PEMBAKARAN BRIKET BIOMASSA CANGKANG KAKAO ... - P3M
PEMBAKARAN BRIKET BIOMASSA CANGKANG KAKAO ... - P3M
PEMBAKARAN BRIKET BIOMASSA CANGKANG KAKAO ... - P3M
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007) ISSN : 1978 – 9777<br />
Yogyakarta, 24 November 2007<br />
<strong>PEMBAKARAN</strong> <strong>BRIKET</strong> <strong>BIOMASSA</strong> <strong>CANGKANG</strong> <strong>KAKAO</strong> :<br />
PENGARUH TEMPERATUR UDARA PREHEAT<br />
M. Syamsiro 1 dan Harwin Saptoadi 2<br />
1)<br />
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Janabadra<br />
Jl. T.R. Mataram 57 Yogyakarta<br />
E-mail : syamsiro@yahoo.co.id<br />
2)<br />
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada<br />
Jl. Grafika Yogyakarta<br />
e-mail : harwins@lycos.com<br />
Abstract<br />
National energy demands will rise but availability of energy resources decrease, so that it need<br />
to be done the action to prevent energy crisis including the development of energy based on<br />
biomass. Abundant biomass resources are available in Indonesia based on agricultural product.<br />
Several agricultural residue such as rice husk, rice straw, coconut shell, bagasse and cocoa<br />
shell are potential renewable energy resources. The objective of this research is to study the<br />
effect of preheat air temperature on combustion characteristic of biomass briquette from cocoa<br />
shell. Biomass materials were crushed until particle size of less than 1 mm were obtained. Five<br />
grams mixture of biomass and binder with composition of 70%:30% were briquetted in 16 mm<br />
cylindrical mould and dried in an oven at 50°C for 5 hours. Combustion tests were conducted<br />
in a combustion chamber at constant air velocity 0,3 m/s and constant wall temperature 350°C.<br />
The results show that the increase of preheat air temperature will increase combustion rate dan<br />
gas temperature. This is affected by reaction kinetic that dominate the combustion at low<br />
temperature. The increase of preheat air temperature will decrease CO emission.<br />
Keywords : biomass, briquette, cocoa shell, preheat air temperature, CO emission.<br />
1. Pendahuluan<br />
Pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk yang terus meningkat di Indonesia<br />
menyebabkan pertambahan konsumsi energi di segala sektor kehidupan seperti transportasi, listrik,<br />
dan industri. Hal ini mengingat pemakaian energi per kapita masih rendah dibandingkan dengan<br />
negara lainnya. Konsumsi per kapita<br />
pada saat ini sekitar 3 SBM (setara barel minyak) yang setara dengan kurang lebih sepertiga<br />
konsumsi per kapita rerata negara ASEAN. Diperkirakan kebutuhan energi nasional akan<br />
meningkat dari 674 juta SBM tahun 2002 menjadi 1680 juta SBM pada tahun 2020, meningkat<br />
sekitar 2,5 kali lipat atau naik dengan laju pertumbuhan rerata tahunan sebesar 5,2% (KNRT,<br />
2006). Sedangkan cadangan energi nasional semakin menipis apabila tidak ditemukan cadangan<br />
energi baru. Sehingga perlu dilakukan berbagai terobosan untuk mencegah terjadinya krisis energi.<br />
Untuk mengantisipasi hal tersebut Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan blueprint<br />
pengelolaan energi nasional tahun 2005-2025. Penyusunan Kebijakan Energi Nasional dimulai<br />
dengan dituangkannya dokumen Kebijakan Umum Bidang Energi (KUBE). KUBE yang telah<br />
B ‐ 1
Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007) ISSN : 1978 – 9777<br />
Yogyakarta, 24 November 2007<br />
