br />
Rumusan modal operasional usaha sebanyak 3 kali berhubungan mekanisme perputaran<br />
modal uang tunai yang dijalankan oleh juragan dan saudagar batik dalam<br />
mengembangkan usahanya. Juragan dan saudagar batik mengembangkan mekanisme<br />
pengeluaran dan pemasukan modal uang tunai sebagai berikut: Pertama, juragan dan<br />
saudagar mengeluarkan sejumlah uang tunai untuk biaya produksi atau perdagangan<br />
selama satu bulan atau satu siklus kerja usaha. Kedua, juragan dan saudagar<br />
mengembangkan strategi penjualan ngalap nyaur kepada sejumlah pelanggan pedagang<br />
baik dari dalam dan luar kota. Para pelanggan pedagang mengambil barang dagangan<br />
bulan ke satu membayar barang dagangan tersebut pada bulan kedua. Ketiga, juragan<br />
batik dan saudagar batik memberi kelonggaran tambahan waktu pembayaran pada bulan<br />
ketiga pada para pelanggan pedagang. Keempat, juragan dan saudagar menyediakan<br />
sejumlah modal uang tunai untuk biaya operasional produksi dan penjualan selama tiga<br />
siklus kerja atau tiga kali.<br />
2. Pengrajin Pembatik dan Bakul Batik<br />
Proses pembentukan modal ekonomi sosial budaya dikalangan pengrajin<br />
pembatik dan bakul batik terkait dengan struktur keluarga inti. Orang tua memberikan<br />
pengetahuan dan ketrampilan membatik/berdagang batik kepada anak-anaknya sejak usia<br />
dini (sekitar 12 tahun). Kemudian orang tua mendorong anak-anaknya yang menginjak<br />
remaja (sekitar 16 tahun) untuk mencari nafkah sendiri. Pengrajin pembatik<br />
membutuhkan modal usaha berupa bahan baku kain, malam dan peralatan membatik<br />
seperti canting, anglo, gawangan, dingklik, tepas, dan lain-lain. Pengrajin pembatik<br />
berusaha menjalin hubungan kerja dengan para mandor penggarap atau carik di sekitar<br />
lingkungan tempat tinggalnya. Jika ada order, maka para mandor penggarap atau carik<br />
akan memberi modal usaha, pekerjaan dan pendapatan kepada pengrajin pembatik.<br />
63
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
Seorang pengrajin pembatik menyelesaikan sehelai kain batik tulis butuh waktu sekitar<br />
dua minggu hingga satu bulan tergantung rumit tidaknya pola batik yang dikerjakan.<br />
Hubungan ketetanggaan mendorong terbentuknya jalinan hubungan kerja kontrak<br />
borongan. Mandor penggarap memberi order pekerjaan, modal usaha, upah sedangkan<br />
pengrajin pembatik menyediakan tenaga, ketrampilan dan kepatuhan.<br />
Orang tua memberi pengetahuan dan ketrampilan berdagang kepada anak sejak<br />
usia remaja atau sekitar 15 tahun. Para bakul batik memperoleh modal barang dagangan<br />
dengan cara srempetan, ngempit dan nempil dari juragan atau saudagar batik. Seorang<br />
bakul batik memperoleh pinjaman barang dagangan dengan cara srempetan jika ia telah<br />
dipercaya oleh juragan atau saudagar batik. Juragan atau saudagar batik memberi<br />
waktu pinjaman barang dagangan tanpa bunga selama 7 hari. Jika para bakul batik<br />
mengambil barang dagangan pada hari Senin, maka hari Senin pagi berikutnya harus<br />
membayar barangan dagangan tersebut kepada juragan atau saudagar batik. Ngempit<br />
hampir sama dengan srempetan hanya waktunya lebih terbatas, hari ini pinjam besok pagi<br />
harus mengembalikan atau elunasi. Sementara itu jika bakul batik tidak memiliki<br />
barang dagangan tertentu yang dibutuhkan konsumen maka ia akan nempil barang<br />
dagangan dari juragan atau saudagar. Bakul batik memperoleh keuntungan dari selisih<br />
harga jual konsumen dikurangi harga dasar yang ditetapkan oleh juragan atau saudagar<br />
batik. saudagar batik .Hal itu menunjukkan modal barang dagangan bakul batik sangat<br />
tergantung dari juragan atau saudagar batik.<br />
Dalam pemahaman budaya Jawa, orang yang telah menerima bantuan dari<br />
mereka akan merasa berhutang budi dan wajib mengembalikan bantuan itu di masa<br />
depan “ utang dhuwit iso dilunasi utang budi digowo mati”. Pengrajin pembatik dan<br />
bakul batik merasa berhutang budi pada juragan dan saudagar batik.Pengrajin<br />
pembatik dan bakul batik memiliki keyakinan bahwa mendapat order pekerjaan dan<br />
pinjaman materi merupakan sesuatu yang berhubungan budi pekerti. Secara tidak<br />
langsung nilai budaya ini diintrumentalisasi oleh para juragan dan saudagar batik kedalam<br />
hubungan produksi dan dagang untuk mendukung aktivitasnya. Pengrajin pembatik dan<br />
bakul batik mengembangkan modal sosial saling percaya, norma tolong menolong dan<br />
kerja sama dalam kelompok-kelompok kekerabatan, ketatanggaan dan keagamaan di<br />
pedesaan. Mereka mengembangkan norma tolong menolong dengan ungkapan tepo<br />
slro. Artinya jika seseorang ingin ditolong maka ia harus menolong orang lain.<br />
Pengrajin pembatik dan bakul batik memanfaatkan kelompok-kelompok sosial<br />
keagamaan sebagai media kerja sama untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan.<br />
64
KESIMPULAN<br />
Proses Pembentukan Modal Ekonomi Sosial Budaya Pengusaha Batik di Surakarta<br />
Mahendra Wijaya<br />
Proses pembentukan modal ekonomi sosial budaya dikalangan pengrajin<br />
pembatik dan bakul batik terkait dengan struktur keluarga inti. Orang tua<br />
memberikan pengetahuan dan ketrampilan membatik/berdagang batik (modal budaya )<br />
kepada anak-anaknya sejak usia dini. Kemudian orang tua mendorong anak-anaknya<br />
yang menginjak remaja untuk mencari nafkah sendiri (modal ekonomi). Pengrajin<br />
pembatik membutuhkan modal usaha dan pekerjaan dengan cara menjalin hubungan<br />
kerja dengan para mandor penggarap (modal social). Jaringan sosial ekonomi<br />
perbatikan di dalam sentra industri mengikuti pola bonding sosial capital.<br />
Proses pembentukan modal ekonomi sosial budaya juragan dan saudagar batik<br />
terkait dengan struktur keluarga besar. Modal ekonomi (perusahaan dan uang), modal<br />
social (jaringan sosia) dan modal budaya (pengetahuan dan ketrampilan usaha)<br />
terbentuk dan berkembang melalui keluarga besar secara turun-temurun. Jaringan<br />
sosial ekonomi perbatikan dari sentra industri ke luar sentra industri (pasar dan<br />
perusahaan batik) mengikuti pola bridging social capital.<br />
Kebijakan pengembangan industri rumah tangga (pengrajin pembatik dan bakul)<br />
sebaiknya lebih berorientasi pada pengembangan modal budaya seperti pelatihan<br />
membuat pola batik,teknik pewarnaan dan pembukuan sederhana. Sedangkan kebijakan<br />
pengembangan pabrikan batik cap dan manufacture batik printing sebaiknya lebih<br />
bereorientasi pada pengembangan modal social seperti jaringan pemasaran.<br />
SUMBER RUJUKAN<br />
Bourdieu, Pierre .1988. Homo Academikus. Polity Press. English.<br />
Braudel, Fernand. 1982. The Wheels Of Commerce. (Volume 2 of Civilization and<br />
Capitalism. 15 th – 18 Century). Harper and Row. New York.<br />
Clyde, Mitchell J. 1967. Social Networks in Urban Situations Analyses of Personal<br />
Relationships in Central African Towns. Manchester University Press.<br />
Manchester<br />
Doellah, H Santosa.2002. Batik Pengaruh Zaman dan Lingkungan. Penerbit Danarhadi<br />
Surakarta. Surakarta.<br />
Dwiningrum, Siti Irene.1997. Strategi Kelangsungan Saudagar Batik di DaerahIstimewa<br />
Yogyakarta. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.<br />
Geertz, Cllifford.1973. The Interpretation of Culture. Basic Book. London.<br />
65
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
Honggopuro , Kalinggo KRT . 2002. Bathik Sebagai Busana dalam Tatanan dan<br />
Tuntunan. Penerbit. Yayasan Peduli Karaton Surakarta Hadiningrat. Surakarta.<br />
Larson, George D.1990. Masa Menjelang Revolusi Kraton dan Kehidupan Politik di<br />
Surakarta 1912-1942. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.<br />
Lincoln, Yvonna S and Guba, Egon C.1985. Naturalistic Inquary. Beverly Hill:Sage<br />
Publication. California.<br />
Mulyadi, Hari M dan Sudarmono.1999 Runtuhnya Kekuasaan Kraton Alit.<br />
Studi.RadikalisasiSosial. Wong Solo dan kerusuhan Mei 1998. LPTP. Central<br />
Grafika. Surakarta.<br />
Nurhadiantomo.2004.Konflik Konflik Sosial Pri da- Non Pri Dan Hukum<br />
Keadilan Sosial Muhammadiyah University Press. Surakarta.<br />
Putnam, Robert D.2000. Bowling Alone: the Collapse and Revival of American<br />
Community. .Simon and Schuster. New York.<br />
Soedarmono.1987. Munculnya Kelompok Saudagar Batik di Laweyan Pada Awal Abad<br />
XX.Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.<br />
Susanto, Sewan SK. 1980. Seni Kerajinan Batik Indonesia. Departemen Perindustrian<br />
R.I. Jakarta.<br />
66
Wacana Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember Tahun 2009 (67‐74)<br />
RELASI KUASA ANTARA MEDIA TELEVISI YANG DOMINATIF-<br />
HEGEMONIK VS AUDIENS YANG AKTIF-KRITIS<br />
Suatu Perspektif Cultural Studies<br />
M. Ridhah Taqwa<br />
(Staf Pengajar Fisip Unsri dan Ketua Umum Forum Mahasiswa Pascasarjana Se<br />
Indonesia)<br />
(ridhotaqwa@gmail.com)<br />
Abstract:<br />
The media of television which is the way of live for human in<br />
postmodernism period. The influenced is more signify in making the society<br />
culture based on capitalist ideology (market). There are three models to<br />
understand the media which more dominated by economy politics important<br />
such us manipulative models, plurality and hegemonic. From 3 model<br />
understanding are identified 3 models industry ideology media are (1) as<br />
representative for all circle society, (2) as class dominate, and (3) as<br />
hegemonic space for whom has the power as politic economy. Furthermore,<br />
because of the orientation of third ideology have tendencies nowadays, is<br />
much better the audiences conditioned is not only passive but should be<br />
critics for political and economic interest of media industry, particularly<br />
television.<br />
Kata Kunci : media, audiens, plurality, hegemoni, aktif, kritis.<br />
PENDAHULUAN<br />
Selama satu dekade terakhir Televisi mengalami perkembangan yang sangat<br />
pesat. Selain jumlah stasiun TV dalam dan luar negeri yang makin banyak, jam tayang<br />
yang semakin lama (24 jam), juga ditandai dengan pemirsa yang makin signifikan<br />
jumlahnya pertahun. Waktu yang dihabiskan untuk menyaksikan berbagai tayangan<br />
media semakin lama, karena program TV yang ditayangkan pun semakin bervariasi.<br />
Semua itu merupakan konsekuensi logis dari perkembangan teknologi informasikomunikasi<br />
yang sangat pesat, sehingga berbagai peristiwa di berbagai belahan dunia<br />
dapat dinikmati dalam waktu yang bersamaan, saat berlangsungnya peristiwa itu, seperti<br />
siaran langsung pertandingan sepak bola. Media pun semakin signifikan pengaruhnya<br />
terhadap kehidupan masyarakat, seiring dengan makin bervariasinya berita-informasi,<br />
iklan dan hiburan yang diproduksi media, khususnya media Televisi.<br />
Mengingat banyak dimensi yang terkait dengan keberadaan media, maka materi<br />
bahasan ini akan difokuskan pada analisis teks media dan kedudukan audiens dengan<br />
menggunakan pendekatan cultural studies (CS). Pilihan pendekatan ini terutama dengan<br />
67
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
alasan bahwa pendekatan CS mengakomodasi sejumlah pendekatan dari berbagai disiplin<br />
ilmu sosial, seiring dengan kompleksitasnya dimensi (ekonomi, politik, sosial dan<br />
budaya) media itu sendiri, khususnya TV. Dengan demikian fenomena yang dianalisis<br />
diharapkan semakin tajam dan yang paling penting komprehensif.<br />
TIGA MODEL MEMAHAMI MEDIA<br />
Perhatian terhadap media dari perspektif CS terutama setelah perkembangan TV<br />
yang semakin mengglobal, sehingga berubah dari siaran pelayanan publik menuju ke arah<br />
TV komersial yang didominasi oleh korporasi multi-media sebagai suatu upaya<br />
menemukan sinergi dan konvergensi. Dengan perubahan tersebut kepentingan ekonomi<br />
politik terhadap media pun berkembang, dan pemahaman kita terhadap media hendaknya<br />
didasarkan pada kepentingan tersebut. Dalam konteks ini, Barker mencoba menawarkan<br />
3 model untuk memahami berita atau informasi yang disampaikan melalui media, yaitu:<br />
1. Model Manipulatif<br />
Dalam model ini media dilihat sebagi refleksi masyarakat yang didominasi kelas<br />
dan idiologi secara sadar yang disodorkan oleh pengendali alokatif. Hal ini sebagai<br />
konsekuensi langsung dan aktif dari terkonsentrasinya kepemilikan media di tangan<br />
