07.06.2013 Views

darul-islam-di-aceh

darul-islam-di-aceh

darul-islam-di-aceh

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

80 Darul Islam <strong>di</strong> Aceh: Analisis Sosial-Politik Pemberontakan Regional <strong>di</strong> Indonesia<br />

yang semakin menggumpal dan memunculkan pertentangan-pertentangan<br />

berikutnya. Ketika pecah pemberontakan Darul Islam <strong>di</strong> Aceh,<br />

1953, Pemerintah Republik dan partai-partai politik yang tidak menyetujui<br />

pemberontakan terus-menerus berulang-ulang menggunakan kedua<br />

soal ini untuk memojokkan pemimpin-pemimpin pemberontakan<br />

dan untuk menarik perhatian akan perlawanan rakyat yang <strong>di</strong>nyatakan<br />

masih keras terhadap mereka. Sebaliknya, simpatisan-simpatisan<br />

pemberontakan yang pasif membantah tuduhan bahwa penyitaan dan<br />

pembagian <strong>di</strong>lakukan secara tidak jujur dan sebaliknya menuduh<br />

golongan uleebalang merampas rakyat sewenang-wenang sejak mereka<br />

masuk dalam pemerintahan kolonial, dan penyelewengan bait almal<br />

(dana-dana masyarakat Islam) dan salah urus wakaf (yayasan keagamaan)<br />

yang <strong>di</strong>serahkan dalam pemeliharaan mereka. 49<br />

Selanjutnya, Republik Indonesia berjalan dalam proses yang yang<br />

penuh gejolak dan hingar-bingar perdebatan <strong>di</strong> Pusat, <strong>di</strong> Jakarta.<br />

Sementara Aceh semakin terlupakan dan jasa-jasa rakyat Aceh semakin<br />

tak terhiraukan, Jakarta membuat banyak kebijakan-kebijakan yang<br />

tidak popu-ler. Pada tahap ini, rakyat Aceh sudah tidak lagi memintaminta<br />

untuk <strong>di</strong>perhatikan, melainkan sudah bersikap tidak peduli,<br />

suatu kemarahan tersembunyi yang sulit <strong>di</strong>ketahui kapan akan<br />

meledak dalam luapan pemberontakan. ***<br />

49 Lihat umpamanya pidato Nur el Ibrahimy dan Kasman Singo<strong>di</strong>medjo. Bagian<br />

Dokumentasi, Sekitar Peristiwa Daud Beureu’eh, Jilid I (Jakarta: Kronik Kementerian<br />

Penerangan (t.t.), hlm. 134-139, 92-249.<br />

Konferensi Batee Kureng dan Konsepsi Prinsipil-Bidjaksana<br />

289<br />

kini kembali menja<strong>di</strong> masalah yang hangat <strong>di</strong>perdebatkan dalam<br />

Konstituante <strong>di</strong> Jakarta. Seperti ternyata, kaum politisi Islam tidak<br />

cukup kuat untuk meluluskannya kali ini. Satu-satunya hasil yang<br />

mereka peroleh ialah <strong>di</strong>akuinya oleh Soekarno dalam Dekrit yang<br />

menyatakan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Piagam<br />

Jakarta telah mengilhami Undang-Undang Dasar ini dan merupakan<br />

kesatuan dengannya. 44<br />

Selanjutnya <strong>di</strong>setujui secara prinsip, sebagian prajurit Tentara<br />

Islam, setelah melalui screening wajib, akan <strong>di</strong>ja<strong>di</strong>kan wajib militer<br />

darurat. Kemu<strong>di</strong>an, pada 1 Oktober <strong>di</strong>setujui akan <strong>di</strong>bentuk Divisi<br />

Tengku Chik Ditiro sebagai bagian khusus dari Divisi Tentara <strong>di</strong> Aceh.<br />

Pegawai-pegawai negeri Darul Islam yang mengikuti Dewan Revolusi<br />

mendapat perlakuan yang se<strong>di</strong>kit banyaknya sama. Usaha yang<br />

menyatakan bahwa <strong>di</strong> mana mungkin mereka akan <strong>di</strong>integrasikan ke<br />

dalam Pemerintahan Republik <strong>di</strong>kukuhkan para penguasa militer pusat<br />

pada akhir Oktober. Ini berarti memberikan kuasa kepada Pemerintah<br />

Daerah Aceh untuk mengangkat bekas pejuang mujahi<strong>di</strong>n yang telah<br />

menyatakan sumpah setia kepada Republik Indonsia pada jabatanjabatan<br />

dalam pemerintahan sipil. 45***<br />

44 Kekaburan kompromi ini menimbulkan beberapa masalah pada 1962. Pada akhir<br />

tahun itu tersiar berita, Angkatan Darat Pusat menentang (<strong>di</strong>berlakukannya hukum Islam <strong>di</strong><br />

Aceh. Berita ini <strong>di</strong>bantah juru bicara Tentara. Ia membacakan sebuah pernyataan yang<br />

pokoknya berisi 1) hukum Islam tidaklah a priori <strong>di</strong>tolak, karena itu juga tidak <strong>di</strong> Aceh; 2)<br />

dapat <strong>di</strong>buat hukum bagi masyarakat Islam yang mungkin <strong>di</strong> sesuaikan dengan hukum<br />

Islam; dan 3) Pemerintah Daerah Aceh, sesuai dengan keterangan misi Har<strong>di</strong>, boleh<br />

mengeluarkan peraturan-peraturan daerah yang sesuai dengan hukum Islam, asal saja ini<br />

tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip umum kebijaksanaan negara, kepentingan<br />

umum, atau peraturan hukum tingkat yang lebih tinggi. Dalam pembicaraan turut serta<br />

Menteri Agama, yang menyatakan <strong>di</strong>rinyayakin Angkatan Darat Pusat mengakui dan karena<br />

itu tidak menolak prinsip hukum Islam <strong>di</strong> Aceh. BJ. Boland, Pergumulan Islam dalam<br />

Indonesia Modern, (terj.), (Jakarta: Grafiti, 1981), hlm. 90-100.<br />

45 Ini berdasarkan Keputusan Penguasa Perang Pusat no.010541959 31 Oktober 1959.<br />

Indonesia berada dalam keadaan perang dari Maret 1957 sampai Maret 1962. Selama masa<br />

ini terdapat Penguasa Perang Pusat (Peperpups dan <strong>di</strong> provinsi-provinsi Penguasa Perang<br />

Daerah (Peperda). Di Aceh yang menja<strong>di</strong> ketua Peperda (Penguasa perang Daerah) adalah<br />

panglima militer, Sjammaun Gaharu, dan wakil ketuanya adalah Gubernur A. Hasjmy.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!