dirumuskan oleh Badan Koordinasi Energi Nasional (BAKOREN) mulai tahun 1981 hingga yang<br />
terakhir tahun 1998 terdiri dari lima prinsip pokok, yaitu : diversifikasi energi, intensifikasi energi,<br />
konservasi energi, mekanisme pasar dan kebijakan lingkungan. Kemudian dilanjutkan dengan<br />
Kebijakan Energi Nasional tahun 2003 dengan kebijakan utama meliputi intensifikasi, diversifikasi,<br />
dan konservasi energi.<br />
Kebijakan energi ini khususnya ditekankan pada usaha untuk menurunkan ketergantungan<br />
penggunaan energi hanya pada minyak bumi. Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia<br />
Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional dirumuskan bahwa perlu adanya<br />
peningkatan pemanfaatan sumber energi baru dan sumber energi terbarukan. Sasaran Kebijakan<br />
Energi Nasional adalah tercapainya elastisitas energi lebih kecil dari 1 pada tahun 2025 dan<br />
terwujudnya energy mix yang optimal meliputi penggunaan minyak bumi menjadi kurang dari<br />
20%. Termasuk di dalamnya adalah energi baru dan terbarukan (termasuk biomassa) menjadi lebih<br />
dari 5%.<br />
Salah satu energi terbarukan yang mempunyai potensi besar di Indonesia adalah biomassa.<br />
Dalam Kebijakan Pengembangan Energi Terbarukan dan Koservasi Energi (Energi Hijau)<br />
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral yang dimaksud energi biomasa meliputi kayu,<br />
limbah pertanian/perkebunan/hutan, komponen organik dari industri dan rumah tangga. Sebagai<br />
negara agraris, Indonesia mempunyai potensi energi biomassa yang besar. Pemanfaatan energi<br />
biomassa sudah sejak lama dilakukan dan termasuk energi tertua yang peranannya sangat besar<br />
khususnya di pedesaan. Diperkirakan kira-kira 35% dari total konsumsi energi nasional berasal dari<br />
biomassa. Energi yang dihasilkan telah digunakan untuk berbagai tujuan antara lain untuk<br />
kebutuhan rumah tangga (memasak dan industri rumah tangga), pengering hasil pertanian dan<br />
industri kayu, pembangkit listrik pada industri kayu dan gula.<br />
Berdasarkan Statistik Energi Indonesia (DESDM, 2004) disebutkan bahwa potensi energi<br />
biomassa di Indonesia cukup besar mencapai 434.008 GWh. Beberapa jenis limbah biomassa<br />
memiliki potensi yang cukup besar seperti limbah kayu, sekam padi, jerami, ampas tebu, cangkang<br />
sawit, dan sampah kota. Potensi lain yang belum tergarap adalah limbah cangkang kakao.<br />
Berdasarkan data tahun 2003 luas areal lahan perkebunan kakao mencapai 801.332 Ha dengan<br />
produksi mencapai 512.251 ton (Deptan, 2003). Dengan jumlah areal lahan dan produksi kakao<br />
yang cukup besar di Indonesia menjadikan limbah ini mempunyai prospek cukup bagus di masa<br />
yang akan datang, sehingga perlu dikaji pemanfaatannya. Pemerintah melalui Kementerian Negara<br />
Riset dan Teknologi (KNRT) juga telah menyusun roadmap pengembangan energi sektor bahan<br />
bakar padat dan gas dari biomassa baik jangka pendek, menengah maupun panjang. Dalam jangka<br />
pendek (2005-2010) pemerintah mendukung program karakterisasi biomassa di seluruh Indonesia<br />
berikut teknologi pembriketannya dan difokuskan dua hal yaitu pengurangan dampak lingkungan<br />
dan perbaikan efisiensi (KNRT, 2006).<br />
2. Landasan Teori<br />
2.1 Pembakaran Bahan Bakar Padat<br />
Biomassa adalah salah satu jenis bahan bakar padat selain batubara. Biomassa<br />
diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu biomassa kayu dan bukan kayu (Borman, 1998).<br />