orang-orang yang mapan, atau oleh manipulasi pemerintah dan tekanan informal lain.<br />
Meskipun ada banyak contoh manipulasi langsung atas berita, namun model ini dianggap<br />
terlalu kasar dalam konteks demokrasi plural barat. Kebebasan semu diberikan pada<br />
pengendali operasional dan atau wartawan, dan sejumlah kendala hukum dan pengaturan<br />
berita serta posisi penonton. Ringkasnya, model ini menggunakan kekuasaan ekonomi<br />
politik untuk mendominasi media, termasuk TV. Pada masa kekuasaan orde baru model<br />
manifulatif inilah yang banyak dikembangkan sebagai instrumen penguasa mengontrol<br />
media massa, khususnya melalui Departemen Penerangan dan PWI.<br />
2. Model Pluralis<br />
Model ini menyatakan bahwa kekuatan pasar yang mengarah pada pluralitas<br />
pasar dan aneka ragam suara yang mengarah kepada penonton yang berbeda. Jika terjadi<br />
konsentrasi pemilikan media, maka tidak terjadi kontrol kepemilikan karena adanya<br />
independensi staf profesional. Media dapat menayangkan satu isu, dan menyingkirkan isu<br />
lain dengan alasan bahwa penenton menentukan pilihannya berdasar pada mekanisme<br />
pasar. Hanya pemirsa yang sadar akan pandangan politik dan gaya presentasional media<br />
yang dapat memilih atau menonton acara yang disukai. Model ini tampaknya cukup<br />
68
Relasi Kuasa Antara Media Televisi yang Dominative‐Hegemonik vs Audiens yang Aktif‐Kritis<br />
M. Ridhah Taqwa<br />
demokratis, karena memberikan ruang terbuka bagi pemirsa untuk menentukan pilihan<br />
dari sejumlah alternatif stasiun dan siaran TV.<br />
3. Model Hegemonik<br />
Model ini cukup populer bagi Cultural Studies. Meskipun kebudayaan tertentu<br />
dapat dikonstruksi dalam berbagai ragam makna, namun suatu unsur makna berpotensi<br />
sebagai induk atau yang dominan. Proses penciptaan, pemeliharan dan reproduksi<br />
serangkaian makna inilah yang oleh Gramsci disebut hegemoni budaya. Hegemoni bukan<br />
diterima, melainkan dimenangkan dan terus dimenangkan dan dinegosiasikan ulang, dan<br />
selanjutnya menjadikan kebudayaan sebagai lahan konflik dan perjuangan untuk mencari<br />
makna. Dengan model hegemonik ini, idiologi berita bukan akibat intervensi langsung<br />
pemilik atau manipulasi secara sadar oleh wartawan, melainkan akibat rutinitas dan<br />
praktek kerja para staf. Wartawan berita mempelajari konvensi dan kode, bagaimana<br />
berbagai hal dilakukan, memproduksi idiologi sebagai suatu common sence.<br />
Menurut Zia dan van Loon ada 4 komponen dasar dari industri media yang<br />
mengemas pesan dan produk, yaitu : (1) pesan atau produk itu sendiri; (2) khalayak yang<br />
meneguk pesan dan mengkomsumsi produk; (3) teknologi yang selalu berubah, yang<br />
membentuk, baik industri maupun cara pesan tersebut dikomunikasikan; dan (4)<br />
penampakan akhir produk tersebut. Keempat komponen ini secara simultan berinteraksi<br />
di sekitar dunia sosial dan budaya, menempati ruang yang diperjuangkan secara terusmenerus.<br />
Jadi perubahan bentuk ruang budaya, pesan-produk dan proses jual beli akan<br />
menimbulkan pola dominasi dan representasi yang berbeda-beda. Dengan mengacu pada<br />
tiga model idiologi media dan empat komponen dasar industri media, akan dicoba untuk<br />
menganalisis sejumlah tema dan kemudian dihubungkan dengan posisi atau perilaku<br />
audiens, bersifat aktif atau pasif.<br />
Media sebagai Ruang Dominasi Kelas<br />
Sementara itu, jika model manipulatif yang berlaku maka kelas yang berkuasalah,<br />
baik secara ekonomi maupun politik yang terwakili kepentingannya dalam industri media.<br />
Mereka yang memiliki sumberdaya untuk mengontrol isi media, dan dengan kemampuan<br />
pengendalian alokatif ini, maka media dapat diintervensi untuk memuat atau tidak<br />
memuat materi tertentu di dalam media. Dengan demikian, model ini lebih<br />
mengandalkan power dibanding dengan kekuatan idiologis.<br />
69
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
Untuk mendalami lebih jauh tentang kemampuan suatu rezim mengontrol secara<br />
sistematis isi media, kita dapat berkaca pada masa pemerintahan orde baru, khususnya<br />
pada pengendalian bahasa media. Pada masa ini media (khususnya cetak) sering<br />
berurusan secara intensif dengan birokrasi. Hasil survai LP3Y pada tahun 1992 misalnya,<br />
menemukan bahwa 46% informasi yang dipublikasikan media cetak bersumber dari<br />
pemerintah, 39% dari masyarakat, komunitas politik dan bisnis, dan 15% dari berbagai<br />
sumber.<br />
Menurut Dakhidae tidak ada suatu periode dalam sejarah dimana suatu rezim<br />
memberi perhatian yang sangat besar terhadap bahasa, sebagaimana rezim orde baru.<br />
Rezim ini merasa perlu mengawasi bahasa dan memelihara semacam hukum atau aturan<br />
bagi perilaku linguistik. Kecenderungan kontrol berbahsa ini berlanjut terus hingga akhir<br />
kekuasaan orde baru meskipun dengan skala kecil dan terbatas. Menjelang runtuhnya<br />
kekuasaan orde baru, seorang penyiar SCTV (Ira Koesno) misalnya, sempat diskorsing<br />
setelah keceplosan bertanya yang dipandang mengusik dominasi kekuasaan orde baru<br />
dalam wawancara dengan Sarwono Kusumaatmaja.<br />
Media Sebagai Ruang Hegemonik<br />
Model hegemonik lebih halus karena dengan rutinitas dari praktek kerja para staf<br />
media yang telah melembaga sehingga kekuatan dominasi tersebut tidak lagi terasa. Jadi<br />
ada permain dibelakang layar yang tidak menunjukan penampakannya, namun<br />
pengaruhnya sangat kuat. Dengan demikian media dapat menjadi sarana bagi suatu<br />
kelompok mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain. Dalam konteks ini<br />
teori Gramsci tentang hegemoni layak dijadikan rujukan yang menekankan pada<br />
bagaimana penerimaan kelompok yang didominasi terhadap kehadiran kelompok yang<br />
dominan berlangsung dalam suatu proses yang damai, tanpa tindakan kekerasan.<br />
Antonio Gramsci yang mempopulerkan konsep hegemoni berpendapat bahwa<br />
kekuatan dan dominasi kapitalis tidak hanya melalui dimensi materail dari sarana<br />
ekonomi dan relasi produksi tetapi juga kekuatan (force) dan hegemoni. Yang pertama<br />
menggunakan daya paksa untuk membuat orang banyak mengikuti dan mematuhi syaratsyarat<br />
suatu cara produksi atau nilai-nilai tertentu, sedang yang kedua meliputi perluasan<br />
dan pelestarian ‘kepatuhan aktif’ (secara sukerala) dari kelompok yang didominasi oleh<br />
kelas penguasa lewat penggunaan kepemimpinan intelektual, moral dan politik. Dengan<br />
demikian proses hegemoni bekerja melalui cara kerja yang tampak wajar.<br />
70
Relasi Kuasa Antara Media Televisi yang Dominative‐Hegemonik vs Audiens yang Aktif‐Kritis<br />
M. Ridhah Taqwa<br />
Apa yang disebut sebagai nilai berita dalam kerja-kerja jurnalistik seringkali<br />
secara tidak sadar menggiring pada upaya untuk memarjinalkan kelompok bawah yang<br />
justru sudah menjadi korban. Kasus-kasus pemerkosaan dilayar kaca misalnya, seringkali<br />
menampakan sisi perempuan malang, seorang pekerja malam, janda cantik dan lainnya.<br />
Common sense lain yang berhubungan praktek kerja jurnalis adalah kecenderungan untuk<br />
menempatkan unsur dramatisasi dalam pemberitaan. Hal ini berhubungan dengan<br />
kebisaan untuk menampilkan apa yang menarik diberitakan bagi publik. Berita<br />
demonstrasi misalnya, yang ditampilkan adalah bentrokannya, bukan materi<br />
demonstrasinya.<br />
Perilaku Audiens: Aktif vs Pasif<br />
Ada dua arus pemikiran tentang perilaku audiens (massa). Di satu sisi ada yang<br />
memandang audiens bersifat aktif, sedang disisi lain ada pula yang memandang audien<br />
bersifat pasif. Kedua arus pemikiran ini sudah lama berdebat seru tentang, apakah benar<br />
audien benar-benar merupakan partner dialog yang relatif seimbang atau sebaliknya<br />
mereka telah menjadi korban yang relatif pasif dan akan menerima apa saja yang<br />
diberikan kepada mereka. Kunci perdebatan budaya ini berputar disekitar kemungkinan<br />
dialog dengan media yang pada kenyataannya ditransformasikan menjadi sesuatu yang<br />
lebih bersifat monolog. Dalam monolog seseorang berbicara untuk menapikan semua<br />
orang lain. Para audien tidak bisa memberikan respon, mereka hanya menyerap apa yang<br />
diberikan atau disodorkan oleh media.<br />
Adorno dan Horkheimer memberikan sebuah ekspresi bahwa dialog media betulbetul<br />
sebuah monolog pada pihak budaya industri. Selanjutnya keduanya mencoba<br />
merumuskan tiga persoalan tentang posisi audien dalam budaya industri pada buku<br />
Dialectic of Enlightenment, yaitu :<br />
1). Budaya industri melihat dan menciptakan audiens tunggal. Argumen ini<br />
mengisyaratkan bahwa budaya industri sendiri adalah budaya monolitik, maka<br />
audiens budaya industri juga akan monolitik pula;<br />
2). Audien monolitik yang tunggal dari budaya industri adalah massa yang pasif,<br />
mereka tidak aktif baik pada, maupun untuk diri mereka sendiri<br />
3). Dalam massa audien tunggal masing-masing individu merasa asing dengan<br />
individu lainnya. Keduanya menegaskan bahwa media komunikasi modern<br />
mempunyai dampak pengasingan; bukanlah sekedar paradoks intelektual.<br />
71
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
Berbeda dengan paradigma audiens pasif, kerangka kerja yang telah<br />
mendominasi penelitian terhadap penonton dalam tradisi cultural studies, yaitu paradigma<br />
audiens aktif. Tradisi ini menunjukkan bahwa penonton bukanlah orang bodoh secara<br />
kultural melainkan produsen makna aktif dalam konteks budaya mereka sendiri.<br />
Paradigma ini berkembang sebagai reaksi atas berbagai hasil kajian atas penonton dengan<br />
asumsi bahwa penonton TV memiliki karakter pasif dengan makna dan pesan TV yang<br />
diterima begitu saja. Banyak hasil penelitian yang memahami aktifitas penonton dalam<br />
konteks perilaku menyatakan bahwa penonton meniru kekerasan dalam televisi. Yang<br />
lain menggunakan korelasi statistik untuk membuktikan bahwa menonton TV memiliki<br />
efek tertentu.<br />
Para pendukung pendekatan audiens aktif berpendapat bahwa bukti-bukti<br />
perilaku penonton tidak sekedar inkonklusif dan kontradiktif. Penonton TV bukanlah<br />
massa yang tak terbedakan yang terdiri dari kumpulan individu dan terisolasi. Namun<br />
penonton adalah suatu aktivitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang<br />
terkait erat dengan makna. Audiens adalah produsen makna aktif dan tidak sekedar<br />
menerima begitu saja makna tekstual yang diidentifikasi oleh para kritikus. Mereka<br />
melakukannya berdasarkan atas kompetensi kultural yang dimiliki sebelumnya yang<br />
dibangun dalam konteks bahasa dan relasi social. Jadi paradigma audiens aktif<br />
merepresentasikan suatu perpindahan minat dari angka kepada makna, dari satu makna<br />
tekstual kepada makna tekstual lain, dari penonton umum ke penonton khusus.<br />
Akhirnya pendukung positif penonton TV dalam tradisi cultural studies<br />
menyimpulkan:<br />
72<br />
Penonton dikonsepsikan sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan<br />
pengetahuan luas, bukan produk dari teks yang distrukturkan;<br />
Makin terikat oleh cara teks distrukturkan dan oleh konteks demostik dan<br />
konteks budaya dalam menonton;<br />
Penonton perlu dipahami dalam konteks dimana mereka menonton TV dan<br />
kaitannya dengan konstruksi makna dan rutinitas sehari-hari;<br />
Penonton dengan mudah mampu membedakan antara fiksi dan realitas,<br />
mereka benar-benar aktif memainkan berbagai sekat;
Relasi Kuasa Antara Media Televisi yang Dominative‐Hegemonik vs Audiens yang Aktif‐Kritis<br />
M. Ridhah Taqwa<br />
Proses konstruksi makna dan tempat TV dalam rutinitas bergeser dari<br />
kebudayaan yang satu ke kebudayaan lain, berubah dalam konteks kelas dan<br />
gender dalam komunitas budaya yang sama.<br />
Dengan semakin banyaknya stasiun penyiaran swasta, apakah kecenderungan itu<br />
berarti pemaknaan terhadap teks media/TV semakin berkurang, atau justru sebaliknya.<br />
Semakin banyak pilihan program bagi penonton, semakin banyak pula yang harus<br />
dimaknai. Apakah dengan semakin banyaknya stasiun penyiaran dan variasi program,<br />
audiens semakin pasif atau semakin aktif dan kritis untuk menyikapi dominasi dan<br />
hegemoni industri media? Fenomena inilah yang menarik dan masih perlu untuk dikaji<br />
lebih lanjut.<br />