Mekanisme pembakaran biomassa terdiri dari tiga tahap yaitu pengeringan (drying), devolatilisasi<br />
(devolatilization), dan pembakaran arang (char combustion).<br />
B ‐ 2
Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007) ISSN : 1978 – 9777<br />
Yogyakarta, 24 November 2007<br />
2.1.1 Pengeringan<br />
Tahap pertama yang terjadi adalah pengeringan, dimana ketika sebuah partikel dipanaskan<br />
dengan dikenai temperatur tinggi atau radiasi api, air dalam bentuk moisture di permukaan bahan<br />
bakar akan menguap, sedangkan yang berada di dalam akan mengalir keluar melalui pori-pori<br />
partikel dan menguap. Moisture dalam bahan bakar padat terdapat dalam dua bentuk, yaitu sebagai<br />
air bebas (free water) yang mengisi rongga pori-pori di dalam bahan bakar dan sebagai air terikat<br />
(bound water) yang terserap di permukaan ruang dalam struktur bahan bakar (Borman dan<br />
Ragland, 1998).<br />
Waktu pengeringan adalah waktu yang diperlukan untuk memanaskan partikel sampai ke titik<br />
penguapan dan melepaskan air tersebut. Kesetimbangan energi pada partikel kecil menyatakan<br />
bahwa laju perubahan energi dalam partikel sama dengan laju kalor untuk menguapkan air<br />
ditambah laju perpindahan kalor ke partikel melalui konveksi dan radiasi (Borman dan Ragland,<br />
1998) :<br />
d<br />
dt<br />
( m u + m u ) = −m&<br />
h + q<br />
(1)<br />
w<br />
w<br />
df<br />
df<br />
w<br />
fg<br />
dengan : hfg = kalor laten penguapan per unit massa air, m = massa, u = energi dalam per unit<br />
massa, w = water (air), dan df = dry fuel (bahan bakar kering).<br />
Laju perpindahan panas ke partikel, q, tergantung dari temperatur latar dapur Tb, yang diasumsikan<br />
sama dengan temperatur gas sekelilingnya.<br />
2.1.2 Devolatilisasi<br />
Proses pengeringan akan dilanjutkan dengan proses devolatilisasi/pirolisis. Setelah proses<br />
pengeringan, bahan bakar mulai mengalami dekomposisi, yaitu pecahnya ikatan kimia secara<br />
termal dan zat terbang (volatile matter) akan keluar dari partikel. Volatile matter adalah hasil dari<br />
proses devolatilisasi. Volatile matter terdiri dari gas-gas combustible dan non combustible serta<br />
hidrokarbon. Untuk partikel yang besar hasil devolatilisasi berpindah dari pusat partikel ke<br />
permukaan untuk kemudian keluar. Selama perpindahan ini, hasil devolatilisasi bisa retak,<br />
mengembun, membentuk polimer dan mungkin membentuk endapan karbon sepanjang lintasannya.<br />
Ketika volatile matter keluar dari pori-pori bahan bakar padat, oksigen luar tidak dapat menembus<br />
ke dalam partikel, sehingga proses devolatilisasi dapat diistilahkan sebagai tahap pirolisis.<br />
Borman dan Ragland (1998) menyatakan laju devolatilisasi bahan bakar padat ditunjukkan<br />
dengan pendekatan persamaan reaksi orde pertama dengan konstanta laju Arrhenius :<br />
dimana :<br />
k<br />
dm<br />
pyr<br />
v<br />
dt<br />
v<br />
= −m<br />
. k<br />
(2)<br />
= −k<br />
p<br />
v<br />
o,<br />
pyr<br />
c<br />
e<br />
pyr<br />
⎛ E pyr ⎞<br />
⎜ ⎟<br />
⎜<br />
− )<br />
⎟<br />
⎝ RTP<br />
⎠<br />
m =<br />
m − m − m<br />
a<br />
B ‐ 3
Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007) ISSN : 1978 – 9777<br />
Yogyakarta, 24 November 2007<br />
dengan E = energi aktivasi, R ) = konstanta gas universal, Tp = temperatur partikel briket, pyr<br />
adalah pirolisis, mv = massa volatile matter, mp = massa partikel bahan bakar, mc = massa char, dan<br />
ma = massa abu.<br />
2.1.3 Pembakaran Arang<br />