SUMBER RUJUKAN<br />
Barker, Chris. 2005. Cultural Studiers, Teori dan Praktek. Kreasi Wacana. Yogjakarta.<br />
Eriyanto. 2005. Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media. Cetakan 4, LKIS.<br />
Yogjakarta.<br />
Horkheimer, Max dan Theodor W. Adorno. 1969. Dialectic of Enlightenment. The<br />
Seabury Press, New York.<br />
Harris, David. 1992. From Class Struggle to the Politics of Pleasure, the Effects of<br />
Granscianism on Cultural Studies. Routledge, London and New York.<br />
Kellner, Douglas. 1995. Media Culture: Cultural Studies, Identity and Politics between<br />
the Modern and the Postmodern. Routledge, London and New York.<br />
Latif, Yudi dan Idi Subandy Ibrahim, (editor). 1996. Bahasa dan kekuasaan: Politik<br />
Wacana di Panggung Orde Baru. Mizan, Bandung.<br />
Piliang, Yasraf A. 2004. Dunia yang dilipat, Tamasya Melampaui Batas-Batas<br />
Kebudayaan. Jalasutra, Yogyakarta.<br />
Sardar, Ziauddin dan Borin Van Loon. 2001. Cultural Studies for Beginners. Mizan,<br />
Bandung.<br />
Tester, Keith. 2003. Media, Budaya dan Moralitas. Juxtapose- Kreasi Wacana.<br />
Yogjakarta.<br />
http://rumputliar.wordpress.com/2009/02/25/review-kuliah-hari-ini-status-ontologisetnografi-media/<br />
Diunduh 25 September 2009.<br />
http://books.google.co.id/books?. Diunduh 25 September 2009.<br />
http://budiirawanto.multiply.com/journal/item/12/Media_dan_Anak_Sekadar-<br />
Mengelola_Kecemasan.<br />
73
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
http://www.virtual.co.id/blog/cyberpr/pergeseran-peran-agenda-setting-komunikasimassa-dan-apa-maknanya/<br />
http://www.lambah.net/index.php?option=com_content&task=view&id=58&Itemid=1<br />
74
Wacana Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember Tahun 2009 (75‐82)<br />
PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP (Life Skill Education) DAN<br />
KONTRIBUSINYA UNTUK KEMAJUAN BANGSA<br />
Muhamad Sehol<br />
(Mahasiswa Pendidikan Sains Program Pascasarjana Univ. Negeri Yogyakarta)<br />
(msehol@yahoo.com)<br />
Abstract:<br />
Dalam rancangan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) secara tersirat telah<br />
mengakomodasi kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada pencapaian<br />
kecakapan hidup bagi setiap peserta didik. Pengembangan tersebut<br />
menyangkut pengembagan dimensi manusia seutuhnya yaitu pada aspekaspek<br />
moral, akhlak, budi pekerti, pengetahuan, keterampilan, kesehatan, seni<br />
dan budaya. Pengembangan aspek-aspek tersebut bermuara pada<br />
peningkatan pengembangan kecakapan hidup yang diwujudkan melalui<br />
pencapaian kompetensi peserta didik untuk bertahan hidup serta<br />
menyesuaikan diri agar berhasil dalam kehidupan.<br />
Kata Kunci: Life, Skill, Education.<br />
PENDAHULUAN<br />
Konsep pendidikan kecakapan hidup atau life skill education telah menjadi<br />
wacana yang gencar dikumandangkan jajaran Departemen Pendidikan Nasional sejak<br />
beberapa tahun yang lalu, dan sampai hari ini telah menjadi suatu kebijakan pemerintah<br />
dalam bidang pendidikan. Dalam rancangan kurikulum berbasis kompetensi (KBK)<br />
secara tersirat telah mengakomodasi kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada<br />
pencapaian kecakapan hidup bagi setiap peserta didik. Hal ini diperkuat dengan terbitnya<br />
PP nomor 19 Tahun 2005 Pasal 13 dan Panduan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan<br />
(KTSP) yang dikeluarkan oleh BSNP, bahwa pada tingkat pendidikan dasar dan<br />
menengah atau sederajat dapat memasukkan pendidikan kecakapan hidup. Baik PP<br />
maupun dalam panduan BSNP tersebut tidak memberikan ketegasan bahwa sekolah<br />
diharuskan memasukkan pendidikan kecakapan hidup. Namun demikian, sekolah tetap<br />
diberi keleluasaan untuk mengimplementasikan pendidikan kecakapan hidup dalam<br />
proses pembelajaran. Hal inipun akan berimplikasi terhadap perlunya sekolah<br />
menyiapkan seperangkat pendukung pelaksanaan pembelajaran yang mengembangkan<br />
kegiatan-kegiatan yang berorientasi kepada kecakapan hidup.<br />
Pengembangan tersebut menyangkut pengembagan dimensi manusia seutuhnya<br />
yaitu pada aspek-aspek moral, akhlak, budi pekerti, pengetahuan, keterampilan,<br />
kesehatan, seni dan budaya. Pengembangan aspek-aspek tersebut bermuara pada<br />
75
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
peningkatan pengembangan kecakapan hidup yang diwujudkan melalui pencapaian<br />
kompetensi peserta didik untuk bertahan hidup serta menyesuaikan diri agar berhasil<br />
dalam kehidupan. Oleh karena itu, pendidikan kecakapan hidup dalam KTSP terintegrasi<br />
melalui kegiatan-kegiatan pembelajaran yang ada pada setiap mata pelajaran, sehingga<br />
tidak berdampak pada alokasi waktu yang ditetapkan.<br />
76<br />
Dalam paper ini, akan dikaji berbagai perspektif kecakapan hidup sebagai<br />
bagian dari upaya merespon dinamika ketersediaan SDM handal untuk menopang<br />
kemajuan bangsa, khususnya di bidang pendidikan.<br />
PENGERTIAN DAN KONSEP DASAR KECAKAPAN HIDUP<br />
Banyak pendapat dan literatur yang mengemukakan bahwa pengertian<br />
kecakapan hidup bukan sekedar keterampilan untuk bekerja (vokasional) tetapi memiliki<br />
makna yang lebih luas. WHO (1997) mendefinisikan bahwa kecakapan hidup sebagai<br />
keterampilan atau kemampuan untuk dapat beradaptasi dan berperilaku positif, yang<br />
memungkinkan seseorang mampu menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan dalam<br />
kehidupan secara lebih efektif. Kecakapan hidup mencakup lima jenis, yaitu: (1)<br />
kecakapan mengenal diri, (2) kecakapan berpikir, (3) kecakapan sosial, (4) kecakapan<br />
akademik, dan (5) kecakapan kejuruan.<br />
Barrie Hopson dan Scally (1981) mengemukakan bahwa kecakapan hidup<br />
merupakan pengembangan diri untuk bertahan hidup, tumbuh, dan berkembang,<br />
memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan berhubungan baik secara individu,<br />
kelompok maupun melalui sistem dalam menghadapi situasi tertentu. Sementara Brolin<br />
(1989) mengartikan lebih sederhana yaitu bahwa kecakapan hidup merupakan interaksi<br />
dari berbagai pengetahuan dan kecakapan sehingga seseorang mampu hidup mandiri.<br />
Pengertian kecakapan hidup tidak semata-mata memiliki kemampuan tertentu<br />
(vocational job), namun juga memiliki kemampuan dasar pendukung secara fungsional<br />
seperti: membaca, menulis, dan berhitung, merumuskan dan memecahkan masalah,<br />
mengelola sumber daya, bekerja dalam kelompok, dan menggunakan teknologi<br />
(Dikdasmen, 2002).<br />
Konsep kecakapan hidup sejak lama menjadi perhatian para ahli dalam<br />
pengembangan kurikulum. Tyler (1947) dan Taba (1962) misalnya, mengemukakan<br />
bahwa kecakapan hidup merupakan salah satu fokus analisis dalam pengembangan<br />
kurikulum pendidikan yang menekankan pada kecakapan hidup dan bekerja.
Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education)<br />
dan Kontribusinya untuk Kemajuan Bangsa<br />
Muhamad Sehol<br />
Pengembangan kecakapan hidup itu mengedepankan aspek-aspek berikut: (1)<br />
kemampuan yang relevan untuk dikuasai peserta didik, (2) materi pembelajaran sesuai<br />
dengan tingkat perkembangan peserta didik, (3) kegiatan pembelajaran dan kegiatan<br />
peserta didik untuk mencapai kompetensi, (4) fasilitas, alat dan sumber belajar yang<br />
memadai, dan (5) kemampuan-kemampuan yang dapat diterapkan dalam kehidupan<br />
peserta didik. Kecakapan hidup akan memiliki makna yang luas apabila kegiatan<br />
pembelajaran yang dirancang memberikan dampak positif bagi peserta didik dalam<br />
membantu memecahkan problematika kehidupannya, serta mengatasi problematika<br />
hidup dan kehidupan yang dihadapi secara proaktif dan reaktif guna menemukan solusi<br />
dari permasalahannya (Dikdaksmen, 2002).<br />
Berdasarkan pernyataan di atas, sekolah/daerah memiliki kewenangan yang luas<br />
untuk mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan kondisi peserta<br />
didik, keadaan sekolah, potensi dan kebutuhan daerah. Berkenaan dengan itu, Indonesia<br />
yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang memiliki keanekaragaman<br />
multikultur (adat istiadat, tata cara, bahasa, kesenian, kerajinan, keterampilan daerah, dll)<br />
merupakan ciri khas yang memperkaya nilai-nilai kehidupan bangsa. Keanekaragaman<br />
harus selalu dilestarikan dan dikembangkan dengan tetap mempertahankan nilai-nilai<br />
luhur bangsa Indonesia melalui upaya pendidikan kecakapan hidup. Pengenalan keadaan<br />
lingkungan, sosial, dan budaya kepada peserta didik memungkinkan mereka untuk lebih<br />
mengakrabkan dengan lingkungan kehidupan peserta didik. Pengenalan dan<br />
pengembangan lingkungan melalui pendidikan diarahkan untuk menunjang peningkatan<br />
kualitas sumber daya manusia, dan pada akhirnya diarahkan untuk meningkatkan<br />
kompetensi peserta didik.<br />
Kebijakan yang berkaitan dengan dimasukkannya program pendidikan<br />
kecakapan hidup dalam Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL)<br />
dilandasi kenyataan bahwa dalam pendidikan tidak hanya mengejar pengetahuan semata<br />
tetapi juga pada pengembangan keterampilan, sikap, dan nilai-nilai tertentu yang dapat<br />
direfleksikan dalam kehidupan peserta didik. Sekolah tempat program pendidikan<br />
dilaksanakan merupakan bagian dari masyarakat. Oleh karena itu, program pendidikan<br />
kecakapan hidup di sekolah perlu memberikan wawasan yang luas pada peserta didik<br />
mengenai keterampilan-keterampilan tertentu yang berkaitan dengan pengalaman peserta<br />
didik dalam keseharian pada lingkungannya. Untuk memudahkan pelaksanaan program<br />
pendidikan kecakapan hidup diperlukan adanya model pengembangan yang bersifat<br />
umum untuk membantu guru/sekolah dalam mengembangkan muatan kecakapan hidup<br />
77
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
dalam proses pembelajaran. Pendidikan kecakapan hidup bukan merupakan mata<br />
pelajaran yang berdiri sendiri melainkan terintegrasi melalui matapelajaran-<br />
matapelajaran, sehingga pedidikan kecapakan hidup dapat merupakan bagian dari semua<br />
mata pelajaran yang ada.i samping itu perlu kesadaran bersama bahwa peningkatan mutu<br />
pendidikan merupakan komitmen untuk meningkatkan mutu sumberdaya manusia, baik<br />
sebagai pribadi maupun sebagai modal dasar pembangunan bangsa, dan pemerataan daya<br />
tampung pendidikan harus disertai dengan pemerataan mutu pendidikan sehingga<br />
mampu menjangkau seluruh masyarakat.<br />
KONSEP KECAKAPAN HIDUP<br />
78<br />
Menurut konsepnya, kecakapan hidup dapat dibagi menjadi dua jenis utama,<br />
yaitu: (i) Kecakapan hidup generik (generic life skill/GLS), dan (ii). Kecakapan hidup<br />
spesifik (specific life skill/SLS).<br />
Masing-masing jenis kecakapan itu dapat dibagi menjadi sub kecakapan.<br />
Kecakapan hidup generik terdiri atas kecakapan personal (personal skill), dan kecakapan<br />
sosial (social skill). Kecakapan personal mencakup kecakapan dalam memahami diri<br />
(self awareness skill) dan kecakapan berpikir (thinking skill). Kecakapan mengenal diri<br />
pada dasarnya merupakan penghayatan diri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa,<br />
sebagai anggota masyarakat dan warga negara, serta menyadari dan mensyukuri<br />
kelebihan dan kekurangan yang dimiliki sekaligus sebagai modal dalam meningkatkan<br />
dirinya sebagai individu yang bermanfaat bagi lingkungannya. Kecapakan berpikir<br />
mencakup antara lain kecakapan mengenali dan menemukan informasi, mengolah, dan<br />
mengambil keputusan, serta memecahkan masalah secara kreatif. Sedangkan dalam<br />
kecakapan sosial mencakup kecakapan berkomunikasi (communication skill) dan<br />
kecakapan bekerjasama (collaboration skill).<br />
Kecakapan hidup spesifik adalah kecakapan untuk menghadapi pekerjaan atau<br />
keadaan tertentu. Kecakapan ini terdiri dari kecakapan akademik (academic skill) atau<br />
kecakapan intelektual, dan kecakapan vokasional (vocational skill). Kecakapan akademik<br />
terkait dengan bidang pekerjaan yang lebih memerlukan pemikiran atau kerja intelektual.<br />
Kecakapan vokasional terkait dengan bidang pekerjaan yang lebih memerlukan<br />
keterampilan motorik. Kecakapan vokasional terbagi atas kecakapan vokasional dasar<br />
(basic vocational skill) dan kecakapan vokasional khusus (occupational skill).
Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education)<br />
dan Kontribusinya untuk Kemajuan Bangsa<br />
Muhamad Sehol<br />
Menurut konsep di atas, kecakapan hidup adalah kemampuan dan keberanian<br />
untuk menghadapi problema kehidupan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari<br />
dan menemukan solusi untuk mengatasinya. Apabila hal ini dapat dicapai, maka<br />
ketergantungan terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan, yang berakibat pada<br />
meningkatnya angka pengangguran, dapat diturunkan, yang berarti produktivitas<br />
nasional akan meningkat secara bertahap. Konsep kecakapan hidup sebagaimana telah<br />
dijelaskan di atas, dapat diilustrasikan sebagai berikut :<br />
Gambar 1. Konsep kecakapan hidup<br />
PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP DAN STANDAR ISI<br />
Pendidikan kecakapan hidup sudah menjadi suatu kebijakan seiring dengan<br />
berlakunya Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan. Standar isi dan standar<br />
kompetensi lulusan tersebut menjadi acuan daerah/sekolah dalam mengembangkan<br />
kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) pada masing-masing jenjang pendidikan.<br />
Oleh karena itu, pengembangan kecakapan hidup dengan sendirinya harus mengacu<br />
kepada standar-standar yang telah ditetapkan pemerintah. Standar isi dan standar<br />
kompetensi lulusan merupakan salah satu bagian dari Standar Nasional Pendidikan.<br />
Standar isi terdiri dari: ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan<br />
dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata<br />
pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh satuan pendidikan.<br />
Dokumen standar isi mencakup: (1) kerangka dasar kurikulum, (2) struktur kurikulum,<br />
(3) standar kompetensi dan kompetensi dasar, (4) beban belajar, dan (5) kalender<br />
pendidikan.<br />
79
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KECAKAPAN<br />
HIDUP<br />
80<br />
Keberhasilan pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup sangat ditentukan oleh<br />
program/rancangan yang disusun sekolah dan kreativitas guru dalam merumuskan dan<br />
menentukan metode pembelajarannya. Langkah-langkah yang ditempuh dalam<br />
penyusunan program pembelajaran sebagai berikut:<br />
berikut:<br />
1. Mengidentifikasi standar kompetensi dan kompetensi dasar<br />
2. Mengidentifikasi bahan kajian/materi pembelajaran<br />
3. Mengembangkan indikator<br />
4. Mengembangkan kegiatan pembelajaran yang bermuatan kecakapan hidup<br />
5. Menentukan bahan/alat/sumber yang digunakan<br />
6. Mengembangkan alat penilaian yang sesuai dengan aspek kecakapan hidup<br />
Pendidikan kecakapan hidup dikembangkan dengan memperhatikan beberapa hal<br />
1. Pembentukan kepribadian peserta didik secara utuh baik keimanan, ketaqwaan,<br />
dan akhlak mulia<br />
2. Mengakomodasi semua mata pelajaran untuk dapat menunjang peningkatan iman<br />
dan takwa serta akhlak mulia, serta meningkatkan toleransi dan kerukunan antar<br />
umat beragama dengan mempertimbangkan norma-norma agama yang berlaku<br />
3. Memungkinkan pengembangan keragaman potensi, minat dan bakat, kecerdasan<br />
intelektual, emosional, spiritual, dan kinestetik peserta didik secara optimal sesuai<br />
dengan tingkat perkembangannya<br />
4. Sesuai tuntutan dunia kerja dan kebutuhan kehidupan Program kecakapan hidup<br />
hendaknya memungkinkan untuk membekali peserta didik dalam memasuki<br />
dunia kerja/usaha serta relevan dengan kebutuhan kehidupan sesuai dengan<br />
tingkat perkembangan peserta didik<br />
5. Kecakapan-kecakapan yang perlu dikembangkan mencakup: kecakapan personal,<br />
sosial, akademis, dan vokasional<br />
6. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni<br />
7. Mempertimbangkan lima kelompok mata pelajaran berikut:<br />
a) Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia<br />
b) Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian<br />
c) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi<br />
d) Kelompok mata pelajaran estetika<br />
e) Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan<br />
Semua dimensi kecakapan hidup secara berkelanjutan harus dimiliki oleh peserta<br />
didik sejak TK hingga sekolah menengah, dan bahkan perguruan tinggi sekalipun. Akan
Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education)<br />
dan Kontribusinya untuk Kemajuan Bangsa<br />
Muhamad Sehol<br />
tetapi dalam praktik pengembangannya, penekanan pendidikan kecakapan hidup tetap<br />
mempertimbangkan tingkat perkembangan peserta didik sesuai dengan jenis dan jenjang<br />
pendidikan. Kecakapan hidup pada TK dan sekolah dasar (SD) berbeda dengan sekolah<br />
menengah pertama (SMP), demikian pula kecakapan hidup pada sekolah menengah<br />
pertama berbeda dengan sekolah menengah atas (SMA), bergantung kepada tingkat<br />
perkembagan psikologis dan fisiologis peserta didik. Gambar berikut ini merupakan<br />
contoh dominasi pendidikan kecakapan hidup pada jenis/jenjang pendidikan TK/SD/<br />
SMP, SMA, dan SMK.<br />
PENEKANAN PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP DI TIAP JENJANG<br />
PENDIDIKAN<br />
Secara umum dapat dikatakan bahwa pendidikan kecakapan hidup yang<br />
diberikan sampai dengan jenjang sekolah menengah lebih berorientasi pada upaya<br />
mempersiapkan peserta didik menghadapi era informasi dan era globalisasi. Pada intinya<br />
pendidikan kecakapan hidup ini membantu dan membekali peserta didik dalam<br />
pengembangan kemampuan belajar, menyadari dan mensyukuri potensi diri, berani<br />
menghadapi problema kehidupan, serta mampu memecahkan persoalan secara kreatif.<br />
Pendidikan kecakapan hidup bukan mata pelajaran baru, akan tetapi sebagai alat dan<br />
bukan sebagai tujuan. Penerapan konsep pendidikan kecakapan hidup terkait dengan<br />
kondisi peserta didik dan lingkungannya seperti substansi yang dipelajari, karakter<br />
peserta didik, kondisi sekolah dan lingkungannya.<br />
Lebih lanjut penekanan pembelajaran kecakapan hidup pada masing-masing<br />
jenjang dapat digambarkan sebagai berikut:<br />
TK SD SMP SMA Si S2 dst<br />
Gambar 2. Penekanan pembelajaran kecakapan hidup pada masing-masing jenjang<br />
Gambar di atas menunujukkan penekanan porsi pembelajaran antara kecakapan<br />
hidup dan substansi mata pelajaran yang ada di masing-masing jenjang pendidikan. Pada<br />
jenjang TK/SD/SMP, porsi kecakapan hidup sangat besar dan porsi substansi mata<br />
pelajaran masih kecil. Sedangkan pada jenjang SMA, porsi kecakapan hidup makin<br />
berkurang dan substansi mata pelajaran semakin bertambah. Begitu pula pada jenjang S1<br />
dan S2, porsi kecakapan hidup semakin berkurang karena porsi akademik semakin besar.<br />
81
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
PELAKSANAAN PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP<br />
82<br />
Pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup terintegrasi dengan beragam mata<br />
pelajaran yang ada di semua jenis dan jenjang pendidikan. Misalnya pada mata pelajaran<br />
Matematika yang mengintegrasikan pendidikan kecakapan hidup di dalamnya, selain<br />
mengajarkan peserta didik agar pandai matematika, juga pandai memanfaatkannya dalam<br />
kehidupan sehari-hari, seperti: membaca data, menganalisis data, membuat kesimpulan,<br />
mempelajari ilmu lain, dan sebagainya.<br />
LIFE SKILL DALAM APLIKASINYA MENGATASI PENGANGGURAN<br />
a) Community College<br />
Dalam rangka menampung anak putus sekolah SLTP/MTs dan tamatan<br />
SMU atau MA dan yang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi maka perlu<br />
dikembangkan lembaga pendidikan pelatihan yang dapat memberikan kecakapan<br />
vocational yang disebut sebagai community college.<br />
b) Profil kecakapan Vokasional yang berkembang di masyarakat<br />
1. Prrofil Life Skill yang dikembangkan oleh SMK<br />
SMK melalui penerapan kurikulum mengmbangkan Kejuruan terkesan<br />
hanya terkonsentrasi pada kejuruan tertentu seperti teknologi bisnis dan<br />
manajemen.<br />
2. Prrofil Life Skill yang dikembangkan oleh Balai Latihan Kerja<br />
BLK mengembangkan Latihan Kerja UKM Seperti : Teknologi mekanik,<br />
otomotif, listrik, konstruksi tata niaga dan aneka pertanian .<br />
3. Profil Kecakapan Vokasional yang dikembangkan lembaga pendidikan dan<br />
pelatihan<br />
c) Pengembangan life skill pada SMU yang berkeunggulan khusus<br />
Penyelenggaraan SMU berwawasan khusus dengan asumsi bahwa<br />
pendidikan di SMU tidak hanya berorientasi pada academic skillnya tetapi juga<br />
penguasaan keterampilan kejuruan tertentu. Hal karena banyak lulusan SMU<br />
(46,9%) tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi. Dengan demikian<br />
pengembangan SMU berkeunggulan khusus akan menciptakan output yang<br />
memiliki kmampuan ganda.<br />
SUMBER RUJUKAN<br />
Balitbang Puskur 2008, Model pendidikan life skill, Jakarta : Depdiknas<br />
Anwar (2006), Pendidikan Kecakapan Hidup, Bandung : Alfa Beta
Wacana Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember Tahun 2009 (83‐88)<br />
EKSISTENSI KESENDIRIAN AFASIA - DUNIA TANPA KATA DAN SIMBOL -<br />
DALAM KESENDIRIAN EMOSIONAL DAN KESENDIRIAN SOSIAL<br />
(Teori Ego Psikologi Freud dan Teori Fenomenologi Husserl)<br />
Musdalifah Dachrud<br />
(Staf Pengajar STAIN Manado)<br />
(iffah_dachrud@yahoo.com)<br />
Abstract:<br />
Bertambahnya jumlah gangguan peredaran darah otak (CDV) atau istilah<br />
medis lain cedera pembulu darah otak (CVA) dan trauma kapitis,<br />
mmengindikasikan jumlah kasus dengan gejala sisa neurologik juga makin<br />
meningkat. Gejala sisa elementer yang paling menyolok adalah hemiparesis<br />
dan gejala sisa fungsi luhur yang paling banyak adalah afasia. Pada kasus<br />
CVD/CVA, kemungkinan seorang pasien menderita afasia adalah 25%,<br />
karena separuhnya menderita hemiparesis dekstra dan separuh dari ini<br />
mungkin menderita afasia.<br />
Kata Kunci: Afasia, Kesendirian, emosional, social.<br />
PENDAHULUAN<br />
The Agency for Health Care Policy and Research Post-Stroke Rehabilitation<br />
Clinical Practice Guidelines mendefinisikan afasia sebagai hilangnya kemampuan untuk<br />
berkomunikasi dengan lisan bahkan isyarat, atau secara tertulis atau ketidakmampuan<br />
untuk memahami komunikasi tersebut atau hilangnya kemampuan berbahasa (Gresham,<br />
1995).<br />
Darley (1982) mengemukakan bahwa afasia biasanya melukiskan tentang suatu<br />
kerusakan atau pelemahan bahasa akibat terjadinya cedera otak pada area dominan bahasa<br />
cerebral hemisphere.<br />
Afasia dapat terjadi mengikuti stroke dan traumatic brain injury, dan dapat pula<br />
dihubungkan dengan penyakit yang mempengaruhi unsur dan fungsi otak (Nadau et al.,<br />
2000)<br />
Definisi lain mengungkapkan afasia dicirikan sebagai permasalahan bahasa dan<br />
cognitive communication yang berhubungan denngan kerusakan otak lainnya seperti<br />
dementia, dan traumatic brain injury (Orange, 1998). Bagaimanapun, penjelasan terhadap<br />
afasia tidak sederhana semata-mata sebagai kekacauan berbahasa, melainkan sebagai<br />
suatu kesatuan klinis yang kompleks.<br />
83
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
Secara klinis Kertezs (1979) menguraikan afasia sebagai bagian dari neurology<br />
dimana gangguan terjadi pada pusat bahasa yang ditandai oleh paraphasias, kesukaran<br />
menemukan kata-kata, pemahaman yang berbeda dan berubah lemah, berkaitan puala<br />
dengan gangguan membaca dan menulis yang lazim seperti dysarthria, konstruksi nonverbal,<br />
kesulitan menyelesaikan masalah serta kelemahan dalam memberi dan merespon<br />
melalui isyarat (impairment of gasture).<br />
Penderita afasia dalam psikologi dikategorikan dalam developmental<br />
psychopathology. Perkembangan kehidupan mereka berbeda dengan individu normal<br />
lainnya. Beberapa kajian tentang penderita afasia lebih banyak dikaitkan dengan<br />
neurologi atau neurolinguistik (Fabbro, 2001). Sehingga menjadi motivasi tersendiri<br />
untuk mengadakan pengkajian yang berbeda dengan kajian yang telah ada sebelumnya.<br />
Tulisan ini akan lebih difokuskan pada kajian fenomena psikologis penderita afasia yang<br />
terasing dalam kesendirian karena kehilangan dunia kata dan simbol yang pernah<br />
dimilikinya<br />
KESENDIRIAN TANPA KATA DAN SIMBOL<br />
Hidup tanpa perantara komunikasi baik kata maupun simbol dengan dunia diluar<br />
diri ibarat keterasingan hidup akibat putusnya jembatan yang menghubungkan. Dunia<br />
diam tanpa stimulus dan respon, itulah yang dirasakan oleh para penderita afasia.<br />
Dampak dari kerusakan berbahasa adalah pada kehidupan interpersonal, dengan<br />
kemampuan seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain. Interaksi mengisyaratkan<br />
simbol-simbol dan tanda-tanda yang mengartikan suatu hal sebagai persetujuan pada<br />
konteks kultur tertentu (Charon, 1989). Kata-kata, uang, tanda-tanda dan banyak ekspresi<br />
non verbal lainnya seperti mengangguk untuk ya dan menggeleng untuk tidak adalah<br />
contoh dari simbol-simbol. Untuk tujuan berkomunikasi, harus digunakan simbol-simbol<br />
yang sesuai yang diterima sebagai pembawa arti dalam masyarakat. Komunikasi juga<br />
melibatkan kemampuan memacu sebuah arti tertentu dalam pikiran orang lain dan<br />
memahami apa yang ingin disampaikan oleh orang lain. Dan bagi afasia, kesulitan yang<br />
parah adalah hilangnnya simbol-simbol yang penting untuk bahasa. Bukan hanya kata<br />
lisan atau tulisan yang hilang dan tidak memiliki arti, tetapi juga simbol-simbol<br />
pelengkap seperti mengangguk dan menggeleng, mengenali ekspresi kesenangan atau<br />
kesedihan ataukah suara yang meninggi dalam kemarahan.<br />
84
Eksistensi Kesendirian Afasia‐Dunia Tanpa Kata dan Simbol<br />
Dalam Kesendirian Emosional dan Kesendirian Sosial<br />
Musdalifah Dachrud<br />
Akibat gangguan kemampuan untuk simbolisasi, eksistensi yang paling serius<br />
dari afasia muncul dalam wujud kesendirian, perasaan malu, tersingkir, sikap dan<br />
pengalaman dengan orang lain menjadi berubah menjadi kegagalan.<br />
KESENDIRIAN SOSIAL<br />
Menjadi bagian dari orang lain adalah hal yang didambakan oleh setiap orang.<br />
Siapapun akan membutuhkan dan berkeinginan untuk merasakan secara menyeluruh<br />
dalam dirinya bahwa ia adalah orang yang memiliki arti atau hidupnya bermakna bagi<br />
orang lain (Zammuner, 2008). Terasing dari kehidupan bertetangga, bersahabat,<br />
berkenalan, atau kontak sosial lainnya merupakan kesendirian dalam dunia sosial (Nolen,<br />
2006; Caciappo, 2002 dan Vandewater, 1997). Sebagaimana halnya keberadaan penderita<br />
afasia yang memperjuangkan kembalinya kemampuan berbahasa yang pernah begitu<br />
mudah mengantarkannnya dalam berkomunikasi.<br />
Perasaan kesendirian, terkurung dalam tubuh, muncul sebagai hal yang<br />
menciptakan jarak dengan orang lain. Ketidakmampuan mengenali siapa lawan bicara,<br />
situasi saat berbicara, dimana berbicara karena ketidakmampuan berkomunikasi dengan<br />
lancar. Terjadi kesalah pahaman dalam berkomunikasi mengakibatkan identitas diri<br />
sepertinya menghilang dan menganggap diri sebagai orang cacat. Tidak tahu akan diri<br />
dan tidak mampu mempertahankan harga diri membuat mudah dalam menilai buruk<br />
terhadap maksud-maksud baik orang lain. Kesendirian pun semakin diperkuat saat orang<br />
lain mengabaikan dan tidak peduli dengan komunikasi yang dilakukan dengan<br />
mengisolasi diri. Berbagai kondisi sulit itu memunculkan perasaan-perasaan keterasingan<br />
yang mencakup kehidupan internal dan dunia sekitar (Van der Gaag, 2005).<br />
KESENDIRIAN EMOSIONAL<br />
Komunikasi verval tiba-tiba berhenti (afasia Broca) atau dapat berbicara lancar<br />
namun tidak masuk akal (afasia Wernicke). Menemukan diri sendiri dalam situasi seperti<br />
ini pada umumnya diterima sebagai pengalaman yang menakutkan sebagai akibat yang<br />
berhubungan dengan perasaan-perasaan terkejut dan takut. Bahkan ada yang bingung dan<br />
tidak dapat bertindak secara rasional. Gejolak pun muncul karena ketidakmampuan<br />
untuk menerima bahwa diri tidak dapat berbicara.<br />
Penderita afasia yang mengalami depresi saat menemukan dirinya sebagai orang<br />
yang afasia akan mengalami pengurangan kepercayaan diri, yang dapat merubah citra<br />
85
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
dirinya (Tenner, Gerstenberger dan Keller, 1989). Pengalaman depresi lebih lanjut akan<br />
dapat mempengaruhi motivasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan kebebasan<br />
fungsional, karena kegagalan untuk ikut berpartisipasi dalam komunitas akibat<br />
kemampuan verbal yang rusak, sering menghasilkan perasaan-perasaan kesendirian dan<br />
isolasi. (Wahrborg, 1991).<br />
KONSEP ISOLASI DALAM TEORI EGO PSIKOLOGI FREUD<br />
Konsep dari ego psikologi digunakan oleh pakar ego psikologi (Freud, 1966;<br />
Blanck dan Blanck, 1974) untuk menjelaskan proses-proses mental dimana perasaanperasaan<br />
terpisah dari pikiran. Isolasi sebagai sebuah karakteristik personal dalam<br />
kenyataanya dapat menjadi hal yang problematis, tetapi disisi lain juga merupakan sebuah<br />
sumber penting dalam momen-momen ancaman dan panik. Isolasi perasaan-perasaan<br />
sepertinya menjadi kemungkinan yang dapat mengesampingkannya untuk bertindak<br />
dalam suatu cara yang rasional. Orang akan menjadi sadar akan afasianya saat dia sedang<br />
sendiri dirumah, atau ditempat rehabilitasi saat perawat meninggalkannya sendiri.<br />
Kemampuan pengetahuannya dengan segera menunjukkan bahwa dia harus menekan<br />
perasaannya untuk mendapatkan bantuan orang lain dan memakai kemampaun isolasi dan<br />
rasionalitasnya sebagai sebuah strategi sadar. Hal ini berlawanan dengan teori mekanisme<br />
pertahanan psikologi tidak sadar dimana menghadapinya dengan penyingkapan dan<br />
pembebasan perasaan-perasaan tertekan yang telah diasingkan pada bagian pikiran yang<br />
berbeda (Breuer dan Freud, 1895)<br />
TEORI FENOMENOLOGI HUSSERL<br />
Teori fenomenologi dari intensionalitas membantu memahami penangkapan<br />
realitas non verbal dan pre reflektif semacam ini. Dengan memakai konsep<br />
“intensionalitas”, Husserl tidak meragukan tentang kekuatan bawaan dari apa yang<br />
disebut sebagai “sikap alami” yaitu “terbenam setiap hari dalam keberadaan dan<br />
pengalaman seseorang, dimana kita meremehkan bahwa dunia adalah seperti apa yang<br />
kita terima, dan bahwa orang lain mengalami dunia seperti yang kita alami” (Husserl,<br />
1970; Dahlberg et al., 2001). Dalam tindakan intensionalitas, kita tidak merefleksikan<br />
secara kritis, kita hanya ada dalam dunia keseharian dimana kita tinggal.<br />
Saat terjadi afasia, maka terjadi kehilangan kemampuan untuk bergerak dari<br />
sebuah sikap alami ke sebuah sikap yang lebih reflektif. Dunia sekitar dipahami dalam<br />
86
Eksistensi Kesendirian Afasia‐Dunia Tanpa Kata dan Simbol<br />
Dalam Kesendirian Emosional dan Kesendirian Sosial<br />
Musdalifah Dachrud<br />
cara yang sama seperti udara yang dihirup. Jelas tidak perlu untuk menganalisa<br />
pengalaman-pengalaman yang sudah ada selama tidak memiliki akses pada kata-kata.<br />
Apakah mungkin untuk mengenali realita secara intensional tanpa kata-kata?<br />
Menurut Marleau-Ponty (1989), salah satu pengikut Husserl, kesimpulan semacam ini<br />
sepertinya tidak masuk akal. Kata-kata bukanlah sebuah prasyarat untuk pemikiran.<br />
Sebaliknya pemikiran adalah prasyarat untuk bahasa.<br />
Kata tidaklah tanpa arti, karena dibalik dunia ada sebuah operasi kategorial, tapi<br />
arti ini adalah sesuatu yang tidak dimiliki kata dan tidak memiliki, karena kata<br />
dipikirkan baru memiliki arti, kata tetap menjadi sebuah wadah kosong. Ini<br />
hanyalah sebuah fenomena artikulasi suara, atau kesadaran akan fenomena<br />
semacam itu, tapi dalam setiap kasus bahasa ini terjadi, tapi merupakan sebuah<br />
penyertaan eksternal dari pemikiran (Marleau Ponty, 1989, h. 177).<br />
Lebih lanjut satu aspek dari intensionalitas adalah kemampuan untuk berpikir<br />
keseluruhan, tanpa kata-kata segera setelah terserang afasia. Pasien afasia tidak hanya<br />
menangkap dan mengenali realitanya, tetapi juga selanjutnya akan terkejut dengan<br />
ketenangan dan juga kemampuannya untuk menangani situasi akut. Bahkan yang<br />
memiliki elemen-elemen yang kuat, seperti pada afasia impresif akan ingat dan mampu<br />
menjelaskan tahap akut, meskipun terdapat fakta bahwa ada kebingungan ketika ini<br />
muncul.<br />
Oleh karena itu, afasia tidak menurunkan persepsi atau kemampuan cepat untuk<br />
mengenali sesuatu sebagai sesuatu, namun sebaliknya; tindakan intensionalitas muncul<br />
sebagai sebuah pengalaman yang lebih kuat daripada sebelumnya katika kata-kata hilang<br />
yang diinterpretasikan sebagai sebuah “bahasa meta”, sebuah bahasa non verbal dan<br />
tenang, tersembunyi dibalik bahasa verbal dan tidak dapat diakses oleh seseorang yang<br />
dapat berbicara. “Bahasa meta” adalah arti yang sempurna dan lengkap, terdiri dari<br />
keseluruhan arti. Arti ini dipahami sebagai kebenaran yang absolut, tidak lagi<br />
mempertimbangkan pilihan-pilihan atau alternatif-alternatif lainnya, karena makna sudah<br />
ada.<br />
Dalam proses ini, bahasa tidak dianggap sebagai sebuah kumpulan aturan-aturan<br />
yang pasti. Keajaiban nyata dari bahasa akan ditemukan ketika pasien afasia menemukan<br />
arti dalam kata-kata orang lain dan mampu mengekspresikan arti sendiri.<br />
87
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
DAFTAR RUJUKAN<br />
Blanck, G., & Blanck, R. (1974). Ego psychology _/ Theory and Practice. New York:<br />
Columbia University Press.<br />
Brindley, P., Copeland M., Demain C., and Martin P. (1989). A comparison of the<br />
speech of ten chronic Broca’s aphasics following intensive and non intensive<br />
periods of therapy. Aphasiology, 3:695-479.<br />
Charon, J. M. (1989). Symbolic Interactionism. An Introduction, an Interpretation, an<br />
Integration. Englewood Cliffs: Prentice Hall.<br />
Dahlberg, K., Drew, N., & Nystro¨m, M. (2001). Reflective Lifeworld Research. Lund:<br />
Studentlitteratur.<br />
Darley, FL. (1982). Aphasia. Philadelphia, Pa: WB Saunders.<br />
Ferro, J. M., & Madureira, S. (1997). Aphasia. Type, Age and Cerebral Infarct<br />
Localisation. Journal of Neurology, 244, 505_/509.<br />
Freud, A. (1966). The writings of Anna Freud. Vol II The ego and the mechanism of<br />
defence. New York: International Hallmark Press.<br />
Kertesz, A. (1979). Aphasia and Associated Disorders: Taxonomy, Localization and<br />
Racovery. Naw York: Grune and Startton.<br />
Laska, A. C., Hellbom, A., Murray, V., Kahan, T., & von Arbin, M. (2001). Aphasia in<br />
Acute Stroke and Relation to Outcome. Journal of Internal Medicine, 24, 413-<br />
422.<br />
Merleau-Ponty, M. (1989). Phenomenology of Perception. Translated by Colin Smith.<br />
London: Routledge.<br />
Nadeau, S., Rothi, L. J. G., & Crosson, B. (2000). Preface. In S. Nadeau, L. J. G. Rothi,<br />
& B. Crosson (Eds.), Aphasia and language: Theory to practice. New York:<br />
Guilford Press.<br />
Nolen-Hoeksema, S., Ahrens, C. (2002). Age, Differences and Similarities in the<br />
Correlates of Depressive Symptoms. Psychology and Aging, 17 (I), 116-124.<br />
Orange, JB., and Kertesz A. (1998). Efficacy of language therapy for aphasia. In:<br />
Physical Medicine and Rehabilitation: State of the Art Reviews. Philadelphia,<br />
Pa: Hanley-Belfus, Inc; :501–517.<br />
Poeck, K., Huber W., and Willmes K. (1989). Outcome of intensive language treatment<br />
in aphasia. Journal Speech Hear Disorder, 54:471–479<br />
Teasell, R., Doherty D., Speechley M., Foley N., and Bhogal SK. (2002). Evidence-based<br />
review of stroke rehabilitation. Heart and Stroke Foundation Ontario and<br />
Ministry of Health and Long-Term Care of Ontario.<br />
Tanner, D. C., Gerstenberger, D. L., & Keller, C. S. (1989). Guidelines for Treatment of<br />
Chronic Depression in the Aphatic Patient. Rehabilitation Nursing, 2, 80_/81.<br />
Vandewater, E. A., Ostrove, J. M., & Stewart, A. J. (1997). Predicting women’s wellbeing<br />
in midlife: The importance of personality depelovement and social role<br />
involvements. Journal of Personality and Social Psychology, 72, 1147-1160.<br />
Zammuner, V. L. (2008). Italian’s social and emotional loneliness: The result of five<br />
studies. International Journal of Sciences, 3 (2), 108-120.<br />
88
Wacana Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember Tahun 2009 (89‐96)<br />
PERANAN MEDIA KOMPUTER BERBASIS MAKROMEDIA FLASH<br />
PADA PROSES BELAJAR MENGAJAR JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK<br />
ELEKTRO FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR<br />
Mustari S. Lamada<br />
(Staf Pengajar Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik UNM)<br />
(mustarilamada@yahoo.com)<br />
Abstract:<br />
The research aim at finding out the student’s learning achievement who<br />
were thougt by using computer media based on Makromedia Flash and those<br />
who were not thougt the media. The research is non equivalent control group<br />
design research in valuing to variable namely independent variable: (1) the<br />
student’s learning by using computer media based on makromedia (2) The<br />
student’s learning without using computer media based on makromedia<br />
flash. The dependent variable the student learning achievement in electrical<br />
installation of education electrical engineering department, engineering<br />
faculty in makassar state university consisted of 74 student’s. In analyzing<br />
the data of the research the statistic to be used was the descriptive and<br />
imperential statistic, with t-test. The result of statistic analysis showed that<br />
the mean score of leaving electrical installation of the student’s who were<br />
tought by using computer media based on makromedia flash 20,06 mean<br />
while the mean score of learning electrical installation of the student who<br />
were thougt without using the media was 16,35. the result of the research<br />
showed that there was significant difference of the leaving achievement in<br />
electrical installation of education electrical department, engineering faculty,<br />
makassar state university between the taught by using computer media based<br />
on makromedia flash and those who did not use the media.<br />
Kata-kata Kunci: Media Komputer, Makromedia Flash, Rangkaian Listrik.<br />
PENDAHULUAN<br />
Pendidikan saat ini sedang digalakkan oleh setiap negara di dunia. Perkembangan<br />
ilmu pengetahuan dan teknologi membuat dunia pendidikan menyesuaikan diri pada<br />
perubahan yang serba kompleks dalam kehidupan masyarakat. Sistem pendidikan pada<br />
masa lampau tidak mampu menghasilkan sumber daya manusia yang sesuai dengan<br />
tuntutan zaman saat ini, oleh karena itu setiap ilmu pengetahuan perlu dikembangkan<br />
karena sarana yang akan digunakan semakin canggih dan modern sehingga sumber daya<br />
manusia harus mampu mengikuti perkembangan tersebut. Seiring dengan perkembangan<br />
ilmu pengetahuan dan teknologi secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi<br />
segala aspek kehidupan termasuk aspek pendidikan (Sadiman, 2000). Munculnya produk<br />
teknologi yang dapat digunakan dalam pendidikan memberi kesempatan kepada pendidik<br />
untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui proses belajar mengajar..<br />
89
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
Secara umum, belajar dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku akibat<br />
interaksi individu dengan lingkungan. Perilaku ini mengandung pengertian yang<br />
luas, yang mencakup pengetahuan, pemahaman, keterampilan, sikap, dan sebagainya.<br />
Setiap perilaku ada yang nampak (diamati) ada pula yang tidak bisa diamati. Perilaku<br />
yang bisa diamati disebut penampilan atau behavioral performance, sedangkan yang<br />
tidak bisa diamati disebut kecenderungan perilaku behavioral tendensi. Dalam pengertian<br />
lain belajar adalah suatu aktivitas yang dilakukan secara sadar untuk mendapatkan sejumlah<br />
kesan dari bahan yang telah dipelajari. Hasil dari aktivitas belajar terjadilah<br />
perubahan dalam diri individu. Dengan demikian belajar dikatakan berhasil bila terjadi<br />
perubahan dalam diri individu. Secara psikologis belajar merupakan suatu proses<br />
perubahan, yaitu perubahan dalam tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan<br />
lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut Sardiman (2000),<br />
bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku atau kemampuan, dengan serangkaian<br />
kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati, mendengar, meniru dan sebagainya.<br />
Perubahan yang didapatkan adalah kemampuan baru yang bertahan lama, karena<br />
adanya usaha pada individu yang belajar. Sedangkan Slameto (1995) mengemukakan<br />
bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh<br />
suatu perubahan tingkah laku secara keseluruhan sebagai hasil dari pengalaman<br />
individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannyaDengan fasilitas dan<br />
kemampuan komputer materi pelajaran yang telah dimanipulasi dengan baik melalui<br />
program aplikasi akan lebih mudah dimengerti oleh peserta didik lebih meningkatkan<br />
minat belajar peserta didik, serta memberikan dorongan lebih kuat kepada peserta didik<br />
untuk mengikuti pelajaran. komputer merupakan salah satu media alternatif yang dapat<br />
digunakan dengan cara membuat suatu program mengenai materi yang akan diajarkan<br />
kemudian hasilnya langsung disampaikan di depan peserta didik secara visualisasi,<br />
animasi dan simulasi.<br />
Dengan memanfaatkan komputer sebagai media pembelajaran, dalam hal ini<br />
program Makromedia Flash yang dirancang sebagai aplikasi presentasi khususnya<br />
dalam PBM akan memudahkan pengajar dalam mengajar dan memudahkan memahami<br />
bahan kajian, serta dapat menciptakan iklim belajar-mengajar yang menarik dan<br />
menyenangkan, sehingga dapat menumbuhkan rasa percaya diri dalam mencapai tujuan<br />
yang telah dirumuskan, artinya peserta didik dengan sendirinya dapat meningkatkan<br />
minat belajar, sehingga mampu berpikir, bertindak, dan berbuat.<br />
90<br />
Penggunaan media komputer berbasis Makromedia Flash dalam PBM
Peranan Media Komputer Berbasis Makromedia Flash<br />
pada PBM Jurusan Pendidikan Teknik Elektro Fakultas Teknik UNM<br />
Mustari S. Lamada<br />
dianggap merupakan hal yang baru, khususnya pada mahasiswa Jurusan Pendidikan<br />
Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar. Namun, Melalui<br />
penggunaan media pembelajaran yang optimal, dalam proses belajar mengajar,<br />
khususnya media komputer sebagai sumber informasi peserta didik. Program tersebut<br />
dipandang cukup efektif dan efisien dalam rangka mengantarkan peserta didik untuk<br />
menyerap materi pelajaran dengan mudah.<br />
METODE<br />
Penelitian ini merupakan penelitian Non Equivalent Control Grup Design dan<br />
melibatkan dua variabel yaitu variabel bebas: 1) Pembelajaran menggunakan media<br />
komputer berbasis Makromedia Flash 2) Pembelajaran tanpa menggunakan media dan<br />
variabel terikat: Hasil belajar rangkaian listrik mahasiswa Jurusan Pendidikan Teknik<br />
Elektro Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar sebanyak 74 mahasiswa.<br />
Variabel yang akan diselidiki dalam penelitian ini adalah:Variabel bebas, yaitu:<br />
Kelompok Eksperimen yaitu pembelajaran rangkaian listrik dengan menggunakan<br />
media komputer berbasis Makromedia Flash. Kelompok kontrol adalah Pembelajaran<br />
rangkaian listrik dengan yang tidak menggunakan media komputer. Variabel terikat,<br />
yaitu hasil belajar rangkaian listrik yang dicapai oleh mahasiswa Jurusan Pendidikan<br />
Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar.<br />
Pengujian hipotesis ini menggunakan uji-t dua pihak. Hipotesisnya adalah:<br />
“terdapat perbedaan yang signifikan dalam pencapaian hasil belajar rangkaian listrik<br />
mahasiswa yang diajar pada pola pembelajaran menggunakan media komputer berbasis<br />
Makromedia Flash dengan mahasiswa yang diajar pada pola pembelajaran yang tidak<br />
menggunakan media.<br />
Dilihat dari jenis variabel yang diteliti serta ada tidaknya perlakuan yang<br />
sengaja dilakukan, maka penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian<br />
eksperimen.<br />
HASIL<br />
Hasil pengumpulan data menunjukkkan bahwa terdapat perbedaan antara<br />
kelompok mahasiswa yang diajar dengan menggunakan media komputer berbasis<br />
Makromedia Flash sebagai kelompok eksperimen dan kelompok mahasiswa yang diajar<br />
dengan yang tidak menggunakan media sebagai kontrol.<br />
91
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
92<br />
Tabel 1. Statistik Hasil Belajar Mahasiswa Teknik Elektro FT UNM<br />
Statistik<br />
Ukuran sampel<br />
Skor tertinggi<br />
Skor terendah<br />
Rentang skor<br />
Skor rata-rata<br />
Standar deviasi<br />
Varians<br />
Nilai Statistik<br />
Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol<br />
16<br />
24<br />
15<br />
9<br />
20,06<br />
2,59<br />
15,16<br />
17<br />
22<br />
12<br />
10<br />
16,35<br />
3,04<br />
17,54<br />
Tabel.1 di atas menunjukkan bahwa skor rata-rata yang diperoleh mahasiswa<br />
pada kelompok eksperimen adalah 20,06 dari skor total (30) yang mungkin dicapai. Jika<br />
skor hasil belajar mahasiswa yang diajar dengan pola pembelajaran menggunakan media<br />
komputer berbasis Makromedia Flash kedalam tiga kategori, maka diperoleh distribusi<br />
frekuensi skor dan persentase seperti yang ditunjukkan sebagai berikut (1) ketegori redah<br />
25% (2) kategori sedang 50 % (3) kategori tinggi 25%. Hasil penelitian menunjukkan<br />
bahwa hasil belajar mahasiswa yang berada pada kategori rendah memiliki persentase<br />
25% dengan jumlah mahasiswa sebanyak 4 orang. Pada kategori sedang memiliki<br />
persentase 50% dengan jumlah mahasiswa sebanyak 8 orang, sedangkan pada kategori<br />
tinggi memiliki persentase 25% dengan jumlah mahasiswa sebanyak 4 orang. Hal ini<br />
dapat pula dilihat pada grafik (4.1) skor hasil belajar rangkaian listrik. Dengan demikian<br />
dapat disimpulkan bahwa pembelajaran menggunakan media komputer berbasis<br />
Makromedia Flash berada pada kategori sedang.<br />
Selanjutnya untuk kelompok kontrol menunjukkan bahwa skor rata-rata yang<br />
diperoleh mahasiswa pada kelompok eksperimen adalah 16,35 dari skor total (30) yang<br />
mungkin dicapai. Jika skor hasil belajar mahasiswa yang diajar dengan pola pembelajaran<br />
yang tidak menggunakan media dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu kelompok<br />
yang berada pada kategori rendah memiliki persentase 29,41% dengan jumlah mahasiswa<br />
sebanyak 5 orang. Pada kategori sedang memiliki persentase 47,06% dengan jumlah<br />
mahasiswa sebanyak 8 orang, sedangkan pada kategori tinggi memiliki persentase<br />
23,53% dengan jumlah mahasiswa sebanyak 4 orang. Hal ini dapat pula dilihat pada<br />
grafik (4.2) skor hasil belajar rangkaian listrik. Dengan demikian dapat disimpulkan<br />
bahwa pembelajaran yang tidak menggunakan media berada pada kategori sedang.