Proses pengeringan dan devolatilisasi menyisakan arang. Laju pembakaran arang tergantung<br />
pada konsentrasi oksigen, temperatur gas, bilangan Reynolds, ukuran, dan porositas arang. Arang<br />
mempunyai porositas yang tinggi. Porositas arang kayu berkisar 0,9 (Borman dan Ragland, 1998).<br />
Untuk kebutuhan keteknikan, adalah lebih tepat menggunakan laju reaksi global (global reaction<br />
rate) untuk menunjukkan laju pembakaran partikel arang (char). Laju reaksi global dirumuskan<br />
dalam istilah laju reaksi massa arang per satuan luas permukaan luar dan per satuan konsentrasi<br />
oksigen di luar lapis batas partikel. Sehingga reaksi global bisa dituliskan sebagai berikut :<br />
C + ½ O2 → CO (a)<br />
dimana permukaan karbon juga bereaksi dengan karbondioksida dan uap air dengan reaksi reduksi<br />
sebagai berikut :<br />
C + CO2 → 2CO (b)<br />
C + H2O → CO + H2 (c)<br />
Reaksi reduksi (b) dan (c) secara umum lebih lambat daripada reaksi oksidasi (a), dan untuk<br />
pembakaran biasanya hanya reaksi (a) yang diperhitungkan.<br />
Untuk laju reaksi global dengan orde n pada oksigen, laju pembakaran arang adalah :<br />
dm<br />
dt<br />
⎛ M<br />
i⎜<br />
⎝<br />
⎞<br />
⎟A<br />
⎠<br />
k<br />
( () ) n<br />
ρ s<br />
c<br />
c<br />
= −<br />
p c O<br />
(3)<br />
⎜<br />
2<br />
M ⎟<br />
o2<br />
dimana i adalah rasio stoikiometri mol karbon (Mc) per mol oksigen ( M ) (yaitu 2 untuk reaksi<br />
(a), Ap adalah luas permukaan luar partikel, kc adalah konstanta laju kinetik,<br />
parsial oksigen pada permukaan partikel, dan n adalah orde reaksi.<br />
B ‐ 4<br />
O2<br />
ρO adalah densitas<br />
2<br />
2.2 Densifikasi Biomassa<br />
Biomassa pada umumnya mempunyai densitas yang cukup rendah, sehingga akan<br />
mengalami kesulitan dalam penanganannya. Densifikasi biomassa menjadi briket bertujuan untuk<br />
meningkatkan densitas dan menurunkan persoalan penanganan seperti penyimpanan dan<br />
pengangkutan. Densifikasi menjadi sangat penting dikembangkan di negara-negara berkembang<br />
sebagai salah satu cara untuk peningkatan kualitas biomassa sebagai sumber energi. Secara umum<br />
densifikasi biomassa mempunyai beberapa keuntungan (Bhattacharya dkk, 1996) :<br />
Menaikkan nilai kalori per unit volume.<br />
Mudah disimpan dan diangkut.<br />
Mempunyai ukuran dan kualitas yang seragam.
Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007) ISSN : 1978 – 9777<br />
Yogyakarta, 24 November 2007<br />
Biomassa mempunyai energi kira-kira 1/3 energi batubara per unit massa dan 1/4 energi<br />
batubara per unit volume. Densifikasi dapat mengubahnya menjadi masing-masing 2/3 dan 3/4<br />
(Bungay, 1981). Secara umum teknologi pembriketan dapat dibagi menjadi tiga (Grover dan<br />
Mishra, 1996) :<br />
Pembriketan tekanan tinggi.<br />
Pembriketan tekanan medium dengan pemanas.<br />
Pembriketan tekanan rendah dengan bahan pengikat (binder).<br />
Beberapa jenis bahan dapat digunakan sebagai pengikat diantaranya amilum/tepung kanji, tetes,<br />
dan aspal.<br />
Karakteristik pembriketan dievaluasi diantaranya dengan melihat durabilitas, kekuatan<br />
mekanis, dan perilaku relaksasi. Wamukonya dan Jenkins (1995) meneliti durabilitas dan relaksasi<br />
pada serbuk kayu dan jerami. Chin dan Siddiqui (2000) telah meneliti perilaku relaksasi briket dari<br />
berbagai macam biomassa. Relaksasi sangat dipengaruhi oleh tekanan pembriketan. Semakin tinggi<br />
tekanan maka relaksasi akan semakin bertambah.<br />