PEMBAHASAN<br />
Peranan Media Komputer Berbasis Makromedia Flash<br />
pada PBM Jurusan Pendidikan Teknik Elektro Fakultas Teknik UNM<br />
Mustari S. Lamada<br />
Dari hasil analisis deskriptif pada tabel 4.1, yang memperlihatkan bahwa<br />
berdasarkan kategori, hasil belajar rangkaian listrik Mahasiswa Jurusan Pendidikan Teknik<br />
Elektro Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar yang mengikuti pembelajaran<br />
dengan menggunakan media komputer berbasis Makromedia Flash lebih baik<br />
dibandingkan dengan yang tidak menggunakan media. Jika hasil belajar rangkaian listrik<br />
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Negeri<br />
Makassar yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan media komputer berbasis<br />
Makromedia Flash dikategorikan sedang maka secara klasikal hasil belajar yang tidak<br />
menggunakan media dikategorikan rendah. Selain itu berdasarkan skor rata-rata, hasil<br />
belajar rangkaian listrik Mahasiswa Jurusan Pendidikan Teknik Elektro Fakultas Teknik<br />
Universitas Negeri Makassar yang menggunakan media komputer berbasis Makromedia<br />
Flash lebih tinggi dari pada yang tidak menggunakan media. Jika skor rata-rata hasil<br />
belajar rangkaian listrik Mahasiswa Jurusan Pendidikan Teknik Elektro Fakultas Teknik<br />
Universitas Negeri Makassar yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan media<br />
komputer berbasis Makromedia Flash sebesar 20,06, sedangkan yang tidak menggunakan<br />
media sebesar 16,35.<br />
Adanya perbedaan skor hasil belajar dari kedua kelompok dalam penelitian ini<br />
tentunya tidak terlepas dari prediksi teori-teori yang telah dikemukakan pada bab terdahulu<br />
yang menyatakan bahwa dengan menggunakan pembelajaran berbasis komputer maka,<br />
mahasiswa lebih termotivasi dan lebih terfokus perhatiannya pada proses pembelajaran<br />
sedang berlangsung. Selain itu animo mahasiswa untuk tetap memperhatikan penjelasan<br />
pengajar pada saat pembelajaran yang dimediasi dengan komputer sangat besar. Hal ini<br />
terlihat jelas pada saat penulis melakukan penelitian, dimana kelas yang diajar dengan<br />
menggunakan media komputer mahasiswa memperhatikan pengajar dalam menyajikan<br />
materi pelajaran dan interaksi tanya jawab antara mahasiswa dengan pengajar begitu<br />
lancar. Selain itu dengan gerakan-gerakan tiga dimensi yang dipancarkan oleh layar<br />
komputer dengan menggunakan LCD semakin memberikan hasrat keingintahuan<br />
mahasiswa terhadap materi pelajaran yang dipaparkan.<br />
Untuk memperkuat hasil analisis dskriptif tersebut maka dilakukan pengujian<br />
lanjutan dengan menggunakan statistik inferensial. Berdasarkan hasil analisis inferensial<br />
terlihat bahwa terdapat perbedaan yang berarti antara hasil belajar rangkaian listrik<br />
mahasiswa yang diajar pada pola pembelajaran menggunakan media komputer berbasis<br />
93
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
Makromedia Flash dengan mahasiswa yang diajar dengan pola pembelajaran yang tidak<br />
menggunakan media dengan nilai thitung sebesar 3,79. Dapat pula dikatakan bahwa terdapat<br />
pengaruh positif pada pola pembelajaran menggunakan media komputer berbasis<br />
Makromedia Flash dan yang tidak menggunakan media. selain itu Nilai ini semakin<br />
memperjelas bahwa kontribusi sebuah media pembelajaran sangat besar dalam<br />
menentukan tingkat hasil belajar rangkaian listrik. Adanya perbedaan skor antara<br />
mahasiswa yang diajar dengan menggunakan media komputer berbasis Makromedia Flash<br />
dengan mahasiswa yang diajar dengan yang tidak menggunakan media, itu disebabkan<br />
oleh beberapa faktor yakni tidak terstrukturnya metode pembelajaran sehingga<br />
mengakibatkan mahasiswa yang diajar dengan yang tidak menggunakan media kurang<br />
memperlihatkan semangat belajar sekalipun sebenarnya pembelajaran yang tidak<br />
menggunakan media memiliki kelebihan tersendiri, sehingga hal tersebut mengakibatkan<br />
skor mahasiswa yang diajar dengan menggunakan media komputer berbasis Makromedia<br />
Flash lebih tinggi dibandingkan skor perolehan mahasiswa yang diajar dengan yang tidak<br />
menggunakan media, semakin memperjelas tingkat kontribusi media komputer berbasis<br />
Makromedia Flash dalam meningkatkan daya serap mahasiswa terhadap materi pelajaran<br />
rangkaian listrik.<br />
Menyimak hasil penelitian, dapat dipaparkan bahwa pembelajaran pada pola<br />
pembelajaran menggunakan media komputer berbasis Makromedia Flash lebih efektif,<br />
karena menempatkan mahasiswa dalam proses penemuan, dimana semua mahasiswa<br />
dituntut untuk berpartisipasi langsung dalam melengkapi dan memecahkan masalah yang<br />
sedang dihadapi. Kenyataan ini sejalan dengan kajian teori dan hipotesis yang telah<br />
dikemukakan, bahwa pada pola pembelajaran menggunakan media komputer berbasis<br />
Makromedia Flash mahasiswa akan termotivasi dalam mengikuti materi pelajaran yang<br />
disajikan.<br />
Pola pembelajaran menggunakan media komputer berbasis Makromedia Flash<br />
lebih mengaktifkan mahasiswa dalam proses belajar mengajar. Dimana semua mahasiswa<br />
diarahkan langsung untuk mengetahui seluruh rangkaian proses pembelajaran, mulai dari<br />
mengenal alat, bahan, tujuan yang ingin dicapai, sehingga semua mahasiswa berperan<br />
aktif dalam proses belajar mengajar terutama pada saat melakukan praktikum nantinya.<br />
Dalam hal ini semua mahasiswa mempunyai kesempatan mencari jawaban dan<br />
menemukan sendiri solusi setiap permasalahan. Dengan cara ini akan membuat suasana<br />
belajar menyenangkan dan tidak membosankan, akibatnya semua mahasiswa turut untuk<br />
94
Peranan Media Komputer Berbasis Makromedia Flash<br />
pada PBM Jurusan Pendidikan Teknik Elektro Fakultas Teknik UNM<br />
Mustari S. Lamada<br />
memikirkan dan menemukan ide-ide kreatif sehingga tercipta sikap ilmiah yang pada<br />
akhirnya akan meningkatkan hasil belajarnya.<br />
Berbeda halnya pada pola pembelajaran yang tidak menggunakan media,<br />
walaupun metode ini menempatkan mahasiswa pada penemuan pemecahan masalah<br />
namun masih cenderung didominasi oleh pengajar dimana pengajar sengaja<br />
memperagakan tindakan, proses atau prosedur yang dilakukan kepada mahasiswa sendiri,<br />
sehingga tidak semua mahasiswa dapat terlibat langsung dengan bahan pelajaran,<br />
terutama ketika mahasiswa mendemonstrasikan alat di depan kelompok tidak semua<br />
mahasiswa dapat memperhatikan, akibatnya sebagian mahasiswa kurang termotivasi dan<br />
antusias pada saat pembelajaran berlangsung.<br />
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikemukakan bahwa pola pembelajaran<br />
menggunakan media komputer berbasis Makromedia Flash lebih baik dari pada pola<br />
pembelajaran yang tidak menggunakan media. Dengan demikian salah satu upaya yang<br />
dapat dilakukan untuk meningkatkan hasil belajar rangkaian listrik mahasiswa adalah<br />
dengan memberikan pola pembelajaran menggunakan media komputer berbasis<br />
Makromedia Flash khususnya bagi mahasiswa Jurusan Pendidikan Teknik Elektro<br />
Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar.<br />
Oleh karena itu pembelajaran dengan menggunakan media komputer berbasis<br />
Makromedia Flash sangatlah diperlukan terutama pada mata kuliah yang materinya<br />
membahas masalah-masalah rangkaian listrik. Selain itu sebelum menerapkan<br />
pembelajaran dengan menggunakan media komputer berbasis Makromedia Flash seorang<br />
pengajar terlebih dahulu memperkenalkan instruksi-instruksi yang dilakukan dalam<br />
pembelajaran tersebut agar mahasiswa mempunyai pengetahuan dasar tentang penggunaan<br />
komputer sebagai media pembelajaran. selain itu kemampuan pengajar terhadap sarana<br />
komputer sangat diharapkan agar supaya tidak ketinggalan di dalam menghadapi<br />
perkembangan kemajuan teknologi komputer.<br />
KESIMPULAN<br />
Dari hasil penelitian disempulkan bahwa terdapat perbedaan skor antara<br />
mahasiswa yang diajar dengan menggunakan media komputer berbasis Makromedia Flash<br />
dengan mahasiswa yang diajar dengan yang tidak menggunakan media, itu disebabkan<br />
oleh beberapa faktor yakni tidak terstrukturnya metode pembelajaran sehingga<br />
mengakibatkan mahasiswa yang diajar dengan yang tidak menggunakan media kurang<br />
95
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
memperlihatkan semangat belajar sekalipun sebenarnya pembelajaran yang tidak<br />
menggunakan media memiliki kelebihan tersendiri, sehingga hal tersebut mengakibatkan<br />
skor mahasiswa yang diajar dengan menggunakan media komputer berbasis Makromedia<br />
Flash lebih tinggi dibandingkan skor perolehan mahasiswa yang diajar dengan yang tidak<br />
menggunakan media, semakin memperjelas tingkat kontribusi media komputer berbasis<br />
Makromedia Flash dalam meningkatkan daya serap mahasiswa terhadap materi pelajaran<br />
rangkaian listrik. Hasil belajar rangkaian listrik mahasiswa yang diajar dengan<br />
menggunakan media komputer berbasis Makromedia Flash yaitu (20,06) lebih tinggi<br />
dibandingkan dengan mahasiswa yang diajar dengan yang tidak menggunakan media<br />
yaitu (16,35). Terdapat perbedaan hasil belajar yang berarti antara mahasiswa yang diajar<br />
dengan menggunakan media komputer berbasis Makromedia Flash dengan siswa yang<br />
diajar dengan yang tidak menggunakan media.<br />
DAFTAR RUJUKAN<br />
Arif S. Sadiman, Dkk. 2000. Media Pendidikan. Jakarta: CV. Rajawali.<br />
Caronge.1983. Media Pendidikan. MIPA IKIP Ujungpandang.<br />
Sudjana, 1987. Model Mengajar CBSA. Bandung: Sinar Baru.<br />
Sardiman, 2000. Media Pendidikan IV. Jakarta: Depdikbud.<br />
Slameto,1991. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Bima<br />
Aksara.<br />
Syafiie dan Machfud. 1992. Pandai Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud.<br />
Syaiful Bachri Djamarah & Aswan Zain. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka<br />
Cipta.<br />
Sudjana, 1992. Metode Statistik Bandung: Tarsito<br />
96
Wacana Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember Tahun 2009 (97‐105)<br />
MENYOAL EKONOMI POLITIK ANGGARAN: TELAAH ERA DEMOKRASI<br />
DI INDONESIA<br />
Suraji<br />
Kandidat Doktor UGM & Direktur Eksekutif Matapena Institute<br />
Menterjemahkan Buku Teories Political Economics Karya JAMES A.<br />
CAPORASO&DAVID P. LEVINE. Cambridge University Press, 1992.<br />
diterbitkan oleh Pustaka Pelajar, 2009<br />
Abstract:<br />
The effort to determine the appropriate formulation in the determining of<br />
financials is the financial forward to whom and how is to actualize it? Thus<br />
the finance should have dimension on the justice. Furthermore, the finance<br />
of political economy certainly will closely relate to the effort of the state and<br />
government to give any appropriate social guarantee to the people especially<br />
to the people under the poverty line. The pattern of the relationship of which<br />
transparent, accountable, democratic between the government with the<br />
people and the prejudice will prevent while the state/government/legislation<br />
able to conduct the good process and profitable toward the society and not<br />
the officials. The finance also could be perceived as the political perspective<br />
whereas it could be translated as the state guarantee to struggle the social<br />
finance of which more prioritized rather than the official expenditures<br />
finance or the given institutions.<br />
Thus the political and economical context of finance will relate with<br />
whoever have role and ability in state in giving guarantee toward its society.<br />
However in fact the political economy is perceived and conducted in short<br />
term context and only bring profit to the related parties. The regulation in the<br />
program determination is only lies on the level of mutual interest of the<br />
actor, whereas the society often does not know the process and the<br />
participation in determining to what extent the process which happened.<br />
Even the society does not know how many percent of the finance to be<br />
granted to their prosperity.<br />
Related to the analysis of political economy in the finance are the certain in<br />
the study of social knowledge because the political economy used the<br />
supradisciplinary approach. The focus of this analysis is on every issue or<br />
obligation, of which directly or indirectly involving the public interest and<br />
also in a great number of their consideration to be granted in the problems<br />
relate to the public policy. It is may caused by the political economy in<br />
principal relates to the political decision concern on the finance conditions<br />
and whoever has right to be granted those finance. Thus it should be answer<br />
about the political economy of finance is how the public finance.<br />
Kata Kunci: Finance – Political Economy – Society<br />
PENDAHULUAN<br />
Pembicaraan mengenai masalah anggaran dihubungkan dengan kajian ekonomi<br />
politik memang masih sangat asing di bahas oleh ilmuan, baik ilmuan ekonomi yang<br />
97
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
khusus mengkaji ekonomi politik maupun para sarjana hukum ekonomi yang memang<br />
didesain untuk terlibat langsung dalam proses anggaran. Anggaran yang menjadi inti dari<br />
pengelolaan pemerintah telah mengalami banyak masalah terutama berkaitan dengan<br />
proses politik dan penentuan anggaran yang dikhususkan untuk rakyat.<br />
Dalam banyak kasus terutama di negara-negara berkembang, termasuk di<br />
dalamnya adalah Indonesia, anggaran masih dipahami sebagai aturan formal dan sesuatu<br />
yang menguntungkan pihak aktor ataupun institusi kelembagaan negara dan secara<br />
yuridis anggaran sekedar dipahami sebagai aturun baku yang sudah ada. Padahal<br />
anggaran sejak awal hingga saat ini merupakan bagian integral dari sistem politik bangsa,<br />
karena anggaran diletakkan pada pengambilan kebijakan publik oleh negara, artinya<br />
dapat dimaknai sebagai investasi politik warga dengan memiliki hak untuk menentukan<br />
dalam setiap proses politik yang diselenggarakan negara, serta anggaran tersebut sesuai<br />
dengan sesuatu yang dibutuhkan oleh rakyat.<br />
PEMBAHASAN<br />
A. Esensi Anggaran<br />
Dalam memahami persoalan politik dan demokrasi dalam merekonstruksikan<br />
Indonesia adalah tergantung pada jenis elite yang berkuasa. Jika elit yang berkuasa di<br />
negeri ini memahami rakyatnya, memahami perbedaan, dan memahami kondisi<br />
bangsanya maka demokrasi akan menampakkan wujudnya sesuai yang diharapkan.<br />
Seperti pendapat Linz dan Stepen (2000) yang menjelaskan bahwa kejatuhan dan<br />
kebangkitan kembali demokrasi tidak menelaah variabel-variabel konflik kelas atau<br />
kendala ekonomi tetapi dengan mencurahkan perhatian pada perilaku elit atau<br />
kepemimpinan. Peran elit politik menjelmakan peran hakikat negara serta konsep negara<br />
bagi kekuasan negara tersebut.<br />
Dalam memahami beberapa konsep negara, tentu tidak lepas dari teori negara<br />
kontemporer yang sangat terkenal yaitu: Pertama, bentuk negara kesatuan yang terdiri<br />
dari negara kesatuan dengan sistem sentralisasi yaitu pemerintahan pusat<br />
menyelenggarakan seluruh urusan kenegaraan, sementara pemerintah daerah merupakan<br />
pihak yang dimintai untuk melaksanakan perintah pusat. Kedua, Sistem desentralisasi<br />
yaitu daerah diberikan kebebasan dan kewenangan untuk mengurus rumah tangganya<br />
sendiri secara otonomi (Kansil, 2001). Sistem keduanya telah dinikmati oleh negeri ini<br />
pada era orde baru dan era roformasi. Keduanya memaknai negara sebagai alat<br />
98
Menyoal Ekonomi Politik Anggaran: Telaah Era Demokrasi di Indonesia<br />
Suraji<br />
kekuasaan dan pendistribusian kekuasaan secara otonomi. Fungsi yang terakir kini telah<br />
dimaknai sebagai keharusan di dalam membangun negara atapun daerah yang diyakini<br />
sebagai alat untuk lebih baik.<br />
Konsep negara juga dimaknai oleh Russel (1954) sebagai pembagian kekuasaan<br />
yang mentertibkan kebutuhan rakyat diatas segalanya. Sehingga pemusatan kekuasaan<br />
politik akan berdampak pada penghancuran kemampuan umat manusia (Parma, 2001).<br />
Maka nilai positif yang dikembangankan bagi demokrasi dan desentralisasi adalah<br />
terbangunnya nilai-nilai dari komunitas politik yang dapat berupa kesatuan bangsa<br />
(national unity), pemerintahan demokratis (democratic government), kemandirian sebagai<br />
penjelmaan dari otonomi, efisiensi administrasi dan pembangunan sosial ekonomi<br />
(Leemans, 1970).<br />
Perubahan yang tengah terjadi secara struktural dan fundamental di era reformasi<br />
di Indonesia saat ini memberikan hikmah terselubung bahwa transparansi, akuntabilitas,<br />
keadilan dan partisipasi publik dalam pembangunan sosial ekonomi harus menjadi bagian<br />
dari paradigma pembangunan. Distribusi kekuasaan politik, administrasif, fiskal dan<br />
pembangunan ekonomi ke daerah diyakini akan menciptakan partisipasi publik yang<br />
besar untuk membangun daerah (wilayah) masing-masing, sehingga kesenjangan<br />
antardaerah dapat dikurangi. Keharusan pengelolaan aset dengan program restrukturisasi<br />
aset dan pengembangan infrastuktur teknologi informasi manajemen aset dilandasi<br />
dengan kebijakan umum atas pemisahan wewenang pengelolaan antara pemerintah pusat<br />
dan daerah.<br />
Sinyalemen ini sudah menjadi kenyataan di banyak daerah. Beberapa saat lalu,<br />
Departemen Dalam Negeri mengajukan permohonan ke kejaksaan dan kepolisian untuk<br />
memeriksa anggota DPRD di 18 propinsi, baik dalam kasus pidana maupun perdata. Ada<br />
dua sangkaan pada mereka : pertama, dugaan kejahatan individual dan kedua, kejahatan<br />
kolektif.<br />
Kejahatan individual dilakukan sendiri-sendiri oleh anggota dewan bekerjasama<br />
dengan pihak lain, baik di dalam maupun di luar pemerintah. Sedangkan kejahatan<br />
kolektif adalah manipulasi mata anggaran untuk kepentingan individu melalui keputusan<br />
dewan. Indikasi tersebut terlihat pada kebijakan rapel kenaikan gaji anggota dewan,<br />
penambahan fasilitas atas nama peningkatan kinerja semisal pengadaan laptop bagi<br />
anggota dewan, maupun biaya komunikasi yang terjadi hampir bersamaan dengan<br />
kenaikan gaji pegawai pemerintah di tengah-tengah penderitaan rakyat/masyarakat yang<br />
99
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
belum sepenuhnya bangkit dari keterpurukan dari dampak krisis moneter serta keuangan<br />
negara yang selalu disebut-sebut dalam jumlah yang mengkhawatirkan; hanya bisa terjadi<br />
jika terjadi sinergi mutualisme antara eksekutif dan legislatif. Permasalahan yang terjadi<br />
saat ini adalah:<br />
1. Masalah di balik otonomi<br />
100<br />
Di balik harapan yang serba indah tersirat berbagai kekhawatiran. Banyak<br />
analis meragukan kesiapan daerah, terutama dari sisi keuangan, sisi yang paling<br />
sering diperdebatkan. Dari sisi keuangan ini pila menyeruak kekhawatiran IMF yang<br />
bercermin dari pengalaman beberapa negara Amerika Latin. Kekhawatiran ini<br />
ditambah lagi dengan kekhawatiran 'desentralisasi' korupsi.<br />
Yang lebih ekstrim adalah kekhawatiran munculnya 'raja-raja' kecil di daerah<br />
yang tidak kalah hebatnya dalam ber-KKN, karena justru lepasnya peran kontrol dari<br />
"pusat". "Pusat" di sini bukan hanya berarti pemerintah pusat, tetapi juga pressure<br />
group seperti media, LSM, dan kampus. Keberasdaan kelompok penekan yang tidak<br />
merata di daerah dapar mengurangi fungsi kontrol dari pihak-pihak di luar<br />
pemerintahan.<br />
2. Perubahan Paradigma<br />
Sindroma 'raja kecil' yang mungkin muncul harus dicegah sejak awal, jika<br />
tidak ingin cita-cita indah otonomi layu sebelum berkembangdan berakhir dengan<br />
kekecewaan masyarakat daerah yang sangat mendambakan kemajuan. Atas kegagalan<br />
ini para punggawa di daerah tidak dapat lagi berkelit dan mencari kambing hitam<br />
bahwa kegagalan itu karena 'orang pusat'. Otonomi telah memberikan otoritas yang<br />
lebih luas kepada para pelaku di daerah dan dengan sendirinya juga memberikan<br />
tanggungjawab yang lebih besar.<br />
Diperlukan perubahan sudut pandang (paradigm shift) para pejabat dan<br />
pegawai pemerintah daerah untuk meresapi makna dari layanan publik (public<br />
services). Artinya para pegawai adalah 'alat' untuk melayani publik, dan bukan<br />
sebaliknya publik harus melayani mereka. Paradigma ini harus tercermin dalam<br />
kesadaran peran (role awareness) dan tertuang dalam budaya organisasi<br />
(organization culture) pemerintah daerah. Setiap orang yang menduduki setiap posisi<br />
dalam struktur organisasi, harus sadar tentang peran yang harus dijalankan dan<br />
mengacu kepada paradigma layanan masyarakat. Budaya organisasi harus diperkuat,<br />
sehingga setiap anggota oragnisasi yang bernama pemerintah daerah mempunyai
Menyoal Ekonomi Politik Anggaran: Telaah Era Demokrasi di Indonesia<br />
Suraji<br />
referensi nilai yang sama, mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh<br />
dilakukan.<br />
3. Manajemen Otonomi<br />
Secara konseptual dalam membangun kemandirian daerah pasca otonomi<br />
daerah, harus mengacu kepada kaidah-kaidah perencanaan strategis, manajemen<br />
strategis, dan evaluasi strategis dalam rangka mengelola, dan memanfaatkan seluruh<br />
potensi sumber daya yang dimiliki daerah.<br />
Terdapat empat hal utama yang harus diperhatikan dalam menyusun Rencana<br />
Strategis Pembangunan, yaitu sistem informasi, manajemen tata ruang wilayah,<br />
sistem jaringan kerjasama, serta pedoman operasionalnya. Dalam sistem informasi<br />
pembangunan dilakukan kajian yang meliputi proses identifikasi dan analisis<br />
terhadap potensi, kendala, peluang, dan tantangan pembangunan, berikut kajian<br />
terhadap potensi pengembangan sumber daya, tingkat produktifitas, kelayakan<br />
pengembangannya, serta kerangka waktunya. Dalam kajian ini sebaiknya juga<br />
meliputi informasi dan akses jaringan pemasaran sumber daya dalam lingkup lokal,<br />
regional, nasional, dan internasional. Perencanaan yang berkaitan dengan manajemen<br />
tata ruang wilayah akan bertumpu pada kajian yang meliputi proses identifikasi dan<br />
analisis terhadap perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian tata ruang wilayah<br />
daratan, lautan, dan udara.<br />
Kecenderungan organisasi jejaring (network organization) yang melanda<br />
dunia bisnis juga patut diterapkan dalam organisasi pemerintah daerah. Kajian<br />
mengenai jejaring ini meliputi proses identifikasi dan analisis terhadap sistem,<br />
pola/bentuk, dan mekanisme kerja sama yang dapat dilakukan oleh semua pihak,<br />
dalam lingkup lokal, regional, nasional, maupun internasional.<br />
Sejauh ini terdapat tiga mistifikasi terhadap anggaran. Pertama, anggaran adalah<br />
persoalan rumit dan rewel. Untuk memahaminya, seseorang harus memiliki kecakapan<br />
dan tingkat pendidikan tertentu. Tidaklah mudah mementahkan anggapan yang mendarah<br />
daging itu karena anggaran memiliki struktur, sistem dan mekanisme yang biasanya<br />
hanya dimengerti oleh mereka dengan kecakapan khusus. Dan sialnya, (atau untungnya?)<br />
akses terhadap dokumen-dokumen yang terkait dengan anggaran tidak dimilik semua<br />
orang. Dalam banyak kasus terutama di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia,<br />
anggaran masih dipahami sebagai aturan formal dan sesuatu yang mengntungkan pihak<br />
aktor atau institusi kelembagaan negara dan secara yuridis anggaran sekedar dipahami<br />
101
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
sebagai aturan baku yang sudah ada. Kedua, anggaran hanyalah urusan proyek-proyek<br />
pembangunan dan sumber finansial lainnya. Ujung-ujungnya pada keengganan<br />
pemerintah untuk keluar dari kungkungan cengkeraman indikator-indikator yang<br />
mengaburkan implikasinya pada kelompok masyarakat yang rentan. Kaum miskin dan<br />
warga rentan justru menjadi pemikul beban dari implikasi anggaran. Ketiga, anggaran<br />
adalah semata-mata urusan yang boleh dimonopoli pemerintah. Setidaknya sejak merdeka<br />
hingga saat ini pemerintah selalu mendudukkan anggaran sebagai persoalan yang sangat<br />
eksklusif di wilayah monopoli mereka, tanpa ada ruang keterlibatan bagi masyarakat<br />
(Fuady, 2002)<br />
Salah satu unsur yang penting yang harus dipenuhi dalam penentuan anggaran<br />
adalah tersedianya ruang yang luas bagi rakyat atas akses seluruh proses sosial, politik<br />
dan ekonomi. Terpenuhinya unsur keterbukaan dalam pengelolaan anggaran oleh<br />