2.3 Emisi Pembakaran<br />
Emisi yang dihasilkan dari pembakaran biomassa adalah CO2, CO, NOx, SOx, dan<br />
partikulat. Kwong dkk (2004) meneliti campuran serbuk batubara dan sekam padi untuk berbagai<br />
komposisi dan udara lebih (excess air). Hasilnya menunjukkan bahwa terjadi penurunan emisi CO<br />
lebih dari 40% untuk campuran sekam padi 50%. Hal ini berarti sekam padi dapat<br />
menyempurnakan proses pembakaran. Konsentrasi CO juga menurun dengan penambahan excess<br />
air. Hasil optimal terjadi pada 30% excess air dan 10-20% campuran sekam padi.<br />
Emisi CO campuran biomassa ampas tebu-sekam padi telah diteliti Jamradloedluk dkk<br />
(2004) dengan hasil emisi CO rata-rata terendah untuk rasio 40:60 yaitu sebesar 3,3 ppm dan<br />
tertinggi untuk rasio 20:80 sebesar 14,4 ppm. Moerman dan Prasad (1995) meneliti rasio CO/CO2<br />
dari pembakaran kayu dalam tungku tipe downdraft. Rasio CO/CO2 untuk range pembakaran<br />
bersih (clean combustion) dapat diprediksi dengan simulasi dengan kesalahan 10% dibandingkan<br />
dengan data eksperimen. Pada pembakaran dengan excess air factor rendah diperoleh rasio yang<br />
tinggi. Kenaikan excess air factor akan menurunkan rasio, tetapi pada kenaikan sampai di atas 2<br />
akan menaikkan kembali rasio CO/CO2.<br />
Bhattacharya dkk (2002) meneliti emisi yang dihasilkan dari pembakaran kayu dan arang<br />
kayu pada berbagai macam tungku. Hasilnya menunjukkan bahwa faktor emisi CO berkisar antara<br />
19-136 g/kg. Emisi terendah dihasilkan oleh tungku jenis RTFD Thailand dan tertinggi tungku<br />
jenis Nepal. Pratoto (2004) telah meneliti emisi dari pembakaran empty fruit bunch (EFB).<br />
Hasilnya menunjukkan bahwa faktor emisi CO berkisar antara 12-67 g/kg.<br />
3. Metode Penelitian<br />
Bahan yang digunakan adalah limbah cangkang kakao. Penelitian dilakukan dengan<br />
mengeringkan cangkang kakao terlebih dahulu selama kurang lebih 3 hari. Analisis proksimasi dan<br />
nilai kalor bahan dasar ditampilkan pada Tabel 1. Setelah itu dihaluskan dengan penumbuk dan<br />
disaring dengan ukuran mesh 18 (diameter: 1 mm). Kemudian dilakukan pembriketan 5 gram<br />
sampel berbentuk silinder dalam cetakan diameter 16 mm dan diperoleh diameter dan panjang ratarata<br />
16,4 dan 26 mm. Komposisi cangkang kakao dan bahan pengikat (gel dari tepung kanji) adalah<br />
B ‐ 5
Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007) ISSN : 1978 – 9777<br />
Yogyakarta, 24 November 2007<br />
70%:30%. Pengeringan briket menggunakan oven pada suhu 50°C selama kurang lebih 5 jam dan<br />
dihasilkan berat rata-rata briket 3,687 gram. Briket yang dihasilkan seperti ditunjukkan Gambar 2.<br />
Material<br />
Tabel 1. Analisis proksimasi limbah cangkang kakao<br />
Moisture<br />
Proximate Analysis (% berat, wet basis)<br />
Volatile<br />
matter<br />
B ‐ 6<br />
Fixed carbon Ash<br />
Nilai kalor<br />
(kJ/kg)<br />
Cangkang kakao 16,1 49,9 20,5 13,5 16.998<br />
Pengujian pembakaran dengan pengaruh temperatur udara preheat dilakukan dengan 3<br />
variasi yaitu tanpa preheat, 60°C, dan 80°C. Laju aliran udara dijaga konstan 0,3 m/s. Dinding<br />
ruang bakar juga dipertahankan pada temperatur 350°C dengan pemanasan LPG. Skema pengujian<br />
ditunjukkan pada Gambar 1di bawah ini. Masukkan briket ke dalam tungku dan diletakkan pada<br />
cawan yang digantungkan dengan kawat dan dihubungkan ke timbangan digital. Pengukuran<br />
dilakukan sampai tidak terjadi lagi pengurangan massa yang berarti pembakaran telah selesai.<br />