merupakan syarat terpenting bagi terwujudnya demokrasi anggaran. Sebab aspek inilah<br />
yang dituntut oleh mekanisme kerja sistem politik yang demokratis, dimana keterbukaan<br />
atau transparansi menjadi penting disediakan oleh negara (Irianto, 2005).<br />
Penyimpangan yang terjadi akibat dari ekonomi politik anggaran, maka<br />
diperlukan cara-cara baru dalam merumuskan dan mengelola anggaran agar dapat<br />
memberikan pelayanan kepada rakyat. Cara-cara sepihak, memperjuangkan golongan,<br />
institusi sendiri adalah pengkianatan terhadap rakyat. Menurut Syafii (2004) sebagai<br />
moral politik kotor yang dapat merusak institusi negara yang telah diberikan mandat oleh<br />
rakyatnya. Rakyat telah memberikan kewenangan kepada negara untuk mengatur<br />
kehidupan bersama yang beradab, sekalipun dilingkungan masyarakat sendiri terdapat<br />
pihak yang apriori. Sikap demikian perlu dihadirkan dengan wajah yang menyejukkan di<br />
era saat ini untuk mencapai kesejahteraan umum dengan mengarahkan semua tindakan<br />
politik untuk kepentingan bersama (Suseno, 2003).<br />
Upaya untuk menemukan formulasi yang tepat dalam penentuan anggaran adalah<br />
mengenai keadilan anggaran, yang terkait dengan erat dengan usaha negara dan<br />
pemerintah memberikan jaminan sosial yang tepat bagi rakyat terutama pada lapisan<br />
masyarakat yang rentan. Pola hubungan yang transparan, terukur, serta demokratis antara<br />
pemerintah dan masyarakat akan mereduksi rasa curiga manakala negara melalui<br />
pemerintah di eksekutif dan dewan di legislatif mampu melakukan proses dengan baik<br />
dan memerhatikan kepentingan rakyat yang secara nyata dapat dirasakan rakyat.<br />
102
B. Ekonomi Politik Anggaran.<br />
Menyoal Ekonomi Politik Anggaran: Telaah Era Demokrasi di Indonesia<br />
Suraji<br />
Kemunculan ilmu ekonomi politik menimbulkan perdebatan tentang apa<br />
tanggung jawab dari negara (atau negarawan/pejabat) dalam kaitannya dengan ke negara.<br />
Perdebatan ini masih berlangsung sampai sekarang dan tetap menjadi sebuah pertanyaan<br />
utama di dalam ilmu ekonomi politik. Apakah negara bertanggungjawab untuk<br />
menentukan kebutuhan mana yang akan dipenuhi dan bertanggungjawab untuk<br />
menggalang sumber daya untuk menjamin berhasilnya pemenuhan itu? Ataukah<br />
kebutuhan masyarakat akan dapat dipenuhi dengan lebih baik kalau penggalangan sumber<br />
daya diserahkan kepada pihak swasta? Pertanyaan lainnya adalah apakah masalahmasalah<br />
seperti perumahan, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dll. disediakan oleh<br />
warga negara sendiri atau swasta dengan menggunakan sumber daya yang mereka miliki<br />
sendiri? Ataukah kebutuhan-kebutuhan itu harus dipenuhi oleh negara?<br />
Perdebatan ini mengandung beberapa masalah di dalamnya dimana masalahmasalah<br />
ini berusaha dijawab oleh berbagai pendekatan yang ada dalam ekonomi politik.<br />
Pendekatan-pendekatan yang paling menonjol selama ini dapat dibagi menjadi dua<br />
kelompok.<br />
1). Masalah-masalah yang timbul karena ide tentang pasar yang mengatur dirinya<br />
sendiri (self regulating market). Pertanyaannya adalah sejauh mana sebuah sistem<br />
yang terdiri dari pelaku-pelaku pasar yang bertindak atas nama pribadi dan<br />
mementingkan kepentingan dirinya sendiri lewat kontrak pertukaran mampu<br />
memuaskan kebutuhan mereka dengan sumber daya yang terbatas jumlahnya?.<br />
Untuk masa modern sekarang, pertanyaan ini sama dengan pertanyaan apakah<br />
intervensi politik ke dalam perekonomian bisa meningkatkan atau justru<br />
menghambat pemenuhan kebutuhan?<br />
2). Masalah-masalah tentang konsep agenda publik. Bagaimana hubungan antara<br />
kebutuhan publik dengan kebutuhan pribadi? Apakah tujuan dari didirikannya<br />
negara adalah semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pribadi dari para warga<br />
negara sehingga perekonomian akan diregulasi oleh negara hanya selama<br />
perekonomian tidak berhasil memenuhi kebutuhan pribadi saat sumber daya yang<br />
tersedia sebenarnya mencukupi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu? Sejauh<br />
mana relevansi dari kepentingan pribadi dengan penetapan tujuan-tujuan publik?<br />
103
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia<br />
Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
KESIMPULAN<br />
Secara umum masalah anggaran adalah masalah yang menjadi tanggungjawab<br />
negara untuk memberikan pelayanan, keadilan, dan hak-hak bagi publik. Apa yang terjadi<br />
pada saat ini persoalan anggaran menjadi arena baru bagi kekuasan dan elit-elit<br />
kepentingan untuk berebut mengajukan ketersediaan anggaran yang diasumsikan menurut<br />
mereka semata untuk kepentingan publik. Walaupun terjadi era otonomi, perubahan<br />
paradigma pengelolaan anggaran, kepentingan anggaran tetap terjadi baik di tingkat<br />
daerah maupun nasional.<br />
Upaya yang harus diformulasikan dalam masalah anggaran adalah bagaimana<br />
keadilan anggaran menjadi political will oleh pihak eksekutif mapun legislatif, maka<br />
ekonomi politik anggaran adalah bagaimana negara memberikan jaminan sosial yang<br />
tepat bagi rakyat atas dasar hak-hak rakyat sebagai pihak yang dilayani bukan<br />
penggebiran anggaran dengan dalih untuk rakyat. Dengan demikian anggaran dapat<br />
dimaknai sebagai terbangunnya sistem anggaran yang menggambarkan adanya<br />
kesetaraan, keadilan, partisipasi dan pertanggungjawaban pemerintah dalam peningkatan<br />
pelayanan publik bagi masyarakat.<br />
Terkait dengan analisis ekonomi politik dalam anggaran adalah keharusan dalam<br />
kajian ilmu-ilmu sosial karena ekonomi politik menggunakan pendekatan supradisiplin<br />
(supradiciplinary approach). Fokus analisisnya adalah pada setiap isu atau kebijakan,<br />
yang langsung ataupun tidak langsung yang melibatkan kepentingan publik serta sebagian<br />
besar perhatianya dicurahkan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan kebijakan<br />
publik. Hal ini juga karena ekonomi politik pada dasarnya menyangkut keputusan politik<br />
mengenai kondisi anggaran dan siapa yang berhak menerima anggaran tersebut. Sehingga<br />
dapat dijawab analisis ekonomi politik anggaran adalah bagaimana anggaran utuk rakyat.<br />
SUMBER RUJUKAN<br />
James A.Caporasa dan David P.Levine, 1992, Teori-teori Ekonomi Politik, Cambridge<br />
University Press.<br />
Edi Slamet Irianto, 2005, Pajak dan demokrasi Negara, Pustaka Pelajar Yogyakrta.<br />
Liz dan Stepen, 2000, Pilitical Man, The Social Bases of Politics, New York.<br />
Franz Magnis Suseno, 2003, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan<br />
Modern, Geamedia.<br />
Puro Santoso, 2004, Dalam Kata Sambutan Menjaring Anggaran Untuk rakyat, Yayasan<br />
Trifa& IDEA.<br />
104
Menyoal Ekonomi Politik Anggaran: Telaah Era Demokrasi di Indonesia<br />
Suraji<br />
Annonymous. 2000. Modul workshop. IDEA-Yogyakarta. Workshop Penganggaran<br />
Daerah untuk Anggota DPRD Propindi DIY, 6-9 November 2000.<br />
---------------. 2003. Rekaman Proses. IDEA-Yogyakarta. Workshop Partisipasi<br />
Masyarakat dalam Anggaran, 28-29 Juli 2003.<br />
Dahl, Robert. 2001. Perihal Demokrasi. Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi secara<br />
singkat. YOI. Jakarta.<br />
Etzioni, Amitai. 1985. Organisasi-organisasi Modern. UI Press. Jakarta.<br />
Haryatmoko. 2003. Etika Politik dan Kekuasaan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta.<br />
Munir, Badrul. Perencanaan Anggaran Kinerja. Memangkas Inefisiensi Anggaran<br />
daerah. Samawa Center. Mataram.<br />
Santoso, Purwo. 2004. Menjaring Anggaran untuk Rakyat. Yayasan Tifa-Idea.<br />
Yogyakarta<br />
Siregar, Doll. 2002. Optimalisasi Pemberdayaan Harta Kekayaan Negara. Peran<br />
Konsultan Penilai dalam Pemulihan Ekonomi Nasional. Gramedia Pustaka<br />
Utama. Jakarta<br />
Thomas, Vinod. et al. 2001. The Quality of Growth (terjemahan). Gramedia Pustaka<br />
Utama. Jakarta.<br />
Wahab, Solichin Abdul. 1999. Ekonomi Politik Pembangunan. Bisnis Indonesia era<br />
Orde Baru da ditengah krisis moneter. Brawijaya University Press. Malang.<br />
Varma, SP. 2001. Teori Politik Modern (cetakan keenam). Rajawali Press. Jakarta.<br />
Lain-lain :<br />
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah<br />
UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan<br />
Pemerintahan Daerah<br />
Dominasi Politisasi Birokrasi oleh Irsyam Mahrus; Sabtu 4 Maret 2000. KCM.<br />
Langkah Awal Reformasi Birokrasi. (Memahami Perombakan di Sekretariat Negara).<br />
oleh Irsyam Mahrus; Sabtu 29 Januari 2000. KCM.<br />
Politik Anggaran Publik. 2002. PR Cyber Media.<br />
Teories Political Economics Karya JAMES A. CAPORASO DAN DAVID P. LEVINE.<br />
Cambridge University Press, 1992. di terjemahkan oleh SURAJI Pustaka<br />
Pelajar, 2009.<br />
105
ISSN : 1858 – 0358 Volume 1, Nomor 1, Desember 2009<br />
<strong>Jurnal</strong> Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se-Indonesia<br />
PERSYARATAN DAN PETUNJUK PENULISAN ARTIKEL<br />
1. Tulisan dapat berupa Artikel Hasil Penelitian maupun Artikel Konseptual (lepas) di bidang<br />
berbagai disiplin ilmu. Artikel dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris<br />
sepanjang 10 - 15 halaman, ukuran kertas A4 dengan tipe huruf Standar (Body), font 12, spasi<br />
1,5, margin 4-3, 4-3. Artikel harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Inggris 100 - 150 kata<br />
dan kata kunci 3 - 5 kata.<br />
2. Sistematika artikel hasil penelitian harus memuat : Judul, Nama Penulis, Lembaga Asal dan<br />
email), Abstrak, Kata Kunci, Pendahuluan, Perumusan Masalah, Metode Penelitian, Hasil<br />
Penelitian dan Pembahasan, Kesimpulan dan Daftar Pustaka.<br />
3. Sistematika Artikel Konseptual (lepas) harus memuat: Judul, Nama Penulis, Abstrak, Kata<br />
Kunci, Pendahuluan, Pembahasan (langsung dibuat dengan sub judul sesuai dngan kebutuhan),<br />
Penutup dan Daftar Pustaka.<br />
4. Penulisan Daftar Pustaka disusun secara alphabets dengan ketentuan sebagai berikut:<br />
a) Buku: Penulisan dimulai dengan nama pengarang (dimulai dengan nama belakang<br />
pengarang dan tanpa gelar), tahun penerbitan, judul buku (dicetak miring), penerbit, tempat<br />
penerbitan.<br />
b) Makalah: Penulisan dimulai dengan nama pengarang (dimulai dengan nama belakang<br />
pengarang dan tanpa gelar), judul makalah (diawali dan diakhiri dengan tanda petik), nama<br />
forumnya/seminar, tempat , tanggal dan tahun.<br />
c) Artikel Suatu <strong>Jurnal</strong>: Penulisan dimulai dengan nama penulis artikel (dimulai dengan nama<br />
belakang dan tanpa gelar) judul artikel dimulai dan diakhiri dengan tanda petik), nama jurnal<br />
(dicetak miring) volume, nomor, bulan dan tahun.<br />
d) Karangan/Esai dalam suatu buku kumpulan karangan/esai. Penulisan dimulai dengan nama<br />
pengarang (dimulai dengan nama belakang dan tanpa gelar) judul karangan/esai (dimulai<br />
dan diakhiri dengan tanda petik), tempat tulisan dimuat dicetak miring),<br />
e) webside, tanggal diakses.<br />
5. Daftar Pustaka hendaknya dirujuk dari edisi mutakhir (terbitan 10 tahun terakhir) dan sangat<br />
disarankan berasal dari jurnal.<br />
6. Penulisan kutipan menggunakan model bodynote. Cara penulisan seperti pada angka 4 di atas,<br />
tetapi nama pengarang tidak dibalik penulisannya. Penulisan halaman disingkat menjadi “hlm”.<br />
7. Artikel dalam bentuk print out, disket atau via email yang disertai dengan Curriculum Vitae<br />
dapat dikirim atau diserahkan secara langsung paling lambat 1 (satu) bulan sebelum bulan<br />
penerbitan kepada: JURNAL WACANA INDONESIA.<br />
8. Dewan Penyunting berhak menyeleksi dan mengedit artikel yang masuk. Kepastian pemuatan<br />
atau penolakan artikel akan diberitahukan melalui email. Penulisan yang artikelnya dimuat,<br />
memberi kontribusi percetakan sejumlah Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) dan bagi artikel hasil<br />
penelitian dan Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) bagi artikel konseptual (lepas). Artikel yang<br />
tidak dimuat tidak dikembalikan.<br />
9. Jumlah halaman jurnal Wacana Indonesia sebanyak 100 - 120 halaman<br />
Forum Mahasiswa Pascasarjana se-Indonesia<br />
Sekretariat:<br />
Perumahan Dinas UGM F 13 Bulak Sumur Yogyakarta 55281<br />
Website <strong>FWI</strong>: www.ppfwi.wordpress.com<br />
Email: pp.fwi2009@gmail.com