1. Blower udara<br />
2. Katup pengatur<br />
3. Saluran masuk pemanasan LPG<br />
4. Ruang preheater<br />
5. Ruang pembakaran<br />
6. Gas Analyser<br />
7. Kawat termokopel<br />
8. Digital termocouple reader<br />
9. Kawat penggantung briket<br />
10. Timbangan elektrik<br />
11. Komputer
Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007) ISSN : 1978 – 9777<br />
Yogyakarta, 24 November 2007<br />
Gambar 1. Skema Alat Uji Pembakaran.<br />
Gambar 2. Briket cangkang kakao.<br />
4. Hasil dan Pembahasan<br />
Pengaruh temperatur udara preheat terhadap pengurangan massa dan laju pembakaran<br />
sesaat dapat dilihat pada Gambar 2. Sesuai dengan teori yang ada bahwa pembakaran biomassa<br />
dibagi menjadi 3 tahap. Pertama tahap pengeringan/pemanasan yang ditunjukkan dengan<br />
pengurangan massa yang lambat. Tahap kedua devolatilisasi yang ditunjukkan dengan<br />
pengurangan massa yang sangat cepat dan tahap ketiga pembakaran arang dengan pengurangan<br />
massa yang kembali menjadi lambat. Dari Gambar 2(a) terlihat bahwa semakin tinggi temperatur<br />
udara preheat maka pengurangan massa berlangsung semakin cepat. Hal ini disebabkan adanya<br />
suplai kalor tambahan secara konveksi dari udara masuk sehingga terjadi peningkatan perpindahan<br />
kalor ke briket dan menyebabkan proses devolatilisasi lebih cepat terjadi.<br />
Pengurangan massa (m/m 0)<br />
1,0<br />
0,8<br />
0,6<br />
0,4<br />
0,2<br />
0,0<br />
Tanpa preheat<br />
Tu = 60 °C<br />
Tu = 80 °C<br />
0 5 10 15 20 25 30 35<br />
Waktu (menit)<br />
(a) (b)<br />
Gambar 2. Hubungan temperatur udara preheat terhadap (a) pengurangan massa<br />
dan (b) laju pembakaran sesaat.<br />
Gambar 2(b) menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur udara preheat maka laju<br />
pembakaran maksimumnya semakin tinggi dan cepat tercapai. Laju pembakaran rata‐rata ditunjukkan oleh<br />
Gambar 3(b). Semakin tinggi temperatur udara preheat maka laju pembakarannya rata‐ratanya semakin<br />
tinggi. Temperatur gas pembakaran mengalami sedikit kenaikan walaupun tidak begitu signifikan seperti<br />
ditunjukkan Gambar 3(a) di bawah ini.<br />
B ‐ 7<br />
Laju pembakaran (mg/s)<br />
12<br />
10<br />
8<br />
6<br />
4<br />
2<br />
0<br />
0 5 10 15 20 25 30 35<br />
Waktu (menit)<br />
Tanpa preheat<br />
Tu = 60 °C<br />
Tu = 80 °C
Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007) ISSN : 1978 – 9777<br />
Yogyakarta, 24 November 2007<br />
Laju pembakaran rata-rata (mg/s)<br />
Temperatur Gas Pembakaran ( o C)<br />
3,0<br />
2,5<br />
2,0<br />
1,5<br />
1,0<br />
250<br />
200<br />
150<br />
100<br />
50<br />
0 5 10 15 20 25 30 35<br />
Waktu (menit)<br />
B ‐ 8<br />
Tanpa preheat<br />
Tu = 60 °C<br />
Tu = 80 °C<br />
Tanpa preheat Tu = 60 °C Tu = 80 °C<br />
Temperatur preheat (°C)<br />
(a) (b)<br />
Gambar 3. Hubungan temperatur udara preheat terhadap (a) temperatur<br />
gas pembakaran dan (b) laju pembakaran rata-rata.<br />
Emisi CO sebagai akibat perubahan temperatur udara preheat terlihat seperti Gambar 4(a).<br />
Kenaikan emisi CO secara cepat terjadi ketika terjadi pengurangan massa yang cepat. Hal ini<br />
berarti kenaikan emisi CO mulai terjadi pada tahap devolatilisasi untuk melepaskan zat terbang /<br />
volatile matter. Kenaikan temperatur udara preheat akan mempercepat terjadinya kenaikan emisi<br />
CO. Hal ini terjadi karena terjadi penambahan suplai kalor yang dibawa udara masuk, sehingga<br />
meningkatkan perpindahan kalor dari udara ke briket.
Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007) ISSN : 1978 – 9777<br />
Yogyakarta, 24 November 2007<br />
Emisi CO (ppm)<br />
Faktor emisi CO (g/kg)<br />
1800<br />
1500<br />
1200<br />
900<br />
600<br />
300<br />
50<br />
40<br />
30<br />
20<br />
10<br />
0<br />
0<br />
0 5 10 15 20 25 30 35<br />
Waktu (menit)<br />
B ‐ 9<br />
Tanpa preheat<br />
Tu = 60 °C<br />
Tu = 80 °C<br />
Tanpa preheat 60 80<br />
Temperatur preheat (°C)<br />
(a) (b)<br />
Gambar 4. (a) Emisi CO terhadap waktu dan (b) Faktor emisi CO pembakaran briket cangkang<br />
kakao pada<br />
temperatur udara preheat yang berbeda.<br />
Faktor emisi CO untuk pembakaran briket cangkang kakao karena pengaruh temperatur<br />
udara preheat ditunjukkan Gambar 4(b). Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa faktor emisi CO<br />
tidak mengalami banyak perubahan, hanya terjadi sedikit penurunan. Hal ini dimungkinkan terjadi<br />
karena adanya sedikit kenaikan temperatur gas sebagai akibat udara perheat.<br />
5. Kesimpulan<br />
Karakteristik pembakaran briket dari limbah cangkang kakao karena pengaruh temperatur<br />
udara preheat telah dikaji melalui eksperimen. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini<br />
adalah :<br />
1. Temperatur gas pembakaran akan meningkat seiring dengan kenaikan temperatur udara<br />
preheat.<br />
2. Kenaikan temperatur udara preheat mengakibatkan kenaikan laju pembakaran.<br />
3. Emisi CO mengalami sedikit penurunan seiring dengan kenaikan temperatur udara preheat.
Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007) ISSN : 1978 – 9777<br />
Yogyakarta, 24 November 2007<br />
6. Daftar Pustaka<br />
Bhattacharya, S.C., Albina, D.O. dan Salam, P.A. (2002). Emission Factors of Wood and<br />
Charcoal-Fired Cookstoves, Biomass and Bioenergy 23, pp. 453-469.<br />
Bhattacharya, S.C., Leon, M.A., dan Rahman, M.M. (1996). A Study on Improved Biomass<br />
Briquetting, Energy Program, SERD-AIT, Thailand.<br />
Borman, G.L., dan Ragland, K.W. (1998). Combustion Engineering, McGraw-Hill Book Co.,<br />
Singapore.<br />
Bungay, H.R. (1981). Energy : The Biomass Options, John Wiley & Sons, New York.<br />
Chin, O.C., dan Siddiqui, K.M. (2000). Characteristics of Some Biomass Briquettes Prepared<br />
Under Modest Die Pressures, Biomass and Bioenergy 18, pp. 223-228.<br />
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM). (2004). Statistik Energi Indonesia.<br />
Departemen Pertanian (Deptan). (2003), Luas Areal dan Produksi Perkebunan Rakyat di<br />
Indonesia.<br />
Grover, P.D. dan Mishra, S.K. (1996). Biomass Briquetting : Technology and Practices, Field<br />
Document No. 46, FAO-Regional Wood Energy Development Program (RWEDP) In Asia,<br />
Bangkok.<br />
Kementerian Negara Ristek (KNRT). (2006), Buku Putih Penelitian, Pengembangan dan<br />
Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Bidang Sumber Energi Baru dan Terbarukan<br />
untuk Mendukung Keamanan Ketersediaan Energi Tahun 2025, Jakarta.<br />
Moerman, E. dan Prasad, K.K.(1995). Clean Combustion and Excess Air Factors, Selected Paper<br />
in Combustion Technologies for a Clean Environment, Gordon and Breach Publishers,<br />
Basel, pp. 467-477.<br />
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional.<br />
Wamukonya, L., dan Jenkins, B. (1995), Durability and Relaxation of Sawdust and Wheat-Straw<br />
Briquettes as Possible Fuels for Kenya, Biomass and Bioenergy Vol. 8, No. 3, pp. 175-<br />
179.<br />
B ‐ 10